Perserikatan Naga Api Jilid 36Karya : Stevanus S.P |
Bong-san Tojin tertawa berderai, “Ha-ha-ha... kau mencoba menutupi ketakutanmu dengan bersikap segarang mungkin? Kau marah atas terbunuhnya kawan-kawanmu ini? He, kawanan iblis, dengarlah! Kematian orang-orang semacam kalian ini semakin cepat semakin baik, dunia pun akan menjadi semakin bersih!”
Darah In Yong kian mendidih, “Imam munafik, kalianlah orang-orang yang mengotori dunia ini! Kalian hidup dalam menara kebanggaan yang kalian ciptakan sendiri, terpisah dari masyarakat ramai. Kalian menganggap diri kalian sendiri dengan bermacam sebutan golongan lurus, kaum ksatria, penjunjung kebenaran dan sebagainya. Benar-benar memuakkan. Tapi apa yang kalian perbuat ketika rakyat kecil memerlukan pembelaan dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh ketidak-becusan Kaisar Cong-ceng? Apa yang kalian perbuat, hah? Kalian tetap tinggal dalam sarang kalian sendiri-sendiri, takut terlibat, menulikan telinga terhadap jeritan rakyat! Dan siapakah yang kemudian turun tangan membela rakyat tertindas? Hwe-liong-pang! Namun kalian yang iri, takut tersaingi ketenaran kalian, lalu mencap kami sebagai golongan sesat dan bahkan memusuhi kami! Kalian tidak menjunjung kebenaran dan kemanusiaan seperti yang kalian gembar-gemborkan sendiri, melainkan hanya menjunjung tinggi pamor perguruan masing-masing, harga diri masing-masing, nama besar sendiri-sendiri! Bangsat! Kalianlah yang harus lenyap dari muka bumi ini!” Sebagai tokoh Kun-lun-pay yang biasanya dihormati dan disanjung orang, kapankah Bong-san Tojin pernah menerima caci-maki setajam itu? Biarpun caci-maki itu ada juga yang menyentuh hati kecilnya, dan terasa pula kebenarannya, namun Bong-san Tojin tidak sudi mengakuinya secara terang-terangan. Ia akan kehilangan muka! Karena itu, dengan muka merah padam dia balas membentak, “Bangsat Hwe-liong-pang bukan saja perbuatan kalian yang kotor, tapi mulut kalian pun sangat kotor. Pedangku akan merobek mulutmu yang penuh kenajisan itu!” In Yong biasanya bersikap tenang itu, kali ini agaknya terpancing kemurkaannya oleh kecongkakan Bong-san Tojin itu. Kepada anak buahnya dia berseru, “Serang! Jangan ada seorang pun di antara mereka yang lolos!” Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah gatal ketika melihat rekan-rekan mereka dibunuhi itu, maka perintah In Yong itu kebetulan cocok dengan gelora perasaan mereka. Mereka segera berlompatan maju, senjata-senjata yang sejak tadi sudah dihunus keluar itu, kini mulai menyambar-nyambar mencari mangsa. Sedang murid-murid Kun-lun-pay juga menyambutnya tanpa kenal takut. Begitulah, di depan aula di halaman depan itupun berkobar pertempuran sengit yang tidak kalah hebatnya di bagian-bagian lain dari gedung Hwe-liong-pang itu. In Yong yang sangat muak kepada Bong-san Tojin itu telah menerjang langsung ke arah imam Kun-lun-pay itu dengan sepasang goloknya. Lebih dulu golok kanan menyambar dengan gerakan Sui-in-piau-hui (Awan Beterbangan), dan ketika imam lawannya menangkis dengan pedangnya, In Yong dengan tangkas memutar golok kanannya untuk melibat senjata lawan, sedang golok kirinya disabetkan langsung ke arah lambung. Bong-san Tojin yang tadinya menganggap remeh lawannya itu, terkejut bukan kepalang ketika merasakan sendiri betapa tangkasnya In Yong memainkan sepasang liu-yap-to-nya itu. Hampir saja pedangnya terputar