X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga I Jilid 09 Karya Stevanus S.P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 09

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
LIONG KE TOH memang cerdik, ia tidak mengadu-domba dengan cara yang kasar melainkan dengan cara yang halus. Kalau ia bicara mengakui Pak Kiong Liong sebagai komplotan Kaisar Yong Ceng tentu In Te takkan gampang percaya, menganggap sebagai usaha mengadu-domba belaka.

Namun Liong Ke Toh justru pura-pura membantah seakan-akan betul-betul takut kalau "pengkhianatan" Pak Kiong Liong akan tercium oleh Pangeran In Te maka Pangeran In Te mulai dihinggapi dugaan, jangan-jangan Pak Kiong Liong memang "ular berkepala dua"?

Pangeran In Te menoleh kepada Pak Kiong Liong disampingnya. Biarpun tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi sorot matanya memancarkan kecurigaan kepada pamannya itu.

Pak Kiong Liong tersayat hatinya melihat sikap itu. Katanya, "Apakah Pangeran akan menelan mentah-mentah ucapan si ular tua Liong Ke Toh itu? Sadarlah bahwa tujuannya memang menimbulkan saling curiga antara kita sehingga kedudukan kita menjadi lemah dan gampang di kalahkan..."

"Tadi malam aku pergi kekemah Paman hendak mengajak Paman memperbincangkan sesuatu, ternyata kujumpai kemah yang kosong. Semalam Paman pergi ke mana?"

Pak Kiong Liong tidak ingin memberikan jawaban yang berbelit-beliit supaya tidak menambah prasangka Pangeran In Te. Jawabnya langsung, "Semalam memang hamba menyelundup masuk ke is tana untuk berbicara dengan Pangeran In Ceng."

"Membicarakan apa?"

"Macam-macam persoalan. Antara lain bagaimana membebaskan Ibu suri Tek Huai dari tekanan salah satu pihak, agar perundingan berjalan dengan adil tanpa ada pihak yang merasa tertekan. Juga tentang tempat perundingan, waktunya, berapa banyak pengawal yang boleh dibawa oleh kedua pihak, dan sebagainya."

Pangeran In Te mengangguk-anggukkan kepala, tetapi bukan suatu kepastian bahwa ia dapat menerima penjelasan Pak Kiong Liong. Apalagi dari atas tembok masih terdengar caci maki Au yu Beng dan Utti Hui Pa terhadap Pak Kiong Liong.

"Kalau tujuan Paman demi kebaikan ku, kenapa harus pergi secara diam-diam tanpa memberitahu aku?" tanya In Te bimbang, karena hatinya mulai menyangsikan ketulusan Pak Kiong Liong.

"Hamba minta maaf, Pangeran. Hamba kira Pangeran sudah beristirahat dan hamba tidak ingin mengganggu Pangeran."

"Hemm," dengus In Te.

Dari atas tembok Liong Ke Toh melihat sikap In Te dan Pak Kiong Liong, dan tertawa dalam hati karena tahu suntikan perpecahan" yang dia lakukan sudah membawa hasil. Maka iapun tidak membiarkan Au Yu Beng dan Utti Hui Pa berteriak-teriak lebih lama lagi. Dengan sebuah isyarat, ia suruh algojo-algojonya beraksi untuk memenggal kepala Au Yu Beng dan Utti Hui Pa.

Pangeran In Te murka melihat itu, "Paman Liong, aku harus membuat perhitungan secepatnya denganmu! Paman pikir hari ini juga aku tidak bisa merebut kota Pak-khia dan menghukum Paman?”

Dari atas tembok, Liong Ke Toh menjawab seenaknya, "Hamba percaya Pangeran bisa berbuat demikian. Tetapi harap Pangeran harap berbelas kasihan kepada Ibusuri Tek Huai, kalau Pangeran mulai menggempur maka Ibusuri Tek Huai barangkali akan mengalami sesuatu yang menyedihkan..."

Itulah ancaman terselubung terhadap keselamatan Ibusuri, tepat mengenai titik kelemahan Pangeran In Te yang dengan mendongkol kembali ke per-kemahannya. Dalam perjalanan kembaIi ke perkemahan, sepatah katapun In Te tidak mengajak Pak Kiong Liong bercakap-cakap. Pak Kiong Liong ditinggalkan semakin jauh di belakang, sedang In Te asyik berbicara dengan jenderal-jenderal yang lain.

Hanya Bok Eng Siang yang melambatkan kudanya supaya bisa berjajar dengan Pak Kiong Liong, dan bertanya, "Goan-swe, apakah benar yang dituduhkan oleh Au Yu Beng dan Utti Hui Pa tadi?"

Pak Kiong Liong menyeringai pahit, "Andaikata aku terangkan sampai ludahku kering dan mulutku sobek, bisakah Pangeran In Te tetap mempercayai aku? Hanya sebuah tindakan nyata yang akan bisa membuktikan ketulusanku dalam mendukung Pangeran In Te."

"Tindakan nyata yang bagaimana maksud Goan-swe?"

"Lihat saja nanti."

Sesungguhnya Pak Kiong Liong telah merencanakan sebuah tindakan yang mirip dengan kedelapan orang jenderal In Te yang nekad itu, membebaskan Ibu suri Tek Huai dari cengkeraman Yong Ceng secara kekerasan. Selain untuk memperlancar perjuangan Pangeran In Te merebut haknya, juga untuk memulihkan kepercayaan Pangeran In Te terhadap dirinya. Semua itu dilakukan bukan karena mengharap kemuliaan apabila kelak In Te naik tahta, namun sekedar menjalankan amanat mendiang Kaisar Khong Hi. Setelah In Te naik tahta kelak, Pak Kiong Liong justru ingin mengundurkan diri dari pemerintahan untuk hidup tenang di Tiau-im-hong yang sunyi dan indah, bersama dengan sahabatnya dan be-sannya, Ketua Hwe-tiong Liong-pang Tong Lam- hou, puterinya dan cucu-cucunya.

Malamnya, ketika perkemahan Pangeran In Te sudah sepi, Pak Kiong Liong lolos keluar dengan mengenakan pakaian hitam ringkas. Seperti seekor burung saja ia "terbang" dan tembok kota Pak-khia dilaluinya dengan gampang lalu langsung menuju ke istana. Kali ini ia tidak akan menemui dan membujuk Kaisar Yong Ceng yang selalu dikelilingi pengawal-pengawal pribadinya, melainkan bermaksud membawa lari Ibusuri Tek Huai. Dengan taruhan nyawanya.

Sebagai seorang kerabat istana, Pak Kiong Liong paham liku-liku istana dan tahu dimana Ibusuri biasanya tinggal. Didatanginya tempat itu dan dilihatnya pengawalan yang berlapis-lapis, bahkan di atas gentengpun nampak beberapa bayangan pengawal yang berlompatan ringan. Kebanyakan dari nereka adalah jagoan-jagoan pribadinya Kaisar Yong Ceng yang berseragam jubah ungu, jagoan-jagoan yang berhasil dikumpulkan Yong Ceng semasa ia belum naik tahta dan masih berkeliaran di dunia pesilatan dengan nama samaran Su Liong Cu.

Pak Kiong Liong merasa kesulitan besar kalau hendak masuk ke kediaman Ibusuri itu, karena penjagaan begitu ketatnya. Kaisar Yong Ceng menjaga Ibu suri bukan karena menyayanginya, melainkan karena Ibusuri dianggapnya penangkal" yang ampuh menghadapi tuntutan Pangeran In Te. Maka yang menjaga kediaman Ibusuri itu adalah gabungan dari pengawaI pengawal Han-Lim-kun, para pendeta Lama, Lwe-teng Wisu (Pengawal Istana) dan jagoan-jagoan berjubah ungu. Itu adalah gabungan yang lebih kokoh dari selapis tembok baja sekalipun.

