X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 09 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 09

Karya : Stevanus S P

Di sebelah lain, Tong San Hong yang sekian lama sama-sama jalan buntu menghadapi Su-ma Hek-long yang berlindung rapat di balik payungnya, tidak sabar lagi, dan menggunakan tenaga dalam ajaran kakeknya yang disebut Hian-im-ciang (pukulan dingin). Ketika ia membentak, suhu udara dalam jarak beberapa langkah dari tubuhnya tiba-tiba anjlok tajam sekali, dan setiap geraknya kini membuat udara maha dingin itu mengalir, dan diarahkan untuk ''menyusup" ke pihak lawan.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Su-ma Hek-long terkejut sekali menghadapi turunnya suhu udara yang begitu tajam. Memang Hian-im-sin-kang Tong San Hong belum sampai ke taraf tertinggi yang bisa membekukan darah dalam urat-urat sehingga jantung tak mampu memompa lagi. Ayahnyalah yang sudah sampai ke taraf itu.

Namun Hian-im-sin-kang Tong San Hong itu sudah cukup membuat Su-ma Hek-Iong merasa kedinginan, seolah kulitnya tiba tiba ditempeli salju. Jagoan istana itu sampai bersin dua kali. Serangan pedang memang bisa ditahan dengan payungnya, tapi serangan yang berujud aliran udara dingin, mana bisa ditangkis?

Segera si "payung pencabut nyawa" ini merasa kemanapun langkahnya terarah, ia selalu dihadang udara amat dingin yang membuat otot-ototnya kaku, sehingga dengan demikian juga memperlambat gerak-gerak silatnya.

Sebaliknya Tong San Hong tambah gencar menggempur. la melancarkan jurus Hui-eng- hwe-soan (elang terbang berputar) yang tadi sebenarnya pernah digunakan tapi tanpa hasil. Namun kali ini berhasil menyudutkan lawannya yang bertahan sambil bersin-bersin beberapa kali. Tong San Hong terus mendesak.

Tiba-tiba kakinya pun ikut menyapu rendah ke betis lawan dengan tendangan Tek-tou-tui. Kena. Su- ma Hek-Iong sempoyongan dan permaianan silatnya tambah kacau, ujung pedang Tong San Hong pun "mampir" ke lengan atasnya tanpa permisi lagi.

"Besok kau harus bikin payung yang lebih lebar lagi...." ejek Tong San Hong yang kini di atas angin. "...dan jangan lupa membawa baju tebal yang hangat!"

Pertempuran yang masih seimbang ialah antara Tong Hai Long si berangasan melawan Sat Siau Kun. Bahkan ketika Tong Hai Long juga menggunakan Hian-im-sin-kang seperti saudara kembarnya, Sat Siau Kun nampaknya tak terpengaruh apa-apa. Si kecil bungkuk ini ternyata memiliki tingkatan lwe-kang (tenaga dalam) yang kokoh.

Barulah ketika Se-bun Hong-eng yang sudah kehilangan lawan-lawannya karena diambil alih oleh Wan Lui tadi datang ke arena itu, dan membantu Tong Hai Long, maka Sat Siau Kun mulai merasa berat. Pipa peraknya yang tiga jengkal itu harus menghadapi dua pedang dan satu tongkat masing-masing panjangnya hampir satu meter.

Dalam repotnya, Sat Siau Kun jadi mendongkol melihat tiga bersaudara seperguruan Heng-san-sam-kiam malah enak-enak di pinggir arena dan menonton saja. Terpaksa Sat Siau Kun membentak gusar, "He! Yang menjaga Ni Keng Giau cukup satu orang saja! Lainnya membantu menangkap berandal-berandal cilik ini!"

Ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu sebenarnya sangat enggan bertempur dengan orang-orang muda Hwe-liong-pang itu. Tapi karena Sat Siau Kun berkedudukan lebih tinggi dari mereka, mau tak mau mereka harus menurut agar tidak dicurigai. Teng Jiu tetap menjaga Ni Keng Giau, sedangkan dua kakak seperguruannya masing-masing membantu kepada. Wan Yen Coan dan Su-ma Hek-long. Tapi bantuan yang hampir tak berarti sebab tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Ketika itu Wan Yen Coan dan pamannya yang bersenjata Kau-lian-jio tengah megap-megap kepanasan, karena Wan Lui mulai menggunakan tenaga dalam Hwe-liong Sin-kang ajaran Pak Kiong Liong. Hawa panas luar biasa seolah keluar dari segenap pori-pori kulit Wan Lui, membuat kedua lawannya jadi kesulitan menghirup udara segar, sebaliknya keringat mereka bagaikan di peras keluar dan cepat membuat tubuh jadi lemas. Lalu Ho Se Liang datang "membantu” keduanya. Tapi Ho Se Liang pura-pura kepanasan dan cuma menyerang dari jarak agak jauh, tapi tak satupun serangannya yang berarti. Jadinya ia "pembantu yang tidak membantu".

Tetapi Wan Lui sendiri tak bermaksud sungguh-sungguh menggilas lawan-lawannya. Ia merasa kelanjutannya cuma akan berlarut-larut dan entah pihak mana yang bakal mencapai maksudnya. Kekuatan kedua belah pihak hanya berselisih seujung rambut. Karena itu, setelah menggertak mundur ketiga lawannya, Wan Lui melompat mendekati Tong San Hong yang tengah mendesak Su-ma Hek-long yang kini dibantu Auyang Kong. Katanya, "Sobat, masihkah perlu diteruskan?"

Tong San Hong yang mampu berpikir lebih tenang dari saudara kembarnya itupun memahami situasi dan tak menentu di gelanggang itu. Menang tidak, kalah juga tidak. Kalau diterus-teruskan juga cuma begitu-begitu saja, membuang tenaga. Maka diapun mengangguk dan menjawab, "Kau benar, sobat."

Wan Lui dan Tong San Hong lalu mengubah cara bertempur mereka. Tidak lagi menghadapi lawan sendiri-sendiri, melainkan bergabung. Perlahan merekapun mulai, bergeser mendekati Se-bun Hong-peng dan Tong Hai Long yang tengah mengeroyok Sat Siau Kun. Kepada saudara kembarnya, Tong San Hong berbisik, "A-hai, lebih baik mundur dulu."

Dia berbisik, dan saudara kembarnya yang berangasan itu malah menjawab dengan berteriak sekeras-kerasnya, "Kalau kita pergi, keenakan buat Ni Keng Giau, pembantai ribuan orang tak bersalah itu!"

Maka mereka tak segera bisa menarik diri dari arena, sementara orang-orang muda itu mencari akal bagaimana mengajak si berangasan pergi dari situ. Tiba-tiba Tong San Hong memberi isyarat kepada Se-bun Hong-eng, maksudniya agar gadis itulah yang mengajak Tong Hai Long mundur dari situ.

Sepasang pipi gadis itu agak memerah tersipu karena menerima "tugas" itu, sebab ia paham pertimbangan apa yang digunakan Tong San Hong. Kiranya selama ini si berangasan Tong Hai long sedang rajin menaksir Se-bun Hong-eng. Maka kalau Se-bun Hong-eng yang mengajukan permintaan, tentu akan lebih "manjur" daripada oleh saudara kembarnya atau orang lain.

Saat itu, bentuk pertempuran sudah berubah. Masing-masing, kawan maupun lawan, tidak lagi sendiri-sendiri menghadapi musuh, tapi secara berkelompok, Wan Lui, Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng sudah membentuk semacam "front bersama" menghadapi gempuran para jagoan Ci-ih Wi- kun yang dipelopori Sat Siau Kun.

Biarpun soal kalah menang masih belum bisa ditentukan, tetapi Se-bun Hong-eng juga sadar betapa tak berguna nya keadaan yang sama-sama macet bagi kedua pihak itu diterus-teruskan. Ia bergeser mendekati Tong Hai Long sambil tetap menjaga diri dari sambaran senjata lawan-lawannya. Setelah dekat, ia membisiki Tong Hai Long, “A-hai, biar kita titipkan dulu batok kepala Ni Keng Giau di lehernya Masih ada lain waktu untuk memetiknya.”

