Perserikatan Naga Api Jilid 36
KETIKA orang-orang Hwe-liong-pang telah selesai menaikkan tubuh-tubuh dari anggota-anggotanya yang terluka atau tewas ke atas kuda, maka Hong-goan Hweshio maju selangkah dan berkata kepada Yo Ciong-wan, “Yo Tay-hiap, semoga sikap kami kali ini akan menjadi pertanda yang akan membuka mata-hatimu bahwa perdamaian lebih baik daripada permusuhan yang berlarut-larut. Selamat tinggal.”
Namun Yo Ciong-wan menanggapi sikap bersahabat Hong- goan Hweshio itu dengan sikap yang sangat dingin, sahutnya sambil mendengus mengejek, “Tidak akan ada perdamaian dengan iblis-iblis terkutuk semacam kalian, kalian keliru kalau tipu-daya kalian yang berpura-pura baik hati ini akan melumerkan tekad kami untuk menggempur kalian. Tidak perlu perdamaian itu. Sebab begitu kami menyetujui perdamaian dan menjadi lengah, maka kalian akan menumpas kami sedikit demi sedikit dan akhirnya panji-panji iblis kalian akan berkibar di dunia persilatan.”
Au-yang Siau-pa yang sudah akan melompat ke pelana kudanya itu telah berbalik dan siap menghunus goloknya lagi ketika mendengar ucapan Yo Ciong-wan yang memanaskan telinga itu, bahkan Oh Yun-kim yang sudah duduk di punggung kuda dan siap berangkat itupun telah melompat turun kembali dengan wajah merah padam.
Namun pundak kedua Tong-cu itu telah ditekan oleh sepasang telapak tangan Ling Thian-ki, yang membisikkan bujukan kepada kedua Tong-cu itu, “Tenangkan diri kalian.”
“Hong-goan Su-cia terlalu lunak bersikap,” geram Oh Yun-kim.
“Ya, ia terlalu lunak. Andaikata benar bahwa pertikaian ini sengaja diatur oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengadu domba kita dengan kaum sok alim itu, apa salahnya kalau kita buka saja medan perang segitiga antara kita, Te-liong Hiang-cu dan kaum sok suci itu? Apa gunanya kita mendambakan perdamaian tetapi harga diri kita terus-menerus diinjak oleh bangsat-bangsat sok suci itu? Ucapan-ucapan mereka membuat dadaku hampir pecah rasanya,” kata Au-yang Siau-pa.
Meskipun ia telah menghentikan langkah kakinya, tapi telapak tangan kanannya masih melekat erat-erat di tangkai goloknya, dan pandangan matanya yang membara menatap Yo Ciong-wan seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat.
Ling Thian-ki menyadari apa yang sedang bergolak di hati kedua Tong-cu itu mewakili gejolak hati yang sama dari sebagian besar anggota Hwe-liong-pang lainnya, yang merasa sudah cukup menahan diri dalam menghadapi sikap dari sebagian kaum pendekar berbagai perguruan yang dianggap sangat memuakkan itu. Karena itu, Ling Thian-ki tidak membantah apa-apa terhadap ucapan Au-yang Siau- pa itu, hanya disuruhnya kedua Tong-cu itu untuk naik kembali ke kudanya masing-masing.
Sementara itu, rombongan Hoa-san-pay dan Go-bi-pay pun telah siap pula meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh teman-teman mereka pula. Sikap Yo Ciong-wan nampak tetap angkuh, sedikitpun perasaannya tidak tersentuh melihat mayat-mayat murid-murid atau keponakan-keponakan muridnya itu. Sikap yang angkuh itu membuat Ji Tiat si Ang-ki-tong-cu atau Pemimpin Kelompok Bendera Merah dari Hwe-liong-pang itu menyindirnya dengan jengkel,
“Orang she Yo, kau boleh congkak dan bangga dengan keberanian yang kau pamerkan itu. Tapi kau akan tetap teringat bahwa perpanjangan umurmu itu karena belas kasihan pihak kami. Penghinaan ini tidak akan dapat kau hapuskan, sebab kami semua adalah saksi-saksi, bahwa kau yang seharusnya kami tumpas di sini telah kami biarkan pergi.”
Yo Ciong-wan terkesiap, cepat-cepat ia membalik tubuh dengan muka merah padam. Namun pada saat yang bersamaan Hong-goan Hweshio telah melompat ke punggung kudanya dan berteriak kepada anak buahnya, “Berangkat!”
Derap kaki kuda orang-orang Hwe-liong-pang itupun terdengar semakin lama semakin jauh, bayangan-bayangan tubuh merekapun semakin kabur ditelan gelapnya malam. Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah obor-obor mereka yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang di kejauhan, dan akhirnya lenyap.
Sambil memandangi kepergian orang-orang Hwe-liong-pang itu, si rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, Thian-sek Hweshio, bergumam, “Sikap mereka aneh. Seharusnya mereka dapat menumpas kita di tempat ini, mengapa malah membiarkan kita memperpanjang umur kita?”
Yo Ciong-wan berpaling ke arah rekannya dari Go-bi-pay itu dengan alis berkerut, tanyanya, “Itu adalah siasat licik mereka untuk melemahkan jiwa kita, menunjukkan kepada kita bahwa seakan-akan mereka adalah orang-orang yang baik hati. Tapi mereka hanya akan melemahkan kita saja, dan kemudian menumpas kita sampai habis.”
Kata Thian-sek Hweshio, “Tapi jika mereka ingin melemahkan kita, kenapa tidak menumpas kita saja? Bukankah dengan terbunuhnya kita di sini berarti kekuatan seluruh pendekar akan berkurang dan berarti pula semakin lemah?”
“Jika mereka menumpas kita, mereka kuatir bahwa rekan-rekan kita lainnya dari berbagai perguruan justru semakin marah dan mempercepat serbuan iblis-iblis itu siap benar untuk menghadapi rekan-rekan kita. Inilah yang dihindari oleh iblis-iblis licik itu. Mereka merasa tidak mampu menghadapi kekuatan gabungan seluruh perguruan di Tiong-goan ini, lalu mereka memakai akal licik dengan jalan mencuci-tangan, mengarang cerita bahwa yang menyerbu Siong-san itu bukan mereka, tapi orang mereka yang telah berkhianat terhadap ketua mereka sendiri. Aku tidak percaya cerita burung ini. Bukankah beberapa hari yang lalu beberapa orang kita terbunuh di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin? Dan beberapa rombongan kitapun telah bentrok dengan orang-orang mereka? Aku menduga bahwa mereka sengaja omong-kosong untuk mengulur waktu, dan mereka akan sempat mengumpulkan kekuatan mereka kembali setelah mereka kita hajar sampai pontang-panting di Siong-san.”
Kemudian, kepada murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, Yo Ciong-wan berpesan, “Jangan mau diperalat oleh iblis-iblis itu dengan mulut manis beracun mereka. Mereka tentu ingin meminjam mulut-mulut kalian untuk menyebar-luaskan peristiwa ini dan memberi kesan kebaikan palsu mereka. Itu berbahaya, sebab dapat menurunkan semangat tempur rekan-rekan kita dari berbagai perguruan. Mengerti?”
“Kami mengerti,” sahut murid-murid Hoa-san-pay itu. Kemudian Yo Ciong-wan berpesan lebih lanjut, “Yang harus kalian ceritakan justru adalah kekejaman-kekejaman mereka, bagaimana mereka mencincang tubuh teman-teman seperguruan kalian. Dengan demikian cerita ini justru akan menimbulkan semangat teman-teman dari berbagai perguruan, dan menyadarkan mereka bahwa Hwe-liong-pang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.”
Thian-sek Hweshio mengerutkan alisnya mendengar pesan Yo Ciong-wan kepada orang-orangnya itu. Ada terasa kejanggalan dalam pesan itu, namun rahib Go-bi-pay yang berotak kurang cerdas itu tidak dapat menentukan bagian mana yang terasa janggal itu. Maka dengan memanggul toya perunggunya, ia mengikuti saja ketika Yo Ciong-wan melangkah pergi dari tempat itu dengan dada tengadah karena kebanggaan. Sambil melangkah tegap di depan rombongannya, diam-diam Yo Ciong-wan berkata dalam hatinya,
“Pertempuran harus terjadi, tidak boleh batal. Inilah kesempatan bagi Yo Ciong-wan untuk bangkit demi mengangkat nama. Kalau tidak sekarang, barangkali aku harus menunggu berpuluh-puluh tahun lagi, atau bahkan tak ada kesempatan lagi. Jadi, sekarang. Kalau perlu Hong-tay Hweshio, si rahib tua cengeng yang tak berani melihat darah itu harus disingkirkan. Ya, harus disingkirkan bersama orang-orang cengeng lainnya yang mencoba membatalkan penumpasan terhadap iblis-iblis Hwe-liong-pang itu.”
SIANGKOAN HONG, orang yang menjabat Ketua Hwe-liong-pang untuk sementara, Tong Wi-siang dikabarkan sedang “di dalam sanggar semedinya untuk memperdalam ilmu”, menerima laporan tentang pertempuran di pinggir hutan itu dengan darah yang mendidih. Dipandanginya tubuh-tubuh kaku para anggota Hwe-liong-pang yang berlumuran darah, yang dibaringkan berjajar-jajar di ruangan itu dengan ditutup sehelai tikar pada masing-masing tubuh.
Ruangan itu penuh orang, semua tokoh-tokoh utama Hwe-liong-pang berkumpul lengkap di ruangan itu. Dua orang Su-cia, yaitu Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, serta delapan orang pemimpin kelompok serta wakilnya masing-masing. Namun ruangan itu sunyi senyap, bahkan wajah orang-orang Hwe- liong-pang itu nampak tegang.
Kemudian tatapan mata Siangkoan Hong beralih ke wajah Hong-goan Hweshio, katanya dengan nada menegur, “Aku sungguh tidak memahami tindakanmu itu, Hong-goan Su-cia, mengapa kau melepaskan orang-orang yang telah membunuh anak buah kita itu dengan begitu saja dan tidak menghukum mereka?”
