X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Kemelut Tahta Naga 2 Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Kemelut Tahta Naga II Jilid 01 karya Stevanus S P

Kemelut Tahta Naga II Jilid 01

Karya Stevanus S P

PADA abad ke tiga belas, dataran itu bergetar ketika menjadi saksi keperkasaan tentara berkuda Jengish Khan yang melintas bagaikan prahara, menggulung Asia dan Eropa, membentuk garis-garis batas sebuah kekaisaran seluas sepertiga luas dunia. Orang Mongol menjadi penguasa waktu itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P
Tetapi itu lima abad yang lalu, dan kini Jengish Khan sudah terkubur debu. Keturunan penakluk-penakluk sepertiga dunia itu masih mendiami tempat asal leluhur mereka, tapi tak lebih dari sekelompok penggembala kuda, unta atau kambing yang hidup di kemah-kemah yang berpencaran. Mereka bukan lagi penakluk-penakluk seperti leluhur mereka. Bentangan maha luas yang masih membekas jejak keperkasaan leluhur mereka, kini bukan lagi kepunyaan mereka.

Di Belahan barat, Rusia terus mendesakkan perbatasannya ke timur dan selatan sejak abad ke enambelas, dan yang merintangi perluasan kekuasaan itu akan ditumpas tampa ampun. Contohnya ialah Kuchum Khan, seorang kepala suku di Siberia yang mencoba menahan perluasan wilayah Rusia dan akhirnya mengalami penumpasan secara brutal.

Sedangkan dari sebelah timur, Kerajaan Manchu yang menguasai Se-jong (Tibet) sampai Tiau-sian (Korea) juga gigih memperluas kekuasaan terus kebarat, sehingga tak terhindarkan adu otot dengan kekaisaran Rusia. Maka kaum gembala Mongol yang tak seperkasa nenek moyang mereka itupun jadi terjepit, seperti kancil di tengah dua ekor gajah yang berkelahi.

Namun pada abad ke delapan belas itu, seorang Mongol Kristen bernama Alai Bu-tan, mencoba menghimpun sukunya untuk lepas dari kekuasaan Pak-khia, dan panji-panji perlawananpun berkobar kembali di Jing-hai. Dan setiap terjadi pergolakan, maka campur-tangan asing dari seberang perbatasan seolah diundang masuk.

Pihak Rusia diam-diam menjanjikan bantuan dengan dalih "membela saudara seagama dari penindasan penguaasa kafir", sehingga Alai Bu-tan jadi semakin berani dan pemberontakannya pun meluas. Bantuan diam-diam, tidak terang-terangan, sebab Rusia masih terikat perjanjian tahun 1689 dengan Cina untuk "berdampingan secara damai".

Tapi, secarik dokumen perjanjian saja mana bisa membendung ambisi perluasan kekuasaan yang meluap? Tidak terang-terangan, ya diam-diam. Kaisar Yong-ceng di Pak-khia segera menjawabnya dengan mengirim angkatan perang raksasa di bawah pimpinan Ni Keng Giau ke Jing-hai.

Namun sebetulnya Ni Keng-giau memikul tugas ganda. Selain menumpas pemberontakan juga membereskan "duri dalam daging" yang harus dilakukan dengan sangat rahasia, yaitu melenyapkan Pangeran In Te, adik Kaisar Yong Ceng sendiri, di masa perebutan kekuasaan semasa Kaisar Khong Hi dulu, antara putera-putera Khong Hi, Pangeran ke empat belas In Te adalah saingan paling alot dari Kaisar Yong Ceng yang waktu itu masih disebut Pangeran Ke Empat In Ceng.

Hanya dengan suatu ke curangan yang dibantu kawan-kawannya, mencuri dan mengubah isi Surat Wasiat Kaisar Khong Hi, maka Yong Ceng akhirnya berhasil bertahta. Namun selama Pangeran In Te masih hidup, Kaisar Yong Ceng belum tenteram betul- betul. Maka Pangeran In Te pun ikut dikirim ke Jing-hai, tempat kemelut, sebab kematian di tempat seperti itu takkan menyolok perhatian. Tempat yang paling cocok untuk suatu pembantaian terselubung.

Dari Pak-khia, Ni Keng Giau membawa 500.000 perajurit. Tetapi di propinsi-propinsi yang dilaluinya, dengan mengandalkan pedang Liong-hong Po-kiam hadiah Kaisar, Ni Keng Giau memaksa para gubernur dan panglima wilayah untuk ikut menyumbangkan perbekalan, perajurit, kuda dan tukang-tukang sekalian.

Para gubernur tak berani menentang permintaan sang jenderal yang menjadi adik seperguruan Kaisar itu. Karena itulah ketika pasukan itu sampai ke Jing-hai, jumlahnya sudah membengkak hampir dua kali lipat dibandingkan ketika meninggalkan kotaraja Pak-khia.

Maka mendung malapetaka perang, malapetaka bikinan manusia, tergantung sarat di atas udara Jing-hai. Kecemasan bagi penduduk yang tidak tahu apa-apa pun menghebat, tegang menunggu meledaknya petir keangkara-murkaan. Yang cuma selalu berpikir bagaimana memperbesar kekuasaan dan bukan kedamaian.

Ni Keng Giau segera menggelar perkemahan yang megah. Ratusan ribu tenda berjajar rapi di padang rumput, dari satu tepi ke tepi lainnya tak terukur panjang dan lebarnya. Tiap pagi dan petang terdengar suara tambur dan terompet-terompet dengan irama yang sama, ringkik ribuan ekor kuda. Terlihat ribuan bendera berkibar di puncak-puncak tenda., diguncang angin padang rumput yang membisik kan kecemasan.

Tetapi di perkemahan yang begitu luas, suasananya sunyi dari suara manusia. Tidak terdengar orang bercakap-cakap santai, yang ada hanyalah perintah-perintah singkat bernada tegas dan dingin. Apalagi suara orang bergurau, jangan harap bisa ditemukan. Ni Keng Giau telah menetapkan tata-tertib militer yang amat keras. Tiap pelanggar tata-tertib, tak peduli apapun pangkatnya, tak ada pilihan lain kecuali menjalani hukuman penggal kepala.

Maka perkemahan besar itu menjadi kelewat tertib, menimbulkan perasaan mencengkam dalam hati semua penghuninya. Ni Keng Giau beranggapan, lebih bagus kalau perajurit-perajuritnya cukup lama tertekan jiwanya sehingga memendam kejengkelan. Dengan demikian, di medan pertempuran kelak akan melampiaskan kejengkelan dan menjadi buas terhadap musuh. Seperti anjing yang terlalu lama dirantai dan baru dilepaskan kalau sudah menjadi setengah gila untuk disuruh menggigit orang lain.

Tenda Ni Keng Giau berdiri ditengah perkemahan. Paling besar ukurannya, tapi tidak mewah, agar tidak menimbulkan kesan bermanja-manja di garis depan. Dipuncak tenda berkibar bendera putih berlukis tujuh bintang dalam formasi Pak-tau, lambang pribadi Ni Keng Giau sebagai Ceng-se Tai-goan-swe (Panglima Besar Penakluk wilayah Barat). Di depan tenda, berdiri bendera lain yang lebih tinggi, segitiga berwarna hitam dengan gambar naga emas berkuku lima. Ngo-jiau Kim-liong-ki, bendera kekaisaran.

Siang itu, tenda besar itu nampak sunyi dari luar. Tapi di dalamnnya, puluhan komandan pasukan sedang berdiri tertib dengan mulut bungkam. Seperti patung-patung mati saja. Tak ada suara lain di dalam tenda itu kecuali suara langkah Ni Keng Giau yang hilir mudik disekitar meja besar, tempat digelarnya selembar peta wilayah Jing-hai yang hampir seluas permukaan meja. Sebagian besar tatapan mata Ni Keng Giau juga hanya tertuju ke peta, kadang-kadang dengan alis berkerut. Sedangkan semua perwira bawahannya berdiri menunggu sambil membisu.

Tiba-tiba dari luar tenda terdengar suara langkah mendekat. Wajah para komandan pasukan menjadi tegang, dan dengan sudut mata mereka mencoba melirik ke pintu tenda, untuk melihat siapakah rekan mereka yang sudah bosan punya kepala, sehingga berani datang terlambat dalam sidang pimpinan itu?

