X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Dewi Sungai Kuning episode Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 05 Karya Kho Ping Hoo

Kemelut Kerajaan Manchu Jilid 05

Karya : Kho Ping Hoo

BOUW HUJIN yang ketika mudanya menjadi pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti) yang mengintai dari atas, begitu melihat Kong Liang dikeroyok banyak orang di luar gedung, segera turun tangan. Beberapa kali kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar perak menyambar ke arah enam orang yang memegang busur dan anak panah itu. Mereka roboh dan tubuh mereka terguling dari atap ke bawah. Bouw Hujin cepat membobol atap yang sudah dilubangi bagi para pemanah itu dan dengan ringan tubuhnya melayang ke dalam kamar.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo
“Engkau Gui Siang Lin?” tanyanya kepada gadis yang duduk bersila di atas pembaringan. Siang Lin mengangguk.

“Hayo cepat, kita bantu Bu Kong Liang!” Bouw Hujin berkata dan ia sudah memegang tangan Siang Lin lalu keduanya melompat ke atas melalui lubang di atas.

Cepat mereka berloncatan di atas genteng istana itu dan setelah tiba di depan, kembali Bouw Hujin menyambitkan Gin-seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang Perak). Dalam waktu singkat saja delapan orang pengeroyok roboh. Hanya mereka yang berilmu cukup tangguh seperti Phang Houw dan Louw Cin, juga Pat-chiu Lo-mo yang dapat menghindarkan diri dari serangan senjata rahasia itu dengan menangkis sinar perak dengan senjata mereka. Akan tetapi melihat betapa para perwira dan penjaga roboh dan dalam waktu singkat delapan orang sudah roboh, mereka juga terkejut dan berlompatan mundur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Kong Liang untuk melompat dan menghilang dalam kegelapan malam. Memang sebelumnya sudah dia atur bersama Bouw Hujin. Dia memancing Pangeran Leng Kok Cun dan para pembantunya keluar sehingga Bouw Hujin dapat bergerak dengan leluasa meloloskan Siang Lin, kemudian setelah beberapa orang pengeroyok roboh oleh senjata rahasia Nyonya Pangeran yang amat lihai itu, dia tahu bahwa Siang Lin telah dibebaskan, maka dia lalu melompat dan melarikan diri!

“Kejar...!” Teriak Pat-chiu Lo-mo.

Akan tetapi karena malam itu gelap dan para pengejar merasa gentar terhadap serangan senjata rahasia yang ampuh itu, mereka tidak dapat menemukan Bu Kong Liang. Pangeran Leng Kok Cun marah sekali ketika melihat betapa Gui Siang Lin lolos dan enam orang prajurit yang menodong di atas atap telah tewas semua. Lebih hebat lagi kemarahannya ketika pada pagi harinya ada yang mengantar lima buah peti mati yang terisi mayat Twa-to Ngo-liong! Dia tahu bahwa dia telah ditipu Bu Kong Liang dan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi sama sekali belum terbunuh!

Akan tetapi, dia tidak berdaya dan belum begitu nekat untuk menyerang Pangeran Bouw Hun Ki yang dekat dengan Kaisar. Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki juga tidak dapat menuduh Pangeran Leng Kok Cun hendak membunuh Pangeran Mahkota karena tidak ada bukti nyata. Twa-to Ngo-liong telah tewas, dan Bu Kong Liang tentu saja tidak dapat dijadikan saksi karena dia bukan anak buah Pangeran Leng.

Maka urusan itu hanya diketahui kedua pihak. Kaisar sendiri tidak diberitahu karena selain hal itu akan membuat Kaisar khawatir akan keselamatan Putera Mahkota, juga belum dapat dibuktikan bahwa Pangeran Leng Kok Cun mengirim orang-orang untuk membunuh Pangeran Kang Shi.

Maka, diam-diam terdapat permusuhan hebat antara Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Bouw Hun Ki, atau lebih tepat Nyonya Bouw, karena wanita inilah yang berani menentang Pangeran Leng. Mulai saat itu, Bouw Hujin melakukan penjagaan amat ketat. Bahkan ia membuat bangunan rahasia bawah tanah agar kalau sewaktu-waktu ada bahaya, Pangeran Kang Shi dapat bersembunyi di situ.

Setelah Gui Siang Lin yang dibawa Bouw Hujin tiba di istana Pangeran Bouw, dan mendengar bahwa ayahnya telah tewas, ia menangis tersedu-sedu di depan peti mati ayahnya. Bu Kong Liang yang sudah tiba di sana pula, segera memberi penjelasan kepada gadis itu. Dia menceritakan betapa dia dan Gui Tiong terpaksa berpura-pura menurut perintah Pangeran Leng untuk membunuh Pangeran Mahkota, karena mereka berdua melihat Siang Lin ditawan, dan kalau mereka tidak menaati perintah Pangeran Leng, Siang Lin tentu dibunuh.

“Aih, mengapa Ayah dan engkau mau melakukan perintah Pangeran Leng yang jahat itu, Suheng? Biar aku dibunuhnya, aku tidak takut dan tidak semestinya kita tunduk kepadanya!” Siang Lin mencela sambil terisak-isak.

“Sumoi, kami menuruti perintah Pangeran Leng hanya siasat belaka. Kami bermaksud kalau sudah meninggalkan istana Pangeran Leng dan tiba di atas gedung Pangeran Bouw, kami akan bunuh Twa-to Ngo-liong yang menemani dan mengawasi kami. Aku sudah berhasil membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi sayang, pada saat itu, Bouw Hujin keluar dan karena mengira bahwa ayahmu seorang di antara penjahat, beliau lalu menyerang dua orang di antara Twa-to Ngo-liong dan ayahmu sehingga mereka bertiga tewas.”

“Benar, Gui Siang Lin. Akulah yang salah duga, membunuh tiga orang yang berada di atas genteng gedung kami. Kalau saja aku tahu bahwa yang seorang adalah Gui Kauwsu dari Pek-ho Bukoan, tentu tidak kuserang dia. Akan tetapi malam-malam begitu di atas genteng, tentu saja aku tidak melihat jelas mukanya. Nah, biarpun karena salah duga, aku telah kesalahan tangan membunuh ayahmu. Kalau engkau mendendam sakit hati kepadaku, aku tidak akan menyalahkanmu!” kata Bouw Hujin dengan lembut namun gagah.

“Sumoi, Bouw Hujin tidak dapat disalahkan. Aku sendiri tadinya mengira beliau musuh karena beliau merobohkan Susiok, aku menyerangnya dan aku tertotok dan ditawan. Barulah aku mengerti duduknya persoalan setelah aku mendapat kesempatan bicara dengan keluarga Pangeran Bouw. Kami yang bersalah, Sumoi. Semestinya sebelum tiba di sini, kami turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong, baru kemudian menolongmu. Akan tetapi semua telah terjadi, dan kematian Susiok sudah merupakan takdir, kita tidak mungkin dapat menyalahkan Bouw Hujin. Beliau tidak bersalah, bahkan beliau membebaskan engkau dari tawanan Pangeran Leng.”

Hati Siang Lin seperti ditusuk, perih dan sakit. Dengan kedua mata bercucuran air mata, ia memandang kepada nyonya itu. Bouw Hujin tampak begitu cantik dan gagah, begitu penuh wibawa yang kuat. Wanita setengah tua itu tadi telah menolongnya keluar dari tahanan Pangeran Leng Kok Cun. Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan diderita kalau Pangeran Leng tahu bahwa ayahnya mengkhianatinya. Ia bukan hanya akan dibunuh, melainkan disiksa dengan penghinaan yang lebih hebat daripada maut. Ia tidak boleh mendendam kepada Bouw Hujin.

“Ayaaahhh...!” Gui Siang Lin menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati ayahnya, menangis sesenggukan, membuat semua orang yang berada di situ merasa terharu.

“Nona, hentikanlah tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah sejati menentang kekuasaan yang jahat. Tidak ada gunanya ditangisi lagi. Bahkan arwahnya tidak akan tenang melihat engkau membenamkan diri dalam kesedihan,” kata Bouw Kun Liong.

