X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga Bagian 1 Jilid 08 Karya Stevanus S.P

Kemelut Tahta Naga I Jilid 08

Karya Stevanus S P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
KATA In Te kemudian, kepada Pak Kiong Liong, "Paman, aku sudah mendengar kabar bagaimana perajurit-perajurit Hui-liong-kun yang banyak jasanya itu malah dibantai tanpa ampun. Sebagian diumpankan supaya hancur di tepi Sungai Hek-liong, sebagian lainnya ditumpas langsung di tangan mereka sendiri di Pak-khia. Apakah Paman tidak ingin membalaskan sakit hati mereka? Kenapa Paman nampak kurang bersemangat?"

Sahut Pak Kiong Liong, "Pangeran, maafkan hamba yang akan mengajukan sebuah pertanyaan. Mana yang lebih penting antara melampiaskan sakit hati atau menjaga keutuhan kekaisaran?"

In Te tiba-tiba sadar bahwa Pak Kiong Liong selama ini paling gigih menentang perang saudara sebagai satu-satunya jalan keluar, meskipun ditambah dengan catatan "boleh kalau terpaksa". Sikapnya itu ternyata tidak berubah, bahkan setelah ia diburu-buru oleh Kaisar Yong Ceng seperti penjahat besar saja. In Te segera paham arah pertanyaan Pak Kiong Liong itu dan langsung menjawabnya,

"Menjaga keutuhan kekaisasaran kita paling utama, dan menyingkirkan Kakanda In Ceng itu termasuk menjaga keutuhan itu, sebab negara akan hancur kalau diperintah seorang lalim seperti dia, sekaligus membalas sakit hati kita. Jadi dua hal ini tidak bertentangan. Dulu ketika aku hendak menghadap Hu Hong hampir saja mati dicincang pengikut-pengikut Kakanda In Ceng, untung Paman menyelamatkan aku saat itu. Dan Paman sendiri mengalami apa selama ini? Begitu besar jasa Paman kepada kekaisaran, tetapi Kakanda In Ceng menempelkan plakat-plakat di mana-mana untuk menangkap Paman. Bagai mana perasaan Paman?"

"Tentu hamba sakit hati, sebab hamba bukannya dewa yang suci. Tapi apakah gempuran secara kekerasan itu sudah terpikirkan akibat-akibatnya? Dalam urusan pewarisan tahta, hamba tetap memperjuangkan hak Pangeran sampai titik darah hamba yang penghabisan, tetapi hamba usulkan sebalknya dicari jalan lain yang tidak mengobarkan pepe-rangan dan perpecahan..."

In Te menarik napas. "Paman tahu sendiri bagaimana watak Kakanda In Ceng yang kejam dan serakah itu. Mana bisa membujuknya menyerahkan tahta kalau tidak kita todong dengan senjata? Kalau cuma diajak berunding, barangkali dia akan mengangguk-angguk setuju di depan kita, namun siapa tahu menyiapkan perangkap yang licik?"

"Tentu saja kita berunding dengan kewaspadaan, Pangeran, agar tidak tertipu. Kalau perundingan gagal dan angkatan perang terpaksa digerakkan, hamba sanggup maju paling depan memperjuangkan hak Pangeran, namun pertama-tama cobalah berunding. Hamba mohon maaf akan kelancangan hamba, semalam hamba telah, masuk Ci-kim-shia dan mengunjungi Pangeran In Ceng dan menekannya agar menyerahkan tahta. Rasanya, biarpun ia kelihatan kurang iklas namun takut melihat angkatan perang Pangeran yang mengepung Pak-khia ini, sehingga diapun bersedia merundingkannya dengan kita..."

In Te menghormati Pamannya, tapi kadang-kadang jengkel juga karena dianggapnya sang Paman bersikap terlalu lamban dan bertele-tele, sikapnya itu bisa memadamkan semangat panglima-panglima bawahannya yang tadinya sudah begitu berkobar.

Seorang panglima muda berwajah merah seperti Koan Kong tapi tanpa kumis, tiba-tiba memukul meja sambil berseru, "Pangeran, hamba tidak setuju usul Pak Kiong Ciangkun. Menunda pertempuran akan membuat perajurit kita jemu dan merosot semangatnya, sementara Pangeran In Ceng berusaha mengulur waktu dan mengakali kita dengan perundingan-perundingan yang tidak bermanfaat...."

Seorang panglima lainnya yang berbadan kecil tapi terkenal keberaniannya di medan perang, ikut berkata keras pula, "Betul, menghadapi orang yang merampas hak orang lain, kita gempur saja, habis perkara!"

Panglima panglima beradat keras lainnyapun beramai-ramai mendukung usul itu, maka kembaIi kemah itu riuh-rendah dengan teriakan-teriakan "gempur saja" atau "rebut Pak-khia" atau "tumpas kaum dorna" segala. Ada juga beberapa panglima yang sebetulnya sependapat dengan Pak Kiong Liong, tapi suara mereka tenggelam oleh suara yang menginginkan peperangan langsung. Maka Pak Kiong Liong dan panglima-panglima yang sependapat itupun hanya bisa saling tukar pandangan dan geleng-geleng kepala.

Perintah persiapanpun dikeluarkan Pangeran In Te malam itu juga. Komandan-komandan dari macam-macam pasukan seperti pasukan jalan kaki, berkuda, pemanah, tombak, pedang, bedil, meriam dan bahkan pasukan pendukung perbekalan yang tak kalah pentingnya di garis belakangpun disiagakan semua. Semuanya penuh semangat berkobar untuk merobohkan Kaisar Yong-ceng secara kekerasan.

Begitu fajar menyingsing, pasukan In Te keluar dari kemah-kemah mereka seperti semut keluar dari sarangnya. Sekejap saja dinding kota Pak-khia sudah dilingkari ratusan ribu tentara dengan ujung-ujung senjata yang mencuat ke angkasa serapat daun ilalang. Bendera-bendera besar dan kecil melambai-lambai menambah keangkeran pasukan itu, yang terbesar adalah bendera lambang Pangeran In Te sendiri. Berwarna dasar hitarn dan berlukiskan sepasang panah emas bersilangan, bendera yang pernah membuat dataran Jing-hai menggigil dan bertekuk-lutut.

Melihat itu, prajurit yang berjaga di ternbok kota menjadi gemetar. Pasukan Pangeran In Te terlalu kuat untuk dihadapi oleh pasukan Kaisar Yong Ceng yang tersisa di dalam kota Pak-khia, sebab sebagian pasukan masih bersama Ni Keng Giau berperang di Liao-tong. Buru-buru itu melapor ke istana. Ketika mendengar laporan, kebingungan Kaisar Yong Ceng ternyata cuma sebentar, kemudian Kaisar itu malah tersenyum kejam tanpa perasaan,

"Apa boleh buat, aku tidak ingin melepaskan apa yang sudah kudapat!"

Sementara itu, rakyat Pak-khia sendiri menjadi panik. Kelompok-kelompok prajurit dalam kota segera berlarilarian ke tembok kota untuk bersiap-siap menghadapi "musuh" yang bukan lain adalah teman-teman mereka sendiri yang dulu terpilih untuk ikut berperang ke Jing-hai. Suara meriam memang telah kedengaran berdentum di luar kota, perajurit dari kedua belah pihak belum sempat menggunakan pedang atau tombak, namun panah dan bedil kedua pihak sudah "saling menyapa" seperti hujan lebat. Korban yang berjatuhan di atas tembok kota maupun di luar tembok mulai bergelimpangan.

Saat itulah rombongan Kaisar Yong Ceng tiba dibawah menara benteng. Perwira di bagian itu tergopoh-gopoh kaget mendapat kunjungan itu, di saat panah dan peluru bedil bersambaran rapat lalu, kenapa Kaisar malah datang di situ? Lebih heran Iagi ketika perwira itu melihat Kaisar juga mengajak Ibu suri Tek Huai. Pikir perwira itu,

"Apa Hong-siang kira ini pesta kembang api yang enak ditonton?"

Namun perwira itu sama sekaIi tak mampu mencegah Kaisar dan Ibu suri naik ke menara benteng, didahului pengawal-berseragam kuning dan ungu yang siap mati menjadi perisai bagi Kaisar.

