Sekte Teratai Putih Jilid 05
GUBERNUR SUN cepat menyediakan tandu dan sepasukan prajurit untuk mengawal, namun ternyata Kaisar Kian-liong mengatakan lebih suka berjalan kaki dan tidak usah dikawal saja.
Niat Kaisar itu keruan membuat kebat-kebit hati Gubernur Sun. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Kaisar, lehernyalah yang jadi taruhan. Dan perkara "terjadi apa-apa" ini sangat besar kemungkinannya saat itu, sebab orang-orang Pek-lian-kau lainnya barangkali masih berkeliaran di sekitar kota Lok-yang.
Sedangkan seluruh masyarakat Lok-yang sudah tahu kalau Kaisar sedang ada di kota itu, karena Kaisar telah muncul secara terbuka di pesta pernikahan Wan Lui. Karena itulah Gubernur Sun tetap saja memerintahkan perajurit-perajuritnya berjaga di sekitar jalan-jalan yang akan dilewati Kaisar.
Ternyata Kaisar tiba di penjara dengan selamat, tidak mengalami apa-apa di jalan. Begitu tiba, tanpa mempedulikan acara penyambutan yang sudah disiapkan bertele-tele, Kaisar langsung saja minta diantar ke sel tempat penahanan orang-orang Pek-lian-kau. Ia berjongkok memeriksa mayat Oh Tiang dan memperbincangkannya dengan pembantu-pembantunya.
Tidak lama kemudian Wan Lui juga datang. Panglima yang masih pengantin baru itu tercengang ketika Kaisar sudah mendahuluinya hadir di situ. Cepat-cepat Wan Lui berlutut, "Hamba mohon ampun, Tuanku. Hamba terlambat tiba di sini."
Tak terduga Kaisar Kian-liong menjawabnya dengan santai dalam nada berkelakar, "Aku maklum. Pengantin baru bangun terlambat itu bisa dimaklumi."
Keruan wajah Wan Lui jadi merah padam. Tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan ke pokok persoalan, "Bagaimana menurut pendapat Tuanku?"
Tetapi Kaisar masih saja berkelakar, "Apanya yang bagaimana? Kejadian ini, atau malam pengantinmu?"
Kali ini Gubernur Sun, kedua pengawal pribadi Kaisar serta komandan penjara ikut tertawa. Keruan Wan Lui semakin jengah dan kelabakan, "Maksud hamba... apakah penelitian Tuanku sudah menunjukkan jejak ke arah tertentu?"
Kali ini Kaisar mulai lebih bersungguh-sungguh, "Orang berkedok yang dilaporkan penjaga itu tentu masuk dengan membongkar atap." katanya sambil menunjuk ke lubang besar di atap, "Lalu membunuh Oh Jiang dengan totokan kuat di leher, lihat bekas memar keungu-unguan di lehernya. Namun agaknya Mao Pin berhasil kabur dengan ilmu gaibnya, mengubah diri menjadi burung gagak, dan beberapa penjaga membenarkan hal ini."
Wan Lui mengangguk-angguk, sementara Gui Han-seng yang tadi belum berkesempatan men"smash" Im Ho-lik, sekarang mendapatkan kesempatan itu. Katanya, "Lalu, kalau melihat memar di leher mayat ini, pastilah pembunuhnya memiliki jari-jari tangan yang kuat dan terlatih. Tujuannya membunuh rupanya untuk membungkam agar orang-orang Pek-lian-kau tidak menunjuk siapa yang menyuruh mereka. Bisa-bisa terbongkar kedoknya sebagai orang dalam istana sendiri, he-he-he..." Sambil berkata dan cengengesan, Gui Han- seng menatap Im Ho-sek.
Im Ho-sek jadi merasa, karena di kalangan jagoan-jagoan istana, dialah yang terkenal dengan kehebatan jari-jari tangannya. Maka sindiran itu langsung ditanggapinya dengan galak, "Gui Han-seng, hati-hati dengan mulutmu! Jangan sembarangan memfitnah!"
Gui Han-seng malahan tertawa memanaskan hati, "Lho, , lho, lho, Saudara Im kok mendadak marah-marah, ada apa? Aku kan tidak menyebut-nyebut namamu sedikit pun? Jangan-jangan Saudara Im yang merasa sendiri?"
Inilah kata-kata yang tadi digunakan Im Ho-sek untuk menyindir Gui Han-seng, dan sekarang Gui Han-seng "mengembalikan"nya. Im Ho-sek tiba-tiba merobek-robek bajunya sehingga bertelanjang dada, katanya, "Penjaga-penjaga penjara ini melaporkan bahwa orang berkedok itu kemarin malam lengan atasnya terluka oleh panah, nah, lihat, apakah ada bekas luka baru di lenganku? Lihat!"
"Sudahlah....!" Wan Lui cepat-cepat menengahi kedua rekannya itu. "Kakak Im dan Kakak Gui sudah terpilih dari sekian banyak orang untuk mendampingi Sri Baginda, mestinya kalian bisa membantu dalam tindakan atau pikiran, bukan bersikap seperti anak-anak kecil terus-terusan."
Im Ho-sek dan Gui Han-seng sama-sama membungkam. Sementara Kaisar Kian-liong pun menyeringai dan menyindir, "Biarkanlah mereka, Jenderal Wan. Mereka sudah biasa bertengkar di tepi telingaku. Kalau mereka berhenti bertengkar, malahan aku merasa kesepian dan mengantuk."
Mereka kemudian kembali membicarakan soal pembobolan penjara. Namun Wan Lui diam-diam mulai berpikir. Pertengkaran antara Im Ho-sek dan Gui Han-seng bisa jadi hanyalah ketidaksenangan pribadi satu sama lain antara mereka, tetapi kemungkinan yang dikatakan Gui Han-seng itu rasanya perlu dipikirkan juga. Yaitu adanya orang dalam istana yang diam-diam mendalangi kerusuhan-kerusuhan jauh di luar istana demi maksud-maksud politik.
Wan Lui jadi ingat peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ketika Kaisar Kian-liong belum naik tahta dan masih disebut Pangeran Hong-lik, ia pernah diculik orang-orang Pek-lian-kau. Orang Pek-lian-kau berhasil mengetahui waktu dan arah perjalanan Pangeran Hong-lik yang waktu itu menyamar, tak lain karena ada orang istana sendiri yang membocorkannya ke pihak Pek-lian-kau. Orang istana itu adalah paman Kaisar Yong-ceng sendiri, yaitu Liong Ke-toh.
Saat itu Wan Lui terlibat langsung dalam penyelamatan Pangeran Hong-lik, dan itulah awal permusuhannya dengan Pek-lian-kau. Sekarang Liong Ke-toh sudah tiada, namun tidak mustahil ada tokoh lain dalam istana yang punya maksud serupa dongan motif serupa pula, ambisi terhadap tahta.
Yang membuat Wan Lui cemas, dalam situasi tidak menentu itu malahan Kaisar Kian-liong "kambuh" penyakit lamanya untuk berkeluyuran di luar istana. Dalam keadaan biasa, kebiasaan itu mungkin baik karena bisa mendengarkan keluhan rakyat secara langsung, bukan keluhan rakyat yang sudah dipoles para pejabat. Namun dalam situasi seperti itu, kosongnya singgasana sungguh bukan hal yang baik. Wan Lui membayangkan ada pihak tertentu sedang menjalankan tipu "memancing harimau meninggalkan gunung" alias memancing Kaisar meninggalkan istananya, lalu.
"Tidak!" Wan Lui berkata keras-keras sambil mengibaskan kepalanya. Ia tidak berani membayangkan hal-hal yang buruk, sebab Kaisar Kian-liong bukan cuma junjungannya, tetapi juga sahabat pribadinya.
Ketika itu mereka sedang melangkah keluar dari kompleks penjara. Kaisar terkejut dan menoleh kepada Wan Lui, "Apanya yang 'tidak' itu sobatku?"
Wan Lui menarik napas. "Maaf, hamba telah mengejutkan Tuanku. Namun kalau diperkenankan, hamba mohon diijinkan berbicara empat mata dengan Tuanku."
Kaisar menanggapi dengan serius permintaan itu. la kenal siapa Wan Lui dan tahu pasti sesuatu yang sangat perlu dikemukakan kalau sampai memohon seperti itu. "Kapan kau ingin berbicara denganku?"
"Kalau bisa secepatnya, Tuanku."
"Baik. Sekarang juga kau langsung ikut aku ke gedung gubernuran. Di sana kita bisa berbicara."