dan terlempar dari tangannya, dan lambungnya tersobek oleh golok kiri lawannya, Untung bahwa Bong-san Tojin juga bukan tokoh sembarangan. Dalam terkejutnya dia sempat melakukan gerakan Gan-heng-sia-ki (Burung Meliwis Terbang Rendah), sambil menekuk pinggang dia melompat keluar dari jangkauan serangan In Yong. “Imam berhati kejam, hendak lari ke mana kau?” bentak In Yong yang tidak mau melepaskan lawannya itu. Bong-san Tojin mundur, maka In Yong pun terus mendesak maju dengan tiga jurus beruntun Lo-cia Lo-hay (Lo-cia Mengaduk Lautan), Pek-in-kak-he-hian (Mega Putih Mengalir di Telapak Kaki) dan Sui-hong-pai-liu (Cemara Bergoyang Tertembus Angin). Begitu sengit serangannya, begitu cepat gerakan sepasang goloknya, sehingga Bong-san Tojin benar-benar gelagapan dibuatnya. Imam itu melihat seakan-akan ada puluhan batang golok sekaligus yang menghujani tubuhnya dengan bacokan bertubi-tubi dari berbagai arah, maka bayangan golok yang asli dan mana yang palsu sulit dibedakan. Dalam beberapa gebrakan saja imam Kun-lun-pay yang sombong itu dipaksa mundur bertahan sampai enam langkah, bahkan pada langkah yang ketujuh golok kiri In Yong berhasil merobek paha kanannya yang terlambat melangkah. Karena gugupnya, Bong-san Tojin sampai lupa akan sikapnya yang angkuh tadi, sambil menggerak-gerakkan pedang untuk menangkis, dia berteriak kepada salah seorang imam lain dari Kun-lun-pay yang tengah bertempur tidak jauh darinya, “Bong-sin Sute, bantu aku!” In Yong tertawa dingin melihat sikap lawannya itu, “Jangan cuma satu Sute-mu yang kau suruh mengeroyokku, tapi beberapa orang sekaligus pun tidak mengapa, malahan aku akan berkesempatan melihat kehebatan murid-murid Kun-lun-pay sesuai dengan nama besar kalian!” Bong-san Tojin menggeram mendengar sindiran tajam itu, sahutnya sambil tetap berkelahi, “Untuk membasmi kaum iblis....” Namun In Yong telah menyambung kata-katanya sambil tertawa mengejek, “... tidak perlu menghiraukan tata-krama dunia persilatan, bukankah begitu yang hendak kau ucapkan? Memang itulah satu-satunya alasan kalian untuk berbuat pengecut. Alasan yang sangat masuk akal!” Bong-sang Tojin yang biasa angkuh dan sangat membanggakan diri itupun menjadi merah-padam mukanya, mulutnya pun bungkam tak dapat menjawab sindiran itu. Namun adalah kenyataan bahwa dia tidak sanggup melawan In Yong seorang diri, terpaksa minta bantuan salah seorang adik seperguruannya. Begitulah, tak lama kemudian In Yong dengan sepasang golok tipisnya terpaksa harus berhadapan dengan sepasang kakak beradik seperguruan dari Kun-lun-pay, Bong-san dan Bong-sin Tojin. Dengan demikian In Yong harus bekerja keras luar biasa menghadapi lawan-lawannya yang tanggh dalam ilmu pedang itu. Untunglah bahwa latihan keras In Yong dalam beberapa bulan terakhir ini telah menghasilkan buah yang membanggakan. Hampir setiap pagi dan sore, bahkan malam haripun jika ada kesempatan, In Yong selalu mengulang-ulang memainkan jurus-jurus sepasang goloknya, bukan hanya puluhan kali namun ratusan kali setiap harinya. Tidak lupa ia berlatih keras pula menambah tenaganya, sehingga sekarang terlihatlah betapa hebatnya permainan sepasang goloknya itu. Goloknya yang hanya dua helai itu seolah-olah terpecah-pecah menjadi banyak sekali, bayangannya berkelebatan mengurung lawan-lawannya. Menghadapi dua orang tokoh Kun-lun-pay sekaligus, In Yong ternyata tidak terdesak, meskipun