X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 16

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 16 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 16

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P

Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong sudah sama-sama yakin bahwa mereka akan mampus malam itu juga, dan satu-satunya yang masih bisa mereka lakukan ialah memasang "harga tinggi" buat kematian mereka, yaitu melawan sampai kekuatan terakhir.


Tetapi saat itulah Tong Lam Hou muncul dengan menyibakkan kepungan musuh, sambil berseru, "Lao-hong dan Hu Hiang-cu, bertahanlah! Aku segera tiba ke tempat kalian!"


Seruan itu ibarat minyak disiramkan kepada api yang hampir padam. Semangat hidup Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong berkobar kembali. Hong Thai Pa tertawa terbahak-bahak dan ayunan tongkat besinya semakin deras, sahutnya, "Eh, Macan Ompong dan Naga Keropos, kiranya kalian sedang mengenang masa muda kalian di medan pertempuran, sehingga hampir melupakan kami!"


Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou yang tengah di tengah hujan senjata itu tak sempat membalas seloroh Hong Thai Pa. Tong Lam Hou tiba-tiba membentak keras dan menjatuhkan diri bergulingan di tanah, tombak rampasannya dimainkan dengan gerakan Ngo-liong-lo-hai (Lima Naga Mengamuk di Lautan). Maka banyaklah musuh yang menjerit karena kaki mereka menjadi korban. Masih untung yang cuma kena tangkai tombak, paling-paling kakinya memar, tapi yang “kebagian" ujung tombak robeklah daging paha atau betis mereka.


Para perajurit di sekitar Tong Lam Hou jadi gempar. Ketika Tong Lam Hou bergulingan sambil bergeser termpat, para perajurit berlompatan menjauh, namun kena juga tiga orang lagi. Beberapa perajurit melemparkan tombaknya dari kejauhan, tapi sia-sia, putaran tombak yang hampir rata dengan tanah itu terlalu rapat sehingga tombak-tombak yang dilontaran terpental balik semuanya.


Setelah kepungan melonggar, Tong Lam Hou melenting bangun dan langsung melompat ke- arah Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong untuk memberi pertolongan. Gayanya begitu gagah, seperti rajawali meninggalkan sarangnya dari puncak gunung batu, jubahnya yang longgar berkibar seolah sayap-sayap rajawali yang terpentang.


Tetapi dari arah lain muncul pula seseorang yang melompat sambil membentak, "Jangan berlagak di sini, pemberontak!“


Itulah Toh Jiat Hong yang sudah keluar dari kolam teratai, dan kini ingin membalas Tong Lam Hou untuk menyelamatkan pamornya. Sambil melayang, dikembangkannya jurus Pek-pian-kui-jiau-hoatnya, sehingga di depan dan samping tubuhnva penuh dengan bayangan cengkeraman tangan, seolah-olah di kedua pundaknya ditambahi dengan belasan pasang tangan lagi. Mana serangan yang asli dan mana yang palsu, sulit dibedakan dalam sekejap mata, dan sekejap mata adalah waktu yang amat berharga dalam pertempuran antar ahli-ahli silat tingkat tinggi.

Tubuh Tong Lam Hou dan Toh Jiat Hong berpapasan pesat di tengah udara, seakan hendak bertubrukan. Tong Lam Hou menyodorkan ujung tombaknya ke arah lawan. Tangkai tombak yang terbuat dari kayu pilihan itu, begitu masuk bayangan berpuluh-puluh cengkeraman itu, tiba-tiba seperti sepotong paha kambing yang disodorkan ke mulut ikan hiu kelaparan, langsung terpapas oleh kekuatan jari-jari Toh Jiat Hong.

"Hebat!" seru Tong Lam Hou. Seruan "hebat" itu sebenarnya juga pantas bagi dirinya sendiri, sebab dengan Ham-hong-gi-heng (Bergerak Terbawa Angin) Ketua Hwe-liong-pang itu telah membuat tubuhnya seringan sehelai kapas sehingga ibaratnya dapat mengikuti hembusan angin. Luncuran tubuhnya di udara tiba-tiba membelok, sehingga Toh Jiat Hong cuma menubruk udara kosong, dan kemudian Tong Lam Hou balas menyergap dari disamping, dengan gerak Liong-hou-ci-cou (Naga dan Harimau Lari Berbareng), dan dua aliran hawa dingin yang sanggup membekukan darah melibat tubuh Toh Jiat Hong.

Lawannya segera merasakan otot-ototnya menjadi kaku dan tidak sempurna lagi menjalankan perintah dari otak. Tubuhnya yang tengah melayang lalu jatuh dan terhempas di tanah seperti orang yang tidak bisa ilmu silat sama sekali. Biarpun kemudian Toh Jiat Hong dapat menyalurkan tenaga dalam untuk mengusir hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya, namun jatuhnya yang konyol itu membuatnya amat malu di hadapan para perajurit.

Sementara Tong Lam Hou terus mengejar Toh Jiat Hong sebagai andalan utama musuh di arena itu. Sebuah serangan lagi dilancarkan. Cai-ciu-hui-hun (Lengan Baju Menyapu Mega). Sepasang ujung lengan jubahnya tiba-tiba berubah seperti ribuan kupu-kupu yang beterbangan serentak, sekaligus hawa dingin yang terpancar bagaikan ribuan jarum tak berwujud yang menyusup ke segenap lubang kulit.

Sambi1 mengertak gigi, Toh Jiat Hong memperkuat kuda-kuda dengan tubuh merendah, dan nekad menangkis secara kekerasan. la tidak rela dibuat jungkir-balik untuk ketiga kalinya, demi gengsinya. Apa mau dikata, ia kembali salah perhitungan, sebab serangan Ke-tua Hwe-liong-pang kali ini tidak termasuk “keras" melainkan lembut dan tajam.

Sepasang tangan Toh Jiat Hong serasa berubah menjadi gumpalan es, ia hendak melompat mundur, tetapi kaki Tong Lam Hou lebih cepat melayang dengan tendangan Coan-sian-teng-kak (Menendang Sambil Memutar Tubuh). Dan ia benar-benar harus jungkir-balik untuk ketiga kalinya, bahkan kali ini langsung pingsan.

Dengan rontoknya Toh Jiat Hong yang paling tangguh di pihak istana, tidak sulit lagi untuk menyibakkan kerumunan musuh dan mendekati Hong Thai Pa serta Hu Se Hiong.

"Selamatkan diri lebih dulu!" seru Tong Lam Hou. “Anak-anak sudah selamat."

Kendornya kepungan memberi kesempatan bagi Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong untuk menerjang pecah kepungan musuh, dan melompat ke atas dinding bangsal Leng-goat-kiong. Sesaat kemudian, Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou juga sudah bergabung dengan mereka, dan segera bergerak pesat meninggalkan tempat itu.

Pak Kiong Liong sebagai orang yang paling mengenal jalan-jalan dalam istana itu telah bertindak sebagai penuntun jalan bagi teman-temannya. Beberapa kali letusan bedil masih terdengar, tapi hanya menghantam tembok atau pepohonan saja. Para pengawal tidak sepenuh hati mengejar mereka, sebab tugas utama mereka adalah menjaga agar Pangeran In Te jangan sampai kabur dari Leng-goat kiong.

Para komandan Lwe-teng-wi-su, Gi-cian-si-wi dan Han-lim-kun kemudian pergi ke Yang-wan-kiong untuk menghadap Kaisar dan menanyakan keselamatannya. Ternyata tempat Kaisar itu tidak seujung rambutpun diganggu oleh Pak Kiong Liong dan teman-temannya. Apalagi Yong Ceng sendiri tetap didampingi dua pembantunya yang tangguh, Kim Seng Pa dan Biau Beng Lama.

