X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 13 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 13

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
SALAH seorang lawannya adalah si tuan rumah yang tadinya bersikap ramah. Kini tidak ramah lagi, sebab sepasang tangannya memegang sepasang golok tipis yang digerakkan dengan buas seperti serigala kelaparan. Temannya seorang bertubuh pendek yang bersenjata sebatang tombak berkait, berlompatan lincah seperti seekor kelinci.

Sedang ujung tombaknya seperti berpuluh-puluh ekor lebah yang terbang berputaran, mengincar sasaran-sasaran berbahaya di tubuh Tong Gin Yan. Mereka bertiga bertempur dengan menginjak-injak hancur kebun semangka dan sawi yang sebenarnya tenqah berbuah dengan lebatnya.

Sementara itu Ui-bin-peng-hou (Macan Sakit Bermuka Kuning) Hu Se Hiong juga tengah mengamuk garang, sama sekali berlawanan dengan kesan tubuh-nya yang kurus seperti orang mengindap penyakit berat itu. Dua orang Jit-goat pang yang tadinya mengira si “sakit" ini lawan empuk.

Mereka dengan gegabah menyerangnya, tetapi tubuh mereka tahu-tahu tercengkeram oleh sepasang tangan Hu Se Hiong, lalu kedua tubuh itu dilemparkan dengan ringan. Yang satu mencebur ke kolam tinja di tengah kebun yang airnya biasa digunakan untuk pupuk tanaman, yang lainnya tersangkui di atas sebuah dahan.

Melihat keperkasaan si 'sakit' empat orang Jit-goat-pang menggabungkan tenaga untuk menghadangnya. Terpaksa Hu Se Hiong menggeluarkan senjatanya yang tidak lazim, yaitu pipa tembakau panjangnya yang berwarna hitam mengkilap Itu. Ketika berbenturan keras dengan senjata musuh. ternyata pipa Itu tidak patah, bahkan lecet seujung rambut pun tidak.

Tubuh Hu Se Hiong yang kurus dan bungkuk itu berkelebatan Iincah disela-sela tubuh keempat lawannya yang tegap-tegap. Pipa tembakaunya bergerak amat cepat seperti air hujan, membagikan serangan berupa totokan-totokan keurat-urat penting di tubuh lawan. Di samping kelincahan dan kecepatannya, tubuh kurus bungkuk itu ternyata juga menyimpan kekuatan yang sangat mengejutkan. tldak jarang membuat lawannya terpental mundur, bahkan kadang-kadang dua lawan sekaligus.

Orang Hwe-liong-pang yang kepayahan adalah Ji Han lim, karena dari tiga lawan tangguh sekaligus. Salah seorang lawannya hanya mengandalkan tangan kosong, tetapi telapak tangannya yang berbintik-bintik merah itu menyambarkan deru angin dalam setiap geraknya, menjanjikan kematian bagi siapapun yang dikenainya. Itulah tanda dari orang yang berlatih ilmu pukulan Ang-se-tok-ciang (pukulan beracun pasir Merah), yang bukan saja mampu mematahkan tulang, tapi juga meracuni darah lawan.

Dua lawannya yang lain, masing-masing bersenjata golok besar dan tombak panjang, biarpun tidak selihai teman mereka yang bertangan kosong, namun cukup berbahaya juga karena mereka menyeruduk terus seperti kerbau kesurupan, tak kenal takut. Mati-matian Ji Han Lim memutar kencang sepasang kapak pendeknya untuk bertahan dari gelombang serangan ketiga lawannya.

Seandainya ada kesempatan sekejap saja, tentu ia sudah melontarkan kapak-kapak kecilnya yang terselip berderet melingkari painggangnya, namun kesempatan itu tak pernah ada. Maka terdesaklah ia. Bahkan suatu saat kakinya kena sapuan rendah dari si “pukulan pasir merah” sehingga ia roboh terguling.

Lawannya yang bersenjata golok dengan bernafsu mengejarnya, untuk memotong tubuhnya yang belum sempat mengelak bangkit. Ji Han Lim sempat mengelak dengan menggulingkan tubuh ke samping. Namun lawan lain yang bersenjata tombak menerkam dari atas dengan ujung tombaknya. Ini masih bias ditanggkis oleh Ji Han Lim. Biar keadaanya makin payah.

Kemudian bertindaklah si pukulan pasir merah sebagai si penentu nasib. Sepasang kakiknya bergerak amat tangkas dan berhasil menendang lepas kedua kampak Ji Han Lim, lalu telapak tangannya turun deras ke kepala dan dada Ji Han Lim, membawa kekuatan ibarat gunung batu yang longsor.

Sebenarnya, kalau bertempur satu lawan satu, belum tentu Ji Han Lim kalah dari lawan- lawannya, termasuk si “Pukulan pasir merah” yang paling ganas itu, namun karena diekoroyok tiga, payahlah keadaannya. Kini sebuah pukulan lawan akan siap mengantarkan nyawa si Hui-po-sin (Malaikat Kampak Terbang) itu menjumpai mendian ayahnya di akherat.

Ternyata Ji Han Lim belum takdirnya mati. Sesosok bayangan tegap melayang dan menendang kea rah si pukulan pasir merah dengan tendangan Hui-hou-tui (Tendangan Macan Terbang), kalau si pukulan pasir merah nekat melanjutkan pukulan ke arah Ji Han Lim. ia akan berhasil membunuh Tong-cu Hwe-liong- pang itu, tapi kepalanya sendiri akan pecah kena tendangan dahsyat itu.

Terpaksa si pukulan pasir merah merendahkan diri untuk memperkuat kuda kuda, dan menyilangkan sepasang lengannya untuk menangkis tendangan dari lawan barunya itu. Gempuran dahsyat membentur pertahanan yang tak kalah dahsyatnya pula. Si pukulan pasir merah terhuyung mundur dua langkah dan kemudian jatuh terduduk, sementara si penendang sendiri terpental mundur dan harus bersalto supaya dapat mendarat dengan kedua kakinya. Rasanya kakinya tadi menendang selapis tembok baja.

Sedang si pukulan pasir merah te-ah bangkit kembali, dan tertawa dingin, "Hemm, Si Tendangan Halil intar yang terkenal itu hanyalah manusia curang yang suka menyerang secara licik!"

Si penyerang, Kiong Wan Peng, balas mengejek, "Dan Lo Sing Yang bergelar Ang-jiu-hong-mo (Hantu Gila Tangan Merah) ternyata juga seorang yang cuma mengandalkan keroyokan!"

Sementara itu Ji Han Lim sudah melompat bangun, ketika ia melihat Kiong Wan Peng siap bergebrak dengan Lo Sing, cepat-cepat Ji Han Lim berkata, "Minggirlah, saudara Kiong. Kau urus saja dua pengecut lainnya, aku harus menghajar Lo Sing untuk kecurangannya dalam mengeroyokku tadi."

Ji Han Lim tidak mengambil kembai sepasang kampaknya, bahkan kampak-kampak kecil yang bergantungan melingkari pinggangnyapun dilepaskan. Lain sambil menggosok-gosokkan tinjunya dia maju ke hadapan Lo Sing sambil berkata, "Bangsat, tadi kau hampir berhasil membunuhku karena kecuranganmu. Sekarang kutantang kau bertanding satu lawan satu, sama-sama tidak bersenjata berani tidak?"

Lo Sing diam-dinm giranq mendengar tantangan itu. Ilmu tangan kosong memang menjadi keahliannyaa, kebetulan lawannya menantang tanpa senjata pula. Sebaliknya Kiong Wan Peng menjadi cemas. dan membisiki rekannya. Saudara Ji, hati-hatilah. Sepasang telapak tangannya sangat kuat dan beracun."

Mamun Ji Han Lim yang tengah marah itu menjawab dengan suara yang sengaja diperdengarkan lawan, "Yang berbahaya bukan ilmunya, tetapi watak curangnya. Sekarang ia akan tahu bahwa ilmunya itu hanya permainan anak kecil belaka!"

