X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid Jilid 03 Karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 03

Karya Stevanus S P

SEBAGAI seorang patriot, Pak Kiong Liong mampu memisahkan kebencian terhadap Ni Keng Giau dengan keselamatan negara. Agar tentara kerajaan tidak sampai kocar-kacir, dibutuhkan pimpinan yang kuat. Dan orang macam itu, suka atau tidak suka, saat itu hanyalah Ni Keng Giau. Ni Keng Giau mati, pasukan pun bubar. Karena itulah ia mengacuhkan usul Kim Seng Pa.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Tapi Kim Seng Pa dengan gigih terus berusaha membuat Pak Kiong Liong menuruti kemauannya, “Pak Kiong Liong, setelah aku menguasai pasukan, kau pikir kedudukan itu akan kumanfaatkan untuk diriku sendiri? Tidak. Aku memikirkan juga Pangeran In Te. Akan kugunakan pasukan itu mendukung cita-cita Pangeran In Te untuk merebut tahta yang memang menjadi haknya. Bahkan aku juga akan memberimu kedudukan, karena akupun kagum terhadap perjuanganmu yang gagah berani."

Bicara sampai di sini, Kim Seng Pa tiba-tiba ketakutan sendiri lalu menghentikan ucapannya. Bagaimana kalau Pak Kiong Liong tiba-tiba "usil mulut" dan menyebarluaskan janjinya yang bernada memberontak itu, lalu terdengar oleh Kaisar Yong Ceng? Biarpun Kim Seng Pa tidak berniat. benar-benar menepati "janji"nya kepada Pak Kiong Liong itu, namun kalau sampai terlanjur didengar Kaisar, benar-benar susah untuk menjelaskan kepada Kaisar yang gampang bercuriga itu.

Tertawalah Pak Kiong Liong melihat sikap ketakutan Kim Seng Pa itu. "Jangan takut, Cong-koan. Karena kau sudah menanam kebaikan atas diri Pangeran In Te, aku berjanji akan merahasiakan kata-katamu tadi."

"Terima kasih," kata Kim Seng Pa lega. "Tapi bagaimana dengan usulku tadi?"

"Bandel juga orang ini dengan ambisinya yang selangit," pikir Pak Kiong Liong. "Sampai dicobanya mengiming-ngimingi aku dengan kedudukan segala. Hemm..."

"Bagaimana, Pak Kiong Liong?" desak Kim Seng Pa. "Kalau Ni Keng Giau mati, kita bisa membagi keuntungan."

"Terima kasih, Cong-koan, tapi belum bisa kuterima sekarang," Pak Kiong Liong menghindar halus. "Nah, selamat malam dan sekali lagi terima kasih." Lalu berkelebatlah tubuh Pak Kiong Liong meninggalkan tempat itu.

Meninggalkan Kim Seng Pa yang termangu-mangu kecewa. Sudah terlanjur ia "buka kartu", ternyata apa yang diharapkan dari Pak Kiong Liong tak diperolehnya. "Bangsat tengik kau, Pak Kiong Liong. Sulit juga mengatur dirimu," akhirnya Kim Seng Pa menggeram sengit. Lalu diapun meluncur pergi, menghilang di kegelapan malam.

Ketika matahari terbit, Pangeran In Te memerintahkan pasukannya untuk berjalan lagi. Si pembunuh yang gagah itupun dibawa dengan tangan diikat, biarpun berkuda. Pangeran In Te tidak menyinggung-nyinggung dalam pembicaraan dengan siapapun. Karena itu, baik perajurit-perajurit yang setia kepada Pangeran In Te maupun yang menjadi kaki tangan Ni Keng Giau, tak berani membicarakannya pula. Khawatir kalau Pangeran In Te marah lagi seperti semalam.

Perwira-perwira kaki-tangan Ni Keng Giau percaya bahwa si tawanan tentu sudah mengaku kepada Pangeran In Te kalau dia disuruh Ni Keng Giau. Namun merekapun yakin Pangeran In Te takkan berani menghukum berat karena segan kepada Ni Keng Giau yang sedang memegang kekuasaan besar. Karena itulah para kaki-tangan Ni Keng Giau jadi bersikap congkak, seolah-olah mau berkata, "aku dilindungi Ni Goan-swe, siapapun tak berani menghukumku."

Biarpun mendongkol karena merasa ditantang, Pangeran In Te berusaha tidak menggubris mereka. Bahkan ketika para kaki-tangan Ni Keng Giau secara menyolok melayani makan-minum si pembunuh yang gagal itu, seolah menunjukkan kesetia-kawanan. Karuan yang gemas dan hampir-hampir tak kuasa menahan diri adalah perwira-perwira yang setia kepada Pangeran In Te. Namun karena Pangeran In Te tidak memerintahkan apa-apa, mereka pun tidak berani bertindak gegabah. Pangeran In Te benar-benar bersedia berkorban untuk menjaga keutuhan pasukannya.

Tepat ketika matahari mulai terbenam, pasukan itu menjumpai sebuah desa orang Hui yang sudah kosong ditinggalkan penduduknya. Pangeran In Te bermaksud mengistirahatkan pasukannya semalam di situ, karena desa itu dikelilingi parit air yang lebar, sehingga mudah dipertahankan seandainya datang serangan. Namun sebelum membawa masuk pasukannya, ia perintahkan beberapa perajurit untuk memeriksa apakah desa itu aman atau tidak.

Setelah para perajurit yang di perintahkan itu keluar kembali dan melaporkan keadaannya yang aman, barulah Pangeran In Te membawa pasukan menduduki tempat itu. Penduduk desa itu agaknya sudah pergi mengungsi, menjauhi tempat-tempat yang diperkirakan akan menjadi ajang pertempuran.

Parit besar di sekeliling kampung itu sebenarnya dibuat tanpa untuk maksud perang, hanya untuk mencegah agar hewan-hewan peliharaan dalam kampung tidak berkeliaran keluar dan hilang. Namun dengan adanya parit itu, Pangeran In Te jadi merasa lebih gampang mengatur penjagaan untuk malam itu.

Sementara itu, di kalangan perajurit mulai terdengar gerutuan, karena selama beberapa hari itu belum pernah satu kalipun pasukan itu dikontak oleh Pasukan Wan Yen Siang yang bertugas sebagai pendukung perbekalan. Seharusnya antara kedua pasukan harus ada kontak teratur, agar bila keadaan darurat bisa saling membantu, saling mengetahui posisi masing-masing.

Namun buat Pangeran In Te sendiri, hal itu tidak mengherankan. Ia tahu Wan Yen Siang adalah komplotan Ni Keng Giau, tentu akan lebih senang kalau Pangeran In Te mati. Tidak heran kalau Wan Yen Siang membiarkan saja pasukan Pangeran In Te maju sendirian. Hanya saja, Pangeran In Te cuma menyimpan dugaan itu dalam hatinya, tidak dikatakan kepada siapapun, khawatir kalau membuat merosot sema ngat pasukannya.

Ketika malam belum lama berkuasa menggantikan senja, yang muncul di tempat itu malah seorang mata-mata Pasukan Pangeran In Te. Dengan menunggangi kuda dan berpakaian seperti orang Hui, orang itu menderapkan kuda mendekati desa, sambil melambai-lambai kan tangan, sebagai isyarat bahwa dia bukan musuh.

Yang memimpin penjagaan di situ kebetulan adalah Lo Peng, cam-ciang yang menjadi kaki-tangan Ni Keng Giau. Cepat ia menyongsong mengisyaratkan agar penunggang kuda itu berhenti. Setelah dekat, penunggang kuda itu lalu melompat turun dari kudanya dan menghormat Lo Peng. Katanya, "Aku Go Pek Liong, bawahan cam-ciang Sun Hong Beng, Sian-hong Ciang-kun. Membawa laporan penting!"

Dalam pasukan itu, memang Sun Hong Beng telah diangkat sebagai Sian-hong Ciang-kun (panglima perintis) oleh Pangeran In Te. Tugas-tugas seorang Sian-hong Ciang-kun antara lain ialah menyebarkan mata-mata untuk menangkap sebanyak-banyaknya keterangan tentang gerak-gerik musuh, lalu melaporkannya.