“Akan tetapi saya... saya... yatim piatu... sekarang hidup sebatang kara...!” Gadis itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak menyadari siapa yang bicara menghiburnya tadi.

“Nona, kami merasa bertanggung jawab terhadap nasibmu. Ibuku telah salah sangka dan salah tangan membunuh ayahmu, maka anggaplah kami sebagai keluargamu. Ayah dan ibuku pasti akan menerimamu dengan hati dan tangan terbuka. Bukankah begitu, Ibu?” kata Bouw Kun Liong kepada ibunya.

Pangeran Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw saling pandang dan kedua orang tua ini maklum bahwa putera mereka itu agaknya telah jatuh cinta kepada Gui Siang Lin! Suaranya ketika menghibur menggetar penuh perasaan iba, itulah tanda mulai berseminya cinta!

“Apa yang dikatakan Liong-ko (Kakak Liong) itu benar, Enci Siang Lin!” kata Bouw Hwi Siang sambil memegang tangan gadis yang menangis itu. “Mulai sekarang, engkau tinggallah di sini bersama kami. Ayah Ibu pasti menyetujui sepenuhnya!”

Kini barulah Siang Lin menyadari bahwa yang menghiburnya tadi adalah Bouw Kun Liong, pemuda yang tampan gagah itu. Ia mengusap air mata dengan kedua tangannya, lalu mengangkat muka memandang ke arah Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw dengan hati ragu.

Bouw Hujin menatap wajah gadis itu dengan senyum, lalu mengangguk dan berkata. “Kedua anakku berkata benar, Siang Lin. Kami dengan senang hati menerimamu dan anggaplah kami sebagai pengganti orang tuamu. Kami akan menganggap engkau sebagai anak angkat kami!”

“Benar, Gui Siang Lin, kami senang kalau engkau menjadi anggota keluarga kami,” kata pula Pangeran Bouw Hun Ki.

Mendengar ini, Siang Lin segera menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu tanpa dapat mengucapkan kata-kata saking terharu hatinya. Kalau tidak ada suami isteri bangsawan ini yang menerimanya, bagaimana ia dapat hidup menjadi buruan kaki tangan Pangeran Leng yang pasti akan membalas dendam?

“Aih, Ibu bagaimana sih? Bukan menjadi anak angkat, akan tetapi menjadi anak mantu, begitu!”

“Husss, Siang-moi!” Bouw Kun Liong membentak adiknya, lalu dengan muka berubah kemerahan pemuda itu meninggalkan ruangan, diikuti tawa adiknya.

Pangeran Bouw Hun Ki lalu berkata kepada Kong Liang, “Bu Kong Liang, engkau telah memperlihatkan kebijaksanaanmu dengan menentang perbuatan Pangeran Leng yang jahat. Engkau juga sudah mengetahui bahwa Pangeran Mahkota dititipkan kepada kami. Ini merupakan tugas yang berat dan berbahaya dengan adanya orang-orang yang bersaing memperebutkan kekuasaan. Oleh karena itu, jika kiranya engkau tidak keberatan, kami minta agar engkau membantu kami melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi di sini. Bagaimana pendapatmu?”

“Bu-enghiong (Pendekar Bu) adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang selalu membela kebenaran dan keadilan, juga menentang kejahatan. Sudah sepatutnya kalau dia membantu kami melindungi Pangeran Mahkota dari ancaman para pengkhianat,” kata Bouw Hwi Siang yang memang merupakan seorang gadis lincah dan tidak malu-malu seperti gadis lain. Ia memang berwatak gagah seperti ibunya.

“Hwi Siang!” tegur Nyonya Bouw, akan tetapi sambil tersenyum. “Jangan lancang, biarkan Bu Kong Liang memutuskannya sendiri!”

Bouw Hwi Siang cemberut manja. Bu Kong Liang yang tadi menundukkan mukanya, kini memandang Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw, lalu menjawab, “Mengingat bahwa Pangeran Leng mengumpulkan orang-orang pandai dan merencanakan perbuatan jahat terhadap Pangeran Mahkota, maka saya siap untuk membantu Paduka melindungi beliau. Terima kasih atas kepercayaan Paduka kepada saya.”

Suami isteri itu girang sekali. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kesediaan pemuda murid Siauw-lim-pai itu membantu mereka melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi, terutama sekali karena adanya Bouw Hwi Siang di situ! Hanya Bu Kong Liang sendiri yang merasakan betapa hatinya terpikat oleh gadis bangsawan itu!

Bouw Hujin lalu berkata kepada Hwi Siang. “Hwi Siang, engkau ajaklah Siang Lin ke dalam dan suruh pelayan siapkan sebuah kamar untuknya. Juga berikan pakaian pengganti untuknya sebelum pakaiannya diambil dari rumahnya.”

“Ah, Ibu. Mengapa susah-susah menyiapkan kamar lain? Biar Enci Siang Lin tidur bersamaku saja!” kata Hwi Siang dan ia lalu menggandeng Siang Lin, diajak masuk ke bagian belakang, ke kamarnya dan ia memberikan pakaiannya yang baru untuk dipakai Siang Lin.

Pangeran Bouw memanggil pelayan dan menyuruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuk Bu Kong Liang. Mulai saat itu, Gui Siang Lin dan Bu Kong Liang tinggal di gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang besar.

* * * *

Berdebar rasa jantung Thian Hwa ketika ia tiba di depan gedung besar tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong. Tidak seperti gedung tempat tinggal para bangsawan lain yang masih kerabat kaisar, rumah Pangeran Ciu Wan Kong tidak tampak angker, tidak terjaga banyak prajurit. Hanya ada dua orang penjaga yang tidak berpakaian prajurit, melainkan sebagai pengawal biasa. Hal ini memang mengherankan kalau diingat bahwa Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik dari Kaisar Shun Chi.

Sejak ditinggalkan Cui Eng, wanita yang amat dicintanya karena wanita itu diusir oleh orang tuanya, Pangeran Ciu Wan Kong seolah kehilangan semangat hidupnya. Penghidupannya berubah sama sekali. Dia lebih banyak berdiam di dalam kamarnya, atau pergi pesiar dikawal beberapa orang pelayan yang juga menjadi pengawalnya. Dia bahkan tidak pernah mempunyai isteri atau selir, hidup membujang dan tidak mempedulikan urusan dunia. Ketika Thian Hwa memasuki pintu gerbang rumah itu, dua orang penjaga segera menyambutnya.

“Maaf, Nona, Siapakah Nona dan apakah keperluan Nona memasuki pintu gerbang gedung ini?” tanya seorang dari mereka dengan sikap sopan.

Melihat sikap dua orang penjaga ini hati Thian Hwa merasa senang. Dari sikap petugas yang paling rendah pangkatnya dapat diketahui watak majikannya yang tingkatnya paling tinggi. Dua orang penjaga ini bersikap sopan, tentu mereka takut untuk bersikap kurang ajar karena atasan mereka yang susilawan pasti akan menegur bahkan menghukum mereka.

“Tolong laporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa aku, Thian Hwa, mohon menghadap karena urusan yang teramat penting.”

“Maafkan kami, Nona. Beliau sudah lama tidak mau menerima kunjungan siapa pun. Saya akan melapor, akan tetapi sebaiknya Nona memberitahu urusan apa yang hendak Nona sampaikan agar beliau dapat mempertimbangkan untuk menemui Nona atau tidak.”

“Hemm, katakan bahwa aku membawa berita tentang diri seorang wanita bernama Cui Eng. Aku yakin beliau pasti akan menerimaku.”

“Baik, harap tunggu sebentar, Nona,” kata penjaga itu, lalu seorang dari mereka menyeberangi pekarangan yang luas menuju gedung yang besar dan tampak sunyi itu.

Thian Hwa menunggu dengan hati tegang. Biasanya, gadis yang amat tabah ini menghadapi apa pun tidak merasa gentar atau tegang, akan tetapi sekarang, menghadapi pertemuannya dengan ayah kandungnya, hatinya berdebar penuh ketegangan. Bagaimana nanti ayah kandungnya itu akan menyambutnya? Apakah Pangeran Ciu akan ketakutan dan melarikan diri seperti dulu? Lalu apa yang akan ia lakukan?