Di pihak lain, Pangeran In Te juga dikelilingi pengawaI-pengawal setianya, dengan bangga melihat meriam-meriam pasukannya bertubi-tubi memuntahkan bola-bola besi menghantam pintu-pintu gerbang kota Pak-khia yang tebal, sehingga pintu itu seolah gemetar, untung palang pintunya masih cukup kuat untuk menahan serangan. Tapi kalau terus, lama-lama akan jebol juga. Sementara disepanjang tembok, pasukannya tak henti-hentinya melepaskan panah dan peluru ke atas tembok.

“Kakanda In Ceng dan paman Liong Ke Toh tentu saat ini sedang menggigil ketakutan mendengar dentum meriam meriamku", kata In Te kepada Pak Kiong Liong yang berdiri disebelahnya.

Pak Kiong Liong menarik napas dan menyahut pula, "Begitu juga rakyat Pak khia yang tidak tahu apa-apa..."

In Te kurang suka mendengar jawaban Pak Kiong Liong itu, tapi hanya menggerutu dalam hati, "Aku harus bisa memaklumi sikap Paman Pak Kiong Liong, mungkin karena usianya yang sudah tua, ia jadi kurang beringas seperti orang-orang muda."

Lalu In Te mengangkat teropongnya untuk mengamati medan pertempuran lebih jelas lagi. Dilihatnya pengikutnya setiap kali menyerbu ke kaki tembok untuk mencoba memasang tangga-tangga yang tinggi, namun setiap kali tangga itu roboh kembali karena didorong dari atas oleh pasukan Kaisar. Sementara bedil dan panah dari kedua pihak masih mengganas tanpa tenggang waktu sedikit pun, merontokkan orang-orang dari kedua belah pihak.

Teropong In Te tiba-tiba menangkap sesuatu yang menyolok di atas menara benteng Pak-khia. Segerombolan perajurit berseragam kuning sulam muncul di atas benteng, padahal In Te tahu bahwa itulah seragam pengawal Kaisar. Menyusul nampak sebuah payung besar berwarna kuning emas, mula-mula hanya pucuk payung yang kelihatan muncul dari bawah, lalu tangkai payung yang panjang dan akhirnya orang yang bernaung di bawah payung itu. Seorang lelaki gagah tegap, berjubah sulaman naga kuning, bertopi sulaman naga kuning pula, yang bukan lain Kaisar Yong Ceng sendiri.

In Te tertawa mengejek melihat itu, "Ha, kakanda In Ceng sendiri rupanya ingin melihat kehebatan pasukanku. Bagus. Bagus. Aku akan mempersembahkan pertunjukan yang sempurna buat Kakanda In Ceng. Perhebat serangan di semua arah!"

Seorang penghubung segera berlari lari untuk menyampaikan perintah kepada semua komandan regu. Tetapi ketika In Te mengamati lebih cermat siapa-siapa saja yang ada di atas menara benteng, Ia terkejut bukan main sehingga teropongnya jatuh ke tanah. Mulutnya tiba-tiba meneriakkan perintah yang sama sekali berlawanan dengan perintah pertama tadi, "Hentikan serangan! Hentikan serangan!"

Perwira yang akan menyampaikan perintah itu menjadi kebingungan. la bertanya minta ketegasan, "Memperhebat serangan atau menghentikan serangan, Pangeran?"

"Goblok! Tuli! Hentikan serangan!" teriak In Te dengan gugup. "Ibunda Tek Huai ada di menara benteng! Jangan sampai ia terluka!"

Perwira itu tergesa-gesa naik sebuah panggung kayu, dan mengibar-ngibarkan bendera kecilnya dengan gerak tertentu, berulang kali. Perintah itu dipahami setiap komandan regu yang segera mundur beberapa ratus langkah menjauhi tembok kota. Letusan bedil dan dentuman meriam pun berhenti, medan pertempuran menjadi sunyi senyap dengan mendadak.

Di atas tembok, Kaisar Yonq Ceng saling mel irik dengan Liong Ke Toh dan keduanya bertukar senyuman. Mendadak mereka merasa menjadi orang-orang pintar yang dapat menyelesaikan sebuah masalah dengan sebuah langkah yang tepat. Lalu kepada Ibu suri Tek-huai, Kaisar berkata,

"Ibunda, rupanya Adinda In Te masih tetap seorang putera yang manis. Lihatlah, begitu melihat ibunda muncul diatas tembok, di hentikannya semua serangan. Aku mengharap Ibunda mau bicara kepada Adinda In Te agar menghapuskan pikiran yang bukan-bukan, tidak usah kecewa atas Surat Wasiat hong hi yang ternyata menunjukkan aku sebagai ahli waris tahta. Aku yakin Adinda In Te akan taat kepada semua yang ibunda katakan.”

Ibusuri Tek Huai berwajah pucat, diapit dua orang dayang istana yang berwajah sama pucatnya karena tadi mereka berdiri di tengah-tengah desing peluru dan panah dari kedua belah pihak. Dengan pandangan campur aduk antara sedih, menyesal dan tak berdaya ia menatap Kaisar sambil berkata, "Apa yang harus kukatakan kepada seorang anak malang yang patut dikasihani, yang sedang menuntutt haknya yang sah?"

Memerahlah wajah Kaisar mendengar jawaban yang diucapkan di depan sekian banyak perajurit di atas tembok kota, jawaban melambangkan ketidak percayaan Ibundanya atas keabsahan kedudukannya saat itu. Tetapi ia tidak mungkin mengumbar kemarahannya pada saat itu dan di tempat itu, supaya tidak nanpak seperti anak yang kurang ajar terhadap ibunya. Nada suaranya tetap hormat biar pun kemarahan menggelegak dalam dadanya,

"Ibunda, apa yang tercantum di dalam Surat Wasiat apakah masih kurang berharga untuk mensyahkan kedudukanku sekarang? Kenapa banyak orang hanya memuja-muja Adinda In Te, sehingga ketika Hu-hou menentukan lain maka semuanya menjadi kecewa dan menentang aku? Apakah mereka kira aku akan menjadi se oring penguasa yang buruk?"

Meskipun Ibusuri Tek Huai hanya seorang perempuan tua bertubuh lemah, tapi tatapan matanya sangat berpengaruh, sehingga Kaisar Yong Ceng pun tak kuasa menentang tatapannya dan pura-pura menoleh kearah lain. Kata Ibu suri, “Anakku, selembar kertas takkan mampu membungkus api. Jangan kau anggap ibumu terlalu bodoh untuk mengetahui apa yang terjadi atas diri ayahandamu….”

Kaisar terkesiap, kuatir Ibundanya “mengoceh” macam-macam dan didengarkan oleh para prajurit. Dalam bingungnya, dia menoleh kepada pamannya, Liong Ke Toh, yang selalu membela dan memanjakannya sejak kecil dulu.

Liong Ke Toh tahu sudah tiba gilirannya untuk bicara, iapun bicara dengan sikap resmi biarpun terhadap kakak perempuannya sendiri, “Tuan puterri, tidak perlu kita hiraukan desas-desus di luaran yang hanya berasal dari mulut usil yang dengki atau kecewa. Mendiang Sribaginda Khong Hi memang scara syah telah menunjuk penggantinya, yaitu puteranya yang keempat. Sekarang yang penting apakah Tuan Puteri akan membiarkan kedua putera Sribaginda itu baku hantam gara-gara hasutan manusia tak bertanggung jawab macam Pak Kion Liong? Apakah tuan puterri akan melihat dinasti kita hancur sampai sekian saja?”

Ibusuri Tek Hui merasa dirinya seperti sehelai daun ilalang yang lemah dihembus angin kencang kesana kemari. Bahkan adiknya sendiripun kini ikut menekannya. Tetapi tidak ada yang lebih menyedihkan hati seorang ibu kecuali melihat putera- puteranya saling bunuh di depan hidungnya, tanpa memperdulikan yang satu adalah putera yang curang dan yang satu lagi hanya ingin mempertahankan yang menjadi haknya. Ia lupa bahwa keputusannya akan menyangkut nasib berjuta-juta rakyat kekaisaran, ia hanya ingin menjadi seorang ibu yang melihat putera-puteranya hidup rukun.

