X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 04 Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 04

Karya : Kho Ping Hoo

KAKEK itu adalah Pat-chiu Lo-mo (Iblis Tua Tangan Delapan) yang namanya di dunia kang-ouw terkenal sebagai seorang yang sakti. Selain ilmu tongkatnya yang hebat, dia pandai memainkan kipas yang kini dia pakai mengebuti badannya, sebagai senjata yang ampuh. Kipasnya itu disebut Yangliu-san (Kipas Cemara) karena bentuknya seperti pohon cemara.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
Selain itu, juga ilmunya menyambit dengan hui-to (belati terbang) amat dahsyat. Dia selalu membekali dirinya dengan tujuh batang belati yang dapat dia terbangkan menyerang lawan. Pada waktu itu, Pat-chiu Lo-mo merupakan seorang di antara para pembantu utama Pangeran Leng Kok Cun!

Di belakang kakek itu berjalan lima orang yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Lima orang ini bertubuh tinggi besar dan tegap, tampak gagah. Mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal dengan julukan Twa-to Ngo-liong (Lima Naga Bergolok Besar). Aneh kalau dilihat betapa kakek bongkok yang tampak berpenyakitan itu malah menjadi pimpinan lima orang yang tampak kokoh kuat itu! Setelah tiba di luar sel mereka berhenti dan kakek itu memandang ke arah Gui Tiong dan Bu Kong Liang.

“Kalian yang bernama Gui Tiong dan Bu Kong Liang?”

“Betul,” jawab Gui Tiong yang belum pernah bertemu dengan kakek itu karena memang Pat-chiu Lo-mo tidak pernah keluar dari istana Pangeran Leng Kok Cun.

“Nah, ketahuilah kalian berdua, bahwa kami datang sebagai utusan Pangeran Leng Kok Cun untuk bertanya kepada kalian. Kalian dipersilakan memilih satu di antara dua pilihan. Pertama, kalian akan diadili sebagai pemberontak-pemberontak dan pasti akan dihukum mati. Ada pun yang ke dua, kalian akan bebas dari tuduhan kalau kalian mau membantu Pangeran Leng dan melaksanakan segala perintahnya, dan kalian menerima imbalan yang amat berharga. Nah, kalian memilih yang mana? Menolak, berarti diadili dan dihukum mati, kalau menerima, mari menghadap Pangeran Leng malam ini juga!”

Melihat sikap kakek bongkok ini, Kong Liang sudah merasa tak senang. Dia bertanya dengan suara tegas. “Kalau kami mau, lalu disuruh melakukan apa?”

“Hal itu akan ditentukan oleh Pangeran sendiri! Bagaimana jawabanmu, Gui Tiong? Engkau menerima atau menolak tawaran Pangeran Leng?” tanya Pat-chiu Lo-mo.

“Kalau benar Pangeran Leng Kok Cun yang ingin agar kami membantunya, mengapa beliau tidak langsung saja menemui kami? Mengapa kami harus ditangkap lebih dulu dengan tuduhan yang bohong? Pula, bagaimana kami tahu bahwa engkau diutus oleh Pangeran Leng? Kami tidak mengenalmu, sobat,” kata Gui Tiong yang bersikap hati-hati.

“Hemm, bagaimana mungkin Pangeran Leng merendahkan diri berkunjung ke rumahmu, Gui Kauwsu? Tuduhan itu bukan fitnah. Engkau telah menyembunyikan pemuda ini yang memberontak dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Dan engkau belum mengenal aku? Aku dikenal sebagai Pat-chiu Lo-mo, yang bekerja membantu Pangeran Leng. Cukuplah, cepat beri keputusan. Engkau menolak atau mau kubawa menghadap Pangeran Leng sekarang juga?”

Kini Gui Tiong dapat menduga bahwa penangkapan ini tentu atas perintah Pangeran Leng yang besar kekuasaannya. Teringatlah dia akan cerita Bu Kong Liang betapa pemuda itu pernah bentrok dengan dua orang jagoan kaki tangan Pangeran Leng, yaitu Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin. Tentu karena itulah Kong Liang dianggap sebagai pemberontak.

Akan tetapi sesungguhnya pemuda itu bukan pemberontak, melainkan tanpa alasan dihadang dan diserang pasukan yang dipimpin dua orang jagoan itu. Dia mengerti bahwa kalau menolak, nyawa mereka pasti tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi kalau menyerah, apakah dia dan keponakan muridnya harus membantu Pangeran Leng yang bersaing dengan para pangeran lain untuk menjadi pengganti Kaisar?

Melihat paman gurunya bimbang dan ragu, Kong Liang menyentuh pinggangnya sebagai isyarat dan berkata, “Susiok, kita terima sajalah dan menghadap Pangeran Leng!”

Gui Tiong maklum bahwa penyerahan diri Kong Liang ini mungkin hanya siasat pemuda itu. Akan tetapi, kakek itu adalah seorang yang cerdik. Dia pun maklum dan dapat menduga bahwa mungkin setelah keluar dari situ dan dibawa ke istana Pangeran Leng, dua orang ini akan melawan dan melarikan diri. Dia sudah mendengar akan kelihaian para murid Siauw-lim-pai ini, maka kalau benar seperti yang dia duga, berarti dia membahayakan diri sendiri.

Kalau mereka sampai lolos, tentu dia mendapat marah besar dari majikannya! Biarpun dia sudah mengajak Twa-to Ngo-liong dan di luar masih ada dua losin prajurit yang akan mengawal dua orang tawanan ini menuju istana Pangeran Leng, namun kalau dua orang ini mengamuk, tetap saja ada bahayanya mereka atau seorang dari mereka dapat lolos! Akan tetapi, kakek bongkok ini tidak merasa khawatir, malah tertawa terkekeh-kekeh.

“Heh-heh-heh, jangan kalian berniat yang bukan-bukan. Cepatlah karena puterimu juga sudah menanti di sana, Gui Kauwsu!”

Wajah Gui Tiong berubah pucat. “Apa? Anakku Siang Lin juga kalian tawan? Apa salahnya? Awas kalau ada yang berani mengganggu anakku!” teriaknya marah.

Kong Liang juga terkejut mendengar ini dan dia mengepal tinju. Memang tadi dia memberi isyarat kepada paman gurunya dengan maksud untuk mengajak paman gurunya memberontak dan melawan di tengah perjalanan menuju istana Pangeran Leng dan melarikan diri. Akan tetapi mendengar bahwa Siang Lin telah berada di tangan mereka, tentu saja dia pun merasa tidak berdaya!

“Heh-heh-heh, jangan marah dan jangan khawatir, Gui Kauwsu. Puterimu hanya diundang ke sana untuk meyakinkan kalian bahwa Pangeran Leng berniat baik. Kalau kalian bersedia menjadi pembantunya dan menaati semua perintahnya, pasti semua berjalan dengan baik. Mari kita berangkat karena beliau sudah menunggumu! Bagaimana, engkau bersedia, Gui Kauwsu?”

Gui Tiong merasa tidak berdaya sama sekali. Kini puterinya disandera, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah. “Baiklah, Lo-mo, aku siap menghadap Pangeran Leng. Akan tetapi pemuda ini tidak ada urusannya denganku, maka harap dia segera dibebaskan. Aku yang siap membantu Pangeran Leng!”

“Tidak!” Bu Kong Liang berseru. “Aku yang menyebabkan semua ini maka aku harus ikut bertanggung jawab!”

“Bagus!” kata Pat-chiu Lo-mo. “Memang Pangeran Leng menghendaki kalian berdua yang ikut menghadap beliau!”

Kakek bongkok itu lalu memberi tanda kepada kepala penjara yang segera membuka pintu sel tahanan itu. Gui Tiong dan Bu Kong Liang keluar dan dibawa keluar. Di luar sudah menanti dua losin prajurit dan kedua orang murid Siauw-lim-pai itu lalu dikawal menuju istana Pangeran Leng. Kalau saja Siang Lin tidak berada di tangan Pangeran Leng, sudah pasti dua orang murid Siauw-lim-pai itu akan memberontak dan melarikan diri. Mereka tidak gentar menghadapi enam orang jagoan dan dua losin prajurit itu. Akan tetapi ditawannya Siang Lin membuat mereka tidak berdaya, tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah dan menurut.

