X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 14 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 14

Karya : Stevanus S P

Celoteh yang lain-lain serentak bungkam, banyak yang menatap si nenek dengan perasaan kurang senang. Tapi tak seorang-pun berani menegur si nenek. Sesaat suasana jadi sunyi, penuh kecanggungan.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Sementara itu, si nenek kemudian berkata lagi dengan nada tak ingin dibantah, "Ketua kami, Cu-peng Cin-jin, sudah membuat perhitungan nujum yang tepat, bahwa kebangkitan Kerajaan Beng sudah dekat. Asal dipenuhi syaratnya. Yaitu menyembelih bangsat Manchu Hong Lik ini di depan altar leluhur Kerajaan Beng kita di Hong-kak-si di Hong-yang. Paru-paru, jantung dan hatinya kita korek keluar dan kita persembahkan di altar. Hidup Kerajaan Beng! Hidup Kerajaan Beng!"

Begitu bersemangat si nenek memekikkan pekik perjuangannya sambil mengayun-ayunkan tongkatnya di udara, sampai tubuh nya sempoyongan. Adegan mengharukan itu mestinya mendapat sambutan meriah dari orang-orang Pek-lian-kau lainnya. Mestinya. Tapi nyatanya semua orang bungkam.

Bahkan kemudian ada yang menjawab, tapi sama sekali bukan pekik perjuangan, "Hati-hati, nenek, nanti kau keseleo lagi."

"Disayang" macam itu, Si nenek bukannya berterima kasih, malahan gusar. Pentungnya dihantamkan ke tanah, lalu berkatalah ia dengan sengit, "Keparat, siapa yang bicara itu? Mau mencoba keampuhan ilmuku? Mau kutenung biar jadi gila?!"

Thio Yaplah yang kemudian membujuk si nenek, "Sudahlah, nek. Dengan hormat kami persilahkan nenek beristirahat diruang belakang yang lebih tenang."

"Tapi Hong Lik harus disembelih dan dikorbankan dialtar! Demi kebangkitan kembali dinasti Beng kita!"

"Soal Hong Lik akan dibagaimanakan, itu nantinya tergantung hasil perundingan kaum kita di Hong-yang. Terlalu pagi kalau dibicarakan sekarang!"

Si nenek nampak sekali kurang puas akan sikap mengambang itu, tapi ia tidak bisa memaksakan kehendak melawan sekian banyak orang yang semuanya adalah bawahan kaum Lam-cong (sekte selatan) dari Pek-lian-kau. Sedang si nenek sendiri adalah orang Pak-cong (sekte utara). Maka sambil menggerutu, diapun tertaih-tatih berjalan dibantu tongkatnya meninggalkan ruangan itu.

Sementara itu, Kui Thian Cu yang mendengar percakapan orang-orang Pek-lian-kau itupun segera insyaf, bahwa dirinya bukan jatuh ke tangan penculik-penculik biasa, melainkan ke tangan sekelompok orang orang fanatik yang punya tujuan politik. Bukan sekedar berandal-berandal yang cuma "cari rejeki" seperti yang di Kiu-liong-san.

Ketika Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik berpikir demikian, ia tidak tahu ka lau berandal- berandal Kiu-liong-sanpun sudah mendapat pemimpin baru yang hendak menggunakan kawanan itu untuk tujuan politik. Meskipun sadar bahwa dirinya telah jatuh kepihak yang amat membencinya, namun Pangeran Hong Lik tidak sudi menunjukkan ketakutannya. Tekadnya dalam hati,

"Bagaimanapun aku hendak diperlakukan, tapi aku tidak sudi merengek-rengek minta ampun sehingga menjadi tontonan menyenangkan bagi bangsat-bangsat pemberontak ini. Tidak. Biarpun dianiaya sampai mati, setidak-tidaknya aku harus membuat jengkel mereka dengan kebandelanku!”

Suara ribut dalam ruangan itu mereda ketika Thio Yap mengangkat tangannya, dan memperdengarkan suaranya yang berpe ngaruh, "Saudara-saudara, aku maklum kegembiraan kalian, karena yang jatuh ke tangan kita kali ini benar-benar kakap besar. Tetapi kegembiraan itu jangan melemahkan kita. Harus tetap waspada, sebab kita masih di dalam kota Kim-teng. Karena itu, demi keamanan kita, sebaiknya kita berpakaian seperti orang-orang biasa, dan lepaskan jubah-jubah hitam seragam Pek-lian-kau kita!"

Orang-orang Pek-lian-kau itupun melepas jubah-jubah hitam bergambar teratai mereka, untuk dilipat. Di balik jubah itu, pakaian mereka tak berbeda dengan orang-orang biasa.

"Hiang-cu, lalu kapan kita bisa mengangkut keluar bangsat Manchu ini ke Hong-kak-si untuk menunjukkan kepada seluruh kaum akan keberhasilan kita?"

Sahut Thio Yap, "Kita menunggu kesempatan yang baik. Aku yakin dalam waktu dekat ini pastilah anjing-anjing Manchu ma pun begundal-begundalnya akan menggeledah seluruh kota ini. Karena itu, tetaplah jangan menampakkan diri. Setelah penjagaan mengendor, baru kita keluar dari sini!"

Tapi seorang anggota berkata, kedengarannya membantah padahal menjilat, "Sebenarnya, apa yang perlu kita takuti dari kawanan serdadu yang punyanya cuma otot kekar itu? Ilmu sakti kedua Hiang-cu pasti sanggup mengelabuhi mereka, membuat mereka kebingungan. Kita biarkan saja mereka menangkap orang-orangan kertas kuning itu sebanyak-banyaknya!"

Lalu semua orang ikut-ikutan memuji-muji kedua hulubalang itu, Thio Yap dan Hoa Cek Gui. Namun tiba-tiba terdengarlah suara seseorang yang dingin, "Jangan terlalu yakin dengan ilmu gaib kalian! Kawanan perajurit tolol itu memang tak perlu ditakuti, tapi di kota ini ada seorang pendekar muda yang berhasil memecahkan ilmu sakti Gong-Hun Sin-hoat (ilmu malaikat angin dan mega) dan Sip-hun Hoat-sut (sihir pemanggil arwah) milik kita!"

Ketika semua orang menoleh kearah pembicara itu, nampaklah bahwa si pembicara adalah seorang imam berjubah hitam yang sejak tadi tetap diam dan berdiri di sudut dengan sikap sedih. Rambut imam yang seharusnya digelung, kini nampak awut-awutan seperti baru saja menjadi korban seorang tukang cukur berotak miring, sedang ketika ia melangkah, nampak langkahnya terpincang-pincang sambil mukanya menyeringai kesakitan."

"Cu-sian Cin-jin sungguh benar," sahut Thio Yap, sambil melontarkan sedikit senyum mengejek ke arah si imam. "Kalau kita hanya mengandalkan yang gaib-gaib saja tanpa memakai akal sehat, maka akhirnya yang konyol ya kita sendiri. Benar tidak, Cin-jin?"

Cu-sian Cin-jin, si imam, melotot marah namun tetap membungkam. Kemudian Thio Yap memerintahkan orang- orangnya, "Bawa tawanan ini ke kurungan dan jangan sampai lolos. Perintah untuk melepaskan hanya dari aku!"

Sengaja Thio Yap menambahkan ini, sebab ia khawatir kalau sampai orang-orang Pak-cong Pek-lian-kau diam-diam mencuri tawanan itu, karena merekapun merasa berhak. Pangeran Hong Lik pun diseret ke sebuah ruangan tertutup. Setelah itu, baru saja orang-orang Pek lian-kau itu hendak beristirahat dengan perasaan lega, tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. Caranya mengetuk pintu adalah isyarat khas Pek-lian-kau, maka tanpa ragu ragu lagi Thio Yap memerintahkan seorang anak-buahnya untuk membukakan pintu.

Begitu pintu dibuka, bergegas masuklah seorang lelaki yang tidak mengenakan seragam Pek-lian-kau namun dikenali sebagai anggota pilihan. Ia langsung memberi hormat kepada Thio Yap dan melapor, "Thio Hiang-cu, anjing-anjing Manchu dan begundal-begundalnya sudah keluar semua dari sarang mereka untuk mencari kita! dan sekarang ini satu regu perajurit berjumlah tiga puluh orang sudah siap dimulut lorong di depan rumah ini. Tak lama lagi mereka akan sampai kemari."

"Jangan khawatir," kata Thio Yap. "Apakah regu perajurit itu kelihatan membawa benda- benda penangkal ilmu sakti kita, seperti darah binatang hitam, bagian dalam tubuh hewan dan sebagainya?"

"Tidak, mereka hanya membawa sentata." Thio Yap lalu terkekeh dengan sombongnya, dan berkata, "Bagus. Mereka akan menjadi korban permainan ilmuku. Kalian tetap tinggal di dalam saja, biar aku sendiri menangani keledai-keledai itu."

Anak buah Thio Yap segera menyiapkan sebuah meja altar penuh sesaji di halaman. Thio Yap lalu membersihkan tubuh dan mengganti pakaiannya dengan jubah hitam penuh lambang-lambang sihir, la berdiri di depan meja, lebih dulu menguraikan rambut, lalu dengan pedang kayu di tangan kanan, ia mulai komat-kamit membaca mantera. Pedang kayunya ditudingkan ke arah rembulan yang sedang bulat-bulatnya ka rena saat itu tanggal limabelas. Segumpal mega hitam tiba-tiba muncul entah darimana, menutupi cahaya rembulan sehingga tempat itu menjadi gelap gulita.