“Hiang-cu, aku kira penjelasanku sudah cukup bahwa aku tidak akan menjerumuskan Hwe-liong-pang kita terjebak ke dalam siasat adu domba yang licik oleh Te-liong Hiang-cu. Lebih penting adalah bahwa kita harus...”
Namun ucapan Hong-goan Hweshio itu terputus oleh ucapan Siangkoan Hong dengan nada yang meninggi, menandakan kemarahannya yang mulai meluap, “Kau anggap harga diri Hwe-liong-pang kita bukan masalah penting yang harus dipertahankan dengan darah kita? Kita memang menyadari Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu selalu berusaha mengadu-domba kita dengan kaum sok suci itu, namun apakah untuk menghindari hal itu kita harus mengorbankan kehormatan mereka? Memang pihak kita yang lebih dulu mengulurkan tawaran perdamaian kepada mereka, tapi bukan perdamaian semacam ini yang aku bayangkan! Bukan perdamaian antara si penakluk dan si tertakluk, di mana yang satu diperlakukan sewenang-wenang oleh yang lainnya! Tidak! Kita belum takluk, dan tidak akan pernah takluk, kita tetap orang-orang Hwe-liong-pang yang bangga dan penuh kehormatan memperjuangkan cita-cita kita untuk merombak negeri yang bobrok ini! Kenapa orang-orang sok suci itu memperlakukan kita seperti orang-orang taklukan? Kenapa mereka membunuh anggota-anggota kita di Jing-toh tanpa sebab dan menggunakan alasan yang tidak masuk akal? Kenapa orang-orang Cong-lam-pay itu berkeliaran di sekitar Tiau-im-hong seakan-akan sedang memata-matai kita, atau bahkan menganggap kita ini sebagai orang-orang tawanan yang tidak boleh meninggalkan Tiau-im-hong selangkahpun? Jika Hong-tay Hweshio benar-benar mengingini perdamaian, kenapa tidak dibubarkannya orang-orang bersenjata yang berkeliaran di sekitar bukit kita ini?”
Ruangan itu jadi hening-sunyi, namun setiap hati mulai terbakar oleh kata-kata Siangkoan Hong itu. Tapi Hong-goan Hweshio masih belum putus asa dalam usahanya untuk “mendinginkan” hati pejabat Ketuanya itu. Dengan sangat berhati-hati, dan tidak menimbulkan kesan membantah apa yang diucapkan oleh Siangkoan Hong tadi, rahib suku Hui itu berkata,
“Hiang-cu, menurut dugaanku, orang-orang berseragam Cong-lam-pay yang berkeliaran di sekitar bukit dan kemudian dikejar oleh Au-yang Tong-cu, Kwa Tong-cu serta beberapa saudara kita lainnya itu, adalah orang-orang Cong-lam-pay gadungan. Ilmu silat mereka dan tindak-tanduk mereka tidak mencerminkan tindak-tanduk orang golongan lurus.”
Siangkoan Hong mendengus, “Taruh kata mereka benar-benar orang-orang Cong-lam-pay gadungan, kenapa orang-orang Hoa-san-pay yang asli itu dan juga orang-orang Go-bi-pay langsung saja menyerang rombongan Auyang Tong-cu? Bukan menyelidiki dan menanyakan persoalannya lebih dulu? Hal ini cukup membuktikan bahwa mereka memang tidak berniat setulus hati untuk menerima tawaran damai kita, melainkan mereka sangat membenci kita. Tawaran damai kita dianggapnya bahwa kita takut kepada mereka, lalu mereka pun berbuat seenaknya atas orang-orang kita.”
Hong-goan Hweshio sudah bergerak mulutnya, hendak membantah pendapat Siangkoan Hong yang dianggapnya terlalu gegabah dalam menjatuhkan keputusan itu, namun rahib itu membatalkan niatnya ketika dilihatnya Lim Hong-pin alias Kim-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Emas) itu telah mengedipkan mata ke arahnya. Hong-goan Hweshio menurut, sebab dia telah mengetahui sejelas-jelasnya tentang kepribadian Lim Hong-pin yang tentu diam-diam tidak setuju juga bentrokan dengan kaum pendekar.
Meskipun di antara pucuk pimpinan Hwe-liong-pang itu Lim Hong-pin berusia paling muda, namun justru paling tenang dan paling dapat mengendalikan diri. Ia jauh lebih jernih pikirannya daripada Tong Wi-siang yang keras kepala atau Siangkoan Hong yang berdarah panas dan sangat mudah kehilangan kesabaran itu.
Boleh dikata bahwa Hwe-liong-pang masih berdiri hingga saat itu karena jasa-jasa Lim Hong-pin dengan nasehat-nasehatnya yang sering dilaksanakan oleh Tong Wi-siang. Andaikata Hwe-liong-pang hanya dipimpin oleh Tong Wi-siang atau Siangkoan Hong, mungkin perkumpulan itu sudah akan ambruk dalam waktu beberapa bulan sejak berdirinya.
Lim Hong-pin yang duduk di kursi di samping Siangkoan Hong itu mulai berkata pula, “Betul, orang-orang kaum pendekar itu benar-benar keterlaluan. Kita tidak sudi diinjak-injak semacam ini. Karena itu aku mengusulkan agar kita memperkuat diri sendiri di Tiau-im-hong ini. Semua anggota kita yang masih berpencaran di sekitar gunung harus segera ditarik kemari, siapapun dilarang keluar gunung tanpa ijin Ketua atau pejabat Ketua. Suheng, bagaimana usulku ini?”
Mendengar ucapan Lim Hong-pin itu, diam-diam Hong-goan Hweshio dan tokoh-tokoh yang sependapat dengannya, yang masih berkepala dingin, memuji kecerdikan tokoh ketiga dalam Hwe-liong-pang itu. Nampaknya saja Lim Hong-pin ikut marah dan ikut mencaci-maki kaum pendekar berbagai aliran itu, namun sebenarnya dia justru mencoba menghindarkan bentrokan lebih lanjut dengan orang-orang berbagai aliran.
Jika benar-benar semua anggota Hwe-liong-pang dikumpulkan di Tiau-im-hong, tentu tidak ada yang berkeliaran di luaran, dan ini memperkecil kemungkinan untuk bertemu dengan anggota-anggota berbagai perguruan, berarti memperkecil pula kemungkinan bentrokan.
Sementara itu, bersamaan dengan lewatnya waktu mungkin akan dapat diusahakan tindakan-tindakan yang dapat meredamkan amarah kedua belah pihak. Hong-goan Hweshio belum putus asa dalam hal ini. Dia berusaha menghindari benturan kekerasan dengan pihak para pendekar. Orang-orang yang masih berkepala dingin itu antara lain adalah Ling Thian-ki, Kwa Heng dan In Yong. Dalam suasana panas itu, kelompok mereka memang tidak bersuara sama sekali, sebab pasti dibantah dan didebat beramai-ramai oleh kelompok lainnya. Maka lebih baik diam dan menunggu suasana agar “mendingin” lebih dulu.
Dalam pada itu, usul Lim Hong-pin untuk menarik semua anggota ke atas Tiau-im-hong dengan alasan “agar pertahanan di gunung lebih kuat” itu ternyata diterima oleh Siangkoan Hong sebagai sesuatu yang cukup masuk akal. Sahutnya,
“Aku setuju, dan aku putuskan saja begitu. Mulai sekarang, setiap anggota dilarang turun melewati kaki gunung, kecuali dengan ijin atau sedang menjalankan tugas. Kita akan menunggu Pang-cu, sambil meningkatkan latihan kita.”
Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya menjadi lega mendengar keputusan itu. Mereka menahan senyum ketika melihat Kim-liong Hiang-cu melirik ke arah mereka sambil menganggukkan kepalanya.
Begitulah, mulai hari itu semua anggota Hwe-liong-pang yang berkumpul di Tiau-im-hong itu bagaikan bergejolak semangatnya. Latihan ditingkatkan secara luar biasa. Setiap fajar menyingsing dan cahayanya menghangati punggung, maka seluruh anggota Hwe-liong-pang dengan bertelanjang baju telah mulai berlari-lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong untuk meningkatkan ketahanan jasmani mereka, dengan dipimpin oleh beberapa Tong-cu dan Hu-tong-cu secara bergiliran.
Mereka melakukannya sampai mandi keringat, lalu kembali ke markas, dan melanjutkan latihan dengan keterampilan memainkan senjatanya masing-masing. Sore harinya mereka melakukan hal yang sama. Dalam waktu beberapa hari saja nampaklah kesegaran jasmani para anggota telah meningkat.
Dalam belasan hari memang tidak terjadi bentrokan dengan gabungan pendekar dari berbagai perguruan itu, karena semua anggota Hwe-liong-pang telah ditarik ke Tiau-im-hong, tidak ada lagi yang berkeliaran di luaran dan sering menimbulkan salah-paham dengan pihak pendekar. Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya mengamati perkembangan keadaan itu dengan perasaan agak lega.
Tapi mereka masih berdebar juga jika mengingat bahwa Te-liong Hiang-cu dan pengikutnya masih berkeliaran dengan berbagai wajah, berusaha menyebar permusuhan dengan mulut mereka yang berbisa itu, dengan cara yang halus dan hampir-hampir tidak kentara itu. Ternyata kelegaan mereka itu terlalu pagi.
Pada suatu malam, ketika seluruh markas Hwe-liong-pang telah terlelap dalam tidur di tengah menggigitnya malam dingin, beberapa sosok tubuh kehitam-hitaman nampak merunduk-runduk mendekati markas Hwe-liong-pang dari arah pinggang gunung. Semuanya bergerak dengan gesit dan ringan seperti kucing-kucing hutan, jika ada satu atau dua orang anggota Hwe-liong-pang yang kebetulan lewat untuk meronda sekeliling markas, serempak bayangan-bayangan hitam itu bersembunyi, atau bahkan menyergap dan membantai para peronda itu sama sekali.