Setelah tiba di gedung berupa istana megah itu, Gui Tiong dan Kong Liang dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang diterangi banyak lampu besar dan ruangan itu luas dan terhias perabot rumah yang serba indah. Di situ telah duduk Pangeran Leng Kok Cun. Di luar ruangan itu berjaga banyak prajurit pengawal dan di belakang. Sang Pangeran duduk pula berjajar belasan orang yang tampaknya gagah dan menyeramkan.

Gui Tiong sudah pernah melihat Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi Bu Kong Liang baru sekarang melihatnya dan dia memandang penuh perhatian. Pangeran itu mengenakan pakaian yang indah gemerlapan. Usianya sekitar empat puluh tiga tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, akan tetapi matanya yang lincah dan tajam itu membayangkan kecerdikan, wibawa, dan kekuatan. Tidak mungkin orang yang memiliki pandang mata seperti itu adalah seorang yang lemah, pikir Kong Liang.

“Kalian berdua duduklah!” kata Sang Pangeran mempersilakan dua orang itu duduk di atas kursi-kursi yang terdapat di situ.

“Terima kasih, Pangeran.” Mereka berkata dan keduanya duduk berhadapan dengan Sang Pangeran. Melihat betapa pangeran itu mempersilakan mereka duduk di atas kursi berhadapan dengannya, tidak harus berlutut di atas lantai, Gui Tiong diam-diam memuji pangeran ini sebagai orang yang pandai mengambil hati orang. Dia menjadi semakin hati-hati karena sikap ini saja sudah membayangkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang cerdik sekali.

“Apakah kalian berdua sudah mendengar keterangan Locianpwe Pat-chiu Lo-mo tentang mengapa kalian kini dihadapkan kepadaku di sini?” tanya pangeran itu, suaranya lembut dan manis.

“Saya sudah mendengar dan mengerti, Pangeran. Akan tetapi sebelum kita bicara lebih lanjut, saya mohon dapat diperbolehkan melihat apakah benar anak perempuan saya berada di sini.”

“Hemm, ternyata engkau seorang yang cerdik dan tidak mudah dibohongi, Gui Kauwsu. Hal ini semakin memperkuat harga dirimu sebagai pembantu kami yang dapat dipercaya. Ketahuilah bahwa kami bukan tukang berbohong. Tentu saja engkau boleh melihat puterimu agar yakin bahwa puterimu berada di tangan kami yang menanggung keselamatannya.”

Pangeran Leng memberi isyarat kepada seorang pengawal yang duduk di belakang. Orang itu, yang bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar, memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, daun pintu yang menembus ruangan itu terbuka dan di ambang pintu muncul Gui Siang Lin dengan kedua kakinya memakai gelang rantai baja yang panjang dan di belakang gadis itu terdapat lima orang menodongkan pedang mereka ke arah gadis itu!

“Siang Lin...!” Gui Tiong berseru khawatir.

“Tenanglah, Ayah!” kata gadis itu dengan suara lantang dan berani. “Dan jangan Ayah menurut saja kalau disuruh melakukan hal yang berlawanan dengan suara hati Ayah. Lebih baik aku mati daripada Ayah harus melakukan perbuatan yang jahat. Aku tidak takut mati, Ayah!”

Mendengar ini, Pangeran Leng cepat memberi isyarat dan daun pintu itu ditutup kembali. Gui Tiong hanya mendengar rantai yang tergantung di kaki puterinya itu diseret ketika gadis itu meninggalkan ruangan itu.

“Ha-ha-ha, ayahnya naga, puterinya juga naga! Sungguh mengagumkan sekali! Akan tetapi kalau engkau tidak mau membantu kami, terpaksa dengan hati berat aku akan menyerahkan puterimu kepada puluhan orang prajurit yang boleh berbuat apa saja terhadap dirinya, bahkan sampai mati! Ia akan tersiksa lahir batin sampai mati, dan kalian berdua juga tidak akan terbebas dari hukuman mati!”

Ancaman ini hebat sekali. Kong Liang sendiri biarpun tidak takut mati, menjadi ragu apakah dia akan melawan dengan kekerasan kalau keselamatan Gui Tiong dan Gui Siang Lin terancam. Terutama sekali ancaman terhadap Siang Lin membuat dia bergidik ngeri dan juga membuat mukanya menjadi merah saking marahnya.

“Baiklah, demi keselamatan anak saya, saya menyerah dan bersedia membantu Pangeran. Akan tetapi, pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?” tanya Gui Tiong.

“Nanti dulu, yang kami kehendaki adalah agar kalian berdua yang menyerah dan membantu kami, taat akan perintah kami. Sekarang, engkau belum menyatakan kesediaanmu membantu kami, Bu Kong Liang. Ingatlah, engkau pernah membunuh prajurit kerajaan. Kalau engkau menolak untuk membantu kami, berarti engkau memang seorang pemberontak yang menentang kerajaan kami. Kalau engkau bukan pemberontak, tentu engkau akan dengan senang membantu kami!”

Bu Kong Liang mengerutkan alisnya dan merasa tidak berdaya. Dia tahu sekarang bahwa tentu dua orang anak buah pangeran ini, Phang Houw dan Louw Cin yang pernah mengerahkan prajurit mengeroyoknya, tentu melaporkan kepada Pangeran Leng. Boleh saja dia menyangkal bahwa yang membunuh prajurit bukan dia melainkan Ang-mo Niocu, akan tetapi apa gunanya? Tetap saja dia harus menyerah dan menurut, kalau tidak, tentu Gui Tiong dan Gui Siang Lin akan celaka. Maka, dia pun diam saja dan menyerahkan percakapan itu kepada susioknya.

Setelah menghela napas panjang, Gui Tiong berkata, “Baiklah, Pangeran, untuk membuktikan bahwa kami sama sekali bukan pemberontak, kami menyerah dan akan menaati perintah Paduka dan bersedia untuk membantu.”

“Ha-ha-ha, bagus! Kalau begitu, akulah yang akan melindungi kalian dan tidak ada yang berani menuduh kalian pemberontak. Kalian adalah pembantu-pembantuku, tidak mungkin memberontak!”

“Terima kasih, Pangeran. Harap Paduka jelaskan, perintah apa yang harus kami lakukan?” tanya Gui Tiong dengan perasaan amat tidak enak.

“Jangan tergesa-gesa. Malam ini kalian beristirahatlah. Besok baru akan kami beritahukan, apa yang harus kalian lakukan untuk kami.” Pangeran Leng lalu berkata kepada Pat-chiu Lo-mo untuk membawa dua orang murid Siauw-lim-pai itu ke kamar mereka.

Gui Tiong dan Bu Kong Liang lalu dikawal Pat-chiu Lo-mo, Twa-to Ngo-liong dan ditambah empat orang pengawal lain dari mereka yang duduk di belakang Pangeran Leng, masuk ke dalam dan ternyata mereka mendapatkan kamar yang terpisah. Mereka terkejut dan kecewa akan tetapi tidak dapat menolak dan begitu memasuki kamar masing-masing, kamar yang tidak berapa besar namun cukup bersih dan perabotnya serba mewah, mereka berdua lalu duduk bersila di atas pembaringan untuk mengendalikan perasaan dan mengumpulkan tenaga. Dalam keadaan seperti itu, mereka harus selalu tenang dan sehat agar kalau sewaktu-waktu harus bertanding, mereka sudah siap.

Agak sukar bagi kedua orang itu untuk dapat tidur pulas. Gui Tiong lalu membayangkan puterinya dan hatinya merasa khawatir bukan main. Sedangkan Bu Kong Liang memikirkan nasib ayah dan anak itu. Mereka tertimpa malapetaka karena kunjungannya ke rumah mereka. Andaikata dia tidak datang berkunjung, tentu Gui Tiong dan puterinya masih berada di rumah mereka dalam keadaan selamat. Dia merasa menyesal bukan main dan mengambil keputusan dalam hatinya untuk membela ayah dan anak itu sekuat tenaga.

