X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Episode Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 04 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 04

Karya Stevanus S P

Sun Hong Beng berkelahi dalam jarak tidak pernah lebih dari lima langkah dari Pangeran In Te. Seburuh tubuh dan mukanya sudah penuh percikan darah, darah musuh dan darahnya sendiri. Dengan bersemangat ia masih memainkan lembing pendeknya.
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Sudah belasan orang Kozak maupun laskar pemberontak yang di robohkannya, tapi jumlah itu tak berarti dibandingkan ribuan musuh yang terus berdatangan. Diam-diam Sun Hong Beng sudah mengukir tekad dalam hati, kalau Pangeran In Te mesti gugur juga, Sun Hong Beng ingin dirinyalah yang gugur lebih dulu.

Di sekitar Pangeran In Te, sebenarnya banyak juga kaki tangan Ni Keng Giau yang ditugasi untuk melenyapkan Pangeran In Te. Dalam pertempuran kisruh dan campur-aduk, dimana satu sama lain tak sempat memperhatikan dengan cermat, sebenarnya terbuka banyak peluang untuk membunuh Pangeran In Te.

Namun ketika mereka melihat betapa gigihnya Pangeran In Te berkelahi, bukan cuma melindungi diri sendiri tapi juga melindungi orang-orangnya, maka kaki tangan Ni Keng Giau itu malahan menjadi malu sendiri. Mereka malah berbalik jadi membela Pangeran In Te sekuat tenaga. Tiba-tiba sebatang lembing meluncur ke punggung Pangeran In Te, dan Pangeran In Te tak ada kesempatan menyelamatkan diri, seorang kaki tangan Ni Keng Giau tanpa pikir panjang lagi melompat, menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai Pangeran In Te.

Ketika ia roboh dengan lembing menancap didadanya, ia masih sempat berseru, "Pangeran, hamba pernah punya niat yang curang terhadap Pangeran..."

Pangeran In Te cepat menjawab, "Seorang perajurit segagah kau, patut dimaafkan."

"Terima kasih...." lalu perajurit itu terkulai menyongsong ajalnya.

Perajurit-perajurit Pangeran In Te semakin menyusut dan tergiring ke sudut sudut yang tidak memungkinkan untuk lolos lagi. Tapi dimana-mana terjadi perlawanan habis-habisan, seperti binatang-binatang liar yang sudah masuk perangkap dan masih berusaha menggigit atau mencakar siapapun yang mendekatinya.

Begitu pula Pangeran In Te sendiri dan sisa-sisa pengawalnya. Mereka sadar kalau sedang antri ke gerbang dunia orang mati yang menganga selangkah di depan mereka. Tapi soal mati hidup sudah tidak lagi membebani pikiran mereka, yang ada hanyalah keinginan bertempur sampai maut menjemput.

Saat itulah di kejauhan tiba-tiba terdengar gemuruh ribuan kuda, disusul suara bedil seperti petasan-petasan di malam Tahun Baru saja. Pasukan berkuda yang dipimpin Wan Yen Siang telah tiba, dan langsung menyerbu bagian belakang pasukan Kozak dan pemberontak.

Bukan karena Wan Yen Siang tiba-tiba berubah jadi baik hati lalu ingin menolong Pangeran In Te, melainkan karena malam itu Wan Yen Siang tiba-tiba didatangi oleh Pak Kiong Liong, yang mengancam dan memaksanya agar Wan Yen Siang menggerakkan pasukan menolong pasukan Pangeran In Te.

Ketika pasukan Pangeran In Te mengetahui datangnya bala bantuan itu, semangat mereka jadi berkobar kembali. Harapan hidup yang sudah hampir padam, kini menyala kembali, dan perlawananpun jadi semakin bersemangat. Bagaimanapun juga, umumnya manusia tentu lebih bersemangat melangkah menuju kehidupan daripada ke kematian.

Sebagian pasukan Wan Yen Siang malah berhasil menerobos masuk kedalam perkampungan, lewat jalan yang sebelumnya digunakan orang-orang Kozak. Mereka dipimpin oleh perwira-perwira bawahan Wan Yen Siang yang sama sekali tidak tahu-menahu soal intrik-intrik di kalangan atas. Yang mendorong tindakan mereka hanyalah motif tunggal, rasa setia-kawan untuk menolong rekan-rekan sesama perajurit yang sedang terancam bahaya.

Di dataran rumput di luar perkampungan juga berkobar hebat pertempuran berkuda. Puluhan ribu kuda saling menyambar, puluhan ribu senjata saling terayun, gemerincing berbenturan, puluhan ribu manusia saling mengincar nyawa sesama. Kalau sudah berada di tengah pertempuran seganas itu, biarpun berangkat dengan terpaksa, Wan Yen Siang mau tidak mau harus bertempur sungguh-sungguh pula. Kalau tidak, nyawanya akan disambar senjata musuh.

Sedangkan, Pak Kiong Liong dengan menunggangi seekor kuda tegar, berusaha mencari jalan masuk ke perkampungan. Ia masih tetap mencemaskan keselamatan Pangeran In Te. Akhirnya di dalam perkampungan yang bising dengan suara pembunuhan massal itu, ia temukan Pangeran In Te pada saat nyawa pangeran itu sudah ibarat telur di ujung tanduk. Pangeran In Te tinggal sendiri, semua pengawalnya sudah habis, termasuk Sun Hong Beng. Sedangkan musuh yang dihadapinya amat banyak.

Ketika itulah Pak Kiong Liong berderap tiba dengan kudanya, pedangnya berkelebatan merobohkan beberapa musuh. Serunya, "Bertahanlah Pangeran! Bantuan sudah tiba!"

Semangat Pangeran In Te meluap, kelelahannya mendadak terhapus lenyap, tidak terasa lagi. Dengan jurus Thai-peng tian-ci (Garuda Mementang Sayap), beruntun ia menikam ke kiri dan kanan dan dua musuh dirobohkannya. Begitulah, meskipun Pak Kiong Liong datang sendirian, namun cukup membuat pengepungan atas Pangeran In Te jadi kocar-kacir.

Seorang Kozak bertubuh raksasa dengan enaknya ia tangkap hanya dengan tangan kiri, disambar dari kudanya, lalu dilemparkan jauh sehingga terhempas pingsan. Karuan orang-orang Kozak dan para pemberontak terkejut melihat seorang kakek renta berkekuatan sedahsyat itu. Kuda orang Kozak yang dilempar tadi, oleh Pak Kiong Liong lalu dituntun ke dekat Pangeran In Te, dan berseru, "Pangeran, naik!"

Sementara Pangeran In Te menaiki kuda, Pak Kiong Liong menyapu musuh di sekitarnya agar tidak mengganggu Pangeran In Te. Lalu katanya lagi, "Pangeran harus menyelamatkan diri dari sini."

"Aku tidak bisa meninggalkan perajurit-perajuritku menyabung nyawa di sini, Paman. Aku sehidup semati dengan mereka."'

"Wan Yen Siang sudah hamba paksa untuk datang membantu, Pangeran. Sedangkan kalau sampai Pangeran sendiri yang jatuh ke tangan Wan Yen Siang si begundal Ni Keng Giau itu, keselamatan Pangeran akan terancam."

Ketika Pangeran In Te masih juga ragu-ragu, tiba-tiba dari sebuah sudut yang gelap terdengarlah suara. "Benar Pangeran. Lebih baik Pangeran pergi ke suatu tempat yang jauh dari jangkauan tangan Ni Keng Giau."

Lalu dari asal suara itu melayang sesosok bayangan dengan ringannya. Seorang yang berpakaian seragam perajurit rendahan, seperti Pak Kiong Liong, dan persamaannya yang lain adalah rambutnya yang juga memutih seperti perak. Cuma, orang ini memakai kedok muka sebatas hidung ke bawah. Kata orang berkedok itu lagi,

"Pak Kiong Liong, mari kita berdua bersama-sama menyelamatkan Pangeran In Te dari kelicikan dan kekejaman Ni Keng Giau serta begundal-begundalnya."

"Siapa kau?" tanya Pangeran In Te.

Orang berkedok itu ragu-ragu sebentar, ia sebenarnya ingin tetap bersembunyi di balik kedoknya. Namun diapun sadar, kalau tidak mau membuka kedoknya, Pangeran In Te takkan mau mengikuti anjurannya. Lagipula toh Pangeran In Te didampingi Pak Kiong Liong yang kemungkinan besar sudah mengetahui siapa dirinya. Maka akhirnya, orang itupun perlahan-lahan menarik turun kedoknya.

