Kemelut Tahta Naga II Jilid 13
Karya : Stevanus S P
Begitulah bohongnya. Memang benar ia pernah, bahkan sering, ke Kiu-liong-san sendirian. Tapi bukan seperti yang dikatakannya itu, melainkan untuk mengambil bagian keuntungannya.
"Jadi, lalu sekian lama kau biarkan penduduk desa tetap dicengkam ketakutan dan dirugikan oleh para berandal?"
"Bukan begitu, Tai-jin. Memang kelihatan aku belum bertindak, tapi hanya menunggu peluang yang tepat untuk menumpas mereka sama sekali. Dengan adanya aku di Kim-teng, setidak-tidaknya juga membuat para berandal segan untuk bertindak keterlaluan, mereka cuma mengambil sekedarnya saja."
"Jadi sekarang ini, Cong-peng anggap mereka belum keterlaluan?" suara Kui Thian Lu tiba- tiba meninggi. "Sampai ada penduduk yang pergi ke Pak-khia untuk mengadu."
Siau Gin Heng menyeringai kecut. "Penduduk di sini belum bisa kuajak berpikir untuk memahami keterbatasanku, bisanya mereka cuma mengeluuuh... saja. Maunya mereka langsung kubawa pasukan untuk menggempur kawanan berandal, tanpa mau tahu apa yang kuperhitungkan. Penduduk masih belum bisa berterima kasih juga, dalam keadaanku yang terbatas ini masih berhasil menekan para bandit agar tidak mengambil banyak-banyak. Benar-benar orang-orang yang tak bisa berterima kasih!"
"Kalau Cong-peng merasa kalah kuat, kenapa tidak minta bantuan pasukan dari Ibukota Propinsi?"
"Aku cuma merasa belum saatnya merepotkan pihak gubemuran. Aku malah khawatir, kalau kawanan berandal itu dihadapi terlalu keras, mereka akan tambah galak dan tambah menyusahkan penduduk."
"Namun cara Cong-peng berkompromi dengan kawanan penjahat itu juga kurang betul, akan membuat mereka besar kepala dan semakin berani. Biarpun mereka cuma mengambil satu tahil mereka tidak berhak. Hanya pemerintah yang syah yang berhak menarik pajak.'”
Siau Gin Heng bungkam, tapi dalam hatinya mengutuk. Beberapa saat lamanya yang kedengaran hanya suara ketoplak-ketoplak dua puluh tiga ekor kuda yang berderap di pagi sunyi itu. Kemudian jalanan itu bercabang dua. Jalan besar tetap lurus ke depan, sementara sebuah jalan sempit masuk menyusup ke lipatan-lipatan pegunungan Kiu-liong-san yang masih gelap, cahaya matahari baru menyentuh puncak-puncak pegunungan saja.
Kata Siau Gin Heng, "Tai-jin, jalan kecil ini lah yang menuju ke desa Pek-hin-in."
Maka rombonganpun berbelok mengikuti jalan kecil itu. Karena sempitnya jalan. maka barisanpun dipersempit. Dua-dua berurutan ke belakang. Dengan berlagkk menghormati kedudukan Kui Thian Cu, sengaja Siau Gin Heng mempersilahkan Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong jalan paling depan. Dia sendiri mengambil jarak cukup di belakang mereka, dengan perhitungan kalau nanti terjadi "kecelakaan" di jembatan, ia tidak usah ikut terjun ke sungai.
Semakin dekat ke jembatan, semakin kencang pula debar jantung Siau Gin Heng. Bagaimanapun juga, orang-orang yang hendak dicelakakannya itu adalah orang-orang penting dari pemerintah pusat di Pak-khia. Kalau sampai dirinya "kecipratan" kecurigaan sedikit saja, tak terbayangkan kesulitan yang bakal didapatnya. Masih untung kalau bisa minggat dari Kim-teng lalu hidup sebagai buronan.
Akhirnya jembatan kayu itupun nampak di depan. Tanpa prasangka, Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memajukan kudanya memasuki jembatan, sementara gemuruh sungai di bawahnya terdengar gemerasak. Siau Gin Heng pun mulai bersiap-siap menjalankan peranannya sebagai "penolong yang tulus, tetapi gagal".
Namun, belum lagi kaki depan kuda Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memasuki jembatan, dari bawah jembatan tiba-tiba terdengar teriakan keras, yang mengatasi suara gemerasak air sungai, "Tuan-tuan, tahan! Jangan memasuki jembatan! Jembatan ini bisa roboh karena beberapa tali pengikat tiang jembatan nampaknya telah putus!"
Mendengar teriakan itu, dengan tangkas Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong menarik kuda mereka kuat-kuat, sehingga kuda-kuda itu meringkik. Tapi kedua orang itu menunjukkan ketangkasan membalikkan kuda menjauhi jembatan. Dengan sikap waspada, Koh Hian Hong terus berada di dekat Kui Thian Cu, matanya dengan tajam menatap ke segala arah.
Selain itu, sepuluh orang pengawal Kui Thian Cu berlompatan turun dari kuda dengan sigap, lalu dengan senjata-senjata siap di tangan, mereka mengambil posisi melindungi Kui Thian Cu. Bukan saja kesigapan mereka yang mengagumkan, tetapi juga sikap seolah-olah siap mati demi melindungi Kui Thian Cu. Sikap yang kurang lazim kalau hanya melindungi seorang pejabat biasa, biar dari ibukota sekalipun. Namun begitulah kenyataannya.
Siau Gin Heng bingung dan kaget menghadapi kejadian diluar perhitungan itu. Perangkap maut yang telah disiapkan para berandal Kiu-liong-san itu haruskah kini mubazir? Namun Siau Gin Heng tiba-tiba menghunus pedang, lalu kepada perajurit- perajurit dia pura-pura memerinahkan, "Lindungi Kui Tai-jin!"
Dia sendiri mendekati Kui Thian Cu dan bertanya, "Apakah Tai-jin tidak kurang suatu apa?"
Dengan wajah tenang, Kui Thian Cu menjawab, "Kita berhenti dulu. Siau Cong-peng, coba kau panggil orang yang berteriak dari bawah jembatan tadi."
"Baik, Tai-jin," sahut Siau Gin Heng. Lalu kepada perajurit-perajuritnya dia meneruskan perintah, "Temukan orang itu!"
Perajurit-perajurit lalu berlarian, dan kemudian dengan amat hati-hati menuruni tebing sungai yang curam itu. Tak lama kemudian, dari bawah tebing terdengar suara para perajurit, "Cong-peng, sudah diketemukan!"
"Seret kemari!" teriak Siau Gin Heng. Tak terasa, dalam perintahnya itu terkandung rasa marah dan benci kepada orang yang berteriak itu. karena orang itulah yang telah menggagalkan rencana. Selain itu, juga rasa cemas, berbahaya atau tidakkah orang itu?
Dari bawah tebing itu muncul para perajurit yang menggiring seorang pemuda bertubuh tegap, bajunya dirangkapi rompi bulu binatang, kepalanya memakai topi bulu pula. Itulah dandanan khas orang-orang dari daerah Liau-hong di timur laut, daerah yang hampir sepanjang tahun tertutup salju. Menilik rambutnya yang basah, agaknya dia baru saja membasahi kepala dan wajahnya di sungai itu.
"Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?!" bentak Siau Gin Heng sengit, dari atas tebing.
Namun Kui Thian Cu berkata, "Bersikaplah baik, Cong-peng. Seandainya yang dikatakan orang itu benar, maka peringatannya tadi berarti telah menyelamatkan kita semua."
"Oh, ya.... ya... baiklah, Tai-jin...." sahut Siau Gin Heng agak gugup. "Sikapku yang tak terkendali tadi karena aku belum benar-benar bebas dari rasa kaget, mengingat betapa berat tanggung-jawabku atas keselamatan Tai-jin."
Sementara itu, pemuda itu telah tiba dihadapan Kui Thian Cu sekalian, maka terlihat semakin jelas usianya yang mungkin lebih tua setahun dua tahun dari Kui Thian Cu. Barang yang di bawanya cuma sebuah bungkusan yang digendongnya, dan tak terlihat ia membawa senjata.
"Sobat, kau sedang berhadapan dengan Kui Tai-jin, pejabat tinggi dari ibukota," Siau Ging Heng ganti haluan untuk menjilat Kui Thian Cu. "Bersikaplah yang lebih hormat."
"Oh, maafkan aku, tuan-tuan," lalu pemuda itu membungkuk hormat dalam-dalam, dalam ucapannya terdengar logat Liau-tongnya, namun tidak terlalu tajam. "Teriakanku tadi hanya bermaksud mencegah agar tuan-tuan tidak mendapat celaka, tanpa bermaksud kurang sopan atau mengganggu tuan-tuan."
Kui Thian Cu tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, sobat. Kami justru berterima kasih kepadamu. Menilik logat bicaramu, kau berasal dari propinsi timur laut bukan?"
"Benar. Aku lahir dan dibesarkan di pegunungan Tiang-pek-san, sebagai pemburu binatang dan penggali jin-som, namaku Wan Lui."
"Darimana kau tahu jembatan itu kurang aman untuk dilewati, padahal masih nampak kokoh dan sudah bertahun tahun tak ada masalah?" tanya Siau Gin Heng.
Biasanya orang awam kalau berhadapan dengan pejabat-pejabat tinggi akan gugup, namun ketenangan Wan Lui mengherankan Kui Thian Cu dan lain-lainnya. Jawabannya tenang, lancar, tanpa gugup. "Tuan-tuan, kalau dilihat dari sini memang jembatan itu nampaknya tidak apa-apa. Tapi ketika tadi aku turun untuk mencuci-muka, tak sengaja kulihat ada beberapa tali pembebat tiang jembatan yang putus. Lalu aku bermaksud memancangkan tulisan di kedua mulut jembatan agar orang yang melewari berhati-hati. Ketika kudengar derap kuda rombongan tuan-tuan; semakin dekat, aku menjadi panik. Terpaksa aku berteriak saja dari bawah. Maaf, kalau dianggap kurang sopan."
Dingin suara Siau Gin Heng, "Kami sedang melakukan suatu urusan penting. Jadi ya maaf saja kalau tidak bisa mempercayaimu bulat-bulat. Kami akan lewat terus. Silahkan, Kui Tai-jin." Dingin suaranya ketika bicara dengan Wan Lui, tapi hangat dan menjilat ketika bicara kepada Kui Thian Cu.
Tetapi Koh Hian Hong justru mencegah, "Perjalanan bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung hasil pemeriksaanku ke bawah jembatan." Habis berkata demikian, dengan gerak yang lincah Koh Hian Hong telah meluncur ke bawah tebing.
Siau Gin Heng menjadi cemas, bagaimana kalau sampai Koh Hian Hong menemukan bekas-bekas kesengajaan tindakan para berandal Kiu-liong-san? Tentu dirinya akan tersudut, kalau sampai orang-orang Pak-khia itu marah dan memaksa dirinya agar melawan kawanan Kiu-liong-san yang selama ini sudah menjadi temannya. Maka diapun ikut turun ke bawah, biarpun tubuhnya yang gemuk itu menimbulkan kerepotan yang lumayan besar.
Di kolong jembatan, memang terlihat tali-tali pengikat tiang jembatan banyak yang diputuskan, dengan meninggalkan bekas-bekas bacokan yang kasar dan masih baru. "Benar-benar kerja yang ceroboh!" kutuk Siau Gin Heng dalam harinya. "Kenapa tali ini tidak dirapuhkan dengan air belerang atau dengan sudutan api kecil? Ini pasti dihantam dengan kampak atau golok. Pantas talinya kelihatan kedodoran dan terlihat menyolok mata. Rencana In Kiu-liong memang bagus, tapi pelaksanaanyalah yang goblok!"
"Paman Koh...! Sian Cong peng! Sudah selesai memeriksa atau belum?" teriak Kui Thiau Cu dari atas tebing.
Koh Hian Hong menjawab ke atas. "Sudah! Kelihatannya memang ada kesengajaan hendak mencelakakan kita!"
"Memang ada kesengajaan, tapi belum tentu kita yang ditujunya!" Siau Gi Heng ikut menjawab, tapi mencoba mengaburkan masalah. "Sebab di pegunungan ini ada banyak kelompok bandit, dan satu sama lain memang sering bermusuhan!"
"Berbahaya untuk dilewati atau tidak?" tanya Kui Thian Cu pula.
Koh Hian Hong yang menjawab. "Sebaiknya kembali ke Kim-teng dulu. Siau-ya (tuan muda). Tak bisa dilewati."
Kui Thian Cu nampak kesal karena perjalanannya batal. Geram ia menatap ke puncak-puncak pegunungan Kiu-liong san, namun akhirnya berkata juga. "Kembali!"
Siau Gin Heng dan Koh Hian Hong pun kembali merayap ke atas tebing. Siau Gin Hong susah payah mengangkut tubuhnya yang kegemukan karena jarang latihan silat itu, naik sejengkal demi sejengkal dengan mencucurkan banyak keringat. Sedangkan Koh Hian Hong yang sudah ubanan itu justru melesat seringan seekor burung, dalam waktu dua detik sudah tiba di atau tebing.
Sementara itu, tanya Kui Thian Cu kepada Wan Lui, "Wan-heng, sukakah kau mampir ke Kim-teng bersamaku, agar kita bisa lebih saling mengenal dan mempererat persahabatan?"
Beberapa saat Wan Lui ragu-ragu menyambut ajakan itu. Kui Thian Cu nampaknya adalah seorang yang berpangkat tinggi di Pak-khia, biarpun amat ramah, namun kesan Wan Lui tentang seorang pembesar masih dibayangi oleh kesannya melihat tingkah laku Ni keng Giau di kota Tian-liu dulu. Sewenang-wenang Karena itulah ia khawatir, jangan-jangan Kui Thian Cu juga sebenarnya macam itu, biarpun kelihatan ramah?
Namun sebuah pikiran lain memasuk benaknya. Jauh-jauh ia meninggalkan Liau-tong masuk ke Tiong-goan untuk mencari gurunya, Pak Kiong Liong. Tiong-goan begitu luas, bagaimana bisa menemukan gurunya itu kalau tidak ada petunjuk sama sekali? Lalu Wan Lui ingat bahwa Pak Kiong Liong pernah menjadi seorang panglima kerajaan, maka kemungkinan bisa mencari petunjuk dari Kui Thian Cu, biarpun bicaranya harus hati-hati, karena gurunya itu kabarnya sudah menjadi buronan.
Karena itulah setelah berpikir-pikir beberapa saat, Wan Lui kemudian mengangguk, "Baiklah, Tai-jin, kalau Tai-jin merasa hina berjalan dengan anak gunung ini. Silahkan Tai-jin menunggang kuda, biar aku berjalan saja."
"Tidak, aku mau kita menjadi sahabat yang sederajat, Wan-heng," kata Kui Thian Cu. Seperti Wan Lui berkesan baik terhadapnya yang berkedudukan tinggi namun ramah, sebaliknya Kui Thian Cu terhadap Wan Lui juga berkesan baik, samar-samar Kui Thian Cu merasakan bahwa dibalik penampilan Wan Lui yang begitu sepele, tersembunyi kepribadian besar yang menarik.
"He, pengawal! Tolong bawakan seekor kuda kemari buat sahabatku ini! Nanti yang meminjamkan kudanya, bisa membonceng temannya!"
Menghadapi sikap bersahabat demikian hangat, Wan Lui tak merasa perlu berbasa-basi lagi. Begitu kuda pinjamannya tersedia, ia langsung melompat menaikinya.
Demikianlah, rombongan itu kemudian berbalik ke kota Kim-teng, karena dianggap terlalu berbahaya melewati jembatan yang sudah cacat itu. Sebelum pergi, Kui Thian Cu memerintahkan orang-orangnya untuk sama sekali merobohkan jembatan itu, alasannya agar jangan ada orang yang melewatinya dan akhirnya malah celaka.