ia juga sulit untuk mendesak kedua lawannya. Sementara itu, adik seperguruan dan wakil In Yong, yaitu Hui-long Ong Wi-yong juga harus menghadapi dua orang lawan tosu yang bernama depan “Bong” dari Kun-lun-pay, yaitu imam-imam yang seangkatan dengan Bong-san Tojin. Kedua imam itu ialah Bong-thian dan Bong-go Tojin. Biarpun ilmu Ong Wi-yong belum setangguh kakak seperguruannya, namun selisihnya juga cuma sedikit, sehingga Ong Wi-yong pun ternyata sanggup membuat lawan-lawannya terheran-heran dan harus memeras keringat. Dalam rombongan orang-orang Kun-lun-pay itu, ada lima orang Tojin bernama depan Bong, yang kepandaiannya rata-rata hampir setingkat. Selain Bong-san dan Bong-sin yang sudah terikat dalam perkelahian melawan In Yong serta Bong-thian dan Bong-go yang dihadapi oleh Ong Wi-yong, masih ada Bong-seng Tojin yang belum bertemu lawan seimbang. Untuk menghadapi amukan tokoh Kun-lun-pay yang satu ini, pihak Hwe-liong-pang terpaksa harus mengerahkan lima orang anggota terbaiknya hanya untuk melawan satu orang saja. Itupun Bong-seng Tojin masih bisa “meminta korban” berulang kali, melukai atau bahkan membunuh orang-orang yang mengeroyoknya satu demi satu dan kemudian berganti lawan lagi. Tapi kegarangan Bong-seng Tojin itu terhenti, ketika ada sesosok bayangan meluncur turun dari atas genteng dan mendarat tepat di depan Bong-seng Tojin. Orang yang melompat turun itu ternyata seorang lelaki muda sebaya dengan In Yong, bertubuh tegap dan berpandangan mata tajam menusuk, tangan kanannya membawa sebatang pedang yang bentuknya mirip dengan pedang orang-orang Kun-lun-pay. Dengan pandangan mata yang tajam menusuk, ia memandang ke arah Bong-seng Tojin, dan menyapa dengan suara dingin, "Selamat bertemu kembali, su-siok (paman guru). Alangkah hebatnya ilmu silat su-siok yang tadi kulihat dari atas genteng, namun tidak ada artinya su-siok membunuhi teman-temanku yang bukan tandinganmu itu." Ketika melihat pemuda yang berdiri di hadapannya itu, terbelalaklah mata Bong-seng Tojin. Kumis dan jenggot pendeknya yang kaku seperti kawat itu bergerak-gerak karena menahan luapan perasaannya, kemudian berkatalah ia, "Anak murtad, jadi selama beberapa tahun ini kau ternyata telah menjadi anggota perkumpulan setan-setan iblis ini?" Pemuda itu tetap dingin, "Benar, su-siok. Bahkan bukan anggota biasa saja, tapi aku mendapat kehormatan juga untuk menjadi Ui-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Kuning)." Mata Bong-seng Tojin melotot semakin lebar, "Mendapat kehormatan katamu? Bukan! Tapi aku mendatangkan kenajisan bagi nama suci Kun-lun-pay kami! Sungguh penasaran bahwa Kun-lun-pay juga menghasilkan iblis kecil seperti kau ini!" "Su-siok keliru. Selama ini aku tetap menghormati Kun-lun-pay sebagai perguruanku, sebagai sumber ilmuku, namun ternyata Kun-lun-pay bukan tempat persemaian yang subur bagi cita-cita yang bergejolak dalam hatiku, bahkan Kun-lun-pay dengan peraturan-peraturannya yang ketat dan kaku malahan memenjarakan jiwaku, mengungkung cita-citaku. Para guru di Kun-lun-pay mengajar murid-muridnya agar dengan ilmu silat yang dimiliki digunakan untuk membela kebenaran. "Tapi ketika aku membunuh si hartawan penindas rakyat itu, malahan aku diusir oleh perguruanku sendiri. Alasan pengusiranku memang disusun demikian muluk, seakan-akan aku melanggar peraturan pasal ini pasal itu, tapi aku tahu bahwa alasan yang