Muncullah raut wajah Kim Seng Pa yang sejak semula memang sudah diduga oleh Pak Kiong Liong, namun masih mencengangkan Pangeran In Te. Maklumlah, di jaman perebutan kekuasaan antar Pangeran dulu, Kim Seng Pa termasuk pihak musuh, tak terduga kalau sekarang malah mau menyelamatkannya dari neraka ini.

Setelah menunjukkan wajahnya sebentar, Kim Seng Pa kembali memasang kedoknya. Ia tidak mau kehadirannya di tempat itu diketahui pihak lain lagi, agar tidak menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Ketika itulah belasan orang Kozak muncul dari ujung lorong. Melihat Pangeran In Te bertiga, mereka langsung memacu kuda mereka, dengan deras.

Namun kali ini mereka salah sasaran. Segera mereka menjadi korban Pak Kiong Liong dan Kim Seng Pa. Ringkik kuda-kuda yang bertabrakan bercampur jerit kesakitan serdadu-serdadu Kozak segera hingar-bingar memenuhi tempat itu. Dan Kim Seng Pa sendiri segera berhasil mendapatkan seekor kuda tegar.

"Marilah, Pangeran. Kami akan mengawal sampai ke tempat yang aman," bujuk Kim Seng Pa pula.

Demikianlah, dengan dikawal kedua orang tua yang digdaya itu, Pangeran In Te "diungsikan" dari medan laga yang makin lama makin sengit, sebab antara kawan dan lawan sudah campur aduk tak ada batasnya lagi. Sepak terjang Kim Seng Pa amat kejam terhadap musuh-musuh yang merintangi jalannya, tak jarang dia mencabik-cabik tubuh musuh dengan jari-jarinya yang sekuat ganco.

Tindakan itu mengingatkan Pak Kiong Liong kepada pangeran ke sembilan, Pangeran In Tong, yang sekarang entah di mana. Pangeran berwatak kejam yang bahkan tega membunuh gurunya yang baik hati, ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou, hanya untuk merebut kedudukan sebagai Ketua Hwe-liong-pang demi ambisinya. Untung bisa dicegah merebut kekuasaan itu. Namun, bagaimanapun juga Pak Kiong Liong sekali ini bolehlah menganggap Kim Seng Pa sebagai "teman seperjuangan”. Lain kali tentunya dipertimbangkan lain kali pula.

Ketiga orang itu akhirnya berhasil mencapai suatu tempat yang jauh dari hiruk pikuknya pertempuran, jauh di t e ngah padang rumput. Fajar nampak sudah merekah di tepian samudera rumput itu, dan ketiga orang itupun mulai melambatkan lari kuda masing-masing.

“Hamba hanya bisa mengantar sampai di sini, Pangeran," kata Kim Seng Pa kemudian, "Tetapi hamba mohon dengan sangat, agar Pangeran tidak menceritakan kepada siapapun, tentang apa yang hamba telah lakukan ini, supaya kepala hamba jangan sampai dipenggal oleh Sribaginda apabila mendengarnya."

"Baiklah, Kim Cong-koan. Malah aku yang berterima kasih kepadamu. Bukan cuma kali ini, tapi juga atas pembelaan Cong-koan selama aku masih diperkemahan, pada saat Ni Keng Giau berusaha menginjak martabatku di hadapan sekalian perwira."

Demikianlah, dengan dikawal kedua orang tua yang digdaya itu, Pangeran In Te "diungsikan" dari medan laga yang makin lama makin sengit, sebab antara kawan dan lawan sudah campur aduk tak ada batasnya lagi.

"Bagaimana denganmu, Pak KiongLiong?"

"Mengingat semalam suntuk kau sudah mempertaruhkan nyawa demi Pangeran In Te, entah apa sebenarnya latar-belakang tindakanmu, tapi aku berjanji akan menutup mulut soal ini."

"Baik. Permusuhan kita selama ini, anggap saja sudah impas. Kalau kelak kita berhadapan dalam urusan baru, entah urusan apa, akan ada pertimbangan baru pula. Nah, selamat tinggal."

Kemudian Kim Seng Pa memutar kudanya, dan mengaburkannya meninggal kan Pak Kiong Liong dan Pangeran In Te. Sampai wujudnya tak lebih dari setitik hitam di kejauhan, di kehijuan padang rumput.

* * * *

Pangeran In Te dan Pak Kiong Liong berkuda perlahan di dataran luas seolah tanpa batas itu, dalam udara sejuk pagi hari yang bukan saja menyegarkan tubuh, tapi juga menyegarkan jiwa. Mereka berkuda ke arah cahaya fajar yang belum terlalu menyilaukan. Menyongsong babak baru dalam kehidupan Pangeran In Te.

Wajah Pangeran In Te memang berseri-seri, tidak mencerminkan kelelahan biarpun semalam suntuk telah bertempur mati-matian. Selama beberapa tahun terakhir, sejak ia tertipu sehingga kekuatan militernya dicopoti, dan selanjutnya terus terkurung dalam istana, baru kali inilah dinikmatinya kembali rasa gembira dan aman yang sejati. Meresap sampai ke relung-relung jiwanya yang terdalam.

Sekiranya tidak malu, tentu ia sudah melompat-lompat sambil meneriakkan kebebasan sekeras-kerasnya. Dan kenikmatan alam bebas itu tak bisa dilepaskan dari peranan penolong penolongnya. Pangeran In Te sama sekali tidak heran kalau Pak Kiong Liong mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, sebab diketahuinya dari dulu bahwa pamannya ini memang punya watak setia, teguh dalam pendirian. Tetapi pertolongan Kim Seng Pa masih membingungkan Pangeran In Te.

"Mungkinkah Kim Seng Pa sekarang sudah mulai terbuka mata hatinya, untuk dapat membedakan mana yang adil dan mana yang sewenang-wenang? Yang harus dibela dan harus ditentang?" dia berkata sendiri sambil berkuda perlahan.

Pak Kiong Liong menoleh mendengar gumam itu, lalu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, "Hamba rasa, penilaian sebagus itu untuk diri Kim Seng Pa masih terlalu pagi. Kalau kita salah menilai orang, dikemudian hari kita bisa terjerumus lagi."

"Maksud Paman?"

"Hamba menyimpulkan, Kim Seng Pa melakukan semua ini demi kepentingannya sendiri, bukan karena nuraninya tergugah oleh rasa keadilan. Ia ingin mendapat kedudukan yang lebih kuat di pusat pemerintahan, dan langkah pertama yang dilakukannya ialah menggoyahkan kedudukan Ni Keng Giau yang saat ini adalah tokoh nomor dua setelah Kaisar sendiri."

"Apa hubungannya antara menolong aku dengan menggoyahkan kedudukan Ni Keng Giau?"

"Erat hubungannya, Pangeran. Ketika semalam hamba menyelundup masuk perkemahan Wan Yen Siang, lalu memaksanya untuk menggerakkan pasukan, hamba juga memaksanya untuk menjelaskan sikapnya. Dia mengaku dengan ketakutan, bahwa dia hanya diperintah Ni Keng Giau, sedangkan Ni Keng Giau di perintah Kaisar Yong Ceng. Itu artinya, selain Ni Keng Giau ditugasi menumpas pemberontak, diam-diam juga diberi tugas rahasia untuk membinasakan Pangeran di Jing-hai ini. Entah dengan cara apa, Kim Seng Pa rupanya dapat mencium urusan rahasia ini. Lalu dia menolong Pangeran, artinya pula dia menggagalkan tugas Ni Keng Giau, artinya pula dia ingin agar kepercayaan Kaisar terhadap Ni Keng Giau merosot jauh. Dan dialah yang berambisi menggantikan kedudukan Ni Keng Giau kelak, dengan mencari muka terhadap Kaisar."

"Begitu? Apa Kim Seng Pa itu berpikir begitu gampang menjalankan tugas sebagai Panglima Tertinggi? Ni Keng Giau memang menjemukan, tapi harus kuakui kecemerlangan otaknya dalam memimpin pasukan ini."

"Setidak-tidaknya Kim Seng Pa menganggap dirinya pantas untuk kedudukan itu. Bukan pandangan orang lain yang dihiraukannya."