Sekian Lama Pak Kiong Liong mengintai dan sebuah peluang untuk bertindak belum juga muncul. Tiba-tiba dilihatnya tiga orang jagoan berjubah ungu berjalan kearah persembunyiannya. Langkah mereka mantap, lurus dan ringan, menandakan bahwa merekalah jagoan-jagoan tangguh. Pak Kiong Liong yakin dapat mengalahkan mereka bertiga, namun pasti menimbulkan keributan yang akan memancing datangnya jago-jago istana lainnya. la tidak ingin bertindak setolol kedelapan orang bawahannya Pangeran In Te.

Sementara itu terdengar salah seorang dari tiga orang itu bicara kepada teman-temannya, "Para keledai gundul dari Tibet itu semakin lama semakin memuakkan. Mereka bertingkah laku seolah-olah lebih berkuasa dari Hong-siang sendiri. Dalam peristiwa kemarin malam, mereka bentrok dengan Pengawal istana, dan akhirnya mereka semakin besar kepala sebab Hong-siang membela mereka."

Temannya menyahut, "Akupun mulai jemu berada di istana ini. Dulu kita mendukung Pangeran In Ceng merebut tahta, karena terpikat oleh janjinya untuk mengangkat martabat Bangsa Han sederajat dengan Bangsa Manchu, tetapi kini Hong siang agaknya sudah lupa kepada janjinya, sekilaspun tak pernah lagi menyebut-nyebutnya. Biarpun aku diberi kedudukan enak dan harta berlimpah, aku merasa berdosa kepada jutaan rakyat Han kalau tidak bisa mengubah keadaan.”

"Betul," sahut orang ketiga, "Apa gunanya kita hidup enak di istana ini kalau sudah meninggalkan landasan cita cita kita, cita-cita Bangsa Han?"

Mendengar itu, Pak Kiong Liong diam-diam menghargai mereka. Nyata mereka berada di pihak Kaisar Yong Ceng bukan karena sekedar mencari kedudukan empuk, namun demi sebuah cita-cita yang luhur. Saat itu pula Pak Kiong Liong baru paham kenapa Yong Ceng mendapat dukungan begitu banyak pendekar, terutama dari Kang-lam, yaitu karena mengobral janji apabila naik tahta akan mengangkat martabat Bangsa Han.

Biarpun Pak Kiong Liong sendiiri seorang Manchu asli, ia merasa amat cocok dengan gagasan persamaan derajat itu. Dia paham, karena perasaan kesukuan sudah bisa digantikan rasa persatuan, barulah kekaisaran akan kokoh. Kalau semangat untuk bersatu sudah membara, akan terbakar habislah urusan asal-usul kesukuan atau silsilah keturunan.

Sebaliknya jika ingin memecah-belah sebuah negara, biarpun rakyatnya berasal dari satu keturunan juga gampang saja mencari-cari kesalahan orang lain, untuk dibesar-besarkan atau dikobar-kobarkan, dan akhirnya dijadikan alasan untuk saling berperang.

Sementara itu, ketiga pengawal itu terus menggerutu dengan penasaran. “Ya, pendekar Bangsa Han-lah yang menempuh bahaya untuk mencuri Surat Wasiat Kaisar Khong Hi dan mengganti huruf hurufnya sehingga Pangeran In Ceng yang naik tahta, tapi nampaknya sekarang keinginan Bangsa Han itu sudah dilupakan Kaisar. Sedang pendeta-pendeta Tibet itu pernah berbuat jasa apa? Namun lagak mereka kini seperli pemilik tempat ini...."

Di persembunyiannya, Pak Kiong Liong terkejut mendengar itu. Pecahlah teka-teki yang selama ini menyelimuti benaknya, kenapa ketika Surat Wasiat dibacakan di hadapan para bangsawan dan pembesar ternyata Pangeran keempat yang terpilih, bukan Pangeran keempat-belas yang sudah "dijagokan" banyak orang.

Kiranya ada orang yang berhasil mencuri Surat Wasiat, mengubah huruf-hurufnya dan mengembaIikannya ketempat semula. Siapapun pelakunya, pasti seorang luar biasa karena sanggup menembus penjagaan di istana yang berlapis-lapis, bahkan tanpa diketahui.

Kemarahan Pak Kiong Liong menggelegak setelah jelas bahwa Kaisar Yong Ceng memperoleh kedudukannya dengan cara yang tidak syah. Namun Pak Kiong liong tldak mungkln marah kepada para pendekar Bangsa Han, sebab mereka hanyalah diperalat, ditipu seolah-olah cita-clta mereka akan dikabulkan, Seandainya Pak Kiong Liong seorang Han, mungkin sekali juga akan berbuat demikian.

Karena kemarahannya, tangan Pak Kiong Liong mencengkeram sebatang pohon sekuat tenaga, bahkan sambll mengerahkan pula ilmu Hwe-Liong-sin-kangnya. Maka batang pohon itupun tercengkeram hancur hampir setengah batangnya, bahkan meninggalkan bekas hangus sepert habis disambar petir.

Namun gerakan kecil Itu menimbulkan suara gemerisik lirih yang sudal cukup untuk tertangkap kuping ketiga pengawal itu. Mereka memang bukan pengawal-pengawal sembarangan, melainkan yang dikenal dengan Heng-san-sam-kiu (Tiga Pedang Heng San) yang terkenal dl Kang-Iam. Serempak ketiganya memutar badan menghadap persembunyian Pak Kiong liong.

Saudara perguruan tertua yang bernama Ho Se liong dan bergelar Jiang ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) telah menghunus pedang sambil membentak, "Siapa bersembunyi disitu? Keluar!"

Sementara saudara seperguruan ketiga sudah bertindak lebih jauh dengan menaburkan beberapa hiu-piau. la bernama Teng Jiu dan bergelar Hui-kiam-eng (Satria Pedang Terbang). Senjata-senjata rahasia yang dilontarkannya mendesis kencang menuju persembunyian Pak Kiong Liong.

Namun senjata-senjata rahasia yang terbuat dari logam pilihan itu mendadak runtuh di tengah jalan, tersambar beberapa sinar hijau. Betapun kagetnya Teng Jiau ketika melihat bahwa yang meruntuhkan senjatanya itu hanyalah pucuk-pucuk ranting hijau yang agaknya dipetik sembarangan saja dari tangkainya. Ranting-ranting yang begitu ringan dan lunak ternyata bisa membentur jatuh hiu-piau yang berat dan keras, mengisyaratkan kalau si pelempar amat mahir dalam tenaga dalam.

"Hati-hati, lawan tangguh!" Teng Jiau memperingatkan kedua kakak seperguruannya.

Sedangkan Pak Kiong Liong yang tidak sudi tertangkap seperti kedelapan orang bawahan Pangeran In Te, cepat melompat keluar dari persembunyiannya, seringan asap berhembus angin, tubuhnya telah membubung dan hinggap di atas atap istana. KembaIi pameran ilmu yang mengejutkan ketiga pengawal itu.

"Kejar!" teriak Jian-ing-kiam Ho Se Liang. Betapapun ketidak puasannya terhadap Kaisar Yong Ceng yang seolah-olah melupakan tuntutan Bangsa Han, tapi ia tetap merasa punya tanggung jawab dalam tugasnya mengamankan istana. Diapun segera melompat keatas genteng, disusul kedua adik seperguruanya.

Saudara seperguruan kedua bernama Au Yang Kong, bergelar Lam-thai-hong (Prahara dari Selatan) karena kehebatan Ilmu meringankan tubuhnya. Maka diapun menarik napas dalam dalam dan mengerahkan semangatnya, tubuhnya seakan kehilangan bobot dan melesat ke depan bagaikan anak panah lepas dari busurnya.

Sesungguhnya Pak Kiong Liong sendiri tidak bias mondar-mandir seenaknya, sebab daerah seluar beberapa li. Dengan sombong Po Goan Lama menghadang, meskipun sudah mengenal siapa yang dihadangnya itu. Bentaknya, “Pak Kiong Liong, kau dating untuk mengacau, berarti sudah bosan dengan nyawamu sendiri!” lalu ujung senjatanya menyerang dengan jurus Se-ceng-pai-hud (Se-ceng Menyembah Buddha).