Tak lama kemudian, penjaga yang tadi keluar dari dalam gedung berlari keluar menemui Thian Hwa. “Nona, Pangeran tidak mengenal nama Thian Hwa, akan tetapi mendengar bahwa Nona membawa berita tentang wanita bernama Cui Eng, Nona diperkenankan masuk menghadap beliau. Mari saya antarkan, Nona.”

Dengan jantung berdebar keras, Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki gedung yang besar. Ternyata di ruangan depan juga tidak tampak pengawal bersenjata seperti lazimnya rumah para bangsawan tinggi. Hanya ada beberapa orang pembantu rumah tangga sedang membersihkan perabot di situ dan menyapu lantai. Thian Hwa dibawa ke ruangan tamu dan ketika tiba di pintu ruangan itu, penjaga tadi berkata.

“Beliau menanti di dalam, Nona. Silakan masuk.” Dia lalu keluar lagi.

Thian Hwa memasuki pintu ruangan itu dan ia melihat Pangeran Ciu Wan Kong yang pernah dikenalnya dua kali, yaitu pertama kali ketika ia menyelamatkan pangeran itu dari serangan ular, kedua kalinya ketika ia datang ke gedung ini dengan niat membunuhnya. Pangeran yang usianya baru sekitar lima puluh dua tahun itu sudah tampak tua karena mukanya kurus dan rupanya sudah putih semua.

Ketika Thian Hwa melangkah masuk, Pangeran Ciu Wan Kong yang tadinya menundukkan muka, mengangkat mukanya dan memandang. Thian Hwa lega melihat wajah orang tua itu tidak liar ketakutan seperti dulu, melainkan terheran-heran. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia bangkit perlahan dari kursinya ketika Thian Hwa melangkah menghampirinya. Thian Hwa berdiri di depannya dalam jarak sekitar sepuluh langkah. Pangeran Ciu Wan Kong menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, lalu menggelengkan kepala.

“Tidak mungkin... tidak mungkin... kau... kau Dinda Cui Eng...!” Suaranya gemetar.

Thian Hwa menggelengkan kepalanya. “Bukan, saya bukan Cui Eng....”

“Ah, Dinda Cui Eng, isteriku... kekasihku... jangan engkau membenciku. Aku... ampunkan aku, Cui Eng... engkau sampai terusir dari sini dan aku, tidak dapat melindungimu. Ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa padamu....”

Pangeran Ciu Wan Kong memandang dengan air mata menetes membasahi kedua pipinya yang kurus. Thian Hwa merasa terharu sekali dan ia khawatir kalau-kalau pangeran itu akan berubah ingatan karena kejutan ini.

“Bukan, saya bukan Cui Eng. Cui Eng mempunyai tahi lalat di atas bibirnya, ingat? Saya tidak mempunyai tahi lalat itu!” Thian Hwa melangkah mendekat agar pangeran itu dapat melihat wajahnya lebih jelas. “Dan Cui Eng sekarang tentu tidak semuda saya, bukan?”

Sepasang mata yang basah itu berkejap-kejap. “Ahh... engkau benar... engkau masih muda walaupun wajahmu persis Cui Eng-ku... dan tidak ada tahi lalat yang manis itu di atas bibirmu... Engkau bukan Cui Eng, lalu engkau... engkau siapa?”

“Saya yang dulu menyelamatkan Paduka dari serangan ular,” Thian Hwa mengingatkan.

Agaknya Pangeran Ciu mulai ingat. “Ya... ya... engkau gadis yang menyelamatkan aku dari serangan ular dan... rasanya aku pernah bertemu lagi... engkau pernah ke sini malam-malam itu, bukan?”

“Benar, saya pernah ke sini,” kata pula Thian Hwa, merasa lega karena pangeran itu agaknya kini sudah dapat mengingatnya.

“Tapi siapakah engkau yang begini mirip dengan Cui Eng? Dan engkau membawa kabar tentang isteriku Cui Eng? Di mana sekarang isteriku yang tercinta itu?”

“Hemm, kalau Paduka memang mencinta Cui Eng, mengapa Paduka begitu tega untuk mengusirnya, membawa anaknya yang masih bayi? Apakah Paduka tidak merasa kasihan kepada ibu dan anak itu?”

Wajah yang kurus itu berkerut penuh perasaan duka. “Ah, jangan kau ingatkan itu, aku... aku tidak berdaya... mendiang orang tuaku yang dulu memaksaku. Aih, anak yang baik, cepat ceritakan bagaimana keadaan Cui Eng sekarang? Di mana ia?”

“Cui Eng sudah tewas ketika diusir pergi dan naik perahu. Perahunya terbalik di Sungai Huang-ho dan ia lenyap ditelan air!” kata Thian Hwa dengan suara tegas, mengandung teguran.

“Aduh... Cui Eng... ampunkan aku, Cui Eng...! Kalau engkau sudah tewas, bawalah aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup menanggung dosa dan penyesalan...” Pangeran itu kini menangis tersedu-sedu.

Hati Thian Hwa yang tadinya mengeras dan membeku itu kini mencair melihat laki-laki setengah tua itu menangis seperti anak kecil. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, teringat akan ibunya. Ia dapat membayangkan betapa sengsara ibunya ketika diusir bersama anaknya yang masih bayi.

“Pangeran Ciu Wan Kong, Paduka seorang pangeran berbangsa Mancu, begitu tega dan memandang rendah seorang wanita Han yang katanya engkau cinta. Di manakah prikemanusiaanmu?”

“Aku bersalah, aku berdosa... ah, Nona, siapakah engkau yang begini mirip Cui Eng, yang berani datang untuk menghancurkan hatiku seperti ini...?”

“Akulah bayi yang dilahirkan Cui Eng kemudian yang engkau usir dari sini!”

Pangeran Ciu Wan Kong terbelalak, matanya masih merah dan basah karena tangis, tubuhnya gemetar seperti mendadak terserang demam. “Engkau... engkau anak Cui Eng... ya, ya... engkau sama benar dengan Cui Eng... engkau... engkau anakku...?”

Thian Hwa tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menubruk kaki ayahnya, berlutut dan menangis. “Ayah... aku... Ciu Thian Hwa... aku... anakmu...!” katanya tersendat-sendat.

Pangeran Ciu Wan Kong juga berlutut dan merangkul gadis itu, mendekap kepala gadis itu ke dadanya erat sekali, seolah dia menemukan kembali sebuah mustika yang hilang dan dia ingin membenamkan mustika dalam hatinya agar tidak hilang lagi. “Anakku...! Ah, Cui Eng, terima kasih... engkau agaknya telah mengampuniku dan memberiku anak ini... Thian (Tuhan)... terima kasih bahwa Engkau telah melindungi anakku ini sehingga dapat bertemu denganku...!”

Ayah dan anak itu berangkulan dan bertangisan. Sampai lama mereka bertangisan. Akhirnya Thian Hwa yang lebih dulu dapat menenangkan hatinya yang tadinya pilu penuh haru. Ia bangkit berdiri membimbing tangan ayahnya, mengusap air matanya dan berkata.

“Ayah, mengapa kita bertangisan? Bukankah sepatutnya kita bergembira oleh pertemuan ini?”

Pangeran Ciu Wan Kong tertawa! Entah sudah berapa lamanya dia tidak pernah tertawa sehingga dia sendiri merasa aneh. Akan tetapi wajahnya kini berseri dan mulutnya tersenyum, matanya yang basah bersinar menemukan kembali gairah hidupnya.

“Ha-ha-ha, engkau benar, Anakku! Mengapa kita menjadi orang-orang cengeng? Padahal engkau, anakku Ciu Thian Hwa, engkau telah menjadi seorang pendekar wanita! Ya, pendekar wanita yang gagah perkasa. Aku bangga sekali! Sepatutnya kita bergembira. Kita rayakan pertemuan ini!”

Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berdiri terlongong memandang majikan mereka yang tampak begitu gembira. Hal ini sungguh amat mengherankan hati mereka karena selama bekerja di situ belum pernah mereka melihat pangeran itu bergembira. Kini pangeran itu berdiri, menggandeng tangan seorang gadis cantik dan tampak begitu gembira!

“Hayo cepat siapkan pesta! Kami akan merayakan kembalinya anakku! Ini puteriku, Ciu Thian Hwa. Kalian harus menyebutnya Ciu Siocia (Nona Ciu)!”

Dua orang pelayan itu terkejut, heran, akan tetapi juga girang sekali. Mereka memberi hormat kepada Thian Hwa dan menyebut “Ciu Siocia” lalu mereka cepat pergi untuk melaksanakan perintah majikan mereka. Pangeran Ciu lalu membawa Thian Hwa ke ruangan dalam dan mereka duduk bercakap-cakap.

“Anakku, sekarang ceritakanlah semuanya kepadaku. Benarkah Ibumu, Cui Eng isteriku yang kucinta dan yang bernasib malang, telah meninggal dunia?”

Thian Hwa menghela napas panjang. “Agaknya begitu, Ayah, walaupun belum ada buktinya bahwa Ibuku telah meninggal dunia. Semua hal tentang diriku juga kudengar dari guruku.”

“Ceritakanlah, ceritakan semuanya, Anakku!”

“Guruku, Thian Bong Sianjin bercerita kepadaku bahwa sembilan belas tahun yang lalu dia menolong aku yang masih bayi dari air Sungai Huang-ho. Dia tidak melihat orang lain biarpun dia sudah berusaha mencari di sungai itu. Maka dia berkesimpulan bahwa kalau aku pergi dibawa ibuku, tentu ibuku telah meninggal dunia. Aku lalu dipelihara dan dididik oleh guruku itu sebagai muridnya, bahkan diangkat sebagai cucunya. Kong-kong Thian Bong Sianjin memberiku nama Thian Hwa. Dia amat sayang kepadaku dan menurunkan semua ilmu silatnya kepadaku.”

“Ah, sungguh besar budi kebaikan Thian Bong Sianjin. Ingin sekali aku dapat bertemu dengan dia untuk mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga. Akan tetapi, kalau engkau dan Thian Bong Sianjin tidak pernah melihat Cui Eng, bagaimana engkau tadi dapat mengatakan bahwa Cui Eng mempunyai ciri tahi lalat di atas bibirnya?”

“Begini, Ayah. Setelah menolongku dari sungai, Kong-kong bermimpi, katanya dia melihat seorang wanita cantik dengan tahi lalat di atas bibir, mohon kepadanya untuk merawat anaknya. Maka Kong-kong berpendapat bahwa wanita cantik itu tentu ibuku.”

“Aih, Cui Eng... kalau engkau sudah muncul dalam mimpi... benar-benar engkau telah mati, kekasihku?”

Melihat ayahnya tampak sedih kembali, Thian Hwa berkata menghibur. “Ayah, tenanglah. Menurut perkiraan Kong-kong, ibuku tentu selamat karena dia tidak menemukan jenazahnya. Masih ada harapan Ibu masih hidup, entah di mana.”

“Mudah-mudahan begitu, Anakku. Sekarang lanjutkan ceritamu. Bagaimana malam itu engkau dapat datang di sini dan agaknya engkau... engkau ketika itu seperti mengancamku.”

“Memang benar, Ayah. Ketika itu aku datang ke sini dengan niat untuk... membunuhmu!”

“Ah, Thian Hwa anakku, kalau engkau hendak membunuhku untuk membalas sakit hati ibumu, silakan. Sekarang juga aku akan menerimanya dengan rela. Memang aku patut mati karena dosaku terhadap Cui Eng!”

“Tidak, Ayah. Buktinya aku tidak jadi membunuhmu. Aku tidak tega dan bahkan merasa kasihan kepadamu. Aku tahu bahwa engkau adalah ayahku setelah aku bertemu dengan kakekku, Kong-kong Cui Sam.”

“Ah, Lo Sam! Pembantu keluarga di sini yang amat setia dan juga menjadi ayah mertuaku! Di mana dia, Anakku? Aku pun ingin bertemu dan minta maaf kepadanya!”

“Aku bertemu dengan Kong-kong Cui Sam di istana Pangeran Cu Kiong dan dia yang bercerita tentang riwayat ibuku. Mendengar betapa ibuku diusir setelah melahirkan aku, aku merasa sakit hati dan hendak membunuhmu, Ayah. Akan tetapi melihat Ayah begitu berduka dan menangisi Ibu, aku menjadi tidak tega.”

“Hemm, tentu engkau yang mengambil gambar ibumu itu!” kata Pangeran Ciu. “Akan tetapi bagaimana engkau sampai berada di istana Pangeran Cu Kiong sehingga dapat bertemu dengan kakekmu?”

Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya, dan bagian terakhir ia menceritakan bahwa kakeknya, Cui Sam, kini tinggal di dusun Kia-jung dekat kota Thian-cin.

“Ah, biarlah aku akan mengirim pasukan menjemput Ayah mertuaku Cui Sam. Dia harus tinggal di sini bersama kita, dia sudah banyak menderita sengsara. Kasihan dia. Akan tetapi ceritamu tentang para pangeran itu sungguh mengejutkan hatiku, Anakku. Apalagi tentang niat Pangeran Leng Kok Cun yang hendak merebut tahta kerajaan! Ini gawat sekali, dan biarpun selama ini aku juga sudah menaruh curiga kepadanya, namun tidak ada bukti akan maksud pengkhianatannya. Sekarang, kita harus segera mengabarkan hal ini kepada Sribaginda agar dapat dilakukan tindakan sebelum dia dapat melaksanakan pemberontakannya itu.”

Karena menganggap berita yang dibawa puterinya itu penting sekali, Pangeran Ciu Wan Kong mengajak puterinya makan hidangan yang sudah disiapkan, kemudian bertukar pakaian dan mereka pun berangkat ke istana. Hal ini merupakan peristiwa yang amat luar biasa bagi para pelayan Pangeran Ciu. Sudah bertahun-tahun pangeran itu hidup terbenam kesedihan, tidak pernah tampak senyum apalagi tawa di bibirnya, dan selalu tampak lesu dan muram.

Akan tetapi mendadak saja, setelah gadis yang diperkenalkan sebagai puterinya itu datang, Pangeran itu tampak berwajah cerah gembira, matanya bersinar penuh semangat dan gerak-geriknya gesit, tidak loyo seperti biasanya. Dia bahkan tersenyum kepada setiap pelayan yang ditemuinya ketika dia memegang tangan Thian Hwa dan mereka berdua keluar dari gedung besar.

Para pengawal istana tentu saja mengenal baik Pangeran Ciu Wan Kong, maka komandan pasukan pengawal segera melaporkan ke dalam akan kunjungan Pangeran Ciu. Laporannya diterima oleh para Thaikam (Orang Kebiri) yang menyampaikan kepada Boan Thaijin, Thaikam yang menjadi penasihat utama Kaisar Shun Chi.

Boan Kit yang sebutannya Boan Thaikam atau Boan Thaijin ini mengerutkan alisnya mendengar bahwa Pangeran Ciu Wan Kong minta menghadap Sribaginda Kaisar. Biarpun Boan Thaijin tidak suka kepada Pangeran Ciu yang amat setia kepada kakaknya yang menjadi kaisar, namun dia tidak berani menolak kunjungan ini. Apalagi dia menganggap Pangeran Ciu sama sekali tidak berbahaya.

Akan tetapi ketika Pangeran Ciu dan Thian Hwa disambut Thaikam Boan Kit, penasihat kaisar ini menatap wajah Thian Hwa dengan tajam penuh selidik. Pangeran Ciu sudah tahu orang macam apa adanya Thaikam Boan Kit, maka melihat pandang matanya dia segera memperkenalkan.

