Pendekar Naga dan Harimau Jilid 27Karya : Stevanus S.P |
Auyang Seng sudah berpengalaman di dunia persilatan sejak ia masih muda, sejak masa di mana Hwe-liong-pang masih malang-melintang di dunia persilatan baik dengan tokoh-tokohnya yang baik seperti dewa maupun jahat seperti iblis. Karena itu, begitu melihat tokoh dengan ciri khas yang menyolok itu, dia segera berdesis kaget. "Ang-Mo-Coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Hwe-liong-pang. Ternyata bangsat tua ini masih hidup setelah menghilang sekian lama, bahkan ilmu silatnya bertambah hebat!"
Mereka bertiga bertempur di bawah cahaya obor, namun di tengah-tengah jembatan sempit yang menghubungkan tepi kolam teratai dengan pintu pagoda. Jembatan itu amat sempit, kalau dua orang berjalan di atasnya maka paling banyak hanya dapat berjajar dua orang. Dengan cara bertempur yang hebat dari ketiga orang itu, bersambar-sambaran seperti tiga ekor elang yang berlaga di angkasa, kadang-kadang berloncatan atau menyusuri pagar jembatan yang besarnya hanya selengan orang itu, maka jelaslah pertempuran itu bukan pertempuran yang bisa diikuti oleh sem-barangan orang. Harus orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang dapat ikut bertempur. Dan Auyang Seng melihat, walaupun Sebun Siang dan Beng Ko-yan telah bertempur dengan gigih dengan mengeroyok pula, tapi tidak ada tanda-tanda mereka akan menguasai kemenangan. Lawan mereka terlampau kuat. Auyang Seng menarik napas panjang dan membatin, "Malam ini Hoa-san-pay benar-benar kebanjiran musuh-musuh tangguh..." Ada yang jauh lebih hebat dari tokoh golongan hitam berambut merah Ang-mo-coa-ong itu. Dia adalah seorang berpakaian serba hitam dengan mantel lebar yang hitam pula, dengan sebuah topeng perunggu yang kehijau-hijauan melekat di wajahnya, topeng yang berbentuk tengkorak yang menyeringai menyeramkan. Orang ini menghadapi tiga orang dari Hoa-san-su-lo, yaitu Ciang-bunjin Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han yang merupakan orang nomor satu di Hoa-san-pay yang berjenggot dan berambut keperak-perakan, serta dua sesepuh lainnya, Lim Sin dan Yo Ciong-wan yang juga nampak sudah berambut putih. Tapi pertarungan satu lawan tiga itu jauh lebih dahsyat dari pertarungan di tengah jembatan kecil. Keempatnya bagaikan tak berbobot, berkelahi di atas atap pagoda yang miring, licin dan bertingkat-tingkat itu. Ketiga sesepuh itu seperti dewa-dewa yang turun dari langit, dengan rambut yang putih keperak-perakan dan jubah yang setiap kali melambai apabila mereka bergerak dengan keringanan tubuh yang menakjubkan. Namun lawan dari para "dewa" itu agaknya sesosok iblis yang dengan tangguhnya sanggup menghadapi ketiga batang pedang itu hanya dengan sepasang tangan kosongnya, tanpa nampak terdesak sedikitpun. Kadang-kadang mereka berkejaran mengitari emperan atap pagoda, atau berloncatan dari satu tingkat ke tingkat lainnya bolak-balik dengan gerakan sebebas seperti berada di lantai yang datar saja. Lalu saling menukar serangan dahsyat apabila mendapat kesempatan. Jarang sekali murid-murid Hoa-san-pay melihat para sesepuh mereka bersilat dengan sepenuh hati, sebab tugas melatih lebih banyak dipercayakan kepada angkatan yang lebih muda, yaitu angkatannya Sebun Siang atau Auyang Seng. Tapi malam ini murid-murid Hoa-san-pay berkesempatan melihat bagaimana para sesepuh yang rambutnya sudah putih itu dapat gerak dengan tangkas luar biasa, dengan kecepatan yang kadang-kadang membuat tubuh mereka bagaikan tak terlihat jelas dan hanya mirip segumpal bayangan yang kabur, sementara pedang-pedang mereka gemerlapan bagaikan petir bersambung di udara. Terutama adalah Ciangbunjin Hoa-san-pay sendiri, Kiau bun-han