Karena itulah ibusuri kemudian berkata dengan lemahnya, “Aku akan berbicara dengan In Te. Suruhlah pengawal membuka pintu gerbang dan menyiapkan tandu."

Tetapi Yong Ceng tidak mau "Jimat pelindung"nya itu lepas dari tangannya. "Maafkanlah ananda, Ibunda, permintaan Ibunda tidak mungkin dikabulkan. Dua pasukan masih berhadapan dalam suasana permusuhan dan hati yang panas, kalau pintu dibuka, tentu Adinda In Te akan menyerbu masuk dan membunuh ananda. Kalau Ibunda ingin bicara dengan Adinda In Te, cukup kami berikan isyarat supaya Adinda In Te mendekat ke tembok, dan Ibunda akan dapat berbicara kepadanya..."

“Aku sudah tua dan suaraku Sudan lemah, takkan bisa didengar oleh In Te dibawah Sana."

"Biarlah salah seorang pengawal yang suaranya kuat akan meneriakkan kata-kata Ibunda. Ibunda cukup bicara pelan-pelan saja, agar kesehatan Ibunda tidak terganggu."

Ibusuri Tek Huai tertawa dingin dan menjawab, "Eh, sekali-sekali muncul juga liang-sim (hati nurani) mu ya?"

Kuping Kaisar memerah oleh sindiran itu. Kemudian diperintahnya seorang pengawal untuk berteriak keras-keras ke seberang, memohon agar Pangeran In Te mendekat ke tembok karena Ibusuri Tek Huai hendak berbicara kepadanya.

Ketika pesan itu secara berantai sampai kepada In Te, maka pangeran itu pun menjadi lemah hatinya. Betapa bencinya dia kepada kakak keempatnya dan kepada pamannya, tetapi kepada Ibundanya ia tidak dapat mengkesampingkan rasa rindu dan cintanya. Kasih sayang perempuan itulah yang telah membesarkan-nya dan menjadikan dirinya nyaris menjadi Kaisar Manchu.

Beberapa jenderal bawahan ln Te diam-diam tidak senang melihat sikap yang mereka anggap lemah itu. Tadipun mereka menghentikan gempuran ke tembok kota dengan rasa terpaksa, karena perintah In Te, padahal mereka merasa bahwa yang mereka lakukan barulah "pemanasan", belum gempuran yang sungguh-sungguh. Belum lagi kekecewaan mereka reda, tahu-tahu mereka mendengar niat Pangeran In Te untuk mendekati tembok kota.

“Terlalu berbahaya, Pangeran”, kata seorang jendralnya yang bernama Au Yu Beng. “Kalau pangeran mendekati tembok, dengan mudah tubuh pangeran akan mudah dikenai peluru atau panah yang dilepaskan dari atas tembok. Ini Pasti jebakan licik yang disusun oleh Pangeran In Ceng atau si bangsat tua Liong ke Toh itu.”

“Tetapi ibunda memanggilku dan aku harus kesana. Di hadapan ibunda, tidak mungkin kakanda In Ceng berani berbuat gila kepadaku.”

Jenderal-jenderal yang berwatak keras itu saling pandang sambil geleng geleng kepala. Au Yu Beng membatin dalam hatinya, “ Di medang perang Jing Hai, Pangeran In Te adalah penakluk yang perkasa. Namun di Pak-khia, ia adalah seorang anak manja yang tak berani membantah perintah ibunya.”

Sementara seorang jendral lainnya yang bernama Seng Tiong Kun berkata, “Pangeran, maafkan kalau hamba mengingatkan bahwa Pangeran In Ceng sanggup mehalalkan semua cara untuk mencapai tujuannya. Ia mewaris tahta dengan cara yang amat mencurigakan, dan pasti sanggup melakukan kejahatan apa-pun untuk mempertahankan tahta rampokkanya. Termasuk membunuh Pangeran, tak perduli dihadapan Tuan Puteri Tek Huai.”

“Lalu, haruskah kudiamkan saja pesan ibunda?”

“Pesan itu belum tentu berasal dari Tuan Puteri Tek Huai, kemungkinan besar adalah akal licik Liong Ke Toh…”

“Bagaimana kalau ternyata benar-benar pesan Ibunda? Ibunda tentu akan terluka hatinya kalau aku tidak memenuhi panggilannya, padahal aku adalah anak kesayangannya.”

Para jendral ternyata tidak sanggup menghalang-halangi niat Pangeran In Te. Namun para jendral kemudian menunjukkan kesetiaannya dengan mengawal sendiri Pangeran In Te mendekati tembok kota, mengelilingi tubuh Pangeran In Te sambil membawa tameng-tameng besi yang sanggup menangkis panah atau peluru bedil. Dengan beriring-iringan menunggangi kuda. Pangeran In Te serta pengawal-pengawal setianya bergerak menyebrangi dataran itu, mendekati tembok kota Pak-Khia.

Setelah cukup dekat untuk melihat jelas wajah ibundanya, Pangeran In Te melompat turun dari kudanya untuk berlutut di tanah sambil berseru, “Ibunda!”

“Oh, anakku sayang!” terdengar jawaban dari atas tembok, bukan suara ibusuri Tek Huai, melainkan suara lelaki yang keras dan kasar, yang mulutnya mewakili mulut ibusuri yang hanya bisa berbicara lemah, ia benar-benar corong yang setia, seandainya Ibu suri batuk pun tentu akan berusaha ditirukannya setepat-tepatnya.

Begitulah Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai hanya dapat saling menatap dari jarak jauh, melampiaskan kerinduan masing-masing. Dan ketika melihat Kaisar Yong Ceng, meluaplah darah Pangeran In Te “Kakanda, apa maksudmu dengan membawa ibunda ke tempat berbahaya ini?”

“Begitukah sikapmu terhadap rajamu?” bentak Yong Ceng tak kalah sengitnya, Tapi ketika caci maki hendak dihamburkan, Liong Ke Toh buru-buru membisikkinya, “Hendaknya tuanku menahan diri, jangan membuatnya marah. Kita belum cukup punya kekuatan untuk membendung amarahnya, harus menunggu sampai Ni Keng Giau pulang dari Liau Tong….”

Meskipun merasa marah terhadap sikap In Te, namun Yong Ceng dapat menerima alas an Liong Ke Toh. In Te saat itu takkan bisa ditakut- takuti dengan topi dan Jubah kekaisarannya. Sebab dibelakangnya masih ada pasukan besar yang setiap saat dapat diperintahkan untk menggilas Pak-Khia.

Sementara itu di bawah tembok Pangeran In Te masih berseru marah, “Manusia curang macam kau minta dihormati sebagai Kaisar? huh!”

Yong Ceng tidak menjawab, namun Liong Ke Toh yang maju ke pinggir tembok dan berteriak, “Pangeran, pertentangan antara saudara sendiri, kenapa tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan? Hamba memohon, tariklah pasukan Pangeran dan kita bisa berbicara sebagai sesama keluarga tanpa hati yang panas!”

In Te menyahut, “Ular tua, baru sekarang kau menyebut-nyebut kami bersaudara? Dulu ketika aku hendak ditangkap kakanda In Ceng di Aula Istana ketika ada sidang istana, kenapa kau tidak mencegah kakanda In Ceng dengan mengingatkannya bahwa kami bersaudara mana pembelaanmu dulu kepadaku, ular tua?”

Makian “ular tua” beberapa kali itu sanggup membuat muka Liong Ke Toh tidak sedap dipandang. Tapi karena sadar bahwa In Te dalam kedudukan lebih kuat, semua hinaan terpaksa harus di telan dulu. Katanya berlagak sabar, “Pangeran, hamba tahu kau sangat marah. Tetapi Pangeran harus ingat ibunda Pangeran yang belakangan ini merosot kesehatannya, jangan membuatnya bertambah cemas dengan dentuman-denturman meriam Pangeran."

