X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 15

Cerita Silat Mandarin serial perserikatan naga api episode kemelut tahta naga 1 jilid 15 karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 15

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
NAMUN Tong Lam Hou tak mau gegabah memperhitungkan kekuatan lawan. Dari balik rimbunnya pucuk-pucuk pepohonan, terlihat puncak sebuah pagoda yang mencuat. Itu tentunya pagoda kaum Ang-ih-kau yang dibangun Kaisar Yong Ceng untuk menyenangkan kaum Lama yang menjadi pengawal-pengawal pribadi.

Tong Lam Hou tahu, di pagoda itulah kedua cucunya serta Se-bun Hong-eng disekap, dan tentunya penjagaan di pagoda itu akan cukup kuat. Dari arah pagoda tiba-tiba muncul empat orang Lama berjalan beriringan. Salah seorang dari mereka beralis putih, sudah tua namun bertubuh kekar, langkahnya tegap, dan wajahnya kemerah-merahan.

Tiga Lama lainnya berusia lebih muda, bersikap hormat kepada si Lama tua, dan Tong Lam Hou mengenali ketiganya sebagai tiga Lama yang tadi ikut menyerbu rumah Kui Hok. Tong Lam Hou langsung mendapat kesimpulan bahwa si Lama tua tak boleh dipandang enteng ilmu silatnya. Sambil bertiarap membisu di atas dinding, Tong Lam Hou menajamkan kupingnya untuk mendengar percakapan para Lama.

"Jadi benar bahwa Pak Kiong Liong serta bandit-bandit Hwe-lliong-pang sudah masuk kota?" tanya Biau Beng Lama, si pendeta tua itu.

"Betul, suhu," sahut Po Goan Lama yang memanggul senjata Hong-pian-jan-nya. "Dulu tujuan kita menculik anak-anak itu hanya untuk memancing Pak Kiong Liong, eh, ternyata orang-orang Hwe-liong-pang ikut terpancing juga. Nampaknya persiapan kita harus memadai untuk menyambut mereka."

"Hem, jangan terlalu cemas," sahut gurunya. "Kuperhitungkan mereka takkan menyerbu malam ini, piling cepat besok malam barulah mereka datang. Kita akan punya waktu satu hari untuk bersiap-siap."

"Perhitunganku sama dengan suhu," sahut Po Goan Lama. "Malam ini tentu mereka mengatur rencana, dan besok malam barulah menyerbu. Tetapi besok malam mereka akan seperti ikan-ikan yang masuk jaring, ha ha ha...."

Di atas dinding, Tong Lam Hou tertawa dingin, "Ya, besok malam jaring kalian hanya akan menangkap angin, sekaranglah kami yang akan mengobrak-abrik sarang kalian," katanya dalam hati.

Sementara itu, Lama berkulit hitam dan berhidung mancung, Ci Long Lama, bertanya, "Apakah penjagaan atas Ketiga bocah itu perlu diperketat?"

Belum lagi Biau Beng Lama menjawab, malam sunyi itu tiba-tiba dirobek oleh suara letusan bedil di kejauhan. Para Lama berhenti melangkah dan bertukar pandangan dengan wajah heran. "Suaranya seperti dari arah Leng-goat-kiong," kata Hoat Kheng Lama. "Apakah perlu kita ke Sana? Barangkali Hong-siang terancam bahaya...."

"Tidak perlu, Leng-goat-kiong bukan tanggung jawab kita," Sahut Po Goan Lama mendahului gurunya. Keselamatan Hong-siang tidak mengkhawatirkan, sebab beliau tidak di Leng-goat-kiong malam ini. Menurut dugaanku, tentu ada orang-orang yang hendak membebaskan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai..."

"Memang bukan urusan kita," dukung Ci Long Lama. "Itu urusan Be Kun Liong yang selama ini dengki kepada kita, karena kita lebih diperhatikan oleh Hong-siang. Kita doakan saja agar Be Kun Liong kebobolan malam ini, supaya mendapat malu di hadapan Hong-si-in.

"Ya, apalagi kalau kuingat betapa Be Kun Lioag pernah menghina kita di bawah todongan senapannya, sungguh penghinaan yang sulit kita lupakan.”

Mendengar percakapan itu, Tong Lam Hou diam-diam heran dan membatin dalam hati, "Kiranya ada saling kebencian antar kelompok-kelompok di dalam istana ini. Agaknya situasinya berebutan mencari muuka kepada Yong Ceng tanpa menghiraukan kelompok lainnya. Inilah akibatnya kalau Yong Ceng mengumpulkan kekuatan pendukung dengan sembarangan saja, tanpa disaring ketat, perpecahan diantara keIompok-kelompok pendukungnya sendiri akan menghancurkan dirinya sendiri...”

Sementara itu letusan bedil semakin gencar. Diam-diam Tong Lam Hou cemas juga akan nasib Pak Kiong Liong, Hong Thai Pa dan Hu se Hiong, yang agaknya bukan hanya menghadapi senjata-senjata kuno, namun juga bedil-bedil para pengawal Istana. Namun semuanya sudah terlanjur melangkah, tak mungkin surut lagi.

Terdengar Biau Beng Lama berkata kepada murid-muridnya, “Kalian berjaga di sini dengan waspada aku akan mendampingi Hong-siang. Biarpun keselamatan Hong-siang tidak terancam, tetapi haruslah timbul kesan bahwa kita memperhatikan keselamatannya. Jaya atau hancurnya Ang-ih-kau kita di Tiong-go-an tergantung dari. pandai atau tidak-nya kita mengambil hati Hong-siang."

Dan tanpa menunggu jawaban murid-muridnya lagi, Biau Beng Lama bergegas pergi. Setelah BiauBeng-Lama cukup jauh, Tong Lam Hou memutuskan agar kelompoknya segera bertindak. la membunyikan isyarat dari mulutnya, mirip suara burung hantu berturut-turut tiga kali.

Tong Gin Yan, Pak Kion Eng, Se Bun Beng, Au Yang Siau Hong, Ji Han Lim serta Kiong Wang Peng yang sudah tidak sabar menunggu di luar tembok, segera berlompatan masuk bagaikan segerombolan kucing. Hanya Kui Hok yang di tinggalkan di luar, untuk mengawasi ke adaan dan memberi isyarat kalau ada bahaya.

Tetapi kibaran pakaian mereka ketika melompat telah terdengar oleh Po Goan Lama yang berkuping tajam. Serempak ia membalik tubuh sambil membentak, "Siapa?"

Thian-lui-tui (si Tendangan Geledek) Kiong Wan Peng yang tiba dulu di bagian dalam dinding, langsung menyerang Po Goan Lama sambil berkata, “Kami sekedar membalas kunjungan kehormatanmu tadi sore...."

Po Goan Lama kaget sekali, sama sekali diluar perhitungan bahwa orang-orang Hwe-liong-pang malam itu juga mengadakan '‘kunjungan balasan", padahal perhitungannya paling cepat besok malam. Gurunya sudah pergi ke tempat Kaisar, ditempat itu ia hanya bersama Ci Liong dan Hoat Kheng Lama, dan harus menghadapi musuh tangguh yang bermunculan sebanyak itu.

Kemudian memang muncul satu regu perajurit Han-lim-kun yang langsung membantu para Lama. Namun Tong Lam Hou merasa tenaga di pihaknya masih cukup memadai untuk membendung musuh, maka dia tidak ikut bertempur, melainkan melesat cepat ke arah pagoda itu.

Melihat gerak-gerik ayahnya, Tong Gin Yan paham maksudnya. Maka untuk mengacaukan pikiran musuh, sengaja ia berteriak, "Begundal- begundal Kaisar lalim, keruntuhan Yong Ceng sudah di depan mata, buat apa kalian susah pa yah membelanya?"

Lawannya adalah Ci Long Lama, si pendeta India yang bersenjata tongkat bambu. Dengan bahasa Han yang kaku, ia bertanya dengan kaget , "Apa maksudmu?"

Tong Gin Yan menyahut, "Saat ini seluruh Ci-kim-shia sudah diserbu ribuan pengikut berani mati dari Pangeran In Te yang akan memperjuangkan keadilan! Yong Ceng akan mampus malam ini juga, kalian menyerah sajalah!"

