Pendekar Naga dan Harimau Jilid 28Karya : Stevanus S.P |
"A-him, larilah!" teriak Sebun Siang yang sudah luka-luka itu kepada anaknya. Bajunya sudah robek-robek dan kulitnya dipenuhi jalur-jalur biru akibat cambukan Ki-bwe-coa Leng Hok-nou, sementara langkahnyapun sudah pincang karena pahanya tersambar telak oleh toya besi Sin-bok Hweshio dan agaknya tulangnya sudah retak. Namun Sebun Siang masih saja bertempur seperti kesurupan setan dan ia masih saja berteriak,
"A-him, selamatkan dirimu! Demi Hoa-san-pay aku ingin kau selamat! Kita tidak boleh mati semua, salah satu harus hidup untuk membalas dendam!" Namun Sebun Him yang juga sama kalapnya dengan ayahnya itu mana mau mendengarkan seman untuk menyelamatkan diri sendiri itu. Bahkan dengan mengentakkan gigi ia memperhebat seranganya kepada Lamkiong Siang, dan la pun balas berteriak, "Ayah saja yang pergi! Biar aku yang bertahan di sini!" Waktu itu boleh dikata tak ada bagian kulit Sebun Siang yang masih utuh, namun pendekar Hoa-san-pay itu masih berkelahi dengan garangnya, membuat kedua lawannya merasa agak ngeri juga. Teriak Sebun Siang, "Aku tidak bisa lari cepat, kakiku sudah luka. Kau saja yang lari, A-him!" "Ayah saja yang lari. Aku harus bertahan di sini!" Sebun Siang menjadi habis kesabarannya, "Bangsat kecil, kau berani membangkang perintah ayahmu?! Kalau kau menolak untuk menyelamatkan dirimu sekali lagi, aku akan menggorok leherku di depanmu, tidak peduli apa yang terjadi! Kau ingin menjadi anak durhaka yang membuat marga Sebun kita habis keturunannya?" Dalam alam pikiran orang-orang Han di daratan Cina, memang tidak ada dosa terhadap leluhur yang lebih besar daripada membikin putus keturunan sehingga tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Karena itulah ancaman ayahnya itu cukup membuat sebun Him mau tidak mau harus mempertimbangkannya. Ia tidak mau dikutuk arwah leluhurnya sebagai anak yang tidak dapat melanjutkan keturunan. "Cepat lari, tunggu apa lagi?!" teriak Sebun Siang sambil terhuyung, sebab sekali lagi sebuah cambukan keras dar! Kiu-bwe-coa Leng Hok-bou menghajar dadanya. "Cepat lari! Kau ingin membuat ayahmu mati sia-sia di sini?!" Apa boleh buat, Sebun Him terpaksa menuruti kata ayahnya itu. Tapi matanya menjadi basah juga, ia tahu bahwa sekali ia melangkah pergi dari tempat, itu maka berarti itulah saat terakhir ia melihat ayahnya dalam keadaan hidup. Namun sisa-sisa kesadarannya masih memperingatkan juga bahwa itu adalah jalan satu-satunya yang meskipun terasa amat pahit tapi merupakan jalan yang terbaik. Lebih baik ada satu orang lolos daripada dua-duanya tertumpas ditempat itu. Karena itu, sebelum meloncat pergi, Sebun Him masih sempat berteriak dengan suara.parau, "Ayah, kalau kelak aku tidak mencincang bangsat-bangsat ini, aku adalah binatang yang paling rendah." "Bagus, anakku, pergilah!" teriak Sebun Siang dengan suara terharu pula, karena apa yang dirasakannya adalah sama dengan apa yang dirasakan oleh anaknya. Lalu dilampiaskannya perasaannya dengan gerakan-gerakan pedangnya yang semakin gencar dan nekad. Tapi bagi Sebun Him sendiri sesungguhnya tidak gampang untuk melarikan diri seperti anjuran ayahnya itu, sebab Lamkiong Siang sudah bertekad untuk membunuh anakmuda itu. Bukan saja karena tugas dari Te-liong Hiangcu memerintahkan demikian, tapi Juga karena ia ingin membalaskan sakit hati muridnya, karena itu ia