Setelah cukup dekat dengan markas Hwe-liong-pang, salah satu dari bayangan itu berkata dengan suara tertahan, “Siapkah panah apinya?”
“Sudah siap, Suhu,” jawab yang lainnya.
Orang yang pertama tadi terdengar tertawa pendek, lalu katanya dengan nada yang geram, “Bagus. Malam ini kita selesaikan segalanya, sendiri, tidak perlu menunggu perintah Hong-tay Hweshio yang bertele-tele dan terlalu banyak pertimbangan itu. Hwe-liong-pang sudah terlalu banyak membunuh murid-murid Hoa-san-pay kita, dan tidak ada perdamaian lagi antara kita dan mereka .Terserah kalau Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay atau Soat-san-pay ingin berdamai dengan iblis-iblis itu, tapi kita tidak. Kita bukan bawahan Siau-lim-pay. Kita orang-orang Hoa-san-pay adalah laki-laki sejati yang akan menuntut bela atas kematian saudara-saudara seperguruan kita.”
Orang yang berbicara itu bukan lain adalah tokoh pertama dari Hoa-san-pay, Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han adanya. Rupanya dendamnya kepada Hwe-liong-pang sudah tak dapat ditawarkan dengan obat apapun, kecuali menghancurkan Hwe-liong-pang secara tuntas barulah dia puas. Malam itu, dia tidak menghiraukan lagi perintah Hong-tay Hweshio sebagai pemimpin umum, agar tidak bergerak dari tempatnya masing-masing dan menunggu isyarat perdamaian lebih lanjut.
Kiau Bun-han tidak peduli lagi, maka diajaknya semua anggota Hoa-san-pay untuk menyerbu Tiau-im-hong secara diam-diam. Selain Hoa-san-pay, ternyata Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay dan Ki-lian-pay, juga sudah tidak sabar lagi melihat upaya damai Hong-tay Hweshio yang dianggap berlarut-larut tanpa hasil yang pasti itu, padahal perguruan-perguruan itupun sudah kehilangan beberapa anggotanya dalam bentrokan di berbagai tempat dengan anak buah Hwe-liong-pang ataupun dengan anak buah Te-liong Hiang-cu.
Dengan demikian, dari pihak gabungan perguruan-perguruan itu sudah ada lima buah perguruan yang memisahkan diri dan tidak mau tunduk kepada pemimpin umum lagi, dan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Malam itu, yang menyerbu diam-diam ke Tiau-im-hong bukan hanya orang-orang Hoa-san-pay, tetapi juga dari keempat perguruan yang membangkang lainnya namun arah serangan mereka berbeda-beda. Mereka sudah bersepakat untuk menghancurkan Hwe-liong-pang di sarangnya sendiri malam itu juga.
“Baik, sekarang lepaskan panah api!” perintah Kiau Bun-han.
Maka panah-panah api serta bumbung-bumbung berisi minyak pun mulai dilempar-lemparkan ke balik tembok yang mengelilingi markas Hwe-liong-pang itu. Bumbung minyak menumpahkan minyaknya di atas atap bangunan dan disusul dengan panah api yang langsung menjilat minyak-minyak itu, maka dalam waktu singkat berkobarlah api di atas sebagian bangunan markas Hwe-liong-pang yang berderet-deret itu.
Teriakan-teriakan terkejut dan marah terdengar dari balik tembok, “Api! Api! Awas ada serangan musuh!” Derap langkah yang berlari-lari hilir-mudik dan gemerincing senjata terdengar dengan ributnya.
Di luar tembok, Kiau Bun-han berdiri dengan tegangnya sambil menatap kobaran api yang menjilat langit itu. Di sebelahnya, adik seperguruan Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan yang berjuluk Tui-seng-kiam itu juga tengah memandang kobaran api dengan senyuman haus darah tersungging di bibirnya. Inilah yang diharapkannya selama ini. Pertempuran besar. Pertumpahan darah. Inilah arena yang akan digunakannya untuk mengangkat namanya menjadi nama yang terkenal, bukan cuma nama yang terlindung oleh bayang-bayang kebesaran nama kakak seperguruannya.
Dalam hatinya dia berharap agar kakak seperguruannya segera memberi perintah untuk menyerbu, supaya ia segera dapat melompati tembok itu dan menyabetkan pedangnya ke kiri dan kanan untuk membantai musuh sebanyak-banyaknya. Ya, ia sudah rindu akan muncratnya darah dan lolongan kesakitan lawan-lawannya.
Kobaran api itu ternyata tidak hanya bertujuan mengagetkan musuh, tapi juga sekaligus isyarat bagi orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Ki-lian-pay dan Tiam-jong-pay di arah yang berbeda-beda, bahwa serangan sudah bisa dimulai.
Pihak Go-bi-pay yang dipimpin oleh Go-bi-sam-sin-ceng (Tiga Pendekar Sakti dari Go-bi-pay) yaitu Thian-bok Hweshio yang bersenjata pedang yang panjangnya hampir satu setengah kali dari pedang biasa, Thian-sek Hweshio yang bersenjata toya perunggu yang beratnya hampir delapan puluh kati, dan Thiang-cong Hweshio dengan senjatanya yang berwujud Liong-hou-siang-hoan (Sepasang Gelang Naga dan Harimau).
Orang ketiga dalam Go-bi-sam-sin-ceng ini belum pernah bentrok dengan Hwe-liong-pang, namun karena kedua kakak seperguruannya mengatakan bahwa orang Hwe-liong-pang itu jahat-jahat, maka si adik seperguruan ini tanpa pikir panjang juga ikut memutuskan untuk menyerbu Tiau-im-hong dan menumpas “para iblis”. Dia adalah ahli dalam hal gwa-kang (tenaga luar), sesuai dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar itu.
Begitu melihat kobaran api, Thiang-goan Hweshio memerintahkan seluruh murid-murid Go-bi-pay untuk siap-siap menyerbu. Sebagai seorang pendeta, agaknya Thian-goan Hweshio sungkan juga untuk menggunakan api dan main bakar seperti kawanan perampok, maka ia memilih untuk langsung menyerbu saja tanpa menyerang dengan panah api dulu. Begitulah dengan dipelopori tiga tokoh utamanya, orang-orang Go-bi-pay yang berjumlah hampir lima puluh orang itu segera menyerbu ke arah markas Hwe- liong-pang.
Ketika mereka kebentur tembok yang mengelilingi markas musuh, Thian-goan Hweshio segera berkata, “Thian-cong Sute, buat pintu!”
Si adik seperguruan mengerti yang dimaksudkan dengan “membuat pintu” itu. Dia segera maju ke arah tembok. Dengan hantaman sepasang gelangnya yang bertubi-tubi ke arah tembok, tidak lama kemudian terciptalah sebuah “pintu” di tembok itu, tidak peduli tembok itu terbuat dari batu bata rangkap dua yang direkat dengan semen yang baik.
Melihat kehebatan tenaga Thian-cong Hweshio itu, bersoraklah murid-murid Go-bi-pay dan sekaligus berkobarlah semangat tempur mereka. Didahului oleh Thian-goan Hweshio yang membolang-balingkan pedangnya, mereka menyerbu masuk lewat lobang itu, dan langsung bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang agaknya sudah terbangun pula.
Serbuan mendadak dari segala penjuru itu memang cukup mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Untunglah bahwa selama ini mereka pun selalu dalam suasana perang, sehingga dengan tangkasnya mereka pun bersiap untuk mempertahankan diri. Sebagian menahan serbuan musuh, sebagian lagi memadamkan api, dan ada pula yang membunyikan lonceng tanda bahaya.
Kesunyian lereng Tiau-im-hong di malam hari itu segara berubah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan kemarahan dan suara senjata yang beradu di segala sudut, bercampur dengan suara lonceng yang menggema sampai di kejauhan.
Dari arah yang berbeda-beda, orang-orang Kun-lun-pay yang dipimpin oleh Bong-san Tojin, orang-orang Tiam-jong-pay pimpinan pendekar Ki Im-kok yang berjuluk Lam-i-hui-hou (Macan Terbang Berbaju Biru), serta orang-orang Ki-lian-pay di bawah pimpinan Im-kan-jio (Si Tombak Akherat) Liu Hui-ko juga telah menyerbu. Dengan demikian untuk sementara pihak Hwe-liong-pang memang menjadi agak panik.
Namun setelah pimpinan mereka para Su-cia, Tong-cu dan Hu-tong-cu keluar pula ke arena pertempuran, maka para anggota Hwe-liong-pang menjadi agak tenang dan bertahan dengan penuh semangat. Apalagi setelah Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin munculkan diri pula karena dikejutkan oleh suara genta bertalu-talu itu.
Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan, Lim Sin serta si jago muda Auyang Seng merupakan ujung-ujung tombak barisan Hoa-san-pay yang mendobrak dari arah selatan dengan melompati tembok itu. Anggota-anggota Hwe-liong-pang yang masih mengantuk itu kocar-kacir dibabat oleh keempat jago Hoa-san-pay ini, sedangkan murid-murid Hoa-san-pay lainnyapun menyerbu dengan berapi-api pula. Dalam sekejap saja barisan Hwe-liong-pang di sisi selatan ini telah terdesak mundur dengan meninggalkan beberapa korban, karena tak seorang pun sanggup menahan amukan keempat jago Hoa-san-pay itu.
“Hayo, murid-murid Hoa-san-pay, bumi hanguskan sarang iblis ini!” teriak Yo Ciong-wan nyaring. “Kelak nama Hoa-san-pay kita akan dikenang melebihi kenangan terhadap Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay yang ternyata hanya bernama besar tapi tidak berani berbuat apa-apa kepada golongan iblis ini!”
Tiba-tiba dari pihak Hwe-liong-pang ada yang tertawa dingin dan menyahut seruan Yo Ciong-wan itu, “Sungguh bermulut besar. Siau-lim-pay dan perguruan-perguruan lain yang tidak ikut dalam penyerbuan ini bukanlah karena takut, tapi karena mereka dapat berpikir jernih dan tahu ada yang mengadu domba kita. Sedang kau yang sering berlagak pintar inilah yang sebenarnya tolol seperti keledai, dengan mudah dapat diadu seperti cengkerik saja!”