Ternyata memang manjur. Tong Hai Long yang tadinya membandel terhadap ajakan saudaranya, namun setelah Se-bun Hong-eng yang mengajaknya, diapun menjadi "jinak" seketika. Sambil memutar pedangnya dengan hebat, ia berseru, "Baik! Mundur ya mundur! He, Ni Keng Giau, awaslah lain kali!"

Namun untuk mundurpun tak segampang yang diinginkan. Setelah Sat Siau Kun tahu bahwa si kembar adalah cucu cucu Pak Kiong Liong sekaligus Tong Lam Hou, dua pentolan penantang pemerintahan Kaisar Yong Ceng, maka Sat Siau Kun jadi bernafsu untuk menang kap mereka guna memancing keluarnya Pak Kiong Liong dari persembunyiannya.

Maka Sat Siau Kun pun mengomando orang- orangnya, "Kalau bisa tangkap semua, tangkap semua! Kalau bisa cuma menangkap satu, lebih baik daripada tidak sama sekali!"

Maka seluruh barisan Sat Siau Kun lalu menggempur dengan lebih bersemangat, kecuali tiga orang Heng-san-sam-kiam yang diam-diam berpendapat "lebih baik tidak sama sekali", hanya sebagian ekor dari perintah Sat Siau Kun itu Mereka bertiga malah sibuk mencari jalan bagaimana supaya orang-orang muda itu dapat lolos dengan selamat.

Pertempuran masih berlangsung sengit beberapa jurus. Satu pihak mau pergi, pihak lain ingin menangkap. Pada detik-detik gawat itulah Wan Lui kembali tampil sebagai pahlawan, mengambil tugas terberat untuk dirinya sendiri. Berserulah ia kepada ketiga kenalan barunya itu, "Kalian bertiga mundur dulu, biar aku yang tahan."

"Sobat, jangan membahayakan diri mu sendiri." Tong San Hong memperingat kan.

Tetapi Wan Lui telah bertindak tanpa menunggu pertimbangan orang lain, maklumlah dia sedang bersemangat-semangatnya jadi pahlawan dihadapan Se-bun Hong-eng. Sambil membentak sekeras sepuluh guruh, seluruh kekuatannya dilontarkan lewat dua tangannya.

Berbareng dengan lompatan tubuhnya, ia lontarkan jurus Ban-liong-seng-thian (selaksa naga memenuhi langit), jurus paling sulit dari Thian-liong-kun-hoat ajaran Pak Kiong Liong. Dibarengi pengerahan tenaga sakti Hwe-liong-sin-kang, tiba-tiba saja arena itu dipenuhi bayangan ribuan pukulan yang menghembuskan hawa panas menyengat.

Memang jagoan-jagoan sekaliber Sat Siau Kun atau Su-ma Hek-long takkan mudah dijatuhkan oleh serangan itu, namun toh mereka terkejut dan sejenak gerakan mereka tertahan. Sedang jago-jago Ci-ih Wi-kun yang berilmu se tingkat dibawah mereka seperti Wan Yen Coan, Heng-san-sam-kiam, biksu yang bersenjata Kau-lian-jio, mau tidak mau harus melompat mundur jauh-jauh untuk mengurangi sengatan aliran udara panas itu.

Bukan cuma para jago-jago Ci-ih Wi-kun yang kaget, tapi juga si kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long, sebab mereka mengenali jurus itu. Mereka juga sudah bisa, sudah diajari oleh kakek mereka, namun dengan jujur mereka harus mengakui bahwa dalam penggunaannya, mereka belum sematang Wan Lui. Pancaran udara panas yang bisa mereka lakukan juga belum semenyengat itu.

Bukan karena si kembar itu kalah bakat, tapi kerena mereka mempelajari terlalu banyak aliran silat sehingga sulit mencapai kematangan, berbeda dengan Wan Lui yang cuma menekuni satu ajaran saja. Karena belum tahu siapa Wan Lui, si kembar itu heran, darimana Wan Lui dapat memainkan Thian-liong-kun-hoat dan Hwe-liong-sin-kang sehebat itu, bahkan lebih hebat dari mereka sendiri?

Namun detik-detik itu terlalu berharga untuk dibuang-buang tanpa tindakan. Bagaikan tiga ekor burung raksasa, Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng telah melompat ke atas genteng selagi lawan-lawan mereka ditahan Wan Lui. Kemudian si kembar mengeluarkan jarum-jarum besi yang di lontarkan-lontarkan dari atas genteng kearah para jagoan Ci-ih Wi-kun.

Cara melempar jarum-jarum itu mereka pelajari dari seorang tokoh Hwe-liong pang, Sai-kim-ciam Su-seng (sastrawan penyebar jarum emas) Siang Koan Liong yang gugur ketika markas Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong diserbu tentara pemerintah. Karena keluarga Hwe-liong-pang bukan keluarga jutawan yang seenaknya saja "menyebar emas", maka jarum-jarum itu bukan benar-benar dari emas, melainkan dari besi saja. Besarnya sama dengan lidi, panjangnya se jengkal.

Jarum-jarum raksasa itu berhamburan membelah udara dengan suara mencicil-cicit, menuju ke sasaran-sasarannya. Sambil menghamburkannya, Tong San Hong berseru kepada Wan Lui, “Sobat, naik kemari!"

Kawanan jago-jago Ci-ih Wi-kun itu mau tidak mau harus memecah perhatian terhadap jarum-jarum itu, maka Wan Lui jadi memiliki kesempatan untuk melayangkan tubuh keatas genteng pula. Keempat anak muda itu kemudian kabur menghilang ke lereng bukit dibelakang penginapan itu. Gelapnya malam amat membantu gerak mundur mereka.

Sat Siau Kun dengan bernafsu masih ingin mengejar, kalau bisa ya setidak-tidaknya menangkap satu dari keempat "berandal cilik" tadi. Namun Ho Se Liang cepat mencegahnya dengan alasan yang cukup masuk akal. "Sat Toa-ko, hati-hatilah, jangan sampai kita termakan siasat memancing harimau meninggalkan gunung!"

"Benar!" dukung Auyang Kong "Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang sudah terkenal dengan kelicikannya. Kalau sampai kita terpancing mengejar mereka. jangan-jangan nanti akan muncul rombongan lain untuk mengambil Ni Keng Giau. Kalau sampai kejadian begitu, tentu kita tak punya, kesempatan lagi untuk menjelaskan kepada Sribaginda maupun Kim Cong-koan!"

Karena alasan pendekar-pendekar Heng-san-sam-kiam itu cukup beralasan, maka Sat Siau Kun berhasil diyakinkan untuk tidak mengejar orang-orang muda tadi. Sebab tugas utamanya ialah mengantarkan Ni Keng Giau dengan selamat sampai ke Hang-ciu.

Sementara itu, Wan Lui dan kawan-kawannya sudah lari cukup jauh dan tiba di suatu tempat yang sepi di lereng bukit. Ketika mereka tahu bahwa musuh tidak mengejar, merekapun berhenti berlari-lari. Ketika itulah awan hitam yang menaungi rembulan tersibak perlahan oleh angin, sehingga keempat orang itu dapat saling memandang.

Dengan jengkel Tong Hai Long membanting kaki sambil menggerutu, "Untung benar si bangsat Ni Keng Giau itu. Biarpun sudah jatuh dari kedudukannya, ia masih dilindungi pengawal-pengawal setangguh itu, Huh!”

Sambil menyarungkan pedangnya, Tong San Hong tertawa dan berkata untuk meredakan kejengkelan saudaranya, "Ni Keng Giau bukannya dikawal sebagai orang terhormat, namun sebagai narapidana yang dikhawatirkan akan kabur. Biarpun kita belum berhasil menghukumnya, tapi Ni Keng Giau sendiri pasti amat menderita jiwanya oleh kejatuhannya itu. Bayangkan, orang secongkak dia, tiba-tiba harus digiring sebagai seorang pesakitan."

Kemudian Wan Lui juga ikut bicara. "Urusan sakit hati, akupun ingin membalas kepada Ni Keng Giau. Dalam perang di Hek-liong-kang bertahun-tahun yang lalu Guruku pernah dikhianati Ni Keng Giau sehingga kehabisan pasukan dan hampir saja ikut mati. Tapi kita harus pandai memperhitungkan situasi, jangan bertindak sembrono."