Keruan Lo Sing meluap darahnya mendengar bahwa ilmu kebanggaannyp dilecehkan. Tanpa peringatan lagi, ia melompat memukul Ji Han Lim dengan gerakan Tiat-jiau, telapak tangan dengan jari-jari terbuka. Ketika Ji Han Lim berhasil menghindar ke samping, telapak tangan yang satunya lagi menyusul menebas ke leher lawannya.

Ji Han Lim yang terkenal dengan permainan sepasang kampaknya, ternyata juga mahir silat tangan kosong. Ia mundur selangkah sambil menunduk, dan ketika pinggangnya tegak kembali, menjotos ke dagu Lo Sing dengan gernkan Wan-kiong-sia-tiau (Memanah Burung RajawaIi). Keduanya segera tukar menukar serangan dengan sengitnya. Sepasang telapak tangan Lo Sing yang berkelebatan kencang itu diimbangi oleh sepasang tangan dan sepasang kaki Ji Han Lim yang berayun-ayun seperti martiI-martiI besi hebatnya.

Pada jurus-jurus awal, Ji Han Lim memperhatikan kekuatan telapak tangan musuh dan diam-diam meningkatkan kewas padaannya. la sadar bahwa sepasang telapak tangan itu mampu menghancurkan setumpuk batu bata sekalipun. Sebaliknya Lo Sing juga tergetar mendapat perlawanan keras Ji Han Lim. Kalau satu 1awan satu, agaknya memang suIit ditetapkan siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu.

Melihat rekannya mampu menghadapi Lo Sing dengan baik, Kiong Wan Peng merasa lega. Tapi ia tidak mau menjadi penonton yang menganggur saja, segera diserangnya dua anak buah Jit-goat-pang yang tadi ikut mengeroyok Ji Han Lim. Tanpa bantuan Lo Sing, kedua orang itu ternyata bukan lawan berat. Menghadapi Kiong Wan Peng yang tak bersenjata, kedua lawannya itu dalam waktu tidak lama telah kewalahan.

Kalau dilihat keseluruhannya, rencana orang-orang Jit-goat-pang untuk membantai orang-orang Hwe-liong-pang, musuh bebuyutan mereka sejak jaman akhir dinasti Beng, telah gagal. Baik dengan obat peledak maupun dengan tenaga manusia, gagal semua.

Di bagian pertempuran lain, Pak Kiong Eng mengamuk semakin hebat dan semakin tak tertangguIangi oleh lawan-lawannya. Terdorong oleh kemarahannya kepada si cabul Giok-bin-hoa-tiap Cu Sek Kui, Pak Kiong Eng telah mengerahan tenaga panas Hwe-liong-sin-kang sampai tahap keenam. Maka udara panas pun bergolak di arena, seperti dalam tanur peleburan logam. Daun- daun tanaman dalam jarak lima langkah dari Pak Kiong Eng menjadi kuning layu, bahkan rontok.

Baik Cu Sek Kui dengan pacutnya maupun Siang Hwe Jing dengan toya Long ge-pangnya sudah basah kuyup dan megap megap kepanasan. Mata mereka sudah memancarkan ketaktan, tapi tak berdaya melepaskan diri dari lingkaran udara panas itu, sebab Pak Kiong Eng bergerak lincah dan mampu menguber kemanapun mereka menghindar. Yang ditekan terus oleh Pak Kiong Eng terutama adalah Cu Sek Kui si perusak wanita.

"Li-hiap, ampuni aku....” tanpa malu-malu lagi Cu Sek Kui meratap, sambil lintang pukang menyelamatkan diri.

Tetapi Pak Kiong Eng tidak melihat ketulusan dalam sorot mata Cu Sek-Kui. la tidak mengendorkan serangannya sedikitpun, sambil mengejek dingin, "Apakah kau juga mengampuni orang-orang yang menjadi korbanmu? Wanita-wanita yang kau rusak kehormatannya, kau hancurkan masa depannya?"

Kemarahan Pak Kiong Eng lebih tepat disebut kemarahan seorang wanita yang membela nasib kaumnya, daripada kemarahan seorang Hwe-Iiong-pang kepada seorang Jit goat-pang.

Cu Sek Kui bungkam. Memang, kalau nafsunya kepada perempuan sudah memuncak, ia akan memperkosa wanita-wanita muda yang ditemuinya tanpa ampun. Tidak sedikit korbanriya yang membunuh diri, atau hancur kehidupan keluarganya, atau menjadi pelacur, setelah diperkosanya.

Maka sambi1 terus mendesak hebat, Pak Kiong Eng terus mencaci maki meluapkan perasaan kewanitaannya, "Kau hanya minta ampun untuk lepas dari tanganku. Setelah lepas, kau akan mengulangi perbuatan terkutukmu. Karena itu, demi keamanan calon-calon korbanmu, lebih baik kalau kau dimampuskan saja!"

Maka jatuh bangunlah Cu Sek Kui menyelamatkan selembar jiwanya. Biarpun ia berilmu tinggi, tapi karena terlalu mengumbar hawa nafsunya, ia tidak tangguh dalam daya tahan jasmaniahnya. Matanya segera saja berkunang-kunang, dan napasnya terengah- engah kepayahan-Sedang Pak Kiong Eng terus memberondongkan serangannya tanpa ampun.

Siang Hwe Jing agaknya adalah seorang "panglima" setia. Dengan nekad ia memutar toyanya untuk menembus gelombang udara panas dari Pak Kiong Eng sambil berseru, "Pangeran, selamatkan dirimu lebih dulu! Biar hamba yang bertahan disini!"

Agak geli juga Pak Kiong Eng mendengar orang Jit-goat-pang itu masih juga menyebut-nyebut "pangeran" dan "hamba" segala. Tetapi serangan nekad si "keturunan Siang Gi Jun" itu agak merepotkan juga. Karenanya, Pak Kiong Eng memutuskan untuk bertindak keras kepada orang ini pula. Ketika toya musuh menyambar datang, Pak Kiong Eng berkelit mundur, dan sebelum lawannya sempat membalikkan toya untuk serangan berikutnya, Pak Kiong Eng maju secepat kilat sambil menendang.

Kena rusuk Siang Hwe Jing yang langsung membuat si "panglima" terjungkal tak berkutik lagi. Kemudian Pak Kiong Eng memburu Cu Sek Kui yang coba-coba melarikan diri dengan menyusup-nyusup ke pepohonan di kebun Itu. Julukan "Kupu Kembang" bagi Cl Sek Kui bukan hanya menunjukkan kebangorannya. tapi juga kelihaian ilmu meringankan tubuhnya. Dengan gerakan pesat, ia kabur meninggalkan Pak Kion Eng.

Tapi karena tempat itu penuh pohon sayuran, banyak pula bambu atau kayu penopang tanaman yang malang-melitang, geraknya jadi agak terbambat. Setiap gerak tubuhnya iuga menimbulkan suara gemelasak kalau menerobos pepohonan. Dan suara itulah yang menuntun Pak Kiong Eng untuk mengejar terus dengan marah, makin lama mkin dekat.

Setiap kali menengok ke belakang rasa takut Cu Sek Kui bertambah-tambah Biasanya ia bersikap sewenanq-wenenang terhadap korban-korbannya yang merengek-rengek ketakutan. sekaranq ia sendiri merasakan bctapa menyiksanya rasa takut itu kalau ujung tangan sang maut sudah menyentuhnya.

Karena gugupnyn kakinya tiba-tiba terantuk sebatang bambu yang melintang di kegelapan. Saat ia roboh bersamaan waktunya dengan saat telapak tangan Pak Kiong Eng yang membara oleh Hwe-Iiong-sin-kang itu menghajar pung-gungnya. Sihidung belang perusak wanita menjerit dan menggeliat, punggungnya hangus, sayup-sayup tercium bau daging bakar seperti di tempat penjualan daging bakar, Jalu si Kupu Kembang berwajah Kumala itupun manpus.

Setidaknya satu sunber malapetaka buat kaum wanita sudah hilang. Pak Kiong Erg terenaan-engah di samping tubuh lawannya. hatinya lega karena dapat menyelamatkan banyak kaumnya yang seharusnya menjadi korban kalau Cu Sek Kui masih hidup dan berkeliaran. Tapi semuanya belum usai, di kejauhan masih terdengar ramainya suara orang.