"Pantas semalam Kim Seng Pa mengenakan tutup muka, kiranya ia khawatir kalau wajahnya dilihat oleh para perajurit, lalu dilaporkan kepada Ni Keng Giau. Pantas pula dia meminta dengan sungguh-sungguh kepada kita, untuk berjanji tidak menceritakan kepada siapa-siapa."

"Begitulah."

"Hem, kiranya ada latar belakang serumit itu di balik tindakannya yang hampir saja kusangka berbudi luhur. Paman, rasanya aku ingin menjadi rakyat kecil saja. Biarpun tiap hari mereka membanting tulang untuk sesuap nasi, mereka bisa hidup tenteram. Dibandingkan aku yang berkedudukan bangsawan dan berpakaian mentereng, hanya kalau di depanku semua orang menghormati ku, namun di belakang punggungku tak henti-hentinya rencana untuk mencelakakan aku. Hampir tiap malam aku mimpi buruk, Paman, sering aku terbangun di tengah malam dengan keringat dingin membanjiri tubuhku. Ranjang sutera di istana itu rasanya masih kalah nyaman dengan dipan reyot di gubuk-gubuk petani yang bisa tidur begitu pulas tiap malam."

Pak Kiong Liong kontan mengerutkan alis ketika mendengar kata-kata bernada patah semangat itu. "Pangeran, apakah Pangeran mau lari dari kewajiban yang diamanatkan oleh mendiang Siang-hong (Kaisar almarhum)? Mengecewakan harapan orangtua yang sudah ada di negeri arwah?"

"Paman, aku justru sudah jemu berangan-angan untuk merebut tahta, bahkan seandainya bagiku tersedia dukungan kuat sekalipun. Aku berpendapat, saat ini sudah muncul seorang calon kaisar yang jauh lebih baik daripadaku, seperti fajar yang memberi harapan di tengah-tengah kabut kesewenang-wenangan saat ini. Aku rela mundur, agar tidak menjadi saingannya.”

"Siapa dia?"

"Hong-lik. Putera Kakanda Yong Ceng."

"Dia masih terlalu muda."

"Tetapi sudah berpikiran dewasa, berpendirian kuat, menaruh keprihatinan mendalam untuk kesengsaraan kebanya an rakyat kecil. Tidak jarang dia menyamar untuk meninggalkan istana guna menolong banyak orang, tanpa mencari nama buat dirinya sendiri. Pernah ia mempertaruhkan nyawa dengan mogok makan sampai lima belas hari, sehingga hampir mati, karena memprotes sebuah peraturan yang memberatkan kehidupan rakyat. Kakanda Yong Ceng terpaksa mencabut kembali peraturan itu, karena mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Pokoknya, masa depan kekaisaran akan cerah kalau dipimpin Hong-lik, bukan aku."

Beberapa saat lamanya Pak Kiong Liong termangu-mangu bungkam. Hanya terdengar suara berdetak lunak dari kaki kuda-kuda mereka di tanah yang berlapis permadani alam rumput hijau. "Pangeran, maafkan hamba. Sebaik-baiknya Pangeran Hong-lik, kalau kita biarkan dia bertahta, sama saja kita melestarikan kecurangan dalam pewarisan tahta. Orang yang berhak dalam Surat Wasiat Sian-hong malahan tersingkir, sedang yang mendapat tahta dengan cara mencuri dan memalsukan Surat Wasiat, malahan berjaya dan mewariskan tahta kepada keturunannya. Bukankah ini janggal?"

"Aku rasa, Paman, justru lebih janggal kalau kita lebih mengutamakan isi selembar wasiat ataupun garis keturunan, daripada persyaratan seorang pemimpin yang dibutuhkan rakyat. Rakyat butuh seorang pemimpin untuk meningkatkan kesejahteraan, dan Hong-lik itulah pilihan paling tepat. Aku yakin, seandainya Ayahanda Khong Hi masih hidup dan melihat apa yang dilakukan Hong-lik, Ayahanda akan sependapat denganku. Rasa-rasanya Hong-lik adalah penjelmaan kakeknya."

"Maafkan ucapan hamba sebelumnya, Pangeran. Hamba cemas sikap Pangeran ini hanya sebagai dalih karena Pangeran sudah patah semangat, lalu ingin melarikan diri dari tanggung jawab. Hamba cemas keputusan Pangeran ini bukan pemikiran yang matang, namun cuma ledakan kejenuhan setelah tertekan dan kecewa selama bertahun-tahun."

"Aku tidak lari dari tanggung-jawab, Paman. Sebab aku berpendapat bahwa bertanggung-jawab kepada kekaisaran bukan berarti harus ngotot untuk menduduki tahta. Kalau aku minggir dari arena persaingan, justru aku memberi peluang kepada negeri ini untuk mendapat seorang pimpinan yang baik. Dalam diri Hong-lik terdapat syarat-syarat seorang bukan cuma sepintas lalu terus mengambil keputusan gegabah."

"Tetapi Pangeran Hong-lik masih muda, kepribadiannya belum mantap. Siapa tahu setelah menikmati kekuasaan, lalu berkembang menjadi watak yang buruk seperti ayahandanya? Karena itu. hamba harap Pangeran tetap sudi tampil sebagai suatu kekuatan, setidak-tidaknya sebagai pilihan lain apabila kelak Pangeran Hong-lik mengecewakan harapan."

"Baik. Sebagai pilihan cadangan, bolehlah. Tapi aku tetap menganggap Hong-lik sebagai pilihan yang terutama."

Pak Kiong Liong menarik napas. Kecewa. Susah payah selama ini ia mengharapkan Pangeran In Te, tak terduga "jago"nya malah mengharapkan orang lain. Bertahun-tahun Pak Kiong Liong hidup pontang-panting sebagai buronan, dikejar dan ditekan oleh anak-buah Kaisar Yong Ceng, semuanya itu demi menyiapkan dukungan bagi Pangeran In Te. Setelah ketemu Pangeran In Te sendiri, kok yang mau didukung malahan "melempem".

"Paman kecewa?"

Pak Kiong Liong cuma menghembuskan napas kuat-kuat.

"Paman kecewa, sebab Paman cuma memandang hakku pribadi. Dan ketika aku bersikap seperti ini, Paman lalu merasa perjuangan Paman selama ini sudah habis, tidak ada kelanjutannya lagi. Tapi kalau Paman pikirkan berjuta juta warga kekaisaran ini, Paman akan mengerti bahwa Paman tetap dibutuhkan. Jangan memandang hanya kepada seorang In Te, Paman, perhitungkan jutaan rakyat dan apa yang mereka perlukan untuk masa depan yang lebih baik."

"Garis perjuangan yang hamba jalani selama ini telah menyita bertahun tahun dari umur hamba, Pangeran, tidak gampang untuk tiba-tiba membelokkannya atau bahkan memadamkannya sama sekali. Sebuah pohon yang sudah terlanjur tumbuh menjadi besar, takkan bisa ditebang roboh dalam sekali tebasan saja."

"Jangan putus asa, Paman. Negeri tetap membutuhkan orang-orang segigih Paman, biarpun berdiri di luar jajaran pemerintahan. Setidaknya, siapapun yang kelak berkuasa, tidak akan bertindak gegabah kalau tahu adanya kekuatan lain yang tidak dibawah perintahnya!”

Lagi-lagi Pak Kiong Liong cuma menghembuskan napas kuat-kuat.

"Sekarang, kemana kita akan pergi, Paman?"

"Ke sebuah tempat yang tenang, dimana kita bisa berpikir cermat untuk tindakan-tindakan di masa depan."

"Di mana?"

"Sebuah desa kecil yang tidak jauh dari Tiau-im-hong. Sejak markas Hwe-liong-pang dihancurkan tentara kekaisaran, aku bersembunyi di desa itu. Bersama anak perempuan hamba, menantu hamba dan kedua cucu kembar hamba."

"Tempat itu tentunya menyenangkan sekali. Barangkali baik juga bagiku kalau sementara waktu menenangkan pikiran di sana. Tetapi aku ada satu permintaan kepada Paman."

"Soal apa?"

"Mulai detik ini, Paman dan keluarga Paman yang lain jangan lagi memanggil ku "Pangeran" atau menyebut diri kalian sendiri "hamba", sebab mulai sekarang tidak ada lagi Cap-si Pwe-lek (Pangeran Ke Empat belas). Yang ada cuma In Te, warga biasa yang sama dengan jutaan warga lainnya.”

