X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 19 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 19

Karya : Stevanus S P

Sembarang orang bisa bermain jailangkung, tapi tidak sembarang orang berhasil mempelajari ilmu Tiat Beng Hou ini. Kalau kurang beruntung, bukannya berhasil mendapatkan ilmu, malah bisa gila atau mati secara menyeramkan, ada pula yang seumur hidupnya terbelenggu penyakit aneh yang tidak bisa diobati. Karena itulah orang seperti Tiat Beng Hou jadi amat dihormati di kalangan Pek-lian-kau. Sorak-sorai orang Pek-lian-kau mengiringi terbangnya boneka-boneka iblis itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Di pihak tentara kerajaan, Kwa Cin Beng sendiri yang memimpin untuk mendaki dari berhasil dipukul mundur dan dikumpulkan ke atas bukit dalam keadaan terkepung. Biarpun pertahanan bersama, tapi Kwa Cin Beng yakin pasukannya akan berhasil menumpas mereka.

"Serbu ke atas! Yang membawa bedil jalan di depan!" aba-abanya dengan semangat berkobar. Pasukannyapun sama bersemangatnya mendaki lereng itu, juga dari segala arah. Obor- obor diangkat tinggi-tinggi untuk menerangi keadaan.

Namun pasukan itu terkejut ketika angin keras dan dingin menerpa mereka secara mendadak, membawa pasir terbang yang amat mengganggu mata mereka, banyak obor yang padam. Sementara kabut hitam yang mengerikan tiba-tiba muncul begitu rendah, membuat obor-obor yang menyala pun jadi nampak berkelap-kelip sekecil kunang-kunang saja.

Untunglah, dalam keadaan macam itu Kwa Cin Beng sudah pernah mendapat petunjuk Wan Lui. Sambil membelakangi arah angin supaya matanya tidak kemasukan pasir, dia berteriak, "Lemparkan barang-barang najis itu!"

Para komandan regu segera ingat "bekal" mereka yang tidak sedap itu. Segera mereka buka bungkusan-bungkusan itu, dan dilempar-Iemparkan ke asal angin. Segera angin dan mega hitam yang tidak wajar itu segera menyingkir entah kemana. Bintang-bintang di langit segera kelihatan lagi, angin malam yang wajar kembali terasa lembut seperti semula.

"Bagus!" seru Kwa Cin Beng yang begitu bernafsu untuk menang, sebab ia sudah dijanjikan oleh "Lui Cam-ciang”, kalau berhasil menyelamatkan Pangeran Hong Lik dan menumpas Pek-lian-kau maka jasanya akan dilaporkan langsung kepada Kaisar. "Kita tidak perlu takut kepada ilmu silu man itu, kita sudah tahu cara melawannya! Ayo maju!"

Seluruh pasukannya menjadi besar hati. Obor-obor dinyalakan kembali, dan pasukan itu kembali mendaki ke arah kuil Hong-kak-si. Di atas lereng, tokoh-tokoh Pek-lian-kau baik yang Pak-cong maupun Lam-cong sama-sama kaget melihat serangan gaib mereka dapat diatasi begitu cepat.

Kini mereka melihat betapa obor-obor pasukan Kerajaan menyala kembali bagaikan ribuan kunang-kunang, dan jalur-jalur pasukan kembali merambat naik dari segala arah. Maka sadarlah orang-orang Pek-lian-kau itu bahwa pihak mereka tidak dapat terlalu menyandarkan diri kepada ilmu-ilmu gaib mereka. Pasukan pemerintah sedikit banyak sudah mengetahui cara memunahkan ilmu hitam itu.

Sementara itu, pasukan kerajaan terus maju ke atas. Tiba-tiba di hadapan pasukan kerajaan itu kembali muncul gerakan angin menggemuruh. Entah darimana munculnya, tahu-tahu muncul sebuah pasukan berkuda orang-orang berbaju kuning yang seolah-olah terbang menunggangi angin. Penunggang-penunggang kuda itu semuanya berwajah kaku, nampak seperti memakai topeng kertas yang sembarangan saja dilukisi gambar mata, hidung dan mulut. Tapi serbuan mereka ganas dan secepat angin.

Di pihak tentara kerajaan, prajurit-prajurit yang bersenjata senapan dan panah segera menempatkan diri di barisan terdepan, lalu mulai mengincar penyerbu penyerbu berkuda itu. Begitu aba-aba diteriakkan, hujan panah dan desing peluru pun berhamburan menyambut ke arah penunggang kuda itu.

Namun para penembak dan pemanah itu melongo kaget, ketika melihat betapa peluru dan panah-panah mereka banyak yang kena, tapi para penyerbu itu tidak ada yang roboh, melainkan terus maju dengan lurus. Para prajurit anak-buah Kwa Cin Beng mulai gentar. Apakah mereka menghadapi pasukan yang bertubuh kebal, baik penunggang kudanya maupun kuda tunggangannya?

Ketika penyerbu-penyerbu itu sudah lebih dekat lagi, pelempar-pelempar lembing dari pihak tentara kerajaan mulai beraksi. Namun mereka pun terperanjat. Lembing lembing mereka sama gagalnya dengan serangan sebelumnya. Beberapa penyerbu berbaju kuning itu tubuhnya tertancap lembing, tertancap dalam di bagian yang mematikan, namun tidak mengeluarkan darah setetespun dan terus maju semakin dekat.

Semangat tempur Kwa Cin Beng yang menyala-nyala, kini telah berubah menjadi kebingungan. Nyaris ia meneriakkan aba-aba untuk mundur dulu, sebab bagaimana mungkin pasukannya yang tidak kebal harus menghadapi pasukan berkuda yang tidak bisa mati ini?

Di saat kebingungan itulah tiba-tiba wan Lui muncul di sampingnya, masih memakai baju Pek-lian-kau. Teriak Wan Lui, "Cong-peng, suruh celupkan lembing atau panah lebih dulu ke darah hewan hitam, baru untuk menyerang!"

Banyak para prajurit yang belum mengenal Wan Lui. Namun kata pepatah, "Bagi orang yang hampir tenggelam, sehelai jerami pun akan dipeganginya erat-erat". Begitu pula anjuran Wan Lui segera disambut. Tergese gesa para prajurit membuka bumbung bumbung mereka, mencelup ujung panat atau lembing mereka, laiu melontarkannya ke arah musuh.

Ketika itu penyerbu-penyerbu aneh berbaju kuning itu sudah semakin dekat, beberapa langkah lagi pasti akan mencapai para prajurit kerajaan. Namun hujan panah dan lembing yang sudah dicelup darah menyambut "mereka" Dan penyerbu berkuda itu kini bergelimpangan jatuh. Roh-roh yang menghuni jasad-jasad buatan itupun beterbangan pergi ketika bersentuhan dengan darah, unsur kehidupan yang sebenarnya. Maka jasad yang ditinggalkan pun pulih menjadi kuda-kudaan jerami dan orang-orangan kertas.

Keberhasilan itu membesarkan kembali semangat Kwa Cin Beng dan pasukannya. na mun dalam semangatnya, Kwa Cin Beng sempat bertanya kepada Wan Lui, "Bagaimana dengan Putera Mahkota?"

"Sudah di tempat aman," sahut Wan Lui. "Yang penting sekarang adalah menumpas pengacau-pengacau ini. Mereka membahayakan orang banyak dengan cara hidup mereka yang sesat, tak segan menyembelih manusia sebagai korban dalam praktek-praktek ilmu hitam mereka!"

"Baik. Pasukan maju!"

Sementara itu para pemimpin Pek-lian-kau semakin kaget melihat betapa obor-obor tentara kerajaan semakin naik juga ke arah kuil Hong-kak-si. Suatu tanda bahwa tentara kerajaan itu tidak terbendung oleh Thian-peng (prajurit langit) yang mereka undang. Kepercayaan orang-orang Pek-lian-kau kepada ilmu-ilmu gaib itupun merosot banyak.

Perpecahan antara Pak-cong dan Lam-cong sejenak dilupakan, mereka sama-sama menghadapi bahaya dari tentara kera-jaan yang ternyata tahu cara menangkal ilmu gaib. Buru-buru Tiat Beng Hou menuju ke lereng utara untuk menemui Ngo-yap Cin-jin dan berkata, "Cin-jin, agaknya kita harus menggabungkan kekuatan untpk menembus kepungan musuh! Kalau tidak, kita akan dibantai di sini!"

Ngo-yap Cin-jin tersenyum dingin, kata-katanya malah bernada menyalahkan, "Tahukah kau, Hiangcu kenapa anjing-anjing Manchu itu sampai tahu cara melawan ilmu sakti kita? Itulah gara-gara cabang-cabang di Lam-cong terlalu longgar membuka pintu untuk menerima anggota baru, tentu saja gampang kesusupan anjing-anjing Manchu yang bermaksud jahat. Kini ilmu gaib kita sudah bukan rahasia lagi bagi mereka, mereka bisa memunahkannya!"

