X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 15 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 15

Karya : Stevanus S P

Ia ingin menyelidiki, tapi siang hari bolong begitu sungguh membahayakan dirinya, bagaimanapun lihainya dirinya tentu tak mampu melawan tiga ratusan orang di perkemahan itu, apalagi di antara mereka tentu bukan keroco semuanya. Kalau tindakannya gegabah, jangan-jangan bukannya berhasil menyelamatkan Kui Thian Cu, malahan akan mencelakakan sahabatnya itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Apa boleh buat, terpaksa ia haruslah menahan diri sampai nanti gelap malam turun. Ketika matahari sudah miring di sebelah barat dan cahayanya banyak tertahan oleh pepohonan yang rapat, tiba-tiba dari suatu arah di seberang hutan terdengar suara gemuruhnya yang seperti suara pasukan berkuda. Makin lama makin dekat ke perkemahan itu. Orang- orang di perkemahan serempak bersiaga dengan senjata-senjata mereka, mengira perkemahan mereka diserbu.

Namun yang muncul dari lorong hutan itu ternyata adalah orang-orang Pek-lian-kau juga yang dipimpin oleh Thio Yap dan Hoa Cek Gui. Semuanya membawa kuda namun dituntun, tidak dinaiki, sebab lorong hutan itu tidak memungkinkan untuk menunggang kuda. Begitu melihat pimpinan dan tean-teman mereka, orang-orang Pek-Iian-kau di perkemahan itu bersorak kegirangan dan berlarian menyambut. Berebutan pula mengajukan pertanyaan.

Dengan sikap dan suara yang bangga, Thio Yap berkata, "Menang! Kita menang! Dulu orang-orang Pak-cong mengerahkan laksaan orang dan dibantu orang-orang Jit-goat-pang, tapi mereka gagal! Dan kita hanya dengan empatratus orang berhasil mencapai kemenangan jauh lebih gemilang dari kaum Pak-cong! Kita berhasil menghadang dan membunuh sebagian besar anjing-anjing Manchu yang mengejar kita, sisanya yang sebagian kecil kita kejar-kejar sampai mereka masuk kembali ke kota Kim-teng dengan mengempit ekor!"

Orang-orang Pek-lian-kau itupun serempak bersorak, namun kemudian tenang kembali untuk mendengarkan lagi kata-kata Thio Yap.

"Si pengawal tua yang bernama Koh Hian Hong itupun terbunuh oleh pedang Hoa Hiang-cu kalian," kata-kata Thio Yap ini langsung tenggelam dalam sorak-sorai orang-orang Pek- lian-kau yang lebih hebat. "Sedangkan Panglima Kim-teng, Siau Gin Heng, mampus oleh tombakku!"

Gemuruh sorak kegembiraan orang-orang Pek-lian-kau itupun terdengar seolah mengguncangkan lembah kecil itu. Sebaliknya di tempat persembunyiannya, Wan Lui sedih mendengar kematian Koh Hian Hong, la tahu Koh Hian Hong adalah seorang yang jujur dan setia, maka langsung saja Wan Lui menganggap bahwa orang yang tega membunuh Koh Hian Hong tentu seorang berdarah dingin. Dalam hati Wan Lui timbul tujuan lain, bukan hanya membebaskan Kui Thian Cu, tapi juga menghancurkan gerombolan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai maksudnya ini. Tapi ia narus menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

Sementara itu, orang-orang Pek-lian-kau selain pulang membawa cerita kemenangan, juga membawa belasan orang anggaota Pek-lian-kau yang terluka atau bahkan tewas. Maka sebelum matahari terbenam sama sekali, mayat-mayat itupun dikuburkan. Dengan upacara singkat, mayat-mayat didoakan. Setelah itu lalu mayat-mayat itu ditelanjangi, lalu dimasukkan ke liang lahat dalam keadaan tertelungkup, bukannya terlentang seperti orang lain. Itulah penguburan "gaya" Pek-lian-kau.

Pek-lian-kau adalah sempalan dari Tiau yang-kau (agama penyembah api) yang berasal dari negeri Persia. Konon, agama ini pada asalnya diajarkan oleh tiga bangsawan Persia, ajarannya penuh kebajikan seperti agama- agama lain. Cuma semakin jauh dari sumber aslinya, agama itu makin "rusak" sampai memberhalakan api.

Ketika ajaran itu merembes ke daratan Cina dengan sebutan Tiau-yang-kau, muncul pula sempalannya, Pek-lian-kau, yang lebih menyimpang lagi. Kalau dalam tiau-yang-kau masih bisa ditemui sedikit- sedikit ajaran moral biarpun bercampur aduk dengan tahyul, maka dalam Pek-lian-kau ajaran-ajaran moral sudah tidak terdengar lagi. Alih-alih beribadah, orang-orang Pek-lian-kau malahan lebih menekuni sihir hitam untuk membikin celaka orang lain.

Malam tiba, di beberapa bagian perkemahan tersembunyi orang-orang Pek-lian-kau itu nampak dinyalakan api-api unggun sebagai penghangat dari penerang. Sementara Wan Lui mulai memikirkan caranya untuk bisa masuk ke perkemahan itu. Ketika pepohonan mulai membentuk bayang-bayang rasaksa hitam, perlahan-lahan Wan Lui bergeser mendekati danau kecil itu. Lalu diapun melingkari sepanjang tepi danau, sampai akhirnya mencapai tepi danau yang berseberangan dengan sisi perkemahan.

Wan Lui memperhitungkan, sisi perkemahan yang menghadap danau itulah tentunya yang penjagaannya paling lemah, sebab orang-orang Pek-lian-kau tentu menganggap kecil kemungkinannya musuh menyerang dari arah danau itu. Tiba ditepi danau Wan Lui membuka semua pakaiannya dan menggulungnya untuk disembunyikan di atas sebuah pohon. Sesaat ia celingukan kesana kemari, kuatir kalau ada yang melihatnya tak berpakaian sama sekali. Tapi yang disekitarnya cuma kegelapan malam belaka.

Wan Lui melompat ke dalam air. Suara ceburan tubuhnya tidak lebih keras dari suara seekor belut ketika menyusup ke air. Air danau cukup dingin, namun tidak cukup untuk membekukan Wan Lui yang sejak kecil dibesarkan dipegunungan Tiang-pek-san yang jauh lebih dingin, hampir sepanjang tahun berselimut salju.

"Sekalian mandi..." pikir Wan Lui sambil berenang perlahan ke arah perkemahan. Ia berusaha memperhalus gerakan renangnya, sehingga tidak menimbulkan riak air atau suara kecipak air yang bias menimbulkan kecurigaan orang-orang diperkemahan. Maka meluncurlah ia agak perlahan di permukaan air, seperti seekor buaya. Tenang, hampir tanpa suara.

Tepian danau banyak ditumbuhi buluh air yang tinggi-tinggi, membuat Wan Lui gampang menentukan tempat persembunyian yang enak di situ. Tapi untuk naik ke darat haruslah menunggu kesempatan yang baik. Terpaksa untuk beberapa saat dia harus menahan dingin, berendam di air dan hanya mata serta hidungnya saja yang nongol di atas permukaan air, tersembunyi di antara batang-batang rumput air. Telapak kakinya sudah menyentuh dasar tepian danau yang agak berlumpur.

Kesempatan pun muncul, meskipun dengan sedikit perjuangan. Dari celah-celah rumput air, dilihatnya seorang anggota Pek-lian-kau tiba-tiba meninggalkan gerombolan kawan-kawannya yang tengah merubung perapian, lalu sendirian menuju ke tepi danau. Melihat bahwa orang ini berjalan sambil mengendorkan tali celananya, Wan Lui menyimpulkan tentunya orang ini hendak "buang hajat". Maka kembali Wan Lui meluncur amat lembut di antara rumput-rumput air, tak u- bahnya seekor buaya mengintai seekor kijang yang lengah di tepi air.

Ketika si "kijang" mendengar gemirisik lembut buluh-buluh air dan melihat sesosok mahluk meluncur mendekatinya, dia terkejut, namun tak sempat berbuat apapun. Wan Lui menyergap secepat kilat dan langsung menyeretnya ke dalam air dan langsung membereskannya. Demi keberhasilannya menyusup ke dalam tubuh Pek-lian-kau, terpaksa harus bertindak kejam. Hanya terdengar suara riak air perlahan ketika tangan-tangan Wan Lui yang kuat membereskan orang itu, namun kemudian si "kijang" itu terkulai dengan leher patah.

"Karena kita berdiri di tempat berlawanan, sobat," desis Wan Lui seolah-olah minta maaf kepada korbannya itu. Kemudian Wan Lui melucuti seragam Pek-lian-kau yang dipakai orang itu dan disembunyikan di tepi danau. Lalu sekali lagi Wan Lui harus berenang agak ke tengah danau sambil menyeret mayat korbannya.