Sepanjang jalan dari gedung penjara kegedung gubernuran, mata Wan Lui yang tajam melihat beberapa pengawal kaisar bertebaran di sepanjang jalan dalam berbagai penyamaran. Mereka menyamar cukup baik, tetapi Wan Lui tetap bisa mengenalinya. Di pinggir jalan nampak seorang pengemis duduk di emper toko sambil selalu menggaruk-garuk kakinya, tongkatnya disandarkan di sebelah tubuhnya.
Wan Lui tersenyum sendiri karena mengenali pengemis gadungan itu sebagai pengawal istana yang tangguh, ia adalah pemain tongkat terbaik di seluruh Pak-khia. Beberapa langkah di sebelahnya, ada seorang ahli nujum buta sedang buka praktek di tepi jalan. Kembali Wan Lui tersenyum karena tahu kalau orang itu sama sekali tidak buta, bahkan matanya jauh lebih awas dari orang kebanyakan, karena orang itu dapat menyambit seekor lalat dengan jarumnya dari jarak dua puluh langkah di suasana yang remang-remang sekalipun.
"Pengawal-pengawal yang Tuanku bawa agaknya orang-orang pilihan semua." kata Wan Lui sambil tetap melangkah di sebelah Kaisar. Mereka berjalan di jalanan kota Lok-yang itu tidak ubahnya orang lain. Tidak ada yang tahu kalau mereka itu Kaisar, Jenderal dan dua ajudannya. Yang tahu tentu saja hanyalah pengawal-pengawal yang menyamar itu.
Kaisar tertawa dan menjawab Wan Lui, "Yah, kali ini aku membawa empat puluh pengawal. Aku berusaha menuruti usulmu, agar jika aku keluar istana, aku membawa pengawal yang cukup meskipun harus menyamar."
Wan Lui mengangguk-angguk, namun berkata dalam hatinya, "Dalam keadaan biasa, pengawalmu ini sudah cukup. Namun saat ini di luar istana sedang banyak gejolak dan belum diketahui seberapa besar kekuatan yang mendukung gejolak-gejolak itu. Keluarmu dari istana kali ini benar-benar gagabah dan terlalu menurutkan keinginan hati. Aku khawatir kau akan mengalami lagi kejadian tidak enak seperti beberapa tahun yang lalu, diculik orang-orang Pek-lian-kau."
Tidak lama kemudian mereka tiba di gubernuran dan membuat lega Gubernur Sun. "Tuanku, hamba sudah menyediakan makan siang buat Tuanku dan Jenderal Wan." kata Gubernur Sun sambil berlutut.
"Terima kasih. Usai pembicaraanku dengan Jenderal Wan, dengan senang hati aku akan menikmati hidanganmu."
"Terserah kepada kehendak Tuanku sajalah."
“Oo ya, aku juga ingin bersantap siang dengan sahabat baruku. Karena itu, selama aku berbicara dengan Jenderal Wan, tolong Tuan Sun mengundang Tuan Sebun yang kemarin di perjamuan duduk di sebelahku, siapa namanya?"
Gubernur Sun mengerutkan jidat mengingat-ingat nama "orang biasa" yang tidak terkenal, apalagi cuma seorang pemuda pelosok yang cacad kakinya. Namun dia herran bahwa Kaisar agaknya malah mengingat-ingat orang itu terus.
Wan Lui membantu mengingatkan, "Namanya Liu Yok."
"Iya, Liu Yok. Nah, Tuan Gubernur, siapkan jemputan kehormatan dengan tandu. Katakan, bahwa aku secara pribadi mengundangnya makan siang di sini."
"Baik, Tuanku." sahut Gubernur Sun. Tetapi dalam hatinya ia menggerutu. "Alangkah besar kehormatan yang diterima pemuda desa itu. Sedangkan aku sendiri yang sudah belasan tahun jadi Gubernur tidak mendapatkan undangan itu."
Kemudian Kaisar bersama Wan Lui masuk sebuah ruang tertutup. Im Ho-sek dan Gui Han-seng pun disuruh menunggu di luar. "Nah, sekarang kau mau bicara apa?"
Kepada Kaisar yang juga sahabatnya, Wan Lui tidak ragu-ragu untuk berbicara langsung tanpa berbelit-belit, "Tuanku, hamba mengerti benar akan kegemaran Tuanku berjalan-jalan di luar istana dengan menyamar, namun hamba kuatir bahwa perjalanan Tuanku kali ini akan besar resikonya. Demi menenteramkan hati hamba, hamba mohon Tuanku kembali ke istana. Situasi sekarang agak menguatirkan, Tuanku dibutuhkan di istana untuk mengendalikan keadaan."
Kaisar mengerutkan alis. "Kau anggap sekarang ini ada orang di istana yang sedang main gila?"
"Ampun Tuanku, ini bukan kepastian namun barulah dugaan hamba yang bisa saja meleset. Hamba menduga beberapa gejolak di luaran itu sebenarnya bukan rangkaian kebetulan belaka, melainkan dikendalikan satu otak. Dan otak itu mungkin saja justru berada di dalam istana."
Kaisar Kian-liong tidak berani mengabaikan kata-kata jenderalnya itu. Ia tahu Wan Lui adalah seorang yang cermat dan tidak mau mengucapkan kata-kata yang gegabah atau sembarangan saja. "Apakah kau sudah punya bukti, sobat?"
"Ampun Tuanku, hamba belum bisa mendapatkan bukti. Ini hanyalah dugaan saja. Namun hamba benar-benar cemas."
"Lalu usulmu?"
"Ampun Tuanku, kembalilah secepatnya ke istana. Kehadiran Tuanku akan membuat situasi lebih terkendali di pusat pemerintahan, orang-orang tidak akan gelisah dan kehilangan pegangan. Ini permintaan hamba yang pertama."
Kalau yang bicara seperti itu adalah orang lain, mungkin Kaisar sudah marah dan menolak usul itu. Maklum, keluyuran adalah hobbynya dan itu agaknya adalah "penyakit keturunan" Kakek Kian-liong, Kaisar Khong-hi ketika masih bernama Pangeran Hian-hua adalah juga "tukang minggat" yang sering membuat kalangan istana kelabakan.
Begitu pula ayah Kian-liong, Yong-ceng, yang bahkan sampai mempunyai ikatan persahabatan dengan banyak pendekar bangsa Han. Dan Kian-liong sendiri, pengalaman buruknya diculik orang-orang Pek-lian-kau dulu hanya membuatnya bertambah hati-hati namun tidak membuatnya jera.
"Lalu permintaanmu yang kedua?"
"Tugaskan hamba mencari akar dari situasi tak menentu ini."
Kaisar tertawa perlahan, "Sobat, mana mungkin aku tega menyuruh seorang sahabat yang masih pengantin baru untuk tugas yang penuh bahaya ini? Tidak. Nanti isterimu bisa menganggap aku ini raja yang jahat, raja yang tidak punya perasaan."
"Tuanku...."
"Sekali tidak, tetap tidak. Aku memang akan menugaskan orang untuk menyelidiki siapa otak segala situasi ini, namun bukan kau yang kutugaskan. Kau nikmati dulu bulan-madumu."
"Ampun Tuanku. Maksud hamba, justru pada saat-saat bulan madu ini kami suami isteri tidak akan menimbulkan kecurigaan orang kalau mengadakan perjalanan jauh seolah-olah melancong. Perjalanan kami takkan dicurigai, orang akan mengira kami sedang berbulan madu."
"Padahal memang berbulan madu?" Kaisar tertawa.
"Maksud hamba, ya memang hamba ingin melancong, tetapi sambil menjalankan tugas dari Tuanku. Hamba mohon, Tuanku."
Melihat kesungguhan Wan Lui itu, Kaisar akhirnya menyerah juga. "Baiklah. Kerjakan. Tetapi jelaskan kepada isteri-mu, bahwa ini bukan perintahku, melainkan kemauanmu sendiri, jangan sampai isterimu kelak menuduhku merusak hari-hari bahagianya."
"Isteri hamba pasti dapat mengerti, Tuanku." Ketika itulah pintu diketuk dari luar, dan terdengar suara Gubernur Sun, "Ampun Tuanku, hamba hanya ingin melaporkan bahwa Tuan Liu Yok dan adiknya sudah hadir."