Selicin belut Pak Kiong Liong melejit ke samping, sehingga ujung senjata Po Goan Lama hampir saja mengenai Au Yang Kong yang mengejar kencang di belakang Pak Kiong Liong. Untunglah oleh Au Yang Kong berhasil dihindari dengan menarik tubuh dengan gerak Yan-cu hoan-sin (Burung Walet Membalikkan Tubuh), namun memberi kesempatan kepada Pak Kiong Liong untuk kabur semakin jauh.

Namun belum berarti jalan bagi Pak Kiong Liong sudah licin dan aman setelah lolos “dari kejaran Au Yang Kong dan hadangan Po Goan Lama. Seorang bekas bandit dari pegunungan Tiang-pek-san yang bernama Hap Seng To dengan bersenjata tombak bermata dua, mencoba mendirikan pahala dengan menjepitkan tombaknya ke leher Pak Kiong Li ong.

Pak Kiong Liong tertawa dingin keika mengenali siapa lawan barunya, "Wah, kekaisaran ini bisa ambruk kalau. kaum banditpun memenuhi istana dan mendapat seragam pengawaI..."

Sambil bicara, tangkas sekali tangan kanannya meraih dan menarik sebatang tombak lawan, dibarengi kaki kanannya menendang deras dan Hap Seng To pun menggelundung ke bawah atap dalam keadaan Iuka parah, sementara senjatanya sudah beralih ke tangan Pak Kiong Liong. Sekelompok jagoan pengawal lainnya yang datang susul-menyusul segera berturut-turut menjadi korban Pak Kiong Liong. Mendadak Pak Kiong Liong mendengar suara gemerincing di angkasa, dan sebuah topi kulit besar berpisau telah menyambar ke kepalanya, dikendalikan seutas rantai tipis. Rupanya Biau Beng Lama sudah datang pula dan langsung "memeriahkan" arena.

Dengus Pak Kiong Liong "Hem, senjata keji yang sudah makan banyak korban tak berdosa, biar kuhancurkan saja."

Lalu ia melompat ke atas sambil menghantamkan tombaknya ke arah Hiat-ti-cu itu, dengan kekuatannya yang dahysat, maka remuklah senjata itu dan jatuh ke tanah, tidak peduli berkerangka besi. Tinggal Biau Beng Lama memegang rantainya saja.

Keruan pendeta Tibet itu merasa amat kehilangan muka karena senjata kebanggaannya rontok begitu gampang, disaksikan banyak mata. Rantai Hiat-ti-cu di buangnya, lalu golok kai-to di punggungnya dihunus dan ia melompat menyerang Pak Kiong Liong. Tentu saja serangannya jauh lebih berbahaya dari Po Goan Lama.

Namun Pak Kiong Liong tidak ingin meladeninya, sebab sadar dirinya sendirian saja di tengah-tengah sarang musuh. Kalau ia sampai tak bisa lolos, barangkali besok fajar batok kepalanya sudah akan terpancang di ujung sebatang tornbak di atas pintu gerbnng Pak-Khia.

la menghindar ke samping, membalas dengan gerak tipu Hun-liong-san-hian (Naga Muncul Tiga Kali di Mega) yang berhasil memaksa Biau Beng Lama mundur dan Pak Kiong Liong sendiripun melesat meninggalkan arena.

Namun Biau Beng Lama terus memburu dengan penasaran, mumpung di kandang sendiri, sedangkan tiga pendekar Heng-san-sam-kiam malah menghentikan kejaran mereka. Rasa tidak senang terhadap kaum Lama yang sok kuasa di istana membuat ketiga pendekar itu lebih suka membiarkan Biau Beng Lama sendirian mengejar Pak Kiong Liong.

Po Goan Lama segera menegur mereka, "He, kenapa kalian malah berpeluk tangan seakan-akan menonton lomba lari? Bantulah kami menangkap Pak Kiong Liong!"

Sahut Jian-ing-kiam Ho Se Liang acuh tak acuh, "Biau Beng Lama berkepandaian amat tinggi seperti dewa, bantuan kami yang berilmu rendah ini tentu takkan berarti."

Lalu Lam-tai-hong Au Yang Kong menyambung ucapan suhengnya, “Lagi pula kami hanya bertugas menjaga kediaman Tuan Puteri Tek Huai, kami tak berani meninggaIkan tempat jaga kami. Keamanan di tempat lain menjadi tanggung jawab kelompok lain pula."

Alangkah mendongkolnya Po Goan Lama mendapat jawaban-jawaban macam itu. Tapi ia tidak berani memaksa karena khawatir terjadi ketegangan seperti kemarin malam. Kemarin, kaum Lama nyaris berbaku bantam dengan pengawal istana anak buah Bu Kun Liong, dan kini Po Goan Lama tidak ingin menambah musuh dari kelompok Pengawal Jubah Ungu yanq diperintah langsung oleh Kaisar Yong Ceng itu. Terpaksa ia menyusul gurunya sendirian saja.

Sementara itu Pak Kiong Liong telah tiba di sebuah halaman yang ada kolam teratainya, tempat di mana semalam sebelumnya delapan jenderal bawahan Pa ngeran In Te mengalami nasib konyol. Ketika Pak Kiong Liong menoleh kebelakang, beberapa pendeta Lama bercampur beberapa jagoan berjubah ungu yang tidak sependapat dengan Heng-san-sam-kiam, tengah memburu dengan sengit.

Ketika itulah sepasukan pengawal Lwe-teng Wisu muncul di hadapannya, di pimpin sendiri oleh Bu Kun Liong yang bersenjata tombak Hong-thian-kek. Hampir saja Pak Kiong Liong mengamuk tak memperdulikan korban jiwa, karena ia enggan tertangkap, tetapi ia heran ketika melihat sikap Be Kun Liong yang nampaknya tidak hendak berkelahi, meskipun memegang senjatanya.

Begitu Pak Kiong Liong dekat Be Kun Liong menyongsongnya dan berkata perlahan, "Kita pura-pura bertempur, Goan-swe, lalu kaburlah ke arah bukit Bwe-san di barat. Penjagaan di sana agak longgar karena Hong-siang sedang berada di tempat lain."

Pak Kiong Liong tercengang mendapat sambutan macam itu, dan iapun percaya kepada Be Kun Liong menilik sorot matanya yang memancarkan kejuiuran dan kesungguhan. Sebelum terjadi persaingan antar putera-putera Kaisar KhongHi, Be Kun Liong memang punya hubungan baik dengan Pak Kiong Liong. Kini biarpun mereka berdiri dikubu-kubu yang berseberangan, Be Kun Liong tetap hormat kepada Pak Kiong Liong dan belum ingin menganggapnya sebagai musuhnya. Sikap yang antara lain juga disebabkan oleh kebenciannya terhadap golongan Lama yang di istana makin berpengaruh dan dimanjakan oleh Kaisar Yong Ceng.

Kedua "liong" itupun bertempur pura-pura beberapa jurus, dan begitu kelompok pendeta Lama sudah mengejar dekat, Be Kun Liong pura-pura roboh tersambar sapuan kaki Pak Kiong Liong. Pak Kiong Liong sendiri kabur ke arah yang ditunjukkan Be Kun Liong tadi. Memang benar, tempat itu agak kendor penjagaannya, sehingga Pak Kiong Liong dapat melewatinya tanpa banyak kesulitan Beberapa kelompok pengawal yang berpapasan dengannya boleh mengucapkan syukur, sebab Pak Kiong Liong hanya merobohkan mereka tanpa mencabut satu nyawapun.