Pak Kiong Liong mengangguk agak lesu, rasa kecewanya bertambah-tambah. Agaknya semakin kecillah kemungkinan untuk menjagokan In Te, yang bukan Pangeran lagi, menjadi "ujung tombak” perjuangan merebut tahta dari tangan Kaisar Yong Ceng yang lalim. Merekapun berderap ke arah tenggara.

* * * *

Makin dekat Wan Yen Siang ke perkemahan pasukan induk, makin keras degup jantungnya. Biarpun pasukannya berhasil menghancurkan sebagian besar serdadu Kozak Rusia yang melanggar perbatasan untuk membantu pemberontak, namun kegagalan membunuh Pangeran In Te membuat Wan Yen Siang amat takut dimarahi Ni Keng Giau.

Menurut keterangan beberapa perajurit yang lihat, Pangeran In Te diselamatkan dari tengah-tengah kemelutnya pertempuran oleh "dua perajurit tua dan salah satunya memakai kedok muka". Wan Yen Siang menduga bahwa salah satu perajurit tua itu tentu Pak Kiong Liong, tapi yang satu lagi, bagaimanapun ia memutar otak tetap tak bisa menduganya. Ia jadi bingung bagaimana harus melapor kepada Ni Keng Giau yang amat keras itu?

Tapi ia bergerak terus semakin dekat ke perkemahan pasukan induk. Ia berharap agar Ni Keng Giau bisa memahami kesulitannya, lalu memaafkan kegagalannya. Bukankah selama ini hubungan nya dengan Ni Keng Giau cukup baik? Bukan cuma hubungan jenderal dan perwiranya, tapi juga hubungan pribadi, bahkan juga hubungan antara isteri-isteri mereka di Pak-khia.

Tak urung ketika melihat deretan panjang pucuk-pucuk tenda di kejauhan dan bendera-bendera yang berkibar, Wan Yen Siang merasa agak bergidik juga. Debar jantungnya makin kencang, ketika melihat Ni Keng Giau sendiri menunggangi kuda, keluar dari perkemahan untuk menyongsong Wan Yen Siang. Diiringi perwira-perwira bawahannya. Setelah dekat, Wan Yen Siang menghentikan pasukannya, lalu ia sendiri melompat turun dari kudanya untuk berlutut menghormat.

Wajah Ni Keng Giau kelihatan cerah penuh senyuman. Ia sudah mendapat laporan tentang kedatangan pasukan Wan Yen Siang ditambah sisa-sisa pasukan Pangeran In Te yang hampir saja tertumpas oleh orang Kozak. Namun yang paling ingin diketahui Ni Keng Giau bukanlah tentang pertempuran itu, melainkan tentang nasib Pangeran In Te. Melihat di antara deretan perwira-perwira Wan Yen Siang yang berlutut itu tidak terdapat Pangeran In Te di antaranya, tumbuh harapan Ni Keng Giau bahwa ia akan mendengar "laporan keberhasilan".

"Bangkitlah kalian semua," kata Ni Keng Giau amat ramah dari atas kudanya. “Aku yakin kalian membawa berita baik."

Lutut Wan Yen Siang agak goyah ketika ia bangkit dari berlutut. Makin besar harapan Ni Keng Giau akan berita "baik", makin berat beban jiwa Wan Yen Siang, makin besar pula kekecewaan yang akan dialami Ni Keng Giau Namun ia menjawab juga, "Karena rejeki kekaisaran kita yang agung, sebagian besar rencana berjalan dengan memuaskan."

"Bagus. Aku perintahkan pasukanmu untuk beristirahat. Tetapi jangan lupa menghubungi juru-tulis untuk mencatat jasa-jasa kalian yang gemilang. Khusus untuk Wan Yen Siang, aku undang ke kemahku untuk mendengarkan laporan selengkapnya,"

"Baik... baik...." sahut Wan Yen Siang dengan tenggorokan kering. Ketika hendak naik ke punggung kudanya, Wan Yen Siang harus mengulangi sampai tiga kali, barulah berhasil, karena gugupnya. Tidak lama kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam kemah pribadi Ni Keng Giau. Tidak ada orang ketiga dalam kemah itu.

"Bagaimana?" tanya Ni Keng Giau tidak sabar.

Dengan gaya bertele-tele, berbelit-belit, dicampur dalih-dalih tidak langsung untuk meringankan kesalahannya sendiri, Wan Yen Siang menguraikan jalannya pertempuran yang berakhir dengan kemenangan pasukannya, meskipun ia tahu bukan itu yang ditanyakan Ni Keng Giau. Cerita tentang kemenangan itu hanyalah semacam usaha "sedia payung sebelum hujan".

"Payung belum berkembang penuh..." ketika Ni Keng Giau tiba-tiba menepuk meja dengan keras sambil berkata, "Yang kutanyakan ialah tentang Pangeran In Te."

"Goan-swe, ketika Pangeran In Te terkepung disebuah perkampungan, dia melepaskan kembang api isyarat minta bantuan, tetapi aku tidak menggubrisnya."

"Bagus. Bagus...”

“Tapi.... tapi.... lalu muncul setan tua itu. Muncul di kemahku, lalu memaksa aku dengan kekerasan untuk memajukan pasukanku untuk menolong Pangeran In Te."

"Hah? Setan tua? Siapa?"

"Pak Kiong Liong."

"Ah, sudah beberapa tahun tak terdengar berita tentang bangsat tua itu, kiranya dia masih hidup, bahkan berkeliaran sampai ke Jing-hai ini," bicara sampai di sini, Ni Keng Giau sudah mulai merasa bahwa berita yang bakal di dengarnya bakal tak sesuai dengan harapannya. "Lalu bagaimana?"

"Karena... karena aku dipaksa... ya... ya terpaksa kubawa pasukanku memasuki kancah pertempuran."

"Bagaimana dengan Pangeran In Te?"

"Maaf, Goan-swe. Aku tidak bisa memastikan nasib Pangeran In Te. Kancah pertempuran melebar sampai belasan li di sekitar perkampungan itu. Di segala tempat ada mayat-mayat bergeletakan, dan kuperintahkan memeriksa semua mayat. Mayat Pangeran In Te memang belum ditemukan, tapi mungkin masih ada tempat yang belum diperiksa, dan...."

Wan Yen Siang tak sempat menyelesaikan penjelasannya, sebab Ni Keng Giau tiba-tiba menghunus pedangnya secepat kilat dan menebas Wan Yen Siang tepat di lehernya. Perwira yang malang itupun terkapar sejenak menggelepar seperti ayam disembelih, lalu diam.

Ni Keng Giau memanggil pengawalnya dan menyuruh membawa pergi mayat itu, sambil menyebarkan pengumuman bahwa Wan Yen Siang dihukum mati karena "terbukti menjalankan tugas dengan kurang bersungguh-sungguh".

Dan setelah mengambil tindakan itu, Ni Keng Giau jadi kebingungan sendiri, apa yang bisa dilaporkan kepada Kaisar Yong Ceng? Kaisar telah mempercayakan kepadanya tugas untuk melenyapkan Pangeran In Te, dan ternyata hasilnya cuma seperti apa yang dilaporkan oleh Wan Yen Siang. Kaisar ingin memastikan kematian Pangeran In Te, dan tentu tidak senang kalau mendengar laporan yang serba kira-kira saja.

Akhirnya Ni Kehg Giau memutuskan untuk main untung-untungan. Ia menulis surat kepada Kaisar, melaporkan bahwa Pangeran In Te "telah gugur kena tembakan meriam, sehingga ujudnya tak bisa dikenali lagi". Ni Keng Giau berharap agar Kaisar Yong Ceng mempercayai laporan itu, toh Kaisar berada di tempat yang jauhnya laksaan li dari medan pertempuran dan tidak mengetahui sendiri jalannya perang.

Ia tidak tahu, pada saat yang bersamaan Kim Seng Pa juga sedang menuliskan laporan ke Pak-khia. Dengan wajah berseri-seri, penuh semangat, ia menuliskan hal-hal yang memberatkan Ni Keng Giau. Diceritakannya tentang "kecerobohan Ni Keng Giau dalam mengatur pasukan" serta Pangeran In Te yang "berangkat tapi tidak kembali dan tidak diketahui hidup matinya". Susunan kalimatnya begitu rupa sehingga menimbulkan keragu-raguan Kaisar terhadap Ni Keng Giau.