Semuanya itu tak lepas dari pandang an Hok Tong-peng dan Goh Kun yang mengintai dari seberang sungai dengan perasaan geram dan kecewa. "Gagal," kata Goh Kun sambil mengepal-ngepalkan tinju. "Harusnya Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong saat ini sudah terseret arus dan dihempas-hempaskan ke tebing-tebing berbatu tajam itu."
Seperti biasa, Hong Tong-peng mengeluarkan usulnya yang ketolol-tololan, "Mumpung rombongan itu belum keluar dari jalan pegunungan, bagaimana kalau kita hadang dan bunuh utusan dari Pak-khia itu?"
"Sam-te, kapan kau mau belajar menggunakan otakmu? Kalau utusan itu dibunuh, tak lama lagi pasti pegunungan ini akan dibanjiri tentara kerajaan yang takkan mampu kita hadapi. Siau Gin Heng sendiri biarpun selama ini bekerja sama dengan kita, tapi kalau kedudukannya terancam oleh pemecatan dari pusat, orang macam dia pasti takkan segan-segan berbalik menghantam kita. Demi mencari muka terhadap pemerintah pusat."
"Jadi bagaimana sekarang?"
"Jangan tanya aku. Lebih baik kita pulang dulu untuk berunding dengan Toako In Kiu Liong. Dia banyak akalnya."
"Toako In Kiu Liong punya ilmu begitu tinggi, sampai kita bertiga pernah dikalahkannya sendiri. Kenapa dia tidak keluar sendiri untuk menyambar nyawa orang-orang Pak-khia itu? Kan gampang? Harusnya."
"Harusnya, harusnya gundulmu itu. Ayo pulang!"
Sementara itu, Siau Gin Hen yang berjalan bersama Kui Thian Cu itu tidak kalah kecewanya. Ia takkan bisa tidur nyenyak dan makan enak sebelum utusan-utusan Pak-khia yang "tidak bisa diajak damai" itu lenyap nyawanya. Namun ia masih agak lega karena dirinya agaknya belum dicurigai.
"Nanti malam aku harus menemui para pimpinan Kiu-liong-san itu untuk merundingkan tindakan-tindakan baru." rencanya dalam hati.
Makin banyak saling bicara, baik Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama menemukan kesan yang menyenangkan. Kui Thian Cu memang banyak punya pengawal yang menemani perjalanannya . Tapi mereka bukan teman, hanya bawahan yang bersikap terus menerus resmi dan cuma mengiakan semua perintahnya, sehingga Kui Thian Cu malahan merasa terpencil.
Ingin bercanda dan tertawa bebas, tak ada yang berani menanggapi nya bersungguh-sungguh. Kini setelah berteman deangan Wan Lui barulah Kui Thian Cu merasa mendapat sahabat yang benar-benar sahabat, bukan bawahan atau orang yang sekedar mau menjilat.
Namun timbul juga kekhawatirannya kalau kelak Wan Lui tahu siapa sebenarnya dirinya, masihkan Wan Lui berani bersikap sebagai teman yang bebas dan sederajat? Jangan-jangan ia akan kehilangan teman, dan ketambahan orang yang dengan resmi terus-terusan membungkuk hormat kepadanya?
“Mudah-mudahan kepribadiannya cukup kuat dan tidak silau kepadaku, biarpun kelak setelah dia mengetahui siapa diriku,” Kui Thian Cu dalam hatinya.
Malam itu, di salah satu ruangan dari gedung Cong-peng-hu, kediaman resmi dari Siau Gim Heng di Kim-teng, Nampak Kui Thian Cu dan Wan Liu tengah duduk santai. Bercakap-cakap sampai jauh malam sambil minum-minum arak biarpun tidak sampai mabuk. Sengaja Kui Thian Cu menyuruh pengawal-pengawalnya menjauh di luar, agar suasana persahabatan yang akrab itu tidak terganggu oleh pengawal-pengawal yang berwajah angker, kaku dan bersikap resmi itu.
Di luar, langit yang berwarna biru gelap hanya dihiasi sepotong bulan sabit yang tipis bercahaya pucat lemat, Angin malam terasa dingin mengiris kulit, tapi hangatnya arak masih sanggup menandingi cuaca malam tak bersahabat itu.
“Di kota-kota lain yang seukuran dengan Kim-teng ini, dimalam haripun biasanya masih terdengar suara manusia dijalanan,” kata Wan Liu mengomentari suasana itu. "Tapi Kim-teng ini lain, apakah karena berandal-berandai Kiu-liong-san cukup terasa di kota ini?"
"Bukan," jawab Kui Thian Cu sambil memain-mainkan cawan araknya yang baru saja ditenggak isinya. "Sudah beberapa hari aku tinggal di sini. Malam malam sebelumnya juga tidak sesepi ini, terutama di tempat-tempat seperti warung arak atau tempat-tempat judi dan pelesiran, tapi malam ini memang agak khusus."
"Apa khususnya, Kui-heng?"
"Karena sekarang ini tanggal lima belas bulan tujuh."
"Lho, apa bedanya tanggal limabelas bulan tujuh dengan hari-hari lainnya?" tanya Wan Lui heran.
"Wan-heng, tidak aneh kalau kau belum tahu kepercayaan di wilayah Tiong-goan ini, karena kau berasal dari Liau-tong yang kepercayaannya berbeda. Menurut kepercayaan orang-orang Han, tanggal ini adalah saatnya para dewa melepaskan arwah-arwah penasaran yang terbelenggu, banyak di antara arwah itu tak punya lagi sanak keluarga sehingga mereka kelaparan karena tak mendapat sesajian. Nah, arwah-arwah inilah, yang menurut kepercayaan, bergentayangan dan sering mengganggu. Karena itulah orang-orang tidak berani berada di luar rumah, takut mendapat gangguan arwah-arwah kelaparan itu."
"Ah, menyeramkan sekali," desah Wan Lui. Dan seolah untuk memperkuat pernyataan itu, dari kejauhan terdengar suara anjing melolong panjang, menggidikkan bulu tengkuk. Kata orang tua, anjing-anjing itu sedang melihat lewatnya mahluk- mahluk halus.
Kui Thian Cu menuangkan lagi secawan arak, dan sambil menatap kalung kayu berbentuk salib yang tergantung di leher Wan Lui. Biasanya kalung itu tidak kelihatan, namun ketika Wan Lui membuka kancing bajunya, kalung itu jadi kelihatan oleh Kui Thian Cu. "Saudara Wan, agaknya kau penganut agama baru itu?"
"Ah, agama itu dibilang baru sebenarnya juga tidak, masuknya ke negeri ini sudah berabad-abad, hanya tersebarnya tidak meluas. Bukankah Kaisar Tong-siu-cong dari dinasti Tong, seribu tahun yang lalu juga sudah memeluk agama salib ini? Biarpun yang dianutnya dari sekte Thai-cin yang berbeda dengan sekteku, namun dasarnya sama saja. Begitu juga banyak panglima bawahan Jengish Khan yang beragama sama, dan sampai sekarang masih ada peninggalan, biara Yan-sin di luar kota Teng-kong."
Kui Thian Cu mengangguk-angguk Pengetahuan apa saja memang menarik minatnya, ia percaya makin banyak pengetahuannya akan makin bijaksanalah kelak kalau tanggung-jawab mahaberat itu sudah dipikulnya. Kini didengarkannya Wan Lui bercerita tentang agama salib itu, yang biarpun hanya sedikit pengikutnya namun termasuk agama kuno, di benua barat bahkan kabarnya menjadi agama hampir seluruh rakyatnya.
"Memang dalam catatan sejarah disebutkan Tong-siu-cong memeluk agama ini. Apakah sama dengan yang kau anut, Wan-heng?"
"Dalam tiap agama tentu ada aliran-aliran, biasanya karena perbedaan penafsiran ajaran pokok. Dalam agama kamipun demikian. Sekte Thai-cin datang dari Siria, masuk ke negeri ini kira-kira seribu limaratus tahun yang lalu. Sedang yang kuanut ini sama dengan orang-orang Portugis di Makao itu."
"Yang suka begini?" Kui Thian Cu bertanya sambil menyentuhkan jari-jarinya ke tengah jidat, dada, pundak kiri lalu pundak kanan.
"Yah," Wan L.ui tersenyum. "Itupun bukan baru. Dibawa oleh orang-orang bule itu. Di jaman Kaisar Beng Siu Ceng dari dinasti Beng. Agama itu sudah tersebar di pantai timur."
"Lalu bagaimana pandanganmu tentang kepercayaan arwah-arwah kelaparan itu?"
"Aku tidak berhak melihat keyakinan orang lain dengan ukuran-ukuran keyakinanku sendiri. Selain tidak adil juga bisa menimbulkan sakit hati orang lain." sahut Wan Lui. "Tidak adil dan menyakiti hati itulah yang terlarang dalam agamaku."
"Bagaimana Wan-heng bisa sampai menganut agama itu, padahal Liau-tong jauh tempatnya dari Makao, sarang orang-orang Portugis itu?"
"Agama itu diseberangkan dari Nagasaki di Jepang oleh pendeta-pendeta Portugis, lebih dulu ke Tiau-sian, lalu sampai ke Liau-tong."
Kui Thian Cu nampaknya puas mendengar jawatan bijaksana Wan Lui tentang menilai keyakinan orang lain itu, sekaligus heran juga bahwa sahabat barunya yang mengaku di Tiang-pek-san cuma sebagai "pemburu dan penggali ginseng" itu bisa mengeluarkan kata-kara demikian. Sementara itu, dari jauh kembali terdengar anjing melolong panjang.
"Nampaknya benar-benar ada setan lewat," kata Kui Thian Cu sambil tertawa.
"Mungkiri saja," sahut Wan Lui. "Dalam kitab suci agamaku, mahluk-mahluk tak terlihat macam itu memang dicatat juga, disebut dengari Thian-kun (tentara langit). Merekalah malaikat-malaikat yang ingin disembah seperti Thian sendiri."
"Suatu keyakinan, pelaksananya di dua tempat bisa berbeda. Biarpun sama sama bangsa Han, menyambut tanggal limabelas bulan tujuh ini di Kang-pak (Utara sungai besar) sini dan di Kang-lam (selatan sungai besar) sana, sungguh berbeda sekali. Di sini mencengkam menakutkan Di Kang-lam sana justru menimbulkan suasana pesta meriah."
"Lho, kok bisa begitu?"
"Ya memang begitu, sudah berabad-abad berjalan begitu tanpa ada yang mempertanyakannya. Di Kang-lam, malam ini justru orang-orang berramai-ramai keluar rumah untuk menuju tempat-tempat berair seperti sungai atau danau, untuk mengadakan Pesta Lentera. Setelah setiap keluarga bersembahyang di rumah masing-masing untuk arwah keluarga mereka sendiri, lalu mereka melepaskan lentera-lentera terapung dalam berbagai bentuk, berkerangka bambu berkulit kertas, di beri lilin dan sesajian. Katanya untuk menghibur arwah-arwah yang sudah tak bersanak-keluarga tapi agar tidak mengganggu yang masih hidup."
"Sungguh menarik."
"Ya. Jauh dari suasana menyeramkan seperti di sini. Bahkan kemudian keindah lampu lentera-lentera terapung itu diperlombakan, dinilai siapakah yang paling bagus membuatnya. Sayang, aku hanya mendengar cerita orang dan belum melihat sendiri."
Wan Lui mengangguk-angguk. "Untuk tujuan yang sama memang bisa ditempuh cara yang berbeda. Memandang satu masalah, sudut pandangan pun bisa berbeda sehingga mendapat kesan yang berbeda pula. Di sini menakutkan, di sana malah suasana pesta."
Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai. Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul" dengan bebas, apa saja yang menarik hati. Tengah mereka bicara asyik, tiba-tiba kuping Wang Lui yang tajam medengar di halaman luar seperti ada suara tubuh yang roboh, namun begitu perlahan sehingga hampir tak terdengar.
Sikap santai Wan Lui tiba-tiba lenyap, diganti dengan sikap waspada. Seandainya ia seekor serigala, tentu kupingnya sudah berdiri saat itu. Desisnya. "Kui-heng, di luar nampaknya ada yang tidak beres."
Kui Thian Cu agaknya amat mengandalkan pengawal-pengawalnya, terutama si jenggot kambing Koh Hian Hong yang lihai silatnya. Maka sikapnya tenang-tenang saja, tidak setegang Wan Lui. "Di luar ada Paman Koh dan pengawal-pengawalku yang lain. Jangan khawatir Wan-heng."
Baru saja selesai kata-kata Kui Thian Cu, di luar ruangan terdengar suara langkah bergegas. Lalu pintu ruangan didorong dari luar tanpa diketuk lebih-dulu. Dan masukiah Koh Hian Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai. Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul" dengan bebas, apa saja yang menarik hati.
Hong dengan sikap mergherankan, biasanya ia "bersikap hormat” dan kalau mau masuk mengetuk pintu lebih dulu. Kali ini langsung menyerobot, wajahnya tegang, malah tangannya sudah menggenggam pedang telanjang. Namun demi melihat Kui Thian Cu masih tak kurang suatu apa di ruangan itu, ketegangannyapun mengendor. Pedangnya diturunkan sehingga ujungnya menyentuh lantai.
"Ada apa, Paman Koh?" tanya Kui Thian Cu heran.
"Syukurlah Siau-ya tidak kurang suatu apapun," jawaban yang melenceng dari pertanyaannya itu cukup mengherankan, sekaligus juga memperlihatkan kecemasannya.
"Lho, memangnya ada apa?"
Koh Hian Hong berterus terang agar tuan mudanya itu waspada. "Siau-ya, dua pengawal kita di halaman Belakang telah dibunuh, entah oleh siapa."
Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama terkejut. Maklumlah, pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu bukan orang sembarangan Seandainya terbunuhpun, paling tidak akan didahului suara perkelahian tanda perlawanannya. Namun sekali ini tanpa terdengar suara yang berarti, tahu-tahu dua orang sudah terbunuh.
"Bagaimana dengan pengawal-pengawal lain?"
"Demi keselamatan Siau-ya dan juga keselamatan mereka sendiri, aku sudah menyuruh mereka berada di luar ruangan ini, tidak jauh dari pintu. Maafkan kalau aku melancangi perintah Siau-ya. Dari depan pintu ruangan ini, kedua halaman samping bisa diawasi dengan baik."
Kui Thian Cu lalu bangkit mengambil pedangnya di dinding untuk digantungkan di pinggangnya sendiri. Sedangkan Wan Lui berkata, "Kui-heng, karena aku kalau bepergian tidak pernah membawa senjata, bisakah aku dipinjami sebatang pedang?"
Permintaan itu agaknya mengherankan Kui Thian Cu. "Wan-heng, jadi kau juga pernah mempelajari silat? Baru sekarang aku tahu."
Sebelum Wan Lui menjawab, Koh Hian Hong sudah mendahului menjawab tanpa menyembunyikan sikap curiganya. "Jadi Wan-heng baru tahu sekarang kalau Wan-heng ini seorang pesilat tangguh? Kalau aku, sejak di jembetan sungai Pek-hi-kang itu sudah menduga kalau Wan-heng seorang pesilat yang menyembunyikan maksud tertentu."