Tujuan Be Kun Liong sebenarnya hanyalah ingin mencari gara-gara dengan kaum Lama. Kalau kaum Lama marah-marah kebetulan, syukur-syukur kalau berkelahi sekalian. Begitu melihat kelompok Lama hendak mengejar terus melintasi halaman itu. cepat Be Kun Liong berteriak. "Berhenti! Ini adalah wilayah tanggung jawab penjagaan kami!"

Biau Beng Lama memprotes jengkel, "Tetapi kami sedang mengejar buronan! Kalian bukannya membantu kami, tapi malah merintangi kami?"

"Tidak perduli sedang mengejar buronan atau mencari jangkerik, wilayah tanggung-jawab masing-masing kelompok harus tegas," sahut Be Kun Liong ngotot. Tidak perduli ucapannya masuk akal atau tidak, yang penting ngotot dulu, dan cari gara-gara. "Jangan coba-coba melintasi halaman ini. Kalau ada buronan masuk wilayah kami, biar kami yang menanganinya, kalian tetap di tempat masing-masing saja!"

Betapa mendongkolnya Biau Beng Lama, selagi terburu-huru akan menangkap Pak Kiong Liong untuk mencari muka terhadap Kaisar, tak terduga malah terbentur urusan macam ini. la nengacung-acungkan goloknya sambil mengancam, "Sejak kapan muncul peraturan gila ini? Hari-hari sebelumnya kami bebas bergerak di tempat ini untuk nenjaga Keamanan, kenapa sekarang mendadak ada peraturan macam ini?"

Sahut Be Kun Liong seenaknya, "Memang ini peraturan terbaru yang baru kubuat beberapa detik yang lalu. Begitu aku melihat mukamu, begitu pula peraturan ini muncul. Sekarang menyingkirlah!"

Sikap anak buah Be Kun Liong sejalan dengan komandan mereka. Yang bersenjata bedil sudah bersiap-siap menarik pelatuk, sedang yang bersenjata tombak dan pedangpun bersiaga pula, berharap agar mereka mendapat kesempatan membacok para Lama agar terlampiaskan sakit hati mereka atas kematian se orang teman mereka kemarin malam.

Kini jelas bagi Biau Beng Lama bahwa Be Kun Liong memang sengaja mempermainkannya. Namun Biau Beng Lama enggan bertengkar malam itu, hanya berjanji dalam hati akan melakukan pembalasan terhadap Be Kun Liong di kemudian hari. Terpaksa Biau Beng Lama bermaksud membawa anak buahnya memutar jalan lain untuk mengejar Pak Kiong Liong, meskipun ia sadar sudah kehilangan banyak waktu untuk berdebat dengan Be Kun Liong.

Namun baru saja Biau Beng Lama berbalik hendak pergi, Be Kun Liong sudah berkata lagi, "Eh, eh, jangan pergi dulu..."

"Ada apa lagi?" tanya Biau Beng Lama hampir habis kesabarannya.

Sambil bertolak pinggang, Be Kun Liong berkata, "Peraturan tadi sudah kucabut...."

"Jadi.... kami boleh lewat sini?"

"Boleh, boleh. Tapi ada peraturan baru...."

"Apa?"

"Kaum Lama yang lewat wilayah jagaku harus merangkak sambil menunggingkan pantatnya tinggi-tinggi..." kata Be Kun Liong. "Kalau tidak, kuperintahkan anak buahku menembak pantat kalian, ingin kulihat bagaimana wujudnya Lama tanpa pantat..."

Be Kun Liong tak sempat menyelesaikan kata-katanya, sebab Po Goan Lama telah berteriak kalap sambil menyerangkan senjata Hong pian-jannya, "Be Kun Liong! Kau keterlaluan menghina kami.“

Namun serangan itu berhasil ditangkis oleh tombak Be Kun Liong, lalu membalas tak kalah hebatnya. Selama kedua pihak hanya saling mengejek, jagoan-jagoan berseragam ungu hanya menonton saja, anggap saja sebagai pertunjukkan lawak. Tapi setelah Be Kun Liong dan Po Goan Lama bergebrak, mau tak mau para jagoan jubah ungu harus turun tangan memisahkan mereka.

Seorang jagoan jubah ungu melompat ke tengah gelanggang, menyilangkan sepasang pedang pendeknya untuk menangkis tombak Be Kun Liong sambil berse-ru, "Be Congkoan, urusan di antara teman sendiri harap diselesaikan dengai damai. Jangan sampai Hong-siang marah kalau sampai mendengar kejadian ini."

Sementara seorang jagoan jubah ungu lainnya menggunakan toya untuk menangkis senjata Po Goan Lama sambil membujuk, "Sabarlah, Seng-jin. Barang kali Be Congkoan hanya bermaksud berkelakar...."

"Berkelakar emakmu" bentak Po Go an Lama.

Si jagoan jubah ungu yang dibentak itu kontan merah padam wajahnya dan balas membentak. "Ibuku hidup tenteram di desa, kenapa dibawa-bawa dalam urusan ini?"

Muka Po Goan Lama berubah menjadi pucat , lalu merah padam, lalu pucat lagi, sementara mulutnya gelagapan tak tahu apa yang harus dikatakan. Demikianlah, dengan turun tangannya para jagoan berjubah ungu untuk melerai pertengkaran, membuat kaum Lama maupun para pengawal istana sama-sama sungkan, karena kelompok berjubah ungu itu merupakan kelompok berpengaruh pula dalam istana, bawahan langsung Kaisar Yong Ceng.

Tidak banyak yang tahu bahwa kelompok jubah ungu sendiripun sebenarnya tidak kompak, karena mereka terdiri dari bermacam-macam manusia dari berbagai latar belakang dan tujuan. Ada jagoan golongan hitam yang diundang ke istana, diberi seragam pengawal, dan menganggap kedudukan barunya itu sebagai "ladang" baru untuk mencari ke untungan diri sendiri. Sedangkan sebagian lagi memendam cita-cita tersendiri, misalnya Heng-san-sam-kiam, yang tujuannya ialah ikut mempengaruhi jalannya pemerintahan demi kepentingan Bangsa Han.

Dengan begitu, kubu Kaisar Yong Ceng kelihatan kuat selalu dilihat dari luar, namun persatuan antara kelompok-kelompok itu sebenarnya rapuh. Masing-masing kelompok menyimpan kepentingannya sendiri-sendiri.

Pertengkaran usai karena turun tangan pihak ketiga, tapi masing-masing pihak menyimpan benih sakit hati dalam diri mereka. Kalau mereka berpapasan di halaman-halaman istana, sorot mata mereka yang penuh kebencian saling menatap dan terasa lebih tajam dari pedang.

Tanpa diketahui para penjaga, Pak Kiong Liong tiba kembali di perkemahan pasukan Pangeran In Te sebelum fajar. Biarpun gagal membebaskan Ibusuri Tek Huai karena belum-belum sudah ketahuan para penjaga istana, namun Pak Kiong Liong merasa apa yang diperolehnya malam itu tidak sia-sia. Setidaknya ada dua hal penting.

Dari percakapan Heng-san-sam-kiam diperoleh kepastian bahwa memang betul Kaisar Yong Ceng memperoleh tahta dengan curang, dengan cara mengubah huruf-huruf dalam Surat Wasiat Kaisar Khong Hi dengan bantuan beberapa pendekar Bangsa Han.

Hal kedua, melihat sikap Be Kun Liong terhadapnya, Pak Kiong Liong tahu bahwa dalam barisan pendukung Kaisar ada perpecahan antar kelompok, sehingga hal itu je las menguntungkan pihak Pangeran In Te.

"Kekuatan pendukung In Ceng seperti sebuah tugu batu yang dari jauh nampak kokoh, namun sebenarnya terdiri dari batu-batu kecil yang disusun dengan perekat yang rapuh. Sedangkan pendukung Pangeran In Te terdiri dari berbagai golongan, namun tunduk hanya kepada satu perintah, sebuah kesatuan yang kokoh kuat.