"Jadi, kau anak-buah Sun Can-ciang?"

"Benar."

"Membawa laporan tentang gerakan musuh?"

"Benar. Mohon agar segera di ijinkan lewat untuk melaporkan kepada Sun Cam-ciang. Beritanya penting sekali.”

Sebuah pikiran "nakal" tiba-tiba saja merasuk di otak Lo Peng. Sambil tersenyum ramah, dia berkata, "Saudara Go tentunya lelah sekali. Karena itu, biar aku saja yang menyampaikannya kepada Sun Cam-ciang, dan kau boleh langsung beristirahat. Sama saja kan? Nah, apa beritanya?"

Karena yang dihadapi adalah Lo Peng yang juga berpangkat cam-ciang, sama dengan atasannya, Go Pek Liong tidak curiga sedikitpun. Iapun langsung laporan. "Sebuah pasukan besar campuran orang Kozak dan orang pribumi pembangkang, sedang bergerak ke arah ini. Jumlah mereka jauh lebih besar dari kita, bersenjata lengkap, bahkan membawa belasan pucuk meriam. Menurut perhitunganku, tengah malam nanti, mereka akan tiba di sini."

"Bagus. Kau sudah bekerja dengan baik. Sekarang biarkan seorang anak-buahmu mengantarmu untuk beristirahat sebentar. Dan aku yang akan melaporkannya kepada Sun Cam-ciang. Tapi kuharap jangan menceritakan laporanmu kepada siapapun, nanti seluruh pasukan akan menjadi panik. Biar nanti seluruh pasukan mendengar langsung perintah Pangeran In Te, sehingga perintahnya tidak simpang-siur. Mengerti?"

"Mengerti, Cam-ciang."

"Nah, istirahatlah. Jasamu pasti kulaporkan untuk dicatat." Kemudian Lo Peng berjalan masuk kembali ke dalam kampung itu. Namun berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada Go Pek Liong, ia tidak langsung meneruskan laporan itu kepada Sun Hong Beng atau Pangeran In Te, malahan lebih dulu ia menemui perwira-perwira yang sekomplotan dengannya, yang sama-sama menjadi kaki-tangan Ni Keng Giau. Lalu diceritakannya tentang laporan mata-mata tadi.

"Jadi tengah malam nanti, tempat ini akan jadi neraka. Orang Kozak dan pemberontak-pemberontak Jing hai akan menyerbu kemari dengan kekuatan jauh lebih besar dari pasukan kita. Dengan demikian kita harapkan saja Pa ngeran In Te akan mampus!"

"Tapi apakah kita juga harus ikut mati di sini...?”

"Ya jelas tidak, itu sebabnya kalian kuberitahu soal ini agar bisa segera menyelamatkan diri. Nah, jangan banyak tanya, nanti kita kehabisan waktu. Hubungi diam-diam semua teman-teman kita, lalu berkumpullah di tempat penambatan kuda-kuda yang dekat dengan jembatan sebelah timur. Ingat, diam-diam, artinya jangan sampai seorangpun yang tidak termasuk kelompok kita ikut mendengarnya. Setelah berkumpul, kita akan kabur dari sini dengan alasan meronda keluar desa. Cepat."

"Tetapi..." seorang perwira Nampak ragu-ragu.

"Apa lagi?" tanya Lo Peng tidak sabar.

"Kita akan selamat, dan Pangeran In Te akan mati sebab tidak tahu adanya musuh yang sedang mendekat. Tapi apakah ribuan perajurit teman-teman kita juga harus ikut mati, biarpun mereka yang tidak sepaham dengan kita?"

Lo Peng menjawab tanpa perasaan. “Tidak ada jalan lain. Jangan terlalu berbelas-kasihan dalam urusan macam ini, kita sedang di kancah perang dimana orang mati dengan gampang seperti lalat. Kalau perajurit-perajurit itu hendak kita ajak lari sekalian supaya selamat, maka akhirnya Pangeran In Te juga akan ikut menyelamatkan diri pula. Padahal, kapan lagi ada kesempatan sebagus ini? Pangeran In Te akan mati tanpa meninggalkan kesan dibunuh, melainkan terbunuh oleh musuh."

Perwira-perwira lainpun ikut membujuk teman mereka yang ragu-ragu itu. "Hilangkan keraguanmu, hilangkan beban perasaanmu. Kalau tidak gugur di sini, barangkali mereka juga akan gugur di tempat lain. Jadi ya sama saja."

"Benar. Ayo cepat kita ambil kuda."

Tapi perwira yang ragu-ragu tadi tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan berkata dengan tegas. "Kalian semua pergilah sendiri."

Ucapan itu kontan menimbulkan ke curigaan di hati perwira-perwira lain yang sekomplotan, pikiran mereka dibayangi dugaan bahwa rekan mereka itu akan memisahkan diri dari komplotan dan mengkhianati mereka.

“Kau tidak ikut pergi? Bagaimana maksudmu?”

"Sebagai perajurit, aku tetap menjunjung perintah Goan-swe Ni Keng Giau untuk membiarkan Pangeran In Te terbinasa dalam perang ini. Karena Pangeran In Te dianggap sebagai duri dalam daging. Tapi sebagai perajurit pula, takkan kubiarkan teman-temanku sesama perajurit menghadapi maut di tempat ini, sementara aku sendiri kabur menyelamatkan diri. Itu takkan kulakukan."

"Jadi bagaimana? Akan kau ajak semua orang pergi dari sini kecuali Pangeran In Te, begitu?" tanya Lo Peng jengkel.

"Tidak. Aku akan tetap menutup mulutku rapat-rapat, takkan membocorkan tentang laporan kedatangan musuh ini, agar jangan sampai Pangeran In Te tahu lalu pergi dari sini. Tapi aku akan terap di tempat ini, bertempur bersama seluruh pasukan ini. Aku tidak mau melarikan diri.”

"Bodoh sekali. Kau akan ikut mampus. Laporan itu menyebutkan bahwa musuh yang bakal datang itu jauh lebih kuat dari pasukan ini. Bahkan membawa belasan pucuk meriam pula."

"Kalau harus mati, apa boleh buat. Daripada terus hidup namun dibayang-bayangi terus oleh teman-temanku yang gugur di sini."

Lo Peng dan perwira-perwira sekomplotan lainnya saling bertukar pandangan dan geleng-geleng kepala. Tak menduga kalau salah satu teman mereka akan bersikap macam itu.

"Bagaimana, Lo Toa-ko?" tanya salah seorang.

Lo Peng jadi nampak agak salah tingkah. Menyaksikan sikap seorang temannya yang berpegang teguh pada kesetia-kawanan itu, Lo Peng jadi merasa agak disindir. Ternyata ajaran keras Ni Keng Giau tentang hidup keperajuritan yang selama ini dicekokkan kepada semua perajurit, bukan saja menghasilkan perajurit-perajurit yang tunduk secara terpaksa sambil menggerutu dalam hati, namun juga menghasilkan perajurit macam teman Lo Peng yang satu ini. Yang sungguh-sungguh menghayati ajarannya sampai ketulang sungsum. Air yang sama bisa menumbuh-suburkan pohon mawar yang harum, juga pohon kembang tahi kucing.

Bagi Lo Peng yang berprinsip "menghalalkan segala cara demi tujuan", sikap seorang temannya itu dianggapnya rada goblok, tapi terpaksa dibiarkannya saja. Katanya, "Kalau kau bertekad terserahlah kepadamu. Namun kalau sampai kau membocorkan berita itu, berarti kau menyelamatkan Pangeran In Te, dan berarti pula menggagalkan rencana Ni Keng Giau, suatu tindakan yang tidak patut dilakukan seorang perajurit sejati macam kau."

Demikianlah Lo Peng yang licik itu malah balik "memberangus" perwira itu dengan nilai-nilai kebanggaannya sendiri. “Baiklah, Lo Toa-ko. Aku takkan mengkhianati keinginan Goan-swe. Silahkan kalian berangkat."