Sementara itu, Pak Kiong Liong berempat tidak lama kemudian sudah tiba di kuil Thai-hud-si dekat pintu kota selatan, berkumpul kembali dengan Tong Gin Yan, Se Bun Beng dan lain-lainnya yang sudah gelisah menunggu kedatangan mereka. Tetapi, begitu tiba di tempat aman, Hu Se Hiong langsung ambruk pingsan karena luka-luka dan kelelahannya. Keruan semua orang menjadi sibuk, namun pendeta di Thai-hud-si segera memeriksa luka-luka Hu Se Hiong dan mengeluarkan pernyataan yang melegakan hati,

"Tidak apa-apa. Hanya luka ringan dan kelelahan, namun nyawanya tidak dalam bahaya....”

Semuanya lega, tapi muncul masalah baru. Menurut rencana, sebelum matahari terbit mereka harus sudah meninggalkan Pak-khia, karena penggeledahan kota secara besar-besaran pasti akan dilangsungkan sebagai akibat dari keributan di istana tadi. Tetapi karena keadaan Hu Se Hiong, bagaimana bisa meninggalkan kota Pak-khia?

Hwe-shio pemimpin Thai-hud-si itu agaknya bisa memahami kebingungan orang-orang itu, maka berkatalah ia sambil tersenyum. "Jangan khawatir, itu bukan masalah besar. Aku kenal sebuah terowongan bawah tanah yang aman menembus sampai keluar kota. Dulu terowongan itu dibuat oleh orang-orang dinasti Beng menjelang keruntuhannya, ketika mereka ketakutan mendengar laskar Cu Seng akan merebut kota. Tubuh Hu Hiang Cu bisa dibuatkan tandu sebentar oleh murid-muridku, sebelum fajar akan beres semuanya."

Pak Kiong Liong menepuk pundak si hweshio sambll berkata, "Tio Cong-peng, rupanya kau sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan teliti."

Hwe-shio itu tertawa mendengar ia masih juga dipanggil Tjo Cong-peng. Ia dulu memang salah seorang perwira setia bawahan Pangeran In Te, ikut bertempur menaklukkan Jing-hai, dan gigih mendukung perjuangan Pangeran In Te merebut haknya atas tahta. Namun ketika In Te berhasil dilucuti dan menjadi "burung dalam sangkar emas" di bangsal Leng-goat-kiong, ia menjadi kecewa.

Namun ia tetap di Pak-khia dengan menyamar sebagai seorang hwe-shio untuk tetap mengawasi keadaan, diam-diam menunggu kesempatan kalau muncul peluang bagi Pangeran In Te untuk bangkit kembali merebut tahta. Meskipun malam itu ia kecewa karena Pak Kiong Liong dan teman-temannya gagal membebaskan Pangeran In Te, namun ia tidak menyalahkan siapa-siapa. Penjagaan di dalam istana memang demikian ketatnya, sampai Pak Kiong Liong dan teman-temannya yang merupakan jago jago tua berilmu tinggi itu juga gagal menembus penjagaan itu.

Sementara itu, Pak Kiong Liong merasa diluar dugaan ketika melihat Pangeran In Tong bersama-sama ada di kuil itu pula. Pangeran itu kini sudah berpakaian pantas, tidak compang-camping lagi, dan gelang-gelang borgol di tangan dan kakinya sudah tidak nampak lagi.

"Apa kabar, paman?" Pangeran In Tong menyapa Pak Kiong Liong sambil tersenyum-senyum.

Sahut Pak Kiong Liong, "Selamat. Pangeran. Hamba tidak menduga kalau malam ini Pangeran berhasil lolos pula dari penjara istana...."

"Demikianlah, paman. Ketika para penjaga agak lengah karena memusatkan perhatian untuk membendung serbuan paman dan lain-lainnya, aku berhasil kabur setelah memutuskan rantai dengan tanganku."

Kepala sang paman terangguk-angguk dan mulutnya berkomentar, "Hebat. Agaknya Jian-kin-kang-hoat (llmu Kekuatan Seribu Kati) yang Pangeran latih sudah meningkat pesat selama terkurung dalam penjara."

"Itu tidak lepas dari petunjuk-petunjuk paman yang pernah diberikan dulu. itulah sebabnya..."

"Terima kasih kalau Pangeran menganggap hamba berjasa," tukas Pak Kiong Liong. "Tetapi hamba ingin tahu berita tentang seseorang....."

"Siapa yang hendak paman tanyakan?"

"Pangeran In Gi, pangeran ke delapan," sahut Pak Kiong Liong. "Bukankah Pangeran In Gi dikurung di satu tempat dengan Pangeran? Kenapa ia tidak diajak menyelamatkan diri sekalian?"

Sejak semula memang In Tong sudah menduga akan ditanyai seperti itu, dan ia sudah siap juga dengan jawabannya, "Memang seharusnya aku tolong Kakanda In Gi sekalian, kasihan dia. Tetapi aku tidak sempat, sebab nyawaku sendiri terancam dan terpaksa aku tinggalkan dia!"

"Tidak sempat atau tidak mau?" dalam suara Pak Kiong Liong terkandung nada tuduhan.

Hati In Tong terguncang melihat tatapan mata pamannya yang tajam, ia tidak berhasil membuat dirinya untuk tidak kelihatan gugup. la menjawab tanpa berani menatap mata Pak Kiong Liong, "Benar-benar tidak sempat, paman. Masa aku tega meninggalkan Kakanda In Gi sendirian dalam penjara, kalau tidak benar-benar terpaksa?"

Pak Kiong Liong tahu In Tong berdusta, dan ia menjadi muak. la tahu benar, ambisi In Tong untuk bertahta tidak kalah besarnya dengan In Ceng yang saat itu sudah menjadi Kaisar Yong Ceng, juga dengan saudara-saudaranya yang lain. Pak Kiong Liong yakin, seandainya In Tong punya kesempatan menolong In Gi, tetap tidak akan ditolongnya, malah akan gembira kalau In Gi mampus dalam penjara, sebab berarti akan berkurangnya seorang saingan.

Nafsu berkuasa dari anak-anak Khong Hi telah membuat mereka lupa ikatan persaudaraan. Itulah sebabnya ada pepatah dari gedung-gedung megah lahirlah orang orang tidak becus dan pengkhianat pengkhianat, dari gubuk-gubuk reyot lahirlah pahlawan-pahlawan sejati.

"Sekarang Pangeran hendak kemana?" tanya Pak Kiong Liong kemudian.

Kali ini In Tong menjawab dengan gagah dan kepala diangkat, "Aku harus membebaskan negara ini dari seorang tirani busuk macam Kakanda Yong Ceng. Aku dengar sahabat-sahabat dari liong-pang sedang berjuang juga ke arah itu, karena setujuan, aku siap memimpin Hwe-liong-pang untuk mencapai tujuan mulia itu....“

Pangeran In Tong bukan pelawak namun mampu menimbulkan senyum orang-orang Hwe-liong-pang lewat peragaan ketebalan kulit muka yang luar biasa itu, lewat kata-katanya itu. Tidak pernah ikut mendirikan Hwe-liong-pang, juga tidak pernah berjerih-payah bersama Hwe-liong-pang, dan mendadak langsung menawarkan diri untuk memimpin.

Sedangkan Tong Lam Hou berkata, sambil tersenyum, "Sungguh merupakan suatu kehormatan besar, kalau Hwe-liong-pang dipimpin seorang yang amat berbakat seperti Pangeran....”

Tiba-tiba wajah Pangeran In Tong menjadi cerah dengan senyuman, sementara wajah orang-orang Hwe-liong-pang kehilangan senyum dan digantikan kekagetan. Yang tersenyum maupun yang cemberut punya penyebab yang sama, mengira kedudukan Ketua Hwe-liong-pang benar-benar akan diserahkan kepada Pangeran In Tong. Apakah Tong Lam Hou juga ikut-ikutan akan menjadi pelawak?

In Tong sudah membayangkan dirinya akan memimpin sebuah serikat dunia persilatan yang punya berpuluh-puluh ribu anggota yang gagah berani dan mahir silat, suatu modal berharga buat merintis ambisinya ke arah tahta. Namun kata-kata Tong Lam Hou berikutnya membuatnya kecewa,

"Tetapi Hwe-liong-pang dibebankan kepundakku dan aku tidak berani menyerahkannya kepada orang lain. Lagipula, mana pantas seorang bangsawan agung seperti Pangeran memimpin gerombolan orang-orang kasar seperti kami?"

