Perserikatan Naga Api Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 35

Karya : Stevanus S.P
“KEDUA pendekar itu seperti orang gila saja, maafkan ucapanku ini, tapi itu memang betul. Mereka tidak bisa diajak bicara lagi, dengan ngotot menuduh Ketua Hwe-liong-pang kami telah membunuh beberapa murid mereka dan bahkan katanya melukai Kiau Bun-han. Bukankah ini tuduhan gila? Siapapun anggota Hwe-liong-pang tahu bahwa Ketua kami tengah menutup diri beberapa hari di sanggar semedinya untuk menyembuhkan luka dan meningkatkan ilmu, dan siapapun tahu bahwa justru Ketua kami inilah yang menghendaki perdamaian, buat apa dia keluyuran sampai ke Bu-sian-tin, seperti yang dituduhkan oleh Kiau Bun-han, untuk melukai orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay?"

Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang sedari tadi menahan diri itu, mulai berbicara pula, "Yang lebih gila lagi, mereka menuduh Pang-cu kami merampas makanan dari para pengungsi. Benar-benar tuduhan yang sangat hina, memanaskan hati kami saja!"

Lu Siong sebenarnya masih ingin berkata keras lebih banyak lagi, tetapi Hong-goan Hweshio telah menoleh ke arahnya dan memberi isyarat agar diam. Kemudian Hong-goan Hweshiolah yang berbicara, "Suheng, karena menyadari bahwa ada pihak ketiga yang akan mengambil keuntungan dari hubungan buruk pihak-pihak kita, maka kami pihak Hwe-liong-pang telah menahan diri sedapat mungkin, dan bahkan Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong sebagai pejabat Ketua telah mengutus kami menemuimu agar dapat memecahkan persoalan ini sebaik-baiknya. Tapi Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio semakin keterlaluan. Dalam waktu dua hari saja mereka telah menewaskan tujuh orang anggota kami. Betapapun sabarnya kami, betapapun inginnya kami akan perdamaian, namun apakah kami harus membiarkan saja anak buah kami dihabiskan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio? Suheng, kami mohon penjelasan!"

"Penjelasan saja tidak cukup!" tiba-tiba Lu Siong yang penasaran itu menimbrung lagi, lupa kepada pesan Hong-goan Hweshio agar jangan ikut bicara. "Apakah dengan penjelasan saja kematian penasaran anggota-anggota kita itu bisa terbalas? Hong-tay Hweshio sebagai Pemimpin Umum kaum pendekar, haruslah menangkap Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio untuk diserahkan kepada kami dan dihukum. Tanpa tindakan itu, sulitlah kita bicara tentang perdamaian lagi!"

Para tokoh di pihak Hong-tay Hweshio nampak serba salah. Mereka sudah mendengar laporan si pengemis pembawa berita itu, tentang tingkah laku rekan mereka dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu. Dan kini orang-orang Hwe-liong-pang sendiri datang menuntut keadilan. Sementara Hong-tay Hweshio masih saja berkerut kening, menyesalkan tindakan rekan-rekannya sendiri yang terlalu gegabah, Hong-goan Hweshio telah mendesak lagi,

"Suheng, keputusan harus cepat diambil. Kalau tidak, korban tak bersalah akan berjatuhan lagi di pihak kami, dan saat itu pihak kami mungkin akan tidak dapat menahan diri lagi. Kami tidak dapat tinggal diam sementara orang-orang kami dibunuh tanpa tahu jelas persoalannya."

Dalam keadaan terdesak semacam itu, Hong-tay Hweshio akhirnya mengambil keputusan, "Aku sendiri akan ke Jing-toh untuk menemui Ketua Kiau dan Thian-goan Hweshio, secepat-cepatnya. Aku akan minta keterangan langsung dari mereka dan memutuskan tindakan berikutnya."

Kemudian kepada rekan-rekannya dari Cong-lam-pay, Jing-sia-pay dan Khong-tong-pay yang tadi telah diperintahkannya untuk pergi ke Jing-toh, Hong-tay Hweshio berkata, "Ternyata aku sendiri yang harus berangkat kesana. Bukannya aku meragukan kemampuan saudara-saudara untuk mengatasi masalah ini, tetapi aku kira Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio akan lebih mudah dijinakkan jika aku sendiri kesana."

"Biarlah kami menuju ke sana bersama Tay-su," sahut Tiat-sim Tojin, Cia Hok-tiang dan Kongsun Tiau.

Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, lalu kepada rombongan Hong-goan Hweshio ia bertanya, "Kalian akan pulang ke Tiau-im-hong atau ikut kami ke Jing-toh?"

"Lebih baik kami pulang dulu untuk melaporkan hasil perjalanan kami ini kepada Pejabat Ketua. Setelah itu barulah kami menunggu bagaimana keputusan Suheng tentang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio itu."

"Kami akan berangkat ke Jing-toh sekarang juga."

"Baiklah, Suheng, kalau begitu kamipun mohon pamit untuk kembali ke Tiau-im-hong. Mudah-mudahan keputusan Suheng dalam hal ini akan cukup adil dan memuaskan semua pihak."

Maka rombongan Hong-goan Hweshio itupun meninggalkan rumah Ko Gi-ceng, sementara Hong-tay Hweshio dan rombongannya juga bersiap-siap untuk berangkat ke Jing-toh.

* * * * * * *

BEGITU keluar dari pintu gerbang kota Lam-tiong, maka Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya cepat-cepat memacu kuda-kuda tunggangan mereka ke Tiau-im-hong kembali. Mereka merasa gelisah oleh keadaan yang semakin tak menentu, dan ingin segera melaporkannya kepada Siangkoan Hong yang menjabat sebagai Ketua, sementara Tong Wi-siang "menutup diri di sanggar semedi".

Meskipun pembicaraan dengan pihak pendekar yang diwakili oleh Hong-tay Hweshio itu tidak terlalu memuaskan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun merekapun berusaha untuk dapat memaklumi sikap Hong- tay Hweshio itu. Tentu saja rahib tua Siau-lim-pay yang kini berkedudukan sebagai beng-cu dari kaum pendekar itu tidak dapat langsung menentukan tindakan tertentu kepada Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, hanya berdasar laporan utusan Hwe-liong-pang saja, namun tentu harus membuktikan sendiri.

Lagipula Hoa-san-pay dan Go-bi-pay adalah perguruan yang bebas merdeka dan tidak diperintah oleh siapa-siapa, beradanya mereka dalam satu barisan yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu bukan berarti tunduk sepenuhnya, namun terikat oleh setia kawan sesama pendekar, jadi lain hubungannya dengan umpamanya Markas Pusat Hwe-liong-pang dengan markas- markas cabangnya.

Oleh karena pengertian itulah maka Hong-goan Hweshio pun tidak terlalu kecewa dengan hasil pembicaraannya dengan bekas kakak seperguruannya itu, yang dicemaskannya adalah apabila orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay tidak dapat mengendalikan dirinya, bahkan mungkin mereka akan menentang pula perintah Hong-tay Hweshio sebagai Beng-cu, jika demikian haruskah Hwe-liong-pang pasrah saja orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu mengobrak-abrik Tiau-im-hong?

Benar-benar suatu kebetulan, bahwa apa yang dicemaskan oleh Hong-goan Hweshio ternyata telah terbentang di depan mata. Ketika utusan-utusan Hwe-liong-pang itu sudah jauh meninggalkan kota Lam-tiong dan mulai menapak di daerah yang sepi, tiba-tiba dari arah depan nampak dua orang penunggang kuda berpacu ke arah mereka, kedua penunggang kuda itu tertelungkup di atas punggung kudanya, seakan-akan mereka tidak kuat lagi untuk duduk tegak. Mereka berpakaian hitam, berikat kepala hitam pula. Sekali pandang saja jelaslah bahwa mereka adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang dari Kelompok Bendera Hitam.

"Mereka anggota-anggota kita, agaknya terluka!" seru Lu Siong terkejut. "Hayo kita tolong mereka!”

Hampir saja Lu Siong memajukan kudanya untuk menyongsong kedua orang penunggang kuda dari depan itu, tapi Ling Thian-ki cepat menahannya dengan jalan memegang tali kendali kuda Lu Siong, sambil berkata memperingatkan, "Hati-hati Lu Tong-cu yang kau maksud Hwe-liong-pang itu Hwe-liong-pang yang mana?"

Barulah Lu Siong sadar, bahwa di daerah itu berkeliaran pula anak buah Te-liong Hiang-cu yang berseragam sama dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong, bahkan anak buah Te-liong Hiang-cu itu menyebut diri mereka Hwe-liong-pang pula. Diam-diam Lu Siong mengutuk kecerobohannya sendiri, untunglah Ling Thian-ki mencegahnya, kalau tidak alangkah gampangnya menjebak orang sepolos Lu Siong.

Kedua penunggang kuda yang dari depan itu menurunkan kecepatan kudanya ketika hampir berpapasan dengan utusan-utusan Hwe-liong-pang itu. Sesaat keduanya terkejut melihat Hong-goan Hweshio dan rombongannya, air muka mereka nampak aneh. Namun salah seorang dari kedua penunggang kuda itu nampaknya cukup cepat berpikir, cepat-cepat ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat kepada Hong-goan Hweshio, dan berkata,

"Salam kepada kedua Su-cia (utusan) serta dua... dua Tong-cu. Hamba berdua dari Hek-ki-tong, saat ini Tong-cu hamba serta Hu-tong-cu dan beberapa orang saudara telah bertempur di pinggir hutan sana melawan bangsat-bangsat munafik dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay serta beberapa perguruan lainnya. Mohon bantuan Su-cia sekalian!"

Hong-goan Hweshio dan lain-lainnya terkejut mendengar laporan itu, sehingga mereka kurang memperhatikan perubahan airmuka kedua orang berseragam Hwe-liong-pang yang tidak wajar itu. Dengan tergesa-gesa Hong-goan Hweshio berempat segera memacu kudanya ke arah yang ditunjukkan oleh kedua orang berkuda berseragam Hwe-liong pang itu. Mereka harus memburu waktu dan melerai pertempuran itu, sebab kalau korban jiwa sudah jatuh di kedua pihak, akan sangat sulitlah untuk memadamkan amarah yang sudah membakar hati.

Setelah Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya tidak terlihat lagi, salah seorang penunggang kuda berseragam Hwe-liong-pang itu tersenyum kepada teman-temannya, sambil berkata, "Gila kau, bagaimana kau tahu bahwa mereka dua orang Su-cia dan dua orang Tong-cu? Kau bicara seperti sudah mengenal mereka saja."

Kedua penunggang kuda itu sama-sama peringas-peringis, lalu kata si penunggang kuda yang bertanya-jawab dengan Hong-goan Hweshio tadi, "Mudah saja ciri-ciri dua orang Su-cia yang masih setia kepada si tolol Tong Wi-siang itu. Yang seorang berpakaian pendeta, bertubuh pendek kekar dan bertampang suku Hui, yang seorang lagi bertampang mirip monyet. Nah, aku serampangan saja menerka demikian. Bahkan aku tidak yakin kalau kedua orang yang aku panggil Tong-cu (Kepala Kelompok) itu benar-benar Tong-cu, sebab aku tidak mengenal mereka, aku hanya menyebut saja secara untung-untungan dan ternyata benar."

"Kau memang bernyali besar. Untunglah mereka benar-benar mengira kita adalah anak buah mereka. Tapi andaikata, hanya andaikata, si rahib bermata kucing itu menanyamu, kenapa kita mencari bantuan ke arah kota Lam-tiong dan bukan ke arah Tiau-im-hong? Nah, apa jawabmu?"

"Ya, permainan yang baru saja kita lakukan memang berbahaya, jika salah menjawab mereka akan curiga dan kltapun akan ditangkapnya. Agaknya mereka berempat begitu terburu-buru sehingga tidak sempat memikirkan kelakuan kita yang janggal tadi. Mudah-mudahan saja mereka segera tiba di tempat pertempuran, dan langsung menumpas orang-orang Go-bi-pay dan beberapa perguruan itu, agar permusuhan antara mereka semakin sulit didamaikan."

"Permainan kelompok kita agaknya cukup berhasil, berhasil memancing orang-orang tolol dari Tiau-im-hong itu untuk mengejar kita dan kemudian membenturkan mereka dengan orang-orang Hoa-san-pay dan beberapa perguruan itu. Eh, omong-omong bagaimana nasib teman-teman kita yang menyamar sebagai murid-murid Cong-lam-pay dan Tiam-Jong-pay itu? Mudah-mudahan mereka selamat dan tidak ikut tertumpas oleh orang-orang Tiau-im-hong yang gila itu."

"Sekarang kita akan ke mana?"

"Ke Lam-tiong. Melaporkan tugas kita kepada Te-liong Hiang-cu."

"Ayo kita segera berangkat. Jangan sampai Hweshio gundul dan kawan-kawannya tadi menyadari kejanggalan pada diri kita, dan kemudian mencekik kita." Kedua orang anak buah Te-liong Hiang-cu itupun tergesa-gesa memacu kembali kudanya ke arah kota Lam-tiong.

Sementara itu, Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya agaknya memang tidak sempat memikirkan beberapa sikap janggal dari kedua orang berkuda tadi, meskipun mereka sempat juga sekilas melihatnya. Kini mereka telah digelisahkan oleh berita yang dikatakan orang-orang berkuda tadi, bahwa pihak Hwe-liong-pang telah bertarung dengan orang-orang dari berbagai perguruan, itulah yang harus dicegah. Kalau tidak, percuma saja pembicaraannya dengan Hong-tay hweshio tadi.

Betul juga, tak lama kemudian, di pinggir sebuah hutan, terlihat pertempuran sengit antara dua kelompok orang yang masing-masing berjumlah agak besar. Yang satu pihak adalah orang-orang berseragam hitam yang memakai ikat kepala hitam dan sebagian lagi berikat kepala hijau, sedang pihak lawannya nampaknya ada tiga golongan yang bersatu-padu menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang.

Dari seragamnya saja dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang Hoa-san-pay yang berpakaian kuning, orang-orang Go-bi-pay dengan seragam abu-abunya, dan orang-orang Cong-lam-pay yang berbaju coklat. Jumlah orang-orang dari berbagai perguruan itu hampir lima puluh orang, sedang pihak Hwe-liong-pang hanya tiga puluh orang, karena itulah Hwe-liong-pang nampak terdesak, tapi mereka bertempur dengan gigihnya.

"Gila!" geram Lu Siong. "Entah akibat adu domba atau apapun, aku tidak peduli, tapi kelakuan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus itu benar-benar membuatku muak! Mereka berkelahi tanpa harga diri, seperti sekumpulan buaya darat saja!"

"Benar, mari kita terjun ke arena!" ajak Oh Yun-kim.

"Jangan terbawa nafsu amarah!" cegah Ling Thian-ki. "Kita terjun ke gelanggang tidak untuk bertempur, namun untuk mencoba memisahkan dan mendamaikan mereka. Ayo!"

Keempat ekor kuda itu kemudian berderap mendekati gelanggang pertempuran yang sedang sengit-sengitnya itu. Bahkan nampak ada beberapa sosok tubuh terbaring dan berlumuran darah, dari kedua belah pihak. Ketika keempat kuda yang ditunggangi Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya itu sudah dekat, salah seorang yang berseragam coklat, murid Cong-lam-pay, cepat berteriak,

"Nah, datang lagi segerombolan kawan-kawan dari iblis-iblis ini, yang telah membunuh banyak teman-teman kita di Siong-san dulu! Kita tumpas mereka sekalian!"

Hong-goan Hweshio cepat melompat turun dari kudanya, kemudian sambil mengangkat kedua tangannya tinggi- tinggi, memperlihatkan bahwa dia tidak membawa senjata sepotongpun, dia berteriak-teriak melerai, "Tahan senjata saudara-saudara! Tahan! Dengarkan penjelasanku!"