sebenarnya hanyalah karena si tukang tindas itu sahabat Ketua dan bahkan tidak jarang memberi uang banyak kepada Ketua. Bukankah begitu, su-siok? "Bukankah kalian si jenggot-jenggot panjang yang sok pintar ini hanya bisa mengajar orang-orang muda murid kalian, tapi kalian tidak sanggup mengajar diri sendiri? Hanya bisa bicara panjang lebar tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran-ajaran kalian itu? Salahkah kalau aku menjadi muak kepada kalian, dan mencari wadah baru bagi penyaluran cita-citaku?” Jika pada kalimat pertama si pemuda itu masih bicara dengan kalem, maka pada akhir perkataannya telah bernada semakin keras, dan bahkan setengah berteriak, terdorong oleh luapan perasaannya yang selama ini terpendam rapat jauh di dasar hatinya, Wajahnya yang tadinya dingin itupun kini telah menjadi merah padam, pedangnya juga telah terangkat menuding ke wajah Bong-seng Tojin yang agak memucat. Diam-diam Bong-seng Tojin tergetar juga ketika melihat sikap pemuda bekas keponakan muridnya itu, dia tahu benar sampai dimana kemampuan anak muda itu dalam hal ilmu pedang. Biarpun ia hanya angkatan muda, tapi bakat yang dipunyainya adalah sedemikian mengherankan, sehingga dalam latihan beberapa tahun saja ia sudah hampir menyamai guru-guru besar Kun-lun-pay yang berlatih belasan tahun. Itu terjadi beberapa tahun silam, ketika anak muda yang bernama Sebun Peng itu diusir dari perguruannya karena dituduh melakukan pembunuhan sewenang-wenang atas seorang tuan tanah desa. Kini, andaikata Sebun Peng terus berlatih selama ini, entah bagaimana dengan kepandaiannya? Memikirkan hal itu, diam-diam Bong-seng Tojin agak gentar. Tapi dasar keras kepala, ia tidak sudi menunjukkan perasaan gentarnya itu kepada orang lain, apalagi kepada murid-murid Kun-lun-pay yang bertebaran di aula itu. "Kau memang pintar bicara. Di Kun lun-pay kau bisa lolos dari hukuman berat, tapi setelah menjadi anggota Hwe-liong-pang kau harus dihukum mati!" Sebun Peng tertawa tergelak sampai kepalanya mendongak, "Ha-ha-ha, kalian lucu! Hwe-liong-pang sebagai wadah cita-cita hendak kalian tumpas dengan alasan yang dibuat-buat. Sedangkan kaki tangan Kaisar Cong-ceng yang bertebaran dimana-mana dan memeras rakyat, kalian biarkan saja karena kalian takut dicap pemberontak? Dasar munafik!" Alangkah marahnya Bong-seng Tojin karena dicaci-maki seenak sendiri oleh Sebun Peng yang dulu merupakan keponakan muridnya itu, tapi diapun tidak berani bertindak gegabah karena tidak yakin ilmunya bisa menandingi Sebun Peng. Terpaksa ia menahan kemarahan sehingga dadanya terasa hampir meledak! Sebaliknya Sebun Peng tidak ingin cepat-cepat bertempur, melainkan masih ingin menumpahkan isi hatinya yang terpendam bertahun-tahun itu. Sambil menunjuk ke arah In Yong dan Ong Wi-yong, ia berkata, "Su-siok, tahukah kau siapa sebenarnya In Yong dan adik seperguruannya itu. Mereka adalah murid-murid Heng-san-pay, perguruan yang juga menyebut dirinya sebagai golongan pendekar dan kaum lurus. Namun merekapun senasib denganku, merasa terkekang, dan akhirnya menemukan Hwe-liong-pang sebagai wadah penyaluran gejolak jiwa mereka. "Ketahuilah, su-siok, dalam Hwe-liong-pang ini berkumpul orang dari bermacam-macam asal-usul, namun satu cita-cita. Kau tentu tahu bahwa Hong-goan Hweshio adalah murid Siau-lim-pay dulunya, pemimpin Bendera Ungu Lu Siong adalah bekas murid Ngo-tay-pay, si wakil