“Boan Thaikam, ini adalah puteriku bernama Ciu Thian Hwa. Karena Kakanda Kaisar belum mengenal keponakan ini, maka kami hendak menghadap Sribaginda Kaisar agar dapat mengenal keponakan beliau.”

Boan Thaikam mengangguk dan merasa lega. Kalau hanya pertemuan keluarga saja, dia tidak perlu curiga dan khawatir. “Sebaiknya Pangeran tunggu sebentar. Saya akan melaporkan kepada Sribaginda yang kini sedang berada di dalam ruangan meditasi. Kalau Beliau sudah selesai bermeditasi, tentu Pangeran berdua dapat menghadap, akan tetapi kalau masih bermeditasi, tentu saja Paduka tidak akan mengganggu Beliau.”

“Tentu saja, kami akan menunggu di sini,” kata Pangeran Ciu.

Diam-diam Boan Thaikam merasa heran bukan main melihat Pangeran Ciu. Dia sudah melakukan penyelidikan dan mengenal betul keadaan para pangeran. Menurut laporan para penyelidiknya, Pangeran Ciu adalah seorang yang lemah dan bahkan jiwanya agak terganggu, selalu mengasingkan diri dan tenggelam dalam duka. Akan tetapi hari ini dia melihat Pangeran Ciu demikian gembira, wajahnya berseri, sinar matanya penuh semangat!

Tak lama kemudian, Thaikam Boan Kit sudah datang menemui Pangeran Ciu dan berkata, “Pangeran, kebetulan sekali Sribaginda Kaisar sudah selesai samadhinya dan mendengar bahwa Paduka hendak menghadap, Beliau gembira dan memperkenankan Paduka berdua memasuki Ruangan Meditasi.”

“Terima kasih, Boan Thaikam,” kata Pangeran Ciu. Tentu saja dia sudah mengenal keadaan dalam istana, maka tanpa ragu lagi dia mengajak Thian Hwa menuju ruangan itu.

Ruangan itu luas, akan tetapi tidak terisi banyak perabot yang serba mewah seperti yang terdapat di lorong-lorong dan ruangan lain dalam istana itu. Bahkan ruangan luas ini sederhana bagi ukuran istana. Hanya terdapat sebuah meja bundar dengan enam buah kursi, sebuah almari besar dan sebuah dipan ukuran sedang. Tentu saja ruangan itu terlampau luas untuk perabot yang sedikit itu.

Begitu melangkah ambang pintu, Thian Hwa melihat seorang laki-laki sekitar enam puluh tahun lebih, duduk bersila dan atas dipan, menghadap ke arah pintu. Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis, bahkan rambutnya dipotong pendek. Jubahnya berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta Buddha. Kalau saja kepala itu gundul, maka laki-laki itu jelas seorang hwesio (pendeta Buddha)! Thian Hwa memandang heran. Inikah Sribaginda Kaisar? Seorang pendeta seorang hwesio?

Pangeran Ciu Wan Kong sudah menjatuhkan diri berlutut begitu melangkah masuk dan tentu saja Thian Hwa segera ikut pula berlutut. “Ban-swe, ban-ban-swe...!”

“Semoga Sribaginda Kaisar panjang umur!” kata Pangeran Ciu dan ucapan ini pun diikuti oleh Thian Hwa.

Secara harfiah penghormatan umum bagi kaisar itu berarti “panjang umur selaksa tahun” dan Thian Hwa yang meniru ayahnya meneriakkan salam penghormatan itu diam-diam merasa geli. Laksaan tahun? Bagaimana kalau harapan itu dikabulkan? Bagaimana rupa kaisar itu nanti kalau usianya mencapai laksaan tahun? Baru enam puluh tahun lebih saja sudah tampak tua! Maka, ia tidak dapat menahan geli hatinya dan sambil menggigit bibir ia menahan tawanya dan tampak tersenyum aneh.

Terdengar suara Kaisar Shun Chi yang lembut, suara yang penuh kesabaran seperti suara seorang hwesio. “Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, adikku yang baik! Menurut keterangan Boan Thaikam, engkau berkunjung bersama puterimu. Ah, ini merupakan pertemuan keluarga, bukan persidangan resmi, maka jangan memakai banyak peraturan yang kaku. Tidak enak antara keluarga berbincang-bincang dengan kaku begini. Ciu Wan Kong, dan engkau keponakanku, kalian bangkit dan duduklah di atas kursi.”

Pangeran Ciu Wan Kong yang merupakan adik misan Kaisar Shun Chi yang di waktu mudanya akrab dengan kakaknya, mengenal betul watak kaisar itu yang lembut dan bahkan ramah. Dia segera bangkit berdiri, diikuti oleh Thian Hwa.

“Banyak terima kasih, Kakanda Kaisar,” katanya dengan akrab. Mereka lalu duduk di atas kursi menghadap ke arah Kaisar Shun Chi.

“Ciu Wan Kong, sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau berada dalam kedukaan dan bahkan seperti mengasingkan diri. Sudah lama sekali kami tidak bertemu denganmu, akan tetapi hari ini kami melihat engkau berwajah ceria. Sukurlah kalau engkau sudah dapat mengatasi kedukaanmu. Dan kami mempunyai keponakan sudah begini besar, mengapa selama ini tidak pernah diajak menghadap ke sini?”

“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Sesungguhnya saya sendiri baru saja menemukan kembali puteri saya yang hilang sejak ia masih bayi.”

“Omitohud! Menarik sekali itu, kenapa kami tidak pernah mendengarnya? Ceritakanlah apa yang terjadi dengan engkau dan anakmu ini, Dinda,” kata Kaisar dan kembali Thian Hwa merasa heran. Mendengar ucapan Kaisar, ia merasa seolah berhadapan dengan seorang hwesio!

Pangeran Ciu Wan Kong lalu menceritakan kepada Kaisar Shun Chi tentang Cui Eng yang diusir orang tuanya sejak melahirkan seorang anak perempuan. Kemudian menceritakan tentang pertemuannya kembali dengan Thian Hwa yang setelah menjadi seorang gadis pendekar yang lihai lalu mencari ayah ibunya.

“Hemm, kami masih ingat bahwa ibumu, adik ayahku, adalah seorang yang berwatak keras. Akan tetapi sungguh tak kusangka ia akan tega terhadap cucunya sendiri. Beginilah kalau manusia membiarkan dirinya terikat kepada derajat dan kehormatan. Ikatan menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sribaginda Kaisar. “Akan tetapi sekarang engkau dapat berkumpul kembali dengan puterimu, kami ikut merasa gembira dan bahagia!”

“Terima kasih, Kakanda Kaisar. Akan tetapi saya menghadap Kakanda ini, selain untuk memperkenalkan puteri saya, juga untuk melaporkan keadaan yang teramat gawat, yang didapatkan oleh Thian Hwa.”

Kaisar Shun Chi tersenyum. “Hal gawat apakah itu?”

“Thian Hwa, ceritakanlah kepada Sribaginda Kaisar,” kata Pangeran Ciu kepada puterinya.

Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika ia bertemu dengan Pangeran Leng Kok Cun, tentang apa yang ia ketahui tentang pangeran yang hendak merampas tahta kerajaan dengan mengumpulkan banyak tokoh sesat dunia kang-ouw dan mengadakan persekutuan dengan para pejabat yang sehaluan.

“Mohon beribu ampun, Yang Mulia. Sebetulnya hamba tidak berani menyusahkan perasaan Paduka dengan cerita ini, akan tetapi menaati perintah Ayah, hamba menceritakan juga.” Thian Hwa menutup ceritanya ketika melihat betapa wajah yang penuh kesabaran itu diselimuti kedukaan setelah mendengar ceritanya.