Keruan Tiat Beng Hou jadi mendongkol. Diajak berunding mengatasi situasi gawat, malah Ngo-yap Cin-jin menggunakan kesempatan itu untuk "mengadili"nya. Namun demi keselamatan anak buahnya, Tiat Beng Hou terpaksa bersikap mengalah, "Yah, setidaknya kami jadi bisa mengetahui kekeliruan ini untuk diperbaiki di masa datang. Sekarang bagaimana rencana kita menghadapi anjing-anjing Manchu itu Apakah kita hanya akan bertengkar saja?"

"Setelah Cu-peng Cin-jin tiada, maka akulah sekarang pimpinan seluruh kaum. Aku sudah ditunjuk sendiri oleh Sri Biginda untuk memimpin pek-liankau, menyalurkan perintah-perintah, dan berhak menghukum anggota yang menyimpang. Waktu itu roh Sri Baginda telah menampakkan diri dihadapanku berdiri di tengah gumpalan asap putih, mengambang di udara. Anggun sekali, dan aku..."

"Ya...ya. .aku percaya..."’ kata Tiat Beng Hou tak sabar dan memotong ucapan Ngo-yap Cin-jin yang kalau dibiarkan tentu bakal mengoceh panjang lebar. "Sekarang bagaimana menghadapi musuh?"

Ngo-yap Cin-jin tertawa dingin, "Bagi kami kaum Pak-cong yang direstui Sri Baginda dalam perjuangan kami, musuh itu soal kecil. Tapi kalau kalian dari Lam-cong mau mengakuiku sebagai pemimpin, kami akan menolong kalian. Dan kelak juga memohonkan ampun atas! penyelewengan kalian kepada Sri Baginda..."

"Ya, ya!" Tiat Beng Hou semakin tidak sabar, la mengakui hanya untuk menyenangkan hati si "Put-to-ong" ini. "Dan musuh semakin dekat."

"Kalau menurutmu, bagaimana?" setelah bangga, kini Ngo-yap Cin-jin malah jadi kebingungan.

"Cin-jin, menurut pandanganku..."

"Tiat Beng Hou kalau kau mengakui aku sebagai pemimpin, kau juga harus mengubah panggilanmu. Panggil aku Kau-cu (kepala agama)."

Hampir saja Tiat Beng Hou membatalkan kerjasama dengan Pak-cong ketika mendengar tuntutan Ngo-yap Cin-jin yang terlalu tinggi itu. Kedudukan Kau-cu dalam Pek-lian-kau sudah lama dibiarkan kosong karena cabang-cabang Pak-cong maupun Lam-cong ngotot mencalonkan orangnya sendiri-sendiri, tidak ada yang mau mengalah, akibatnya lalu dibiarkan kosong saja.

Kini, selagi dirinya menawarkan kerjasama menghadapi musuh, malahan Ngo-yap Cin-jin "pasang harga" karena dikiranya pihak Lam- cong amat butuh "pertolongan" Pak-cong. Namun demi Tiat Beng Hou melihat barisan obor yang sudah sampai ke pertengahan lereng, disertai kesadaran bahwa Pak-cong atau Lam-cong secara sendiri-sendiri tak mungkin melawan pasukan yang kuat itu, maka Tiat Beng Hou merasa tak ada halangannya untuk mengalah sebentar.

"Baik, Kau-cu..." akhirnya Tiat Beng Hou menunduk hormat sambil memanggil Ngo-yap Cin-jin dengan sebutan yang dikehendak inya.

Sementara dalam hatinya mengutuk tak keruan. "Ha-ha-ha...bagus...bagus, berarti mulai sekarang Pek-lian-kau sudah bersatu kembali, di bawah pimpinanku, dan harus melupakan permusuhan lama! Nah, Tiat Beng Hou, hulubalangku yang cerdas, sekarang bagaimana menghadapi keadaan ini?"

"Toh akhirnya aku juga yang harus berpikir. Memang tidak bisa kuharapkan keluarnya pikiran bermutu dari dalam kepala keledai yang suka kesurupan ini..." pikir Beng Hou dalam hatinya. Namun dimulutnya ia menjawab juga, "Kau-cu, musti membagi pasukannya untuk menyerang dari beberapa arah. Kekuatan pasukan mereka tentu terbagi, maka kalau kita kekuatan pasti bisa mendobrak lolos dari salah satu sisi kepungan ini. Kulihat musuh di sebelah utara paling sedikit obornya, tentu tempat itu yang paling lemah. Kalau kita terjang ke sana, paling besar harapannya untuk lolos..."

Dalam urusan siasat perang, tentu Ngo-yap Cin-jin yang ketolol-tololan itu tidak bisa dibandingkan para pemimpin Lam-cong yang berhubungan dekat dengan Thian-te-hwe. Sedang Thian-te-hwe merupakan suatu organisasi yang rapi dan mahir berbagai siasat perang maupun politik. Organisasi itu berpangkalan dipulau Taiwan dan menjadikannya negara tersendiri, punya armada kapal perang perang maupun niaga yang berlayar jauh. Armada kapal niaganya berdagang jauh melewati ujung semenanjung Malaka, terus ke selatan atau berbelok ke barat.

Dengan keuntungan dagangannya itu Thian-te-hwe sanggup membiayai gerakan bawah tanah di daratan Tiong-goan untuk merobohkan pemerintahan Manchu. Perjuangan gaya Thian- te-hwe inilah yang ingin ditiru Pek-lian-kau cabang Lam-cong. Memupuk kekuatan dengan cara yang masuk akal, bukan cuma tiap hari ber "teman" dengan arwah-arwah. Meskipun me reka juga mempelajari, ilmu gaib yang menjadi ciri khas Pek-lian-kau, namun semua tindakan dihitung menurut akal-senat, tidak ada tempat bagi "pesan gaib roh Sribaginda" segala.

Karena merasa usul Tiat Beng Hou cukup baik, Ngo-yap Cin-jin menyetujuinya. Begitulah, kedua cabang Pek-lian-kau yang habis bertikai itu kini bergabung dan menyerbu ke lereng utara. Seperti arus air dari bendungan jebol, mereka mengalir ke kaki bukit, tanpa obor, menggunakan gelapnya malam untuk selubung gerakan mereka.

Di kaki bukit, benturan terjadi antara orang-orang Pek-lian-kau dengan tentara kerajaan yang mengepung dari lereng utara itu. Antara pihak yang hendak lari dengan yang menghalangi. Terjadi pertempuran sengit. Lereng itu segera menjadi ribut dengan gemuruhnya teriakan-teriakan pembakar semangat dan sekian ribu senjata yang gemerincing berbenturan.

Karena tentara kerajaan dari Hong-yang itu maju dengan dipecah-pecah menjadi beberapa pasukan, sehingga masing-masing pasukan tidak terlalu besar jumlahnya, maka pasukan di kaki bukit utara itupun segera merasa berat menghadapi usaha kabur orang-orang Pek-lian-kau. Hampir-hampir pasukan di situ membiarkan rombongan Pek-lian-kau itu lolos. Namun si komandannya memerintah agar bertahan, biarpun harus sambil mundur setapak demi setapak.

Sementara itu pasukan-pasukan yang lain telah melintasi lereng-lereng untuk,membantu rekan-rekan di bagian utara yang tengah terdesak. Obor-obor mereka terlihat bergerak di lereng, seperti kunang-kunang berderet memanjang.

Tetapi Kwa Cin Beng sebagai komandan utama, punya pikiran lain. Lereng-lereng terjal itu kurang menguntungkan bagi prajurit-prajuritnya untuk melakukan pengepungan yang betul-betul rapat. Banyak lekuk-lekuk dan relung-relung bukit yang bisa dimanfaatkan orang-orang Pek-lian-kau untuk bersembunyi atau melarikan diri dari kepungan.

Karena itulah Kwa Cin Beng berteriak, "Rencana Kedua!" Dalam pasukan itu ada prajurit-prajurit jago lari cepat yang tugasnya khusus menyampaikan perintah panglima kepada komandan-komandan pasukan bawahan. Kalau dalam tubuh manusia, prajurit-prajurit pembawa perintah ini sama dengan jaringan syaraf yang menyampaikan perintah otak ke anggota-anggota tubuh. Dengan demikian, pasukan itu akan bergerak dalam keselarasan, seperti tubuh yang sehat, bukannya tiap pasukan bertindak semaunya sendiri.