"Adiknya?" Kaisar heran. Yang diundang hanyalah Liu Yok kok adiknya juga ikut datang? Kaisar kemudian keluar dari ruangan itu bersama Wan Lui. Di depan pintu nampak Gubernur Sun yang berlutut. Kata Kaisar, "Tuan Gubernur, silakan berdiri. Siang ini aku juga ingin mengajakmu bersantap."
Gubernur pun bangkit kegirangan, "Terima kasih, Tuanku. Hamba berbahagia sekali bisa melayani Tuanku dengan kedua tangan hamba sendiri."
Mereka lalu melangkah ke ruangan makan. Kaisar berjalan paling depan, diiringi Wan Lui dan Gubernur Sun di belakangnya berjajar, disusul lagi dengan Im Hok-seng yang sama-sama berwajah cemberut dan tidak berbicara satu sama lain. Memasuki ruang perjamuan, terlihat di tengah-tengahnya ada meja besar dengan makanan-makanan kelas satu di atasnya.
Hamba-hamba gubernuran yang akan melayani perjamuan itu berdiri merapat tembok dan mereka berlutut ketika Kaisar memasuki ruangan. Selain itu, di ruangan itu juga sudah ada Lui Yok dan Auyang Hou yang tidak diundang. Mereka pun berlutut menghormat.
Belum ada yang menyapa, Auyang Hou sudah berkata dengan lantang, "Hamba berdua sungguh merasa bahagia mendapat undangan Tuanku. Hamba siap mengabdi kepada Tuanku sampai titik darah penghabisan!"
Kaisar cuma tersenyum dan melangkah mendekati meja perjamuan. Gubernur Sun sendiri yang menarikkan kursi buat Kaisar, yaitu kursi sebelah timur, yang dalam adat adalah kursi paling terhormat. Setelah Kaisar menduduki kursinya, ia berkata, "Silakan menduduki tempat masing-masing, saudara-saudara. Aku berharap perjamuan ini akan berlangsung santai dan jauh dari suasana kaku."
Maka orang-orang pun berdiri dan menuju kursinya masing-masing. Kaisar melambai kepada Wan Lui agar duduk di sebelah kanannya, sementara Auyang Hou tanpa ragu-ragu hendak menyerobot kursi di sebelah kiri Kaisar. Namun Kaisar telah melambai kepada Liu Yok dan berkata dengan ramah, "Saudara Liu Yok, duduklah di sebelahku."
Liu Yok menerima kehormatan setinggi itu dengan sikap biasa saja, hanya mengucapkan terima kasih yang singkat. Tanpa rasa rendah diri, juga tanpa rasa bangga lalu menganggap lebih rendah yang lain-lainnya. Tentu saja Auyang Hou agak kecewa, namun buru-buru ia menempati kursi lain di sebelahnya Liu Yok persis. Gubernur Sun sebenarnya hendak menempati kursi itu, namun terpaksa mengalah karena tidak ingin berebutan dengan keponakan Sebun Beng itu. Terpaksa Gubernur jadi menduduki kursi yang lebih rendah dari Auyang Hou, hatinya mendongkol namun ditahankan juga.
Sementara Auyang Hou pun telah menduduki kursinya dengan dada membusung dan wajah amat bangga. Kelak kalau kembali ke Se-shia, ia akan bisa bercerita kepada kawan-kawannya bahwa ia dijamu oleh Kaisar. Mudah-mudahan masih ada kawan-kawannya yang mau percaya, sebab di antara kawan-kawannya dia dikenal sebagai pembual dan sudah tidak banyak lagi yang mempercayai omongannya.
Selama perjamuan itu, Kaisar banyak sekali bertanya-tanya kepada Liu Yok tentang berbagai masalah. Makin bicara, Kaisar makin heran mendengar pandangan-pandangan Liu Yok yang terdengar agak asing di kupingnya. Antara lain pendapat bahwa manusia lebih tinggi dari dewa. Namun buat Wan Lui yang memeluk Thai-cin-kau, pandangan-pandangan Liu Yok itu tidak asing lagi, hanya Wan Lui harus mengakui bahwa Liu Yok lebih mendalam penghayatannya.
Suasana perjamuan itu tiba-tiba jadi sedikit terganggu, karena di luar ruangan ada derap orang yang tergesa-gesa. Kemudian terdengar suara orang berbicara, mula-mula lirih, namun lalu nyaring, lalu lirih lagi karena rupanya ada yang memperingatkan kalau di dalam ruangan ada Kaisar.
Gubernur Sun menjadi mendongkol, lalu katanya kepada Kaisar, "Ampun Tuanku, orang-orang hamba yang di luar itu benar-benar tidak tahu adat. Biarlah hamba tertibkan sebentar."
"Silakan, Tuan Sun, dan jangan cepat marah. Barangkali ada suatu hal yang penting yang ingin cepat-cepat dilaporkan kepadamu. Kalau kau gampang marah, lama-lama tidak ada yang berani melapor."
"Baik, Tuanku." Bergegas Gubernur Sun meninggalkan ruangan itu. Di luar, dia melihat sekelompok prajurit dan hamba gubernuran sedang berkerumun dan tampaknya membicarakan sesuatu. Begitu melihat Gubernur Sun keluar ruangan, mereka bungkam serempak.
"Kalian benar-benar tidak tahu aturan!" geram Gubernur dengan suara tertahan, supaya Kaisar tidak mendengarnya. “Apakah kalian tidak tahu kalau dalam ruangan itu Sri Baginda sedang bersantap? Aku bisa menjatuhkan hukuman berat buat kalian!"
Prajurit-prajurit dan hamba-hamba itupun berlutut ketakutan. Seorang prajurit menjawab, "Ampun Tuan, kami para prajurit justru berusaha meredakan keributan dari budak-budak tidak tahu aturan itu. Mereka ngotot hendak menghadap Tuan, tanpa mau mendengarkan bahwa Tuan sedang menemani Sri Baginda."
Gubernur Sun lalu mengalihkan tatapannya ke arah hamba-hamba gubernur. Salah seorang hamba buru-buru menyahut, "Ampun, Tuan. Hamba tidak akan berani mengganggu Tuan seandainya Nyonya tidak memerintah kami untuk melaporkan sesuatu yang penting."
"Apa yang akan kau katakan?"
"Kami mau melapor, bahwa puteri Tuan telah diculik."
Singkat saja laporan itu, namun hampir membuat Gubernur Sun ambruk karena kagetnya. "Hah? Kapan? Di mana?"
"Siang ini nona berjalan-jalan di dekat Kuil Kong-beng-si bersama dua dayang kesayangannya. Tiba-tiba ada beberapa pengemis menyerbu mereka. Pengemis-pengemis itu bukan saja sigap, tapi juga kejam, kedua dayang langsung ditikamnya mati, sedangkan Nona disumpal mulutnya dan dimasukkan karung lalu dibawa pergi entah ke mana. Demikian menurut saksi mata orang- orang di sekitar tempat kejadian."
Berkunang-kunanglah mata Gubernur Sun mendengarnya. Dia hanya punya dua puteri, namun yang disayanginya hanya yang bungsu, yang menurut ayahnya kalau disuruh membaca buku-buku sastra, filsafat dan pemerintahan, dengan harapan kelak akan diperisteri seorang bangsawan tinggi. Sedang Si Kakak meskipun cantik juga namun kesukaannya malah berkelahi dan belajar silat. Bahkan ketika tahu ayahnya tidak menyukainya, puteri sulung ini minggat untuk berdiam bersama gurunya di Gunung Hong-san.
Setelah tenang kembali, Gubernur memerintah seorang prajurit, "Panggil Panglima Ji kemari! Secepatnya!"
Ji Kong-kiam adalah panglima semua prajurit yang ada di kota Lok-yang. Prajurit yang diperintah itu pun segera beranjak pergi. Lalu Gubernur menyuruh lagi seorang hamba gubernuran, "Kirim seorang utusan pergi ke Gunung Hong-san untuk memberitahu puteri tertuaku, Cui-kiok, tentang kejadian yang menimpa Adiknya. Katakan bahwa aku ingin melihat bukti kegunaan ilmu yang dipelajarinya."
Kemudian Gubernur pun kembali ke ruang perjamuan, namun wajahnya yang murung itu langsung menarik perhatian Kaisar Kian-liong sehingga bertanya, "Ada apa, Tuan Sun?"
"Hamba mohon ampun, Tuanku. Kejadiannya hanyalah urusan dalam keluarga hamba, yang kalau hamba katakan akan mengganggu selera Tuanku dan Tuan-tuan lainnya."