Waktu Yo Ciong-wan dan orang-orang Hoa-san-pay lainnya menoleh ke arah suara itu, nampaklah seorang rahib kekar bertampang suku Hui tengah berdiri tegak dan memandang orang-orang Hoa-san-pay dengan marahnya, tangan kanannya memegang toya Hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit).
Dia adalah Hong-goan Hweshio, salah seorang tokoh Hwe-liong-pang yang sudah dialaminya sendiri kelihaiannya oleh Yo Ciong-wan beberapa hari yang lalu. Waktu itu Hong-goan Hweshio hanya bertangan kosong, apalagi kini ia membawa senjatanya, maka diam-diam bergetar juga hati Yo Ciong-wan.
Sementara itu Yo Ciong-wan telah melanjutkan kata-katanya, “Rahib asing, jangan mencari dalih yang bukan-bukan untuk menyelamatkan Hwe-liong-pang dari kehancuran! Malam ini Hwe-liong-pang dan segala isinya akan hancur!”
Hong-goan Hweshio yang biasanya bermuka ramah dan banyak tertawa itu, kali ini nampak begitu seram bagaikan malaikat yang turun dari langit. Dengan sengit ia menjawab, “Bukan Hwe-liong-pang kami yang akan hancur, tapi kalianlah yang akan kami hancurkan malam ini juga! Kami memang cinta perdamaian dan sedang mengusahakan perdamaian, tetapi tidak dengan orang-orang yang telah berani mengobrak-abrik markas kami dan bahkan membakarnya!”
Menutup ucapannya itu, Hong-goan Hweshio telah menggerakkan ujung senjatanya langsung ke dada Yo Ciong-wan, serangannya itu membawa desir angin yang keras, menandakan tenaga si rahib Hui yang hebat. Yo Ciong-wan sudah mengetahui kelihaian rahib itu dalam pertempuran di pinggir hutan beberapa hari yang lalu, maka ia tidak berani menangkis serangan itu dengan keras lawan keras, cepat-cepat tokoh kedua di Hoa-san-pay itu melompat ke samping.
Baru saja Yo Ciong-wan memikir untuk membalas serangan itu, tahu-tahu senjata si rahib telah menyabet mendatar dengan hebatnya, sekali lagi Yo Ciong-wan harus menghindar dengan melompat mundur. Tapi Hong-goan Hweshio yang telah marah besar itu tidak melepaskan lawannya, ujung senjatanya gagal mengenai tubuh lawan, maka tangkai senjatanyalah yang menyusul memburu Yo Ciong-wan dibikin kalang kabut oleh serangan Hong-goan Hweshio yang beruntun.
Untunglah, pada saat kesulitan di pihak Yo Ciong-wan itu, si jago muda Hoa-san-pay, Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) itu telah menyelip maju untuk membantu paman gurunya. Meskipun Auyang Seng itu hanya merupakan keponakan murid Yo Ciong-wan, namun karena bakatnya yang baik dan latihannya yang keras, maka tingkat ilmunya justru tidak kalah dari paman- paman gurunya.
Karena itulah bantuan Auyang Seng terasa cukup berarti bagi Yo Ciong-wan. Dan paman guru serta keponakan murid itupun kemudian bekerja sama melawan Hong-goan Hweshio yang mengamuk dengan Hong-pian- jiannya yang menderu-deru menguncupkan keberanian lawan itu.
Sedangkan Kiau Bun-han pun tidak dapat malang-melintang lebih lanjut, sebab di hadapannya kini telah menghadang seorang pemuda yang memegang golok bulan sabit di tangannya, memakai pakaian daerah Su-coan, lengkap dengan sorban putih dan rompi kulit dombanya. Melihat sikap penghadangnya yang begitu tenang dan penuh kepercayaan diri sendiri, Kiau Bun-han tidak berani memandang ringan, tegurnya,
“Siapa kau? Kelihatannya kau bukan anggota biasa Hwe-liong-pang?”
Orang itu menyahut dingin, “Aku Au-yang Siau-pa, pemimpin Kelompok Bendera Hijau (Jing-ki-tong)!”
Kiau Bun-han mengangkat pedangnya dan menudingkannya ke arah lawan sambil berkata, “Bagus, rupanya kau salah satu pentolan dalam sarang setan ini. Biarlah kubabat dulu pentolan-pentolannya, baru kubersihkan kerucuk-kerucuknya kemudian!”
Ternyata Au-yang Siau-pa yang tidak suka banyak bicara itu tidak menunggu sampai Kiau Bun-han selesai menutup mulutnya. Kakinya meluncur maju dan golok bulan sabitnya pun digerakkan, maka muncullah selapis bayangan berwarna keperak-perakan yang melebar dan membawa hawa dingin tajam, di balik bayangan itu nampak seakan-akan puluhan batang golok membacok serempak.
Terkejutlah Kiau Bun-han melihat kecepatan golok lawannya. Cepat-cepat dia menggerakkan pedang untuk menangkis, dan kemudian kedua orang itupun terlihatlah dalam sebuah pertempuran sengit satu lawan satu yang hebat. Kedua-duanya sama-sama mengutamakan kecepatan geraknya dalam permainan silatnya, maka yang nampak di tengah arena itu bukan dua manusia yang tengah berkelahi, tapi hanya bayangan golok dan pedang berpuluh-puluh jumlahnya dan saling menyambar tak henti- hentinya. Bayangan Au-yang Siau-pa dan Kiau Bun-han tidak terlihat lagi karena terselubung bayangan senjata mereka.
Kini di pihak Hoa-san-pay tinggallah Lim Sin yang belum menemukan lawan seimbang. Tapi itupun sudah lama, sebab Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Hijau) telah menghadangnya tidak lama kemudian dan melibatnya dalam pertempuran sengit yang seimbang. Yu Ling-hoa si bekas murid Khong-tong-pay dengan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) itu ternyata mampu menandingi tokoh ketiga dari Hoa-san-pay itu.
Dengan demikian keempat jago andalan Hoa-san-pay itu telah menemui lawannya sendiri-sendiri, mereka tidak lagi babat sana babat sini seperti tadi. Bahkan karena jumlah orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak, maka sedikit demi sedikit orang-orang Hoa-san-pay mulai terdesak ke arah tembok, dan kedua pihakpun mulai kehilangan orang-orangnya yang berguguran dimangsa senjata. Tapi jatuhnya korban satu demi satu itu tidak meredakan pertempuran, malahan semakin mengobarkannya, sebab masing-masing pihak semakin bernafsu untuk menuntut bela bagi teman-temannya.
Sambil bertempur melayani keroyokan Yo Ciong-wan dan Auyang Seng, Hong-goan Hweshio sempat memperhatikan gelanggang pertempuran secara keseluruhan, dan hatinya pedih bukan main melihat betapa kedua belah pihak sudah sulit didamaikan lagi agaknya. Masing-masing berkelahi dengan buasnya bagaikan kesurupan setan. Dalam hatinya dia juga berpikir,
“Sungguh mengherankan bahwa orang-orang Hoa-san-pay bisa lepas dari ikatan dan bertindak sendiri semacam ini. Apakah Hong-tay Suheng tidak mampu lagi menguasai perguruan-perguruan yang sementara ini di bawah pimpinannya? Ataukah malahan Suheng sudah terpengaruh oleh siasat adu domba Te-liong Hiang-cu ini dan justru menyuruh orang-orang Hoa-san-pay ini menyerbu lebih dulu untuk membuka jalan bagi serangan berikutnya yang lebih hebat?”
Namun Hong-goan Hweshio tidak sempat berangan-angan macam-macam lagi, adalah suatu kenyataan yang jelas tertera di depan matanya bahwa beberapa perguruan telah melepaskan diri dari ikatan gerakan bersama, dan malam itu menyerbu serta membakar markas Hwe-liong-pang. Suatu kenyataan pula bahwa Yo Ciong-wan dan Auyang Seng sangat bernafsu untuk menghujamkan pedangnya dalam-dalam ke tubuh Hong-goan Hweshiol, sehingga rahib Hui itu harus bertempur dengan gigihnya.
Di antara lima perguruan yang menyerbu Tiau-im-hong malam itu, yang paling nekad adalah orang-orang Kun-lun-pay. Mereka tidak menjebol tembok atau melompati tembok untuk masuk ke dalam markas Hwe-liong-pang, melainkan menerjang langsung lewat pintu gerbang. Terdiri dari kaum Tojin dan orang biasa yang rata-rata bersenjata pedang, mereka menyerbu dipimpin oleh Bong-san Tojin, si imam jangkung yang sambaran pedangnya bagaikan surat undangan Giam-lo-ong (Raja Akherat) itu.
Jumlah mereka juga paling banyak dibandingkan perguruan-perguruan penyerang lainnya, kira-kira hampir delapan puluh orang. Beberapa anggota Hwe-liong-pang yang menjaga pintu gerbang, menjadi korban sia-sia bagi pedang Bong-san Tojin yang sebentar saja sudah merah karena darah. Sambil melangkahi mayat-mayat anggota-anggota Hwe-liong-pang Bong-san Tojin berseru kepada murid-murid Kun-lun-pay,
“Lebih dulu serbu aula! Hancurkan papan nama Hwe-liong-pang ini!”
Namun sebelum orang-orang Kun-lun-pay itu sempat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi, dari halaman tengah telah keluar serombongan orang Hwe-liong-pang yang dipimpin seorang lelaki muda, yang tangannya membawa sepasang golok liu-yap-to. Dialah Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) dari Hwe-liong-pang, In Yong yang berjuluk Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar). Di sampingnya ada laki-laki muda lainnya yang juga membawa sepasang golok, yang bukan lain adalah wakilnya dan sekaligus juga adik seperguruannya, bernama Ong Wi-yong, berjuluk Hui-long (Serigala Terbang).