Kaisar Shun Chi menghela napas panjang. “Baik sekali engkau menceritakan hal itu, Thian Hwa. Sesungguhnya, hal seperti itu sudah lama kukhawatirkan, Dinda Ciu Wan Kong. Perebutan kekuasaan, seolah kekuasaan harta benda itu dapat mendatangkan kebahagiaan! Padahal semua itu bahkan mendatangkan ikatan dengan dunia yang lebih kuat lagi. Jelas bahwa Pangeran Leng Kok Cun menuruti hawa nafsu angkara murka. Memang dia yang paling tua di antara putera-puteraku, akan tetapi dia lahir dari selir sehingga tidak berhak menggantikan aku. Orang pertama yang berhak adalah puteraku bungsu Pangeran Mahkota Kang Shi. Ah, kedudukan dan harta hanya mendatangkan pertengkaran dan perebutan. Keadaan inilah yang membuat aku ingin melepaskan semuanya itu. Bebas dari pengaruh dunia yang hanya mendatangkan kesenangan palsu yang berakhir dengan kesengsaraan. Bebas dari segala persoalan yang hanya menimbulkan kebencian dan permusuhan.” Kaisar itu menghela napas lagi dan duduk diam seperti orang melamun.

“Maafkan saya, Kakanda Kaisar. Menurut cerita Thian Hwa tadi, bahaya dan keributan itu baru merupakan ancaman saja dan sebaiknya ancaman itu disingkirkan agar jangan terjadi malapetaka. Ampunkan saya karena saya usulkan ini hanya demi menjaga kejayaan Kerajaan Ceng.”

Kembali Kaisar Shun Chi menghela napas panjang. “Adikku Ciu Wan Kong, bagaimanapun juga, Pangeran Leng Kok Cun adalah puteraku sendiri. Aku akan menasihatinya agar dia insaf dan menyadari kekeliruannya sehingga tidak melanjutkan niatnya yang tidak baik itu.”

Tiba-tiba terdengar gerakan orang di pintu. Thian Hwa yang memiliki kepekaan terhadap ancaman bahaya, cepat menengok dan ia melihat lima orang prajurit pengawal masuk ke ruangan itu. Tiba-tiba mereka berlima mengayun tangan dan terdengar suara bersiutan ketika lima sinar meluncur ke arah Kaisar!

Dengan gerakan cepat sekali Thian Hwa menyambar kursi yang tadi didudukinya, melompat ke depan Kaisar dan menangkis lima batang piauw (senjata gelap) yang menyambar itu sehingga terdengar suara berdentingan ketika lima batang piauw itu terlempar ke atas lantai. Sementara itu, Pangeran Ciu Wan Kong cepat melompat dan memegang tangan Kaisar Shun Chi, menariknya ke belakang almari besar untuk berlindung.

Melihat serangan mereka digagalkan gadis cantik yang berada di situ, lima orang prajurit pengawal itu berlompatan sambil mencabut pedang mereka. Thian Hwa tidak membawa senjata karena hal itu dilarang oleh ayahnya. Menghadap Kaisar memang dilarang keras membawa senjata. Melihat lima orang itu bergerak demikian gesit, Thian Hwa dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan prajurit pengawal biasa.

Mungkin orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat yang menyamar sebagai prajurit pengawal. Ia tahu bahwa keselamatan Kaisar terancam, maka ia cepat mengambil jarum-jarum kecil yang disembunyikan di saku bajunya. Kursi yang tadi dipakai menangkis lima batang piauw itu ia lontarkan ke arah lima orang pengawal yang menyerbu masuk.

Tepat seperti dugaannya, lima orang itu dengan mudah menghindarkan diri dari sambaran kursi, bahkan seorang dari mereka menggunakan pedangnya membacok kursi sehingga patah-patah. Akan tetapi, serangan dengan lemparan kursi itu dilakukan Thian Hwa hanya untuk mengalihkan perhatian mereka. Segera sinar-sinar putih menyusul kursi itu dan itulah jarum-jarum Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih) yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah lima orang itu.

Terdengar teriakan mengaduh dan dua orang dari mereka terpelanting roboh terkena jarum yang menyambar dengan amat cepatnya itu. Tiga orang yang lain masih sempat menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum lembut itu. Thian Hwa melompat ke depan, disambut serangan tiga orang itu. Memang jelas bahwa mereka itu bukan prajurit biasa karena serangan pedang mereka cukup lihai dan ganas.

Karena Thian Hwa harus melindungi Kaisar, maka ia mengambil tempat melindungi Kaisar yang berada di belakangnya agar dia dapat mencegah tiga orang itu melakukan serangan kepada Kaisar Shun Chi dan Pangeran Ciu Wan Kong yang berlindung di balik almari. Thian Hwa bergerak dengan ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan).

Gerakannya ringan dan gesit seperti seekor burung, berkelebatan di antara tiga gulungan sinar pedang pengeroyoknya. Tiga orang itu memang memiliki ilmu pedang yang cukup lihai, terutama sekali yang seorang, yang bertubuh tinggi kurus. Dialah yang paling lihai dan agaknya orang ini mencari kesempatan untuk menerobos lewat Thian Hwa agar dapat membunuh Kaisar!

Pangeran Ciu Wan Kong beberapa kali membujuk Kaisar untuk memberi tanda memanggil para pengawal. Akan tetapi Kaisar Shun Chi yang bersikap tenang sekali itu menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara tegas.

“Tidak, Dinda. Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian puterimu. Kita lihat saja. Aku yakin ia akan dapat mengalahkan mereka.”

Tentu saja hati Pangeran Ciu Wan Kong gelisah sekali melihat puterinya kini dikeroyok tiga orang yang bersenjata pedang, sedangkan puterinya bertangan kosong! Akan tetapi dia tidak berani membantah ucapan Kaisar dan hanya menonton dengan jantung berdebar.

Dugaan Kaisar memang benar. Tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi daripada tingkat tiga orang pengeroyoknya, atau lebih tepat yang dua orang, karena yang seorang itu memang benar lebih tangguh daripada yang lain. Setelah bertanding belasan jurus, dengan tendangan kakinya, Thian Hwa berhasil merobohkan dua orang pengeroyok.

Akan tetapi ia sempat terkejut melihat lawannya yang tinggal seorang itu, tiba-tiba saja menyerang ke arah kawan-kawannya sendiri! Empat kali pedangnya menyambar ke arah empat orang yang sudah roboh terluka itu dan mereka pun tewas seketika.

“Jahanam!” Thian Hwa membentak marah dan ia cepat menyerang dengan pengerahan tenaga sakti. Orang tinggi kurus itu mencoba untuk memapaki serangan ini dengan bacokan pedangnya.

“Trakkk...!” Pedang itu terpental dan terlepas dari pegangan tangannya ketika terpukul oleh tangan Thian Hwa yang terisi penuh tenaga sakti yang amat kuat. Kaki Thian Hwa menyusul dengan tendangan dan tubuh orang itu terlempar, menabrak dinding ruangan itu dan jatuh terkulai.

Thian Hwa melompat untuk menangkapnya karena ia perlu mengorek keterangan dari satu-satunya lawan yang masih hidup itu agar diketahui siapa yang mendalangi penyerangan itu. Akan tetapi, orang itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan tubuhnya menggelepar lalu tewas!

“Keparat! Dia telah menelan racun!” Thian Hwa berseru marah.

Setelah lima orang penyerang itu tewas semua, barulah Kaisar Shun Chi membunyikan kelenengan sebagai tanda memanggil para pengawal. Belasan orang prajurit pengawal berlari masuk, dipimpin oleh Boan Thaikam sendiri yang datang dengan pedang di tangan! Boan Thaikam ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia terbelalak memandang mayat lima orang prajurit pengawal itu dan cepat dia memandang kepada Kaisar Shun Chi yang masih bergandeng tangan dengan Pangeran Ciu Wan Kong dan kini sudah keluar dari balik almari besar.

“Ya Tuhan...!” Thaikam itu berseru sambil memandangi mayat-mayat itu dan menyembah kepada Kaisar dengan membalikkan pedang di bawah lengannya. “Sribaginda, apakah yang telah terjadi? Siapa lima orang yang berpakaian seperti pengawal ini dan mengapa mereka mati di sini...?”

Dengan sikap tenang saja Kaisar berkata. “Mereka berusaha untuk membunuhku, namun keponakanku yang gagah perkasa ini telah menggagalkan niat jahat mereka. Boan Thaikam, cepat perintahkan anak buahmu untuk menyingkirkan mayat-mayat itu dari sini dan membersihkan lantai ruangan ini!”