Kemudian pedang kayu diletakkan, diganti sehelai bendera hitam kecil segitiga, bendera Hong-hun-ki seperti yang dipunyai Cu-sian Cinpi tetapi sudah dimusnahkan Wan Lui. Kini bendera yang sama di tangan Thio Yap dikibar-kibarkannya di atas kepala sambil membaca mantera. Datang pula angin begitu dingin, bertiup kencang, namun anehnya hanya di luar dinding rumah persembunyian kaum Pck-lian-kau itu saja. Di dalam dinding, angin dingin itu tidak terasa.

Sekarang Thio Yap melangkah keluar pintu dengan membawa pedang kayu dan bendera Hong-hun-ki. la melangkah perlahan memutari rumah itu sambil tak henti-hentinya menggumamkan mantera, begitu asyiknya dengan mantera sehingga tubuhnya bergoyang-goyang seirama dengan langkahnya. Baik pedang maupun bendera kecil itu selalu digerakkannya, berputar, menuding atau menggores tanah. Di setiap sudut rumah, dia berhenti untuk membakar selembar hu. Setelah satu putaran berjalan, diapun masuk kembali ke dalam rumah dan sikapnya nampak wajar kembali.

Hoa Cek-gui yang menyongsongnya lalu bertanya, "Sudah?"

"Sudah. Memangnya hanya orang-orang Pak- cong saja yang mewarisi ilmu-ilmu sakti leluhur Pek-lian-kau? Hari ini biarlah mereka melihat bagaimana hebatnya Ngo-siu-tin (barisan lima binatang buas) di pratekkan dengan sempurna oleh kita, golongan Lam-cong."

Hoa Cek-gui mengangguk-angguk. Sementara itu, dari mulut lorong yang bermuara ke jalan besar itu, memang muncul sekelompok perajurit. Mulai dari ujung lorong, mereka menggedor dan memasuki rumah-rumah penduduk dengan sikap garang untuk menggeledah.

"Tidak ketemu?" tanya si komandan regu dengan pertanyaan yang itu-itu juga, setiap ada anak buahnya yang baru keluar dari rumah yang digeledah.

Dan jawaban anak buahnya pun itu-itu juga, "Tidak ketemu."

"Masih panjangkah lorong ini?"

"Tidak, masih ada empat rumah yang belum kita periksa. Yang di ujung nomor dua adalah rumah pamanku, lalu ada sebuah tempat terbuka yang dulunya bekas tempat penyembelihan hewan-hewan, setelah itu baru rumah terakhir, sebuah rumah kosong tempat bekas rumah si pedagang hewan dulu."

"Baik. Kita tuntaskan penggeledahan dilorong ini, barulah kita periksa ke tempat lain."

Regu perajurit itupun terus maju dalam tugasnya. Namun begitu mereka sampai keujung lorong, mereka kaget karena di tempat yang katanya ada rumah kosong itu ternyata tidak nampak apa-apa. Hanya kegelapan yang amat pekat di situ, jauh lebil gelap dari ternpat-tempat lain, luga ada angin keras, begitu kerasnya sehingga pasir terangkat naik, serta dingin menggigilkan tulang. Cahaya sang rembulan yang tadinya membantu, tiba-tiba sekarang lenyap disabot si mega hitam.

"Lho, bukankah tadi kau bilang setelah rumah pamanmu, ada tempat terbuka lalu ada satu rumah lagi? Mana?" tanya si komandan regu.

Perajurit yang menerangkan tadi kini garuk- garuk kepala dengan sikap kebingungan, dan jawabannya agak kacau, "Aneh. Siang tadi aku mengunjungi pamanku di sini, dan rumah kosong itu masih ada di seberang tempat terbuka itu, kenapa sekarang tiba-tiba tidak ada?"

Dengan mendongkol si komandan mendamprat, "Barangkali pamanmu sudah begitu lihai sehingga dalam waktu setengah hari saja bisa melenyapkan sebuah rumah. Pamanmu itu manusia atau siluman?"

"Man.... manusia...."

"Hem. Atau barangkali lorong ini bukan lorong rumah pamanmu?"

"Aku yakin. Aku hapal penghuni rumah rumah di lorong ini dari ujung ke ujung. Mulai dari rumah Lau Hok si tukang kulit, Han Pek si tukang roti, Kim Hiong si peternak ulat sutera, terus sampai ke sini."

"Lha sekarang kenapa tempatnya bisa berubah?"

Si perajurit yang ditanya tidak bisa menjelaskan kecuali garuk-garuk kepala, lalu perut, lalu pantat.

Akhirnya si komandan regu memutuskan, "Ayo kita maju untuk memeriksanya!"

Maka pasukan kecil itupun maju mengikuti komandan mereka, tanpa mereka sadari kalau sudah masuk pintu Ngo-siu-tin yang tidak kelihatan mata. Mereka baru sadar ketika merasakan kegelapan yang ada di sekeliling mereka seolah-olah memadat dan mencekik seluruh pori-pori kulit dan menyesakkan napas. Tentu saja tidak benar-benar memadat, itu hanya perasaan mereka, karena kegelapan itu begitu menyesakkan. Percuma mereka punya sepasang mata, sehingga satu sama lain tak bisa melihat lagi.

Para perajurit jadi panik, mereka saling memanggil nama teman mereka, menggapai-gapaikan tangan untuk menyentuh teman-teman mereka agar yakin teman mereka masih didekatnya. Keyakinan yang dapat memberi ketabahan biarpun sedikit. Lebih panik lagi para perajurit itu, ketika angin dingin tiba-tiba berhembus melibat mereka. Mereka seperti tercebur sumur di musim salju dimana airnya membeku. Hanya seperti, tapi mungkiri rasanya tak berbeda.

"Saling berpegangan tangan!" teriak si komandan mengatasi suara anak buahnya. "Kita tinggalkan tempat keparat ini!"

Para perajurit mencoba saling bergerombol mendekat dan berpegangan tangan. Kemudian seperti sekawanan orang buta, mereka bertuntun-tuntunan dan mencoba meninggalkan tempat itu. Tetapi sekian lama mereka cuma berputar-putar di situ, tanpa menemui cahaya seujung jarum pun.

"Harusnya ke sana!" kata seorang perajurit dengan yakin, tapi petunjuknya dengan jari telunjuk itu tentu tak terlihat oleh lain-lainnya, kecuali oleh seorang temannya yang kecolok matanya. Biarpun ia yakin jalan keluarnya "kesana" tapi ia sendiri tidak berani memisahkan diri dari barisan untuk menuju arah yang diyakininya. Begitu pula yang lain-lain hanya saling berbantahan saja.

Bahkan tiba-tiba terdengar seorang perajurit berteriak ketakutan, "Di kegelapan itu rasanya aku…. aku…. melihat.... harimau! bahkan mendengar aumannya!"

"Bukan harimau. Itu lolong serigala!"

"Hah! Ular itu begitu besar!"

Suasana tambah ribut. Ada yang berteriak katanya melihat harimau, ada yang melihat singa, ular besar dan sebagainya. Celakanya, mereka bukan cuma berteriak-teriak tetapi juga saling berdesakan karena ketakutan. Yang kalah kuat segera terdorong ke pinggir. Dan barisan jadi semakin kacau, beberapa orang berteriak ketakutan karena lepas dari barisannya, dan ketika menggapai-gapaikan tangan kesekitarnya ternyata tidak menemukan siapa- siapa di dekatnya. Seorang perajurit bahkan mulai menangis melolong dengan kerasnya.

"Diam!!" bentak si komandan dengan gusar. "Siapa yang menangis itu? Menambah kebingungan saja! Bisa diam tidak?!"

"Yang menangis di sebelahku, Thong leng (komandan)."

"Siapa?"

"Tidak kelihatan, Thong-leng!" "Gampar saja mukanya!"

Setengah detik kemudian terdengar suara gaplokan keras, disusul teriakan seseorang, "Bangsat! Bukan aku yang menangis, kenapa aku yang dipukul?"

"Ma ... maaf, bangsat cengeng itu dengan licik agaknya sudah pindah tempat!"

Gabungan yang menyesakkan antara kegelapan, kepanikan, kejengkelan, ketakutan dan entah apa lagi, akhirnya menghasilkan kelelahan. Dalam keadaan biasa, para perajurit itu sudah biasa latihan dengan berlari-lari di atas tembok kota, memutari kota Kim-teng dua tiga kali. Namun kali ini tenaga mereka dengan cepat terkuras habis. Akhirnya mereka satu persatu roboh kelelahan.

* * * *

Penggeledahan semalam suntuk di kota Kim- teng tak ada hasilnya. Satu persatu komandan- komandan regu melapor kepada Siau Gin Heng, satu persatu pula digampar mukanya sambil dicaci-maki. Siau Gin Heng nampak panik sekali, nyata sekali kalau semalaman ia tidak tidur sama sekali.