Orang-orang Hwe-liong-pang lega, sementara In Tong kecewa, tapi tidak bisa memaksa. Biarpun ia seorang Pangeran, tapi nyawanya hanyalah nyawa "saringan" belaka. Bahkan kalau Kaisar masih juga menguber nyawanya, tidak ada perlindungan lain kecuali orang Hwe-liong-pang, berarti sisa hidupnya bergantung kepada belas kasihan orang-orang Hwe-liong-pang.

Sementara itu, seorang hweshio muda telah melaporkan bahwa usungan untuk Hu Se Hiong sudah selesai dibuat, dan Hiang-cu Hwe-liong-pang itu juga sudah sadar dari pingsannya. Tong Lam Hou dan lain-lainnya segera menuju ke bilik belakang untuk menengok keadaan Hu Se Hiong.

"Bagaimana keadaanmu, saudara Hu?" tanya Tong Lam Hou setelah berdiri di samping pembaringan.

Sahut Hu Se Hiong, "Aku tidak apa apa dan sekarang sudah kuat kembali. Maaf bahwa keadaanku membuat kalian menunda rencana untuk segera meninggalkan kota. Tapi sekarang aku sudah siap untuk berangkat."

"Memang kita akan segera berangkat, dan sebuah usungan sudah disiapkan untukmu, saudara."

"Usungan itu tidak perlu, sebab aku sudah sanggup berjalan atau menunggang kuda," sahut Hu Se Hiong. "Aku tidak ingin diusung seperti nenek-nenek penyakitan!"

"Kami tidak akan mengusung nenek-renek penyakitan, tapi macan penyakitan," sahut Tong Lam Hou yang disambut senyuman semua orang. Julukan Hu Se Hiong memang Ui-bin-peng-hou (Macan Penyakitan Bermuka Kuning).

Akhirnya Hu Se Hiong menurut juga untuk naik usungan yang akan diangkut Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng. Namun masih juga ia menggerutu. "Apakah aku tidak perlu diselimuti dan pelipisku ditempeli koyok agar kelihatan lebih memelas lagi?"

Tidak ada yang menyahut, kecuaii Hong Thai Pa, "Nanti aku carikan koyok sampai mukamu penuh tertutup koyok semua, termasuk mata dan mulutmu..."

Pendeta pemimpin Thai-hud segera membawa tamu-tamunya kebelakang, ke sebuah kakus. Semua orang sudah siap sedia untuk mencium bau busuk, namun ternyata kakus itu tidak berbau sebab sama sekali tidak perrah "diisi", hanya sekedar nenyamarkan mulut terowongan rahasia yang akan sampai ke luar kota Pak-khia. ketika lantai batu diangkat, nampak sebuah tangga batu turun ke bawah.

"Inilah terowongan yang kukatakan tadi, yang dulu digunakan kabur oleh para bangsawan Kerajaan Beng ketika laskar pemberontak Li Cu Seng menyerbu kota," kata si pendeta pemimpin Thai-hud-si. "Selamat jalan, Pak Kiong Goanswe sekalian..."

Hwe-shio itu lalu menyerahkan obor di tangannya ke tangan Pak Kiong Liong, dan memberi hormat. Namun hormatnya bukan dengan merangkap sepasang telapak tangan seperti lazimnya pendeta, melainkan berlutut dengan kaki ditekuk sebelah dan sebelah tangan menekan tanah. Itulah hormat secara militer.

Pak Kiong Liong tersenyum, "Selamat tinggal, Tio Cong-peng. Perjuangan kita tidak berhenti hanya sampai di sini, sampai Pangeran In Te mendapatkan haknya yang syah. Kuharap Cong-peng tetap berjiwa perajurit, biarpun berpakaian pendeta."

"Aku bersumpah untuk tetap setia kepada cita-cita Pangeran In Te, Goan-swe."

Percakapan itu membuat In Tong merasa iri kepada In Te. In Te punya pendukung setia yang siap berkorban nyawa, sedang dia sendiri punya apa? Ambisinya untuk merebut tahta agaknya akan menempuh jalan yang amat panjang, tetapi ambisi itu sendiri tidaklah padam..."

Tiba-tiba muncul sebuah gagasan untuk bergabung dengan Hwe-liong-pang. Tidak apa-apa sebagai anggota yang paling rendah, asal kelak perlahan-lahan bisa merebut kedudukan sebagai ketua Hwe-liong-pang untuk digerakkan melawan Kaisar Yong Ceng. Dengan rencana yang tersusun dibenaknya itulah In Tong kemudian melangkah bersama rombongan itu, menyusuri terowongan bawah tanah itu. Meski pun si pendeta Thai-hud-si berkata bahwa jarak untuk sampai keluar kota hanyalah "dekat". Tetapi dekat untuk ukuran kota sebesar Pak-khia memerlukan ribuan langkah juga.

Terowongan itu kadang-kadang bersimpangan dengan parit-parit bawah tanah yang mengalirkan air buangan yang kotor, sehingga tidak jarang mereka harus menyeberangi air setinggi betis di mana di atasnya terapung-apung kotoran manusia dari berbagai ukuran, yang keras maupun yang lembek.

Selama perjalanan di lorong itulah In Tong mencoba mengambil hati teman-teman barunya. Jika mereka harus melintasi genangan air busuk, In Tong tidak segan-segan menggendong anak-anak kecil seperti Tong San Hong, Tong Hai Long atau Se Bun Hong-eng. Melihat tindak-tanduk pangeran ke sembilan itu, Tong Lam Hou agak tertarik juga hatinya. Pikirnya diam-diam, pangeran ini biarpun sering berbicara terlalu muluk dan agak kejam, tapi masih ada segi-segi baiknya juga, dan ilmunya juga cukup hebat. Kalau segi baiknya bisa dikembangkan dan sifat buruknya dilenyapkan, ia bisa menjadi seorang pendekar yang bermanfaat bagi ke manusiaan.”

Demikianlah pikiran Tong Lam Hou yang selalu terarah ke kebaikan dan ke sejahteraan sesama. Bahkan sering pikiran demikian membuat ujung kakinya menyentuh perangkap tanpa terasa. Beberapa hari kemudian, rombongan itu sudah cukup jauh dari Pak-khia dan keteganganpun semakin mengendor. Namun perjalanan itu masih terhitung lambat, sebab membawa seorang sakit seperti Hu Se Hiong yang dinaikkan kereta, sedang lain-lainnya menunggangi kuda.

Sejak keluar dari Pak-khia, Hong Thai Pa, Se Bun Beng, Au Yang Siau-hong serta Se Bun Hong-eng memisahkan diri untuk langsung pulang ke rumah mereka di Lok-Yang. Biarpun mereka adalah pendekar-pendekar yang tak segan bertempur demi kebenaran, tetapi dalam urusan pertikaian Yong Ceng dengan In Te, mereka anggap itu urusan politik yang harus dijauhi. Dalam politik, kabur sekali batasnya antara yang benar dan yang tidak. Semu pihak merasa benar dan punya alasannya sendiri-sendiri. Karena itulah Se Bun Beng dan seluruh keluarganya merasa lebih baik tidak tercebur urusan itu.

Sementara itu, permohonan In Tong supaya boleh ikut ke Tiau-Im-hong telah dikabulkan oleh ketua Hwe-liong-pang. Tetapi atas saran Pak Kiong Liong, supaya In Tong tidak membikin susah Hwe-liong-pang, namanya diganti dengan nama samara Ciu Tong In. In Tong menerima saran itu, bagaimanapun juga ia merasa lebih aman dibalik nama samara. Hari berikutnya, Hu Se Hiong yang merasa sudah sembuh itu “berontak” dan tidak mau lagi disekap dalam kereta. Ia melanjutkan perjalanan dengan berkuda seperti lain-lainnya.

“Setelah kau sembuh, Hiang-cu, jadi tidak cocok dengan julukanmu lagi.” Kata Ji Han Lim berseloroh.