Ni Keng Giau pun mengangkat wajahnya yang menjadi bengis, cukup menciutkan nyali perwira-perwira bawahannya. Bibirnya bergetar, nampaknya beberapa detik lagi akan menggeledekkan perintah hukuman mati terhadap si terlambat itu. Matanya telah menyorot geram menatap pintu tenda, menunggu siapa yang akan masuk dari situ.

Tirai pintu tenda terkuak. Muncul seorang tua berambut putih dan bermata merah seperti elang, tubuhnya tegap, terbungkus jubah kepangkatan seorang pejabat tinggi. Berbeda dengan wajah orang-orang di dalam tenda Ni Keng Giau yang tegang semuanya, orang tua yang baru masuk ini malahan tersenyum agak mengejek, seolah dengan sengaja ingin menunjukkan bahwa dia tidak gentar terhadap kekuasaan Ni Keng Giau.

Dan Ni Keng Giau memang tidak berkuasa berbuat apa-apa untuk satu orang ini. Orang ini adalah Kim Seng Pa, yang mendapat limpahan wewenang dari Kaisar Yong Ceng pribadi, untuk mengawasi pelaksanaan tugas Ni Keng Giau. Dia juga berhak mengirimkan laporan sendiri ke Pak-khia, terpisah dari laporan Ni Keng. Giau. Karena itu, Ni Keng Giau tak bisa berbuat apa-apa atas Kim Seng Pa, kecuali mendoakannya agar kepalanya disambar geledek.

"Maaf, Ni Goan-swe..." kata Kim Seng Pa dengan santai sambil melangkah masuk tenda. "Aku terlambat, karena keenakan minum teh....”

"Juru masak yang berhasil membuat teh seenak itu, sehingga melengahkan Kim Cong-koan dari tugas utama, rasanya patut dihukum mati...." dengus Ni Keng Giau dingin..

"Jangan, Goan-swe. Nanti siapa yang membuatkan tehku?"

"Kalau sampai disiplin pasukan ini kedodoran gara-gara ulah Cong-koan” kata Ni Keng Giau dengan nada mengancam. "Maka Cong-koan yang harus bertanggung-jawab di hadapan Sribaginda..."

Antara Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa memang saingan yang sengit, baik dihadapan Kaisar, sampai dibawa-bawa ke garis depan menghadapi musuh bersama. Sengaja Kaisar Yong Ceng menyuruh Kim Seng Pa ikut dalam pasukan itu untuk mengawasi Ni Keng Giau, biarpun tidak punya wewenang langsung memerintah pasukan. Tujuan Kaisar ialah supaya dua orang yang seperti air dan minyak itu dapat saling mengawasi, jangan sampai melakukan tindakan yang membahayakan kekuasaan Kaisar.

Ni Keng Giau tahu, alasan terlambatnya Kim Seng Pa itu hanya dibuat-buat untuk "menantang"nya. Namun sialnya, biarpun geram bagaimanapun hebatnya, Ni Keng Giau memang tidak berkuasa menghukum Kim Seng Pa, yang bukan bawahannya. Maka tindakan balasan Ni Keng Giau hanyalah dengan berusaha membuatnya kehilangan muka, yaitu membiarkan Kim Seng Pa dan tidak dipersilahkan duduk segala. Menunjukkan sikap acuh tak acuh seolah-olah Kim Seng Pa bukan orang penting.

Namun Kim Seng Pa bisa mempersilakan dirinya sendiri. Dengan langkah santai sekali ia menyeberangi ruang penuh beban ketegangan itu, langsung duduk di sebuah kursi yang letaknya di samping kursi Ni Keng Giau, sambil tersenyum cerah. Tanpa melirik sedikitpun ke arah Kim Seng Pa, Ni Keng Giau terus melangkah sekeliling meja sambil menatap peta. Ia khawatir kalau menatap muka Kim Seng Pa akan meluapkan kejengkelannya, dan tak bisa menahan emosinya lagi.

Di atas peta itu ada coretan-coretan baru yang menandai tempat-tempat di mana pihak pemberontak menempatkan pasukannya, bahkan juga dilengkapi catatan-catatan singkat seberapa besar kekuatan musuh di tempat-tempat itu. Itulah hasil laporan para mata-mata amat terlatih yang oleh Ni Keng Giau sudah lebih dulu disebar ke Jing-hai, mendahului seluruh pasukan. Ni Keng Giau rupanya benar-benar mempraktekkan ajaran "nabi perang" Sun Cu yang mengatakan, "Kalau mengetahui musuh seperti mengetahui diri sendiri, dalam seratus pertempuran akan mendapat seratus kemenangan".

Sesaat suasana dalam tenda itu sunyi mencekam. Hanya suara langkah Ni Keng Giau dan desir ujung telunjuknya yang menggores-gores di atas peta. Kemudian suasana sunyi itu agak terganggu, karena Kim Seng Pa menekuk-nekuk ruas-ruas jarinya sehingga berbunyi bergeletukan. Tidak keras, namun terdengar amat nyata dalam suasana semencekam itu.

Ni Keng Giau tetap tidak menggubrisnya. Toh Kim Seng Pa hanya punya sepuluh jari tangan yang tak mungkin berbunyi terus-terusan. Ia berusaha menekan emosinya, dan berusaha letap berkonsentrasi mempelajari kedudukan-kedudukan musuh sambil memikirkan langkah-langkah tandingannya.

Di antara para kepala pasukan yang berderet-deret seperti patung di tenda besar itu, terdapat Pangeran In Te yang bersikap tidak kalah tertib dengan lain-lainnya. Meskipun ia adalah seorang bangsawan, adik Kaisar Yong Geng sendiri, namun dalam pasukan itu ia berkedudukan di bawah perintah Ni Keng Giau. Lagipula, Pangeran In Te sadar bahwa nyawanya selalu diincar oeh Kaisar Yong Ceng dan kaki tangannya, termasuk Ni Keng Giau, dan saat itu boleh di kata nyawanya ada dalam genggaman Ni Keng Giau.

Karena itu, Pangeran In Te harus menjaga untuk tetap bersikap sebagai “anak manis" agar Ni Keng Giau tidak punya dalih untuk membunuhnya. Maklum, peraturan amat ketat yang diterapkan Ni Keng Giau pada pasukannya memberi wewenang kepada Ni Keng Giau untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap siapapun yang kurang tertib sedikit saja.

Sebaliknya Ni Keng Giau sendiri tak berani sembarangan membunuh Pangeran Te. Harus ditunggu saatnya sampai mendapat alasan yang tepat. Tanpa alasan yang tepat, pembunuhan atas Pangeran In Te akan menimbulkan gejolak yang takkan gampang diredakan dalam pemerintahan. Biarpun tidak pasti berapa besarnya, karena sebagian tidak kelihatan di permukaan, namun Kaisar Yong Ceng maupun Ni Keng Giau yakin bahwa Pangeran In Te masih punya banyak pendukung.

Dalam pasukan yang dikirim ke Jing-hai itupun banyak yang dulu juga ikut Pangeran In Te memadamkan pemberontakan di tempat yang sama. Karena itulah, usaha menghukum mati Pangeran In Te tidak bisa dilakukan dengan gegabah dan asal memerintah saja.

Beberapa saat Ni Keng Giau masih menatap peta, lalu tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan memanggil, “Pange ran In Te".

Biarpun dipanggil "pangeran" tapi Pangeran In Te tidak mau lalai dalam menjalankan tata-tertib. Cepat ia maju dan berlutut, sambil menjawab, "Siap menerima perintah, Goan-swe!"

Beberapa perwira menengah Manchu diam-diam merasa terusik hatinya, melihat seorang bangsawan Manchu seperti Pangeran In Te berlutut di hadapan seorang Han keturunan rakyat jelata dari kota udik Tan-liu. Tapi apa boleh buat, kekuasaan tertinggi memang di tangan Ni Keng Giau. Semuanya maklum Pangeran In Te memang harus tunduk, agar oleh Ni Keng Giau tidak dituduh melanggar disiplin.