In Te terkesiap, dalam kata-kata Liong Ke Toh itu terkandung ancaman atas diri Ibusuri Tek Huai kalau In Te berani melanjutkan serangannya. Betapapun panas hati In Te, dia tak mungkin mengabaikan keselamatan ibundanya begitu saja.

Saat itulah Pak Kiong Liong yang berada di sebelah In Te telah membisikinya agar bersabar. Bgitulah, kalau Yong Ceng didampingi Liong Ke Toh, maka In Te didampingi Pak Kiong Liong, sehingga sebenarnya kedua orangtua itu lah otak dari percaturan di panggung kekuasaan itu, membela pihaknya masing masing.

"Kalian benar-benar tidak tahu malu, mempergunakan Ibunda sebagai perisai kalian!" caci In Te. “Baik, apa kemauan kalian?"

Hampir saja Yong Ceng melonjak girangan, bisiknya ke kuping Liong Ke Toh, “Suruh dia dan seluruh pasukannya untuk meletakkan senjata.” Namun Liong Ke Toh tidak setuju "Jangan dulu menuntut terlalu berat. Tuanku, dalam kedudukan sekuat Pargeran In Te sekarang, tentu ia takkan mengabulkan tuntutan kita. Malah bisa menimbulkan kemarahannya, bagaimanapun sayangnya dia kepada Tuan Puteri Tek-Huai."

"Lalu bagaimana?"

"Kita ajukan tuntutan yang ringan-ringan saja sambil mengulur waktu sampai datangnya Ni Keng Giau dan mencoba meneliti titik-titik kelemahan Pangeran In Te."

"Terserah kepada Paman."

Sementara itu Ibusuri Tek Huai diam-diam merasa sedih dan muak mendengar percakapan itu. Banyak orang haus kekuasaan yang membayangkan betapa agungnya menjadi anggota keluarga kerajaan, tetapi bagi perempuan itu, kalau bisa memilih. ia lebih suka menjadi rakyat biasa saja. Ya, seandainya dia hanya isteri seorang petani desa, bukan isteri Kaisar Khong Hi, tentu putera-puteranya hidup bersama dengan rukun. Tapi kenyataannya gara-gara tahta, kedua puteranya berhadapan bersitegang leher dengan pasukannva masing-masing sepert i itu.

Sementara itu terdengar Liong Ke Toh menjawab pertanyaan Pangeran In Te tadi, "Pangeran, kami hanya menginginkan perundingan yang adil sesama saudara." Pangeran In Te mendengus dan Liong Ke Toh cepat-cepat menyambung, "Sikap rukun antara sesama putera Sribaginda Khong Hi adalah obat mujarab bagi kesembuhan Tuan Puteri Tek Huai selanjutnya....."

Memang, soal Ibusuri Tek Huai itulah titik kelemahan In Te yang terus ditekan oleh Liong Ke Toh, sehingga tanpa pikir panjang lagi In Te menyahut, "Baiklah. Kapan kita akan berbicara, dan dimana waktunya? Jangan terlalu lama."

Jawaban itu menggirangkan Liong Ke Toh, sebaliknya mengejutkan jenderal-jenderal bawahan In Te sendiri termasuk Pak Kiong Liong. Pak Kiong Liong sudah kenal betapa liciknya komplotan Kaisar, dan yakin ada semacam siasat licik di beiakang perundingan itu. Tidak mungkin hanya karena mengkhawatirkan keselamatan Ibusuri. Tetapi In Te sudah mengucapkannya, tidak mungkin menyuruh Pangeran itu menjilat kembali ludahnya. Tetapi Pak Kiong Liong berharap agar dirinya dapat ikut berunding sehingga In Te terhindar dari kelicikan lawan, sementara pertumpahan darah antara sesama perajurit ke kaisaran juga terhindari.

Sementara dari atas tembok terdengar jawaban Liong Ke Toh, "Tidak terlalu lama, Pangeran. Empat hari lagi akan diadakan sembahyang besar untuk arwah Sribaginda, yang dihadiri seluruh keluarga istana. Bagaimana kalau kesempatan itu sekalian dimanfaatkan untuk membereskan pertikaian ini?"

Alangkah licinnya Liong Ke Toh. Upacara memberi hormat kepada arwah Kaisar Khong Hi tentu saja akan berangsung di dalam kota Pak-khia. Dalam kota tempat raja, jelas lebih menguntungkan pihak Kaisar Yong Ceng. Namun Liong Ke Toh nanya menyebutkan "di tempat upacara" dan bukannya "di dalam kota Pak-khia" supaya tidak menimbulkan kecurigaan Pangeran In Te.

Pangeran In Te yang tengah panas hatinya itu benar-benar terjebak akhirnya. "Bagus! Di hadapan altar sembahyang mendiang Hu Hong, akan kita tentu kan siapa yang berhak atas tahta. Biarllah arwah Hu Hong sendiri menjadi saksi dan menentukan pilihannya!"

Pak Kiong Liong merasakan adanya perangkap, tetapi tidak sempat lagi mencegah Pangeran In Te memutuskan demikian. Kata sepakat tercapai. Pangeran In Te segera "menyimpan" pasukannya ke dalam perkemahan yang melingkari kota Pak-khia bagaikan gelang raksasa, namun tetap diperintahkan daiam keadaan waspada.

Sedangkan Kaisar Yong Ceng, Ibusuri Tek Huai, dan pengawal-pengawal merekapun kembali ke istana. Seorang perwira di pihak Kaisar, diam-diam menggerutu dengan batalnya pertempuran sebelum dia sempat menembak jidat seorang perwira dalam pasukan In Te yang meminjaminya uang setahun yang lalu. Kalau perwira yang meminjaminya uang itu mampus, tentu utang-utangnya akan lunas.

Sementara di perkemahan In Te. Beberapa jenderal yang tidak puas akan keputusan In Te itu diam-diam telah berunding untuk merencanakan sebuah tindakan tersendiri tanpa diketahui Pangeran In Te.

“Perundingan hanya setimpal kalau kedua pihak berkekuatan seimbang," kata Au Yu Beng dengan berapi-api karena gemasnya. "Namun kedudukan kita yang jauh lebih kuat, benar-benar bodoh kalau mau diajak berunding oleh In Ceng!"

Jenderal-jenderal pengikut Pangeran In Te itu memang tidak mau menyebut Yong Ceng. Beberapa jenderal yang tidak puas akan keputusan In Te itu diam-diam telah berunding untuk merencanakan sebuah tindakan tersendiri tanpa diketahui Pangeran In Te. Dengan sebutan Hon Siang (kaisar), tetapi tetap sebagai In Ceng, karena tidak mengakuinya sebagai Kaisar yang syah.

Seorang jenderal lain yang bertubuh pendek kecil dengan bekas luka dipipinya, bernama Le Koan Ok, menyahut sambil memukul lengan kursi, “Saudara Au memang betul! Kita semua hormat kepada Pangeran In Te dan Ibusuri Tek Huai, tapi tidak boleh mempertaruhkan peluang emas kita karena sikap lemah Pangeran In Te. Penundaan waktu hanya akan memberi kesempatan kepada Pangeran In Ceng untuk mengumpulkan kekuatan. Biarpun dia terkurung di Ibukota, tapi siapa tahu akan ada pertolongan dari luar?”

"Tapi bagaimana kita bisa turun tangan?" tanya seorang perwira tinggi berpangkat Cong-peng (lebih kurang sebanding dengan brigadir jenderal) yang bernama Ui Bok. berwajah tampan dengan kumis rapi yang menghiasai bawah hidungnya.

Jawab Au Yu Beng, "Aku ada sebuah gagasan, namun membutuhkan keberanian saudara saudara untuk melaksanakan.”

“Katakan saja, saudara Au," kata Le Koan Ok.

“Yang melemahkan sikap Pangeran In Te ialah karena tertahannya Ibusuri Tek Huai di tangan In Ceng. Maka Ibusuri Tek Huai harus diculik dari istana, kita bebaskan dari cengkeraman In Ceng!"

"Akal bagus, tapi pelaksanaannya sulit. Berarti kita harus masuk istana yang dijaga ketat, lalu keluar kembali membawa seorang perempuan tua yang tidak pandai bersilat?"