Hu Se Hiong menjawab seloroh itu dengan pura-pura menggerutu, “Wah, kalau gara-gara julukanku aku harus berbaring terus dalam tenda, lebih baik kubuang saja julukkan.”

Sambil bercakap-cakap dan bersenda-gurau, mereka melanjutkan perjalanan tanpa tergesa-gesa lagi. Hari itu mereka tiba ditepi sebuah padang ilalang meliuk-liuk bergelombang seperti ombak samudera. Dan kalau kepala ditengadahkan, langit nampak biru bersih seperti kubah raksasa dari kaca yang jernih, awan hanya mengali sepotong-sepotong seperti buih dilautan. Mereka jadi merasa diri mereka seperti cengkerik-cengkerik yang dikurung dibawah gelas kaca, begitu kecil disbanding kebesaran alam.

Sayang, keheningan agung itu segera terganggu oleh sura gemuruh dan bumi bergetar bagaikan ada gempa kecil. Suaranya dari arah timur, dan siapapun paham bahwa itulah suara rombongan penunggang kuda yang berderap kencang. Semuanya menoleh. Dari sebelah timur nampak titik-titik hitam yang bergerak mengejar mereka, makin lama makin jelas, sampai akhirnya kelihatan pakaian dari para pengejar itu.

Sebagian dari mereka berkepala gundul dan memakai jubah merah, itulah para pendeta Ang-ih-kau. Sebagian lagi berpakaian jubah pendek satin ungu dan memakai topi caping berhias benang-benang merah. Jelas merekalah jago-jago pengawal pribadi kaisar Yong Ceng. Dan sisanya berpakaian hitam-hitam ringkas, yaitu kaum Hiat-ti-cu yang merupakan algojo-algojo ganas demi kepentingan Yong Ceng. kelompok yang terkenal dengan "kantong kulit-terbang” mereka .

Melihat mereka, Ciu Tong In alias In Tong telah menggosok-gosok tinjunya dengan geram, "Bagus.... bagus.... makin banyak anjingnya Yong Ceng yang datang, akan semakin puas aku melampiaskan dendamku selama ini...."

Tetapi Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou sebagai orang-orang tua yang banyak pengalaman dan berkepala dingin, tanpa saling mengutarakan mereka punya perhitungan yang sama. Kalau Yong Ceng mengirim kelompok jagoannya untuk mengejar, tentu semua kekuatan di pihak Pak Kiong Liong sudah diperhitungkan dan kelompok pengejar tentu lebih kuat, supaya regu pengejar itu tidak sekedar cari mampus.

Maka Pak Kiong Liong dan Tong lam Hou sama-sama berpendapat bahwa cara terbaik adalah menghindar, apalagi di antara mereka ada dua anak-anak yang bagaimanapun juga pasti membebani pikiran yang tua-tua.

Si anak kembar Tong Sam Hong dan Tong Hai Long yang baru berusia duabelas tahun itu sendiri malah tidak kelihatan takut. Mereka sudah nenghunus pedang masing-masing, dan wajah berseri-seri seolah hendak bermain “perang-perangan” dengan teman-teman sebaya mereka.

Tetapi mereka kecewa ketika mendengar Tong Lam Hou berkata dengan tegas, “Kita hindari musuh. Jangan bertindak sebagai pahlawan konyol”

Maka kuda-kuda tunggangan merekapun segera dipacu menjauhi kejaran musuh. Tong San Hong dan Tong Hai Long ternyata juga penunggang-penunggang kuda yang tangkas, biarpun mereka kecewa karena batalnya permainan “perang-perangan” setidaknya ada permainan kejar-kejaran yang mengasyikkan dipadang luas itu. Kedua orang tua merekalah yang berkali-kali berteriak dengan cemas agar mereka berhati-hati.

Memang benar perkiraan Pak Kiong Liong dan Tong Lam Hou, bahwa regu pengejar adalah regu yang lebih kuat. Rombongan pendeta Ang-ih-kau dipimpin sendiri oleh Biau Beng Lama serta lima orang muridnya yang tangguh. Kelompok jubah pendek satin ungu dipimpin langsung oleh Kim Seng Pa dan membawa jago-jago tangguh seperti Tiat-Jiau-hui-ho (Rase Terbang Berkuku Besi) Sai Siau Kun yang bertubuh kecil bungkuk, Toat Beng-beng-san (Payung Pencabut Nyawa) Su-ma Hek-long, serta Heng-san-sam-kiam (Tiga Pedang dari Heng-san) yang terdiri dari Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, Lam-tai-hong (Prahara Selatan) Au Yang Kong dari Hu-ki-am-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tong Jiu.

Sedang rombongan Hiat ti-cu berjumlah tigapuluh orang, dipimpin lansung oleh komandannya yang fanatik, Hap To, dan wakiI komandannya, Pa-lian Hou. Kaum Hiat-ticu ini bukan saja mahir dengan kantong-kantong terbang pemenggal kepala, tapi secara perorangan mahir silat pula, yang lebih hebat mereka membawa lima belas pucuk bedil.

Juga mereka sudah dijelaskan dengan tegas oleh Yong Ceng sendiri. Tumpas habis seluruh rombongan musuh. Apalagi karena diantara musuh terdapat Pak Kiong Liong dan Pangeran In Tong yang senantiasa bisa membahayakan kedudukan Kaisar. Yong Ceng tahu In Tong tidak punya kekuatan pendukung sebesar In Te, tapi hatinya tetap tidak tenteram kalau membiarkan In Tong berkeliaran bebas di luar istana, sebab kekuatan toh gampang dikumpulkan? Karena itu "macan harus dibunuh sebelum tumbuh gigi dan kukunya".

Dengan demikian, kekuatan regu pengejar itu memang tidak tanggung-tanggung. Lebih baik kelebihan tenaga dari pada gagal. Ketika melihat rombongan orang Hwe-liong-pang berusaha lari, Kim Seng Pa sebagai pimpinan tertinggi regu pengejar itu berseru,

"Kejar! Siapkan bedil. Kita perpendek jarak sampai pas dengan jangkauan peluru!"

Jago-jago istana itu segera menjepitkan kaki mereka ke perut kuda, dan memacu kuda lebih cepat Iagi. Maka terjadilah kejar-kejaran di padang luas itu. Kim Seng Pa yang merasa pihaknya lebih unggul, telah memerintahkan rombongannya untuk maju dengan menyebar seperti busur raksasa. Dengan demikian ia takkan membiarkan satu buruanpun lolos. Batok kepala mereka semua harus bisa dipersembahkan ke hadapan Kaisar Yong Ceng.

Ternyata kuda tunggangan para jagoan istana itu rata-rata lebih baik dari kuda tunggangan buruan mereka. Itulah kuda-kuda yang berasal dari gurun Pasir, umumnya bertubuh tegar dan berkaki panjang. Maka para pengejar lebih dekat lagi dengan buruan mereka, meskipun yang dikejar juga sudah berpacu habis-habisan.

Ketika jaraknya dirasa sudah cukup, Kim Seng Pa mengkomando para pemegang bedil, "Tembak!"

Suaranya berbarengan dengan seruan Pak Kiong Liong untuk seluruh rombongannya, "Membungkuk rapat dipunggung kuda dan berpencar!"

Perintah dilaksanakan hampir berbarengan dengan letusan bedil-bedil itu. Tak seorang kena, namun tiap orang sadar, kalau bedil-bedil itu terus "bernyanyi" maka akan ada yang kena juga, entah siapa. Pak Kiong Eng dengan nekad menempatkan dirinya sebagai perisai kedua anak kembarnya, kasih sayang seorang ibu yang rela membahayakan diri demi darah dagingnya. Untung peluru peluru gelombang pertama hanya berdesing diatas kuping kuda. Rupanya bagi para penembak agak sulit juga untuk mengincar dengan tenang, selagi tubuh mereka berada di atas kuda-kuda yang berlari kencang.