ketua Bendera Hijau, Yu Ling-hoa adalah bekas murid Khong-tong-pay, dan masih banyak lagi murid-murid Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan lain-lain yang bergabung dengan kami...." Sambil tertawa mengejek, Bong-seng Tojin menyambungnya, "Dan malahan ahli-ahli waris dari aliran sesatnya Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) juga ada, bahkan menjadi pucuk pimpinan kalian." Tapi Sebun Peng acuh saja mendengar kecaman itu, malah sambil tertawa dia berkata, "Benar, tapi yang penting bukan sumber ilmunya dari mana, melainkan pengamalan ilmu itu bermanfaat atau tidak. Bukankah Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng itu juga seorang penganut agama yang tadinya dlanggap agama sesat? Tapi ia berhasil membebaskan rakyat dari tindasan bangsa Mongol. Memang pemimpin-pemimpin Hwe-liong-pang kami adalah pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, namun mereka bertujuan luhur untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman Kaisar Cong-ceng yang tidak becus itu, Kaisar yang tidak lebih dari bonekanya si menteri keparat Co Hua-sun itu!" "He, jadi Hwe-liong-pang adalah pendukung pemberontakan di Cu-seng?" "Boleh dikata kami sejalan, meskipun tidak bersama-sama." "Kau tahu berapa banyak korban di kalangan rakyat andaikata perang benar-benar mulai berkobar? Kau tidak akan mempedulikan itu?" Sebun Peng membalas, "Dan tahukah berapa juta orang yang tetap tertindas kemiskinan dan kesengsaraan apabila keadaan dibiarkan seperti ini terus dan Kaisar Cong-ceng serta dorna Co Hua-sun itu tetap berada di Pucuk pemerintahan?” "Kau memang pintar bicara! Sekarang terimalah hukumanmu!" bentak Bong-seng Tojin dengan garang. Sehabis membentak, pedangnyapun langsung menikam dengan Tiang-cian-ji-im (Panah Panjang Menembus Mega) sebuah jurus dalam Kun-lun-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kun-lun-pay) yang menekan kecepatan dan kejutan pada serangannya. Ternyata Bong-seng Tojin tanpa kenal malu telah berbuat licik, dengan pura-pura mengajak Sebun Peng untuk berdebat dan kemudian menyerangnya secara mendadak tanpa menunggu lawan bersiap. Sebun Peng memang tidak mengira paman gurunya akan bertindak selicik itu, sungguh tidak setimpal dengan martabatnya sebagai tokoh perguruan Kun-lun-pay yang termasyhur di wilayah barat itu. Sergapan mendadak itu memang mendatangkan hasil, meskipun Sebun Peng sudah berusaha menghindar tapi tetap saja pundak dan lengannya tergores panjang sampai mengalirkan darah. "Bagus!" teriak Sebun Peng marah. "Anggap saja seranganmu ini sebagai lambang putusnya hubungan lama kita! Su-siok, aku tidak akan segan-segan lagi!" Bong-seng Tojin tidak peduli teriakan kemarahan Sebun Peng itu. Malahan dia menyerang lagi dengan Kui-seng-tiam-goan (Bintang Kejora Menohok Pusar) yang memaksa Sebun Peng menghindar ke samping, namun Bong-seng Tojin membabatkan pedangnya dengan gerak susulan Pek-loh-heng-kang (Embun Putih Menyeberang Sungai). Kali ini Sebun Peng sudah siap dan tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya. Ditangkisnya pedang paman gurunya itu dan kemudian langsung dibalasnya dengan gerakan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-keng (Kera Putih Mencuri Buah Tho dan Menyembah Langit), sebuah gerak rumit penuh perubahan yang amat sulit melatihnya sehingga mahir. Tapi nampaklah bahwa Sebun Peng dapat