Lo Peng dan perwira-perwira sekomplotannya pun berpencaran. Dalam gelapnya malam, bergerak tanpa menimbulkan kecurigaan perajurit-perajurit yang tidak sekomplotan, mereka menuju tempat penambatan kuda. Lalu masing-masing mengambil seekor, dan kepada perajurit-perajurit yang menjaga kuda, Lo Peng berbohong,

"Kami mau berpatroli di sekeliling desa ini. Biarpun nampaknya tidak akan ada musuh yang datang, tapi kita harus selalu waspada."

Dan penjaga-penjaga kuda pun membiarkan mereka. Begitulah, perwira-perwira yang hendak melarikan diri itu mula-mula lancar dalam segala tindakan mereka. Tapi ketika mereka hendak keluar desa dengan melewati salah satu jembatan di atas selokan pelindung desa, mereka terkejut ketika melihat Sun Hong Beng dan beberapa perwira yang setia kepada Pangeran In Te telah menghadang di mulut jembatan. Bahkan ada sepasukan perajurit bawahan yang membawa obor yang dinyalakan terang-terang.

Di sebelah Sun Hong Beng nampak lah Go Pek Liong, si mata-mata yang tadi laporan pentingnya "dibegal" oleh Lo Peng, namun tidak diteruskan kepada Pangeran In Te atau Sun Hong Beng. Maka sadarlah Lo Peng dan kawan-kawannya, bahwa maksud buruk mereka mulai tersingkap. Si mata-mata agaknya tidak tenteram sebelum laporan sendiri kepada Sun Hong Beng sebagai atasan langsungnya, biarpun Lo Peng sudah berpesan agar ia istirahat saja sebab Lo Peng sendiri yang akan meneruskan laporan". Kini Lo Peng terancam tuduhan berat, karena telah berani menyembunyikan laporan yang demikian penting.

Dengan wajah merah padam, Sun Hong Beng bertanya, "Berhenti. Mau ke mana kalian?"

Lo Peng masih juga mencoba mendusta, "Sun Cam-ciang, masa kau tidak sadar kalau kita sedang ada di medan perang dan harus senantiasa waspada? Aku dan beberapa rekan ini bermaksud berpatroli di luar desa ini, siapa tahu ada bahaya yang mengancam kita!"

"Wah, Lo Cam-ciang benar-benar perwira teladan yang mampu memberi contoh kepada perajurit-perajurit kita agar sadar kewajiban,” sindir Sun Hong Beng sambil menahan rasa gusarnya yang makin luber. ”Tapi sebelum kau pergi, aku minta sedikit penjelasan.”

Lo Peng mulai gelisah, "Penjelasan apa?”

"Sebelum bicara, bagaimana kalau kalau kalian turun dulu dari kuda, agar kita bisa bicara dengan tenang, tanpa harus berteriak-teriak?”

"Katakanlah cepat, Sun Cam-siang!”

"Turun lebih dulu dari kuda!”

"Sun Cam-ciang, jangan berlagak macam itu, aku kan bukan bawahanmu? Mau bicara, bicaralah saja!”

"Baik. Setelah kau terima laporan dari Go Pek Liong, kenapa tidak kau teruskan laporan itu kepada Pangeran In Te sebagai pimpinan pasukan? Apa maksudmu di balik tindakan itu?”

'’Jangan salah paham, Sun Cam-ciang. Setelah mendapat laporan itu, lalu aku merasa terpanggil untuk menjaga keselamatan seluruh pasukan, maka kuajak beberapa teman untuk berpatroli di luar desa. Melihat-lihat situasi, setelah itu baru kulaporkan kepada Pangeran In Te!"

"Berpatroli atau melarikan diri bersama teman-teman sekomplotanmu? Membiarkan kami semua di sini bakal terbantai oleh musuh yang lebih kuat, dan laporan kedatangannya kau sembunyikan?"

"Melarikan diri? Itu tuduhan gegabah!"

"Lo Cam-ciang, mari kita berdua menghadap Pangeran In Te. Kalau terbukti tuduhanku ngawur, boleh kau gorok leherku dengan tanganmu sendiri!"

Lo Peng sadar, segala bentakannya takkan dipercayai lagi. Karena terpojok, ia jadi nekad. Tiba-tiba ia berteriak, "Sun Hong Beng, kau tahu siapa yang melindungi aku? Dialah Goan-swe Ni Keng Giau! Kalau kau berani menentangku, sama saja dengan menentang Goan-swe Ni Keng Giau, Panglima Tertinggi yang kedudukannya jauh di atas Pangeran In Te!"

Tak terduga Sun Hong Beng juga sudah nekad, karena selama ini ia harus menahan rasa muak mencium intrik-intrik kotor dalam pasukan. Sahutnya tak kalah keras, "Biarpun pelindung mu adalah Kaisar sendiri, tapi dalam pasukan ini kau adalah bawahan Pangeran In Te! Kau harus tunduk kepada disiplin, harus bisa ditertibkan, atau dicap sebagai pengkhianat!"

"Terjang!" mendadak Lo Peng berseru kepada teman-temannya. Dan dengan pedang terangkat tinggi siap untuk disabetkan, ia menderapkan kudanya ke depan secepat kilat. Kawan-kawannya tak ada jalan lain kecuali mengikutinya. Kedok sudah terbongkar. Lebih baik berusaha lolos, daripada kena hukuman dari Pangeran In Te.

Sebenarnya Ni Keng Giau sudah berpesan kepada Lo Peng dan teman-temannya, agar dalam usaha mencelakakan Pangeran In Te itu dilakukan diam-diam, jangan sampai ada orang yang tahu. Namun kini, karena terjepit, malahan Lo Peng telah berteriak-teriak umumkan siapa "backing"nya untuk diperdengarkan kepada seluruh pasukan.

Sikap keras dihadapi dengan sikap keras pula oleh Sun Hong Beng. Perintahnya kepada orang-orangnya, "Tangkap semua pengkhianat ini!"

Para perajurit sudah mendengar perbantahan kedua Cam-ciang itu, dan mereka marah mendengar betapa mereka hendak dikorbankan untuk tertimpa bencana, oleh Lo Peng dan komplotannya, sedangkan Lo Peng dan komplotannya sendiri hendak kabur. Maka biarpun menghadapi perwira-perwira yang berpangkat lebih tinggi, mereka tidak sungkan-sungkan lagi dan langsung menyerbu Lo Peng dan kawan-kawannya.

"Keparat! Akupun takkan sungkan kepada kalian!" Lo Peng dan kawan-kawannya melakukan perlawanan ganas dari atas kuda-kuda mereka. Karena marah dan panik, mereka pun tak segan membunuh.

Hasilnya, para perajurit jadi tambah marah, tak terkecuali yang menjadi bawahan Lo Peng sendiri. Ketika beberapa perajurit berhasil menyerempet kaki kuda tunggangan para perwira itu, kudapun roboh, dan para perwira yang hendak kabur itu terpaksa berkelahi tanpa kuda. Sun Hong Beng dan perwira-perwira Pangeran In Te yang setia, tidak membiarkan para perajurit bawahan itu menjadi keganasan Lo Peng dan teman-temannya. Mereka berteriak menyuruh para perajurit untuk minggir, lalu maju menghadapi Lo Peng dan kawan-kawannya.

Maka di tempat itupun terjadi perkelahian seru antara dua golongan yang selama ini diam-diam memang menyembunyikan pertentangan dan saling membenci. Kini kebencian dan pertentangan itu tak disembunyikan lagi, malah dipertontonkan terang-terangan di hadapan para perajurit. Itulah wujud pertentangan antara Ni Keng Giau dan Pangeran In Te selama ini.

Ketika Perkelahian menghebat, dari pusat desa tiba-tiba terdengar derap kuda mendekat. Ternyata Pangeran In Te sendiri yang muncul diikuti beberapa perwira. Wajah Pangeran In Te nampak gusar melihat perkelahian itu. “Hentikan! Apakah kalian sudah gila?!"

Bagaimanapun juga, wibawa Pangeran In Te tak bisa ditentang. Perwira-perwira yang berkelahi itupun menghentikan perkelahian, lalu saling menahan senjata masing-masing dan berlompatan memisahkan diri, tapi mata mereka masih saling melotot dengan geram.