Tapi salah seorang murid Cong-lam pay telah menyahut seruan itu dengan sengitnya, "Persetan denganmu, bangsat Hwe-liong-pang! Kalian membunuh saudara-saudara kami, dan sekarang menawarkan perdamaian begitu saja? Enak benar!"

Begitulah, setiap kali berbicara, selalu saja orang-orang Cong-lam-pay yang berseragam coklat itu mengingatkan akan terbunuhnya teman-teman mereka, sehingga ucapan itu bagaikan minyak yang disiramkan ke atas api, semakin membakar kemarahan orang-orang Hoa-san-pay dan Go- bi-pay. Dengan demikian sia-sialah usaha Hong-goan Hweshio untuk melerai perkelahian itu.

Pada saat itulah, seorang anggota Hwe-liong-pang yang sudah bertempur sejak tadi, dan agaknya sudah mulai lelah, kakinya tersandung akar pepohonan yang mencuat dari tanah. Dia jatuh tertelungkup, pada saat itulah seorang murid Cong-lam-pay dengan kebencian yang meluap dan sengaja diperlihatkan kepada orang-orang lain, telah menghunjamkan pedangnya ke punggung anggota Hwe-liong-pang itu.

Bukan hanya satu kali, tapi bahkan berkali-kali sampai tubuh anggota Hwe-liong-pang yang sudah tewas itupun masih ditusukinya dengan penuh kebencian, malahan seorang anggota Cong-lam-pay lainnya ikut mencincang tubuh itu.

Rombongan orang-orang Hoa-san-pay dipimpin oleh seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan, berjulukan Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang). Yo Ciong-wan ini jadi mengerutkan alisnya ketika melihat kelakuan murid-murid Cong-lam-pay yang mencincang tubuh lawan yang sudah tak berdaya itu, sehingga iapun berteriak memperingatkan, "Saudara-saudara dari Cong-lam-pay, harap menahan diri sedikit!"

Tapi perbuatan murid-murid Cong-lam-pay yang mirip orang biadab itu telah terlanjur membuat amarah Lu Siong dan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya yang meledak tak terkendali lagi. "Bajingan!" Lu Siong berteriak menggelegak sambil melompat maju, kepalan besinya yang terkenal itu segera diayunkan ke arah murid Cong-lam-pay yang masih saja ingin menusuki tubuh lawannya itu.

Terdengar jeritan ngeri, murid Cong-lam-pay itupun terlempar hampir sepuluh langkah dari tempatnya semula, terbanting dengan kepala berlumuran darah, sebab kepalan Lu Siong yang dahsyat itu telah menghancurkan tulang dahinya. Tentu saja dia mampus di tempat itu juga. Belum habis kejutan yang menimpa orang-orang berbagai perguruan itu terdengar jeritan kematian yang kedua. Rupanya Oh Yun-kim yang sama marahnya dengan Lu Siong itupun juga telah mengambil korbannya pula, murid Cong-lam-pay lainnya yang juga ikut mencincang anggota Hwe-liong-pang itu, telah terkapar di tanah dengan dada remuk karena terkena tendangan orang Korea itu.

Hong-goan Hweshio mengeluh dalam hati. Kedua pihak agaknya benar-benar sudah kerasukan nafsu membunuh, api kemarahan sudah tak dapat dikendalikan lagi, dan inilah agaknya yang dikehendaki oleh Te-liong Hiang-cu. Tiba-tiba timbullah kecurigaan Hong-goan Hweshio kepada orang-orang berseragam coklat Cong-lam-pay itu. Benarkah mereka murid-murid Cong-lam-pay?

Dari tadi, setiap ucapan dan perbuatan orang-orang berbaju cokelat itu cenderung mengobarkan kemarahan teman-temannya sendiri, seakan-akan kuatir kalau teman-temannya mendengarkan seruan Hong-goan Hweshio untuk berhenti bertempur, dan bahkan kelakukan mereka yang mencincang seorang anggota Hwe-liong-pang itu adalah kurang pantas dilakukan oleh seorang murid Cong-lam-pay, yang betapapun adalah sebuah perguruan aliran lurus yang bukan hanya mengajarkan ilmu silat, tapi juga membentuk budi pekerti murid-muridnya.

Apalagi setelah melihat cara orang-orang berbaju coklat itu bertempur, kecurigaan Hong-goan Hweshio semakin menebal. Orang-orang itu memang bersenjata pedang, seperti murid-murid Cong-lam-pay umumnya, namun caranya menggerakkan pedangnya itulah yang sangat kasar, tidak mirip dengan ilmu pedang Cong-lam-pay yang terkenal kelincahannya itu. Tapi harus diakui bahwa dalam kekasarannya, orang-orang berbaju cokelat itu memang cukup berbahaya.

Sayang, pengamatan Hong-goan Hweshio itu tidak akan bisa digunakan untuk melerai pertempuran. Andaikata kedua pihak sadar bahwa mereka telah diadu-domba, namun kemarahan yang sudah menguasai pikiran mereka telah mengeruhkan pula pikiran mereka. Apalagi ketika kemudian terdengar seorang murid Go-bi-pay menjerit, perutnya telah tertembus tombak seorang anggauta Hwe-liong-pang. Di sisi lain, seorang murid Cong-lam-pay terpenggal kepalanya oleh Auyang Siau-pa yang rupanya memimpin rombongan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Korban telah berjatuhan, permusuhan sudah semakin tajam.

"Terlambat," desis Hong-goan Hweshio. "Kita telah terperangkap oleh siasat licik Te-liong Hiang-cu."

Ling Thian-ki yang berdiri termangu-mangu di sampingnya itupun menggeram penuh penyesalan, "Orang-orang yang mengaku dirinya pendekar-pendekar itu benar-benar orang-orang tolol yang tidak dapat berpikir panjang."

"Bukan begitu, saudara Ling, tapi kita semua dan orang-orang berbagai perguruan itu sama tololnya," sahut Hong-goan Hweshio sambil menyeringai kecut. "Ya, sama tololnya."

"Dan sekarang kita harus bagaimana?”

Sahut Hong-goan hweshio, "Aku punya dugaan keras bahwa orang-orang yang berseragam coklat itu, adalah orang-orang Cong-lam-pay palsu. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah si keparat Te-liong Hiang-cu itu. Kita harus menangkap mereka dan memaksa mereka berbicara, barangkali saja pengakuan mereka akan bisa meredakan kemarahan kedua belah pihak."

"Kalau begitu, ayo segera kita kerjakan."

Serempak Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki melompat menerjang ke arah kerumunan orang-orang yang sedang bertempur itu. Sasaran mereka adalah khusus orang-orang berbaju coklat itu. Namun apa daya, kedua belah pihak sudah terlanjur diselubungi oleh kabut kecurigaan yang tebal, sehingga gerakan yang bagaimanapun kecilnya dari satu pihak, akan segera ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh pihak lawannya. Begitu pula tindakan Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki itu mendapat tanggapan bermusuhan dari pihak kaum pendekar.

Tokoh Hoa-san-pay, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, yang sebetulnya sedang bertempur melawan Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) Kwa Teng-siong, sempat pula melihat terjunnya Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki ke tengah gelanggang. Melihat cara melompatnya kedua orang itu, Yo Ciong-wan segera tahu bahwa kedua lawan baru itu berilmu cukup tinggi, apabila tidak segera mendapatkan lawan yang seimbang mereka berdua akan malang-melintang dan membabat murid-murid golongan lurus semudah orang menebas ilalang. Demikian pikiran Yo Ciong-wan yang diselubungi dengan kecurigaan.

Karena itu Yo Ciong-wan tidak akan membiarkan kedua tokoh Hwe-liong-pang itu malang-melintang sesukanya membabati murid-murid berbagai perguruan itu. Betapapun tidak senangnya Yo Ciong-wan melihat keganasan orang-orang Cong-lam-pay tadi, toh Cong-lam-pay tetap sekutu Hoa-san-pay dalam menghadapi Hwe-liong-pang, dan tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi kesulitan. Karena itu, cepat-cepat ia melancarkan tiga jurus pedang secara beruntun In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali) untuk mendesak Kwa Teng-siong. Hek-ki-tong-cu yang senjatanya memang pendek, dan ilmunyapun kalah selapis dari tokoh Hoa-san-pay itu, seketika itu terdesak mundur.

Pada saat itulah Yo Ciong-wan berteriak kepada seorang tokoh Hoa-san-pay lainnya yang bertempur di dekatnya, "Lim Su-te (adik seperguruan she Lim), layani dulu orang ini. Aku akan mencoba membendung si rahib jenggot kuning serta si muka monyet itu!"

Orang yang dipanggil Lim Su-te itu segera melompat menggantikan kedudukan Yo Ciong-wan untuk melawan Kwa Teng-siong, sambil berseru kepada kakak seperguruannya, "Serahkan kepadaku, Su-heng, tapi hati-hatilah dengan si rahib jenggot kuning dan si muka monyet itu! Mereka nampaknya cukup tangguh!"

Waktu itu, Hong-goan Hweshio yang bertangan kosong, karena senjatanya memang sengaja tidak dibawa ketika menemui Hong-tay Hweshio, telah berhasil mendesak seorang murid Cong-lam-pay yang bersenjata pedang, meskipun murid Cong-lam-pay itu nampaknya cukup ulet juga. Maksud Hong-goan Hweshio ingin menangkapnya hidup-hidup dan memaksanya berbicara, siapa yang menyuruh mereka menyamar sebagai murid-murid Cong-lam-pay. Dan rahib suku Hui itu hampir saja berhasil meringkus musuhnya, ketika tiba-tiba sebuah ujung pedang menyelonong ke depan hidungnya, disertai bentakan seseorang,

“Bangsat Hwe-liong-pang, jangan mengganas!”

Hong-goan Hweshio dengan terkejut melompat mundur sambil mengebaskan lengan jubahnya. Tapi Yo Ciong-wan yang berjuluk Pedang Pemburu Bintang itu tidak berhenti pada tusukan pertama. Hong-goan Hweshio melompat mundur, diapun melompat maju dan tikaman kedua dengan gerakan Liu-sing-kan-goat (Bintang Beralih Mengejar Rembulan), ujung pedangnya seolah-olah menjadi kabur karena cepatnya, sekaligus mengincar beberapa buah jalan darah di sekitar dada dan rusuk.

“Bagus! Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!” teriak Hong-goan Hweshio memuji, tapi juga penasaran karena lawannya agaknya ingin merobohkannya cepat-cepat. Tapi kali ini Hong-goan Hweshio sudah siap menghadapi serangan lawannya, lebih dulu ia menghindari tusukan itu dengan siasat Sip-hiong-kiau-hoan-kun (Menarik Dada, Berputar Balik di Tengah Udara).

Kemudian begitu sepasang kakinya menjejak tanah, dia langsung merendahkan badannya dan telapak tangannyapun langsung menggempur dengan Liong-bun-sam-tiap-long (Tiga Gelombang Menggempur Pintu Naga). Menghindar dan membalas menyerang dilakukan hampir bersamaan, hampir tanpa ada selisih waktu sedikitpun, dan kejap berikutnya gelombang pukulan yang dahsyat balik melanda ke arah Yo Ciong-wan.

Tokoh Hoa-san-pay itu terkejut. Sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang ahli memainkan pedang, sebaliknya dalam urusan tenaga dalam ia merasa lebih lemah dari "rahib jenggot Kuning" itu. Karena itu ia tidak berani membentur langsung serangan itu, melainkan melompat ke samping dan kemudian menyerang pula dengan ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat-nya secara bertubi-tubi, untuk mencoba memaksakan suatu jarak pertarungan yang hanya menguntungkan bagi pedangnya tapi tidak menguntungkan bagi lawannya.

Tetapi Hong-goan Hweshiopun bukan anak kemarin sore dalam urusan ilmu silat. Tentu saja ia ingin bergerak dan bertempur dalam iramanya sendiri, bukan mengikuti irama yang diingini musuhnya. Tanpa menunggu musuhnya datang mendekat, dia telah memutar tubuh dan memainkan ilmu pukulan Tay-lek-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa) dari Siau-lim-pay yang hebat. Dalam sekejap saja beberapa kaki di sekitar dirinya telah berjangkit angin pukulan yang hebat, bergemuruhlah ke segala arah, karena kekuatan pukulannya.

Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung. Hoa-san-kiam-hoat melawan Tay-lek-kiam-kong-ciang, pedang lawan telapak tangan. Namun agaknya Yo Ciong-wan harus mengakui kenyataan bahwa lapisan ilmunya masih ada beberapa tingkat di bawah lapisan ilmu lawannya. Meskipun ujung pedangnya masih juga menyambar-nyambar lawannya dengan berbahaya, terutama mengincar jalan-jalan darah penting, namun Yo Ciong-wan merasa napasnya sesak karena tekanan hawa pukulan lawan di sekitar tubuhnya yang seakan-akan menghimpitnya dari segala arah, tidak memberinya keleluasaan bergerak. Agaknya pematangan ilmu pedang Yo Ciong-wan kurang diimbangi dengan pematangan dalamnya.

Jumlah orang-orang dari berbagal perguruan yang memusuhi Hwe-liong-pang itu memang lebih banyak dari orang-orang Hwe-liong-pang, karena ltu di beberapa bagian nampak pertempuran yang berat sebelah, dimana seorang anggota Hwe-liong-pang harus melawan dua atau tiga orang lawan sekaligus. Namun di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu biarpun lebih sedikit nampak beberapa orang-orang berilmu tinggi yang sedikit banyak terasa pengaruhnya bagi keseimbangan pertempuran.

Yang paling menonjol tentu saja Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, kemudian masih ada pula Auyang Siau-pa dengan golok bulan sabitnya yang berputaran dengan garangnya, di samping wakil Auyang Siau-pa yang bernama Yu Ling-hua yang bersenjata sepasang Gun-goa-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) yang sangat tangkas memainkan senjatanya itu, lalu masih ada Kwa Teng-siong yang berjuluk Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) yang begitu gesit, didampingi oleh wakilnya yang tidak gesit namun memiliki pukulan maut Tiat-se-ciang (Pukulan Pasir Besi), yaitu Cu Keng-wan. Sedang Lu Siong dengan kepalan mautnya serta Oh Yun-kim dengan tendangan geledeknya juga tidak dapat diabaikan.

Di pihak murid-murid berbagai perguruan, yang kelihatan paling lihai hanya tiga orang, yaitu Yo Ciong-wan sendiri, adik seperguruannya yang bernama Lim Sin yang tengah sibuk bertempur dengan Kwa Teng-siong, serta seorang Hweshio Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu yang berat, yang saat itu tengah dihadapi oleh Cu Keng-wan dan Yu Ling-hoa.

Hweshio Go-bi-pay ltu memang kelihatan tangguh, toyanya yang berat itu diputar-putar dengan cepatnya bagaikan orang memutar sepotong kayu kering saja, sehingga untuk membendung tandang si banteng Go-bi-pay ini pihak Hwe-liong-pang harus menggabungkan tenaga dari Hek-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Bendera Hitam) dan Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Bendera Hijau) mereka, baru dapat mengimbanginya.

Di samping ketiga jago utama di pihak perguruan lurus itu, masih ada beberapa jago muda yang meskipun tidak setangguh angkatan tuanya, tapi kelihatan cukup berbakat juga dan harus diperhitungkan dalam perimbangan kekuatan secara menyeluruh. Tiga di antaranya jago-jago muda berbakat itu harus bergabung untuk dapat mengimbangi Si Lutung Sakti Berlengan Seribu, Ling Thian-ki, yang bertampang monyet itu. Sedang rekan-rekan mereka yang lain-lainnya terpencar-pencar untuk menghadapi Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim dan Lu Siong.