tidak akan membiarkan Sebun Him lolos begitu saja, katanya mengejek, "Kalian ayah dan anak tidak usah kuatir, kami akan terbaik hati untuk menolong kalian agar kalian bisa berkumpul bersama di akherat!" Baru saja mulutnya terkatup, tiba-tiba Sebun Siang telah meloncat ke arahnya dengan meninggalkan kedua orang musuhnya. Tidak peduli bagian belakang punggungnya tersabet cambuk Leng Hok-hou, tapi Sebun Siang sudah bertekad membunuh atau setidak-tidaknya melukai lawan dari anaknya itu agar anaknya mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Lamkiong Siang terkejut ketika melihat sebatang pedang berkilauan ke arah lehernya, padahal la sedang sibuk meladeni amukan Sebun Him. Maka cepat-cepat ia membantingkan tubuhnya dengan gerak Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan), namun tak urung pedang Sebun Siang menyerempet pundaknya sehingga Lamkiong Siang berteriak kesakitan. Hampir bersamaan waktunya, Sebun Siang sendiripun berteriak kesakitan karena toya Sin-bok Hweshio juga berhasil menghantam punggungnya secara telak, sehingga pendekar Hoa-san-pay memuntahkan segumpal darah sambil terhuyung-huyung ke depan. Namun dengan mengeraskan kepala Sebun Siang telah berdiri tegak kembali dengan pedang melintang didepan dada, sambil berseru, "Cepat, A-him!" Sebun Him tahu bahwa kesempatan sebaik itu tak mungkin berulang lagi, apa boleh buat, dengan mengeraskan hati dan menahan keluarnya air matanya ia meloncat pergi ke rumpun pepohonan yang gelap karena cahaya api dari gubuk yang terbakar tidak mencapai tempat itu. Ia masih berteriak sekali lagi, "Kelak aku akan membuat perhitungan untuk semuanya ini, ayah!" Melihat anaknya berhasil meloloskan diri, semangat Sebun Siang berkobar hebat. Keselamatan dirinya sendiri sudah tidak dikuatirkan lagi. Ketika melihat Lamkiong Siang hendak mengejar anaknya, maka Sebun Siang pun mengejar Lamkiong Siang dengan kalapnya, memaksa orangtua dari Kun-lun-san yang berjulukan Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) itu harus membalik tubuh dan terpaksa bertahan dari amukan si pendekar Hoa-san-pay itu. Pada suatu ketika Lamkiong Siang menyerang dengan sebuah sabetan pedang ke arah pundak kiri Sebun Siang, dan ternyata lawan sama sekali tidak menghiraukan sabetan itu, bahkan membarenginya dengan sebuah tusukan ke ulu hati Lamkiong Siang. Alangkah terkejutnya Lamkiong Siang, biarpun dia bernyali besar dan sudah sering melakukan perbuatan-perbuatan kejam, namun diajak adu nyawa seperti itu ia merasa ngeri juga. Sayang keterkejutannya itu membuat segala-galanya terlambat. Ia terlambat menarik pedangnya sehingga pedang itu tetap saja menabas pundak Sebun Siang dengan telak, tapi ulu hatinya sendiripun menembus pedang Sebun Siang. Demikianlah, Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, itu bukannya berhasil membalaskan sakit hati murid-muridnya, malahan jiwanya sendiri ikut amblas malam itu juga. Berakhirlah riwayat seorang pembunuh bayaran yang sudah banyak mencabut nyawa orang hanya karena upah setahil dua tahil itu. Sebun Siang membiarkan saja pedang lawan amblas di pundaknya dan tetap terjepit di situ ketika si pemilik pedang sendiri sudah roboh mampus. Lalu Kebun Siang meloncat menghadang Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hon yang hendak mengejar anaknya itu, sambil membentak, "Sebelum kau kejar anakku, langkahi dulu mayatku!" Sin-bok Hweshio sudah bertahun-tahun berteman dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, dan la melihat betapa temannya itu mati di tangan Sebun Siang. Karena itu Sin-bok Hweshio menjadi ciut nyalinya. Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri tidak lebih tinggi dari kepandaian temannya itu. Jika temannya itu dapat dibunuh oleh Sebun Siang meskipun dengan jurus nekad-nekadan seperti tadi, maka Sin-bok Hweshio pun tidak yakin dirinya bisa lolos dari maut apabila diajak bertempur cara itu oleh Sebun Siang. Karena itu, begitu melihat Sebun Siang yang berlumuran darah dan matanya mencorong mengerikan itu menghadang langkahnya, Sin-bok Hweahio dengan licik berkata, "Saudara Leng, kau bereskan dulu orang ini, biar aku ang mengejar anjing cilik satunya itu. Kita bagi-bagi tugas!" Tak terduga Kiu-bwe-coa Leng Hok-bu juga gentar kepada Sebun Siang yang bertempur tanpa menghiraukan nyawa sendiri itu, maka Leng Hok-hou cepat menjawab, "Tidak. Kau saja yang hadapi yang ini, biar aku yang mengejar. Orang ini sudah luka-luka dan kau tentukan mudah untuk membereskannya!" Demikianlah keduanya berebutan mencari bagian yang paling aman, sementara bagian yang berbahaya hendak mereka timpakan ke kepala orang lain, padahal bila mereka mau menggunakan otak sedikit saja, tentu tahu bahwa melawan Sebun Siang yang sudah luka-luka seluruh tubuhnya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan kalau melawan Sebun Him yang masih muda, dan sedang dimabuk dendam itu. Memang benar kata pepatah bahwa orang yang paling kejam, biasanya juga orang yang berwatak pengecut! Baru saja keduanya saling tuding siapa yang akan membereskan Sebun Siang, maka Sebun Siang sendiri tiba-tiba roboh ke tanah. Bagaimanapun keras hatinya dan besar tekadnya, namun luka-luka luar dan dalam yang telah muncul di tubuhnya membuat la tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Apalagi karena ia menduga bahwa anaknya tentu sudah lari jauh dan berhasil menyelamatkan diri, maka semangat tempurnyapun luntur dan ambruklah badannya. Melihat itu, Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou saling bertukar pandangan sambil menyeringai kecut. Orang yang mereka takuti itu ternyata telah roboh sendiri karena luka-lukanya, membuat mereka agak malu juga karena tadi telah menunjukkan rasa gentar mereka satu sama lain. "Apakah kita masih sempat mengejar anjing cilik satunya lagi?" Tanya Sin-bok Hweshio. Klu-bwe-coa Leng Hok-hou nampak bimbang, lalu menyahut, "Sudah agak terlambat. Kita tertahan agak lama di sini oleh Sebun Siang, sehingga bangsat cilik itu tentu sudah lari cukup jauh. Tapi baiklah kita coba cari di sekitar sini, barangkali dapat kita temukan dia." "Kita jalan bersama-sama atau berpencar?" Sesaat Leng Hok-hou tidak menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Rasa malunya karena ketakutan kepada Sebun Siang tadi masih belum hilang, dan kini ia menjadi serba susah untuk menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Jika ia menjawab "bersama-sama" maka ia kuatir ditertawakan Sin-bok Hweshio karena dianggap penakut, tapi kalau menjawab "berpencaran" sebenarnya diapun agak takut. Mereka tadi sudah melihat kehebatan Sebun Him, dan untuk menghadapi anak muda seperti itu tentu lebih aman jika berdua daripada seorang diri. Sin-bok Hweshio yang memang ingin membuat rekannya kehilangan muka dengan pertanyaannya