Seperti telah diketahui, dulunya wakil In Yong adalah Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Lo Cia Kecil). Kemudian Ma Hiong diangkat menjadi Tong-cu dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) untuk menggantikan jabatan yang ditinggalkan oleh Tong-cu lama, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang yang telah berkhianat dan menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu itu. Untuk mengisi kekosongan wakil ketua di kelompoknya, In Yong mengangkat adik seperguruannya sendiri, dan ternyata tidak ada keberatan dari anggota-anggota kelompok lainnya.
Ketika melihat penjaga-penjaga gerbang telah bergelimpangan dibantai oleh Bong-san Tojin dan orang-orang Kun-lun-pay lainnya, seketika itu meluaplah darah In Yong. Sambil melompat maju ia berteriak, “Beginikah perbuatan dari seorang imam yang mengaku sebagai pendekar golongan lurus dan taat beragama pula? Benar-benar tak berperikemanusiaan!”
Bong-san Tojin tertawa berderai, “Ha-ha-ha... kau mencoba menutupi ketakutanmu dengan bersikap segarang mungkin? Kau marah atas terbunuhnya kawan-kawanmu ini? He, kawanan iblis, dengarlah! Kematian orang-orang semacam kalian ini semakin cepat semakin baik, dunia pun akan menjadi semakin bersih!”
Darah In Yong kian mendidih, “Imam munafik, kalianlah orang-orang yang mengotori dunia ini! Kalian hidup dalam menara kebanggaan yang kalian ciptakan sendiri, terpisah dari masyarakat ramai. Kalian menganggap diri kalian sendiri dengan bermacam sebutan golongan lurus, kaum ksatria, penjunjung kebenaran dan sebagainya. Benar-benar memuakkan. Tapi apa yang kalian perbuat ketika rakyat kecil memerlukan pembelaan dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh ketidak-becusan Kaisar Cong-ceng? Apa yang kalian perbuat, hah? Kalian tetap tinggal dalam sarang kalian sendiri-sendiri, takut terlibat, menulikan telinga terhadap jeritan rakyat! Dan siapakah yang kemudian turun tangan membela rakyat tertindas? Hwe-liong-pang! Namun kalian yang iri, takut tersaingi ketenaran kalian, lalu mencap kami sebagai golongan sesat dan bahkan memusuhi kami! Kalian tidak menjunjung kebenaran dan kemanusiaan seperti yang kalian gembar-gemborkan sendiri, melainkan hanya menjunjung tinggi pamor perguruan masing-masing, harga diri masing-masing, nama besar sendiri-sendiri! Bangsat! Kalianlah yang harus lenyap dari muka bumi ini!”
Sebagai tokoh Kun-lun-pay yang biasanya dihormati dan disanjung orang, kapankah Bong-san Tojin pernah menerima caci-maki setajam itu? Biarpun caci-maki itu ada juga yang menyentuh hati kecilnya, dan terasa pula kebenarannya, namun Bong-san Tojin tidak sudi mengakuinya secara terang-terangan. Ia akan kehilangan muka! Karena itu, dengan muka merah padam dia balas membentak, “Bangsat Hwe-liong-pang bukan saja perbuatan kalian yang kotor, tapi mulut kalian pun sangat kotor. Pedangku akan merobek mulutmu yang penuh kenajisan itu!”
In Yong biasanya bersikap tenang itu, kali ini agaknya terpancing kemurkaannya oleh kecongkakan Bong-san Tojin itu. Kepada anak buahnya dia berseru, “Serang! Jangan ada seorang pun di antara mereka yang lolos!”
Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah gatal ketika melihat rekan-rekan mereka dibunuhi itu, maka perintah In Yong itu kebetulan cocok dengan gelora perasaan mereka. Mereka segera berlompatan maju, senjata-senjata yang sejak tadi sudah dihunus keluar itu, kini mulai menyambar-nyambar mencari mangsa. Sedang murid-murid Kun-lun-pay juga menyambutnya tanpa kenal takut.
Begitulah, di depan aula di halaman depan itupun berkobar pertempuran sengit yang tidak kalah hebatnya di bagian-bagian lain dari gedung Hwe-liong-pang itu. In Yong yang sangat muak kepada Bong-san Tojin itu telah menerjang langsung ke arah imam Kun-lun-pay itu dengan sepasang goloknya. Lebih dulu golok kanan menyambar dengan gerakan Sui-in-piau-hui (Awan Beterbangan), dan ketika imam lawannya menangkis dengan pedangnya, In Yong dengan tangkas memutar golok kanannya untuk melibat senjata lawan, sedang golok kirinya disabetkan langsung ke arah lambung.
Bong-san Tojin yang tadinya menganggap remeh lawannya itu, terkejut bukan kepalang ketika merasakan sendiri betapa tangkasnya In Yong memainkan sepasang liu-yap-to-nya itu. Hampir saja pedangnya terputar dan terlempar dari tangannya, dan lambungnya tersobek oleh golok kiri lawannya, Untung bahwa Bong-san Tojin juga bukan tokoh sembarangan. Dalam terkejutnya dia sempat melakukan gerakan Gan-heng-sia-ki (Burung Meliwis Terbang Rendah), sambil menekuk pinggang dia melompat keluar dari jangkauan serangan In Yong.
“Imam berhati kejam, hendak lari ke mana kau?” bentak In Yong yang tidak mau melepaskan lawannya itu. Bong-san Tojin mundur, maka In Yong pun terus mendesak maju dengan tiga jurus beruntun Lo-cia Lo-hay (Lo-cia Mengaduk Lautan), Pek-in-kak-he-hian (Mega Putih Mengalir di Telapak Kaki) dan Sui-hong-pai-liu (Cemara Bergoyang Tertembus Angin). Begitu sengit serangannya, begitu cepat gerakan sepasang goloknya, sehingga Bong-san Tojin benar-benar gelagapan dibuatnya.
Imam itu melihat seakan-akan ada puluhan batang golok sekaligus yang menghujani tubuhnya dengan bacokan bertubi-tubi dari berbagai arah, maka bayangan golok yang asli dan mana yang palsu sulit dibedakan. Dalam beberapa gebrakan saja imam Kun-lun-pay yang sombong itu dipaksa mundur bertahan sampai enam langkah, bahkan pada langkah yang ketujuh golok kiri In Yong berhasil merobek paha kanannya yang terlambat melangkah.
Karena gugupnya, Bong-san Tojin sampai lupa akan sikapnya yang angkuh tadi, sambil menggerak-gerakkan pedang untuk menangkis, dia berteriak kepada salah seorang imam lain dari Kun-lun-pay yang tengah bertempur tidak jauh darinya, “Bong-sin Sute, bantu aku!”
In Yong tertawa dingin melihat sikap lawannya itu, “Jangan cuma satu Sute-mu yang kau suruh mengeroyokku, tapi beberapa orang sekaligus pun tidak mengapa, malahan aku akan berkesempatan melihat kehebatan murid-murid Kun-lun-pay sesuai dengan nama besar kalian!”
Bong-san Tojin menggeram mendengar sindiran tajam itu, sahutnya sambil tetap berkelahi, “Untuk membasmi kaum iblis....”
Namun In Yong telah menyambung kata-katanya sambil tertawa mengejek, “... tidak perlu menghiraukan tata-krama dunia persilatan, bukankah begitu yang hendak kau ucapkan? Memang itulah satu-satunya alasan kalian untuk berbuat pengecut. Alasan yang sangat masuk akal!”
Bong-sang Tojin yang biasa angkuh dan sangat membanggakan diri itupun menjadi merah-padam mukanya, mulutnya pun bungkam tak dapat menjawab sindiran itu. Namun adalah kenyataan bahwa dia tidak sanggup melawan In Yong seorang diri, terpaksa minta bantuan salah seorang adik seperguruannya.
Begitulah, tak lama kemudian In Yong dengan sepasang golok tipisnya terpaksa harus berhadapan dengan sepasang kakak beradik seperguruan dari Kun-lun-pay, Bong-san dan Bong-sin Tojin. Dengan demikian In Yong harus bekerja keras luar biasa menghadapi lawan-lawannya yang tanggh dalam ilmu pedang itu. Untunglah bahwa latihan keras In Yong dalam beberapa bulan terakhir ini telah menghasilkan buah yang membanggakan.
Hampir setiap pagi dan sore, bahkan malam haripun jika ada kesempatan, In Yong selalu mengulang-ulang memainkan jurus-jurus sepasang goloknya, bukan hanya puluhan kali namun ratusan kali setiap harinya. Tidak lupa ia berlatih keras pula menambah tenaganya, sehingga sekarang terlihatlah betapa hebatnya permainan sepasang goloknya itu. Goloknya yang hanya dua helai itu seolah-olah terpecah-pecah menjadi banyak sekali, bayangannya berkelebatan mengurung lawan-lawannya. Menghadapi dua orang tokoh Kun-lun-pay sekaligus, In Yong ternyata tidak terdesak, meskipun ia juga sulit untuk mendesak kedua lawannya.
Sementara itu, adik seperguruan dan wakil In Yong, yaitu Hui-long Ong Wi-yong juga harus menghadapi dua orang lawan tosu yang bernama depan “Bong” dari Kun-lun-pay, yaitu imam-imam yang seangkatan dengan Bong-san Tojin. Kedua imam itu ialah Bong-thian dan Bong-go Tojin. Biarpun ilmu Ong Wi-yong belum setangguh kakak seperguruannya, namun selisihnya juga cuma sedikit, sehingga Ong Wi-yong pun ternyata sanggup membuat lawan-lawannya terheran-heran dan harus memeras keringat.
Dalam rombongan orang-orang Kun-lun-pay itu, ada lima orang Tojin bernama depan Bong, yang kepandaiannya rata-rata hampir setingkat. Selain Bong-san dan Bong-sin yang sudah terikat dalam perkelahian melawan In Yong serta Bong-thian dan Bong-go yang dihadapi oleh Ong Wi-yong, masih ada Bong-seng Tojin yang belum bertemu lawan seimbang.