yang digelari sebagai Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang di Delapan Penjuru) itu. Bayangan pedangnya benar-benar memenuhi seluruh arena, seolah tak seekor nyamukpun bisa lolos dari jaringan pedangnya. Tapi malam itu murid-murid Hoa-san pay juga dipaksa melihat suatu kenyataan bahwa ketiga orang sesepuh yang dibangga-banggakan itu ternyata belum mampu mengatasi seorang lawan yang tidak bersenjata. Untunglah bahwa secara bisik-bisik murid Hoa-san-pay sudah mendengar bahwa orang bertopeng perunggu itu adalah Te-liong Hiangcu, gembong iblis dari Hwe-liong-pang yang malang-melintang jarang tandingannya dalam rimba persilatan. Dan para murid Hoa-san-pay pun maklum bahwa melawan iblis besar itu para sesepuh mereka memang harus bekerja keras sekali. Di rimba persilatan barangkali hanya beberapa gelintir manusia yang sanggup berhadapan satu lawan satu dengan Te-liong Hiangcu, dan sayang sekali bahwa para sesepuh itu belum terhitung ke dalam yang beberapa gelintir itu, biarpun ilmu mereka cukup disegani pula. Sementara itu Auyang Seng merasa bahwa diapun harus ikut terjun ke gelanggang untuk ikut mempercepat selesainya perkelahian itu. Ia memutuskan bahwa sesepuh tidak usah dibantu, sebab keadaan tidak berbahaya buat mereka. Dengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pengalaman yang bertumpuk-tumpuk dalam diri para sesepuh itu, tidak mudah bagi Te-liong Hiangcu untuk mengalahkan mereka bertiga, betapapun menakutkannya iblis bertopeng perunggu itu. Maka Auyang Seng merasa lebih baik ia menggabungkan tenaganya dengan Beng Ko-yan dan Sebun Him untuk meringkus Tang Kiau-po lebih dulu. Sambil bersuit nyaring seperti seekor elang yang menerkam mangsanya Auyang-seng segera terjun ke gelanggang, tubuhnya melayang dan langsung menikam dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menerkam Kelinci) dengan ujung pedang tertuju ke tenggorokan lawan. Ia tidak merasa malu mengeroyok Ang-mo-coa-ong, sebab Ang-mo-coa-ong bagi Auyang Seng dan saudara-saudaranya masih sebagai murid remaja di Hoa-san-pay, maka Ang-mo-coa-ong sudah memiliki nama besar sebagai tokoh tua golongan hitam dari gunung Thay-san, sehingga derajatnyapun berbeda dengan ketiga pendekar Hoa-san-pay itu. Apalagi kini Ang-mo-coa-ong telah melakukan tindakan yang melanggar kedaulatan Hoa-san-pay dengan cara menerobos masuk sampai ke dalam pusat perguruan itu, sehingga pertempuran-itu adalah pertempuran mempertahankan kehormatan Hoa-san-pay. Namun demikian, Auyang Seng sebagai pendekar terkenal masih enggan juga untuk dituduh melakukan sergapan secara licik, karena itulah sambil menyerang ia mendahului bersuit keras sebagai peringatan kepada lawan akan kedatangannya. Dengan datangnya Auyang Seng ke tengah gelanggang segera terasa bahwa pekerjaan Ang-Mo-coa-ong Tang Kiau-po menjadi lebih berat. Auyang Seng memang seperguruan dengan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, namun tingkatan ilmunya justru jauh di atas kedua saudara seperguruannya itu, berkat ketekunannya dalam menciptakan cara-cara baru untuk berlatih. Dalam usia yang belum mencapai setengah abad Auyang Seng sudah mencapai kematangan ilmu pedang hampir setingkat dengan paman-paman gurunya yang menjadi para sesepuh itu. Maka terjunnya ia ke gelanggang seketika membuat Ang-mo-coa-ong terdesak hebat. "Bagus! Inilah Hoa-san-pay yang hebat itu?" teriak Ang-mo-coa-ong untuk menyindir, "Tokoh-tokohnya yang bernama harum ternyata hanya pandai main keroyok seperti buaya-buaya di daerah-daerah lampu merah!" Ucapan itu memang cukup menyakitkan hati, namun Auyang Seng membalas dengan tajam pula, "Tang Lo-eng-hiong yang terhormat, apakah kau sendiri juga menjaga