X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 14 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 14

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Pak Kiong Eng bangkit, lalu mundur beberapa langkah dengan slkap hormat, mengambil jarak dari calon pemimpin masa depan yang terbungkus pakaian compang-camping itu.

Ketika pandangan Hong Lik disapukan kearah Ti Koan serta Chow Tai-pan sekeluarga, maka yang dipandangpun menjadi pucat. Rasanya batok kepala mereka sudah siap-siap akan meninggalkan tubuh mereka. Bagaimana tidak? Mereka sudah mencoba memfitnah dan bahkan menghukum seorang putera Kaisar, lebih-lebih mereka pernah mendengar bagaimana Hong Lik amat membenci ketidakadilan, terutama kalau dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya mengayomi rakyat.

Barangkali kalau saat itu pipi Ti Koan diiris dengan pisau, takkan ke luar darah setetespun, karena pucatnya. Dengan kaki gemetar, ia mengitari meja untuk berjalan ke hadapan Hong Lik dan berlutut. Karena gugupnya, ketika berlutut ia hampir jatuh tertelungkup, sementara ia harus dengan susah payah harus menahan agar tidak kencing dan berak di dalam celana.

Usahanya kurang berhasil. Tetap ada sedikit air kencing yang keluar, dan dari duburnya juga keluar sedikit ampas encer yang belum waktunya keluar. Untung hanya sedikit, dan untung pula jubahnya berlapis-lapis sehingga orang lain tak kan melihat pantatnya yang basah-basah lengket.

"Ham... hamba... me... menyem... bah... Thai-hong-cu...." katanya tergagap-gagap.

Hong Lik sedikit mengeryitkan hidungnya karena mencium bau kurang sedap dari tubuh Tl Koan. Sementara itu, Chow Tai Pan dan keluarganya serta seluruh anak buahnya juga sudah berlutut. Tetapi Chow Hujin (Nyonya Chow) masih punya sedikit keberanian untuk mengadukan bagaimana liar nya anak-anak desa, sehingga anaknya sendiri sering dirugikan, dan memohonkan hukuman berat buat anak-anak "liar" itu.

"Diam!" tukas Hong Lik dengan gusar. "Chow Hujin, kau kira aku tidak melihat sendiri bagaimana anak kesayanganmu itu berulah kepada teman-temannya? Kau anggap aku tuli dan buta, sehingga kau berani bicara seenakmu untuk menimpakan kesalahan kepada orang lain?"

Jantung Chow Hujin nyaris rontok oleh bentakan Hong Lik itu, namun ia masih juga nekad membela diri, "Tetapi.... anak hamba selalu hamba didik untuk berlaku sopan dan beradab. Berbeda dengan anak-anak kampung yang tidak berpendidikan dan....."

"Aku bilang diam! Atau kepalamu ingin dipenggal sekarang juga?" suara Hong Lik semakin keras. "Aku lihat sendiri anakmu yang sewenang-wenang merampas milik teman-temannya, bahkan memukul dengan batu!"

Kali ini ChowHujin benar-benar pingsan. Tak terbayangkan rasanya bagaimana ia dan keluarganya digiring ke alun-alun, lalu golok sang algojo akan mempereteli kepala mereka satu persatu. Padahal di rumahnya masih ada satu peti perhiasan yang disayanginya lebih dari nyawanya, yang harus dltinggalkan. Suara Pangeran Hong Lik berkumandang di ruangan sunyi itu.

“Tempat ini hanya belasan li dari Pak-khla, dan aku mendengar cerita bahwa di sini ada seorang hakim yang bertindak sewenang-wenang, menyalah-gunakan kekuasaannya. Aku menyamar dan datang kemari untuk membuktikan, ternyata benar, Hem, memuakkan sekali. Entah berapa banyak orang yang sudah kau rugikan dengan kejahatanmu itu?"

"Ampun, Pangeran, ampun,.." Si Ti Koan menyembah-nyembah sampai jidatnya menyentuh tanah. "Pangeran, hamba tadi benar-benar tidak tahu kalau menghadapi Pangeran....."

"Seandainya aku bukan Hong Lik, tapi benar-benar seorang jembel cilik yang seharusnya dikasihani, lalu bagaimana tindakanmu? Akan tetap kau siksa untuk memuaskan orang yang sering menyuapmu? Begitukah sikap seorang hakim?"

"Ampun, Pangeran, hamba memang telah tersesat. Tetapi di masa datang hamba akan bertindak seadiI-adilya, hamba bersumpah...."

"Enak saja, kau sudah menimpakan malapetaka kepada banyak orang dan mau menghapus dengan sepatah kata sumpah saja. Tidak ada lagi masa depan buatmu. Hari ini juga kau harus ikut aku ke Pak-khia untuk menghadap Hek Po Si-ang-si (Menteri Kehakiman) untuk menentukan hukumanmu....."

Wajah si Ti Koan sekarang lebih putih dari kertas kwalitas nomor satu. la merayap seperti kadal untuk mencium sepatu butut yang dipakai Hong Lik, sambil meratap, "Pangeran, bukankah hamba sudah bersedia bersumpah Berilah kesempatan kepada hamba untuk memperbaiki kesalahan hamba...."

"Tidak," kata Hong Lik tegas. "Sungguh malang nasib rakyat kalau semua pejabat bersikap seperti kau. Menindas seenaknya, lalu diampuni hanya karena bersumpah. Tidak, kau harus mempertanggung-jawabkan tindakanmu selama ini!"

"Pangeran... pangeran..."

"Pengawal! Bawa dial"

Dua perajurit segera menyeret tubuh Ti Koan yang sudah lemas seolah tak ada tulangnya lagi, tak sanggup lagi melangkah sendiri. Dan kedua perajurit itu melakukan tugasnya sambil menggerutu dalam hati, sebab bau-bauan busuk dari celana Ti Koan semakin keras menusuk hidung.

Kepada Chow Tai Pan, Hong Lik ber kata, "Sekali lagi aku mendengar tentang kelakuanmu yang buruk, aku akan minta untuk mengerahkan perajurit menangkap dan menghukummu. Tldak perlu ada peringatan lagi, langsung tindakan. Paham?"

"Hamba paham... hamba paham..." sahut Chow Taipan. Agak lega hatinya, karena mengira hukuman baginya hanya berupa teguran. Tak terduga kata-kata Hong Lik masih ada susulannya,

"Dan sebagai hukuman keserakahanmu selama ini, kau harus menyerahkan setengah dari hartamu untuk membangun desa ini. Awas kalau tidak dilaksanakan."

Perintah itu membuat tenggorokan Chow TaiPan tercekik dan matanya berkunang-kunang. Setengah hartanya? Wah, rasanya ia lebih rela harus mengorbankan isteri dan anaknya untuk memberi makan macan di hutan, daripada mengorbankan setengah hartanya. Tetapi begitulah perintah Pangeran Hong Lik.

Sementara kata kata Hong Lik terdengar lagi, "Kalau kau tidak puas dengan perintahku, kau boleh coba-coba kabur. Tetapi aku akan segera minta agar Hu-hong (ayahanda Kaisar) menyebar tentara untuk mengejarmu, dan kau akan dihukum sebagai buronan."

"Hamba tldak berani.... hamba tidak berani,.." sahut Chow Taipan dengan suara nyaris seperti berbisik. Hari itu tercatat sebagai hari paling naas dalam umurnya.

Pangeran Hong Lik sendiri kelihatan gembira sehabis membagikan hukuman kepada para penindas itu. Setelah tersenyum dan mengangguk kepada Pak Klong Eng, diapun melangkah keluar dengan langkah-langkah yang agung.

Thio Ban buru-buru berlutut di depan Hong Lik sambil mengusulkan, '’Pangeran, sebaiknya pangeran menunggu sampai datangnya sebuah kereta atau tandu yang memadai, serta pengawal yang cukup kuat untuk melindungi Pangeran sampai ke Istana. Hamba sudah menyuruh orang untuk mendatangkan pasukan."

"Sambil menunggu, bukankah kita bisa sambil berjalan?" sahut Hong lik tenang. "Kau dan pasukanmu, Ikut aku."