Saat ia roboh bersamaan waktunya dengan saat telapak tangan Pak Kiong Eng yang membara oleh Hwe-Iiong-sin-kang itu menghajar punggungnya. mengadu jiwa. Suaminya dan teman-temannya masih berkelahi, Maka buru-buru Pak Kiong Eng melompat ke suara pertempuran itu.

Persabungan nyawa memang belum selesai, namun sudah hampir selesai. Pihak Jit-goat-pang yang salah perhitungan itu sudah merosot semangatnya, sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang semaking bersemangat karena merasa kemenangan sudah diambang pintu.

Akhirnya Pak Kiong eng yang tiba diarena ituupun hanya jadi penonton saja. Dilihatnya suaminya telah bcrhasil mebuat kedua Iawannya kaIang-kabut. Ui-bin-peng-hou yang tadinya melawan empat orang, kini tinggal tiga orang. Yang seorang sudah tertelungkup dengan kepala menyuruk ke dalam rumpun pohon semangka, entah mati entah luka parah, mungkin cuma pura-pura mati untuk menyelamatkan diri.

Sedang sisa tiga lawan Hu Se hiong kebingungan menghadapi si bungkuk kurus dari Hwe-liong-pang yang seolah beterbangan saja mengitari mereka. Lalu seorang lagi tejungkal karena pipa Hu Se Hiong berhasil menotok tengkuknya.

Ji Han Lim dan Lo Sing yang sama-sama bertangan kosong kelihatannya seimbang, namun sebenarnya Lo Sing mengakui keunggulan lawannya dalam hati. Andalannya adalah siasat tangan kosong Ang-se-tok-jiu, sedang Ji Han Lim terkenal dengan sepasang kampaknya, maka kalau pertempuran tangan kosong berjalan seimbang, itu artinya Lo Sing yang kalah.

Kiong Wan Peng juga berhasil me- rampungkan kedua lawannya. Lawan yang bersenjata golok sudah remuk dadanya karena kena tendangannya, sedang lawan yang bersenjata tombak terhantam pipinya. Lalu orang itu oleh Kiong Wan Peng dibiarkan saja duduk di tanah sambil mengurut-urut lehernya, berusahn memulihkan agar kepalanya bisa menoleh kembali ke depan, bukan menghadap terus ke kanan seperti saat itu.

Lalu Kiong Wan Peng membantu mengurangi lawan Hu Se Hiong. Orang orang Jit-goat-pang menjadi gelisah merasakan gelagat buruk di pihak mereka. Mereka menunggu perintah mundur dari Cu Sek Kui, tapi sang "pangeran" itu kok tidak muncul-muncul juga, entah bagaimana keadaannya?

Saat itulah Pak Kiong Eng berseru mengabarkan nasib sang "pangeran" untuk merontokkan semangat musuh, "Kalau kalian menantikan Cu Sek Kui atau orang bersenjata Long-ge-pang itu, kalian menanti dengan sia-sia. Si pangeran perusak wanita itu sudah aku kirim ke neraka, dan orang berpakaian panglima lenong itu entah hidup entah mati kena tendanganku tadi."

Orang-orang Jit-goat-pang terkejut mendengar seruan itu, dan mau tidak mau harus percaya sebab melihat Pak Kiong Eng sudah sendirian, tak ada lawannya lagi. Mereka kenal betapa mata keranjangnya Cu Sek Kui kalau ketemu perempuan cantik. Bukan mustahil sang "pangeran" telah mengganggu perempuan berpakaian serba putih itu dan kena batunya, karena yang hendak diganggu adalah Pak Kiong Eng yang terkenal.

Sepeninggal Cu Sek Kui dan Siang Hwe Jing, yang berkedudukan paling tinggi adalah orang bersenjata sepasang golok tipis yang menjadi lawan Tong Gin Yan itu. la segera memutuskan untuk mundur saja bersama sisa orang-orangnya yang masih bisa di selamatkan. Terdengarlah isyarat dari mulutnya, disusul dengan berhamburannya orang-orang Jit-goat-pang untuk mundur, meninggalkan teman- teman mereka yang gugur atau luka-luka.

Orang Jit-goat-pang yang otot lehernya terkilir kena pukulan Kiong Wan Peng itupun tak mau ditinggalkan, dan ikut kabur. Tapi karena lehernya belum pulih, ia terpaksa lari miring ke kanan agar matanya bisa tetap melihat jalan, sehingga geraknya mirip dengan seekor kepiting. Musuhpun bersih dari gelanggang, kecuali yang tertinggal sebagai mayat atau yang terluka.

Orang-orang Hwe-liong-pang bukan manusia-manusia berdarah dingin. Terhadap orang-orang Jit-goat-pang yang luka-luka dan ditinggalkan begitu saja oleh teman-teman mereka, Tong Gin Yan memerintahkan orang- orangnya untuk mengobati sebisa-bisanya.

Ada seorang terluka yang memberontak dengan keras ketetik hendak diobati oleh Hu Se Hiong, teriaknya, "Aku pahlawan Kerajaan Beng yang agung! Tidak sudi menerima obat dari kaum berkuncir yang menjadi begundal- begundaI Manchu macam kaIian!"

Tong Gin Yan lalu berkata kepada Hu Se Hiong, "Saudara Hu, kalau Tuan Pahlawan ini tidak mau menerima obat-mu, jangan kau paksa...."

Muka si "pahlawan" menjadi pucat mendengar itu. Lukanya parah, terus me ngalirkan darah, kalau dibiarkan saja dia akan mati konyol. Akhirnya diapun "menurunkan harga" dengan berkata, "Ya sudahlah, kau boleh mengobati aku. Aku pandai membedakan urusan budi dan dendam, kepentingan pribadi dan kepentingan tanah air. Biarpun kau begundal Manchu, secara pribadi aku berterima kasih."

Hu Se Hiong justru bersikap menggoda, "Tadi memang aku mau mengobatimu, tapi sekarang tidak. Nah, Tuan Pahlawan, kau boleh gugur sebagai pahlawan Kerajaan Beng...."

Runtuhlah sikap gagah gagahan dari sikap si “pahlawan" yang sebenarnya takut mati itu. "Baiklah, aku mengaku salah dengan kata-kataku tadi. Tuan, lukaku amat parah, tolong kau obati."

Geli semua orang Hwe-liong-pang mendengarnya. Tetapi mereka maklum, kebanyakan anggota Jit-goat-pang memang hanyalah kaum ikut-ikutan yang terbujuk oleh semboyan-semboyan muluk para pimpinan mereka. Seperti semboyan "bangunkan kembali Kerajaan Beng" dan "runtuhkan Ceng". Perasaan kebencian antar suku diungkit-ungkit dan dikobar kobarkan, padahal diantara orang orang Manchu terdapat ipar mereka, sepupu mereka, paman atau bibi mereka dan sebagainya.

Dan tidak ada yang bisa membuktikan bahwa diri mereka "murni berdarah Han" atau "murni berdarah Manchu", sebab kedua bangsa sudah berbaur hampir seratus tahun. Tapi para "pejuang Kerajaan Beng" belum juga jera meneriakkan semboyan mereka, kalau perlu perang harus dikobarkan. Tidak apa-apa banyak yang mampus, toh yang mati bukan mereka sendiri, melainkan pengikut-pengikut mereka.

Banyak rumah hancur, sawah ladang remuk menjadi medan pedang, isteri-isteri dan anak-anak meratap kehilangan suami dan ayah mereka, juga tidak apa-apa. Toh yang hancur bukan rumah dan ladang mereka, yang meratap juga bukan anak isteri mereka. Seolah mereka ditakdirkan, sehabis perang, merekalah yang punya kemenangan. Pahit getirnya perang, bebankan saja kepada kaum kecil.

Kemudian orang-orang Hwe-liong-pang berunding, dan diputuskan untuk berjalan terus malam itu. Tanpa bekal, tanpa senjata, sebab sudah musnah dalam rumah yang meledak. Juga tanpa kuda, sebab kuda mereka yang ditambatkan di samping rumah sudah berubah menjadi kuda panggang semua.