Mayat itu ditelungkupkan di dasar danau lalu ditindihi batu-batu besar agar tidak mengapung ke atas. Setelah itu barulah Wan Lui naik ke darat dan memakai baju seragam Pek-lian-kau bekas kepunyaan korbannya itu. Tidak pas, benar, tapi lumayanlah.

Dengan tubuh basah dan pakain basah pula, Wan Lui lalu berjalan dengan tenangnya mendekati segerombolan orang Pek-lian-kau yang tengah duduk mengelilingi api, sambil menikmati daging kijang bakar. Dengan gaya amat wajar, seolah-olah benar-benar di tengah-tengah kawan-kawan lama.

Wan Lui duduk di antara orang orang itu sambil memperdengarkan gerutuannya, "Wah, sial aku..."

Orang-orang Pek-lian-kau itu memang sekejap menatap Wan Lui dengan heran, karena merasa belum pernah melihatnya di perkemahan itu. Tapi yang berkumpul di perkemahan itu memang anggota-anggota Pek-lian-kau bukan dari satu tempat, tapi dari berbagai tempat, tidak semuanya sudah saling mengenal. Karena itu akhirnya Wan Lui dibiarkan saja tanpa kecurigaan.

"Kenapa kau basah kuyup?" tanya seseorang tiba-tiba.

"Sial. Baru hendak cuci muka, malah aku tergelincir ke dalam danau..." jawab Wan Lui yang memang sudah siap dengan jawaban itu.

"Ah, sama dengan aku tadi sore..." kata seorang yang lain, mencoba mengakrabi Wan Lui dengan menyodorkan persamaan nasibnya.

"Sini, duduklah agak dekat ke api, agar pakaianmu cepat kering dan tubuhmu hangat. Jangan sampai kita sakit dalam tugas yang amat mulia ini!"

Wan Lui pun menggeser duduknya lebih dekat ke api, dan kata-katanyapun terdengar persis omongan orang Pek-lian-kau, "Terima kasih. Akupun mau tetap sehat agar tidak ketinggalan dalam menjunjung kejayaan kita. Membunuh anjing-anjing Manchu dan menegakkan kembali dinasti leluhur kita!"

Orang-orang itu mengangguk-angguk dan benar-benar mulai menganggap Wan Lui sebagai teman mereka. Salah seorang menawarkan sesunduk daging rusa bakar, dan Wan Lui menerimanya. Kemudian orang-orang itupun meneruskan percakapan yang sejak sebelum kedatangan Wan Lui tadi.

Ternyata, dua orang dari mereka siang tadi ikut bertempur menghadang pasukan kerajaan di bawah pimpinan Siau Gin-heng. Kedua orang itulah yang bercerita saling melengkapi, dengan penuh semangat, menceritakan kehebatan pihak sendiri, sedangkan pihak musuh kebagian sebutan "anjing Manchu", "pengecut", "lemah", "tolol" dan sebagainya.

Wan Lui ikut mendengarkan pula, dan kalau yang lain-lain memperdengarkan ucapan-ucapan amat membenci orang Manchu atau slogan kebangkitan kembali dinasti Beng, Wan Lui ikut pula agar tidak kelihatan lain sendiri. Sambil mengacungkan tinju segala. Namun Wan Lui panas dalam hatinya mendengar omongan orang-orang itu.

Tengah obrolan berlangsung dengan hangat, tiba-tiba salah satu dari mereka menjulurkan lehernya, lalu berdesis pelan, "Ssst, Cu-sian Cinjin sedang berjalan ke arah ini..."

Orang-orang di seputar api unggun itu serempak berdiri dengan sikap hormat. Nampak seorang berjubah imam berjalan mendekati. Diam-diam Wan Lui berdegup jantungnya, ketika mengenali imam itu tak lain adalah imam yang pernah bertempur dengannya malam itu, malam ketika Kui Thian-Cu diculik. Karena tidak mau dirinya dikenali si imam, Wan Lui berdiri di belakang "teman-teman baru"nya itu, agar wajahnya terlindung bayangan tubuh yang lain-lainnya.

Tapi si imam berwajah angker yang gelung rambutnya agak tak keruan karena rambutnya pernah dibabat sedikit oleh Wan Lui, hanya lewat saja di tempat itu. Terhadap sapaan hormat dari orang-orang di seputar perapian itu, ia cuma membungkuk sedikit dengan angkuh tanpa memperlambat langkahnya. Setelah imam itu lewat, orang-orang itu duduk kembali dengan santai, untuk melanjutkan obrolan sambil menikmati daging rusa bakar itu.

"Eh, kenapa wajah Cu-sian Cinjin tampak murung ya?"

"Entahlah, biasanya wajahnyakan memang juga asam begitu?"

"Mungkinkah dia berselisih paham lagi dengan kedua Hiang-cu."

"Kenapa kau sampai menduga ada perselisihan paham antara Cinjin dan kedua Hiang-cu? Memangnya perselisihan soal apa?"

"Soal urusan orang-orang atas, mana bisa aku menjawabnya? Biasanyakan Cang Lotoa yang punya berita-berita macam itu? He, Cang Lotoa, ada berita menarik tidak?"

Kini semuanya menoleh kepada Cang Lotoa, seorang lelaki kurus yang wajahnya dihiasi jerawat besar-besar, mukanya monyong dan mulutnya lancip sehingga agak mirip monyet. Namun, dikalangan anggota rendahan Pek-lian-kau, "jabatan" Cong Lo-toa ini cukup penting. Dari mulutnyalah sering keluar berita-berita penting tentang apa yang terjadi di pucuk pimpinan.

Membayangkan bahwa kelak kalau "Kerajaan Beng sudah berdiri" dirinya akan menjadi salah seorang pejabat kerajaan yang penting, maka sejak dini Cang Lotoa sudah membiasakan diri dengan tingkah laku para pejabat kerajaan umumnya. Yaitu, menggunakan kedudukannya untuk hal hal yang menguntungkan.

"Yaaah..." desah Cang Lotoa sambil melemparkan sepotong tulang paha rusa yang habis digerogoti dagingnya, lalu mengusap-usap mulutnya yang berminyak dan membiarkan teman-temannya menunggu. Dan kata-kata ysng keluar dari mulutnya kemudian pun sama sekali bukanlah jawaban, malah permintaan. "Mana bisa aku bercerita kalau tenggorokanku kering. Ayo, salah satu ambilkan arak buatku."

Inilah salah satu "latihan menjadi pejabat" itu. Teman-temannya menggerutu kesal menghadapi sikap sok penting itu. Tapi salah seorang terpaksa beranjak mengambilkan arak, karena memang ingin mendengar "berita hangat" dari Cang Lotoa. Termasuk Wan Lui yang ingin mendengar sebanyak-banyaknya tentang apa saja "isi perut" Pek-lian-kau. Arak datang. Cang Lotoa menghabiskan sebotol kecil dengan sekali tenggak lalu mengusap-usap mulut lagi.

"Ayolah cerita, Lotoa..." seorang mendesak tak sabar, sambil mendorong pundak Cang Lotoa yang kurus, sehingga tubuh Cang Lotoa meliuk seperti balon terhembus angin.

"Pokok perselisihan antara Cn-jin dan kedua Hiangcu sebenarnya hanyalah soal tawanan dari Kim-teng itu..." sahut Cang Lotoa seenaknya. "Nah, puas? Hanya soal tawanan itu?"

"Uh, capek-capek mengambilkan arak hanya untuk mandapat jawaban sependek itu? Tentunya kau juga tahu, kenapa soal tawanan itu sampai menimbulkan perselisihan?"

"Masih haus nih..." Cang Lotoa benar-benar memanfaatkan posisinya yang sedang menguntungkan untuk memperbudak sekaligus menjengkelkan teman-temannya. Dan biarpun aambil menggerutu, terpaksa harus ada seorang lagi pergi mengambilkan arak. Agar tidak bolak balik, ketika kembali ke dekat api unggun itu, orang itu sekalian membawa dua botol kecil.

"Nah, ini baru teman..." sambut Cang Lotoa yang langsung menenggak habis arak yang baru datang itu.

"Sekarang kami mau mendengar, kenapa tawarkan itu menimbulkan perselisihan paham."

Puas dengan arak, Cang Lotoa pun bertutur, "Begini, teman-teman. Kedua Hiangcu kita berpendapat, sebaiknya tawanan itu digunakan sebagai sandera, untuk memeras Yong-ceng sampai keuangan istananya kering."