Tetapi Kim Seng Pa dengan cerdik menghindari kesan bahwa ia tahu tentang pesan rahasia Kaisar kepada Ni Keng Giau untuk melenyapkan Pangeran In Te. Pesan itu amat rahasia, dan Kaisar tentu tidak suka kalau ada orang lain yang ikut mengetahuinya. Karena itulah dalam soal pesan rahasia Kaisar itu, Kim Seng Pa berlagak tidak tahu apa-apa. Jadi kalau ia mengabarkan tentang Pangeran In Te dalam suratnya, ia seolah-olah "hanya mengabarkan" saja tapi "tidak tahu apa-apa" tentang apa yang, dikehendaki Kaisar.

Dengan cermat ia membaca surat itu sekali lagi, memeriksa kalau-kalau ada kata-katanya yang "tergelincir" dan kelak bisa menyusahkan dirinya sendiri, dan ia puas dengan suratnya itu. Lalu sambil bersiul-siul gembira, ia masukkan surat itu ke dalam sampul dan ditutup rapat. Untuk membawa surat itu sampai ke Pak-khia, Kim Seng Pa juga tidak mau memakai kurir yang disediakan oleh pasukan, tetapi memanggil seorang kepercayaannya.

Sat Siau Kun yang berjulukan Tiat-jiau-hui-ho (Rase Terbang Berkuku Besi), seorang jagoan Manchu yang juga amat membenci Ni Keng Giau. Orang ini bertubuh kurus, pendek, ditambah bungkuk lagi, dan senjatanyapun aneh, yaitu sebatang pipa tembakau panjang berwarna keperak-perakan. Namun Kim Seng Pa percaya kelihaian silat orang ini tak gampang dicarikan imbangannya. Ia suruh seorang pengawalnya memanggil orang ini ke kemahnya.

Sebetulnya Kim Seng Pa tentu lebih merasa aman kalau menyuruh anak laki-lakinya, Kim Thian Ki. Tetapi anaknya adalah salah satu komandan pasukan bawahan Ni Keng Giau yang terikat tata-tertib, tidak bisa semaunya saja meninggalkan perkemahan.

"Serahkan surat ini kepada Sribaginda," kata Kim Seng Pa sambil menyodorkan surat itu kepada Sat Siau Kun yang sudah datang di kemahnya. "Dan berangkatlah tanpa diketahui oleh Ni Keng Giau dan kaki tangannya diperkemahan ini."

Sambil menyimpan surat itu dalam bajunya, Sat Siau Kun menyeringai dan bertanya, "Wajah Cong-koan kelihatan amat cerah. Apakah surat ini akan menjatuhkan Ni Keng Giau dari singgasana kecongkakannya?"

"Ssstt, jangan bicara sekeras itu, tebalnya kain tenda ini tidak cukup untuk meredam suara sekeras itu. Dan perlu kau ketahui, tidak gampang menjungkirkan Ni Keng Giau si bangsat Han itu dalam sekali gebrak, sebab kedudukannya masih amat kokoh. Yang bisa kita lakukan hanyalah mendongkelnya pelan-pelan, tidak boleh ditabrak langsung. Paham?"

"Kalau kita bunuh saja bagaimana? Bukankah ilmu silatnya tidak seberapa tinggi?"

"Bodoh kau. Akan timbul kegoncangan besar, pengikut-pengikutnya akan mengamuk dan Kaisar sendiri pun akan marah kepada kita. Jadinya kita malahan tidak mendapatkan apa-apa."

"Cong-koan memang lebih cermat dari aku yang bodoh ini, yah, yang penting memang kita harus berhasil meyakinkan Sribaginda agar jangan terlalu mempercayai Ni Keng Giau. Menyenangkan sekali kalau melihat dia terjungkal dari kedudukannya. Setelah itu, apakah Cong-koan yang akan menggantikannya sebagai Panglima Tertinggi?"

"Kalau bukan aku, coba pikir, siapa lagi yang pantas?" Kim Seng Pa tertawa terkekeh. "Tetapi jangan bocor dulu pembicaraan ini. Kalau aku kelak mendapat jabatan itu, masa aku takkan memberi rejeki besar kepadamu?"

"Baik. Besok dinihari aku akan berangkat dengan kuda yang tercepat larinya," kata Sat Siau Kun sambil mengisap pipa tembakaunya dan menghembuskan asapnya. "Cong-koan ada pesan lainnya?"

Kim Seng Pa berpikir sebentar, lalu berkata, "Oh, ya, selama kau ada di ibukota, sampaikan perintah kepada kelompok kita, agar mereka tidak gegabah ikut campur dalam kemelut istana. Semuanya harus tetap menahan diri sampai aku kembali dari sini. Mengerti?"

Seperti telah diketahui, Kim Seng Pa adalah komandan dari sekelompok pengawal istana yang disebut Ci-ih Wi-kun (kelompok pengawal jubah ungu) yang mendiami salah satu sudut istana yang disebut Bwe-hoa-kiong (Bangsal Bunga Sakura). Kelompok pengawal inilah yang dikirimi pesan oleh Kim Seng Pa lewat Sat Siau Kun.

Sat Siau Kun sendiri adalah orang nomor tiga di kelompok Ci-ih Wi-kun. Orang pertama adalah Kim Seng Pa, dan orang kedua yang bernama Toh Jiat Hong tidak ikut ke Jing-hai untuk tetap memimpin Ci-ih Wi-kun selama Kim Seng Pa tidak ada di istana.

"Kemelut dalam istana?" tanya Sat Siau Kun heran. "Kemelut apa lagi? Bukankah Ni Keng Giau sedang di tempat ini, jauh dari Ibukota, Pangeran In Te juga tidak ketahuan lagi dimana, jadi kemelut antara siapa melawan siapa?"

Sahut Kim Seng Pa, "Nah, inilah kekuranganmu. Kau cuma sibuk latihan silat saja, tidak mengikuti perkembangan yang terjadi dalam pemerintahan. Kalau begitu terus, biarpun ilmu silatmu setinggi langit, paling-paling yang cuma kebagian tugas membunuh orang terus. Mana bisa kau mengatur siasat untuk mencapai kedudukan yang tinggi?"

Sat Siau Kun menggaruk-garuk tengkuknya sambil menyeringai tersipu, "Ya, Cong-koan tahu aku memang cuma seorang kasar yang hanya memahami ilmu silat. Urusan politik segala memang aku benar-benar tidak paham. Karena itulah masa depanku kusandarkan sepenuhnya kepada Cong-koan. Tapi Cong-koan belum menjelaskan, di istana sedang ada kemelut siapa melawan siapa?"

"Antara Liong Ke Toh, Pamanda Sribaginda, melawan Pangeran Mahkota Hong-lik. Mereka berebutan pengaruh."

"Ha-ha, sungguh lucu. Seorang tua bangkotan macam Liong Ke Toh bersaing dengan seorang bocah cilik yang barangkali belum berhenti ngompol macam Pangeran Hong-lik? Apakah persaingan mereka begitu gawat?"

"Sampai saat ini, arena persaingan masih terbatas di lingkungan dalam dinding-dinding istana. Namun setiap persaingan di kalangan atas akan bisa mempengaruhi nasib kita yang dibawahnya. Karena itu, kita harus mengetahuinya sedini mungkin, dan kalau perlu memanfaatkannya kalau ingin maju."

"Baiklah. Jadi bagaimana pesan Cong-koan untuk kelompok kita?"

"Ya seperti yang kukatakan tadi. Bersikap netral dulu, jangan memihak atau terseret oleh pihak yang manapun juga. Tetap tenang sambil menunggu kembalinya aku di Pak-khia."

"Kenapa harus menunggu?"

"Karena dalam persaingan itu aku belum bisa menilai siapa yang bakal menang di kemudian hari. Kita harus pandai melihat arah angin agar tidak salah memilih tempat bergantung di kemudian hari. Kalau kita buru-buru memihak, lalu ternyata golongan yang kita ikuti itu kalah, nah, bagaimana? Bukankah nasibku akan mengikuti jejak Pak Kiong Liong, menjadi buronan pihak yang menang?"

"Ya, ya. Akan kusampaikan pesan Cong-koan."

"Nah, pergilah."