Pasukan yang tengah membendung usaha kaburnya orang-orang Pek-lian-kau di kaki lereng utara itu, dipimpin seorang perwira yang bersenjata sepasang pedang. Perwira itu bertempur gigih, prajurit-prajuritnya juga, tapi memang berat kalau pasukannya sendirian harus menghadang orang Pek-lian-kau sendirian. Sekedar untuk mengurangi beban sambil menunggu tibanya pasukan-pasukan lain yang membantu, komandan bersenjata sepasang pedang itu memerintahkan pasukannya agar bertahan saja. Pokoknya pasukan tetap utuh, terdesak sedikit tidak apa-apa.

Memang benar orang-orang Pek-lian-kau telah kelelahan setelah hampir seharian penuh mereka baku hantam dengan sesamanya, bahkan juga berkurang banyak jumlahnya. Namun dalam usaha bersama untuk menerobos pergi itu, kini mereka bersemangat sekali menghadapi "anjing-anjing Manchu". Teriakan-teriakan yang membangkitkan kebencian terhadap orang Manchu dan kebangkitan dinasti Beng menjadi semacam "obat kuat" bagi mereka untuk terus menerjang dengan ganas dari atas lereng.

Empat tokoh Pek-lian-kau yang mengamuk menjadi ujung-ujung tombak yang meperberat keadaan pasukan kerajaan itu. Cu sian Cin-jin yang dengan tangan kanan memegang cambuk dan tangan kiri memegang pedang pendek yang sudah berlumuran darah korban-kobannya. Ngo-yap Cin-jin yang dengan tongkatnya yang besar telah menyeruduk dan mengamuk seperti seekor babi hutan raksasa. Tiat Beng Hou dengan cakar besi yang disambung pada lengan kanannya yang buntung, adalah pengamuk yang paling hebat. Di samping Thio Yap dengan tom baknya yang berputar seganas prahara.

Sedang si "lengan panjang" Hoa Cek Gui tidak kelihatan bayangannya. Setelah ia dirobohkan Wan Lui di ruang penyimpanan Pangeran Hong Lik, entah bagaimana nasibnya tidak ada yang tahu. Tapi sehebat apapun amukan orang Pek-lian-kau mereka belum berhasil menembus penjagaan di kaki bukit itu. Memang pasukan itu terdesak sedikit demi sedikit, namun barisannya tetap rapat dan belum bisa dipukul pecah oleh pihak Pek-lian-kau.

Melihat kegigihan penghalang itu, orang orang Pek-lian-kau yang merasa terjepit itupun menjadi kalap. Itulah pertempuran dimana korban-korban kedua pihak jatuh dengan cepat. Bukan pertempuran mengulur-ngulur waktu, namun buat Pek-lian-kau ialah keinginan untuk secepatnya meninggalkan tempat sialan itu.

Pasukan kerajaan beberapa kali menggeser garis pertahanan sampai ke kaki Bukit. Waktu itulah seorang prajurit pembawa perintah menerobos ke dekat si komandan, dan menyampaikan perintah Kwa Cin Beng, "Panglima memerintahkan Rencana Kedua!"

Komandan itu mengerti, lalu memberi aba-aba pasukannya agar melakukan perubahan gerak. Prajurit-prajurit pemanah dan pelempar lembing yang tadinya dibarisan belakang, tiba-tiba-maju ke depan untuk melontarkan panah dan lembing mereka bagaikan hujan deras.

Karena pihak Pek-lian-kau memang tidak siap dalam pertempuran macam itu, maka tidak ada yang membawa perisai. Akibatnya banyak orang-orang mereka di bagian depan yang roboh oleh panah atau lembing. Apalagi malam gelap itu cuma diterangi obor tentara kerajaan yang remang-remang sehingga datangnya panah dan lembing lebih sukar dilihat.

Tokoh-tokoh Pek-lian-kau seperti Tiat Beng Hou dan lain-lainnya masih bisa menangkis hujan panah dan lembing itu dengan senjata yang diputar rapat, namun tidak sedikit anak buah mereka yang jadi korban. Pada saat orang-orang Pek-lian-kau tertahan gerak majunya, maka pasukan kerajaan dengan teratur membentuk barisan untuk menarik dari gelanggang. Pasukan itu seolah-olah terpukul mundur dan lari ke suatu jalan menuju utara, begitulah kesan yang diperoleh Ngo-yap Cinjin.

Ngo-yap Cinjin percaya, itulah berkat "bantuan gaib" Sri Baginda, maka dia kegirangan. Apalagi dia tengah senang-senangnya karena belum lama Tiat Beng Hou telah memanggilnya sebagai "Kau-cu" tadi. Maka sambil memutar-mutar tongkatnya di atas kepala, berserulah dia, "Kejar mereka! Demi sakit hati Sri Baginda!"

Orang-orang Pek-lian-kau dengan semangat yang sama menuruti perintah itu, mengejar tentara kerajaan. "Hidup Kerajaan Beng!"

"Hidup Pek-lian-kau!"

"Habiskan orang-orang Manchu!"

Ngo-yap Cinjin sendiri bukan hanya menyuruh, tapi juga maju paling depan sambil membakar semangat, "Maju terus, para pahlawan Kerajaan Beng!Maju terus! jangan sia- siakan detik-detik awal kebangkitan kerajaan kita! Sri Baginda dan para leluhur pasti akan merestui sampai tercapainya kemenangan!'

Lucunya, orang-orang Lam-cong yang sebelumnya sering mentertawakan omongan Ngo-yap Cinjin sebagai omong-kosong belaka, kini juga ikut-ikutan bersemangat mengejar tentara kerajaan. Entah karena mulai percaya, entah karena kebencian terhadap orang Manchu.

Pasukan kerajaan mundur terus secara teratur. Bagian belakang yang terdiri dari para pemanah dan pelempar lembing, sambil mundur teratur juga berusaha menahan kejaran orang-orang Pek-lian-kau dengan panah dan lembing mereka. Pasukan kerajaan tiba di sebuah simpang tiga. Jalan sebelah kiri nampaknya melewati ladang-ladang penduduk, lapang dan lurus, sedangkan cabang jalan yang kanan memasuki daerah perbukitan yang berhutan lebat. Jalan sebelah kanan jelas lebih cocok untuk penyelamatan diri pasukan yang sedang mundur, namun komandan pasukan malahan mengambil cabang jalan yang kiri.

Tiat Beng Hou melihat kejanggalan itu, dan mulai curiga. Maka ia berseru kepada anak buahnya sendiri, orang-orang Lam-cong, "Kita ambil yang kanan!"

Maka Tiat Beng Hou, Thio Yap dan orang-orang Lam-cong lainnya memisahkan diri dari barisan Pek-lian-kau untuk memasuki jalan sebelah kanan. Ngo-yap Cin-jin yang sedang bersemangat untuk menghancurkan pasukan kerajaan yang telah memasuki jalan sebelah kiri, kaget melihat tindakan Tiat Beng Hou dan orang-orangnya itu. la membentak,

"Tiat Beng Hou, kau lupa siapa sekarang yang menjadi Kau-cu, sehingga berani mengambil tindakan sendiri tanpa menunggu perintahku? Kita harus mengejar dan menumpas anjir,g-anjing Manchu itu, demi sakit hati dinasti leluhur kita!"

"Ah, kau kejar mereka sendiri saja..."sahut Tiat Beng Hou sambil tertawa. "Tidak lupa kami semua mengucapkan selamat berjuang dan selamat tinggal...." Habis berkata demikian, terus Tiat beng Hou mengajak anak buahnya pergi memisahkan diri.

Keruan Ngo-yap Cinjin jadi mencak-mencak karena merasa tertipu. "Pengecut! Kau sudah mangakuiku sebagai Kaucu, namun sekarang kau jilat ludahmu sendiri. Kau pasti kesurupan arwa; Co Hua Sun, Bu Sam Kui, Ang Seng Tiu, Siang Go Hi..." dan lain-lain nama yang semuanya adalah pengkhianat-pengkhianat yang dibenci pejuang kebangkitan dinasi Beng, begitulah Ngo-yap Cinjin mencaci maki dengan sengit.

Tapi Tiat Beng Hou dan rombongannya terus berlalu tanpa menggubris.

"Sekarang bagaimana, Kaucu?" orang-orang Pak-cong bertanya. Mereka sudah tidak lagi memanggil "Cinjin" melainkan Kaucu.

Kuatir kalau dirinya sampai dikira telat menerima "wangsit palsu", Ngo-yap Cinjin dengan ngotot berkata, "Kita kejar terus, Biarpun sekarang kita lebih sedikit dari musuh, tapi Sri Baginda merestui kita. Kita pasti menang!"

"Pasti menang! Pasti menang!" anak buahnya berusaha meyakinkan diri mereka sendiri untuk mengusir kebimbangan. Supaya lebih hebat, senjata-senjata pun diacung-acungkan ke langit. Di kejahuan, masih nampak obor tentara kerajaan berkelip-kelip.