Semenjak Wan lui menjadi sahabat Kui Thian Cu, Koh Hian Hong senantiasa menunjukkan sikap ramah dan hormat kepada Wan Lui, biarpun tetap menjaga jarak. Namun kini setelah matinya dua pengawal secara tak terduga, dia mulai curiga kepada Wan Lui. Kata- katanya tajam, tanpa tedeng aling-aling dia menuduh Wan Lui. Kui Thian Cu paham benar, sikap Koh Hian Hong itu tidak bertandasan atau iri, melainkan semata-mata karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
Sedang Wan Lui pun merasa tidak enak. Untuk membersihkan diri dari kecurigaan, ia segera melangkah keluar sambil berkata, "Koh Sian-seng, jaga baik-baik Kui-heng di ruangan ini. Biar aku mencoba menemukan siapa orangnya yang berniat jahat ini."
Koh Hian Hong mengangguk canggung. Namun baginya malah kebetulan kalau bisa mendampingi tuan mudanya ini, dan melindunginya secara langsung. Ketika itu Wan Lui sudah sampai ke halaman. Malam gelap dan angin bertiup kencang, lolong anjing liar semakin sering terdengar di kejauhan. Sang rembulan yang tadinya nampak, kini tiba-tiba dikerudungi awan hitam dan tebal.
Biarpun suasana seperti ini cukup menakutkan, tapi mestinya ya biasa saja dan sudah sering dialami Wan lui. Hanya, kali ini naluri tajam Wan Lui merasakan ada sesuatu yang ganjil, bahkan cenderung gaib. Matanya seolah diusap rasa kantuk yang makin lama makin berat.
Sesaat Wan Lui berdiri mematung, menghimpun semangatnya untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang lebih bersifat kejiwaan daripada fisik itu. ketika tubuhnya terasa hangat dialiri tenaga saktinya, dia bebas dari rasa kantuk itu, lalu berseru, "Sobat-sobat pengawal...."
Dari sudut-sudut gelap halaman itu, atau dari balik pepohonan, terdengar jawaban-jawaban pelan bernada rendah, lalu bermunculanlah sisa delapan pengawal Kui Thian Cu. Anehnya, kalau siang tadi mereka masih kelihatan sigap penuh semangat, kini mereka nampak loyo dan amat mengantuk, seolah telah minum obat tidur berlebihan. Terkesiaplah Wan lui melihat itu.
"Di mana para perajurit pengawal Cong-peng-hu? Bukankah mereka seharusnya berjaga di bagian luar juga” tanya Wan lui. "Kenapa tak kelihatan batang hidungnya seorangpun, atau terdengar suara mereka?"
"Mereka tidur semua," salah seorang pengawal Kui Thian Cu menjawat sambil menguap lebar-lebar, tubuhnya mendoyong perlahan ke samping hendak roboh, tapi dengan geragapan ia segera menegakkan tubuhnya kembali. Biarpun nampak konyol, tapi setidaknya mereka menunjukkan kelebihan dari perajurit-perajuritnya Siau Gin Heng di bagian luarnya. Pengawal-pengawal Kui Thian cu itu agaknya masih nampak tetap bertahan biarpun dengan susah payah.
Tapi Wan Lui sudah cukup menyadari betapa gawatnya keadaan. "Saudara-saudara, bertahanlah dan berjaga di sini bersama Koh Sian Seng. Tolong aku dipinjami satu pedang kalian."
Salah seorang pengawal mengulurkan pedangnya. Begitu menerima senjata itu, tubuh Wan Lui langsung melesat keatas atap bagaikan seekor burung. Sejenak ia berdiri di atas genteng, pandangan tajam dari seorang pemburu binatang malam disapukannya ke segala arah. Kegelapan yang pekat dan merata menyungkup kota kim-teng. Pucuk-pucuk atap rumah-rumah kelihatan kabur, hampir berbaur dengan warna cakrawala hitam kelam.
Tiba-tiba angin yang dingin mengiris kulit seolah berhembus mengelusnya, Wan Lui menggigil sebentar, namun bukan karena takut, meskipun sempat pula ia berpikir, "Barangkali barusan ada arwah kelaparan lewat di sebelahku."
Ketika pandangannya tertuju ke suatu arah, tiba-tiba dilihatnya kejauhan ada nyala api yang hanya sekejap lalu padam. Wan Lui heran, sebab cahaya api itu nampaknya ada di atas rumah Ada orang mau memasang lenterakah. Tapi kenapa di atas rumah? Atau... atau bukankah malam ini tanggal limabelas bulan tujuh? "Ah, persetan. Coba kulihat bagaimana tampangnya arwah kelaparan itu," pikir Wan Lui.
Terdorong kuat oleh rasa ingin tahu yang mengalahkan rasa takut, ia bermaksud mendekat untuk menyelidiki. Tapi ia tidak mau gegabah, ia tidak mendekat langsung dengan ilmu meringankan tubuhnya, melainkan merunduk ringan bagaikan seekor kucing, di balik bayang-bayangan atap. Setelah dekat dan memperhatikan lebih cermat, tercenganglah ia.
Nampak seorang yang berpakaian imam, duduk di atas atap. Rambutnya yang mestinya digelung, kini diurai lepas. Di tangannya ada bendera segitiga kecil warna hitam, yang dikalangan penganut ilmu gaib bisa dipanggil Hong-hun-ki, katanya bendera "pemanggil" angin dan mega. Tiap kali bendera itu Akibat-kibarkannya ke segala arah, seperti seorang jenderal memimpin pasukannya pertempuran. Sambil bibirnya komat-kamit menggumamkan mantera.
Wan Lui segera merasakan akibat dan tingkah imam itu. Tiba kibasan benderanya delapan kali, terasa hawa yang membuat mengantuk itu meningkat selapis demi selapis. Lalu dilihatnya imam itu mengeluarkan sehelai kertas kuning yang biasa disebut "hu" (kertas jimat), dijepit dengan dua jarinya, dikibaskan dan hu itu menyala sendiri tanpa disulut dan jadi abu. Berbarengan dengat bertiupnya angin keras entah dari mana dan juga mega hitam di langit yang juga entah darimana.
Maka teringatlah Wan Lui akan cerita orang, bahwa di pedalaman Tiong-goan ada kaum yang disebut Pek-lian-kau (agama teratai putih) yang gemar main-main dengan ilmu gaib. Secara politis golongan ini dilarang berkembang oleh Pemerintah Manchu, sebab kabarnya golongan ini berniat membangkitkan kembali Kerajaan Beng dengan menumbangkan pemerintah Manchu.
Beng-thai-cu (leluhur dinasti Beng) Cu Goan-ciang yang kemudian bergelar Kaisar Hong-bu, sebelum menjadi raja adalah anggota Pek-lian-kau, bahkan naiknya ke tahta juga dengan dukungan Pek-lian-kau. Meskipun pernah juga ia berusaha menumpas Pek-lian- kau. namun ketika Kerajaaan Beng runtuh dan Kerajaan Manchu berdiri, Pek-lian-kau tetap memperjuangkan kebangkitan kembali Kerajaan Beng.
Melihat tingkah laku imam itu. Wan Lui langsung menduga orang Pek-lian-kau, yang agaknya mengincar Kui Thian Cu sebagai pejabat tinggi Kerajaan Manchu. Yang bergolak dalam hati Wan Lui kemudian bukanlah sekedar ingin membela seorang teman baik, tapi juga perasaan jemu melihat perlawanan tak habis- habisnya terhadap pemerintah Manchu. Di sini agaknya Wan Lui tak berdaya membebaskan diri dari perasaan kesukuannya, karena dia adalah seorang Manchu tulen.
Ia pun memutuskan untuk bertindak kepada si imam yang agaknya sedang mempraktekkan ilmu gaib (Hoat-sut) itu. Kebetulan Wan Lui pun tahu sebuah cara sederhana untuk menghidupkan penangkal ilmu gaib macam itu. Digigitnya bibirnya sendiri sehingga berdarah, lalu dikumurnya darah campur ludah dalam mulutnya.
Selagi imam itu masih sibuk dengan jimat-jimatnya, Wan Lui melompat keluar dari persembunyiannya seperti seekor burung rajawali, langsung ke arah si imam sambil membentak, "Imam siluman, hentikan sihir jahatmu!"
Setelah dekat, air ludah berdarah yang sudah disiapkan dalam mulut itu disemburkan kuat-kuat ke arah bendera Hong-hun-ki di tangan si imam. Aneh juga bahwa bendera kecil itu tiba- tiba menyala dengan api berwarna kehijau-hijauan, lalu musnah jadi abu dan tinggal gagangnya saja.
Si imam terkejut oleh datangnya serangan tak terduga itu. Kerugiannya yang terbesar bukanlah gagalnya serangan ke alamat Kui Thian Cu dan pengawai-pegawalnya, sebab hal itu bisa diulang lain waktu, melainkan musnahnya bende ra Hong-kun-kinya itu.
"Bangsat cilik, kau pasti begundal Manchu!" dengan gusar ia menyambitkan tangkai bendera ke muka Wan Lui. “Kau harus kumampuskan lebih dulu!"
Agaknya si imam lincah juga dalam bersilat, la melompat ringan ke atap bumbungan rumah sebelah, menghindari terjangan Wan Lui yang seperti angin puyuh. Ketika tangannya bergerak ke pinggang, tahu-tahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan Lui dengan tipu silat Ok-liong lo-hai (Naga Jahat Mengaduk Lautan), la memainkan cambuk dengan mahir. Bagian tengah cambuknya hendak menjerat batang pedang Wan Lui, sedang ujung cambuknya melejit ke atas dan siap membuat wajah Wan Lui jadi babak belur.
Wau Lui menghentikan laju tubuhnya sambil menunduk menghindar, pedangnya turun membabat sepasang kaki si imam dengan jurus Ji-kong-cam-co (Ji Kong memotong ular). lawan mundur, Wan Lui mendesak, la maju sambil memutar tubuh, membacok pinggang dengan gerakan Hwe-liong-kui-hai (Naga Pulang ke Laut). Tindakan yang penuh resiko, sebab Wan Lui melakukan putaran tubuh tanpa lebih dulu menghitung kecepatan lawan, apakah mampu memanfaatkan kesempatan sepersekian detik di saat punggungnya menghadap lawan atau tidak.
Namun beruntunglah Wan Lui. Gerak nekadnya mengejutkan lawan. Ternyata si imam memang tak mampu, peluang bagus selagi punggung Wan Lui menghadap ke arahnya selagi berputar. Si imam dipaksa melompat mundur jauh-jauh. Wan Lui mengejar, dan terjadilah pertempuran sengit. Pedang melawan cambuk. Ketika tangannya bergerak ke pinggang tahu-tahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan lui dengan tipu silat Ok-liong-lo-hai (Naga Jahat Mengaduk lautan).
Mereka berlompatan lincah di diatas genteng, mengadu tipu silat dan kecerdikan. Bagaimanapun juga, akhirnya imam itu jatuh ke bawah tekanan Wan Lui yang sudah mewarisi semua ajaran silat Pak Kiong Liong. Imam itu mulai terdesak. Mula-mula sebagian rambutnya yang terurai itu kena terbabat sedikit oleh pedang Wan Lui. Beberapa jurus kemudian, ketika ia melompat untuk menghindari sabetan ke kaki, geraknya kurang cepat sehingga telapak sepatunya kena tertabas sedikit. Hal itu cukup membuat semangat tempurnya merosot, dan permaianan silatnya jadi kian tak keruan, keadaannya makin berbahaya.
Suatu saat, ia mengayun cambuk sekuatnya dengan tipu Leng-coa siam-keng (Ular Sakti Melilit Leher), cambuknya menderu menjadi segugusan cahaya memanjang yang mengancam leher Wan Lui. Cepat-cepat Wan Lui menjatuhkan diri sambil melakukan tendangan Bu-siang toat-beng (Setan Jahat Mencabut Nyawa) yang tepat kena lutut si imam. Imam itu menjerit keras.
Kali ini si imam benar-benar kehabisan semangat. Dengan terpincang-pincang tapi cukup cepat karena diburu ketakutan, ia balik tubuh dan kabur. Ketika dari atas atap melompat turun ke sebuah lorong gelap, hampir saja dia terjerembab karena lututnya yang sakit.
"Jangan lari! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!" bentak Wan Lui sambil mengejar, ia penasaran kalau ingat bahwa dua nyawa pengawal Kui Thian Cu sudah melayang.
Dalam keadaan waras pun belum tentu si imam sanggup, lepas dari kejaran ilmu meringankan tubuh yang hebat dari Wan Lui, apalagi dalam keadaan cidera kaki. Si imam sadar, akhirnya kalau diteruskan ia akan tertangkap. Karena itu, sambil berlari dia mulai membaca mantera pula, sambil mengeluarkan bendera kecil lainnya yang disebut Sip-hun-ki (Bendera pemanggil arwah).
Sementara itu Wan Lui mengejar dengan bersemangat. Namun tiba-tiba mega hitam di langit muncul kembali begitu tebal, bahkan mega itu seolah-olah turun merendah sehingga cuaca jadi gelap sekali, dibarengi angin bertiup kembali dengan keras. Wan lui jadi tak bisa melihat buruannya yang seolah-olah lenyap begitu saja.
Selagi ia celiugukan mencari, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga sosok tubuh entah dari mana datangnya. Mereka semua berbaju ringkas warna kuning dengan tangan memegang pedang. Tiga orang itu berwajah agak aneh, seperti bukan-wajah manusia hidup melainkan wajah dalam lukisan di atas kertas saja. Mimik wajah mereka beku, cahaya mata mereka nyaris hampa seperti mata mayat.
"Minggir kalian!" bentak Wan Lui keras-keras. Ia bersuara keras untuk mencoba mengusir rasa seram yang mulai menyusup ke hatinya. Sambil mengharapkan mudah-mudahan di kesunyian itu ia akan mendengar suara manusia lain, biarpun musuh sekalipun asal manusia. Tetapi suasana mencengkam gaib yang melingkupinya itu tidak gampang dibuyarkan.
Ketiga penghadang itu tetap bungkam, melainkan tiba-tiba bergerak menjerit, menyerang dengan pedang mereka. Gerak pedang mereka sederhana, bahkan tidak nampak seperti ilmu silat, namun cukup berbahaya. Terpaksa Wan lui melawan. Pikirnya, biar tidak bisa menangkap si imam, asal bisa menangkap salah satu dari ketiga lawan ini untuk ditanyai.
Belasan jurus Wan Lui melawan ketiga musuh itu, dan tiba-tiba bulu tengkuknya bergidik ketika menjumpai suatu kenyataan yang tidak masuk akal. Ketiga lawannya sudah bergerak sekian lama, mestinya ya kedengaran suara napas mereka, bagaimanapun perlahannya. Tapi ketiga lawan Wan Lui ini tidak. Mereka terus menyerang dengan hebat, tapi tak ada suara napas, tak terlihat titik keringatpun di jidat mereka.
Hampir saja Wan Lui melempar pedangnya dan lari terbirit-birit dari situ. Keringat dingin mengalir, bulu kuduknya meremang. Manusia atau apa yang dihadapi ini? Untunglah masih ada akal sehatnya. Ingat akan keberhasilannya memusnahkan bendera Hong-hun-ki milik si imam tadi, Wan Lui merasa harus mencoba cara yang sama kepada ke tiga lawan ini.
Sisa darah berasal dari bibirnya yang digigitnya sendiri tadi masih terkumur di mulutnya. Pada suatu kesempatan, Wan lui menyemburkan kembali ludah berdarah kepada ketiga lawannya ini. Ternyata ketiga lawannya ini langsung roboh, dan ketika angin berhembus, tubuh ketika “lawan"nya itu terangkat dan melayang-layang sebentar sebelum menggeletak ringan di tanah. Ketiga "lawan" itu telah menyusut kecil menjadi kertas-kertas kuning yang digunting berbentuk orang membawa pedang, panjang kertas itu kira-kira dua jengkal. Pada "punggung" orang-orangan itu masing-masing tertempel selembar hu.