"Tidak jadi soal, kita sudah mendekati perbatasan propinsi Ho-lam dan kota Lok-yang tidak jauh lagi," kata Hu Se Hiong. "Meskipun kita akan sampai ke rumah Se-bun Tai-hiap (Pendekar Se-bun) dalam keadaan mirip gelandangan,"

Baberapa hari kemudian, ketika mereka berlima tiba dl rumah Se-bun Beng di Lok-yang, mereka memang sudah mirip pengemis pengemis dekil. sehingga hampir saja diusir oleh pelayan yang membukakan pintu. Untunglah, akhirnya mereka berhasil bertemu dengan Se Bun Beng dan Isterinya, Au yang Siau-hong, yang menyambut dengan perasaan gembira campur heran melihat keadaan sahabat-sahabat mereka yang berantakan.

Se Bun Beng dan Au Yang Siau-hong terkejut, marah dan sedih mendengar bahwa puteri mereka. Se Bun Hong-eng. diculik kawanan Hiat-ti-cu bersama cucu kembar ketua Hwe-Iiong-pang. Karena itulah orang-orang Hwe-lliong-pang hanya tinggal satu hari di Lok-yang. lalu buru-buru berangkat ke Pak-khia. dan rombongan membengkak menjadi tujuh orang, karena Se Bun Beng dan Au Yang Siau-hong bergabung pula.

Tentu saja orang-orang Hwe-liong-pang tidak lagi berpenampilan seperti gelandangan- gelandangan, melainkan sudah mendapat pakaian yang pantas. bahkan kuda-kuda yang cukup baik. Karena mereka merasa bahwa berjalan dalam rombongan sebesar itu gampang menarik perhatian mata-matanya kaisar Yong Ceng, maka mereka sepakat memecah rombongan menjadi dua, Rombongan pertama terdiri dari Hu Se Hiong dan dan kedua Tong-cu, akan berjalan lebih dulu. Rombongan kedua adalah dua pasang suami isteri yang kehilangan anak anak mereka itu.

Sebenarnya Se Bun Beng dan Au Yang Siau-hong enggan terlibat dalam pertikaian politik di pusat pemerintahan, tetapi karena anak tunggal. Mereka diculik, terpaksa mereka nenghunus kembaIi senjata-senjata yang $udah ter lalu lama tersimpan, dan kembali mencebur keda lam kawah bergejolak dunia persilatan. menmggalkan kehidupan mereka yang tenteram selama bertahun-tahun.

Beberapa hari kemudian, tibalah kedua pasang suami isteri itu ke sebuah desa yang tidak jauh dari kota Pak-Khia. Di desa itu mereka menemukan tanda-tanda dari Hu Se Hiong bertiga agar berhenti sehari di desa itu, sebab Hu Se Hiong bertiga tengah mendahului masuk Pak-Khia untuk melihat situasi. Itu menjaga kemungkinan kalau ada perangkap agar tidak terperangkap semuanya melainkan masih ada sebagian yang selamat.

“Ah, Hu Hiang-cu dan kedua Tong-cu itu terlalu berhati-hati,” gerutu Pak Kiong Eng yang sudah tidak sabar lagi meningat anak-anak kembarnya. Begitu pula Au Yang Siau-hong yang mencemaskan Se Bun Hong-eng.

“Memang seharusnya berhati-hati,” kata Tong Gin yan menentramkan hati kedua ibu yang gelisah itu. “Kota Pak-khia ibarat kandang macan atau kubangan naga. Jago-jago tangguh tak terhitung banyaknya, dan kita tidak tahu bagaimana sikap mereka masing-masing terhadap Hwe-liong-pang atau terhadap Kaisar.”

“Biarpun kubangan naga dan serang macan juga harus kuterjang. Demi A-sam dan A-hai,” ucap Pak Kiong Eng sambil mengepalkan tinjunya. “Im Ceng benar-benar keterlaluan, kenapa anak kecil yang tidak tahu apa-apa juga dilibatkan persoalan ini?”

“Kaisar berhati sejahat itu harus digusur turun dari tahtanya.” Au Yang Siau-hong menyambung. “Heran juga, dulu semasa Im Ceng masih mengembara di dunia persilatan dengan nama Si Liong Cu, ia begitu simpatik. Bahkan orang semacam Kam Hong Ti dan Pek Thai Koan juga menjadi sahabatnya. Kenapa sekarang berubah menjadi sejahat itu?”

“Ya, entah bagaimana sekarang sikap pendekar-pendekar Kang-lam melihat ulang In Ceng?”

Namun Tong Gin yan serta Se Bun Beng berhasil menenangkan "induk-induk macan yang kehilangan anaknya" itu, dan membujuk mereka agar tidak bertindak gegabah. Mereka kemudian berhenti di sebuah warung makanan di desa itu sesuai dengan pesan Hu Se Hiong bertiga. Dengan sepotong arang dapur, Tong Gi Yan membuat beberapa coretan kecil di tembok depan, sebagai tanda petunjul kalau Hu Se Hiong bertiga hendak menemui mereka.

Setelah menambatkan kuda-kuda mereka, kedua pasang suami isteri itu mengambiI tempat duduk dalam warung, dekat jendela, agar bisa memandang keluar. Namun juga waspada terhadap orang-orang di dalam warung, kalau ada orang Jit-goat-pang atau anak buah Yong Ceng yang bermaksud buruk kepada mereka.

Di halaman samping warung, beberapa anak-anak desa kelihatan tengah bermain-main gundu. Di antaranya ada seorang anak yang bertubuh gemuk dan berpakaian bagus, menandakan anak orang kaya. Anak gemuk ini membekal gundu yang cukup banyak, tetapi karena cara bermainnya yang ketolol-tololan, maka cepat sekali gundunya habis, berpindah ke kantong teman-temannya. Teman-temannya agaknya adalah kader-kader penjudi yang lumayan berbakat, kalau kelak mereka dewasa.

Melihat anak-anak itu lewat jendela, Pak Kiong Eng ingat anak kembarnya yang sebaya dengan mereka. Tong San Hong, sesuai dengan namanya yang berarti "puncak gunung" benar-benar bertabiat tenang, pendiam, tak banyak bergerak, tetapi kalau sudah punya pendirian juga sekokoh gunung batu. Sedang Tong Hai Long, sesuai makna namanya, "gelombang laut", benar-benar mirip lautan yang selalu bergelora, usil, selalu bergerak penuh semangat.

Pak Kiong Eng jadi tersenyum sendiri mengenangkan mereka. Namun senyumnya berubah menjadi kecut kalau mengenang mereka tengah ada di tangan kaum Hiat-ti-cu yang kejam. Kalau ingat itu, ingin rasanya Pak Kiong Eng tumbuh sayapnya dan terbang langsung ke Pak-khia, tapi Pak Ki ong Eng harus menahan diri. Memang betul kata suaminya tadi, situasi di Pak-khia saat itu tak menentu, masih diliputi gejolak yang mengaburkan batas antara kawan dan lawan.

Pak Kiong Eng memang lahir dan dibesarkan di Pak-khia, punya banyak kenalan juga di Pak-khia, namun dirinya adalah puteri Pak Kiong Liong, buronan pemerintah. Pak Kiong Eng tidak yakin, apakah teman-teman masa kecilnya yang dulu akrab bermain-main dengannya, akan menyambutnya sebagai sahabat lama? Ataukah mereka sudah menjadi orang-orangnya Kaisar Yong Ceng yang siap meringkusnya?

Pertarungan politik di Pak-khia berlangsung demikian kotor dan kejam, rakyat silahkan menonton saja. Tapi kalau rakyat sedang sial, mereka bukan lagi sekedar penonton, namun korban yang tergusur kesana kemari, malah bisa hancur terinjak-injak, biarpun orang-orang kecil itu tidak tahu jelas duduk persoalannya.