Yang tidak kalah paniknya adalah Koh Hian Hong, sebab tuan-mudanya yang diculik itu tak lain tak bukan adalah Pangeran Hong Lik, Putera Mahkota. Tanggung-jawabnya begitu berat kalau ia sampai gagal menemukan kembali Pangeran Hong Lik dengan selamat. Wan Lui belum tahu siapa sebenarnya Kui Thian Cu, namun diapun tidak kalah gelisahnya. Bukan soal kedudukan yang terancam atau tanggung jawab kepada atasan, melainkan perasaan seorang sahabat yang kehilangan sahabat lainnya.

Koh Hian Hong dan Wan Lui ikut mendengarkan perwira-perwira Siau Gin Heng itu melapor satu demi satu. Tapi biarpun ke cewa, mereka jelas tidak mungkin ikut-ikutan menggampar atau mencaci-maki. Ketika laporan-laporan para perwira berisi kegagalan melulu, Wan Lui habis sabarnya, "Biar aku akan mencari sekali lagi!" katanya sambil bangkit dan ia sudah melangkah ke pintu depan.

Tapi sebelum ia melewati pintu itu, datanglah satu regu perajurit yang cukup menarik perhatian. Bukan saja datang menghadapnya paling terlambat, namun mereka juga nampak tak keruan. Berjalan gontai, wajah ketolol-tololan bingung, termasuk komandannya, beberapa perajurit malahan nampak tanda-tandanya kalau bekas menangis.

Dengan tidak sabar lagi Siau Gin Heng melompat dari kursinya untuk menyongsong regu bawahannya yang istimewa ini ke tangga batu di depan aula dilewatinya dengan cepat, tiga anak tangga setiap langkahnya. Sambil berteriak kepada rombongan yang baru datang itu. "Kemari! Cepat!"

Bagaikan diguyur air dingin, si komandan regu tiba-tiba menegakkan punggungnya, lalu langkah tegap bergaya perajurit sejati, ia melangkah kehadapan Siau Gin Heng lalu berlutut. "Lapor, Cong-peng, regu kami...."

"Kenapa terlambat menghadap?!"

"Kami menemukan pengalaman aneh, Cong-peng!"

Begitu mendengar kata "pengalaman aneh" itu, Wan Lui dan Koh Hian Hong serempak mendekat uhtuk ikut mendengarkan lebih jelas. Merekapun mendapat pengalaman aneh menghadapi orang Pak-lian-kau, tidak heran kalau mereka segera tertarik oleh laporan regu terakhir itu, dan mengharap dari laporan itu bisa didengar tenatang jejak para penculik. Mereka segera mendekat untuk ikut mendengarkan.

Si komandan regu segera bertutur bagaimana regunya memasuki sebuah lorong yang tadinya dikenal, namun kemudian terjebak dalam kegelapan pekat. Bahkan banyak perajuritnya mengaku melihat macan, singa, ular raksasa, kura-kura raksasa dan sebagainya. Tapi setelah fajar terbit, mereka ternyata cuma berada di sebuah tempat terbuka yang dulunya sering digunakan untuk penyembelihan hewan ternak.

Sambil bercerita, si komandan regu tak berani terlalu mengharap bahwa laporannya akan dipercaya, sebab terlalu aneh dan tidak masuk akal. Benar juga, laporannya belum selesai sudah dilihatnya sang panglima mengangkat tangannya dan siap menggampar mukanya, sambil mendamprat,

"Bangsat. Sudah kembalinya terlambat, laporannya tak keruan pula! Mana ada tempat yang siangnya seperti lapangan biasa, malamnya dihuni binatang- binatang raksasa, lalu pagi harinya kembali menjadi tempat biasa lagi? Mana ada? Laporanmu itu berarti ocehan orang gila, hanya untuk menutupi ketidak-becusanmu!"

Tapi sebelum wajah si komandan regu menjadi bengkak kena gamparan, justru Koh Hian Hong dan Wan Lui berbarengan berteriak tanpa berjanji, "Tahan, Cong-peng!"

Siau Gin Heng heran. Apakah kedua orang yang mencegahnya ini malah tertarik kepada laporan sinting ini? "Ada apa?"

"Laporan orang ini patut diperhatikan!"

"Apa? Laporan yang tidak masuk akal ini?"

"Memang tidak masuk akal kalau yang kita hadapi sekarang bukan Pek-lian-kau," sahut Wan Lui. "Tapi justru paling masuk akal kalau yang kita hadapi itu Pek-lian-kau. Mereka memang ahli dalam Hoat-sut (ilmu gaib). Mungkin regu yang ini telah menjadi korban ilmu gaib mereka, bukannya mengkhayal."

"Wan-heng betul," dukung Koh Hian Hong. "Sekarang justru perlu kita temukan dimana tempat yang aneh itu."

Lalu Koh Hian Hong dan Wan Lui menanyai komandan regu itu, sedangkan Siau Gin Heng minggir ke samping. Memang bagi Siau Gin Heng, mula-mula dia inginkan kematian Kui Thain Cu yang dianggapnya membahayakan persekongkolannya dengan bandit-bandit Kiu-liong-san. Tetapi setelah ia dibisiki Koh Hian Hong bahwa Kui Thian Cu adalah samaran dari Putera Mahkota Hong Lik, pikiran Siau Gin Heng juga berubah.

Kalau sampai Pangeran Hong Lik mendapat musibah di wilayah tanggung-jawabnya, akibat yang diterimanya akan jauh lebih berat daripada kalau persekongkolannya dengan pihak Kiu-liong-san terbongkar. Ia memang masih mengharapkan kematian Pangeran Hong Lik, tapi jangan sampai kematiannya ada sangkut paut sedikitpun dengan dirinya. Itulah sebabnya selama Pangeran Hong Lik di Kim-teng, ia mati-matian mengerahkan seluruh perajuritnya untuk mencari.

Sementara itu, setelah mendengar keterangan lengkap dari komandan regu itu, Wan Lui mengambil kesimpulan, "Tidak salah lagi, pasti disekitar tempat itulah persembunyian para penculik. Dengan mencegah para perajurit mendekat dengan Hoat-sut mereka, mereka sebenarnya bermaksud melindungi tempat sembunyi mereka. Tapi justru seperti meninggalkan jejak."

"Tunjukkan tempat itu kepadaku!" kata Koh Hian Hong kepada komandan regu itu.

"Baik, Tai-jin," sahut si komandan dengan amat terpaksa. Sebenarnya ia masih merasa ngeri akan pengalamannya semalam, tapi ia tidak berani membantah permintaan orang dari pemerintah pusat ini.

"Aku ikut!" kata Wan Lui.

Sedangkan kepada Siau Gin Heng, Koh Hian Hong bertanya, "Apakah Cong-peng sudi mengerahkan pasukan untuk menutup jalan-jalan di sekitar tempat itu?"

Kedengarannya memohon, tapi itulah perintah. Tentu saja Siau Gin Heng tidak berani menolaknya. Demikianlah Koh Hian Hong, Wan Lui dan perwira yang menjadi penunjuk jalan itu berangkat lebih dulu, kemudian Siau Gin Heng akan menyusul dengan pasukannya. Ketika Koh Hian Hong bertiga memasuki lorong "angker" semalam, si perwira si perwira melihat lorong itu disiang hari tak ubahnya seperti hari-hari biasanya. Anak-anak kecil berlari-larian gembira.

Dan ketika sampai ke ujung lorong, dilihatnya tempat terbuka bekas tempat penyembelihan hewan itu terang-benderang dibawah cahaya matahari, tepat seperti yang di katakan seorang anak buahnya yang pamannya tinggal di dekat situ. Agak terpencil dari rumah-rumah lain, di pinggir tem pat terbuka itu, nampak sebuah rumah yang berdiri terpencil. Sebuah rumah yang kabar nya sudah lama tak ada penghuninya lagi, du lunya dihuni seorang pedagang daging ternak.

"Di sinilah semalam pasukan kami hampir gila semua dibuatnya," kata si perwira, suaranya masih agak gemetar. Kesan seram yang begitu dahsyat didapatinya semalam, belum sepenuhnya berlalu dari jiwanya, bahkan mungkin akan terus menjadi kenangan seram seumur hidup.

"Bangunan apa itu?"

"Rumah seorang pedagang ternak, dulu."

"Sekarang?"

"Kosong."

Wan Lui berkata dengan bersemangat kepada Koh Hian Hong, "Koh Sian-seng, bagaimana kalau kita periksa tempat itu?"

"Terus terang aku agak bimbang, Wan-heng. Orang-orang Pek-lian-kau gemar bermain ilmu gaib, dan pantangan mereka ialah berdekatan dengan darah binatang-binatang berbulu hitam, kabarnya. Padahal di tempat pedagang daging ternak itu tentunya banyak bekas-bekas darah binatang atau bagian dalam tubuh binatang."

Tiba-tiba tertawalah Wan Lui sambil berkata, "Dulu di desaku ada seorang penduduk yang terkenal paling takut kepada air, sehingga jarang mandi. Suatu saat dia mencuri jemuran lalu dikejar-kejar orang sedesa, tapi tidak bisa ditangkap atau diketemukan. Tahukah Sian-seng dimana dia bersembunyi dengan aman?"