Hampir saja Wan Lui tidak percaya, bahwa baru saja dia bertempur begitu gigih hanya menghadapi tiga lembar guntingan orang-orangan kertas kuning. Ia berdesah sambil mengusap keringatnya di jidat. "Permainan gila yang membuat aku hampir ikut gila pula."
Dan si imam yang tadi dikejarnya, sudah menghilang tentu saja. Wan Lui sendiri tidak bersemangat untuk terus mengejarnya. Kalau soal adu silat, ia tidak takut kepada siapapun, tapi ia harus jujur mengakui bahwa jiwanya belum siap untuk menghadapi Hoat-sut. Kali ini cuma harus menghadapi "manusia kertas", tapi bagaimana kalau menghadapi peristiwa-peristiwa gaib yang lebih seram lagi? Sekali lagi ia harus mengakui, mentalnya belum siap.
Sambil menjinjing pedangnya, ia tinggalkan lorong itu untuk berjalan kembali ke gedung Cong-peng-hu, tempat kediaman Siau Gin Heng. Sekilas masih sempat ditolehnya ketiga bekas "lawan"nya tadi yang kini tergeletak di tanah dan agak bergerak-gerak tertiup angin, la mempercepat langkah, khawatir kalau guntingan-guntingan kertas itu tiba-tiba melompat bangkit dan "hidup lagi".
"Kalau kuceritakan pengalamanku tadi kepada orang lain, jangan-jangan aku dianggap orang sinting yang suka mengkhayal?" ia melangkah sambil berpikir bimbang.
Ketika ia masuk ke halaman gedung Cong-peng-hu, diapun heran dan menghentikan langkahnya. Dilihatnya Koh Hian Hong dan tiga empat pengawal berdiri di halaman dengan senjata terhunus dan wajah menahan kemarahan, juga Siau Gin Heng dan beberapa perajuritnya. Ada empat mayat tergeletak di situ, semuanya adalah pengawal-pengawal Kui Thian Cu.
Yang menarik perhatian ialah gunting’ an- guntingan kertas kuning berbentuk manusia berpedang, yang bertebaran di halaman itu. Cuma jumlahnya jauh lebih banyak dari yang ditinggalkannya di lorong tadi. Di sini ada sepuluh "orang" lebih.
"Jadi.... kalian juga..." Wan Lui ingin bertanya namun ragu-ragu diteruskan, khawatir dianggap otaknya sudah miring. Dan dialihkan ke pertanyaan lain, "Dimana Kui-heng?"
"Diculik orang-orang Pek-lian-kau," sahut Koh Hian Hong dengan gigi gemeretak menahan marah. "Kau sendiri, apa yang kau temui, Wan-heng?"
Memang sesaat Wan Lui ragu-ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk bicara terus-terang, dianggap sinting atau tidak. Begitulah ia menceritakan semua yang dialaminya, dan siap untuk ditertawakan. Tak terduga Koh Hian Hong dan sisa pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu tidak mentertawakan, malahan mengangguk-angguk percaya.
"Kami percaya, Wan-heng. Sebab kami di sini juga baru saja mengalami hal yang serupa," kata Koh Han Hong sambil menunjuk guntingan- guritingan kertas kuning yang berceceran itu. "Kami diserbu duabelas orang musuh tangguh, namun di antara mereka ternyata yang benar-benar manusia hanya dua orang, “Imu silat mereka cukup tinggi, dan mereka berdualah yang berhasil menerobos kedalam ruangan lalu menculik Siau-ya. Selebihnya hanyalah manusia jadi-jadian dari kertas yang kembali wujud setelah kami sembur ludah berdarah. Sungguh memalukan."
Wan Lui menarik napas dan berkata. "Koh Sian Seng, aku pun hampir tidak mau menceritakan pengalamanku tadi, takut kalau otakku kalian kira sudah miring. Ternyata kalian mengalami hal yang sama. Tapi bagaimana Sian Seng semudah itu mempercayai aku?"
"Sebab masih terlihat sisa-sisa darah dibibirmu, Wan-heng," sahut Koh Hian Hong. "Maafkan kalau tadi aku mencurigaimu, Wan-heng. Kini aku yakin bahwa penculik-penculik itu benar-benar dari Pek-lian-kau. Ciri-ciri ilmu mereka sudah jelas, alasan mereka juga jelas."
"Jadi Sian Seng tidak mencurigai aku lagi?"
Koh Hian Hong tertawa kikuk, "Sekali lagi aku minta maaf. Kau berasal dari Liau-tong tempat asal bangsa Manchu. Tidak mungkin seorang Manchu menjadi anggota Pek-lian-kau, sebab Pek-lian-kau amat membenci semua orang Manchu." "Terima kasih kalau aku tidak dicurigai lagi. Tapi rasanya Pek-lian-kau bukannya satu-satunya tertuduh dalam urusan ini."
"Maksud Wan-heng?"
"Bukankah di pegunungan Kiu-liong-san yang tidak jauh dari kota ini ada sebuah gerombolan jahat, yang juga patut kita curigai, karena merekapun punya alasan untuk tidak senang terhadap apa yang sedang dilakukan Kui-heng?"
Koh Hian Hong mengerutkan alis. Sedangkan Siau Gin Heng yang diam sejak tadi, menjadi khawatir kalau urusan itu sampai dikait-kaitkan dengan para berandal Kiu-liong-san. Maka buru-buru diapun merebut kesempatan bicara, "Tidak mungkin pihak Kiu-liong-san melakukan penculikan ini. Kalau mereka memang berniat jahat terhadap Kui Tai-jin, kenapa harus menunggu sampai Tai-jin ada dalam kota, tidak ketika masih di pegunungan? Bukankah itu lebih gampang? Lagipula, berandal-berandal itu cuma pakai main tombak atau golok, tapi jelas takkan mampu bermain-main dengan Hoat-su. Jelas ini ulah Pek-lian-kau. Saudara Wan, kau jangan mengada-ada!"
Kelewat bersemangat Siau Gin Heng membela berandal-berandal Kiu-liong-san, sampai tiba-tiba ia merasa sendiri kalau sikapnya itu malah bisa menimbulkan kecurigaan, lalu buru-buru ia tutup mulut. Untung baginya bahwa Koh Hian Hong dan Wan Lui sedang tidak memperhatikan kejanggalan sikapnya, sebab mereka sedang memikirkan nasib Kui Thian Cu yang diculik.
Kata Koh Hian Hong kemudian kepada Siau Gin Heng, "Cong-peng, aku mohon agar malam ini juga kau perintahkan menjaga semua pintu kota, lalu mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian dalam kota. Barangkali saja kita masih sempat menyelamatkan Siau-ya."
Buat Siau Gii Heng yang tidak menyukai kedatangan Kui Thian Cu yang membahayakan kedudukannya itu, sudah tentu malah kebetulan kalau Kui Thian Cu diculik, syukur kalau dibunuh sekalian oleh penculik, dan Siau Gin Heng sendiri bebas dari tuduhan membunuh. Maka ia jadi tidak senang dan acuh tak acuh saja menanggapi permintaan Koh Hian Hong itu.
"Memangnya setinggi apa kedudukan Kui Thian Cu itu, sehingga pesuruhnya pun berani memerintah aku?" pikir Siau Gin Heng dengan mendongkol. "Malah kebetulan kalau Kui Thian Cu dibunuh penculik, untung buatku. Dan kerjasama ku dengan pihakKiu-liong-san dapat berjalan terus dengan aman."
Melihat sikap Siau Gin Heng yang ogah-ogahan, Koh Hian Hong tiba-tiba mendekati lalu membisiki kupingnya. Wajah Panglima di Kim-teng itu mula-mula kaget, lalu pucat ketakutan. Begitu selesai dibisiki, langsung saja Siau Gin Heng memerintah perajurit-perajuritnya, "He, cepat, hubungi semua tangsi dan sampaikan perintah lisanku! Jaga kuat semua pintu kota, seluruh pasukan harus siap sekarang juga untuk menunggu perintahku!"
Begitulah perubahan sikapnya begitu tajam. Tadinya ayal-ayalan, setelah dibisiki tiba tiba menjadi begitu terburu-buru, seolah-olah dikabari kalau neneknya terpeleset ke dalam sumur. Wan lui jadi heran, Entah "mantera ajaib" macam apa yang dibisikkan Koh Hian Hong ke kupingg Siau Gin Heng? Kenapa menghasil kau perubahan sikap sehebat itu? Bahkan prajurit-perajurit yang diperintahkan masih berdiri ketotol-tololan.
"Cong-peng, untuk memerintah (Kira komandan tangsi, kami butuh perintah tertulis dan leng-pai (papan perintah), kalau tidak, nanti jangan-jangan kami dikira memalsu perintah?" tanya seorang perajurit dengan ragu-ragu.
"Tidak sempat, nanti penculiknya keburu kabur keluar kota! katakan saja ini perintah darurat, siapa yang membantah maka besok pagi akan kukuliti punggungnya. Cepat! Cepat!"
"Tetapi sekarang kan sudah....."
"Cepaaaat!!!" Siau Gin Heng tiba-tiba membentak sambil menendang pantat perajurit. cerewet itu. Maka perajurit, termasuk si cerewet, berhamburan menjalankan perintah. Si cerewet itupun harus berlari, biarpun menahan rasa nyeri hebat pada tulang ekornya.
Begitulah di larut malam itu kota Kim-teng mendadak disibukkan oleh perujurit perajurit yang berbondong bondong keluar dari tangsinya masiug masing. Semuanya membawa senjata lengkap, namun dengan mata setengah terpejam karena mata mereka masih amat mengantuk.
Kui Thian Cu matanya ditutup dengan kain tebal, dan tubuhnya lemas karenia urat di pinggangnya telah ditotok. la dipanggul oleh salah seorang penculiknya, dan bisa didengarnya derap para penculik yang mantap tapi ringan, menandakan ilmu silat yang matang dari orang-orang itu. Terdengar penculik-penculik itu berjalan sambil bicara satu sama lain.
"Thio Toako, apakah lawanan ini akan kiia serahkan ke pihak Pak-cong (kaum utara)?"
"Lho, kenapa harus begitu?"
"Bukankah orang-orang Pak-cong bilang bahwa merekalah yang merintis jalan sampai terjadinya penculikan ini? Bahkan mereka pula yang memberitahu kita tentang rute dan jadwal perjalanan bangsat cilik Manchu ini, sampai kita berhasil meringkusnya?"
"Ya, mereka menyumbangkan keterangan kepada kita. Tapi siapa yang kerja? Siapa yang benar-benar menempuh bahaya dengan bertempur menerobos gedung Cong-peng-hu yang dijaga ketat? Kita kan? jadi karena kita yang mendapatkan tawanan ini, maka yang menjaga nya juga kita, bukan orang-orang Pak- cong. Sebab orang Pak-cong tidak berbuat apa- apa. Cu-sian Cin-jin itupun cuma duduk di atas atap di kejauhan sambil membakar hu dan mengibar-ngibarkan Hong-hun-ki, padahal tanpa bantuannyapun kita akan berhasil sama baiknya dengan sekarang."
"Bagai mata kalau kawan-kawan dari Pak-cong itu tersinggung?"
"Ya kita jelaskan, kalau masih tersinggung juga, ya bagaimana lagi? Kalau tawanan sepenting ini dipasrahkan mereka, belum tentu mereka bisa menjaganya. Kalau sampai kabur lagi, bukankah yang rugi adalah seluruh Pek- lian-kau kita? Nah, kawan-kawan dari Pak-cong harus menyadari hal ini, bukan bisanya cuma tersinggung dan marah-marah saja."
Setelah itu, yang terdengar cuma langkah kedua penculik itu, mereka berjalan tidak jauh lalu berhenti. Mereka mengetuk sebuah pintu di sebuah lorong. Caranya mengetuk tidak wajar, melainkan mirip semacam isyarat. Salah satu pintu dari ribuan pintu di Kim-teng, di salah satu pelosok kota yang tersembunyi. Pintu terbuka, muncul seorang perempuan tua yang bertanya, "Kalian sudah kembali? Berhasil tidak?"
Penculik tinggi besar dan berewokan yang menggendong Kui Thian Cu dengan disampirkan pundak itupun menjawab. ''Berhasil. Biarkan masuk. Su-koh (bibi guru). Sebentar lagi anjing-anjing Manchu pasti akan menggeledah seluruh kota secara besar-besaran."
Perempuan tua yang membukakan pintu itu tubuhnya masih tegak, belum bungkuk, dengan tangan kiri memegangi tongkat sepanjang satu depa. Sambil tertawa terkekeh, ia menjawab, "Jangan segelisah itu. Tempat kita ini dikawal oleh perajurit-perajurit gaib kita yang tak kelihatan mata, dilingkari perisai gaib yang menyesatkan pancaindera. Para begundal Manchu itu takkan menemukan kita!"
Meskipun berkata demikian, toh si nenek membiarkan kedua penculik itu masuk, lalu menutup pintu dan memasang palang pintunya yang berat. Agaknya diapun tidak yakin kata-katanya sendiri tadi.
Si nenek menyeberangi halaman, lewat ruang depan dan sampai ke sebuah ruangan luas dimana banyak orang. Ada lima belas orang kira-kira, bermacam-macam tampang, usia, terdiri dari lelaki dan Perempuan Persamaannya, mereka semua memakai jubah luar hitam dengan gambar teratai putih di dada sebelah kiri.
Mereka serempak berdiri menghormat, menyambut kedatangan kedua penculik itu. Yang tinggi besar, bereawokan dan memanggul Kui Thian Cu itu mereka Panggil "Thio Hiang-cu (hulubalang Thio) sedang satunya lagi yang lengannya panjang melebihi ukuran normal, di panggil "Hoa Hiang-cu (hulubalang Hoa). Sedangkan terhadap si nenek bertongkat, orang-orang dalam ruangan itu malahan bersikap acuh tak acuh dan kurang menghormat.
Thio Yap. si "Thio Hiang-cu" itu menjatuhkan tubuh kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati, namun karena matanya masih tertutup kain tebal hitam, ia belum bisa melihat bagaimana tampang penculik-penculiknya. Orang-orang dalam ruangan itu menunjukkan kegembiraan melihat Kui Thian Cu tertangkap. Mereka tertawa dan saling memberi selamat dan berceloteh macam-macam.
"Memang kepandaian kedua Miang-cu kita tak disangsikan lagi, patutlah sebutan Lam-cong Ji-pi (dua pilar kaum selatan) bagi Thio Hiang- cu dan Hoan Hiang-cu penjagaan musuh yang bagaimana kuatnya, mana bisa menahan Lam- cong Ji-pi?!"
"Benar! Pasti kelak kita akan bangkit kembali dalain kejayaan dinasti Beng!"
"Dengan adanya bangsat cilik ini ditangan kita, pastilah si iblis Yong Ceng itu akan kita tekan agar menuruti segala tuntutan kita!" Dan macam macam lagi.
Sementara si nenek bertongkat itu nampak mendongkol sekali mendengar orang-oraug Latr-cong itu memuji-muji jasa mereka sendiri tanpa sdikit pun menyebut jasa pihak Pak-cong Thio Yap, si "Thio Hiang-cu itu, menjatuhkan tubuh Kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati.
la menghantamkan tongkatnya ke lantai, dan berkata dengan suaranya yang serak, tajam mirip dua potong logam digesek-gesekkan, "Tapi jangan kalian lupakan Cu peng Cin-jin yang memberi kabar dari Hang-ciu, menyuruh kalian menghadang pada tempat dan waktu yang tepat. Tanpa mendapat keterangan dari Cu-peng Cin-jin, biarpun Lam-cong Ji-pi berkepandaian setinggi langitpun pasti cuma akan menubruk angin kosong....!"