Mendengar itu, Wan Lui diam-diam berdesir hatinya. Memeras Kaisar Yong Ceng? Siapakah Kui Thian-cu sahabatnya itu, sehingga pihak Pek-lian-kau menganggapnya cukup bernilai untuk memeras Kaisar Yong-ceng? Tidak mungkin hanya seorang pejabat biasa, bagaimanapun tinggi pangkatnya, seperti pengakuan Kui Thian-cu kepada Wan Lui dulu. Pasti seorang anggota keluarga istana yang cukup dekat dengan Kaisar, dekat secara pribadi, sehingga pihak Pek-lian-kau yang mengetahuinya lalu timbul gagasan itu.

Ingin Wan Lui bertanya, siapa Kui Thian Cu sebenarnya, namun tak berani karena khawatir kedoknya sebagai anggota Pek-lian-kau gadungan malah akan terbongkar. Mungkin semua anggota diperkemahan itu sudah tahu siapa Kui Thian Cu sebenarnya. Maka Wan Lui menekan kuat-kuat rasa ingin tahunya, sambil menunggu jawaban itu muncul sendiri.

"Itu gagasan yang bagus!" terdengar kata seorang anggota Pek-lian-kau. "Bisa kita peras uangnya Yong Ceng sampai kering, sementara Pangeran Hong Lik akan terus kita tahan, tidak usah kita kembalikan! Peras dan peras terus setelah itu bunuh sanderanya!"

Itulah jawaban yang dinantikan Wan Lui. Kui Thian Cu adalah Pangeran Hong Lik. Putera Mahkota Kerajaan Manchu! Denyut jantung Wan Lui tambah kencang. Jadi dirinya pernah bercakap-cakap santai, main catur dan makan bersama seorang Putera Mahkota? Penguasa masa depan? Tapi kabarnya Kaisar Yong Ceng adalah seorang yang lalim dan licik, kenapa Pangeran Hong Lik menimbulkan kesan yang sebaliknya? Berwibawa, amat memperhatikan kehidupan rakyat kecil?

Wan Lui tahu, jawabannya tidak harus ditemukan saat itu juga, melainkan kelak bisa dicarinya di Pak-khia, ibukota kekaisaran. Kini yang penting ialah menangkap sebanyak-banyaknya keterangan penting dari obrolan orang-orang Pek-lian-kau di seputar api unggun itu.

"Benar sekali! Uang hasil pemerasan itu bisa untuk membiayai perjuangan mengembalikan dinasti Beng kita!"

"Kita akan jaya!"

"Seperti di jaman Han Kau-cu (kepala agama Han) dulu!"

Yang disebut Han Kau-cu itu ialah Han Lim Ji yang bergelar Siau-beng-ong, "kepala agama" Pek-lian-kau menjelang runtuhnya dinasti Goan dulu, berabad-abad yang silam. Waktu itu kekuatan Pek-lian-kau begitu hebat sehingga mampu merobohkan dinasti Goan, lalu menaikkan Cu Goan Ciang, salah satu hulubalang Pek-lian-kau waktu itu, naik ketahta. Cu Goan Ciang kemudian bergelar Kaisar Hong Bu dan mengawali dinasti Beng. Karena kaitan sejarah selama ratusan tahun itulah yang membuat Pek-lian-kau tetap merasa "menanam saham" dalam dinasti Beng.

Kemudian Cang Lotoa meneruskan keterangannya, "Tetapi Cu-sian Cin-jin agaknya tidak sepaham dengan rencana kedua Hiang cu kita itu."

"Lho, rencana yanq begitu bagus, kenapa tidak disetujui?"

"Apakah Cu-Bian Cin-jin punya rencana lain yang lebih sempurna?"

"Setidaknya begitulah anggapannya sendiri."

"Bagaimana rencananya?"

"Dia ingin agar Pangeran Hong Lik dikorbankan, disembelih dalam sembahyang besar kaum kita di kuil Hong-kak-si di Hong yang mendatang. Artinya, angsa emas yang bertelur emas itu hendak disembelih, potongan-potongan tubuhnya lalu diletakkan di altar."

Bicara soal memotong-motong tubuh manusia, orang-orang Pek-lian-kau itu kalem saja, menandakan kalau sudah biasa melakukannya. Sama biasanya dengan tukang sate menyembelih ayam. Padahal Wan Lui ketika mendengarnya merasa bergidik ngeri, tak mengira kalau dalam Pek-lian kau ada acara yang begitu mengerikan.

"Ya, tolol sekali rencana itu. Kenapa harus Hong Lik yang disembelih? Dia terlalu berharga untuk dibunuh begitu saja, padahal bisa menghasilkan uang banyak. Kenapa korbannya tidak seperti biasanya saja, yaitu pembesar-pembesar Manchu yang berhasil kita culik?"

Lagi-lagi Wan Lui bergidik mendengarnya. Ternyata upacara "menyembelih Manchu” itu diadakan secara tetap sebagai pelengkap upacara mereka. Pikir Wan Lui, "Kalau sampai mereka tahu aku orang Manchu, entah bagaimana sikap mereka terhadapku sekarang ini." Namun gambaran mengerikan itu tidak membuat Wan Lui beranjak mundur dari niatnya untuk menolong Kui Thian Cu alias Pa ngeran Hong Lik. Kalau perlu dengan menghancurkan kelompok kepercayaan sesat ini.

Sementara itu Cang Lotoa melanjutkan penjelasannya, "Dasar pemikiran rencana tolol itu, apalagi kalau bukan kepercayaan tahayul yang menguasai teman-teman kita dari Pak-cong (sekte utara) itu? Menurut Cu-sian Cin-jin, Pangeran Hong lik sebagai calon Kaisar masa depan tentu mempunyai "darah langit" yang kental, yang akan memuaskan sebagai persembahan bagi arwah Sribaginda dan para panglima Thian-kun (tentara langit). Dengan demikian, saat itu bisa digunakan sebagai awal perjuangan besar menumbangkan Manchu dan mendirikan kembali Beng. Dengan kepastian akan menang."

"Kepastian?"

"Ya, kepastian. Bukan kemungkinan lagi. Begitulah perhitungan para pimpinan Pak-cong termasuk Cu-sian Cin-jin, berdasarkan apalagi kalau bukan nujum mereka? Itulah yang tidak disepakati kedua Hiang-cu kita yang lebih berakal sehat, yang ingin tetap menjadikan Hong Lik sebagai alat pemerasan seumur hidup."

Beberapa saat lamanya di lingkungan kecil itu tak ada yang bicara, hanya terdengar suara serangga malam dan gemeretak lembut kayu yang dimakan api. Kadang terdengar desis keras kalau kayu yang dibakar itu belum kering benar.

"Eh, Cang Lotoa..." seseorang memecah kesunyian.

"Ada apa?"

"Bagaimana pendapatmu sendiri? Pendapat kedua Hiang-cu ataukah pendapat Cu sian Cin-jin yang benar?"

"Barangkali keduanya sama benarnya, ada alasannya sendiri-sendiri. Tapi tentu salah satu lebih benar."

"Mana yang lebih benar?"

"Kita sebagai anggota lam-cong (sekte selatan) tentu tidak bisa tidak harus mengikuti kedua Hiang-cu kita. Lagipula pendapat orang-orang Pak-cong itu rasanya terlalu...." bicara sampai di sini, Cang Lotoa tiba-tiba menghentikan bicaranya sambil menatap ke satu arah.

Kawan-kawannya jadi heran, lalu merekapun menoleh ke arah yang sama. Ternyata Cu-sian Cin-jin yang tadi lewat, kini datang kembali dengan muka merah padam karena marah, langkahnya lebar. Bahkan tangannya sudah membawa cambuk, senjata andalannya. Keruan orang-orang Pek-lian-kau di sekitar api unggun itu jadi ketakutan, mengira Cu-sian Cin-jin marah karena tahu kalau sedang dibicarakan. Yang mereka takuti bukan kalau dicambuk, tapi kalau ditenung sehingga menjadi lumpuh atau gila seumur hidup tanpa bisa disembuhkan. Mereka tahu Cu-sian Cin-jin sanggup melakukan hal itu.

Tapi mereka tidak lari. Mereka berdiri dan menunggu dengan sikap hormat yang di paksakan, dengan harapan akan sedikit meredakan kemarahan si imam. Sedangkan Wan Lui kembali berdiri menempatkan dirinya di belakang punggung orang lain agar tidak terlihat oleh si imam.

"Bangsat, kalian semua! Kalian tidak lagi menggubris pesanku!" begitu dekat Cu-sian Cin-jin langsung menudingkan telunjuk tangan kirinya. Lalu tangan kanannya mengayun cambuk dengan hebat.

Ternyata imam itu tidak mencambuk orang, melainkan ke arah api unggun, sehingga puntung-puntung kayu menyala beterbangan seperti kembang api. Patut disayangkan pula beberapa suduk daging rusa yang masih dipanggang di atas api itu ikut terbang jauh entah kemana.