"Karena sulitnya itulah maka kita sendiri yang akan melakukannya sendiri. Lagipula, tidak perlu membawa Ibusuri Tek Huai sampai ke perkemahan kita, itu nyaris mustahil. Cukup kalau disembunyikan di sebuah tempat aman di dalam kota Pak-khia sendiri."

Sesaat kemah itu sunyi senyap, tak ada yang menanggapi usul yang berbahaya itu, dan kemudian suara Au Yu Beng sendiri yang melengkapi usulnya tadi, "Biarpun kita bukan orang-orang berilmu setinggi langit atau setengah dewa, tetapi kita punya otak bukan? Aku tahu sebuah jalan masuk ke istana yang mungkin aman...."

"Lewat mana?"

"Saluran air kotor yang menembus ke dapur istana, letaknya tidak jauh lagi dari kediaman Ibusuri Tek Huai."

"Astaga. Jadi Tuan Puteri akan kita bawa lewat saluran air kotor yang bukan saja amat dingin, namun juga berbau busuk luar biasa?"

"Rasanya hanya itulah satu-satunya jalan. Apakah kita akan membiarkan Pangeran In Te terus-terusan ditekan oleh Liong Ke Toh selama Ibusuri di tangan mereka?"

Ui Bok mengepalkan tinjunya dan berseru, "Aku setuju. Tidak ada salahnya malam ini aku berkecimpung sebentar di air dingin dan busuk, dari pada membiarkan tahta dikangkangi sebuah komplotan yang tidak berhak!"

"Aku juga ikut!" sambung Le Koan Ok.

"Aku juga!" seorang jenderal berwajah merah dan berjenggot kaku yang bernama Utti Hui Pa. Kekuatan sepasang lengannya sangat terkenal dikalangan pasukan, la sanggup mengangkat cio-sai (arca singa) seberat 200 kati lebih dan dilempar-lemparkan seenaknya seperti anak-anak bermain bola saja.

Delapan jenderal dan panglima bawahan In Te terkumpul untuk melakukan tindakan nekad itu. Di antara delapan orang itu memang tidak ada yang sehebat Pak Kiong Liong silatnya, tapi masing-masing punya kemampuan yang luma- yan juga. Lagipula mereka terbiasa bukan sekedar adu otot, melainkan menggunakan otak dengan baik pula.

Malam itu juga, kedelapan orang itu meni nggalkan perkemahan secara berpencar-pencar dan berkumpul di sebuah tempat sepi yang sudah mereka janjikan sebelumnya. Mereka meninggalkan perkemahan dengan jubah kepanglimaan mereka masing-masing agar tidak mendapat rintangan dari para penjaga.

Jubah panglima segera dicopot, dan di balik jubah itu mereka mengenakan ya-hing-jin (orang jalan malam) yang berwarna hitam ringkas sekujur badan, bahkan dilengkapi dengan penutup muka dari kain hitam pula. Senjata-senjata mereka digendong di pundak, kantong senjata rahasia digantung di pinggang, dan rambut mereka yang dikuncir panjang itu dilibatkan ke leher mereka.

Au Yu Seng sempat berseloroh, “Kita adalah panglima-panglima terhormat, tak disangka kalau malam ini kita harus berdandan mirip cecunguk-cecunguk Bu-Lim (rimba persilatan)."

Antara golongan yang bekerja pada kekaisaran dengan golongan rimba persilatan memang saling memandang rendah satu sama lain. Orang-orang kekaisaran mengejek orang-orang rimba persilatan sebagai gelandangan-gelandangan tak berguna, sebaliknya orang-orang rimba persilatan menyindir orang-orar kekaisaran sebagai "kuku garuda" atau "anjing-anjing Kaisar".

Kedelapan orang itu memanjat tembok kota Pak-khia dengan menggunakan cakar besi yang di pasang di telapak tangan mereka, dan beberapa saat kemudian merekapun sudah berada disebelah tembok kota. Mereka menempuh lorong-lorong gelap kota Pak-Khia yang berliku-liku, dan sampailah ke dinding belakang istana. Mendekati dinding itupun bukan pekerjaan gampang, sebab sebentar-sebentar satu regu perajurit lewat dengan senjata terhunus, meronda.

Namun suatu saat merekapun mendapat kesempatan untuk menceburkan diri ke saluran air kotor yang akan membawa mereka ke bagian dalam dinding istana. Ui Bok, si Jenderal perlente, hampir muntah-muntah selangkah sambil membungkuk di air kotor setinggi paha. Ia harus memencet hidungnya kuat-kuat sambil melangkah mengikuti rekan-rekannya.

Tiba dibagian dalam yang terbuka, baru saja mereka hendak melompat keluar dari saluran air, terdengarlah suara langkah mendekat. Ke delapan Jendral itu terpaksa buru-buru berjongkok menyembunyikan diri, sehingga kini yang basah bukan hanya kaki namun juga seluruh badan kecuali kepala.

Yang datang mendekat adalah dua orang tukang masak istana. Tiba dipinggir saluran air, enak saja mereka membuka celana dan kencing di atas kepala para jenderal yang bersembunyi di parit. Setelah kedua tukang masak itu pergi, seorang jenderal bernama Liu Ban menggerutu,

"Pengalaman yang luar biasa. Dingin di bawah, panas di atas!"

"Ya," sahut Utti Hui Pa. "Jenderal-jenderal terpercaya bawahan Bu-war Ciangkun (gelar Pangeran In Te sebagai kepala perang) dikencingi kepalanya oleh tukang-tukang masak...."

Au Yu Beng tertawa pula, namun ia memperingatkan dengan suara berbisik, "Jangan bercanda saja. Ayo kita selesaikan pekerjaan kita selagi fajar belum tiba.”

"Kira-kira dimana kediaman Ibusuri Tek Huai?"

"Kita akan mencarinya."

"Di istana seluas ini?"

“Kita coba tangkap seorang pengawal dan kita korek keterangan dari mulutnya!"

"Bagus, ayo kita keluar dari parit busuk ini”

Mereka merayap keluar dengan hati hati, merunduk dari satu rumpun kerumpun bunga lainnya, dari gunung-gunungan satu ke gunung-gunungan lainnya, dan sekali harus menyelam di sebuah kolam bunga teratai karena hampir kepergok serombongan penjaga berjumlah besar. Malah kebetulan bisa sekalian membersihkan diri dari air parit yang kotor tadi.

"Keparat, apakah kita bakal gagal malam ini?" geram Utti Hui Pa yang tidak sabaran itu.

"Lihat, ada pengawal datang sendirian. Kita sergap dia."

"Seorang pendeta Lama. Aku dengar memang Pangeran In Ceng banyak mendatangkan pendeta Lama dari Tibet ke Pak khia, katanya untuk belajar agama."

"Sssst, jangan ribut. Dia semakin dekat."

Begitu pendeta Lama itu lewat dekat persembunyian kedelapan jenderal-nya In Te Uu, Au Yu Beng segera turun tangan. Secepat kilat ia melompat dari persembunyiannya, telapak tangannya langsung menebas ke arah tengkuk pendeta Lama itu dengan gerakan Ciam-liona-jiu (Tangan Memotong Naga). la berharap dengan sekali pukul akan melumpuhkan si pendeta Lama dan dikorek keterangannya.

Sama sekali tidak diperhitungkan-nya bahwa para Lama itu bukan hanya membaca kitab dan mengajar agama, melainkan juga merupakan pengawal-pengawal terpercaya Kaisar Yong Ceng, sehingga ilmu silat merekapun tangguh. Pendeta itu memang kaget mendapat sergapan mendadak, tetapi dengan tangkas dia merendahkan badan sambil memutar badan, dengan gerakan Sun-jiu-cian oh (Mengulur Tangan Menuntun Kambing), ia berhasil menangkap pergelangan tangan Au Yu Beng dan sekaligus membant ingnya.

Sebenarnya Au Yu Beng juga tidak lemah silatnya, hanya ia tidak menduga kalau si pendeta Lama dapat melawan dengan hebat, sehingga diapun terbanting dengan suara gemerasak di semak-semak.

Sementara si pendeta Lama telah berteriak, "Ada pembunuh!"