Dalam beberapa bulan terakhir itu, pada saat keadaan menegang antara berbagai pihak, para Pemimpin Kelompok di Hwe-liong-pang telah mempergiat ilmunya masing-masing, bahkan merekapun saling melengkapi dan saling tukar menukar ilmu andalan mereka, sehingga ilmu silat mereka maju dengan pesat. Hal itu tidak sia-sia dan nampak gunanya dalam pertempuran kali ini. Para Tong-cu itu nampak sangat lihai, bahkan hampir setingkat dengan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki yang merupakan tokoh-tokoh tua.

Misalnya saja Kwa Teng-siong, jika beberapa bulan yang lalu ia disuruh bertempur melawan Lim Sin, tokoh angkatan tua Hoa-san-pay, bahkan adik seperguruan Ketua Hoa-san-pay sendiri, tentu Kwa Teng- siong akan kalah meskipun dalam waktu agak lama, namun kini ternyatalah bahwa hasil latihannya yang sangat berat dalam beberapa bulan terakhir ini telah membuahkan peningkatan ilmu yang membanggakan.

Tidak percuma Kwa Teng-siong setiap pagi melatih kelincahannya dengan cara berlari-lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong, kemudian meningkatkan kelenturan badannya dengan melipat-lipat tubuhnya sendiri ke segala arah, atau berlompatan dan bergelantungan di dahan-dahan pohon, dan sore harinya ia berjam-jam melatih dan mematangkan jurus-jurus silatnya. Dan kini ia menikmati hasilnya. Dengan stemangat berkobar ia mainkan sepasang senjatanya untuk mengimbangi permainan silat tokoh nomor tiga dari Hoa-san-pay, perguruan terkenal di wilayah barat itu.

Sedangkan Lim Sin menjadi benar-benar penasaran, dia memang tidak setenar kedua kakak seperguruannya, Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han ataupun Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, namun Lim Sin memiliki keyakinan juga bahwa dirinya sendiri bukanlah keroco dunia persilatan yang tak berarti, bahkan di Hoa-san-pay sendiri dia merupakan tokoh nomor tiga. Tak terduga hari ini dia harus bertempur seimbang melawan seorang tokoh tak terkenal sama sekali, yang tidak keruan asal-usulnya bahkan cara bertempurnyapun mirip kucing liar yang sebentar-sebentar dibarengi suara mengeong pula.

"Edan, bangsat, entah dari mana datangnya siluman kucing ini, dia mampu mengimbangi ilmuku,” gerutu Lim Sin dalam hatinya. "Agaknya selama ini aku menilai diriku sendiri terlalu tinggi. Jika pulang ke Hoa-san kelak aku harus berlatih lebih keras lagi.”

Yang tidak kalah kecewanya ada lah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, tokoh yang di Hoa-san-pay hanya berada setingkat di bawah Kiau Bun-han itu. Selama lnl la merasa kedudukannya cukup tinggi, meskipun tidak termasuk dalam “Sepuluh Tokoh Sakti” paling tidak ya hanya selapis di bawah ke sepuluh tokoh itu. Namun sekarang ia terbentur kenyataan bahwa seorang rahib suku asing yang sama sekali belum dikenal namanya itu bukan saja mampu melawannya.

Malahan mampu mendesaknya dan terus menerus menghimpitnya dengan angin pukulannya yang dahsyat dan menyesakkan pernapasan. Bahkan ilmu pedang yang dibangga-banggakan itu bagaikan ditekan, dikurung dalam sebuah ruangan tak terlihat, semakin lama gerakannya semakin alot. Lebih mengherankan lagi ialah ketika Yo Ciong-wan melihat lawannya memainkan ilmu silat aliran Siau-lim yang matang dan mahir.

Pikirnya, “Gila, agaknya di Hwe-liong-pang banyak berkumpul jago-jago tangguh dari berbagai perguruan yang telah murtad, dan terbius oleh pesona orang yang menamakan diri Hwe-liong Pang-cu itu. Si jenggot kuning ini rupanya seorang murid murtad dari Siau-lim-pay. Sedang si bangsat gila yang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu (maksudnya Ling-hoa), agaknya adalah murid murtad Kong-tong-pay. Moga-moga tidak ada murid-murid Hoa-san-pay yang menjadi anggota gerombolan iblis ini."

Sambil berpikir macam-macam, Yo Ciong-wanpun semakin terbenam dalam kesulitannya. Untunglah bahwa agaknya Hong-goan Hweshio tidak bermaksud membunuhnya, namun hanya melumpuhkannya hidup-hidup. Jika Hong- goan Hweshio bermaksud jahat, agaknya sudah dari tadi Yo Ciong-wan akan terkapar sebagai mayat.

Pada saat Yo Ciong-wan semakin terdesak itu, tiba-tiba seorang pemuda berbaju kuning, seragam resmi murid-murid Hoa-san-pay, melompat ke dekat gelanggang sambil berseru kepada Yo Ciong-wan, "Su-siok (paman guru), maaf, melawan orang berilmu iblis ini agaknya kita tidak perlu lagi memakai aturan dunia persilatan. Bagaimana kalau aku membantu mempercepat penyelesaian?”

Anak muda itu memiliki ilmu silat yang tidak jelek pula, dia adalah seorang pendekar angkatan muda kebanggaan Hoa-san-pay, bernama Auyang Seng dan di dunia persilatan telah agak dikenal pula dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak), meskipun belum setenar paman-paman gurunya.

Harga diri Yo Ciong-wan agak tersentuh juga mendengar tawaran bantuan dari murid Su-hengnya itu, namun ia mengerti bahwa Auyang Seng bermaksud baik dan sama sekali tidak sedang menyindirnya, hanya menguatirkan keselamatannya. Yo Ciong-wan juga tahu bahwa kedudukannya yang terdesak itu sudah terlihat oleh orang lain, tidak ada gunanya ditutup-tutupi lagi.

Namun sambil bertempur dia masih juga pura-pura bertanya kepada keponakan muridnya itu, "Bagaimana dengan lawan-lawannya sendiri?"

"Sudah ada yang melayani mereka.”

"Baik," sahut Yo Ciong-wan dengat hati berat. "Aku mengakui terus terang bahwa si keledai gundul ini agaknya memang berilmu lebih tinggi dari aku, agaknya dia seorang pelarian dari Kuil Siau-lim dari tingkatan yang cukup tinggi. Dia berbahaya jika dibiarkan hidup terus, kita harus membasminya."

"Baik, Su-siok!" Kemudian dengan menjulurkan pedangnya, Auyang Seng pun melompat masuk ke tengah gelanggang, langsung melancarkan jurus Jit-seng-cip-hwe (Tujuh Bintang Bersatu-padu). Meskipun muda usianya, namun cukup matang latihan silatnya, sehingga gerakannyapun nampak cepat dan mantap, pegangannya atas gagang pedangnya tak bergoyang sedikitpun, sementara pergelangan tangannya yang lentur dan terlatih kuat itu sanggup menggerakkan ujung pedangnya dalam perubahan- perubahan yang rumit. Melihat hal ini, diam-diam timbul juga rasa kagum Hong-goan Hweshio kepada pendekar muda ini.

Demikianlah, kini pertempuran berlangsung satu lawan dua. Hong-goan Hweshio harus lebih banyak lagi mengerahkan kepandaiannya, sebab Auyang Seng benar-benar seorang anak muda yang tangkas dan menguasai baik-baik ilmu pedangnya. Tetapi untuk mendesak rahib suku Hui itu, agaknya paman dan keponakan-muridnya itu masih bermimpi di siang hari bolong.

Sementara itu, matahari sudah kian condong ke sebelah barat, namun pertempuran di pinggir hutan itu belum juga selesai. Kedua belah pihak sudah kehilangan beberapa orang teman, yang luka-luka atau yang tewas, dan tidak jarang kedua pihak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum sesat untuk melampiaskan kebencian dan kemarahannya, misalnya membacoki atau menusuk- nusuk berulang kali tubuh lawan yang sudah tidak berdaya, memenggal kepala dan sebagainya.

Pihak Hwe-liong-pang yang merasa berang karena salah seorang kawan mereka tadi diperlakukan demikian oleh orang-orang berbaju coklat itu, lalu membalar memperlakukan hal yang sama kepada pihak Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Cong-lam-pay. Kemudian orang pihak ketiga perguruan itupun membalas lebih hebat, lalu Hwe-liong-pang membalas lebih hebat lagi, begitu seterusnya. Nafsu haus darah yang memuakkan telah menyelubungi gelanggang pertempuran.

Orang-orang yang bertempur semakin lelah, tapi justru semakin bernafsu mengayunkan senjata mereka, tak ubahnya binatang buas yang tak berperadaban sama sekali. Dengan begitu, agaknya segala kemungkinan untuk mendamaikan kedua belah pihak telah tertutup sama sekali. Satu-satunya penyelesaian sekarang adalah menumpahkan darah lawan!

Sambil bertempur, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki juga merasakan dendam kebencian yang menguasai gelanggang itu, dan diam-diam kedua tokoh Hwe-liong- pang itu merasa prihatin. Mereka sadar bahwa mereka benar-benar telah terperangkap oleh pihak Te-liong Hiang-cu yang mengirimkan orang-orang Cong-lam-pay gadungan yang hanya memanaskan suasana saja itu.

Kini Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai perguruan benar-benar akan bertempur mati-matian, hancur bersama, dan kemudian Te-liong Hiang-cu serta pengikut-pengikutnyalah yang akan berjaya, menumpas habis kedua pihak yang sama-sama sudah remuk.

Kedua orang itu lebih menyesal lagi ketika melihat keempat Tong-cu, Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim, Kwa Teng-siong dan Lu Siong, agaknya juga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan membiarkan diri mereka bertempur dengan dikuasai kemarahan. Sikap keempat orang Tong-cu itu membuat anggota-anggota Hwe-liong-pang yang rendahan jadi bersikap serupa.

"Dasar anak-anak muda," keluh Hong-goan Hweshio dalam hati.

Kegelapan malam kemudian turun menyelubungi bumi, pertempuran belum berhenti, namun jumlah kedua belah pihak sudah menyusut sampai separo. Pada saat itulah mendadak dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang riuh rendah, terlihat pula berpuluh-puluh obor sedang bergerak ke arah gelanggang pertempuran. Dilihat dari jumlah obor dan suara derap kaki kuda, maka rombongan pendatang itu a gaknya berjumlah duapuluh lima orang lebih.

Jumlah yang cukup untuk menggoyahkan keseimbangan pertempuran di pinggir hutan itu. Jika yang datang itu orang-orang dari berbagai perguruan, maka pihak Hwe-liong-pang akan habis tertumpas, sebaliknya jika yang datang itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang, maka orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, dan Cong-lam-pay lah yang akan bernasib buruk.

Karena itu, betapapun kemarahan menggelegak di jantung kedua belah pihak, mereka tertarik juga perhatiannya kepada rombongan orang berkuda dari selatan itu. Bahkan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki mengharap kedatangan orang-orang berkuda itu, entah bagaimana caranya, akan meredakan permusuhan kedua belah pihak, meskipun harapan itu tipis sekali.

Dan kemudian harapan kedua tokoh Hwe-liong-pang yang mendambakan perdamaian itu telah buyar, bagaikan asap terhembus angin. Sebab terdengar salah seorang anak buah Hwe-liong-pang telah bersorak gembira, "Hee, yang datang itu adalah kawan-kawan kita dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, di bawah pimpinan Tong-cu Kwa Heng dan Ji Tiat."

Kedatangan bala bantuan bagi Hwe-liong-pang itu segera mengobarkan semangat tempur orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya telah kelelahan itu. Sebaliknya buat orang-orang Hoa-san-pay dan rombongannya, berita itu ibarat berdentangnya lonceng kematian buat mereka. Orang-orang berseragam cokelat yang mengaku sebagai orang-orang Cong-lam-pay itu.

Dan yang telah berhasil memancing benturan antara pihak pendekar dengan pihak Hwe-liong-pang segera mulai saling bertukar isyarat di antara mereka sendiri. Kemudian dengan liciknya mereka lebih dulu meninggalkan medan tempur, menyusup ke dalam hutan-hutan yang mulai disapu malam kelam.

Ketika mereka sudah berada di kedalaman hutan, salah seorang dari mereka menggerutu, "Huh, letih juga memerankan sebagai orang Cong-lam-pay. Tapi agaknya kita berhasil, Te-liong Hiang-cu pasti akan memuji hasil kerja kita ini, meskipun kita terpaksa meninggalkan beberapa kawan kita yang luka atau gugur. He, berapa kawan kita yang tertinggal?"

Orang-orang berbaju cokelat itu kemudian menghitung kelompok mereka dan ternyata mereka kehilangan sebelas orang kawan mereka.

Sementara itu, para jago-jago Hoa-san-pay dan Go-bi-pay agak terlambat menyadari bahwa orang-orang “Cong-lam-pay” ternyata telah lebih dahulu meninggalkan gelanggang tanpa memberitahu apapun, dan membiarkan mereka sendirian. Itu akibat gelapnya malam dan kisruhnya medan pertempuran, sehingga gerak-gerik orang-orang Cong-lam-pay gadungan itu ternyata lepas dari pengamatan kedua pihak yang bertempur.

Tapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay ditinggal secara pengecut, keadaan sudah berubah begitu cepat, tempat itu sudah terkurung oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan masih segar, bahkan di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat pula jago-jago tangguh yang sulit dilayani. Dalam keadaan demikian itulah Yo Ciong-wan telah memekikkan perintahnya,

"Bertempur sampai titik darah penghabisan demi kejayaan Hoa-san-pay kita. Hidup Hoa-san-pay!"

Perintah itu ditaati bukan saja oleh murid-murid Hoa-san-pay, tapi juga oleh murid-murid Go-bi-pay yang merasa senasib, merasa mereka tidak dapat lolos dari tempat itu. Hanya ada jalan kematian buat mereka, namun mereka akan memilih mati setelah bertempur habis-habisan, daripada menyerah mentah-mentah.

Dengan demikian rombongan orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu ibarat sekawanan binatang buas yang telah terluka dan terjepit, mereka bertempur dengan kalap karena sadar pasti binasa. Harapan mereka hanyalah agar kematian mereka bisa membawa kawan sebanyak-banyaknya ke lubang kubur.

Tetapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu sudah demikian putus-asa, terdengarlah Hong-goan Hweshio berteriak memberikan perintah yang kedengarannya tidak masuk akal bagi orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay maupun bagi orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa bahwa kemenangan sudah ada dalam genggaman mereka. Perintah Hong-goan Hweshio itu adalah, "Buka kepungan! Biarkan mereka pergi!”

Mendengar perintah yang "aneh" itu, kedua pihak yang sedang berkutat mati-matian dan penuh dendam kesumat itu, menjadi tertegun dan pertempuran agak mereda. Beberapa orang Hwe-liong-pang telah melompat mundur, menjauhkan diri dari lawan-lawan mereka, namun mereka masih belum membuka kepungan sebab masih meragukan tangkapan telinga mereka.

Kenapa Hong-goan Hweshio tidak memerintahkan saja untuk menumpas habis musuh yang sudah terkepung ini? Bukankah mereka telah mencincang teman-teman kami? Bukankah membunuh mereka berarti mengurangi kekuatan mereka dan jika kelak mereka menyerbu Tiau-im-hong kekuatan mereka sudah berkurang? Bukankah begini dan begitu?

Tapi perintah Hong-goan Hweshio itu sekali lagi mendengung tegas di udara senja di pinggir hutan itu, bukan sekedar telinga yang salah tangkap, "Biarkan mereka pergi! Semua anggota Hwe-liong-pang, taati perintah Su-cia kalian!"