Suara Wan Lui menyadarkan mereka, terutama Se-bun Hong-eng yang belum mengucapkan terima kasih untuk pertolongan Wan Lui tadi. Maka diapun memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Wan Lui.

Menghadapi gadis yang menarik perhatiannya sejak bertemu di jalan tadi, Wan Lui agak kikuk menghadapinya Namun ia membalas hormat juga, sambil mengharapkan bisa bercakap-cakap Jama dengan gadis itu.

Tapi ada yang cemburu melihat sikap Wan Lui itu, tak lain adalah si berangasan Tong Hai Long. Cepat-cepat pemuda itu menyerobot berdiri antara Wan Lui dan Se-bun Hong-eng, sehingga pandangan Wan Lui jadi terhalang. Seolah-olah dengan sikapnya itu Tong Hai Long mau berkata, "Jangan menatap dia terlalu lama!"

Namun, sambil memberi hormat pula Tong Hai Long berkata, "Aku juga mengucapkan terima kasih. Sobat, kalau kau ada keperluan lain di tempat lain, tentunya kami tidak berani lama-lama menahanmu di sini." Itulah pengusiran yang dicoba untuk ditampilkan dengan halus, toh masih terasa kasar juga.

Tong San Hong diam-diam geleng-geleng kepala melihat ulah saudara kembarnya itu. Tapi ia tahu bahwa saudara kembarnya itu tidak jahat, cuma kali ini sedang panas hatinya karena cemburu. Sebenarnya, makin lama Wan Lui bisa bercakap-cakap dengan Se-bun Hong-eng tentunya makin senang. Tapi, mendengar ucapan Tong Hai Long itu, Wan Lui jadi merasa tidak enak tinggal di situ lebih lama. Sekali lagi ia berpamit, terus memutar tubuh dan hendak melangkah pergi.

Namun Tong San Hong tiba-tiba berkata, "Tunggu, sobat!"

Wan Lui menghentikan langkah, "Ada apa lagi?"

"Sobat, kalau tadi mataku tidak salah lihat, dalam pertempuran tadi kau menggunakan ilmu pukulan Thian-liong-kun-hoat dan tenaga dalam Hwe-liong sin-kang. Apakah benar?"

"Benar."

"Maaf, seandainya pertanyaanku di anggap lancang. Siapakah gurumu, sobat?"

"Guruku bernama Pak Kiong Liong. Namun atas permintaannya sendiri, aku tidak memanggilnya Suhu, tapi kakek. Kakek Liong tidak memberi pelajaran kepadaku secara lisan, melainkan hanya meninggalkan catatan untukku sebelum dia pergi."

Keterangan Wan Lui ini mau tidak mau menarik perhatian si kembar. Pak Kiong Liong adalah kakek mereka dari garis ibu, tak terduga kini bertemu seorang yang mengaku sebagai murid kakek mereka. Dan rasanya pemuda ini tidak bohong, kakek mereka memang pernah memimpin pasukan untuk berperang di Liau-tong selama hampir satu tahun, melawan serbuan tentara Jepang. Mungkin saat itulah sang kakek mendapat murid ini.

Tong San Hong menganggap pertemuan ini menggembirakan. Sambil tertawa dia berkata, "Ha-ha, sungguh suatu kebetulan. Gurumu itu, sobat, bukan orang lain bagi kami berdua. Dia adalah..."

Wan Lui tersenyum dan berkata cepat mendahului, "Beliau adalah kakek kalian, itu kuketahui ketika tadi melihat gerak silat kalian. Aku pernah diberitahu guruku tentang cucu-cucu lelaki kembarnya. Yang satunya tenang dan mantap seperti Puncak Gunung (San Hong), satunya lagi berdarah panas, selalu bergelora seperti Ombak Laut (Hai Long), tapi... belum pernah kudengar kalau guruku itu punya cucu perempuan," sambil memandang Se-bun Hong-eng, sehingga Tong Hai Liong lagi-lagi harus menggeser tubuh untuk menutupi pandangan Wan Lui.

Tanpa menggubris ulah saudara kembarnya itu, Tong San Hong berkata dengan riang, "Kita benar-benar bukan orang asing sobat. Kita seperti saudara. Eh, aku belum tahu namamu."

"Namaku Wan Lui."

"Bagus, saudara Wan. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan ini bersama? Kalau boleh kami tahu, kemana tujuanmu?"

Buat Wan Lui, tawaran itu sungguh menyenangkan. Tetapi sikap Tong Hai Long membuatnya kurang enak. Lagipula, Wan Lui merasa kurang pantas kalau, harus memisahkan diri dari teman seperjuangannya, In Kiu Liong, dan bergabung dengan orang lain. Biarpun In Kiu Liong serba tertutup dan kadang-kadang aneh, tapi kurang pantas meninggalkannya begitu saja. In Kiu Liong nampaknya juga enggan bertemu dengan orang-orang muda ini. Karena itulah Wan Lui akhirnya memutuskan, untuk sementara ia tidak harus bersama-sama dengan ketiga orang ini.

"Sungguh menyenangkan, melakukan perjalanan di alam bebas dengan teman-teman sebaya. Tapi maaf, saat ini aku belum bisa. Kalau saudara Tong tidak keberatan, tolong beritahu aku saja dimana Kakek Liong berada saat ini."

"Kebetulan sekali, bulan depan kami akan bertemu kakek di Hang-ciu. Tapi di mana tempatnya yang pasti, kami agaknya masih harus saling bertukar isyarat dengan Kakek untuk menemukan tempat itu."

Wan Lui mengangguk-angguk kepalanya. Sungguh suatu kebetulan, la dan In Kiu Liong sedang membuntuti rombongan Ni Keng Giau ke Hang-ciu, dan ternyata di kota itu ada harapan akan bertemu dengan gurunya yang dicarinya. Pikirnya, "Mudah-mudahan In Toa-ko akan senang pula berjumpa dengan Kakek Liong yang sering diakuinya sebagai teman seperjuangannya itu."

"Apakah kesehatan guruku itu baik-baik saja?" tanya Wan Lui pula, untuk memuaskan sebagian rasa rindunya.

"Usianya sekarang sudah hampir delapanpuluh tahun," sahut Tong San Hong. "Tapi untunglah, kesehatannya baik sekali. Barangkali ini disebabkan oleh semangatnya yang tak pernah padam.”

Mata Wan Lui nampak agak berkaca-kaca mendengarnya, ingin rasanya ia segera berada di hadapan gurunya itu untuk bersembah sujud kepadanya. "Baiklah, saudara Tong berdua dan nona Se-bun, kita berpisah di sini dan mudah-mudahan kelak bertemu lagi.....” kata Wan Lui akhirnya. "Tolong sampaikan sembah sujudku kepada guruku itu."

Habis itu, Wan Lui benar-benar melangkah pergi meninggalkan mereka. Se-bun Hong-eng menatap bayangan punggung yang tegap dan gagah itu lenyap di balik tirai kabut malam yang bergantung rendah.

"Dia tampan sekali ya?" tiba-tiba Tong Hai Long bertanya dengan nada mendongkol.

Se-bun Hong-eng menjadi merah mukanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain tanpa menjawab. Sedang Tong San Hong lah yang menjawab saudara kembarnya itu. "Benar. Tapi sebenarnya kau tidak perlu iri kepadanya, A-hai. Soal tampang, kau tidak kalah dari dia, hanya saja..."

"Hanya apa? Ilmu silatku kalah tinggi dibandingkan dia?" Sambar Tong Hai Long dengan hati yang panas. Biarpun umurnya cuma tua beberapa menit, Tong San Hong memang sok berlagak orangtua terhadap saudara kembarnya, begitu pula kali ini, "Ya, ilmu silatnya memang lebih tinggi dari kita. Soal ini kita harus berani mengakuinya secara jantan."

"Siapa bilang tidak mau mengakuinya? Tapi tingkat ilmu silat seseorang itu tidak berjarak tetap dengan tingkat orang lainnya. Ada yang ilmunya tinggi, karena malas latihan lalu jadi merosot. Sebaliknya ada yang tadinya berilmu rendah, karena rajin latihan lalu meningkat ilmunya. Kalau penilaian seseorang itu cuma berdasarkan ilmu silat, sungguh penilaian itu tidak kekal. Saat ini aku kalah dari si... si... siapa tadi?"