Setelah puas mengamuk, Cu-sian Cin-jin bertanya dengan keras, "Bukankah kalian sudah aku pesan, boleh menangkap hewan dan kalian makan, bahkan mau menyembelih manusia pun aku tidak ambil pusing! Tetapi kalian lupa satu hal."

Kembali cambuknya mengobrak-abrik kayu-kayu dalam perapian. Sementara orang-orang Pek-lian-kau menundukkan kepala, dan di antaranya adalah Wan Lui yang menunduk paling rendah.

Sementara Cu-sian Cin-jin melanjutkan kata-kata marahnya, "Bukankah sudah kupesan, kalau menyembelih binatang harus lebih dulu menggali tanah, lalu darah dan bagian-bagian tubuh yang tidak kalian makan itu harus dimasukkan ke lubang dan ditutup rapat-rapat lagi dengan tanah? Tapi kalian benar-benar ceroboh. Baru saja aku berjalan di sebelah sana, dan aku menemukan bekas binatang sembelihan kalian berceceran, kalian buang begitu saja! Kalian ini benar-benar goblok, atau sengaja pura-pura goblok untuk membuatku jengkel, agar aku cepat-cepat pergi dari sini? Begitu, he?!"

Kali ini tangan kirinya menggampar, dan siallah seorang anggota Pek-lian-kau yang paling dekat, mukanya kontan bengab kena gamparan. Tapi ia tidak berani berkutik atau bicara selirih apapun. Khawatir menambah kemarahan Cu-sian Cin-jin lalu kena tenung.

"Tidak kalian pikir akibat kecerobohan kalian? Kalian lupa di tempat ini ada tawanan penting, yang akan dicari terus oleh anjing-anjing Manchu? Perkemahan ini membutuhkan perlindungan gaib Thian-kun (Tentara langit) dan Thian-ciang (panglima-panglima langit), tapi mahluk-mahluk gaib itu akan jijik berada di tempat ini kalau kalian seenaknya saja membuang potongan-patongan tubuh dan isi perut hewan-hewan itu! Apa kalian pikir, kalian yang cuma empat ratus orang ini sanggup menahan serbuan anjing-anjing Manchu tanpa bantuan Thian ciang dan Thian-kun?"

Saat itulah baru Wan Lui tahu bahwa di perkemahan itu membuang jerohan binatang saja bisa menimbulkan akibat segawat itu. Dan soal "Thian-kun" itu, dalam ajaran agama yang dipeluk Wan Lui juga disebutkan. Namun agama Wan Lui menyebut "Tentara langit" itu adalah malaikat-malaikat yang sesat karena ingin disembuh oleh manusia. Sedang dalam ajaran Pek-lian kau, mahluk-mahluk gaib itu bukannya dijauh, agaknya malah disembah- sembah dan diandalkan pertolangannya.

Sementara itu, setelah puas memaki-maki, Cu-sian cin-jin lalu, pergi, namun masih sambil mengomel, "Orang-orang Lam cong memang sengaja semuanya menjengkelkan aku, Keparat! Agaknya disengaja demikian, agar aku marah lalu pergi dari sini, dan mereka bisa berbuat sesuka hati dengan tawanan itu! benar-benar bangsat semua!"

Selelah Cu-sian Cin-jin pergi, orang-orang Pek-lian-kau itu saling berpandangan dengan muka sungguh-sungguh, tidak ada lagi yang cengengesan, lalu Cang lotoa berkata, "Memang kita yang keterlaluan. Karena lapar dan tergesa- gesa ingin makan, sampai lupa pantangan-pantangan yang bisa menggusarkan para Thian-ciang pelindung kita. Ayu, sekarang kita bersihkan tempat itu!"

"Malam-malam begini?"

"Ya. Bukannya kita takut kepada imam dari Pak-cong itu, melainkan sebagai tanda hormat kita kepada para Thian-ciang dan Thian-kun yang selama ini sudah banyak membantu perjuangan kita. Bukankankah ketika kita mengalahkan begundal-begundal Manchu dari Kim-teng itu, kita juga banyak mendapat bantuan para Thian-kun dan Thian-ciang?"

"Ya. Ayo ambil cangkul dan sekop."

Karena ingin tahu lebih banyak tentang situasi perkemahan itu, Wan Lui ikut bangkit mengambil cangkul dan sekop bersama orang-orang itu. Kemudian dengan membawa obor-obor, mereka berjalan menuju ke ujung perkemahan dimana tadi mereka menyembelih rusa buruan.

Di tempat itu, orang-orang itu mulai dengan bersungguh-sungguh, nyaris khidmat, menggali lubang dan mengubur bekas-bekas binatang sembelihan itu. Wan Lui ikut-ikut saja, namun dalam hatinya ia heran melihat sikap bersungguh-sungguh dari orang-orang yang baru saja bersenda-gurau itu.

Pikirnya, "Menilik kesungguhan mereka, agaknya memang mereka percaya akan kekuatan-kekuatan gaib pelindung mereka. Dan mengingat pengalamanku sendiri di Kim-teng pada malam yang menyeramkan itu, aku tidak boleh menganggap remeh apa yang mereka yakini."

Pembersihan selesai, dan orang-orang itupun berjalan kembali ke perkemahan. "Mudah-mudahan para Thian-ciang mengampuni kecerobohan kita," kata Ceng Lotoa dengan khidmat.

Malam semakin larut, dan perkemahan itupun semakin sepi dari suara manusia. Banyak perapian padam sendiri karena ditinggal tidur begitu saja oleh orang-orang yang tadinya menungguinya. Sebagian dari orang orang itu masuk ke kemah untuk tidur, namun Wan Lui tidak tahu harus tidur di kemah mana, ia takut keliru memilih kemah dan menimbulkan kecurigaan. Maka ketika dilihatnya banyak pula orang Pek-lian-kau yang tidur bergeletakan di tanah berumput tebal, tidak di dalam kemah, Wan Lui pun merebahkan diri di rerumputan saja.

Lagipula Wan Lui memang tidak benar-benar ingin tidur, ia hanya menunggu sampai seisi perkemahan tidur, setelah itu akan diselidikinya perkemahan itu untuk mencari jalan menyelamatkan Pangeran Hong Lik. Seandainya belum ada kemungkinan untuk membebaskannya malam itu juga, setidak-tidaknya ingin tahu dimana pangeran itu disekap.

Ketika malam makin larut, semua orang Pek lian-kau pun benar-benar tidur. Tidak ada yang berkawal malam. Agaknya mereka, percaya sepenuhnya perlindungan gaib dan "panglima-panglima langit" mereka.

"Keyakinan yang patut dipuji, biarpun keyakinannya sendiri salah menurut aku.” komentar Wan Lui dalam hati ketika melihat itu. Perlahan-lahaan Wan Lui bangkit tanpa suara. Sekali lagi ia menyakinkan kalau se-isi perkemahan itu sudah tidur. Tapi kalau ada juga yang bangun dari menanyainya Wan Lui sudah siap dengan jawaban yang paling alamiah, "Mau kencing."

Namun mereka tak ada yang bangun. Wan Lui pun mulai melangkah seringan-ringannya. Ia mulai berjalan keliling perkemahan, sambil menduga-duga dimana Pangeran Hong Lik disekap? Bagaimana kalau menjenguk ke dalam setiap kemah? Ah, tidak, penuh resiko. Belum tentu yang dicarinya ditemukan, malah kalau ada penghuni kemah yang belum tidur maka usahanya bisa gagal.

Setelah memutari lokasi perkermahan itu satu kali, tiba-tiba dilihatnya sebuah kemah didirikan terpencil sendirian, letaknya jauh dari kemah-kemah lainnya. Di sekitar kemah itu tak nampak satu orangpun. Sejenak Wan Lui dengan ragu-ragu memperhatikan kemah terpencil itu. "Mungkinkah Kui-heng (saudara Kui di dalam kemah itu? Tetapi kenapa tidak dijaga? Atau penjagaannya sepenuhnya diserahkan kepada pelindung-pelindung gaib yang mereka percayai?"

Dengan nyali yang besar Wan Lui melangkah mendekati kemah itu. Ketika melangkah, tanpa sadar ia melangkahi enam bintang hio (dupa lidi) yang menyala dan ditancapkan berjajar di tanah. Hanya selangkah ia maju, namun apa yang dijumpainya selangkah di depannya sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

Wan Lui tiba-tiba merasa dirinya terjun ke kubangan tinta yang hitam pekat, apapun tak bisa lagi dilihattnya. Kegelapan mutlak. Masih untung kalau Wan-Lui kemudian mundur, namun dia justru dengan bandel melangkah maju, maka berputar-putarlah ia dalam kegelapan. Kelima jari tangannya sendiripun tak bisa dilihatnya biarpun didekatkan ke hidung.