Dengan penuh rasa tidak mengerti, anggota-anggota Hwe-liong-pang itu berloncatan mundur, meskipun tatapan mereka masih saja sepanas bara dan senjata-senjata masih tergenggam erat di tangan mereka. Sedang orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu termangu mangu di tempat mereka pula, mereka pun masih bingung mendengar perintah Hong-goan Hweshio yang rasanya "tidak masuk akal" itu.

Dalam kebingungan itulah Yo Ciong wan melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah Hong-goan Hweshio sambil membentak, "Rahib setan, permainan gila apalagi yang sedang kau rencanakan dalam benakmu? Kau kira kami takut mati dan senang dengan pengampunanmu ini? Kami bukan pengecut! Ayo, tumpas kami, bukankah kalian sudah unggul di atas angin dan kami telah tak berdaya?"

Lu Siong yang berdarah panas itu telah berkata kepada Hong-goan Hweshio, "Dengar, Su-cia, bukankah mereka malah menantang kita?"

"Tutup mulutmu!" bentak Hong-goan Hweshio dengan jengkel kepada Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) itu. Kemudian kepada Yo Ciong-wan dia berkata sambil merangkapkan tangannya, "Yo Tay-hiap (Pendekar Yo) yang perkasa, mustahil kau tidak punya otak atau ketajaman naluri bahwa pertempuran di antara kita ini adalah hasil adu domba pihak ketiga yang ingin melihat kita sama-sama hancur? Coba pikirkanlah, tay-hiap, mudah-mudahan masih ada kejernihan pikiranmu."

Yo Ciong-wan tertawa dingin, "Heh, enak saja kau bicara. Kalau benar apa yang kau katakan itu, kenapa kalian bertindak biadab dengan memburu-buru orang-orang Cong-lam-pay seperti memburu binatang saja? Orang-orang Cong-lam-pay itu hanya berlari-lari sedang anak buahmu menunggang kuda dan memburu mereka, sambil memanahi punggung mereka satu persatu dari belakang? Untung orang-orang Cong-lam-pay itu bertemu dengan Kami di sini, sehingga kami babu-membahu melawan anak buahmu yang biadab itu!”

Auyang Siau-pa dan Kwa Teng-siong yang memimpin rombongan anggota Hwe-liong-pang yang tadi mengejar orang-orang Cong-lam-pay itu, telah melompat maju dan hendak membantah keterangan Yo Ciong-wan itu. Tapi Hong-goan Hweshio telah menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar kedua Kepala Kelompok itu diam dulu. Kata Hong-goan Hweshio kepada Yo Ciong-wan kemudian,

"Yo Tay-hiap, siapakah yang kau maksudkan dengan orang-orang Cong-lam-pay itu? Apakah orang-orang berbaju coklat tadi? Yo Tay-hiap, aku tidak percaya bahwa kau begitu tolol, tidak bisa membedakan murid Cong-lam-pay palsu dan murid Cong-lam-pay yang asli, terutama gaya ilmu pedangnya. Coba pikir, yakinkah kau bahwa mereka orang-orang Cong-lam-pay asli? Kalau ya, alangkah hebatnya kesetia-kawanan mereka, selagi kau dan orang-orang Go-bi-pay terkepung di sini, dia sudah kabur terbirit-birit lebih dulu."

Di bawah cahaya obor yang kemerah-merahan, wajah Yo Ciong-wan bertambah merah karena malu, karena dengan ucapan Hong-goan Hweshio itu seakan-akan semua kepicikan dirinya ditelanjangi di depan orang banyak. Namun manusia punya sifat jelek, sifat yang menghinggapi orang-orang terkenal pada umumnya, termasuk Yo Ciong-wan yang termasuk tokoh nomor dua di Hoa-san-pay.

Meskipun di dalam hatinya Yo-Ciong-wan merasa juga ada sedikit kebenaran dalam ucapan Hong-goan Hweshio itu, yaitu tentang orang-orang Cong-lam-pay yang mencurigakan itu, namun Yo Ciong-wan tidak sudi mengakui hal itu secara terang-terangan sebab takut kehilangan muka. Kehilangan muka. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang terkenal, begitu takutnya mereka kehilangan muka di depan orang banyak, sehingga untuk menjaga agar hal itu tidak sampai terjadi mereka tidak segan-segan berbuat kotor dan tidak jantan, berbuat apa saja asal tidak kehilangan muka.

Apabila yang punya sifat demikian ini adalah seorang Panglima perang, maka sang panglima pun tidak segan-segan mengorbankan banyak nyawa prajurit-prajuritnya, hanya agar dia sendiri tidak kehilangan muka. Jika seharusnya prajuritnya harus mundur karena lawan lebih kuat mereka justru akan memerintahkan tentaranya untuk maju, supaya tidak kehilangan muka! Tentu saja alasan yang disusunnya harus sedemikian rupa sehingga kedengaran sangat masuk akal.

Begitu pula yang sedang menghinggapi Yo Ciong-wan saat itu. Alangkah malunya kalau rekan-rekan pendekar dari perguruan lain mengetahui dia demikian tolol, sampai bisa terpancing dan diadu-domba melawan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, dia memutuskan untuk menolak uluran tangan perdamaian dari Hong-goan Hweshio itu, tidak peduli apa yang akan menimpa dirinya dan diri seluruh rombongannya. Perasaan harga dirinya yang tersinggung telah memaksanya untuk menjadi tegas,

“Rahib gila, aku tidak percaya omong kosongmu yang tanpa bukti itu. Lebih baik mati daripada hidup karena belas kasihanmu!”

Auyang Seng yang berdiri di samping paman gurunya itupun telah menyambut seruan itu dengan sangat bersemangat, “Benar, Su-siok! Kami semua rela berkorban untuk meniadakan iblis-iblis Hwe-liong-pang ini dari muka bumi!”

Ucapan paman guru dan murid keponakannya dari Hoa-san-pay itu, seketika membuat orang-orang Hwe-liong-pang berteriak-teriak marah, merasa ditantang. Au-yang Siau-pa yang telah menyarungkan golok bulan sabitnya itupun telah mencabut kembali goloknya sambil berseru, “Su-cia! Perintahkan untuk menyerang!”

“Bangsat-bangsat munafik bermulut besar yang tidak tahu kebaikan orang!” geram Ji Tiat sambil menggenggam erat-erat sepasang kampak bergagang pendeknya.

Hong-goan Hweshio sendiri sebenarnya sangat tersinggung mendengar Yo Ciong-wan dan Auyang Seng yang menganggap pihak Hwe-liong-pang bagaikan orang-orang berpenyakit kusta saja tidak bisa diterima dalam pergaulan masyarakat persilatan. Namun mengingat akan besarnya korban jiwa di kedua pihak apabila pertempuran itu dilanjutkan, maka dia menahan diri, dia masih berkata dengan nada yang disabar-sabarkan,

"Pendekar Yo yang perkasa, benarkah kau tidak mau memberi kesempatan kepada akal sehatmu untuk menguasai dirimu? Tidak sadarkah kau bahwa kita hanya diadu-domba?"

Si Rahib Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu itu telah menghantamkan toyanya ke tanah, dialah yang menjawab dengan sengit sebelum Yo Ciong-wan menyahut, "Tidak ada pembicaraan lagi dengan kalian, sampah-sampah masyarakat ini! Martabat kami, kaum lurus, akan jatuh jika bicara terlalu banyak dengan orang-orang rendah seperti kalian. Yang terang, kami sudah tahu bahwa desas-desus tentang pihak Te-liong Hiang-cu yang mengadu domba itu sebenarnya adalah karangan kalian sendiri. Kalian hanya bertujuan melengahkan kami, agar kami mau berunding dan menahan senjata, dan kalian berkesempatan membantai kami satu persatu tanpa bisa dituduh, sebab setiap kali kalian akan menunjuk ke pihak Te-liong Hiang-cu sebagai kambing hitam. Namun, kini kami percaya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, meskipun barangkali Tong Wi-siang bertengkar dengan Te-liong Hiang-cu, namun dalam menghadapi kami, kalian tentu bersatu padu!"

Muka Hong-goan Hwesio-pun menjadi merah padam oleh tuduhan itu, kesabarannyapun hampir sampai ke batasnya, katanya sambil tertawa sinis, "Wah, hebat benar kalian, kaum pendekar yang bermartabat tinggi, yang begitu suci sehingga tidak pernah melangkah keluar dari menara gading kalian, tidak pernah memberi uluran tangan kepada rakyat jelata tak berdaya yang sebenarnya membutuhkan bantuan kalian! He, para pendekar suci bersih! Apa yang pernah kalian perbuat untuk rakyat, ketika mereka dalam tindasan para pejabat brengsek Pemerintah Beng? Kenapa kalian hanya berpangku tangan saja? Mana darma pendekar kalian? Dan setelah kami, Hwe-liong-pang turun tangan untuk menjawab jeritan orang kecil, kenapa kalian malah berani dan memusuhi kepada kami?"

"Aku tidak peduli! Aku tidak akan mengadu lidah dengan kalian!" teriak rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, itu. Dengan beringasnya dia melompat maju dan langsung mengayunkan toya perunggunya dengan gerakan Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Atas Kepala), mengarah langsung ke batok kepala Hong-goan Hweshio. Untunglah Hong-goan Hweshio tidak pernah kehilangan kewaspadaan, sehingga ia sempat melompat mundur.

Mulai bertempurnya kedua orang yang sama-sama rahib itu, bagaikan aba-aba bagi kedua pihak untuk melanjutkan pertempuran yang sempat diselingi debat seru tadi. Namun pada saat kedua pihak sudah siap mengayunkan senjatanya masing-masing, Hong-goan Hweshio kembali telah mengambil tindakan yang tidak terduga. Ia berteriak, "Tahan!"

"Ada apalagi kau, rahib iblis?" bentak Yo Ciong-wan.

Hong-goan Hweshio tidak menggubris Yo Ciong-wan, namun ia berseru memerintahkan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, "Semuanya mundur! Bawa teman-teman kita yang tewas dan luka, lalu tinggalkan tempat ini!"

"Su-cia, mereka akan mengira kita takut, padahal mereka cuma bisa bicara panjang lebar dengan kata-kata tengik yang memuakkan!" sanggah Lu Siong.

"Mereka telah menyerang beberapa anggota kita yang sedang meronda dan mencincang tubuh mereka!" sambung Au-yang Siau-pa penasaran.

"Mereka tidak boleh dilepaskan!” seru Oh Yun-kim.

“Jalankan perintah!” teriak Hong-goan Hweshio menggelegar, bahkan dalam teriakannya itu dia menggunakan pula ilmu Say-cu-hou-kang (Ilmu Geraman Singa) yang membuat kuping orang-orang yang mendengarnya jadi pekak, tak terkecuali orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay.

Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak habis mengerti kenapa mereka justru harus melepaskan musuh yang sudah ibarat ikan dalam bambu, musuh yang baru saja bertempur dan saling mencincang dengan pihak mereka. Benar-benar penasaran! Namun para Tong-cu itupun sadar bahwa Hong-goan Hweshio agaknya benar-benar telah marah, sehingga tidak mau dibantah lagi. Apa boleh buat.

Dengan perasaan terpaksa, orang-orang Hwe-liong-pang itu mengangkuti tubuh-tubuh kawan-kawan mereka yang luka atau tewas ke atas kuda. Dan dengan terpaksa pula mereka membubarkan kepungan mereka atas orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Namun mata orang-orang Hwe-liong-pang itu masih saja menyala bagaikan api, menatap ke arah orang-orang dari kedua perguruan itu, bahkan tatapan mata yang demikian itu rasa-rasanya lebih tajam dari tusukan senjata.

Menyaksikan hal demikian, diam-diam Hong-goan Hweshio menarik napas dalam-dalam, ia kuatir bahwa apa yang selama ini berusaha dihindarinya ternyata akan terjadi juga. Dendam di kedua pihak sudah sulit untuk dipadamkan, meskipun lahiriahnya mereka sudah menyarungkan senjata dan tidak bertempur lagi.

Sementara itu, murid-murid dari kedua perguruan itu, terutama yang baru kali ini turun gunung, diam-diam merasa lega juga dalam hati karena pertempuran tidak dilanjutkan, meskipun belum berarti permusuhan sudah selesai. Paling tidak malam ini mereka masih hidup, tidak bernasib seperti teman-teman seperguruan mereka yang bergeletakan di pinggir hutan itu. Tadinya, murid-murid itu lega sekali ketika di perguruan masing-masing mereka mendengar bahwa mereka terpilih untuk ikut dengan guru-guru atau paman-paman guru mereka untuk pergi ke Siong-san guna "menegakkan keadilan, membasmi kaum Iblis". Mereka bangga sekali.

Namun setelah pertempuran di Siong-san, dan mereka menghayati sendiri betapa buas dan kejamnya pertempuran melawan anak buah Te-liong Hiang-cu itu mereka mulai menyadari bahwa pertempuran yang sebenarnya ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan, ketika mereka sedang berlatih dengan saudara seperguruan mereka dengan menggunakan pedang-pedang bambu. Jauh lebih buruk dan kasar. Di situ yang diuji bukan hanya ketrampilan memainkan senjata tetapi juga ketahanan jiwa yang kadang-kadang hampir tak tertahan.

Namun sudah terlambat untuk mengundurkan diri, sebab mereka telah terikat dalam satu barisan besar di bawah pimpinan Hong-tay Hweshio untuk menyerbu Tiau-im-hong. Dan murid-murid yang belum pernah mengalami pertempuran sebenarnya itu telah menjadi ngeri ketika melihat buasnya perkelahian antara orang-orang dunia persilatan. Baru pertempuran-pertempuran kecil-kecilan melawan orang-orang Hwe-liong-pang saja sudah begitu banyak korban yang jatuh, entah berapa puluh kali lipat pertempuran di Tiau-im-hong kelak?

Sebaliknya Yo Ciong-wan diam-diam telah menikmati kebanggaannya sendiri. Bukankah dia telah menunjukkan sikap "jantan" yang luar biasa, meskipun dengan membahayakan nyawa murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay? Andaikata kelak murid-murid kedua perguruan yang menyaksikan "kejantanannya" itu menceritakan kepada orang lain, bukankah namanya akan terkenal dan semakin dikagumi orang?

Perasaan semacam inilah yang telah membuahkan tekad dalam hati Yo Ciong-wan bahwa perdamaian yang sedang dirintis oleh Hong-tay Hweshio itu harus digagalkan. Harus dlgagalkan! Tidak permusuhan harus diteruskan. Bukan karena Yo Ciong-wan yakin pihak Hwe-liong-pang itu jahat dan harus dihancurkan, melainkan hanya sekedar supaya terjadi pertempuran. Itu saja alasannya.

Dalam masa damai ia tidak akan berkesempatan mempertunjukkan keterampilan ilmu pedangnya, tidak sempat memamerkan keberaniannya dan ke-“jantan”-annya, karena itu harus ada pertempuran. Tidak peduli berapapun korban yang harus jatuh di kedua pihak, perdamaian harus gagal! Supaya nama Yo Ciong-wan si Pedang Pemburu Bintang semakin terangkat naik, bukan sekedar menjadi bayangan dari nama kakak seperguruannya Pat-hong-kiam-khek Kiau Bun-han. Alangkah bangganya menjadi orang terkenal...
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 35

Perserikatan Naga Api Jilid 35

Karya : Stevanus S.P
“KEDUA pendekar itu seperti orang gila saja, maafkan ucapanku ini, tapi itu memang betul. Mereka tidak bisa diajak bicara lagi, dengan ngotot menuduh Ketua Hwe-liong-pang kami telah membunuh beberapa murid mereka dan bahkan katanya melukai Kiau Bun-han. Bukankah ini tuduhan gila? Siapapun anggota Hwe-liong-pang tahu bahwa Ketua kami tengah menutup diri beberapa hari di sanggar semedinya untuk menyembuhkan luka dan meningkatkan ilmu, dan siapapun tahu bahwa justru Ketua kami inilah yang menghendaki perdamaian, buat apa dia keluyuran sampai ke Bu-sian-tin, seperti yang dituduhkan oleh Kiau Bun-han, untuk melukai orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay?"