Dengan marah Pangeran In Te men damprat, "Percuma saja selama ini aku mengorbankan perasaan dan harga diriku, membiarkan diriku dihina! Semua pengorbananku tak lain hanya untuk menjaga kerukunan kalian, sesama perajurit kaisaran! Karena kalian memikul tugas yang sama di garis depan, harus saling membantu demi berhasilnya tugas itu. Tugas demi kekaisaran kita yang besar, bukan demi kepentingan pribadi In Te atau Ni Keng Giau! Tapi kalian bertingkah seperti kanak-kanak saja. Tanpa pikir panjang terus saling menghunus senjata dan saling gebrak dengan teman sendiri! Tidak malukah kalian ditonton oleh bawahan kalian?"

"Pangeran, maafkan hamba...." kata Sun Hong Beng. "Hamba tidak dapat menahan diri lagi, karena pengkhianatan Lo Peng sudah sampai taraf yang keji, tak bisa dimaafkan lagi. Hanya untuk mencari muka terhadap Ni Keng Giau."

"Jangan kurang ajar!" potong Pangeran In Te. "Sebut dia semestinya, sebagai Panglima Tertinggimu! Panglima Tertinggi kita!"

Sun Hong Beng menarik napas untuk menekan rasa penasarannya. Kadang-kadang tak sabar juga ia melihat sikap Pangeran In Te yang dianggapnya terlalu lembek. Begitu teguh berusaha menjaga kekompakan pasukannya, sampai dia rela dihina dan dikhianati, bahkan ikut menjaga kewibawaan Ni Keng Giau yang memusuhinya. Sun Hong mengangguk, dan meneruskan kata-katanya..... “hanya untuk mencari muka terhadap.... terhadap.... atasannya. Dia telah menyembunyikan suatu laporan penting yang menyangkut mati hidupnya sekian ribu perajurit. Lalu hendak menyelamatkan dirinya sendiri!"

Ketika Pangeran In Te mengalihkan pandangannya ke arah Lo Peng, dilihatnya perwira itu tidak menunjukkan sikap takut, malah membusungkan dada serta berkata dengan congkak,

"Siapapun yang berani menuduhku, silahkan mengadukan di hadapan Goan-swe Ni Keng Giau! Aku tidak sudi dituduh dan dihukum oleh sembarangan orang!"

Sambil tertawa dingin, Pangeran In Te mencabut bendera kecil Leng-ki dari pinggangnya, diangkat tinggi-tinggi, dan berkata, "Lo Peng, tahukah kau makna tindakan Goan-swe ketika menyerahkan Leng-ki ini ke tanganku?"

Lo Peng bungkam, dan Pangeran In Te melanjutkan, "Penyerahan Leng-ki ke tanganku berarti kekuasaan atas pasukan ini hanya di satu tangan, di tanganku! Tidak peduli perajurit yang diambil dari pasukan manapun, bahkan dari pasukan pribadi Sribaginda pun kalau sudah bergabung dalam pasukan ini harus tunduk hanya kepada perintahku!"

Sun Hong Beng mengangguk-angguk, agak puas melihat sikap Pangeran ln Te kali ini. Sementara itu Suasana sunyi mencekam, tidak ada yang berbicara.

“Lo Peng!" bentak Pangeran ln te kemudian. "Kalau sekarang juga kau ku jatuhi hukuman mati, juga teman-teman mu, kau pikir Goan-swe Ni Keng Ciau akan membela kalian secara terang-terangan? Tidak. Dia akan membiarkan kalian mati, sebab diapun tidak suka menentangku secara terbuka! Dia akan cuci tangan bersih-bersih!"

Lo Peng tetap bungkam. Kata-kata Pangeran ln Te itu memang masuk akal. Kalau Pangeran ln Te secara terbuka mengumumkan kesalahannya yang hendak minggat dari pasukan, lalu menghukumnya, maka betapapun besarnya kekuasaan Ni Keng Giau, Ni Keng Giau pasti takkan berani membela Lo Peng secara terang-terangan.

Ni Keng Giau pasti takkan mau kehilangan rasa hormat dari bawahannya yang lain, dari seluruh pasukan. Mungkin Ni Keng Giau hanya akan membenci Pangeran ln Te dalam hati, atau berusaha membalas Pangeran ln Te dilain hari, namun batok kepala Lo Peng dan kawan-kawannya pasti sudah terlanjut protol semua.

Suasana jadi tambah tegang. Banyak orang menduga Pangeran ln Te sudah habis kesabarannya; dan akan menjatuh kan hukuman berat kepada Lo Peng dan kawan- kawannya. Ternyata Pangeran ln Te tiba-tiba malahan tertawa, tertawa getir, sehingga semua yang melihatnya jadi heran. Kata Pangeran ln Te, "Tetapi aku tidak perlu menjatuhi hukuman mati kepada kalian sekarang. Kita semua, seluruh anggaota pasukan ini, memang sudah akan dibiarkan mati oleh Goan-swe Ni Keng Giau. Semuanya. Tanpa kecuali."

Semua terkejut. Sementara Pangeran ln Ie melanjutkan sambil menatap Lo Peng "...termasuk kalian juga..."

"Apa.... apa maksud Pangeran?" tanya Lo Peng gugup.

"Maksud Goan-swe, yang hendak dibiarkan mati itu hanyalah diriku sendiri, namun karena kalian bersama aku jadi kalianpun ikut dikorbankan. Musuh yang jauh lebih kuat sudah tiba, dan kini mereka telah mengurung rapat desa ini. Kita akan dibiarkan mati tanpa pertolongan, mati dengan senjata orang-orang Kozak dan para pemberontak di Jing-hai!"

Orang-orang yang mendengarnya jadi gempar seketika. Lo Peng bahkan sampai memucat wajahnya. "Be.... benar.... kah i...itu?”

Dan suaranya tenggelam dalam caci-maki semua perajurit yang menyalahkan Lo Peng, karena dialah yang menyembunyikan laporan penting itu dan bahkan hendak kabur demi keselamatannya sendiri. Dan sekarang ketika laporan itu telah diketahui Pangeran In Te, maka saatnya sudah terlambat.

Sedangkan Sun Hong Beng tiba-tiba tertawa mengejek. "Nah, Lo Cam-ciang, kalau sekarang kau masih mau keluar desa untuk berpatroli, silahkan. Aku takkan menghalangimu lagi. Kalau kau bisa kembali hidup-hidup kemari, bintang jasa pasti akan memenuhi bajumu."

Baru saja selesai kata-katanya itu, tiba-tiba di luar desa terdengar dentuman meriam menggemuruh, merobek-robek suasana malam. Suara itu terdengar di beberapa penjuru. Wajah semua orang menjadi tegang mendengarnya, namun Pangeran In Te justru tertawa dan nampak pasrah sekali.

"Nah, itulah, algojo-algojo kita sudah mengetuk pintu. Dan kita tak perlu mengharapkan pertolongan siapa- siapa, kecuali bahu-membahu menyelamatkan diri."

Lo Peng masih belum bisa percaya bahwa dirinyapun ternyata ikut terkurung di situ dan akan menjadi korban pula, akan ikut "menemani" perjalanan Pangeran In Te ke akherat. Ia geleng-geleng kepala dan berkata setengah menangis, "Tidak! Kalau Goan-swe ataupun Wan Yen Siang tahu aku masih di sini, tentu mereka akan mengirim bantuan, takkan membiarkan aku mati di sini!"

Pangeran In Te tidak menggubris tingkah Lo Peng itu, keluarlah perintahnya kepada seluruh pasukan, “Semuanya bersiap! Atur pertahanan ditanggul-tanggul parit sebelah dalam. Perkuat penjagaan di mulut-mulut jembatan!”

Para perajuritpun kemudian berpencaran ke segala arah untuk menjalankan perintah itu. Para komandan regu mengatur anak-buahnya masing-masing, senapan, panah, lembing, pedang dan segala macam senjata pun disiapkan. Pangeran In Te sendiri berkeliling untuk mengatur pertahanan.