Keruan Thio Ban berkeringat dingin. Tadinya la sudah merasa lega karena tidak kebagian hukuman seperti Ti Koan dan pamannya, biarpun ia kecipratan rejeki juga, namun ia menggigiI kalau harus mengawal Pangeran Hong Lik. Tanggung-jawab sebesar itu, mengawal putera Kaisar, benar-benar membuatnya ngeri. Kalau Hong Lik luka seujung rambutpun, ia harus mempertanggung- jawabkannya kepada Kaisar sendiri.

"Pangeran, sebaiknya menunggu saja kereta dan pengawal itu. Hamba kira mereka takkan lama...."

"Tidak. Klta berangkat sekarang."

Apa boleh buat, Thio Ban mengatur pasukannya yang jumlahnya tak seberapa itu untuk mengawal Hong Lik. la sendiri berdoa kepada segala macam dewa yang dikenalnya, agar tidak terjadi apa-apa ditengah Jalan.

Ketlka Hong Llk tiba dl luar pintu, dimana masih banyak penduduk desa yang berkerumun dan belum bubar, entah siapa yang mulai, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan,

"Hidup Thai-hong-cui Hidup Thai-hong-cui“ Lalu teriakan-terlakan menjalar dengan cepat sehingga gemuruhlah suaranya.

Sementara Pak Kiong Eng masih termangu- mangu sekian lamanya. Kalau menuruti kepentingan dirinya sendiri, ingin la menawan Hong Lik untuk memaksa Yong Ceng membebaskan kedua puteranya serta Se Bun Hong-eng, tapi toh ia cuma membeku di tempatnya dan tak dapat berbuat apa-apa. Hong Lik saat itu bukan putera Yong Ceng, melainkan sebutir mutiara berharga milik seluruh rakyat kekaisaran, dan Pak Kiong Eng tak berani merenggutnya.

Akhirnya Pak Kiong Eog ialah mengambil tindakan yang berlawanan dengar kepentingan pribadinya. Secara diam-diam ia ikut mengawal Hong Lik dari kejauhan, mengkhawatirkan keselamatan Pangeran itu. Barulah ia berhenti mengikuti, setelah melihat Hong Lik masuk ke sebuah tandu indah yang menyongsongnya, dan pengwalan diambil-alih oleh sekelompok pasukan istana yang kelihatan jauh leblh tangguh dari Thio Ban dan pasukannya.

Pak Kiong Eng berkata dalam hatinya sendiri, "Sebuah peluang emas untuk menebus kebebasan A-san dan A-hai telah kulewatkan begitu saja. Tapi aku tidak menyesal. Mudah-mudahan Yong Ceng segera turun tahta, digantikan orang yang lebih adil dan bijaksana. Entah Hong Lik, entah In Te, biarlah yang terbaik bagi rakyat saja....”

Ketika Pak Kiong Eng kembaIi ke warung teh tempat suaminya serta suami isteri Se Bun Beng menunggu, ia segera menceritakan pengaiamannya, dan yang mendengarnya tercengang.

Keesokan harinya, Hu Se Hiong bertiga muncul di kedai teh untuk melaporkan hasil pengamatan mereka atas kota Pak-khia. Semuanya kelihatan aman, tidak ada tanda tanda perangkap, bahkan Hu Se Hiong sudah berhasil menguasahakan sebuah tempat penginapan, tidak jauh dari Istana, sehingga akan memudahkan gerakan-gerakan selanjutnya. Bukan penginapan umum, melainkan rumah seorang anggota Hwe-liong-pang yang "ditanam” di Pak-khia.

"Kau bekerja dengan sempurna, Hiang-cu," kata Tong Gin Yan. "Tetapi apakah ayahku, mertuaku dan Hong Loeng-Liong belum tiba di Pak-khia?"

"Belum nampak, Siau-pangcu. Namun kalau mereka tiba, tentu akan segera membuat kontak dengan orang-orang kita di sana."

Tong Gin Yan mengangguk-angguk. Di kota Pak-khia hanya terdapat tigapuluh orang Hwe-liong-pang, namun semuanya adalah orang-orang pilihan yang pintar bekerja, bekerja sendiri maupun bekerja sama, sehingga dapat membuat jaringan tukar-menukar berita yang rapi. Mereka ada yang menyamar sebagai pengemis, perwira, saudagar, bahkan menjadi tukang pukul di tempat pelesiran, sebab di tempat macam Itu tempat lalu-lintas berita yang ramai dan bisa disadap.

"Mungkinkah terjadi tesuatu yang berbahaya atas diri ayah bertiga?" yang mengutarakan kecemasan Justru adalah Pak Kiong Eng.

Hu Se Hiong tertawa dan menyahut, "Kecemasan Hu-jin berlebihan. Salah satu saja dari ketiga orang tua Itu sudah sulit dicari tandingannya dikalangan persilatan, apalagi mereka bertiga berjalan bersama."

Demikianlah, setelah melunasl sewa penginapan dan makan minum mereka, merekapun berangkat masuk kota Pak-khia yang sudah ada dl depan mata. Terselip juga sedikit kegembiraan Pak Kiong Eng mengunjungi kota kelahirannya, yang sudah belasan tahun tak dilihatnya, sejak ia menjadi Isteri Tong Gin Yan dan boyongan ke Tiau-im-hong. Namun ia sadar, kemelut perebutan kekuasaan yang belum padam sama sekali di pusat pemerintahan Itu akan menjadikan bekas teman-teman sejak masa remaja dulu jadi asing satu sama lain. Masing-masing harus waspada satu sama lain. sebelum bisa menjajagi sikap dan pendirian pihak lain.

Persoalan sebenarnya sudah mengintai rombongan itu begitu mereka meninggalkan warung dan penginapan itu. Dua pasang mata memperhatikan mereka. Dua pasang mata milik dua orang yang berpakaian seperti pengemis dan berjongkok dipinggir jalan di seberang warung. Ketika melihat rombongan orang-orang Hwe-liong-pang keluar dan berangkat, pengemis yang berewokan menyikut temannya dan berbisik, "Itulah mereka."

"Apa yang akan mereka lakukan di Pak-khia?"

"Kita dengarkan laporan si kodok sebentar lagi..."

Yang dipanggil si kodok adalah pegawai rumah penginapan yang semalam di tempati Tong Gin Yan dan rombongannya, tampangnya memang seperti kodok. Ujung mulutnya hampir mencapai kuping, sedang hidung dan matanya justru kecil-kecil, sehingga seluruh wajah hanya dipenuhi mulut saja. Begitu Tong Gin Yan dan rombongannya pergi, la segera menyeberangi jalan untuk menjumpai kedua "pengemis" Itu dan berbicara,

"Mereka sudah ke Pak-khia."

"Tujuannya?"

"Aku sudah menguping, tapi tidak berani terlalu dekat sebab tahu bahwa mereka terlalu lihai. Jadi yang berhasil aku dengar juga tidak terlalu banyak....."

"Apa saja?"

"Mereka menyebut-nyebut tentang Pangeran In Te, Ibusuri Tek Huai dan juga tentang anak-anak yang diculik, namun aku benar-benar tak bisa mendengar jelas seluruh pembicaraan mereka. Hanya itu yang berhasil kusadap. Eh, nanti dulu, Itu majlkanku memanggil."

Lalu si kodok kembali ke warungnya. "Nah, apa tindakan kita sekarang?" si pengemis bermuka pucat bertanya kepada temannya yang berewokan.

"Kita tidak akan membuang tenaga untuk menghancurkan mereka. Ada Seribu satu cara untuk membalaskan sakit hati Pangeran Cu Sek Kil. Kita harus pakai otak..,”

"Caranya?" tanya temannya.

“Kita pinjam tangan bangsat-bangsat Manchu untuk menghancurkan mereka. Bukankah Pak Kiong Liong sekarang ini adalah buronan Manchu, biarpun la sendiri adalah orang Manchu yang berjasa? Sedang Hwe-liong-pang juga terlibat, sebab mereka memihak Pak Kiong Liong. Nah, cukup kita bocorkan kedatangan mereka kekuping bangsat-bangsat manchu, lalu orang-orang Hwe-liong-pang itu akan seperti ikan-ikan yang masuk ke dalam jaring...."