Untuk menghibur hatinya, Pak Kiong Eng me Iihat anak-anak yang tengah bermain gundu itu. Perhatianya tiba-tiba tertarik kepada seorang anak yang tidak ikut bermain, hanya berdiri di luar gelanggang sambil menonton dengan asyiknya. Pakaiannya kumal, bahkan di bagian pundak dan lututnya sudah ada tambalannya, sepatu kain yang dipakainya sudah hancur di bagian depan sehingga ibu jari kakinya nongol keluar.

Dilihat penampilan luarnya, anak ini nampak sangat tidak berarti, tetapi Pak Kiong Eng merasa dari dalam diri anak itu terpancar semacam pengaruh atau kewibawaan yang besar, pandangan matanya berkilat-kilat menandakan kecerdasan dan keberaniannya. Tetapi semua keistimewaannya itu kadang-kadang terselubung kodrat kekanak- kanakannya, kalau dia sedang melompat- lompat sambil bertepuk tangan melihat jalannya permainan gundu.

"Anak siapa dia?" Pak Kiong Eng bertanya dalam hatinya. "Tetapi menilik pakaian yang buruk, tentu ia berasal dari keluarga miskin..."

Sementara itu, di arena main gundu tiba-tiba terjadi keributan. Si anak gemuk yang kalah terus sehingga gundunya habis, tiba-tiba mengambil segumpal batu, lalu dengan gemas dlpukullnya gundu milik teman-temannya sehingga hancur semua.

"He, gembrot, apa yang kau lakukan?!" teman-temannya berterlak-teriak marah.

"Kembalikan semua gundu-gunduku!" si anak gendut menghampiri temannya yang menang paling banyak, sambll mengangkat batu di tangannya untuk mengancam. "Kembalikan!"

Anak yang diancam itu merasa penasaran tapi takut. Bukan takut berkelahi, tapi takut karena orang tua si anak gemuk adalah "raja kecil di desa itu. Kekayaannya berlimpah, hubungannya dengan beberapa pejabat tinggi di Pak-khia juga erat, dan dengan gampang bisa menjebloskan siapa saja ke penjara, tidak peduli si korban Itu bersalah atau tidak. Karena Itu, anak yang terancam itu terpaksa mengeluarkan semua kemenangannya dari kantongnya untuk diserahkan si pengancam.

"Tidak adil!" si anak compang-camping yang dikagumi Pak Kiong Eng Itu tiba-tiba berseru sambil melangkah masuk arena. Anak-anak lainnya tercengang heran. Anak dekil Itu memang bukan anak desa setempat, dan agaknya juga belum tahu betapa berkuasanya ayah si gemuk.

Seorang anak desa setempat menarik tangan si anak dekil ke samping, dan membisikinya, "Kau anak mana? Kau belum tahu siapa ayah si gembrot curang itu? Dia memang sudah biasa berbuat demikian."

"Apakah dia anak jenderal atau apa?” tanya 'si dekil penasaran. “Dan kalau ia selalu berbuat securang ini, kenapa kalian masih juga mau diajak main gundu olehnya?"

Jikalau dia bilang ingin main, siapa berani menentangnya? Hanya urusan main gundu saja kadang-kadang bisa berekor panjang, orang-orang tua kami yang tak bersalah juga bisa terlibat."

“Jadi kalian mengalah terus dicurangi selama ini?"

“Mau apa lagi? Orangtuanya kaya dan berpengaruh…”

Tetapi si anak dekil mengibaskan tangannya ayng dipegangi, sambil berkata, “Apakah kalau orang kaya dan berpengaruh, lalu bisa menginjak-injak keadilan seenaknya saja?”

Kemudian sianak dekitl dengan berani melangkah ke hadapan si anak gendut sambil berkata, “Kau sudah kalah. Kembalikan kelereng yang menjadi hak kemenangannya…” sambil menunjuk si anak yang tadi gundunya dirampas semua.

Namun si gendut malahan berteriak marah, “He, anak bau, kau belum tahu siapa aku dan siapa ayahku? Aku bukan saja tidak akan mengembalikan gundunya, bahkan semua gundu di kantong kalian juga harus diserahkan!” Rupanya si gendut ini mencontoh teladan ayahnya yang sering dilihatnya kalau berurusan dengan orang lain. Entah urusan dagang, entah urusan apapun.

“Tidak bisa” si anak compang-camping ngotot menentang, biarpun bobot tubuhnya hanyalah sepertiga dari si anak gemuk.

Si anak gemuk yang hanya biasa dimanja dan dipatuhi, tak pernah ditentang, kini menjadi marah. Ia ayunkan tinjunya sekuat tenaga untuk menjotos hidung si anak compang-camping. Namun lawannya mengelak ke samping dengan lincah, sehingga si gemuk jatuh sendiri, tertelungkup dan hidungnya mengucurkan darah. Seperti umumnya anak manja juga adalah anak cengeng, begitu pula dia. Yang langsung saja duduk menangis ditanah sambil berteriak-teriak,

“Kalian jahat semua! Kalian kaum melarat yang jahat! Akan kulaporkan ke ayahku agar orang tua kalian semuanya dimasukkan penjara!”

Ancaman anak gendut itu membuat takut teman-temannya itu bukan main-main. Bisa dibuktikan, sebagian anak mulai menghibur si gendut agak tidak menangis lagi dan tidak mengadu kepada ayahnya. Sebagian lainnya mengumpulkan gundu-gundu untuk diserahkan kepada sigendut.

Si anak compang-camplng itu menggeleng-gelengkan kepala penuh rasa penasaran melihat hal Itu. Inilah antara lain penyebab kesewenang-wenangan si gemuk, karena teman-temannya terlalu takut kepadanya, begitu pula orang tua mereka. Tetapi seperti lingkaran setan, mereka takut tentu ada sebab-sebabnya, mungkln sekali pernah mendapat "pil pahit" dari pihak orangtua si anak gemuk.

Si anak gemuk merasa senang karena teman-temannya masih takut kepadanya. Tiba-tiba la mengambil sebuah batu didekatnya dan sekuat tenaga dlhantamkan ke pipi salah seorang anak yang sedang mengumpulkan gundu untuknya. Padahal anak yang dipukul itu tidak ikut bermain, tadinya hanya sekedar penonton. Namun si anak gemuk memang hanya memukul sekedar karena ingin memukul, tak perlu pakai alasan apapun. Korbannya segera jatuh pingsan dengan pipi berlumuran darah.

Anak-anak lainnya kaget dan marah, namun tak berani berbuat apa-apa, kecuali berlarian menjauhi si gemuk, takut dihantam batu yang masih dipegang olehnya..Melihat teman-temannya menjauh, si gemuk menangis keras lagi. Yang tidak lari cuma si anak compang-camping yang tadi mencegahnya, maka dengan sengit diIemparkannya batu di tangannya ke kepala anak itu, tetapi berhasil di hindari dengan menunuuk.

Tong Gin Yan berempat yang duduk di warung minum, kaget juga melihat keributan itu. Biarpun cuma urusan anak-anak main kelereng, namun ajaran keadilan toh tidak hanya diterapkan dikalangan orang dewasa saja? Setidaknya si anak gemuk harus dilaporkan kepada orang tuanya agar mendapat didikan sebaik-baiknya, agar watak buruknya tidak terbawa sampai dewasa.

Sambll menangis keras, si anak gemuk kemudian berjalan pulang ke rumahnya untuk melapor ayahnya. Sementara itu, anak-anak lainnya tiba-tiba mengerumuni si anak compang-camping. Bukannya berterima kasih, malahan salah seorang dari mereka menuding si anak compang-camping dengan sengit.

"Gara-gara kau si pengemis cilik ini, kami semua sekarang terancam bahaya! Bahkan juga orangtua-orang tua kami!"

"Ya! Kalau jembel cilik ini tidak usil ikut campur, si gemuk tidak akan marah, paling-paling hanya gundu kita yang dimintanya!“

Maka bersahut-sahutanlah teriakan anak-anak itu, semuanya menyalahkan si anak berpakaian compang-camping. Itulah jalan pikiran anak-anak, namun tidak jarang orang-oranq dewasa juga berpikir dengan pola yang sama, meskipui dalam urusan yang berbeda. Orang yang hendak menegakkan keadilan malah dipersalahkan karena menimbulkan kemarahan si penindas.

