Perserikatan Naga Api Jilid 35Karya : Stevanus S.P |
Harga diri Yo Ciong-wan agak tersentuh juga mendengar tawaran bantuan dari murid Su-hengnya itu, namun ia mengerti bahwa Auyang Seng bermaksud baik dan sama sekali tidak sedang menyindirnya, hanya menguatirkan keselamatannya. Yo Ciong-wan juga tahu bahwa kedudukannya yang terdesak itu sudah terlihat oleh orang lain, tidak ada gunanya ditutup-tutupi lagi.
Namun sambil bertempur dia masih juga pura-pura bertanya kepada keponakan muridnya itu, "Bagaimana dengan lawan-lawannya sendiri?" "Sudah ada yang melayani mereka.” "Baik," sahut Yo Ciong-wan dengat hati berat. "Aku mengakui terus terang bahwa si keledai gundul ini agaknya memang berilmu lebih tinggi dari aku, agaknya dia seorang pelarian dari Kuil Siau-lim dari tingkatan yang cukup tinggi. Dia berbahaya jika dibiarkan hidup terus, kita harus membasminya." "Baik, Su-siok!" Kemudian dengan menjulurkan pedangnya, Auyang Seng pun melompat masuk ke tengah gelanggang, langsung melancarkan jurus Jit-seng-cip-hwe (Tujuh Bintang Bersatu-padu). Meskipun muda usianya, namun cukup matang latihan silatnya, sehingga gerakannyapun nampak cepat dan mantap, pegangannya atas gagang pedangnya tak bergoyang sedikitpun, sementara pergelangan tangannya yang lentur dan terlatih kuat itu sanggup menggerakkan ujung pedangnya dalam perubahan- perubahan yang rumit. Melihat hal ini, diam-diam timbul juga rasa kagum Hong-goan Hweshio kepada pendekar muda ini. Demikianlah, kini pertempuran berlangsung satu lawan dua. Hong-goan Hweshio harus lebih banyak lagi mengerahkan kepandaiannya, sebab Auyang Seng benar-benar seorang anak muda yang tangkas dan menguasai baik-baik ilmu pedangnya. Tetapi untuk mendesak rahib suku Hui itu, agaknya paman dan keponakan-muridnya itu masih bermimpi di siang hari bolong. Sementara itu, matahari sudah kian condong ke sebelah barat, namun pertempuran di pinggir hutan itu belum juga selesai. Kedua belah pihak sudah kehilangan beberapa orang teman, yang luka-luka atau yang tewas, dan tidak jarang kedua pihak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum sesat untuk melampiaskan kebencian dan kemarahannya, misalnya membacoki atau menusuk- nusuk berulang kali tubuh lawan yang sudah tidak berdaya, memenggal kepala dan sebagainya. Pihak Hwe-liong-pang yang merasa berang karena salah seorang kawan mereka tadi diperlakukan demikian oleh orang-orang berbaju coklat itu, lalu membalar memperlakukan hal yang sama kepada pihak Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Cong-lam-pay. Kemudian orang pihak ketiga perguruan itupun membalas lebih hebat, lalu Hwe-liong-pang membalas lebih hebat lagi, begitu seterusnya. Nafsu haus darah yang memuakkan telah menyelubungi gelanggang pertempuran. Orang-orang yang bertempur semakin lelah, tapi justru semakin bernafsu mengayunkan senjata mereka, tak ubahnya binatang buas yang tak berperadaban sama sekali. Dengan begitu, agaknya segala kemungkinan untuk mendamaikan kedua belah pihak telah tertutup sama sekali. Satu-satunya penyelesaian sekarang adalah menumpahkan darah lawan! Sambil bertempur, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki juga merasakan dendam kebencian yang menguasai gelanggang itu, dan diam-diam kedua tokoh Hwe-liong- pang itu merasa prihatin. Mereka sadar bahwa mereka benar-benar telah terperangkap oleh pihak Te-liong Hiang-cu yang mengirimkan orang-orang Cong-lam-pay gadungan yang hanya memanaskan suasana saja itu. Kini Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai perguruan benar-benar akan bertempur mati-matian, hancur bersama, dan kemudian Te-liong Hiang-cu serta pengikut-pengikutnyalah yang akan berjaya, menumpas habis kedua pihak yang sama-sama sudah remuk. Kedua orang itu lebih menyesal lagi ketika melihat keempat Tong-cu, Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim, Kwa Teng-siong