Ni Keng Giau sendiri jengkel melihat Pangeran In Te begitu patuh, sehingga tidak ada peluang untuk menghukumnya. Padahal ia ingin secepatnya melaksanakan pesan rahasia Kaisar, setelah itu baru akan memusatkan seluruh pikirannya untuk menumpas pemberontakan. Maka Ni Keng Giau lalu mencoba agar Pangeran ln Te lupa diri. “Pangeran sebenarnya tidak usah berlutut, aku jadi tidak enak sendiri. Sebab Pangeran adalah adik dari Sribaginda junjungan kita,”

Pangeran In Te menjawab sambil tetap berlutut, "Dalam pasukan ini, aku bukan apa-apa kecuali seorang perajurit yang harus tunduk kepada Panglimanya."

"Tetapi Pangeran berderajat agung."

Sahut Pangeran In Te, "Agar pasukan ini mendapat kemenangan, semua perajurit harus tunduk kepada tata-tertib, tanpa pandang bulu asal-usulnya atau silsilah keluarganya."

Kalau yang bilang begitu itu perwira yang lain, tentu Ni Keng Giau akan menepuk-nepuk pundaknya dan memujinya. Tapi Pangeran In Te orangnya. Karuan Ni Keng Giau mencaci-maki dalam hati. Kalau Pangeran In Te terus "sealim" itu, kapan ia bisa memerintahkan algojo memotong kepala In Te? Kalau nekat menghukum juga tanpa alasan yang kuat, maka pandangan para perwira terhadap dirinya akan rusak. Ia akan dianggap sebagai Panglima yang sewenang wenang.

"Keparat, agaknya In Te tahu aku ingin mencopot kepalanya, maka dia membawa diri setertib itu..... agar aku tidak memperoleh kesempatan," gerutunya dalam hati. Maka dengan menahan kejengkelannya, Ni Keng Giau terpaksa berkata, "Kalau itu kemauan Pangeran sendiri, ya terserahlah. Tapi kelak jangan sampai ada yang mengadukan kepada Sribaginda, bahwa aku bersikap tidak hormat kepada anggota keluarga istana."

Sesaat ruangan itu sunyi. “Nah, Pangeran, aku persilahkan Pangeran berdiri untuk melihat peta ini."

"Baiklah, Goan-swe," Pangeran In Te bangkit dan mendekati meja, memperhatikan peta.

"Pangeran, beberapa tahun yang lalu Pangeran juga memimpin pasukan untuk menggempur Jing-hai, dan pulang membawa kemenangan besar. Sekarang aku ingin mendengar pendapat Pangeran, yang punya pengalaman di daerah ini, bagaimana tentang situasi medan yang kita hadapi?"

"Goan-swe, sebagian besar wilayah Jing-hai adalah dataran rumput, sebelah utara dan tenggara dibatasi pegunungan. Menurut dugaanku, kaum pemberontak akan mencoba mengajak kita bertempur di dataran dengan mengandalkan pasukan berkuda mereka yang cepat geraknya. Atau kalau jaraknya lebih jauh, mereka akan menggunakan onta. Singkatnya, kita seolah menghadapi ikan-ikan kecil yang lincah di sebuah kolam yang lebar."

"Jadi, bagaimana pendapat Pangeran untuk menghadapi mereka?"

Pangeran In Te waspada. Di hadapan Ni Keng Giau, ia tidak boleh kelihatan terlalu bodoh dan terlalu pintar. Berlagak bodoh, ia akan menjadi bahan cemoohan, sebaliknya kalau terlalu pintar juga berbahaya. Ni Keng Giau bisa merasa disaingi, lalu bangkit nafsunya untuk mempercepat membunuhnya. Maka Pangeran In Te menjawab,

"Dulu, lebih dulu kutempatkan pasukanku untuk menjaga jalan-jalan ke pegunungan, agar musuh tidak bisa lari ke gunung dan menyulitkan pasukanku, lalu kugempur titik-titik pemusatan kekuatan mereka. Namun karena tempat itu terlalu banyak berpencaran, tidak bisa kugempur sekaligus, maka kupilih saja titik-titik penghubung yang penting-penting dan persimpangan-persimpangan, upaya mereka kesulitan untuk saling membantu atau bergerak serampak."

Ni Keng Giau mengangguk-angguk dan menjawab, "Itu bagus, tapi seandainya pun kita berhasil menguasai titik-titik penting itu, mereka masih bisa berhubungan lewat jalan memutar. Di padang rumput sedatar ini, hampir semua tempat bisa dilewati kuda atau onta. Mereka bahkan bisa menyerang dari arah yang tak terduga. Nah, bagaimana Pangeran?"

Begitulah Ni Keng Giau mengajak Pangeran In Te adu otak. Mereka sama-sama panglima-panglima unggul yang saja pula sudah melahap ratusan jilid kitab-kitab kemiliteran. Sebenarnya Pangeran In Te bisa menjawabnya, namun sesuai dengan kewaspadaannya untuk "tidak nampak kelewat pintar", maka ia diam beberapa saat sambil pura-pura mengerutkan jidatnya dan berpikir keras.

"Bagaimana, Pangeran?" desak Ni Keng Giau dengan nafsu untuk mempermalukan Pangeran In Te.

"Bagaimana pendapat Goan-swe sendiri?" Pangeran In Te malah balik bertanya.

"Aku yang tanya, bagaimana pengalaman Pangeran dulu ketika menaklukkan pemberontakan di kawasan ini?" Ni Keng Giau membalikkan pertanyaan lagi. Malah kini diikuti dengan sentilan tajam, "Sribaginda kan tidak menyuruh Pangeran ikut kemari hanya sekedar menambah jumlah mulut yang tiap hari harus diberi ransum?"

Kuping Pangeran In Te maupun beberapa perwira yang masih simpati kepadanya jadi merah, mendengar kata-kata tajam Ni Keng Giau itu. Bahkan perwira-perwira yang berdarah Han juga merasa bahwa Ni Keng Giau memang terlalu pongah, sadar bahwa dirinya begitu berkuasa di pemerintahan, boleh di bilang orang kedua setelah Kaisar Yon Ceng.

Sekuat tenaga Pangeran In Te menahan emosinya, bukan cuma untuk keselamatan pribadinya, tapi juga untuk keutuhan pasukan agar tidak retak. "Maaf, Goan-swe, soal ini memang harus dipikirkan masak-masak. Akupun sedang memeras otakku untuk..."

Tak terduga sikap mengalah Pangeran In Te itu malah digunakan oleh Ni Keng Giau untuk semakin mempermalukannya. "Ah, aku tidak mengharap banyak dari otakmu, Pangeran...." Ni Keng Giau terkekeh mengejek. "Aku tidak minta Pangeran berpikir menemukan cara baru. Aku cuma mau mendengar Pangeran mendongeng, atau membual, atau apapun namanya, bagaimana dulu mereka sama-sama panglima-panglima unggul yang sama-sama pula sudah melahap ratusan jilid kitab-kitab kemiliter lu bisa menang di Jing-hai? Kemenangan yang kebetulan? Atau hasil pemikiran orang lain yang diakui sebagai pikiran Pangeran sendiri, sehingga Pangeran sendiri tidak memahaminya?"

Beberapa perwira yang termasuk pengagum berat Ni Keng Giau, ikut-ikutan tersenyum mencemooh sambil melirik ke arah Pangeran In Te. Sebaliknya perwira-perwira yang bersimpati kepada Pangeran In Te harus sekuat tenaga menahan kemarahannya, melihat bagaimana Ni Keng Giau secara terbuka berusaha mempermalukan Pangeran In Te.

Dengan darah mulai agak menghangat, Pangeran In Te membalas, "Biarpun aku tidak sepandai Goan-swe, untunglah dulu aku tidak malas berpikir. Tidak cuma membentak-bentak perwira perwira bawahannya. Itulah sebabnya dulu aku bisa menang, biarpun pasukan saat itu hanya separuh dari pasukan ini."

Hampir saja Pangeran In Te terpancing untuk bertengkar dengan Ni Keng Giau. Namun saat itulah Kim Seng Pa tiba-tiba berkata, "Kita ini sedang merundingkan siasat mengalahkan musuh atau sekedar saling menyindir seperti perempuan-perempuan bawel kurang kerjaan? Merasa puas kalau bisa saling mempermalukan, tanpa menghasilkan pikiran yang berguna?"