"Bukan begitu, Tai-jin. Memang kelihatan aku belum bertindak, tapi hanya menunggu peluang yang tepat untuk menumpas mereka sama sekali. Dengan adanya aku di Kim-teng, setidak-tidaknya juga membuat para berandal segan untuk bertindak keterlaluan, mereka cuma mengambil sekedarnya saja."
"Jadi sekarang ini, Cong-peng anggap mereka belum keterlaluan?" suara Kui Thian Lu tiba- tiba meninggi. "Sampai ada penduduk yang pergi ke Pak-khia untuk mengadu."
Siau Gin Heng menyeringai kecut. "Penduduk di sini belum bisa kuajak berpikir untuk memahami keterbatasanku, bisanya mereka cuma mengeluuuh... saja. Maunya mereka langsung kubawa pasukan untuk menggempur kawanan berandal, tanpa mau tahu apa yang kuperhitungkan. Penduduk masih belum bisa berterima kasih juga, dalam keadaanku yang terbatas ini masih berhasil menekan para bandit agar tidak mengambil banyak-banyak. Benar-benar orang-orang yang tak bisa berterima kasih!"
"Kalau Cong-peng merasa kalah kuat, kenapa tidak minta bantuan pasukan dari Ibukota Propinsi?"
"Aku cuma merasa belum saatnya merepotkan pihak gubemuran. Aku malah khawatir, kalau kawanan berandal itu dihadapi terlalu keras, mereka akan tambah galak dan tambah menyusahkan penduduk."
"Namun cara Cong-peng berkompromi dengan kawanan penjahat itu juga kurang betul, akan membuat mereka besar kepala dan semakin berani. Biarpun mereka cuma mengambil satu tahil mereka tidak berhak. Hanya pemerintah yang syah yang berhak menarik pajak.'”
Siau Gin Heng bungkam, tapi dalam hatinya mengutuk. Beberapa saat lamanya yang kedengaran hanya suara ketoplak-ketoplak dua puluh tiga ekor kuda yang berderap di pagi sunyi itu. Kemudian jalanan itu bercabang dua. Jalan besar tetap lurus ke depan, sementara sebuah jalan sempit masuk menyusup ke lipatan-lipatan pegunungan Kiu-liong-san yang masih gelap, cahaya matahari baru menyentuh puncak-puncak pegunungan saja.
Kata Siau Gin Heng, "Tai-jin, jalan kecil ini lah yang menuju ke desa Pek-hin-in."
Maka rombonganpun berbelok mengikuti jalan kecil itu. Karena sempitnya jalan. maka barisanpun dipersempit. Dua-dua berurutan ke belakang. Dengan berlagkk menghormati kedudukan Kui Thian Cu, sengaja Siau Gin Heng mempersilahkan Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong jalan paling depan. Dia sendiri mengambil jarak cukup di belakang mereka, dengan perhitungan kalau nanti terjadi "kecelakaan" di jembatan, ia tidak usah ikut terjun ke sungai.
Semakin dekat ke jembatan, semakin kencang pula debar jantung Siau Gin Heng. Bagaimanapun juga, orang-orang yang hendak dicelakakannya itu adalah orang-orang penting dari pemerintah pusat di Pak-khia. Kalau sampai dirinya "kecipratan" kecurigaan sedikit saja, tak terbayangkan kesulitan yang bakal didapatnya. Masih untung kalau bisa minggat dari Kim-teng lalu hidup sebagai buronan.
Akhirnya jembatan kayu itupun nampak di depan. Tanpa prasangka, Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memajukan kudanya memasuki jembatan, sementara gemuruh sungai di bawahnya terdengar gemerasak. Siau Gin Heng pun mulai bersiap-siap menjalankan peranannya sebagai "penolong yang tulus, tetapi gagal".
Namun, belum lagi kaki depan kuda Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong memasuki jembatan, dari bawah jembatan tiba-tiba terdengar teriakan keras, yang mengatasi suara gemerasak air sungai, "Tuan-tuan, tahan! Jangan memasuki jembatan! Jembatan ini bisa roboh karena beberapa tali pengikat tiang jembatan nampaknya telah putus!"
Mendengar teriakan itu, dengan tangkas Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong menarik kuda mereka kuat-kuat, sehingga kuda-kuda itu meringkik. Tapi kedua orang itu menunjukkan ketangkasan membalikkan kuda menjauhi jembatan. Dengan sikap waspada, Koh Hian Hong terus berada di dekat Kui Thian Cu, matanya dengan tajam menatap ke segala arah.
Selain itu, sepuluh orang pengawal Kui Thian Cu berlompatan turun dari kuda dengan sigap, lalu dengan senjata-senjata siap di tangan, mereka mengambil posisi melindungi Kui Thian Cu. Bukan saja kesigapan mereka yang mengagumkan, tetapi juga sikap seolah-olah siap mati demi melindungi Kui Thian Cu. Sikap yang kurang lazim kalau hanya melindungi seorang pejabat biasa, biar dari ibukota sekalipun. Namun begitulah kenyataannya.
Siau Gin Heng bingung dan kaget menghadapi kejadian diluar perhitungan itu. Perangkap maut yang telah disiapkan para berandal Kiu-liong-san itu haruskah kini mubazir? Namun Siau Gin Heng tiba-tiba menghunus pedang, lalu kepada perajurit- perajurit dia pura-pura memerinahkan, "Lindungi Kui Tai-jin!"
Dia sendiri mendekati Kui Thian Cu dan bertanya, "Apakah Tai-jin tidak kurang suatu apa?"
Dengan wajah tenang, Kui Thian Cu menjawab, "Kita berhenti dulu. Siau Cong-peng, coba kau panggil orang yang berteriak dari bawah jembatan tadi."
"Baik, Tai-jin," sahut Siau Gin Heng. Lalu kepada perajurit-perajuritnya dia meneruskan perintah, "Temukan orang itu!"
Perajurit-perajurit lalu berlarian, dan kemudian dengan amat hati-hati menuruni tebing sungai yang curam itu. Tak lama kemudian, dari bawah tebing terdengar suara para perajurit, "Cong-peng, sudah diketemukan!"
"Seret kemari!" teriak Siau Gin Heng. Tak terasa, dalam perintahnya itu terkandung rasa marah dan benci kepada orang yang berteriak itu. karena orang itulah yang telah menggagalkan rencana. Selain itu, juga rasa cemas, berbahaya atau tidakkah orang itu?
Dari bawah tebing itu muncul para perajurit yang menggiring seorang pemuda bertubuh tegap, bajunya dirangkapi rompi bulu binatang, kepalanya memakai topi bulu pula. Itulah dandanan khas orang-orang dari daerah Liau-hong di timur laut, daerah yang hampir sepanjang tahun tertutup salju. Menilik rambutnya yang basah, agaknya dia baru saja membasahi kepala dan wajahnya di sungai itu.
"Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?!" bentak Siau Gin Heng sengit, dari atas tebing.
Namun Kui Thian Cu berkata, "Bersikaplah baik, Cong-peng. Seandainya yang dikatakan orang itu benar, maka peringatannya tadi berarti telah menyelamatkan kita semua."
"Oh, ya.... ya... baiklah, Tai-jin...." sahut Siau Gin Heng agak gugup. "Sikapku yang tak terkendali tadi karena aku belum benar-benar bebas dari rasa kaget, mengingat betapa berat tanggung-jawabku atas keselamatan Tai-jin."
Sementara itu, pemuda itu telah tiba dihadapan Kui Thian Cu sekalian, maka terlihat semakin jelas usianya yang mungkin lebih tua setahun dua tahun dari Kui Thian Cu. Barang yang di bawanya cuma sebuah bungkusan yang digendongnya, dan tak terlihat ia membawa senjata.
"Sobat, kau sedang berhadapan dengan Kui Tai-jin, pejabat tinggi dari ibukota," Siau Ging Heng ganti haluan untuk menjilat Kui Thian Cu. "Bersikaplah yang lebih hormat."
"Oh, maafkan aku, tuan-tuan," lalu pemuda itu membungkuk hormat dalam-dalam, dalam ucapannya terdengar logat Liau-tongnya, namun tidak terlalu tajam. "Teriakanku tadi hanya bermaksud mencegah agar tuan-tuan tidak mendapat celaka, tanpa bermaksud kurang sopan atau mengganggu tuan-tuan."
Kui Thian Cu tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, sobat. Kami justru berterima kasih kepadamu. Menilik logat bicaramu, kau berasal dari propinsi timur laut bukan?"
"Benar. Aku lahir dan dibesarkan di pegunungan Tiang-pek-san, sebagai pemburu binatang dan penggali jin-som, namaku Wan Lui."
"Darimana kau tahu jembatan itu kurang aman untuk dilewati, padahal masih nampak kokoh dan sudah bertahun tahun tak ada masalah?" tanya Siau Gin Heng.
Biasanya orang awam kalau berhadapan dengan pejabat-pejabat tinggi akan gugup, namun ketenangan Wan Lui mengherankan Kui Thian Cu dan lain-lainnya. Jawabannya tenang, lancar, tanpa gugup. "Tuan-tuan, kalau dilihat dari sini memang jembatan itu nampaknya tidak apa-apa. Tapi ketika tadi aku turun untuk mencuci-muka, tak sengaja kulihat ada beberapa tali pembebat tiang jembatan yang putus. Lalu aku bermaksud memancangkan tulisan di kedua mulut jembatan agar orang yang melewari berhati-hati. Ketika kudengar derap kuda rombongan tuan-tuan; semakin dekat, aku menjadi panik. Terpaksa aku berteriak saja dari bawah. Maaf, kalau dianggap kurang sopan."
Dingin suara Siau Gin Heng, "Kami sedang melakukan suatu urusan penting. Jadi ya maaf saja kalau tidak bisa mempercayaimu bulat-bulat. Kami akan lewat terus. Silahkan, Kui Tai-jin." Dingin suaranya ketika bicara dengan Wan Lui, tapi hangat dan menjilat ketika bicara kepada Kui Thian Cu.
Tetapi Koh Hian Hong justru mencegah, "Perjalanan bisa dilanjutkan atau tidak, tergantung hasil pemeriksaanku ke bawah jembatan." Habis berkata demikian, dengan gerak yang lincah Koh Hian Hong telah meluncur ke bawah tebing.
Siau Gin Heng menjadi cemas, bagaimana kalau sampai Koh Hian Hong menemukan bekas-bekas kesengajaan tindakan para berandal Kiu-liong-san? Tentu dirinya akan tersudut, kalau sampai orang-orang Pak-khia itu marah dan memaksa dirinya agar melawan kawanan Kiu-liong-san yang selama ini sudah menjadi temannya. Maka diapun ikut turun ke bawah, biarpun tubuhnya yang gemuk itu menimbulkan kerepotan yang lumayan besar.
Di kolong jembatan, memang terlihat tali-tali pengikat tiang jembatan banyak yang diputuskan, dengan meninggalkan bekas-bekas bacokan yang kasar dan masih baru. "Benar-benar kerja yang ceroboh!" kutuk Siau Gin Heng dalam harinya. "Kenapa tali ini tidak dirapuhkan dengan air belerang atau dengan sudutan api kecil? Ini pasti dihantam dengan kampak atau golok. Pantas talinya kelihatan kedodoran dan terlihat menyolok mata. Rencana In Kiu-liong memang bagus, tapi pelaksanaanyalah yang goblok!"
"Paman Koh...! Sian Cong peng! Sudah selesai memeriksa atau belum?" teriak Kui Thiau Cu dari atas tebing.
Koh Hian Hong menjawab ke atas. "Sudah! Kelihatannya memang ada kesengajaan hendak mencelakakan kita!"
"Memang ada kesengajaan, tapi belum tentu kita yang ditujunya!" Siau Gi Heng ikut menjawab, tapi mencoba mengaburkan masalah. "Sebab di pegunungan ini ada banyak kelompok bandit, dan satu sama lain memang sering bermusuhan!"
"Berbahaya untuk dilewati atau tidak?" tanya Kui Thian Cu pula.
Koh Hian Hong yang menjawab. "Sebaiknya kembali ke Kim-teng dulu. Siau-ya (tuan muda). Tak bisa dilewati."
Kui Thian Cu nampak kesal karena perjalanannya batal. Geram ia menatap ke puncak-puncak pegunungan Kiu-liong san, namun akhirnya berkata juga. "Kembali!"
Siau Gin Heng dan Koh Hian Hong pun kembali merayap ke atas tebing. Siau Gin Hong susah payah mengangkut tubuhnya yang kegemukan karena jarang latihan silat itu, naik sejengkal demi sejengkal dengan mencucurkan banyak keringat. Sedangkan Koh Hian Hong yang sudah ubanan itu justru melesat seringan seekor burung, dalam waktu dua detik sudah tiba di atau tebing.
Sementara itu, tanya Kui Thian Cu kepada Wan Lui, "Wan-heng, sukakah kau mampir ke Kim-teng bersamaku, agar kita bisa lebih saling mengenal dan mempererat persahabatan?"
Beberapa saat Wan Lui ragu-ragu menyambut ajakan itu. Kui Thian Cu nampaknya adalah seorang yang berpangkat tinggi di Pak-khia, biarpun amat ramah, namun kesan Wan Lui tentang seorang pembesar masih dibayangi oleh kesannya melihat tingkah laku Ni keng Giau di kota Tian-liu dulu. Sewenang-wenang Karena itulah ia khawatir, jangan-jangan Kui Thian Cu juga sebenarnya macam itu, biarpun kelihatan ramah?
Namun sebuah pikiran lain memasuk benaknya. Jauh-jauh ia meninggalkan Liau-tong masuk ke Tiong-goan untuk mencari gurunya, Pak Kiong Liong. Tiong-goan begitu luas, bagaimana bisa menemukan gurunya itu kalau tidak ada petunjuk sama sekali? Lalu Wan Lui ingat bahwa Pak Kiong Liong pernah menjadi seorang panglima kerajaan, maka kemungkinan bisa mencari petunjuk dari Kui Thian Cu, biarpun bicaranya harus hati-hati, karena gurunya itu kabarnya sudah menjadi buronan.
Karena itulah setelah berpikir-pikir beberapa saat, Wan Lui kemudian mengangguk, "Baiklah, Tai-jin, kalau Tai-jin merasa hina berjalan dengan anak gunung ini. Silahkan Tai-jin menunggang kuda, biar aku berjalan saja."
"Tidak, aku mau kita menjadi sahabat yang sederajat, Wan-heng," kata Kui Thian Cu. Seperti Wan Lui berkesan baik terhadapnya yang berkedudukan tinggi namun ramah, sebaliknya Kui Thian Cu terhadap Wan Lui juga berkesan baik, samar-samar Kui Thian Cu merasakan bahwa dibalik penampilan Wan Lui yang begitu sepele, tersembunyi kepribadian besar yang menarik.
"He, pengawal! Tolong bawakan seekor kuda kemari buat sahabatku ini! Nanti yang meminjamkan kudanya, bisa membonceng temannya!"
Menghadapi sikap bersahabat demikian hangat, Wan Lui tak merasa perlu berbasa-basi lagi. Begitu kuda pinjamannya tersedia, ia langsung melompat menaikinya.
Demikianlah, rombongan itu kemudian berbalik ke kota Kim-teng, karena dianggap terlalu berbahaya melewati jembatan yang sudah cacat itu. Sebelum pergi, Kui Thian Cu memerintahkan orang-orangnya untuk sama sekali merobohkan jembatan itu, alasannya agar jangan ada orang yang melewatinya dan akhirnya malah celaka.
Semuanya itu tak lepas dari pandang an Hok Tong-peng dan Goh Kun yang mengintai dari seberang sungai dengan perasaan geram dan kecewa. "Gagal," kata Goh Kun sambil mengepal-ngepalkan tinju. "Harusnya Kui Thian Cu dan Koh Hian Hong saat ini sudah terseret arus dan dihempas-hempaskan ke tebing-tebing berbatu tajam itu."