Sat Siau Kun pun kemudian meninggalkan kemah itu. Begitulah, dalam saat yang bersamaan, dua surat laporan melayang ke alamat Kaisar Yong Ceng di Pak-khia. Dua surat melaporkan satu kejadian yang sama, namun dengan nada dan kecenderungan yang berbeda. Surat Ni Keng Giau berisi tentang "kemenangan-kemenangan gemilang", sedang soal Pangeran In Te disebutnya "mayatnya tak bisa dikenali lagi karena kena meriam".

Sebaliknya Kim Seng Pa menulis antara lain "hanya untuk sebuah kemenangan kecil, Ni Keng Giau telah mengorbankan ribuan tentara". Soal Pangeran In Te, Kim Seng Pa mengabarkan "tidak kembali ke perkemahan, tapi mayatnya juga tidak diketemukan di arena pertempuran". Dengan laporan bergaya "ketolol-tololan" itu Kim Seng Pa berharap akan membangkitkan kekecewaan Kaisar Yong Ceng terhadap Ni Keng Giau.

Hari-hari berikutnya, Ni Keng Giau meneruskan perang di Jing-hai dengan nafsu menghancurkan yang mengerikan. Kekecewaan karena gagal membunuh Pangeran In Te, lalu dilampiaskan dengan menghancurkan pemberontak sampai selumat-lumatnya. Desa-desa dijadikan abu dan arang bersama penghuni-penghuninya sekalian.

Rumah-rumah ibadah ditebas rata. Ratusan ribu perajurit Ni Keng Giau sendiri tewas dalam perang gila-gilaan itu, namun jumlah nyawa yang mati tak pernah masuk dalam perhitungan Ni Keng Giau. Ia cuma ingin kemenangan sehebat-hebatnya untuk menjaga agar kedudukannya di mata Kaisar Yong Ceng tidak goyah.

Dan laporan-laporannya terus dikirim ke Pak-khia bak cerita bersambung yang isinya tentang kehebatan dirinya sendiri, dan cerita tentang kemenangan kemenangan yang dibesar-besarkan. Kim Seng Pa juga tidak mau kalah mengirim "cerita bersambung"nya ke Pak-khia, yang isinya tentu saja berlawanan dengan ceritanya Ni Keng Giau.

* * * *

Membaca cerita bersambung biasanya memang mengasyikkan, tetapi tidak bagi Kaisar Yong Ceng. Dua macam laporan dari Jing-hai yang berturut-turut sampai ke mejanya, bukannya menghibur, malahan seolah-olah berlomba-lomba membangkitkan penyakit tekanan darah tinggi sang pembaca, Kaisar Yong Ceng.

"Celaka, kenapa aku kirim orang-orang gila macam ini ke medan perang?" gerutu Kaisar ketika membaca laporan-laporan itu. "Menulis laporan yang jelas saja tidak becus!"

Namun laporan terakhir yang ditulis Ni Keng Giau agak melegakan juga. "... angkatan perang kita akan segera ditarik pulang, karena kaum pemberontak sudah berhasil ditumpas habis," dan tidak lupa Ni Keng Giau menyanjung, "... hamba yang hina memberi selamat kepada tuanku, Putera Langit Yang Agung, yang berhasil menegakkan kewibawaan di kawasan barat.”

Namun juga timbul setitik kesangsian dalam hati Kaisar Yong Ceng. Mula mula Kaisar Yong Ceng memang sekedar mendongkol karena Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa saling menjelekkan lewat surat. Kalau yang satu "meniup” yang lain "menggemboskan”, begitulah bergantian, ciri khas dua orang yang bersaing sengit. Namun berita dari Ni Keng Giau yang kelewat dahsyat dan bombatis itu malahan membuat ragu-ragu. Kalau benar "mayat Pangeran In Te tidak bisa dikenali”, bagaimana bisa tahu kalau mayat hancur "kena meriam” itu adalah Pangeran In Te?

Penjelasan Ni Keng Giau terlalu dahsyat tapi kabur. Jangan-jangan malah laporan Kim Seng Pa yang benar, bahwa Pangeran In Te berhasil menghilang dan diduga keras telah menyelamatkan diri? Jangan-jangan laporan Ni Keng Giau yang berlebihan itu hanya untuk mengalihkan perhatian dari kegagalannya membunuh Pangeran In Te?

Dalam keadaan bimbang macam itulah Kaisar Yong Ceng, seperti biasa, lalu ingat pamannya, Liong Ke Toh, yang nasehatnya sering dituruti. Diperintahkannya seorang thai-kam (sida-sida) untuk memanggil Liong Ke Toh ke Gi-si-pong (ruang membaca), dimana surat-surat dari garis depan itu ditumpuk di meja.

Setelah Liong Ke Toh datang, segera disuruhnya membaca surat-surat Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa untuk dibandingkan. Soal usaha membinasakan Pangeran In, Kaisar Yong Ceng tidak menyembunyikan dari pamannya ini, sebab gagasan itu dulu justru datangnya juga dari pamannya ini.

"Bagaimana pendapat Paman?” tanya Kaisar, setelah Liong Ke Toh selesai membaca.

Liong Ke Toh ini diam-diam juga iri kepada kekuasaan Ni Keng Giau yang besar, maka jawabannyapun bernada menghasut, "Menurut hamba, laporan dari Goan-swe Ni Keng Giau lebih banyak membualnya. Hamba cenderung mempercayai laporan Kim Cong-koan yang lebih masuk akal. Dalam laporan Ni Keng Giau, nampak benar dia bernafsu menonjolkan kehebatannya, seolah semua tanda jasa hendak diborongnya sendiri. Ini suatu gejala yang berbahaya. Hamba khawatir kelak Ni Keng Giau akan lupa bahwa dia cuma anak rakyat jelata dari kota udik Tan-liu, dan Tuankulah yang sudah berbelas kasihan mengangkatnya sampai kedudukan sekarang ini. Kalau kesombongannya tak terkendalikan lagi, jangan-jangan kelak dia merasa tidak perlu lagi tunduk kepada Tuanku?"

Dalam tahun-tahun kejayaannya itu, Kaisar Yong Ceng tetap seorang yang gampang curiga kepada apapun yang bisa mengancam kedudukannya. Watak khas para diktator. Memang sudah banyak penentang-penentangnya yang dikirim ke lubang kubur, namun Yong Ceng tetap merasa was-was kalau ada bawahannya yang terlalu menonjolkan diri, semacam Ni Keng Giau itu.

Namun Yong Ceng juga sadar, meskipun kedudukan Ni Keng Giau adalah pemberiannya, tidaklah gampang untuk memanggilnya kembali. Ni Keng Giau telah menanam pengaruhnya begitu kuat di kalangan militer, dan tidak sedikit pengikutnya yang fanatik secara membabi buta.

Sedangkan Liong Ke Toh terus menghasut, "Hamba harap Tuanku tidak lupa ketika Ni Keng Giau secara kurang ajar membawa pasukan tempurnya memasuki istana ini, lalu memaksa Tuanku untuk membubarkan sebuah perjamuan yang sedang diselenggarakan oleh Kim Cong-koan di bangsal Bwe-hoa-kiong. Permohonan untuk membubarkan pesta itu masih masuk akal, tapi caranyalah yang benar-benar keterlaluan kurang-ajarnya. Ia agaknya meremehkan Tuanku sebagai penguasa berdaulat pemilik istana ini, bahkan sebagai yang dipertuan di seluruh negeri. Ingat saja bagaimana perajurit-perajuritnya tidak menghiraukan perintah Tuanku, dan hanya mau tunduk kepada perintahnya. Ini benar-benar berbahaya, Tuanku. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul niatan jahatnya untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan? Bukankah saat itu kita semua seolah sudah seperti anak burung dalam genggaman tangannya? Bagaimanapun juga, dia itu bangsa Han bukan?"

Biarpun Yong Ceng diam saja, hanya berjalan hilir-mudik, namun hasutan Liong Ke Toh mulai merasuk di otaknya. Peristiwa-peristiwa yang diingatkan Liong Ke Toh itu bukan khayalan, melainkan kenyataan yang masih membuatnya jengkel kalau mengingatnya.

"Lalu Paman punya usul tidak?" tanya Yong Ceng kemudian.

"Hamba punya sebuah siasat, Tuanku."

"Coba katakan."

"Begini...."