Betapa banyaknya orang yang rela hidup "tenteram" di bawah kesewenang-wenangan orang lain, dan kalau ada yang hendak membela, si pembela malahan dipersalahkan karena telah merusak "ketenangan" atau "keselarasan", tidak peduli keselarasan yang pincang.

"Kita seret jembel cilik ini ke rumah Chow Fai-pan (juragan Chow), kita jelaskan bahwa dia yang membuat si gendut menangis, bukan kita!" seru seorang anak yang paling besar, yang lain lainnya segera bersorak menyetujui.

Maka si anak compang-camping itu-pun digiring beramai-ramai menuju ke rumah Chow Tai-pang untuk dijadikan "tumbal keselamatan" bagi anak-anak lain, guna menangkis kemarahan orang-tua si gendut yang kaya dan berkuasa.

Melihat itu, Pak Kiong Eng bangkit dari duduknya, sehingga suaminya bertanya, "He, kau hendak ke mana?"

"Ikut menyelesaikan urusan main ke Iereng itu...."

"Jadi kau hendak melabrak anak-anak itu?" tanya Tong Gin Yan heran.

"Tidak. Aku cuma hendak ikut pergi ke orangtua anak gemuk itu untuk menjelaskan duduk persoalannya, jangan sampai anak yang tak bersalah menjadi korban. Kasihan," sahut Pak Kiong Eng.

’’Kalian tetap di sini saja, ini urusan keciI yang bisa kuselesaikan sendiri."

Tong Gin Yan tidak mencegah lagi. Pak Kiong Eng lalu mengikuti rombongan anak-anak yang tengah mengarak “tumbal" ke rumah Chow Tai-pan. Mereka tiba di depan sebuah rumah yang paling besar dan paling bagus di desa itu, dan si anak compang-camping didorong dorong oleh anak-anak lainnya untuk masuk rumah itu.

Sekali lagi Pak Kiong Eng merasa kagum melihat anak compang-camping itu tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun, bahkan kemudian melangkah masuk rumah Chow Tai-pan dengan gagahnya. Langkah seorang jenderal perkasa yang maju ke medan perang memperjuangkan keadilan. Pak Kiong Eng merasa bangga pula, sebab ia tahu bahwa anak-anaknya sendiripun akan bersikap demikian kalau menghadapi persoalan yang sama.

Tiba-tiba timbul rasa sayang Pak Kiong Eng terhadap anak compang-camping itu. Kalau anak itu tidak ada orang tuanya lagi, ingin ia membawanya ke Tiau-im-hong untuk diangkat menjadi anaknya, dipersaudarakan dengan Tong San Hong dan Tong Hai Long.

Di rumah Chow Tai-pan sendiri sedang terjadi kegemparan hebat. Tangisan si anak manja itu rasanya lebih menggemparkan daripada gempa bumi atau gunung meletus. Ibunya yang sama gemuknya, tak henti-hentinya membelai-belai anaknya, sambil memeriksa seluruh tubuh anaknya kalau-kalau ada yang lecet seujung rambutpun. Dalam waktu yang tidak terhitung lama, si "ibu penuh cinta" ini sudah mengucapkan tiga-puluh empat kali "sayangku" dan empat-puluh enam kali "mutiaraku" dan enam-puluh tujuh kali "anak-anak kampung bangsat".

Ayah si gemuk, ternyata juga amat gemuk, sehingga keluarga itu merupakan sekelompok "bola daging" berbagai ukuran. Lelaki setengah abad itu mengepal-ngepal tinjunya dengan gerani, mendengarkan laporan anaknya, bagaimana sang anak telah dianiaya dan dicurangi anak-anak kampung, bahkan katanya kepalanya hampir saja dikepruk dengan batu.

Sang ayah langsung percaya, keruan darahnya jadi mendidih, siapa berani berbuat seburuk itu atas anak paling berkuasa di desa itu? Dilihatnya sepuluh orang tukang pukulnya yahg kekar-kekar sudah menunggu perintah, dan mereka segera mendapatkan perintah itu, "Cari anak yang mengganggu anakku, seret kemari berikut orang tuanya!"

Namun baru saja tukang kepruk itu hendak bergerak menjalankan perintah, dari pintu depan telah muncul rombongan anak-anak desa yang hendak menyerahkan tumbal mereka yang berupa si anak berpakaian compang-camping yang tidak diketahui dari mana asalnya.

Maka berduyun-duyunlah Chow Tai-pan, isterinya dan anaknya serta tukang-tukang pukulnya keluar ke halaman depan. Menghadapi anak-anak desa itu, para tukang pukul bersikap seolah-olah menghadapi perajurit musuh. Mereka membawa senjata-senjata seperti pedang, golok, tombak, toya dan sebagainya, supaya nampak gagah dan bersungguh-sungguh membela tuan mereka.

Melihat anak berpakaian compang-camping itu, anak Chow Taipan segera mengadu sambil menunjuk, "Ayah, ibu! Jembel cillk itulah yang paling berani menentang kemauanku!"

Tanpa perlu diperintah, dua tukang pukul sudah tahu tugasnya. Mereka maju menyeret si "jembel cilik" kehadapan putera Chow Taipan salah seorang berkata, "Siauya (tuan kecii), inikah anak yang mengganggumu? Sekarang siauya dapat membalasnya sepuas hati!"

Tangis si anak gemuk seketika berubah menjadi seringai kejam. Sambil membawa sepotong kayu, ia mendekati si jembel cilik yang tetap dipegangi kedua tukang pukul ayahnya itu. Anak-anak desa lainnya diam-diam kasihan juga membayangkan jembel cilik itu sebentar lagi akan hancur mukanya. Mereka pernah melihat sendiri bagaimana si anak gemuk melampiaskan kemarahan kepada korbannya, tentu saja korbannya dipegangi oleh tukang-tukang pukul, persis saat itu. Namun anak-anak desa itu tak berani bercuit, apalagi melihat kawanan tukang pukul yang bersenjata.

Namun sebelum adegan penyiksaan dimulai, anak-anak desa tersibak dari belakang, dan Pak Kiong Eng muncul sambil berseru nyaring. “Tahan!”

Tiba di depan Chow Taipan, Pak Kiong Eng memberi hormat sambil berkata, “Taipan, aku mendengar dari orang-orang desa ini bahwa Taipan seorang hartawan yang adil, bijaksana dan murah hati….”

Muka Chow Taipan serasa terbakar karena sindiran itu. Tapi kegalakannya luntur melihat nyonya muda secantik yang berdiri di hadapannya itu. Diam-diam ia menelan ludah melihat bentuk tubuh Pak Kiong Liong Eng yang tersembunyi dibalik pakaian perjalanannya yang ringkas, ramping dan segar. Berbeda benar dengan isterinya sendiri.

“Siapakah kau, dan apa keperluanmua?” tanyanya.

Kemudian dengan ringkas diceritakan Pak Kiong Eng menceritakan peristiwa sebenarnya di halaman samping warung minum tadi, dikatakannya bahwa putera Chow Tai-pan lah yang justru bersalah karena bersikap sewenang-wenang terhadap teman-temannya, bahkan seorang anak telah dipukulnya dengan batu…."

Namun kesaksiannya terputus oleh teriakan anak Chow Taipan, “Dia bohong, ayah! Perempuan sundal itu bohong!”

Wajah Pak Kion Eng kontan merah padam tak menduga anak sekecil itu bisa mengeluarkan kata-kata begitu kotor. Tetapi itu bukan sepenuhnya kesalahan si anak, si anak barangkali mendengar kata-kata orang tuanya tanpa tahu arti yang sebenarnya, karena orang tuanya tak dapat mengendalikan mulutnya dihadapan si anak.

Ternyata isteri Chow Taipan juga panas hatinya ketika melihat suaminya agaknya tertarik kepada Pak Kiong eng. Bukannya ie lebih dulu menegur anaknya, malahan ia memerintah dua tukang pukulnya, “A-hok, A-siong! Usir keluar sundal itu!”