Namun penembak-penembak itu tidak menembak sekaligus, melainkan terbagi tiga regu, masing-masing regu terdiri dari lima orang. Setelah regu pertama selesai menembak dan mulai mengisi obat dan peluru, disusul regu ketiga, bedil-bedil regu pertama sudah siap ditembakkan lagi.

“Gila!” geram Tong Lam Hou marah. Ia sadar pihaknya terancam bahaya. Apa lagi musuh semakin dekat, dan tentunya akan dapat membidik lebih cermat. Dan entah berapa banyak persediaan obat peledak dan peluru mereka. Di saat genting itu, Tong Lam Hou ingat keping-keping uang di kantongnya. Sambil berpacu, ia mengambil dua keping dan kemudian disambitkan ke belakang dengan sekuat tenaga, karena pengerahan tenaga dalamnya, maka keping uang kecil itu sanggup melesat menyebrangi jarak puluhan langkah dengan pengejar-pengejarnya, dan menancap di jidat dua orang penembak terdepan. Keduanya langsung roboh terbanting dari kuda.

“Bagus, Pang-cu!” desis Ji Han Lim yang kagum melihat kepandaian ketuanya itu. “Sayang kampak-kampak kecilku takkan dapat mencapai jarak sejauh itu, harus menunggu lebnih dekat lagi…..”

Sedangkan Pak kiong liong sambil berpacu diatas kuda masih juga sempat bercanda. “Ketua Hwe-liong-pang sekarang menjadi dermawan yang bagi-bagikan uangnya secara royal.”

“Ya” sahut Tong Lam Hou. “Sejak dulu ketua Hwe-liong-pang termasyhur sebagai seorang baik budi dan murah hati.”

Sambil berbicara, kembali tangannya terayun kebelakang untuk melemparkan dua keping uang lagi. Dua penembak lagi roboh dari kuda, yang seorang sempat menekan pelatuk bedilnya, tetapi ia hanya menembak langit.

“Bangsat gila!” Kim Seng Pa berteriak marah melihat regu penembak yang dijadikannya ujung tombak itu kena dipereteli oleh Tong Lam Hou. "Tong Lam Hou, kalau kau memang lelaki sejati, berhentilah dan bertarung seribu jurus denganku!"

Namun Tong Lam Hou sadar bukan waktu dan tempatnya untuk sebuah duel pribadi menentukan tinggi rendahnya ilmu, melainkan saat-saat gawat untuk menyelamatkan seluruh rombongannya. Maka dibiarkannya saja Kim Seng Pa gembar-gembor, dan ia sendiri asyik menjadi "dermawan" dengan uang-uang logamnya.

Namun peluru-peluru para jagoan istana bukan tanpa hasii pula. Hu Se Hiong yang lukanya baru saja sembuh, tahu-tahu pundaknya terhunjam sebutir peluru panas, sehingga tubuhnya tersentak dan hampir mencelat dari kudanya, pundaknya pedih dan matanya berkunang-kunang. Tapi sebelum pingsan, ia masih ingat untuk memeluk leher kudanya erat erat sehingga tidak jatuh.

Ji Han Lim juga roboh terbanting dari kuda. Bukan karena kena peluru, namun karena kudanyalah yang kena, tertembus pantatnya sehingga meringkik-ringkik dan melonjak-lonjak, membuat penunggangnya jungkir balik. Kini Ji Han Lim dengan mata terbelalak ngeri melihat puluhan kaki kuda musuh sedang berderak kencang, siap melindas tubuhnya.

"Saudara Ji!” teriak Kiong Wan Peng cemas. Tanpa ingat bahaya bagi dirinya sendiri, ia memutar balik kudanya untuk coba menolong rekannya itu. Tong Lam Hou juga memutar balik kudanya, karena ia selalu memandang nyawa setiap anak buahnya sama berharganya dengan nyawa keluarganya sendiri. Biarpun harus mempertaruhkan nyawa, ia tetap berusaha menolongnya.

Namun Tong Lam Hou dan Kiong Wan Peng masih kalah cepat dari Kim Seng Pa. Waktu itu, Ji Han Lim telah melompat bangun dan menghunus sepasang kampak bertangkai pendeknya, siap melawan mati-matian. Ketika Kim Seng Pa tiba di hadapannya, tanpa takut ia mulai menyerang dengan jurus Ngo-ting-kai-san (Ngo Ting membuka Gunung) untuk membacok kaki dan pinggang lawannya yang duduk diatas kuda.

Memang Ji Han Lim termasuk salah satu jago andalan Hwe-liong-pang, namun dihadapan Kim Seng Pa dia tidak lebih dari seorang anak kecil yang baru belajar melangkah. Selisih ilmunya dengan kakek bermata merah itu terlalu jauh. Maka ia kaget ketika sepasang pergelangan tangannya tiba-tiba tercengkeram sepasang tangan yang sekuat jepitan besi, tenaga besarnya yang dibangga-banggakannya itupun lenyap tak keruan kemana. Tubuhnya menjadi seringan seekor anak ayam yang disambar seekor elang.

Secepat kilat, Kim Seng Pa menotok pinggang Ji Han Lim sehingga “si malaikat Kampak Terbang" itu lumpuh seketika. Tubuhnya lalu dilemparkan ke arah para Hiat-ti-cu sambil berteriak, “lkat erat-erat!"

Tong Lam Hou dan Kiong Wan Peng sama-sama beringas melihat Ji Han Lim tertangkap. Tetapi Tong Lam Hou yang berusia lebih tua juga dapat lebih mengendalikan hatinya, sehingga ia meneriaki Kiong Wan Peng, "Saudara Kiong, mundur dulu! Selama saudara Ji masih hidup, masih akan ada banyak kesempatan untuk menolongnya!"

Kiong Wan Peng membenarkan dalam hati akan perintah ketuanya itu. Percuma berlaku nekad-nekadan di hadapan musuh yang jauh lebih kuat, malah akan menambah jumlah korban di pihak sendiri. Maka iapun balik kembali ke dalam rombongan.

Dengan kuda-kuda tunggangan yang lebih baik, jago-jago istana berhasil semakin dekat dengan buruan mereka. Semakin dekat, semakin cermat pula bidik an bedil mereka, dan berarti akan semakin besar kemungkinannya untuk mengenai lawan. Bukan saja semua anggota rombongan Hwe-liong-pang yang kebingungan, bahkan Pak Kiong Liong yang dikenal sebagai "gudang pengalaman dan siasat" itupun belum menemukan akal untuk mengatasi kesulitan itu. Melawan mati-matian adalah tindakan tanpa akal, yang hanya dilakukan kalau sudah tidak ada jalan lain lagi.

Pak Kiong Liong berharap agar menemukan tempat seperti hutan atau bukit yang bisa dijadikan tempat main kucing-kucingan dengan musuh, biar ada sedikit harapan tapi padang ilalang terlalu rata. Sejauh mata memandang hanyalah kelihatan ilalang yang bergelombang lernbut, tak ada tempat sembunyi.

Keadaan jadi bertambah mencemaskan, ketika dari arah depan tiba-tiba muncul pula sepasukan orang berkuda yarg membawa bendera. Nampaknya ada pasukan kerajaan pula dari depan, sehingga pak Kiong Liong dan seluruh rombongannya akan terjepit dari depan dan belakang.

Dalam keadaan seperti itu tertahan lagi pak Kiong Eng berlinang-linang air matanya. Bukan nasibnya sendiri yang dicemaskan, melainkan nasib ayahnya, suaminya, anak-anaknya, mertuanya dan teman-temàn seperjalananya. Jauh-jauh mereka meninggakan Tiau-im-hong hanya untuk menbebaskan Tong San Hong dan Tong Hai Long, tak terduga malah kini sekian banyak nyawa tertumpas habis di tengah padang ilaIang itu.

Pasukan yang datang dari depan, berjumlah kira-kira limapuluh orang. Mereka berteriak-teriak gemuruh, dan nampaknya membawa beberapa pucuk bedil juga. Sebenarnya Kim Seng Pa sendiri heran melihat munculnya pasukan dari depan itu. Apakah Kaisar selain memerintahkan kelompoknya juga memerintahkan kelompok lain untuk menghadang rombongan Pak Kiong Liong? Namun bagaimanapun juga, ia merasa kebetulan kalau ada yang membantunya meringkus para buronan itu.