Lo Peng masih berdiri termangu-mangu, bingung campur penasaran, tak tahu bagaimana nasibnya nanti, bila orang-orang Kozak sudah menyerbu sementara bantuan datang atau tidak? "Tidak boleh terjadi. Tidak boleh terjadi. Biarpun Wan Yen Siang mengingini kematian Pangeran In Te, tapi kalau tahu aku masih di sini, dia akan tetap menolongku. Sebab aku adalah sekutunya. Dia pasti takkan membiarkan aku mati di sini..... pasti tidak....." ia masih mengoceh sendirian sambil geleng geleng kepala.

Sementara, sorak-sorai musuh di kejauhan semakin mendekat, bersama gelegar meriam-meriamnya. Salah seorang perwira sekomplotan Lo Peng tiba-tiba berkata keras, "Kalau sampai Wan Yen Siang tidak datang menolong, padahal dia tahu kita masih terkurung di sini, berarti dia itu anak anjing!"

Sahut yang lainnya, 'Tidak ada gunanya berdebat apakah Wan Yen Siang akan menolong atau tidak. Sekarang, mau tidak mau kita harus ikut bertempur! Ayo kita cari posisi!"

Di dataran rumput di luar desa, nampak di kejauhan seperti ada ribuan kunang-kunang mengelilingi desa itu dengan rapat, membuat gelang raksasa yang tak ada celahnya. Namun itu bukannya kunang-kunang, melainkan obor-obor orang-orang Kozak dan para pemberontak yang sulit ditaksir berapa banyaknya.

Pangeran In Te berdiri tegangah-tengah salah satu jembatan, menatap ke arah musuh. Kemudian ia perintahkan, "Padamkan semua api didesa ini. Setidak-tidaknya kita akan mendapat sedikit keuntungan, agar musuh jangan terlalu gampang membidikkan moncong meriam-meriam mereka.”

Sementara pasukannya sudah siap di balik tanggul-tanggul dalam dari parit besar selingkar desa itu. Lebar parit hampir sepuluh meter, tapi tidak di ketahui berapa dalamnya. Bedil-bedil rampasan dari kafilah Kozak beberapa hari yang lalu, merupakan tambahan persenjataan yang memperkuat pasukan Pangeran In Te.

Jadi lebih banyak perajurit yang memegang jenis senjata yang sudah dianggap "modern di abad delapan belas itu, biarpun bedilnya masih harus memakai sumbu yang tiap kali satu tembakan harus diganti lagi sumbunya. Namun ada juga perajurit yang biarpun kebagian bedil, malah diserahkan kepada temannya yang belum kebagian. Sedang ia sendiri malah merasa lebih yakin dengan senjata purba, panah.

Berpuluh-puluh perajurit nampak dengan tergesa-gesa memasang kantong-kantong kecil berisi bubuk peledak di tiang-tiang jembatan yang terbuat dari kayu campur tanah itu. Lalu kantong-kantong itu dihubungkan dengan sumbu ke bagian dalam tanggul. Itulah perintah Pangeran In Te, agar jembatan-jembatan dihancurkan sekiranya musuh tak bisa dibendung lagi.

Pangeran In Te cuma tertawa saja, tapi tidak melarang, ketika melihat Lo Peng melepaskan sebuah kembang api ke udara. Isyarat minta bantuan kepada pasukan Wan Yen Siang yang berkedudukan sebagai pasukan pelindung belakang. Namun Pangeran In Te yakin, seandainya Wan Yen Siang sendiri melihat tanda itu, pasti lebih suka menarik selimutnya ke atas dan tidur pulas sampai pagi.

Sementara itu, musuh di luar desa nampak mendorong meriam-meriam mereka lebih dekat ke sasaran. Sedikitnya ada sepuluh meriam besar di pihak musuh yang bisa dihitung, sedangkan pihak Pangeran In Te tidak ada satupun. Meskipun perajurit-perajurit Pangeran In Te sudah bertekad untuk bertempur habis-habisan, namun melihat meriam meriam besar itu, rasanya sudah bisa diramalkan siapa yang bakal menang, dan siapa yang akan hancur malam itu.

“Inilah malam terakhir aku melihat bintang di langit,” desis seorang perajurit yang bersiaga di balik tanggul parit. "Besok mungkin aku sudah akan menjadi tetangga jangkrik-jangkrik tanah."

"Wah, kalau begitu besok kita tidak akan bertemu lagi, sebab aku akan berada di antara bintang-bintang itu...." sahut teman disebelahnya, yang dalam keadaan setegang itu masih sempat juga mengunyah-ngunyah manisan kulit jeruk, buatan isterinya dirumah. "Jadi kita tidak bisa pinjam-meminjam uang lagi ya?"

Yang lain lagi berkata, "Kalau aku harus mampus juga, haruslah lebih dulu kuhabiskan kantong peluruku, untuk kubagi rata ke jidat-jidat orang-orang Kozak dan Jing-hai itu."

Yang di sebelahnya menjawab, "Mudah-mudahan kau bertemu dengan musuh musuh yang cukup sabar untuk menunggu kau habiskan pelurumu"

Tiba-tiba gelegar-gelegar meriam terdengar lagi, disertai kilatan-kilatan api. Kali ini terasa lebih dekat. Meriam-meriam di jaman itu berpeluru bola-bola besi. Kalau ditembakkan, pelurunya tidak berjalan lurus, melainkan agak melengkung ke atas, membentuk garis busur sebelum mengenai sasarannya. Dalam soal ketepatan memang agak susah diandalkan, tapi berguna untuk menobrak dan mengacaukan pertahanan musuh, sebelum barisan depan menyerbu.

Perajurit-perajurit Pangeran In Te berjongkok, membiarkan bola-bola besi itu terbang di atas kepala mereka dan menghantam rumah-rumah serta pepohonan di belakang mereka. Mereka belum bisa membalas dengan bedil atau panah, sebab jaraknya masih terlalu jauh. Bertubi-tubi meriam-meriam musuh menghantam dari segala jurusan. Rumah-rumah dalam desa yang umumnya cuma berdinding kayu campur tanah liat, dan beratap ijuk, segera bagaikan ditebas rata oleh bola-bola maut itu.

Sebuah peluru meriam menghantam sebuah rumah yang digunakan untuk meletakkan bubuk peledak dalam jumlah besar. Maka rumah itupun meledak berkeping-keping, disusul kobaran api yang menjulang tinggi. Kepingan-kepingan kayu, batu, tanah, daging manusia dan kuda, bagaikan disebarkan ke udara.

Di padang rumput, terdengar orang orang Kozak dan sekutu-sekutu mereka bersorak membahana, ketika melihat hasil tembakan mereka. Setelah tembakan meriam dianggap cukup, orang-orang Kozak dan para pemberontak itu melompat ke atas kuda-kuda mereka, lalu bagaikan gelombang lautan mereka bergerak mendekat sambil bersorak-sorai. Derap ribuan ekor kuda yang menghentak dataran itu, menjadikan tanah serasa bergetar. Suasana malam yang dingin jadi sedikit "menghangat".

Melihat gerakan itu, Pangeran In Te bergumam, "Nah, begini lebih baik. Sama-sama mati karena ulah Ni Keng Giau, namun lebih baik dengan bertempur melawan musuh daripada ditikam kawan sendiri selagi tidur."

Seorang perajurit tua, entah kapan tahu-tahu telah berada di dekat Pangeran In Te, lalu menyeletuk bicara, "Pangeran tidak boleh mati, sebab Pangeran adalah ahli waris yang syah dari tahta kerajaan. Demi keadilan."

Karena sedang memperhatikan gerakan musuh, Pangeran In Te kurang memperhatikan kata-kata perajurit di sebelahnya itu, dianggapnya perajurit itu tentu sekedar menghibur. Namun tiba-tiba ia terkejut sendiri, kenapa suara itu seperti sudah lama dikenalnya? Suara seorang yang dihormatinya dulu, selagi ia masih jaya sebagai putera kesayangan Kaisar Khong Hi yang memegang kekuasaan militer tertinggi, sebelum Ni Keng Giau menipu dan melucutinya?