A-hok tidak mau didahului A-siong ia segera melompat ke hadapan Pak Kiong Eng sambil menyeringai dan membentak, "Perempuan liar, cepat keluar!"

Bukan cuma membentak, ia juga mendorongkan tangannya ke dada Pak Kiong Eng. Pintar juga ia memilih sasaran. Pak Kiong Eng meluap darahnya karena teringat kepada Giok-bin-hoa-tiap Cu Sek-kui yang pernah hampir menodainya, dan kemarahannya pertanda kemalangan nasib si A-hok itu. Pak Kiong Eng dengan gesit memiringkan tubuhnya sambil menggeser langkah, tangan kanan berhasiI mencengkeram lengan A-hok dengan jurus Ok-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengukur Kuku).

Sementara tangan kirinya mencengkeram ke pinggang A-hok. Lalu tubuh si tukang pukul yang tidak sopan itu tiba-tiba diterbangkan dan dihempaskan keras membentur lantai halaman yang keras. Sekilas membentur lantai halaman yang keras. A-hok menyeringai, bukan seringai bergajulan tetapi seringai kesakitan menjelang pingsan.

Chow Taipan dan orang-orangnya terkejut. kini mereka sadar dan mulai mencium bahaya dengan ikut campurnya Pak Kiong Eng. Bagaimana kalau Pak Ki-ong Eng memaksa minta akan ganti rugi bagi anak yang dilukai anak Chow Taipan? Padahal hartawan itu amat pelit, uang satu sen pun dipertahankan mati-matian.

Sementara Pak Kiong Eng berkata dengan dingin, "Taipan, agaknya kau sudah biasa bermain kaisar-kaisaran didesa ini, ya?" Lalu tangannya menebas ke sebuah arca singa penghias halaman itu, dan arca singa itu langsung terpenggal kepalanya.

Chow Taipan dan orang-orangnya seketika kuncup nyalinya melihat pameran kekuatan tangan Itu. Dua tukang pukul yang masih memegangi jembel cillk itupun buru-buru melepaskan pegangan ketika Pak Kiong Eng melotot ke arah mereka. Sementara si jembel cilik tidak menampakkan ketakutan sedikitpun biarpun baru saja lepas dari bahaya. Dengan tenangnya ia menepuk-nepuk pakaiannya yang kusut karena cengkeraman dua tukang pukul tadi, pakaian dekilnya itu diperlakukannya seperti pakaian indah saja.

Chow Taipan cepat-cepat mengubah sikap, katanya hormat kepada Pak Kiong Eng "Kiranya Toanio seorang pendekar perkasa. Maafkan sambutan kami yang kurang berkenan, kalau Toanio tidak keberatan, kami mengundang untuk..."

"Aku tidak butuh sambutan baikmu," tukas Pak Kiong Eng. "Aku hanya ingin tanya, di desa ini ada keadilan atau tidak? Apakah karena kau orang kaya lalu anakmu kau bebaskan melukai orang, menyiksa sesama semaunya sendiri?"

"Pertanyaan yang bagus", sambung si jembel cllik sambil bertepuk tangan. "Apakah di desa ini tidak ada Ti-koan(Hakim)?"

Sebenarnya Chow Taipan sudah gemetar dengkulnya, tetapi perkataan si Jembel cilik tentang Tikoan itu membuat dia mendapat akal. Memang ada hakim di desa itu, bahkan sahabat baik Chow Taipan. Hakim yang memberikan "keadilan dengan system lelang, artinya, yang membayar lebih banyaklah yang akan memperoleh "keadilan" itu.

Maka dengan muka yang pasrah, seolah-olah benar-benar rela tunduk kepada hukum, Chow Taipan berkata, "Memang ada seorang Tikoan di sini, Toanio. Kalau memang aku ditetapkan bersalah, aku rela menanggung hukuman apapun, asalkan ditetapkan di dalam sidang pengadilan..."

Sebenarnya Pak Kiong Eng tidak percaya akan kejujuran orang kaya itu, namun sebelum memutuskan, si jembel cilik telah berkata, "Bagus, kita semua menghadap Tikoan. Kuharap keadilan dan hukum masih ditegakkan di desa ini."

Sikap dan kata-kata si jembel cilik itu kembali mencengangkan Pak Kiong Eng. Itu sikap dan kata-kata yang melebihi penampilan dan usia si jembel cilik. Namun diapun kemudian menyetujui, bagaimanapun juga lebih baik tiap persoalan diselesaikan secara hukum lebih dulu, daripada mengandalkan otot. Maka berbondong-bondongIah rombongan besar yang bersengketa itu menuju ke gedung Tikoan.

Chow Taipan diam-diam tertawa dalam hati, "Nah, sekarang penyamun cantik ini akan tahu siapakah aku, yang dengan uangku sanggup menyetir Tikoan dan bahkan sepasukan tentara kerajaan."

Tanpa diketahui Pak Kiong Eng, diam-diam Chow Taipan menyuruh seorang anak buahnya mendahului ke rumah Tikoan lewat jalan lain, sambil menitipkan sekantong uang. Pesannya, "Serahkan uang ini kepada si Tikoan buntut tikus. Suruh pula dia cepat-cepat menghubungi Thio Thongleng (komandan Thio) dan pasukannya agar cepat datang, ada seorang penjahat wanita berilmu tinggi yang harus ditangkap..."

Si anak buah segera berangkat menjalankan perintah. Tetapi ditengah jalan, di tempat sepi, ia membuka kantong uang itu dan melihat ada sepuluh tahil perak di dalamnya. Lalu yang dua tahil dipindahkan ke kantongnya sendiri, sambil berkata dalam hati, "Si kumis buntut tikus itu sudah cukup kaya makan sogokan dari kanan kiri, tidak ada saIahnya kalau jatahnya aku kurangi sedikit.”

Sementara itu, rombongan yang menuju ke rumah Tikoan itu bertambah banyak. Banyak orang-orang desa yang kemudian berbondong-bondong ikut untuk melihat jalannya sidang. Tambur besar dihalaman gedung Tikoan segera ditabuh keras, sang Tikoan muncul dengan memakai pakaian jabatannya. Di kiri kanan mejanya, berderetlah petugas-petugasnya yang rata-rata bermuka bengis dan memegang papan tek-pal untuk merangket orang. Seolah olah sidang di istana Giam-lo-ong (raja neraka) untuk mengadili sesosok arwah yang amat berdosa.

Chow Talpan dan lain-lainnya lebih dulu berlutut kepada sosok tubuh di belakang meja yang konon merupakan perwujudan keadilan itu, kemudian sidang dimulai. Sebagian besar dari pembicaraan ternyata dipakai oleh Isteri Chow Taipan yang bicara seperti petasan renteng. Tikoan sendiri nampak berat sebelah, maklum, dalam kantongnya sudah gemerincing uang pemberan Chow Taipan lewat pesuruhnya tadi.

Pak. Kiong Eng sendirl segera merasa bahwa sidang pengadilan itu hanyalah sandiwara memuakkan, hatinya meronta penasaran bahwa hukum dan keadiIan di jungkir-baIikkan demi keamanan komplotan komplotan busuk yang menguasai desa itu.

Benar juga, setelah mengaku “mendengarkan semua pihak dengan adil dan seksama", Tikoan memutuskan pihak Chow Taipan "tidak bersalah" dan tidak perlu minta maaf atau mengganti rugi. Malah si pengemis cilik dituduh “penyamun yang hendak memeras dengan mengandalkan kekerasan". Untuk Itu, si jembel cilik akan kebagian tigapuluh gebukan dengan papan tek-pal dan diusir dari desa, sedang Pak Kiong Eng akan dijebloskan kepenjara karena terlalu cant Ik untuk diusir sebeium "dimanfaat kan" duIu.

Keruan Pak Kiong Eng meluap darahnya. Ketika melihat Tikoa dan Chow Taipan saling melirik dan bertukar senyuman beberapa kali. Sadarlah Pak Kiong Eng bahwa si “pelelang keadilan” dan si “gudang uang” adalah sekomplotan dalam menindas orang-orang kecil dan tak berdaya. Ketika dua tukang rangket anak buah Tikoan mendekati si Jembel cilik untuk mulai menggebuk, Pak Kiong eng habis sabarnya.