Satu teriakan sudah cukup membangunkan istana yang sunyi tetapi sebenarnya terjaga ketat itu, kini di mana mana terlihat orang-orang bersenjata bermuncukan dan berhamburan ke semua arah. Sadarlah ke delapan orang jenderal bawahan In Te itu bahwa usaha malam itu sudah gagal mutlak. Satu-satunya kemungkinan hanyalah mundur, tetapi hal itupun tidak akan begitu gampang dilaksanakan. Istana sudah terbangun.

Utti Hui Pa justru melompat keluar dari persembunyiannya sambil berteriak kepada kawan-kawannya, "Tak ada gunanya lagi bersembunyi seperti kura-kura. Lebih baik secara untung-untungan kita terjang keluar secara kekerasan!"

Ketujuh rekannya berpikir sama, memang tidak ada jalan lain lagi. Maka merekapun berlompatan keluar dengan senjata di tangan masing-masing. Dengan garang Utti Hui Pa menyongsong sekelompok pengawal istana yang menyumbat jalannya, sekali goloknya berkelebat maka dua perajurit terdepan segera terjungkal roboh. Namun perajurit-perajurit lainnya dengan cepat mengurung maju tanpa kenal takut. Lembing- lembing dilontarkan ke arah Utti Hui Pa dan sebatang di antaranya melukai pahanya sehingga ia menjadi pincang.

Tetapi Utti Hui Pa mengamuk seperti macan luka, tidak peduli luka-lukanya. Sebenarnya lebih tepat kalau diketakan dia mengamuk karena putus asa, sudah susah-susah menyelundup sampai ke dalam istana, ternyata di istana begitu gampang kepergok musuh.

Serombongan pengawal berseragam Lwe-teng-wi-su (pengawal istana) muncul, dipimpin perwiranya yang bersenjata Hong-thian-kek (tombak bercabang). Perwira itu langsung menghadang di depan Utti Huipa sambil berseru. "Selamat bertemu kembali , saudara Utti. Sudah bagus kau menjadi pahlawan bernama harum di medan perang Jing-hai, kenapa sekarang malah merusak namamu sendiri dengan menjadi pengacau di istana jun-junganmu sendiri?"

Perwira ini bernama Be Kun Liong, seangkatan dengan Utti Hui Pa, dan sama-sama menanjak pangkatnya dalam pasukannya masing-masing, bersahabat agak kental pula, namun kita harus berhadapan gara-gara membela junjungan masing-masing. Utti Hui Pa memperjuangkan kemenangan Pangeran In Te, sedang Be Kun Liong sebagai pengawal istana yang sedang bertugas tentu saja tak dapat mem biarkan siapapun mengacau istana, biar pun sahabat karib.

Utti Hui Pa menyahut galak, "Saudara Be, aku tidak sudi mengakui In Ceng sebagai raja karena kecurangan-nya. Minggir sajalah kau. Jangan menghalangi tindakanku, demi persahabatan kita!"

Be Kun Liong geIeng-geleng kepala sambil menyahut, "Saudara Utti sebagai perajurit yang baik tentu tahu bagaimana sikap seorang perajurit dalam memikul kewajibannya, jadi pahamilah sikapku kali ini."

"Menyesal sekali aku harus membunuhmu, saudara!" Utti Hui Pa kehabisan kesabaran dan goloknya langsung menyerang dalam gerak Thai-san-ap-ten (Gu-nung Thai-san Roboh ke Kepala).

Be Kun Liong mundur selangkah untuk memasang kuda-kuda, tangkai tombak nya memukul terpental golok Utti Hui Pa, lalu ujung tombaknya dengan gerak Liong leng-hong bu (Naga berputar Burung Hong Menari), sisi tajam tombaknya hendak melukai leher Utti Hui Pa. Cepat Utti Hui Pa menunduk dan balas membabat ke pinggang, sehingga bertempurlah mereka dengan hebatnya, tanpa sungkan-sungkan lagi.

Di sebelah lain, Au Yu Beng sudah menghunus pedangnya untuk melawan si pendeta Lama yang tetap bertangan kosong. Ternyata kepandaian pendeta Lama itu cukup hebat, hantaman sepasang telapak tangannya menimbulkan deru angin yang hebat, dan dengan berani ia sekali-Sekali mencoba mencengkeram atau menampar pedang lawannya.

Ternyata Au Yu Heng memang salah memilih korban yang badannya dikira dapat disergapnya dengan gampang, sebab Lama itu adalah salah satu murid kesayangan Biau Beng Lama yang bernama Po Goan Lama. Kini malah Au Yu Beng yang terus didesak ke arah kolam teratai, agaknya akan dipaksa untuk "mandi" sekali lagi.

Jenderal-jenderal bawahan In Te lainnya pun telah berkelahi secara nekad, tetapi jumlah lawan yang terlalu banyak membuat mereka tak berdaya. Apa lagi kemudian regu bersenjata bedil sundut juga muncul, dan melepaskan tembakan-tembakan setiap ada kesempatan. Dua jenderal pengikut In Te roboh tertembus peluru.

Le Koan Ok yanq tadinya dengan berapi-api menepuk dada menyatakan sanggup berjuang habis-habisan, kini mulai rontok semangatnya ketika melihat pengawal istana bermunculan tak habis-habisnya. la mulai memaki ketololan dirinya sendiri, dan memaki pula Au Yu Beng yang menelurkan gagasan itu. Dia selalu bertempur dengan menyusup-nyusup di antara pengawal-pengawal istana, agar tidak gampang ditembak.

Ketika ada peluang, ia menerobos keluar dari kerumunan musuh dan berlari sekuatnya kearah parit berair busuk yang dilaluinya ketika masuk tadi. Tapi sebelum sampai, ia mendengar suara gemerincing di atas kepalanya, dengan rasa heran ia melambatkan langkah dan menoleh ke atas, melihat sebuah topi kulit bundar dikendalikan seutas tali tipis yang melayang-layang ringan. la heran, tidak tahu apa gunanya benda itu.

Sedetik kemudian iapun merasakan sendiri manfaat benda itu, ketika topi kulit itu menerengkup kepalanya dan sepasang pisau tajam keluar dari pinggiran topi kulit untuk menjepit lehernya. Itulah Hiat-ti-cu yang dikendali sendiri oleh Biau Beng Lama, dan Le Koan Ok adalah korban ke sekian ratus kalinya dari senjata keji itu.

Ribut-ribut di bagian istana itupun mereda karena jenderal-jenderal pengikut Pangeran In Te itu semakin lemah perlawanannya. Lima orang jenderal terbunuh, sedang Au Yu Beng, Utti Hui Pa biarpun sudah dibelenggu, mulutnya terus mencaci maki Kaisar Yong Ceng sebagai "Kaisar gadungan" atau "manusia serakah" atau "pembunuh keji” dan lain lainnya.

Karena ributnya, seorang perwira istana mencomot segumpal rumput untuk disumpalkan kemulut Utti Hui Pa agar bungkam. Utti Hui Pa marah, Au Yu Beng kelihatan dingin-dingin saja sedangkan Ui Bok menangis tanpa malu-malu lagi sambil meratap-ratap minta ampun.

Biau Beng Lama seqera memerintahkan para pengawal istana, "Bawa mereka ke penjara!"

Perwira yang diperintah menjawab dengan perasaan tidak senang, "Maaf, Seng jin. Kami berada di bawah perintah Be Cong-koan (Komandan Be), bukan Seng-jin."

Biau Beng Lama yang selama ini menjadi orang dekatnya Kaisar Yong Ceng sehingga timbul rasa lebih berkusa dari panglima-panglima istana, menjadi merah padam mukanya mendengar jawaban perwira itu, "He, perwira kecil, kau tahu tidak siapa aku ini?"

Dengan sikap hormat terpaksa, si perwira menjawab, "Aku tahu Seng-jin adalah penasehat Hong-siang."

"Bagus kalau kau ketahui itu. Nah jalankan perintahku!"

"Maaf, Seng-jin, dalam tugasku bagai perajurit hanyalah menjalankan perintah atasanku, bukan orang lain."