martabatmu sebagai seorang tokoh angkatan tua, bahkan seorang tokoh angaktan tua sejak jaman aku masih remaja dulu? Malam-malam menyelundup ke sini dan berkelakuan seperti maling ayam?" Tang Kiau-po menggeram tidak menyahut, dengan tangan kanannya ia putar tongkatnya yang berbentuk ular itu untuk menjaga serangan Sebun Siang dan Beng Ko-yan, lalu tangan kirinya dengan telapakan terbuka angsung menghantam kepada Auyang Seng dengan gerakan Se-ceng-pay-hud (Se-ceng Menyembah Buddha). Auyang Seng terkejut ketika melihat pukulan lawan yang ditujukan kepada dirinya itu membawa sambaran angin yang dahsyat sekali, dan telapak tangan Ang-mo-coa-ong itu nampak merah membara. Itulah Ang-se-tok-Jiu (Tangan Beracun Pasir Merah), ilmu andalan Ang-mo-coa-ong sejak puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun yang lalu, dengan ilmunya itu dia berhasil mendudukkan dirinya dalam deretan "sepuluh tokoh sakti sejagad" meskipun hanya pada nomor buncit, yaitu nomor sepuluh. Maka sekarang setelah ilmunya itu disempurnakan secara tekun dengan latihan-latihan keras, tentu saja kedahsyatannya luar biasa. Auyang Seng merasa dadanya sesak dan matanya berkunang-kunang, padahal pukulan lawan belum mengenainya dan baru tekanan anginnya saja. Tidak berani menyambut serangan itu, cepat Auyang Seng meloncat mundur dengan gerak Yan-cu-coan-in (Walet Menerabas Mega). Telapak tangan Ang-mo-coa-ong menghantam pagar batu jembatan kecil itu, dan salah satu bagian dari pagar yang indah dan menjadi kesayangan orang-orang Hoa-san-pay itupun muncrat hancur sebagai pasir yang lembut. Demikian hebatnya pukulan tokoh tua dari gunung Thay-san itu. Tapi Auyang Seng tidak gentar, meskipun ia harus lebih berhati-hati lagi. Selagi lawan sempat mengerahkan kembali tenaga Ang-se-tok-jiunya yang hebat itu, maka pedang perak Auyang Seng tiba-tiba telah berkeredep memenuhi angkasa. Tiba-tiba, saja yang nampak bukan cuma sebatang pedang melainkan berpuluh-puluh pedang yang "mengerumuni Ang-mo-coa-ong dari segala penjuru, membentuk puluhan "kembang perak" yang menghambur mengincar tigapuluh enam buah urat nadi kematian di tubuh Ang-mo-coa-ong. Murid-murid Hoa-san-pay yang berdiri berderet-deret di tepi kolam teratai dengan membawa obor-obor yang diangkat tinggi-tinggi itu ketika melihat gerakan Auyang Seng itu tanpa diperintah telah berteriak kagum serempak. Mereka seolah melihat sebuah "tarian pedang" yang sangat indah, namun mereka juga tahu bahwa paman guru mereka itu bukan sedang menari melainkan sedang memainkan sebuah jurus maut. Dari arah lain Beng Ko-yan dan Se-bun Siang juga menggempur Ang-mo-coa-ong seperti angin ribut. Bagaimanapun tangguhnya Ang-mo-coa-ong namun ia tidak dapat menyelamatkan diri sepenuhnya dari serangan-serangan itu. Pedang Sebun Siang berhasil dipukul ke samping dengan tongkatnya sehingga hampir lepas dari tangan pemiliknya, pedang Beng Ko-yan pun dapat dielakkan dengan beberapa langkah kecil, tapi pedang Auyang Seng yang mencurah seperti hujan itu hanya dapat dielakkan sebagian. Ujung jubahnya tetap saja terbabat putus, rambutnya yang merah itupun terpapas sebagian kecil, bahkan kulit dadanya tergores melintang sehingga berdarah. Hal itu bukan saja menimbulkan rasa pedih di hatinya tapi juga marah sekali. Berpuluh tahun Ang-mo-coa-ong malang-melintang, kini di Hoa-san-pay ia telah mengalami hal yang begitu nemalukan dihadapan begitu banyak orang, apalagi ketika mendengar murid-murid Hoa-san-pay itu bersorak-sorai. Dengan geram Ang-mo-coa-ong mengerahkan Ang-se-tok-jiu ke tangan kirinya dan kembali menghantam Auyang Seng dengan sekuat tenaga. Tapi Auyang Seng biasa berkelahi bukan hanya dengan tenaga juga dengan otaknya, dia tahu