Seperti biasa, Hong Tong-peng mengeluarkan usulnya yang ketolol-tololan, "Mumpung rombongan itu belum keluar dari jalan pegunungan, bagaimana kalau kita hadang dan bunuh utusan dari Pak-khia itu?"
"Sam-te, kapan kau mau belajar menggunakan otakmu? Kalau utusan itu dibunuh, tak lama lagi pasti pegunungan ini akan dibanjiri tentara kerajaan yang takkan mampu kita hadapi. Siau Gin Heng sendiri biarpun selama ini bekerja sama dengan kita, tapi kalau kedudukannya terancam oleh pemecatan dari pusat, orang macam dia pasti takkan segan-segan berbalik menghantam kita. Demi mencari muka terhadap pemerintah pusat."
"Jadi bagaimana sekarang?"
"Jangan tanya aku. Lebih baik kita pulang dulu untuk berunding dengan Toako In Kiu Liong. Dia banyak akalnya."
"Toako In Kiu Liong punya ilmu begitu tinggi, sampai kita bertiga pernah dikalahkannya sendiri. Kenapa dia tidak keluar sendiri untuk menyambar nyawa orang-orang Pak-khia itu? Kan gampang? Harusnya."
"Harusnya, harusnya gundulmu itu. Ayo pulang!"
Sementara itu, Siau Gin Hen yang berjalan bersama Kui Thian Cu itu tidak kalah kecewanya. Ia takkan bisa tidur nyenyak dan makan enak sebelum utusan-utusan Pak-khia yang "tidak bisa diajak damai" itu lenyap nyawanya. Namun ia masih agak lega karena dirinya agaknya belum dicurigai.
"Nanti malam aku harus menemui para pimpinan Kiu-liong-san itu untuk merundingkan tindakan-tindakan baru." rencanya dalam hati.
* * * *
Makin banyak saling bicara, baik Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama menemukan kesan yang menyenangkan. Kui Thian Cu memang banyak punya pengawal yang menemani perjalanannya . Tapi mereka bukan teman, hanya bawahan yang bersikap terus menerus resmi dan cuma mengiakan semua perintahnya, sehingga Kui Thian Cu malahan merasa terpencil.
Ingin bercanda dan tertawa bebas, tak ada yang berani menanggapi nya bersungguh-sungguh. Kini setelah berteman deangan Wan Lui barulah Kui Thian Cu merasa mendapat sahabat yang benar-benar sahabat, bukan bawahan atau orang yang sekedar mau menjilat.
Namun timbul juga kekhawatirannya kalau kelak Wan Lui tahu siapa sebenarnya dirinya, masihkan Wan Lui berani bersikap sebagai teman yang bebas dan sederajat? Jangan-jangan ia akan kehilangan teman, dan ketambahan orang yang dengan resmi terus-terusan membungkuk hormat kepadanya?
“Mudah-mudahan kepribadiannya cukup kuat dan tidak silau kepadaku, biarpun kelak setelah dia mengetahui siapa diriku,” Kui Thian Cu dalam hatinya.
Malam itu, di salah satu ruangan dari gedung Cong-peng-hu, kediaman resmi dari Siau Gim Heng di Kim-teng, Nampak Kui Thian Cu dan Wan Liu tengah duduk santai. Bercakap-cakap sampai jauh malam sambil minum-minum arak biarpun tidak sampai mabuk. Sengaja Kui Thian Cu menyuruh pengawal-pengawalnya menjauh di luar, agar suasana persahabatan yang akrab itu tidak terganggu oleh pengawal-pengawal yang berwajah angker, kaku dan bersikap resmi itu.
Di luar, langit yang berwarna biru gelap hanya dihiasi sepotong bulan sabit yang tipis bercahaya pucat lemat, Angin malam terasa dingin mengiris kulit, tapi hangatnya arak masih sanggup menandingi cuaca malam tak bersahabat itu.
“Di kota-kota lain yang seukuran dengan Kim-teng ini, dimalam haripun biasanya masih terdengar suara manusia dijalanan,” kata Wan Liu mengomentari suasana itu. "Tapi Kim-teng ini lain, apakah karena berandal-berandai Kiu-liong-san cukup terasa di kota ini?"
"Bukan," jawab Kui Thian Cu sambil memain-mainkan cawan araknya yang baru saja ditenggak isinya. "Sudah beberapa hari aku tinggal di sini. Malam malam sebelumnya juga tidak sesepi ini, terutama di tempat-tempat seperti warung arak atau tempat-tempat judi dan pelesiran, tapi malam ini memang agak khusus."
"Apa khususnya, Kui-heng?"
"Karena sekarang ini tanggal lima belas bulan tujuh."
"Lho, apa bedanya tanggal limabelas bulan tujuh dengan hari-hari lainnya?" tanya Wan Lui heran.
"Wan-heng, tidak aneh kalau kau belum tahu kepercayaan di wilayah Tiong-goan ini, karena kau berasal dari Liau-tong yang kepercayaannya berbeda. Menurut kepercayaan orang-orang Han, tanggal ini adalah saatnya para dewa melepaskan arwah-arwah penasaran yang terbelenggu, banyak di antara arwah itu tak punya lagi sanak keluarga sehingga mereka kelaparan karena tak mendapat sesajian. Nah, arwah-arwah inilah, yang menurut kepercayaan, bergentayangan dan sering mengganggu. Karena itulah orang-orang tidak berani berada di luar rumah, takut mendapat gangguan arwah-arwah kelaparan itu."
"Ah, menyeramkan sekali," desah Wan Lui. Dan seolah untuk memperkuat pernyataan itu, dari kejauhan terdengar suara anjing melolong panjang, menggidikkan bulu tengkuk. Kata orang tua, anjing-anjing itu sedang melihat lewatnya mahluk- mahluk halus.
Kui Thian Cu menuangkan lagi secawan arak, dan sambil menatap kalung kayu berbentuk salib yang tergantung di leher Wan Lui. Biasanya kalung itu tidak kelihatan, namun ketika Wan Lui membuka kancing bajunya, kalung itu jadi kelihatan oleh Kui Thian Cu. "Saudara Wan, agaknya kau penganut agama baru itu?"
"Ah, agama itu dibilang baru sebenarnya juga tidak, masuknya ke negeri ini sudah berabad-abad, hanya tersebarnya tidak meluas. Bukankah Kaisar Tong-siu-cong dari dinasti Tong, seribu tahun yang lalu juga sudah memeluk agama salib ini? Biarpun yang dianutnya dari sekte Thai-cin yang berbeda dengan sekteku, namun dasarnya sama saja. Begitu juga banyak panglima bawahan Jengish Khan yang beragama sama, dan sampai sekarang masih ada peninggalan, biara Yan-sin di luar kota Teng-kong."
Kui Thian Cu mengangguk-angguk Pengetahuan apa saja memang menarik minatnya, ia percaya makin banyak pengetahuannya akan makin bijaksanalah kelak kalau tanggung-jawab mahaberat itu sudah dipikulnya. Kini didengarkannya Wan Lui bercerita tentang agama salib itu, yang biarpun hanya sedikit pengikutnya namun termasuk agama kuno, di benua barat bahkan kabarnya menjadi agama hampir seluruh rakyatnya.
"Memang dalam catatan sejarah disebutkan Tong-siu-cong memeluk agama ini. Apakah sama dengan yang kau anut, Wan-heng?"
"Dalam tiap agama tentu ada aliran-aliran, biasanya karena perbedaan penafsiran ajaran pokok. Dalam agama kamipun demikian. Sekte Thai-cin datang dari Siria, masuk ke negeri ini kira-kira seribu limaratus tahun yang lalu. Sedang yang kuanut ini sama dengan orang-orang Portugis di Makao itu."
"Yang suka begini?" Kui Thian Cu bertanya sambil menyentuhkan jari-jarinya ke tengah jidat, dada, pundak kiri lalu pundak kanan.
"Yah," Wan L.ui tersenyum. "Itupun bukan baru. Dibawa oleh orang-orang bule itu. Di jaman Kaisar Beng Siu Ceng dari dinasti Beng. Agama itu sudah tersebar di pantai timur."
"Lalu bagaimana pandanganmu tentang kepercayaan arwah-arwah kelaparan itu?"
"Aku tidak berhak melihat keyakinan orang lain dengan ukuran-ukuran keyakinanku sendiri. Selain tidak adil juga bisa menimbulkan sakit hati orang lain." sahut Wan Lui. "Tidak adil dan menyakiti hati itulah yang terlarang dalam agamaku."
"Bagaimana Wan-heng bisa sampai menganut agama itu, padahal Liau-tong jauh tempatnya dari Makao, sarang orang-orang Portugis itu?"
"Agama itu diseberangkan dari Nagasaki di Jepang oleh pendeta-pendeta Portugis, lebih dulu ke Tiau-sian, lalu sampai ke Liau-tong."
Kui Thian Cu nampaknya puas mendengar jawatan bijaksana Wan Lui tentang menilai keyakinan orang lain itu, sekaligus heran juga bahwa sahabat barunya yang mengaku di Tiang-pek-san cuma sebagai "pemburu dan penggali ginseng" itu bisa mengeluarkan kata-kara demikian. Sementara itu, dari jauh kembali terdengar anjing melolong panjang.
"Nampaknya benar-benar ada setan lewat," kata Kui Thian Cu sambil tertawa.
"Mungkiri saja," sahut Wan Lui. "Dalam kitab suci agamaku, mahluk-mahluk tak terlihat macam itu memang dicatat juga, disebut dengari Thian-kun (tentara langit). Merekalah malaikat-malaikat yang ingin disembah seperti Thian sendiri."
"Suatu keyakinan, pelaksananya di dua tempat bisa berbeda. Biarpun sama sama bangsa Han, menyambut tanggal limabelas bulan tujuh ini di Kang-pak (Utara sungai besar) sini dan di Kang-lam (selatan sungai besar) sana, sungguh berbeda sekali. Di sini mencengkam menakutkan Di Kang-lam sana justru menimbulkan suasana pesta meriah."
"Lho, kok bisa begitu?"
"Ya memang begitu, sudah berabad-abad berjalan begitu tanpa ada yang mempertanyakannya. Di Kang-lam, malam ini justru orang-orang berramai-ramai keluar rumah untuk menuju tempat-tempat berair seperti sungai atau danau, untuk mengadakan Pesta Lentera. Setelah setiap keluarga bersembahyang di rumah masing-masing untuk arwah keluarga mereka sendiri, lalu mereka melepaskan lentera-lentera terapung dalam berbagai bentuk, berkerangka bambu berkulit kertas, di beri lilin dan sesajian. Katanya untuk menghibur arwah-arwah yang sudah tak bersanak-keluarga tapi agar tidak mengganggu yang masih hidup."
"Sungguh menarik."
"Ya. Jauh dari suasana menyeramkan seperti di sini. Bahkan kemudian keindah lampu lentera-lentera terapung itu diperlombakan, dinilai siapakah yang paling bagus membuatnya. Sayang, aku hanya mendengar cerita orang dan belum melihat sendiri."
Wan Lui mengangguk-angguk. "Untuk tujuan yang sama memang bisa ditempuh cara yang berbeda. Memandang satu masalah, sudut pandangan pun bisa berbeda sehingga mendapat kesan yang berbeda pula. Di sini menakutkan, di sana malah suasana pesta."
Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai. Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul" dengan bebas, apa saja yang menarik hati. Tengah mereka bicara asyik, tiba-tiba kuping Wang Lui yang tajam medengar di halaman luar seperti ada suara tubuh yang roboh, namun begitu perlahan sehingga hampir tak terdengar.
Sikap santai Wan Lui tiba-tiba lenyap, diganti dengan sikap waspada. Seandainya ia seekor serigala, tentu kupingnya sudah berdiri saat itu. Desisnya. "Kui-heng, di luar nampaknya ada yang tidak beres."
Kui Thian Cu agaknya amat mengandalkan pengawal-pengawalnya, terutama si jenggot kambing Koh Hian Hong yang lihai silatnya. Maka sikapnya tenang-tenang saja, tidak setegang Wan Lui. "Di luar ada Paman Koh dan pengawal-pengawalku yang lain. Jangan khawatir Wan-heng."
Baru saja selesai kata-kata Kui Thian Cu, di luar ruangan terdengar suara langkah bergegas. Lalu pintu ruangan didorong dari luar tanpa diketuk lebih-dulu. Dan masukiah Koh Hian Kedua sahabat baru itu bercakap-cakap terus dengan santai. Karena memang tak ada pokok pembicaraan tertentu, maka yang diomongkan juga "ngalor-ngidul" dengan bebas, apa saja yang menarik hati.
Hong dengan sikap mergherankan, biasanya ia "bersikap hormat” dan kalau mau masuk mengetuk pintu lebih dulu. Kali ini langsung menyerobot, wajahnya tegang, malah tangannya sudah menggenggam pedang telanjang. Namun demi melihat Kui Thian Cu masih tak kurang suatu apa di ruangan itu, ketegangannyapun mengendor. Pedangnya diturunkan sehingga ujungnya menyentuh lantai.
"Ada apa, Paman Koh?" tanya Kui Thian Cu heran.
"Syukurlah Siau-ya tidak kurang suatu apapun," jawaban yang melenceng dari pertanyaannya itu cukup mengherankan, sekaligus juga memperlihatkan kecemasannya.
"Lho, memangnya ada apa?"
Koh Hian Hong berterus terang agar tuan mudanya itu waspada. "Siau-ya, dua pengawal kita di halaman Belakang telah dibunuh, entah oleh siapa."
Kui Thian Cu maupun Wan Lui sama-sama terkejut. Maklumlah, pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu bukan orang sembarangan Seandainya terbunuhpun, paling tidak akan didahului suara perkelahian tanda perlawanannya. Namun sekali ini tanpa terdengar suara yang berarti, tahu-tahu dua orang sudah terbunuh.
"Bagaimana dengan pengawal-pengawal lain?"
"Demi keselamatan Siau-ya dan juga keselamatan mereka sendiri, aku sudah menyuruh mereka berada di luar ruangan ini, tidak jauh dari pintu. Maafkan kalau aku melancangi perintah Siau-ya. Dari depan pintu ruangan ini, kedua halaman samping bisa diawasi dengan baik."
Kui Thian Cu lalu bangkit mengambil pedangnya di dinding untuk digantungkan di pinggangnya sendiri. Sedangkan Wan Lui berkata, "Kui-heng, karena aku kalau bepergian tidak pernah membawa senjata, bisakah aku dipinjami sebatang pedang?"
Permintaan itu agaknya mengherankan Kui Thian Cu. "Wan-heng, jadi kau juga pernah mempelajari silat? Baru sekarang aku tahu."
Sebelum Wan Lui menjawab, Koh Hian Hong sudah mendahului menjawab tanpa menyembunyikan sikap curiganya. "Jadi Wan-heng baru tahu sekarang kalau Wan-heng ini seorang pesilat tangguh? Kalau aku, sejak di jembetan sungai Pek-hi-kang itu sudah menduga kalau Wan-heng seorang pesilat yang menyembunyikan maksud tertentu."
Semenjak Wan lui menjadi sahabat Kui Thian Cu, Koh Hian Hong senantiasa menunjukkan sikap ramah dan hormat kepada Wan Lui, biarpun tetap menjaga jarak. Namun kini setelah matinya dua pengawal secara tak terduga, dia mulai curiga kepada Wan Lui. Kata- katanya tajam, tanpa tedeng aling-aling dia menuduh Wan Lui. Kui Thian Cu paham benar, sikap Koh Hian Hong itu tidak bertandasan atau iri, melainkan semata-mata karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya.