Biau Beng Lama yang sedang bernafsu untuk pamer kekuasaan itupun tiba tiba mengangkat tangannya, sekali pukul maka si perwira roboh tewas denqan tulang dada yang remuk.

"Siapa berani menentang perintahku, inilah hukumannya!" serunya sombong.

Tindakannya itu menggusarkan perwira-perwira istana lainnya. Memang sudah lama pengawal-pengawal istana tidak suka melihat semakin banyaknya pendeta Tibet dalam istana. Mula-mula para pendeta itu hanya bergerak di bidang keagamaan, lalu ikut menasehatan Kaisar, mengawal Kaisar dan lama-kelamaan mulai ikut mengatur sana-sini sehingga para pengawal istana menjadi sebal.

Kini melihat seorang rekan mereka dibunuh Biau Beng Lama, para pengawal istana serempak menghunus senjata mereka dan melangkah penuh ancaman ke arah Biau Beng Lama. Namun para pendeta berjubah merah juga telah membentuk barisan untuk membela pemimpin mereka. Begitulah kedua kelompok yang baru saja bekerja sama melawan orang- orangnya In Te itupun kini malah berhadap- hadapan penuh kebencian satu sama lain.

Tentu saja "tontonan" itu sedikit memberi kepuasan kepada Au Yu Beng dan Utti Hui Pa yang terbelenggu. Baru saat itu mereka tahu di antara pengikut Kaisar sendiri ada persaingan sengit antar golongan. Biarpun besok kepalanya harus dipenggal, diam-diam mereka puas asal sudah bisa melihat para pengawal istana dan para pendeta itu saling bacok agar mampus semua.

Keadaan semakin tegang. Ketika para pendeta mengeluarkan senjata Hiat-ti-cu dari gendongan mereka masing-masing, maka para pengawal bersenjata bedilpun langsung bersiap di barisan depan, tinggal menunggu aba-aba Be Kun Liong untuk menembak.

Be Kun Liong berkata dengan dingin, "Seng-jin, kalau ada seorang anak buahku yang kurang sopan, harusnya aku yang menghukumnya, bukan kau yang main bunuh seenaknya saja!"

Namun Biau Beng Lama merasa kedudukannya terlalu tinggi dan tidak mau merendahkan diri untuk minta maaf. Itulah penyakit sebagian orang-orang berkedudukan tinggi, menganggap bahwa minta maaf adalah hal yang memalukan. Sahut Biau Beng Lama angkuh, "Anak buahmu itu sudah tahu kedudukanku di istana, tapi masih juga membangkang perintahku. Kalau tidak kuhukum, tata tertib dalam istana ini akan kacau!"

Hati Be Kun Liong pun semakin panas. "Seandainya pasukan kami harus di tertibkan, juga tidak perlu campur tanganmu! Tewasnya seorang anak buahku tidak bisa dianggap selesai begitu saja!"

"Lalu kalau kau tidak terima, kau mau apa?" gertak Biau Beng Lama. Dengan sebuah isyarat tangan, para pendeta mulai menerbangkan kantong-kantong kulit mereka sehingga bergemerincingan di udara. Pada isyarat berikutnya, kantong-kantong maut itu akan mulai "memetik" beberapa butir kepala.

Namun Be Kun Liong tidak gentar, "Ayo, lepaskan kantong kantong kulit rongsokan itu, nanti kita lihat mana yang lebih lihai dibandingkan peluru-peluru bedil kami!"

Kecut juga hati para pendeta mendengar gertakan itu, biarpun bedil jaman abad delapanbelas itu hanya bisa ditembakkan sekali setiap kali diisi, namun pelurunya jelas lebih berbahaya dari kantong-kantong Hiat-ti-cu, apalagi di tempat terbuka seperti di halaman istana itu. Biau Beng Lama sendiri beserta beberapa muridnya yang paling lihai barangkali bisa selamat, namun pendeta-pendeta lainnya yang kurang tangguh sudah pasti akan tertumpas oleh peluru para pengawal istana.

"Apa maumu sekarang?" tanya Biau Beng Lama dengan suara melunak. Untuk keselamatan sebagian besar anak buahnya, terpaksa ia harus mengurangi kecongkakannya, meskipun dalam hatinya berkobarlah dendamnya terhadap Be Kun Liong.

"Seng-jin, aku tidak minta nyawa dibayar dengan nyawa. Cukup asal di depan sidang Kerajaan besok pagi kau mengucapkan permintaan maaf secara terbuka kepada kami, para pengawal istana, dan berjanji tidak akan mencampuri tugas kami bukan kalian."

Merah padamlah muka para Lama, namun moncong berpuluh-puluh bedil yang teracung ke tubuh mereka itu membuat mereka harus menyabarkan diri.

"Jawab!" bentak Bu Kun Liong. "Atau harus, kuperintahkan anak buahku untuk menembak?"

Biau Beng Lama benar-benar tersudut, alangkah malunya kalau menuruti permintaan Be Kun Liong. la tidak siap menghadapi kejadian macam itu. Biasanya kalau para perajurit dibentak-bentaknya, atau ditamparnya, mereka hanya menatap marah tanpa berani melawan. Tapi sekarang puluhan pucuk bedil siap ditekan pelatuknya di depan hidungnya.

Saat serba sulit itulah tiba-tiba terdengar seruan beberapa pengawal istana, "Hong-siang tiba!"

Lalu Kaisar Yong Ceng muncul diiringi sekelompok pengawal berseragam kuning emas, agaknya Kaisar tertarik mendengar ribut-ribut itu dan menengoknya sendiri. Be Kun Liong dan Biau Beng Lama terpaksa harus lebih dulu menyingkirkan pertengkaran mereka, untuk berlutut kepada Kaisar, diikuti orang-orang lainnya. Tiga orang jenderal In Te yang tertangkap itupun dipaksa berlutut dengan ditendang belakang lutut mereka, biarpun Au Yu Beng dan Utti Hui Pa melotot penuh kebencian kearah Kaisar. Tanpa rasa takut sedikitpun.

Yang mengejutkan Au Yu Beng dan Utti Hui Pa ialah ketika melihat Pak Kiong Liong berjalan di samping Kaisar. Pakaiannya ringkas warna hitam, sikapnya tidak nampak seperti orang yang sedang ditawan, sebab tangannya tidak diikat dan wajahnya tidak tegang. Au Yu Beng dan Utti Hui Pa heran, ketika mereka tadi diam-diam meninggalkan perkemahan, bukankah Pak Kiong Liong masih nampak asyik bercakap-cakap dengan Pangeran In Te di kemahnya? Kenapa kini mendadak sudah muncul di samping Kaisar?

Timbul kecurigaan Au Yu Beng, "Pantas selama ini Pak Kiong Liong selalu berusaha menghalangi Pangeran In Te untuk menggempur Pak-khia dengan kekerasan, dengan alasan tidak mau me1ihat pertumpahan darah antar sesama saudara. Namun sebenarnya dia adalah see-kor ular berkepala dua yang juga bekerja untuk In Ceng, ia selalu berusaha mencegah Pangeran In Te agar In Ceng punya kesempatan untuk menyusun kekuatan. Sampai saat ini Pangeran In Te belum sadar kalau Pamannya ini adalah se orang pengkhianat yang licik."

Pikiran yang sama timbul juga dalam diri Utti Hui Pa. la ingin mencaci maki "pengkhianatan" Pak Kiong Liong, tetapi karena mulutnya tersumbat, maka suara yang keluar hanyalah ah-uh-ah-uh tak keruan. Tapi sinar matanya yang memancarkan kebencian campur kemarahan itu agaknya cukup mewakili perasaan hatinya.

Apa yang tak diketahui kedua jenderal In Te itu ialah bahwa munculnya Pak Kiong Liong di istana bertujuan sama dengan mereka, yaitu mengusaha kan agar Ibusuri Tek Huai tidak diikut sertakan dalam pertikaian itu. Tetapi Pak Kiong Liong tidak memakai cara kekerasan, melainkan lebih suka menggunakan lidahnya untuk membujuk Kaisar. Dan saat itu kesepakatan belum tercapai, sebab Kaisar Yong Ceng pun enggan melepaskan Ibusuri Tek Huai begitu saja.