Kemudian yang dihadapinya bukan cuma kegelapan, tapi juga suara-suara campur aduk dari segala arah yang menimbulkan tekanan hebat diperasaannya sampai dadanya tersa sesak. Ada suara ringkik kuda, aum harimau, pekik kera, bayi menangis, perempuan meratap seram, orang tertawa terkekeh-kekeh, namun semuanya tanpa wujud dan membanjiri kedua lubang telinganya.

Muncul pula angin yang menderu makin lama makin keras, dingin sekali, sehingga pasir dan rumput terangkat dan menerpa wajah Wan Lui. Angin, suara-suara dan kegelapan rr.embuat Wan Lui mulai panik. Sebentar ditutupnya matanya untuk menangkis pasir, di lain saat ditutupnya telinganya erat-erat namun suara-suara campur aduk yang menggoncangkan jiwa itu tetap saja terdengar. Kadang-kadang Wan Lui merasa ada seseorang yang berdiri di dekatnya, namun ketika ia mengibaskan tangan ke samping, ia tidak menyentuh apa-apa.

Menghadapi keadaan yang tak bisa dilawan sekedar dengan ilmu silat itu, mau tak mau Wan Lui mulai panik juga, la membayangkan dirinya benar-benar sedang bertempur dengan "panglima-panglima langit" seperti yang dipercayai orang-orang Pek-lian-kau. Secara untung-untungan Wan Lui mencoba mengulangi keberhasilan menangkal ilmu gaib yang pernah dialaminya di Kim-teng. la menggigit bibirnya sehingga berdarah, lalu disemburkannya ludah berdarah itu ke sembarangan arah saja.

Namun kali ini tidak mempan. Ilmu gaib yang dihadapinya kali ini lebih lihai dari ilmu yang sekedar mengirimkan rasa kantuk kepada musuh dulu, atau menghadang musuh dengan kertas kuning yang digunting menjadi orang-orangan. Yang ini tidak bisa dipunahkan hanya dengan semburan ludah berdarah. Wan Lui jadi nekad. Dengan segenap kekuatannya, ia melontarkan tubuh tanpa melihat arah lagi, la tidak tahu apakah kepalanya akan pecah menumbuk pohon atau jatuh kelingkaran ilmu gaib yang lebih mengerikan lagi, ia tidak peduli.

Tak disangkanya bahwa lontaran tubuhnya itu justru melewati enam batang dupa biting yang ditancap berjajar di tanah, tubuhnya terhempas dan terguling-guling di rerumputan. Ketika ia melompat bangun, pandangannya tidak segelap tadi, suasana mengerikan yang melingkupinya tadi juga sudah lenyap. Ia mengangkat wajahnya dan bintang-bintang di langit yang biru bersih-pun nampak kembali, berkedip-kedip ramah.

Wan Lui menarik napas. Sungguh tak disangka, dua tempat yang hanya dibatasi enam batang dupa itu ternyata suasananya bisa begitu berbeda. Kini dia memandang ke seberang "perbatasan dupa" itu dengan melihat suasana di tempat itupun biasa-biasa saja, tidak ada yang aneh, dan kemah itu juga masih terlihat seperti tadi. Sunyi, sendiri, seperti tak berpenghuni.

"Sekarang aku yakin, Kui Thian-cu tentu disekap di kemah itu, buktinya kemah itu diberi penjagaan gaib. Untuk bisa mengambil Kui Thian-cu, agaknya aku harus mencari hewan untuk diambil jerohannya..." pikir Wan Lui. Baru saja ia memutar tubuh untuk melangkah pergi, tiba-tiba didengarnya suara langkah kaki mendekat. Cepat-cepat Wan Lui melompat bersembunyi ke balik serumpun semak, diringkaskannya badannya dan diaturnya napasnya agar tidak kedengaran.

Tiga orang nampak berjalan dari arah perkemahan, mendekati kemah terpencil itu. Salah satu dari mereka dikenal Wan Lui sebagai Cu-sian Cinjin, si imam yang canggung kalau disuruh mengabdi kesejahteraan sesama, tapi justru mahir menenung orang sampai gila atau membuat celaka lainnya. Kemudian di samping Cu-sian Cinjin adalah lelaki bertubuh tinggi besar seperti beruang, berewokan pula. Di sampingnya lagi ada seorang bertubuh biasa, namun justru sepasang tangannya kelewat panjang sampai di bawah lututnya.

Sambil melangkah, antara si imam dan si berewokan itu sedang mempertengkarkan sesuatu, maka Wan Lui lalu pasang kuping baik-baik. "Kalau memang begitu ketetapan kalian, itu artinya Hiang-cu berdua sudah tidak menganggap kami dari Pak-cong sebagai teman seperjuangan lagi, sebab kalian sudah mau berjalan sendiri dengan meninggalkan kami!" kata Cu-sian Cin-jin dengan nada tinggi dan emosional. "Kalau begitu, buat apa aku tinggal lebih lama di tempat ini, dimana aku tidak kalian hargai? Bahkan anak buah kalian pun berani meremehkan pesanku! Mereka seenaknya saja menyembelih rusa dan membuang isi perut binatang itu berceceran, menyalahi pesanku. Itu tandanya kalian dari Lam-cong sudah tidak mnghargai lagi kami dari Pak-cong!"

Si imam menyerocos begitu panjang, sehingga beberapa saat kemudian barulah Thio Yap berkesempatan bicara dengan nada membujuk, "Jangan cepat salah paham, Cin-jin. Tentu saja Pek-cong tetap teman seperjuangan Lam-cong, bukankah kita sama-sama bernaung di bawah bendera Pek-lian-kau, disatukan pula oleh cita-cita menegakkan kembali kerajaan Beng. Kami juga menghargai keterangan yang diberikan pihak Pak-cong, sehingga kami bisa menangkap Pangeran Hong-lik yang akan jadi sangat berharga buat kita. Karena berharganya tawanan itu, apakah penjagaan atas dirinya hanya akan..."

"Hanya? Kau bilang hanya?" kata-kata Thio Yap terputus oleh suara Cu-sian Cin-jin yang melengking marah. "Hanya ilmu gaib Cu-sian Cin-jin yang tak berarti, begitu maksud kalian? Dan karena itu kalian memandang remeh dan tak yakin kalau ilmu gaibku bisa memagari tawanan itu cukup kuat?"

"Sabar, Cin-jin. Sabar..." Thio Yap membujuk pula. "Siapa bilang aku memandang rendah ilmu sakti Cu-sian Cin-jin? Bukankah kami kaum lam-cong juga mempelajari ilmu yang sama? Mana berani kami merendahkan ilmu sakti peninggalan leluhur kita sejak jaman Siau-beng-ong?"

"Kalau begitu, kenapa kau masih ingin menambahkan anak buahmu untuk ikut menjaga tawanan itu? Kau anggap ilmuku kurang sempurna, sehingga harus ditambahi anak buahmu? Bukankah itu namanya memandang remeh?"

"Dalam soal ini Cin-jin jangan terlalu banyak berprasangka. Usulku itu hanya demi kepentingan bersama. Jauh dari Pikiran meragukan kesaktian Cin-Jin. Makin kuat penjagaan akan makin baik, kita harus hati-hati mengingat tawanan kita kali ini adalah..."

"Tawanan itu tidak akan lepas Kuulangi, takkan lepas Tak seorangpun bisa menembus penjagaan gaib yang kupasang sekitar kemah tawanan itu. Tidak perlu lagi anak buahmu untuk menjaganya, biarpun dari kejauhan. Kalau kau berani menyuruh anak buahmu untuk menjaga, berarti kau memang ingin mempermalukan pihak Pak-cong kami!"

Mereka sudah dekat ke kemah tawanan itu. Thio Yap tiba-tiba menghentikan langkahnya, sehingga Cu-sian Cin-jin dan Hoa Cek-gui yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti pula. Biarpun Hoa Cek-gui selama ini bungkam saja, tidak ikut bicara, namun tempatnya berdiri saja sudah menunjukkan kalau ia memihak Thio Yap.

Sementara, suara Thio Yap yang tadinya bernada sabar dan membujuk, kini menggeram memperdengarkan kejengkelannya. "Sikap ngotot Cin-jin ini apa tidak keterlaluan? Aku jadi semakin curiga, jangan-jangan memang benar bahwa pihak Pak-cong ingin menguasai tawanan itu sendiri, memperlakukannya menurut rencana kalian sendiri, padahal kami dari Lam-cong inilah yang telah bersusah-payah menangkapnya?"