Sementara itu, setelah merasa jaraknya pas, dua orang algojo Hiat-ti-cu mengeluarkan kantong-kantong kulit mereka, dan sesaat kemudian melayanglah benda-benda maut “pemetik kepala” itu di angkasa. Kedua algojo itu bena-benar kejam, sebab yang diancam. Dengan senjata mereka adalah si anak kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long yang merupakan sasaran-sasaran paling lemah.

Namun ulah kedua algojo Hiat-ti-cu itu mencelakakan mereka sendiri. Sebab tindakan mereka memancing kemarahan kedua orang kakek dari anak-anak yang terancam itu. Tanpa peduli peluru yang berdesingan di sekitarnya, tubuh Pak Kiong Liong tiba-tiba melambung tinggi, tangannya menyambar ke arah rantai pengendali kantong-maut itu dan disentakkannya sepenuh tenaga dan penuh kemarahan. Akibatnya hebat. Si algojo yang memegangi ujung rantai jadi tertarik “terbang" dari meninggalkan punggung kudanya dan melayang ke arah Pak Kiong Liong.

Bentak Pak Kiong Liong, “Binatang, terhadap seorang anak kecilpun kau hendak bersikap begitu keji?!”

Tangan kiri tetap menarik rantai, tangan kanan menyongsong dengan kekuatan Hwe-liong-sin-kang sepenuhnya. Cukup tersambar angin pukulan panas dari jarak sepuluh langkah lebih, tubuh si algojo kejam langsung berubah menjadi segumpal daging hangus. Tapi masih ada hukuman tambahan. Di tubuh agojo itu rupanya menyimpan beberapa kantong obat bedil, yang begitu kena panas pukulan Hwe-liong-sin-kang langsung meledak, membuat tubuh si Hiat-ti-cu tercerai-berai. Kepalanya ke barat, kakinya ketimur, dan bagian-bagian tubuh lainnya kearah yang berbeda-beda.

Sementara itu, algojo kejam yang satu lagi juga sudah menjadi korban kemarahan Tong Lam Hou. Kantonng mautnya terpukul rusak oleh Pek-Gong-ciang (Pukulan Udara Kosong), lalu tubuh Tong Lam Hou melayang meninggalkan kudanya sendiri untuk menerkam ke arah si algojo yang hendak membunuh cucunya itu. Algojo yang diincar tak sanggup membela diri dari kemarahan dahsyat Ketua Hwe-liong-pang itu.

Sebuah pukulan jarak jauh membuatnya mencelat terlempar dari kudanya, dengan tulang-tulang remuk total dan darah membeku di dalam saluran-salurannya. Tong Lam Hou sendiri dengan ringan hinggap di atas kuda bekas tunggangan korbannya itu.

"Kalian memang blis-iblis yang pantas mampus!" geramnya sengit. Dengan tindakannya meninggalkan rombongannya tadi, kini Tong Lam Hou sudah berada di tengah-tengah Barisan musuh seorang diri. Namun ia tetap mengamuk dengan garang. Sepasang tangannya memukul berturut-turut, dan dua lagi algojo Hiat-ti-cu roboh kena angin pukulannya, dengan tubuh membeku.

Dua orang Hiat-ti-cu lainnya diam-diam mengincar dengan bedil, dari sudut yang kurang diawasi, dan mereka yakin akan kena sebab sasarannya cukup dekat. Namun sebelum pelatuk sempat di tekan mereka sendiri sudah roboh tertembus peluru, dari pasukan yang muncul dari depan itu.

Ternyata pasukan yang muncul dari barat itu bukan bala bantuan buat Kim Seng Pa, melainkan sisa-sisa perajurit Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) bawahannya Pak Kiong Liong dulu. Kedatangan mereka mengejutkan regu pengejar dari istana, apalagi mereka membawa bedil juga biarpun hanya beberapa pucuk.

Waktu itu, antara yang mengejar dan dikejar sudah bercampur aduk dalam sebuah pertempuran yang sengit. Kalau sudah seperti itu, tidak ada waktu lagi untuk mengisi bedil atau menerbangkan kantong kulit Hiat-ti-cu, melainkan masing-masing pihak akan lebih mengandalkan ketangkasan bersilat dan me nunggang kuda masing-masing.

Biau Beng Lama sendiri telah memutar kuda untuk menghadapi Tong Lam Hou. Alangkah besar pujian yang bakal diterimanya kalau ia berhasil membawa batok kepala ketua Hwe-liong-pang itu ke hadapan Kaisar. Sebab Ketua Hwe-liong-pang itu sudah mendapat cap pula sebagai "pemberontak" karena berani bersekongkol dengan Pak Kiong Liong.

"Pang-cu, kebesaran namamu sudah kudengar sejak aku masih di Tibet, sekarang aku mohon pengajaranmu!" seru Biau Beng Lama dengan congkak, sambil menggerakkan sepasang tangannya untuk sebuah serangan jarak jauh. Serangan itu sebenarnya agak curang, sebab Tong Lam Hou tengah menghadap ke jurusan lain setelah merampungkan dua musuh.

Tapi Ketua Hwe-liong-pang itu merasa datangnya serangan dari samping dan sempat melompat menghindar meninggalkan punggung kudanya. Kuda tunggangannyalah yang menjadi korban serangan Biau Beng Lama. Kepala kuda itu seolah meledak sampai isi kepalanya berhamburan, dan binatang itupun segera roboh mampus.

Siapapun yang ada di arena itu kagum melihat kedahsyatan pukulan pendeta tua Ang-ih-kau itu. Memang banyak jagoan dunia persilatan yang dengan tangan kosong bisa memecahkan kepala seekor kuda, bahkan kerbau, tetapi memecahkan kepala kuda dari jarak belasan langkah hanya dengan angin pukulan, itulah hal yang luar biasa.

Tong Lam Hou sendiri tidak berani memandang enteng. Ketika Biau Beng Lama dan kudanya kembali menerjang ke arahnya, Ton Lam Hou menyambutnya dengan gerak Heng-hun-liu-cui (Mega Meluncur dan Air Mengalir). Gelombang hawa dingin yang menusuk tulang segera menggulung ke arah Biau Beng Lama.

Kali ini gantian si tokoh Ang-ih-kau yang harus buru-buru melompat meninggalkan kuda. Kuda tunggangannya tersambar gelombang hawa dingin, dan langsung roboh membeku dengan empat buah kaki menjulang ke langit. Biau Beng Lama dan Tong Lam Hou kini saling berhadapan, dan tanpa banyak bicara lagi langsung saling gebrak.

Mula-mula masih kelihatan bagaimana mereka berdua saling memukul, menangkis, menendang, mengelak, menyapu dan gerak-gerak silat lainnya, namun makin lama gerakan mereka makin cepat sehingga gerak mereka semakin nampak kabur. Biau Beng Lama yang berjubah merah itu menyambar kian kemari dengan cepatnya, sehingga mirip segumpal cahaya merah yang menyakitkan mata. Tetapi Tong Lam Hou meladeninya dengan tangguh tanpa terdesak sedikitpun, bahkan tidak jarang berhasil memaksa lawannya surut ke belakang.

Sementara itu, para bekas perajurit Hui-liong-kun, bekas anggota tentara berkuda terbaik di seluruh kekaisaran, telah menyerbu kearah rombongan jago-jago istana dengan senjata-senjata mereka. Tak disangsikan lagi, gelombang serbuan mereka mengejutkan para jagoan istana.

Pemimpin mereka ialah Tok Koh Lui bekas bawahan Pak Kiong Liong yang berpangkat Jian-hu-thio (komandan seribu orang), yang merasa amat berhutang budi kepada Pak Kiong Liong karena nyawanya pernah diselamatkan dalam sebuah pertempuran. Ketika Pak Kiong Liong diumumkan sebagai "pengkhianat" dan "buronan istana" oleh Kaisar Yong Ceng, Tok Koh Lui menjadi sakit hati, lebih-lebih setelah pasukan Hui-liong-kun hendak dipereteli dan "dikebiri" oleh Yong Ceng dengan jalan dipecah-pecah untuk digabungkan dengan pasukan-pasukan lain yang setia kepada Yong Ceng.