Di Pak-khia sendiri masih banyak pembesar yang mengharapkan agar Pangeran In Te yang naik tahta, kalau saat ini pembesar-pembesar itu kelihatannya tunduk kepada In Ceng, itu hanyalah karena takut kalau malam-malam rumah mereka didatangi algojo-algojo Hiat-ti-cu, seperti nasib beberapa pembesar penentang In Ceng lainnya.

Begitulah Pak Kiong Liong mereka-reka dalam hatinya, "... kalau demikian, sebenarnya tidak dibutuhkan sebuah perang untuk mendepak In Ceng dari tahta yang bukan haknya, hanya dibutuhkan waktu untuk menunggu sampai kelompok-kelompok pendukung In Ceng cakar-cakaran sendiri. Perang hanyalah membuang nyawa, tenaga dan beaya yang percuma."

Tetapi begitu Pak Kiong Liong melangkah masuk ke kemahnya, ia tertegun. Pangeran In Te sudah duduk menunggu dalam kemah dengan wajah yang masam. Cepat-cepat Pak Kiong Liong berlutut menghormat.

"Dari mana Paman pergi selarut ini dan dengan pakaian macam itu?" Pangeran In Te menyambut Pamannya dengan pertanyaan yang dingin.

"Hamba baru dari Pak-khia, Pangeran..."

"Dari istana, untuk berbicara dengan Kakanda In Ceng di luar ijinku?"

"Maafkan hamba, Pangeran. Memang hamba dari istana, namun tidak untuk berbicara dengan Pangeran In Ceng."

"Lalu untuk apa?"

Sebenarnya Pak Kiong Liong merasa sikap In Te kurang pantas dengan menanyainya seperti jaksa memeriksa maling, namun ia menyabarkan diri karena tahu bahwa antara dirinya dan In Te mulai ada keretakan, dan keretakan itu harus diperbaiki, bukan diperlebar. Sahutnya sabar, "Hamba berusaha membawa keluar Tuan Puteri Tek Huai. Kemarin pun sebenarnya hamba sudah membujuk Pangeran In Ceng untuk membebaskan beliau, namun karena Pangeran In Ceng menolak, maka malam ini hamba menempuh cara lain..."

"Hasilnya?"

"Hamba gagal, Pangeran. Panjagaan terlalu ketat."

Dengan penjelasan itu, sebenarnya Pak Kiong Liong berusaha menunjukkan ketulusan hatinya. Apa daya, pikiran In Te sudah cenderung mempercayai apa yang diteriakkan Au Yu Beng dan Utti Hui Pa, kemarin menjelang ajal mereka.

"Kalau benar Paman Pak Kiong Liong memihak kepadaku secara jujur, kenapa dia terus-menerus mencegah perang, seakan hendak memberi kesempatan Kakanda In Ceng mengumpulkan kekuatan? Kenapa Paman Pak Kiong Liong sekarang takut perang, sedangkan dimasa mudanya merupakan perajurit perkasa yang dijuluki Pak Kiong (Naga Utara)? Makin direka-reka sendiri oleh batin In Te, makin ia meragukan pamannya ini.

Tetapi In Te masih juga agak sungkan kepada pamannya untuk menuduh terang-terangan. Maka iapun menegur Pak Kiong Liong dengan alasan lain. "Harap Paman pahami bahwa tempat ini adalah perkemahan perajurit yang terikat tata tertib, bukan perkemahan orang-orang bertamasya dimana setiap orang dapat keluar masuk seenaknya saja. Tindakan Paman meninggalkan perkemahan tanpa ijinku itu apakah memberi contoh baik kepada para perajurit?"

"Kalau hamba dianggap keliru dalam hal ini, hamba rela dihukum, Pangeran. Demi tata-tertib perkemahan ini."

Sikap tunduk Pak Kiong Liong ini membuat In Te malah merasa tidak enak sendiri dan suaranya melunak, "Kali ini kumaafkan, Paman. Akupun berterima kasih karena Paman menempuh bahaya hendak membebaskan Ibunda, aku hanya mohon agar lain kali Paman minta ijinku dulu untuk segala tindakan. Rasa sesal ku belum reda atas gugurnya delapan jenderal bawahanku, jangan Paman menambah rasa sesalku dengan tindakan-tindakan gegabah Paman..."

"Terima kasih, Pangeran."

Setelah In Te meninggalkan kemahnya, Pak Kiong Liong sendirian geleng-geleng kepala dengan rasa sesal. "Anak bodoh, aku tahu sikapmu sudah terpengaruh bisikan orang-orang yang hendak memecah-belah antara kita. Kalau begini gampang kau terpengaruh orang. In Ceng tak perlu menggunakan sebatang pedang atau sebutir peluru pun untuk mengalahkanmu. Cukup dengan beberapa patah kata yang menimbulkan saling curiga dengan pembantu-pembantumu yang tulus, lalu kau akan runtuh sendiri."

Mendadak Pak Kiong Liong sadar, seandainya berhasil menjadi Kaisar pun belum tentu menjadi Kaisar yang baik. In Te tidak kejam dan licik seperti In Ceng, bahkan agak lugu, tapi ia gampang dihasut dan itu akan menjadi titik kelemahan terburuk dalam kepribadiannya. Kalau ia menjadi Kaisar, baik buruknya pemerintahan akan sangat tergantung kepada baik buruknya orang terdekatnya. Kalau orang dekatnya baik, pemerintahannya baik.

Kalau ia didampingi seorang dorna yang dapat menyelubungi kejahatannya, pemerintahannyapun akan buruk sekali. Mungkin akan sama buruknya dengan Kaisar Yong Ceng. Dari dinasti Beng, Kaisar yang lemah dan "disetir" si menteri dorna Co Hua Sun, sehingga pemerintahannya akhirnya ambruk oleh pemberontakan rakyat dibawah pimpinan Li Cu Seng.

Hari-hari berikutnya, sikap In Te terhadap Pak Kiong Liong semakin dingin dan tidak percaya. Pak Kiong Liong tidak lagi pernah diajak membahas soal-soal penting, karena In Te was-was jangan-jangan hasil pemblcaraan akan dibocorkan kepihak Kaisar Yong Ceng. Paling-paling Pak Kiong Liong hanya diundang ke kemahnya untuk menemani main catur, atau perjamuan kecil tetapi tidak untuk perundingan perundingan penting.

Pak Kiong Liong menghadapi hal itu hanya dengan memaki kebimbangan In Te dalam hati, "Anak bodoh, kalau aku benar-benar seorang pengkhianat, apa susahnya aku menangkapmu selagi berdua saja ketika main catur atau minum arak, dan membawa batok kepalamu ke hadapan In Ceng? Dasar terlalu banyak curiga..."

Namun Pak Kiong liong tetap tidak sampai hati meninggalkan In Te, rasanya seperti meningglkan seorang anak kecil yang baru pintar merangkak bermain-main dipinggir sumur yang dalam. Dalam hal kelicikan dan akal bulu, In Te bukan tandingan Kaisar Yong Ceng, apalagi di pihak musuh masih ada Liong Ke Toh yang ahli merancang siasat-siasat keji. Maka dengan menahan hati, la letap berada di perkemahan Pangeran In Te untuk mengamat-amati perkembangan.

Sementara itu, Ni Keng Giau yang baru saja memimpin angkatan perang mengusir pasukan Jepang dari Liau-tong, seorang diri telah mendahului pasukannya untuk menembus pengepungan pasukan In Te, dan berhasil menyelundup masuk ke Pak-khia untuk langsung menghadap Kaisar Yong Ceng.

"Dimana pasukanmu?" tanya Kaisar Yong Ceng, ketika Ni Keng Giau menghadapnya di serambi Yang-wan-k iong.

"Masih dalam perjalanan, Tuanku. Ketika hamba mendengar bahwa Pak-khia dikepung Pangeran In Te, hamba mendahului pasukan untuk menjumpai Tuanku, sebab pasukan hamba berjalan agak lambat karena banyaknya peralatan perang yang harus dibawa. Juga beberapa pucuk meriam rampasan dari pasukan Jepang."