Kedudukan Kim Seng Pa memang kuat, suaranya memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Bukan saja karena ilmunya yang tinggi, sehingga pernah mengalahkan Pak Kiong Liong dalam perkelahian satu lawan satu, namun juga karena dalam pasukan itu ia seolah mewakili pribadi Kaisar Yong Ceng sendiri untuk mengawasi pelaksanaan penumpasan pemberontak.

Biarpun dalam hatinya mengutuk, Ni Keng Giau tidak berani menunjukkan sikap menentang Kim Seng Pa. "Terima kasih atas peringatan Kim Cong-koan. Kami hanya sedang bertukar pikiran, tidak aneh kalau terjadi sedikit selisih pendapat."

Kim Seng Pa mendengus angkuh. Kelihatannya dia membela Pangeran In Te, padahal sebenarnya juga cuma mancing pertengkaran dengan Ni Keng Giau, untuk memojokkan jenderal yang dibencinya itu agar berkurang pengaruhnya di hadapan para perwira.

Sementara itu, Pangeran In Te diam-diam merasa hatinya terluka. Merasa dirinya amat tidak berharga dalam pertentangan itu, sampai Kim Seng Pa merasa perlu berbelas-kasihan kepadanya. Alangkah bedanya dengan dulu, sebelum kekuasaannya dilucuti, dan ia membuat kota Pak-khia menggigil ketakutan ketika angkatan perangnya mengepung kota itu.

"Ternyata benarlah peringatan paman Pak Kiong Liong kepadaku dulu, bahwa aku terlalu dalam permainan politik yang kelewaat licin dan penuh tipuan keji," sesalnya dalam hati. "Seandainya dulu aku tetap mempercayai paman Pak Kiong Liong dan membiarkannya tetap mendampingi aku, tak mungkin aku jatuh seperti ini. Gara-gara kena tipuan busuk paman Liong Ke Toh maka aku dapat dipisahkan dari paman Pak Ki ong Liong. Sekarang, keturunan rakyat jelata macam Ni Keng Giau pun berani menari-nari di atas kepalaku."

Tapi mengingat masih perlunya kekompakan seluruh pasukan, ia lalu berusaha mengalah lagi, mencoba bersikap sebagai perajurit bawahan yang patuh. Dengan kepala menunduk dan tubuh agak berkeringat karena pertentangan batin, ia berjalan mendekati peta di meja dan berkata, "Goan-swe, aku minta maaf untuk ucapanku tadi. Sekarang rasanya aku sudah menemukan suatu pikiran untuk menghadapi pemberontak. Kita harus menempatkan pasukan di...."

"Lho, kapan aku memintamu mengeluarkan pendapat, Pangeran?" kembali Ni Keng Giau memotong dengan dingin. "Dari tadi kan cuma kusuruh Pangeran menceritakan pengalaman yang dulu, bukan untuk mengeluarkan pendapat?" Lalu suaranya meninggi dengan congkak. "Akulah Panglima Tertinggi pasukan ini, jangan ada yang lancang mendahului apa yang sedang kupikirkan dan akan kulaksanakan!"

Saat itu Ni Keng Giau tinggal selangkah dari perintah untuk memerintah algojo memotong kepala Pangeran In Te, tinggal memperkuat dalihnya dengan beberapa kalimat lagi, dan perintah hukuman mati akan keluar. Sedangkan Pangeran In Te mengangkat wajahnya yang pucat dan basah kuyup oleh keringat. Jari telunjuknya yang hampir menunjuk satu titik di peta, kini tergantung dua jengkal di atas peta, lalu perlahan dan gemetar ditarik ke samping tubuhnya.

Lain lagi dengan Kim Seng Pa. Tiba-tiba ia mendapat peluang lagi untuk memancing pertengkaran dengan Ni Keng Giau. "Goan-swe, rasanya Pangeran In Te berhak mengemukakan pendapat, karena dia adalah keturunan Aishin Gioro yang agung. Dalam perkemahan ini, Pangeran In Te yang derajatnya paling tinggi. Siapa yang mencoba merendahkannya, sama dengan menantang semua orang Manchu, termasuk Sribaginda sendiri yang aku wakili kehadirannya di perkemahan ini.”

Ni Keng Giau amat kaget mendengar kata-kata Kim Seng Pa yang terang-terangan mengungkit-ungkit sentimen kesukuan itu. Yang dikhawatirkan Ni Keng Giau ialah kalau sampai timbul perpecahan dalam pasukannya yang terdiri dari orang Han dan Manchu dalam jumlah hampir sama besarnya. la pun sadar, banyak perwira bawahannya yang keturunan Manchu belum ikhlas sepenuhnya tunduk kepada dirinya yang keturunan Han. Ucapan Kim Seng Pa itu bisa menimbulkan keberanian para perwira itu untuk membangkang, dan pasukan itu jangan-jangan bukan hancur oleh musuh, tapi karena "perang suku” dalam tubuh sendiri?

Dengan rasa was-was yang mulai terusik, Ni Keng Giau menyapu pandangan ke deretan perwira yang masih berdiri dengan tertib. Namun tidak sedikit di antara mereka yang air mukanya menampakkan kepuasan setelah mendengar kata-kara Kim Seng Pa tadi. "Inilah "lampu kuning" buat Ni Keng Giau. Ini jelas perlawanan dalam hati yang tak bisa begitu saja ditindas dengan rnengobral hukuman mati.

Ni Keng Giau tiba-tiba merasa kedudukannya tidak sekokoh yang selama ini dikiranya sendiri. Sikap kerasnya yang tak kenal kompromi itu rupanya harus diberi bumbu baru yang bernama ‘'kebijaksanaan". Ia merasa, seolah kedua kakinya berdiri sebelah-menyebelah retakan tanah. Kalau tanahnya tetap merapat, ia masih aman, tapi kalau retakan tanah itu melebar, dia akan terjerumus ke bawah.

Dan kini Kim Seng Pa bisa saja "melebarkan jurang" itu dengan kata-katanya yang mengandung hasutan berdasar kesukuan. Ni Keng Giau paham hal ini. Apa boleh buat. Ni Keng Giau merasa harus bertindak cepat agar Kim Seng Pa tampil seolah-olah si baik hati yang membela Pangeran In Te, namun sebenarnya ingin menjatuhkan Ni Keng Giau demi kepentingannya sendiri.

Akhirnya Ni Keng Giau terpaksa mengganti wajah angkernya dengan wajah yang agak "bersahabat" sambil berkata, "Rupanya kita semua masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Pak-khia sampai di Jing-hai. Otak masih keruh karena belum cukup beristirahat. Baiklah, agaknya pembicaraan ini harus ditunda satu hari. Aku persilahkan kalian kembali ke pasukan masing-masing. Tunggu perintahku dan tetaplah tertib.”

Kata-kata itu terasa benar mebuyarkan ketegangan yang tadinya menggumpal sarat di tenda itu. Perwira-perwira yang orang Han maupun Manchu hampir bersamaan menghembuskan napas lega. Mereka datang ke Jing-hai untuk bertempur mati-matian melawan musuh, dan tidak perlu didahului dengan saling bantai dengan sesama rekan. Hanya Kim Seng Pa yang merasa tidak senang, merasa kalau Ni Keng Giau agaknya sudah mencium maksud hatinya.

Para perwira kembali kepasukannya masing-masing. Di luar tenda, para perwira Manchu dan Han masih saling tegur sapa dengan ramah, sama-sama pura-pura tidak paham apa yang nyaris meledak dalam tenda Ni Keng Giau tadi. Beberapa perwira Han sendiri merasa, sesungguhnya Ni Keng Giau terlalu besar kepala dan berani bermain api. Untunglah dia buru-buru "banting setir" sebelum mengobarkan perpecahan hebat dalam pasukanya sendiri.

Sementara itu, setelah sendirian di dalam kemahnya, Ni Keng Giau mulai mengepal-ngepal tinjunya dan menguruk geram dalam hatinya. Pertemuan tadi amat tidak memuaskannya. Terasa benar Kim Seng Pa berusaha menantang wibawanya, menjegal rencananya atas Pangeran In Te, bahkan lebih jauh lagi, berusaha merebut simpati perwira-perwira berdarah Manchu. Kalau dibiarkan saja, tentu akan makin berbahaya, tapi ia tidak bisa menghukum Kim Seng Pa yang bukan bawahannya.