Keduanya lalu bercakap-cakap lama sekali di Gi-si-pong. Pada akhir percakapan, nampak wajah Yong Ceng men jadi cerah dan kepalanya banyak mengangguknya. "Akal yang hebat, Paman. Dan kuserahkan sepenuhnya kepada Paman untuk mengatur begitu, tapi aku harap selalu diberi laporan agar tahu perkembangannya."

"Oh, terima kasih atas kepercayaan Tuanku kepada hamba. Semua yang hamba lakukan ini sama sekali tanpa pamrih pribadi, tanpa rasa benci kepada siapapun, semata-mata demi keselamatan Tuanku dan Kekaisaran ini. Hamba mohon diperkenankan mengundurkan diri, Tuanku."

"Silahkan, Paman."

Liong Ke Toh meninggalkan Gi-si-pong dengan semangat penuh, hati gembira, seolah tubuhnya hendak melayang. Seperti biasa, kalau Liong Ke Toh tertawa, berarti akan ada orang menangis. Kalau Liong Ke Toh kelihatan bahagia, berarti akan ada orang menderita. Kali ini sasarannya adalah Ni Keng Giau.

Tapi langkah Liong Ke Toh terhenti, ketika melihat dari seberang kebun-kebun bunga itu muncul Pangeran Hong-lik bersama tiga orang pengawalnya, agaknya juga sedang menuju ke Gi-si-pong. Meskipun Putera Mahkota itu masih remaja, namun terasa benar wibawanya, sehingga Liong Ke Toh yang berusia empat kali lipatnya itupun tergetar menatap matanya. Terpaksa ia berhenti agak minggir sambil mengangguk hormat.

"Apakah Pangeran hendak menjumpai Sribaginda?" tanya Liong Ke Toh.

Terhadap Liong Ke Toh yang masih terhitung kakeknya, ternyata Pangeran Hong-lik tanpa sungkan menunjukkan sikap tidak senangnya. Terbukti dari sikapnya, dan jawabannya yang dingin dan singkat, "Ya."

"Pangeran, nampaknya pikiran Sribaginda sedang menanggung semacam persoalan yang berat, karena itu alangkah bijaksananya kalau Pangeran tidak menghadap beliau sekarang ini."

"Aku akan menghadap sekarang dan membantu memecahkan masalah yang sedang dipikirkan Hu-hong (ayahanda Kaisar)," sahut Pangeran Hong-lik tanpa menatap muka Liong Ke Toh.

"Tapi sungguh tepat kalau menghadap sekarang. Hamba bukannya bermaksud menghalangi Pangeran, tapi cuma usul demi kebaikan semuanya."

"Usulmu kutolak," sahut Pangeran Hong-lik dingin dan langsung berjalan lagi tanpa menggubris Liong Ke Toh. Ketiga pengawalnyapun mengikuti.

Liong Ke Toh menahan kemarahannya sambil menatap punggung Pangeran Hong-lik yang menjauh. Geramnya dalam hati. "Keparat, Bocah ingusan macam kau berani tidak menghormati sesepuh keluarga istana macam aku? Hem,, hati-hatilah, bangsat cilik. Setelah kusingkirkan Ni Keng Giau, akan tiba giliranmu. Jangan menganggap umurmu cukup panjang untuk menunggu tahta jatuh ke tanganmu. Jangan harap. Bangsat. Monyet. Keparat."

Ternyata, sambil berjalan menuju Gi-si-pong, Pangeran Hong-lik juga menggerutu, "Tiga bulan yang lalu, sehabis Liong Ke Toh menemui Hu-hong, wajahnya nampak gembira. Dan esok harinya beberapa orang menteri setia langsung dipecat dengan alasan yang tak masuk akal. Karena ketiga menteri itu dalam sidang kerajaan pernah menanyakan darimana saja Liong Ke Toh berhasil mengumpulkan kekayaan begitu banyak. Satu setengah bulan yang lalu, kembali kulihat Liong Ke Toh berseri-seri wajahnya, disusul dengan dihukum matinya beberapa panglima yang pernah menolak hadir di perjamuan yang diselenggarakan Liong Ke Toh."

Ketiga pengawal Pangeran Hong-lik hanya mengikuti langkahnya tanpa bicara apa-apa. Namun mereka mendengarkan baik-baik.

"Kalian lihat, bagaimana tadi wajah orang tua itu?" Pangeran Hong-lik tiba-tiba menanyai ketiga pengawalnya.

"Nampaknya gembira sekali...” sahut seorang pengawalnya.

"Itu artinya ada orang bakal celaka, entah siapa. Aku mungkin bisa tanyakannya kepada Hu Hong."

Sikap Pangeran Hong-lik terhadap ketiga pengawalnya itu memang nampak agak istimewa. Terlalu akrab, kurang terlihat sikap resmi antara atasan dan bawahan. Itu karena ketiga pengawal itupun bukan orang sembarangan, bukan orang-orang yang sekedar mengekor ke mana perginya Pangeran Hong-lik. Merekalah yang disebut Heng-san-sam-kiam (Tiga Pedang Heng-san). Tadinya mereka termasuk dalam kelompok Ci-ih Wi-kun yang dikomandani Kim Seng Pa, namun ketiganya kemudian dijadikan pengawal pribadi Pangeran Hong-lik.

Ketiga pendekar itu bekerja di istana bukan untuk mencari nafkah, melainkan karena memendam cita-cita sendiri. Ketiganya adalah orang Han, yang ingin memperjuangkan martabat orang Han. namun tidak lewat pemberontakan, melainkan "bekerja dari dalam” dengan jalan mencoba ikut mempengaruhi pergulatan kekuasaan di dalam istana. Sampai kelak munculnya penguasa yang bisa melindungi martabat Bangsa Han.

Dulu mereka pernah mendukung Kaisar Yong Ceng, karena disangkanya Kaisar Yong Ceng akan menjadi raja yang baik. Ternyata mereka kecewa, Ialu merekapun beralih diam-diam memperjuangkan Pangeran In Te. Dengan harapan kalau Pangeran In Te menjadi raja, ada harapan martabat Bangsa Han akan diangkat. Tidak perlu harus mengusir Bangsa Manchu, cukup asal kedua suku bangsa itu hidup berdampingan dengan martabat yang sama.

Namun kabar dari Jing-hai menyebutkan Pangeran In Te yang tak keruan mati hidupnya. Lalu ketiga pendekar yang seperguruan itu menaruh harapan kepada Pangeran Hong-lik. Karena mereka sering melihat Pangeran Hong-lik meninggalkan istana dengan menyamar, untuk menolong rakyat secara langsung. Apalagi kalau ditinjau darah keturunannya darah Han dalam tubuh Hong-lik "lebih kental” dari pada darah Manchunya.

Ada desas-desus bahwa Pangeran Hong-lik sebenarnya bukanlah anak yang dilahirkan oleh Permaisuri resmi Kaisar Yong Ceng, melainkan hasil hubungan gelap Kaisar Yong Ceng dengan seorang wanita Han di luar istana. Lalu bayi hasil hubungan gelap itu diangkut diam-diam ke istana, dan diakui sebagai anak oleh Permaisuri yang tak bisa melahirkan anak.

Bahkan kemudian menjadi Putera Mahkota. Barangkali, itulah sebabnya Hong-lik memiliki semacam ikatan batin dengan Bangsa Han yang tertindas. Maka ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu jadi melihat semacam harapan baru bagi Bangsa Han, dalam diri Pangeran Hong-lik bila kelak bertahta.

Dengan dasar persamaan tujuan, untuk menolong rakyat, maka antara Pangeran Hong-lik dan Heng-san-sam-kiam terjalin persahabatan akrab, meskipun Heng-san-sam-kiam tetap menyembunyikan latar belakang sikap mereka. Ketiga pendekar itu lalu bukan sekedar budak-budak pengiring, namun tidak jarang sebagai teman bertukar pikiran bagi Pangeran Hong-lik. Bahkan menyangkut urusan-urusan penting dalam istana. Tidak jarang juga menyatukan tindakan.

Pangeran Hong-lik pun kemudian masuk ke Gi-si-pong untuk menghadap Kaisar Yong Ceng. Sementara itu, Liong Ke Toh segera pulang ke bangsalnya untuk mulai memikirkan masak-masak rencananya menjungkirkan Ni Keng Giau dari kedudukannya. Malam harinya, dengan menaiki sebuah tandu bertirai rapat, Liong Ke Toh diam-diam meninggalkan istana lewat pintu Hou-cai-mui, pintu belakang istana yang para penjaganya adalah ang gota komplotan Liong Ke Toh semua.