"Akal bagus. Tapi bagaimana kalau bangsat-bangsat Manchu tidak berhasil mengalahkan mereka?”

"Tidak jadi soal. Bangsat-bangsat Manchu maupun bangsat-bangsat Hwe-liong-pang sama-sama musuh Jit-goat-pang kita. Kalau mereka cakar-cakaran sampai sama-sama hancur lebur, bagus buat kita. Barangkali akan muncul peluang buat kaum kita untuk merebut kekuasaan dan menegakkan kembali Kerajaan Beng yang jaya..."

“AkaI yang hebat, Toako. Baiklah segera kuhubungi orang-orang kita di Pak-khia."

"Cepat lakukan.”

"Sebelum berpisah, Toako, bagaimana hasil pembicaraan kita dengan kaum Pek-lian-pai (kaum Seroja Putih) dan Thian-te-hwe (Serikat Langit Bumi)?"

"Pek-lian-pai setuju bergabung dengan kita, tetapi Thian-te-hwe menolak, sebab mereka tidak mengakui kesyahan keturunan Pangeran kita yang kata mereka hanya dari seilir Sri baginda Cong Ceng. Mereka hanya mengakui keturunan Pangeran Tong Ong yang bergelar Liong-bu. Mereka juga menganggap gebrakan kita kelak hanyalah mengejutkan pihak Manchu tapi takkan meruntuhkannya, sehingga mereka enggan bergabung dengan kita. Hem, alangkah sombongnya mereka....“

Si pengemis muka pucat menjadi merah padam wajahnya. "Sudah kuduga mereka besar kepala dan menganggap Jit-goat-pang kita terlalu kecil. Mentang-mentang mereka punya basis bawah tanah yang kokoh di wilayah selatan, bahkan punya pangkalan perang di Tai-wan…”

“Hemm, biar mereka menepuk dada akan menggusur orang Manchu pulang ke Liao-tong, namun tanpa mereka sadari, mereka sebenarnya sudah menjadi anjing-anjing bangsa asing juga. Anjing-anjing bangsa Portugis, sebab kapal-kapal perang Thian-te-hwe sering terlibat perang laut dengan kapal-kapal Ang mo (Inggris) yang menjadi musuk Portugis. Nah, bukankah kesombongan mereka itu omong kosong belaka?"

"Ya, tidak lama lagi kita akan menguasai Pak-khia, aku yakin. Dan saat itu barulah mereka terbuka matanya, mungkin akan segera mengirim utusan untuk mengemis-ngemis ingin bergabung dengan kita, ikut mencicipi kekuasaan."

"Sudah, jangan omong saja. Cepat ke Pak-khia."

"Baik, Toako."

Sementara itu, rombongan Tong Gin Yan sudah tiba di Pak-khia dan oleh Hu Se Hiong langsung dibawa ke rumah anggota Hwe-liong-pang. Demi keamanan Pak Kiong Eng yang sudah dikenal Pak-khia terpaksa harus memakai tudung bambu yang dipakai rendah- rendah. Juga puteri dari buronan nomor satu pemerintahan Yong Ceng saat itu.

Setelah berada diruangan tertutup, Tong Gin Yan berkata, "Kita Harus menunggu kedatangan ayah, Sak-hu (ayah mertua) serta paman Hong Thai-pa. Biar pun kita cemas nasib anak-anak, tapi jangan bertindak gegabah, yang bisa membahayakan keselamatan Pangeran In te dan Ibusuri Tek Huai. Anak-anak kita adalah mutiara-muiara hati kita, namun jangan lupa bahwa Pangeran In Te adalah harapan Jutaan rakyat yang mendambakan pemerintahan yang bijaksana. Kita tidak boleh hanya mengutamakan satu kepentingan dan membahayakan kepentingan lainnya, kalian mengerti?"

Pertanyaan itu terutama dltujukan kepada Pak Kiong Eng dan Au Yang Siau-hong, dua Ibu yang gelisah itu, Sedangkan Se Bun Beng lebih tenang dari kedua perempuan itu, dia bisa memahami ucapan Tong Gin Yan, meskipun rasanya masih tidak percaya juga bahwa puterinya tlba-tiba saja terlibat dalam urusan politik yang demikian ruwet.

Padahal selama ini ia hidup tenteram di Lok-Yang dan senantiasa menjauhi dunia politik. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Semuanya bermula dari ayah angkatnya, Hong Thai Pa, yang mengajak Se-bun Hong-eng bertamasya ke Tiau-im-hong, dan inilah kelanjutannya. “Mau tidak mau aku jadi ikut-ikutan,” pikirnya.

Sementara Tong Gin Yan terus berkata, “Karena itu, mau tidak mau, kita harus merebut dua kepentingan itu sekaligus, dalam waktu bersamaan, tidak ada yang lebih dulu atau lebih belakangan. Membebaskan anak-anak kita, dan juga membebaskan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Hua, padahal tempat menyekap mereka tentu berpisah. Nah coba pikir, cukupkah kekuatan kita sekarang untuk dibagi dua, untuk menyerang dua sasaran terpisah yang dikawal jagoan-jagoan tangguh?”

Pak Kiong Eng, Se Bun Beng, Au Yang Siau Hong, Hu Se Hiong, Ji Han Lim dan Kiong Wan Peng serempak mengangguk-angguk. Mereka memang jagoan-jagoan tangguh, namun di dalam dinding istana ada berpuluh-puluh jagoan yang setingkat dengan mereka, bahkan ada beberapa orang yang lebih tinggi ilmunya dari mereka. Mereka juga tahu maksud Tong Gin Yan tentang serangan serempak ke kedua sasaran itu. Kalau mereka serang peyimpanan anak-anak lebih dulu, andaikata berhasil, tentu selanjutnya istana akan dijaga makin ketat dan sulit membebaskan Pangeran In Te serta ibusuri Tek Huai.

Sebaliknya, kalau mereka serang kediaman Pangeran dan Ibusuri lebih dulu, tentu tempat tahanan anak-anak mereka akan diperkuat penjagaannya, bahkan mungkin dipindahkan ke suatu tempat yang sulit di temukan. Karena itu, memang benar kata Tong Gin Yan, bahkan kedua kepentingan itu harus direbut serempak. Berarti kekuatan yang kecil itupun harus dibagi dua, padahal dijadikan satupun belum tentu berhasil.

“Jadi, bagaimana sikap kita?” suaar Au Yang Siau-hong memecah kesunyian.

“Bersembunyi sementara sambil menunggu kedatangan ketiga orang tua itu.” Sahut Tong Gin yan, “Kalau bersama mereka, rasanya cukup memadai kalau kekuatan kita dibagi dua.”

Betapapun gelisahnya “induk-induk macan” yang kehilangan anak-anak mereka itu. Namun mereka paham penjelasan Tong Gin Yan dan terpaksa harus bersabar. Kesabaran termasuk modal penting kaum pendekar, bukan hanya ketangkasan dan keberanian.

Merekapun beristiraha di rumah anggota Hwe-liong-pang yang bernama Kui Hok itu. Di bagian belakang rumah, ada halaman yang penuh alat-alat latihan seperti soa-pau (karung pasir) yang digantung, ciok-so (gembok batu) untuk menguatkan tangan, dan macam-macam lagi. Rupanya Kui Hok ini rajin juga latihan silat, karena tugasnya yang memang dekat dengan bahaya.

Sore itu, Tong Gin Yan sempat bercakap- cakap dengan Kui Hok dan menanyakan bagaimana perkembangan di kota Pak-khia. Menurut Kui Hok, Kaisar Yong Ceng semakin kokoh mencengkeram kendali pemerintahan dan menomor-satukan keamanan dirinya. Untuk itu, jago-jago Lama dari Tibet didatangkan sehingga memenuhi Istana. Saudara seperguruan Kaisar, Ni Keng Giau, sudah dilantik menjadi Panglima Tertinggi, menggantikan tempat kosong yang dulu diduduki Pangeran In Te.

Paman Kaisar, Kok Kiu Liong Ke Toh menjadi Penasehat Agung. Beberapa menteri yang kesetiaannya diragukan sudah disingkirkan. Ada yang mati mendadak di rumahnya, ada yang dijebloskan penjara dengan tuduhan yang dibuat-buat. Yang paling ringan ialah dicopot dari jabatannya dan disuruh pulang kampung sebagai rakyat biasa.