Suara pertempuran di kejauhan memang semakin riuh, juga berpindah-pindah tempat, sehingga Ci Long Lama agak percaya obrolan Tong Gin Yan. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya, hatinya goncang, permainan silatnya jadi kacau. Ketika Tong Gin Yan mendesaknya dengan Lian-cu-sam-kiam (Tusukan Tiga kali Beruntun), ia mundur dengan gugup, tak urung pundaknya terluka juga.

Sementara itu, Tong Lam Hou bergerak tanpa bobot, seperti hembusan angin saja, menuju ke pagoda Tibet yang di bawah siraman cahaya rembulan nani-pak kuning keemas-emasan itu. Pagoda itu terdiri dari sembilan tingkat. Angka sembilan dalam kepercayaan kaun Ang-ih-kau merupakan angka paling sempurna, dan pagoda itu dibangun berdasarkan falsafah itu sebatang ranting pohon, tangannya sempat mematahkan sebatang dahan lainnya untuk dipegang sebagai senjata. la langsunq hinggap di pinggir atap pagoda tingkat ke dua.

Baru saja kakinya menyentuh pinggir atap, jendela-jendela tingkat dua sudah terbuka, dari dalam pagoda berhamburanlah panah, lembing dan macam-macam senjata rahasia. Namun Tong Lam Hou memutar ranting kayunya menjadi serapat perisai, memukul runtuh semua senjata lontar itu. Bobot sebatang ranting sudah tentu jauh lebih ringan dari lembing, namun di tangan Ketua Hwe-liong-pang, ranting itu jadi lebih kuat dari baja.

Para penyerang dari balik jendela tergetar hatinya melihat kelihaian si penyerang berjenggot putih ini. Beberapa Lama merasa kurang leluasa berdesakan di dalam. Mereka segera melompat keluar jendela, berjejak diatas, dan mengeluarkan senjata Hiat-ti-cu mereka. Kantong kulit terbang yang dikendalikan dengan seutas rantai tipis panjang.

Tong Lam Hou waspada melihat kantong-kantong terbang itu, sebab ia pernah mendengar cerita dari Pak Kiong Liong tentang senjata jenis itu. Namun dengan tenang ia justru berdiri untuk melihat bagaimana cara kerja senjata aneh itu. Kulit tipis berbentuk kantong menghadap ke bawah itu rupanya berperanan sebagai "payung" yang menggembung kalau senjata itu dilontarkan, supaya tidak jauh. Di dalamnya ada kerangka besi tipis berukuran pas untuk kepala, apabila kepala musuh sudah masuk, akan keluar sepasang pisau tajam yang menjepit ke leher korbannya.

Kini mulut kantong itu bagai mulut sang maut sendiri yang menganga lebar hendak mencaplok kepala Tong Lam Hou. Tong Lam Hou lompat menghindar. namun kantong kulit itu terus memburunya. Lama yang memainkannya lihai sekali seperti seorang anak bermain layang-layang saja.

Sang buruan melompat ke atas atap tingkat tiga, lalu lari berputaran mengelilinginya, namun si Lama juga melompat naik dan Hiat-ti-cunya seperti sebuah benda bernyawa yang terus mengejar dengan terkendali. Jelas Lama ini tergolong jagoan dalam memainkan Hiat-ti-cu.

Namun Tong Lam Hou tiba-tiba mengerahkan tenaga dalamnya, ranting pohon di tangannya melesat bagaikan panah ke arah bagian dalam kantong kulit. Ranting menyusup ke dalam, menyusup di antara sela-sela kerangka besi-nya, dan merobek kulit tipis yang menjadi pengapung benda itu.

Robeknya kulit tipis di bagian luar membuat benda itu melayang tak terkendali, sia-sia si Lama menarik-narik tali tipisnya. Bahkan karena sebuah tarikannya yang tak terkendali, kantong kulit itu tiba-tiba melayang ke kepalanya sendiri. Si pendeta menampilkan rasa kaget dan ngeri diwajahnya, mulutnya ternganga, dan itu masih sempat dilihat oleh Tong Lam Hou sebelum wajah itu terkerudung kantong kulitnya sendiri, dan menjadi mangsa senjatanya sendiri.

"Senjata iblis!" kutuk Tong Lam Hou. Kemudian dengan beraninya ia melompat masuk lewat salah satu jendela pagoda. Dalam pagoda, ada undakan batu yang melingkar-lingkar, menghubungkan tingkat satu dengan tingkat lainnya. Ada sekawanan Lama dengan senjata terhunus siap menghadapi Tong Lam Hou, tapi wajah mereka menunjukkan ragu-ragu dan takut ketika ingat kehebatan Tong Lam Hou tadi.

Tong Lam Hou sendiri bukan seorang yang gemar membunuh, biarpun terhadap musuh Melihat calon lawan-lawan agaknya takut Tong Lam Hou menghantam sebatang pilar batu sehingga remuk, untuk lebih menambah ketakutan mereka. Lalu katanya, "Tunjukkan dimana tiga bocah yang kalian culik dari Tiau-im-hong, supaya aku tidak menjadi marah dan meremukkan batok kepala kalian!"

Para Lama dan perajurit Han-lim-kun itu memang takut, namun lebih takut kepada Biau Beng Lama kalau mereka gagal menjalankan tugas. Biau Beng Lama, selain gemar bersembahyang, juga ahli menyiksa yang tiada taranya. Terjepit oleh dua macam ketakutan, penjaga-penjaga di pagoda itu akhirnya memi lih untuk melawan. Seorang Lama bertubuh pendek mempelopori teman-temannya, dengan golok kai-to ia menerjang Tong Lam Hou.

Lain-lainnya memberanikan diri untuk mengikuti jejaknya. Namun mereka seperti kawanan serangga menubruk api, untung Tong Lam Hou masih berbelas kasihan. Mereka hanya dirobohkan dengan totokan-totokan, yang paling berat paling-paling cuma keseleo tangan atau kakinya. Mereka kehilangan perlawanan tanpa kehilangan nyawa.

Tong Lam Hou mencengkeram baju seorang perajurit, dan pura-pura hendak memukulkan tangannya ke kepala, sehingga perajurit itu memejamkan mata dengan ngeri. Namun Tong Lam Hou ternyata cuma membentak, "Dimana anak-anak tawanan itu?"

Perajurit itu tidak berani menjawab terang- terangan, sebab kalau kelak ada yang melaporkan kepada Biau Beng Lama, ia akan jadi orang paling celaka di dunia. Biau Beng Lama memang bukan atasannya langsung, namun komandannya sendiri takut kepada Lama yang kejam itu. Namun perajurit itu bicara dengan matanya. Mulutnya mengaduh-aduh, sementara matanya berkali-kali melirik ke tingkat bawah.

Tong Lam Hou mengerti, dan kasihan kepada para perajurit yang terpaksa harus tunduk kepada kaum Lama itu. Tong Lam Hou sendiri juga bekas perjaurit sehingga timbul simpatinya. Untuk menghindarkan perajurit itu dari hukuman para Lama, Tong Lam Hou pura-pura membentak marah, "Bangsat, kalau tidak mau bicara, baik aku cari sendiri!"

Lalu ia meluncur ke tingkat dua, di ujung undakan ada dua Lama yang merintanginya. Namun hanya dengan dua pukulan, dua perintang itu terpental roboh. Yang satu terpelintir tangannya sehingga keseleo, yang lainnya benjol jidatnya sehingga kepalanya terasa ber denyut-denyut.

Kemudian Tong Lam Hou tiba di tingkat bawah, sebuah ruangan yang luas, penuh dengan patung dewa-dewa pujaan kaum Ang-ih-kau. Keanehannya, di ruang itu tidak nampak satu Lama atau satu perajuritpun yang menjaga. Hal itu tidak membuat Tong Lam Hou lengah, malahan semakin waspada. Dipusatkannya perhatiannya, ditajamkan pendengarannya.

Lalu ia melangkah sangat hati-hati keliling ruangan itu. Tiba-tiba beberapa buah patung dewa terbuka dada-nya, dan simpang siurlah tombak-tombak beterbangan di seluruh ruangan itu, tombak-tombak pendek yang digerakkan dengan pegas, kekuatan lontarannya jauh lebih kuat dari lontaran seorang perajurit paling terlatih sekalipun.