“Baik, Sribaginda.” Thaikam itu lalu sibuk mengatur orang-orangnya untuk menyingkirkan lima mayat itu, membawanya keluar.

Kaisar Sun Chi lalu berkata kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa. “Mari kita melanjutkan pembicaraan kita di ruangan lain.”

Setelah berkata demikian, dia menekan tombol yang tersembunyi di balik almari dan... terbukalah sebuah pintu di dekat almari itu! Thian Hwa dan ayahnya lalu mengikuti Kaisar masuk ke ruangan lain melalui pintu rahasia itu. Setelah mereka masuk, pintu itu segera tertutup kembali dan dinding itu tampak utuh.

Ruangan itu lain dari ruangan tadi. Tidak seluas tadi dan perabotnya seperti di ruangan lain, indah dan mewah. Jelas bukan merupakan kamar tidur karena tidak ada pembaringannya. Hanya ada meja kursi dan perabot hiasan. Setelah mereka duduk, Pangeran Ciu Wan Kong tidak dapat menahan keinginannya.

“Maaf, Kakanda Kaisar, saya sungguh merasa heran dan ingin tahu sekali. Tadi ketika Kakanda terancam lima orang pembunuh itu dan kita berada di balik almari, mengapa Kakanda tidak menggunakan pintu rahasia itu untuk menyelamatkan diri?”

Kaisar Shun Chi tersenyum lebar. “Dan tidak menyaksikan keponakanku yang gagah perkasa ini bagaimana gagahnya ia menggagalkan usaha mereka? Omitohud! Aku tidak begitu bodoh, Dinda Pangeran. Aku ingin melihat buktinya lebih dulu bahwa Thian Hwa adalah seorang pendekar wanita yang pantas kuserahi tugas melindungi Pangeran Mahkota, dan pantas kuberi sebuah Tek-pai.”

Pangeran Ciu terbelalak memandang Kaisar. “Melindungi Pangeran Mahkota? Dan diberi Tek-pai (Bambu Tanda Kuasa Kaisar)? Akan tetapi bukankah Pangeran Mahkota sudah dilindungi oleh Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan keluarganya? Dan puteri saya ini... ia... ia... masih amat muda, sudah pantaskah ia menerima sebuah Tek-pai? Saya mohon Kakanda mempertimbangkan kembali.”

Tentu saja Pangeran Ciu Wan Kong merasa amat khawatir mendengar ucapan Kaisar itu. Melindungi Pangeran Mahkota merupakan sebuah tugas besar yang teramat penting dan melihat betapa para pangeran agaknya merasa iri dan ingin mendapatkan tahta kerajaan menggantikan Sang Kaisar, maka pekerjaan melindungi Pangeran Kang Shi itu penuh bahaya.

Dan diberi Tek-pai, yaitu sepotong bambu yang ada cap dan tanda tangan Kaisar dengan tulisan bahwa pemegangnya diberi kekuasaan oleh Kaisar, juga berarti memberi tanggung jawab yang amat berat di atas pundak puterinya, seorang gadis muda! Biasanya yang diberi Tek-pai adalah mereka yang sudah benar-benar dipercaya oleh Kaisar, seorang pejabat tinggi yang setia dan sudah banyak jasanya!

Kembali Kaisar Shun Chi tersenyum. “Adinda Ciu, aku selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Telah kupertimbangkan dengan baik ketika aku mengangkat Thian Hwa menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi. Thian Hwa, engkau akan membantu Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kuserahi tugas mendidik dan menjaga Pangeran Mahkota. Engkau bertugas menjaga keselamatannya dan menentang mereka yang berniat jahat terhadap Pangeran Kang Shi. Untuk itu, engkau akan kuberi Tek-pai agar ke mana pun engkau minta bantuan, semua pejabat pemerintah pasti akan menerimamu dan membantumu. Nah, Thian Hwa, keponakanku yang gagah, sanggupkah engkau menerima tugas ini?”

Thian Hwa lalu bangkit dari kursinya dan menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar. “Hamba menaati semua perintah Paduka Sribaginda!”

Kaisar Shun Chi tertawa senang. “Ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteri Dinda Ciu Wan Kong yang merupakan adikku yang paling bijaksana dan setia!” Kaisar tertawa lagi. Akan tetapi dia lalu bersikap serius, senyumnya lenyap dan dia berkata lirih.

“Dengar baik-baik kalian berdua yang kupercaya. Sesungguhnya aku sudah menduga akan semua yang kalian ceritakan itu. Aku pun sudah tahu akan niat puteraku Pangeran Leng Kok Cun yang tidak sehat itu. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia adalah puteraku. Aku akan seperti mencoreng arang di mukaku sendiri kalau bertindak terhadap puteraku sendiri. Oleh karena itu, aku sudah mengambil keputusan yang sudah sejak lama kurencanakan.”

Kaisar Shun Chi lalu dengan suara berbisik memberitahu kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa tentang rencananya. Keputusan yang diambil Kaisar Shun Chi memang luar biasa dan hebat. Kaisar yang telah lama menekuni Agama Buddha itu sehingga dia tidak acuh terhadap urusan kerajaan, ingin meniru apa yang dilakukan Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana dengan semua kesenangan dan kemewahannya untuk mencari jalan kebenaran sehingga akhirnya menjadi Buddha.

Kaisar Shun Chi juga ingin meninggalkan istana secara diam-diam agar jangan menggegerkan rakyat, menjadi pendeta Buddha dan menghabiskan hidupnya untuk melepaskan diri dari semua ikatan. Agar tidak sampai menimbulkan kekacauan, mereka yang dekat dengannya dan dipercaya akan mengabarkan bahwa Kaisar Shun Chi telah wafat!

“Akan tetapi, Kakanda...!” Pangeran Ciu Wan Kong berseru kaget dan heran.

Kaisar Shun Chi mengangkat tangan kanannya ke atas. “Cukup, Dinda Ciu, keputusan ini tidak dapat diubah oleh siapapun juga, sudah menjadi keputusanku. Aku akan meninggalkan surat wasiat bahwa penggantiku haruslah Pangeran Kang Shi. Dinda Ciu Wan Kong, terutama engkau Thian Hwa, sangat kuharapkan untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki dan para menteri dan panglima yang setia agar penobatan Pangeran Kang Shi sebagai kaisar penggantiku berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan atau halangan. Ini merupakan perintahku yang terakhir! Maukah engkau berjanji, Ciu Thian Hwa?”

Thian Hwa juga terkejut dan heran mendengar rencana Kaisar yang diucapkan dengan suara tenang namun tegas itu. Ia pun menjawab tanpa ragu. “Hamba siap melaksanakan semua perintah Paduka, Sribaginda!”

“Bagus, sekarang hatiku menjadi tenang. Biarpun aku sudah menyerahkan semua harapan dan kepercayaan kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang didukung oleh isterinya yang bijaksana dan tinggi ilmunya, namun mereka masih memerlukan bantuan seorang seperti engkau, Thian Hwa. Surat wasiat itu telah kutulis, akan tetapi masih kubawa. Sekarang, tugas pertamamu adalah membawa surat wasiat ini kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan menyerahkan surat wasiat ini kepadanya.”

“Maaf, Kakanda Pangeran, apakah Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengetahui akan rencana Kakanda membuat surat wasiat ini?”

“Sudah, mereka sudah mengetahui semua rencanaku. Berikan saja surat wasiat ini kepadanya dan dia akan mengerti.” Kaisar lalu mengambil surat wasiat itu dari balik jubahnya dan menyerahkannya kepada Thian Hwa.

Gadis itu menerimanya dan menyimpannya baik-baik di balik bajunya sehingga tidak tampak dari luar.

“Nah, sekarang kalian boleh pergi dari sini.”

“Akan tetapi, Kakanda. Ke manakah saya harus mencari kalau saya ingin berjumpa dengan Kakanda?” tanya Pangeran Ciu Wan Kong dengan hati pilu.