Beberapa saat Koh Hian Hong tercengang, tak tahu kenapa Wan Lui malah cerita maling di desanya segala. Sementara Wan Lui sendiri telah menjawabnya, "Dia sembunyi di kolam ikan. Di suatu tempat dimana pengejar-pengejarnva tak menduga kalau dia berani menggunakannya, karena ia dikenal takut air."

Koh Hian Hong mulai mengerti arah kata-kata Wan Lui, lalu tersenyum dan meng angguk-angguk. "Aku mengerti. Jadi menurut Wan-heng, orang-orang Pek-lian-kau itupun bersembunyi di suatu tempat, di mana orang lain paling tak menyangka kalau dijadikan tempat sembunyi mereka, begitu?"

"Benar. Darah hewan-hewan berbulu hitam agaknya paling disegani ilmu orang Pek lian-kau, tapi tempat saudagar itu toh sudah lama kosong Seandainya ada bekas darah hewan sembelihanpun pasti sudah lama kering dan terhapus."

"Benar. Wan kita periksa, mumpung siang hari."

"Ya. Di siang hari, ilmu hitam mereka, amat terbatas keampuhannya."

Kemudian Koh Hian Hong dan Wan lui mulai melangkah menyeberangi tempat terbuka itu, menuju ke rumah kosong. Tapi si perwira yang mengantarkan mereka itu ragu-ragu, langkahnya kelihatan alot, bahkan ia bertanya, "Tai-jin, apakah aku... ju... juga harus ikut?"

Dan hatinyapun lega ketika Koh Hian Hong menjawab, "Kau cukup mengantar sampai ke sini saja. Nanti kalau Siau Cong Peng dan pasukankannya tiba, laporkan saja tentang yang sedang kami lakukan."

"Baik..... baik...." sahut si perwira kegirangan. Kemudian sambil menatap punggung Koh Hian Hong dan Wan Lui yang sedang me langkah ke rumah kosong itu, si perwira berkata dalam hatinya, "Bukan aku yang menyuruh, jadi kalau sampai kalian kesurupan atau menjadi gila, jangan salahkan aku."

Sementara itu, setelah tiba di dekat dinding rumah kosong itu. Wan Lui dan Koh Hian Hong tidak tergesa-gesa masuk, melainkan berkeliling satu putaran dulu untuk memeriksa, sambil mendengar-dengarkan kalau ada suara dalam rumah kosong itu. Ternyata kedengaran sepi-sepi saja lalu Wati Lui berdua pun melompati tembok untuk masuk.

Ternyata memang rumah itu betul-betul kosong, tidak nampak satupun batang hidung orang-orang Pek-lian-kau. Namun tak berarti penyelidikan Wan Lui berdua jadi sia-sia. Sebab di seluruh tempat itu diketemukan berceceran bungkus-bungkus makanan ataupun remah-remah makanan yang jelas belum lama ditinggalkan. Dengan pedang terhunus di tangan masing- masing dan tidak mengendorkan kewaspadaan sedikitpun, mereka meneliti rumah kosung itu dari sudut ke sudut, dengan mengambil arah berbeda.

Tiba-tiba Koh Hian Hong membungkuk, memungut suatu benda, lalu berseru memanggil, "Wan-heng!"

Wan Lui yang sedang memeriksa bagian lain, ketika mendengar seruan itu lalu melompat secepat seekor burung ke tempat Koh Hian Hong, la mengira Koh Hian Hong kepergok musuh. Tapi setelah dilihatnya, ternyata Koh Hian Hong cuma berdiri termangu-mangu sambil memegangi sebuah sepatu, hanya sebelah kanan, tak ada pasangannya.

"Ada apa, Sian-seng?"

Sambil menunjukkan sepatu itu, Koh Hian Hong beekata, "Ini sepatu Kui Siau-ya. Kini kita yakin bahwa semalam pasti Siau-ya dibawa kemari, namun sekarang entah dibawa kemana lagi."

"Kita periksa tempat ini lebih cermat, mudah-mudahan bisa dlketemukan petunjuk-petunjuk jejak yang lain!"

Mereka kembali meneliti dengan berpencaran. Dan Kali ini Wan Lui yang lebih dulu menemukan sesuatu. Dipanggilnya Koh Hian Hong untuk ditunjuki sepatu. "Siah-song, mengherankan sekali bahwa jejak-jejak tapak kaki ini menuju ke arah yang tidak ada pintunya, tapi kesebuah ruangan tertutup, banyak jejak yayg masuk ke ruangan ini, tapi sedikit jejak yang keluar. Dan jejak yang keluar itupun tanahnya lebih kering dari jeiak yang masuk, menandakan kalau jejak masuk itulah jejak yang terakhir."

Koh llian Hong mengangguk-angguk setuju, dan diam-diam kagum akan kecermatan pengamatan Wan Lui. Lebih cermat mereka memeriksa ruangan itu, sampai akhirnya mereka menemukan salah satu lempengan ubin itu goyah, seperti tidak disemen. Sedangkan lempengan lempengan lain direkat semen satu sama lain dengan kuatnya.

"Jelas, mereka kabur tidak lewat jalan yang wajar, tapi dari sini...." desis Koh Hian Hong yakin. "Pantas anak-buah Siau Cong-peng tak berhasil menemukan mereka biarpun sudah mengaduk di seluruh kota. Mereka kabur lewat bawah tanah."

Sedangkan Wan Lui tidak cuma berdiam diri, la mengangkat lempengan ubin yang longgar itu, dan memang di bawahnya nampak sebuah lubang galian yang nampak benar kalau dikenakan dengan tergesa-gesa. Tanahnya masih merah dan belum berlumut. Dengan pedang terhunus, tanpa pikir panjang lagi Wan Lui melompat masuk ke bawah.

"Wan-heng, hati-hati!" Koh Hian Hong kaget melihat tindakan Wan Lui yang dinilainya amat gegabah. Tapi Wan Lui seperti jangkrik raksasa saja, sudah menghilang ke dalam terowongan bawah tanah itu.

Koh Hian Hong ragu-ragu. Mengikuti Wan Lui atau menunggu Siau Gin Heng yang sebentar lagi tiba? Akhirnya ia memutuskan, "Para penculik itu pasti sudah sampai keluar kota, ladi lebih baik aku ajak Siau Cong-peng membawa pasukan untuk mengejar keluar kota."

Itu artinya Wan Lui mengejar sendirian lewat terowongan darurat itu. Dengan penuh kewaspadaan Wan Lui maju di terowongan itu, dibantu cahaya dari mulut terowongan. Ternyata tidak seluruhnya terowangan itu dibuat oleh orang Pek-lian-kau. Hanya beberapa puluh langkah permulaan, lalu terowongan itu disambungkan ke parit bawah tanah yang sudah ada sejak kota itu dibangun. Terowongan itu terus menuju keluar kota, bahkan menembus lewat di bawah tembok kota. Wan Lui terus menyusurinya biarpun sambil menutup hidungnya untuk menahan bau busuk saluran itu. Akhirnya diapun muncul di luar tembok kota, tapi di bagian semak belukar yang jauh dari jalan besar. Di situ, jejak kaki berjumlah cukup banyak menuju ke satu arah.

"Mereka berbuat demikian karena mengira Siau Gin Heng masih mengaduk kota Kim-teng," pikir Wan Lui. "Aku sendirian barangkali tak bisa melawan mereka, kalau di antara mereka ada orang-orang berilmu tinggi. Tapi setidak-tidaknya bisa kubuntuti terus mereka, sampat menemukan peluang untuk menyelamatkan Kui Thian Cu."

Dengan tekad setia-kawan macam itulah maka Wan Lui mengikuti jejak itu terus. Sementara itu, tidak lama ketnudian pintu gerbang kota Kim-teng dipentang lebar, lalu muncullah seratus perajurit berkuda besenjata lengkap yang dipimpin oleh Siau Gin Heng, didampingi oleh Koh Hian Hong. Separuh dari pasukan berkuda itu dipersenjatai bedil sudut, di samping itu para perajurit membawa jenis "senjata" lain yang mengherankan mereka sendiri, atas permintaan Koh Hian Hong yang tidak mungkin di bantah Siau Gin heng.

"Senjata" itu adalah darah hewan-hewan hitam seperti anjing hitam, kambing hitam, kucing hitam, ayam hitam dan sebagainya. Darah mereka ditampung dalam guci-guci kecil atau bumbung-bumbung bambu yang dibawa perajurit -perajurit itu. Selain itu masih ada "senjata" lain berupa bagian dalam tubuh hewan hewan seperti usus, hati, limpa, paru-paru dan sebagainya yang masih berlumuran darah dan dibungkus dengan daun atau kertas.

Apalagi para perajurit bawahan, sedangkan Siau Gin Heng sendiripun tidak tahu gunanya buat apa benda-benda itu dibawa, la cuma menuruti permintaan Koh Hian Hong saja, sambil menggerutu dalam hati. Berderaplah seratus perajuru berkuda itu ke arah timur-laut, salah satu dari jalan jalan di sekitar kota Kim-teng. Dijalan-jalan ke arah lain pun sudah dikirimkan regu regu pasukan pemburu, membawa perintah yang sama, membawa "senjata" yang sama pula.