Ia menoleh ke samping dan tertegun. Di bawah cahaya kemerah-merahan kampung yang terbakar, ia melihat seraut wajah dengan rambut putih, kumis putih, alis putih, namun sepasang mata yang tajam sekali. Di dalam pasukannya, tidak ada perajurit setua itu. Orang itu memakai pakaian perajurit rendahan biasa, tidak gampang dibedakan dari perajurit-perajurit lain. Tapi wajah itu! Sesaat Pangeran In Te tak percaya akan penglihatannya sendiri, mungkinkah karena selama ini pikirannya terlalu tegang terus sehingga syaraf matanya rusak dan ia salah lihat?

"Paman.... paman Pak Kiong Liong. Benarkah ini, paman?"

Di wajah tua itu terkembang senyuman lebar yang menyejukkan hati, seperti bertahun-tahun yang lalu. "Maafkan hamba, Pangeran. Baru setelah hari menjadi gelap hamba berani menyelundup kemari untuk bergabung dengan Pangeran. Itupun setelah hamba berhasil mendapatkan satu stel seragam perajurit yang pas."

“Kenapa Paman harus menunggu hari gelap?"

“Takut dilihat perajurit-perajurit lain. Pangeran jangan lupa bahwa hamba masih seorang buronan pemerintah, perintah penangkapan atas diri hamba belum dicabut. Nah, bagaimana kalau ada perajurit yang melihat hamba, lalu tergoda memotong kepala hamba untuk ditukarkan dengan hadiah?"

Pangeran In Te mengangguk-angguk, sementara dalam hatinya ia penuh rasa gembira dan terharu. Bertahun-tahun ia hidup sebagai bangsawan, namun senantiasa tertekan, terhina dan terancam. Ketika beberapa hari yang lalu ia mendengar pengakuan kesetiaan Sun Hong Beng, hatinya agak terhibur. Rasanya seperti orang hampir mati tenggelam di laut, lalu tiba-tiba menemukan sepotong papan terapung.

Tapi kini yang ditemukannya bukan cuma "sepotong papan", namun sebuah "kapal besar" yang sanggup dibawa menembus badai. Salah satu hal yang masih disesali oleh Pangeran In Te ialah ketika dulu ia mengabaikan nasehat-nasehat Pak Kiong Liong, sehinggga akhirnya masuk perangkap Liong Ke Toh dan Ni Keng Giau yang licin, di saat nyawanya sudah di ujung tanduk, tiba-tiba Pak Kiong Liong telah ada di sampingnya, entah kapan dan darimana datangnya.

Sementara itu, musuh semakin dekat kebagian luar parit. Bedil-bedil ke dua belah pihak mulai bersahut-sahutan gegap gempita. Orang-orang Kozak dan sekutu-sekutunya memusatkan kekuatan mereka untuk merebut jembatan-jembatan di atas parit besar itu, tapi dapat ditahan dengan gigih oleh perajurit-perajurit Pangeran In Te. Korban-korban di kedua pihak sudah mulai berjatuhan kena peluru atau panah.

Kelihatannya pasukan Pangeran In Te dapat bertahan dengan gigih. Tapi kalau musuh terus mengurung di luar perkampungan itu, lama kelamaan pasukan Pangeran In Te akan mati kelaparan karena kehabisan perbekalan. Bantuan dari luar tidak mungkin diharapkan selama masih mengandalkan Wan Yen Siang atau Ni Keng Giau. Sedangkan kalau Pangeran In Te membawa pasukannya untuk menerjang keluar, itu sama saja bencana, karena harus menghadapi kekuatan yang berkali lipat besarnya.

Beberapa kelompok orang Kozak berusaha merebut jembatan, tapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan Pangeran In Te. Pangeran In Te diam-diam mulai berhasil membaca siasat musuh. Rupanya musuh tidak ingin buru-buru merebut jembatan, melainkan sekedar berusaha menekan dan menimbulkan ketegangan jiwa bagi pasukan Pangeran In Te. Buktinya, setelah serangan gelombang pertama gagal, mereka mundur menjauh sambil membawa teman-teman mereka yang gugur atau luka-luka. Kemudian, kembali meriam-meriam mereka menghantam lagi.

Tekanan musuh itu memang perlahan-lahan menampakkan hasil. Perajurit perajurit Pangeran In Te mulai merasa jemu karena mereka cuma bisa menunggu dan bertahan, sementara pihak lawanlah yang datang dan pergi semaunya. Gerutuan geram mulai menyebar rata diantara perajurit-perajurit Pangeran ln Te. Dan perajurit-perajurit itu tambah jengkel ketika melihat dari kejauhan, apa yang dilakukan musuh-musuh mereka.

Orang-orang Kozak nampak menyalakan api-api unggun, dan di sekitar api unggun itu mulailah mereka menari, menyanyi, bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan seperti dalam pesta saja. Beberapa dari mereka malah mengeluarkan semacam gitar yang disebut "bala-laika" untuk memeriahkan suasana.

Keruan perajurit-perajurit Pangeran In Te jadi gondok. "Gila kita disuruh terus menunggu dengan mata melotot dan hati tegang, sementara mereka malah bersuka-ria."

"Jangan tegang. Cari sebatang rumput dan kunyah-kunyahlah batangnya untuk mengendorkan keteganganmu."

"Aku lebih suka kalau Pangeran ln Te memerintahkan kita melompat ke atas kuda dan menyerbu keluar."

"Jangan gegabah."

"Aku pikir, justru musuh-musuh kitalah yang gegabah. Mereka bersuka-ria dan nampak tidak siap. Kalau kita gempur, pasti mereka akan kelabakan."

"Mereka memang nampak menyanyi dan menari, tapi kalau kau kira mereka tidak siap, kau keliru sekali. Kau belum tahu bagaimana sifat-sifat orang-orang Kozak itu."

"Kenapa dengan sifat mereka?"

"Mereka tidak menaruh batas antara saat bertempur dan saat bergembira. Di tengah-tengah pesta kampung, bisa saja salah seorang hadirin tiba-tiba mengusulkan untuk berperang entah dengan siapa, dan mereka akan langsung berangkat tanpa lebih dulu menengok keluarga di rumah. Di dalam pertempuran, bisa saja mereka tiba-tiba ingin mengadakan acara gembira, tepat di depan hidung musuh mereka, ya "seperti sekarang ini. Setiap lelaki Kozak, kemanapun perginya takkan lupa membawa dua macam benda. Senjata dan alat musik."

"Mereka perajurit sekaligus seniman, begitukah?"

"Benar. Karena itu, kalau sekarang kita keluar menyerang mereka, maka dalam beberapa detik saja mereka sudah akan menyimpan alat-alat musiknya, dan siap di punggung kuda mereka dan siap pula dengan senjata masing-masing."

"Sinting."

Sementara itu, Pak Kiong Liong yang mendampingi Pangeran In Te, telah berkata, "Pangeran, keadaan seperti ini rasanya tidak bisa dibiarkan terus-terusan. Perajurit-perajurit kita dalam keadaan tegang mengawasi musuh, sedangkan musuh malah sempat bersenang-senang macam itu. Lama kelamaan, semangat perajurit-perajurit kitalah yang akan lebih dulu merosot."

"Habis bagaimana, Paman?"

"Tadi hamba melihat sebuah kembang api dilepaskan keudara oleh salah seorang anggaota pasukan. Apakah itu merupakan suatu isyarat?"

"Benar, Paman. Isyarat minta bantuan kepada Wan Yen Siang yang memimpin sebuah pasukan sebagai pembantu. Tetapi aku tidak mau mimpi mengharapkan bantuan Wan Yen Siang.”

'’Kenapa?"

"Karena Wan Yen Siang itu begundalnya Ni Keng Giau, sedangkan Ni Keng Giau ingin menggunakan setiap kesempatan untuk melenyapkan aku dari muka bumi ini. Bukannya tanpa maksud Ni Keng Giau memasang Wan Yen Siang di belakangku, bukan untuk membantu, tapi untuk membiarkan aku binasa di tangan musuh. Kini kalau Wan Yen Siang melihat kembang api tanda aku dalam bahaya, tentu dia malah akan gembira, tak mungkin membantu."

Pak Kiong Liong mengertakkan gigi, "Rupanya Ni Keng Giau itu sudah berotak miring. Perselisihan dalam tubuh sendiri kok dibawa-bawa ke garis depan, selagi kita menghadapi musuh bersama? Ini sama dengan yang hamba alami ketika menghadapi pasukan Jepang di Hek-liong-kang dulu. Ni Keng Giau sengaja melambatkan bantuan, agar hamba binasa oleh orang-orang Jepang."