Setelah berpikir sekian lama akhirnya Ni Keng Giau memutuskan untuk lebih dulu "menjinakkan" Kim Seng pa sebelum melakukan tindakan-tindakan berikutnya. Ia punya cara untuk dicoba.

* * * *

Matahari seolah menyatukan diri dengan bumi, di garis hijau jauh di ufuk barat, entah di bagian mana dari samudera rumput maha luas itu. Malam datang laksana kain kerudung raksasa biru-tua yang ditarik lebar dari sisi timur langit, sampai seluruh kubah langit berhasil ditudunginya. Untung juga, masih ada kelap-kelip bintang tak terhitung banyaknya, seolah kerudung raksasa itu berlubang-lubang.

Perkemahan pasukan besar Ni Keng Giau sudah sunyi. Yang mendapat giliran istirahat segera menikmati haknya setelah mendapat ransum makan malam hari. Yang ketunjuk giliran jaga menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh, tidak berani lengah karena mereka sudah tiba di wilayah yang rawan. Di seluruh tebaran kemah, para perajurit membuat perapian-perapian untuk mengusir kegelapan. Jumlah perapian begitu banyaknya, sehingga kalau dilihat dari tempat tinggi, bentangan perkemahan itu seolah menjadi bayangan langit dalam air dengan bintang-bintangnya yang. banyak.

Saat itu Ni Keng Giau justru meninggalkan tendanya, sendirian menuju kemah Kim Seng Pa yang tidak jauh letaknya. la bahkan tidak membawa pengawal. Pakaian yang dikenakannya pun bukan pakaian resminya sebagai Ceng-se Tai-goan-swe yang bersulam burung hong, lambang yang cuma setingkat lebih rendah dari lambang naga pada jubah Kaisar. Ia cuma mengenakan jubah sederhana, dan kepalanya tak bertopi. Ia ingin bertemu empat mata dengan Kim Keng Pa dengan kesan "rendah hati” dan jauh dari suasana resmi yang kaku.

Kim Seng Pa tercengang ketika seorang bawahannya melaporkan kedatangan Ni Keng Giau. Cepat Kim Seng Pa keluar untuk menyambut. "Eh, Goan-swe, kenapa tidak menyuruh saja orang untuk memanggilku datang ke kemah Goan-swe?" Kim Seng Pa juga pura-pura rendah hati untuk mengimbangi sikap Ni Keng Giau.

Ni Keng Giau tersenyum ramah. "Kalau Cong-koan sudi meluangkan waktu untukku, aku memang ingin berbincang-bincang dengan Cong-koan tapi dalam suasana santai saja agar lebih bebas. Sebagai seorang yang lebih muda, aku mengaku kalah banyak dari Cong-koan dalam hal banyaknya pengalaman dan kematangan berpikir. Karena itu, sepantasnyalah aku yang datang menghadap Cong-koan."

"Silahkan duduk di dalam, Goan-swe," sahut Kim Seng Pa. Dalam hatinya ia menduga-duga, ada apa Ni Keng Giau malam-malam datang ke kemahnya dengan sikap begitu manis?

Setelah berada dalam tenda, kedua-duanya saling bersikap ramah. Namun masih agak canggung. Mereka sadar, biarpun mereka saingan berat di hadapan Kaisar, tapi juga sama-sama menyadari tak bisa saling mengutik-utik kedudukan masing-masing. Ni Keng Giau sadar bahwa Kim Seng Pa berhak menulis laporan terpisah kepada Kaisar tentang pelaksanaan tugas di Jing-hai, dan dalam laporan itu bisa saja Kim Seng Pa merugikan Ni Keng Giau. Sebaliknya Kim Seng Pa juga sadar, kedudukan Ni Keng Giau begitu kuat, tak gampang di dongkel begitu saja.

Sesaat mereka masih berbicara santai soal-soal ringan, sambil menikmati teh. Sampai Ni Keng Giau kemudian mulai menuju ke soal pokoknya perlahan-lahan, ''Cong-koan, suasana tidak enak yang siang tadi terjadi di kemahku, rasanya kusesalkan sekali. Tapi aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang harus dijelaskan hanya antara kita berdua."

"Soal apa itu?" tanya Kim Seng Pa mulai lebih bersungguh-sungguh.

"Aku, terus-terang saja, agak menyesal mendengar ucapan Cong-koan yang menimbulkan kesan bahwa aku tidak menghargai saudara-saudaraku yang berdarah Manchu. Padahal aku tidak bermaksud seperti itu. Setitik pun tidak."

Melihat sikap Ni Keng Giau yang merendah, kecongkakan Kim Seng Pa kontan mengembang. "Goan-swe bilang begitu, namun kenyataannya, apa yang Goan-swe lakukan atas diri Pangeran In Te itu bisa membuat marah semua orang Manchu! Sengaja atau tidak!”

"Yah, aku memang agak ceroboh dalam berkata, sehingga sampai timbul suasana tidak enak tadi siang. Namun, terhadap diri Pangeran In Te, aku memang punya tujuan tertentu. Terang-terangan saja, aku harus menyingkirkan Pangeran In Te!"

Wajah Kim Seng Pa berubah menjadi keruh mendengar keterus-terangan Ni Keng Giau yang ditafsirkan sebagai kesombongan itu. "Menyingkirkan Pangeran In Te? Untuk mencari muka kepada siapa? Goan-swe, sudah begitu besarkah kekuasaanmu, sehingga aku berani berniat membunuh seorang anggaota keluarga istana, biarpun seorang anggota yang sudah terdorong minggir dari pusat kekuasaan? Kalau sampai hal ini di dengar oleh..."

Kata-kata Kim Seng Pa yang berikutnya seolah tertelan kembali keteenggorokan, karena tiba-tiba melihat Ni Keng Giau mengeluarkan sepucuk sampul surat dari kantong dalamnya.

Sampul surat yang wujudnya maupun mutu kertasnya tidak menarik sama sekali. Rasanya, bakul bakpao di pinggir jalan pun akan enggan memakai kertas macam itu untuk bungkus bakpaonya. Tetapi Ni Keng Giau justru memegang sampul itu dengan hati-hati, bahkan cenderung ke khidmat, lalu menyodorkannya dengan dua tangan ke hadapan Kim Seng Pa. Sulit ditebak apakah sikap hormatnya itu ditujukan kepada Kim Seng Pa, atau hanya kepada "bungkus bakpao" itu.

Kim Seng Pa agak terpengaruh oleh sikap Ni Keng Giau. Dilihatnya tepi, sampul itu sudah disobek rapi, tandanya isi sampul itu sebenarnya tidak ditujukan kepada Kim Seng Pa, tapi kepada, N i Keng Giau. Entah dari siapa.

Kim Seng Pa ragu-ragu untuk menerimanya meskipun Ni Keng Giau menyodorkannya. Ia curiga, jangan-jangan Ni Keng Giau sedang menjebaknya untuk mengetahui suatu rahasia yang tidak seharusnya diketahui, agar kelak dapat digunakan oleh Ni Keng Giau menjerat lehernya.

Ni Keng Giau tersenyum melihat kebimbangan Kim Seng Pa. "Cong-koan, memang ini sebuah pesan rahasia yang ditujukan untukku pribadi. Tetapi agar Cong-koan memahami sikapku terhadap Pangeran In Te, rasanya tidak keliru kalau aku persilakan Cong-koan ikut mem baca. Silakan..."

Bicara begitu panjang, belum satu kali pun Ni Keng Giau menyebut ataupun sekedar "menyerempet" siapa penulis pesan itu. Itu menandakan betapa pekanya urusan itu, biarpun Kim Seng Pa rasanya sudah bisa menduga siapa pemberi pesan. Akhirnya bergerak juga tangan Kim Seng Pa untuk menerima sampul itu. Seolah tangannya dibebani timah ratusan kati, gerakannya lambat sekali.