"Kalau bukan rahasia pribadi yang harus disembunyikan, aku ingin mendengarnya." tanya Kaisar.
Gubernur Sun menarik napas. Tiba-tiba terlintas di pikirannya, kalau orang-orang macam Wan Lui dan sebagainya mau membantunya, tidakkah akan membantu persoalannya cepat selesai? Maka Gubernur pun menceritakan apa yang terjadi. Orang-orang terkejut. Meskipun belum dapat dipastikan penculik-penculik itu dari pihak mana, namun cukup kalau untuk menduga bahwa peristiwa ini adalah kelanjutan dari keributan di perjamuan pernikahan Wan Lui itu. Wan Lui bahkan sudah membayangkan bahwa putri gubernur itu akan disembelih orang orang Pek-lian-kau untuk dijadikan tumbal perjuangan mereka dalam menegakkan kembali dinasti Beng?
"Hamba sedang memanggil Panglima Garnisun kemari. Hamba akan memblokir semua pintu kota dan menangkap semua pengemis."
"Aku setuju menutup semua pintu kota dan mengadakan pemeriksaan, tetapi tidak setuju untuk menangkapi semua pengemis."
“Ampun Tuanku, bolehkah hamba mengetahui alasannya?"
"Pertama, Kai-pang (Serikat Pengemis) adalah organisasi yang tersebar luas dengan ratusan ribu anggota yang militan di mana-mana. Tidak baik menyakit hati mereka. Kedua, meskipun menurut prajurit yang menculik puterimu Itu berpakaian pengemis, belum tentu mereka pengemis sungguh-sungguh. Aku menduga, mungkin mereka anggota-anggota Pek-lian-kau yang menyamar."
Gubernur Sun jadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Saat itulah Wan Lui menyodorkan sebuah jalan keluar. “Tuan Sun, jangan kuatir Ayah mertuaku mungkin bisa membantu, dia sahabat baik Tho-cu (pemimpin cabang) Kai-pang di kota Lok-yang Ini."
Apa boleh buat, Gubernur akhirnya hanya bisa mengangguk-angguk, sementara dari luar sudah terdengar derap langkah Panglima Gamisun Ji feng-kiam.
Ketika selesai perjamuan dan kembali ke rumah Keluarga Sebun bersama Liu Yok dan Auyang Hou, Wan Lui kemudian menceritakan kepada Sebun Beng dan seluruh keluarganya tentang musibah yang menimpa puterl Gubernur, Sun Pek-lian. Mendengar itu, Sebun Beng terketuk hatinya untuk ikut bertindak. Ia merasa, musibah yang menimpa keluarga Gubernur itu secara tidak langsung ada sangkut-pautnya dengan Keluarga Sebun.
Keluarga Sebun mendapat menantu Wan Lui, yang dibenci orang-orang Pek-lian-kau. Dan karena orang-orang Pek-lian-kau gagal mengacaukan atau membalas dendam kepada Keluarga Sebun dan Wan Lui, mereka mengalihkan kemarahannya kepada keluarga Gubernur.
"A-lui, bagaimana pendapatmu?" tanya Sebun Beng kemudian kepada menantunya.
Wan Lui sebenarnya tidak ingin menyembunyikan rencananya untuk pergi menyelidiki dan mencari siapa "otak" pengacau orang-orang Pek-lian-kau itu, sambil pura-pura melakukan perjalanan bulan madu dengan isterinya. Ia tidak ingin menyembunyikan itu dari Sebun Beng. Tetapi karena di ruangan itu ada juga Auyang Hou yang ikut mendengar, Wan Lui tidak berani mengatakannya. Auyang Hou Si Bocor Mulut itu mungkin sekali dengan bangga akan menceritakan kepada siapa pun hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah "orang penting" yang mengetahui beberapa "rahasia penting".
Karena itulah pertanyaan mertuanya itu hanya dijawabnya, "Karena aku diberi cuti oleh Sri Baginda, rencananya aku akan mengajak Adik Hong-eng untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di seluruh negeri."
Sebun Beng tertawa, "Berbulan-madu, maksudmu?"
Wan Lui tersipu, demikian juga Sebun Hong-eng yang ada di sebelahnya. "Ayah sendiri merencanakan apa?" tanya Sebun Hong-eng.
Sebun Beng menjawab, "Sebagai langkah awal, barangkali akan kulakukan usul Suamimu tadi. Yaitu menghubungi Pemimpin Cabang Kai-pang di kota ini. Mungkin dia bisa memberi petunjuk."
"Paman, apakah dia seorang tokoh terkenal?" Auyang Hou tiba-tiba bertanya dengan bersemangat.
"Cukup terkenal untuk Propinsi Ho-lam."
"Cukup layak untuk menjadi sahabatku!" kata Auyang Hou dengan gagah, "Aku ikut Paman menjumpainya."
Sebun Beng berpikir, dalam pembicaraan dengan Pemimpin Cabang Kai-pang nanti mungkin ada hal-hal yang perlu dirahasiakan, kurang baik kalau mengajak Auyang Hou. Maka ia menjawab, "Jangan, A-hou. Orang itu bertabiat aneh, dia belum tentu mau berbicara denganku kalau kau ikut."
"Ah, mungkin malah sebaliknya, Paman Dia akan gembira melihat aku sebagai sesama pendekar!"
Bwe Gin-liong yang juga berada dalam ruangan itu, tiba-tiba tertawa tertahan, membuat Auyang Hou menoleh ke arahnya dengan gusar. Kakak beradik seibu ini memang sulit rukun. Auyang Hou selalu mengecam Bwe Gin-liong sebagai pemuda yang tahunya berfoya-toya, tidak bersemangat, tidak tahan uji dan sebagainya. Sebaliknya Bwe Gin-liong pun menganggap kakak tirinya itu hanyalah pembual, pemimpi besar dan sebagainya.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Auyang Hou gusar.
"Siapa yang tertawa?" Bwe Gin-liong mungkin, agak takut juga kepada kakak tiri yang kalau marah sering menjitaknya itu.
"Kau mentertawai aku!" Auyang Hou sudah bangkit dari kursinya untuk mendekati Bwe Gin-liong, sedangkan Bwe Gin-liong pun pindah tempat ke belakang punggung Neneknya yang selalu menyayanginya dan membelanya.
Tentu saja Auyang Hou jadi tidak bisa menjitak, ia cuma bisa mendamprat dengan sengit, "Kau anak cengeng yang beraninya hanyalah berlindung di belakang Nenek! Padahal kemarin kau tidak berani bertindak apa-apa ketika Puteri Gubernur disandera di tengah perjamuan, meskipun sebelumnya kau sudah mendekatinya dengan lagak lelaki paling jantan di dunia, Cuh!"
"A-hou, sudahlah...." Sebun Giok mencoba melerai anak-anaknya. Malu juga ia di depan Sebun Beng dan keluarganya akan kelakukan anak-anaknya.
Tetapi Auyang Haou masih melampiaskan kemarahannya, "He, anak cengeng, jangan mimpi menjadi mantu Gubernur. Mungkinkah Nona Sun yang cantik dan cerdas itu mau dipersunting lelaki yang tidak bisa apa-apa, yang cuma pintar berlagak namun nyalinya kecil?"
Panas juga Bwe Gin-liong dicaci di depan banyak orang. Dia pun balas mencaci tanpa keluar dari belakang punggung Neneknya, "Dan kau sendiri sudah berbuat apa selain omong-kosong, Tuan Pendekar Besar?"
Auyang Hou membalas dengan sombong. "Setidak-tidaknya aku sudah menikmati perjamuan pribadi Kaisar dari Gubernur!"
"Ratusan orang juga sudah mengalami itu, ketika dalam perjamuan pernikahan."
"Bukan itu!" tukas Auyang Hou jengkel. "Yang aku maksudkan adalah perjamuan yang bersifat lebih pribadi, dihadiri hanya oleh beberapa orang tertentu! Aku duduk berselisih satu kursi dengan Sri Baginda sendiri!"
"Itu karena kau menebalkan muka untuk datang meskipun yang diundang hanyalah Kakak Yok!"
Sebun Beng dan keluarganya, termasuk Wan Lui, hanya termangu-mangu menyaksikan pertengkaran di depan hidung itu. Mereka tidak ikut melerai, kuatir menyinggung perasaan Sebun Giok. Sebun Giok sendiri habis kesabarannya. Dia menampar Auyang Hou dan Bwe Gin-liong bergantian, lalu berkata dengan mata berkaca-kaca, "Kudengar lagi sepatah kata kalian bertengkar, kalian akan menemukan tubuhku tergantung atau dengan ubun-ubun retak kubenturkan tembok!"