dan Lu Siong, agaknya juga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan membiarkan diri mereka bertempur dengan dikuasai kemarahan. Sikap keempat orang Tong-cu itu membuat anggota-anggota Hwe-liong-pang yang rendahan jadi bersikap serupa. "Dasar anak-anak muda," keluh Hong-goan Hweshio dalam hati. Kegelapan malam kemudian turun menyelubungi bumi, pertempuran belum berhenti, namun jumlah kedua belah pihak sudah menyusut sampai separo. Pada saat itulah mendadak dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang riuh rendah, terlihat pula berpuluh-puluh obor sedang bergerak ke arah gelanggang pertempuran. Dilihat dari jumlah obor dan suara derap kaki kuda, maka rombongan pendatang itu a gaknya berjumlah duapuluh lima orang lebih. Jumlah yang cukup untuk menggoyahkan keseimbangan pertempuran di pinggir hutan itu. Jika yang datang itu orang-orang dari berbagai perguruan, maka pihak Hwe-liong-pang akan habis tertumpas, sebaliknya jika yang datang itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang, maka orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, dan Cong-lam-pay lah yang akan bernasib buruk. Karena itu, betapapun kemarahan menggelegak di jantung kedua belah pihak, mereka tertarik juga perhatiannya kepada rombongan orang berkuda dari selatan itu. Bahkan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki mengharap kedatangan orang-orang berkuda itu, entah bagaimana caranya, akan meredakan permusuhan kedua belah pihak, meskipun harapan itu tipis sekali. Dan kemudian harapan kedua tokoh Hwe-liong-pang yang mendambakan perdamaian itu telah buyar, bagaikan asap terhembus angin. Sebab terdengar salah seorang anak buah Hwe-liong-pang telah bersorak gembira, "Hee, yang datang itu adalah kawan-kawan kita dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, di bawah pimpinan Tong-cu Kwa Heng dan Ji Tiat." Kedatangan bala bantuan bagi Hwe-liong-pang itu segera mengobarkan semangat tempur orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya telah kelelahan itu. Sebaliknya buat orang-orang Hoa-san-pay dan rombongannya, berita itu ibarat berdentangnya lonceng kematian buat mereka. Orang-orang berseragam cokelat yang mengaku sebagai orang-orang Cong-lam-pay itu. Dan yang telah berhasil memancing benturan antara pihak pendekar dengan pihak Hwe-liong-pang segera mulai saling bertukar isyarat di antara mereka sendiri. Kemudian dengan liciknya mereka lebih dulu meninggalkan medan tempur, menyusup ke dalam hutan-hutan yang mulai disapu malam kelam. Ketika mereka sudah berada di kedalaman hutan, salah seorang dari mereka menggerutu, "Huh, letih juga memerankan sebagai orang Cong-lam-pay. Tapi agaknya kita berhasil, Te-liong Hiang-cu pasti akan memuji hasil kerja kita ini, meskipun kita terpaksa meninggalkan beberapa kawan kita yang luka atau gugur. He, berapa kawan kita yang tertinggal?" Orang-orang berbaju cokelat itu kemudian menghitung kelompok mereka dan ternyata mereka kehilangan sebelas orang kawan mereka. Sementara itu, para jago-jago Hoa-san-pay dan Go-bi-pay agak terlambat menyadari bahwa orang-orang “Cong-lam-pay” ternyata telah lebih dahulu meninggalkan gelanggang tanpa memberitahu apapun, dan membiarkan mereka sendirian. Itu akibat gelapnya malam dan kisruhnya medan pertempuran, sehingga gerak-gerik orang-orang Cong-lam-pay gadungan itu ternyata lepas dari pengamatan kedua pihak yang bertempur. Tapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay ditinggal secara pengecut, keadaan sudah berubah begitu cepat, tempat itu sudah terkurung oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan masih segar, bahkan di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat pula jago-jago tangguh yang sulit dilayani. Dalam keadaan demikian itulah Yo Ciong-wan telah memekikkan perintahnya, "Bertempur sampai titik darah penghabisan demi kejayaan