Pada keesokan harinya juga mereka belum ditemui Pangeran Leng. Mereka diperlakukan dengan baik, bahkan diberi kesempatan bertemu dengan Gui Siang Lin. Gadis itu berada dalam sebuah kamar lain yang pintunya berterali kokoh kuat. Dari luar pintu, mereka dapat melihat keadaan dalam kamar itu yang indah dan bersih. Gui Tiong dapat bicara dengan puterinya melalui daun pintu itu dan diberi waktu beberapa lamanya oleh para prajurit yang mengawal mereka. Lega hatinya ketika Gui Tiong melihat betapa puterinya berada dalam keadaan sehat.

“Engkau baik-baik saja, Siang Lin?” tanya Gui Tiong.

Gadis itu mengangguk. “Mereka memperlakukan aku dengan baik dan sopan sebagai seorang tamu, Ayah. Bagaimana dengan Ayah dan Bu Suheng?”

“Kami pun baik-baik saja,” kata Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk kepada gadis itu ketika mereka saling berpandangan.

“Ayah, apakah artinya penangkapan ini? Apakah rencana Pangeran Leng terhadap kita bertiga?”

Gui Tiong menghela napas panjang. “Kami diminta untuk menyerah dan mau menjadi pembantu Pangeran Leng dan menaati semua perintahnya.”

“Perintah apa yang diberikan kepada Ayah dan Suheng yang harus kalian lakukan?”

“Kami belum tahu, belum menerima perintah melakukan sesuatu untuk Pangeran Leng.”

Pada saat itu, Gui Tiong merasa betapa lengannya disentuh Kong Liang. Dia menengok dan melihat pemuda itu menujukan pandang matanya ke arah kaki Siang Lin. Cepat Gui Tiong memandang dan melihat betapa kedua kaki puterinya tidak dibelenggu lagi, dia maklum isyarat apa yang diberikan pemuda itu. Setelah Siang Lin bebas tidak terbelenggu, tentu Kong Liang berpikir bahwa kini mereka bertiga dapat melawan dan melarikan diri dari situ.

Akan tetapi sejak tadi Gui Tiong telah melihat sesuatu dan kini dia memberi isyarat kepada Kong Liang dengan matanya mengerling ke atas. Pemuda itu memandang ke atas dan dia terkejut karena di atap kamar itu terdapat lubang-lubang dan tidak kurang dari enam batang anak panah tampak sudah siap diluncurkan ke bawah! Ini berarti bahwa di atas atap itu terdapat enam orang pemanah yang selalu siap menyerang Siang Lin.

Dan agaknya, betapa pun lihainya gadis itu, kalau berada dalam kamar dan diserang enam batang anak panah dan tentu saja dapat disusul anak panah berikutnya, sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri. Apalagi Kong Liang melihat betapa mata anak panah itu hijau kehitaman, tanda bahwa mata anak panah itu beracun!

Maklumlah Kong Liang bahwa Pangeran Leng yang cerdik telah mempersiapkan segala-galanya. Tidak mungkin bagi dia dan Gui Tiong untuk melawan karena akibatnya yang pertama adalah matinya Siang Lin dihujani anak panah beracun! Agaknya tidak ada jalan lain kecuali untuk sementara ini menyerah dan melaksanakan perintah Pangeran Leng!

Waktu yang diberikan kepala pengawal bagi mereka yang berbicara dengan Siang Lin habis dan mereka diminta untuk kembali ke kamar masing-masing. Sehari itu mereka mendapat makan minum yang cukup mewah, diantar ke kamar masing-masing. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk mandi dan pakaian Gui Tiong dan puterinya telah diambil dari rumah mereka dan diberikan kepada mereka. Juga buntalan pakaian Kong Liang diambil dari rumah Gui Tiong dan diberikan pemuda itu. Uang yang terdapat di buntalan itu dan juga senjata mereka berdua diserahkan juga!

Gui Tiong menerima sepasang goloknya dan Bu Kong Liang sepasang siang-kek (senjata tombak pendek bercabang) miliknya. Mereka berdua maklum bahwa Pangeran Leng yakin akan ketidak-berdayaan mereka berdua dan memang perhitungan pangeran itu tepat. Selama Siang Lin disandera, tentu saja mereka tidak berani melawan karena hal itu berarti tewasnya Siang Lin!

Malam itu mereka diundang makan malam oleh Pangeran Leng. Setelah mereka tiba di kamar makan yang luas, di sana telah duduk Pangeran Leng di kepala meja makan dan di situ hadir pula Pat-chiu Lo-mo yang bongkok, lima orang Twa-to Ngo-liong yang tinggi besar dan dua orang lain yang membuat Bu Kong Liang menjadi merah mukanya karena marah. Dua orang itu bukan lain adalah Hui-eng-to Phang Houw yang gemuk pendek dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang tinggi kurus! Mereka berdua itu hanya tersenyum ketika melihat Kong Liang memasuki ruangan bersama Gui Tiong.

“Ha, Gui Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Bu Enghiong (Pendekar Bu), silakan duduk dan mari makan bersama kami! Oh ya, perkenalkan ini Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin.”

Gui Tiong dan Kong Liang mengangguk dan mereka lalu mengambil tempat duduk di atas dua buah kursi yang agaknya memang disediakan untuk mereka.

“Kita makan dulu baru nanti membicarakan hal penting!” kata Sang Pangeran dan dia lalu bertepuk tangan. Sepuluh orang gadis pelayan yang muda dan cantik datang bagaikan sepuluh ekor kupu-kupu terbang dan mereka agaknya sudah diatur karena tanpa ragu mereka lalu masing-masing menghampiri seorang dengan gaya yang manis dan lembut sopan mereka menuangkan arak ke dalam cawan sepuluh orang itu. Mereka lalu makan minum, dilayani masing-masing oleh seorang pelayan yang membuat Bu Kong Liang merasa tidak tenang. Dia merasa canggung dan malu dilayani seorang gadis, hal yang belum pernah dia alami sepanjang hidupnya!

Setelah selesai makan minum, Pangeran Leng mengajak sepuluh orang itu ke sebuah kamar yang biasa dipergunakan untuk mengadakan rapat tertutup dan rahasia. Sekarang Gui Tiong dan Kong Liang melihat betapa ruangan-ruangan di mana mereka berdua berada tidak lagi terjaga pasukan pengawal dengan ketat. Mereka berdua maklum bahwa memang hal ini tidak perlu lagi. Pangeran Leng tentu yakin bahwa selama Siang Lin menjadi sandera, dua orang itu tidak akan berbuat sesuatu untuk menentangnya!

Setelah semua orang duduk mengitari sebuah meja besar dan daun-daun pintu dan jendela tertutup rapat, Pangeran Leng lalu berkata kepada dua orang “pembantu” baru itu.

“Gui Kauwsu dan Bu Enghiong, malam inilah saatnya kalian berdua membuktikan bahwa kalian benar-benar menjadi pembantuku dan menaati semua perintahku. Kalian berdua akan dibantu oleh lima saudara Ngo-liong (Lima Naga) ini dan kalian kami serahi tugas untuk membunuh seseorang.”

Pangeran Leng menghentikan ucapannya dan sepasang matanya menatap wajah dua orang itu dengan penuh selidik, ingin melihat bagaimana tanggapan mereka. Akan tetapi baik Gui Tiong maupun Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajah mereka, sungguhpun hati mereka terkejut mendapat tugas untuk membunuh orang! Mereka juga tidak bertanya siapa yang harus mereka bunuh itu.

“Yang kalian berdua harus bunuh adalah seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang kini berada di dalam gedung Pangeran Bouw Hun Ki.”

Bu Kong Liang tidak tahu siapa yang dimaksudkan Pangeran Leng, akan tetapi Gui Tiong terkejut dan cepat bertanya. “Siapa anak laki-laki itu, Pangeran?”

“Dia adalah pangeran yang dititipkan kepada Pangeran Bouw Hun Ki untuk dididik, yaitu Pangeran Kang Shi....”

“Ah! Dia... dia... Putera Mahkota...?” seru Gui Tiong kaget sekali.

“Benar, Putera Mahkota Kang Shi yang berusia sepuluh tahun. Tugas yang mudah sekali, bukan?”