Auyang Hou dan Bwe Gin-liong pun bungkam, meskipun masih saling melotot. Sementara Ciok Kim-he merangkul pundak Ibunya. "Tenanglah, Ibu...."
Sebun Giok cuma menunduk malu. Sebun Beng jadi terharu, lalu menghibur, “Jangan terlalu sungkan, Adik Giok. Kita semua adalah keluarga sendiri. Pertengkaran antara anak-anak adalah biasa."
"Kakak Beng selalu penuh pengertian dan berlapang dada kepada kami, tetapi itu membuat aku merasa semakin malu.”
Sebun Beng cuma mengangguk-angguk, lalu bertanya kepada Wan Lui, "A-lui, sampai di mana pembicaraan kita tadi?"
"Ayah bermaksud menjumpai Pemimpin Cabang Kai-pang."
"Ooo ya, betul. A-hou, biar aku pergi sendiri menjumpainya, mengingat orang ini tabiatnya agak aneh. Tetapi lain waktu aku akan mengajakmu berkenalan dengan pendekar-pendekar di seluruh negeri. Aku bangga mendengar cita-citamu, dan kau patut mendapat pergaulan yang lebih luas dan lebih layak."
Kali ini Auyang Hou cuma mengangguk dan tidak membantah lagi, pujian pamannya membuatnya agak membusungkan dada dan melirik mengejek ke arah Bwee Gin-liong yang membuang muka.
Sore harinya, dengan pakaian sederhana Sebun Beng meninggalkan rumahnya. Di jalanan ia bertegur sapa dengan beberapa orang yang mengenalnya. Langkahnya lalu berbelok masuk lorong sempit dan gelap yang tanahnya sudah diserapi air kencing sehingga jangan ditanya lagi baunya. Di ujung dalam lorong, Sebun Beng menjumpai sebuah lapangan kecil tempat penjemuran dan pembakaran batu merah. Langkahnya langsung menyeberangi lapangan kecil itu ke arah sebuah gubuk kecil yang menyorotkan cahaya lilin dari celah-celah dinding papannya. Itulah tempat tinggal Kai-pang Tho-cu di Lok-yang.
Namun beberapa bayangan tiba-tiba muncul menghadang Sebun Beng. Mereka adalah pengemis-pengemis yang bersenjata tongkat yang ukurannya bermacam-macam. Ada yang hampir sepanjang toya, ada yang sedang, ada yang pendek namun sepasang.
Sebun Beng menyapa dengan ramah, "Sobat-sobat, agaknya kegelapan malam membuat kalian tidak lagi mengenali aku sebagai teman baik golongan kalian."
Pengemis-pengemis itu agaknya mulai mengenali Sebun Beng, sehingga sikap permusuhan mereka dikendorkan dan digantikan sikap ramah, "Oh, kiranya Tuan Sebun. Maafkan."
"Apakah sahabatku Kam Hui-pa ada di rumah?" tanya Sebun Beng.
Pengemis-pengemis itu menjawab ragu-ragu, "Ada. Tetapi..."
"Kenapa?"
Tiba-tiba dari dalam gubuk terdengar suara seorang laki-laki yang serak diselingi batuk-batuk, "Saudara-saudara, biarkan Tuan Sebun masuk."
Sebun Beng mengenali suara sahabatnya, namun ia heran mendengar suara sahabatnya itu seperti dalam keadaan tidak sehat. Para pengemis di luar minggir dan tidak merlghalang-halangi Sebun Beng. Malahan salah seorang membukakan pintu gubuk. Sebun Beng harus menundukkan kepala ketika melangkahi ambang pintu agar kepalanya tidak terbentur. Ia memasuki sebuah ruangan yang sederhana dan seram sebab hanya diterangi sebatang lilin. Udara ruangan itu sarat dengan batu obat-obatan.
Di sudut ada pembaringan kayu yang sederahana, dengan seorang yang berbaring di atasnya dan bersuara lemah menyambut Sebun Beng, "Maaf kalau aku tidak bisa menyambutmu secara layak, Tuan Sebun."
Sebun Beng menarik bangku lalu duduk di sebelah pembaringan, tanyanya prihatin, "Saudara Kam, kau sakit apa?"
"Kena pukulan racun."
Sebun Beng terkejut, "Ah, sudah diobati?"
"Baru obat untuk menahan bekerjanya racun, belum obat pemunahnya. Sudah kusuruh seorang anak buahku minta obat pemunah racun dari Biksu Po-tian di Siong-san. Mudah-mudahan tidak terlambat kembalinya ke sini dan membawa hasil. Kalau terlambat ya... he-he- he.... Tuan tidak akan melihat aku lagi."
"Berapa lama kerjanya racun itu?"
"Tujuh hari, kata seorang anggauta kami yang pintar urusan obat dan racun."
"Kapan Saudara mendapat luka?"
"Siang tadi."
"Berbesar hatilah, masih banyak waktu. Antara Siong-san dan Lok-yang tidak terlalu jauh, masih terletak di satu provinsi. Apakah orang suruhanmu itu naik kuda?"
"Benar. Aku suruh meminjam kuda dari Guru silat Ling, sahabat baik kami."
Sebun Beng menarik napas, "Kenapa tidak meminjam kudaku? Kalian masih menganggap aku sebagai sahabat, bukan?"
Rupanya Sebun Beng sangat kuatir, kalau-kalau dirinya karena sudah menjadi mertua dari seorang jenderal kesayangan Kaisar, lalu teman-temannya seperti Kam Hui-pa ini tidak berani lagi berteman dengannya. Maklum, sekarang Gubernur Propinsi Ho-lam pun bahkan bersikap amat hormat kepadanya.
Kam Hui-pa tertawa sedikit lalu terbatuk-batuk. Katanya setelah batuknya reda, "Di mata kami Tuan Sebun tetaplah sahabat baik kami. Kalau kami tidak meminjam kuda kepada Tuan, itu hanya karena kami tidak ingin merepotkan Tuan. Bukankah Tuan baru saja selesai dari sebuah peralatan besar yang makan banyak biaya, tenaga dan pemikiran?"
"Baiklah. Siapa yang melukaimu?"
"Kim-mo-long (Serigala Bulu Emas) Mo Hwe dari Pek-lian-kau sekte Pak-cong..."
Keruan Sebun Beng terkejut, "Jadi pentolan utama Pek-lian-kau itu sekarang sudah berada di sekitar Lok-yang?"
"Ya, bersama dengan tokoh lainnya, Hui-eng-si ( Si Mayat Terbang ) Nyo Jiok. Mereka sudah menculik puteri gubernur, dan yang membuat mereka bentrok dengan kami adalah karena mereka dalam melakukan aksinya itu menggunakan pakaian pengemis. Tentu saja kami pihak Serikat Pengemis merasa keberatan."
Hati Sebun Beng bergetar. Ia pernah mendengar cerita Tong Gin-yan bahwa Pek-lian-kau Sekte Utara punya empat tokoh puncak yang jarang menampakkan diri, yang pertama adalah Serigala Bulu Emas Mo-hwe, lalu Si Mayat Terbang Nyo lok, Malaikat Ular Putih Oh Jiang dan Siluman Gagak Hitam Mao Pin. Sebun Beng tidak gentar kepada ilmu silat mereka.
Namun yang harus diwaspadai adalah ilmu hitam mereka. Bahkan mereka bisa membunuh orang dari kejauhan hanya dengan menusuk-nusuk sebuah boneka dengan jarum. Apa mau dikata, permusuhan dengan Pek-lian-kau sudah terlanjur pecah, bahkan Oh Jiang terbunuh dalam penjara, berarti urusannya semakin berlarut-larut.
Sementara itu Kim Hui-pa bertanya, memecahkan lamunan Sebun Beng, "Tuan Sebun, apa maksudmu datang kemari?"
"Belum sampai kutanyakan, tapi sudah kudapatkan jawabannya. Yaitu ingin menyelidiki jejak penculik-penculik puteri Gubernur. Dan ternyata memang tidak jauh dari dugaanku, yaitu orang-orang Pek-lian-kau. Jadi aku berterima kasih juga kepadamu, Saudara Kam."
"Aku pun berterima kasih buat perhatianmu kepadaku, Tuan Sebun."
"Saudara Kam, harap jangan tersinggung kalau kukatakan sesuatu. Tempatmu ini kurang memadai kalau untuk merawat sakitmu, aku menawarkan rumahku untuk kau tempati selama merawat lukamu."