Tong Lam Hou memutar sepasang telapak tangannya dengan kekuatan sepenuhnya, seketika di tengah ruangan itu bagaikan muncul prahara dahsyat, tombak-tombak yang menyerangnya itu berpentalan rontok semua. Namun Tong Lam Hou harus mengakui bahwa perangkap-perangkap yang terpasang di ruangan itu lebih lihai dari sekelompok Lama atau perajurit.

Belum lagi tombak terakhir yang jatuh menyentuh tanah, dua patung tiba tiba membuka "mulut" mereka, menyemprotkan air kental hitam berbau busuk, Itulah air beracun yang begitu kena tubuh akan langsung membusukkan kulit dan daging. Tombak masih bisa ditangkis karena berupa benda padat, namun air beracun tak mungkin ditangkis kecuali bosan hidup. Tong Lam Hou cepat melompat ke atas dengan gerak Yan-cu-hoan-sin (Burung Walet Membalikkan Tubuh).

Semprotan air beracun terhindari, namun di saat tubuhnya melayang turun, dari lantai tiba-tiba muncul ratusan ujung tombak yang berjajar rapat seperti rumput, tidak memberi tempat sejengkalpun buat berpijak tanpa terluka telapak kakinya. Cepat cepat Tong Lam Hou menyedot napas, mengerahkan ilmunya yang disebut. Ham-hong-gi-heng (Bergerak Terbawa Angin). Bobot tubuhnya mendadak lenyap sama sekali, tubuhnya jadi mirip sebuah kantong udara yang amat ringan terapung-apung.

Dengan kebasan lengan jubahnya sebagai "sayap" tubuhnya tidak jadi meluncur ke bawah, melainkan kedinding. Namun rupanya perangkap-perangkap itu dikendalikan seorang manusia dari tempat tersembunyi. Sebuah patung dewa bermuka hitarn dan bertangan banyak, tiba-tiba menyemburkan dua jalur api dari bagian matanya. Kembali Tong Lam Hou berhasil menghindar dengan gerak Leng-khong-po-hi (Melangkah kosong di Udara), setelah itu ia melekat erat di dinding seperti seekor cecak raksasa, itulah Pia-hou-yu-jio (Cecak Merayap Tembok).

Begitulah, Tong Lam Hou dibikin repot oleh perangkap yang berturut-turut itu, namun para Lama yang mengintip lewat lubang-lubang kecil di dinding itu diam-diam juga kagum. Serangan demi serangan berlangsung cepat, semuanya hanya berlangsung dalam belasan detik, dan dalam belasan detik pula ketua Hwe-liong-pang sudah menunjukkan beberapa macam ilmu tingkat tingginya yang mengagumkan.

Sementara Tong Lam Hou masih terus menempel di dinding yang tegak lurus dan licin tanpa pegangan itu, namun belum tahu di mana ketiga anak yang diculik itu disembunyikan. Saat itulah dari anak tangga tingkat dua turun sekelompok perajurit, yang paling depan adalah perajurit yang tadi ditanyai oleh Tong Lam Hou. Namun para perajurit itu tidak berani melangkah lebih lanjut ke lantai tingkat satu, sebab mereka tahu bahwa semua perangkap sedang dalam keadaan “hidup“. Dari ujung tangga, perajurit itu berteriak memaki Tong Lam Hou,

"Pemberontak, kau rupanya sudah bosan hidup sehingga berani mengacau di tempat keramat ini!"

Namun sambil mencaci-maki, perajurit itu memberi isyarat dengan ujung matanya, mencoba membelokkan perhatian Tong Lam Hou kearah sebuah patung dewa raksasa bermuka merah yang tangannya menggenggam gada besar. Patung itu letaknya berseiisih dua patung dari tempat Tong Lam Hou menempel dinding. Perajurit itu memberi petunjuk secara diam-diam, karena ingin membalas kebaikan Tong Lam Hou tadi.

Perajurit itu sebenarnya seorang pengagum Pak Kiong Liong yang fanatik, dan merasa penasaran karena orang yang dikaguminya itu kini malah dianggap sebagai orang buronan, sedang para pendeta Ang-ih-kau yang tidak becus apa-apa itu malah maIang-meIintang di istana, hanya berbekal kepandaian menjilat Kaisar Yong Ceng. Dan la lebih muak lagi ketika ia ditempatkan di bawah perintah Biau Beng Lama, namun sebagai prajurit rendahan. la tak bisa menolak perintah.

Tahu bahwa yang menyerbu Istana malam itu adalah teman-teman Pak Klong Liong, perajurit itu diam-diam menjadi girang, berharap agar orang-orang Ang-ih-kau malam itu kena batunya. Sambil tetap memaki-maki keras. ia melemparkan tombaknya, namun tombaknya tidak mengenai Tong Lam Hou, hanya kena mata patung raksasa bermuka merah itu.

Begitu kena sentuhan, patung itu bergerak memukulkan gadanya. Hanya satu gerakan, tetapi dapat membuat seekor kerbau remuk seketika karena pukulan itu bertenaga pegas baja di dalam tubuh patung. Dan setelah bergerak satu kali, tangan patung itu tak dapat bergerak lagi.

Dalam hatinya. Tong Lam Hou diam-diam berterima kasih kepada perajurit itu. Tubuhnya melayang meninggalkan tempatnya menempel, langsung menubruk kearah patung raksasa Itu sambil menghantam dengon Pek-khong-ciang (Pukulan Udoro Kosong) yang dahsyot. Patung yang terbuat dari lempengan perunggu itu berdentang nyaring dan Iangsung ringsek. lalu bergerak perlahan-lahan kesamping, memperlihatkan sebuah pintu di baliknya. Tanpa menginjak lantai, Tong Lam Hou langsung meluncur masuk ruangan di balik pintu itu.

Sampailah ia ke sebuah ruangan luas, di dalamnya ada belasan orang pendeta Lama Ang-ih-kou dengan senjata terhunus. Di salah satu sudut ada sebuah kerangkeng yang tergantung di langit-langit ruangan, dari dalam kerangkeng itu terdengar seruan kedua cucunya, "Kakek, kami disini!”

Darah Tong Lam Hou menggelegak, melihat kedua cucunya di kerangkeng seperti binatang saja. Juga si gadis cilik Se Bun Hong eng, apalagi mereka bertiga nampak pucat dan kurus. Sebagai seorang kakek, lenyaplah kesabarannya setelah melihat darah dagingnya sendiri di sengsarakan orang.

"Kakek datang menolong kalian!" serunya penuh luapan perasaan, sembil menerjang kearah kerangkeng.

Dua Lama menghadang. Yang seorang bersenjata aneh, sebuah lonceng besar bertangkai yang seluruhnya terbuat dari emas, yang seorang lagi bersenjata golok kai-to.

"Minggir!" gertak Tong Lam Hou marah, jubahnya tiba-tiba menggelembung seperti layar perahu menampung angin, sepasang telapak tangannya menghantam dengan Siang-hi-kiat-khing (Sepasang Ikan Berbahagia) disusul Sam-goan-tho-goat (Tiga Gelang Menjerat Rembulan). Sambil mengerahkan hawa dingin Hian-im-kangnya.

Kedua Lama yang mencegatnya tak sanggup melangkah maju lagi karena mereka menggigil kedinginan. Maka nampaklah perbedaan antara kedua Lama itu. Yang bersenjata lonceng emas bertangkai masih sempat mengerahkan tenaga dalam panas agar uratnya tidak membeku, dan melompat mundur. Namun yang bersenjata golok kai-to langsung terjungkal roboh dengan kulit kebiru-biruan membeku dan mata terbelalak keatas.

Tom Lam Hou memang bukan lagi seorang pendekar lemat lembut, namun telah menjelma menjadi seorang kakek yang amat marah melihat cucu-cucunya disakiti. Kembali ia melepaskan beberapa pukulan yang membuat beberapa pendeta Ang-ih-kau terjungkal pulau. Yang lainnya segera menyibak simpang siur, takut kedahsyatan Hian-im-kang.

Lama bersenjata lonceng emas itu bernama Kim Leng lama, cocok dengan senjatanya, salah seorang dari lima murid terbaik Biau Beng lama pula. Melihat kekacauan di pihaknya, in segera berseru, "Bentuk Cap-ji-liong-jin (Barisan duabelas naga)!”