"Kejar dan tumpas!" perintah Ngo-yap Cinjin sambil mengibaskan tongkatnya ke depan.

Sambil bersorak-sorai gemuruh mengguncang udara malam, orang-orang Pek-lian-kau cabang Pak-cong itupun mengejar musuh mereka. Ketika sudah dekat dengan yang dikejar, diluar dugaan tentara kerajaan kali ini tiba-tiba berbalik terus merangsek dalam bentuk barisan seperti lengkungan busur yang menjepit. Bahkan mereka juga melepaskan dua kembang-api-luncur ke langit, berturut-turut meluncur dengan menimbulkan dua garis api di langit gelap.

Sementara di jalan yang lebar itu pertempuran berlangsung sengit, lalu melebar kiri kanan memasuki ladang-ladang penduduk. Kedua pihak saling tebas penuh kemarahan, senjata-senjata mereka seolah-olah tidak puas-puasnya menghirup darah. Kebun. sayuran penduduk pun jadi korban. Yang bertebaran bukan lagi cuma lengan yang putus atau kepala yang terpenggal, tapi juga terong, timun, semangka, labu, kacang panjang juga ikut beterbangan di udara "memeriahkan" baku hantam itu.

Ngo-yap Cinjin bertempur seimbang melawan komandan pasukan yang bersenjata sepasang pedang itu. Ketika tadi menghadapi gabungan Pak-cong dan Lam-cong, memang pasukan ini kalah banyak dan harus mundur. Kini setelah Pak-cong berpisah dari Lam-cong, kekuatan Pak-cong sendirian tidak sanggup menahan gempuran balik pasukan itu. Pelan-pelan orang-orang Pek-lian-kau itu mulai terdesak.

Orang-orang Pek-lian-kau itu masih saja mengharapkan tibanya "restu Sri Baginda' tapi kok tidak datang-datang, sedang pasukan musuh sudah mendesak makin hebat? Beberapa orang Pek-lian-kau, sambii bertempur mereka juga berkaok-kaok memanggil "Sri Baginda" agar cepat-cepat datang bantuan gaibnya.

Melihat itu, komandan pasukan kerajaan tertawa dan mengejek, "Jangan ganggu Sri Baginda. Beliau pasti sedang tidur bersama Tan Wan Wan!"

Tan Wan Wan ialah seorang pelacur terkenal di jaman menjelang runtuhnya dinasti Beng. Pelacur tingkat tinggi, sebab pernah bergantian tidur seranjang dengan Kaisar Cong Ceng, si kepala pemberontak Li Cu Seng, dan akhirnya menjadi isteri si pengkhianat Bu Sam Kui. Banyak orang berpendapat bahwa perempuan inilah penyebab utama runtuhnya dinasti Beng.

Ejekan komandan pasukan itu membuat Ngo-yap Cinjin dan orang-orang Pak-cong lainnya gusar bukan main. Maklum, siapa yang rela kalau junjungan yang dipuja-puja itu diejek macam itu? Mereka tambah kalap bertempur, sambil terus berteriak-teriak. Namun kalau pasukan kalah banyak, kalah segar, kalah perlengkapan, bagaimana pun juga mereka mulai terdesak mundur sampai kembali ke simpang tiga yang semula.

Belum lama pertempuran berlangsung di simpang tiga itu, tiba-tiba terlihat dari cabang jalan sebelah kanan itu orang orang Lam-cong muncul kembali dan bergerak ke arah orang-orang Pak-cong yang sedang terdesak hebat itu. Dengan perasaan harap-harap cemas orang-orang Pak-cong menatap datangnya "kawan yang sekaligus lawan" itu. Penuh harap supaya orang-orang Lam-cong itu melupakan permusuhan dan membantu kesulitan mereka, sesama pengemban cita-cita kebangkitan Kerajaan Beng. Cemas, jangan-jangan orang-orang Lam-cong itu datang justru untuk "mengail di air keruh" di tengah kemalangan orang Pak-cong?

Akhirnya jelas sudah, percuma kiranya menaruh harapan kepada datangnya orang-orang Lam-cong itu. Bukannya mereka tidak mau membantu, tapi tidak mampu, sebab dibelakang mereka juga ada pasukan yang lain yang memburu dengan membentuk barisan lebar melengkung, seperti hendak menyerok ikan saja.

Kaum Pak-cong dan Lam-cong yang selama ini berselisih, akhirnya terpaksa "bersatu" juga di simpang tiga itu. Bersatu dalam kemarahan, keputus-asaan, dan siap-siap menghadapi kemusnahan yang ada di depan mata.

Saat itulah dari jalan yang dari arah kuil Hong-kak-si muncul lagi satu pasukan prajurit yang lebih besar dari dua pasukan sebelumnya, sebab inilah pasukan utama yang dipimpin langsung oleh Kwa Cin Beng yang menunggangi seekor kuda coklat dibawah kibaran benderanya. Ketika pasukan ini menyebar, maka semua jalan untuk lari bagi orang-orang Pek-lian-kau benar-benar tertutup. Terkunci di simpang tiga itu, dan terpaksa harus bertempur gigih.

"Jangan takut, saudara-saudara, kita siap gugur demi Kerajaan Beng!" teriakan itu berasal dari Ngo-yap Cinjin, yang tidak lagi berteriak tentang "restu Sri Baginda".

Namun kini orang-orang Pek-lian-kau itu sedang siap-siap saja menghadap Sri Baginda. Anggota-anggota fanatik segera menyambut seruan itu. Tapi anggota-anggota yang tidak fanatik mulai ragu-ragu tentang "restu Sri Baginda" itu. Tadinya mereka percaya, tapi setelah dipukul babak-belur dan sekarang dikepung rapat tanpa harapan lolos, manakah "restu Sri Baginda" yang digembar gemborkan Ngo-yap Cinjin itu?

Kesadaran yang terlambat. Pasukan pemerintah mengurung dan menggencet seperti sebuah gelang raksasa yang pelan-pelan menyempit. Apalagi dengan persenjataan yang lebih lengkap. Tapi tidak ringan juga tugas menumpas orang-orang yang terlanjur nekad itu. Seperti binatang-binatang buas yang menggila tanpa akal sehat lagi, hanya bisa ditalukkan dengan dibunuh.

"Hidup Kerajaan Beng!"

"Mampuskan semua anjing Manchu!"

"Berjuang sampai mati!"

Seruan-seruan macam itu masih saja terdengar berulang kali, setiap kali seperti minyak di siramkan ke api.

"Jangan tinggalkan satupun pemberontak-pemberontak ini!" teriakan Kwa Cin Beng menggelepar. "Bertahun-tahun mereka mengelabuhi kita sebagai penziarah-penziarah gadungan, ternyata merekalah penentang-penentang kerajaan!"

Pembunuhan massal jadi tambah sengit. Tiat Beng Hou nampak rambutnya yang putih sudah awut-awutan, pakaiannya robek-robek dan berlumuran darah, cakar besinya terayun ke kiri kanan menjatuhkan banyak korban di antara prajurit-prajurit kerajaan. Namun pemimpin Lam-cong ini belum puas, masih ingin membunuh lebih banyak lagi. Karena itu ia terus menerjang menyusup, merusak barisan tentara kerajaan, menyebar maut.

Tiba-tiba di hadapan Tiat Beng Hou muncul seorang pemuda dengan pedang di tangan. Pemuda ini tidak berseragam prajurit, malahan bajunya hitam dengan gambar teratai putih di dadanya, seragam Pek-lian-kau. Maka Tiat Beng Hou heran ketika "anak buah"nya ini menghadang dengan sikap bermusuhan. "Apa maksudmu?"

"Aku Wan Lui yang sekian lama sudah menyusup ke dalam Pek-lian-kau. Tujuanku hanyalah menyelamatkan Pangeran Hong Lik dan menghancurkan golongan sesat macam kalian. Yang pertama sudah berhasil, yang kedua hampir berhasil."

"Keparat! Akan kusembelih kau sekarang!" teriak Tiat Beng Hou gusar, sambil melompat dengan gerakan Ngo-eng-pok-tho (elang lapar menyambar kelinci), cakar besinya hendak digarukkan ke ubun-ubun Wan Lui. Itu bukan sekedar garukan pelenyap gatal, melainkan bisa melenyapkan gatal untuk selama-lamanya alias mampus.

Karena Wan Lui kalau gatal ingin menggaruk sendiri tanpa minta tolong orang lain, maka cepat-cepat ia menggeser ke samping dan menebaskan pedangnya dengan gerak Heng-kang-cat-tau (memotong dari samping). Menghadapi gerak setangkas itu, Tiat Beng Hou kaget. Cepat ia berputar di udara untuk menghindari serangan, namun Wan Lui mengejar dengan meluncur maju sambil menjulurkan pedangnya.