"Terima kasih, tetapi biarlah aku di sini saja. Supaya anak buahku tiddk kebingungan kalau mencari aku."
"Aku juga punya beberapa butir obat penguat tubuh, sementara Saudara Kam menunggu datangnya obat pemunah dari Siong-san, Saudara bisa makan obatku sebutir sehari. Nanti aku menyuruh Soh Piao mengantarnya kemari."
"Sungguh aku terlalu banyak menerima kebaikanmu, Tuan Sebun."
"Ah, jangan berkata seperti itu, Saudara Kam. Hidup orang-orang persilatan macam kita-kita ini berdasar apalagi kalau bukan tolong-menolong? Aku mau berpamitan dulu karena kau harus lebih banyak beristirahat."
Demikianlah, sambil melangkah pulang ke rumahnya, Sebun Beng diam-diam merasa cemas bahwa bahtera rumah tangganya yang telah berjalan tenteram sekian tahun bakal terguncang hebat, mendapat musuh yang tidak tanggung-tanggung, yaitu sekelompok manusia penganut kepercayaan sesat yang fanatik dan diselubungi kerahasiaan. Bukan lawan yang gampang dihadapi.
Setibanya di rumah, pertama-tama ia menyuruh Soh Piao mengantarkan obat kepada Kam Hui-pa seperti yang dijanjikan. Lalu dia memanggil Wan Lui untuk diajaknya berbicara empat mata di kamar buku. "A-lui, dugaan kita ternyata tepat. Penculik-penculik itu adalah orang-orang Pek-lian-kau, bahkan tokoh-tokoh lapisan atasnya, yaitu Serigala Bulu Emas Mo IHwe dan Si Mayat Terbang Nyo Jiok."
Wan Lui menarik napas, terbayang kembali pengalamannya menghadapi orang orang Pek-lian-kau dulu, ketika menyelamatkan Pangeran Hong-lik. Bagaimana ia berhadapan bukan saja dengan lawan-lawan yang kelihatan, melainkan juga dengan lawan-lawan yang tidak kelihatan alias mahluk-mahluk gaib. "Rencana Ayah?"
"Rencana terperincinya aku belum tahu. Yang jelas, aku tidak bisa berpeluk tangan. Kita tersangkut. Karena Pek-lian-kau memusuhi kitalah maka terjadi penculikan puteri Gubernur itu. Mungkin aku harus kembali berkelana di rimba persilatan untuk menemukan kembali Gadis itu."
Mendengar itu, Wan Lui tiba-tiba menunduk dan berdesis, "Maafkan aku, Ayah. Semuanya ini gara-gara aku."
Sebun Beng menepuk pundak menantunya itu, "Jangan mendakwa dirimu sendiri, A-lui. Dulu kau terdorong rasa keadilanmu menolong Pangeran Hong-lik sehingga berani memasuki sarang Pek-lian-kau, tindakanmu itu tepat. Seandainya aku dihadapkan masalah serupa, aku akan berbuat demikian juga. Aku pun takkan bisa membiarkan orang-orang Pek-lian-kau seenaknya saja menculik dan menyembelih orang dengan dalih membangkitkan dinasti Beng."
"Terima kasih Ayah bisa memahami keadaanku. Bagaimanapun juga, aku pun terbebani untuk ikut menemukan Nona Sun."
Sebun Beng terkejut, "He, kau masih pengantin baru. Tugasmu adalah membahagiakan isterimu."
Dengan muka merah Wan Lui menyahut, "Membahagiakan isteri bukan di saat-saat pengantin baru saja, Ayah, tetapi juga sampai muka keriput dan rambut ubanan. Aku menduga, aksi orang-orang Pek-Iian-kau ini ada kaitannya dengan masalah lain yang sedang merisaukan Sri Baginda juga."
"Masalah apa, kalau aku boleh tahu?"
Secara singkat Wan Lui menceritakan hasil pembicaraan ernpat-rnatanya dengan Kaisar Kian-liong siang tadi. Di mana akhirnya Kaisar menugaskan Wan Lui untuk menyelidiki gejolak-gejolak di luar istana. Penyelidikan Wan Lui akan disamarkan seolah-olah mereka sedang berbulan madu.
Sebun Beng sebenarnya merasa berat hati. Ia mengingatkan puterinya, sebagaimana wanita-wanita lain yang memasuki babak baru kehidupannya, menikmati hari-harinya sebagai pengantin baru tanpa dibebani urusan berat lain. Sekarang ia malah mendengar Wan Lui akan mengajak isterinya melakukan perjalanan berbahaya, menyelusuri jejak musuh-musuh yang kejam.
Selagi Sebun Beng ragu-ragu, Wan Lui berkata, "Ayah, aku sudah membicarakan rencana ini dengan Adik Hong-eng sore Ini, dan dia setuju. Malah kegirangan."
Sebun Beng merasa tidak mampu untuk mencegah lagi, "Hati-hatilah. Orang-orang Pek-lian-kau ahli dalam ilmu gaib, mereka juga bisa menyerang dengan guna-guna."
"Harap ayah menenangkan diri. Bukannya aku menyombongkan diri, tetapi aku perlu menyelundup masuk dan mengacaukan sekumpulan besar orang Pek-lian-kau di kuil Hong-kak-si di Hong-yang, beberapa tahun yang lalu. Apalagi belakangan ini, setelah aku mendalami agamaku, aku tambah yakin bahwa segala macam Thian-peng (serdadu langit) atau Thian-ciang (panglima langit) atau Thian-kun (pasukan langit) yang diandal-andalkan orang-orang Pek-lian-kau itu sebenarnya di bawah kekuasaan kita, manusia. Manusia adalah mahluk kesayangan Sang Pencipta."
Sebun Beng cuma mengangguk-angguk. Karena puterinya mengikuti agama suaminya, sedikit banyak dia tahu juga tentang ajaran Thai-cin-kau. Cuma sampai saat itu pemahaman Sebun Beng baru sampai ada anggapan bahwa ajaran itu cukup baik untuk membawa manusia ke dalam tingkah-laku yang terpuji, tidak ada bedanya dengan ajaran-ajaran lain. Namun menghadapi masalah orang-orang Pek-lian-kau yang sering menggunakan roh-roh orang mati, Sebun Beng jadi merasa perlu lebih mendalami tentang Thai-cin-kau.
"Agaknya aku perlu mendalami ajaran Thai- cin-kau juga."
"Apakah ayah sudah membaca buku yang aku berikan dulu?"
"Baru aku baca beberapa halaman, terus berhenti."
"Kenapa?"
"Aku anggap isinya sama saja dengan buku-buku agama yang lain, kalau pun berbeda hanyalah sedikit. Intinya kan hanya bahwa manusia itu harus hidup dengan baik, jangan suka merugikan orang lain, saling menyayangi... cuma begitu bukan?"
Tak terduga Wan Lui menggeleng. "Itu belum sampai ke intinya. Intinya ialah Pemulihan manusia ke kedudukannya yang semula sebagai wakil Sang Pencipta untuk memerintah di atas bumi. Memerintah mulai dari unsur-unsur alam sampai hewan-hewan dan juga mahluk-mahluk roh."
"Lho, omonganmu kok seperti Liu Yok? Atau kalian berdua sudah berkomplot untuk membujuk aku masuk Agama Thai-cin-kau?"
Wan Lui tertawa mendengar kelakar itu. "Memang keyakinanku dan keyakinan Saudara Liu itu pada dasarnya sama. Tapi kalau kutanya dia apakah agamanya Thai-cin-kau, dia cuma menjawab tidak tahu. Dia hanya bilang bahwa dia diajari oleh seorang tua pembuat arang yang dipanggilnya Paman Go."
"Apakah semua manusia bisa berkuasa atas mahluk-mahluk roh, termasuk aku?"
"Hanya yang sudah pulih kedudukan aselinya."
"Caranya?"
"Mengalami penciptaan ulang."
"Astaga, ruwet benar agamamu."
"Tidak, justru sangat sederhana. Ayah baca sajalah buku yang aku berikan itu."
"Aku belum melihat kelebihannya dari buku-buku lain. Buku itu mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi buku lain juga."
"Baca terus saja. Kalau perlu berulang-ulang."
"Selain ajaran-ajaran baik, apa isinya yang lain?"
"Puisi, peraturan ibadah, riwayat beberapa raja dan orang tertentu...."