Maka Tok Koh Lui bersama sekitar dua ratus perajurit setianya lari dari Pak-khia, membentuk sebuah gerombolan di tempat tersembunyi, sambil menunggu peluang untuk menghantam Kaisar Yong Ceng. Ketika ia dikabari oleh seorang pengintainya bahwa di padang ilalang sedang terjadi "perburuan manusia", tanpa pikir panjang Tok Koh Lui mengajak sebagian anak buahnya untuk melihat, dan alangkah gembiranya ketika menemui Pak Kiong Liong, sehingga diapun langsung terjun ke kancah pertempuran. Pak Kiong Liong baginya bukan sekedar seorang panglima atasannya, tapi hampir dianggap ayahnya sendiri.

Maka terguncanglah arena itu oleh ketangkasan dan kegarangan bekas perajurit-perajurit Hui-liong-kun. Tok Koh Lui sendiri menyapa Pak Kiong Liong dengan semangat meluap-luap campur rasa haru, "Goan-swe, selamat bertemu lagi!"

Tadinya Pak Kiong Liong sudah putus harapan, mengira pasukan Tok Koh Lui sebagai musuh, tapi setelah tahu siapa yang datang, diapun tidak kalah gembira dan terharunya. Apalagi setelah melihat bendera Hui-liong-kun yang berkibar-kibar dibawa salah seorang anak buahnya Tok Koh Lui, sehelai bendera hitam bersulam gambar naga putih berselimut mega. Sahutnya, "Selamat, saudara Tok Koh, berbahagia sekali aku boleh bertempur lagi di bawah panji-panji kebanggaan kita!"

Tok Koh Lui bersenjata kampak bertangkai panjang, segera menderapkan kudanya ke tengah gelanggang. la memang seorang ahli pertempuran berkuda, tenaganyapun besar, sehingga biarpun tipu-tipu permainan senjatanya tergolong polos dan kasar, tetapi amat berbahaya di medan yang cocok buat kepandaiannya. Beberapa algojo Hiat-ti-cu telah tersapu roboh oleh senjatanya.

Anak buah Tok Koh Lui juga menyerbu gelanggang dengan tidak kalah semangatnya. Kepandaian dalam pertempuran berkuda mereka adalah hasil gemblengan Pak Kiong Liong dulu. Dan kini, mereka seperti murid-murid yang ingin menunjukkan kepada guru mereka, untuk membuktikan bahwa mereka murid yang baik, yang tidak pernah melupakan ajaran guru mereka, bahkan sudah meningkatkannya. Mereka masuk gelanggang dengan menebar, kemudian memacu kuda mereka membuat garis siIang-menyilang melebar yang memperluas gelanggang pertempuran itu.

Jago-jago istana, terutama kaum Hiat-ti-cu, mencoba menandingi ketrampilan musuh dengan mengeluarkan kantong-kantong kulit pemenggal kepala. Kantong-kantong maut itupun beterbangan di udara, mencari mangsa. Seorang bekas perajurit Hui-liong-kun berhasil diserang sehingga kehilangan kepalanya, namun sedetik kemudian si penyerangpun kehilangan kepala sebab lehernya dibabat seorang bekas perajurit lainnya, dari jurusan lain.

Sementara itu, karena kelewat bergairah, Tok Koh Lui telah keliru memilih lawan. Ketika ia melihat di dekatnya ada seorang kakek-kakek bermata merah dan berpakaian seragam jubah ungu, tanpa pikir panjang lagi Tok Koh Lui memajukan kudanya dan mengayunkan kampak bertangkai panjangnya.

Kakek itu adalah Kim Seng Pa yang berilmu amat tinggi. Baru saja senjata Tok Koh Lui bergerik setengah jalan, tahu-tahu tangan Kim Seng Pa meluncur lebih cepat dan berhasil mencengkeram siku tangan Tok Koh Lui, membuat Tok Koh Lui kehilangan tenaga dan tubuhnya hampir terseret turun dari kudanya. Namun Tok Koh Lui cukup nekad, dengan sebelah tangannya yang masih bebas, ia mencabut belati dari pinggang-nya untuk ditikamkan ke leher Kim Seng Pa.

Kim Seng Pa hanya terkekeh sambil mengejek, "Kau mencari mati.....” kepala Kim Seng Pa tiba-tiba mengibas lalu kuncir rambutnya yang panjang dan putih keperak-perakan itu mendadak seperti sehelai cambuk berkekuatan raksasa yang melecut lengan Tok Koh Lui yang memegang belati. Belati Tok Koh Lui terpental, lengannya terasa pedih bukan main dan lumpuh. Sedangkan lengannya yang tercengkeram belum juga berhasil lepas, sampai tangannya serasa hampir patah.

Dalam detik-detik berbahaya itulah Pak Kiong Liong datang menolong dengan melancarkan serangkaian pukulan kekepala dan lambung Kim Seng Pa. Terpaksa Kim Seng Pa harus melepaskan dulu calon korbannya, untuk menangkis hantaman Pak Kiong Liong. Dengan suara gemuruh bagaikan sepasang petir yang bertabrakan di langit, pukulan Pak Kiong Liong dan Kim Seng Pa berbenturan dahsyat. Akibatnya kedua kakek maha perkasa itu sama sama terpental dari punggung kuda masing-masing.

Kepada Tok Koh Lui Pak Kiong Liong masih sempat berkata, “Hati-hati memilih lawan, saudara Tok koh. Setan tua ini bagianku...”

Sekarang Kim Seng Pa dan Pak Kiong Liong telah berhadap-hadapan. Inilah kesempatan kedua bagi Kim Seng Pa menghadapi Pak Kiong Hong. Dalam kesempatan pertama dulu. Kim Seng Pa kalah. Namun selama dua tahun Kim Seng Pa telah bekerja keras menyempurnakan ilmunya, rasa percaya dirinya juga meningkat, sehingga kini tanpa rasa takut sedkitpun ia menghadapi Pak Kiong Llong.

Tanpa banyak cakap lagi, Kim Seng Pa mulai menyerang. Bahkan la tidak sabar untuk mulai dengan gerak-gerak permulaan, tapi langsung memainkan 36 jurus iImu andalannya yang disebut Liok-hap-ciang-hoat (Telapak Tangan Enam Penjuru). Bersamaan dengan bentakannya rumput ilalang di sekitar dirinya tiba tiba menyibak bagaikan di lecut prahara, debu terangkat naik menutupi angkasa, dan Kim Seng Pa seolah berubah menjadi sesosok mahluk mengerikan dengan seribu pasang tangan yang bergerak srempak. Siap melumatkan lawannya.

Pak Kiong Liong memang kaget, jelaslah lawannya tidak bisa disamakan dengan dua tahun yang silam. Cepat ia memasang kuda-kuda sambil mengerahkan Hwe-liong-sin-kang, lalu iapun memainkan Thian-liong-kun-hoat untuk menandingi Liok-hap-ciang-hoat yang dahsyat. Bayangan sepasang tangan Pak Kiong Liong bagaikan sepasang naga yang menari-nari di angkasa, menerjang badai pukulan lawannya.

Maka terlibatlah keduanya dalam pertarungan silat tingkat tinggi yang mengerikan. Gemuruh pukulan dari kedua pihak membuat bulu kuduk berdiri. Dimana Pak Kiong Liong bergerak, rumput ilalang di tempat itu segera hangus seperti habis disembur api dari mulut seekor naga raksasa. Namun Kim Seng Pa meladeni tak kalah hebatnya, tubuhnya diselimuti taufan berkekuatan luar biasa yang mampu melemparkan benda-benda di sekelilingnya. Ketika dua orang penunggang kuda yang sedang bertempur tanpa sengaja mendekatinya, maka kedua orang itu terlempar bersama kuda-kuda mereka, seolah mereka hanya helai-helai daun kering saja.