"Wan Lui!"

"Ya.... si Wan Lui itu. Tapi lihat saja. Aku akan berlatih dengan giat, dan kelak harus menjajal kehebatannya!"

Mendengar jawaban dengan hati panas itu, Tong San Hong jadi geli sendiri dan menggoda lebih hebat, "Lho, kesurupan apa kau malam ini, A-hai? Ada banyak orang yang ilmunya lebih tinggi daripadamu, tetapi kenapa kau tidak jengkel kepada mereka, dan hanya kepada Wan Lui saja? Ha-ha, aku tahu. Tentu kau jengkel kepadanya karena dia keseringan melirik kepada A-eng bukan?"

Keruan wajah Se-bun Hong-eng menjadi merah padam karena dia "disrempet" padahal ia merasa "sudah minggir". Selagi Tong Hai Long masih gelagapan mencari jawaban, Se-bun Hong-englah yang sudah membalas Tong San Hong, "He, A-san kau sendiri tidak tahu malu, apakah kau tidak merasa?"

"Tidak tahu malu? Dalam soal apa?"

"Tadi kau memuji A-hai, katamu A-hai tidak kalah tampang dengan... dengan... dia tadi. Bukankah itu sama dengan memuji dirimu sendiri, sebab kalian kembar dan berwajah serupa?"

"Oh iya..." Tong San Hong mengangguk-angguk dengan gaya ketolol-tololan. "Baik kuralat omonganku tadi. Memang menurut pandanganmu, mana bisa aku dan A-hai menyamai Wan Lui yang begitu gagah, tampan, lihai ilmu silatnya dan... huaaah!!"

Tong San Hong tak sempat menyelesaikan olok-olok itu, sebab Se-bun Hong-eng tiba-tiba menginjak jempol kakinya keras-keras. Namun dalam hati Se-bun Hong-eng sebenarnya ada rasa senang juga. Baginya, Wan Lui memang lebih mengesankan dari Tong Hai Long. Soal tampang memang sama saja, namun sifat Tong Hai Long yang penaik darah dan sering tak terkendali itu lebih banyak menjengkelkannya daripada menyenangkan.

Sedangkan Tong San Hong sebaliknya, kelewat sabar sampai mirip dengan kakek-kakek, kalau bicara seperti menasehati cucu-cucunya saja padahal umurnya baru duapuluh satu. Se-bun Hong-eng merasa kurang "pas" dengan sifat masing-masing saudara kembar itu, yang "pas" ya ya....ya Wan Lui itulah.

Mereka lalu berjalan kembali ke tempat penginapan. Lewat jalan lain, Wan Lui pun kem bali ke desa itu. Dengan amat hati-hati Wan Lui mendekati dinding belakang penginapannya yang bersebelahan dengan penginapan lain yang digunakan oleh rombongan Ni Keng Giau. Tempat yang beberapa saat yang lalu menjadi ajang pertempuran itu, kini sudah sepi, namun Wan Lui tetap dalam kewaspadaan tinggi.

Seringan sehelai daun kering diangkat oleh angin, Wan Lui melompati dinding dan mendarat di halaman belakang penginapan itu, dan berjingkat tanpa suara ke dalam kamarnya kembali. Ia sudah memutuskan, kalau In Kiu Liong terbangun dan menanyakan apa yang terjadi, ia akan bercerita terus-terang apa saja yang dialaminya. Namun begitu menyelinap masuk ke dalam kamar, dilihatnya lilin di kamar itu masih menyala, tapi In Kiu Liong sudah tidak ada lagi di pembaringannya. Cuma ada sehelai surat di atas bantal, yang cepat-cepat dibaca oleh Wan Lui.

“Wan-heng, maaf aku meninggalkanmu karena ada urusan penting yang mendadak. Untuk biaya perjalananmu selanjutnya, Wan-heng boleh menjual kuda yang kutunggangi, sebab aku melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Mudah-mudahan kelak kita bertemu lagi. Dari sahabat seperjuanganmu dalam cita-cita luhur.”

In Kui Liong.


Wan Lui membaca surat itu tanpa kesan apa-apa, tawar saja hatinya. Yang ada hanyalah kesan bahwa In Kiu Liong ini memang rada misterius sepak terjangnya. Melakukan apapun serba sembunyi-sembunyi. Ada "urusan penting" macam apa sehingga harus pergi di larut malam itu?

Wan Lui kemudian melepas sepatu dan baju luarnya, lalu tidur untuk membebaskan pikirannya dari macam-macam beban. Toh raut wajah Se-bun Hong-eng tak begitu gampang diusir dari pelupuk matanya. Belum-belum sudah kangen.

Esok harinya, rombongan demi rombongan meninggalkan, desa kecil itu. Rombongan Ni Keng Giau lebih dulu, yang nampak bersikap waspada. Disusul dengan rombongan Tong San Hong bertiga yang belum kapok juga membuntutinya dari kejauhan. Dan yang paling lambat berangkatnya adalah Wan Lui, karena sebelum berangkat ia harus menjual dulu kuda In Kiu Liong dan uangnya untuk membayar penginapan.

Meskipun Wan Lui ingin sekali menyusul dan bergabung dengan rombongan Tong San Hong, tapi ia jadi merasa segan kalau membayangkan wajah Tong Hai Long yang angker. Begitulah tiga gelombang orang berkuda itu menuju ke arah yang sama. Hang-ciu.

* * * *


Itu adalah sebuah perjalanan yang paling menyiksa batin Ni Keng Giau. 'Tiga perempat" jiwanya masih dikuasai angan-angan bahwa dirinya adalah seorang bangsawan yang patut disembah sujudi, sementara "seperempat" sisanya sudah menginjak bumi. Kenyataan bahwa perjalananya dari Tan-liu ke Hang-ciu adalah perjalanan dari puncak kejayaan ke kehinaan.

Karena itulah sepanjang perjalanan Ni Keng Giau bertingkah laku tidak seimbang. Kadang-kadang berteriak-teriak dan membentak-bentak, menyuruh semua orang menyembah dirinya. Dilain saat dia begitu menurut diperintahkan apa saja oleh jago-jago Ci-ih Wi-kun yang mengawalnya. Bahkan oleh Su-ma Hek-long atau Wan-yen Coan sering disepak pantatnyapun cuma nyengir saja. Sering dalam diri Ni Keng Giau muncul niat yang amat kuat untuk bunuh diri, namun niat itu selalu tertahan oleh munculnya pikiran lain yang diada-adakannya sendiri.

"Jangan mati dulu, masih ada harapan aku kembali ke kedudukanku. Sribaginda hanyalah ingin menguji kesetiaan dan kepatuhanku, sebelum mengangkatku kembali. Tidak, aku tidak boleh mati. Kalau Sribaginda benar-benar berniat menyingkirkan aku, tentu akan langsung disuruhnya Hiat-ti-cu membunuhku, seperti ia pernah menyuruhku membunuh Pangeran In Te di Jing-hai. Ah, ini bukan hukuman. Ini cuma ujian kesetiaan."

Dengan adanya pikiran macam itu, paling tidak niat bunuh dirinya bisa diredakan. Dan selagi semangatnya untuk terus hidup meninggi, ia sering ketakutan kalau melihat diantara jago-jago Ci-ih Wi-kun itu ada yang berbicara bisik-bisik. Khawatir kalau mereka merencanakan untuk membunuhnya di tengah jalan. Pernah semalaman Ni Keng Giau tidak tidur di kasurnya di penginapan, melainkan cuma bertiarap di kolong ranjang, semalam suntuk tidak memejamkan mata sekejappun, sambil terus menerus menghunus pedang.

Akhirnya tembok kota Hiang-ciu nampak didepan mata. Itulah sebuah kota yang dulu pernah juga disebut lim-an, ketika Kaisar Seng-khin-cong memindahkan ibukota Kerajaan Seng dari Pian-liang di utara ke Lim-an, tahun 1126, karena serbuan Kerajaan Kim dari utara. Namun kemudian Seng-khin-cong lari karena tekanan musuh, dan tahta diambil alih oleh Song-ko-cong, adiknya, dan mulailah era yang disebut Kerajaan Lam-seng (Seng Selatan).