Hoa-san-pay kita. Hidup Hoa-san-pay!" Perintah itu ditaati bukan saja oleh murid-murid Hoa-san-pay, tapi juga oleh murid-murid Go-bi-pay yang merasa senasib, merasa mereka tidak dapat lolos dari tempat itu. Hanya ada jalan kematian buat mereka, namun mereka akan memilih mati setelah bertempur habis-habisan, daripada menyerah mentah-mentah. Dengan demikian rombongan orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu ibarat sekawanan binatang buas yang telah terluka dan terjepit, mereka bertempur dengan kalap karena sadar pasti binasa. Harapan mereka hanyalah agar kematian mereka bisa membawa kawan sebanyak-banyaknya ke lubang kubur. Tetapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu sudah demikian putus-asa, terdengarlah Hong-goan Hweshio berteriak memberikan perintah yang kedengarannya tidak masuk akal bagi orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay maupun bagi orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa bahwa kemenangan sudah ada dalam genggaman mereka. Perintah Hong-goan Hweshio itu adalah, "Buka kepungan! Biarkan mereka pergi!” Mendengar perintah yang "aneh" itu, kedua pihak yang sedang berkutat mati-matian dan penuh dendam kesumat itu, menjadi tertegun dan pertempuran agak mereda. Beberapa orang Hwe-liong-pang telah melompat mundur, menjauhkan diri dari lawan-lawan mereka, namun mereka masih belum membuka kepungan sebab masih meragukan tangkapan telinga mereka. Kenapa Hong-goan Hweshio tidak memerintahkan saja untuk menumpas habis musuh yang sudah terkepung ini? Bukankah mereka telah mencincang teman-teman kami? Bukankah membunuh mereka berarti mengurangi kekuatan mereka dan jika kelak mereka menyerbu Tiau-im-hong kekuatan mereka sudah berkurang? Bukankah begini dan begitu? Tapi perintah Hong-goan Hweshio itu sekali lagi mendengung tegas di udara senja di pinggir hutan itu, bukan sekedar telinga yang salah tangkap, "Biarkan mereka pergi! Semua anggota Hwe-liong-pang, taati perintah Su-cia kalian!" Dengan penuh rasa tidak mengerti, anggota-anggota Hwe-liong-pang itu berloncatan mundur, meskipun tatapan mereka masih saja sepanas bara dan senjata-senjata masih tergenggam erat di tangan mereka. Sedang orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu termangu mangu di tempat mereka pula, mereka pun masih bingung mendengar perintah Hong-goan Hweshio yang rasanya "tidak masuk akal" itu. Dalam kebingungan itulah Yo Ciong wan melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah Hong-goan Hweshio sambil membentak, "Rahib setan, permainan gila apalagi yang sedang kau rencanakan dalam benakmu? Kau kira kami takut mati dan senang dengan pengampunanmu ini? Kami bukan pengecut! Ayo, tumpas kami, bukankah kalian sudah unggul di atas angin dan kami telah tak berdaya?" Lu Siong yang berdarah panas itu telah berkata kepada Hong-goan Hweshio, "Dengar, Su-cia, bukankah mereka malah menantang kita?" "Tutup mulutmu!" bentak Hong-goan Hweshio dengan jengkel kepada Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) itu. Kemudian kepada Yo Ciong-wan dia berkata sambil merangkapkan tangannya, "Yo Tay-hiap (Pendekar Yo) yang perkasa, mustahil kau tidak punya otak atau ketajaman naluri bahwa pertempuran di antara kita ini adalah hasil adu domba pihak ketiga yang ingin melihat kita sama-sama hancur? Coba pikirkanlah, tay-hiap, mudah-mudahan masih ada kejernihan pikiranmu." Yo Ciong-wan tertawa dingin, "Heh, enak saja kau bicara. Kalau benar apa yang kau katakan itu, kenapa kalian bertindak biadab dengan memburu-buru orang-orang Cong-lam-pay seperti memburu binatang saja? Orang-orang Cong-lam-pay itu hanya berlari-lari sedang anak buahmu menunggang kuda dan memburu mereka, sambil memanahi punggung mereka satu persatu dari belakang? Untung orang-orang Cong-lam-pay itu bertemu dengan Kami di sini, sehingga kami babu-membahu melawan anak buahmu