Selain Kim Leng Lama, di situ masih ada seorang murid terbaik Biau Beng Lama lainnya yang bergelar Hwe-lun Lama. Kalau lima murid Biau Beng Lama berkumpul, mereka akan membentuk Ngo-liong-tin (Barisan Lima Naga) yang lebih tangguh dari Cap-ji-liong-ji. Namun karena saat itu Po Goan, Ci Long dan Hoat Kheng Lama sedang bertempur di luar, menghadapi Tong Gin Yan dan teman-temannya, maka terpaksa Kim Leng dan Hwe-lun lama memimping sepuluh teman mereka untuk bersama-sama membentuk Cap-ji-liong-tin.

Para lama segera membentuk Cap-Ji-liong-tin, Kim Leng Lama menjadi “kepala naga” dan Hwe-lun Lama menjadi “ekor naga”. Barisan itu menitik beratkan pada dasr kerjasama dalam jurus silat tapi kalau perlu juga kerja sama dalam hal tenaga dalam, supaya kalau ada anggota barisan yang tenaga dalamnya rendah, yang lain bisa membantu memperkuatnya.

“Siang-liong-jut-hai ( Sepasang Naga Keluar Hutan)” teriak Kim Leng Lama member aba-aba. “Naga” itu segera putus tepat di tengah. “kepala naga” Kim Leng Lama bersama lima pendeta lain menyerbu berturut-turut seperti anak-anak bermain ular-ularan. Kim Leng Lama mempelopori serangan dengan sebuah hantaman Lonceng emas ke jidat Tong lam Hou, disusul tendangan deras ke perut lawan.

Tong Lam Hou mengendapkan kepala, tangan kirinya menyambar ke tumit kaki Kim Leng Lama yang menendang, untuk di tangkap. Namun Kim Leng Lama sempat menghindar ke samping, biarpun agak gugup, sementara orang yang dibelakangnya telah maju dan membacok Tong Lam Hou. Sementara "kepala naga" menyerbu, "ekor naga" juga tidak tinggal diam. Hwe-lun Lama bersama lima Lama lainnya berputar melingkar untuk menyerbu dari samping.

Perlawanan keduabelas orang pendeta itu ternyata membutuhkan perhatian Tong Lam Hou. Bahkan hawa dingin Hian-im-kang juga tak gampang membobolkan kerja-sama mereka, paling-paling membuat beberapa pendeta menggigil kedinginan dan gerakannya menjadi kaku. Namun mereka segera mendapat bantuan hawa hangat dari rekan yang dibelakangnya, sehingga cepat pulih kembali.

Dari barisan duabelas naga itu juga terpancar hawa panas yang mengingatkan akan Hwe-liong-sin-kang milik Pak Kiong Liong. Cukup wajar, mengingat guru Pak Kiong Liong juga seorang Lama Tibet, ada kemungkinan ilmu para Lama Ang-ih-kau itu berasal satu sumber dengan ilmu Pak Kiong Liong, meskipun mengalami perkembangannya masing-masing. Para pendeta Ang-ih-kau itu kalau maju sendiri sendiri tentu dengan gampang akan diobrak-abrik Tong Lam Hou, namun karena mereka maju dalam barisan vang teratur rapi, tangguhlah perlawanan me reka. Terutama Kim Leng dan Hwe-lun La ma yang tangguh juga.

Gerak-gerik Cap-ji-liong-tin juga beraneka ragam dan hebat-hebat semua. Bukan hanya "kepala" dan "ekor" yang berbahaya, namun juga "tubuh" dan "sisik" mereka. Kadang-kadang seluruh barisan pecah menjadi dua atau tiga "naga kecil" namun tetap dalam gerak saling mengisi, kadang-kadang menjadi satu "naga besar" yang mengamuk dengan hebatnya, di lain saat keduabeias pendeta itu lari berhamburan, namun kembali bersatu dalam barisan.

Menghadapi "naga" itu, si macan tua dari Tiau-im-hong harus mengerahkan segenap ilmunya. Ubun-ubunnya mulai mengepulkan uap tipis, sedang langkah-langkah kakinya menimbulkan bekas-bekas dekukan di lantai ubin yang keras itu. Untuk sementara, Tong Lam Hou belum menemukan cara untuk memecahkan barisan itu, tetapi barisan Cap-ji-liong tin juga tak tahu kapan bisa menundukkan lawan mereka, si kakek perkasa itu.

Suatu saat, Tong Lam Hou coba mengincar Kim Leng Lama sebagai "kepala naga" supaya barisannya kacau, sebab dari Kim Leng Lama yang selalu meneriakkan aba-aba. Namun seorang pendeta tinggi besar bersenjata toya perunggu, menghantam Tong Lam Hou dari samping dengan gerak Heng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Perajurit). Tong Lam Hou menghindarinya, justru dengan lebih mendekati Kim Leng Lama.

Namun, dalam latihan, hal itu rupanya sudah diperhitungkan. Begitu melihat Tong Lam Hou mendesak Kim Leng Lama, Hwe-lun Lama tiba-tiba mengambiI alih pimpinan dan meneriakkan aba-aba-nya. "Thian-te-siang-liong (Sepasang Naga Langit dan Bumi)!"

Serempak barisan berubah. Sebagian Lama berturut-turut melompat dan menggempur bagian atas tubuh Tong Lam Hou, sebagian lainnya bergulingan di lantai untuk menggempur beruntun bagian bawah. Kiranya begitu mereka menggambarkan "langit dan bumi", serangan atas dan bawah. Serangan yang mengalir tak habis-habisnya, sebab dilakukan bergantian, sambung-menyambung.

Kali ini si Ketua Hwe-liong-pang benar-benar dibuat repot berlompatan kian kemari, sambil membagikan serangan, namun belum juga berhasil memutuskan aliran serangan itu. Kakek itu bertempur dengan agak gelisah, sebab khawatir kalau ke ruangan itu akan datang musuh lainnya untuk memindahkan anak-anak cuIikan itu, sedang ia belum mampu lolos dari kepungan Cap-ji-liong-tin.

Disaat kegelisahan Tong Lam Hou memuncak, terjadilah sesuatu yang diluar dugaan. Salah satu dinding ruangan itu tiba-tiba jebol diterjang dari luar. Lalu muncul seorang bertubuh tegap kekar, berpakaian compang-camping dan berbau apek, mukanya kotor, rambutnya awut-awutan, sepasang pergelangan tangannya masih dilingkari gelang besi bekas borgol yang agaknya berhasil dipacahkannya dengan paksa.

Para Lama berseru kaget. "Kiu-pwe lek (Pangeran ke Sembilan)!"

Begitu menerjang masuk, orang itu langsung berteriak-teriak bagaikan orang gila, "Bagus! Bagus! Anjing-anjing In Ceng yang selama ini merperlakukan aku sebagai binatang saja kebetulan bertemu aku, sekarang rasakan pembalasanku!"

Lalu ia menerjang ke arah Cap-ji-liong-tin yang tengah sibuk melawan Tong Lam Hou. Serangan tak terduga dari sudut yang tak terduga pula, sehingga para Lama tidak siap menghadapinya. Seorang Lama tiba-tiba kena dicengkeram olehnya dan dihempaskan ke dinding, tenaganya luar biasa, sehingga korbannya yang terhempas dinding itu langsung terkulai dengan tulang leher patah.

Cap-ji-liong-tin jadi kacau dan Tong Lam Hou tidak melewatkan begitu saja peluang itu. Dua Lama mencelat oleh pukulannya, dan Barisan Dua belas Naga benar-benar berantakan. Kini para pendeta Ang-ih-kau itu bertempur tidak dalam barisan lagi, menghadapi dua lawan. Namun yang paling berhaya tetap Tong Lam Hou, sedangkan orang yang dipanggil Kiu-pwe-lek itu cukup dibendung oleh Hwe-lun Lama dalam sebuah pertarungan seimbang.