“Akan tetapi... mengapa harus membunuh Thai-cu (Pangeran Putera Mahkota)?” kata Gui Tiong dengan muka pucat. Tugas itu kalau dilaksanakan merupakan dosa yang teramat besar dan tidak dapat diampuni. Dia dan Bu Kong Liang akan diburu oleh seluruh pasukan Kerajaan Ceng (Mancu)!

Pangeran Leng tersenyum. “Sekarang belum saatnya engkau mengetahui sebabnya, Gui Kauwsu. Kelak engkau akan kami beritahu dan akan mengerti. Sekarang yang penting laksanakan dulu perintahku dan jangan khawatir, akulah yang akan menanggung akibatnya. Aku akan melindungi dan membelamu. Nah, kalian berdua berangkatlah ditemani Twa-to Ngo-liong. Ingat, bahwa puterimu berada di sini dalam keadaan sehat dan selamat. Kalau kalian berdua berhasil, bukan saja puterimu akan mendapat kebebasan, juga kalian berdua akan kami beri kedudukan tinggi. Kalau engkau gagal, puterimu juga akan kami bebaskan asalkan kalian tidak mengaku kepada siapapun juga bahwa kami yang mengutus kalian membunuh Pangeran Mahkota. Kalau kalian membocorkan rahasia ini, berarti puterimu juga tidak akan selamat.”

Twa-to Ngo-liong sudah bangkit dan yang tertua bermuka penuh brewok berkata kepada Gui Tiong. “Mari kita berangkat sekarang, Pangeran sudah memerintahkan.”

Ketika dua orang itu memandang kepada Pangeran Leng, Sang Pangeran memberi isyarat dengan pandang mata dan gerakan tangannya agar mereka segera berangkat. “Jangan lupa bawa senjata kalian!” pesannya dan pangeran itu lalu bangkit berdiri dan masuk ke sebelah dalam istananya yang besar dan megah.

“Kami hendak mengambil senjata kami dulu!” kata Gui Tiong dan bersama Bu Kong Liang dia lalu pergi ke kamar mereka. Dalam perjalanan ini, sebelum mereka berpisah memasuki kamar masing-masing, Gui Tiong berkata lirih, “Kau perhatikan isyaratku nanti kalau tiba di atas istana Pangeran Bouw Hun Ki.”

Setelah berkata demikian dengan suara berbisik, Gui Tiong dan Kong Liang memasuki kamar masing-masing, Twa-to Ngo-liong yang bertugas menemani dan juga diam-diam harus mengawasi mereka berdua, segera mengejar cepat, akan tetapi mereka masih kurang cepat sehingga tidak mendengar bisikan Gui Tiong kepada Kong Liang tadi. Melihat dua orang murid Siauw-lim-pai itu memasuki kamar masing-masing, lima orang Twa-to Ngo-liong itu menanti di luar kamar. Tak lama kemudian Gui Tiong dan Kong Liang sudah mengenakan pakaian ringkas dan membawa senjata masing-masing.

Kemudian Twa-to Ngo-liong mengajak keluar melalui pintu rahasia yang berada di taman bunga di belakang istana pangeran itu. Setelah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi istana, Gui Tiong berkata kepada Twa-to Ngo-liong. “Sesuai dengan perintah Pangeran Leng Kok Cun tadi, yang diberi tugas membunuh adalah kami berdua dan kalian berlima hanya menemani dan membantu kami, oleh karena itu, aku yang memimpin tugas ini dan kalian berlima harus menaati petunjukku karena aku yang bertanggung jawab.”

Twa-to Ngo-liong yang dikatakan menemani dan membantu mereka itu sesungguhnya ditugaskan mengawasi dua orang itu, maka mendengar ini mereka berlima hanya mengangguk. Tubuh tujuh orang ini berkelebat di dalam kegelapan bayang-bayang pohon yang disinari cahaya bulan yang hampir purnama.

* * * *

Gedung Pangeran Bouw Hun Ki tidaklah semegah gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang seperti istana. Perabot rumahnya juga tidak terlalu mewah walaupun gedung itu tetap besar dan luas. Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan, usianya sekitar lima puluh tiga tahun, rambutnya sudah dihiasi uban namun wajahnya masih tampan dan sikapnya gagah sungguhpun pangeran ini tidak pernah mempelajari ilmu silat.

Dia adalah adik Kaisar Shun Chi yang juga seorang sastrawan dan amat tekun mempelajari Agama Buddha, filsafat Guru Besar Khong Cu dan Lo Cu. Akan tetapi dia termasuk pemeluk Agama Buddha yang amat tekun dan mempelajari ajarannya sampai mendalam. Kaisar Shun Chi amat percaya akan kebaikan budi dan kesetiaan adiknya itu, maka dia menyerahkan Pangeran Kang Shi, yang merupakan Thai-cu (Putera Mahkota) sejak berusia tujuh tahun kepada Pangeran Bouw untuk dididik dalam ilmu tatanegara, sastra, agama dan bahkan di rumah itu pula pangeran kecil itu mendapat pendidikan dasar ilmu silat dari isteri Pangeran Bouw Hun Ki.

Kini Pangeran Kang Shi telah berusia sepuluh tahun dan pangeran kecil ini senang sekali tinggal di rumah pamannya. Di istana dia harus menghadapi banyak peraturan dan peradatan yang membuat anak ini merasa terikat dan tidak bebas. Akan tetapi setelah dia berada di rumah pamannya, Pangeran Bouw Hun Ki, dia merasa bebas dan setelah tinggal selama tiga tahun di rumah itu, dia merasa akrab dan sayang kepada penghuni rumah itu.

Pangeran Bouw Hun Ki tidak mempunyai seorang pun selir. Dia amat mencinta isterinya yang dinikahinya ketika dia berusia dua puluh tahun dan isterinya berusia delapan belas tahun. Kini isterinya yang dahulu ketika menikah bernama Souw Lan Hui telah berusia lima puluh satu tahun. Akan tetapi Souw Lan Hui atau Nyonya Pangeran Bouw ini masih tampak cantik, tubuhnya masih tampak seperti orang muda.

Hal ini tidaklah aneh karena wanita itu sejak masa kanak-kanak telah mempelajari ilmu silat sehingga ketika masih gadis ia telah menjadi seorang pendekar wanita sakti yang dijuluki Sin-hong-cu (Si Burung Hong Sakti)! Ia adalah seorang murid yang pandai dari Bu-tong-pai. Maka tidak mengherankan kalau Pangeran Mahkota Kang Shi dapat memperoleh pendidikan silat pula di keluarga Bouw.

Pangeran Bouw dan isterinya mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang anak laki-laki yang diberi nama Bouw Kun Liong, kini telah berusia dua puluh empat tahun, belum menikah dan Bouw Kun Liong ini tentu saja mendapat pendidikan sastra dari ayahnya dan ilmu silat tinggi dari ibunya. Wajahnya tampan seperti wajah ayahnya dan dia gagah perkasa seperti ibunya.

Pakaiannya selalu rapi, bersih, dan indah sehingga pemuda bangsawan yang tidak mempunyai selir seperti para pemuda bangsawan lainnya, amat menarik hati banyak orang, terutama para gadis yang pernah melihatnya. Mungkin karena ayahnya adik kaisar dan ibunya seorang pendekar wanita sakti dan keduanya amat sayang kepadanya, Bouw Kun Liong agak tinggi hati dan angkuh walaupun belum sampai dapat disebut sombong.

Anak mereka yang ke dua adalah perempuan yang kini berusia sekitar delapan belas tahun. Anak ini bernama Bouw Hwi Siang, cantik jelita seperti ibunya dan walaupun ia juga mendapatkan pendidikan ilmu silat walaupun tidak setinggi tingkat kakaknya, namun sikapnya lembut halus seperti sikap ayahnya. Wajah Bouw Hwi Siang ini mirip ibunya. Kakak beradik ini belum memiliki tunangan karena keduanya selalu menolak kalau ayah ibunya bicara tentang perjodohan mereka.

Pangeran cilik Kang Shi disayang keluarga Bouw dan dia pun amat sayang kepada mereka, terutama sekali kepada Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua orang kakak misannya itu. Pemuda dan gadis itu pun merasa amat sayang kepada Kang Shi yang termasuk seorang anak yang cerdas.