Jian-kin-sin-kun Lu Siong yang sedari tadi menahan diri itu, mulai berbicara pula, "Yang lebih gila lagi, mereka menuduh Pang-cu kami merampas makanan dari para pengungsi. Benar-benar tuduhan yang sangat hina, memanaskan hati kami saja!"

Lu Siong sebenarnya masih ingin berkata keras lebih banyak lagi, tetapi Hong-goan Hweshio telah menoleh ke arahnya dan memberi isyarat agar diam. Kemudian Hong-goan Hweshiolah yang berbicara, "Suheng, karena menyadari bahwa ada pihak ketiga yang akan mengambil keuntungan dari hubungan buruk pihak-pihak kita, maka kami pihak Hwe-liong-pang telah menahan diri sedapat mungkin, dan bahkan Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong sebagai pejabat Ketua telah mengutus kami menemuimu agar dapat memecahkan persoalan ini sebaik-baiknya. Tapi Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio semakin keterlaluan. Dalam waktu dua hari saja mereka telah menewaskan tujuh orang anggota kami. Betapapun sabarnya kami, betapapun inginnya kami akan perdamaian, namun apakah kami harus membiarkan saja anak buah kami dihabiskan oleh Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio? Suheng, kami mohon penjelasan!"

"Penjelasan saja tidak cukup!" tiba-tiba Lu Siong yang penasaran itu menimbrung lagi, lupa kepada pesan Hong-goan Hweshio agar jangan ikut bicara. "Apakah dengan penjelasan saja kematian penasaran anggota-anggota kita itu bisa terbalas? Hong-tay Hweshio sebagai Pemimpin Umum kaum pendekar, haruslah menangkap Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio untuk diserahkan kepada kami dan dihukum. Tanpa tindakan itu, sulitlah kita bicara tentang perdamaian lagi!"

Para tokoh di pihak Hong-tay Hweshio nampak serba salah. Mereka sudah mendengar laporan si pengemis pembawa berita itu, tentang tingkah laku rekan mereka dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu. Dan kini orang-orang Hwe-liong-pang sendiri datang menuntut keadilan. Sementara Hong-tay Hweshio masih saja berkerut kening, menyesalkan tindakan rekan-rekannya sendiri yang terlalu gegabah, Hong-goan Hweshio telah mendesak lagi,

"Suheng, keputusan harus cepat diambil. Kalau tidak, korban tak bersalah akan berjatuhan lagi di pihak kami, dan saat itu pihak kami mungkin akan tidak dapat menahan diri lagi. Kami tidak dapat tinggal diam sementara orang-orang kami dibunuh tanpa tahu jelas persoalannya."

Dalam keadaan terdesak semacam itu, Hong-tay Hweshio akhirnya mengambil keputusan, "Aku sendiri akan ke Jing-toh untuk menemui Ketua Kiau dan Thian-goan Hweshio, secepat-cepatnya. Aku akan minta keterangan langsung dari mereka dan memutuskan tindakan berikutnya."

Kemudian kepada rekan-rekannya dari Cong-lam-pay, Jing-sia-pay dan Khong-tong-pay yang tadi telah diperintahkannya untuk pergi ke Jing-toh, Hong-tay Hweshio berkata, "Ternyata aku sendiri yang harus berangkat kesana. Bukannya aku meragukan kemampuan saudara-saudara untuk mengatasi masalah ini, tetapi aku kira Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio akan lebih mudah dijinakkan jika aku sendiri kesana."

"Biarlah kami menuju ke sana bersama Tay-su," sahut Tiat-sim Tojin, Cia Hok-tiang dan Kongsun Tiau.

Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, lalu kepada rombongan Hong-goan Hweshio ia bertanya, "Kalian akan pulang ke Tiau-im-hong atau ikut kami ke Jing-toh?"

"Lebih baik kami pulang dulu untuk melaporkan hasil perjalanan kami ini kepada Pejabat Ketua. Setelah itu barulah kami menunggu bagaimana keputusan Suheng tentang Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio itu."

"Kami akan berangkat ke Jing-toh sekarang juga."

"Baiklah, Suheng, kalau begitu kamipun mohon pamit untuk kembali ke Tiau-im-hong. Mudah-mudahan keputusan Suheng dalam hal ini akan cukup adil dan memuaskan semua pihak."

Maka rombongan Hong-goan Hweshio itupun meninggalkan rumah Ko Gi-ceng, sementara Hong-tay Hweshio dan rombongannya juga bersiap-siap untuk berangkat ke Jing-toh.

* * * * * * *

BEGITU keluar dari pintu gerbang kota Lam-tiong, maka Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya cepat-cepat memacu kuda-kuda tunggangan mereka ke Tiau-im-hong kembali. Mereka merasa gelisah oleh keadaan yang semakin tak menentu, dan ingin segera melaporkannya kepada Siangkoan Hong yang menjabat sebagai Ketua, sementara Tong Wi-siang "menutup diri di sanggar semedi".

Meskipun pembicaraan dengan pihak pendekar yang diwakili oleh Hong-tay Hweshio itu tidak terlalu memuaskan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun merekapun berusaha untuk dapat memaklumi sikap Hong- tay Hweshio itu. Tentu saja rahib tua Siau-lim-pay yang kini berkedudukan sebagai beng-cu dari kaum pendekar itu tidak dapat langsung menentukan tindakan tertentu kepada Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, hanya berdasar laporan utusan Hwe-liong-pang saja, namun tentu harus membuktikan sendiri.

Lagipula Hoa-san-pay dan Go-bi-pay adalah perguruan yang bebas merdeka dan tidak diperintah oleh siapa-siapa, beradanya mereka dalam satu barisan yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu bukan berarti tunduk sepenuhnya, namun terikat oleh setia kawan sesama pendekar, jadi lain hubungannya dengan umpamanya Markas Pusat Hwe-liong-pang dengan markas- markas cabangnya.

Oleh karena pengertian itulah maka Hong-goan Hweshio pun tidak terlalu kecewa dengan hasil pembicaraannya dengan bekas kakak seperguruannya itu, yang dicemaskannya adalah apabila orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay tidak dapat mengendalikan dirinya, bahkan mungkin mereka akan menentang pula perintah Hong-tay Hweshio sebagai Beng-cu, jika demikian haruskah Hwe-liong-pang pasrah saja orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu mengobrak-abrik Tiau-im-hong?

Benar-benar suatu kebetulan, bahwa apa yang dicemaskan oleh Hong-goan Hweshio ternyata telah terbentang di depan mata. Ketika utusan-utusan Hwe-liong-pang itu sudah jauh meninggalkan kota Lam-tiong dan mulai menapak di daerah yang sepi, tiba-tiba dari arah depan nampak dua orang penunggang kuda berpacu ke arah mereka, kedua penunggang kuda itu tertelungkup di atas punggung kudanya, seakan-akan mereka tidak kuat lagi untuk duduk tegak. Mereka berpakaian hitam, berikat kepala hitam pula. Sekali pandang saja jelaslah bahwa mereka adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang dari Kelompok Bendera Hitam.

"Mereka anggota-anggota kita, agaknya terluka!" seru Lu Siong terkejut. "Hayo kita tolong mereka!”

Hampir saja Lu Siong memajukan kudanya untuk menyongsong kedua orang penunggang kuda dari depan itu, tapi Ling Thian-ki cepat menahannya dengan jalan memegang tali kendali kuda Lu Siong, sambil berkata memperingatkan, "Hati-hati Lu Tong-cu yang kau maksud Hwe-liong-pang itu Hwe-liong-pang yang mana?"

Barulah Lu Siong sadar, bahwa di daerah itu berkeliaran pula anak buah Te-liong Hiang-cu yang berseragam sama dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong, bahkan anak buah Te-liong Hiang-cu itu menyebut diri mereka Hwe-liong-pang pula. Diam-diam Lu Siong mengutuk kecerobohannya sendiri, untunglah Ling Thian-ki mencegahnya, kalau tidak alangkah gampangnya menjebak orang sepolos Lu Siong.

Kedua penunggang kuda yang dari depan itu menurunkan kecepatan kudanya ketika hampir berpapasan dengan utusan-utusan Hwe-liong-pang itu. Sesaat keduanya terkejut melihat Hong-goan Hweshio dan rombongannya, air muka mereka nampak aneh. Namun salah seorang dari kedua penunggang kuda itu nampaknya cukup cepat berpikir, cepat-cepat ia mengangkat tangannya untuk memberi hormat kepada Hong-goan Hweshio, dan berkata,

"Salam kepada kedua Su-cia (utusan) serta dua... dua Tong-cu. Hamba berdua dari Hek-ki-tong, saat ini Tong-cu hamba serta Hu-tong-cu dan beberapa orang saudara telah bertempur di pinggir hutan sana melawan bangsat-bangsat munafik dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay serta beberapa perguruan lainnya. Mohon bantuan Su-cia sekalian!"

Hong-goan Hweshio dan lain-lainnya terkejut mendengar laporan itu, sehingga mereka kurang memperhatikan perubahan airmuka kedua orang berseragam Hwe-liong-pang yang tidak wajar itu. Dengan tergesa-gesa Hong-goan Hweshio berempat segera memacu kudanya ke arah yang ditunjukkan oleh kedua orang berkuda berseragam Hwe-liong pang itu. Mereka harus memburu waktu dan melerai pertempuran itu, sebab kalau korban jiwa sudah jatuh di kedua pihak, akan sangat sulitlah untuk memadamkan amarah yang sudah membakar hati.

Setelah Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya tidak terlihat lagi, salah seorang penunggang kuda berseragam Hwe-liong-pang itu tersenyum kepada teman-temannya, sambil berkata, "Gila kau, bagaimana kau tahu bahwa mereka dua orang Su-cia dan dua orang Tong-cu? Kau bicara seperti sudah mengenal mereka saja."

Kedua penunggang kuda itu sama-sama peringas-peringis, lalu kata si penunggang kuda yang bertanya-jawab dengan Hong-goan Hweshio tadi, "Mudah saja ciri-ciri dua orang Su-cia yang masih setia kepada si tolol Tong Wi-siang itu. Yang seorang berpakaian pendeta, bertubuh pendek kekar dan bertampang suku Hui, yang seorang lagi bertampang mirip monyet. Nah, aku serampangan saja menerka demikian. Bahkan aku tidak yakin kalau kedua orang yang aku panggil Tong-cu (Kepala Kelompok) itu benar-benar Tong-cu, sebab aku tidak mengenal mereka, aku hanya menyebut saja secara untung-untungan dan ternyata benar."

"Kau memang bernyali besar. Untunglah mereka benar-benar mengira kita adalah anak buah mereka. Tapi andaikata, hanya andaikata, si rahib bermata kucing itu menanyamu, kenapa kita mencari bantuan ke arah kota Lam-tiong dan bukan ke arah Tiau-im-hong? Nah, apa jawabmu?"

"Ya, permainan yang baru saja kita lakukan memang berbahaya, jika salah menjawab mereka akan curiga dan kltapun akan ditangkapnya. Agaknya mereka berempat begitu terburu-buru sehingga tidak sempat memikirkan kelakuan kita yang janggal tadi. Mudah-mudahan saja mereka segera tiba di tempat pertempuran, dan langsung menumpas orang-orang Go-bi-pay dan beberapa perguruan itu, agar permusuhan antara mereka semakin sulit didamaikan."

"Permainan kelompok kita agaknya cukup berhasil, berhasil memancing orang-orang tolol dari Tiau-im-hong itu untuk mengejar kita dan kemudian membenturkan mereka dengan orang-orang Hoa-san-pay dan beberapa perguruan itu. Eh, omong-omong bagaimana nasib teman-teman kita yang menyamar sebagai murid-murid Cong-lam-pay dan Tiam-Jong-pay itu? Mudah-mudahan mereka selamat dan tidak ikut tertumpas oleh orang-orang Tiau-im-hong yang gila itu."

"Sekarang kita akan ke mana?"

"Ke Lam-tiong. Melaporkan tugas kita kepada Te-liong Hiang-cu."

"Ayo kita segera berangkat. Jangan sampai Hweshio gundul dan kawan-kawannya tadi menyadari kejanggalan pada diri kita, dan kemudian mencekik kita." Kedua orang anak buah Te-liong Hiang-cu itupun tergesa-gesa memacu kembali kudanya ke arah kota Lam-tiong.

Sementara itu, Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya agaknya memang tidak sempat memikirkan beberapa sikap janggal dari kedua orang berkuda tadi, meskipun mereka sempat juga sekilas melihatnya. Kini mereka telah digelisahkan oleh berita yang dikatakan orang-orang berkuda tadi, bahwa pihak Hwe-liong-pang telah bertarung dengan orang-orang dari berbagai perguruan, itulah yang harus dicegah. Kalau tidak, percuma saja pembicaraannya dengan Hong-tay hweshio tadi.

Betul juga, tak lama kemudian, di pinggir sebuah hutan, terlihat pertempuran sengit antara dua kelompok orang yang masing-masing berjumlah agak besar. Yang satu pihak adalah orang-orang berseragam hitam yang memakai ikat kepala hitam dan sebagian lagi berikat kepala hijau, sedang pihak lawannya nampaknya ada tiga golongan yang bersatu-padu menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang.

Dari seragamnya saja dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang Hoa-san-pay yang berpakaian kuning, orang-orang Go-bi-pay dengan seragam abu-abunya, dan orang-orang Cong-lam-pay yang berbaju coklat. Jumlah orang-orang dari berbagai perguruan itu hampir lima puluh orang, sedang pihak Hwe-liong-pang hanya tiga puluh orang, karena itulah Hwe-liong-pang nampak terdesak, tapi mereka bertempur dengan gigihnya.

"Gila!" geram Lu Siong. "Entah akibat adu domba atau apapun, aku tidak peduli, tapi kelakuan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus itu benar-benar membuatku muak! Mereka berkelahi tanpa harga diri, seperti sekumpulan buaya darat saja!"

"Benar, mari kita terjun ke arena!" ajak Oh Yun-kim.

"Jangan terbawa nafsu amarah!" cegah Ling Thian-ki. "Kita terjun ke gelanggang tidak untuk bertempur, namun untuk mencoba memisahkan dan mendamaikan mereka. Ayo!"

Keempat ekor kuda itu kemudian berderap mendekati gelanggang pertempuran yang sedang sengit-sengitnya itu. Bahkan nampak ada beberapa sosok tubuh terbaring dan berlumuran darah, dari kedua belah pihak. Ketika keempat kuda yang ditunggangi Hong-goan Hweshio dan kawan-kawannya itu sudah dekat, salah seorang yang berseragam coklat, murid Cong-lam-pay, cepat berteriak,

"Nah, datang lagi segerombolan kawan-kawan dari iblis-iblis ini, yang telah membunuh banyak teman-teman kita di Siong-san dulu! Kita tumpas mereka sekalian!"

Hong-goan Hweshio cepat melompat turun dari kudanya, kemudian sambil mengangkat kedua tangannya tinggi- tinggi, memperlihatkan bahwa dia tidak membawa senjata sepotongpun, dia berteriak-teriak melerai, "Tahan senjata saudara-saudara! Tahan! Dengarkan penjelasanku!"