“Kau benar benar setia kepadaku, Sute (adik seperguruan). Tapi masih lamakah pasukanmu sampai kemari?"

"Mungkin dua atau tiga hari lagi.

"Terlalu lambat," kata Kaisar gelisah.

“Kenapa tuanku katakan terlalu lambat? Apakah Pangeran In Te sudah memberi batas waktu kepada kita?"

"Dua hari lagi di lapangan Thian-an-bun akan diadakan sembahyang besar-besaran untuk menghormat arwah Hu Hong, yang akan dihadiri oleh Adinda In Te pula. Saat itulah aku bermaksud berbuat sesuatu untuk melumpuhkannya, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan kekuatan yang memadai."

"Bolehkah hamba mendengar rencana Tuanku?"

Kaisar Yong Ceng membisikkan rencananya ke kuping Ni Keng Giau, lalu Ni Keng Giau mengangguk-angguk sambil tersenyum, "Itu sebuah rencana yang bagus, Tuanku. Tidak perlu dibatalkan, namun hamba sarankan untuk dirubah sedikit saja."

"Maksudmu?"

"Seandainya pasukan hamba sudah ada di sini pun rasanya kurang bijaksana kalau melawan dengan kekerasan, karena pasukan hamba kalah jumlah dan masih kelelahan sehabis perang di Liau-tong. Maka untuk menundukkan Pangeran In Te haruslah dengan akal.”

"Coba sebutkan.”

"Hamba mohon ampun , Tuanku....." kata Ni Keng Giau, lalu didekatkannya mulutnya ke kuping Kaisar untuk berbisik-bisik, sehingga para dayang dan pelayan di tempat itupun tak dapat mendengarnya. Mereka cuma melihat wajah Kaisar menjadi cerah, dan menepuk meja dengan amat gembira sambil berseru,

"Bagus! Kalau akalmu ini berhasil, kau segera kulantik sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kekaisaran, menggantikan In Te!"

Buru-buru Ni Keng Giau berlutut dan menjawab kegirangan pula, "Hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas anugerah Tuanku. Hamba hanyalah abdi setia bagi kejayaan Tuanku!"

Hati Ni Keng Giau mekar sebesar gunung. Cuping hidungnya kembang kempis, Panglima Tertinggi Angkatan Perang sebuah kemaharajaan yang terbentang dari Tibet sampai Korea? Alangkah hebatnya.... alangkah hebatnya. Hanya di tangannya akan tergenggam kekuasaan atas jutaan perajurit kekaisaran, dan berarti pula tergenggam mati hidupnya Kerajaan Manchu. la memang berambisi sejak dulu, namun tak disangka akan memperoleh secepat itu.

Tetapi Ni Keng Giau tidak tahu bahwa Kaisar sendiri menyesali janjinya sendiri, hanya beberapa detik setelah mulutnya mengucapkannya. Janji yang lepas begitu saja karena kelegaannya setelah yakin akan lepas dari tekanan Pangeran In Te. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, terasa alangkah gegabahnya janjinya itu. Kalau keIak Ni Keng Giau menguasai Angkatan Perang, lalu kekuatan apa yang tersisa di tangannya sendiri?

Hanya Lwe-teng Wi-su (Pengawal Istana), Gi-cian Si-wi Pengawal Kaisar) yang cuma ratusan orang, ditambah kelompok Lama, kelompok Hiat-ti-cu dan kelompok Jubah Ungu yang kalau dijumlah tak lebih dari seribu orang? Bukankah itu sama saja bahwa nyawanya tergenggam di telapak tangan Ni Keng-Giau? Namun untuk sementara ia tidak mungkin menjilat ludahnya kembali, khawatir Ni Keng Giau akan kecewa dan tidak lagi tunduk kepadanya.

la kenal benar watak Ni Keng Giau sebagai saudara seperguruan yang selama beberapa tahun pernah sama-sama belajar di Wihara Siau-lim-si. Kalau bisa dimanfaatkan, Ni Keng Giau adalah pembantu yang amat berbahaya. Dalam urutan kelicikan dan tipu muslihat, si adik seperguruan ini tidak kalah dari kakak seperguruannya yang kini menduduki tahta.

Matahari terbit dan tenggelamnya menurut garis edarnya, dan tibalah hari untuk sembahyang besar di lapangan Thian-an-bun. Lapangan itu sudah dijaga ketat oleh bermacam-macam pasukan dan kelompok, dengan seragam masing-masing pasukan Kiu- bun Te-tok (pengawal ibukota/Garnisun) dengan seragam merah hitam, Han-lim-kun dengan seragam merah biru dengan topi lancip berhias benang benang merah, Lwe-teng Wisi dengan jubah biru laut dan bertopi beludru biru.

Dan jagoan-jagoan berseragam ungu yang tidak bertopi, sehingga nampak kepala mereka yang dibotaki bagian depan dan dikuncir belakangnya, tata rambut wajib untuk setiap lelaki di jaman Manchu itu. Tidak ketinggalan kaum Lama Tibet dipimpin sendiri oleh Biau Beng Lama yang memakai kasa merah, dan kepalanya memakai topi lancip tinggi ber- warna hitam, diberi tali yang diikatkan ke bawah dagunya. Dia yang akan memimpin sembahyang menghormat arwah Kaisar Khong Hi.

Tak Lama kernudian, di Se-toa-kai (Jalan Raja Barat) yang membujur membelah kotaraja Pak-khia, bumi bergetar oleh derap ratusan ekor kuda perang yang tegar, karena Pangeran In Te muncul dengan membawa rombongan pengawal yang kuat, bahkan ada limapuluh pucuk bedil dalam rombongan itu. Di bawah kibaran bendera Ngo-jiau-kim-liong-ki (bendera kekaisaran).

Yang berdampingan dengan bendera hitam bersulam sepasang anak panah emas yang bersilangan, bendera lambang kedudukan In Te, Pangeran keempatbelas itu berkuda dengan gagahnya, didampingi beberapa jenderal. Di antaranya nampak Bok Eng Siang yang dulu berhasil kabur dari Pak-khia ketika nyaris dihukum mati oleh Kaisar Yong Ceng. Namun Pak Kiong Liong tidak kelihatan mendampingi Pangeran In Te.

Pangeran In Te memakai pakaian ke besarannya sebagai Bu-wan Ciangkun, si Penakluk Jing-hai, dengan mantel kuning bersulam naga. Topinya juga kuning dan bersulam naga pula, sehingga dandanannya mirip seorang Kaisar. Melihat itu, orang-orang yang sudah berkumpul di Thian-an-bun banyak yang berdebar-debar hatinya, jangan-jangan gara-gara Jubah dan topi Pangeran In Te itu Lapangan Thian-an-bun akan bersimbah da rah?

Di salah satu sisi lapangan, bergerombollah para kerabat istana termasuk para pangeran saudara-saudara In Te yang tidak nampak hanyalah Ibusuri Tek Huai. Pangeran In Si yang sudah menghiIang sejak gelar kebangsawanan- nya dicabui, Pangeran In Gi dan Pangeran In Tong yang masih meringkuk dalam penjara, karena dulu mereka menentang pengangkatan Kaisar Yong Ceng.

Sambil melompat turun dari kudanya, Pangeran In Te sempat melambaikan tangan ke arah saudara-saudaranya sambil tersenyum. Ini penting untuk menarik simpati. Genta di istana berbunyi keras. tandanya Kaisar Yong Ceng akan keluar. Pintu gerbang merah terbuka, sepasukan perajurit Gi-cian Si-wi (Pengawal Kaisar) berbaris keluar dalam dua deretan, lalu Kaisar muncul dengan dengan jubah kekaisarannya yang kemilau, jubah kuning bersulam naga yang mirip sekali dengan yang dipakai Pangeran In Te sehingga di lapangan itu kini seolah-olah ada dua kaisar.