Lalu di keluarkannya sehelai surat dari sampul, sehelai kertas yang sama jeleknya dengan sampulnya. Ada tulisan singkat, perintah kepada Ni Keng Giau agar Pangeran In Te dilenyapkan di Jing-hai dan '‘caranya terserah kepadamu, asal tidak menyolok sekali", itu saja.

Kim Seng Pa menghembuskan napas yang terasa dingin. Tidak ada tanda tangan si penulis surat, apalagi cap resmi. Si penulis pesan maha singkat itu agaknya khawatir kalau pesan itu jatuh ke pihak yang tidak bersahabat, lalu digunakan sebagai bukti untuk menimbulkan gejolak. Untuk menjaga kemungkinan itu, maka tidak dituliskannya identitas dirinya dikertas itu. Bahkan kertas yang dipakainyapun adalah kertas murahan yang terdapat di sembarang tempat, dan tidak mungkin dilacak dari mana asalnya.

Tangan Kim Seng Pa agak bergetar, sehingga surat yang dipegangnya seolah ditiup mulut jahil. Ia dapat menduga siapa penulis pesan "tanpa nama" itu. Sebagai pembantu dekat Kaisar Yong Ceng selama bertahun-tahun, Kim Seng Pa tahu benar isi hati Kaisar Yong Geng terhadap Pangeran In Te yang selalu dianggapnya "duri dalam daging" biarpun Pangeran In Te sudah tidak memegang jabatan yang menentukan.

la masukkan kembali surat itu ke dalam sampulnya, sikapnya menjadi begitu hati-hati seolah memegangi secangkir racun keras agar jangan sampai menciprati tangannya. Lalu disodorkannya kembali "racun berbahaya" itu ke tangan Ni Keng Giau. Ia juga merasa agak sedih bahwa tugas sepenting itu dipercayakan kepada Ni Keng Giau, bukan kepada dirinya. Itu menandakan bahwa si penulis pesan itu masih lebih mempercayai Ni Keng Giau daripada dirinya.

"Bagaimana pendapat Cong-koan? Apakah mungkin Cong-koan menganggap pesan ini palsu, karena tidak ada tanda tangan dan capnya?" tantang Ni Keng Giau sambil tersenyum dean mengantongi kembali sampul itu. Puas hatinya melihat Kim Seng Pa nampaknya agak salah langkah. “Atau Cong-koan percaya isi pesan ini?”

Meragukan keaslian surat itu sama saja dengan mengalungkan tali gantungan ke leherku sendiri, pikir Kim Seng Pa. Terpaksa ia menjawab, "Terserah kepada Goan-swe saja. Aku akan tutup mata saja."

Ni Keng Giau tersenyum makin lebar, sebaliknya wajah Kim Seng Pa makin kerut karena mendongkol. Ternyata Ni Keng Giau punya "senjata" yang membuat langkahnya buntu tak berkutit. Namun agar tidak kelihatan kalah total, Kim Seng Pa masih coba berkata, "Goan-swe melaksanakan pesan itu atau tidak, itu bukan urusanku. Tapi apa perlunya Goan-swe mempermalukan Pangeran In Te di depan begitu banyak orang? Kalau sampai timbul perpecahan dalan tubuh pasukan, maka dosamu benar-benar akan lebih besar dari pahalamu."

"Tujuanku sebenarnya ialah memancing Pangeran In Te supaya marah, lupa diri, melanggar peraturan, lalu muncul alasan untuk menghukum mati dia."

"Seandainya Goan-swe berhasil dengan rencana itu, hukuman mati yang dijatuhkan pasti akan membuat keresahan di antara perwira-perwiramu. Mungkin mereka takkan berani terang-terangan menentangmu, tapi pasti akan sangat berpengaruh terhadap kekompakan menghadapi musuh. Nah, bukankah kekaisaran sendiri yang akan rugi?"

"Apakah Cong-koan punya cara lain?"

"Pikirkan sendiri. Tapi pakailah cara yang tidak menyinggung harga diri kami, bangsa Manchu!"

"Baik... baik..." sahut Ni Keng Giau masih disertai senyumannya yang menjengkelkan. "Aku akan menugaskan Pangeran In Te ke daerah yang paling berbahaya dalam pertempuran, tanpa dukungan yang memadai dari garis belakang. Nah, dia akan mati sebagai pahlawan. Lalu aku merencanakan suatu cara pelepasan jenazah yang amat megah dan mengharukan. Pada saat peti jenazah diangkat untuk diberangkatkan ke Pak-khia, aku akan berada di sisi peti mati dengan airmata bercucuran. Nah, Cong-koan puas?"

Wajah Kim Seng pa benar-benar menjadi amat jelek mendengar kelakar Ni Keng Giau yang amat dibencinya itu. Bukan karena menyayangi nyawa Pangeran In Te. Sebab seandainya Kaisar menugaskan dirinya membunuh Pangeran In Tek, Kim Seng Pa juga akan melakukannya dengan senang hati. Namun karena Kim Seng Pa amat muak melihat sikap Ni Keng Giau yang dianggapnya memamerkan kelebihan kuasanya itu.

"Bagaimana, Cong-koan? Setuju rencanaku?"

Terpaksa Kim Seng Pa mengangguk. Satu anggukan yang sama nilainya dengan nyawa seorang Pangeran. Begitu melihat Kim Seng Pa mengangguk, wajah santai Ni Keng Giau tiba-tiba berubah kewajah aslinya, wajah seorang penguasa militer yang keras dan dingin.

"Bagus. Besok pagi akan ku lakukan Tiam-ciang (penunjukkan tugas para perwira), lalu langsung berangkat ke tempat-tempat musuh. Demi kewibawaanku atas pasukan, kuharap Cong-koan tidak datang terlambat ketendaku. Kalau mau terlambat, tidak usah datang sama sekali! Kalau melanggar pesanku ini, jangan salahkan kalau kesabaranku habis!”

Begitulah. Mula-mula Ni Keng Giau datang dengan sopan dan merendahkan diri, dan menjelang perginya dia menunjukkan kekuasaan dan wewenangnya untuk membuat Kim Seng Pa tidak berkutik, sambil menahan kejengkelannya.

"Aku permisi, Cong-koan. Selamat malam," Ni Keng Giau bangkit dan meninggalkan tenda itu.

Kim Seng Pa tetap duduk, tidak mengantar keluar. Wajahnya merah padam. Penindih kertas di atas mejanya yang terbuat dari batu hijau, dicengkeramnya dan diremas sampai hancur menjadi bubuk lembut. Ia membayangkan, betapa sinar matahari akan lebih cerah, kicau burung lebih merdu, seandainya dirinya pun memiliki selembar "bungkus bakpao" yang berisi pesan "cekiklah Ni Keng Giau dengan tangan sendiri sampai matanya melotot dan lidahnya keluar".

"Ni Keng Giau... Ni Keng Giau..." geramnya sendirian. "Kau terlalu besar kepala, menganggap dirimu tak mungkin jatuh. Tapi tunggulah saatnya. Kalau kau anggap Sribaginda akan mempercayai dan memanjakanmu terus, kau benar-benar keliru. Kekurang-ajaranmu di Bwe-hoa-kiong dulu takkan terlupakan oleh Sribaginda. Dan seandainya Sribaginda lupa, aku yang akan mengingatkannya kembali. Aku benar-benar akan memperjuangkan keruntuhanmu!"

Kim Seng Pa kemudian bukan hanya merenung gemas dan menggerutu saja, namun juga menyiapkan langkah-langkah nyata. Dipanggilnya seorang pengawal pribadinya, dan diperintahnya, "Panggil Cong-peng Kim Thian Ki kemari. Kau tahu tempatnya bukan?"

Pengawal itu menjalankan tugasnya. Tak lama kemudian, dari luar tenda terdengar langkah kaki seseorang. Lalu masuklah Kim Thian Ki, seorang lelaki tegap berusia empatpuluh tahun yang berwajah persegi, berhidung melengkung seperti paruh burung betet dan bermata tajam seperti alap-alap.

"Ayah memanggilku?" tanya perwira itu sambil langsung mengambil tempat duduk.

"Ya. Kau datang sendirian bukan?" tanya Kim Seng Pa.

"Tentu saja. Aku tahu kalau ayah memanggilku malam-malam begini, tentu ada urusan penting dan rahasia."