itu, diam-diam mentertawakan dalam hati ketika melihat kebimbangan rekannya itu. Tapi paderi gadungan itu terkejut bukan kepalang ketika mendengar jawaban Leng Hok-hou yang tegas, "Kita berpencar. Kau ke utara, aku ke selatan. Nanti berkumpul di tempat ini." Sesaat Sin-bok Hweshio kebingungan harus menjawab bagaimana, sebab sebenarnya dia sendiripun takut kalau disuruh berpencaran. Dalam segala hal dia harus memilih kemungkinan yang paling aman, dan mengejar musuh sendirian dalam hutan yang gelap itu adalah hal yang sangat tidak disukainya. Tapi diapun malu mengutarakan perasaannya, maka akhirnya ia mengeraskan kepala dan berkata, "Baik, berpencaran-pun baik, memangnya aku takut? Tapi kalau salah satu dari kita menjumpai musuh, kita harus saling memperdengarkan suitan untuk saling membantu." Suaranya dibuat agar kedengaran cukup garang, namun tidak dapat menutupi kegelisahannya. Dan Leng Hok-hou justru merasa mendapat kesempatan untuk mempermainkan rekan gundulnya itu, "Ah, buat apa saling bersuit segala? Toh buruan kita cuma tikus kecil dari Hoa-san-pay yang tak berarti. Salah seorang dari kita sudah cukup berlebihan untuk menghabisi nyawanya." Sin-bok Hweshio menyeringai canggung. "Baik, kalau ketemu langsung kita bereskan saja. Tapi bagaimana kalau masih ada orang Hoa-san-pay lainnya yang seangkatan dengan Sebun Siang ini? Tentu kita harus saling bantu." "Tidak ada. Kalau orang itu ada, tentu sudah muncul dari tadi dan tidak akan membiarkan Sebun Siang terbunuh." Sin-bok Hweshio mengumpat dalam hatinya. Tapi apa boleh buat, daripada dicap sebagai penakut, akhirnya dengan langkah gagah diapun memanggul toya besinya dan menjalankan tugasnya. Begitu pula Leng Hok-hou. Sementara itu, dengan perasaan yang hancur bagaikan disayat-sayat, Sebun Him terus berlari kencang meninggalkan gelanggang. Ia membayangkan tubuh ayahnya yang sudah berlumuran darah ketika ditinggalkannya tadi, dan ia berharap mudah-mudahan ayahnya dapat menyelamatkan dirinya, meskipun ia sadar bahwa harapannya itu terlalu berlebihan. Mana bisa ayahnya yang luka-luka itu menghadapi musuh-musuh yang berjumlah lebih dari satu dan masih segar semuanya? Tiba di sebuah bukit batu yang sepi, Sebun Him berlari ke atas bukit batu seperti orang kesetanan, dan di atas bukit itulah dia menangis meraung-raung sepuasnya. Semuanya kesesakan hatinya tertumpah lwat air matanya, dikutuknya musuh-musuhnya, dikutuknya dirinya sendiri yang tidak becus dan berilmu rendah sehingga tidak dapat menyelamatkan ayahnya. Setelah berbuat demikian, barulah perasaannya terasa agak lega, dan iapun tergeletak begitu saja di atas bukit kecil itu, setengah terlelap, namun setiap kali ia bangkit kembali dan menjerit kaget apabila terbayang kembali ayahnya yang berlumuran darah. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk kembali ke arena tadi dan mengadu jiwa dengan musuh-musuhnya tidak peduli apapun yang akan terjadi, tapi kesadarannya memperingatkan bahwa jika dirinya sampai mati pula di situ, maka sia-sialah pengorbanannya ayahnya itu. Ayah dan anak akan sama-sama terkubur di tempat terpencil itu, tidak ada yang bakal membalas dendam, dan tidak ada pula yang akan memberitahukan ke Hoa-san-pay tentang apa yang terjadi, sehingga paling-paling orang Hoa-san-pay hanya akan menganggapnya hilang begitu saja seperti Giok-seng Tojin. Sebun Him tersadar kembali dari tidurnya