Jaman Kerajaan Beng, Hang-ciu pernah juga menjadi ibukota dengan nama Lam-khia, sebelum Pangeran Yan-ong memberontak terhadap Kaisar Kian-bun, lalu memindahkan ibukota ke Pak-khia sampai berakhirnya dinasti Beng. Ketika rombongan Ni Keng Giau tiba di Hang-ciu, sambutan penguasa Hang-ciu biasa saja, karena mereka sudah mendapat pemberitahuan dari pusat bahwa Hang-ciu akan mendapat seorang pelatih tentara "yang agak istimewa". Namun dalam pemberitahuan itu juga dicantumkan pesan agar Ni Keng Giau diperlakukan sesuai dengan pangkat barunya.

Karena itulah Ni Keng Giau tidak disambut besar-besaran. Setelah diterima secara resmi dan dingin di gedung Cong peng-hu, Ni Keng Giau langsung dikirim ke salah satu barak tentara, jalan kaki memanggul sendiri buntalan pakaian-pakaiannya, dan pengantarnya cuma seorang serdadu tua yang biasanya bertugas mengantarkan surat-surat tidak penting antar tangsi.

Sebelum itu, tugasnya adalah meniup nafiri setiap pagi di menara tangsi, namun sejak sakit batuknya menghebat, dengan pertimbangan kemanusiaan tugasnya diganti menjadi pengantar surat. Kinipun dia melangkah di samping Ni Keng Giau sambil terbatuk-batuk terus, sehingga Ni Keng Giau jadi kesal. Kemudian ia menunjukkan sebuah ruangan di salah satu tangsi, yang harus didiami Ni Keng Giau selama bertugas sebagai pelatih.

Malamnya Ni Keng Giau harus tidur di sebuah ruangan besar bersama '’perajurit-perajurit dan perwira-perwira rendahan yang paling tinggi saja cuma berpangkat tui-thio. Di ruangan itu direntangkan tali-tali silang menyilang, digantungi celana-celana para perajurit yang bau keringat atau habis dicuci sehingga airnya masih menetes-netes. Udara segar menjadi barang mewah diruangan itu.

Sebelumnya, Ni Keng Giau harus ikut antri makan malam di dapur tangsi, karena tak seorangpun mau diperintah mengambil makanannya, tak peduli ia sudah menyebutkan serentetan pangkat, gelar dan kedudukan yang pernah dimilikinya. Ni Keng Giau hampir menangis mengalami semuanya itu. Namun senantiasa di kuat-kuat kannya jiwanya sendiri menghadapi ujian "kesetian dan kepatuhan" dari Kaisar itu.

Malam harinya, ia mendapat sedikit kebanggaan ketika ternyata masih banyak orang yang mau mendengarkan kisahnya ketika berperang di Jing-hai. Di Jing-hai dulu, ia dikitari pembantu-pembantunya yang paling rendah saja berpangkat Cam-ciang, bersikap amat tertib, dibawah lambaian ribuan bendera yang megah.

Sekarang, ia dikelilingi pendengar-pendengar yang paling tinggi berpangkat tuo-thio, mendengarkan kisahnya sambil mencungkil-cungkil gigi atau mengorek-ngorek hidung dengan jarinya sambil kentut berulang kali, dibawah lambaian puluhan celana luar maupun dalam yang digantungkan pada tali yang melintasi ruangan itu bagaikan bendera. Namun buat Ni Keng Giau sudah terasa lumayanlah. Setidak-tidaknya ia bisa bercerita untuk membanggakan kejayaan yang pernah dialaminya.

Sebenarnya Ni Keng Giau masih ingin bercerita panjang lebar, tapi satu persatu pendengar-pendengarnya mulai menguap lalu berbaring di dipannya masing-masing. Terpaksa Ni Keng Giau berbaring juga. Namun ia tak dapat segera memejamkan matanya. Matanya berkedap-kedip menatap rusuk-rusuk atap di atasnya, namun angan-angannya menerawang jauh entah kemana. Masihkah akan terulang kejayaannya yang dulu?

"Masih ada masa depan gemilang buatku. Semua yang sekarang ini hanyalah tindakan Sribaginda untuk menguji diriku," ia jawab sendiri semua keraguannya. Lalu dibawanya ke alam mimpi.

Alam di seberang kesadaran itu sungguh nikmat, jauh dari kenyataan yang begitu keras dan pahit. Namun sial, kadang-kadang keras dan pahitnya kenyataan itu ikut menyeberang pula ke alam mimpi dan menghasilkan mimpi buruk!

Keesokan harinya, dengan tekad akan melewati ujian ''kesetiaan” itu sebaik-baiknya, Ni Keng Giau mulai tugas barunya sebagai pelatihnya. Para perajurit dibawanya kelapangan. Pertama-tama latihan main tombak dan pedang. Kemudian diajarinya bagaimana bergerak sebagai satu pasukan, bukan bertindak sendiri-sendiri. Sampai sekian, otaknya masih waras.

Para perajurit dengan bersungguh-sungguh menuruti petunjuk-petunjuk Ni Keng Giau dengan bersemangat, sebab pelatih mereka kali ini adalah bekas jenderal penakluk Jing-hai yang beberapa saat yang lalu namanya masih menjadi buah bibir di Pak-khia.

Ni Keng Giau berdiri di atas sebuah panggung terbuka kecil di tengah lapangan, kedua tangannya memegangi bendera-bendera kecil yang dikibar-kibarkan untuk menggerakkan pasukannya dilapangan. Sebentar-sebentar terdengar gelegar sorak mereka. Mereka seolah menguasai lapangan itu dengan gerak pasukan maju lurus, menebar, melingkar, mengurung, mundur dan menjebak dan sebagainya. Tangkas sekali.

Ketika Ni Keng Giau mengayunkan sepasang bendera kecilnya lurus ke depan, sayap kanan dan sayap kiri serempak menyerbu musuh di depan. Bukan musuh benar-benar, namun sederetan pepohonan di pinggir lapangan yang diumpamakan sebagai musuh. Dengan penuh semangat, para perajurit mulai melabrak pepohonan itu.

Melihat gerak-gerik barisan di lapangan itu, Ni Keng Giau tersenyum bangga, merasa dirinya kembali menjadi jenderal agung yang memimpin jutaan perajurit. Ia mulai melamun, terbang ke alam mimpi. Sementara itu, para perajurit yang tengah "menggempur musuh" itu mulai kelelahan. Juga malu, sebab banyak orang yang lewat di pinggir lapangan itu heran melihat ulah para perajurit. Belum pernah penduduk Hang-ciu melihat adegan perajurit bertempur sengit melawan pepohonan, biarpun cuma latihan. Perajurit-perajurit itu mulai agak menggerutu satu sama lain.

"Kapan selesainya gempuran ini? Apakah sampai pohon-pohon besar-besar itu habis roboh semua?"

"Dalam pertempuran yang benar-benar pun setelah sekian lama tentu sudah harus ada tindakan lanjutan."

"Mestinya kita sudah mundur, lalu pasukan tengah yang maju menusuk ke pasukan musuh."

"Kok belum terdengar aba-aba lagi?"

Salah seorang perajurit menoleh ke panggung terbuka di tengah lapangan, dan terdengarlah seruan kagetnya, "Astaga, apa yang sedang dilakukan pelatih kita itu?"

"Pertempuran" berhenti secara otomatis, semua perajurit menoleh ke tengah lapangan. Dilihatnya sang pelatih sudah turun dari panggung kecil itu, dan berjongkok sambil memunguti sesuatu dari tanah. Pasukannya sudah tidak dipedulikan lagi. Para perajurit saling berpandangan dengan heran.

Seorang berpangkat tui-thio lalu mewakili rekan-rekannya untuk mendekati Ni Keng Giau dan menanyakan bagaimana kelanjutan latihan itu. Sementara perajurit-perajurit mulai duduk-duduk berteduh di bawah pepohonan, tui-thio itu berjalan mendekati Ni Keng Giau di dekat panggung.

Makin dekat tui-thio itu dengan Ni Keng Giau, keheranannya makin bertambah. Sebab dilihatnya Ni Keng Giau dengan asyik sekali tengah mengumpulkan benang-benang merah yang berceceran di rerumputan. Benang-benang merah itu adalah rontokan ronce-ronce tombak para perajurit selama latihan tadi.