Agak jauh dari arena itu, Tong Lam Hou dan Biau Beng Lama juga tengah asyik mengadu kedahsyatan ilmu mereka, lupa keadaan sekeliling mereka. Lengah sedikit saja, berarti memberi peluang kepada lawan untuk meraih kemenangan. Meskipun Biau Beng Lama dan Kim Seng Pa sudah "mendapat kesibukan”, namun tidak berarti perlawanan jago-jago istana menjadi lemah. Di antara mereka masih ada lima murid Biau Beng Lama, Sat Siau Kun, Su-ma Hek-long, tiga pendekar Heng-san, Hap Toh dan Pa Lian Hou yang tak bisa dipandang ringan.

Padang ilalang yang biasanya tenteram itupun menjadi acak-acakan karena menjadi ajang kebencian dan dua kelompok yang bermusuhan itu. Mayat kuda dan mayat manusia bergeletakan, sementara yang masih hidup masih saling menyambar dengan senjata-senjata yang terayun-ayun mencari mangsa. Sorak kemenangan selalu dibarengi pekik kematian. Kalau yang satu menang, berarti yang lain harus mati. Tak ada ampun. Mereka tengah memperebutkan benda tak berwujud yang disebut "kekuasaan".

Tong San Hong dan Tong Hai Long tidak ikut bertempur, mereka hanya duduk di punggung kuda di tempat yang aman, didampingi kedua orang tua mereka yang dengan tegang mengawasi ke segala arah. Hu Se Hiong yang pingsan di atas kuda itu juga sudah berhasil diminggirkan oleh Tong Gin Yan.

Sepasang anak l.embar itu nampak bersemangat sekali melihat bagaimana kedua kakek mereka berkelahi dengan hebatnya, seperti dewa-dewa dalam cerita dongeng saja. Tangan mereka kadang-kadang ikut bergerak-gerak karena terbawa ketegangan perasaan.

"Ibu, kenapa kita tidak ikut bertempur dan hanya enak-enak menonton di sini?" tiba-tiba Tong San Hong bertanya kepada Pak Kiong Eng.

"Benar, ibu, mari kita ikut bertempur supaya musuh dapat cepat terusir” sambung Tong Hai Long berangasan.

Tetapi kedua anak-anak itu buru-buru menunduk dengan takut ketika sang ibu melotot ke arah mereka sambil berkata, "Anak-anak bengal, kalian sudah Iupa bagaimana penderitaan kalian dalam kerangkeng istana? Kalau kalian terjun ke gelanggang, kalian hanya akan memecahkan perhatian kakek kalian dan paman-paman lainnya, dan bisa mengakibatkan kekalahan kita. Kalian mau dituduh sebagai biang keladi kekalahan?”

Biarpun masih sambil menunduk, Tong Hai Long masih berani menggerutu, "Uh, ibu kira kami belum pernah berlatih bertempur sambil menunggang kuda? Di Tiau-im hong, kami sering diajari oleh Paman Seng....."

"Anak-anak, tunduklah kepada ibu kalian," akhirnya Tong Gin Yan ikut bicara.

Diam-diam hati Tong Gin Yan tersentuh juga oleh ucapan anak-anaknya. Selagi orang lain mengadu nyawa, kenapa ia malah enak-enak di pinggiran melindungi anak-anaknya sendiri? Padahal pertempuran itu terjadi karena melindungi anak-anaknya? Karena itulah Tong Gin Yan kemudian berkata kepada isterinya,

"A-eng, kau jaga anak-anak di sini. Rasanya kurang pantas selagi teman-teman memeras keringat, aku malah duduk enak-enak disini. Kalau ada bahaya, panggil aku."

"Baik, Yan-ko," sahut Pak Kiong Eng.

Setelah Tong Gin Yan memacu kudanya memasuki pertempuran, Tong Hai Long berkata lagi kepada ibunya, "Kenapa ayah boleh dan kami tidak boleh, ibu?"

"Sepuluh tahun lagi, kalianpun boleh," sahut ibunya.

Dan Tong San Hong menggerutu, "Sepuluh tahun lagi? Rasanya pertempuran kali ini tidak akan berlangsung selama itu..."

Biarpun hatinya geli, Pak Kiong Eng berusaha untuk tetap berwajah angker di depan anak anaknya. Kalau ia tertawa, ia khawatir anak-anaknya akan lebih susah diatur. Begitu masuk arena, Tong Gin Yan langsung bertarung dengan Ci Long Lama, murid Biau Beng Lama yang berdarah India dan bersenjata sebatang tongkat bambu yang sekeras baja itu.

Keduanya sebenarnya sama-sama kurang mahir bertempur berkuda, tetapi keduanya juga sama-sama malu menunjukkan kekurang-mahiran mereka, sehingga masing-masing memaksakan diri untuk tetap bertempur berkuda. Maka terjadilah pertarungan yang penuh dengan gerakan serba canggung dan karena sama-sama canggung, merekapun seimbang.

Setelah ditinggalkan suaminya, Pak Kiong Eng menyiapkan pula panah-panah dan busurnya. Yang harus dijaga bukan saja kedua anaknya, melainkan juga Hu Se Hiong yang masih tertelungkup pingsan itu. Tiga orang Hiat-ti-cu agaknya belum kenal siapa Pak Kiong Eng. Ketika melihat seorang perempuan muda yang cantik menunggu dua bocah dan seorang tua terluka, mereka mengira berhadapan dengan lawan yang gampang ditundukkan. Mereka segera menbelokkan kuda ke arah Pak Kiong Eng.

Pak Kiong Eng tidak menunggu mereka sampai dekat. Sekejap kemudian, sebatang panahnya meluncur dan hinggap di dada salah seorang dari tiga penyerang itu. Yang dua lainnya kaget melihat robohnya seorang teman mereka, namun mereka nekad menerjang terus dengan berlindung di balik leher kuda. Karena merasa sulit membidikkan panahnya, Pak Kiong Eng menyimpan busur dan panahnya, lalu menyiapkan pedangnya sambil memajukan kudanya.

Tetapi sebelum keduanya tiba di depan Pak Kiong Eng, seorang penunggang kuda lainnya memotong dari samping. Seorang yang tidak bersenjata sepotongpun, tapi dengan gerak luar biasa telah berhasil menjambret tubuh salah satu Hiat-ti-cu dengan ringan, lalu dilemparkan ke atas, ketika tubuh itu meluncur turun kembali, disambutnya dengan jotosan keras ke punggungnya. Tubuh yang malang itu langsung tertekuk seperti sebatang dahan kering saja.

Seorang Hiat-ti-cu lainnya merasa ngeri melihat kematian temannya. Penunggang kuda yang datang itu bukan lain adalah Pangeran In Tong yang amat bangga dengan Jian-kin-kang-hoat (Kekuatan Seribu Katinya). Ia berharap, dengan bertindak sekejam-kejamnya atas dua orang Hiat-ti-cu itu, ia akan mendapat muka di hadapan Pak Kiong Eng yang menggoncangkan imannya itu.

Sisa Hiat-ti-cu yang satu lagi buru-buru memutar kudanya untuk kabur, namun In Tong juga sudah memacu kudanya dan tahu-tahu sudah sampai di belakangnya. Dengan gugupnya si Hiat-ti-cu menebaskan golok ke belakang secara untung-untungan. Tapi In Tong berhasil menangkap lengan lawannya dan langsung disentakkan sekuat tenaga. Si Hiat-ti-cu berteriak ngeri karena lengannya tercabut mentah-mentah dari pundaknya.

In Tong tertawa terbahak-bahak sambil melemparkan lengan yang masih memegang golok itu. Berikutnya, sebuah pukulan keras dilayangkan dan mematahkan tengkuk si Hiat-ti-cu, membuat algojo itu tersungkur di antara batang-batang ilalang. Si algojo kejam telah menemui nasibnya karena terbentur si maha algojo maha kejam....


Selanjutnya,