Namun terhadap adiknya. Pangeran In Te, Kaisar Yong Ceng belum berani bertindak kasar. Biarpun In Te sudah terkurung di dalam "kurungan emasnya di istana, namun Yong Ceng sadar bahwa In Te masih punya banyak pengikut setia yang tak dlketahui seberapa kekuatannya, terutama di wilayah-wilayah barat dan selatan. Karena itulah Yong Ceng tak berani bertindak kasar, khawatir timbulnya gejolak. Pangeran In Te malah diberi anugerah beberapa gelar kebangsawanan sebagai tanda "kasih-sayang"nya, tapl tidak berperanan apa-apa dalam jalannya pemerintahan.

"Hem, pintar juga teman kita Si Liong Cu Itu," Tong Gin Yan tertawa sambil menoleh ke arah Se Bun Beng, sambil menyebut nama samaran Yong Ceng ketika masih mengembara di dunia persi latan dulu. "Tetapi nasib Pangeran In Te seperti telur dl ujung tanduk. Kalau ada kesempatan, pasti Yong Ceng takkan membiarkan duri dalam daging itu tak tercabut selamanya."

“Benar, nasib Pangeran In Te pasti takkan kalah buruknya dari Pangeran In Gi dan In Tong yang dipenjara dan diperlakukan sepertl binatang itu...." sambung Pak Kiong Eng. "Eh saudara Kui, apakah kediaman Pangeran In Te dijadikan satu dengan Ibusuri Tek Huai?"

"Benar, demikianlah keterangan yang kudapatkan dari salah seorang orang kita yang menyusup ke istana sebagai perwira Han-lim-kun," sahut Kui Hok. "Sayang, teman kita itu sekarang sudah dipindahkan ke pasukan Kiu-bun Te-tok (Pengawal Sembilan Gerbang), sehingga takkan dapat membantu banyak kepada kita."

“Tidak jadi soal, keterangannya cukup membantu. Kalau Pangeran In Te dan ibundanya dijadikan satu, lebih gampang untuk menyelamatkan mereka sekaligus!"

"Benar. Kalau hanya membebaskan Pangeran In Te tanpa membebaskan Ibu-suri, seperti orang hendak memasak, ada minyak gorengnya tapi tidak ada apinya."

Tiba-tiba Pak Kiong Eng ingat kepada Hong Lik, si pangeran cilik yang kepribadiannya mengagumkan Itu. Ketika ia tanyakan kepada Kui Hong tentang Hong Lik, Kui Hok mendadak bicara dengan bersemangat sekali, "Sulit dipercaya bahwa orang selicik Yong Ceng punya anak berwatak seluhur Hong Lik, tapi itu kenyataan. Pangeran cllik itu sering menyamar dan keluar istana seorang diri, langsung mendengarkan keluhan rakyat dan menolongnya. Karena ltulah aku minta maaf bahwa aku telah melancangi perintah Pang-cu, sebab semua saudara-saudara Hwe-liong-pang di Pak-khia sudah kuperintahkan untuk melindungi Hong Lik secara diam-diam. Aku tidak memandang Pangeran Hong Lik sebagai anak Yong Ceng, melainkan sebagai pelindung rakyat kecil."

"Tindakanmu sudah tepat dan tak perlu minta maaf, saudara Kui, aku yakin ayah akan setuju tindakanmu," kata Tong Gin Yan sambil menepuk pundak Kui Hok. "Isteriku sendiri sudah melihat bagaimana watak Hong Lik."

"Tetapi ada desas-desus kurang pantas tentang diri Pangeran cilik itu..." kata Kui Hong tiba tiba. "Entah benar entah tidak!"

"Desas-desus apa?"

"Katanya, Pangeran Hong Lik tidak dilahirkan oleh Hong-hui (permaisuri), tapi oleh seorang perempuan Bangsa Han yang menjalin hubungan gelap dengan Kaisar. Lalu anak hasil hubungan gelap itu diangkut ke istana, dan diaku sebagai anak Permaisuri yang sekarang."

Diam-diam Se Bun Beng dan Au Yang Siau-hong mengharap agar desas-desus itu benar adanya, supaya darah yang mengalir di tubuh Hong Lik "lebih banyak darah Han" daripada Manchu. Sebab raja-raja Manchu sejak Khong Hi sebenarnya sudah tercampur darah Bangsa Han. Ibu Kaisar Khong Hi adalah Hau-kong Hong-hou, seorang wanita Han juga. Namun Se Bun Beng dan Au Yang Siau-hong tak berani mengucapkan di depan Pak Kiong Eng, khawatir menyinggung perasaannya, lupa bahwa ibu Pak Kiong Eng juga orang Han.

Manusia kadang-kadang memang aneh, menilai syah atau tidaknya si pemegang kekuasaan berdasar darah keturunannya atau sukunya, bukan berdasarkan berhasil atau gagalnya mensejahterakan rakyat. Alasan Itu pula yang membuat pemerintahan Manchu masih terus didongkel-dongkel oleh segolongan orang yang bersemboyan bahwa tahta harus diduduki Bangsa Han.

Mereka bercakap-cakap dengan asyik sampai jauh malam, karena mengira rumah Kui Hok benar-benar aman dari incaran musuh. Sama sekali tak menyangka bahwa sejak masuk Pak-khia mereka sudah diawasi dan dikuntit oleh mata-mata Istana, Itu gara-gara ulah orang-orang Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari) yang memusuhui Hwe-liong-pang. Orang-orang Jit-goat-pang diam-diam telah membisiki pihak Istana, sehingga pihak Istana mulai menyiapkan jagoan-jagoannya untuk menggerebek rumah Kui Hok.

Lewat tengah malam, di puncak-puncak rumah di sekliar rumah Kui Hok nampak beberapa sosok tubuh berlompatan ringan bagaikan kucing, mendekati rumah Kui Hok. Biarpun rembulan di langit hanya sepotong, tapi cukup untuk melihat bahwa orang-orang itu terdiri dari tiga orang pendeta Lama dan tiga orang berbaju panjang satin ungu jagoan-jagoan pribadi Kaisar Yong Ceng.

Tiba di atas genteng rumah Kui Hok, salah seorang berteriak membelah udara malam, "Bandit-bandit Hwe-liong-pang! Keluar dan menyerahlah! Hong-siang (Kaisar) sudah menyediakan penginapan yang lebih nyaman, di penjara!”

Terkejutlah Tong Gin Yan dan kawan-kawannya. Tak kurang kagetnya adalah Kui Hok, sebab kalau rumahnya sudah diketahui oleh musuh, berarti harus ditinggalkan selama-lamanya untuk mencari rumah baru. Yang lebih dikhawatirkan lagi, mungkinkah usaha untuk membebaskan Pangeran In Te, Ibusuri Tek Huai dan tIga anak yang dlculik itu akan gagal.

Cepat Kui Hok melompat dari pembaringannya, menyambar toya Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis) yang menjadi kebanggaannya selama ini, dan berlari ke halaman untuk menengok ke atas genteng. Dilihatnva enam orang musuh berdiri berpencaran diatas genteng, sedang pihaknya ada delapan orang termasuk dirinya. Anggap saja seimbang untuk sementara.

Tong Gin Van serta lain-lainnya sudah berlompatan keluar dengan membawa senjata masing-masing, bahkan kemudian mereka langsung “beterbangan” keatas genteng untuk menghadapi lawan. Hanya Kui Hok yang tak bias melompat langsung, namun lebih dulu melompat keatas dinding halaman, barulah ke atag genteng, karena ilmu meringankan tubuhnya belum selihai lain-lainnya. Namun Kui Hok juga seorang lawan yang tidak bias diremehkan.

Pihak musuh dipimpin saorang berpakaian satin ungu yang diluarnya dirangkap baju merah tua dengan hiasan sulam didadanya, seragam pengawal-pengawal pribadi Yong Ceng, kepalanya memakai caping barhias benang-benang merah dan bulu burung. la berjenggot putih, biarpun tak barsanjata, namun nampaknya paling berbahaya. Bahkan dihadapan orang-orang Hwa-liong-pang, ia bersikap paling santai, dengan kedua tangan tergendong di belakang punggungnya. Dialah Kim Seng Pa, yang paling diandalkan Yong Ceng, jago tua darl Tiang-pek-san.