mempergunakannya dengan lancar dan bertenaga. Bong-seng Tojin terkejut bercampur iri, karena dia sendiri belum bisa sebaik itu dalam memainkan jurus sulit itu, biarpun latihannya jauh lebih lama dari Sebun Peng. Gentar oleh keadaan itu, terpaksa imam berjenggot kaku itu melompat mundur untuk mengambil jarak. Tapi Sebun Peng yang terluka itu sudah terlanjur jadi sangat muak kepada bekas paman gurunya itu, bagaikan banteng ketaton dia terus merangsek maju, bayangan pedangnya bagaikan hujan lebat yang mencurah ke tubuh Bong-seng Tojin. Imam Kun-lun-pay itu mengeluh dalam hati, namun demikian dia malu juga kalau terus menerus melangkah mundur, maka dengan mengeraskan hati diapun mainkan Kun-lun-kiam-hoat untuk bertahan dan membalas menyerang. Begitulah, di tengah-tengah ributnya pertentangan antara orang-orang Hwe-liong-pang dengan kaum penyerbu itu, terjadi pula pertempuran antara dua orang yang sama-sama mahir ilmu pedang dari Kun-lun itu. Karena berasal dari satu perguruan, gerakan kedua pihak begitu serasi, seperti orang yang sedang berlatih saja, namun sinar mata yang buas dan memancarkan nafsu membunuh itulah yang membedakan perkelahian itu dan latihan biasa. Pertempuran antara orang-orang Hwe-liong-pang yang mempertahankan markasnya, dengan orang-orang lima perguruan yang berniat menghancurkan markas itu, pada mulanya hanya terjadi di tempat-tempat tertentu secara berkelompok-kelompok. Namun karena mereka bukan prajurit-prajurit yang terlatih untuk bertempur berkelompok secara teratur, maka sedikit demi sedikit jalannya pertempuran pun mulai berubah. Banyak yang terpencar-pencar dari kelompoknya, sehingga perkelahian pun akhirnya menyebar hampir di segala sudut markas Hwe- liong-pang. Di lorong-lorong, di halaman-halaman dan pintu-pintu yang menyekat antar halaman, di anak-anak tangga, pokoknya hampir di segala tempat. Sudah begitu, orang-orang berbagai perguruan itu mencoba melepaskan api di tempat-tempat yang mereka lalui, sehingga pihak Hwe-liong-pang bukan saja berjuang melawan para penyerbu tapi juga menjaga jangan sampai si jago merah menelan markas mereka. Dengan berkobarnya api besar maupun kecil di berbagai tempat, orang-orang Hwe-liong-pang memang terpecah perhatiannya. Tapi sekaligus juga terbakar amarahnya, tidak kalah panasnya dengan kobaran api yang sedang menelan gedung itu. Akibatnya sungguh gawat. Tidak ampun lagi bagi murid-murid lima perguruan itu kalau sampai jatuh ke tangan orang-orang Hwe-liong-pang yang tengah marah itu. Kemudian tindakan buas orang-orang Hwe-liong-pang itu dibalas lawan-lawannya dengan tidak kalah buasnya pula. Dengan demikian perkelahian besar-besaran di markas Hwe-liong-pang itu sudah bukan lagi seperti pertarungan antara manusia-manusia beradab, tapi mirip bertarungnya dua kelompok hewan buas yang memperebutkan mangsa. Di sebuah lorong yang di kedua ujungnya sudah “tersumbat” oleh orang-orang Hwe-liong-pang, nampaklah orang-orang Tiam-jong-pay di bawah pimpinan Ki Im-kok, si Harimau Terbang Berbaju Biru itu, tengah bertahan dengan gigihnya dari gencetan lawan. Entah mengapa orang-orang Tiam-jong-pay itu bisa sampai terjebak, atau tergiring masuk ke dalam lorong panjang itu, dan tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bertempur sampai titik darah penghabisan sambil mencoba “mencari teman ke liang kubur” sebanyak-banyaknya di pihak lawan.... |
Selanjutnya;
|