bahwa Ang-se-tok-jiu memang hebat namun gerakannya tidak cepat. Dari segi usia juga telah mempengaruhi jalannya pertempuran, Ang-mo-coa-ong yang hampir tigapuluh tahun lebih tua dari Auyang Seng itupun dari kesegaran tubuhnya tentu tidak dapat menandingi Auyang Seng yang masih di bawah empat-puluh lima tahun itu. Kembali pukulan Ang-se-tok-jiunya hanya menghancurkan pagar jembatan, sementara Auyang Seng masih sanggup menghindari seperti seekor burung camar menjauhi hantaman gelombang lautan, dan seperti seekor burung pula ia menyambar lawan dengan ujung-ujung pedangnya. Begitulah terjadi berulangkali, sampai Ang-mo-coa-ong mulai kelihatan kelelahan. Diam-diam Ang-mo-coa-ong mengutuk dalam hati, nasibnya memang kurang beruntung. Auyang Seng seorang diri sebenarnya masih bisa diatasinya, namun karena dia dibantu Sebun Siang dan Beng Ko-yan yang betapapun juga tidak bisa dipandang ringan, maka kewalahan Ang-mo-coa-ong. Ia juga mengumpat empat orang yang ditugaskan untuk mencekik Kiongwan Hok itu kenapa belum juga memperdengarkan isyarat? Apakah orang itu sudah gagal atau bahkan mampus dikekoyok orang-orang Hoa-san-pay? Keheranan yang sama juga muncul di hati Te-liong Hlangcu yang tengah bertempur dengan tiga orang Hoa-san-pay itu. Isyarat yang ditunggunya belum juga terdengar, sementara ia sendiri tidak dapat mengingkari bahwa diapun akan kehabisan tenaga juga jika terus-menerus melawan ketiga pendekar tua itu. Kegelisahan Ang-mo-coa-ong terasa juga oleh Auyang Seng, maka dicobanya untuk secara untung-untungan memecahkan semangat tempur lawannya. Kata Auyang Seng nyaring, “Kau gelisah, Tang Lo-eng-hiong? Kalau kau menunggu rekanmu yang menyamar sebagai hantu tanpa kepala dan ternyata dia adalah Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian, maka Lo-eng-hiong menunggu sia-sia. Orang itu sudah tertawan dan kedoknya sebagai hantu gadungan sudah terlucuti..." Ucapan Auyang Seng itu memang mengejutkan Te-liong Hiangcu maupun Ang-mo-coa-ong isyarat dari Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian itulah yang sedang mereka tunggu dan kini mereka mendengar bahwa Ki Peng-sian sudah tertangkap dan bahkan sudah dilucuti kedoknya, tentu saja tidak berguna meneruskan pertempuran di tempat itu. rencana sudah berantakan dan tidak perlu dilanjutkan lagi. "Mundur!" teriak Te-liong Hiangcu kepada Ang-mo-coa-ong. Tapi untuk mundurpun tidak mudah, sebab Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han, tokoh nomor satu di Hoa-san-pay itupun telah memberi perintah, "Kepung rapat semua jalan keluar!" Murid-murid Hoa-san-pay yang bertebaran di pinggir kolam teratai itu serempak mencabut pedang masing-masing, dan membentuk barisan-barisan kecil yang tiap barisannya terdiri dari enam orang. Itulah barisan Liok-hap-tin, biarpun kepandaian murid-murid itu tidak berarti dibandingkan dengan Ang-mo-coa-ong, apalagi Te-liong Hiangcu, tapi dengan berkelompok enam-enam seperti itu mereka akan menjadi kekuatan yang cukup berarti kalau hanya sekedar untuk menahan jalan lari dari kedua tokoh golongan hitam itu. Namun tanpa disadari oleh orang-orang Hoa-san-pay, bahwa dalam tubuh perguruan mereka sendiri ada seorang musuh dalam selimut, justru seorang yang berkedudukan terhormat sebagai seorang sesepuh perguruan. Nampak Yo Ciong-wan menusuk ke dada Te-liong Hiangcu dengan sebuah gerakan yang amat ceroboh, sehingga Te-liong Hiangcu dengan mudah dapat mengelakkannya. Saat itulah Yo Ciong-wan berbisik "Sanderalah aku, Hiangcu." Te-liong Hiangcu paham betul maksud bisikan Yo Ciong-wan itu. Dengan tangkas ia mencengkeram lengan Yo Ciong-wan yang memegang pedang itu dan langsung memutarnya ke atas, dan tahu-tahu Yo Ciong-wan