“Kalian tidak usah coba-coba melawan, percuma saja!" kata Kim Seng Pa dengan sikap amat meremehkan. “Menyerah saja. Ulurkan tangan kalian untuk diikat.”

Yang paling dulu tak bisa menahan kemarahan adalah Pak Kiong Eng, apalagi teringat anak-anak tercintanya yang masih dalam cengkeraman musuh. Ia melompat langsung ke arah Kim Seng Pa dan pedangnya gemerlapan dengan gerak ThIan-Iiong-wi-gong- coan (Naga Sakti Bergulingan di Angkasa) menyerang Kim Seng Pa.

Kim Seng Pa benar-benar lihai. Sambil tertawa panjang, la miringkan tubuh untuk menghindar, berbarengan dengan sepasang lengan bajunya mengibas berturut-turut muncullah gulungan tenaga tak berwujud maha kuat yang membuat tubuh Pak Klong Eng terguncang kesamping, hampir saja tergelincir jatuh dari atas genteng. Pak Kiong Eng kaget, cepat-cepat ia mantapkan kedudukan kakinya, lalu membalik tubuh dan menyerang lagi dengan gerakan Thian-Hong-Iiao-ka (Naga Langit Menggetar Sisik) kearah lengan Kim Seng Pa.

"Hem, Thian-liong-kiam-hoat ( Ilmu Pedang Naga Langit) yang lumayan!" kata Kim Seng Pa. "Kau pasti anak Pak Kiong Llong si pengacau negara itu!"

Hati Pak Kiong Eng semakin panas mendengar ayahnya dicaci sebagai pengacau negara, padahal sudah banyak jasa dan pengorbanannya. Sedang Kim Seng Pa yang tak ketahuan asal-usuInya, hanya karena kebetulan bisa menyenangkan hati Yong Ceng pribadi, kini berlagak sebagai pembela negara.

Maka menyeranglah Pak Kiong Eng bertubi-tubi. Tetapi Kim Seng Pa, berilmu setingkat dengan Pak Kiong Liong, berulang kali ia mengebaskan lengan bajunya yang berkibaran seperti dua gumpalan awan ungu, semua serangan pedang Pak Kiong Eng terpukul minggir semuanya. Lalu sepasang tinju Kim Seng Pa balas menggempur dengan jurus Siang-ta ki-bun (Sepasang Tinju Memukul Pintu) ke arah dua pelipis Pak Kiong Eng dengan suara menderu. Kepala nyonya muda yang cantik Itu nampaknya sebentar lagi akan gepeng seperti tomat diinjak.

Tong Gin Yan tidak membiarkan isterinya terancam bahaya. Tubuhnya melejit ke atas seperti seekor elang menubruk mangsanya, pedangnya menikam leher Kim Seng Pa dari samping. Kim Seng Pa terpaksa menghentikan desakan ke arah Pak Kiong Eng untuk lebih dulu menghindari serangan lawan baru itu.

"Bagus, kau tentu anak dari pengacau negara lainnya, Tong Lam Hou, kepala gerombolan bandit Hwe-liong-pang itu bukan? IImu pedangmu menunjukkan gaya Tiam-jong-kiam-hoat!"

Tanpa menyahut sepatah katapun, Tong Gin Yan melanjutkan serangannya dengan Lian-cu-sam-kiam (Tikaman Tiga Kail Berantai), sementara Pak Kiong Eng segera memperbaiki kedudukannya untuk seqera maju lagi membantu suaminya. Maka Kim Seng Pa yang bertangan kosong itu harus menghadapi dua pedang yang dimainkan dengan Tiam-jong-kiam-hoat yang dapat saling memperkuat dengan rapi, karena suami isteri sering latihan bersama.

Tetapi jagoan tua dari Tiang-pek-san itu memang hebat. Sekitar tubuhnya seakan dilindungi benteng tak berwujud, sementara sepasang tangannya yang kadang-kadang terbuka dan kadang-kadang meninju itu bagaikan menerbitkan prahara yang dahsyat, atau seperti gunung batu yang runtuh hebatnya. Bahkan, belasan jurus kemudian Kim Seng Pa perlahan-lahan sudah nampak berhasil mendesak suami isteri dari Hwe-liong-pang itu.

Orang-orang Hwe-liong-pang lainnya serta suami-isterl Se Bun Beng sampai menahan napas melihat kehebatan kakek Manchu itu. Baru satu lawan satu saja sudah mampu menyerap tenaga dari dua jago paling tangguh dari pihak Hwe-long-pang, maka kalau lima Jagoan muuuh lainnya juga berkepandaian sehebat Itu, bisa dibayangkan bahwa pihak Hwe-liong-pang akan tertumpas malam Itu, tak peduli jumlahnya lebih banyak.

Sementara itu pihak musuh menurunkan lagi satu jagoannya. Seorang yang pakaiannya sama dengan Kim Seng Pa, seragam pengawal pribadi Yong Ceng namun ia bertubuh bungkuk kurus mirip Hu Se Hiong. Ketika la mengeluarkan senjatenya, ternyata juga sabatang pipa tembakau berwarna keperak-perakan.

Biarpun situasi tegang, orang-orang Hwe-liong-pang di tepi arena sempat juga tersenyum dan menoleh kepada Hu Se Hiong. Sedangkan Hu Se Siong sendiri sempat berseloroh, "Biar aku main main dengan saudara kembarku ini."

Diapun melompat ke tengah arena dengan membawa pipa tembakaunya. Hanya saja miliknya berwarna mengkilap hitam. Dua orang yang mirip satu sama lain itupun bertempur sengit, dan ternyata ilmu kedua orang itu juga mirip, mengandalkan kelincahan untuk menotok jalan darah dengan pipa tembakau mereka. Keduanya sama-sama mengarah jalan darah musuh dari ubun-ubun sampal telapak kaki.

Lama-keIamaan terlihat juga sedikit perbedaan dalam cara berkelahi mereka. Lawan Hu Se Hiong menubruk dan menerkam dengan ganas seperti serigala kesurupan, menyerang bertubi-tubi sehingga tubuhnya berkeliling cepat seperti angin lesus. Sedang Hu Se Hiong bergaya tangguh dan ulet, bertahan rapat, namun sekali-sekali membalas menyerang dengan hebat. Rupanya Hu Se Hiong menggunakan siasat untuk lebih dulu menguras kekuatan lawan, baru akan merebut kemenangan setelah ada keyakinan.

Lawannya semakin lama semakin ganas, rupanya marah karena belum berhasil juga mengubah keseimbangan itu. Lalu diapun mulai menggunakan tangan kirinya untuk mencakar mata, leher, selakangan dan tempat-tempat lemah lainnya.

Melihat cara bertempur macam itu, Hu Se Hiong tiba-tiba ingat akan seorang jagoan bangsa Manchu dari Jiat Ho. Serunya sambil terus bertempur, “He, rupanya kau adalah Sat Siau Kun yang berjulukan Tiat-Jiau-hui-ho (Rase Terbang Berkuku Besi) itukah?”

Lawannya menjawab, “Benar, dan kau pasti Ui-Bin-Peng-hou (Macan sakit-sakitan bermuka kuning) Hu Se Hiong dari Hwe-Liong-Pang.”

Setelah saling mengenali lawan, masing-masing semakin berhati-hati, tahu kehebatan lawan masing-masing. Sat Siau Kun tidak mau lagi memboroskan tenaga dengan menyerang sembarangan, tetapi cakar tangan kirinya tetap dimainkan untuk menambah tekanan kepada lawan.

Namun Hu Se Hiong juga tidak mengandalkan satu jenis ilmu saja, ia sering berlatih bersama dan bertukar jurus andalan dengan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya yang memiliki bermacam-macam aliran ilmu. Maka kaget juga Sat Siau Kun ketika menghadapi Hu Se Hiong suatu saat memainkan pipanya dengan gaya ilmu pedang Tiam-Jong-Kiam-hoat.