ketika cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh tubuhnya, dan kicau burung yang merdu bagaikan membangunkannya. Namun kemudian la pun menjadi tenang, meskipun kesan sedih belum terhapus dari hatinya sama sekali. "Aku akan melihat kembali bekas gelanggang pertempuran tadi malam," kata anak muda itu seorang diri. "Jika aku tidak bisa melarikan diri bersama-sama dengan ayah, paling tidak aku bisa merawat tubuhnya..." Kembali perasaan sedih bergolak di dadanya, namun ditekankannya dalam-dalam, dan la pun melangkah tegap menuruni bukit itu. Seorang pendekar meneteskan air matanya lebih mahal daripada darahnya, demikian ucapan ayahnya atau paman-paman gurunya di Hoa-san-pay. Karena itu la pun mengeraskan hati untuk tidak menangis. Ketika tiba di tempat kejadian semalam, diapun tetap tidak menangis dan hanya mengertakkan giginya. Dilihatnya bangunan-bangunan bambu yang kemarin masih berujud warung itu kini sudah menjadi arang karena dilahap si jago merah. Di rerumputan yang berembun, masih bergeletakanlah tiga sosok mayat beku. Mayat Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang dan muridnya, Tiat-ge-long Mo Wan seng, serta mayat ayah Sebun Him sendiri. Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan mayat teman-teman mereka sendiripun mereka tidak sempat untuk mengurusnya. Dengan menguatkan hatinya, Sebun Him menggali sebuah lubang untuk memakamkan tubuh ayahnya. Di atas makam itu diletakkannya sebungkah batu besar dan diukir dengan pedangnya: Sebun Siang pendekar besar Hoa-san-pay. Setelah bersujud di hadapan nisan itu beberapa kali, Sebun Him lalu meninggalkan tempat itu dengan mata menyala penuh dendam. Makin berkobar semangatnya untuk membongkar komplotan yang selama ini membayangi dunia persilatan, terutama Hoa-san-pay. Kalau tadinya ia ikut dalam gerakan itu hanya karena ingin berbakti untuk Hoa-san-pay selain untuk mencari nama besar bagi dirinya sendiri, ataka kini pendorong Sabun Him bertambah satu lagi. Dendam. Ayahnya justru telah jatuh sebagai korban pada hari pertama la melangkah meninggalkan Hoa-san. Ya, hari pertama dari perjalananya dia sudah kehilangan seseorang yang paling berarti dalam hidupnya. Sekilas muncul juga ingatan untuk balik ke Hoa-san dan minta bantuan, sebab Hoa-san belum terlalu jauh ditinggalkannya. Tapi dibuangnya jauh-jauh ingatan seperti Itu. Ia akan maju terus, dan hanya maut yang bisa menghentikan langkahnya, demikian tekadnya. Disebuah desa yang dilewatinya, Sabun Him mengganti pakaian yang dipakainya dengan pakaian yang seluruhnya terbuat dari kain belacu putih yang dijahit terbalik, yang kasar di luar dan yang halus di dalam, sebagai tanda berkabung dan untuk selalu mengenang ayahnya. Dikenakannya pula secarik kain putih dikepalanya. Bahkan sarung pedang dan tangkai pedangnyapun di bebat dengan kain putih. Dengan wajah yang cekung karena berduka, mata yang dalam dan tajam, bibir yang terkatup rapat penuh dendam, tubuh yang tinggi tegap, dan pakaian serba putihnya yang memancarkan suasana berkabung, maka Sebun Him memang nampak agak seram. Beberapa hari kemudian, tetap dengan penampilan berkabungnya itu, Sebun Him memasuki kota Tiang-an yang ramai dari arah barat. Penampilannya menarik perhatian orang, dan barangkali diantara orang-orang itu ada musuh-musuhnya, namun Sebun Him sendiri tak keberatan menghadapi apapun juga. Bahkan di dadanya di