Malam itu biarpun terang bulan, hampir bulan purnama, karena hawa udara amat dinginnya, maka sebelum tengah malam keadaan sudah mulai sunyi. Tidak ada orang berlalu-lalang di jalan raya. Rumah-rumah sudah menutup pintu dan jendela. Bahkan di gedung-gedung para bangsawan juga sudah tampak sunyi. Hanya para penjaga malam, prajurit-prajurit pengawal yang masih berada di luar. Akan tetapi mereka pun lebih suka tinggal di dalam gardu penjagaan di mana tidak begitu dingin seperti kalau berada di luar.

Bayangan tujuh orang yang berkelebat di antara pohon-pohon itu sedemikian cepatnya sehingga para penjaga di luar gedung-gedung itu pun tidak ada yang melihatnya. Mereka adalah Gui Tiong, Bu Kong Liang, dan lima orang Twa-to Ngo-liong. Mereka menuju ke gedung keluarga Pangeran Bouw Hun Ki. Setelah berada di belakang bangunan besar itu, Gui Tiong memberi isyarat kepada enam orang temannya untuk melompat ke atas pagar tembok. Akan tetapi dia sengaja melompat lebih dulu bersama Bu Kong Liang dan sebelum lima orang Twa-to Ngo-liong menyusul, Gui Tiong cepat berbisik kepada pemuda itu.

“Setibanya di atas, kita turun tangan dan bunuh mereka, jangan ada yang sampai lolos!”

Kong Liang terkejut, akan tetapi dia segera dapat mengerti mengapa Gui Tiong mengambil keputusan nekat itu. Kalau mereka berdua menyerang Twa-to Ngo-liong di luar gedung, di jalan raya, besar kemungkinan perbuatan mereka akan terlihat orang. Hal ini berbahaya karena kalau sampai ketahuan Pangeran Leng, mereka pasti dikeroyok dan lebih parah lagi, Gui Siang Lin terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada maut.

Kalau lima orang kaki tangan Pangeran Leng ini tidak dibunuh, mereka harus melaksanakan tugas membunuh Putera Mahkota, dan hal ini agaknya tidak mau dilakukan Gui Tiong. Maka dia mengangguk dan setelah lima orang itu menyusul, mereka segera melompat ke atas wuwungan gedung besar itu, didahului oleh Gui Tiong sebagai pimpinan.

Tujuh orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Tubuh mereka seolah menjadi bayangan hitam yang berlompatan di atas wuwungan, diterangi sinar bulan yang cerah. Hawa dingin tidak terasa oleh mereka yang berada dalam ketegangan. Twa-to Ngo-liong merasa tegang karena sebagai anak buah Pangeran Leng tentu saja mereka mengerti betapa kuatnya penjagaan untuk melindungi Putera Mahkota di gedung itu.

Mereka pun sudah mendengar bahwa biarpun Pangeran Bouw Hun Ki adalah seorang sastrawan yang bertubuh lemah, namun isterinya adalah seorang wanita yang lihai sekali karena Nyonya Pangeran Bouw itu dahulunya seorang pendekar wanita yang pernah malang melintang di dunia persilatan dengan julukan Sin-hong-cu.

Kuatnya penjagaan atas diri Putera Mahkota Kang Shi inilah yang membuat Pangeran Leng sampai lama tidak berani melakukan usaha untuk membunuh pangeran kecil yang telah ditetapkan menjadi putera mahkota yang akan menggantikan kedudukan Kaisar Shun Chi kelak. Berarti pangeran kecil itu menjadi penghalang utama bagi Pangeran Leng yang berambisi untuk menggantikan ayahnya kelak!

Kemudian, ketika dua orang pembantunya, Phang Houw dan Louw Cin melaporkan tentang kegagalan penyerangan mereka terhadap murid Siauw-lim-pai Bu Kong Liang, Pangeran Leng yang cerdik memesan kepada para anak buahnya untuk waspada dan menyelidiki kalau-kalau pemuda murid Siauw-lim-pai itu masuk ke kota raja. Hal itu benar saja terjadi. Mendengar bahwa Bu Kong Liang berada di Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau Putih), dia segera mengatur siasat untuk menangkap Gui Tiong dan Bu Kong Liang. Dengan perantaraan Jaksa Ji, seorang di antara para pejabat yang menjadi anak buahnya, dua orang murid Siauw-lim-pai itu ditangkap.

Dan untuk menyempurnakan siasatnya untuk memaksa dua orang itu, Pangeran Leng juga menyuruh orang-orangnya menangkap Gui Siang Lin dan menawannya di gedungnya. Kini dia berani mencoba untuk membunuh Putera Mahkota Kang Shi, menggunakan tenaga dua orang murid Siauw-lim-pai yang sudah menyerah dan taat untuk melindungi keselamatan Gui Siang Lin. Dengan cara ini, andaikata usaha itu gagal, yang akan dipersalahkan adalah Siauw-lim-pai!

Mudah saja dia mengelak dari tuduhan andaikata dua orang Siauw-lim-pai itu mengaku dia yang menyuruh mereka. Bahkan dia dapat membuktikan bahwa dirinya juga diserang oleh puteri Gui Tiong yang dapat dia tangkap. Dia sendiri dimusuhi murid Siauw-lim-pai, bagaimana mungkin dia menggunakan murid-murid Siauw-lim-pai untuk membunuh Pangeran Mahkota Kang Shi yang adik tirinya sendiri? Karena itu, Twa-to Ngo-liong yang diutus menemani dua orang murid Siauw-lim-pai itu sesungguhnya ditugaskan untuk mengawasi mereka!

Setelah mereka tiba di atas wuwungan rumah induk yang cukup luas, Gui Tiong memberi isyarat kepada Bu Kong Liang dan mereka berdua cepat mencabut senjata mereka, Gui Tiong mencabut sepasang goloknya dan Bu Kong Liang mencabut sepasang tombak bercabang, lalu menyerang lima orang Twa-to Ngo-liong!

Serangan yang dilakukan Kong Liang sedemikian cepatnya sehingga seorang dari Twa-to Ngo-liong yang sama sekali tidak pernah menduga, tak mampu menghindarkan diri dan dia pun roboh mandi darah karena lehernya tertusuk tombak cagak! Orang ke dua yang diserang Gui Tiong, masih dapat mengelak walaupun pundak kirinya tergores golok sehingga baju dan kulit pundaknya terobek dan berdarah.

Twa-to Ngo-liong tentu saja terkejut bukan main. Mereka waspada mengikuti dua orang itu untuk melihat apakah mereka benar-benar melaksanakan tugas yang diperintahkan Pangeran Leng. Andaikata mereka berdua ketahuan dan terjadi perkelahian, mereka berlima tidak akan membantu, bahkan akan melarikan diri. Mereka dipesan oleh Pangeran Leng agar tidak melibatkan diri kalau terjadi pertempuran sehingga nama Pangeran Leng tetap bersih.

Maka ketika tiba-tiba dua orang murid Siauw-lim-pai itu menyerang mereka dan sudah merobohkan seorang dari mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat berpengalaman, tentu saja mereka dapat bertindak cepat. Mereka sudah mencabut golok masing-masing dan terjadilah perkelahian seru di atas wuwungan gedung tempat tinggal Pangeran Bouw!

Gui Tiong yang dikeroyok dua memutar sepasang goloknya dan pertandingan antara dia dan dua orang pengeroyok itu terjadi amat serunya. Agaknya dua orang pengeroyok itu pun telah memiliki ilmu golok yang amat tangguh sehingga perkelahian itu seru dan seimbang. Akan tetapi, dua orang lain dari Twa-to Ngo-liong yang mengeroyok Kong Liang, begitu saling serang, menjadi terkejut karena pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat dan gerakannya juga lebih cepat daripada mereka.

Mereka berdua berusaha untuk membela diri mati-matian, akan tetapi setelah bertahan selama belasan jurus, begitu Kong Liang memperhebat tekanannya, dua orang pengeroyok itu berturut-turut roboh, yang seorang tertusuk lehernya, yang ke dua tertusuk dadanya oleh siang-kek di kedua tangan Kong Liang. Mereka roboh dan tewas di atas wuwungan.