Sehebat-hebatnya Kim Leng Lama, tanpa bertempur dalam Cap-liong-tin ia terdesak hebat oleh Tong Lam Hou, biarpun dibantu sekawanan saudara seperguruannya. Lonceng emas bertangkainya diputar kencang sanpai membuat segulungan cahaya keemasan, tapi setiap kali gulungan cahaya itu pecah berantakan setiap kali pula satu atau dua saudara seperguruannya roboh oleh sabetan kaki atau tangan Tong Lam Hou.

Sedang si penjebol tembok itu bukan lain adalah Pangeran In Tong, adik dari Kaisar Yong Ceng sendiri, yang juga sanggup bersilat dengan lihai. Potongan-potongan rantai pendek yang masih menghiasai pergelangan tangannya itu ternyata dapat dimainkan sebagai senjata yang berbahaya. Selain lihai, ia juga bertarung penuh dendam dan kemarahan.

Dua tahun ia mendekam di penjara bawah tanah, karena ia berani menunjukkan sikap ragu-ragu ketika dulu Liong Ke Toh membacakan Surat Wasiat Kaisar Khong Hi. Sikap itu sudah cukup alasan bagi Yong Ceng untuk menjebloskan adiknya sendiri ke penjara. Kini setelah berhasil lolos, Pangeran In Tong mengamuk bagaikan banteng ketaton, membuat Hwe-lun Lama agak gentar juga.

Sementara itu, Tong Lam Hou tidak terbendung Iagi, bahkan Kim Leng Lama sendiri juga sudah roboh tertotok. Lalu seperti seekor elang melesat diangkasa, ia melayang ke arah kerangkeng gantung yang berisi tiga anak culikan itu, telapak tangannya menebas ke rantai yang menghubungkan kerangkeng dengan langit-langit ruangan.

Telapak tangan penuh tenaga dalam itu membuat rantai putus dan kerangkengnya jatuh ke bawah. Namun Tong Lam Hou sudah tiba di bawah mendahului jatuhnya kerangkeng, dan dengan sepasang tangannya ia berhasil menyanggapi kerangkeng itu sehingga tidak terhempas.

Para pendeta yang masih tersisa hanya bisa melongo melihat semuanya itu. Mereka jerih kepada ketua Hwe-liong-pang itu, apalagi Kim Leng Lama sudah lumpuh tak berdaya, dan Hwe-lun Lama tidak segera dapat mengatasi Pangeran In Tong. Mereka lihat, bagaimana Tong Lam Hou dengan gerakan yang kelihatan tidak makan banyak tenaga telah berhasil merenggangkan dua helai terali besi di kerangkeng, membuatkan "pintu" bagi kedua cucunya serta Se-bun Hong-eng yang segera melompat keluar.

"Kakek benar-benar sakti seperti dewa!” si anak-anak kembar Tong san Hong dan Tong hai Long langsung melompat kegendongan kakeknya. Se-bun Hong eng juga ikut memuji, tapi tidak ketinggalan nemuji kakeknya sendiri juga “memang, tetapi kakek Hong juga berkepandaian seperti dewa!'

Sesaat lamanya Tong Lam Hou bercanda dengan tiga anak itu seolah-olah sedang berada di taman bunga saja, para Lama yang masih berdiri tegang dengan senjata-senjata terhunus itu anggap saja pot-pot bunga hiasan taman. Semuanya membuat hwe-lun lama gelisah, karena tahu bahwa pihaknva sudah kalah habis-habisan. Gerak-gerak silatnya jadi agak kacau, dan tulang keringnya tersabet keras oleh rantai di tangan In Tong sehingga iapun melonjak-lonjak kesakitan.

Kini Tong Lam hou menggendong tiga bocah sekaligus. Cucu-cucu kembarnya di tangan kiri. dan Se bun Hong-eng melekat di punqgungnya, lalu dengan amat santai menuju ke lubang dinding yang dijebol Pangeran In Tong tadi. Bahkan ia sempat menganggukkan kepala dan tersenyum ramah sekali kepada para Lama, kemarahannya sudah sirna ketika cucu-cucunya sudah di tangannya kembali.

Ketika lewat dekat dengan Hwe-lun Lama dan Pangeran In Tong yang masih berkelahi dengan sengit, Tong Lam Hou berkata, "Sobat, aku tidak tahu siapa dirimu, namun berterima kasih karena kedatanganmu sudah meringankan pekerjaanku. Sekarang, lebih baik kau pergi bersama kami, jangan menunggu tertangkap lagi...."

"Biar kubunuh dulu anjingnya In Ceng ini!" sahut In Tong kalap, sambil melancarkan gelombang serangan. Sepasang rantai bekas pembelenggunya berputar kencang bagaikan gulungan awan hitam, api lilin di ruangan itu sampai bergoyang-goyang.

Tong Lam Hou diam-diam kagum melihat tenaga In Tong, namun untuk mengalahkan Hwe-lun Lama juga tidak gampang. Jurus-jurus sepasang gelang tembaga si Lama cukup sulit dihadapi. "Sobat, kau butuh banyak waktu untuk mengalahkan lawanmu, dan aku yakin sebentar lagi tempat ini akan dibanjiri pasukan istana. Jangan terlambat, mundurlah sekarang..."

"Kalau begitu, jangan menonton saja, bantu aku membunuh anjing-anjing In Ceng ini!" teriak In Tong keras kepala. "Jasamu takkan kulupakan, kelak kalau aku naik tahta, kau akan kuangkat sebagai pejabat tinggi!"

Tong Lam Hou tercengang heran mendengar ucapan itu. la sempat salah mengira In Tong sebagai Pangeran In Te, namun kok compang-camping macam ini? Padahal kabarnya Pangeran In Te tetap mendiami bangsalnya, memakai semua gelar kebangsawanannya, biarpun tidak lagi punya kekuasaan sedikitpun dalam pemerintahan.

Sementara itu, diam-diam seorang pendeta Ang-ih-kau yang bersenjata gada Kim-kong-kun merencanakan untuk membokong Tong Lam Hou dari belakang, dengan perhitungan bahwa Tong Lam Hou sedang tidak leluasa bergerak karena menggendong tiga bocah. Kalau berhasil, alangkah besar hadiah yang akan diterimanya dari Kaisar Yong Ceng. Setelah memperhitungkan jarak dengan cermat, mengumpulkan tenaga dan mengincar baik-baik, melompatlah ia dan gadanya mengarah kepala Tong Lam Hou.

Dalam sibuknya menghadapi Hwe-lun Lama, In Tong sempat memperingatkan dengan seruan, "Awas belakangmu!"

Tanpa peringatan pun, Tong Lam Hou sudah tahu adanya serangan itu, apalagi gada senjata berat yang mengeluarkan desir angin dalam tiap geraknya. Dengan langkah Poan-liong-jiau-po (Naga Berputar Langkah), ia lolos dengan serangan licik si Lama, sehingga penyerangnya terseret sendiri oleh kekuatannya.

Tong Lam Hou yang sebenarnya sudah reda. Dua tangannya memang tidak leluasa karena menggendong anak, namun sepasang kakinya tetap bebas. Sebelum si pendeta licik sempat memperbaiki keseimbangannya, Tong Lam Hou melakukan gerak Kau-tui-hoan-tui (Menekuk Lutut menendang ke Belakang), Tumitnya melayang secepat kilat dan menghunjam selakangan si Lama di belakangnya, yang langsung mengeluarkan suara lirlh seperti tercekik dan menggelosor ke lantai untuk tidak bangun lagi.

Kemudian Tong Lam Hou berkata lagi kepada In Tong, "Sobat, marilah pergi, lupakan dulu sakit hatimu!"

"Bantu aku lebih dulu membinasakan si gundul ini!" sahut In Tong, sementara Hwe lun Lama sudah ketakutan kalau Tong Lam Hou menuruti permintaan itu.

Tetapi hatinya lega mendengar jawaban Tong Lam Hou, "Aku tidak akan membunuh orang yang tidak membahayakan jiwaku kalau terpaksa, sobat. Maaf, tak bisa memenuhi permintaanmu. Kalau kau tidak mau pergi juga, terpaksa aku jalan sendiri..."

Bagaimanapun marahnya In Tong, tapi takut juga ia kalau di tinggal sendirian, kalau sampai tertangkap kembali, tak terbayangkan betapa kejam hukuman dari Kaisar Yong Ceng. Terpaksa ia cpat-cepat melompat meninggalkan Hwe-lun Lama, namun sempat mengacungkan tinjunya ke arah para Lama sambil mengancam, "Awas. kalian! Selama ini kalian memperlakukan aku amat buruk, tunggu pembalasanku!"