"Sekarang, apa yang harus kita perbuat?"

"Hamba akan mencoba menerobos kepungan, pergi ke perkemahan pasukan Wan Yen Siang, dan memaksa agar dia menggerakkan pasukannya kemari."

"Paman, itu amat berbahaya!" Pangeran In Te terkejut. "Musuh yang mengepung tempat ini tak terhitung banyaknya, mana bisa Paman menembus barisan mereka?"

"Dengan gerak cepat yang mendadak mungkin bisa. Hamba harus mencoba. Pangeran. Tak mungkin hamba membiarkan perajurit sebanyak ini cuma menunggu kematian tanpa berusaha apa-apa."

"Tetapi...."

"Hamba mohon diri, Pangeran!" Dengan gerakan seperti seekor burung saja, Pak Kiong Liong tiba-tiba berkelebat meninggalkan Pangeran In Te.

Kecemasan Pangeran In Te akan keselamatan Pak Kiong Liong agak mereda, ketika melihat betapa masih hebat gerakan sang paman. Sementara itu, Pak Kiong Liong lebih dulu melengkapi diri dengan sebatang tombak dan beberapa pisau belati yang diselipkan di pinggangnya. Lalu ia berlari menyusuri tanggul parit sebelah dalam, memutari kampung itu untuk mencari tempat dimana dia akan menerobos keluar.

Di sisi tenggara, sekelompok orang Kozak sedang memberi tekanan pada pertahanan pasukan Pangeran In Te. Mereka dengan beraninya memacu kuda di sebelah luar parit, sambil menembak atau melepaskan panah. Beberapa orang Kozak tertembus peluru atau panah, dan terpelanting mencebur parit. Namun beberapa orang perajurit Pangeran In Te juga ikut mencebur pula sebagai mayat-mayat.

Ketika serang-menyerang jarak jauh dari seberang menyeberang parit itu berlangsung sengit, muncullah Pak Kiong Liong di atas tanggul dengan tangan kanan membawa tombak, tangan kiri membawa sepotong papan. Ia berdiri di tanggul tanpa kelihatan usahanya untuk berlindung dari peluru maupun anak panah yang hilir mudik di udara.

Banyak perajurit-perajurit yang neriakinya, “He, berlindunglah! Apa kau kepingin mampus?”

Namun “perajurit tua" itu tak menggubrisnya. Papan yang dipegangnya tiba-tiba dilemparkan ketengah parit lebar itu, ia sendiri lalu melompat ke tengah seolah-olah hendak mandi. Namun ternyata tidak. Kakinya menutul ringan kepermukaan papan, tubuhnya mengapung seperti seekor elang, dan sampailah ia ke seberang, ke arah orang-orang Kozak.

Kedua pihak sama-sama tercengang melihat "kakek terbang" itu. Dan selagi kegemparan belum reda, tombak Pak Kiong Liong mulai beraksi merobohkan seorang serdadu Kozak. Kuda tunggangan si serdadu Kozak lalu dinaiki oleh Pak Kiong Liong. Orang-orang Kozak sejenak jadi kebingungan menghadapi Pak Kiong Liong. Mereka tidak menyangka kalau si pengamuk yang hebat itu ternyata cuma seorang kakek-kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun.

Karena kegemarannya berperang, hampir tidak ada lelaki Koazak mencapai usia setinggi itu. Kalaupun ada, lelaki setua itu hanya pantas ditugasi menunggu setch (perkampungan Koazak) sambil membuat keju, menyuling minuman keras, atau mendongeng kepada anak-anak kecil. Bukan lagi berkeliaran di medan perang.

Pak Kiong Liong dengan tangkas menerjangkan kudanya ke depan sambil memutar dahsyat tombaknya. Seolah sesosok malaikat yang terjun dari langit, beberapa orang Koazak yang merintanginya telah dibuatnya terjungkal roboh. Maka gegerlah serdadu-serdadu Kerajaan Rusia itu.

"Kejar dan bunuh tukang sihir itu!” seorang perwira Kozak mengomando anak buahnya.

Beramai-ramai orang Kozak lalu memburu si "tukang sihir" itu, namun belum ada yang berani menembak atau memanah, khawatir akan mengenai teman teman sendiri, sebab Pak Kiong Liong sengaja menyusup tanpa jarak ke tengah-tengah pasukan Kozak. Dalam situasi macam itu, Pak Kiong Liong terpaksa harus bertindak agak kejam, sebab musuh mengerumuni rapat dan dari segala penjuru.

Puluhan senjata berdesingan menyambar tubuhnya. Ada kapak tombak, gada berduri, pedang melengkung, bandulan besi berantai dan entah apa lagi, mengerumuni daging busuk. Sikap keras Pak Kiong Liong itu antara lain dilandasi alasan bahwa lawan-lawanya adalah serdadu Negara asing yang telah melintasi perbatasan dan melanggar kedaulatan wilayah negaranya.

Pak Kiong Liong juga mengerahkan ilmu Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) dengan cara khusus, agar kuda tunggangannya tidak ikut mati kepanasan. Biasanya ia melepaskan hawa panas dari ilmunya itu lewat setiap pori-pori kulitnya, namun kali ini hanya ia salurkan ke batang tombaknya, sehingga ujung tombaknya kelihatan membara seperti logam baru dikeluarkan dari tanur. Dan dengan geraknya yang serba cepat, maka ujung tombak maupun tangkai tombak sama-sama berbahaya bagi musuh-musuhnya.

Setelah bertempur sekian lama, merobohkan banyak musuh, ahirnya berhasil juga Pak Kiong Liong menembus kepungan. Dan kini di depannya sudah terhampar padang rumput yang luas dalam kegelapan malam, sedang di jarak ratusan langkah Nampak sebuah hutan. Kesanalah Pak Kiong Liong mengarahkan dirinya.

Dengan sebuah sapuan tombak yang melebar, empat orang serdadu Kozak sekaligus dirontokkan. Lalu Pak Kiong Liong berderap lolos. Buru-buru orang-orang Kozak menembak atau memanah namun lawannya sudah hilang ditelan malam.

Orang-orang Kozak menghentikan pengejaran dipinggir hutan. Dalam pikiran orang-orang Kozak itu, kalau seorang kakek setua itu "bisa terbang" menyeberangi dan bersenjata tombak "berujung merah, tidak bisa lain orang itu adalah tukang sihir. Orang-orang Kozak menganggap kematian seperti berkunjung ke tetangga saja, namun yang mereka takuti ialah kalau “disihir menjadi katak”.

Dipinggir hutan itu orang-orang Kozak berhenti, masing-masing berdoa minta perlindungan dari sihir jahat, lalu mencium salib kecil yang digantungkan sebagai kalung di leher masing-masing.

Pemimpin pasukan orang Kozak itu bernama Gorovka, yang bertubuh mirip beruang dan terkenal kegagahannya di seluruh wilayah Rusia. Ia marah ketika anak buahnya melaporkan tentang seorang "tukang sihir Tartar" yang berhasil lolos dari kampung yang dikepung itu. Gorovka khawatir, kalau satu saja musuh bisa lolos, tidak lama lagi tentu akan berhasil mengundang bala bantuan. Karena itu, Gorovka dengan berang segera menyuruh pasukannya agar menyerbu dan menghancurkan kampung itu.

Perintah dipercepat dengan tiupan terompet tanduk. Maka orang-orang yang tadinya masih menyanyi dan berputar putar di sekitar api, dengan sigap berlompatan ke atas kuda masing-masing. Di mana-mana terdengarlah teriakan patriotik "untuk memusnahkan para penyembah berhala demi Tanah Rusia yang suci". Kali Ini mereka bukan sekedar akan menekan lalu mundur, tapi benar-benar akan berusaha menghancurkan, sesuai dengan perintah Gorovka.