Sambil berkuda di samping Siau Gin Heng, tidak jemu-jemunya Koh Hian Hong memperingatkan Siau Gin Heng penuh kesungguhan, "Cong-peng, kalau benar-benar kita berhasil mengejar penculik-penculik itu, kuharap jangan bertindak gegabah. Ingat keselamatan Pangeran Hong Lik!"

Sudah tentu Siau Gin Heng berjanji akan "sebisa-bisanya mengutamakan keselamatan Pangeran Hong Lik," namun ditambahi dengan catatan "Tapi kalau gagal ya bagaimana lagi?"

"Ya bagaimana lagi"nya itulah yang membuat perasaan Koh Hian Hong tidak tenteram.

Menjelang tengah hari, pasukan itu sudah meninggalkan kota Kim-teng tigapuluh Ii lebih. Mereka tiba di sebuah jalanan yang di kiri kanan diapit dengan tebing-tebing Bukit. Saat itulah tiba-tiba timbul keanehan. Baru saja sinar matahari terang benderang, sekonyong-konyong muncul awal hitam-tebal dan lebar, entah darimana datangnya, seperti payung raksasa yang menudungi pasukan Siau Gin Heng dan turun begitu rendah.

"Hati-hati, ilmu kaum Pek-lian-kau," Koh Hian Hong memperingatkan seluruh pasukan.

Namun Siau Gin heng yang belum pernah mengalami sendiri berhadapan dengan ilmu orang-orang Pek-lian-kau, tidak terlalu menggubris peringatan Koh Hian Hong i-tu. Sarnbil mengacungkan pedangnya dan tidak scdikitpun memperlambat kudanya, sambil berseru, "Jangan pedulikan! Pasukan terus maju!"

Baru saja selesai Siau Gin Heng berucap, tiba-tiba dari depan terdengar suara gemuruh angin yang keras dan dingin, makin lama makin keras sehingga pasir dan batu batu kecil sampai terangkat dan seolah di semburkan ke arah para peraiurit. Para perajurit jadi kacau, panik, banyak yang mata nya kelilipan pasir sehingga tak mampu mengendalikan kudanya. Akibatnya banyak kuda saling tabrak, meringkik-ringkik dan melonjak-lonjak tak terkendali, banyak yang jungkir balik.

Dan angin dingin itu bukannya mereda, malah menghebat, disertai hawa dingin yang menghebat pula. Mega hitam di atas pasukan itu juga makin tebal dan makin rendah. Dalam hiruk-pikuk dimana semua orang kehilangan pegangan itu, hanya Koh Hian Hong yang masih sempat meneriakkan,

"Siramkan darah hewan! Siramkan darah hewan!"

"Siramkan ke mana?"

"Ke arah sembarangan saja!"

Waktu itu, boleh dibilang sudah tidak ada perajurit yang mampu duduk tetap di atas kuda masing-masing karena kencangnya angin pasir itu. Banyak yang sudah berpelantingan dari kuda, mendekam di tanah sambil memeluk kepala, atau membungkuk dan memeluk leher kuda erat-erat. Tidak sedikit yang terinjak-injak kuda-kuda yang melonjak-lonjak seperti gila.

Seruan Koh Hian Hong itu memang kedengaran tidak masuk akal, tapi setidak-tidaknya bisa dicoba, biarpun dengan tidak yakin, beberapa perajurit dengan tertatih tatih sambil menutupi mata dari pasir, berhasil mencapai guci-guci atau bumbung bumbung bambu berisi darah hewan hewan berbulu hitam itu, lalu dibuka tutup nya dan disiramkan. Darah binatang muncrat di mana-mana, banyak perajurit ikut kecipratan.

Namun aneh juga bahwa angin kencang itu tiba-tiba mereda dan akhirnya lenyap. Awan tebal hitam yang tergantung rendah dan menutupi matahari itupun perlahan-lahan pecah, lalu raib entah kemana. Sinar matahari kembali bersinar cemarlang. Para perajurit tercengang keheranan, inilah pertempuran paling aneh yang pernah mereka alami.

Kemudian para perajurit mula membenahi diri, banyak yang topinya sudah hilang diterbangkan angin tadi, namun yang penting senjata-senjata mereka. Tidak sedikit yang pula mati terinjak-injak kuda-kuda yang mengganas tadi.

Tak terkira geramnya Siau Gin Heng melihat kerusakan pasukannya. Dia sendiri pun masih harus membersihkan matanya yang kemasukan pasir, sama dengan sebagian besar perajuritnya yang saling meniup mata di antara sesmua temanya, untuk mengeluarkan pasir.

"Bagaimana, Tai-jin?" Sia Gin Heng kemudian minta pendapat Koh Hian Hong.

Sahut Koh Hian Hong, “Dengan adanya serangan gaib tadi, itu menandakan bahwa kita sudah hampir bertemu dengan orang-orang Pek-lian-kau. Sebaiknya kita maju terus."

"Namun lawan yang kita hadapi kali ini agaknya semacam pasukan iblis sendiri. Bisa menggunakan angin dan mega hitam segala."

"Tapi bukankah kitapun terbukti berhasil menangkis serangan gaib mereka? Jadi tak ada alasan bagi kita untuk belum-belum sudah mengaku kalah," bantah Koh Hian Hon.

"Baiklah," dengan amat terpaksa Sau Gin Heng menuruti kemauan Koh Hian Hong. "Pasukan siap!"

Waktu itu, semua perajurit sudah siap kembali di atas kuda masing-masing, biarpun seragam mereka sudah agak berantakan. Sambil bederap memimpin pasukannya, Siau Gin heng mengharap, mudah-mudahan para penculik melihat gerakan pasukannya dari kejauhan. Lalu para penculik itu merasa terjepit dan membunuh hasil culikannya, dengan demikian Pangeran Hong Lik mati tapi Siau Gin Heng tidak bisa disalahkan.

Namun yang terjadi kemudian tidaklah seperti yang diinginkan Siau Gin heng. Dari balik tebing-tebing di depan, tiba-tiba kembali muncul angin kencang dan mega hitam yang menerpa ke arah pasukan kerajaan. Bukan itu saja, tapi muncul pula pasukan berkuda. Orang-orang berkuda itu semuanya berpakaian serba kuning, mirip seragam perajurit Kerajaan Beng jaman dulu. Wajah orang-orang itu kelihatan kaku, seolah raut wajah mereka dilukis di atas sehelai kertas oleh seorang yang baru mulai belajar menggambar.

Siau Gin heng cepat mengatur pasukannya, "Menyebar! pembawa senapan siap di depan!"

Dengan gerakan yang cukup terlatih, para perajurit cepat memencarkan diri dalam bentuk lengkungan lebar sehingga harus menerjang lahan perkebunan penduduk di ke dua tepi jalan. Sedang perajurit-perajurit bersenjata senapan sudah siap membidik, dengan sumbu sudah terpasang di pangkal laras bedil-bedil mereka yang panjang.

Cukup mengherankan juga melihat betapa orang-orang berbaju kuning itu tidak nampak takut sedikitpun menghadapi moncong- moncong senapan, ragu-ragu sedikitpun tidak, mereka terus menyerbu dalam garis lurus sambil mengangkat pedang mereka tinggi-tinggi. Maju bersama asap hitam dan angin yang berhembus dingin mengiris kulit.

Saat itu adalah tengah hari, seharusnya suasananya terang-benderang dan udaranya hangat. Namun perajurit-perajurit Siau Gin Heng merasa seolah-olah saat itu adalah sen|a hari yang udaranya dingin. Ketika para penunggang kuda berseragam kuning itu mendekat, Siau Gin Heng berseru, "Serang!"

Bedil-bedil meletus dan bau asap mesiu mengusik hidung, panah-panah pun beterbangan bagaikan hujan. Tapi para perajurit terkesiap ketika melihat lawan-lawan mereka tidak ada satu pun yang roboh, orangnya maupun kudanya. Kalau yang ditembus peluru atau ditancapi panah memang banyak, tapi mereka terus berderap maju tanpa berhenti sekejappun.

Siau Gin Heng dan perajurit-perajuritnya mulai kebingungan menghadapi kenyataan tak masuk akal itu. Sedangkan Koh Hian Hong agaknya menyadari mahluk-mahluk macam apa yang sedang dihadapi pasukan itu. Serunya, "Lemparkan barang-barang najis itu lagi!"

Tapi peringatan itu agak terlambat ditangnya, sebab musuh sudah tiba di depan hidung mereka sambil mengayunkan senjata senjata mereka. Para perajurit jadi tidak sempat melemparkan "jimat" mereka, dan terpaksa harus melawan dengan senjata pula. Yang tidak sempat menghunus pedang, bedil mereka terpaksa dijadikan senjata semacam tongkat. Bedil jaman itu, panjangnya hampir sama dengan tubuh manusia, jadi cukup memadai dijadikan pentung kecuali pegangannya yang kurang enak.

Pertempuran pun berlangsung sengit. Para perajurit dengan geram ingin menghabiskan orang-orang berbaju kuning itu, untuk membalas dendam atau serangan angm. dan pasir tadi. Namun segera terlihat bahwa pertempuran itu lebih membawa kerugian dari pihak perajurit. Suatu perang yang ganjil dan sia-sia. Ganjilnya, kalau para perajurit kena senjata lawan-lawan mereka, perajurit benar-benar terluka atau mati.