Para Lama tidak berani mengejar Tong Lam Hou serta Pangeran In Tong. Sambil bergegeas menjauhi pagoda, Tong Lam Hou dan Pangeran In Tong sempat mendengar, di kejauhan pertempuran di bangsal Leng-goat-kiong masih terdengar seru. Suara bedil yang bertubi-tubi menandakan bahwa Pak Kiong Liong, Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong agaknyn menemui hambatan berat.

"Siapa kau?" tiba-tiba In Tong bertanya kepada Tong Lam Hou.

"Tong Lam Hou dari Tiau-im-hong. Kau sendiri siapa, sobat?" Tong Lam Hou balas bertanya.

Sahut In Tong, “Kalau begitu, masih ada hubungan juga antara kita. Bukankah kau mertua dari Pak Kiong Eng, misan jauhku? Aku In Tong, putera kesembilan dari Ayahanda Khong Hi."

Tong Lam Hou menghentikan langkah dengan terkejut, lalu mengangguk hormat sambil berkata, "Terimalah hormat hamba, Pangeran. Maafkan, tadi hamba bersikap tidak sopan karena belum tahu siapa Pangeran."

"Aku maafkan," sikap In Tong masih juga dalam lagaknya sebagai kaum bangsawan. "Aku ingin tanya, Pang-cu, dengan siapa saja Pang-cu menyerbu istana ini?"

"Dengan beberapa saudara anggota Hwe-liong pang, ditambah beberapa sahabat, bahkan Paman Pangeran juga ikut."

"Paman Pak Kiong Liong, maksud Pang-cu?"

"Benar, Pangeran!"

"Bagus, inilah saatnya menggulingkan si serakah In Ceng itu dari tahta yang secara tidak syah dikangkanginya....”

"Maaf, Pangeran, tujuan kami tidak bermaksud menggulingkan kaisar, karena kekuatan kami tidak cukup. Kami hanya ingin membela ketiga bocah ini. yang tadinya disekap, dan kalau bisa juga membebaskan Pangeran In Te dan ibusuri Tek Huai..."

Sepasang alis In Tong kontan berkerut kecewa mendengar Itu, “ln Te? Buat apa susah-susah membebasknn In Te?"

Sahut Tong Lam Hou terus terang, tanpa prasangka, “Kami bcrmaksud mengangkat Pangeran In Te untuk memimpin pergerakan menegakkan keadilan, melawan kelaliman Kaisar Yong Ceng. Mudah-mudahan Pangeran In Te masih punya pengaruh di antara bekas pengikut-pengikut setianya."

Jawaban itu semakin mengecewakan In Tong, dapat disimpulkan dari kata-katanya yang sinis, "Kenapa In Te si anak ingusan itu? Dia orang tolol. Kalau tidak tolol, bagaimana mungkin dengan pasukannya yang begitu besar berhasil dilucuti begitu gampang oleh Ni Kong Giou?"

"Namun menurut Pak Kiong Liong. Pangeran In Te yang berhak atas tahta amanat mendiang Sri baginda Khong Hi menunjuk kopadanya sebagai pewaris kerajaan..."

“Omong kosong, siapa percaya surat wasiat yang begitu gampang dipalsukan?" debat In Tong semakin sengit. "Semua putera Ayahanda punya hak mewarisi tahta. In Ceng licik dan In Te toloI, kenapa tidak mencari pangeran lainnya yang pantas untuk menduduki tahta, yang bisa memimpin kekaisaran untuk mencapai kejayaan?"

Maka tahulah Tong Lam Hou, bahwa Pangeran In Tong sebenarnya juga berambisi menduduki tahta, sehingga menjelek-jeIekkan saudara-saudaranya sendiri. Diam-diam Tong Lam Hou menarik napas. Orang hanya mabuk melihat gemerlapnya tahta, tapi sering tak mampu melihat betapa berat kewajiban yang diemban untuk memimpin jutaan rakyat kearah kesejahteraan.

Sementara itu, sambil melangkah di samping Tong Lam Hou, In Tong masih terus mengoceh, "Apa hebatnya In Te. Semangatnya lembek. Setelah In Ceng mengurungnya di Leng-goat-kiong memberinya kenikmatan dan kemuliaan, In Te menjadi si dungu tanpa ambisi lagi. Paman Pak Kiong Liong pasti akan kecewa kalau meletakkan harapan ke pundak Adinda In Te."

Begitulah, caci-maki kepada Yong Ceng disambung meremehkan In Te dan di sambung lagi memuji diri sendiri, biar pun dengan kata-kata terselubung yang agak malu-malu kucing. Lama-lama Tong Lam Hou merasa agak sebal juga dengan si "calon Kaisar" ini.

Rasa sebal berubah menjadi rasa tidak suka, melihat bagaimana kejamnyn In Tong menghabisi lawan-lawan, setiap kali mereka berpapasan dengan kelompok kelompok penjaga istana. Ada perajurit yang tubuhnya dirobek dengan sepasang tangannya yang kuat, ada yang diputar lehernya sampai menghadap ke belakang sehingga si perajurit berubah menjadi sesosok mayat yang bentuknya "lucu", dan sebagainya.

"Aku benci semua orang dipihaknya In Ceng!" begitu tiap kali In Tong memberi alasan.

"Mereka cuma orang-orang tak tahu apa-apa yang hanya menjalankan perintah, "Pangeran," Tong Lam Hou mencoba menegur kekejaman itu. "Seandainya kelak, entah kapan, Pangeran menjadi Kaisar, merekalah pendukung-pendukung Pangeran. Karena itu, hamba mohon, jangan perlakukan mereka sewenang-wenang."

Sementara mulutnya berkata demikian, Tong Lam Hou mengutuk dalam hati, "Kalau kau jadi raja, kuanjurkan seluruh rakyat agar mengunqsi ke negeri lain saja. Biar kau memerintah rumput-rumput dan kambing-kambing saja."

Sebenarnya In Tong tidak suka bahwa Tong Lam Hou yang sama sekali tak berdarah bangsawan itu berani menegurnya. Tetapi demi perhitungan masa depan, supaya kelak bisa memanfaatkan Hwe-liong-pang sebagai pendukung ambisinya, In Tong terpaksa menurut juga.

Akhirnya sampailah mereka ke gelanggang pertempuran, di mana Tong Gin Yan dan lain-lainnya tengah bertarung sengit melawan Po Goan Lama sekalian, dibantu puluhan pengawal istana. Kemunculan Tong Lam Hou serta In Tong yang berpenampilan mirip gelandangan dengan sepasang tangan masih terborgol, biarpun rantainya sudah putus, menghentikan pertempuran itu.

Pak Kiong Eng dan Au Yang Siau-hong, dua ibu yang sudah sekian lama gelisah memikirkan anak-anak mereka, segera berlari menyongsong dan menyambut anak-anak mereka dari gendongan Tong Lam Hou. Mereka langsung memeluk dan menciumi anak mereka, tak peduli musuh masih di sekitar mereka.

"Kita harus pergi sebelum tempat ini terkepung,” Tong Lam Hou mengingatkan kedua ibu yang tengah meluapkan perasaan itu.

Sementara itu, para Lama dan pengawal istana sudah kabur semua untuk memanggil bala bantuan yang lebih kuat. Melawan Tong Gin Yan serta teman-teman saja sudah berat, apalagi bakal ketambahan lawan Ketua Hwe-Iiong-pang serta Pangeran In Tong yang juga terkenal kelihaiannya itu. Tong Gin Yan dan lain-lainnya segera menanyakan keadaan Tong Lam Hou, dan mereka lega mendapat jawaban bahwa orangtua itu tak kurang suatu apapun.

"Aku justru mencemaskan Pak Kiong Liong bertiga, sebab kudengar suara letusan bedil dari Leng-goat-kiong," kata Tong Lam Hou. "Kalian semua lindunglah anak-anak ini sampai ke tempat aman di Thai-hud-si, sementara aku akan mencoba melihat keadaan ketiga orang yang menerobos bangsal Leng-goat-kiong itu."