goreskannya sebuah huruf merah dari darahnya "Siu" atau "dendam". Anakmuda itu jiwanya sudah Keracunan dendam. Ketika perut Sebun Him mulai keroncongan dan la melangkah masuk ke sebuah iumah makan yang ramal dl pinggir jalan, maka pelayan rumah itu menyambutnya dengan hormat campur takut melihat penampilan Sebun Him. Apalagi karena beberapa hari ini Sebun Him tidak sempat bercukur sehingga sekitar bibirnya dan rahangnya ditumbuhi cambang pendek kaku. "Hendak bersantap apa, tuan?" tanya pelayan. "Sediakan saja arak lebih dulu," kata Sebun Him dingin. "Masakannya boleh kau pilihkan sendiri...." Kata pelayan itu, "Meskipun kota ini jauh dari laut, tetapi makanan mi kepiting kami terkenal lezat sehingga orang-orang..." "Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya. Tak lama kemudian, apa yang dipesan oleh Sebun Him itu sudah tersedia di atas meja. Setelah menenggak beberapa cawan arak yang cukup harum baunya, Sebun Him dapat juga sedikit melupakan kesedihannya. Dan asap mie kepiting yang mengepul menerobos lubang hidungnya itu membuat perutnya lapar juga. Ketika habis semangkok, bahkan ia memanggil pelayan untuk ditambah semangkuk besar lagi. Tengah anak muda yang sedang bersedih itu melupakan kesedihannya barang sejenak, tiba-tiba di luar rumah makan itu terdengar derap kaki tiga ekor kuda, dan ketiga ekor kuda itupun ternyata berhenti di depan rumah makan itu. "Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya. Mereka adalah seorang lelaki setengah baya yang berbaaan tegap dan menggantungkan sebatang golok besar di pinggang kirinya, dengan tampang yang angker. Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya berpakaian ringkas dan pundaknya tertutup mantel dari bulu yang agaknya cukup mahal namun wanita itu sendiri sederhana dan riasan wajahnya tidak berlebihan. Yang terakhir seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun, berpakaian ringkas pula dan juga mantel penutup pundak dan punggungnya, membawa golok yang lebih tipis dan lebih kecil ukurannya dari lelaki itu di pinggangnya. Rambutnya dikuncir menjadi dua, sepasang matanya bulat besinar seperti bintang dilangit, sehingga meskipun Sebun Him sedang bersedih tapi matanya tertarik juga oleh gadis itu. Dan agaknya gadis itupun cukup lincah mengendalikan kudanya. Begitu tiba di depan rumah makan itu ia menarik keras-keras kendali kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, namun gadis itu sendiri dapat menguasai keseimbangannya dan bahkan dengan lincahnya la meloncat turun seringan seekor kucing saja. Kata gadis itu kepada lelaki dan perempuan setengah baya itu, "Ayah, ibu, rumah makan ini agaknya cukup bersih dan bau masakannyapun sedap. Ayo kita isi perut di sini! Sejak dari rumah paman Wihong di Tay-beng kita hanya makan bakpau melulu!" Perempuan dan lelaki setengah baya itu agaknya orang tua dari gadis yang lincah itu. Si perempuan setengah baya itupun meloncat turun deri kudanya namun samtfii pura-pura menggerutu ia tertawa Juga, "kau anak perempuan tetapi yang kau pikirkan hanya makan saja, apa kau tidak takut tubuhmu menjadi bundar seperti babi?" Gadis itu nampaknya biasa dimanja, di seretnya tangan ibunya masuk ke rumah makan itu, dan tidak peduli ayahnya sudah setuju atau tidak, ia langsung melambaikan tangan kepada seorang pelayan dan bertanya, "Apa makanan paling enak di tempatmu ini...?" |
Selanjutnya;
|