Sebaliknya, kalau senjata para perajurit lawan mereka, jangan lagi lawan mati, sedang keluar darah setetespun tidak. Bahkan orang-orang berpakaian kuning berwajah janggal itu masih bisa bertempur terus seolah tidak terjadi apa-apa atas tubuh mereka. Kerugian lain, angin dan pasir itu tidak mempengaruhi orang-orang berbaju kuning itu, biarpun mata mereka kena pasir juga tetap melotot, berkedip pun tidak. Sebaliknya sangat menganggu perujurit-perajurit Siau Gin Heng, pasir yang berhamburan itu sering masuk ke mata dan jelas mengganggu gerak tempur mereka.

Tidak heran kalau dalam waktu singkat sudah banyak perajurit yang roboh, sedang pihak musuh masih utuh, tidak kurang satupun. Para perajurit jadi bertambah ngeri ketika melihat seorang musuh sudah terpenggal kepalanya, namun tubuh tanpa kepala yang tak mengeluarkan darah setetes-pun itu masih tetap menunggang kuda dan bertempur tak kalah hebatnya.

"Gila! Gila!" seorang perajurit yang bersyarat lemah agaknya tak tahan lagi menghadapi peristiwa itu. Senjatanya malah dilempar ke tanah, dan kedua tangannya memegangi kepala sambil berteriak-teriak ngeri.

"Kita bertempur dengan hantu! Kita takkan menang!"

Dalam suatu pertempuran, biasanya para perajurit saling menyerukan kata-kata yang mengobarkan semangat pasukainya. Tapi kini sebaliknya, yang terdengar cuma teriakan-teriakan yang mengecilkan hati, mempertebal ketakutan dengan teriakan teriakan panik mereka. Hanya yang bersyaraf baja saja yang masih sanggup bertahan. Menyaksikan kekacauan itu, Koh Hian Hong terdorong untuk melakukan sesuatu yang bisa memulihkan keberanian perajurit-perajurit itu.

Dilihatnya di pelana perajurit yang berteriak "gila" tadi masih tergantung sebuah guci kecil tertutup. Karena dikuasai kepanikan, perajurit itu agaknya lupa akan jimatnya, maka Koh Hian Hong merenggut guci itu. Dengan tak menggubris bau amis, Koh Hian Hong memecahkan guci itu dan mengambil bagian dalam perut kambing yang masih berlumuran darah mentah, benda kotor itu disundukkan ke pedangnya, dan usus kambing dibelitkan ke gagang pedangnya agar tidak gampang lepas. Lalu majulah dia menyongsong lawan-lawannya yang aneh itu.

Hasilnya memuaskan. Pedang itu tidak perlu dibacokkan atau ditikamkan, cukup disentuhkan ke tubuh lawan-lawan ganjil itu dan tiap kali yang terkena pun roboh. Bukan roboh menjadi mayat, melainkan menyusut menjadi orang-orangan kertas kuning, sedang kuda tunggangan mereka pun menjadi kuda- kudaan dari rumput kering yang tingginya tidak lebih dari dua jengkal.

Para perajurit yang belum ikut kebingungan, segera meniru apa yang dilakukan Koh Hian Hong, atau mencipratkan darah hewan ke tubuh musuh-musuh mereka. Tak lama kemudian, angin keras berpasir serta awan hitam itupun sirna, sinar matahari kembali menghangatkan tubuh. Pertempuran usai. "Musuh-musuh" sudah hampir empat puluh orang jumlahnya. Mati benar-benar. Kerugiannya belum dihitung dengan yang luka-luka, maupun kemerosotan semangat pasukannya.

Siau Gin Heng pun mengutuk dengan sengit, "Pertempuran macam apa ini?! Pihakku sudah kehilangan banyak perajurit, sedang pihak musuh baru kehilangan beberapa lembar kertas kuning dan seikat jerami!"

"Lalu bagaimana? Haruskah keselamatan Pangeran Hong Lik dibiarkan saja?" kali ini Siau Gin Heng terang-terangan menyebut nama Pangeran Hong Lik dihadapan perajurit-perajurit Siau Gin Heng, sedang sebelumnya ia masih menyembunyikan penyebutan yang terang-terangan itu untuk menekan, sekaligus menimbulkan rasa tanggung-jawab semua perajurit.

Tapi Siau Gin Heng sudah makin berani membantah, "Sian-seng, rasanya diperlukan persiapan yang cukup lama untuk melawan ilmu gaib musuh. Mungkin kita perlu mengundang beberapa Hwe-shio atau To-jin yang mahir mengusir setan. Kalau tidak, kami semua bisa celaka. Baru menghadapi dua macam ilmu saja, korban kami sudah begitu banyak, sedang yang masih hidup pun sudah hampir gila rasanya. Padahal, entah berapa macam lagi ilmu gaib yang masih dimiliki musuh? Aku kan bukan Dewa Sun Pun yang sanggup meladeni perang gaib melawan Hai-soh Seng-jin?"

Demikianlah Siau Gin Heng mengemukakan cuplikan cerita Liat-kok untuk mencari alasan mengundurkan diri.

"Tapi nyatanya kita tidak usah menjadi Sun Pun untuk menangkis ilmu-ilmu gaib tadi.” Desak Koh Hian Hong. “Bukankankah kita berhasil menangkis ilmu mereka? Kenapa harus jadi kecut hati...!”

Siau Gin Heng garuk-garuk kepala dengan sikap yang serba salah. Mau maju terus takut kepada musuh, tidak mau maju juga takut dilaporkan ke Pak Khia bahwa dirinya tidak menggubrik nasib putra mahkota. Akhirnya dengan amat terpaksn Siau Gin Heng berkata, "Baiklah, Kita maju terus.”

Baru saja selesai ucapanya, dari sebelah depan kembali terdengar suara gemuruh kuda yang berderap dan ringkik kuda. Kembali dari balik tebing itu muncul sebuah pasukan berkuda yang menerjang ke pasukan Siau Gin Heng, Kali ini tanpa deru angin, pasir yang beterbangan maupun awan hitam yang rendah.

Belum hilang kesan seram dalam diri para perajurit, namun mereka pun bersiap. Bukan senjata yang mereka siapkan, tapi guci-guci kecil berisi darah hewan hitam dan bagian dalam tubuh hewan-hewan. “Mahluk-mahluk jejadian itu datang lagi.” Geram Siau Gin Heng. Dengan rasa jijiknya, tangannya sudah memegang suntai usus kambing yang siap disabet-sabetkan sebagai cambuk.

Ketika pasukan penyerbu itu sudah dekat, serempa para prajurit menyiramkan darah binatang, melemparkan jerohan binatang dan sebagainya. Siau Gin Heng sendiri menyabetkan usus kambing kearah seorang “Mahluk jejadian’ yang menerjang kearahnya dengan tombak yang teracung dikempit di ketiak.

Diluar dugaan, segala benda penangkal ilmu siluman itu tidak berguna, sebab kali ini yang dihadapi para perajuri adalah manusia-manusia sungguh-sungguh, anggota-anggota Pek-lian- kau, biarpun darah dan benda-benda najis mengenai mereka, tapi mereka tetap menerjang ke depan dengan senjata terayun.

Lagi-lagi para perajurit terlambat menyadari kekeliruan mereka. Saat mereka yakin bahwa lawan lawan mereka bukan "kertas dan jerami", sudah banyak perajurit menjadi korban, entah tertembus perutnya, terbelah dadanya atau terpenggal lehernya, sebelum perajurit-perajurit itu sempat menyiapkan senjata- senjata mereka.

Anggaota-anggota Pek-lian-kau dengan beringas terus menyerbu ke tengah-tengah pasukan yang tengah kalang-kabut itu. Senjata-senjata mereka berkelebat-kelebat kejam menambah korban-korban berikutnya.

Sabetan usus kambing Siau Gin Heng tepat kena muka Thio Yap, hulubalang Pek-lian-kau golongan Lam-cong. Namun Thio Yap tidak segera jatuh dan "berubah menjadi kertas" seperti harapan Siau Gin Heng, malah ujung tombaknya dengan mantap menyusup ke antara tulang-tulang rusuk Siau Gin Heng yang kegemukan itu. Si Panglima kota Kim-teng itupun roboh terlempar dari kuda.

Thio Yap tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutar kudanya dan tombaknya. Teriaknya, "Saudara-saudara, ayo kita habiskan anjing-anjing tolol ini!"

Kemudian Thio Yap sendiri menerjangkan kudanya dan mengamuk ganas. Tombaknya berpusing bagai angin pusaran menerjang helai-helai daun kering. Terlihat nyata bahwa ia memang ahli tempur yang hebat. Disamping Thio Yap masih ada lagi hulubalang Pek-lian-kau golongan Lam-cong, Hoa Cek Gui yang memiliki sepasang tangan melebihi ukuran lumrah dalam panjangnya maupun besarnya.

Seolah tiap zat makanan yang masuk ke tubuhnya tidak pergi ke tempat lain kecuali ke kedua tangannya. Sudah punya tangan sepanjang itu, Hoa Cek Gui masih belum puas agaknya, maka pedang yang digunakannya pun satu setengah kali lipat dari pedang biasa, lebih pajang. Ditambah dengan kekuatan serta kecepatannya, maka Hoa Cek Gui jadi mirip baling-baling kincir angin yang nyasar ke tengah-tengah pasukan Siau Gin Heng dan menimbulkan banyak korban.