"Apa yang terjadi?" tanya Kaisar kepada Bu Kun Liong. "Kenapa bedil-bedilmu malah kau arahkan kepada Biau Beng Lama dan orang-orangnya?”

Sebelum Be Kun Liong menjawab, Biau Beng Lama sudah lebih dulu menjawab dengan sikap anak kecil yang mengadu kepada ibunya, "Tuanku, Be Congkoan marah karena hamba menertibkan seorang anak buahnya..."

Cepat-cepat Be Kun Liong pun membantah, "Bukan begitu, Tuanku, tanpa alasan yang kuat Biau Beng Lama seenaknya saja membunuh seorang anak buah hamba..."

"Cukup!" bentak Kaisar. "Hanya karena urusan nyawa seorang perajuritmu saja sudah membuatmu cukup alasan untuk bermain-main dengan bedil-bedil itu untuk diarahkan kepada teman sendiri? Kira-kira Biau Beng Lama bertindak tanpa perhitungan?"

Wajah Be Kun Liong memucat, kemudian berubah menjadi merah padam, sedangkan Biau Beng Lama tersenyum lebar merasa menang bahwa Kaisar berpihak kepadanya.

"Sekarang turunkan bedil-bedil mu lalu ceritakan apa yang terjadi?" perintah Kaisar.

Dengan rasa mendongkol dalam hati, Be Kun Liong membubarkan anak buahnya, lalu menceritakan tentang delapan jenderal Pangeran In Te yang kepergok sedang berkeliaran di halaman istana itu.

"Bagaimana dengan penyelundup-pe-nyelundup itu?"

"Lima orang terbunuh dan tiga orang tertangkap hidup."

Tiga tawanan itu segera diseret kehadapan Kaisar. Ui Bok yang pengecut itu tanpa disuruh lagi sudah berlutut dan meratap-ratap minta diampuni. Utti Hui Pa muak melihat sikap temannya itu, kakinya hendak menendang Ui Bok, namun beberapa pendeta Lama telah meringkusnya dan memaksanya untuk berlutut. Begitu pula Au Yu Beng harus dihantam lutut bagian belakangnya supaya mau berlutut.

Sementara itu, Pak Kiong Liong yang belum berhasil membujuk Kaisar agar membebaskan Ibusuri Tek Huai, telah meninggalkan istana untuk kembali ke perkemahan Pangeran In Te. Tetapi ia belum putus harapan, masih berharap esok malam ia akan berhasil membujuk Kaisar. Kaisar Yong Ceng juga tidak merintangi Pak Kiong Liong karena khawatir tindakannya itu akan membuat Pangeran In Te habis kesabarannya dan nekad menggempur Pak-khia.

Keesokan harinya.... Pangeran In Te baru saja bangun dari tidurnya yang gelisah ketika seorang pengawal datang ke kemahnya dan melaporkan, bahwa di atas tembok kota telah dipamerkan beberapa butir kepala yang disunduk tombak, selain itu nampak dua pesakitan yang diikat dan nampaknya akan dihukum mati.

In Te heran mendengar hal itu. "Hukuman mati biasanya cukup dilakukan di lapangan, kenapa harus di atas tembok kota, seakan-akan dipertontonkan kepada kita? Pertunjukan gila macam apa lagi yang akan dipertontonkan oleh Kakanda In Ceng?"

Tiba-tiba In Te gelisah sendiri, membayangkan jangan-jangan kepala-kepala yang dipertontonkan di atas tembok kota itu adalah kepala-kepala dari orang-orang yang dicintainya? Segera diperintahkannya semua jenderal-jenderal bawahannya agar berkumpul di kemah nya, sementara ia sendiri cepat-cepat membenahi pakaiannya.

Ketika jenderal-jenderalnya sudah berkumpul, ia heran melihat Au Yu Beng Utti Hui Pa, Le Koan Ok, Ui Bok dan beberapa jenderal lainnya tidak nampak batang hidungnya. Ketika ditanyakan kepada perajuritnya yang disuruhnya tadi, si perajurit menjawab bahwa mereka tidak diketemukan meskipun dicari di segala sudut perkemahan. Hanya Pak Kiong Liong yang tahu dimana mereka, namun belum mengatakannya, khawatir menambah kisruh pikiran Pangeran In Te.

Tetapi laporan tentang apa yang sedang terjadi di atas tembok kota itu lebih menarik perhatian In Te daripada hilangnya Au Yu Beng dan kawan-kawan. Dengan menunggang kudanya dan diapit sejumlah pengawalnya, termasuk Pak Kiong Liong yang berkuda tepat di sampingnya, In Te mendekat ke tembok kota untuk melihat lebih jelas apa yang ter jadi.

Maka dilihatnya di atas tembok kota ada enam butir kepala tanpa tubuh yang dicucuk tombak, yang oleh In Te dikenali sebagai jendera-jenderalnya yang lenyap dari perkemahan. Hanya wajah Ui Bok nampak sedikit berbeda, mungkin karena wajah orang mati agak sedikit berbeda dari wajahnya semasa masih hidup. Sedang dua orang pesakitan yang diikat erat dan bertelanjang dada itu bukan lain adalah Utti Hui Pa dan Au Yu Beng, masing-masing ditunggui seorang algojo angker dengan golok terhunus.

In Te kaget dan marah. Inilah jawabannya kenapa kedelapan jenderalnya itu tidak menghadap ke kemahnya pagi itu. Serunya ke atas tembok, "Saudara Au, saudara Utti, apa yang terjadi?"

Utti Hui Pa yang mulutnya tidak lagi disumpal itupun menjawab dengan berseru pula, "Pangeran, maafkan kami sekalian yang telah bertindak tanpa ijin Pangeran..."

"Apa yang sudah kalian lakukan?"

"Kami berdelapan mencoba menyelamatkan Tuan Puteri Tek Huai dari istana, agar Pangeran tidak terhambat dalam perjuangan merebut tahta yang menjadi hak Pangeran...."

"Bodoh sekali," geram In Te perlahan. Tindakan gegabah kedelapan bawahannya itu bisa mempersulit kedudukan nya dalam perundingan nanti, juga membuat pihak Kaisar akan lebih ketat menjaga Ibusuri Tek Huai, namun semuany a sudah terlanjur terjadi.

Sementara itu, ketika Au Yu Beng melihat Pak Kiong Liong di samping In Te, iapun berteriak-teriak dari atas tembok, "Pangeran, hati-hatilah terhadap Pak Kiong Liong! Dia ular berkepala dua. Diam-diam juga bekerja untuk Pangeran In Ceng!"

Disambung oleh Utti Hui Pa, "Benar! Semalam kami melihat sendiri Pak Kiong Liong berbicara akrab sekali dengan Pangeran In Ceng, dan sama sekali tidak berusaha menolong kami pada saat kami tertangkap!"

Disambung lagi oleh Au Yu Beng, "....Pak Kiong Liong membujuk Pangeran untuk menunda serangan, tujuannya hanyalah memberi kesempatan kepada Pangeran In Ceng untuk mengumpulkan kekuatan. Pangeran, jangan tertipu olehnya!"

Ucapan-ucapan itu diluar dugaan semua pihak. In Te tidak meduga, Pak Kiong Liong tidak menduga, bahkan Liong Ke Toh tidak menduga, Liong Ke Toh sedang bersiap-siap memimpin pelaksanaan hukuman mati atas para pesakitan itu. Juga tidak menduganya. Tetapi buat Liong Ke Toh, jelas ucapan-ucapan Au Yu Beng dan Utti Hui Pa itu merupakan “rejeki nomplok” yang harus segera dimanfaatkan untuk memecah belah antara Pangeran In Te dan Liong Liong.

Tadinya Liong Ke Toh berdiri dipinggiran tembok bagian dalam sehingga dari luar tak terlihat oleh In Te, kini dia maju menampakkan diri sambil pura-pura membentak kedua tawanan itu, "Bangsat, kenapa kalian bicara sembarangan saja menjelang ajal? Mana mungkin Pak Kiong Goan-swe yang berpendirian kuat itu berbalik sikap begitu gampang...?"

Selanjutnya,