"Gak-hu (ayah mertua), aku ikut!" kata Pak Kiong Eng yang sekarang ganti mencemaskan nasib ayahnya. Juga Se Bun Beng yang mencemaskan ayah angkatnya. "Aku juga ikut ke Leng-goat-kionq, Pang-cu."

Namun Tong Lam Hou menggelengkan kepala. "Tugas kalian melindungi anak-anak itu. Biar aku sendiri yang ke Leng-goat-kiong. Aku yakin, kalau mereka bertiga gagal menyelamatkan pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, setidak-tidaknya akan berhasil menyelamatkan diri lebih dulu.”

Kemudian, kepada Pangeran In Tong berkatalah Tong Lam Hou, "Pangeran, lihat tembok itu. Sekali Pangeran melompati tembok itu, pangeran sudah ada di alam bebas, selanjutnya terseralah kepada pangeran....”

Orang-orang Hwe-liong-pang dan lain-lainnya tercengan mendengar Tong Lam Hou menyebut si “gelandangan” sebagai Pangeran. Pak Kiong Eng lalu mengamat-amati lebih cermat, dan perlahan-lahan dapat mengenalinya, biarpun wajah itu tertup kumis dan berewok yang sekian lama tak tercukur.

“Pangeran In Tong?” Pak Kiong Eng menegaskan dugaannya. Masa kecilnya memang ia akrab dengan anak-anak istana, terutama Pangeran In Te yang sebaya dengannya. Terhadap In Tong yang beberapa tahun lebih tua, kesan Pak Kiong Eng kurang baik. Di masa kecilnya. In Tong sudah menunjukkan watak kasar dan kejamnya. Suka menyiksa binatang seperti burung, kelinci dan sebagainya.

Dan kini, mata In Tong yang liar itu sewenang-wenang saja menjelajahi wajah dan tubuh Pak Kiong Eng yang menggiurkan. Bisa dimaklumi, selama dalam tahanan Kaisar Yong Ceng tentu dia harus “berpuasa wanita”. Padahal sebelumnya ia gemar berfoya-foya.

Hanya Tong Gin Yan yang tidak bisa memaklumi, cepat-cepat ia melangkah maju untuk menutupi tubuh isterinya dari pandangan buas In Tong, sambil berkata dingin, “Pangeran harus segera mengambil keputusan.”

Se Bun Beng juga buru-buru melangkah ke depan isterinya untuk menutupinya, sedangkan Kiong Wan Peng dan Ji Han Lim sambil tersenyum, masing-masing saling membatin, “Untung isteriku tidak ikut.”

“Aku bersama kalian” sahut In Tong sambil menyeringai. Memperilihatkan giginya yang hampir dua tahun tidak disikat. Jawaban yang sungguh tidak menyenangkan Tong Gin Yan, tetapi ia tidak bisa menolaknya.

Sementara In Tong semakin membuat tidak senang dengan kata-kata berikutnya, “Tolong nanti sediakan air hangat untuk membersihkan badan, dan beberapa pelayan perempuan yang akan membantuku membersihkan badan dan berganti pakaian dan lain-lainnya. Aku seorang Pangeran, kalian paham? Kelak kalau aku sudah bertahta, jasa-jasa kalian akan ku hargai?”

Tong Gin Yan menukas dengan ketus, "Kami menolong bukan karena ingin balas jasa. Seorang gelandangan yang tak punya kedudukan pun sering kami tolong dengan pertimbangan belas kasihan!"

KuIit wajah In Tong berkerut marah. Namun ia sadar, tidak pada tempat nya untuk berbantah dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang dikemudian hari masih akan dimanfaatkan tenaganya itu.

Mereka segera meninggalkan lingkungan istana dengan melompati dinding, dan menuju ke kuil Thai-hud-si yang hendak dijadikan tempat berkumpul sebelum meninggalkan Pak-khia bersama-sama. Rembulan sepotong sudah semakin condong ke barat, sebentar lagi fajar. Selama berjalan, berkali-kali In Tong tak tahan untuk tidak melirik Pak Kiong Eng sambiI menelan air liurnya.

Pak Kiong Eng bukan gadis remaja lagi, bahkan anaknya sudah dua, dan anak-anak itu dalam beberapa tahun lagi akan menjadi pemuda-pemuda remaja. Tapi bentuk tubuh Pak Kiong Eng yang terawat baik itu membuat kepala In Tong serasa hampir meledak oleh pikiran mesumnya.

Sementara itu, di pihak para Lama Ang-ih-kau, malam itu patut meratapi kesialan mereka. Mereka mendoakan agar pengawal istana saingan mereka mendapat malu, tak terduga malah para Lama sendiri yang kebobolan habis-habisan. Bukan saja ketiga anak culikan berhasil diambil Tong Lam Hou, bahkan Pangeran In Tong yang merupakan tahanan berbahaya itu ikut kabur juga.

Pada saat yang sama, Ketua Hwe-Iiong-pang Tong Lam Hou bergerak dengan cepat dan ringan ke arah suara pertempuran di bangsal Leng-goat-kiong. Semakin dekat ke jantung istana, semakin ketat penjagaan. Bahkan mulai banyak kelihatan pengawal-pengawal berseragam kuning emas atau biru laut yang berjaga jaga di segala tempnt dengan senjata terhunus. Mereka bukan perajurit-perajurit biasa, melainkan perajurit-perajurit pilihan dari Gi-cian Si-wi (Pengawal Kaisar) dan Lwe-teng-wi-su (Pengawal Istana).

Munculnya Tong Lam Hou di kawasan rawan itu langsung disambut dengan bentakan- bentakan dari segala arah, "Berhenti! Siapa disitu?!"

Lalu bayangan-bayangan dari sosok sosok tubuh kekar berkelebatan tangkas ke arah Tong Lam Hou. Seorang pengawaI menyergap Tong Lam Hou dengan ayunan tinjunya yang deras, tapi Tong Lam Hou berhasil mencengkeram lengan orang itu, disusul dengan sapuan kaki dan lemparan tangannya. Pengawal itupun terlempar tinggi. Terbanting keras diatas genteng sehingga gentengnya jebol.

PengawaI-pengawaI lainnya terkejut melihat hebatnya si pendatang baru ini. Tetapi mereka tetap memikul tugas mereka untuk menghadang si pendatang, bahkan ada yang bersuit nyaring untuk memanggil teman lebih banyak lagi.

Tong Lam Hou tidak mau tertahan lama di tempat itu. Sambil mengerahkan hawa Hian-im-kang di seluruh tubuhnya, beruntun ia memainkan jurus Hui-eng ciong-soan (Garuda Terbang Berputar), Hek-hun-hoan-hui (Mega Hitam Bergulungan). Hawa dingin menusuk tulang segera berhamburan, membuat pagar tak terwujud di sekitar tubuhnya, sehingga pengawal-pengawal tak mampu mendekatinya. Dan ketika kepungan menjadi longgar, Tong Lam Hou melejit dengan Cian-Iiong-seng-thian (Naga Melambung ke Langit) dan loloslah ia.

Para pengawal tak sanggup mengejar, iImu meringankan tubuh mereka tidak sebanding dengan buruan mereka. Apa yang dibayangkan Tong Lam Hong sebelumnya ternyata benar-benar merupakan suatu kenyataan. Pak Kiong Liong, Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong benar-benar telah gagal melarikan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, terhambat oleh pasukan pengawal yang tangguh di bawah pimpinan Be Kun Liong.

Secara pribadi, Be Kun Liong dan Pak Kiong Liong adalah kenalan baik, namun saat itu Be Kun Liong tengah menjalankan tugas dan terpaksa harus berjuang mati-matian menghalangi Pak Kiong Liong. Biarpun Pak Kiong Liong bertiga berilmu tinggi, namun para pengawal berjumlah banyak dan rata-rata cukup tangguh. Apalagi setelah jago-jago berjubah ungu yang merupakan pengawal-pengawal pribadi Kaisar Yong Ceng itu datang pula, dipimpin Toh Jiat Hong yang kepandaiannya hampir setarap dengan kim Seng Pa.