Karena sudah larut malam, suasana kota Pak-khia juga sudah sepi, tapi tidak sepi benar-benar. Di tempat-tempat tertentu masih ramai. Misalnya di dekat warung-warung arak, atau di tempat kosong yang digunakan oleh para gelandangan untuk berjudi kecil-kecilan tapi bisa sampai pagi.

Kedua pemikul tandu Liong Ke Toh maupun ke empat orang pengawal pribadinya, melangkah dengan santai. Langkah mereka seirama dengan keriat-keriut kayu-kayu pengusung tandu, sementara tandunya sendiri terayun-ayun lembut. Liong Ke Toh di dalam tandu seperti seorang bayi dalam ayunan, terangguk-angguk setengah mengantuk.

Tapi di sebuah jalan yang sepi dan gelap, rombongan itu tiba-tiba harus berhenti. Sikap santai digantikan sikap tegang. Para pemikul tandu begitu kagetnya sehingga meletakkan tandu terlalu keras, membuat Liong Ke Toh yang tengah melenggut di dalamnya itu jadi kaget dan mengutuk gusar. Sementara, ke empat pengawal pribadi Liong Ke Toh telah menghunus senjata masing-masing dan bersiaga di depan tandu.

"Ada.... ada apa?" dengan cepat kejengkelan Liong Ke Toh berubah menjadi kepanikan. Tangannya gemetar menyingkap tirai tandu untuk melihat apa yang menghadang di depannya, dan jantungnya hampir copot ketika melihatnya.

Tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka berpakaian seragam perwira, namun muka mereka tertutup kedok kain hitam, dan tangan kanan masing-masing memegang pedang terhunus.

"Siapa kalian?" Liong Ke Toh membentak. Biarpun suaranya agak gemetar, namun dipaksakannya untuk bersikap berwibawa sebagai seorang bangsawan tinggi.

Perwira berkedok yang berdiri ditengah menjawab, "Maaf kalau kami mengganggu perjalanan Ong-ya. Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, dan setelah Ong-ya menjawab dengan memuaskan, kami takkan mengganggu lagi. Pertama, apa yang Ong-ya bicarakan akhir-akhir ini dengan Sribaginda di kamar Gi-si-pong?"

Sambil tetap duduk dalam tandu, Liong Ke Toh menudingkan telunjuknya dan berkata dengan gusar, "Kurang ajar! Perwira-perwira tak tahu adat, apa urusanmu dengan pembicaraan dan rencana-rencana Sribaginda? Minggir!"

Si perwira berkedok yang ada di tengah itu tertawa dingin, mengibaskan pedangnya di udara tanda gertakan, "Kami cuma ingin tahu, siapa lagi yang akan kau fitnah dan kau celakai!"

Liong Ke Toh benar-benar terkejut kali ini. Lalu dicobanya menutupi sikapnya dengan tertawa terkekeh-kekeh. Ini bukan begal biasa, tapi berlatar belakang politik. Yang diminta bukan uang, melainkan "bocoran" kebijaksanaan istana yang masih dirahasiakan. Sahut Liong Ke Toh, "Omong kosong macam apa ini? Bukankah memang setiap harinya harus aku menghadap Sribaginda untuk membicarakan berbagai urusan? Kenapa sekarang mendadak kalian jadi usil ingin tahu?”

Si perwira berkedok yang di tengah itu agaknya menjadi juru bicara bagi rekan-rekannya. Jawabnya dingin, "Ribuan kali pembicaraan dengan Sribaginda yang sudah lalu, dan ribuan kali yang akan datangpun, kami tidak ambil pusing. Tapi pokok pembicaraan yang sekali ini, kami harus tahu!"

"Soal apa?"

"Soal Goan-swe Ni Keng Giau!"

Hati Liong Ke Toh bergetar. Selama ini ia merasa kasak-kusuknya soal menjatuhkan Ni Keng Giau masih tertutup rapat, hanya dirinya dan Kaisar yang mengetahuinya, kenapa tiba-tiba sekarang sampai bocor keluar istana? Pikirnya, "Kalau begitu, memang Ni Keng Giau tidak boleh dipandang enteng. Ia punya sejuta mata dan sejuta telinga yang tersebar di mana-mana."

Setelah menenangkan hatinya, Liong Ke Toh mulai memancing, "Siapa kalian sebenarnya? Kalau aku tahu siapa kalian, apa tujuan kalian, mana mungkin bisa kupertimbangkan untuk menjawab apa yang kalian tanyakan."

Orang yang menyembunyikan wajah di balik kedok, sudah tentu juga tak mungkin berteriak "mengumumkan" siapa dirinya yang sebenarnya. Karena itu, pancingan Liong Ke Toh tak mendapat sambutan baik. Malahan orang berkedok yang di tengah itu dengan gusar berkata kepada temannya, "Agaknya kita perlu membawa ular tua ini ke suatu tempat, lalu kita bongkar mulutnya dengan golok!"

Ucapan sekasar itu diperdengarkan kepada seorang gila hormat macam Liong Ke Toh, tentu saja membuat darahnya naik sampai hampir menjebol ubun-ubun. Perintah Liong Ke Toh kepada para pengawalnya, "Tangkap mereka! Kalau perlu, bunuh!"

Ke empat pengawal itupun jago-jago silat pilihan, segera mereka berlompatan ke depan sambil mengayun senjata-senjata mereka. Perwira berkedok yang ada di tengah maju ke depan. Agaknya ilmu silatnya cukup tangguh, sehingga dengan penuh percaya diri dia langsung "mengambil" dua lawan sekaligus. Sedangkan kedua perwira berkedok lainnya, masing-masing menghadapi satu lawan.

Perkelahian hebat pun berlangsung di jalanan yang gelap dan sepi itu. Baik ke empat pengawal Liong Ke Toh maupun ketiga perwira berkedok itu segera menunjukkan ketangkasan masing-masing dalam main senjata, maupun dalam tekad untuk saling memusnahkan. pengawal-pengawalnya yang digaji tinggi itu akan dapat segera membereskan urusan. Menangkap, melucuti kedok, dan memaksa bicara para perwira berkedok itu. Namun kenyataannya tidak sama dengan harapannya.

Ketiga perwira berkedok itu bermain pedang dengan tangguh, dan kemudian malahan ke empat pengawal Liong Ke Toh itu yang mulai megap-megap kelelahan. Salah seorang pengawal yang mengeroyok perwira berkedok berbicara tadi, malahan kemudian tertusuk perutnya sehingga roboh. Dan yang satu lagi terdesak. Begitu pula dua pengawal yang melawan perwira-perwira berkedok lainnya.

Biarpun Liong Ke Toh tidak paham ilmu silat sama sekali, tapi ia mulai merasakan bahaya yang mengancam pihaknya. Tiba-tiba dia berkata kepada kedua pemikul tandunya, "Pulang ke istana secepatnya dan panggil pengawal-pengawal lain! Cepat!"

Kedua pemikul tandu itu karena takutnya jadi agak salah paham menangkap makna perintah itu. Bukannya mengangkat tandu untuk dibawa pulang, malahan mereka berlari sendiri sekencang-kencangnya. Keruan Liong Ke Tong terkesiap. Cepat diapun melompat keluar dari tandunya sampai hampir terjerembab, dan memaksa sepasang kaki reyotnya untuk berpacu menyusul pemikul-pemikul tandu kurang bertanggung jawab itu.

Ketiga perwira berkedok itu ingin mengejar Liong Ke Toh, tapi masih tertahan oleh pengawal-pengawal Liong Ke Toh yang bertahan dengan gigih. Maka ketiga perwira berkedok itupun sadar kalau tidak berguna meneruskan niat mereka. Kalau sampai ada pengawal atau perajurit lain yang berdatangan ke situ dan menangkap mereka, mereka akan sulit memberi penjelasan.

Apapun dalih mereka, mereka sudah jelas melakukan tindak kekerasan terhadap Pamanda Kaisar. Bukan kekeliruan, tapi kesengajaan. Setelah saling bertukar isyarat, ketiga perwira berkedok itu lalu melompat meninggalkan lawan-lawan mereka, kemudian kabur menghilang ke dalam kegelapan....

Selanjutnya,