Kong Liang cepat menoleh untuk melihat keadaan Gui Tiong yang juga dikeroyok dua orang lawan. Dia melihat betapa keadaan mereka seimbang. Pada saat itu, sebelum dia dapat melompat untuk membantu Gui Tiong, terdengar bunyi berdesing nyaring tinggi menusuk pendengaran dan tampak tiga sinar putih berkeredepan secara berturut-turut menyambar dari bawah ke arah tiga orang yang sedang bertanding itu. Kong Liang membelalakkan matanya ketika melihat Gui Tiong roboh bersama dua orang pengeroyoknya!

“Tangkap yang seorang! Jangan bunuh, dia harus dapat memberi keterangan!” terdengar bentakan suara wanita dan tiba-tiba ada tiga bayangan hitam berkelebat dan melayang ke atas wuwungan!

Kong Liang cepat menghampiri tubuh Gui Tiong dan berjongkok memeriksanya. Ternyata keadaan Gui Tiong parah sekali. Dadanya mengeluarkan banyak darah dan ternyata sebuah senjata rahasia berbentuk bintang yang putih mengkilap telah masuk ke dalam dadanya. Kong Liang terkejut sekali melihat paman gurunya dalam keadaan sekarat dan dia pun mengenal senjata rahasia itu sebagai Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak).

“Susiok...!” Dia mengeluh dan menggunakan jari tangannya menotok beberapa jalan darah untuk mengurangi rasa nyeri, akan tetapi dia maklum bahwa nyawa paman gurunya tidak mungkin dapat tertolong.

“Kong Liang... jaga... jaga Siang... Lin...!” Tubuh itu terkulai dan Gui Tiong telah menghembuskan napas terakhir setelah meninggalkan pesan itu.

“Susiok... ah, ampunkan saya, Susiok! Sayalah yang menyebabkan semua ini...!” Kong Liang meratap penuh penyesalan.

“Orang muda, menyerahlah engkau!” terdengar bentakan di belakangnya.

Kong Liang melompat ke depan sambil memutar tubuhnya. Dia melihat seorang wanita bertubuh ramping, namun wajahnya yang cantik menunjukkan bahwa wanita itu tentu sudah setengah tua, berusia sekitar lima puluh tahun, pakaiannya indah seperti pakaian wanita bangsawan. Di punggung wanita itu tampak sepasang pedang dan di pinggang depan tergantung sebuah kantung merah yang biasanya untuk menyimpan senjata rahasia. Maklumlah Kong Liang bahwa tentu wanita ini yang telah membunuh susioknya.

“Engkau telah membunuh Susiok!” bentaknya dan Kong Liang cepat menyerang dengan sepasang siang-kek di tangannya. Akan tetapi wanita itu bergerak cepat bukan main dan serangannya yang bertubi-tubi itu mengenai tempat kosong! Karena penasaran, Kong Liang menyerang lebih gencar lagi, mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh. Namun lawannya berkelebatan dan semua serangannya gagal.

“Heii! Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?” bentak wanita itu.

Kong Liang tidak peduli dan menyerang terus dengan hati semakin penasaran, akan tetapi kini wanita itu mencabut sepasang pedangnya dan begitu ia menggerakkan sepasang pedang itu dengan gerakan yang indah dan cepat, Kong Liang terkejut dan terdesak!

“Bu-tong Kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)?” katanya kaget dan mendengar ini, wanita itu mempercepat gerakannya.

“Trang-tranggg...!!”

Bunga api berpijar dan Kong Liang terhuyung ke belakang. Dia melihat bahwa tak jauh dari situ terdapat seorang pemuda dan seorang gadis berdiri menonton perkelahian itu. Mereka tidak membantu lawannya, dan memang lawannya tidak perlu dibantu karena dialah yang terdesak hebat.

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan bentakan dan Kong Liang terhuyung ketika wanita itu dapat menotok pundaknya dengan gagang pedang. Sebelum Kong Liang dapat memulihkan kuda-kudanya, kembali pundaknya tertotok dan dia pun lemas, sepasang siang-kek itu terlepas dari pegangan tangannya.

“Kun Liong, jangan bunuh dia!” bentak wanita yang telah merobohkan Kong Liang ketika pemuda yang tadi hanya menonton kini melompat dan menodongkan sebatang pedang ke dada Kong Liang yang roboh telentang dalam keadaan lemas. Pemuda itu tidak berani menusukkan pedangnya.

“Kun Liong, bawa dia ke bawah! Hwi Siang, cepat perintahkan pengawal untuk menurunkan mayat-mayat itu!” Setelah berkata demikian, wanita yang amat lihai itu melayang turun dari atas wuwungan.

Wanita itu bukan lain adalah Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki atau Souw Lan Hui yang dulu ketika masih gadis terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti). Tadi ketika bayangan tujuh orang itu berlompatan ke atas wuwungan, ia sudah mengetahui dan cepat ia memberi isyarat kepada para penjaga agar menjaga kamar suaminya dan kamar Putera Mahkota dengan ketat, sedangkan ia sendiri mengajak puteranya, Bouw Kun Liong, dan puterinya, Bouw Hwi Siang, untuk naik ke atas wuwungan.

Dalam keadaan remang-remang itu Nyonya Bouw tidak mengenal orang, tidak tahu mengapa ada yang bertanding di atas wuwungan gedungnya. Baginya, orang-orang yang berada di atas wuwungan gedungnya pastilah bukan orang baik. Maka ia pun tidak ragu lagi untuk menyerang mereka dengan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak) yang merobohkan Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya. Melihat bahwa mereka yang berada di wuwungan telah roboh semua dan hanya tinggal seorang pemuda, maka Nyonya Bouw lalu melarang anak-anaknya untuk menyerangnya dan dengan cepat ia sendiri menghampiri Kong Liang dan membentaknya agar menyerah.

Kini Kong Liang telah diikat kaki tangannya dibawa meloncat turun oleh Bouw Kun Liong. Nyonya Bouw dan Bouw Hwi Siang juga sudah berada di ruangan tamu yang luas dan terang benderang. Enam orang mayat juga oleh para prajurit pengawal telah diturunkan dibawa ke dalam ruangan itu pula, direbahkan berjajar di atas lantai.

“Ah, bukankah ini... Gui Kauwsu, guru di Pek-ho Bukoan itu...?” kata Bouw Kun Liong ketika melihat mayat Gui Tiong.

“Betulkah?” kata Nyonya Bouw dengan suara heran, lalu ia memandang kepada Kong Liang yang dibiarkan duduk di atas lantai dengan kaki tangan terbelenggu. “Akan tetapi, mengapa murid-murid Siauw-lim-pai memusuhi kita?”

Kong Liang sudah pulih dari totokan tadi. Tubuhnya terlalu kuat sehingga totokan tadi tidak dapat lama mempengaruhinya. Kini dia sudah mampu bergerak, akan tetapi tentu saja tidak dapat menggerakkan kaki tangan yang terbelenggu. Dan dia pun tidak ingin memaksa diri mematahkan belenggu karena dia tahu bahwa menghadapi wanita setengah tua itu saja dia tidak menang, apalagi di situ terdapat pemuda dan gadis itu ditambah lagi beberapa orang prajurit pengawal.

Kini Kong Liang memandang kepada tiga orang yang berada di depannya, duduk di atas kursi dengan penuh perhatian. Nyonya setengah tua ternyata seorang wanita bangsawan, tampak dari pakaian dan gaya gelung rambutnya, berusia sekitar lima puluh tahun. Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun, gagah dan tampan, sedangkan gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik seperti wanita setengah tua sehingga mudah menduga bahwa ia tentu puterinya.

Mendengar seruan pemuda itu yang mengenal susioknya, Kong Liang lalu berkata dengan suara tenang dan tegas. “Gui Kauwsu adalah Susiok saya dan kami berdua sama sekali tidak memusuhi penghuni gedung ini, bahkan kami berdua berusaha untuk mencegah niat buruk lima orang itu terhadap Thai-cu yang berada di gedung ini.”