Pak Kiong Liong sendiri terlibat pertempuran tangan kosong melawan Toh Jiat Hong, di pinggir sebuah kolam teratai. Dengan nyali yang besar, Toh Jiat Hong meladeni Pak Kiong Liong dengan tangan kosong pula, biarpun dia membawa goloknya di punggung. Si bekas jenderal bersilat dengan Thian-1 iong-kun-hoat (Pukulan Naga La-ngit) dan Liong-jiau-kang (Cengkeraman Kuda Naga), sedang Toh Jiat Hong menggunakan Pek-pian-kui-jiau-hoat (Cengkeraman Setan dengan Seratus Perubahan).

Tubuh mereka berdua berkelebatan saling menyambar dengan sengitnya, kadang-kadang Toh Jiat Hong terdesak oleh hawa panas dari tangan Pak Kiong Liong, tapi sebelum menunjukkan tanda- tanda hendak kalah. la hanya mundur untuk memperkuat pertahanan, lalu balas menyerang dengan hebat. Satu pasukan bersenjata bedil mengitari seluruh arena, tapi tidak berani melepaskan tembakan secara sembarangan sebab khawatir mengenai teman mereka sendiri.

Ketika itu, datanglah Tong Lam Hou. Di raupnya segenggam kerikil, lalu dihamburkan ke arah perajurit-perajurit bersenjata bedil. Perajurit-perajurit itupun menjerit kesakitan dan bertumbangan, namun tak seorangpun tewas karena Tong Lam Hou masih manghargai nyawa mereka. Beberapa perajurit yang belum roboh segera menembakkan bedil mereka menyongsong Tong Lam Hou.

Namun Tong Lam Hou bergerak lebih cepat dari seekor burung, sehingga semua peluru hanya menghantam angin. Kerikil-kerikil di tangannya kembli disambitkan, dan kembaIi beberapa perajurlt bersenapan roboh terjungkal.

Tong Lam Hou menjadi cemas hanya Pak Kiong Liong yang ada di situ, sedang Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong tidak kelihatan batang hidungnya. Namun lebih dulu ia ingin membantu Pak Kiong Liong lepas dari lawannya yang tangguh itu. Serunya, "A-liong, bagaimana hasilnya?”

Sambil tetap bertempur, Pak Kiong Liong menjawab singkat, "Harus ditunda lain waktu!"

Itu artinya Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai gagal dibawa lari. Rupanya Kaisar Yong Ceng memandang adik dan ibunya sebagai tawanan penting yang harus diamankan seaman-amannya. Penjagaan atas diri mereka hampir sama ketatnya dengan penjagaan atas diri Kaisar sendiri.

"Di mana si setan arak dan si macan gering?" tanya Tong Lam Hou pula.

"Terpisah dariku, mungkin di samping bangsal, dekat pintu rembulan!"

Sementara itu Toh Jiat Hong sudah cemas bukan main ketika melihat Tong Lam Hou mendekati arena pertempuran. Namun ia boleh merasa lega sesaat ketika melihat beberapa perajurit Gi-ci-an-si-wi menghadang Tong Lam Hou. Biar pun sehari-harinya ada persaingan dan bahkan saling membenci antara kelompok jubah ungu dengan Gi-cian-si-wi, namun dalam menghadapi musuh bersama yang mengacau keamanan istana, mau tak mau mereka saling membantu juga.

Tiga orang yang menghadang Tong Lam Hou itu merupakan jagoan-jagoan tangguh yang paling lihai bernama Le Gi Kok yang bergelar Tiat-ci-sian (Dewa Berjari Besi). Begitu tiba di hadapan Tong Lam Hou, ia merangkapkan jari telunjuk dan jari tengahnya untuk ditusukkan kearah leher Tong Lam Hou dengan kuat.

Di bawah cahaya bulan, Tong Lam Hou melihat kuIit tangan lawannya itu bertotol-totol hitam, menandakan dia berlatih dengan merendam tangan di pasir beracun. Cepat Tong Lam Hou memiringkan tubuh dan membalas mencengkeram ke siku tangan Le Gi Kok.

Sementara, seorang pengawal lainnya menghantamkan kampak dari samping. Di saat saat gawat itu, Tong Lam Hou tidak sungkan-sungkan lagi, sepasang tangan dan kakinya berkelebatan menghalau mundur lawan-lawannya, lalu melompati kepala mereka untuk menerkam Toh Jiat Hong sambil berseru kepada Pak Kiong Liong, "Anak-anak sudah selamat!"

Berita itu sedikit menghibur Pak Kiong Liong. Biarpun ia gagal membawa keluar Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, tapi berhasil menyelamatkan tiga anak yang diculik, maka bolehlah dibilang hanya gagal separuh. Sementctra itu Toh Jiat Hong harus buru-buru menghindar ketika Tong Lam Hou menyerangnya dari udara. Karena gugup, lompatannya kurang diperhitungkan, sehingga terceburlah ia ke kolam teratai.

Robohnya Toh Jiat Hong membuat perlawanan pihak istana di bagian itu tidak berarti lagi. Segigih-gigihnya Le Gi Kok dan teman-temannya, mereka tak bisa membendung Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou, si Naga Utara dan Harimau Selatan yang bergabung kembali di masa tua mereka.

Pak Kiong Liong kini sudah membuang jauh-jauh ingatan untuk berhasil mengeluarkan Pangeran In Te malam itu juga. Sebagai bekas jenderal yang kenyang dengan siasat perang, ia paham bahwa kekuatan yang lebih kecil hanya bisa menang dengan memanfaatkan unsur kejutan atau pendadakan. Dan tahap kejutan itu sudah lewat tanpa membawa hasil. Kalau ngotot bertempur di situ takkan memperoleh hasil apa-apa, biarpun sendainya bisa membunuh banyak musuh.

Kini tujuan kedua orang kakek itu hanyalah menemukan Hong Thai Pa serta Hu Se Hiong lalu mundur dari istana. Mereka berdua menerjang ke arah pertempuran di halaman samping bangsal Leng-goat-kiong, dimana Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong tengah terkurung oleh "hutan golok dan combak" serta "hujan panah". Untung tidak ada regu pembawa bedil, sebab sudah dilumpuhkan oleh Tong Lam Hou tadi.

Pak Kiong Liong herhasil merampas sebatang pedang, dan dengan senjata itulah ia membuka jalan paksa atas kepungan para pengawal istana yang berlapis-lapis itu. la bukan pembunuh berdarah dingin, namun menghadapi perajurit perajurit istana yang gigih memikul tugasnya, Pak Kiong Liong tak dapat berbuat Iain kecuali membabat mereka dengan pedangnya.

Begitu juga Tong Lam Hou yang berhasil mendapat sebatang tombak, yang diputarnya kencang seperti baling-baling di tengah badai. Setiap senjata musuh yang terbentur tombaknyas tentu terpental, tiap kali ujung tombaknya meluncur, tentu ada musuh yang roboh. Tangkai tombaknya juga makan korban tak kalah banyaknya, sudah belasan kaki musuh dihantam patah, atau rusuk yang disodok sampai pemiliknya melintir di tanah.

Biarpun ia sudah berusaha agar tidak ada korban jiwa, namun dalam pertempuran padat itu tak terhindari kalau sekali-kali ujung tombaknya masuk terlalu dalam ke jantung musuh, atau tangkai tombaknya terlalu keras kena jidat lawan, sehingga lawan bukan cuma benjol namun gegar otak, Akhirnya toh nampak naluri manusia yang sesungguhnya, lebih mementingkan keselamatan diri sendiri daripada keselamatan orang lain. Belas kasihan disingkirkan jauh-jauh.

Bahkan kedua kakek gagah perkasa itu sendiri tidak terhindar dari luka-luka karena banyaknya musuh. Bagaimana pun juga para pengawal istana itu bukan bocah-bocah kemarin sore yang baru pandai bermain perang-perangan, namun jagoan jagoan tangguh yang sudah ditempa oleh gelanggang adu nyawa berpuluh puluh kali.

Akhirnya terlihat Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong sedang menghadapi kepungan musuh dengan saling membelakangi. Mereka berdua nampak kepayahan, terutama Hu Se Hiong yang iImunya tidak setinggi Hong Thai Pa. Bahkan Hiang-cu Hwe-liong-pang itu pundak dan pahanya sudah berlumuran darah, namun masih bertahan dengan gigihnya dengan "senjata" pipa tembakaunya....

Selanjutnya,