Di lain saat menjadi permainan tongkat Hok-mo-tung-hoat (ilmu tongkat penakluk iblis) ajaran Ko Seng Hwe-shio, kakinya menendang dengan gaya Tae-kyung Korea ajaran Kiong Wan Peng, atau tangan kirinya mencakar dengan gaya Kau-kun (silat kera) dan lain-lainnya. Biarpun jurus campur aduk itu cuma sepotong-sepotong sebab mempelajarinyapun hanya diwaktu senggang, namun sempat membuat Sat Siau kun agak kebingungan.

Sementara itu, perhatian Se Bun Beng tidak terpancang pada pertempuran saja, melainkan juga kepada lawan-lawan yang belum masuk ke gelanggang. Masih ada empat orang, namun yang kelihatan tangguh benar hanyalah dua orang. Yang satu adalah seorang pendeta lama bersenjata toya Hong-plan-Jan (Toya yang ujungnya berpisau berbentuk bulan sabit yang menghadap kedepan ), dialah Po Goan Lama, salah satu murid Biau Beng Lama dari Tibet, yang hampir mewarisi segenap ilmu gurunya.

Yang satu lagi seorang pengawal pribadi Yong Ceng yang bertubuh kekar, namun mukanya amat pucat, dihiasi segaris luka memanjang dari alis kiri sampai rahang kanan. Senjatanya sebuah payung, namun tidak terbuat dari bambu atau kertas, melainkan batang dan ruji-rujinya dari baja seluruhnya, lembaran payungnya dari anyaman kawat-kawat baja lembut, dan di ujung payung ada besi runcing seperti ujung tombak. Benar-benar sejenis senjata yang agaknya sulit dilayani. Dia seorang jagoan golongan hi-cam dari Ou-lam, bernama Su-ma Hek-ong dan berjulukan Toat-beng-san (Payung Pencabut Nyawa). Kepandaian dan kedudukannya sejajar dengan Sat Siau Kun.

Se Bun Beng menaksir dirinya akan mampu bertempur seimbang atau bahkan sedikit mengungguli salah satu dari Po Goan Lama atau Su-ma Hek-long, namun hanya salah satu dan bukan kedua-duanya. Orang yang dapat diandalkan di pihaknya tinggal Kiong Wan Peng dan Ji Han Lim sedangkan Au Yang Siau-hong dan Kui Hok kurang tangguh.

Karena itulah Se Bun Beng nekad mengambil prakarsa, sebelum didahului pihak lawan memilihkan lawan-lawan yang menguntungkan pihaknya. Serunya tiba-tiba, "Salah satu dari saudara Kiong atau saudara Ji, lawanlah Lama bersenjata Hong-pian-jan! Lainnya lawan sisanya!" Sedangkan Se Bun Beng sendiri langsung menantang Su-ma Hek-long, "Menilik tampang dan senjatamu, kau tentu Su-ma Hek-long yang pernah menggemparkan Ou-lam dulu? Mari, layanilah pedangku dengan payung rongsokanmu!"

Su-ma Hek-long sendiripun tahu siapa lawannya ini. Sahutnya, "He, kau bekas kacung Liu-keh-chung (perkampungan marga Liu, yang ternyata adalah anak haram dari pemimpin Hek-eng-po (Ben-teng Elang Hitam), kenapa sekarang malah berteman dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang dulu menghancurkan Hek-eng-po? Lupa sakit hati ayah kandungmu?"

Se Bun Beng tahu bahwa lawan sengaja mengingatkan masa lalunya yang suram, untuk memancing kemarahannya, dan seorang pesilat akan kehilangan kecermatannya kalau sedang marah. Karena itu Se Bun Beng tidak mau terpancing, ia menjawab dengan nada tenang-tenang saja, "Dalam semua persoalan, aku memihak yang benar, tak peduli kesamaan suku atau golongan, bahkan hubungan keluarga. Hek-eng-po sudah berbuat banyak kejahatan, wajar kalau akhirnya dihukum oleh para ksatria dunia persilatan!"

Akhirnya malah Su-ma Hek-long sendiri yang terbakar hatinya, terlihat dari matanya yang merah membara. Rupanya ia dulu adalah anggota Hek-eng-po yang setia, dan masih sakit hati atas hancurnya Hek-eng-po. "Anak tak berguna! Terimalah kematianmu!" teriak Su-ma Hek-long sambil lompat menyerang. Ujung payungnya yang lancip ditikamkan keperut Se Bun Beng dengan gerakan Kui-seng-liam-goan (Bintang Kejora Menikam Pusar). demikian cepatnya, sehingga senjatanya hanya berwujud segaris hitam tebal yang berkelebat.

Se Bun Beng melompat ke samping dan balas membabat sepasang kaki Su-ma Hek-long. Kedua plhak bergerak sama cepatnya. Su-ma Hek-long cepat merendahkan tubuhnya, payungnya tlba-tiba terluka dan menjadi perisai untuk membendung pedang lawannya, lalu payung Itu berputar kencang seperti roda kereta yang tengah dipacu. Ruji-ruji payung yang lancip Itupun berpusing ke arah Se Bun Beng untuk mencincangnya berkeping-keping.

Se Bun Beng melompat tlnggi dan menikam dari udara, demikianlah keduanya saling sergap dengan cepat. Payung baja yang bergulung bagaikan prahara hitam yang mengerikan, saling menyambar dengan pedang yang menyambar-nyambar seperti petir. Makin lama makin cepat, sehingga keduanya lenyap dibalik tabir senjata mereka.

Sementara Itu JI Han Lim telah bertanya kepada Kiong Wan Peng. “Yang akan melawan si gundul itu siapa?“

"Siapapun sama saja."

"Mari kita maju berdua, biar dia sendiri yang memilih."

Kedua orang Tong-cu Hwe-liong-pang itupun berjalan mendekatI Po Goan Lama dengan Iangkah-Iangkah santai seperti berjalan-jalan di taman bunga saja. Namun diam-diam mereka waspada Juga. karena tahu bahwa musuh-musuh yang datang malam itu tldak ada yang lemah. Ketika Po Goan Lama memutar senjatanya untuk menyerang, ternyata yang "dipilih"nya adalah Kiong Wan Peng yang bersenjata, dan dianggapnya lebih lemah untuk dibereskan lebih dulu. Bagian tajam dari Hong-pian-yan nya disodokkan ke leher Kiong Wan Peng.

Tapi pendeta Tibet itu kaget melihat Kiong Wan Peng dengan enaknya menangkis batang senjatanya hanya dengan lengannya yang terbuat dari darah dan daging, dan ternyata lengan itu sekeras dan sekuat besi, sehingga senjata Po Goan Lama tergetar, dan tinju kanan Kiong Wan Peng balas menodok ke ulu hati dengan deras.

Sambil menangkis dan menyerang, Kiong Wan Peng berkata kepada Ji Han Lim, "Keledai gundul ini memilihku, saudara Ji. Tapi kau jangan kecewa, masih ada dua di Sana..."

Sebenarnya Kiong Wan Peng hendak mengejek lawannya lagi, tapi mulutnya bungkam karena Po Goan Lama telah menyerbu dengan dahsyat. Kini tangkai senjatanya yang menyambar ke Jidat Kiong Wan Peng dengan gerakan Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor). Cepat Kiong Wan Peng membungkuk rendah, kedua tangannya menekan genteng rumah tempatnya berpijak, dan kedua kakinya bergantian menjejak keras kelutut dan betis Po Goan Lama. Itulah ju-rus Ciu-liong-lo-hai (Naga Mabuk mengaduk Samudera).

Tapi Kiong Wan Peng harus buru-buru melompat lagi, ketika Po Goan Lama melompat sambil menghantamkan senjatanya dari atas ke bawah. Senjata itu mengenai genteng, dan dengan suara gemuruh menimbulkan lubang besar Kalau Kui Hok masih ingin menempati rumah itu, Ia harus siap-siap kebocoran.

Sedangkan JI Han Lim dengan sepasang kampak pendeknya telah bertarung melawan Hoat Kheng Lama yang bersenjata golok panjang melengkung. Biarpun Hoat Kheng Lama juga murid Biau Beng Lama, tapi ilmunya selisih agak jauh di bawah Po Goan Lama, sehingga terdesaklah ia oleh Ji Han Lim. Apalagi Ji Han Lim bertenaga besar, sampai otot dadanya membusung ke depan, tidak heran kalau Hoat Kheng Lama segera terdesak. Tangannya yang memegang golok bertambah pegal linu setiap kali senjatanya membentur senjata Ji Han Lim, tetapi ingin menghindari benturan juga tidak bisa.