Nyonya Bouw terkejut sekali. “Hemm, mereka hendak berbuat apa terhadap Thai-cu?” tanyanya lantang.

“Mereka ditugaskan untuk membunuh Pangeran Kang Shi!”

“Siapa yang hendak membunuh Thai-cu?”

Semua orang menengok ke arah pintu. Kong Liang melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tiga tahun, tampan dan gagah, sinar matanya begitu lembut namun tajam sekali.

“Ayah, mereka ini datang dengan rencana membunuh Pangeran Kang Shi. Enam orang telah dapat ditewaskan dan yang seorang ini ditangkap,” kata Bouw Kun Liong.

Pangeran Bouw Hun Ki mengerutkan alisnya. “Siapakah kalian? Orang muda, tidak sadarkah engkau bahwa perbuatan kalian ini merupakan dosa yang amat besar dan dapat membuat engkau dihukum mati?” tanyanya kepada Bu Kong Liang. Lalu ketika dia melihat mayat Gui Tiong, dia berseru kaget. “Ah, bukankah ini Guru Silat Gui Tiong yang membuka Pek-ho Bu-koan? Bagaimana mungkin dia melakukan ini? Bukankah dia itu orang Siauw-lim-pai?”

“Orang muda, hayo ceritakan semua dengan jelas! Tidak ada gunanya engkau menyangkal atau berbohong!” bentak Nyonya Bouw dan pandang matanya membuat Kong Liang menundukkan mukanya. Begitu tajam pandang mata itu, seperti menembus jantungnya. Akan tetapi dia segera teringat bahwa dia dan Gui Tiong tidak bersalah, maka dia mengangkat lagi mukanya dan berkata dengan suara tenang dan tegas.

“Seperti saya akui tadi, saya bernama Bu Kong Liang dan ini adalah jenazah Susiok (Paman Guru) Gui Tiong. Kami adalah murid-murid Siauw-lim-pai dan tidak mungkin kami memusuhi pemerintah, apalagi berniat membunuh Pangeran Mahkota!”

“Ceritakan saja dengan jelas, orang muda, apa yang sebetulnya terjadi?” tanya Pangeran Bouw Hun Ki.

Melihat sikap halus pangeran itu, Bu Kong Liang maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang dapat diajak bicara dan bijaksana, maka dia pun menceritakan dengan sejujurnya. “Saya mau menceritakan yang sejujurnya, akan tetapi saya juga ingin mengetahui kepada siapa saya akan bercerita.”

Bouw Kun Liong yang biasanya disebut Bouw Kongcu (Tuan Muda Bong) menghardik. “Kamu ini penjahat yang tertawan dan menjadi pesakitan, masih lancang bertanya lagi! Hayo ceritakan dengan sebenarnya!”

Pangeran Bouw Hun Ki mengangkat tangan kanan ke atas sambil memandang puteranya, lalu berkata kepadanya. “Biarlah, Kun Liong, agar dia mengetahui siapa kita. Bu Kong Liang, aku adalah Pangeran Bouw Hun Ki, adik Sribaginda Kaisar dan ini adalah isteriku. Pemuda ini puteraku Bouw Kun Liong dan gadis ini puteriku Bouw Hwi Siang.”

Mendengar ini, Kong Liang yang duduk di atas lantai membungkukkan badan untuk memberi hormat. “Pangeran, saya datang dari Kuil Siauw-lim di kaki Gunung Sung-san dan menuju ke kota raja untuk meluaskan pengalaman dan untuk mengunjungi Susiok Gui Tiong dan keluarganya. Akan tetapi di tengah perjalanan, saya dihadang dan diserang oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Ketua Liong-bu-pang Louw Cin yang membawa sepasukan prajurit. Saya berhasil selamat dan kedua orang itu melarikan diri. Agaknya itulah sumber malapetaka. Ketika saya datang dan mengunjungi Perguruan Pek-ho Bu-koan yang dipimpin Susiok Gui Tiong, datang utusan Jaksa Ji memanggil Susiok Gui Tiong dan saya untuk menghadap. Setelah kami menghadap, kami langsung ditangkap dan dipenjarakan, dengan tuduhan memberontak. Kemudian, malamnya datang para pembantu Pangeran Leng Kok Cun yang mengambil kami dari rumah tahanan dan kami dihadapkan kepada Pangeran Leng Kok Cun. Ternyata yang mengatur penangkapan saya dan Susiok Gui Tiong adalah Pangeran Leng itu.”

Pangeran Bouw Hun Ki saling pandang dengan isterinya lalu mengangguk-angguk. “Saya tidak pernah memberontak, demikian pula Susiok Gui Tiong, maka di depan Pangeran Leng kami juga menolak tuduhan memberontak itu. Pangeran Leng lalu memaksa kami berdua untuk menyerah dan menaati semua perintahnya, kalau tidak dia akan menyeret kami ke pengadilan dengan tuduhan memberontak agar kami dijatuhi hukuman mati. Pangeran Leng lalu memperlihatkan puteri Susiok Gui Tiong, yaitu Sumoi Gui Siang Lin yang ternyata juga sudah ditawannya kepada kami. Melihat ini, kami berdua merasa tidak berdaya. Kalau kami melawan dan melarikan diri, tentu Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuhnya. Dengan gadis itu menjadi sandera, untuk sementara kami terpaksa tunduk kepada Pangeran Leng.”

“Lalu apa hubungannya semua itu dengan kedatangan kalian bertujuh ke atas wuwungan rumah kami?” tanya Bouw Hujin (Nyonya Bouw) sambil menatap tajam.

“Malam itu Susiok Gui Tiong dan saya ditugaskan oleh Pangeran Leng Kok Cun untuk datang ke sini dan membunuh Putera Mahkota yang katanya berada di sini.”

“Huh! Dan engkau menaati perintah itu, ya? Hendak membunuh Thai-cu?” bentak Bouw Kun Liong tidak sabar. Agaknya sudah gatal rasa tangan pemuda ini untuk membunuh Kong Liang, saking marahnya mendengar murid Siauw-lim-pai itu hendak membunuh Pangeran Kang Shi!

“Tidak, kami menaati hanya untuk mencegah dia membunuh Sumoi Siang Lin. Kami berdua diikuti Twa-to Ngo-liong, lima orang jagoan pembantu Pangeran Leng. Diam-diam kami berdua bersepakat untuk turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong setelah tiba di sini, kemudian kami akan berusaha membebaskan Sumoi. Setelah tiba di atas wuwungan, kami bertindak. Saya berhasil membunuh tiga dari lima orang Twa-to Ngo-liong dan pada saat itu Susiok Gui Tiong dikeroyok dua orang. Tiba-tiba saya melihat Susiok Gui Tiong dan dua orang pengeroyoknya roboh.”

“Akan tetapi mengapa engkau menyerangku ketika aku minta engkau menyerahkan diri?” tanya Nyonya Bouw sambil mengerutkan alisnya. Kalau cerita pemuda itu benar, dan agaknya tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, berarti ia telah salah tangan membunuh Kauwsu Gui Tiong yang tidak berdosa!

“Begini soalnya, Hujin. Karena saya melihat Paduka menyerang Susiok Gui Tiong dengan Gin-seng-piauw, maka saya mengira bahwa Paduka tentu seorang dari musuh-musuh kami, maka ketika Paduka menyuruh saya menyerah, saya menyerang Paduka.” Ucapan Bu Kong Liang dengan suara yang tenang dan tegas sehingga tidak dapat diragukan kebenarannya.

“Hemm, kalau benar begitu, sungguh aku merasa menyesal sekali. Aku menyerang tiga orang yang sedang bertanding di atas wuwungan, tidak tahu siapa kawan siapa lawan, maka sangat menyesal aku telah kesalahan tangan membunuh Gui Kauwsu yang tidak berdosa. Sekarang sebuah pertanyaan lagi, Bu Kong Liang! Mengapa engkau dan Gui Kauwsu tidak menaati perintah Pangeran Leng untuk membunuh Putera Mahkota, bahkan berbalik menyerang dan membunuh lima orang anak buahnya?”