yang biadab itu!” Auyang Siau-pa dan Kwa Teng-siong yang memimpin rombongan anggota Hwe-liong-pang yang tadi mengejar orang-orang Cong-lam-pay itu, telah melompat maju dan hendak membantah keterangan Yo Ciong-wan itu. Tapi Hong-goan Hweshio telah menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar kedua Kepala Kelompok itu diam dulu. Kata Hong-goan Hweshio kepada Yo Ciong-wan kemudian, "Yo Tay-hiap, siapakah yang kau maksudkan dengan orang-orang Cong-lam-pay itu? Apakah orang-orang berbaju coklat tadi? Yo Tay-hiap, aku tidak percaya bahwa kau begitu tolol, tidak bisa membedakan murid Cong-lam-pay palsu dan murid Cong-lam-pay yang asli, terutama gaya ilmu pedangnya. Coba pikir, yakinkah kau bahwa mereka orang-orang Cong-lam-pay asli? Kalau ya, alangkah hebatnya kesetia-kawanan mereka, selagi kau dan orang-orang Go-bi-pay terkepung di sini, dia sudah kabur terbirit-birit lebih dulu." Di bawah cahaya obor yang kemerah-merahan, wajah Yo Ciong-wan bertambah merah karena malu, karena dengan ucapan Hong-goan Hweshio itu seakan-akan semua kepicikan dirinya ditelanjangi di depan orang banyak. Namun manusia punya sifat jelek, sifat yang menghinggapi orang-orang terkenal pada umumnya, termasuk Yo Ciong-wan yang termasuk tokoh nomor dua di Hoa-san-pay. Meskipun di dalam hatinya Yo-Ciong-wan merasa juga ada sedikit kebenaran dalam ucapan Hong-goan Hweshio itu, yaitu tentang orang-orang Cong-lam-pay yang mencurigakan itu, namun Yo Ciong-wan tidak sudi mengakui hal itu secara terang-terangan sebab takut kehilangan muka. Kehilangan muka. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang terkenal, begitu takutnya mereka kehilangan muka di depan orang banyak, sehingga untuk menjaga agar hal itu tidak sampai terjadi mereka tidak segan-segan berbuat kotor dan tidak jantan, berbuat apa saja asal tidak kehilangan muka. Apabila yang punya sifat demikian ini adalah seorang Panglima perang, maka sang panglima pun tidak segan-segan mengorbankan banyak nyawa prajurit-prajuritnya, hanya agar dia sendiri tidak kehilangan muka. Jika seharusnya prajuritnya harus mundur karena lawan lebih kuat mereka justru akan memerintahkan tentaranya untuk maju, supaya tidak kehilangan muka! Tentu saja alasan yang disusunnya harus sedemikian rupa sehingga kedengaran sangat masuk akal. Begitu pula yang sedang menghinggapi Yo Ciong-wan saat itu. Alangkah malunya kalau rekan-rekan pendekar dari perguruan lain mengetahui dia demikian tolol, sampai bisa terpancing dan diadu-domba melawan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, dia memutuskan untuk menolak uluran tangan perdamaian dari Hong-goan Hweshio itu, tidak peduli apa yang akan menimpa dirinya dan diri seluruh rombongannya. Perasaan harga dirinya yang tersinggung telah memaksanya untuk menjadi tegas, “Rahib gila, aku tidak percaya omong kosongmu yang tanpa bukti itu. Lebih baik mati daripada hidup karena belas kasihanmu!” Auyang Seng yang berdiri di samping paman gurunya itupun telah menyambut seruan itu dengan sangat bersemangat, “Benar, Su-siok! Kami semua rela berkorban untuk meniadakan iblis-iblis Hwe-liong-pang ini dari muka bumi!” Ucapan paman guru dan murid keponakannya dari Hoa-san-pay itu, seketika membuat orang-orang Hwe-liong-pang berteriak-teriak marah, merasa ditantang. Au-yang Siau-pa yang telah menyarungkan golok bulan sabitnya itupun telah mencabut kembali goloknya sambil berseru, “Su-cia! Perintahkan untuk menyerang!” “Bangsat-bangsat munafik bermulut besar yang tidak tahu kebaikan orang!” geram Ji Tiat sambil menggenggam erat-erat sepasang kampak bergagang pendeknya. Hong-goan Hweshio sendiri sebenarnya sangat tersinggung mendengar Yo Ciong-wan dan Auyang Seng yang menganggap pihak Hwe-liong-pang bagaikan orang-orang berpenyakit kusta saja tidak bisa diterima dalam pergaulan masyarakat persilatan. Namun mengingat akan besarnya