Tapi salah seorang murid Cong-lam pay telah menyahut seruan itu dengan sengitnya, "Persetan denganmu, bangsat Hwe-liong-pang! Kalian membunuh saudara-saudara kami, dan sekarang menawarkan perdamaian begitu saja? Enak benar!"

Begitulah, setiap kali berbicara, selalu saja orang-orang Cong-lam-pay yang berseragam coklat itu mengingatkan akan terbunuhnya teman-teman mereka, sehingga ucapan itu bagaikan minyak yang disiramkan ke atas api, semakin membakar kemarahan orang-orang Hoa-san-pay dan Go- bi-pay. Dengan demikian sia-sialah usaha Hong-goan Hweshio untuk melerai perkelahian itu.

Pada saat itulah, seorang anggota Hwe-liong-pang yang sudah bertempur sejak tadi, dan agaknya sudah mulai lelah, kakinya tersandung akar pepohonan yang mencuat dari tanah. Dia jatuh tertelungkup, pada saat itulah seorang murid Cong-lam-pay dengan kebencian yang meluap dan sengaja diperlihatkan kepada orang-orang lain, telah menghunjamkan pedangnya ke punggung anggota Hwe-liong-pang itu.

Bukan hanya satu kali, tapi bahkan berkali-kali sampai tubuh anggota Hwe-liong-pang yang sudah tewas itupun masih ditusukinya dengan penuh kebencian, malahan seorang anggota Cong-lam-pay lainnya ikut mencincang tubuh itu.

Rombongan orang-orang Hoa-san-pay dipimpin oleh seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan, berjulukan Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang). Yo Ciong-wan ini jadi mengerutkan alisnya ketika melihat kelakuan murid-murid Cong-lam-pay yang mencincang tubuh lawan yang sudah tak berdaya itu, sehingga iapun berteriak memperingatkan, "Saudara-saudara dari Cong-lam-pay, harap menahan diri sedikit!"

Tapi perbuatan murid-murid Cong-lam-pay yang mirip orang biadab itu telah terlanjur membuat amarah Lu Siong dan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya yang meledak tak terkendali lagi. "Bajingan!" Lu Siong berteriak menggelegak sambil melompat maju, kepalan besinya yang terkenal itu segera diayunkan ke arah murid Cong-lam-pay yang masih saja ingin menusuki tubuh lawannya itu.

Terdengar jeritan ngeri, murid Cong-lam-pay itupun terlempar hampir sepuluh langkah dari tempatnya semula, terbanting dengan kepala berlumuran darah, sebab kepalan Lu Siong yang dahsyat itu telah menghancurkan tulang dahinya. Tentu saja dia mampus di tempat itu juga. Belum habis kejutan yang menimpa orang-orang berbagai perguruan itu terdengar jeritan kematian yang kedua. Rupanya Oh Yun-kim yang sama marahnya dengan Lu Siong itupun juga telah mengambil korbannya pula, murid Cong-lam-pay lainnya yang juga ikut mencincang anggota Hwe-liong-pang itu, telah terkapar di tanah dengan dada remuk karena terkena tendangan orang Korea itu.

Hong-goan Hweshio mengeluh dalam hati. Kedua pihak agaknya benar-benar sudah kerasukan nafsu membunuh, api kemarahan sudah tak dapat dikendalikan lagi, dan inilah agaknya yang dikehendaki oleh Te-liong Hiang-cu. Tiba-tiba timbullah kecurigaan Hong-goan Hweshio kepada orang-orang berseragam coklat Cong-lam-pay itu. Benarkah mereka murid-murid Cong-lam-pay?

Dari tadi, setiap ucapan dan perbuatan orang-orang berbaju cokelat itu cenderung mengobarkan kemarahan teman-temannya sendiri, seakan-akan kuatir kalau teman-temannya mendengarkan seruan Hong-goan Hweshio untuk berhenti bertempur, dan bahkan kelakukan mereka yang mencincang seorang anggota Hwe-liong-pang itu adalah kurang pantas dilakukan oleh seorang murid Cong-lam-pay, yang betapapun adalah sebuah perguruan aliran lurus yang bukan hanya mengajarkan ilmu silat, tapi juga membentuk budi pekerti murid-muridnya.

Apalagi setelah melihat cara orang-orang berbaju coklat itu bertempur, kecurigaan Hong-goan Hweshio semakin menebal. Orang-orang itu memang bersenjata pedang, seperti murid-murid Cong-lam-pay umumnya, namun caranya menggerakkan pedangnya itulah yang sangat kasar, tidak mirip dengan ilmu pedang Cong-lam-pay yang terkenal kelincahannya itu. Tapi harus diakui bahwa dalam kekasarannya, orang-orang berbaju cokelat itu memang cukup berbahaya.

Sayang, pengamatan Hong-goan Hweshio itu tidak akan bisa digunakan untuk melerai pertempuran. Andaikata kedua pihak sadar bahwa mereka telah diadu-domba, namun kemarahan yang sudah menguasai pikiran mereka telah mengeruhkan pula pikiran mereka. Apalagi ketika kemudian terdengar seorang murid Go-bi-pay menjerit, perutnya telah tertembus tombak seorang anggauta Hwe-liong-pang. Di sisi lain, seorang murid Cong-lam-pay terpenggal kepalanya oleh Auyang Siau-pa yang rupanya memimpin rombongan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Korban telah berjatuhan, permusuhan sudah semakin tajam.

"Terlambat," desis Hong-goan Hweshio. "Kita telah terperangkap oleh siasat licik Te-liong Hiang-cu."

Ling Thian-ki yang berdiri termangu-mangu di sampingnya itupun menggeram penuh penyesalan, "Orang-orang yang mengaku dirinya pendekar-pendekar itu benar-benar orang-orang tolol yang tidak dapat berpikir panjang."

"Bukan begitu, saudara Ling, tapi kita semua dan orang-orang berbagai perguruan itu sama tololnya," sahut Hong-goan Hweshio sambil menyeringai kecut. "Ya, sama tololnya."

"Dan sekarang kita harus bagaimana?”

Sahut Hong-goan hweshio, "Aku punya dugaan keras bahwa orang-orang yang berseragam coklat itu, adalah orang-orang Cong-lam-pay palsu. Kemungkinan besar mereka adalah anak buah si keparat Te-liong Hiang-cu itu. Kita harus menangkap mereka dan memaksa mereka berbicara, barangkali saja pengakuan mereka akan bisa meredakan kemarahan kedua belah pihak."

"Kalau begitu, ayo segera kita kerjakan."

Serempak Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki melompat menerjang ke arah kerumunan orang-orang yang sedang bertempur itu. Sasaran mereka adalah khusus orang-orang berbaju coklat itu. Namun apa daya, kedua belah pihak sudah terlanjur diselubungi oleh kabut kecurigaan yang tebal, sehingga gerakan yang bagaimanapun kecilnya dari satu pihak, akan segera ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh pihak lawannya. Begitu pula tindakan Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki itu mendapat tanggapan bermusuhan dari pihak kaum pendekar.

Tokoh Hoa-san-pay, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, yang sebetulnya sedang bertempur melawan Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) Kwa Teng-siong, sempat pula melihat terjunnya Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki ke tengah gelanggang. Melihat cara melompatnya kedua orang itu, Yo Ciong-wan segera tahu bahwa kedua lawan baru itu berilmu cukup tinggi, apabila tidak segera mendapatkan lawan yang seimbang mereka berdua akan malang-melintang dan membabat murid-murid golongan lurus semudah orang menebas ilalang. Demikian pikiran Yo Ciong-wan yang diselubungi dengan kecurigaan.

Karena itu Yo Ciong-wan tidak akan membiarkan kedua tokoh Hwe-liong-pang itu malang-melintang sesukanya membabati murid-murid berbagai perguruan itu. Betapapun tidak senangnya Yo Ciong-wan melihat keganasan orang-orang Cong-lam-pay tadi, toh Cong-lam-pay tetap sekutu Hoa-san-pay dalam menghadapi Hwe-liong-pang, dan tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi kesulitan. Karena itu, cepat-cepat ia melancarkan tiga jurus pedang secara beruntun In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali) untuk mendesak Kwa Teng-siong. Hek-ki-tong-cu yang senjatanya memang pendek, dan ilmunyapun kalah selapis dari tokoh Hoa-san-pay itu, seketika itu terdesak mundur.

Pada saat itulah Yo Ciong-wan berteriak kepada seorang tokoh Hoa-san-pay lainnya yang bertempur di dekatnya, "Lim Su-te (adik seperguruan she Lim), layani dulu orang ini. Aku akan mencoba membendung si rahib jenggot kuning serta si muka monyet itu!"

Orang yang dipanggil Lim Su-te itu segera melompat menggantikan kedudukan Yo Ciong-wan untuk melawan Kwa Teng-siong, sambil berseru kepada kakak seperguruannya, "Serahkan kepadaku, Su-heng, tapi hati-hatilah dengan si rahib jenggot kuning dan si muka monyet itu! Mereka nampaknya cukup tangguh!"

Waktu itu, Hong-goan Hweshio yang bertangan kosong, karena senjatanya memang sengaja tidak dibawa ketika menemui Hong-tay Hweshio, telah berhasil mendesak seorang murid Cong-lam-pay yang bersenjata pedang, meskipun murid Cong-lam-pay itu nampaknya cukup ulet juga. Maksud Hong-goan Hweshio ingin menangkapnya hidup-hidup dan memaksanya berbicara, siapa yang menyuruh mereka menyamar sebagai murid-murid Cong-lam-pay. Dan rahib suku Hui itu hampir saja berhasil meringkus musuhnya, ketika tiba-tiba sebuah ujung pedang menyelonong ke depan hidungnya, disertai bentakan seseorang,

“Bangsat Hwe-liong-pang, jangan mengganas!”

Hong-goan Hweshio dengan terkejut melompat mundur sambil mengebaskan lengan jubahnya. Tapi Yo Ciong-wan yang berjuluk Pedang Pemburu Bintang itu tidak berhenti pada tusukan pertama. Hong-goan Hweshio melompat mundur, diapun melompat maju dan tikaman kedua dengan gerakan Liu-sing-kan-goat (Bintang Beralih Mengejar Rembulan), ujung pedangnya seolah-olah menjadi kabur karena cepatnya, sekaligus mengincar beberapa buah jalan darah di sekitar dada dan rusuk.

“Bagus! Hoa-san-kiam-hoat yang hebat!” teriak Hong-goan Hweshio memuji, tapi juga penasaran karena lawannya agaknya ingin merobohkannya cepat-cepat. Tapi kali ini Hong-goan Hweshio sudah siap menghadapi serangan lawannya, lebih dulu ia menghindari tusukan itu dengan siasat Sip-hiong-kiau-hoan-kun (Menarik Dada, Berputar Balik di Tengah Udara).

Kemudian begitu sepasang kakinya menjejak tanah, dia langsung merendahkan badannya dan telapak tangannyapun langsung menggempur dengan Liong-bun-sam-tiap-long (Tiga Gelombang Menggempur Pintu Naga). Menghindar dan membalas menyerang dilakukan hampir bersamaan, hampir tanpa ada selisih waktu sedikitpun, dan kejap berikutnya gelombang pukulan yang dahsyat balik melanda ke arah Yo Ciong-wan.

Tokoh Hoa-san-pay itu terkejut. Sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang ahli memainkan pedang, sebaliknya dalam urusan tenaga dalam ia merasa lebih lemah dari "rahib jenggot Kuning" itu. Karena itu ia tidak berani membentur langsung serangan itu, melainkan melompat ke samping dan kemudian menyerang pula dengan ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat-nya secara bertubi-tubi, untuk mencoba memaksakan suatu jarak pertarungan yang hanya menguntungkan bagi pedangnya tapi tidak menguntungkan bagi lawannya.

Tetapi Hong-goan Hweshiopun bukan anak kemarin sore dalam urusan ilmu silat. Tentu saja ia ingin bergerak dan bertempur dalam iramanya sendiri, bukan mengikuti irama yang diingini musuhnya. Tanpa menunggu musuhnya datang mendekat, dia telah memutar tubuh dan memainkan ilmu pukulan Tay-lek-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa) dari Siau-lim-pay yang hebat. Dalam sekejap saja beberapa kaki di sekitar dirinya telah berjangkit angin pukulan yang hebat, bergemuruhlah ke segala arah, karena kekuatan pukulannya.

Begitulah kedua tokoh itu telah bertarung. Hoa-san-kiam-hoat melawan Tay-lek-kiam-kong-ciang, pedang lawan telapak tangan. Namun agaknya Yo Ciong-wan harus mengakui kenyataan bahwa lapisan ilmunya masih ada beberapa tingkat di bawah lapisan ilmu lawannya. Meskipun ujung pedangnya masih juga menyambar-nyambar lawannya dengan berbahaya, terutama mengincar jalan-jalan darah penting, namun Yo Ciong-wan merasa napasnya sesak karena tekanan hawa pukulan lawan di sekitar tubuhnya yang seakan-akan menghimpitnya dari segala arah, tidak memberinya keleluasaan bergerak. Agaknya pematangan ilmu pedang Yo Ciong-wan kurang diimbangi dengan pematangan dalamnya.

Jumlah orang-orang dari berbagal perguruan yang memusuhi Hwe-liong-pang itu memang lebih banyak dari orang-orang Hwe-liong-pang, karena ltu di beberapa bagian nampak pertempuran yang berat sebelah, dimana seorang anggota Hwe-liong-pang harus melawan dua atau tiga orang lawan sekaligus. Namun di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu biarpun lebih sedikit nampak beberapa orang-orang berilmu tinggi yang sedikit banyak terasa pengaruhnya bagi keseimbangan pertempuran.

Yang paling menonjol tentu saja Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, kemudian masih ada pula Auyang Siau-pa dengan golok bulan sabitnya yang berputaran dengan garangnya, di samping wakil Auyang Siau-pa yang bernama Yu Ling-hua yang bersenjata sepasang Gun-goa-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) yang sangat tangkas memainkan senjatanya itu, lalu masih ada Kwa Teng-siong yang berjuluk Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam) yang begitu gesit, didampingi oleh wakilnya yang tidak gesit namun memiliki pukulan maut Tiat-se-ciang (Pukulan Pasir Besi), yaitu Cu Keng-wan. Sedang Lu Siong dengan kepalan mautnya serta Oh Yun-kim dengan tendangan geledeknya juga tidak dapat diabaikan.

Di pihak murid-murid berbagai perguruan, yang kelihatan paling lihai hanya tiga orang, yaitu Yo Ciong-wan sendiri, adik seperguruannya yang bernama Lim Sin yang tengah sibuk bertempur dengan Kwa Teng-siong, serta seorang Hweshio Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu yang berat, yang saat itu tengah dihadapi oleh Cu Keng-wan dan Yu Ling-hoa.

Hweshio Go-bi-pay ltu memang kelihatan tangguh, toyanya yang berat itu diputar-putar dengan cepatnya bagaikan orang memutar sepotong kayu kering saja, sehingga untuk membendung tandang si banteng Go-bi-pay ini pihak Hwe-liong-pang harus menggabungkan tenaga dari Hek-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Bendera Hitam) dan Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Bendera Hijau) mereka, baru dapat mengimbanginya.

Di samping ketiga jago utama di pihak perguruan lurus itu, masih ada beberapa jago muda yang meskipun tidak setangguh angkatan tuanya, tapi kelihatan cukup berbakat juga dan harus diperhitungkan dalam perimbangan kekuatan secara menyeluruh. Tiga di antaranya jago-jago muda berbakat itu harus bergabung untuk dapat mengimbangi Si Lutung Sakti Berlengan Seribu, Ling Thian-ki, yang bertampang monyet itu. Sedang rekan-rekan mereka yang lain-lainnya terpencar-pencar untuk menghadapi Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim dan Lu Siong.