Di pihak lain, ada juga jagoan istana yang cukup tangguh biarpun dikeroyok dua. Ci Long Lama yang kurus, jangkung, berkulit hitam, berhidung mancung dan berjenggot keriting, sanggup meladeni keroyokan Au Yang Siau- hong dan Kui Hok. Dengan senjatanya yang berujud tongkat bambu hijau, pendeta berdarah Thian-liok itu menggempur berulang-ulang lawan-lawannya.

Au Yang Siau-hong dengan pedangnya dan Kui Hok dengan toyanya terpaksa hanya mengambil sikap bertahan. Gempuran tongkat bambu Ci Long Lama bagaikan ombak samudera yang bergulung tak henti-hentinya. Tiap kali kedua lawannya harus melompat mundur untuk menyusun pertahanan baru, digempur dan mundur lagi, dan menyusun pertahanan baru lagi, begitu terus menerus.

Suami isteri Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng juga "setia kawan" dalam menghadapi kesulitan, berat sekali tekanan Kim Seng Pa. Suami isteri Itu sudah termasuk jagoan kelas tinggi dikalangan persilatan, namun kini mereka sudah bergabung dan belum bisa lepas dari himpitan serangan Kim Seng Pa. Diam-diam mereka kecii hati kalau dalam istana ada begini banyak jagoan Iihai, adakah harapan untuk mengambil pulang anak-anak mereka yang diculik?

Maka Pak Kiong Eng menjadi sedih putus asa, dan akhirnya nekad. la melancarkan serangan gencar, bukan serangan cermat, melainkan membabi buta. Tong Gin Yan sudah hapal tabiat isterinya, dan tahu apa yang sedang dirasakan isterinya saat itu. Melihat isterinya mulai kalap, ia terpaksa harus bekerja lebih keras untuk melindungi isterinya, sebab orang nekad gampang sekali membuat kekeliruan yang akan di manfaatkan musuh.

‘'Hem... kalian ingin mampus rupanya, baiklah aku kabulkan," dengus Kim Seng Pa yang juga mulai marah. la sendiri sebenarnya amat bangga dan congkak dengan ilmu silatnya, sehingga merasa penasaran sekian lama belum berhasil mengalahkan suami isteri yang tergolong angkatan di bawahnya itu.

Maka iapun bersiap menggunakan ilmu kebanggaannya, yaitu tigapuluh enam jurus Liok-hap-ciang-hoat (Ilmu Telapak Tangan Enam Penjuru). Yang dimaksud enam penjuru ialah utara, timur, selatan, barat, langit dan bumi. Ia melompat mundur beberapa langkah. Tubuhnya tegak kokoh bagaikan gunung batu, sepasang telapak tangannya berputar kencang di depan tubuhnya dan berjangkitlah angin keras bergulung-gulung.

Melihat itu, Tong Gin Yah berteriak cemas kepada isterinya, "Hati-hati, A-eng! Siluman tua itu mengeluarkan ilmu tertingginya!"

Sementara itu, jurus pertama Liok hap-ciang-hoat sudah keluar, Te-lai-hong-seng (Bumi Bergoncang Menimbulkan Angin). Sepasang telapak tangan Kim Seng Pa menghantam ke depan, gelombang angin dahsyat melanda kedua lawannya, begitu dahsyatnya sampai genteng-genteng di atas tersingkap dan ikut melayang deras ke depan. Bukan angin pukulannya saja yang hebat, namun genteng-genteng itupun rasanya bisa membunuh kalau kena badan.

Repotlah suami isteri Hwe-liong-pang itu menangkis genteng-genteng terbang itu, sambil mengerahkan tenaga dalam supaya tidak roboh terjungkal oleh geiombang angin maha kuat itu. Serangan pertama belum berlalu, serangan kedua sudah datang. Jurus Lui hong-lian-siam (Guntur Gemuruh, Kilat menyambar). Sepasang telapak tangan Kim Seng Pa dirangkapkan dan ditusukkan ke depan, lalu tiba-tiba dipentang terpisah dengan disertai bentakan meng gelegar. Kembali gelombang angin datang, kali ini bukan lurus namun berpusar dahsyat, lebih sulit dihadapi dari jurus pertama.

Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng kali ini benar-benar terguncang, hampir terpental hanyut oleh gulungan tenaga musuh. Tong Gin Yan sadar, pertarungan jarak jauh macam itu sangat menguntungkan Kim Seng Pa yang punya tingkat lwekang (Tenaga dalam) jauh lebih tinggi. Jurus-jurus ilmu pedang jadi tak berguna, padahal itulah andalan Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng.

Maka sambil sempoyongan, Tong Gin Yan sempat berseru, "A-eng, kita mendekati dia. Gunakan Hwe-liong-sin-kang!"

Tanpa diteriakipun Pak Kiong Eng sudah punya pikiran demikian. Di tengah gemuruhnya gelombang tenaga lawan, ia nekad melompat tinggi-tinggi, pedangnya menyabet pinggang Kim Seng Pa dengan gerak Liong-ki-thian-ge (Om-bak Mendampar Cakrawala). Karena ia telah mengerahkan Hwe-liong-sin-kang pula, maka sambaran pedangnya mendesiskan udara panas menyengat kulit.

Dari arah lain Tong Gin Yan juga nekad menyerbu, menikam leher dengan gerak Beng-ke-tok-siok (Ayam Galak Mematuk Beras) sambil mengerahkan Hian-im-kang (tenaga dingin) sehingga angin pedangnyapun setajam hembusan angin kutub utara. Begitulah Kim Seng Pa harus menghadapi ilmu gabungan dari keturunan-keturunan Pak-liong Lam-hou (Naga Utara, Harimau Selatan) yang puluhan tahun yang silam menggetarkan dunia persilatan.

Mau tidak mau Kim Seng Pa harus berhati-hati , namun masih merasa sanggup melawan mereka. Kembali ia mundur beberapa langkah, sambil melancarkan dua pukulan berturut-turut, Liong-bun sam-tiap-liong (Tiga Gelombang Menggempur Gerbang Naga) dan Cun-lui-Ce-tong (Geledek Musim Semi). Kedahsyatannya luar biasa.

Bagaimanapun gigihnya Tong Gin Yan dan Pak Kiong Eng, kali ini benar-benar rontok. Seperti dua buah layang-layang yang putus benangnya, mereka terpental berpencaran. Kim Seng Pa tak ingin memberi ampun. Lebih dulu ia kejar Tong Gin Yan dengan sebuah pukulan jarak jauh, sedang Pak Kiong Eng nanti akan ditangkapnya hidup-hidup untuk menekan Pak Kiong Liong, ayahnya.

Nampaknya sekejap lagi Tong Gin Yan akan remuk redam. Hendak mengelak tidak sempat lagi, hendak menangkis, tenaganya jauh kalah kuat. Sedang teman-temannya tak bisa menolong, sebab tengah sibuk dengan lawan mereka masing-masing.

Saat itulah dari bawah genteng meluncur sesosok bayangan, yang membentak "Jangan menganiaya anak-anak, tua bangka! Ayo, tua lawan tua!"

Karena cahaya bulan hanya remang-remang dan orang itu bergerak amat cepat, Kim Seng Pa tak sempat mengamatinya dengan jelas, hanya merasakan bahwa orang itupun membawa tenaga yang hebat. Pukulan yang hampir menghancurkan Tong Gin Yan dibelokkan untuk menyambut orang itu. Pukulan yang berlaksa kati beratnya dan sanggup menghancurkan batu hitam sebesar kerbau bunting. Kim Seng Pa berharap tubuh orang itu akan hancur tercerai berai.

Harapannya yang terlalu besar berubah menjadi rasa kaget, ketika tenaganya seolah membentur tembok baja, bahkan berbalik mengguncang dirinya sendiri. Cepat cepat ia melompat mundur untuk "menjinakkan" tekanan tenaga lawan. "Siapa kau?”bentak Kim Seng Pa.