sudah kena ditelikung dengan leher yang ditempeli pedang miliknya sendiri yang berhasil dirampas Te-liong Hiangcu. Kejadian itu menang mengejutkan orang-orang Hoa-san-pay, dari para sesepuh sampai murid-murid paling rendah tingkatannya. Kiau Bun-han dan Lim Sin sebagai dua sesepuh, merasa heran bahwa Yo Ciong-wan sampai bisa melakukan kecerobohan seperti itu, namun hati mereka yang bersih sama sekali belum menduga bahwa sebenarnya Yong Ciong-wan telah sengaja berbuat demikian untuk memberi kesempatan agar Te-liong Hiangcu Ang-mo-coa-ong dapat keluar. Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka lebih dulu kepala sesepuh kalian ini akan menggelinding ke tanah!" Ancaman itu tentu saja sangat manjur. Tanpa mendapat rintangan apa-apa, Te-liong Hiang-cu meloncat dari pucuk pagoda itu dengan tetap membawa Ciong-wan, diikuti oleh Sambil tertawa menggelegar, Te-liang Hiangcu menekankan pedang ke leher Yo Ciong-wan sambil berteriak, "Jika ada di antara kalian yang berani merintangi jalan mundur kami, maka… Ang-mo-coa-ong yang juga bebas dari lawan-lawannya, meskipun pakaiannya sudah robek-robek kena pedang Auyang Seng. Dengan tetap menempelkan pedang di leher Yo Ciong-wan, Te-liong Hiang-cu berkata lagi, "Sekarang, bebaskan pula temanku yang menyamar sebagal hantu tadi!" Demi keselamatan Yo Ciong-wan maka tidak bisa tidak memang perintah Te-liong Hiangcu itu harus terkabul semuanya. Tak lama kemudian muncullah beberapa murid Hoa-san-pay menggiring Ji-an-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bertubuh kerdil itu dalam keadaan terikat. Namun kemudian di hadapan Te-liong Hiangcu semua ikatannya dibebaskan, dan tubuhnya yahg kecil itu bagaikan terbang meloncat bergabung dengan Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong. Sementara itu, Yo Ciong-wan sendiri pura-pura berteriak penasaran, "Ciang-kun Suheng! Jangan hiraukan keselamatanku, tangkap saja mereka!" Sandiwara yang diimainkannya berhasil dengan baik, Kiau Bun-han dan orang orang Hoa-san-pay lainnya setelah mendengar ucapan itu tentu saja menjadi terharu akan "kegagah-beranian" Yo Ciong-wan, sehingga malahan semakin tidak sampai hati untuk meneruskan pertempuran dengan mengabaikan nyawa sesepuh itu. Dengan demikian, tanpa daya orang-orang Hoa-san-pay yang sekian banyak itu melihat Te-liong Hiangcu, Ang-mo-coa-ong dan Jian-kiam-hui-ci Ki Pang-sian berlalu didepan hidung mereka dengan berlenggang-kangkung, sambil membawa Yo Ciong-wan sebagai "sandera". Kiau Bun-han dan Lim-sin menatap kepergian mereka dengan hati penuh gejolak, Auyang Seng menarik napas dalam-dalam berulangkali karena menyesal bahwa komplotan rahasia yang hampir terbongkar itu tertutup rapat kembali, sementara Sebun Siang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dengan gemasnya. Sementara itu, Yo Ciong-wan yang "tertawan" itu dibawa oleh Te-liong Hi-angcu sampai ke pinggang gunung yang sepi. Disitu barulah dilepaskan dan kata Te-liong Hiangcu, "Bagus sekali sandiwaramu tadi. Kalau tidak, untuk lepas dari pagoda itu tentunya kami harus memeras keringat lebih dahulu. Nah, kembalilah." Yo Ciong-wan mengangguk hormat kepada Te-liong Hiangcu dan menyahut, "Semuanya hanya demi berhasilnya Kui-kiong kita menguasai dunia persilatan, dan mendukung Hiangcu untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Rimba Persilatan)." Te-liong Hiangcu tertawa pendek. "Bagus kalau menyadari itu, seluruh anggota Kui-kiong kita memang harus bekerja sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita bersama kita. Belakangan ini makin banyak penghalang-penghalang yang bermunculan belum lagi si gila Siangkoan Hong berhasil kita bereskan, tahu-tahu sudah muncul pula