Atas petunjuk seorang pribumi Jing-hai yang ikut menjadi pemberontak, dan agak mengenal seluk-beluk perkampungan itu, orang-orang Kozak diberitahu adanya bagian-bagian yang dangkal dari parit pelindung perkampungan itu. Bagian yang memungkinkan diseberangi dengan kuda. Maka bergerak menyempitlah lingkaran pengepungan itu. Meriam-merian pun diseret semakin dekat, agar lebih hebat kehancuran yang bisa ditimbulkan pada lawan.

Melihat gerakan musuh, Pangeran In Te sadar apa yang mereka maui. "Nah, ini baru pertarungan mati hidup yang sebenarnya. Seluruh pasukan bersiap.”

Semua perajuritpun bersiap. Dalam keadaan segenting itu, komplotan kaki tangan Ni Keng Giau tidak bisa tidak harus bekerja-sama dengan orang-orang yang setia kepada Pangeran In Te. Kini mereka harus sama-sama mempertahankan hidup di arena yang sama, menghadapi musuh yang sama. Bahkan para kaki-tangan Ni Keng Giau merasa bahwa Wan Yen Siang agaknya takkan mengirim bantuan biarpun melihat isyarat kembang api tadi.

Itu artinya para perwira kaki tangan Ni Keng Giau itupun akan ikut dikorbankan, demi terlaksananya suatu "kebijaksanaan pusat” yang menghendaki matinya Pangeran In Te. Kini, yang akan menjadi teman seperjuangan mereka di batas mati-hidup itu justru adalah Pangeran In Te yang hendak mereka khianati demi sekantong uang emas atau kenaikan pangkat istimewa yang dijanjikan.

"Kalau Pangeran In Te benar-benar tewas malam ini, kita akan mendapat kenaikan pangkat,” gerutu seorang pengikut Ni Keng Giau dengan sengit. ”Tapi kenaikan pangkat secara anumerta.”

Meriam-merian musuh mulai menggelegar lagi. Kali ini pantat meriam-meriam beroda itu diganjal tinggi, sehingga moncong meriam jadi rendah, diarahkan untuk menghantam tanggul-tanggul parit tempat perlindungan perajurii-perajurit Pangeran In Te. Banyak perajurit-perajurit Pangeran In Te berpentalan tewas.

Perajurit-perajurit Pangeran In Te membalas menembak dan memanah dengan gigih, biarpun persenjataan tidak seimbang. Orang-orang Kozak dan pemberontak-pemberontak Jing-hai yang dibagian depan banyak yang roboh karena derasnya peluru dan panah dari pihak Pangeran In Te. Namun korban di pihak Pangeran In Te pun cukup besar gara-gara meriam yang terus ''menggonggong” galak.

Bagian-bagian tanggul yang dihantam bola-bola besi itulah yang terasa paling berat, tanggul-tanggul jadi longsor menyeret perajurit-perajurit yang berlindung di baliknya. Longsornya tanggul juga menyebabkan parit di bagian itu bertambah dangkal.

Sementara itu, sekelompok orang Kozak lainnya nekad memusatkan serangan ke arah jembatan-jembatan. Sambil membungkukkan tubuh rapat-rapat di punggung kuda, mereka menyerbu ke jembatan. Beberapa orang terdepan roboh, dan yang di belakang mereka juga roboh karena menabrak yang di depannya. Manusia dan kuda bergelimpangan di jembatan. Tapi gelombang manusia di belakang mereka tetap maju, melompatkan kuda dan menyerbu terus dengan nekad.

Pangeran In Te kebetulan ada dekat dekat situ dan melihatnya. Cepat ia berteriak, "Mundur dari jembatan, biarkan mereka masuk jembatan, lalu hancurkan jembatan!"

Perajurit-perajurit yang bertahan dijembatan segera mundur ke arah perkampungan. Sambil bersorak-sorak, orang-orang Kozak menyerbu memasuki jembatan. Sementara itu di pihak Pangeran In Te, sebuah sumbu mulai disulut. Desisnya seperti seekor ular, nyala api meletik dan merambat cepat ke arah bumbung-bumbung berisi obat peledak yang dipasang di tiang-tiang jembatan.

Saat itu sudah banyak serdadu berkuda Kozak sampai di tengah jembatan, sampai jembatan kayu campur tanah itu seolah-olah hendak roboh oleh hendak kaki sekian banyak kuda. Kemudian tiang-tiang jembatan itu mendadak meledak dan jembatanpun runtuh. Puluhan manusia dan kuda tercebur dalam parit. Yang masih hidup segera mencoba berenang ke pinggir, namun banyak yang belum sampai ke pinggir sudah keburu menjadi mangsa peluru atau panah perajurit-perajurit Pangeran In Te.

Ada empat jembatan di sekeliling perkampungan itu, menghadap ke empat arah, ke empat-empatnya dihancurkan atas perintah Pangeran In Te pada saat dilewati serdadu-serdau Kozak. Gelombang awal serangan musuh dapat dibendung, tapi masih akan menyusul gelombang berikutnya yang lebih hebat.

Penyulut-penyulut sumbu meriam di pihak serdadu Kozak dengan geram terus menembakkan meriam mereka untuk meruntuhkan tanggul-tanggul parit, terutama yang tempat airnya memang dangkal. Tujuannya ialah “membersihkan" perajurit-perajurit Pangeran In Te yang ada di situ, agar paritnya bisa diseberangi.

Puluhan perajurit terjungkal ke dalam parit bersama longsoran tanggul, sambil memperdengarkan teriak menyayat. Paritpun segera penuh mayat terapung-apung, baik perajurit-perajurit Pangeran In Te maupun serdadu Kozak serta pemberontak-pemberontak pengikut Alai Bu-tan.

Serbuan orang Kozak dan sekutu mereka dibagian-bagian itu akhirnya tak bisa dibendung lagi. Dipelopori orang orang mereka yang paling berani, mereka menyeberangkan kuda lewat bagian-bagian parit yang dangkal itu. Masih banyak yang bertumbangan kena peluru atau panah, tapi banyak pula yang berhasil menyeberangi parit. Disusul teman-teman mereka yang seperti rombongan semut.

Ketika orang-orang Kozak sampai ke perkampungan, maka cara bertempur di bagian-bagian itupun berubah. Tidak lagi saling menyerang jarak jauh, tapi pertempuran jarak dekat. Bedil dan panah ditinggalkan, digantikan pedang, tombak atau senjata-senjata lainnya. Orang Kozak semakin banyak yang berhasil menyeberang, sehingga pertempuranpun meluas dari tepi-tepi parit ke lorong-lorong perkampungan, halaman-halaman rumah, kebun-kebun sayur, kandang-kandang binatang.

Musuh menyerbu dengan sebaliknya perajurit-perajurit Pangeran In Te hanya sebagian kecil yang sempat mengambil kuda. Terpaksa mereka harus berlari-lari dikejar kuda, dan menghindari senjata musuh yang terayun-ayun mengerikan. Untung di perkampungan itu banyak lorong sempit berbelok-belok, atau pohon pohon besar yang bisa dimanfaatkan untuk main kucing-kucingan sambil berusaha melakukan sergapan-sergapan mendadak.

Banyak serdadu Kozak dan laskar pemberontak yang kena sergap di tikungan-tikungan lorong yang gelap, dari balik pohon, bahkan dari atas pohon. Kadang-kadang anak panah dan peluru masih juga berseliweran dalam kegelapan untuk mencari korban.

Namun penyerbu semakin banyak dan semakin ganas pula. Perajurit-perajurit Pangeran In Te terjebak dalam keadaan yang berbahaya, dimana mereka terpaksa berpencaran dan bertempur sendiri sendiri tidak sebagai satu pasukan. Musuh yang masuk perkampungan terus mengalir tak henti-hentinya.

Pangeran In Te sendiri dan sekelompok pengawal setianya, dengan gagah berani melawan serbuan musuh yang seolah tak ada habis-habisnya. Sampai pegal lengan Pangeran In Te menggerakkan pedang untuk menangkis serangan yang membanjir. Pengawal-pengawalnya satu-persatu berguguran setelah melakukan perlawanan mati-matian.

"Perajurit-perajurit perkasa..." geram Pangeran In Te sambil membabat seorang musuh yang menyambarnya dari atas kuda. "...tidak menyesal kalau aku harus gugur bersama kalian...."


Selanjutnya,