Dalam beberapa bulan terakhir itu, pada saat keadaan menegang antara berbagai pihak, para Pemimpin Kelompok di Hwe-liong-pang telah mempergiat ilmunya masing-masing, bahkan merekapun saling melengkapi dan saling tukar menukar ilmu andalan mereka, sehingga ilmu silat mereka maju dengan pesat. Hal itu tidak sia-sia dan nampak gunanya dalam pertempuran kali ini. Para Tong-cu itu nampak sangat lihai, bahkan hampir setingkat dengan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki yang merupakan tokoh-tokoh tua.

Misalnya saja Kwa Teng-siong, jika beberapa bulan yang lalu ia disuruh bertempur melawan Lim Sin, tokoh angkatan tua Hoa-san-pay, bahkan adik seperguruan Ketua Hoa-san-pay sendiri, tentu Kwa Teng- siong akan kalah meskipun dalam waktu agak lama, namun kini ternyatalah bahwa hasil latihannya yang sangat berat dalam beberapa bulan terakhir ini telah membuahkan peningkatan ilmu yang membanggakan.

Tidak percuma Kwa Teng-siong setiap pagi melatih kelincahannya dengan cara berlari-lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong, kemudian meningkatkan kelenturan badannya dengan melipat-lipat tubuhnya sendiri ke segala arah, atau berlompatan dan bergelantungan di dahan-dahan pohon, dan sore harinya ia berjam-jam melatih dan mematangkan jurus-jurus silatnya. Dan kini ia menikmati hasilnya. Dengan stemangat berkobar ia mainkan sepasang senjatanya untuk mengimbangi permainan silat tokoh nomor tiga dari Hoa-san-pay, perguruan terkenal di wilayah barat itu.

Sedangkan Lim Sin menjadi benar-benar penasaran, dia memang tidak setenar kedua kakak seperguruannya, Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han ataupun Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, namun Lim Sin memiliki keyakinan juga bahwa dirinya sendiri bukanlah keroco dunia persilatan yang tak berarti, bahkan di Hoa-san-pay sendiri dia merupakan tokoh nomor tiga. Tak terduga hari ini dia harus bertempur seimbang melawan seorang tokoh tak terkenal sama sekali, yang tidak keruan asal-usulnya bahkan cara bertempurnyapun mirip kucing liar yang sebentar-sebentar dibarengi suara mengeong pula.

"Edan, bangsat, entah dari mana datangnya siluman kucing ini, dia mampu mengimbangi ilmuku,” gerutu Lim Sin dalam hatinya. "Agaknya selama ini aku menilai diriku sendiri terlalu tinggi. Jika pulang ke Hoa-san kelak aku harus berlatih lebih keras lagi.”

Yang tidak kalah kecewanya ada lah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan, tokoh yang di Hoa-san-pay hanya berada setingkat di bawah Kiau Bun-han itu. Selama lnl la merasa kedudukannya cukup tinggi, meskipun tidak termasuk dalam “Sepuluh Tokoh Sakti” paling tidak ya hanya selapis di bawah ke sepuluh tokoh itu. Namun sekarang ia terbentur kenyataan bahwa seorang rahib suku asing yang sama sekali belum dikenal namanya itu bukan saja mampu melawannya.

Malahan mampu mendesaknya dan terus menerus menghimpitnya dengan angin pukulannya yang dahsyat dan menyesakkan pernapasan. Bahkan ilmu pedang yang dibangga-banggakan itu bagaikan ditekan, dikurung dalam sebuah ruangan tak terlihat, semakin lama gerakannya semakin alot. Lebih mengherankan lagi ialah ketika Yo Ciong-wan melihat lawannya memainkan ilmu silat aliran Siau-lim yang matang dan mahir.

Pikirnya, “Gila, agaknya di Hwe-liong-pang banyak berkumpul jago-jago tangguh dari berbagai perguruan yang telah murtad, dan terbius oleh pesona orang yang menamakan diri Hwe-liong Pang-cu itu. Si jenggot kuning ini rupanya seorang murid murtad dari Siau-lim-pay. Sedang si bangsat gila yang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu (maksudnya Ling-hoa), agaknya adalah murid murtad Kong-tong-pay. Moga-moga tidak ada murid-murid Hoa-san-pay yang menjadi anggota gerombolan iblis ini."

Sambil berpikir macam-macam, Yo Ciong-wanpun semakin terbenam dalam kesulitannya. Untunglah bahwa agaknya Hong-goan Hweshio tidak bermaksud membunuhnya, namun hanya melumpuhkannya hidup-hidup. Jika Hong- goan Hweshio bermaksud jahat, agaknya sudah dari tadi Yo Ciong-wan akan terkapar sebagai mayat.

Pada saat Yo Ciong-wan semakin terdesak itu, tiba-tiba seorang pemuda berbaju kuning, seragam resmi murid-murid Hoa-san-pay, melompat ke dekat gelanggang sambil berseru kepada Yo Ciong-wan, "Su-siok (paman guru), maaf, melawan orang berilmu iblis ini agaknya kita tidak perlu lagi memakai aturan dunia persilatan. Bagaimana kalau aku membantu mempercepat penyelesaian?”

Anak muda itu memiliki ilmu silat yang tidak jelek pula, dia adalah seorang pendekar angkatan muda kebanggaan Hoa-san-pay, bernama Auyang Seng dan di dunia persilatan telah agak dikenal pula dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak), meskipun belum setenar paman-paman gurunya.

Harga diri Yo Ciong-wan agak tersentuh juga mendengar tawaran bantuan dari murid Su-hengnya itu, namun ia mengerti bahwa Auyang Seng bermaksud baik dan sama sekali tidak sedang menyindirnya, hanya menguatirkan keselamatannya. Yo Ciong-wan juga tahu bahwa kedudukannya yang terdesak itu sudah terlihat oleh orang lain, tidak ada gunanya ditutup-tutupi lagi.

Namun sambil bertempur dia masih juga pura-pura bertanya kepada keponakan muridnya itu, "Bagaimana dengan lawan-lawannya sendiri?"

"Sudah ada yang melayani mereka.”

"Baik," sahut Yo Ciong-wan dengat hati berat. "Aku mengakui terus terang bahwa si keledai gundul ini agaknya memang berilmu lebih tinggi dari aku, agaknya dia seorang pelarian dari Kuil Siau-lim dari tingkatan yang cukup tinggi. Dia berbahaya jika dibiarkan hidup terus, kita harus membasminya."

"Baik, Su-siok!" Kemudian dengan menjulurkan pedangnya, Auyang Seng pun melompat masuk ke tengah gelanggang, langsung melancarkan jurus Jit-seng-cip-hwe (Tujuh Bintang Bersatu-padu). Meskipun muda usianya, namun cukup matang latihan silatnya, sehingga gerakannyapun nampak cepat dan mantap, pegangannya atas gagang pedangnya tak bergoyang sedikitpun, sementara pergelangan tangannya yang lentur dan terlatih kuat itu sanggup menggerakkan ujung pedangnya dalam perubahan- perubahan yang rumit. Melihat hal ini, diam-diam timbul juga rasa kagum Hong-goan Hweshio kepada pendekar muda ini.

Demikianlah, kini pertempuran berlangsung satu lawan dua. Hong-goan Hweshio harus lebih banyak lagi mengerahkan kepandaiannya, sebab Auyang Seng benar-benar seorang anak muda yang tangkas dan menguasai baik-baik ilmu pedangnya. Tetapi untuk mendesak rahib suku Hui itu, agaknya paman dan keponakan-muridnya itu masih bermimpi di siang hari bolong.

Sementara itu, matahari sudah kian condong ke sebelah barat, namun pertempuran di pinggir hutan itu belum juga selesai. Kedua belah pihak sudah kehilangan beberapa orang teman, yang luka-luka atau yang tewas, dan tidak jarang kedua pihak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum sesat untuk melampiaskan kebencian dan kemarahannya, misalnya membacoki atau menusuk- nusuk berulang kali tubuh lawan yang sudah tidak berdaya, memenggal kepala dan sebagainya.

Pihak Hwe-liong-pang yang merasa berang karena salah seorang kawan mereka tadi diperlakukan demikian oleh orang-orang berbaju coklat itu, lalu membalar memperlakukan hal yang sama kepada pihak Hoa-san-pay, Go-bi-pay dan Cong-lam-pay. Kemudian orang pihak ketiga perguruan itupun membalas lebih hebat, lalu Hwe-liong-pang membalas lebih hebat lagi, begitu seterusnya. Nafsu haus darah yang memuakkan telah menyelubungi gelanggang pertempuran.

Orang-orang yang bertempur semakin lelah, tapi justru semakin bernafsu mengayunkan senjata mereka, tak ubahnya binatang buas yang tak berperadaban sama sekali. Dengan begitu, agaknya segala kemungkinan untuk mendamaikan kedua belah pihak telah tertutup sama sekali. Satu-satunya penyelesaian sekarang adalah menumpahkan darah lawan!

Sambil bertempur, Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki juga merasakan dendam kebencian yang menguasai gelanggang itu, dan diam-diam kedua tokoh Hwe-liong- pang itu merasa prihatin. Mereka sadar bahwa mereka benar-benar telah terperangkap oleh pihak Te-liong Hiang-cu yang mengirimkan orang-orang Cong-lam-pay gadungan yang hanya memanaskan suasana saja itu.

Kini Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai perguruan benar-benar akan bertempur mati-matian, hancur bersama, dan kemudian Te-liong Hiang-cu serta pengikut-pengikutnyalah yang akan berjaya, menumpas habis kedua pihak yang sama-sama sudah remuk.

Kedua orang itu lebih menyesal lagi ketika melihat keempat Tong-cu, Auyang Siau-pa, Oh Yun-kim, Kwa Teng-siong dan Lu Siong, agaknya juga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan membiarkan diri mereka bertempur dengan dikuasai kemarahan. Sikap keempat orang Tong-cu itu membuat anggota-anggota Hwe-liong-pang yang rendahan jadi bersikap serupa.

"Dasar anak-anak muda," keluh Hong-goan Hweshio dalam hati.

Kegelapan malam kemudian turun menyelubungi bumi, pertempuran belum berhenti, namun jumlah kedua belah pihak sudah menyusut sampai separo. Pada saat itulah mendadak dari arah selatan terdengar suara derap kaki kuda yang riuh rendah, terlihat pula berpuluh-puluh obor sedang bergerak ke arah gelanggang pertempuran. Dilihat dari jumlah obor dan suara derap kaki kuda, maka rombongan pendatang itu a gaknya berjumlah duapuluh lima orang lebih.

Jumlah yang cukup untuk menggoyahkan keseimbangan pertempuran di pinggir hutan itu. Jika yang datang itu orang-orang dari berbagai perguruan, maka pihak Hwe-liong-pang akan habis tertumpas, sebaliknya jika yang datang itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang, maka orang-orang Hoa-san-pay, Go-bi-pay, dan Cong-lam-pay lah yang akan bernasib buruk.

Karena itu, betapapun kemarahan menggelegak di jantung kedua belah pihak, mereka tertarik juga perhatiannya kepada rombongan orang berkuda dari selatan itu. Bahkan Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki mengharap kedatangan orang-orang berkuda itu, entah bagaimana caranya, akan meredakan permusuhan kedua belah pihak, meskipun harapan itu tipis sekali.

Dan kemudian harapan kedua tokoh Hwe-liong-pang yang mendambakan perdamaian itu telah buyar, bagaikan asap terhembus angin. Sebab terdengar salah seorang anak buah Hwe-liong-pang telah bersorak gembira, "Hee, yang datang itu adalah kawan-kawan kita dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, di bawah pimpinan Tong-cu Kwa Heng dan Ji Tiat."

Kedatangan bala bantuan bagi Hwe-liong-pang itu segera mengobarkan semangat tempur orang-orang Hwe-liong-pang yang sebenarnya telah kelelahan itu. Sebaliknya buat orang-orang Hoa-san-pay dan rombongannya, berita itu ibarat berdentangnya lonceng kematian buat mereka. Orang-orang berseragam cokelat yang mengaku sebagai orang-orang Cong-lam-pay itu.

Dan yang telah berhasil memancing benturan antara pihak pendekar dengan pihak Hwe-liong-pang segera mulai saling bertukar isyarat di antara mereka sendiri. Kemudian dengan liciknya mereka lebih dulu meninggalkan medan tempur, menyusup ke dalam hutan-hutan yang mulai disapu malam kelam.

Ketika mereka sudah berada di kedalaman hutan, salah seorang dari mereka menggerutu, "Huh, letih juga memerankan sebagai orang Cong-lam-pay. Tapi agaknya kita berhasil, Te-liong Hiang-cu pasti akan memuji hasil kerja kita ini, meskipun kita terpaksa meninggalkan beberapa kawan kita yang luka atau gugur. He, berapa kawan kita yang tertinggal?"

Orang-orang berbaju cokelat itu kemudian menghitung kelompok mereka dan ternyata mereka kehilangan sebelas orang kawan mereka.

Sementara itu, para jago-jago Hoa-san-pay dan Go-bi-pay agak terlambat menyadari bahwa orang-orang “Cong-lam-pay” ternyata telah lebih dahulu meninggalkan gelanggang tanpa memberitahu apapun, dan membiarkan mereka sendirian. Itu akibat gelapnya malam dan kisruhnya medan pertempuran, sehingga gerak-gerik orang-orang Cong-lam-pay gadungan itu ternyata lepas dari pengamatan kedua pihak yang bertempur.

Tapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay ditinggal secara pengecut, keadaan sudah berubah begitu cepat, tempat itu sudah terkurung oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan masih segar, bahkan di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat pula jago-jago tangguh yang sulit dilayani. Dalam keadaan demikian itulah Yo Ciong-wan telah memekikkan perintahnya,

"Bertempur sampai titik darah penghabisan demi kejayaan Hoa-san-pay kita. Hidup Hoa-san-pay!"

Perintah itu ditaati bukan saja oleh murid-murid Hoa-san-pay, tapi juga oleh murid-murid Go-bi-pay yang merasa senasib, merasa mereka tidak dapat lolos dari tempat itu. Hanya ada jalan kematian buat mereka, namun mereka akan memilih mati setelah bertempur habis-habisan, daripada menyerah mentah-mentah.

Dengan demikian rombongan orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu ibarat sekawanan binatang buas yang telah terluka dan terjepit, mereka bertempur dengan kalap karena sadar pasti binasa. Harapan mereka hanyalah agar kematian mereka bisa membawa kawan sebanyak-banyaknya ke lubang kubur.

Tetapi pada saat orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu sudah demikian putus-asa, terdengarlah Hong-goan Hweshio berteriak memberikan perintah yang kedengarannya tidak masuk akal bagi orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay maupun bagi orang-orang Hwe-liong-pang yang merasa bahwa kemenangan sudah ada dalam genggaman mereka. Perintah Hong-goan Hweshio itu adalah, "Buka kepungan! Biarkan mereka pergi!”

Mendengar perintah yang "aneh" itu, kedua pihak yang sedang berkutat mati-matian dan penuh dendam kesumat itu, menjadi tertegun dan pertempuran agak mereda. Beberapa orang Hwe-liong-pang telah melompat mundur, menjauhkan diri dari lawan-lawan mereka, namun mereka masih belum membuka kepungan sebab masih meragukan tangkapan telinga mereka.

Kenapa Hong-goan Hweshio tidak memerintahkan saja untuk menumpas habis musuh yang sudah terkepung ini? Bukankah mereka telah mencincang teman-teman kami? Bukankah membunuh mereka berarti mengurangi kekuatan mereka dan jika kelak mereka menyerbu Tiau-im-hong kekuatan mereka sudah berkurang? Bukankah begini dan begitu?