Nampaknya Cu-sian Cin-jin marah sekali. Napasnya yang terengah-engah karena marahnya itu sampai terdengar dari tempat persembunyian Wan Lui. Diam-diam Wan Lui geli dan berpikir, "Kiranya Kui Thian-cu telah menjadi semacam benda pusaka yang diperebutkan oleh kedua sekte Pek-lian-kau ini. Masing-masing pihak ingin menjaganya sendiri tanpa mengikut sertakan pihak lainnya, dan bukan mustahil suatu saat mereka akan berbaku hantam."

Suasana sesaat menjadi tegang. Cu-sian Cin-jin berhadapan dengan Thio Yap yang agaknya akan dibantu Hoa Cek-gui kalau sampai terjadi pertengkaran. Terdengar suara Thio Yap yang semakin jelas nada menuduhnya, "Benar bukan? Kalian dari pihak Pak-cong ingin menguasai tawanan itu sendririan?"

Cu-sian Cin-jin menjawab dengan sengit, "Jangan menuduh sembarangan, Thio Hiangcu. Tuduhan itu sebenarnya membuka kedok kalian sendiri. Kalianlah yang ingin menguasai tawanan itu sendiri bukan? Bukan kami! Bukan Pak-cong, tetapi Lam-cong!"

Sambil tertawa dingin, Thio Yap menjawab tanpa tedeng aling-aling, "Ya. Kami tidak sependapat dengan kalian yang ingin menyembelih Hong-Lik, sebab dia lebih berguna kalau hidup, dapat digunakan untuk menekan Kaisar Yong-ceng! Tapi apa yang akan kami lakukan itu bukan hanya untuk kepentingan kaum Lam-cong saja, tapi kepentingan seluruh Pek-lian-kau! Bahkan mungkin juga seluruh golongan yang bercita-cita membangun kembali kerajaan Beng, seperti Jit-goat-pang dan Thian-te-hui!"

Cu-sian Cin-jin merasa kalah debat, mau ngotot pun percuma, sebab kalau sampai terjadi pertikaian fisik tentu dirinya yang akan kalah melawan kedua Hiang-cu dari lam-cong itu. Akhirnya setelah membanting kaki, Ciu-sian Cin-jin kembali ke perkemahan dengan menggerutu. Perselisihan paham antara golongan utara dan golongan selatan dalam Pek-lian-kau Itu sebenarnya disebabkan cara berpikir masing-masing pihak, golongan Pak-cong teguh berpegang kepada ajaran-ajaran dari kitab kuno yang serba mistis, serba gaib.

Sedangkan golongan Lam-cong kendati juga mempelajari ilmu-ilmu gaib, namun percaya bahwa ilmu-ilmu itu mempunyai kegunaan yang hanya terbatas saja, misalnya dalam suatu pertempuran untuk membingungkan musuh. Sedang untuk urusan besar seperti membangun kembali Kerajaan Beng, mereka yakin akal sehatlah yang berperanan. Perhitungan-perhitungan politik dan militer yang tidak perlu harus gaib, dan bukan berdasar nujum-nujum lewat batok kulit kura-kura dan tulang-tulang ikan belaka.

Biarpun kedua sekte itu berselisih, namun setahun sekali wakil-wakil mereka bertemu di kuil Hong-kak-si di Hong-yang. Kuil itu mereka anggap bersejarah, sebab pendiri dinasti Beng, Cu Goan-ciang, sebelum mulai perjuangannya melawan kekuasaan Kerajaan Goan waktu itu, pernah menjadi pendeta di kuil itu. Dalam pertemuan tahunan Pek-lian-kau itu selalu diadakan sembahyang besar, dan pembaharuan tekad. Tiap kali pula mereka menangkap seorang pejabat Manchu entah dari mana saja, untuk disembelih dan "dipersembahkan" kepada arwah leluhur-leluhur dinasti Beng.

Namun biarpun setahun sekali berupacara bersama, tak terhindar semakin lebarnya keretakan antara Pak-cong dan Lam-Cong. Pak-cong menuduh Lam-cong "semakin jauh dari a|aran murni", sebaliknya Lam-cong menuduh Pak-cong kulot, ketinggalan jaman, tidak pakai otak dan sebagainya.

Begitu putu soal penculikan Pangeran Hong- lik. Mula-mula kaum Pak-cong yang mendapat “info" dari pengkhianat-pengkhinat dalam istana, kemudian kaum Lam-kong mendapat "bocoran" lalu ikut bertindak. Berhasil. Dan keberhasilan itu malah menimbulkan masalah baru dalam hubungan Pak-cong dan Lam-cong, sementara masalah-masalah lama masih bertumpuk-tumpuk tidak terselesaikan.

Thio Yap geleng-geleng kepala, dengan pandangan matanya ia mengantar perginya Cu-sian Cin-jin. Gumamnya, "Benar-benar keras kepala. Berpegang ajaran leluhur ya boleh-boleh saja, tapi jangan ketinggalan jaman. Tak pernah dalam sejarah ada ilmu gaib mengubah jalannya sejarah, tak pernah ada pendiri dinasti yang membuat perhitungannya dengan batok kulit kura-kura dan tulang-tulang ikan..."

Hoa Cek-gui yang bungkam sejak tadi, kini ikut mengomentari, "Teman-teman kita dari Pak-cong itu masih berpikir seperti jaman Cun-ciu dulu. Jaman dimana para dewa, malaikat dan iblis ikut berperang untuk mempengaruhi tegak atau runtuhnya kerajaan-kerajaan manusia. Tapi bagiku, cerita itu hanyalah dongeng yang tidak bisa dipercayai kebenarannya..."

"Benar. Kalau benar ilmu gaib bisa menyelesaikan semua masalah, kenapa tidak kita kirim saja pedang Ti-sian-kiam untuk membunuh Yong-ceng tanpa susah payah? Bukankah semua urusan jadi beres?"

Kedua Hiangcu dari Lam-cong itu tertawa berbareng. Pedang Ti-sian-kiam menurut cerita adalah pedang milik Ong Cian, jenderal Kerajaan Cin di jaman Liat-kok. Dalam cerita dikisahkan, apabila pedang Ti-sian-kiam diberi sesaji dan disembahyangi, pedang itu bisa terbang sendiri untuk membunuh musuh yang dikehendaki.

"Sekarang bagaimana rencana Toako selanjutnya?" tanya Hoa Cek-cui.

"Tidak peduli Cu-sian Cin-jin tersinggung atau tidak, pokoknya mulai besok pagi kita akan ikut menjaga tawanan itu dengan orang-orang kita. Kita bukan saja harus berjaga-jaga dari anjing-anjing Manchu yang pasti akan berusaha menyelamatkan Hong Lik, tapi juga dari teman-teman kita sendiri kaum Pak-cong yang juga mengingini Hong Lik, hanya untuk disembelih di altar tanpa mengingat kegunaan lainnya."

"Toa-ko benar. Jangan sampai angsa ajaib yang bertelur emas itu disembelih secara bodoh oleh teman-teman dari Pak-cong itu."

"Oh ya...." Thio Yap l.iba-tiba seperti teringat sesuatu. "Apakah belum ada laporan dari orang-orang kita yang disuruh menghubungi pengkhianat-pengkhinnat dalam istana Manchu itu? Sudah ada jawaban kontak-kontak kita atau belum?"

Sahut Hoa Cek Gui, "Orang-orang kita mengamati, agaknya Panglima di kota Seng-tin adalah anggota komplotan pengkhianat istana itu. Komplotan itu nampaknya sudah menangkap isyarat-isyarat kita, namun pihak mereka ragu-ragu untuk membalas isyarat itu. Mereka ragu-ragu karena kita bukan orang yang sama dengan yang dulu pernah menghubungi mereka. Dulu mereka dihubungi orang-orang Pak-cong, dan sekarang mereka tidak mengenal kita."

"Kalau begitu, besok kau pergilah sendiri menemui orang-orang dari istana itu, untuk mengajukan syarat-syarat kita. Kita bikin hubungan langsung saja dengan mereka, tidak usah lagi melewati teman-teman dari Pak-cong!"

"Baik, Toa-ko."

Kedua orang itu kemudian berjalan pergi. Sementara itu, di tempat persembunyiannya Wan Lui berpikir keras. Mendengar percakapan tokoh-tokoh Pek-lian-kau itu jelaslah sudah bahwa penculikan Kui Thian Cu alias Pangeran Hong Lik itu ternyata di dalangi sekelompok orang-orang istana sendiri, yang tidak menyenangi Pangeran Hong Lik lalu "menyewa" tenaga Pek-lian-kau untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik.