Munculnya Kaisar Yong Ceng disambut dengan berlututnya sekalian perajurit, pejabat-pejabat tinggi dan kerabat-kerabat istana, udara di lapangan itupun bergetar oleh seruan serempak dari ribuan mulut, "Ban swe... Ban-swe...!"

Di saat seruan serempak Pangeran In Te dan ratusan pengawalnya jadi kelihatan menyolok sekali karena mereka tetap tidak mau berlutut. Dulu Pangeran In Gi dan In Tong ditangkap karena menolak berlutut, namun In Te tidak bisa disamakan dengan kedua kakaknya yang hanya didukung beberapa jago kepruk itu, sebab In Te didukung oleh enam ratus ribu perajurit bersenjata lengkap yang berbaris di luar Pak-khia, setiap saat akan menyerbu masuk Pak-khia begitu mendapat isyarat.

Kaisar Yong Ceng menatap marah ke arah Pangeran In Te sambil menggeram, "Adinda In Te, kau kenal tata krama atau tidak?"

"Tata krama yang mana, Kakanda?" In Te balas bertanya, ia tidak memanggil "Tuanku" seperti orang lain, tapi hanya "kakanda", menandakan tidak mengakui kekuasaan kakaknya itu.

Keruan Kaisar Yong Ceng naik darah melihat sikap menantang itu. "Kau sedang berhadapan dengan siapa sekarang ini?"

"Ya berhadapan dengan Kakanda In Ceng, memangnya aku lupa?" sahut In Te masih seenaknya.

"Kau sedang berhadapan dengan Yang Dipertuan di kekaisaran ini!" bentak Kaisar semakin keras. "Berlutut!"

Orang lain sudah menggigil melihat kemarahan Kaisar, sedangkan In Te malah balas mernbentak dengan beraninya, "Tidak! Kakanda belum membuktikan bahwa kakanda mendapatkan tahta itu dengan syah, kakanda belum menjadi Kaisar yang syah! Sedangkan aku adalah Panglima Angkatan Perang yang ditunjuk sendiri oleh Hu Hong semasa hidupnya dilantik di Sidang Istana, disaksikan puluhan saksi yang berbobot!"

Bantah Kaisar, "Tetapi Hu Hong sudah menunjuk aku lewat Surat Wasiat-nya! Kau berani tidak mengakui amanat Hu Hong?"

"Hem, Surat Wasiat itu sangat diragukan keasliannya. Siapapun yang memperhatikan sikap Hu Hong selama hidupnya, tahu pasti siapakah yang sebenarnya dipilih Hu Hong untuk menggantikan tahtanya! Hanya sekomplotan manusia curang saja yang mencoba memalsukan Surat Wasiat Hu Hong, dan Kakanda adalah pemimpin dari komplotan maling itu!"

Demikianlah, upacara sembayang belum mulai, Yong Ceng dan In Te sudah memanaskan suasana dengan pertengkaran mereka. Pengikut kedua pihak juga sudah siap-siap membela junjungan masing-masing, biarpun mereka akan berhadapan dengan bekas kawan-kawan sendiri.

Beberapa kerabat istana yang sudah berambut putih mencoba melerai kedua bersaudara itu, namun kata-kata mereka tidak digubris oleh kedua belah pihak. Pangeran-pangeran lainnya lebih-lebih tidak berani ikut campur dalam pertengkaran antara kedua saudara mereka. Pangeran keenam belas In Eng yang masih kecil, bahkan hampir menangis karena takut melihat kakak-kakaknya bertengkar.

"In Te, lihat sekelilingmu!" bentak Kaisar sambil menunjuk ribuan perajuritnya yang sudah mengepung lapangan itu, bahkan diatas atap-atap rumah di sekitar lapangan juga sudah siap regu-regu pemanah dan penembak-penembak bedil. Kata Kaisar lebih lanjut, "Dengan sepatah kata perintah dari mulutku, mereka akan bertindak untuk mencincangmu! Dan mereka cuma sebagian kecil dari seluruh pasukan yang setia kepadaku di Pak-khia!"

Tetapi In Te tidak mempan digertak. Seorang pengikutnya telah siap dengan sebuah roket asap sebesar lengan, yang dipegang dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya memegang api yang sudah didekatkan ke sumbu roket asap itu. Dia dikawal ketat oleh pengikut-pengikut lainnya. Kalau In Te memberi isyarat, maka roket itu akan diluncurkan ke udara, rnembentuk garis asap merah yang terlihat dari luar Kotaraja Pak-khia, dan itulah isyarat bagi pasu kan In Te untuk menyerang!

Kata In Te dingin, "Suruh pengikut-pengikutmu bergerak, kakanda, dan akupun akan memerintahkan pasukanku untuk bergerak, supaya enam ratus meriam meletus serampak dan perajurit-perajuritku membanjiri kota ini!"

Saling menggertak itu tak akan ada akhirnya karena kedua pihak enggan mengalah, enggan kehilangan muka. Liong Ke Toh yang mendampingi Kaisar Yong-ceng menjadi cemas jangan-jangan Kaisar terpancing kemarahannya, dan melakukan tindakan yang merusak rencana. Maka buru-buru Liong Ke Toh maju dan menengahi,

"Tuanku berdua, hamba harap kalian tidak bertengkar dihadapan altar mendiang Ayahanda Tuanku berdua. Bersikaplah sebagai putera-putera keturunan Aishin Gioro yang terhormat, bukankah Tuanku berdua telah bersepakat untuk berunding secara kekeluargaan setelah selesainya sembahyang ini?"

Sebuah kedipan mata rahasia dilontarkan diam-diam oleh Liong Ke Toh kearah Kaisar. Maka Kaisarpun menahan diri sekuat tenaga. Begitu pula In Te, biarpun hatinya gemas bukan main dan ingin menjotos muka keriput Liong Ke Toh, namun ia tidak melakukannya. Nama baiknya akan runtuh kalau ia memukul seorang sesepuh keluarga istana yang masih terhitung pamannya.

"Baik", Kaisar Yong Ceng berkata kemudian. "Aku akan memimpin pemberian hormat kepada arwah Hu Hong."

Lalu seluruh anggota keluarga istana yang hadir berbaris berderet dibelakang Kaisar Yong Ceng menurut urutan kedudukannya. Namun Pangeran In Te tidak ikut berbaris, melainkan maju ke depan untuk berdiri sejajar dengan Kaisar Yong-Ceng. Ketika Kakandanya itu maju dua langkah, diapun maju dua langkah. Kaisar maju dua langkah lagi, Pangeran In Te juga menambah dua langkah.

Kembali wajah Yong-ceng merah padam, sehingga Liong Ke Toh buru-buru mendekati dan membisikinya, "Bersabarlah sebentar lagi, Tuanku. Saat ini Ni Keng Giau pasti sedang menjalankan rencananya dan tidak lama lagi kemenangan mutlak akan tergenggam di tangan Tuanku.."

Apa boleh buat, upacara penghormatan arwah terpaksa berjalan dengan dua pemimpin, padahal seharusnya pemimpinnya hanya Kaisar sendiri. Dan kemanakah Ni Keng Giau yang tidak nampak batang hidungnya dilapangan upacara itu?

Di luar kotaraja Pak-khia, pasukan Pangeran In Te kelihatan bersiaga penuh. Bendera-bendera sudah berkibar di puncak tangkai tangkainya, menggelepar seperti gejolak hati para perajurit. Semua prajurit sudah berseragam tempur dan bersenjata lengkap. Kalau ada isyarat asap merah dari arah kota Pak-khia, mereka akan segera menyerbu dengan dipelopori meriam-meriam mereka.