“Bangsat! Kau tidak patut duduk dikursi itu!” teriaknya sambil menuding Tikoan. Dua anak buah Tikoan yang merintanginya telah disengkelitnya dengan mudah.

Tikoan sendiri tidak kaget melihat amukan Pak Kiong Eng, sebab dari pesuruh Chow Taipan ia sudah mendengar kegarangan “Penyamun perempuan” itu. Untuk mengatasinya, Tikoan di belakang gedung sudah menyiapkan sebuah pasukan di bawah pimpinan Thio Thong leng. Begitu Pak Kiong Eng mengamuk, Tikoan perintahkan semua anak buahnya untuk meringkus Pak Kiong Eng dan si jembel cilik. Sedangkan salah satu disuruh memberitahu Thio Thong Leng dan anak buahnya untuk menyerbu kedalam.

Cho Taipan dan keluarganya nampak berseri bangga melihat apa yang terjadi. Ia tahu, diluar gedung banyak penduduk desa yang menonton. Itu kebetulan, supaya orang-orang desa semakin takut kepadanya setelah sekali lagi ia memamerkan kekuasaannya, apalagi nanti kalau Thio Thongleng sudah dating dengan pasukannya.

Pak Kiong Eng bergerak kurang leluasa, sebab selain membela dirinya sendiri juga harus melindungi si jembel cilik. Ia gandeng tangan si jembel cilik untuk mendesak kearah pintu keluar, setelah merobohkan beberapa lawan. Bahkan kemudian ia berhasil merampas sebuah toya rotan yang digunakan untuk menerjang sekawanan serigala.

“Ikuti terus di dekatku!” pesannya kepada si jembel cilik. “Aku lindungi kau sampai ketempat aman!”

“Wah, bibi benar-benar seorang pesilat hebat!” tanpa keliatan ketakutan.

Sikap yang membuat Pak Kiong Eng tambah menyukainya. Dan semakin besar keinginannya untuk merawat jembel cilik itu di Tiau-im-hong sebagai anak angkatanya, kalau benar-benar ia tidak mempunyai orang tua dan tempat tinggal. Namun ketika Pak Kiong Eng hamper sampai ke pintu keluar, menghambur masuklah sepasukan perajurit kerajaan dipimpin seorang perwira gemuk bernama Thio Ban yang sering dipanggil Thio Thongleng.

Perwira ini adalah keponakan Chow Taipan. Sehingga makin kokohlah komplotan penindas rakyat di desa itu. Biarpun Tiho Ban gemuk seperti pamannya, tapi ototnya keras, ilmu silatnya pun lumayan.

Begitu masuk, ia segera berseru garang, “Mana penyamun wanita dan jembel cilik yang mengacau disini?!”

Chow Taipan makin tenang melihat kedatangan keponakannya itu. Sahutnya dari belakang meja Tikoan, “Yang berpakaian putih itu, A-ban! Tangkap di hidup-hidup, jangan dibunuh!”

“Baiklah, paman!”sahut Thio Ban. Sungguh tak menyangka kalau si “penyamun” begitu cantik, pantas pamannya menginginkan hidup-hidup. Tetapi ketangkasan si “penyamun” dalam mengkocar-kacirkan anak buahnya dengan sebatang toya rotan membuatnya heran juga. “Aku harus hati-hati.” Pikirnya.

Thio-ban lalu mengambil sebatang toya rotan pula dari seorang anak buah Tikoan, lalu melompat ke tengah gelanggang sambil memerintahkan anak buahnya. “Mundur semua!, biar aku tangkap sendiri penyamun ini.“

Para perajurit mundur, sebagian dari mereka harus diseret atau digotong teman-temannya karena kaki mereka sudah terlanjur patah kena toya rotan Pak Kiong Eng. Sementara itu, si jembel cilik tidak tega melihat dewi penolongnya malah menghadapi Thio Ban lalu mengambil sebatang toya rotan pula dari tangan seorang anak buah Tikoan, lalu melompat ketengah gelanggang bahaya yang semakin besar dari pihak para perajurit, ia melompat keluar dari balik tubuh Pak Kiong Eng sambil berserur penuh wibawa.

“Semua berhenti berkelahi dan dengarkan aku!”

Aneh bin ajaib. Thio Ban yang galak itu tiba-tiba pucat wajahnya ketika melihat si jembel cilik, seolah melihat hantu disiang bolong. Lututnya tiba-tiba gemetar, toya rotannya jatuh dari tangannya, lalu berlututlah ia sambil berkata gemetar, “Hamba bersembah sujud kepada Thai-hong-cu (Putera Mahkota)."

Semua prajurit bawahan Thio Ban sebenarnya juga belum kenal bagaimana wajah pangeran Hong Lik, si Putera Mahkota, tapi begitu Thio Ban berlutut dengan hormat, merekapun serempak berlutut dan menghormat. Gemuruhlah ruangan tersebut oleh seruan serempak,

"Sembah sujud untuk Thai-hong-cu!"

"Bangunlah", perintah Pangeran Hong Lik, yang ternyata mewarisi kegemaran kakeknya, Kaisar Khong-hi, dan ayahnya, Kaisar Yong Ceng, yaitu gemar berkeluyuran di luar istana dengan menyamar. Dan kali ini menyamar sebagai si jembel cilik yang nyaris di rangket oleh komplotan Chow Taipan.

Kembali ruangan itu bergetar oleh suara Thio Ban dan pasukannya, "Terimakasih, Thai- hong-cu!"

Mereka semua lalu berdiri dengan sikap tertib militer. Tubuh tegak, kepala agak menunduk, dan kedua tangan lurus merapat disamping tubuh. Suasana hiruk-pikuk di gedung itu ditukar suasana hening mencekam, kalau ada yang bernapas keras sedikit saja pasti akan kedengaran seperti suara prahara. Semua perhatian terpusat kepa da Pangeran Hong Lik yang berdiri anggun ditengah ruangan.

Sedangkan Pak Kiong Eng sungguh tak menduga kalau si "jembel cilik" yang dikaguminya itu adalah putera Kaisar Yong Ceng, musuh besar yang menculik kedua anaknya. Sekilas timbul godaannya, bagaimana kalau kutangkap Hong Lik, untuk memaksa Yong Ceng agar membebaskan putera-puteranya? Namun Pak Kiong Eng ragu-ragu menuruti godaan itu, biarpun Hong Lik hanya berdiri selangkah daripadanya dan tidak sulit untuk meringkusnya.

Saat itu Hong Lik tidak sedang sebagai anak musuhnya melainkan sebagai sosok yang mewakili sesuatu yang agung. Keadilan. Hong Lik saat itu tak ubahnya Sang Keadilan sendiri, karenanya Pak Kiong Eng hanya berdiri membeku di tempatnya, tak tau harus berbuat apa.

Pangeran Hong Lik berpaling kepada Pak Kiong Eng sambil tersenyum dan berkata, "Terima kasih atas perlindurganmu kepadaku tad, Bibi. Bibi seorang yang berhati luhur, terhadap seorang jembel cilikpun mau bersusah-payah untuk membelanya."

Hati Pak Kiong Eng tergetar. Kesan pertamanya terhadap bocah itu memang baik, sulit dihapus biarpun kemudian tahu bahwa bocah itu putera si diktator Yong Ceng. Panggilan "bibi” itu juga tepat kalau menurut cara kekeluargaan, sebab ayah Pak Kiong Eng dan kakek Hong Lik bersaudara misan. Lebih dari hubungan kekeluargaan, Pak Kiong Eng mendambakan kekaisaran diperintah seorang raja yang adil dan bijaksana, dan nampaknya Hong Lik kelak akan menjadi raja dambaan macam itu.

Demi menjaga martabat Putera Mahkota di hadapan banyak orang, Pak Ki-ong Eng berlutut sambil berkata, "Hamba mohon maaf karena tadi tidak tahu berhadapan dengan Pangeran, sehingga sikap hamba kurang sopan."

"Bangkitlah, bibi. Bibi tidak bersalah....”

Selanjutnya,