korban jiwa di kedua pihak apabila pertempuran itu dilanjutkan, maka dia menahan diri, dia masih berkata dengan nada yang disabar-sabarkan, "Pendekar Yo yang perkasa, benarkah kau tidak mau memberi kesempatan kepada akal sehatmu untuk menguasai dirimu? Tidak sadarkah kau bahwa kita hanya diadu-domba?" Si Rahib Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu itu telah menghantamkan toyanya ke tanah, dialah yang menjawab dengan sengit sebelum Yo Ciong-wan menyahut, "Tidak ada pembicaraan lagi dengan kalian, sampah-sampah masyarakat ini! Martabat kami, kaum lurus, akan jatuh jika bicara terlalu banyak dengan orang-orang rendah seperti kalian. Yang terang, kami sudah tahu bahwa desas-desus tentang pihak Te-liong Hiang-cu yang mengadu domba itu sebenarnya adalah karangan kalian sendiri. Kalian hanya bertujuan melengahkan kami, agar kami mau berunding dan menahan senjata, dan kalian berkesempatan membantai kami satu persatu tanpa bisa dituduh, sebab setiap kali kalian akan menunjuk ke pihak Te-liong Hiang-cu sebagai kambing hitam. Namun, kini kami percaya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, meskipun barangkali Tong Wi-siang bertengkar dengan Te-liong Hiang-cu, namun dalam menghadapi kami, kalian tentu bersatu padu!" Muka Hong-goan Hwesio-pun menjadi merah padam oleh tuduhan itu, kesabarannyapun hampir sampai ke batasnya, katanya sambil tertawa sinis, "Wah, hebat benar kalian, kaum pendekar yang bermartabat tinggi, yang begitu suci sehingga tidak pernah melangkah keluar dari menara gading kalian, tidak pernah memberi uluran tangan kepada rakyat jelata tak berdaya yang sebenarnya membutuhkan bantuan kalian! He, para pendekar suci bersih! Apa yang pernah kalian perbuat untuk rakyat, ketika mereka dalam tindasan para pejabat brengsek Pemerintah Beng? Kenapa kalian hanya berpangku tangan saja? Mana darma pendekar kalian? Dan setelah kami, Hwe-liong-pang turun tangan untuk menjawab jeritan orang kecil, kenapa kalian malah berani dan memusuhi kepada kami?" "Aku tidak peduli! Aku tidak akan mengadu lidah dengan kalian!" teriak rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, itu. Dengan beringasnya dia melompat maju dan langsung mengayunkan toya perunggunya dengan gerakan Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Atas Kepala), mengarah langsung ke batok kepala Hong-goan Hweshio. Untunglah Hong-goan Hweshio tidak pernah kehilangan kewaspadaan, sehingga ia sempat melompat mundur. Mulai bertempurnya kedua orang yang sama-sama rahib itu, bagaikan aba-aba bagi kedua pihak untuk melanjutkan pertempuran yang sempat diselingi debat seru tadi. Namun pada saat kedua pihak sudah siap mengayunkan senjatanya masing-masing, Hong-goan Hweshio kembali telah mengambil tindakan yang tidak terduga. Ia berteriak, "Tahan!" "Ada apalagi kau, rahib iblis?" bentak Yo Ciong-wan. Hong-goan Hweshio tidak menggubris Yo Ciong-wan, namun ia berseru memerintahkan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, "Semuanya mundur! Bawa teman-teman kita yang tewas dan luka, lalu tinggalkan tempat ini!" "Su-cia, mereka akan mengira kita takut, padahal mereka cuma bisa bicara panjang lebar dengan kata-kata tengik yang memuakkan!" sanggah Lu Siong. "Mereka telah menyerang beberapa anggota kita yang sedang meronda dan mencincang tubuh mereka!" sambung Au-yang Siau-pa penasaran. "Mereka tidak boleh dilepaskan!” seru Oh Yun-kim. “Jalankan perintah!” teriak Hong-goan Hweshio menggelegar, bahkan dalam teriakannya itu dia menggunakan pula ilmu Say-cu-hou-kang (Ilmu Geraman Singa) yang membuat kuping orang-orang yang mendengarnya jadi pekak, tak terkecuali orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak habis mengerti kenapa mereka justru harus melepaskan musuh yang sudah ibarat ikan dalam bambu, musuh yang baru saja bertempur dan saling mencincang dengan pihak mereka. Benar-benar