Tiat Beng Hou benar-benar kelabakan, karena lawannya ternyata memiliki kecepatan yang melebihi dirinya. Dalam gerak pembelaan dirinya, ia melakukan gerakan yang mirip dengan Tin-jiu-kim-na (menurunkan tangan untuk menangkap), tapi dengan cakar besinya yang menghadap ke bawah untuk menjepit pedang Wan Lui.

Tanpa berhenti sekejappun, Wan Lui mengganti jurus. Tanpa menarik pedangnya, di antara jari-jari besi runcing lawannya, ia dorongkan pedang sejauh-jauhnya dengan gerakan Sun -cui-tui-cui (mendorong menurut aliran air), ujung pedangnya jadi mengancam siku tangan Tiat Beng Hou. Tapi kalau Tiat Beng Hou menyelematkan sikunya, maka ujung pedang terus mengancam rusuk yang dibelakang siku itu.

Tiat Beng Hou jadi serba salah menghadapi keadaan serumit itu. Tergesa-gesa ia memutar cakar besinya sekuat tenaga. Pedang Wan Lui berdenting patah karena terpilin, namun ujung pedangnya sudah sempat membuat jalur luka sepanjang satu jengkal lebih di bawah lengan Tiat Beng Hou.

Kalau dua pesilat bertarung dan melakukan gebrakan yang sama-sama gagal, biasanya mereka akan saling memisahkan diri sejenak untuk membuat perhitungan baru sebelum menyiapkan gebrakan baru. Demikian pula Tiat Beng Hou melompat mundur dan mengira lawannya pun akan berbuat sama. Ternyata perkiraannya salah.

Wan Lui tidak mundur setelah gebrakan itu, malahan melompat maju dengan tendangan Hui-hou-tui (tendangan macan terbang) dengan tubuh miring dan kaki lurus ke samping. Tendangan yang biasanya dilakukan dengan lompatan tinggi untuk menendang kepala, kini oleh Wan Lui diubah jadi rendah untuk mengincar perut.

Tiat Beng Hou benar-benar kehilangan waktu untuk membela diri. Tumit kanan Wan Lui menghunjam perut Tiat Beng Hou dengan kekuatan penuh, ditambah berat badan Wan Lui yang sekian puluh kilo dalam lontaran deras. Sedetik ketika kaki itu kena perut, kulit perut Tiat Beng Hou seolah mundur sampai hampir kena kulit punggung. Tubuh pemimpin Lam-cong itu sendiri melambung seperti sebuah bola dan terhempas di tanah tanpa bernapas lagi.

Kaum Lam-cong gempar, kaum Pek lian-kau gempar. Tokoh unggulan mereka, terbunuh dalam pertempuran singkat melawan seorang pemuda tak terkenal. Banyak beberapa anggota Pek-lian-kau cuma mengenalnya sebagai "Gan Hong Lui" tapi tidak pernah ditanyai dari cabang mana anak buah Hio-cu yang mana.

Wan Lui sendiri tidak mau membunuh kaum keroco yang betapapun juga, sebagian dari mereka pernah menjadi "teman-temarnya". Wan Lui cuma mengincar benggolan benggolannya saja. Waktu itu Thio Yap sedang mengamuk dengan tombak panjangnya. Tiga perwira berpangkat Pa-cong menggabungkan tenaga untuk membendung amukannya, tapi ketika lawannya tetap tak mencukupi.

Suatu ketika, sambil berteriak Thio Yap melangkah maju, putaran tombaknya menusuk hebat. Di bawah cahaya obor yang kemerah-merahan, ujung tombaknya nampak menyala dan seolah pecah menjadi puluhan ujung tombak yang bergerak serempak. Terjangannya membuat ketiga lawannya bertebaran meninggalkan titik pertahanan bersama, salah satu dari mereka senjatanya bahkan terpental ke udara karena benturan yang dahsyat.

Dan malangnya nasib si perwira yang kehilangan senjata itu, sebab Thio Yap langsung menerkamnya bagaikan serigala kelaparan. Ujung tombaknya menembus dada perwira itu. Seolah telah kesurupan iblis, Thio Yap mengangkat tubuh itu dengan ujung tombaknya lalu diputar-putar di atas kepalanya, sampai darahnya menetes-netes ke wajah dan tubuh Thio Yap sendiri. Sambil berteriak-teriak. Lalu tubuh itu dihempaskan ke arah lawan-lawannya yang lain.

Yang dilempari mayat buru-buru menghindar, namun tiba-tiba dilihatnya ujung tombak Thio Yap bagaikan kilat sudah tinggal satu jengkal di depan lehernya. Orang itupun memejamkan mata, siap menerima kematian karena merasa takkan lolos dari serangan secepat itu.

Namun Perwira itu tiba-tiba, merasa lengannya dicengkeram dan ditarik ke samping, sehingga selamat dari maut, la membuka mata, dan alangkah herannya melihat Thio Yap kini dihadapi seorang pemuda bersenjata pedang namun berbaju seragam anggota Pek-lian-kau!

Thio Yap heran dan gusar ketika mengenali lawannya. "Gan Hong Lui, apakah kau sudah gila sehingga berani melawanku?"

Wan Lui tertawa sambil menjawab, "Memang aku pinjam baju dari seorang Pek-lian-kau, tapi aku tidak pernah mendaftar masuk Pek-lian-kau. Lebih jelas lagi, aku ini memang musuh Pek-lian-kau yang menyusup untuk merebut Pangeran Hong Lik dan menghancurkan kalian."

"Jahanam, kau begundal orang Manchu!"

"Malahan orang Manchu tulen."

"Siapa kau sebenarnya, bangsat?"

"Namaku Wan Lui dari Tiang-pek-san di Liau-tong."

"Untuk siapa kau bekerja?"

"Untuk orang-orang yang telah dan akan menjadi korban praktek ilmu sesat kalian, tak peduli mereka orang Han atau Manchu!"

Kata-kata itu terputus ketika Thio Yap membentak dan menikam dengan jurus Tiau-yang-hui-heng (elang terbang menyong song matahari). Geraknya yang cepat dan mantap membuktikan kalau Thio Yap memang pemain tombak yang ulung. Wan Lui cepat menggeser ke samping, namun Thio Yap menyongsong dengan gagang tombak yang disapukan ke pinggul lawan dengan gerakan Hek-liong-boan-jiu. Gerakannya menderu dahsyat.

Murid Pak Kiong Liong itu tidak mau diserang terus tanpa membalas, apalagi ia berhasrat menyelesaikan lawan ini secepat-cepatnya, agar bisa segera merampungkan tokoh-tokoh Pek-lian-kau yang lain, yang semuanya merupakan orang-orang berbahaya. Berbahaya dalam pertempuraran. Berbahaya pula bagi masyarakat kalau mereka sampai bisa lolos dan mempraktekkan ilmu hitam yang menuntut darah manusia itu.

Begitu Thio Yap mendesak hebat, silih berganti dengan ujung tombak maupun tangkai tombak, Wan Lui mengumpulkan semangatnya lalu mulai memainkan Thian-liong-kiam-hoat (ilmu pedang naga langit) dengan pedang yang baru dipungutnya dari tanah itu. Cahaya pedang menebar tak terbendung memenuhi arena. Tak peduli betapa hebat deru tombak Thio Vap, kini tenggelamlah ketengah-tengah gulungan cahaya pedang yang berdesing-desing itu.

Hampir copot semangat Thio Yap melihat kehebatan ilmu pedang itu. Napasnya jadi sesak, seolah-olah melangkah atau menghadap ke manapun yang dilihatnya hanyalah kilauan bayangan pedang di mana-mana, melingkari dirinya. Permainan tombaknya yang kuat dan dibanggakannya selama ini, sekarang jadi terasa kedodoran maupun compang-camping, sama sekali tidak memadai untuk diadu dengan ilmu pedang warisan Pak Kiong Liong itu.

Namun sebagai pesilat tangguh dan sudah banyak pengalaman dalam menghadapi saat-saat kritis macam itu, Thio Yap tidak cepat-cepat putus asa. Ia masih berusaha memperbaiki keadaannya. Lebih dulu ia melompat mundur sambil membarengi menjulurkan tombak, untuk menahan lawan di luar jangkauan tombaknya, sementara ia merencanakan bentuk perlawanan yang sesuai, dan menguntungkan, dengan senjatanya yang berjangkauan lebih panjang itu.

Ketika Wan Lui berusaha mengejar dengan pedangnya, Thio Yap melancarkan lagi serangkaian jurus dan berhasil menahan Wan Lui tetap di depan ujung tombaknya tanpa bisa lebih dekat lagi. Keruan Thio Yap kegirangan karena merasa berhasil melaksanakan rencananya, dan dengan semangat lebih hebat, dia mulai merencanakan serangan balasan.