"Lha bagian mana yang ada ilmu penangkal sihirnya?"
Wan Lui garuk-garuk kepala karena didesak seperti itu. Dia sendiri bisa mengerti kalau membaca kitab itu, namun belum menemukan ungkapan yang cukup pas yang bisa dipahami mertuanya. Bukan karena mertuanya tolol, namun karena cara pikir kepercayaan Thai-cin-kau cukup aneh. Tiba-tiba Wan Lui menemukan cara,
"Ayah ajak saja Saudara Liu Yok. Dia itu hidup mempraktekkan ajaran kitab-kitab itu, bahkan lebih bersungguh-sungguh dari aku. Ayah bawa juga bukunya untuk dibaca-baca sepanjang jalan. Dengan membaca kitab dan memperhatikan gerak-gerik Liu Yok, ayah akan mendapat pengertian yang lebih mendalam daripada kalau diajari secara biasa."
Sekarang gantian Sebun Beng yang menggaruk-garuk kepala sambil tertawa, "Baiklah. Tak kuduga bahwa aku dalam umur setua ini harus mulai belajar lagi."
Mertua dan menantu itu sama-sama geli. Kemudian karena hari sudah larut malam, mereka meninggalkan ruang itu dan tidur. Keesokan harinya, bahkan selagi langit belum terang benar, keluarga Sebun sudah menampakkan kesibukan. Dua ekor kuda tegar milik keluarga itu, sudah dibersihkan dan dipasangi pelana oleh para pegawai Keluarga Sebun. Itulah kuda-kuda yang akan ditunggangi oleh Wan Lui dan Sebun Hong-eng dalam perjalanan mereka.
Suami isteri muda itu pun sudah siap. Mereka berpakaian ringkas, pakaian perjalanan, dan membawa bungkusan bekal seperlunya, dan tentu saja tidak ketinggalan adalah senjata-senjata mereka. Wan Lui membawa pedang, sedangkan isteri-nya membawa sepasang senjata yang dilatihnya sejak kecil. Tongkat besi seperti kepunyaan Ayahnya yang dimainkan dengan tangan kanan, dan pedang seperti kepunyaan ibunya yang dimainkan dengan tangan kiri.
Dandanan rambut Sebun Hong-eng bukan lagi dandanan gadis-gadis, melainkan dandanan rambut seorang Nyonya-muda, rambutnya disanggul dan dia kelihatan cantik. Pakaiannya dilengkapi mantel biru di belakang pundak, senjata-senjatanya dibawa di pelana kuda.
Wan Lui tentu saja tidak mengenakan seragamnya sebagai Panglima. Pakaiannya ringkas saja, ditambah rompi bulu dan topi bulu, dandanan khas orang-orang Liau-tong dan Wan Lui memang berasal dari situ.
Di depan pintu rumah Keluarga Sebun pasangan itu diantar seluruh keluarga. Karena orang-orang semuanya, kecuali Sebun Beng, tahunya perjalanan itu adalah perjalanan bulan madu, maka semuanya menganggap perjalanan itu akan penuh kegembiraan. Setelah berpamitan dengan semuanya, berangkatlah mereka.
Belum jauh dari rumah, Wan Lui berkata kepada isterinya, "Adik Eng, kita ke gedung gubernuran dulu. Bagaimanapun juga kita harus memberitahukan kepergian kita kepada Kaisar dan Gubernur."
"Apakah Gubernur juga perlu diberitahu misi rahasia ini?"
"Rasanya tidak apa-apa, karena ini bersangkut-paut dengankeselamatan puterinya. Asal dia juga diberitahu, makin bocor berita ini, makin kecil kemungkinan puterinya diselamatkan, jadi dia juga harus ikut menjaga rahasia."
Di depan Gubernuran, para penjaga menyambut dengan hormat dan membawakan kuda suami isteri itu, sementara suami isteri itu melangkah masuk. Tidak lama kemudian nampak Gubernur Sun tergopoh-gopoh menyambut keluar, wajahnya tetap disaput kesedihan, namun ia tetap berusaha sebaik mungkin menyambut panglima yang menjadi "orang dekaf'nya Kaisar Kian- liong itu.
"Silakan duduk di dalam, Tuan dan Nyonya Wan..."
"Terima kasih, Tuan Sun. Kedatangan kami hanya untuk berpamit dengan Sri Baginda."
"Sayang sekali Tuan Wan datang terlambat. Tadi pagi, ketika kami sudah menyiapkan hidangan pagi untuk Sri Baginda, tahu-tahu kamarnya sudah kosong. Sri Baginda sudah pergi diam-diam dengan kedua pengawalnya. Kami jadi takut, barangkali pelayanan kami tidak berkenan di hati Sri Baginda."
Wan Lui menyeringai dan menghibur, "Jangan takut, Tuan Sun, memang wataknya seperti itu. Terus terang saja, masih agak kekanak-kanakan, kadang-kadang terlalu membawakan maunya sendiri, meskipun kadang-kadang bisa juga bersikap bijaksana. Jangan kuatir, aku kenal benar tabiatnya. Dia pergi pasti bukan karena pelayanan Tuan Sun kurang memuaskan, cuma dia barangkali menghindari acara yang bertele-tele. Memang begitu sifatnya."
Kemudian Wan Lui secara singkat membeberkan maksud perjalanannya, dengan pesan bahwa terjaga rapatnya rahasia itu bersangkut-paut dengan keselamatan puterinya. Gubernur Sun pun mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Wan Lui dan isterinya pun berpamitan. Setelah menunggangi kudanya dan agak jauh dari gedung gubernuran, barulah Wan Lui berani menggerutu, "Celaka negeri ini, punya seorang raja yang doyan keluyuran dan tabiatnya masih sering kekanak-kanakan."
Sebun Hong-eng tertawa dan menyahut, "Dan panglimanya yang selagi banyak urusan di istana malahan pergi berbulan-madu."
Wan Lui pun tertawa. Setelah pintu kota dilewati, bertanyalah Sebun Hong-eng, "Kita ke mana, Kakak Lui?"
"Ke Kelenteng Hong-kak-si di Hong-yang. Meskipun kabarnya sudah beberapa tahun tempat itu tidak lagi digunakan untuk berkumpulnya orang-orang Pek-lian-kau, namun aku berharap di sana bisa menemukan petunjuk-petunjuk penting."
"Tempat yang pernah Kakak ceritakan kepadaku, sering untuk menyembelih manusia itu?" tanya Sebun Hong-eng sambil bergidik.
"Benar, meskipun belakangan ini mereka memindahkan upacaranya entah ke mana."
"Apakah Nona Su juga akan disembelih dan dikorbankan?"
"Ya, kalau kita terlambat menolongnya." Kemudian yang terdengar hanyalah derap kaki kuda sepasang kuda yang berderap dengan kecepatan sedang. Dari belakang terlihat mantel biru di pundak Sebun Hong-eng yang melambai-lambai.
Sebun Beng yang akan menyusul memasuki pengembaraan beberapa hari kemudian, tidak bisa pergi dengan begitu saja. Ia punya keluarga, punya rumah dan Pegawai-pegawainya, dan segala sesuatunya harus diatur sebelum ditinggalkannya. Bagaimana pun, ada sedikit kekuatiran bahwa orang-orang Pek-lian-kau akan menyerang keluarganya selagi ditinggalkannya.
Untunglah keluarganya yang dari Se-shia tidak akan buru-buru meninggalkan Lok-yang, melainkan akan tinggal lebih lama di kota Lok-yang. Nenek Sebun tentu saja lebih senang tinggal di kota Lok-yang karena di kota itu semua orang menghormatinya sebagai “Ibunya Tuan besar Sebun Beng" dan "neneknya Nyonya Jenderal Wan Lui", daripada tinggal di puncak Pek-him-nia yang sepi.
Begitu juga Sebun Giok akan bi$a menjadi teman berbincang dan berlatih bagi Auyang Siau-hong, isteri Sebun Beng. Masih ada lagi Bwe Gin-liong yang senang sekali karena akan hidup di kota besar, dipayungi nama besar pamannya, dan mungkin akan mendapat banyak teman-teman pesta yang menyenangkan. Juga Ciok Kim-he yang sudah akrab dengan anak perempuan Soh Piao yang sebaya, namanya Soh Ling.
Selain itu, di Lok-yang ada banyak sahabat Sebun Beng yang tanpa diminta pasti akan ikut membantu dan mengawasi Keluarga Sebun. Adapun tentang diri Auyang Hou, setelah Sebun Beng merundingkan dengan Sebun Giok, maka diambillah keputusan bahwa Auyang Hou akan diajak.