"Bagus. Aku mau bicara singkat saja, dan dengarkanlah baik-baik. Besok, Ni Keng Giau akan melakukan Tiam-ciang, dan kau sebagai salah satu komandan pasukan tentu akan hadir di kemahnya Ni Keng Giau. Nah, perhatikan dan ingat baik-baik apa saja yang Ni Keng Giau katakan, terutama yang mengenai diri Pangeran In Te. Setelah itu, secepatnya laporkan kepadaku. Paham?"

"Paham. Tapi kenapa ayah sendiri tidak berada sendiri di kemahnya? Bukankah ayah sebagai pengawas juga berhak untuk....”

"Tidak. Aku tidak sudi menginjak kemahnya Ni Keng Giau untuk sementara waktu."

"Kenapa, ayah?"

"Kau tidak perlu mengetahuinya. Cukup kalau kau lakukan pesanku tadi baik-baik. Dan waktu melaporkannya kepadaku, harus kau lakukan sendiri, jangan menyuruh orang lain. Pembicaraan ini pun hanya boleh diketahui kita berdua. Sudah mengerti?"

"Mengerti, ayah."

"Sekarang kembali ke kemahnya, dan jangan bilang siapapun bahwa kau dari sini."

Kim Thian Ki kemudian menyelinap pergi dari tenda ayahnya. Ia memang tidak tahu bagaimana rencana ayahnya. Tapi ia paham sepahamnya bahwa antara ayahnya dan Ni Keng Giau seperti anjing dengan kucing, tak pernah rukun. Dan Kim Thian Ki tentu saja memihak ayahnya sendiri.

Malam itu Ni Keng Giau tidur pulas. Puas hatinya berhasil "menjinakkan" Kim Seng Pa. Ia berharap Kim Seng Pa akan menjadi kecil hati setelah membaca pesan rahasia Kaisar Yong Ceng, dan selanjutnya tidak akan lagi merintangi tindakannya.

Namun tidurnya yang nyaman itu terganggu pada waktu dini hari, sebab lonceng kecil di atas bantalnya tiba-tiba bergoyang gemerincing, karena talinya ditarik-tarik dari luar kemah. Itu tandanya ada laporan militer penting yang harus diterimanya saat itu juga. Ni Keng Giau memang telah memberi wewenang tertentu kepada beberapa orang tertentu pula, untuk membangunkan tidurnya kapan saja, asal benar-benar membawa berita penting yang bersangkut-paut dengan perang itu.

Dengan naluri seorang perajurit yang amat berdisiplin, Ni Keng Giau cepat bangkit, membuang selimutnya, mengenakan jubah luarnya, lalu melangkah kebalik penyekat yang membagi kemah itu menjadi ruang pribadi dan ruang tugasnya sebagai panglima.

Di tempat itu sudah menunggu seorang lelaki berpakaian seperti penduduk Jing-hai umumnya. Meskipun dini hari itu berhawa amat dingin, orang itu nampak kumal oleh debu dan keringat. Jelas dia baru saja menempuh perjalanan jauh sepanjang malam. Begitu melihat Ni Keng Giau melangkah keluar dari balik penyekat, orang itu cepat berlutut dan berkata, "Hamba mohon diampuni sebesar-besarnya, karena telah mengganggu tidur Goan-swe."

Ni Keng Giau langsung duduk di kursinya, dan berkata, "Kau tidak bersalah. Aku yakin kau berusaha menjalankan tugasmu sebaik-baiknya. Tentunya kau adalah salah satu pimpinan regu mata-mata?"

"Benar, Goan-swe."

"Namamu dan regumu?"

"He Tiat, pimpinan regu ketiga yang kebagian tugas mengamati sisi selatan pegunungan Thian-san."

"Apa laporanmu?"

"Regu hamba berhasil mendapat kepastian, bahwa pihak Lo-sat (Rusia) campur tangan dari belakang layar untuk semakin mengobarkan pemberontakan orang-orang Jing-hai. Saat ini sebuah kafilah Lo-sat sedang bergerak menyeberang dari sebelah utara Thian-san ke selatan, memasuki wilayah kita. Mereka membawa ratusan pucuk senjata api beserta peluru dan obat peledaknya, untuk diserahkan kepada pemberontak. Dengan kecepatan jalan mereka, hamba perhitungkan dalam waktu tiga hari akan berhasil menyeberangi selat pegunungan itu."

Ni Keng Giau ternyata tidak kaget mendengar laporan itu. Sejak semula ia memang sudah menduga hal itu. Abad delapan belas itu, Asia Tengah memang menjadi ajang adu pengaruh antara Rusia dan Manchu. Kalau bangsa-bangsa Eropa lain menjajah dunia lewat laut, maka Rusia meluaskan wilayahnya lewat daratan terus mendesakkan perbatasannya ke timur dan selatan. Dan wilayah Jing-hai mulai diincarnya.

Beberapa saar Ni Keng Giau masih menanyakan hal-hal terperinci dari laporan itu. Seperti kekuatan musuh, jalan yang kira-kira akan dilewati, ciri-cirinya dan sebagainya. Setelah He Tiat menjawab dengan cermat, Ni Keng Giau mencatat jasanya di kitab perang dengan tangannya sendiri. Lalu He Tiat mengundurkan diri.

Sehabis itu, Ni Keng Giau tidak tidur kembali, melainkan membersihkan tubuh dan siap dengan tugasnya. Sebentar lagi fajar menyingsing, dan ia tidak mau bangun kesiangan. Untuk menghabiskan waktu, Ni Keng Giau kemudian duduk membaca buku militer untuk memancing keluar ilhamnya.

Tidak lama kemudian, terdengar terompet tanduk ditiup, suaranya mengalun panjang di kesunyian pagi. Disusul terompet-terompet di bagian lain perkemahan dengan nada yang sama, sehingga di seluruh perkemahan itu, dari ujung ke ujung tak ada yang tidak mendengarnya. Itu isyarat agar semua perajurit bangun dari tidurnya.

Perkemahan itupun jadi dipenuhi kesibukan. Asap mulai mengepul dari dapur umum, tempat ratusan tukang masak mempersiapkan makan pagi. Di semua bagian perkemahan, regu demi regu berbaris untuk diperiksa kesiapannya oleh komandan masing-masing.

Tidak lama kemudian, tiupan sangkakala terdengar lagi, dengan nada pendek pendek yang agak berbeda dengan yang pertama tadi. Isyarat inipun diteruskan oleh peniup-peniup sangkakala di bagian bagian lain, sehingga diketahui sampai kemah yang paling ujung. Inilah panggilan untuk semua Ban-hu-thio (pemimpin pemimpin tiap selaksa perajurit) agar berkumpul di kemah Ni Keng Giau.

Menyadari betapa kerasnya tata-tertib yang diterapkan di perkemahan itu, tak seorangpun pun Ban-hu-thio yang berlambat-lambatan memenuhi panggilan itu. Ban-hu-thio yang letak kemahnya berjauhan, bahkan harus menunggangi kuda agar tidak terlambat sampai di hadapan Sang Panglima Tertinggi. Dalam waktu singkat, semua komandan Ban-hu-thio sudah berkumpul di kemah Ni Keng Giau dalam seragam mereka yang rapi, termasuk Pangeran In Te. Suasana tetap sunyi mencekam, biarpun puluhan orang berjejal-jejal di depan meja Ni Keng Giau.

Ni Keng Giau tidak duduk, melainkan berjalan hilir mudik di belakang mejanya sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, nampak bersemangat sekali. Melihat kursi Kim Seng Pa masih kosong, sejenak menimbulkan tanda tanya Ni Keng Giau, apakah Kim Seng Pa akan kembali menantang kewibawaannya dengan sengaja datang terlambat sambil cecengesan?

"Apakah sudah lengkap?" tanya Ni Keng Giau kepada perwira-perwiranya.

Para perwira itu saling menoleh, saling menghitung, kemudian Pangeran In Te yang mewakili rekan-rekannya untuk menjawab, "Sudah lengkap semua, Goan swe."

"Baik," kata Ni Keng Giau. "Kalian semuanya, maju ke dekat meja ini untuk memperhatikan peta!"