"Jangan senang dulu, Thio Yap," tiba-tiba Wan Lui menggeram. Memang pedangnya lebih pendek, sehingga sulit untuk dibawa mendekati lawan, namun mendadak ia melompat ke udara, memainkan jurus Ban-liong-seng-thian (Selaksa Naga Terbang), di sertai pengerahan tenaga sakti Hwa-liong-sin-kang. Pedang yang dipegang Wan Lui tiba-tiba nampak merah membara seolah baru saja dikeluarkan dari tanur peleburan. Berbareng dengan itu, setiap lubang pori-pori kulitnya seolah menyemburkan udara amat panas dalam lingkaran sepuluh langkah darinya.

Bukan kepalang kagetnya Thio Yap. Udara segar di sekitar tubuhnya tiba-tiba menghilang entah kemana, diganti hawa panas luar biasa yang serasa menghanguskan kulit. Udara jadi begitu tipis, sehingga Thio Yap harus megap-megap hanya untuk mendapatkan satu tarikan napas, dan udara yang berhasil dihirupnya pun begitu panas membuat kerongkongannya kering dan haus luar biasa.

Tokoh Pek-lian-kau cabang Lam-cong itu kelabakan. Kalau bernapas saja sulit, mana bisa memusatkan perhatian untuk ilmu tombaknya? Baru saja ia gembira karena mengira berhasil menciptakan ruang gerak bagi tombaknya, kini jurus-jurusnya kacau kembali, bahkan terkurung lagi oleh cahaya pedang dan hawa panas itu. Jauh lebih menderita dari sebelumnya.

"Ilmu iblis!" jerit Thio Yap dalam keputus-asaannya.

"Bukan ilmu iblis. Inilah ilmu silat sejati yang didapatkan dengan ketekunan berlatih selama bertahun-tahun," sahut Wan Lui. "Jauh lebih berharga dari ilmu kalian yang cuma berkomat-kamit sambil menggoyang-goyang bendera, tapi kena darah binatang saja punah." Sambil mendamprat, pedang Wan Lui tak berhenti menekan terus.

Thio Yap memang bukan tandingan Wan Lui dalam urusan silat, sedangkan untuk menggunakan ilmu gaibnya ia tidak ada kesempatan sama sekali. Karena itu nasibnya seperti sudah ditetapkan. Beberapa jurus kemudian Thio Yap menjerit kesakitan ketika sebuah tusukan pedang Wan Lui mengakhiri hidupnya. Seperti nasib pemimpin-pemimpin mereka, begitu pula nasib anak buahnya.

Sesuai dengan perintah Kwa Cin Beng, tentara kerajaan menekan sisa orang-orang Pek-lian-kau itu tanpa ampun. Tekanan dari segala jurusan, bahkan bedil-bedil pun mulai ikut "bernyanyi" di sela-sela gemerincing riuh dari ribuan senjata kuno yang masih berbenturan ditengah kancah.

Pertempuran itu memang makin berat sebelah. Orang Pek-lian-kau yang sejak semula kalah banyak, menyusutnya juga lebih cepat dari tentara kerajaan. Sebentar sebentar terdengar letusan bedil-bedil sundut yang serempak, dan itu berarti pembantaian orang Pek-lian-kau berjalan terus.

Perlawanan orang-orang Pek-lian-kau makin kacau karena sudah tidak ada lagi pimpinan-pimpinan mereka, dan masing-masing bertindak semaunya sendiri. Sebagian yang fanatik terus melawan sambil tak henti-hentinya meneriakkan slogan. Mereka melawan mati-matian dan akhirnya mati sungguhan. Biasanya ini adalah orang-orang Pak-cong.

Yang sebagian lain, biasanya ini adalah orang-orang Lam-cong, mencoba mencari kesempatan untuk lari. Rupanya mereka masih enggan "menghadap Sri Baginda". Dan kalau melihat kesempatan, mereka langsung kabur secepatnya. Namun mereka yang berusaha kabur ini tidak usah lagi melewati tahap mati-matian, melainkan langsung mati sungguhan. Punggung mereka adalah sasaran empuk panah, lembing atau peluru dari tentara kerajaan.

Ketika langit di sebelah timur mulai kemerah-merahan, pembantaian pun selesai. Orang Pek-lian-kau boleh dikata tertumpas sebagian besar, sebagian kecil yang berhasil lari tak seberapa jumlahnya. Di pihak tentara kerajaan juga ada ratusan orang tewas. Pertempuran yang berjalan sejak sore hingga fajar itu benar-benar berakibat mengerikan.

Cahaya fajar kali ini tidak menampilkan keindahan, melainkan menimbulkan kengerian. Apa yang tadinya tidak nampak karena gelapnya malam, kini tergelar nyata di bawah cahaya mentari. Ceceran mayat mulai dari simpang tiga itu sampai ke kuil Hong-kak-si, jarak yang kurang lebih sepuluh li. Mayat-mayat bertebaran di jalan, di kebun-kebun, di parit, dan yang paling mengerikan ialah di simpang tiga itu.

Kwa Cin Beng mengatur kembali barisannya. Lalu penduduk desa-desa terdekat dihubungi, diperintah membantu menguburkan atau membakar mayat orang-orang Pek-lian-kau. Sedang mayat para prajurit akan dibawa ke Hong-yang untuk dimakamkan atau diperabukan dengan upacara selayaknya.

Sedih juga Wan Lui melihat orang mati sebanyak itu. Inilah sebuah harga untuk mengamankan sementara masyarakat dari ancaman penganut-penganut ilmu sesat ini. Tengah ia termenung, Kwa Cin Beng mendekati dan menepuk pundaknya,

"Lui Cam Ciang, dimana Pangeran Hong Lik? Apakah dia berhasil kau selamatkan?"

Wan Lui menjawab, "Pangeran Hong Lik kusembunyikan di suatu tempat yang aman, dan aku akan segera membawanya ke Hong-yang. Aku harap Cong Peng menyiapkan tempat dan pelayanan yang memadai, juga pengamanan tempat itu harus cukup kuat, sebab siapa tahu masih ada pihak lain yang mengingini Pangeran Hong Lik. Siapkan juga makanan yang lembut, makanan untuk orang sakit. Sebab selama ditawan Pek-lian kau, Pangeran Hong Lik agaknya kurang diperlakukan baik sehingga kondisi tubuhnya agak lemas saat ini..."

Sahut Kwa Cin Beng penuh semangat, Baik, baik."

Tentu saja penuh semangat, sebab dengan berbuat baik terhadap Putera Mahkota bukankah sama dengan menyiapkan masa depan yang cerah terhadap diri sendiri. Tidak banyak orang mendapat kesempatan macam itu. Lalu Kwa Cin Beng memanggil seorang perwira bawahannya, diserahi wewenang untuk membenahi mayat-mayat di tempat itu, sedangkan Kwa Cin Beng sendiri dengan satu regu pengawal, mendahului pulang ke Hong Yang.

Wan Lui pergi ke arah yang lain untuk mengambil Pangeran Hong Lik. Ketika Wan Lui menyuruh Kwa Cin Beng memperkuat penjagaan, dalam angan-angan Wan Lui masih ada ancaman, yaitu komplotan dalam istana yang selama ini mendalangi Pek-lian-kau untuk mencelakakan (Pangeran Hong Lik. Tapi Wan Lui tidak sadar adanya ancaman dari fihak lain, yaitu In Kiu Liong yang terus mengikuti kemana saja perginya Pangeran Hong Lik, seperti anjing mengendus tulang.

* * * *

Ibukota Pak-khia. Yang nampak sehari-hari di kota itu adalah biasa-biasa saja. Pedagang yang berangkat sehat pulangnya babakbelur. Namun di balik yang kelihatan tenang tanpa gejolak itu, Pak-khia tak pernah bebas dari intrik-intrik tersembunyi dari balik dinding-dinding istana kerajaan, gedung- gedung para bangsawan, tangsi-tangsi para jenderal.

Selalu saja ada yang ingin menguatkan posisinya dengan menyikut orang lain agar jatuh. Pak-khia tak pernah "libur" dari urusan ini, sama dengan pusat-pusat kekuasaan lain diseluruh dunia dan segala jaman. Meskipun semuanya berlangsung di belakang layar.

Siang hari itu, di sebuah jalanan yang ramai nampak seorang lelaki berjalan. Tubuhnya ramping, usianya sudah setengah abad, jubahnya dari kain ringan. Sepintas lalu memang tak ada istimewanya orang ini dengan ribuan orang yang tengah berlalu-lalang di jalanan itu. Kelainan orang ini hanya sikapnya, itu-pun tidak kentara, tidak menyolok. Matanya yang tajam seperti mencari-cari sesuatu di pinggir jalan itu, di pintu toko-toko dan warung-warung yang berderet.