Untuk menghadapi amukan tokoh Kun-lun-pay yang satu ini, pihak Hwe-liong-pang terpaksa harus mengerahkan lima orang anggota terbaiknya hanya untuk melawan satu orang saja. Itupun Bong-seng Tojin masih bisa “meminta korban” berulang kali, melukai atau bahkan membunuh orang-orang yang mengeroyoknya satu demi satu dan kemudian berganti lawan lagi.
Tapi kegarangan Bong-seng Tojin itu terhenti, ketika ada sesosok bayangan meluncur turun dari atas genteng dan mendarat tepat di depan Bong-seng Tojin. Orang yang melompat turun itu ternyata seorang lelaki muda sebaya dengan In Yong, bertubuh tegap dan berpandangan mata tajam menusuk, tangan kanannya membawa sebatang pedang yang bentuknya mirip dengan pedang orang-orang Kun-lun-pay.
Dengan pandangan mata yang tajam menusuk, ia memandang ke arah Bong-seng Tojin, dan menyapa dengan suara dingin, "Selamat bertemu kembali, su-siok (paman guru). Alangkah hebatnya ilmu silat su-siok yang tadi kulihat dari atas genteng, namun tidak ada artinya su-siok membunuhi teman-temanku yang bukan tandinganmu itu."
Ketika melihat pemuda yang berdiri di hadapannya itu, terbelalaklah mata Bong-seng Tojin. Kumis dan jenggot pendeknya yang kaku seperti kawat itu bergerak-gerak karena menahan luapan perasaannya, kemudian berkatalah ia, "Anak murtad, jadi selama beberapa tahun ini kau ternyata telah menjadi anggota perkumpulan setan-setan iblis ini?"
Pemuda itu tetap dingin, "Benar, su-siok. Bahkan bukan anggota biasa saja, tapi aku mendapat kehormatan juga untuk menjadi Ui-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Kuning)."
Mata Bong-seng Tojin melotot semakin lebar, "Mendapat kehormatan katamu? Bukan! Tapi aku mendatangkan kenajisan bagi nama suci Kun-lun-pay kami! Sungguh penasaran bahwa Kun-lun-pay juga menghasilkan iblis kecil seperti kau ini!"
"Su-siok keliru. Selama ini aku tetap menghormati Kun-lun-pay sebagai perguruanku, sebagai sumber ilmuku, namun ternyata Kun-lun-pay bukan tempat persemaian yang subur bagi cita-cita yang bergejolak dalam hatiku, bahkan Kun-lun-pay dengan peraturan-peraturannya yang ketat dan kaku malahan memenjarakan jiwaku, mengungkung cita-citaku. Para guru di Kun-lun-pay mengajar murid-muridnya agar dengan ilmu silat yang dimiliki digunakan untuk membela kebenaran.
"Tapi ketika aku membunuh si hartawan penindas rakyat itu, malahan aku diusir oleh perguruanku sendiri. Alasan pengusiranku memang disusun demikian muluk, seakan-akan aku melanggar peraturan pasal ini pasal itu, tapi aku tahu bahwa alasan yang sebenarnya hanyalah karena si tukang tindas itu sahabat Ketua dan bahkan tidak jarang memberi uang banyak kepada Ketua. Bukankah begitu, su-siok?
"Bukankah kalian si jenggot-jenggot panjang yang sok pintar ini hanya bisa mengajar orang-orang muda murid kalian, tapi kalian tidak sanggup mengajar diri sendiri? Hanya bisa bicara panjang lebar tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran-ajaran kalian itu? Salahkah kalau aku menjadi muak kepada kalian, dan mencari wadah baru bagi penyaluran cita-citaku?”
Jika pada kalimat pertama si pemuda itu masih bicara dengan kalem, maka pada akhir perkataannya telah bernada semakin keras, dan bahkan setengah berteriak, terdorong oleh luapan perasaannya yang selama ini terpendam rapat jauh di dasar hatinya, Wajahnya yang tadinya dingin itupun kini telah menjadi merah padam, pedangnya juga telah terangkat menuding ke wajah Bong-seng Tojin yang agak memucat.
Diam-diam Bong-seng Tojin tergetar juga ketika melihat sikap pemuda bekas keponakan muridnya itu, dia tahu benar sampai dimana kemampuan anak muda itu dalam hal ilmu pedang. Biarpun ia hanya angkatan muda, tapi bakat yang dipunyainya adalah sedemikian mengherankan, sehingga dalam latihan beberapa tahun saja ia sudah hampir menyamai guru-guru besar Kun-lun-pay yang berlatih belasan tahun. Itu terjadi beberapa tahun silam, ketika anak muda yang bernama Sebun Peng itu diusir dari perguruannya karena dituduh melakukan pembunuhan sewenang-wenang atas seorang tuan tanah desa.
Kini, andaikata Sebun Peng terus berlatih selama ini, entah bagaimana dengan kepandaiannya? Memikirkan hal itu, diam-diam Bong-seng Tojin agak gentar. Tapi dasar keras kepala, ia tidak sudi menunjukkan perasaan gentarnya itu kepada orang lain, apalagi kepada murid-murid Kun-lun-pay yang bertebaran di aula itu. "Kau memang pintar bicara. Di Kun lun-pay kau bisa lolos dari hukuman berat, tapi setelah menjadi anggota Hwe-liong-pang kau harus dihukum mati!"
Sebun Peng tertawa tergelak sampai kepalanya mendongak, "Ha-ha-ha, kalian lucu! Hwe-liong-pang sebagai wadah cita-cita hendak kalian tumpas dengan alasan yang dibuat-buat. Sedangkan kaki tangan Kaisar Cong-ceng yang bertebaran dimana-mana dan memeras rakyat, kalian biarkan saja karena kalian takut dicap pemberontak? Dasar munafik!"
Alangkah marahnya Bong-seng Tojin karena dicaci-maki seenak sendiri oleh Sebun Peng yang dulu merupakan keponakan muridnya itu, tapi diapun tidak berani bertindak gegabah karena tidak yakin ilmunya bisa menandingi Sebun Peng. Terpaksa ia menahan kemarahan sehingga dadanya terasa hampir meledak!
Sebaliknya Sebun Peng tidak ingin cepat-cepat bertempur, melainkan masih ingin menumpahkan isi hatinya yang terpendam bertahun-tahun itu. Sambil menunjuk ke arah In Yong dan Ong Wi-yong, ia berkata, "Su-siok, tahukah kau siapa sebenarnya In Yong dan adik seperguruannya itu. Mereka adalah murid-murid Heng-san-pay, perguruan yang juga menyebut dirinya sebagai golongan pendekar dan kaum lurus. Namun merekapun senasib denganku, merasa terkekang, dan akhirnya menemukan Hwe-liong-pang sebagai wadah penyaluran gejolak jiwa mereka.
"Ketahuilah, su-siok, dalam Hwe-liong-pang ini berkumpul orang dari bermacam-macam asal-usul, namun satu cita-cita. Kau tentu tahu bahwa Hong-goan Hweshio adalah murid Siau-lim-pay dulunya, pemimpin Bendera Ungu Lu Siong adalah bekas murid Ngo-tay-pay, si wakil ketua Bendera Hijau, Yu Ling-hoa adalah bekas murid Khong-tong-pay, dan masih banyak lagi murid-murid Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan lain-lain yang bergabung dengan kami...."
Sambil tertawa mengejek, Bong-seng Tojin menyambungnya, "Dan malahan ahli-ahli waris dari aliran sesatnya Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) juga ada, bahkan menjadi pucuk pimpinan kalian."
Tapi Sebun Peng acuh saja mendengar kecaman itu, malah sambil tertawa dia berkata, "Benar, tapi yang penting bukan sumber ilmunya dari mana, melainkan pengamalan ilmu itu bermanfaat atau tidak. Bukankah Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng itu juga seorang penganut agama yang tadinya dlanggap agama sesat? Tapi ia berhasil membebaskan rakyat dari tindasan bangsa Mongol. Memang pemimpin-pemimpin Hwe-liong-pang kami adalah pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, namun mereka bertujuan luhur untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman Kaisar Cong-ceng yang tidak becus itu, Kaisar yang tidak lebih dari bonekanya si menteri keparat Co Hua-sun itu!"
"He, jadi Hwe-liong-pang adalah pendukung pemberontakan di Cu-seng?"
"Boleh dikata kami sejalan, meskipun tidak bersama-sama."
"Kau tahu berapa banyak korban di kalangan rakyat andaikata perang benar-benar mulai berkobar? Kau tidak akan mempedulikan itu?"
Sebun Peng membalas, "Dan tahukah berapa juta orang yang tetap tertindas kemiskinan dan kesengsaraan apabila keadaan dibiarkan seperti ini terus dan Kaisar Cong-ceng serta dorna Co Hua-sun itu tetap berada di Pucuk pemerintahan?”
"Kau memang pintar bicara! Sekarang terimalah hukumanmu!" bentak Bong-seng Tojin dengan garang. Sehabis membentak, pedangnyapun langsung menikam dengan Tiang-cian-ji-im (Panah Panjang Menembus Mega) sebuah jurus dalam Kun-lun-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kun-lun-pay) yang menekan kecepatan dan kejutan pada serangannya. Ternyata Bong-seng Tojin tanpa kenal malu telah berbuat licik, dengan pura-pura mengajak Sebun Peng untuk berdebat dan kemudian menyerangnya secara mendadak tanpa menunggu lawan bersiap.
Sebun Peng memang tidak mengira paman gurunya akan bertindak selicik itu, sungguh tidak setimpal dengan martabatnya sebagai tokoh perguruan Kun-lun-pay yang termasyhur di wilayah barat itu. Sergapan mendadak itu memang mendatangkan hasil, meskipun Sebun Peng sudah berusaha menghindar tapi tetap saja pundak dan lengannya tergores panjang sampai mengalirkan darah.
"Bagus!" teriak Sebun Peng marah. "Anggap saja seranganmu ini sebagai lambang putusnya hubungan lama kita! Su-siok, aku tidak akan segan-segan lagi!"