"Apakah anak itu tidak akan merepotkan Kakak selama dalam perjalanan nanti?" tanya Sebun Giok. Ia tahu benar watak anak keduanya itu, jangan-jangan akan membuat jengkel Pamannya di tengah jalan nanti?
Tetapi agaknya Sebun Beng sudah bertekad dengan sebuah rencananya. Katanya, "Adik Giok, aku lihat A-hou itu sebenarnya punya semangat yang besar, hanya tidak ada yang mengarahkan sehingga bisa membayangkan diri sendiri. Barangkali, sambil melakukan perjalanan dengannya, aku bisa belajar menyelami jiwanya dan mengarahkannya."
"Dia pasti akan menjengkelkan Kakak."
Tanpa basa-basi Sebun Beng menjawab, "Itu pasti. Dan aku harus berterus terang mulai sekarang, Adik Giok, mungkin aku akan memarahi dan menghukum anakmu itu beberapa kali sepanjang perjalanan. Mungkin aku juga akan membiarkannya mengalami beberapa peristiwa pahit. Tetapi satu hal yang aku ingin kau mengetahuinya, Adik Giok, aku menyayangi dia. Aku berharap pengalamannya sepanjang perjalanan akan membentuk wataknya ke arah yang benar. Karena itu, aku minta kerelaanmu untuk membiarkan dia mengikuti perjalananku."
Sebun Giok menunduk terharu. Terasa benar betapa besar kasih sayang Kakak tirinya itu kepadanya dan kepada anak-anaknya. Sebun Giok merasa, bahwa selama ini ia memang kurang memperhatikan anak-anaknya, sebab sebagian besar waktunya hanya habis untuk meratap dan menyesali diri. Maka anaknya pun tumbuh tanpa pimpinan, mencari diri sendiri yang serba kabur dan tidak pasti. Auyang Hou menjadi seorang yang berambisi namun tidak tepat menilai diri sendiri, penilaian yang bisa menjerumuskannya ke dalam malapetaka.
Bwe Gin-liong yang mencari perhatian di antara teman-temannya, dan terlanjur kehilangan semangat untuk bekerja keras, maunya apa-apa sudah tersedia di depan hidungnya. Ciok Kim-he, seorang gadis yang sedang mekar namun murung dan dengan cemas menatap masa depannya, kadang-kadang dengan iri ia melihat teman-teman sebayanya yang dianggapnya lebih berbahagia.
Kini Sebun Giok mendengar kesanggupan kakaknya untuk ikut mendidik Auyang Hou langsung dilapangan kehidupan, ia pun lega sekali. Itu pasti akan sangat berguna bagi masa depan Auyang Hou. Belum reda luapan rasa bahagia Sebun Giok, ia telah mendengar Sebung Beng berkata pula,
"Aku juga akan mengajak A-yok."
"A-yok?" Sebun Giok mengira kupingnya salah dengar.
"Ya, Liu Yok. Kenapa?"
"Kakak Beng, mengajak A-hou seorang saja mungkin Kakak akan sering kerepotan karena sikapnya yang sering tidak terkendali, masihkah Kakak akan menambah kerepotan dengan membawa A-yok yang.... tidak bisa berjalan cepat karena keadaan kakinya, dan sama sekali tidak mampu membela diri jika diserang orang?"
Sebun Beng tersenyum, "Adik Giok, agaknya kau kelewat meremehkan nilai anak tertuamu itu, meskipun aku yakin bahwa kau tetap menyayanginya. Liu Yok sama sekali bukan manusia tidak berguna seperti sangkaanmu, Adik Giok."
"Aku juga mengerti kalau dia itu orang yang sabar, lembut hati dan tahan menderita. Tetapi modal itu saja apakah cukup untuk menghadapi orang-orang Pek-lian-kau yang ganas dan dibantu setan-setan?"
"Ya, cukup. Karena jiwanya yang bersih itulah maka Liu Yok dianugerahi sesuatu yang tak tertaklukkan oleh segala macam ilmu setannya kaum Pek-lian-kau. Jadi kalau aku mengajaknya, bukan dia yang membutuhkan aku, melainkan akulah yang membutuhkan dia. Ini terus terang saja."
Sebun Giok termangu-mangu mendengarnya, masih bimbang. Tidakkah kakak tirinya itu hanya sedang mengangkat-angkat Liu Yok untuk sekedar menggembirakan hatinya sebagai ibunya Liu Yok?
Tetapi agaknya Sang Kakak Tiri bersungguh-sungguh, "Adik Giok, semalaman aku berbicara dengan Wan Lui, dan kami berdua menemukan banyak sekali kelebihan Liu Yok. Kelebihan itu tidak harus keunggulan dalam berkelahi. Kita sudah menyaksikan dalam perjamuan pernikahan yang lalu bahwa Liu Yok bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat."
"Mahluk halus?" tanya Sebun Giok sambil mengusap tengkuknya yang merinding.
Sebun Beng tertawa, "Entahlah apa namanya. Yang terang, Lui Yok akan sangat membantu aku dalam menghadapi orang-orang Pek-lian-kau."
"Terserahlah kepada Kakak."
Demikianlah, Sebun Beng lalu memberitahukan rencana kepergiannya itu kepada seisi rumah. Mula-mula Auyang Hou gembira sekali ketika mendengar bahwa ia akan diajak mengembara. Inilah kesempatan untuk membuat kemasyhuran nama seperti yang sudah lama dicita-citakannya. Namun dia menjadi agak kecewa ketika mendengar kakaknya Liu Yok juga akan diajak. Dia tidak bisa mengerti Pamannya, buat apa kakaknya yang "tidak bisa apa-apa" itu diajak? Apakah tidak akan memalukan saja? Namun karena niat sang Paman agaknya sudah tidak dapat diubah, terpaksa Auyang Hou menerimanya juga. Tidak apalah Liu Yok ikut, hitung-hitung sebagai "punakawan."
Pada hari yang ditetapkan, berangkatlah mereka meninggalkan kota Lok-yang. Mereka tidak menunggang kuda, melainkan berjalan kaki. Keluarga Sebun di Lok-yang hanya mempunyai dua ekor kuda, dan kedua-duanya sudah dibawa oleh Wan Lui dan Sebun Hong- beng.
Begitulah, mereka melangkah di bawah matahari pagi meninggalkan Lok-yang. Sehari sebelumnya, Auyang Hou sudah membeli sebuah caping rotan, karena menurutnya itulah "dandanan wajib" seorang pendekar pengembara. Dan kini ia melangkah tegap di samping Pamannya sambil menjijing pedangnya. Menurut perasannya, penampilannya sudah cukup mengesankan sebagai pendekar.
Liu Yok yang langkahnya tidak secepat yang lainnya, tentu saja agak ketinggalan di belakang, terpincang-pincang menyeret kakinya. Auyang Hou diam-diam mengharap sang Kakak itu akan semakin ketinggalan dan semakin ketinggalan dan syukur-syukur kalau terpisah dan tidak usah lagi berjalan bersama-sama. la malu berjalan bersama Liu Yok.
Ia menoleh ke belakang, melihat Liu Yok yang sudah ketinggalan belasan langkah, lalu dia pun mengusulkan kepada Pamannya. "Paman, bagaimana kalau kita berjalan lebih cepat sedikit?"
Sebun Beng menjawab, "Buat apa terburu-buru? Hari masih pagi."
Auyang Hou berdalih, "Kalau kita bisa mencapai sebuah desa atau tempat menginap lebih cepat, tentu kita bisa punya waktu istirahat lebih lama sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya."
"Kau lelah?"
"Aku? Lelah? Tidak, Paman. Aku sanggup berjalan sepuluh ribu li lagi. Yang aku kasihani adalah Kakak Yok, dia itu dan kakinya..."
Sebun Beng sebenarnya sudah tahu, bahwa niat Auyang Hou yang sebenarnya adalah meninggalkan Liu Yok sama sekali, dan omong-kosonglah perkataannya tentang kasihan tadi. Diam-diam dia membatin,
"Mulai hari ini aku akan mendidikmu untuk belajar melihat kelebihan orang lain, Nak. Tanpa belajar menilai diri sendiri dan orang lain secara jujur, kau akan cepat celaka. Bahkan pendekar-pendekar ulung pun harus pintar menaksir perbandingan kekuatan antara diri sendiri dan musuh, kalau tidak ingin cepat mampus..."