Tapi perintah Hong-goan Hweshio itu sekali lagi mendengung tegas di udara senja di pinggir hutan itu, bukan sekedar telinga yang salah tangkap, "Biarkan mereka pergi! Semua anggota Hwe-liong-pang, taati perintah Su-cia kalian!"

Dengan penuh rasa tidak mengerti, anggota-anggota Hwe-liong-pang itu berloncatan mundur, meskipun tatapan mereka masih saja sepanas bara dan senjata-senjata masih tergenggam erat di tangan mereka. Sedang orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu termangu mangu di tempat mereka pula, mereka pun masih bingung mendengar perintah Hong-goan Hweshio yang rasanya "tidak masuk akal" itu.

Dalam kebingungan itulah Yo Ciong wan melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah Hong-goan Hweshio sambil membentak, "Rahib setan, permainan gila apalagi yang sedang kau rencanakan dalam benakmu? Kau kira kami takut mati dan senang dengan pengampunanmu ini? Kami bukan pengecut! Ayo, tumpas kami, bukankah kalian sudah unggul di atas angin dan kami telah tak berdaya?"

Lu Siong yang berdarah panas itu telah berkata kepada Hong-goan Hweshio, "Dengar, Su-cia, bukankah mereka malah menantang kita?"

"Tutup mulutmu!" bentak Hong-goan Hweshio dengan jengkel kepada Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) itu. Kemudian kepada Yo Ciong-wan dia berkata sambil merangkapkan tangannya, "Yo Tay-hiap (Pendekar Yo) yang perkasa, mustahil kau tidak punya otak atau ketajaman naluri bahwa pertempuran di antara kita ini adalah hasil adu domba pihak ketiga yang ingin melihat kita sama-sama hancur? Coba pikirkanlah, tay-hiap, mudah-mudahan masih ada kejernihan pikiranmu."

Yo Ciong-wan tertawa dingin, "Heh, enak saja kau bicara. Kalau benar apa yang kau katakan itu, kenapa kalian bertindak biadab dengan memburu-buru orang-orang Cong-lam-pay seperti memburu binatang saja? Orang-orang Cong-lam-pay itu hanya berlari-lari sedang anak buahmu menunggang kuda dan memburu mereka, sambil memanahi punggung mereka satu persatu dari belakang? Untung orang-orang Cong-lam-pay itu bertemu dengan Kami di sini, sehingga kami babu-membahu melawan anak buahmu yang biadab itu!”

Auyang Siau-pa dan Kwa Teng-siong yang memimpin rombongan anggota Hwe-liong-pang yang tadi mengejar orang-orang Cong-lam-pay itu, telah melompat maju dan hendak membantah keterangan Yo Ciong-wan itu. Tapi Hong-goan Hweshio telah menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar kedua Kepala Kelompok itu diam dulu. Kata Hong-goan Hweshio kepada Yo Ciong-wan kemudian,

"Yo Tay-hiap, siapakah yang kau maksudkan dengan orang-orang Cong-lam-pay itu? Apakah orang-orang berbaju coklat tadi? Yo Tay-hiap, aku tidak percaya bahwa kau begitu tolol, tidak bisa membedakan murid Cong-lam-pay palsu dan murid Cong-lam-pay yang asli, terutama gaya ilmu pedangnya. Coba pikir, yakinkah kau bahwa mereka orang-orang Cong-lam-pay asli? Kalau ya, alangkah hebatnya kesetia-kawanan mereka, selagi kau dan orang-orang Go-bi-pay terkepung di sini, dia sudah kabur terbirit-birit lebih dulu."

Di bawah cahaya obor yang kemerah-merahan, wajah Yo Ciong-wan bertambah merah karena malu, karena dengan ucapan Hong-goan Hweshio itu seakan-akan semua kepicikan dirinya ditelanjangi di depan orang banyak. Namun manusia punya sifat jelek, sifat yang menghinggapi orang-orang terkenal pada umumnya, termasuk Yo Ciong-wan yang termasuk tokoh nomor dua di Hoa-san-pay.

Meskipun di dalam hatinya Yo-Ciong-wan merasa juga ada sedikit kebenaran dalam ucapan Hong-goan Hweshio itu, yaitu tentang orang-orang Cong-lam-pay yang mencurigakan itu, namun Yo Ciong-wan tidak sudi mengakui hal itu secara terang-terangan sebab takut kehilangan muka. Kehilangan muka. Inilah yang ditakuti oleh orang-orang terkenal, begitu takutnya mereka kehilangan muka di depan orang banyak, sehingga untuk menjaga agar hal itu tidak sampai terjadi mereka tidak segan-segan berbuat kotor dan tidak jantan, berbuat apa saja asal tidak kehilangan muka.

Apabila yang punya sifat demikian ini adalah seorang Panglima perang, maka sang panglima pun tidak segan-segan mengorbankan banyak nyawa prajurit-prajuritnya, hanya agar dia sendiri tidak kehilangan muka. Jika seharusnya prajuritnya harus mundur karena lawan lebih kuat mereka justru akan memerintahkan tentaranya untuk maju, supaya tidak kehilangan muka! Tentu saja alasan yang disusunnya harus sedemikian rupa sehingga kedengaran sangat masuk akal.

Begitu pula yang sedang menghinggapi Yo Ciong-wan saat itu. Alangkah malunya kalau rekan-rekan pendekar dari perguruan lain mengetahui dia demikian tolol, sampai bisa terpancing dan diadu-domba melawan orang-orang Hwe-liong-pang. Karena itu, dia memutuskan untuk menolak uluran tangan perdamaian dari Hong-goan Hweshio itu, tidak peduli apa yang akan menimpa dirinya dan diri seluruh rombongannya. Perasaan harga dirinya yang tersinggung telah memaksanya untuk menjadi tegas,

“Rahib gila, aku tidak percaya omong kosongmu yang tanpa bukti itu. Lebih baik mati daripada hidup karena belas kasihanmu!”

Auyang Seng yang berdiri di samping paman gurunya itupun telah menyambut seruan itu dengan sangat bersemangat, “Benar, Su-siok! Kami semua rela berkorban untuk meniadakan iblis-iblis Hwe-liong-pang ini dari muka bumi!”

Ucapan paman guru dan murid keponakannya dari Hoa-san-pay itu, seketika membuat orang-orang Hwe-liong-pang berteriak-teriak marah, merasa ditantang. Au-yang Siau-pa yang telah menyarungkan golok bulan sabitnya itupun telah mencabut kembali goloknya sambil berseru, “Su-cia! Perintahkan untuk menyerang!”

“Bangsat-bangsat munafik bermulut besar yang tidak tahu kebaikan orang!” geram Ji Tiat sambil menggenggam erat-erat sepasang kampak bergagang pendeknya.

Hong-goan Hweshio sendiri sebenarnya sangat tersinggung mendengar Yo Ciong-wan dan Auyang Seng yang menganggap pihak Hwe-liong-pang bagaikan orang-orang berpenyakit kusta saja tidak bisa diterima dalam pergaulan masyarakat persilatan. Namun mengingat akan besarnya korban jiwa di kedua pihak apabila pertempuran itu dilanjutkan, maka dia menahan diri, dia masih berkata dengan nada yang disabar-sabarkan,

"Pendekar Yo yang perkasa, benarkah kau tidak mau memberi kesempatan kepada akal sehatmu untuk menguasai dirimu? Tidak sadarkah kau bahwa kita hanya diadu-domba?"

Si Rahib Go-bi-pay yang bersenjata toya perunggu itu telah menghantamkan toyanya ke tanah, dialah yang menjawab dengan sengit sebelum Yo Ciong-wan menyahut, "Tidak ada pembicaraan lagi dengan kalian, sampah-sampah masyarakat ini! Martabat kami, kaum lurus, akan jatuh jika bicara terlalu banyak dengan orang-orang rendah seperti kalian. Yang terang, kami sudah tahu bahwa desas-desus tentang pihak Te-liong Hiang-cu yang mengadu domba itu sebenarnya adalah karangan kalian sendiri. Kalian hanya bertujuan melengahkan kami, agar kami mau berunding dan menahan senjata, dan kalian berkesempatan membantai kami satu persatu tanpa bisa dituduh, sebab setiap kali kalian akan menunjuk ke pihak Te-liong Hiang-cu sebagai kambing hitam. Namun, kini kami percaya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, meskipun barangkali Tong Wi-siang bertengkar dengan Te-liong Hiang-cu, namun dalam menghadapi kami, kalian tentu bersatu padu!"

Muka Hong-goan Hwesio-pun menjadi merah padam oleh tuduhan itu, kesabarannyapun hampir sampai ke batasnya, katanya sambil tertawa sinis, "Wah, hebat benar kalian, kaum pendekar yang bermartabat tinggi, yang begitu suci sehingga tidak pernah melangkah keluar dari menara gading kalian, tidak pernah memberi uluran tangan kepada rakyat jelata tak berdaya yang sebenarnya membutuhkan bantuan kalian! He, para pendekar suci bersih! Apa yang pernah kalian perbuat untuk rakyat, ketika mereka dalam tindasan para pejabat brengsek Pemerintah Beng? Kenapa kalian hanya berpangku tangan saja? Mana darma pendekar kalian? Dan setelah kami, Hwe-liong-pang turun tangan untuk menjawab jeritan orang kecil, kenapa kalian malah berani dan memusuhi kepada kami?"

"Aku tidak peduli! Aku tidak akan mengadu lidah dengan kalian!" teriak rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, itu. Dengan beringasnya dia melompat maju dan langsung mengayunkan toya perunggunya dengan gerakan Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Atas Kepala), mengarah langsung ke batok kepala Hong-goan Hweshio. Untunglah Hong-goan Hweshio tidak pernah kehilangan kewaspadaan, sehingga ia sempat melompat mundur.

Mulai bertempurnya kedua orang yang sama-sama rahib itu, bagaikan aba-aba bagi kedua pihak untuk melanjutkan pertempuran yang sempat diselingi debat seru tadi. Namun pada saat kedua pihak sudah siap mengayunkan senjatanya masing-masing, Hong-goan Hweshio kembali telah mengambil tindakan yang tidak terduga. Ia berteriak, "Tahan!"

"Ada apalagi kau, rahib iblis?" bentak Yo Ciong-wan.

Hong-goan Hweshio tidak menggubris Yo Ciong-wan, namun ia berseru memerintahkan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, "Semuanya mundur! Bawa teman-teman kita yang tewas dan luka, lalu tinggalkan tempat ini!"

"Su-cia, mereka akan mengira kita takut, padahal mereka cuma bisa bicara panjang lebar dengan kata-kata tengik yang memuakkan!" sanggah Lu Siong.

"Mereka telah menyerang beberapa anggota kita yang sedang meronda dan mencincang tubuh mereka!" sambung Au-yang Siau-pa penasaran.

"Mereka tidak boleh dilepaskan!” seru Oh Yun-kim.

“Jalankan perintah!” teriak Hong-goan Hweshio menggelegar, bahkan dalam teriakannya itu dia menggunakan pula ilmu Say-cu-hou-kang (Ilmu Geraman Singa) yang membuat kuping orang-orang yang mendengarnya jadi pekak, tak terkecuali orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay.

Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak habis mengerti kenapa mereka justru harus melepaskan musuh yang sudah ibarat ikan dalam bambu, musuh yang baru saja bertempur dan saling mencincang dengan pihak mereka. Benar-benar penasaran! Namun para Tong-cu itupun sadar bahwa Hong-goan Hweshio agaknya benar-benar telah marah, sehingga tidak mau dibantah lagi. Apa boleh buat.

Dengan perasaan terpaksa, orang-orang Hwe-liong-pang itu mengangkuti tubuh-tubuh kawan-kawan mereka yang luka atau tewas ke atas kuda. Dan dengan terpaksa pula mereka membubarkan kepungan mereka atas orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Namun mata orang-orang Hwe-liong-pang itu masih saja menyala bagaikan api, menatap ke arah orang-orang dari kedua perguruan itu, bahkan tatapan mata yang demikian itu rasa-rasanya lebih tajam dari tusukan senjata.

Menyaksikan hal demikian, diam-diam Hong-goan Hweshio menarik napas dalam-dalam, ia kuatir bahwa apa yang selama ini berusaha dihindarinya ternyata akan terjadi juga. Dendam di kedua pihak sudah sulit untuk dipadamkan, meskipun lahiriahnya mereka sudah menyarungkan senjata dan tidak bertempur lagi.

Sementara itu, murid-murid dari kedua perguruan itu, terutama yang baru kali ini turun gunung, diam-diam merasa lega juga dalam hati karena pertempuran tidak dilanjutkan, meskipun belum berarti permusuhan sudah selesai. Paling tidak malam ini mereka masih hidup, tidak bernasib seperti teman-teman seperguruan mereka yang bergeletakan di pinggir hutan itu. Tadinya, murid-murid itu lega sekali ketika di perguruan masing-masing mereka mendengar bahwa mereka terpilih untuk ikut dengan guru-guru atau paman-paman guru mereka untuk pergi ke Siong-san guna "menegakkan keadilan, membasmi kaum Iblis". Mereka bangga sekali.

Namun setelah pertempuran di Siong-san, dan mereka menghayati sendiri betapa buas dan kejamnya pertempuran melawan anak buah Te-liong Hiang-cu itu mereka mulai menyadari bahwa pertempuran yang sebenarnya ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan, ketika mereka sedang berlatih dengan saudara seperguruan mereka dengan menggunakan pedang-pedang bambu. Jauh lebih buruk dan kasar. Di situ yang diuji bukan hanya ketrampilan memainkan senjata tetapi juga ketahanan jiwa yang kadang-kadang hampir tak tertahan.

Namun sudah terlambat untuk mengundurkan diri, sebab mereka telah terikat dalam satu barisan besar di bawah pimpinan Hong-tay Hweshio untuk menyerbu Tiau-im-hong. Dan murid-murid yang belum pernah mengalami pertempuran sebenarnya itu telah menjadi ngeri ketika melihat buasnya perkelahian antara orang-orang dunia persilatan. Baru pertempuran-pertempuran kecil-kecilan melawan orang-orang Hwe-liong-pang saja sudah begitu banyak korban yang jatuh, entah berapa puluh kali lipat pertempuran di Tiau-im-hong kelak?

Sebaliknya Yo Ciong-wan diam-diam telah menikmati kebanggaannya sendiri. Bukankah dia telah menunjukkan sikap "jantan" yang luar biasa, meskipun dengan membahayakan nyawa murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay? Andaikata kelak murid-murid kedua perguruan yang menyaksikan "kejantanannya" itu menceritakan kepada orang lain, bukankah namanya akan terkenal dan semakin dikagumi orang?

Perasaan semacam inilah yang telah membuahkan tekad dalam hati Yo Ciong-wan bahwa perdamaian yang sedang dirintis oleh Hong-tay Hweshio itu harus digagalkan. Harus dlgagalkan! Tidak permusuhan harus diteruskan. Bukan karena Yo Ciong-wan yakin pihak Hwe-liong-pang itu jahat dan harus dihancurkan, melainkan hanya sekedar supaya terjadi pertempuran. Itu saja alasannya.

Dalam masa damai ia tidak akan berkesempatan mempertunjukkan keterampilan ilmu pedangnya, tidak sempat memamerkan keberaniannya dan ke-“jantan”-annya, karena itu harus ada pertempuran. Tidak peduli berapapun korban yang harus jatuh di kedua pihak, perdamaian harus gagal! Supaya nama Yo Ciong-wan si Pedang Pemburu Bintang semakin terangkat naik, bukan sekedar menjadi bayangan dari nama kakak seperguruannya Pat-hong-kiam-khek Kiau Bun-han. Alangkah bangganya menjadi orang terkenal...
Selanjutnya;