"Dalam usahaku menolong seorang sahabat baik, haruskah aku akhirnya mencebur kedalam pusaran intrik istana yang penuh kelicikan itu?" pikir Wan Lui ragu-ragu. Kebimbangannya timbul setelah mendengar percakapan orang-orang Pek-lian-kau tadi. Namun sebuah pikiran lain mendesak pikiran terdahulu. "Ah, aku hanya menolong seorang sahabat, menolongnya sebagai Kui Thian Cu yang baik, dan bukan sebagai Pangeran Hong Lik kendati dia Putera Mahkota. Setelah dia diselamatkan dari tangan orang-orang Pek-lian-kau, persetan dengan intrik-intrik istana yang melibatkan dirinya. Bukan urusanku."

Setelah keadaan aman, Wan Lui keluar dari persembunyiannya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, dia mengelilingi tepian danau untuk lebih dulu mengambil pakaiannya yang disembunyikan tadi sore, dibawa ke perkemahan. Hanya topi bulu binatang serta rompi kulit binatang berbulu yang tidak dibawanya. Benda-benda itu hanya akan membuka kedoknya, sebab Cu-sian Cin-jin pernah mengenali benda-benda itu.

Kemudian Wan Lui kembali ke tengah-tengah orang-orang Pek-lian-kau dan tidur. Cukup puas ia dengan apa yang didapatinya malam itu. Pertama, menemukan tempat di mana Kui Thian Cu disekap, meskipun agaknya akan sulit sekali untuk membawanya kabur begitu saja. Kedua, omongan orang Pek lian-kau tentang "panglima langit" dan tentara langit" itu patut diperhitungkan, sebab Wan Lui telah mengalaminya sendiri. Ketiga, dalam tubuh Pek-lian-kau ternyata ada dua golongan, Pak-cong dan Lam-cong yang tidak rukun.

Hal-hal yang didapatinya malam itu agaknya bisa digunakan di kemudian hari untuk lebih memperhitungkan langkah-langkahnya. Tapi Wan Lui sadar, pekerjaannya tidak ringan.

* * * *

Sinar matahari pagi yang menyorot lewat sela-sela dedaunan, jatuh tepat di wajah Wan Lui, membuat matanya silau dan akhirnya membangunkannya. Begitu bangun, dilihatnya orang-orang Pek-lian-kau di sekitarnya juga sudah banyak yang bangun, namun masih banyak pula yang tidur menggeletak begitu saja di rerumputan beralas tikar.

Seolah bersaing dengan kicau burung di pagi hari, dari sebuah kemah sudah terdengar suara orang bertengkar keras. Itulah yang Wan Lui kenal sebagai sebagai suara Cu-sian Cin-jin dan Thio Yap. Orang-orang yang sudah bangun itu nampak berwajah tegang gara-gara pertengkaran itu. Yang melakukan berbagai pekerjaan pun melakukannya dengan wajah murung.

Bukan tahyul, tapi semacam perasaan yang sering benar, bahwa perjuangan "membangun Kerajaan beng" itu akan semakin sulit kalau di antara teman sendiri saja belum-belum sudah terpecah-belah. Tapi itulah celakanya, setiap orang merasa dirinya yang lebih benar dan memaksa orang lain agar menyesuaikan diri.

Wan Lui menggamit pundak seorang anggota Pek-lian-kau yang ada di dekatnya, dan berkata perlahan, "Ada apa?"

Yang ditanyai menjawab dengan mendongkol, namun suaranya ditahan agar tetap lirih, "Cu-sian Cin-jin kembali bersikap mau menangnya sendiri, memang begitulah watak orang-orang Pak-cong umumnya. Dia marah karena pagi ini Thio Hiang-cu menempatkan penjaga di sekitar kemah tawanan. Kata Cu-sian Cin-jin, belum tentu para tentara langit suka bekerja sama dengan teman-teman kami itu."

Wan Lui mengangguk-angguk, namun dalam hati ia berkata, "Kalau para tentara langit yang gaib itu minggat semua karena tidak suka, kebetulan bagiku. Jadi aku menghadapi teman-temanmu yang tidak gaib saja."

Sementara itu, telah terlihat Cu-sian Cin-jin keluar dari kemah Thio Yap dengan wajah merah padam dan dengan langkah lebar. Sambil berjalan, ia sering menendangi kerikil atau potongan-potongan ranting untuk melampiaskan kemarahannya. Orang-orang Pek-lian-kau tidak ada yang berani dekat jalan yang akan dilewati imam itu, kuatir kalau diri mereka disangka kerikil atau ranting pohon.

Kemudian dari dalam kemah muncul pula Thio Yap dan Hoa Cek-gui. Wajah merekapun nampak asam. Wajah khas orang yang baru saja bangun tidur langsung harus "sarapan" pertengkaran. Nampak kedua Hiangcu itu berbisik-bisik sebentar di depan pintu kemah, lalu Hoa Cek-gui mengangguk-angguk. Setelah mengangguk, si tangan panjang ini dengan langkah lebar mendekati gerombolan orang Pek-lian-kau. Anggota-anggota itu cepat berdiri dengan sikap hormat. Termasuk Wan Lui si anggota gadungan.

Setelah dekat, dengan telunjuknya, Hoa-Cek-gui menunjuk empat orang berturutan sambil berkata, "Kau, kau, kau dan kau, empat orang, bersiaplah. Lepaskan seragam Pek-lian-kau kalian dan ganti dengan pakaian biasa, tapi jangan lupa bawa senjata. Kalian mengawal aku ke kota Seng-tin."

"Untung semalam sudah kuambil pakaianku sendiri..." pikir Wan Lui lega, sebab dia adalah salah satu dari empat anggota yang dipilih itu. Keempat orang yang dipilih itu dalam waktu singkat telah siap. Tidak lama kemudian, berlima dengan Hoa Cek-gui yang berjalan di depan, mereka meninggalkan perkemahan itu.

Mula-mula menyusup hutan, mendaki sebuah bukit, menuruninya dan tiba di sebuah jalan yang cukup ramai. Mengikuti jalan itu ke arah utara, mereka masuk sebuah kota kecil bernama Seng- tin. Sambil mengikuti, Wan Lui menduga-duga apa yang akan dilakukan orang-orang Pek-lian-kau itu, namun tidak berani bertanya. Wan Lui membawakan peran seorang anak buah yang patuh.

Seng-tin lebih tepat disebut kampong besar dari kota, sebab biarpun ramai namun tata- tetaknya acak-acakan, di sembarang tempat ada tumpukan sampah yang membukit dan hari demi hari terus bertambah tinggi. Tidak ada tembok kota yang melingkari kota itu, tiap orang bisa masuk dari mana saja.

Hoa Cek-gui berjalan dengan mantap, nampaknya sudah pasti arah yang ditujunya Sedang keempat orang dibelakangnya berjalan dengan gaya jagoan-jagoan Kelas kambing. Tidak sulit bagi Wan Lui menirukan gaya tengik itu. Tangan dilipat di dada. wajah dibuat angker, otot dada dan pundak digelembungkan.

Mereka melewati sebuah pasar. Di sudut pasar terlihat ada panggung wayang yang dikerumuni orang banyak. Suara gembreng dan tambur memeriahkan suasana, biar bunyi tamburnya sudah sumbang karena kulitnya sudah kendor. Seandainya tidak sedang mengikuti Hoa Cek-gui, ingin rasanya Wan Lui ikut menonton rombongan wayang keliling yang sedang pentas itu.

Namun mata Wan Lui yang tajam itu tiba- tiba menangkap sesosok tubuh yang seperti sudah dikenalnya, di sela-sela orang-orang dalam pasar itu. Seorang lelaki yang sebetulnya berperawakan gagah, namun kegagahannya jadi berkurang karena ia selalu memakai sebuah topi rumput yang ditekan rendah untuk menyamarkan wajahnya, lagipula kalau berjalan ditempat ramai selalu celingukan seperti maling takut ketahuan.

In Kiu Liong. Hampir saja Wan Lui berteriak memanggilnya, kalau ia tidak segera ingat dirinya pun sedang dalam penyamaran sebagai anggota Pek-lian-kau. Dilihatnya In Kiu Liong menyusup ke sana kemari di antara orang-orang di pasar, la lu menghilang tak kelihatan lagi. Sementara itu Hoa Cek Gui tanpa ragu-ragu terus melangkah ke sebuah gedung yang bagus dan besar, tidak jauh dari pasar. Melihat betapa pintu gerbang gedung itu dijaga empat perajurit, bisa diduga kalau tempat itu adalah kediaman pembesar Kerajaan. Namun Hoa Cek Gui mendekatinya tanpa takut-takut. Kepada penjaga-penjaga itu dia berbicara langsung dan dingin.

"Aku ingin bertemu Cong-peng dan tamunya yang dari Pak-khia"

Para penjaga mengerutkan alis dan menatap Hoa Cek Gui tajam-tajam. Kewaspadaan mereka meningkat ketika melihat Hoa Cek Gui juga diiringi empat orang pengiring bersenjata. Sementara Wan Lui bertanya-tanya dalam hati, kenapa seorang tokoh Pek-lian-kau yang kabarnya membenci orang-orang Manchu, kini datang ke rumah seorang pembesar negeri?