"Buat apa Goan-swe kumpulkan itu?" tanya tui-thio yang tetap memanggil Ni Keng Giau dengan sebutan "Goan swe", namun sambil bertolak pinggang dengan tangan kiri dan tangan kanannya menggaruk-garuk pantat. Ni Keng Giau berdiri sambil tersenyum aneh, tanpa menjawab. Lalu mengeloyor pergi begitu saja sambil menggenggam segenggam berodolan ronce tombak.

Si tui-thio mengikuti langkahnya sambil bertanya, "Goan-swe, bagaimana dengan latihannya? Dilanjutkan apa tidak?”

Ni Keng Giau tiba-tiba membalik tubuh, berdiri dengan tegap dan membentak gusar, "Latihan? Kau kira perang di Jing-hai itu cuma main-main? Bahkan negara sebesar Rusia juga ikut mendalangi pemberontakan itu? Tapi, lihat, Jing-hai berhasil kutaklukkan!”

Sambil menengadah bangga, ia melambaikan tangan menunjuk ke sekitar lapangan. Sedang si tui-thio kebingungan dan berhenti menggaruk pantarnya, "Lalu.... lalu.... bagaimana dengan pasukan ini?"

"Atur barisan, kibarkan semua bendera kemenangan. Lalu.... berbaris ke Pak-khia!"

"Berbaris ke Pak-khia?!" kopral itu terkesiap. “Berbaris ke Pak-khia? Apakah maksud Goan-swe, panggung ini pura-puranya dianggap Pak-khia dan setelah kita menang perang lalu berkumpul kembali di sini, begitu?"

Dari mulut Ni Keng Giau keluarlah jawaban yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaannya, "Setelah pelantikanku di Pak-khia, pasukan akan langsung berbaris ke Seng-toh, ibukota Se-cuan. Di sana aku akan mulai memerintah sebagai raja muda dengan gelar It-teng-kong!"

Habis berkata demikian, Ni Keng Giau melangkah meninggalkan lapangan dengan langkah lebar dan anggun. Sebelah tangannya masih menggenggam berodolan ronce tombak, ditinggalkannya si tui-thio berdiri terlongong-longong.

“Apa-apaan ini?" gerutu si tui-thio sendirian sambil menatap punggung Ni Keng Giau yang menjauh. “Tadinya dia baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba mengeluarkan perintah yang tak keruan ini?"

Karena merasa tak mampu sendirian mengartikan kata-kata Ni Keng Giau itu, tui-thio itu lalu melangkah ke arah teman-temannya yang sedang berteduh di bawah pohon.

"Bagaimana?" sambut seorang kawannya.

"Atur barisan, naikkan bendera, lalu berbarislah ke Pak-khia. Setelah pelantikan, dari Pak-khia ke Seng-toh!"

"Apa?!" hampir semua perajurit yarg masih kelelahan itu berseru kaget dan melompat bangun. "Memangnya jarak dari Hang-ciu ke Pak- khia langsung ke Seng-toh itu dekat?"

"Kenapa tidak sekalian diperintahkan San-hai-koan, lalu menyusuri tembok besar agar kaki kita patah semua?!"

Beberapa saat para perajurit itu ribut membicarakan perintah tak masuk akal itu. Di antara komentar-komentar yang serabutan itu akhirnya muncul satu usul yang paling masuk akal, "Bagai mana kalau kita laporan kepada Cong-peng saja?"

Semua perajurit berseru setuju. Begitulah, para perajurit bukannya berbaris ke Pak-khia, melainkan ke gedung Cong-peng-hu untuk laporan kepada Panglima Hang-ciu yang bernama Kang Bun Hou. Sang Panglima juga tak mampu memecahkan soal itu lalu menyuruh bubaran saja.

Dari Cong-peng-hu para perajurit tidak berbaris ke Seng-toh, ibukota Se-cuan, tapi ke warung arak. Di sana ada makanan enak. Dan berangkatnya tidak usah mengibarkan bendera segala. Dari warung arak itu sekaligus beredar meluuaslah cerita tentang "keanehan" pelatih baru di Hang-ciu itu.

Hari-hari berikutnya Ni Keng Giau tetap menjalankan tugasnya sebagai pelatih. Kadang-kadang waras, kadang-kadang sinting. Sial buat regu-regu perajurit yang kebagian giliran latihan selagi pelatihnya kumat, sebab mereka akan mendapat instruksi yang tak keruan. Tetapi bagi yang mengikuti latihan selagi Ni Keng Giau waras, haruslah mengakui bahwa taktik-taktik perang baru yang diajarkan Ni Keng Giau itu bermutu cu kup tinggi.

* * * *

Warung arak di dekat tangsi itu cukup laris, siang maupun malam. Sebagian besar pengunjungnya adalah perajurit-perajurit yang tidak sedang bertugas, namun ada juga orang-orang lain yang bukan perajurit.

Dengan langkah lamban dan pandangan kosong, Ni Keng Giau masuk ke warung itu, diiringi seorang perajurit yang berjalan di belakangnya. Sesaat la hanya berhenti melangkah dan berdiri di ambang pintu, tatapan matanya yang tanpa gairah nampak agak kebingungan melihat suasana tempat itu. Itulah pertama kalinya ia berkunjung ke situ.

Beberapa perajurit yang sudah setengah mabuk, mengangkat cawan araknya tinggi-tinggi sambil berteriak, "Mari, Goan-swe! Nikmati arak di sini, lumayan rasanya!"

Para perajurit memang sudah dikenal oleh si pemilik warung, karena jadi langganan di situ, namun Ni Keng Giau belum dikenalnya. Pemilik warung itu heran mendengar panggilan "Goan-swe" (jenderal) terhadap Ni Keng Giau. la lihat pakaian Ni Keng Giau tak berbeda dengan perwira-perwira rendahan, apakah ini seorang jenderal yang menyamar?

Tapi karena Ni Keng Giau berdiri tepat di ambang pintu yang sempit, sehingga mengganggu keluar masuknya para pengunjung warung, maka si pemilik warung memberanikan diri untuk mendekati Ni Keng Giau sambil terbungkuk-bungkuk hormat. Katanya, "Hamba sungguh berbahagia, sehingga Goan-swe berkenan mengunjungi tempat hamba yang buruk ini. Kalau Goan-swe berkenan, silahkan Goan-swe memilih tempat duduk, hamba akan melayani Goan-swe sehingga.... hah, apa?!"

Kiranya, selagi si tukang warung bicara, ia melihat isyarat dari perajurit yang berdiri di belakang N i Keng Giau. Perajurit itu menempelkan jari telunjuknya miring di jidatnya sendiri, sambil menunjuk-nunjuk punggung N i Keng Giau.

Sebenarnya saat itu Ni Keng Giau sedang terbuai sanjung puji si tukang warung yang melambungkannya ke awang-awang. Tapi ia heran ketika si tukang warung mendadak berhenti bicara dan memandang ke belakang Ni Keng Giau sambil menjulur-julurkan leher dan membelalakkan mata. Ni Keng Giau ikut menoleh ke belakang, dan perajurit di belakangnya buru-buru pura pura mengusap-usap jidatnya seolah baru saja kejatuhan kotoran cecak.

"Ada apa?" tanya Ni Keng Giau kepada perajurit itu.

"Tidak.... tidak apa-apa, Goan-swe.." si perajurit menjawab dengan gugup, lalu cepat-cepat mengalihkan perhatian. "Eh, itu, di sana ada tempat duduk kosong, Goan-swe...."

Setengah menuntun setengah mendorong, perajurit itu mengajak Ni Keng Giau menuju ke tempat kosong itu. Lalu si Perajurit segera memesankan arak dan beberapa macam makanan. Si tukang warung menyiapkan pesanan, masih dengan perasaan kurang paham. Para perajurit memanggil orang baru itu dengan sebutan "goan-swe" tapi kenapa bersikap begitu tidak hormat Perajurit yang mengantarnya pun tidak mempersilahkan dengan hormat, tapi mendorong-dorong punggungnya.

"Jenderal macam apa ini?" pikir si tukang warung. “Ini pastilah si pelatih sinting yang sering dibicarakan para perajurit itu. Baru sekarang aku melihat orangnya."