Sementara Tong Gin Yan telah ber-teriak gembira, "Ayah!"

Pak Kiong Eng juga, "Gak-hu (ayah mertua)!"

Para anggota Hwe-liong-pang juga, "Pang-cu (Ketua)!"

Kini tahulah Kim Seng Pa siapa orang itu. Tong Lam Hou, permimpin Hwe-liong-pang, yang kebesaran namanya sejajar dengan Pak Kiong Liong dan Pun-bu Hwe-shio. Cuma penampilannya yang terlalu sederhana sama sekali tidak sesuai dengan kebesaran namanya. Ketua Hwe-liong-pang itu cuma seorang tua berjubah longgar model kampung, di ikat pinggangnya tergantung sebuah kantong tembakau, ditangannya memegang pipa tembakau, tampangnya tidak seram sedikitpun, nampak terlalu santai. Di Pak-khia saja ada beribu-ribu orangtua dengan tampang macam itu.

Munculnya Tong Lam Hou membuat pertempuran berhenti, kedua belah pihak berlompatan meninggalkan arena untuk berkelompok sendiri-sendiri. Para jagoan istana nampak berwajah tegang menghadapi Ketua Hwe-liong-pang Itu, apalagi ketika Pak Kiong Liong dan si kakek gendut Hong Thai-pa muncul pula berturut-turut.

"Selamat malam, Kim Cong-koan, cepat benar pangkatmu naik, tentunya selama ini kau banyak berjasa kepada Kaisar," Pak Kiong Liong menyapa Kim Seng Pa sambil mengamat-amati pakaian seragam jago tua itu. "Apakah malam ini Cong-koan tidak ingin menambah pahala dengan mempersembahkan batok kepalaku kepada Kaisar?"

Wajah Kim Seng Pa merah padam, darahnya menggelegak, tinjunya terkepal kencang. Itulah tantangan terang-terangan dari Pak Kiong Liong. Namun ia sadar bahwa pihaknya kini lebih lemah, maka dengan sebuah isyarat, ia bawa anak buahnya pergi dari situ.

Pak Kiong Eng hendak lompat mengejar mereka, namun suara ayannya mencegahnya, "Biarkan mereka pergi, A-eng."

Pak Kiong Eng memang berhenti mengejar, tapi sambil memegang tangan ayahnya, ia berkata, "Ayah, kalau kita tangkap orang-orang itu, kita bisa memaksa Yong Ceng menukarnya dengan Pangeran In Te, Ibusuri Tek Huai, Se-bun Hong-eng, A-san dan A-hai....."

Sahut Pak Kiong Liong, "Kau pikir Yong Ceng itu orang macam apa? Biarpun kita tangkap seratus orang macam Kim Seng Pa, jangan harap Yong Ceng mau melepaskan tawanan-tawanannya, tak peduli nasib anak buahnya sendiri. la ingin tetap unggul dalam permainannya, dengan memegang Pangeran In Te ditangannya....”

"Tapi, kalau kita tangkap mereka tadi, setidak-tidaknya kekuatan mereka akan berkurang."

"Resikonya besar, sedang tujuan kita takkan tercapai. Kalau terjadi keributan, seluruh perajurit di Pak-khia akan bangun dan mampuslah kita. Jangan lagi untuk menolong orang, untuk menolong diri sendiripun barangkali mustahil...."

Bicara sampai di sini, suara Pak Kiong Liong terdengar getir. la, bekas seorang jenderal terhormat di ke kaisaran kini khawatir ditangkap para perajurit Pak-khia yang dulu menghormatinya, karena kini ia sudah jadi buronan.

"Tapi munculnya jagoan-jagoan istana tadi menandakan bahwa kehadiran kita di Pak-khia sudah mereka ketahui.....”

"Karena Itu, sebaiknya kita bergerak malam ini juga. Aku yakin mereka sudah siap menyambut kita, namun tentu tidak menduga kalau kita bergerak sekarang juga. Kalau kita serang besok, tentu mereka sudah bersiap semakin baik."

"Tapi... agaknya malam itu Pak Kiong Eng suka bicara dengan awalan kata "tapi... tempat penahanan anak-anak itu?"

"Sudah kuketahui," sahut Pak Kiong Liong mantap. "Sudah kudengar dari seorang komandan istana yang diam-diam masih bersimpati kepadaku."

Kini semua perhatian terpusat kepada Pak Kiong Liong, si bekas jenderal yang dianggap paling ahli mengatur siasat penyerangan. "Aku bersama saudara Hong Thai Pa dan Hu Se Hiong akan membebaskan Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai yang disekap dibangsal Leng-goat-kiong, lain-lainnya membebaskan anak-anak itu. Mereka disekap di sebuah pagoda kaum Lama yang baru saja dibangun di dekat bangsal Tiau-yang-ki-ong.

Kedua bangsal yang disebutkan itu sama-sama berada dalam kompleks istana, namun karena kompleks itu terlalu luas, maka Leng-goat-kiong dan Tiau-yang-kiong terletak saling berjauhan. Begitu luasnya Istana itu, sehingga mirip sebuah kota ditengah kota Pak-khia, sehingga disebut juga Ci-kim-shia atau Kota Terlarang karena dijaga berlapis-lapis pasukan pengawal. Apa yang diucapkan Pak Kiong Liong itu kedengarannya gampang, namun pelaksanaanya menuntut pertaruhan nyawa.

"A-eng, kau menjadi petunjuk jalan bagi regumu, sebab ketika kecil kau pernah bermain-main di istana sebagai teman sepermainan Pangeran In Te kau masih ingat tempat-tempatnya bukan?” tanya Pak Kiong Liong kepada anak perempuannya, dan dijawab dengan anggukan. "Nah, kita berangkat. Fajar nanti, kita semua harus berkumpul dl kuil Thai-hud si dekat pintu selatan, Pendeta di sana adalah bekas anak buahku yang setia."

Setelah saling berpesan untuk berhati-hati, kedua regu itu berpencaran menuju ke sasaran masing-masing. Mereka berharap musuh akan terkejut, sebab orang-orang Hwe-liong-pang dan teman-temannya balas menggerebek ke istana malam itu juga.

Tong Lam Hou memimpin kelompoknya tidak dengan berlompatan di atas genteng, sebab akan gampang terlihat, biarpun malam cukup gelap. Mereka menyusup-nyusup di lorong gelap, mendekati istana dengan cara seperti maling-maling mendekati kandang ayam.

Ketika Tong Lam Hou lewat kediaman para penggosok batu permata yang berdarah Yahudi, ia tersenyum sendiri, terkenang masa mudanya ketika masih menjadi perwira Hui-liong-kun dan bertetangga dengan mereka. Namun bagian kota itu sudah sepi, sebab malam sudah larut.

Tidak lama kemudian, mereka tiba di sisi timur istana Kaisar. Sesuai dengan namanya, bangsal Tiau-yang-ki-ong (bangsal menghadap metahari) itu terletak di sebelah timur, sering digunakan oleh anggota keluarga kerajaan kalau ingin menikmati sinar matahari di pagi hari. Di halaman Tiau-yang-ki-ong, ada bangunan baru berbentuk pagoda bertingkat sembilan, khusus untuk para Lama dari Tibet.

Tiba di luar tembok istana, Tong Lam Hou berkata kepada "pasukan kecil" nya, "Kalian tunggu dulu di sini, biar aku lihat dulu keadaan di dalam."

Semuanya mengangguk setuju. Tidak lama ada yang perlu mencemaskan diri ketua Hwe-liong-pang yang berilmu tinggi dan amat berpengalaman itu. Seperti seekor burung, Tong Lam Hou melompat ke atas dinding tinggi itu , dan langsung bertiarap di atas dinding. Jubahnya yang berwarna biru tua itu sangat menolong, tidak mudah terlihat di gelapnya malam.

Di sekitar Tiau-yang-kiong, penjagaannya tidak begitu kuat, hanya ada dua regu perajurit Han-lim-kun. Bisa dimaklumi, sebab penjagaan kuat tentu hanya terpusat di tempat dimana Kaisar Yong Ceng berada malam itu, dan Kaisar tak mungkin "menghadap matahari" di waktu malam....

Selanjutnya,