Sedang Wan Lui pun merasa tidak enak. Untuk membersihkan diri dari kecurigaan, ia segera melangkah keluar sambil berkata, "Koh Sian-seng, jaga baik-baik Kui-heng di ruangan ini. Biar aku mencoba menemukan siapa orangnya yang berniat jahat ini."
Koh Hian Hong mengangguk canggung. Namun baginya malah kebetulan kalau bisa mendampingi tuan mudanya ini, dan melindunginya secara langsung. Ketika itu Wan Lui sudah sampai ke halaman. Malam gelap dan angin bertiup kencang, lolong anjing liar semakin sering terdengar di kejauhan. Sang rembulan yang tadinya nampak, kini tiba-tiba dikerudungi awan hitam dan tebal.
Biarpun suasana seperti ini cukup menakutkan, tapi mestinya ya biasa saja dan sudah sering dialami Wan lui. Hanya, kali ini naluri tajam Wan Lui merasakan ada sesuatu yang ganjil, bahkan cenderung gaib. Matanya seolah diusap rasa kantuk yang makin lama makin berat.
Sesaat Wan Lui berdiri mematung, menghimpun semangatnya untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang lebih bersifat kejiwaan daripada fisik itu. ketika tubuhnya terasa hangat dialiri tenaga saktinya, dia bebas dari rasa kantuk itu, lalu berseru, "Sobat-sobat pengawal...."
Dari sudut-sudut gelap halaman itu, atau dari balik pepohonan, terdengar jawaban-jawaban pelan bernada rendah, lalu bermunculanlah sisa delapan pengawal Kui Thian Cu. Anehnya, kalau siang tadi mereka masih kelihatan sigap penuh semangat, kini mereka nampak loyo dan amat mengantuk, seolah telah minum obat tidur berlebihan. Terkesiaplah Wan lui melihat itu.
"Di mana para perajurit pengawal Cong-peng-hu? Bukankah mereka seharusnya berjaga di bagian luar juga” tanya Wan lui. "Kenapa tak kelihatan batang hidungnya seorangpun, atau terdengar suara mereka?"
"Mereka tidur semua," salah seorang pengawal Kui Thian Cu menjawat sambil menguap lebar-lebar, tubuhnya mendoyong perlahan ke samping hendak roboh, tapi dengan geragapan ia segera menegakkan tubuhnya kembali. Biarpun nampak konyol, tapi setidaknya mereka menunjukkan kelebihan dari perajurit-perajuritnya Siau Gin Heng di bagian luarnya. Pengawal-pengawal Kui Thian cu itu agaknya masih nampak tetap bertahan biarpun dengan susah payah.
Tapi Wan Lui sudah cukup menyadari betapa gawatnya keadaan. "Saudara-saudara, bertahanlah dan berjaga di sini bersama Koh Sian Seng. Tolong aku dipinjami satu pedang kalian."
Salah seorang pengawal mengulurkan pedangnya. Begitu menerima senjata itu, tubuh Wan Lui langsung melesat keatas atap bagaikan seekor burung. Sejenak ia berdiri di atas genteng, pandangan tajam dari seorang pemburu binatang malam disapukannya ke segala arah. Kegelapan yang pekat dan merata menyungkup kota kim-teng. Pucuk-pucuk atap rumah-rumah kelihatan kabur, hampir berbaur dengan warna cakrawala hitam kelam.
Tiba-tiba angin yang dingin mengiris kulit seolah berhembus mengelusnya, Wan Lui menggigil sebentar, namun bukan karena takut, meskipun sempat pula ia berpikir, "Barangkali barusan ada arwah kelaparan lewat di sebelahku."
Ketika pandangannya tertuju ke suatu arah, tiba-tiba dilihatnya kejauhan ada nyala api yang hanya sekejap lalu padam. Wan Lui heran, sebab cahaya api itu nampaknya ada di atas rumah Ada orang mau memasang lenterakah. Tapi kenapa di atas rumah? Atau... atau bukankah malam ini tanggal limabelas bulan tujuh? "Ah, persetan. Coba kulihat bagaimana tampangnya arwah kelaparan itu," pikir Wan Lui.
Terdorong kuat oleh rasa ingin tahu yang mengalahkan rasa takut, ia bermaksud mendekat untuk menyelidiki. Tapi ia tidak mau gegabah, ia tidak mendekat langsung dengan ilmu meringankan tubuhnya, melainkan merunduk ringan bagaikan seekor kucing, di balik bayang-bayangan atap. Setelah dekat dan memperhatikan lebih cermat, tercenganglah ia.
Nampak seorang yang berpakaian imam, duduk di atas atap. Rambutnya yang mestinya digelung, kini diurai lepas. Di tangannya ada bendera segitiga kecil warna hitam, yang dikalangan penganut ilmu gaib bisa dipanggil Hong-hun-ki, katanya bendera "pemanggil" angin dan mega. Tiap kali bendera itu Akibat-kibarkannya ke segala arah, seperti seorang jenderal memimpin pasukannya pertempuran. Sambil bibirnya komat-kamit menggumamkan mantera.
Wan Lui segera merasakan akibat dan tingkah imam itu. Tiba kibasan benderanya delapan kali, terasa hawa yang membuat mengantuk itu meningkat selapis demi selapis. Lalu dilihatnya imam itu mengeluarkan sehelai kertas kuning yang biasa disebut "hu" (kertas jimat), dijepit dengan dua jarinya, dikibaskan dan hu itu menyala sendiri tanpa disulut dan jadi abu. Berbarengan dengat bertiupnya angin keras entah dari mana dan juga mega hitam di langit yang juga entah darimana.
Maka teringatlah Wan Lui akan cerita orang, bahwa di pedalaman Tiong-goan ada kaum yang disebut Pek-lian-kau (agama teratai putih) yang gemar main-main dengan ilmu gaib. Secara politis golongan ini dilarang berkembang oleh Pemerintah Manchu, sebab kabarnya golongan ini berniat membangkitkan kembali Kerajaan Beng dengan menumbangkan pemerintah Manchu.
Beng-thai-cu (leluhur dinasti Beng) Cu Goan-ciang yang kemudian bergelar Kaisar Hong-bu, sebelum menjadi raja adalah anggota Pek-lian-kau, bahkan naiknya ke tahta juga dengan dukungan Pek-lian-kau. Meskipun pernah juga ia berusaha menumpas Pek-lian- kau. namun ketika Kerajaaan Beng runtuh dan Kerajaan Manchu berdiri, Pek-lian-kau tetap memperjuangkan kebangkitan kembali Kerajaan Beng.
Melihat tingkah laku imam itu. Wan Lui langsung menduga orang Pek-lian-kau, yang agaknya mengincar Kui Thian Cu sebagai pejabat tinggi Kerajaan Manchu. Yang bergolak dalam hati Wan Lui kemudian bukanlah sekedar ingin membela seorang teman baik, tapi juga perasaan jemu melihat perlawanan tak habis- habisnya terhadap pemerintah Manchu. Di sini agaknya Wan Lui tak berdaya membebaskan diri dari perasaan kesukuannya, karena dia adalah seorang Manchu tulen.
Ia pun memutuskan untuk bertindak kepada si imam yang agaknya sedang mempraktekkan ilmu gaib (Hoat-sut) itu. Kebetulan Wan Lui pun tahu sebuah cara sederhana untuk menghidupkan penangkal ilmu gaib macam itu. Digigitnya bibirnya sendiri sehingga berdarah, lalu dikumurnya darah campur ludah dalam mulutnya.
Selagi imam itu masih sibuk dengan jimat-jimatnya, Wan Lui melompat keluar dari persembunyiannya seperti seekor burung rajawali, langsung ke arah si imam sambil membentak, "Imam siluman, hentikan sihir jahatmu!"
Setelah dekat, air ludah berdarah yang sudah disiapkan dalam mulut itu disemburkan kuat-kuat ke arah bendera Hong-hun-ki di tangan si imam. Aneh juga bahwa bendera kecil itu tiba- tiba menyala dengan api berwarna kehijau-hijauan, lalu musnah jadi abu dan tinggal gagangnya saja.
Si imam terkejut oleh datangnya serangan tak terduga itu. Kerugiannya yang terbesar bukanlah gagalnya serangan ke alamat Kui Thian Cu dan pengawai-pegawalnya, sebab hal itu bisa diulang lain waktu, melainkan musnahnya bende ra Hong-kun-kinya itu.
"Bangsat cilik, kau pasti begundal Manchu!" dengan gusar ia menyambitkan tangkai bendera ke muka Wan Lui. “Kau harus kumampuskan lebih dulu!"
Agaknya si imam lincah juga dalam bersilat, la melompat ringan ke atap bumbungan rumah sebelah, menghindari terjangan Wan Lui yang seperti angin puyuh. Ketika tangannya bergerak ke pinggang, tahu-tahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan Lui dengan tipu silat Ok-liong lo-hai (Naga Jahat Mengaduk Lautan), la memainkan cambuk dengan mahir. Bagian tengah cambuknya hendak menjerat batang pedang Wan Lui, sedang ujung cambuknya melejit ke atas dan siap membuat wajah Wan Lui jadi babak belur.
Wau Lui menghentikan laju tubuhnya sambil menunduk menghindar, pedangnya turun membabat sepasang kaki si imam dengan jurus Ji-kong-cam-co (Ji Kong memotong ular). lawan mundur, Wan Lui mendesak, la maju sambil memutar tubuh, membacok pinggang dengan gerakan Hwe-liong-kui-hai (Naga Pulang ke Laut). Tindakan yang penuh resiko, sebab Wan Lui melakukan putaran tubuh tanpa lebih dulu menghitung kecepatan lawan, apakah mampu memanfaatkan kesempatan sepersekian detik di saat punggungnya menghadap lawan atau tidak.
Namun beruntunglah Wan Lui. Gerak nekadnya mengejutkan lawan. Ternyata si imam memang tak mampu, peluang bagus selagi punggung Wan Lui menghadap ke arahnya selagi berputar. Si imam dipaksa melompat mundur jauh-jauh. Wan Lui mengejar, dan terjadilah pertempuran sengit. Pedang melawan cambuk. Ketika tangannya bergerak ke pinggang tahu-tahu ia sudah melepas cambuk yang langsung disabetkan ke wajah Wan lui dengan tipu silat Ok-liong-lo-hai (Naga Jahat Mengaduk lautan).
Mereka berlompatan lincah di diatas genteng, mengadu tipu silat dan kecerdikan. Bagaimanapun juga, akhirnya imam itu jatuh ke bawah tekanan Wan Lui yang sudah mewarisi semua ajaran silat Pak Kiong Liong. Imam itu mulai terdesak. Mula-mula sebagian rambutnya yang terurai itu kena terbabat sedikit oleh pedang Wan Lui. Beberapa jurus kemudian, ketika ia melompat untuk menghindari sabetan ke kaki, geraknya kurang cepat sehingga telapak sepatunya kena tertabas sedikit. Hal itu cukup membuat semangat tempurnya merosot, dan permaianan silatnya jadi kian tak keruan, keadaannya makin berbahaya.
Suatu saat, ia mengayun cambuk sekuatnya dengan tipu Leng-coa siam-keng (Ular Sakti Melilit Leher), cambuknya menderu menjadi segugusan cahaya memanjang yang mengancam leher Wan Lui. Cepat-cepat Wan Lui menjatuhkan diri sambil melakukan tendangan Bu-siang toat-beng (Setan Jahat Mencabut Nyawa) yang tepat kena lutut si imam. Imam itu menjerit keras.
Kali ini si imam benar-benar kehabisan semangat. Dengan terpincang-pincang tapi cukup cepat karena diburu ketakutan, ia balik tubuh dan kabur. Ketika dari atas atap melompat turun ke sebuah lorong gelap, hampir saja dia terjerembab karena lututnya yang sakit.
"Jangan lari! Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu!" bentak Wan Lui sambil mengejar, ia penasaran kalau ingat bahwa dua nyawa pengawal Kui Thian Cu sudah melayang.
Dalam keadaan waras pun belum tentu si imam sanggup, lepas dari kejaran ilmu meringankan tubuh yang hebat dari Wan Lui, apalagi dalam keadaan cidera kaki. Si imam sadar, akhirnya kalau diteruskan ia akan tertangkap. Karena itu, sambil berlari dia mulai membaca mantera pula, sambil mengeluarkan bendera kecil lainnya yang disebut Sip-hun-ki (Bendera pemanggil arwah).
Sementara itu Wan Lui mengejar dengan bersemangat. Namun tiba-tiba mega hitam di langit muncul kembali begitu tebal, bahkan mega itu seolah-olah turun merendah sehingga cuaca jadi gelap sekali, dibarengi angin bertiup kembali dengan keras. Wan lui jadi tak bisa melihat buruannya yang seolah-olah lenyap begitu saja.
Selagi ia celiugukan mencari, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga sosok tubuh entah dari mana datangnya. Mereka semua berbaju ringkas warna kuning dengan tangan memegang pedang. Tiga orang itu berwajah agak aneh, seperti bukan-wajah manusia hidup melainkan wajah dalam lukisan di atas kertas saja. Mimik wajah mereka beku, cahaya mata mereka nyaris hampa seperti mata mayat.
"Minggir kalian!" bentak Wan Lui keras-keras. Ia bersuara keras untuk mencoba mengusir rasa seram yang mulai menyusup ke hatinya. Sambil mengharapkan mudah-mudahan di kesunyian itu ia akan mendengar suara manusia lain, biarpun musuh sekalipun asal manusia. Tetapi suasana mencengkam gaib yang melingkupinya itu tidak gampang dibuyarkan.
Ketiga penghadang itu tetap bungkam, melainkan tiba-tiba bergerak menjerit, menyerang dengan pedang mereka. Gerak pedang mereka sederhana, bahkan tidak nampak seperti ilmu silat, namun cukup berbahaya. Terpaksa Wan lui melawan. Pikirnya, biar tidak bisa menangkap si imam, asal bisa menangkap salah satu dari ketiga lawan ini untuk ditanyai.
Belasan jurus Wan Lui melawan ketiga musuh itu, dan tiba-tiba bulu tengkuknya bergidik ketika menjumpai suatu kenyataan yang tidak masuk akal. Ketiga lawannya sudah bergerak sekian lama, mestinya ya kedengaran suara napas mereka, bagaimanapun perlahannya. Tapi ketiga lawan Wan Lui ini tidak. Mereka terus menyerang dengan hebat, tapi tak ada suara napas, tak terlihat titik keringatpun di jidat mereka.
Hampir saja Wan Lui melempar pedangnya dan lari terbirit-birit dari situ. Keringat dingin mengalir, bulu kuduknya meremang. Manusia atau apa yang dihadapi ini? Untunglah masih ada akal sehatnya. Ingat akan keberhasilannya memusnahkan bendera Hong-hun-ki milik si imam tadi, Wan Lui merasa harus mencoba cara yang sama kepada ke tiga lawan ini.
Sisa darah berasal dari bibirnya yang digigitnya sendiri tadi masih terkumur di mulutnya. Pada suatu kesempatan, Wan lui menyemburkan kembali ludah berdarah kepada ketiga lawannya ini. Ternyata ketiga lawannya ini langsung roboh, dan ketika angin berhembus, tubuh ketika “lawan"nya itu terangkat dan melayang-layang sebentar sebelum menggeletak ringan di tanah. Ketiga "lawan" itu telah menyusut kecil menjadi kertas-kertas kuning yang digunting berbentuk orang membawa pedang, panjang kertas itu kira-kira dua jengkal. Pada "punggung" orang-orangan itu masing-masing tertempel selembar hu.
Hampir saja Wan Lui tidak percaya, bahwa baru saja dia bertempur begitu gigih hanya menghadapi tiga lembar guntingan orang-orangan kertas kuning. Ia berdesah sambil mengusap keringatnya di jidat. "Permainan gila yang membuat aku hampir ikut gila pula."