Ia bahkan tidak peduli penjaja-penjaja dipinggir jalan yang menawarkan macam-macam barang dagangannya. Entah buah-buahan, barang-oarang keramik dan seba-gainya yang tidau digubris. Sampai lelaki itu tiba-tiba berhenti melangkah, matanya bersinar-sinar menatap pintu sebuah toko obat yang kecil, terje pit di antara d ia toko besar. Di ambang pintu toko obat itu dipakukan secarik kain kuning yang lebarnya tidak lebih dari telapak tangan, kalau tidak diperhatikan benar-benar memang tidak terlihat dari jalanan yang penuh manusia hilir-mudik itu.

Lelaki itu lalu bergegas masuk ke toko obat itu. Penjualnya ada di belakang sebuah meja panjang dan di depan lemari yang merapat dinding, terdiri dari ribuan laci yang semua nya ditempeli tulisan nama-nama obat. Saat itu si penjual tengah meladeni seorang pembeli wanita yang amat cerewet. Wanita itu berumur limapuluh tahun, amat gemuk, hebat dalam bersolek, bahkan buah dadanya yang melorot itu juga diganjal entah dengan apa di balik bajunya agar tetap menantang.

Dia sedang mencarikan ramuan "kebahagiaan suami-isteri" buat suaminya. Namun setiap kali ditawari semacam obat, belum juga merasa cocok. Saat itulah si lelaki tadi masuk, langsung menyerobot dengan pertanyaannya, "Rumput nomor empatbelas dari Jing-hai, ada?"

Si penjual nampak kaget, matanya tajam menatap si penanya, dan tiba-tiba ditinggalkannya saja pembeli wanita yang cerewet itu untuk mendekati lelaki itu. Si wanita cerewet yang belum menemukan ramuan kebahagiaan yang cocok itu tentu saja mencak-mencak. Tapi si penjual tidak peduli. Ia malah menanyai lelaki vang baru datang itu, "Tuan membutuhkan obat untuk apa?"

"Mengobati borok naga."

Si penjual tersenyum lebar dan berkata, "Ada. Mari kutunjukkan di dalam."

Lalu ia mengajak tamunya masuk ke dalam, tak peduli lagi si wanita cerewet, keduanya menghilang kebalik tirai yang menghubungkan ruangan toko dengan lorong di belakang toko.

Si wanita cerewet kontan memekik, "He, bagaimana ini? Obat yang kutanyakan belum kudapat..."

"Cari sendiri dan bawalah dengan cuma-cuma," itulah jawaban tak sabar dari balik tirai.

"Suamiku belakangan ini tidak lagi bergairah, apa obatnya supaya bergairah lagi?"

"Istri muda yang cantik," itulah jawaban terakhir dari balik tirai yang bernada menghendaki agar tidak dibantah lagi.

Si wanita mencaci-maki lalu pergi untuk mencari toko obat lainnya, sambil bersumpah seumur hidupnya takkan mau lagi menginjak lantai toko obat kecil ini. Di pintu dia bahkan meludah.

Sementara itu, si pemilik toko dan tamunya melewati sebuah lorong sempit di belakang ruangan toko. Salah satu sisi lorong adalah ruangan-ruangan tak berpintu yang penuh tumpukan bahan-bahan obat. Sambil berjalan menyusuri lorong itu, si penjual obat bertanya, "Maaf, tuan ini siapa?"

"Teng Liu."

"Oh, tuan ternyata adalah pendekar ketiga dari Heng-san-sam-kiam (tiga pendekar Heng-san). Pangeran In Te pernah menceritakan diri tuan sebagai salah satu dari sahabat sejatinya yang sedikit jumlahnya. Begitu pula kedua kakak seperguruan tuan, Jian-ing-kiam (pedang seribu bayangan) Ho Se-liang dan Lam-tahi-hong (prahara selatan) Auyang Kong."

"Pangeran In Te terlalu baik kepada kami bertiga yang sebenarnya tidak becus ini."

"Tapi kenapa kedua kakak seperguruan tuan tidak ikut serta kemari?"

"Kami sebagai anggota-anggota Ci-ih Wi-kun (pengawal jubah ungu) ada-tugas dalam istana yang teratur, dua kakak seperguruanku itu sedang kebagian tugas, kalau tidak muncul tentu akan menimbulkan kecurigaan. Perlu tuan ketahui, belakangan ini di dalam istana, orang-orang mudah merasa curiga satu sama lain..."

"Oh, begitu. Kamipun hampir putus asa menantikan jawaban isyarat itu, menanti munculnya seorang yang mencari "rumput nomor enam belas dari Jing-hai..."

Teng Jiu tertawa, "Aku benar-benar minta maaf. Isyarat rahasia dari Pangeran In Te itu sebenarnya sudah kuterima empat hari yang lalu. Tapi baru sekarang aku bisa keluar dari dinding istana untuk menemui kalian. Mudah-mudahan belum terlambat."

"Hampir terlambat. Kalau isyarat rahasia itu tidak terjawab hari ini, atau terjawab tapi jawabannya salah, Goan-swe Pak Kiong Liong dan Pangeran In Te sudah siap meninggalkan kota ini secepatnya, karena dianggap gagal menghubungi teman-teman."

"Untunglah kalau aku belum terlambat..."

Mereka sudah berjalan menghabiskan lorong itu mereka muncul di sebuah halaman tengah yang tidak terlalu luas, berlapis ubin, sehingga membuat udara terasa gerah, Namun ada pohon-pohon dalam jambangan-jambangan besar yang menjadi penyejuk. Di kedua samping dan di seberang halaman, nampak sederetan pintu kamar, di sebelah kiri ada pintu bundar yang menembus ke halaman samping.

Baru saja Teng Jiu dan pengantarnya melangkah di halaman itu, tiba-tiba dari pintu bundar itu muncul seorang pemuda. Begitu muncul langsung membentak marah kepada Teng Jiu. "Anjing Kaisar, mau apa kau datang kemari? Mau menangkap kami agar kau mendapat hadiah dari Kaisar berhati iblis itu?"

Bukan cuma membentak, tapi sebuah jotosan Wan-kiong-sia-tiau (menentang busur nemanah rajawali) yang cepat dan kuat ke muka Teng Jiu. "Sambutan" macam itu tidak terduga oleh Teng Jiu maupun pengantarnya. Si penjual obat buru-buru berteriak mencegah, "Tong Siau-ya (tuan muda Tong), tahan!"

Tong Hai Long tidak menggubris pencegahan itu, terus menyerang dengan sengit, la mengenali Teng jiu sebagai salah satu pengawal Ni Keng Giau ketika dalam perjalanan dari Tan-liu ke Hang-ciu. Di tengah perjalanan, Tong Hai Long, Tong San Hong dan Se-bun Hong-eng nekad hendak membunuh Ni Keng Giau sehingga bentrok dengan pengawal-pengawal Ni Keng Giau, antara lain Teng Jiu inilah. Waktu itu, seandainya tidak muncul Wan Lui sebagai "dewa penolong" malah ketiga anak muda itu bukan saja gagal, malahan hampir menjadi korban Sat Siau Kun dan pengawal- pengawal Ci-ih Wi-kun lainnya.

Tapi sejak itu, Tong Hai Long malahan sering makan hati dan mudah berang. Maklum, bagaimana tidak mendongkol kalau si "dewa penolong" itu kemudian terus-terusan dikenang dengan manis oleh Se-bun Hong eng? Tong Hai Long merasa dirinya sudah tidak diperhatikan lagi, tersingkir oleh Wan Lui. Se-bun Hong-eng membandingkan dirinya dengan Wan Lui dan nampaknya Wan Lui memang lebih becus segala-galanya dalam penilaian gadis itu.

Tambah mendongkol lagi Tong Hai Long ketika diapun gagal mengikuti dan menangkap Pangeran In Tong, si pengkhianat Hwe-liong-pang yang jejaknya muncul kembali itu. Padahal tadinya ia sudah membayangkan, kalau berhasil menangkap pembunuh kakeknya itu, tentu dirinya akan menjadi “pahlawan" yang dikagumi semua orang, terutama Se-bun Hong-eng tentunya. Ternyata gagal, dan ia malah disalah-salahkan terus oleh kakeknya, dianggap bertindak gegabah sehingga buruan itu malah menghilang kembali, dan sebagainya.

Siang itu ia habis bertengkar dengan Se-bung Hong-eng, tiba-tiba melihat munculnya Teng jiu yang dulu dikenalinya sebagai salah seorang pengawal Ni Keng Giau, maka serta-merta muncul pula sifat "kepahlawanan konyol" Tong Hai Long, maka terjadilah seperti itu. Teng Jiu sebenarnya hanyalah "mewakili Wan Lui" menampung kejengkelan Tong Hai Long selama ini.