Bong-seng Tojin tidak peduli teriakan kemarahan Sebun Peng itu. Malahan dia menyerang lagi dengan Kui-seng-tiam-goan (Bintang Kejora Menohok Pusar) yang memaksa Sebun Peng menghindar ke samping, namun Bong-seng Tojin membabatkan pedangnya dengan gerak susulan Pek-loh-heng-kang (Embun Putih Menyeberang Sungai).
Kali ini Sebun Peng sudah siap dan tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya. Ditangkisnya pedang paman gurunya itu dan kemudian langsung dibalasnya dengan gerakan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-keng (Kera Putih Mencuri Buah Tho dan Menyembah Langit), sebuah gerak rumit penuh perubahan yang amat sulit melatihnya sehingga mahir. Tapi nampaklah bahwa Sebun Peng dapat mempergunakannya dengan lancar dan bertenaga.
Bong-seng Tojin terkejut bercampur iri, karena dia sendiri belum bisa sebaik itu dalam memainkan jurus sulit itu, biarpun latihannya jauh lebih lama dari Sebun Peng. Gentar oleh keadaan itu, terpaksa imam berjenggot kaku itu melompat mundur untuk mengambil jarak.
Tapi Sebun Peng yang terluka itu sudah terlanjur jadi sangat muak kepada bekas paman gurunya itu, bagaikan banteng ketaton dia terus merangsek maju, bayangan pedangnya bagaikan hujan lebat yang mencurah ke tubuh Bong-seng Tojin. Imam Kun-lun-pay itu mengeluh dalam hati, namun demikian dia malu juga kalau terus menerus melangkah mundur, maka dengan mengeraskan hati diapun mainkan Kun-lun-kiam-hoat untuk bertahan dan membalas menyerang.
Begitulah, di tengah-tengah ributnya pertentangan antara orang-orang Hwe-liong-pang dengan kaum penyerbu itu, terjadi pula pertempuran antara dua orang yang sama-sama mahir ilmu pedang dari Kun-lun itu. Karena berasal dari satu perguruan, gerakan kedua pihak begitu serasi, seperti orang yang sedang berlatih saja, namun sinar mata yang buas dan memancarkan nafsu membunuh itulah yang membedakan perkelahian itu dan latihan biasa.
Pertempuran antara orang-orang Hwe-liong-pang yang mempertahankan markasnya, dengan orang-orang lima perguruan yang berniat menghancurkan markas itu, pada mulanya hanya terjadi di tempat-tempat tertentu secara berkelompok-kelompok. Namun karena mereka bukan prajurit-prajurit yang terlatih untuk bertempur berkelompok secara teratur, maka sedikit demi sedikit jalannya pertempuran pun mulai berubah.
Banyak yang terpencar-pencar dari kelompoknya, sehingga perkelahian pun akhirnya menyebar hampir di segala sudut markas Hwe- liong-pang. Di lorong-lorong, di halaman-halaman dan pintu-pintu yang menyekat antar halaman, di anak-anak tangga, pokoknya hampir di segala tempat. Sudah begitu, orang-orang berbagai perguruan itu mencoba melepaskan api di tempat-tempat yang mereka lalui, sehingga pihak Hwe-liong-pang bukan saja berjuang melawan para penyerbu tapi juga menjaga jangan sampai si jago merah menelan markas mereka.
Dengan berkobarnya api besar maupun kecil di berbagai tempat, orang-orang Hwe-liong-pang memang terpecah perhatiannya. Tapi sekaligus juga terbakar amarahnya, tidak kalah panasnya dengan kobaran api yang sedang menelan gedung itu. Akibatnya sungguh gawat. Tidak ampun lagi bagi murid-murid lima perguruan itu kalau sampai jatuh ke tangan orang-orang Hwe-liong-pang yang tengah marah itu.
Kemudian tindakan buas orang-orang Hwe-liong-pang itu dibalas lawan-lawannya dengan tidak kalah buasnya pula. Dengan demikian perkelahian besar-besaran di markas Hwe-liong-pang itu sudah bukan lagi seperti pertarungan antara manusia-manusia beradab, tapi mirip bertarungnya dua kelompok hewan buas yang memperebutkan mangsa.
Di sebuah lorong yang di kedua ujungnya sudah “tersumbat” oleh orang-orang Hwe-liong-pang, nampaklah orang-orang Tiam-jong-pay di bawah pimpinan Ki Im-kok, si Harimau Terbang Berbaju Biru itu, tengah bertahan dengan gigihnya dari gencetan lawan. Entah mengapa orang-orang Tiam-jong-pay itu bisa sampai terjebak, atau tergiring masuk ke dalam lorong panjang itu, dan tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bertempur sampai titik darah penghabisan sambil mencoba “mencari teman ke liang kubur” sebanyak-banyaknya di pihak lawan....
Namun Yo Ciong-wan menanggapi sikap bersahabat Hong- goan Hweshio itu dengan sikap yang sangat dingin, sahutnya sambil mendengus mengejek, “Tidak akan ada perdamaian dengan iblis-iblis terkutuk semacam kalian, kalian keliru kalau tipu-daya kalian yang berpura-pura baik hati ini akan melumerkan tekad kami untuk menggempur kalian. Tidak perlu perdamaian itu. Sebab begitu kami menyetujui perdamaian dan menjadi lengah, maka kalian akan menumpas kami sedikit demi sedikit dan akhirnya panji-panji iblis kalian akan berkibar di dunia persilatan.”
Au-yang Siau-pa yang sudah akan melompat ke pelana kudanya itu telah berbalik dan siap menghunus goloknya lagi ketika mendengar ucapan Yo Ciong-wan yang memanaskan telinga itu, bahkan Oh Yun-kim yang sudah duduk di punggung kuda dan siap berangkat itupun telah melompat turun kembali dengan wajah merah padam.
Namun pundak kedua Tong-cu itu telah ditekan oleh sepasang telapak tangan Ling Thian-ki, yang membisikkan bujukan kepada kedua Tong-cu itu, “Tenangkan diri kalian.”
“Hong-goan Su-cia terlalu lunak bersikap,” geram Oh Yun-kim.
“Ya, ia terlalu lunak. Andaikata benar bahwa pertikaian ini sengaja diatur oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengadu domba kita dengan kaum sok alim itu, apa salahnya kalau kita buka saja medan perang segitiga antara kita, Te-liong Hiang-cu dan kaum sok suci itu? Apa gunanya kita mendambakan perdamaian tetapi harga diri kita terus-menerus diinjak oleh bangsat-bangsat sok suci itu? Ucapan-ucapan mereka membuat dadaku hampir pecah rasanya,” kata Au-yang Siau-pa.
Meskipun ia telah menghentikan langkah kakinya, tapi telapak tangan kanannya masih melekat erat-erat di tangkai goloknya, dan pandangan matanya yang membara menatap Yo Ciong-wan seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat.
Ling Thian-ki menyadari apa yang sedang bergolak di hati kedua Tong-cu itu mewakili gejolak hati yang sama dari sebagian besar anggota Hwe-liong-pang lainnya, yang merasa sudah cukup menahan diri dalam menghadapi sikap dari sebagian kaum pendekar berbagai perguruan yang dianggap sangat memuakkan itu. Karena itu, Ling Thian-ki tidak membantah apa-apa terhadap ucapan Au-yang Siau- pa itu, hanya disuruhnya kedua Tong-cu itu untuk naik kembali ke kudanya masing-masing.
Sementara itu, rombongan Hoa-san-pay dan Go-bi-pay pun telah siap pula meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh teman-teman mereka pula. Sikap Yo Ciong-wan nampak tetap angkuh, sedikitpun perasaannya tidak tersentuh melihat mayat-mayat murid-murid atau keponakan-keponakan muridnya itu. Sikap yang angkuh itu membuat Ji Tiat si Ang-ki-tong-cu atau Pemimpin Kelompok Bendera Merah dari Hwe-liong-pang itu menyindirnya dengan jengkel,
“Orang she Yo, kau boleh congkak dan bangga dengan keberanian yang kau pamerkan itu. Tapi kau akan tetap teringat bahwa perpanjangan umurmu itu karena belas kasihan pihak kami. Penghinaan ini tidak akan dapat kau hapuskan, sebab kami semua adalah saksi-saksi, bahwa kau yang seharusnya kami tumpas di sini telah kami biarkan pergi.”
Yo Ciong-wan terkesiap, cepat-cepat ia membalik tubuh dengan muka merah padam. Namun pada saat yang bersamaan Hong-goan Hweshio telah melompat ke punggung kudanya dan berteriak kepada anak buahnya, “Berangkat!”
Derap kaki kuda orang-orang Hwe-liong-pang itupun terdengar semakin lama semakin jauh, bayangan-bayangan tubuh merekapun semakin kabur ditelan gelapnya malam. Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah obor-obor mereka yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang di kejauhan, dan akhirnya lenyap.
Sambil memandangi kepergian orang-orang Hwe-liong-pang itu, si rahib bertoya perunggu dari Go-bi-pay, Thian-sek Hweshio, bergumam, “Sikap mereka aneh. Seharusnya mereka dapat menumpas kita di tempat ini, mengapa malah membiarkan kita memperpanjang umur kita?”
Yo Ciong-wan berpaling ke arah rekannya dari Go-bi-pay itu dengan alis berkerut, tanyanya, “Itu adalah siasat licik mereka untuk melemahkan jiwa kita, menunjukkan kepada kita bahwa seakan-akan mereka adalah orang-orang yang baik hati. Tapi mereka hanya akan melemahkan kita saja, dan kemudian menumpas kita sampai habis.”
Kata Thian-sek Hweshio, “Tapi jika mereka ingin melemahkan kita, kenapa tidak menumpas kita saja? Bukankah dengan terbunuhnya kita di sini berarti kekuatan seluruh pendekar akan berkurang dan berarti pula semakin lemah?”