Dan si imam yang tadi dikejarnya, sudah menghilang tentu saja. Wan Lui sendiri tidak bersemangat untuk terus mengejarnya. Kalau soal adu silat, ia tidak takut kepada siapapun, tapi ia harus jujur mengakui bahwa jiwanya belum siap untuk menghadapi Hoat-sut. Kali ini cuma harus menghadapi "manusia kertas", tapi bagaimana kalau menghadapi peristiwa-peristiwa gaib yang lebih seram lagi? Sekali lagi ia harus mengakui, mentalnya belum siap.
Sambil menjinjing pedangnya, ia tinggalkan lorong itu untuk berjalan kembali ke gedung Cong-peng-hu, tempat kediaman Siau Gin Heng. Sekilas masih sempat ditolehnya ketiga bekas "lawan"nya tadi yang kini tergeletak di tanah dan agak bergerak-gerak tertiup angin, la mempercepat langkah, khawatir kalau guntingan-guntingan kertas itu tiba-tiba melompat bangkit dan "hidup lagi".
"Kalau kuceritakan pengalamanku tadi kepada orang lain, jangan-jangan aku dianggap orang sinting yang suka mengkhayal?" ia melangkah sambil berpikir bimbang.
Ketika ia masuk ke halaman gedung Cong-peng-hu, diapun heran dan menghentikan langkahnya. Dilihatnya Koh Hian Hong dan tiga empat pengawal berdiri di halaman dengan senjata terhunus dan wajah menahan kemarahan, juga Siau Gin Heng dan beberapa perajuritnya. Ada empat mayat tergeletak di situ, semuanya adalah pengawal-pengawal Kui Thian Cu.
Yang menarik perhatian ialah gunting’ an- guntingan kertas kuning berbentuk manusia berpedang, yang bertebaran di halaman itu. Cuma jumlahnya jauh lebih banyak dari yang ditinggalkannya di lorong tadi. Di sini ada sepuluh "orang" lebih.
"Jadi.... kalian juga..." Wan Lui ingin bertanya namun ragu-ragu diteruskan, khawatir dianggap otaknya sudah miring. Dan dialihkan ke pertanyaan lain, "Dimana Kui-heng?"
"Diculik orang-orang Pek-lian-kau," sahut Koh Hian Hong dengan gigi gemeretak menahan marah. "Kau sendiri, apa yang kau temui, Wan-heng?"
Memang sesaat Wan Lui ragu-ragu, tapi akhirnya ia memutuskan untuk bicara terus-terang, dianggap sinting atau tidak. Begitulah ia menceritakan semua yang dialaminya, dan siap untuk ditertawakan. Tak terduga Koh Hian Hong dan sisa pengawal-pengawal Kui Thian Cu itu tidak mentertawakan, malahan mengangguk-angguk percaya.
"Kami percaya, Wan-heng. Sebab kami di sini juga baru saja mengalami hal yang serupa," kata Koh Han Hong sambil menunjuk guntingan- guritingan kertas kuning yang berceceran itu. "Kami diserbu duabelas orang musuh tangguh, namun di antara mereka ternyata yang benar-benar manusia hanya dua orang, “Imu silat mereka cukup tinggi, dan mereka berdualah yang berhasil menerobos kedalam ruangan lalu menculik Siau-ya. Selebihnya hanyalah manusia jadi-jadian dari kertas yang kembali wujud setelah kami sembur ludah berdarah. Sungguh memalukan."
Wan Lui menarik napas dan berkata. "Koh Sian Seng, aku pun hampir tidak mau menceritakan pengalamanku tadi, takut kalau otakku kalian kira sudah miring. Ternyata kalian mengalami hal yang sama. Tapi bagaimana Sian Seng semudah itu mempercayai aku?"
"Sebab masih terlihat sisa-sisa darah dibibirmu, Wan-heng," sahut Koh Hian Hong. "Maafkan kalau tadi aku mencurigaimu, Wan-heng. Kini aku yakin bahwa penculik-penculik itu benar-benar dari Pek-lian-kau. Ciri-ciri ilmu mereka sudah jelas, alasan mereka juga jelas."
"Jadi Sian Seng tidak mencurigai aku lagi?"
Koh Hian Hong tertawa kikuk, "Sekali lagi aku minta maaf. Kau berasal dari Liau-tong tempat asal bangsa Manchu. Tidak mungkin seorang Manchu menjadi anggota Pek-lian-kau, sebab Pek-lian-kau amat membenci semua orang Manchu." "Terima kasih kalau aku tidak dicurigai lagi. Tapi rasanya Pek-lian-kau bukannya satu-satunya tertuduh dalam urusan ini."
"Maksud Wan-heng?"
"Bukankah di pegunungan Kiu-liong-san yang tidak jauh dari kota ini ada sebuah gerombolan jahat, yang juga patut kita curigai, karena merekapun punya alasan untuk tidak senang terhadap apa yang sedang dilakukan Kui-heng?"
Koh Hian Hong mengerutkan alis. Sedangkan Siau Gin Heng yang diam sejak tadi, menjadi khawatir kalau urusan itu sampai dikait-kaitkan dengan para berandal Kiu-liong-san. Maka buru-buru diapun merebut kesempatan bicara, "Tidak mungkin pihak Kiu-liong-san melakukan penculikan ini. Kalau mereka memang berniat jahat terhadap Kui Tai-jin, kenapa harus menunggu sampai Tai-jin ada dalam kota, tidak ketika masih di pegunungan? Bukankah itu lebih gampang? Lagipula, berandal-berandal itu cuma pakai main tombak atau golok, tapi jelas takkan mampu bermain-main dengan Hoat-su. Jelas ini ulah Pek-lian-kau. Saudara Wan, kau jangan mengada-ada!"
Kelewat bersemangat Siau Gin Heng membela berandal-berandal Kiu-liong-san, sampai tiba-tiba ia merasa sendiri kalau sikapnya itu malah bisa menimbulkan kecurigaan, lalu buru-buru ia tutup mulut. Untung baginya bahwa Koh Hian Hong dan Wan Lui sedang tidak memperhatikan kejanggalan sikapnya, sebab mereka sedang memikirkan nasib Kui Thian Cu yang diculik.
Kata Koh Hian Hong kemudian kepada Siau Gin Heng, "Cong-peng, aku mohon agar malam ini juga kau perintahkan menjaga semua pintu kota, lalu mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian dalam kota. Barangkali saja kita masih sempat menyelamatkan Siau-ya."
Buat Siau Gii Heng yang tidak menyukai kedatangan Kui Thian Cu yang membahayakan kedudukannya itu, sudah tentu malah kebetulan kalau Kui Thian Cu diculik, syukur kalau dibunuh sekalian oleh penculik, dan Siau Gin Heng sendiri bebas dari tuduhan membunuh. Maka ia jadi tidak senang dan acuh tak acuh saja menanggapi permintaan Koh Hian Hong itu.
"Memangnya setinggi apa kedudukan Kui Thian Cu itu, sehingga pesuruhnya pun berani memerintah aku?" pikir Siau Gin Heng dengan mendongkol. "Malah kebetulan kalau Kui Thian Cu dibunuh penculik, untung buatku. Dan kerjasama ku dengan pihakKiu-liong-san dapat berjalan terus dengan aman."
Melihat sikap Siau Gin Heng yang ogah-ogahan, Koh Hian Hong tiba-tiba mendekati lalu membisiki kupingnya. Wajah Panglima di Kim-teng itu mula-mula kaget, lalu pucat ketakutan. Begitu selesai dibisiki, langsung saja Siau Gin Heng memerintah perajurit-perajuritnya, "He, cepat, hubungi semua tangsi dan sampaikan perintah lisanku! Jaga kuat semua pintu kota, seluruh pasukan harus siap sekarang juga untuk menunggu perintahku!"
Begitulah perubahan sikapnya begitu tajam. Tadinya ayal-ayalan, setelah dibisiki tiba tiba menjadi begitu terburu-buru, seolah-olah dikabari kalau neneknya terpeleset ke dalam sumur. Wan lui jadi heran, Entah "mantera ajaib" macam apa yang dibisikkan Koh Hian Hong ke kupingg Siau Gin Heng? Kenapa menghasil kau perubahan sikap sehebat itu? Bahkan prajurit-perajurit yang diperintahkan masih berdiri ketotol-tololan.
"Cong-peng, untuk memerintah (Kira komandan tangsi, kami butuh perintah tertulis dan leng-pai (papan perintah), kalau tidak, nanti jangan-jangan kami dikira memalsu perintah?" tanya seorang perajurit dengan ragu-ragu.
"Tidak sempat, nanti penculiknya keburu kabur keluar kota! katakan saja ini perintah darurat, siapa yang membantah maka besok pagi akan kukuliti punggungnya. Cepat! Cepat!"
"Tetapi sekarang kan sudah....."
"Cepaaaat!!!" Siau Gin Heng tiba-tiba membentak sambil menendang pantat perajurit. cerewet itu. Maka perajurit, termasuk si cerewet, berhamburan menjalankan perintah. Si cerewet itupun harus berlari, biarpun menahan rasa nyeri hebat pada tulang ekornya.
Begitulah di larut malam itu kota Kim-teng mendadak disibukkan oleh perujurit perajurit yang berbondong bondong keluar dari tangsinya masiug masing. Semuanya membawa senjata lengkap, namun dengan mata setengah terpejam karena mata mereka masih amat mengantuk.
* * * *
Kui Thian Cu matanya ditutup dengan kain tebal, dan tubuhnya lemas karenia urat di pinggangnya telah ditotok. la dipanggul oleh salah seorang penculiknya, dan bisa didengarnya derap para penculik yang mantap tapi ringan, menandakan ilmu silat yang matang dari orang-orang itu. Terdengar penculik-penculik itu berjalan sambil bicara satu sama lain.
"Thio Toako, apakah lawanan ini akan kiia serahkan ke pihak Pak-cong (kaum utara)?"
"Lho, kenapa harus begitu?"
"Bukankah orang-orang Pak-cong bilang bahwa merekalah yang merintis jalan sampai terjadinya penculikan ini? Bahkan mereka pula yang memberitahu kita tentang rute dan jadwal perjalanan bangsat cilik Manchu ini, sampai kita berhasil meringkusnya?"
"Ya, mereka menyumbangkan keterangan kepada kita. Tapi siapa yang kerja? Siapa yang benar-benar menempuh bahaya dengan bertempur menerobos gedung Cong-peng-hu yang dijaga ketat? Kita kan? jadi karena kita yang mendapatkan tawanan ini, maka yang menjaga nya juga kita, bukan orang-orang Pak- cong. Sebab orang Pak-cong tidak berbuat apa- apa. Cu-sian Cin-jin itupun cuma duduk di atas atap di kejauhan sambil membakar hu dan mengibar-ngibarkan Hong-hun-ki, padahal tanpa bantuannyapun kita akan berhasil sama baiknya dengan sekarang."
"Bagai mata kalau kawan-kawan dari Pak-cong itu tersinggung?"
"Ya kita jelaskan, kalau masih tersinggung juga, ya bagaimana lagi? Kalau tawanan sepenting ini dipasrahkan mereka, belum tentu mereka bisa menjaganya. Kalau sampai kabur lagi, bukankah yang rugi adalah seluruh Pek- lian-kau kita? Nah, kawan-kawan dari Pak-cong harus menyadari hal ini, bukan bisanya cuma tersinggung dan marah-marah saja."
Setelah itu, yang terdengar cuma langkah kedua penculik itu, mereka berjalan tidak jauh lalu berhenti. Mereka mengetuk sebuah pintu di sebuah lorong. Caranya mengetuk tidak wajar, melainkan mirip semacam isyarat. Salah satu pintu dari ribuan pintu di Kim-teng, di salah satu pelosok kota yang tersembunyi. Pintu terbuka, muncul seorang perempuan tua yang bertanya, "Kalian sudah kembali? Berhasil tidak?"
Penculik tinggi besar dan berewokan yang menggendong Kui Thian Cu dengan disampirkan pundak itupun menjawab. ''Berhasil. Biarkan masuk. Su-koh (bibi guru). Sebentar lagi anjing-anjing Manchu pasti akan menggeledah seluruh kota secara besar-besaran."
Perempuan tua yang membukakan pintu itu tubuhnya masih tegak, belum bungkuk, dengan tangan kiri memegangi tongkat sepanjang satu depa. Sambil tertawa terkekeh, ia menjawab, "Jangan segelisah itu. Tempat kita ini dikawal oleh perajurit-perajurit gaib kita yang tak kelihatan mata, dilingkari perisai gaib yang menyesatkan pancaindera. Para begundal Manchu itu takkan menemukan kita!"
Meskipun berkata demikian, toh si nenek membiarkan kedua penculik itu masuk, lalu menutup pintu dan memasang palang pintunya yang berat. Agaknya diapun tidak yakin kata-katanya sendiri tadi.
Si nenek menyeberangi halaman, lewat ruang depan dan sampai ke sebuah ruangan luas dimana banyak orang. Ada lima belas orang kira-kira, bermacam-macam tampang, usia, terdiri dari lelaki dan Perempuan Persamaannya, mereka semua memakai jubah luar hitam dengan gambar teratai putih di dada sebelah kiri.
Mereka serempak berdiri menghormat, menyambut kedatangan kedua penculik itu. Yang tinggi besar, bereawokan dan memanggul Kui Thian Cu itu mereka Panggil "Thio Hiang-cu (hulubalang Thio) sedang satunya lagi yang lengannya panjang melebihi ukuran normal, di panggil "Hoa Hiang-cu (hulubalang Hoa). Sedangkan terhadap si nenek bertongkat, orang-orang dalam ruangan itu malahan bersikap acuh tak acuh dan kurang menghormat.
Thio Yap. si "Thio Hiang-cu" itu menjatuhkan tubuh kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati, namun karena matanya masih tertutup kain tebal hitam, ia belum bisa melihat bagaimana tampang penculik-penculiknya. Orang-orang dalam ruangan itu menunjukkan kegembiraan melihat Kui Thian Cu tertangkap. Mereka tertawa dan saling memberi selamat dan berceloteh macam-macam.
"Memang kepandaian kedua Miang-cu kita tak disangsikan lagi, patutlah sebutan Lam-cong Ji-pi (dua pilar kaum selatan) bagi Thio Hiang- cu dan Hoan Hiang-cu penjagaan musuh yang bagaimana kuatnya, mana bisa menahan Lam- cong Ji-pi?!"
"Benar! Pasti kelak kita akan bangkit kembali dalain kejayaan dinasti Beng!"
"Dengan adanya bangsat cilik ini ditangan kita, pastilah si iblis Yong Ceng itu akan kita tekan agar menuruti segala tuntutan kita!" Dan macam macam lagi.
Sementara si nenek bertongkat itu nampak mendongkol sekali mendengar orang-oraug Latr-cong itu memuji-muji jasa mereka sendiri tanpa sdikit pun menyebut jasa pihak Pak-cong Thio Yap, si "Thio Hiang-cu itu, menjatuhkan tubuh Kui Thian Cu ke lantai dengan keras, penuh kebencian, sehingga Kui Thian Cu agak kesakitan dan mencaci dalam hati.
la menghantamkan tongkatnya ke lantai, dan berkata dengan suaranya yang serak, tajam mirip dua potong logam digesek-gesekkan, "Tapi jangan kalian lupakan Cu peng Cin-jin yang memberi kabar dari Hang-ciu, menyuruh kalian menghadang pada tempat dan waktu yang tepat. Tanpa mendapat keterangan dari Cu-peng Cin-jin, biarpun Lam-cong Ji-pi berkepandaian setinggi langitpun pasti cuma akan menubruk angin kosong....!"
Selanjutnya,