Para perwira segera berkerumun maju. Ni Keng Giau pun berkata, "Laporan pendahuluan dari mata-mata yang aku sebarkan, sudah lengkap masuk kehadapanku. Regu terakhir melaporkan hasil penyelidikannya dini hari tadi, dan kita sudah mendapat kepastian bahwa kerusuhan ini didalangi pihak Lo-sat dari seberang perbatasan. Jelas kalau raja mereka telah melanggar perjanjian tahun 1689 yang dibuat bersama almarhum Sribaginda Khong Hi. Karena itu, kita patut bersikap keras. Nah, perhatikan peta."

Telunjuk Ni Keng Giau mulai menunjuk-nunjuk peta, melengkapi kalimat-kalimatnya, "Akan ada kafilah orang-orang Kozak Rusia lewat sini.....” telunjuknya membuat garis pendek di peta. ".... dan aku putuskan untuk menghadang mereka di sini....." ujung telunjuknya berhenti bergerak untuk menekan satu titik di peta.

"Menurut laporan, kafilah itu dikawal empat ribu perajurit Kozak Rusia yang terkenal mahir dalam pertempuran berkuda, ditambah entah berapa banyak senapan yang akan diberikan kepada para pemberontak Jing-hai. Maka dalam penghadangan ini, kita juga akan menggunakan pasukan berkuda yang dilengkapi senjata api. Akan agak berbeda corak pertempuran kali ini, dengan ketika melawan tentara Jepang di Hek-liong-kang dulu."

Beberapa saat dalam tenda itu suaranya sunyi mencengkam, tapi gelora pertempuran sudah menggemuruh kencang dalam urat nadi perwira-perwira itu. Semuanya siap menanti perintah Ni Keng Giau.

"Pangeran In Te!" tiba-tiba Ni Keng Giau memanggil.

Pangeran In Te cepat maju dengan hormat, "Siap, Goan-swe!" Sementara dalam hatinya sudah siap mental kalau-kalau diolok-olok dan disindir-sindir seperti kemarin.

Ternyata tidak. Ni Keng Giau memberi perintah dengan nada biasa saja, "Pangeran membawa sepuluh ribu perajurit berkuda, untuk menghadang kafilah itu, yang akan lewat di sisi selatan pegunungan Thian-san. Hancurkan mereka, dan rampas barang bawaan mereka!"

"Baik, Goan-swe!" sahut Pangeran In Te sambil menerima sehelai leng-ki (bendera komando).

Namun, penugasan Pangeran In Te itu mau tidak mau menimbulkan kecurigaan beberapa perwira yang simpati kepada Pangeran In Te. Dari belakang mejanya, Ni Keng Giau dapat merasakan getaran kecurigaan para perwira itu. Untuk menjaga agar pasukannya tidak pecah berantakan, Ni Keng Giau berkata,

"Sengaja aku berikan kesempatan pertama kepada Pangeran In Te untuk memperoleh kemenangan. Kemenangan pertama yang akan meningkatkan semangat pasukan kita, sekaligus menciutkan nyali musuh. Aku memperhitungkan Pangeran In Te akan menang, sebab selain membawa pasukan lebih banyak, juga Pangeran sendiri punya pengalaman bertempur di kawasan ini."

Dengan kata-kata itu, Ni Keng Giau coba menghapus kecurigaan di hati perwira-perwira yang bersimpati kepada Pangeran In Te. Sunyi sejenak, lalu Ni Keng Giau memanggil lagi, "Wan Yen Siang."

Seorang perwira berpangkat Hu-ci-ang, segera melangkah maju dan menghormat, "Siap, Goan-swe!"

"Wan Yen Siang, kau membawa sepuluh ribu perajurit untuk mengawal di belakang Pangeran In Te. Kau bertanggung-jawab sepenuhnya untuk mengawal jalur hubungan antara Pangeran In Te dan pasukan induk, jangan sampai terputus sehingga Pangeran In Te terpencil sendirian di garis depan!"

"Baik, Goan-swe!" sahut Wan Yen Siang pula, sambil menerima sehelai kng-ki dari Ni Keng Giau.

Namun Pangeran In Te berdebar jantungnya ketika mengetahui bahwa ia harus mengandalkan jalur hubungannya kepada Wan Yen Siang. Pangeran In Te tahu, bahwa Wan Yen Siang punya hubungan pribadi yang amat akrab dengan Ni Keng Giau. Di Pak-khia, kalau tidak ada urusan resmi, Ni Keng Giau dan Wan Yen Siang sering saling mentraktir di rumah-rumah makan isteri-isteri mereka juga sering saling mengunjungi sambil bertukar-tukaran hadiah. Dengan "memasang" Wan Yen Siang di belakang punggung Pangeran In Te, Ni Keng Giau sama saja dengan menodongkan sebilah belati di punggung Pangeran In Te.

Rasa tidak tenteram Pangeran In Te semakin menghebat, ketika melihat antara Ni Keng Giau dan Wan Yen Siang sejenak bertukar senyuman dan anggukkan yang begitu halusnya sehingga hampir tak terlihat, kecuali oleh Pangeran In Te yang berprasangka. Pangeran In Te sadar bahwa dirinya agaknya sedang didorong perlahan ke lubang kubur. Namun Pangeran In Te tetap bungkam. Ia siap menjadi perajurit sejati yang kalau perlu berkorban, tak peduli di belakangnya ada teman sendiri yang siap mengkhianati. la tidak mau bicara, kalau bicaranya itu akan menimbulkan perpecahan dalam pasukan.

Dengan memanfaatkan semangat pasukannya yang sedang berkobar, "Seperti anjing gila yang menunggu rantainya dilepas” menurut istilah Ni Keng Giau sendiri, maka Ni Keng Giau bermaksud sekaligus melakukan gempuran kebeberapa arah. Sekaligus puluhan perwira menerima leng-ki untuk memukul kedudukan-kedudukan musuh di tempat-tempat yang ditunjukkan Ni Keng Giau. Ia bermaksud "mencincang" garis-garis penghubung musuh agar bisa saling membantu, sebelum melakukan gebrakan pamungkas dengan pasukan induknya.

Menurut rencananya, pasukan-pasukan penggempur itu akan merebut pos-pos musuh dengan gerak cepat, menduduki, lalu pasukan jalan kaki akan menyusul dan mengubah pos-pos yang sudah direbut itu menjadi kubu-kubu pertahanan bagi pihak sendiri. Lalu pasukan berkuda akan mengejar musuh lagi, dengan pasukan induk mengikuti dari belakangnya.

Begitulah, Ni Keng Giau benar-benar akan menjadikan pasukannya seperti jaring besar yang menebar, untuk menjala ikan di "kolam" yang namanya Jing-hai. Ni Keng Giau sudah memperhitungkan, dengan cara itu korban di pihaknya sendiripun akan jatuh ratusan ribu nyawa, tapi jumlah nyawa manusia tak pernah menjadi perhatian Ni Keng Giau. Yang penting bendera, bukan manusia. Bendera kekaisaran harus ditancapkan kuat-kuat di Jing-hai.

"Nah, kalian yang mendapat tugas harus segera menyiapkan pasukan masing masing. Nanti Tengah hari, kalau ada isyarat dari sini, kalian harus berkumpul dengan pasukan masing-masing untuk Pai-ki (menyembahyangi bendera), lalu langsung berangkat!"

Para perwira pun kembali ke pasukan masing-masing. Di antara mereka, hanya Kim Thian Ki yang tidak langsung pulang ke kemahnya sendiri, melainkan menuju ke kemah Kim Seng Pa untuk melaporkan tentang rencana Ni Keng Giau itu. Dengan cermat Kim Seng Pa mendengar rencana yang menyangkut diri Pangeran In Te. Sedang rencana-rencana serangan ke lain arah tidak diperhatikannya. Pelaksanaan perang bukan urusannya, urusannya saat itu cuma mendongkel Ni Keng Giau.

"Hemm, jadi begitu ya, rencananya terhadap Pangeran In Te?" Kim Seng Pa mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Benar, ayah..."

"Nah, pulang ke pasukanmu dan simpan semuanya ini rapat-rapat.

"Baik, ayah. Aku pamit..."

Selanjutnya,