“Dinda Ciu Wan Kong! Kalau nanti ada berita tentang Kaisar Shun Chi wafat, berarti aku sudah tidak berada di sini. Jangan tanya lagi ke mana aku pergi dan jangan mengharap akan bertemu dengan aku lagi. Anggap saja aku benar-benar sudah mati.”

“Kakanda....”

“Cukup, jangan lemah dan cengeng, Dinda Ciu Wan Kong. Lihat puterimu begitu tegar dan gagah! Laksanakan saja pesanku dengan baik dan aku yakin Kerajaan Ceng akan tetap jaya! Pergilah, kalau terlalu lama kalian berada di sini akan menimbulkan kecurigaan.”

Setelah menerima Tek-pai dan surat wasiat dari Kaisar Shun Chi, Thian Hwa dan ayahnya lalu meninggalkan istana dengan hati berat. Terutama sekali Pangeran Ciu Wan Kong. Pertemuannya dengan Kaisar tadi mungkin merupakan pertemuan terakhir! Akan tetapi dengan adanya Thian Hwa di sampingnya, Pangeran Ciu Wan Kong dapat terhibur. Penghidupannya berubah sepenuhnya setelah puterinya itu tinggal bersamanya. Dia lalu cepat menyuruh orang menjemput Lo Sam yang tinggal di dusun Kia-jung untuk datang, dan tinggal di gedungnya, bukan lagi sebagai seorang pelayan seperti dahulu, melainkan sebagai ayah mertua yang dihormati!

* * * *

Kita tinggalkan dulu Thian Hwa yang kini tinggal bersama ayahnya di kota raja dan mengemban tugas yang penting dan berat dari Kaisar, dan kita ikuti pengalaman Ui Yan Bun yang telah hampir dua tahun kita tinggalkan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yan Bun membantu Thian Hwa yang dikeroyok oleh Kam-keng Chit-sian (Tujuh Dewa dari Kam-keng), para pengawal Pangeran Cu Kiong. Thian Hwa yang tadinya terdesak hebat, dengan bantuan Yan Bun berbalik dapat merobohkan empat orang pengeroyok hingga tewas. Tiga yang lain melarikan diri. Ketika Yan Bun hendak mengejar dan membunuh Pangeran Cu Kiong, Thian Hwa melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan Yan Bun yang ketika itu hendak mencari kakek angkat atau gurunya, yaitu Thian Bong Sianjin.

Sebagai seorang yang berperasaan peka, ketika Thian Hwa mencegah dia membunuh Pangeran Cu Kiong yang tampan gagah itu, Yan Bun sudah dapat menduga akan isi hati Thian Hwa. Gadis itu agaknya jatuh cinta kepada Sang Pangeran! Tentu saja hal ini menusuk hatinya. Dia yang sejak dahulu amat mencinta Thian Hwa kini mendapat kenyataan betapa gadis itu tidak membalas cintanya, bahkan mencinta laki-laki lain, yaitu Pangeran Cu Kiong!

Dengan hati kecewa dan sedih karena dia harus berpisah dari gadis yang dicintanya, Yan Bun lalu meninggalkan kota raja dan menuju ke Lam-hu di selatan. Dia hendak mengunjungi Ui Tiong, pamannya yang juga menjadi gurunya yang pertama, yang tinggal di sana. Pek-hunya (Paman Tuanya) itu membuka sebuah toko obat di Lam-hu karena selain ahli silat yang cukup pandai, Ui Tiong juga pandai tentang ilmu pengobatan.

Kota Lam-hu merupakan kota yang cukup ramai. Letaknya di dekat sebuah telaga yang besar. Kota itu dinamakan Lam-hu yang sebetulnya nama dari telaga itu, yakni Lam-hu (Telaga Selatan). Kota Lam-hu berseberangan dengan sederetan bukit-bukit yang rimbun dengan hutan.

Ketika matahari sudah mulai panas dan orang-orang mulai bekerja, menggarap sawah ladang, mencari ikan di telaga, ada pula yang mengumpulkan hasil hutan di pegunungan itu, masuklah Ui Yan Bun ke kota Lam-hu. Dia mengenal benar kota ini karena selama tidak kurang dari tujuh tahun, dia dahulu tinggal di rumah pamannya, membantu pekerjaan Ui Tiong yang berdagang obat dan belajar silat dari pamannya itu. Ui Tiong dan isterinya amat sayang kepada Yan Bun karena mereka sendiri tidak mempunyai anak.

Ketika memasuki kota Lam-hu, Yan Bun merasa gembira. Seolah tidak ada perubahan sama sekali setelah dia meninggalkannya selama beberapa tahun ini. Dia membayangkan betapa akan senangnya paman dan bibinya menyambut kedatangannya. Ketika lewat di jalan yang berada di dekat telaga, dia berhenti sebentar dan memandang ke permukaan telaga dengan wajah berseri.

Teringatlah dia betapa dulu dia sering main-main naik perahu atau berenang dengan kawan-kawan di telaga itu. Indah sekali pemandangan di telaga. Dari tempat dia berdiri, dia melihat pegunungan yang hijau itu membayang di permukaan air di seberang. Perahu-perahu nelayan hilir mudik perlahan dan tampak para nelayan menyebar jala, dan banyak pula yang memegang tangkai kail untuk memancing ikan di bagian yang airnya tenang.

Yan Bun yang berpakaian serba biru, berwajah tampan dan bertubuh tegap, melanjutkan langkahnya dengan hati merasa gembira. Dia telah dapat melupakan kekecewaan dan kesedihannya memikirkan Thian Hwa, yang seolah tidak mempedulikannya. Kini dia ingin segera bertemu Ui Tiong dan isterinya.

Akan tetapi ketika dia tiba di rumah Ui Tiong, dia segera melihat keanehan itu. Matahari telah naik tinggi, akan tetapi toko obat itu belum dibuka! Ini aneh sekali, karena biasanya, paman dan bibinya itu amat rajin dan selama dia berada di situ dulu, tidak sehari pun toko itu ditutup. Maka dia segera mengetuk daun pintu rumah yang berada disamping toko. Ketika pelayan membuka daun pintu, dia disambut tangis memilukan oleh isteri Ui Tiong!

“Bibi, apa yang terjadi?” Yan Bun bertanya.

“Pamanmu... Pamanmu....” Nyonya itu menangis semakin sedih.

“Pek-hu (Paman Tua) kenapa? Di mana dia?”

Wanita itu tak dapat bicara dan menangis sesenggukan. Yan Bun menghiburnya dan setelah tangisnya mereda, barulah wanita itu dapat menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa Ui Tiong, suaminya. Nyonya Ui Tiong lalu menceritakan apa yang menimpa suaminya. Terjadinya baru tadi malam. Ketika itu, toko obat sudah ditutup dan Ui Tiong bersama isterinya sedang makan malam ketika tiba-tiba saja pintu rumah mereka terbuka dan muncul seorang gadis cantik.

“Hei, siapa engkau dan apa keperluanmu, Nona?” Ui Tiong yang sudah selesai makan menegur dengan alis berkerut karena perbuatan gadis itu memang tidak sewajarnya dan kurang ajar memasuki rumah orang begitu saja dan tahu-tahu berada di dalam.

Akan tetapi dia masih bersabar karena mengira bahwa gadis itu tentu sedang resah karena ada keluarganya yang sedang sakit parah dan kini datang hendak minta tolong atau mencari obat. Yang membuat Ui Tiong dan isterinya merasa heran adalah karena melihat bahwa gadis itu seorang yang sama sekali tidak mereka kenal. Padahal, suami isteri ini sudah tinggal di kota Lam-hu selama belasan tahun dan dapat dikatakan bahwa mereka mengenal semua penduduk kota itu.

Gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi semampai, pinggangnya ramping dan wajahnya cantik manis dengan setitik tahi lalat hitam di dagu sebelah kiri. Pakaiannya mewah seperti pakaian seorang puteri bangsawan. Dengan sinar matanya yang tajam ia menatap Ui Tiong dan isterinya, lalu bertanya dengan sikap angkuh, ditujukan kepada Ui Tiong....

Selanjutnya,