seorang hweshio kurus yang menggagalkan pekerjaan kita di beberapa tempat, dan menurut dugaan, hwesio kurus itu adalah Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin. Huh!" "Jadi dia muncul kembali?" "Benar. Mulai sekarang, semua langkah-langkah kita harus terpadu agar tidak mudah dicerai-beraikan musuh. Aku sudah kehilangan Sat-jiu-hong-kui Han Kiam-to, Say-ya-jat Tong King-bun dan Hwe-tan Seng Cu-bok yang tewas di medan pertempuran di Tay-tong, dan aku tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Yo Ciong-wan, bulan depan ada pertemuan lengkap seluruh orang-orang kita di Kui-kiong, kau harus hadir.” "Baik, Hiangcu. Dan perlu juga kulaporkan satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Hlangcu.” "Katakan.” "Sejak Auyang Seng pulang ke gunung, maka pikiran orang-orang Hoa-san agaknya mulai terbuka dalam memandang keanehan-keanehan dunia persilatan belakangan ini. Meskipun belum diputuskan secara pasti, tapi agaknya Kiau Suheng sudah punya rencana untuk mengirimkan orang-orang terpercayanya untuk mulai menyelidiki asal-mula hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok. Pihak kita harus bersiap menghadapi langkah-langkah ini." Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya yang tertutup topeng perunggu itu. Ia menggeram dengan suara yang bergulung-gulung dalam perutnya, "Lolosnya Kiongwan Hok yang sudah tahu banyak tentang sarang kita, memang sebuah kesalahan besar yang patut kita sesali, dan lebih patut kita sesali bahwa sampai sekarang ternyata kita belum berhasil membungkam si gila itu. Untunglah dia masih gila sehingga tidak dapat banyak berbicara tentang apa yang diketahuinya tentang Kui-kiong kita." Yo Ciong-wan menundukkan kepalanya, "Aku minta maaf bahwa aku belum berhasil membereskan si gila itu, Hiangcu, sehingga sampai membuat repot Hiangcu sendiri.Namun penjagaan terhadap si gila itu benar-benar ketat. Aku masih belum menemukan cara bagaimana membunuhnya tanpa jejak "menemukan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian yang baru saja mengalami sendiri bagaimana ketatnya penjagaan atas diri Kiongwan Hok itu, juga mengangguk-anggukkan kepalanya yang kecil itu untuk mendukung ucapan Yo Ciong-wan itu. "Sudahlah," kata Te-liong Hiangcu sambil mengibaskan tangannya. "Untuk sementara kita tinggalkan dulu urusan si gila itu, ia tidak berbahaya selama masih gila. Kita akan pusatkan perhatian kita kepada hal-hal yang lebih penting. Ingat pertemuan bulan depan, hubungi semua orang-orang kita." "Baik,Hiangcu," sahut Ang-mo-coa-ong, Ki Peng-sian dan Yo Ciong-wan serempak. "Yo Ciong-wan, kembali ke gunung.” "Baik." Kata sesepuh Hoa-san-pay yang ternyata berkomplot secara diam-diam dengan Te-liong Hiangcu. Te-liong Hiangcu sendiri segera pergi pula dari tempat itu. Hoa-san-pay menjadi sunyi kembali, dan keesokan harinya kegiatanpun berlangsung lagi seperti hari-hari biasanya. Murid-murid yang berlatih di lereng-lereng gunung dengan kaki dibebani gelang besi atau kantong pasir, tetap nampak seperti biasanya, atau yang berlatih ilmu pedang di halaman atau ruang-ruang latihan. Namun di balik suasana yang biasa itu, terasa ada sesuatu yang mencengkam perasaan, kini orang-orang Hoa-san-pay mulai menyadari bahwa persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan murid-muridnya ataupun gilanya Kiongwan Hok bukan persoalan sederhana. Kalau hanya persoalan sederhana, tidak akan Te-liong Hlangcu dan Ang-mo-coa-ong yang termasuk tokoh-tokoh tingkat tinggi golongan hitam itu sampai terpancing keluar untuk urusan itu. Masih ditambah lagi dengan Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay yang bersahabat baik dengan Hoa-san-pay itu.... |
Selanjutnya;
|