Teng Jiau bergelar Hui-kiam-eng (pendekar pedang terbang) karena kemahiran ilmu pedang dan ilmu meringankan tubuhnya. Ilmu meringankan tubuh itulah yang kini digunakannya menghadapi serbuan kalap Tong Hai Long. la tidak membalas, namun lincah menghindar dengan langkah-langkahnya yang ringan mengambang, sekali meluncur dan sekali melompat.

Jambangan-jambangan besar di halaman itu bukan merintangi geraknya, sebaliknya malah dimanfaatkannya untuk berputar-putar menghindar, seperti main petak umpet saja. Setelah sekian lama belum berhasil menangkap Teng Jiu, Tong Hai Long jadi semakin penasaran. Diapun mempercepat gerak serangannya, tak peduli si pemilik took obat itu berteriak-teriak melerai. Dengan meningkatnya kecepatan serangan.

Teng Jiu mulai merasakan kesulitan juga. Bagaimanapun juga, Tong Hai Long bukan pesilat keroco, sebab dia adalah cucu dari dua tokoh persilatan sekaliber Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong, dan telah dididik kedua kakeknya itu sejak kecil. Hal lain yang menyulitkan Teng Jiu, ia tidak berniat membalas serangan, hanya menghindar saja, itulah yang menambah kerepotannya. Halaman sempit itu jadi terasa semakin sempit jadinya, biarpun langkah Teng Jiu masih kelihatan ringan berputaran.

Waktu itulah salah satu pintu di tepi halaman itu terbuka, lalu Pak Kiong Liong dan In Te muncul dan bertepuk tangan melihat apa yang terjadi di halaman itu. Terdengar In Te tertawa dan memuji gerakan kaki Teng Jiu, "Benar-benar Liu-cui Hoan-po (langkah berputar air mengalir) yang semakin matang, Teng-heng (saudara Teng)!"

Sedangkan Pak Kiong Liong meneriaki cucunya, "A-hai, hentikan. Bersikap sopanlah kepada tamu!"

Terhadap sang kakek yang belakangan ini lebih sering memarahinya, Tong Hai Long memang merasa takut. Maka tidak perlu bentakan itu diulang untuk kedua kalinya, Tong Hai Long menghentikan serangannya dan melompat mundur.

Sedang Ten Jiu yang tadi datang dengan pakaian rapi, kini pakaiannya di bagian punggung telah basah dengan keringat, begitu pula wajahnya. Kulit mukanya agak memerah napasnya agak terengah-engah. Katanya, "Wah, hampir saja langkah Berputar Air Mengalir ini tidak bisa mengalir lagi karena terbentur batu karang muda yang baru muncul di dunia persilatan."

Lalu ia melangkah ke hadapan In Te dan berlutut, "Hamba mengucapkan selamat datang kembali ke Pak-khia, Pangeran. Hamba masih teguh berpegang kepada sumpah yang dulu untuk mendukung Pangeran merebut tahta dan menegakkan keadilan!" Rupanya Teng Jiu mengira munculnya kembali ln Te di Pak-khia itu bermaksud menyusun kembali kekuatannya, untuk merebut tahta.

Pak KiongLiong dan ln Te bertukar pandangan sejenak, namun tidak berkata apa-apa. Kepada Pak Kiong Liong, Teng Jiu memberi hormat biasa dan berkata, "Isyarat Goan-swe sudah kuterima empat hari yang lalu. Tapi maaf, baru sekarang aku datang memenuhi panggilan itu. Harap dimaklumi karena tugas-tugas di istana begitu berat dan padat, aku tidak sembarangan meninggalkan istana, agar tidak menimbulkan kecurigaan..."

"Aku bisa memaklumi..." kata Pak Kiong Liong sambil tersenyum.

"Silahkan duduk di dalam, Teng-heng..." In Te mempersilahkan.

Sebelum melangkah masuk ke salah satu ruangan, lebih dulu Teng Jiu mengangguk hormat sambil tersenyum ke arah Tong Hai Long, yang membalas anggukannya dengan wajah kaku cemberut. Kejengkelannya sebenarnya bukan kepada Teng Jiu, melainkan kepada Wan Lui yang saat itu tidak diketahui dimana beradanya..."

Sementara Pak Kiong Liong dengan wajah angker menegur cucunya yang berangas an itu. "A-hai, hampir saja kau mengacaukan suatu urusan besar yang menyangkut masa depan kekaisaran. Lain kali pakailah otak mu, jangan main pukul seperti orang mabuk saja!"

Tong Hai Long menunduk dalam-dalam. Tapi ketika kakeknya beserta In Te dan tamunya sudah menghilang di balik pintu, menggerutulah ia, "Yah, inilah teguran ke sebelas yang kudapatkan hari ini. Memang aku terus yang salah..."

Dari pintu bundar di samping halaman, muncul saudara kembarnya, Tong San Hong yang langsung mendekatinya dan menepuk pundaknya, "Memang kau yang gegabah, A-hai. Seorang tamu yang datang kemari karena bisa mengartikan kode rahasia kita, tentunya ada urusan yang dibawanya. Tapi begitu dia datang terus kau labrak saja..."

"Jadi kaupun ikut menyalahkan aku, A-san? Baik, baik, akulah orang yang salah, aku orang paling besar dosanya di dunia, semua kegagalan dan bencana pasti disebabkan olehku. Ya, ya. Hanya Wan Lui pahlawan di dunia ini. A-eng bahkan sampai mem bawanya ke alam mimpi. Hem..."

"Bukan begitu maksudku. Hendaknya lain kali kalau mau bertindak apapun harus dipikir lebih... he, A Hai, mau kemana kau!?"

"Ke warung arak, daripada di sini disalahkan terus..."

"He, sudah lupa pesan kakek? Dalam beberapa hari ini kita tidak boleh minum arak diluaran, kalau sampai mabuk bisa kacau semuanya. Kau lupa?"

"Jadi tidak boleh?"

"Ya jelas tidak boleh, sebab berbahaya. Orang mabuk akan bicara kacau, kalau tanpa sengaja membocorkan rencana kita dan sampai di dengar oleh seorang mata-matanya Yong Ceng. Nah, bayangkan saja akibatnya..."

"Inilah teguran ke duabelas untuk hari ini..." keluh Tong Hai Long lesu, sambil ngeloyor pergi.

Kuatir kalau saudaranya itu benar-benar akan pergi ke warung arak, Tong San Hong tidak membiarkannya sendirian. Dia-pun ikut melangkah keluar.

Sementara itu, di sebuah ruang belakang yang ditata sederhana, Pak Kiong Liong, In Te dan Teng Jiu telah mengambil tempat duduk masing-masing. In Te yang mulai bicara, "Teng-heng, kudengar kabar kau dan kedua kakak seperguruanmu selama ini akrab dan banyak mendukung tindakan Pangeran Hong Lik?"

Mendengar kata-kata itu, Teng Jiu salah paham, "Hamba mohon ampun, Pangeran. Memang benar hamba banyak mendukung tindakan Pangeran Hong-lik, tetapi..."

"Oh ya, Teng Heng. Mulai sekarang kau tidak usah lagi membahasakan dirimu sebagai hamba, jangan lagi memanggilku Pangeran. Kita sekarang sederajat..."

Teng Jiu mengira ucapan In Te itu karena perasaannya yang tersinggung, maka ia berkata, "Pangeran jangan berkata demikian. Dukungan hamba sementara ini terhadap Pangeran Hong Lik, tak lain demi rakyat kecil yang banyak ditolongnya, sekaligus juga untuk membendung pengaruh Liong Ke Toh. Hamba menyokong Pangeran Hong Lik hanya selama Pangeran In Te sendiri belum pulang ke Pak-khia. Kini Pangeran telah pulang ke Pak-khia dalam keadaan sehat, tentu saja hamba siap untuk memenuhi sumpah hamba yang pernah diucapkan dulu. Kami bertiga Heng-san-sam-kiam, dan juga beberapa sahabat yang tetap setia kepada Pangeran, akan tetap menetapi sumpah dan mendukung Pangeran sampai ke singgasana. Betapapun berat akibatnya..."

In Te tertawa, "Teng-heng, aku percaya. Tapi kau salah paham akan kata-kataku. Aku sama sekali tidak kecewa atau marah, bahwa selama aku tidak ada di Pak-khia, maka sahabat-sahabat setiaku di sini menyalurkan gejolak perjuangan lewat saluran yang tepat, yaitu Pangeran Hong Lik. Aku setuju. Aku tahu Pangeran Hong Lik lebih pantas melanjutkan tahta daripada aku...

Selanjutnya,