Setelah beberapa cangkir arak ditenggak, mulailah Ni Keng Giau berbicara dengan suara keras, sehingga seisi warung mendengarnya semua, la berkisah tentang masa kejayaannya, saat jutaan perajurit tunduk semua kepada perintahnya hanya dengan isyarat ujung jarinya, bagaimana dia menghancurkan musuh di Jing-hai, bagaimana Kaisar Yong Geng sendiri menganggapnya sebagai saudara!

Para perajurit banyak yang menjadi jemu, sebab cerita itu sudah diulang entah berapa kali, ya begitu-begitu saja. Namun ada juga yang merasa iba kepada Ni Keng Giau, lalu berpura-pura mendengarkan agar Ni Keng Giau merasa diperhatikan. Tengah asyik-asyiknya bercerita, tiba-tiba wajah Ni Keng Giau memucat, matanya terbelalak menatap pintu warung, mulutnya bungkam seketika. Sesaat kemudian, barulah ia mendesiskan kata-kata bernada ketakutan,

"Hantu... hantu oh, tidak. Bukankah kau seharusnya sudah mati di Jing-hai?" Dan tubuhnya seolah membeku menjadi patung di kursinya.

Banyak pengunjung warung ikut menoleh ke pintu untuk melihat macam apa "hantu" itu. Ternyata cuma dua orang lelaki yang sama sekali tidak menakutkan. Yang satu berusia kira-kira empat puluh tahun, bertubuh ramping, kulitnya yang bersih dan kerapian kumis serta jenggotnya membuat ia bertampang ningrat. Jubahnya sederhana tapi rapi. Yang seorang lagi adalah pemuda berusia kira-kira duapuluh tahun, menggendong pedang di punggungnya, tatapan matanya menyala, menunjukkan wataknya yang keras.

Kedua orang itu sebenarnya hendak memasuki warung dengan maksud yang wajar saja, untuk makan minum. Namun begitu melihat Ni Keng Giau, pemuda itu sikapnya menjadi beringas, tangan kanannya dengan gerak kilat telah menjangkau tangkai pedangnya, siap untuk menghunusnya.

Tapi gerakannya tertahan oleh lelaki bertampang keningratan itu, yang cepat-cepat memegang pundak pemuda itu, lalu menariknya menjauhi warung sambil membisiki si pemuda. "Tahan ke marahanmu, A-hai. Di tempat ramai dan di siang hari bolong macam ini, bukan hal tepat untuk melakukan tindakan yang menarik perhatian."

Si pemuda nampak masih penasaran, tapi enggan membantah orang yang lebih tua itu. Sambil melangkah menjauhi warung itu, ia masih sering menoleh ke warung dengan tatapan penuh kemarahan. Gerutunya, "Inilah kedua kalinya bangsat Ni Keng Giau lepas dari pedangku. Hem, keenakan dia."

"Jangan gegabah, A-hai. Ingat, sekali timbul keributan, jejak kita akan menarik perhatian penguasa militer kota ini, dan berarti kesulitan bagi kita. Ingat, kita ini buronan bukan? Lagipula, kakekmu takkan setuju kalau kau bunuh Ni Keng Giau dalam keadaan yang sekarang ini."

"Kenapa? Dosa orang she Ni itu sudah terlalu bertumpuk-tumpuk, entah berapa banyak orang tak berdosa yang menjadi korbannya. Kakek sendiri pernah dikhianatinya di Hek-liong-kang. Paman sendiri juga pernah mengalami penghinaan dan penindasannya ketika ikut dalam pasukan yang menggempur Jing-hai, kenapa sekarang Paman mencegahku membunuh dia?"

"Karena dia sudah jatuh, bahkan nampaknya otaknya sudah tidak waras. Tidak terlalu kejamkah kita kalau masih juga ingin membalas dendam kepada seseorang yang sudah cukup menderita seperti dia?”

Pemuda itu, Tong Hai Long, akhirnya cuma bisa menggerutu dalam hati, Kakek Liong dan Paman In Te terlalu bermurah hati tapi tidak kepada orang yang tepat. Ni Keng Giau adalah serigala yang tega menggunakan cara sekotor apapun untuk mencapai tujuannya. Inilah barangkali penyebab utama kenapa Kakek Liong dan Paman In Te kalah dalam perebutan kekuasaan, sebab terlalu berperasaan dan terlalu menuruti peraturan. Bahkan terhadap orang yang patut dibenci sekalipun.”

Tapi ia tidak membantah lagi ketika In Te, yang emoh disebut "pangeran” lagi itu, terus menuntunnya menjauhi warung tadi. Saat itu mereka berada di Hang-ciu dalam rangka perjalanan ke Pak-khia. Bukan karena In Te kembali berkecimpung dalam kancah perebutan kekuasaan, melainkan untuk menghubungi pendukung-pendukung setianya agar mengalihkan dukungan mereka kepada Pangeran Hong lik saja.

Pangeran Hong-lik dianggap pantas didukung, sedang In Te sudah rela melepaskan semua peluang bagi dirinya sendiri. Inilah yang diam-diam kurang disetujui oleh Tong Hai Long. Kaisar Yong Ceng berhasil mendapatkan tahta dengan cara yang curang, kok malah sekarang akan dibantu diam-diam untuk mewariskan tahta kepada keturunannya?

Tapi kalau Tong Hai Long mengutarakan protesnya, ia malah akan dihujani petuah panjang lebar oleh Kakeknya atau oleh In Te sendiri. Tentang keluhuran budi Pangeran Hong Lik, dan hendak nya jangan dilihat sebagai keturunan Yong Ceng yang kejam, dan sebagainya. Bahkan ayah ibu Tong Hai Long, saudara kembarnya, Se-bun Hong-eng, semuanya nampaknya juga sepaham dengan In Te.

Mereka tiba di sebuah penginapan 'yang letaknya agak tersembunyi dari jalan besar, dan langsung menuju ke salah satu ruangan di bagian belakang. Di dalam ruangan itu, ternyata sudah nampak Pak Kiong Liong, Tong San Hong dan Se-bun Hong-eng yang sedang bercakap- cakap sambil minum teh.

“Lho,kenapa secepat ini kalian kembali?" tanya Pak Kiong Liong heran, ketika melihat In Te dan Tong Hai Long memasuki ruangan itu.

Tong Hai Long yang menyahut, "Kakek, baru saja aku kehilangan kesempatan bagus untuk membunuh si durjana Ni Keng Giau itu. Sayang sekali, Paman In Te mencegah aku."

Lebih dulu In Te mengambil tempat duduk, baru berkata, "Memang kucegah A-hai bertindak sembrono. Selain akan merepotkan kita kalau jejak kita sampai menarik perhatian pihak penguasa, juga sudah tidak ada gunanya kini saat ini mencincang Ni Keng Giau sekalipun."

"Tapi kita lalu berarti membiarkan kejahatan Ni Keng Giau tak terhukum!" bantah Tong Hai Long yang masih penasaran.

Pak Kiong Liong mengelus jenggotnya yang memanjang seperti helai-helai benang perak, sambil menyabarkan nya itu, "Siapa bilang tak terhukum? Memang bukan tangan kita yang menghukumnya, tapi dia jelas sudah terhukum. Buat orang yang sombong dan ambisius macam dia, kejatuhannya dari kedudukannya itu pasti lebih menyakitkan dari hukuman macam apapun. Buktinya, jiwanya tidak tahan sehingga menunjukkan tanda tanda kegilaan. Tapi kita tidak boleh membiasakan diri untuk mensyukuri kecelakaan orang lain, apalagi ikut-ikutan menambah berat penderitaan, biarpun terhadap musuh. Itu tidak perlu, merugikan diri kita sendiri, merusak watak kita sendiri.”