“Hujin yang mulia, Susiok Gui Tiong sudah bertahun-tahun tinggal di kota raja. Pernahkah dia melakukan pemberontakan? Saya sendiri baru keluar dari kuil Siauw-lim dan para suhu di sana melarang saya mencampuri urusan mereka yang menentang pemerintah Kerajaan Ceng. Bagaimana mungkin kami berdua mau melakukan tugas membunuh Putera Mahkota yang sama sekali tidak saya kenal dan sama sekali tidak ada urusan dengan kami berdua? Kalau kami pura-pura menaati perintah Pangeran Leng, hal itu karena hanya kami ingin menyelamatkan Sumoi Gui Siang Lin yang disandera.”

Tiba-tiba Pangeran Bouw Hun Ki berkata kepada puteranya. “Kun Liong, buka ikatan tangan dan kakinya!”

Setelah mendengar cerita Kong Liang, Bouw Kun Liong juga menyadari bahwa pemuda Siauw-lim-pai ini tidak bersalah, maka mendengar perintah ayahnya, dia lalu melepaskan ikatan kaki dan tangan Kong Liang.

“Duduklah,” kata Pangeran Bouw Hun Ki.

Kong Liang mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas sebuah kursi. Pangeran Bouw Hun Ki lalu menyuruh para penjaga untuk mengurus enam mayat itu. Lima buah mayat Ngo-liong itu dimasukkan ke dalam peti, akan tetapi jenazah Gui Tiong dirawat baik-baik, dimasukkan peti mati yang tebal dan diatur meja sembahyang di depan peti.

Kong Liang bersembahyang dengan sedih di depan peti mati susioknya. Bukan hanya dia yang melakukan sembahyang, bahkan Nyonya Bouw juga bersembahyang dan mengucapkan permintaan maaf karena ia telah salah mengerti dan membunuh Gui Tiong yang tidak berdosa. Tadinya, dengan marah Pangeran Bouw Hun Ki ingin mengirim lima jenazah Twa-to Ngo-liong kepada Pangeran Leng Kok Cun. Akan tetapi Kong Liang mencegah dengan ucapan penuh hormat.

“Saya harap Paduka suka mempertimbangkan kembali pengiriman lima jenazah Twa-to Ngo-liong itu kepada Pangeran Leng, karena kalau hal itu dilakukan, sudah pasti Sumoi Gui Siang Lin akan dibunuh.”

“Hemm, memang pengiriman itu sebaiknya ditunda lebih dulu, biar aku dan Bu Kong Liang malam ini juga membebaskan gadis itu!” kata Nyonya Bouw.

Malam itu juga, Bouw Hujin dengan pakaian ringkas berwarna hitam, bersama Kong Liang menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Leng. Dalam perjalanan ini, Bouw Hujin sudah berunding dengan Kong Liang, mengatur siasat bagaimana untuk membebaskan Gui Siang Lin. Setelah tiba dibelakang gedung tempat tinggal Pangeran Leng Kok Cun yang megah seperti istana, sesuai dengan rencana siasat mereka, Bouw Hujin menanti dalam kebun belakang dan Kong Liang langsung saja memasuki gedung lewat pintu depan.

Beberapa orang petugas yang menjaga di situ, segera menyambut dan mengenalnya. Maka Kong Liang diantar masuk menuju ruangan dalam di mana telah menanti Pangeran Leng Kok Cun yang didampingi Pat-chiu Lo-mo, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pangcu Louw Cin dan lima orang lain yang berpakaian sebagai perwira tinggi. Agaknya mereka itu adalah perwira-perwira yang mendukung Pangeran Leng.

Begitu Kong Liang memasuki ruangan itu dan prajurit yang mengawalnya meninggalkan ruangan, Pangeran Leng Kok Cun segera menyambut Kong Liang dengan pertanyaan penuh harapan. “Bagaimana hasilnya tugasmu, Bu Kong Liang? Dan mana Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong?”

“Pangeran, saya harap Gui Siang Lin dibebaskan karena saya telah melaksanakan perintah Paduka,” kata Kong Liang.

“Nanti dulu, jangan tergesa-gesa. Ceritakanlah dulu kepada kami bagaimana hasil tugasmu itu!” kata Pat-chiu Lo-mo dan Pangeran Leng Kok Cun yang mendengar ini.

“Saya telah berhasil membunuh Pangeran Mahkota.”

“Akan tetapi di mana enam orang lainnya?” tanya pula Pangeran Leng.

“Mereka semua tewas. Kami mendapat perlawanan yang kuat. Saya berhasil masuk dan membunuh pangeran itu seperti yang Paduka perintahkan. Akan tetapi Susiok Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong tewas.” Pemuda itu lalu menoleh ke arah dalam di mana Siang Lin ditahan. “Saya mohon Paduka sekarang membebaskan Nona Gui Siang Lin. Ayahnya telah melaksanakan perintah Paduka sampai mengorbankan nyawanya.”

“Bagus!” Pangeran Leng Kok Cun tersenyum gembira sekali mendengar bahwa Pangeran Kang Shi yang masih kanak-kanak itu berhasil dibunuh. Dia sama sekali tidak peduli mendengar betapa Gui Tiong dan Twa-to Ngo-liong yang membantunya itu tewas. “Bebaskan gadis itu!” perintahnya kepada Phang Houw dan Louw Cin. “Bawa ia ke sini!”

“Nanti dulu!” Pat-chiu Lo-mo berseru menahan dua orang yang hendak melaksanakan perintah Pangeran Leng itu sehingga mereka berhenti melangkah. “Pangeran, sungguh tidak bijaksana kalau membebaskan gadis itu sekarang. Sebaiknya Paduka tunggu sampai berita tentang kematian Pangeran Mahkota Kang Shi disiarkan besok sehingga keterangan Bu Kong Liang ini benar!”

“Engkau benar, Lo-mo! Kita tunggu sampai besok pagi!” kata Pangeran Leng sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya agar membatalkan perintahnya. Mereka pun duduk kembali.

Tahulah Kong Liang bahwa siasatnya untuk membebaskan Gui Siang Lin yang pertama telah gagal dan dia harus menggunakan siasatnya yang ke dua. Dia mencabut sepasang tombak bercabang dan berseru kepada Pat-chiu Lo-mo. “Kakek busuk! Engkau tidak percaya kepadaku berarti engkau menghinaku!” Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan siang-kek di kedua tangannya. Pat-chiu Lo-mo cepat melompat ke belakang sambil menggerakkan tongkatnya.

“Kalau engkau laki-laki, mari keluar! Kita bertanding di luar gedung!” Kong Liang berseru lagi sambil melompat ke luar.

“Kejar dia!” Pat-chiu Lo-mo berseru sambil mengejar. “Pangeran, dia menipu kita!”

Mendengar ini, Hui-eng-to Phang Houw, Liong-bu-pang Louw Cin dan lima orang perwira tinggi itu mencabut senjata masing-masing dan mengejar keluar. Pangeran Leng Kok Cun yang mulai curiga kepada Kong Liang cepat memberi tanda kepada para penjaga di istananya untuk membantu Pat-chiu Lo-mo, bahkan dia sendiri juga keluar karena pangeran ini pun bukan orang lemah.

Kong Liang sudah bertanding melawan Pat-chiu Lo-mo dan tak lama kemudian dia sudah dikeroyok banyak orang. Akan tetapi pemuda itu dengan amat gagahnya membela diri. Sepasang tombak pendek itu digerakkan sedemikian rupa sehingga membentuk dua gulungan sinar yang mengurung tubuhnya sehingga semua serangan pengeroyok itu dapat tertangkis. Pengeroyok yang tidak begitu kuat, begitu senjatanya tertangkis, terhuyung atau bahkan ada yang senjatanya terpental dan terlepas dari pegangannya, karena jago muda Siauw-lim-pai ini mengerahkan tenaga saktinya.

Sementara itu, Bouw Hujin yang berada di atas genteng, mendapat kesempatan baik. Selagi semua penjaga lari keluar untuk ikut mengeroyok Kong Liang, yang menjaga Gui Siang Lin hanya enam orang pemanah yang berada di atas atap dan yang siap membunuh gadis itu dengan anak panah mereka kalau ada isyarat Pangeran Leng Kok Cun seperti yang diperintahkannya...

Selanjutnya,