"Untung aku ikut terpilih mengawal orang bertangan panjang ini," pikir Wan Lui. "Dengan begini, akan banyak yang bisa ku ketahui tentang sekte bawah tanah yang selama ini misterius."

Para penjaga itu sudah tentu takkan membiarkan sembarangan orang tidak dikenal menemui panglima mereka. Mereka segera memberondongkan bermacam-macam pertanyaan, sambil menanti peluang untuk memeras uang dari calon penghadap ini.

Hou Cek Gui tidak mau menerangkan bertele-tele, la cuma mengeluarkan sekuntum bunga teratai yang terbuat dari kertas, ukuran kecil, agak lusuh, diberikan kepada penjaga-penjaga itu sambil berkata, "Berikan saja ini. Panglimamu akan tahu artinya."

Setelah menerima kembang kertas itu, para perajurit tidak segera melaporkannya ke dalam, melainkan masih juga bicara bertele-tele. Sambil cengar-cengir dan mengedip-ngedipkan mata segala, minta uang pelicin tapi masih malu-malu.

Hoa Cek Gui meludah dan menjawab dengan dingin, "Mau kalian laporkan kedatanganku atau tidak, terserah kalian. Kalau urusan gagal, bukan pihak kami yang rugi, tapi panglima kalian, dan kalian yang harus bertanggung-jawab."

Habis berkata begitu, Hoa Cek Gui terus pergi mengajak pengiring-pengiringnya, tanpa menggubris perajuril-perajurit mata duitan itu lagi. Keempat penjaga itu terkesiap, mereka terpengaruh oleh kata-kata Hoa Cek Gui itu, lalu ketakutan sendiri. Kalau benar mereka menggagalkan suatu urusan penting, bukankah mereka akan dihukum oleh atasan mereka sendiri? Setelah mereka saling pandang sebentar, sebuah kesepakatan ditemukan biarpun tidak keluar dari mulut. Cepat-cepat mereka menyusul dan memanggil.

"Eh, tunggu! Tunggu!"

Hoa Cek Gui berhenti dan kembali ke depan pintu. "Kalau mau melapor, cepatlah. Aku tidak banyak waktu!"

Tanpa berani macam-macam lagi, seorang penjaga laporan ke dalam. Tidak lama kemudian, perajurit yang melapor itu keluar kembali. Sikapnya tidak lagi cengar-cengir, melainkan sungguh-sungguh berusaha nampak sebagai "perajurit teladan" yang melangkah tegap, dan sopan sekali ketika berkata kepada Hoa Cek Gui, "Tuan dipersilakan ke ruang tengah. Cong-peng dan Toh Tai-jin menunggu di sana."

Hoa Cek Gui dan keempat pengawalnya pun masuk, diiringi perajurit yang bertindak sebagai penunjuk jalan. Sebelum masuk, Hoa Cek Gui berdesis kepada pengiring-pengiringnya, "Ikut masuk dan selalu bersiaga. Dalam perundingan sepenting ini mudah terjadi pertengkaran."

Keempat pengawal itu, termasuk Wan Lui, mengangguk. Ketika masuk ke ruang tengah yang ditunjukkan si perajurit, Hoa Cek Gui langsung mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan dua tempat duduk di pihak tuan rumah, tanpa menunggu dipersilahkan. Sedangkan Wan Lui berempat berpencaran dan berdiri dengan punggung merapat dinding, dekat pintu, dalam sikap bersiaga.

Diam-diam Wan Lui merasa amat beruntung, bahwa dia mendapat kesempatan yang begitu kebetulan untuk ikut mendengarkan apa yang oleh Hoa Cek Gui sendiri disebut "perundingan sepenting ini." Tanpa harus merunduk-runduk di luar jendela atau bertiarap di atas genteng, yang mudah diketahui di siang hari bolong seperti itu.

Di pihak tuan rumah ada dua orang. Yang satu berseragam perwira tinggi, mungkin dialah penanggung-jawab keamanan di kota kecil itu. Yang lainnya berpakaian jubah sutera yang bagus, biarpun pakaiannya tidak menunjukkan seperti pembesar militer atau sipil, tapi agaknya cukup berpengaruh, sehingga si perwira kelihatan bersikap hormat. Kedua orang itu duduk diantara sebuah meja yang merapat dinding, dan di atas meja itu tergeletak kembang dari kertas yang merupakan "kartu nama" Hoa Cek Gui tadi.

Ternyata yang membuka pembicaraan bukanlah si perwira, melainakan si jubah su tera itu. Tanyanya bimbang, "Benarkah kau mewakili pihak Pek-lian-kau? Kenapa aku belum pernah melihatmu?"

Acuh tak acuh Hoa Cek Gui melepaskan pedangnya yang amat panjang itu, seperti juga tangannya yang panjangnya abnormal, dilepas dari gendongannya di punggung untuk disandarkan di meja sebelahnya. Pertanyaan si jubah sutera itu tidak bu ru-buru dijawabnya, melainkan harus menunggu dia menepuk- nepuk jubahnya untuk membersihkan dari debu yang menempel.

Si jubah sutera itu keruan mendongkol. Dialah Toh Hun, komandan dari pengawal pribadinya Liong Ke Toh, Pamanda Kaisar, di lingkungan istana cukup terpandang baik kedudukannya maupun ilmu silatnya. Maka sikap seenaknya yang ditunjukkan Hoa Cek Gui itu membuatnya agak naik darah. Ia menggebrak meja sambil bangkit.

"Bagaimana aku bisa percaya bahwa kau benar-benar suruhan Pek-lian-kau? Lebih baik kau pergi, dan tidak usah menunggu."

Ucapan Toh Hun tiba-tiba macet dari kelanjutannya, ketika melihat Hoa Cek Gui mengeluarkan suatu benda dan diletakkan di meja di sampingnya. Sebuah cincin batu giok hijau putih berukiran naga. Toh Hun melotot melihat cincin yang dikenalinya sebagai milik Pangeran Hong Lik itu.

"Percaya tidak?" tanya Hoa Cek Gui dingin, sambil mengantongi kembali cincin itu.

"Jadi.... kalian benar-benar berhasil menangkap Pangeran Hong Lik?" Wajah Toh Hun menampakkan kegirangan luar biasa. "Jadi kabar dari kota Kim-teng itu bukan sekedar desas-desus kosong, tapi bisa dipercaya?"

"Benar," sahut Hoa Cek Gui. "Kami minta sisa hadiahnya."

Dengan wajah berseri-seri, Toh Hun menjawab, "Asal kamu berhasil meyakinkan kami, dengan menunjukkan batok kepala Hong Lik, soal uang jangan kalian khawatirkan lagi. Kami cuma butuh bukti bahwa Hong Lik benar-benar mampus, itu saja!"

Hoa Cek Gui tertawa dingin, "Soal Hong Lik akan kami biarkan hidup atau kami bunuh, tidak perlu kau coba-coba mendikte kami. Hong Lik sepenuhnya kami yang menentukan, sebab dia ada di tangan kami. Bahkan kami pikir, Hong Lik bisa menjadi sumber dana perjuangan kami."

Wajah Toh Hun yang mulanya nampak gembira, tiba-tiba berubah hebat mendengar itu. "Sumber pembiayaan? Apa maksudmu?"

Hoa Cek Gui menjawab santai, "Hong Lik akan jadi terlalu murah kalau cuma dihargai seribu tahil emas, padahal dialah mustikanya bangsa Manchu kalian."

"Tapi dulu dalam perjanjian dengan pihakmu di kelenteng Tin-kang-bio di Hang-ciu, pihakmu sudah menyetujui jumlah itu."

"Itu kan harga lama. Sekarang ini apa-apa naik harganya."

"Apa maksudmu? Bicara jelas!"

"Baik. Dengan Hong Lik di tangan kami, kami akan memeras dua pihak. Pertama, Kaisar Yong Ceng. Kedua, Liong Ke Toh junjunganmu. Nah, paham?”

Wajah Toh Hun kelihatan jadi tak keruan. Tadinya dia menyangka, hari ini pihaknya menyerahkan sisa upah, pihak Pek-lian-kau menyerahkan batok kepala Hong Lik sebagai bukti, lalu "transaksi" itupun beres, tidak ada hubungan lagi. Tak terduga pihak Pek-lian-kau berubah pikiran. Ia menoleh kepada si perwira di sampingnya untuk minta pendapat, namun dari wajah perwira itu bisa dilihat kalau perwira itupun sama bingungnya dengan dirinya...

Selanjutnya,