Tong Hai Long menunduk mendengar kata-kata kakeknya itu. Sementara Pak Kiong Liong melanjutkan, "Dengan bercermin pada diri Ni Keng Giau, kita harus mewaspadai diri sendiri. Sejarah mencatat, tidak jarang suatu cita-cita yang mulanya nampak benar dan luhur, bersih dari kepentingan pribadi, tahu-tahu dalam prosesnya ketujuan tak terasa mulai diboncengi ambisi-ambisi pribadi yang mulanya tidak kentara. Akhirnya, pencapaian cita-cita perjuangan yang semula lalu bercampur aduk dengan perjuangan untuk diri sendiri. Tak jarang cita-cita luhur yang semula malahan terdesak minggir atau lenyap sama sekali. Artinya, pencapaian sasaran jadi melenceng dari arah yang semula,"

In Te mengangguk-anggukkan kepala dan ikut berkomentar, "Betul, Paman. Contoh paling nyata ya Ni Keng Giau itu. Dulu dia mengabdi dengan tulus kepada Kakanda Yong Ceng. Dan seandainya sampai sekarang ia masih memiliki ketulusan itu, tentunya mengabdi dalam keadaan apa saja akan dilakukannya dengan senang hati. Tapi karena dia sudah jadi ambisius dan gila hormat, maka ketika dia kehilangan apa yang membuatnya dihormati, sintinglah dia. Sedangkan contoh pengabdian yang tulus adalah Paman Pak Kiong Liong sendiri. Sebagai Panglima Hui-liong-kun dulu, Paman mengabdi sebaik-baiknya dan tetap mengutamakan keselamatan negara. Ketika paman dilucuti, bahkan hidup sebagai buronan pun, tujuan hidup Paman tetap tak tergeser, tetap mengutamakan keutuhan dan keselamatan negara. Pengabdiannya tidak terpengaruh apakah sedang memangku pangkat atau tidak."

Pak Kiong Liong tersenyum dan balas memuji. "Dan kau sendiri, In Te. Rela melepaskan semua gelar kebangsawanan, semua pendukung, untuk memberi peluang kepada Pangeran Hong Lik melangkah ke tahta, tidak peduli dia adalah anak dari seorang yang telah merampas hakmu secara curang. Kau lakukan itu karena ingin menjaga keutuhan negara juga bukan?"

Pak Kiong Liong dan In Te lalu bertukar senyuman. Rasanya mereka berhak juga menikmati sedikit rasa bangga, karena berhasil mengalahkan lawan terberat, ambisi pribadi mereka. Sehingga biarpun mereka terpental dari pusat kekuasaan serta menjadi orang-orang buangan, tapi tidak perlu sampai menjadi sinting seperti Ni Keng Giau. Bagi mereka, Kedudukan setinggi apapun takkan berarti kalau tak memberi arti bagi kesejahteraan banyak orang. Pangkat bukan hak untuk bernikmat-nikmat melebihi orang lain, tapi malah menjadi kewajiban yang lebih berat dari orang lain.

Sedang Tong Hai Long yang masih muda, kata orang darahnya masih panas, memang tidak gampang menerima sikap mengalah macam itu. Kendati sudah tersudut, ia masih coba membantah juga, "Kalau tidak boleh mendendam, kenapa sampai sekarang kita masih juga mencari-cari Pangeran In Tong yang telah mengkhianati Kakek Tong Lam Hou?"

Pak Kiong menjawab, "Pengejaran kita terhadap ln Tong bukan karena kita ini budak-budak dendam, tapi bisa dikembalikan ke dasar keselamatan umum juga. In Tong seorang yang berilmu tinggi, ambisius dan cerdik, tapi bahayanya, dia itu tidak bermoral. Kalau dibiarkan berkeliaran bebas di kolong langit, entah berapa banyak orang yang bakal menjadi korbannya. Dia akan memperjuangakn ambisinya tanpa tanggung tanggung, tanpa menghitung berapa pun korban manusia yang bakal jatuh, apakah kita bisa tenteram hati membiarkan orang macam dia berkeliaran bebas di masyarakat?”

”Benar. Kakanda In Tong seperti seekor harimau yang tak pernah kenyang, yang senantiasa merunduk di antara rumput-rumput ilalang untuk menunggu korbannya.”

Tong Hai Long bungkam mendengar debatan itu. Pembicaraan pun kemudian beralih ke diri Wan Lui, si pemuda dari Liau-tong. Tong San Hong sudah menceritakan kepada kakeknya, betapa pemuda itu mampu memainkan Thian-liong-kun-hoat dan Hwe-liong-sin-kang lebih hebat dari cucu-cucu Pak Kiong Liong sendiri. Maka Pak Kiong Liong harus bicara untuk tidak membiarkan cucu-cucunya berkecil hati.

”Bukan karena kalian kalah bakat, atau aku pilih kasih dalam menurunkan ilmu, sehingga Wan Lui jadi lebih matang dari kalian. Tapi bukankah pernah kukatakan banyak sekali, bahwa kalian belajar terlalu banyak macam ilmu silat. Kalau cuma mempelajari ilmuku dan ilmu kakek Tong Lam Hou masih tidak apa-apa, tapi kalian juga belajar dari banyak tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang memiliki ilmu khas masing-masing. Sedang Wan Lui cuma mempelajari ilmuku. Itulah sebabnya dia menang dalam kematangan, tapi kalah dalam keaneka-ragaman. Kalian tidak perlu penasaran."

Tong San Hong dapat lebih dingin menerima penjelasan itu, hanya Tong Hai Long yang masih tetap penasaran. Urusan dengan Wan Lui bukan cuma urusan ilmu silat, tapi menyangkut dengan Se-bun Hong-eng juga. Selagi Tong Hai Long susah-susah menaksir gadis itu, eh, tahu-tahu muncullah Wan Lui yang agaknya berhasil merebut perhatian Se-bun Hong-eng. Lelaki muda yang sedang mabuk asmara mana yang tidak panas hatinya? Mau ilmu silat Wan Lui setinggi langit pun ia takkan ambil pusing kalau tidak menyangkut Se-bun Hong-eng.

Sementara Pak Kiong Liong bercerita tentang pengangkatan Wan Lui sebagai muridnya dulu, nampak Se-bun Hong-eng menatap dan mendengarnya dengan penuh perhatian, matanya bersinar-sinar. Keruan Tong Hai Long semakin uring-uringan dalam hati. Kalau tahu akan begini "malang" nasibnya, lebih baik dulu-dulu tidak usah mampir ke Lok-yang segala untuk mengajak Se-bun Hong-eng.

Tanpa mengetahui perasaan cucunya, Pak Kiong Liong terus bercerita tentang Wan Lui dengan penuh kebanggaan bercampur harapan. Perasaan jago tua itu tak berbeda dengan perasaan seorang petani ketika melihat benih yang ditanamnya mulai tumbuh, bahkan akan menjadi pohon yang kokoh kuat. Itu kebanggaannya. Sedang harapannya ialah kelak Wan Lui dengan segala kelebihannya akan menjadi orang yang berguna buat banyak orang, bukan sebaliknya menjadi bencana.

Selagi orang-orang dalam ruangan itu asyik berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar piniu ruangan itu diketuk dari luar. Reaksi khas para buronan yang selalu merasa tidak aman, segera menghinggapi orang-orang dalam ruangan itu. Bungkam seketika sambil berwaspada. Mereka tidak segera membuka pintu, namun saling pandang dengan waspada.

Tapi ketegangan pun mencair, ketika dari luar pintu terdengar suara tertawa perlahan, dan kata-kata bernada canda, "Eh, kenapa kalian jadi seperti jangkrik-jangkrik tersiram air?"

"Itu Paman Lu Kan San!" kata Tong Hai Long, yang langsung melompat ke pintu untuk membukanya, tanpa menunggu persetujuan yang lain-lainnya.

Begitu pintu dibuka, nampak seorang lelaki berusia kira-kira limapuluh tahun. Rambut, alis dan jenggotnya sudah kelabu, namun kulit wajahnya masih segar. Pundaknya tegap, namun punggungnya agak bungkuk. Pakaiannya sederhana, sesuai dengan peranannya saat itu sebagai pedagang buah-buahan. Sebuah pikulan yang berisi macam-macam buah nampak diletakkannya di samping pintu.

"Silahkan masuk, Lu Tong Cu!" kata Pak Kiong Liong sambil tertawa. "Berani taruhan, daganganmu pasti tidak laku!"

Semua orang diruangan itu tersenyum mendengar kelakar hangat itu. Sedangkan Lu Kan San pura-pura menggerutu, "Dasar memang tidak bakat dagang. Jualanku didekati orang saja tidak, padahal penjual-penjual di kiri kananku dikerumuni pembeli...."

Selanjutnya,