Koh Hian Hong segera mengenal kedua jago Pek-lian-kau itulah duiu yang menerobos gedung Cong-peng-hu di Kim-teng dan menculik Pangeran Hong Lik waktu itu, pembantu yang dibawa oleh kedua orang itu hanyalah beberapa lembar gulungan kertas kuning berbentuk orang-orangan.

Sementara itu sisa pasukan sudah bertempur dengan kacau dan dengan semangat yang patah. Berulang kali mereka mendapat kejutan yang tidak menyenangkan, dan itu sudah cukup membuat mereka ingin mundur saja. Apalagi setelah mereka melihat panglima mereka tergeletak di tanah kena tombak lawannya tadi, entah mati entah hidup.

Sia-sia Koh Hian Hong berteriak-teriak sampai tenggorokannya sakit, berusaha mengatur sisa pasukan itu agar bertempur lebih teratur dan bersemangat. Para perajurit sudah lesu, sambil bertempur mereka mundur terus kearah kota kim-teng. Para perajurit juga tidak mempan ditakut-takuti akan dilaporkan ke Pak-Khia dan tidak mempan terpancing “akan diberi hadiah dan kenaikan pangkat.” Mereka hanya ingin pulang. Habis perkaralah. Pulang.

Para perajurit bergerak mundur, namun orang-orang Pek-lian-kau mengejar dengan penuh kebencian. Maka ditempat itu tinggalah Koh Hiang Hong sendirian, melawan keroyokan Thio Yap dan si tangan panjang Hou Cek Gui. Ketiga orang itu belum turun dari kuda. Dan betempur dengan kemahiran silat masing- masing, tanpa pakai gaib-gaiban lagi.

Koh Hian Hong berkelahi makin lama makin kalap, merasa malu karena gagal mempertanggung-jawabkan keselamatan Pangeran Hong Lik. la sudah bertekad, kalau tidak bisa kembaii ke Pak-hia dengan membawa Pangeran Hong Lik tanpa kurang suatu apapun, maka ia lebih baik mati dalam pertempuran melawan orang-orang Pek-lan-kau ini.

Sedangkan Thio Yap dan Hoa Cek Gui bertempur tak kalah sengitnya. Sebagai orang-orang yang merindukan bangkitnya kembali Kerajaan Beng, mereka amat mem benci orang Manchu yang mereka anggap menindas orang Han. Tetapi kebencian mereka menjadi dua kali lipat terhadap orang Han yang bekerja kepada pemerintah Manchu, seperti Koh Hian Hong ini.

Bukan saja ketangguhan silat kedua hulubalang Pek-lian-kau ini yang memberatkan Koh Hian Hong, tapi juga ukuran senjata yang mereka pakai melawan Koh Hian Hong telah memaksa lebih banyak bertahan dari pada menyerang. Dengan pedangnya yang berukuran normal, Koh Hian Hong harus melawan pedang Hoa Cek Gui yang “abnormal” ditambah lengan pemegangnya yang abnormal pula. Disamping itu, tombak Thio Yap dimainkan bagaikan angin prahara.

Koh Hian Hong coba mengambil keuntungan berdasar teori “senjata lebih pendek, lebih rapat pula dalam pertahanan”. Karena itulah ia cuma bertahan segigihnya sambil menanti munculnya peluang untuk serangan balasan yang berarti. Di bagian luar pertahanan Koh Hian Hong, Thio Yap disatu sudut memainkan tombak begitu cepat sehingga ujung tombaknya seperti ular terbang yang berbelit-belit, sedangkan pangkal tangkai tombak pun berulang kali menyambar deras ke Kaki, pinggul, pelipis lawannya. Disudut lain, Hoa Cek Cui menutup sudut-sudut yang tersisa dengan gaya "kincir angin roboh"nya.

Berulang kali Koh Hian Hong harus mengalami gencetan hebat dari dua arah se kaligus, bukan serangan yang polos, melainkan mengandung gerak tipu yang unggul. Kalau menghadapi keadaan macam itu, Koh Hian Hong hanya bisa menangkis salah satu serangan, sedang serangan lainnya terpaksa dihindari dengan melompat menghindar ke arah yang tepat.

"Ayo, anjing Manchu, menggigitlah! Jangan cuma berlompat-lompatan saja!" damprat Thio Yap. "Bukankah kau ingin menyelamatkan si bangsat cilik Hong Lik?"

"Atau pulang saja ke Pak-khia dan laporkan kepada si raja iblis Yong Ceng, bahwa dia harus tunduk kepada kemauan kami, kalau dia ingin anaknya selamat!" teriak Hoa Cek Gui penuh kebencian, sambil menggulungkan pedang panjangnya dengan gerak Liong-ong-lian-hai (raja Naga membendung arus).

Ketika menangkis dengan pedangnya, Koh Hian Hong tiba-tiba merasa pedangnya seolah dicelupkan ke dalam pusaran air berkekuatan dahsyat, harnpir saja pedangnya terlepas. Supaya tidak harus mengadu kekuatan yang mengakibatkan kerugian dirinya, Koh Hian Hong lalu melompat tinggi dan jauh dan membuat sebuah perputaran diudara, mengikuti pusaran pedang lawan, lalu menyingkir jauh.

Namun Thio Yap memburu secepat kilat ke titik dimana Koh Hian Hong hendak menyelamatkan diri. Bahkan Thio Yap melompat pula, menerjang tubuh Koh Hian Hong di udara namun dengan lebih dulu menghitung sudut yang menguntungkan. Agak menyudut sebelah kiri, tombaknya menikam ke wajah Koh Hian Hong dengan gerak lincah Kim-siam-hi-long (katak emas bermain di gelombang).

Sementara si "kincir angin" Hoa Cek Ciui pun memburu dengan serangan barunya. Koh Hian Hong berusaha untuk tidak panik dalam situasi gawat itu. la miringkan kepala untuk menghindari ujung tombak Thio Yap, dan secara untung-untungan menggunakan tangan kiri untuk menangkap gagang tombak Thio Yap. Sementara pedang di tangan kanannya ditusukkan untuk menikam wajah Hoa Cek Gui yang tengah menyerbu datang.

Hoa Cek Gui tidak menghentikan lang kahnya. Tikaman Koh Hian Hong tidak dihiraukan, namun diapun meluruskan pedang seajar dengan pedang Koh Hian Hong. Lengan nya lebih panjang, pedangnyapun lebih panjang, maka dengan cara itu balik Koh Hian Hong yang terancam. Keduanya saling menikam, tapi yang satu lebih panjang pedangnya.

Segalanya berlangsung serba cepat. Thio Yap dan Koh Hian Hong bersamaan melayang turun ke tanah, dengan tangan kiri Koh Hian Hong masih memegangi gagang tombak Thio Yap. Namun bedanya, perut Koh Hian Hong sudah ditembus pedang Hoa Cek Gui.

"Mampus kau, anjing Manchu!" geram Thio Yap sambil menarik tombaknya kuat-kuat untuk didorong kembali ke depan. Dada Koh Hian Hong kena, dan gugurlah pengawal setia Pangeran Hong Lik itu. Thio Yap dan Hoa Cek Gui berdiri termangu, kemudian membersihkan senjata mereka dari darah dengan menggunakan rerumputan.

"Ulet juga anjing Manchu ini!" geram Hoa Cek Gui.

"Tentu saja. Kalau bukan pesilat tangguh, mana bisa dipercaya untuk mengawal si bangsat cilik Hong Lik itu!"

Sementara itu, laskar berkuda Pek-lian-kau yang tadi mengejar pasukan kerajaan yang terpukul mundur, kini telah berderap kembali dengan gaya pasukan yang menang perang.

"Bagaimana?" tanya Thio Yap kepada orang- orangnya. Salah seorang laskar menjawab dengan bangga, "Karena keberuntungan Kerajaan Beng yang jaya, dalam pengejaran kami berhasil membinasakan sebagian besar anjing-anjing Manchu itu. Hanya sedikit sisanya yang berhasil masuk kembali ke kota Kim-teng. Kami tidak mengejarnya lagi, sebab belum siap kalau harus menghadapi ribuan anjing Manchu lainnya di dalam kota."

"Yang inipun sudah cukup," kata Thio Yap. "Akupun puas bisa membunuh Siau Gin Heng, sedang Hoa Hiang-cu kalian berhasil membereskan pengawal utama dari bangsat cilik Hong Lik itu. Kemenangan ini patut di jadikan modal semangat untuk kebangkitan dinasti Beng kita!"

"Mari kita bergabung dengan teman-teman kita."

Orang-orang Pek-lian-kau itupun berbaris pergi, meninggalkan tempat yang penuh mayat-mayat bergeletakan itu. Maka tempat itupun menjadi sepi. Orang yang akan melewati tempat itupun akan memilih untuk mengambil jalan lain, biarpun lebih jauh. Menghindari tempat penyembelihan manusia itu.

Ketika hari mejelang sore, di tempat itu toh muncul juga seorang lelaki yang memakai mantel-hujan dari jerami serta topi jerami pula, guna menahan hujan yang mulai turun. Melihat mayat-mayat para perajurit yang bergelimpangan itu, bukannya dia menjauh dengan ketakutan seperti orang lain, malahan ia bergegas mendekat.