Di dalam salah satu kemah dari ribuan kemah, Pak Kiong Liong berjalan mondar- mandir sendirian dengan gelisah nya. Biarpun seragam tempur sudah melekat dibadannya dan pedang sudah tergantung dipinggangnya, namun la gelisah sekali. la sadar bahwa Pangeran In Te mulai tidak percaya kepadanya, sehingga ia tidak diajak mendampingi masuk ke Pak-khia.

la tidak sakit hati diperlakukan demikian, namun justru mencemaskan Pangeran In Te akan terjebak di dalam kota Pak-khia. Biarpun In Te adalah seorang militer yang tangguh di medan perang Jing-hai, tetapi ia terlalu polos dalam menghadapi Kaisar Yong Ceng yang penuh akal bulus itu.

Celakanya, Pak Kiong Liong tidak punya wewenang untuk berbuat apapun di perkemahan itu, bahkan meninggalkan perkemahanpun tidak boleh tanpa ijin wakil Pangeran In Te. Yang mewakili In Te selama In Te di Pak-khia, adalah seorang jenderal bernama Liok Hai Hong, yang sejak tersingkirnya Pak Kiong Liong dari sisi In Te lalu naik menjadi "orang nomor dua" di perkemahan raksasa itu.

Tetapi dalam pandangan Pak Kiong Liong, Liok Hai Hong hanya pintar omong muluk-muluk, namun sesungguhnya hanya sesosok prlbadi yang kurang teguh pendiriannya dan sungguh merupakan pertanda buruk bahwa orang macam itulah yang kini memegang kekuasaan di perkemahan itu secara mutlak. Kuasanya tak dapat ditawar lagi, sebab ia mendapat limpahan kuasa dari Pangeran In Te sendiri.

Setelah hampir setengah hari In Te meninggalkan perkemahan dan belum juga ada isyarat dari Pak-khia, kegelisahan Pak Kiong Liong pun memuncak. Tak tahan lagi, ia tinggalkan kemahnya untuk menuju kemah Liok Hai Hong, dan dijumpainya wakiI Pangeran In Te itu sedang makan minum dan santainya. "Saudara Liok, apakah belum ada isyarat?”

Kalau beberapa hari sebelumnya Liok Hai Hong masih bersikap hormat kepada Pak kiong Liong, sekarang tidak lagi demikian. Kini dia adalah wakilnya In Te sedang Pak Kiong Liong bukan apa-apanya lagi, malah dianggap "setengah pesakitan" karena "kesetiaannya diragukan".

Ketika Pak Kiong Liong melangkah masuk kemahnya, Liok Hai Hong tidak menyambutnya dengan berdiri, cukup sedikit menganggukan kepala. Tangan kanan masih sibuk dengan sumpit, tangan kiri tak sedikitpun lepas dari cawan araknya. Jawaban untuk pertanyaan Pak Kiong Liong harus menunggu sampai ia selesai mengunyah lembut-lembut sepotong daging, lalu minum, barulah menjawab, "Belum ada. Pasti perundingan berjalan dengan lancar..."

"Atau kemungkinan lain", potong Pak Kiong Liong cemas. "Pangeran In Te terjebak bersama seluruh pengawalnya, sehingga tidak lagi sempat melepaskan isyarat..."

"Ah, jangan membayangkan yang buruk-buruk. Pangeran In Ceng takkan berani curang kalau di depan hidungnya ada enam ratus pucuk meriam dan ratusan ribu pasukan yang siap membela Pangeran In Te. Aku yakin perundingannya lancar. Bagaimanapun juga kedua Pangeran itu bersaudara, dan perundingannya sendiri tentu dihadiri para sesepuh keluarga kerajaan yang akan mendinginkan kemarahan kedua Pangeran itu..."

Pak Klong Liong kurang sependapat, "Memang begitulah harapan kita. Tapi ingat, Pangeran In Si sampai kabur keluar Pak-khia karena digencet oleh In Ceng, sedang Pangeran In Gi dan Pangeran In Tong malah meringkuk dalam penjara, padahal bukankah ketiga pangeran itupun saudara-saudara Pangeran In Ceng? Kalau Pangeran In Ceng berani berbuat demikian kepada ketiga saudaranya, kenapa tidak berani kepada Pangeran In Te?"

"Tidak. Kedudukan Pangeran In Te jangan disamakan dengan ketiga pangeran sial itu. Pangeran In Te didukung sebuah pasukan yang kuat, sedang ketiga pangeran itu hanya didukung sekelompok kecil gentong nasi. Itulah bedanya, Goanswe?"

"Tetapi saat ini Pangeran In Te hanya berpengawal tidak lebih dari dua ratus orang, terpisah dari pasukan pendukungnya, berada di tengah-tengah kota Pak-khia yang ada dalam genggaman Pangeran In Ceng..."

“Tidak. Tidak terpisah, namun tetap berhubungan dengan isyarat. Panah asap berwarna biru berarti pasukan tetap di tempat, panah asap warna merah berarti perintah menyerang..."

"Bagaimana kalau diserang sedemikian rupa sehingga tak sempat melepaskan isyarat? Padahal melepaskan isyarat hanya butuh beberapa detik untuk menyulut sumbunya. Jangan mengkhayal yang bukan-bukan, Goanswe..."

"Bagaimana kalau Pangeran In Te dan seluruh pengawalnya dipancing masuk di sebuah tempat tertutup? Di tempat tertutup, tentu roket asap itu jadi tak berguna lagi..."

Ucapan Pak Kiong Liong yang masuk akal itu membuat leher Liok Hai Hong mendadak serasa tercekik. Wajahnya berubah, namun sesaat kemudian ia tetap menggeleng gelengkan kepalanya dengan keras kepala, "Tidak mungkin Pangeran In Te setolol itu. Namun andaikata ia khilaf juga, masa tidak ada pengiring-pengiringnya yang memperingatkannya? Apakah semua pengiringnya berotak kerbau?" Biarpun Liok Hai Hong mencoba mengucapkannya dengan nada yakin, tapi hatinya mulai goyah, suaranya tidak semantap semula.

Sahut Pak Kiong Liong, "Saudara Liok, kita tentunya mengharap yang baik-baik saja, tapi kita harus memperhitungkan kelicikan Pangeran In Ceng dan begundal-begundaInya. Aku mohon saudara Liok mengijinkan aku membawa dua ribu perajurit untuk menyusul ke Pak-khia barangkali akan menjadi bantuan yang berarti untuk Pangeran In Te."

Alangkah jengkelnya Pak Kiong Liong ketika melihat kepala Liok Hai Hong menggeleng lagi, sambil berkata, "Tidak bisa, Goanswe, maaf. Pangeran In Te sudah berpesan, tidak seorangpun boleh meninggalkan perkemahan sebelum ada isyarat roket asap merah. Siapa yang melanggar, hukumannya ialah pancung kepala!"

Kini musuh terbesar Pak Kiong Liong ialah kegeliisahannya memikirkan keselamatan In Te, disamping kejengkelan nya menghadapi sikap kepala batu Liok Hai Hong. Tanpa pamit lagi, dia kembali ke kemahnya. Namun di dalam kemahnya pun dia tidak tinggal lama. Terdorong oleh kegelisahannya, diapun diam-diam meninggalkan perkemahan untuk menuju Pak-khia sendirian, tidak peduli peraturan di perkemahan yang menjanjikan hukuman mati tadi.

In Te adalah setitik harapan yang tersisa untuk menyelamatkan ke kaisaran dari cengkeraman Kaisar Yong Ceng yang lalim, yang didampingi manusia-manusia semacam Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau. Setitik harapan itu harus direbut!

Pada saat yang sama, Liok Hai Hong di kemahnya sudah kehilangan nafsu makannya, terpengaruh oleh ucapan Pak Kiong Liong yang masuk akal. Kenapa setidak-setidaknya roket asap biru? Apakah aku harus menggerakkan pasukan untuk menggempur? Ternyata Liok Hai Hong tidak punya nyali untuk bertindak sendiri, khawatir kalau sampai kalah. Bahkan timbul pikiran, bagaimana kalau membawa seluruh pasukannya menakluk saja kepada Kaisar Yong Ceng? Tentu akan ada hadiah besar buatnya....

Selanjutnya,