penasaran! Namun para Tong-cu itupun sadar bahwa Hong-goan Hweshio agaknya benar-benar telah marah, sehingga tidak mau dibantah lagi. Apa boleh buat. Dengan perasaan terpaksa, orang-orang Hwe-liong-pang itu mengangkuti tubuh-tubuh kawan-kawan mereka yang luka atau tewas ke atas kuda. Dan dengan terpaksa pula mereka membubarkan kepungan mereka atas orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Namun mata orang-orang Hwe-liong-pang itu masih saja menyala bagaikan api, menatap ke arah orang-orang dari kedua perguruan itu, bahkan tatapan mata yang demikian itu rasa-rasanya lebih tajam dari tusukan senjata. Menyaksikan hal demikian, diam-diam Hong-goan Hweshio menarik napas dalam-dalam, ia kuatir bahwa apa yang selama ini berusaha dihindarinya ternyata akan terjadi juga. Dendam di kedua pihak sudah sulit untuk dipadamkan, meskipun lahiriahnya mereka sudah menyarungkan senjata dan tidak bertempur lagi. Sementara itu, murid-murid dari kedua perguruan itu, terutama yang baru kali ini turun gunung, diam-diam merasa lega juga dalam hati karena pertempuran tidak dilanjutkan, meskipun belum berarti permusuhan sudah selesai. Paling tidak malam ini mereka masih hidup, tidak bernasib seperti teman-teman seperguruan mereka yang bergeletakan di pinggir hutan itu. Tadinya, murid-murid itu lega sekali ketika di perguruan masing-masing mereka mendengar bahwa mereka terpilih untuk ikut dengan guru-guru atau paman-paman guru mereka untuk pergi ke Siong-san guna "menegakkan keadilan, membasmi kaum Iblis". Mereka bangga sekali. Namun setelah pertempuran di Siong-san, dan mereka menghayati sendiri betapa buas dan kejamnya pertempuran melawan anak buah Te-liong Hiang-cu itu mereka mulai menyadari bahwa pertempuran yang sebenarnya ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan, ketika mereka sedang berlatih dengan saudara seperguruan mereka dengan menggunakan pedang-pedang bambu. Jauh lebih buruk dan kasar. Di situ yang diuji bukan hanya ketrampilan memainkan senjata tetapi juga ketahanan jiwa yang kadang-kadang hampir tak tertahan. Namun sudah terlambat untuk mengundurkan diri, sebab mereka telah terikat dalam satu barisan besar di bawah pimpinan Hong-tay Hweshio untuk menyerbu Tiau-im-hong. Dan murid-murid yang belum pernah mengalami pertempuran sebenarnya itu telah menjadi ngeri ketika melihat buasnya perkelahian antara orang-orang dunia persilatan. Baru pertempuran-pertempuran kecil-kecilan melawan orang-orang Hwe-liong-pang saja sudah begitu banyak korban yang jatuh, entah berapa puluh kali lipat pertempuran di Tiau-im-hong kelak? Sebaliknya Yo Ciong-wan diam-diam telah menikmati kebanggaannya sendiri. Bukankah dia telah menunjukkan sikap "jantan" yang luar biasa, meskipun dengan membahayakan nyawa murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay? Andaikata kelak murid-murid kedua perguruan yang menyaksikan "kejantanannya" itu menceritakan kepada orang lain, bukankah namanya akan terkenal dan semakin dikagumi orang? Perasaan semacam inilah yang telah membuahkan tekad dalam hati Yo Ciong-wan bahwa perdamaian yang sedang dirintis oleh Hong-tay Hweshio itu harus digagalkan. Harus dlgagalkan! Tidak permusuhan harus diteruskan. Bukan karena Yo Ciong-wan yakin pihak Hwe-liong-pang itu jahat dan harus dihancurkan, melainkan hanya sekedar supaya terjadi pertempuran. Itu saja alasannya. Dalam masa damai ia tidak akan berkesempatan mempertunjukkan keterampilan ilmu pedangnya, tidak sempat memamerkan keberaniannya dan ke-“jantan”-annya, karena itu harus ada pertempuran. Tidak peduli berapapun korban yang harus jatuh di kedua pihak, perdamaian harus gagal! Supaya nama Yo Ciong-wan si Pedang Pemburu Bintang semakin terangkat naik, bukan sekedar menjadi bayangan dari nama kakak seperguruannya Pat-hong-kiam-khek Kiau Bun-han. Alangkah bangganya menjadi orang terkenal... |
Selanjutnya;
|