Diamatinya mayat-mayat itu satu demi satu seperti berusaha mengenalinya, tiap kali ia menggeleng kecewa, sampai akhirnya ditemukannya tubuh Siau Gin Heng. Orang itu, In Kiu Liong, semakin kecewa melihat tubuh Panglima di Kim-teng itu. Berarti pihak gerombolan Kiu-liong-san kehilangan seorang "rekan usaha" yang menyenangkan. Sedangkan calon pengganti Siau Gin Heng kelak belum tentu bisa diajak "kerja sama". Atau kalau mau juga jangan-jangan minta bagian yang lebih besar.

Namun hati In Kiu Long melonjak ketika melihat tubuh gemuk itu bergerak sedikit agaknya titik-titik air dingin dari langit yang menyiramnya telah mengembalikan kesadarannya setelah tak sadar cukup lama karena lukanya sangat parah. Seolah menemukan sebutir permata berharga tergeletak di tanah, In Kiu Liong melompat ke sisi tubuh Siau Gin Heng dan berjongkok.

Dirabanya dadanya, denyut nadi di pergelangan tangannya. Hembusan udara di lubang hidungnya, dan semuanya itu menunjukkan tanda-tanda masih ada harapan hidup biarpun lemah. Luka tikaman tombak Thio Yap di rusuknya. Memang parah, tapi ternyata tidak membunuhnya sekaligus. Cepat-cepat In Km Liong menggunakan jempol tangannya untuk menekan urat Jin-tiong-hiat di bawah hidung membantu mempercepat kesadaran Siau Gin Heng.

Mata panglima itu terbuka sedikit, bahkan bibir pucatnya mulai bergerak-gerak, membuka dan berusaha mendapatkan sebanyak-banyaknya titik-titik air yang jatuh dari langit. ln Kiu Liong membiarkannya saja, bahkan perlahan mengangkat kepala Siau Gin Heng untuk diganjal dengan pahanya sendiri dan dipegangi, agar bisa mendapat air lebih banyak.

"Siau Cong-peng..." panggilnya. Siau Gin heng mengenali wajah penolongnya, lalu berdesis lirih, "Utusan dari Pak-khia itu...adalah...adalah...." Desisnya makin lirih. In Kiu Liong tidak mau kehilangan keterangan yang barang kali penting itu, cepat-cepat mendekatkan kupingnya ke bibir Siau Gin Heng. Masih sempat ditangkapnya kata-kata lanjutan dari bibir itu, "adalah Pangeran Hong Lik..."

Begitu terkejutnya In Kiu Liong mendengar nama itu, sehingga kepala Siau Gin Heng yang tengah dipeganginya itu dilepaskan dan tersentak keras ke tanah. Siau Gin Heng mengeluh pendek sebagai ucapan selamat tinggalnya kepada dunia. Seandainya ia dirawat perlahan-lahan, dengan penuh kecermatan, barangkali umur Siau Gin Heng rnasih bisa ditambah beberapa tahun lagi. Tapi gara-gara "Pangeran Hong Lik" itulah Siau Gin Heng malahan jadi mati lebih cepat dari semestinya.

Ya sebut saja "pembunuhan tidak sengaja". Sedangkan In Kiu Liong tidak peduli lagi kepada Siau Gin Heng. Ia melompat tegak, matanya bersinar-sinar, tinjunya dikepal-kepalkan. Sebuah seringai kejam tiba-tiba muncul di wajahnya, sambil berdesis sendirian, "Pangeran Hong Lik… Pangeran Hong Lik... Putera Mahkota. Benarkah pendengaranku tadi? Kalau benar, ha-ha.... ini baru kakap! Bisa mempercepat perjuanganku menuju singgasana!"

Lalu bergegaslah ia pergi di bawah siraman hujan yang lebat. Langit seolah dengan sukarela memandikan mayat-mayat terlantar itu.

* * * *


Sementara itu, Wan Lui terus mengikuti jejak para penculik yang anehnya tidak pernah mendekati jalan besar, tapi terus menerus melewati jalan setapak yang sepi. Hanya di suatu tempat, jejak itu pecah dua. Yang pertama berjumlah besar, terus ke arah semula. Lainnya agaknya hanya dua orang, menyimpang ke arah berbeda. Wan Lui memutuskan untuk terus mengikuti jejak kaki yang banyak itu, sebab dianggapnya yang dua itu kurang berarti.

Seandainya, hanya seandainya, Wan Lui tahu bahwa jejak yang hanya dua orang itu adalah jejaknya Thio Yap dan Hoa Cek Gui, dua pentolan penculik, maka mungkin Wan Lui akan dapat menyelamatkan Siau Gin Heng, Koh Hian Hong dan puluhan perajuritnya. Saat itu Wan Lui tidak tahu kalau Koh Hian Hong pun sudah tewas. Dengan demikian nasib Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik itu ibarat layang-layang yang sudah putus benangnya, dan tinggal menurut kernana dibawa perginya oleh angin. Dan bakal banyak yang memperebutkan "layang-layang" yang cukup berharga itu.

Tapi bagi Wan Lui, ia tidak tahu siapa sahabatnya itu kecuali bernama Kui Thian Cu dari Pak-khia. Dan keinginannya hanyalah menyelamatkan seorang sahabat. Wan Lui akan menganggap dirinya percuma sebagai laki-laki jantan, kalau seorang sahabatnya diculik di depan hidungnya tanpa dia mampu menolongnya.

Ternyata orang-orang Pek-lian-kau itu membagi gerakan mereka menjadi dua. Sekelompok kecil anggota-anggota pilihan yang tangguh, menyusup kota Kim-teng untuk menculik Pangeran Hong Lik. Dan sejumlah besar lainnya disiapkan di luar kota, untuk menyambut kalau teman-teman mereka berhasil, dan menolong kalau teman-teman mereka terancam bahaya. Kelompok kecil berhasil menculik Pangeran Hong Lik sedang kelompok besar berhasil menghadang dan menghancurkan pasukan Siau Gin Heng.

Jadi bisa dibilang kalau Pek-lian-kau dalam gebrakan kali ini mendapatkan kemenangan yang lengkap. Kemenangan yang membesarkan hati, setelah beberapa tahun yang silam nama mereka tercoreng karena kekalahan pahit di Pak-khia, ketika orang-orang Pek-lian-kau dan Jit-goat-peng (serikat Rembulan Matahari) ditumpas, biarpun saat itu telah mengerahkan puluhan ribu anggota.

Memang benar saat itu orang-orang Pek-lian-kau yang ditumpas di Pak-khia itu dari golongan Pak-cong (golongan utara), sedang penculikan Pangeran Hong Lik dan penghadangan pasukan kerajaan kali ini ditangani orang-orang Lam cong (golongan selatan).

Tapi bagi orang luar, Pak-cong atau Lam-cong tidak dikenal, tahunya ya Pek-lian-kau. Yang diam-diam dibuntuti oleh Wan Lui itu termasuk kelompok kecil yang bertugas membawa Pangeran Hong Lik ke suatu tempat yang aman, di mana mereka akan bergabung dengan teman-teman mereka dari kelompok besar.

Karena itu, ketika Wan Lui membuntuti terus, mereka akhirnya tiba di sebuah lembah kecil yang subur, rumputnya tebal, dikelilingi pepohonan lebat, dan ada dua jalur jalan setapak buatan manusia yang kelihatan masih baru. Di satu sisi ada sebuah danau kecil berair jernih. Jadi tempat itu selain aman karena tersembunyi, juga indah pemandangannya. Orang-orang Pek-lian-kau itu jadi mirip dengan sekelompok orang kota yang tengah berlibur dan berkemah.

Tetapi Wan Lui tahu pasti bahwa itu bukan orang-orang bertamasya, melainkan sekelompok orang yang siap membunuh, menculik, mengacau atau melakukan apa saja demi cita-cita mereka yang konon tidak tanggung-tanggung. Merobohkan Kerajaan Manchu dan membangun kembali Kerajaan Beng.

Dari tempat persembunyiannya, Wan Lui menghitung jumlah kemah di tepi danau itu, ternyata ada kira-kira seratusan kemah. Dan orang yang berkumpul di tempat itu kalau tidak empat ratus ya tiga ratus orang. Di mana-mana nampak asap mengepul dari orang-orang memasak makanan. Hilir-mudik pula orang-orang berbaju hitam dengan dada kiri bajunya disulam gambar teratai putih, dan semuanya bersenjata. Di satu sisi ada banyak kuda yang ditambatkan untuk memakan rumput. Luas perkemahan itu kira-kira memakan separuh luas lembah kecil itu.

Melihat betapa banyaknya orang Pek-lian-kau berkumpul di perkemahan itu, Wan Lui jadi agak menyesal kenapa ia terlalu berhati-hati, tidak menyergap saja kelompok kecil itu selagi dalam perjalanan ke perkemahan? Kini setelah tiba di perkemahan yang dihuni ratusan orang itu, tentu lebih sulit membebaskan Kui Thian Cu. Lagipula, tak diketahuinya Kui Thian Cu entah ditempatkan di kemah yang mana....

Selanjutnya,