“Jika mereka menumpas kita, mereka kuatir bahwa rekan-rekan kita lainnya dari berbagai perguruan justru semakin marah dan mempercepat serbuan iblis-iblis itu siap benar untuk menghadapi rekan-rekan kita. Inilah yang dihindari oleh iblis-iblis licik itu. Mereka merasa tidak mampu menghadapi kekuatan gabungan seluruh perguruan di Tiong-goan ini, lalu mereka memakai akal licik dengan jalan mencuci-tangan, mengarang cerita bahwa yang menyerbu Siong-san itu bukan mereka, tapi orang mereka yang telah berkhianat terhadap ketua mereka sendiri. Aku tidak percaya cerita burung ini. Bukankah beberapa hari yang lalu beberapa orang kita terbunuh di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin? Dan beberapa rombongan kitapun telah bentrok dengan orang-orang mereka? Aku menduga bahwa mereka sengaja omong-kosong untuk mengulur waktu, dan mereka akan sempat mengumpulkan kekuatan mereka kembali setelah mereka kita hajar sampai pontang-panting di Siong-san.”
Kemudian, kepada murid-murid dan keponakan-keponakan muridnya, Yo Ciong-wan berpesan, “Jangan mau diperalat oleh iblis-iblis itu dengan mulut manis beracun mereka. Mereka tentu ingin meminjam mulut-mulut kalian untuk menyebar-luaskan peristiwa ini dan memberi kesan kebaikan palsu mereka. Itu berbahaya, sebab dapat menurunkan semangat tempur rekan-rekan kita dari berbagai perguruan. Mengerti?”
“Kami mengerti,” sahut murid-murid Hoa-san-pay itu. Kemudian Yo Ciong-wan berpesan lebih lanjut, “Yang harus kalian ceritakan justru adalah kekejaman-kekejaman mereka, bagaimana mereka mencincang tubuh teman-teman seperguruan kalian. Dengan demikian cerita ini justru akan menimbulkan semangat teman-teman dari berbagai perguruan, dan menyadarkan mereka bahwa Hwe-liong-pang harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.”
Thian-sek Hweshio mengerutkan alisnya mendengar pesan Yo Ciong-wan kepada orang-orangnya itu. Ada terasa kejanggalan dalam pesan itu, namun rahib Go-bi-pay yang berotak kurang cerdas itu tidak dapat menentukan bagian mana yang terasa janggal itu. Maka dengan memanggul toya perunggunya, ia mengikuti saja ketika Yo Ciong-wan melangkah pergi dari tempat itu dengan dada tengadah karena kebanggaan. Sambil melangkah tegap di depan rombongannya, diam-diam Yo Ciong-wan berkata dalam hatinya,
“Pertempuran harus terjadi, tidak boleh batal. Inilah kesempatan bagi Yo Ciong-wan untuk bangkit demi mengangkat nama. Kalau tidak sekarang, barangkali aku harus menunggu berpuluh-puluh tahun lagi, atau bahkan tak ada kesempatan lagi. Jadi, sekarang. Kalau perlu Hong-tay Hweshio, si rahib tua cengeng yang tak berani melihat darah itu harus disingkirkan. Ya, harus disingkirkan bersama orang-orang cengeng lainnya yang mencoba membatalkan penumpasan terhadap iblis-iblis Hwe-liong-pang itu.”
* * * * * * *
SIANGKOAN HONG, orang yang menjabat Ketua Hwe-liong-pang untuk sementara, Tong Wi-siang dikabarkan sedang “di dalam sanggar semedinya untuk memperdalam ilmu”, menerima laporan tentang pertempuran di pinggir hutan itu dengan darah yang mendidih. Dipandanginya tubuh-tubuh kaku para anggota Hwe-liong-pang yang berlumuran darah, yang dibaringkan berjajar-jajar di ruangan itu dengan ditutup sehelai tikar pada masing-masing tubuh.
Ruangan itu penuh orang, semua tokoh-tokoh utama Hwe-liong-pang berkumpul lengkap di ruangan itu. Dua orang Su-cia, yaitu Hong-goan Hweshio serta Ling Thian-ki, serta delapan orang pemimpin kelompok serta wakilnya masing-masing. Namun ruangan itu sunyi senyap, bahkan wajah orang-orang Hwe- liong-pang itu nampak tegang.
Kemudian tatapan mata Siangkoan Hong beralih ke wajah Hong-goan Hweshio, katanya dengan nada menegur, “Aku sungguh tidak memahami tindakanmu itu, Hong-goan Su-cia, mengapa kau melepaskan orang-orang yang telah membunuh anak buah kita itu dengan begitu saja dan tidak menghukum mereka?”
“Hiang-cu, aku kira penjelasanku sudah cukup bahwa aku tidak akan menjerumuskan Hwe-liong-pang kita terjebak ke dalam siasat adu domba yang licik oleh Te-liong Hiang-cu. Lebih penting adalah bahwa kita harus...”
Namun ucapan Hong-goan Hweshio itu terputus oleh ucapan Siangkoan Hong dengan nada yang meninggi, menandakan kemarahannya yang mulai meluap, “Kau anggap harga diri Hwe-liong-pang kita bukan masalah penting yang harus dipertahankan dengan darah kita? Kita memang menyadari Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu selalu berusaha mengadu-domba kita dengan kaum sok suci itu, namun apakah untuk menghindari hal itu kita harus mengorbankan kehormatan mereka? Memang pihak kita yang lebih dulu mengulurkan tawaran perdamaian kepada mereka, tapi bukan perdamaian semacam ini yang aku bayangkan! Bukan perdamaian antara si penakluk dan si tertakluk, di mana yang satu diperlakukan sewenang-wenang oleh yang lainnya! Tidak! Kita belum takluk, dan tidak akan pernah takluk, kita tetap orang-orang Hwe-liong-pang yang bangga dan penuh kehormatan memperjuangkan cita-cita kita untuk merombak negeri yang bobrok ini! Kenapa orang-orang sok suci itu memperlakukan kita seperti orang-orang taklukan? Kenapa mereka membunuh anggota-anggota kita di Jing-toh tanpa sebab dan menggunakan alasan yang tidak masuk akal? Kenapa orang-orang Cong-lam-pay itu berkeliaran di sekitar Tiau-im-hong seakan-akan sedang memata-matai kita, atau bahkan menganggap kita ini sebagai orang-orang tawanan yang tidak boleh meninggalkan Tiau-im-hong selangkahpun? Jika Hong-tay Hweshio benar-benar mengingini perdamaian, kenapa tidak dibubarkannya orang-orang bersenjata yang berkeliaran di sekitar bukit kita ini?”
Ruangan itu jadi hening-sunyi, namun setiap hati mulai terbakar oleh kata-kata Siangkoan Hong itu. Tapi Hong-goan Hweshio masih belum putus asa dalam usahanya untuk “mendinginkan” hati pejabat Ketuanya itu. Dengan sangat berhati-hati, dan tidak menimbulkan kesan membantah apa yang diucapkan oleh Siangkoan Hong tadi, rahib suku Hui itu berkata,
“Hiang-cu, menurut dugaanku, orang-orang berseragam Cong-lam-pay yang berkeliaran di sekitar bukit dan kemudian dikejar oleh Au-yang Tong-cu, Kwa Tong-cu serta beberapa saudara kita lainnya itu, adalah orang-orang Cong-lam-pay gadungan. Ilmu silat mereka dan tindak-tanduk mereka tidak mencerminkan tindak-tanduk orang golongan lurus.”
Siangkoan Hong mendengus, “Taruh kata mereka benar-benar orang-orang Cong-lam-pay gadungan, kenapa orang-orang Hoa-san-pay yang asli itu dan juga orang-orang Go-bi-pay langsung saja menyerang rombongan Auyang Tong-cu? Bukan menyelidiki dan menanyakan persoalannya lebih dulu? Hal ini cukup membuktikan bahwa mereka memang tidak berniat setulus hati untuk menerima tawaran damai kita, melainkan mereka sangat membenci kita. Tawaran damai kita dianggapnya bahwa kita takut kepada mereka, lalu mereka pun berbuat seenaknya atas orang-orang kita.”
Hong-goan Hweshio sudah bergerak mulutnya, hendak membantah pendapat Siangkoan Hong yang dianggapnya terlalu gegabah dalam menjatuhkan keputusan itu, namun rahib itu membatalkan niatnya ketika dilihatnya Lim Hong-pin alias Kim-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Emas) itu telah mengedipkan mata ke arahnya. Hong-goan Hweshio menurut, sebab dia telah mengetahui sejelas-jelasnya tentang kepribadian Lim Hong-pin yang tentu diam-diam tidak setuju juga bentrokan dengan kaum pendekar.
Meskipun di antara pucuk pimpinan Hwe-liong-pang itu Lim Hong-pin berusia paling muda, namun justru paling tenang dan paling dapat mengendalikan diri. Ia jauh lebih jernih pikirannya daripada Tong Wi-siang yang keras kepala atau Siangkoan Hong yang berdarah panas dan sangat mudah kehilangan kesabaran itu.
Boleh dikata bahwa Hwe-liong-pang masih berdiri hingga saat itu karena jasa-jasa Lim Hong-pin dengan nasehat-nasehatnya yang sering dilaksanakan oleh Tong Wi-siang. Andaikata Hwe-liong-pang hanya dipimpin oleh Tong Wi-siang atau Siangkoan Hong, mungkin perkumpulan itu sudah akan ambruk dalam waktu beberapa bulan sejak berdirinya.
Lim Hong-pin yang duduk di kursi di samping Siangkoan Hong itu mulai berkata pula, “Betul, orang-orang kaum pendekar itu benar-benar keterlaluan. Kita tidak sudi diinjak-injak semacam ini. Karena itu aku mengusulkan agar kita memperkuat diri sendiri di Tiau-im-hong ini. Semua anggota kita yang masih berpencaran di sekitar gunung harus segera ditarik kemari, siapapun dilarang keluar gunung tanpa ijin Ketua atau pejabat Ketua. Suheng, bagaimana usulku ini?”
Mendengar ucapan Lim Hong-pin itu, diam-diam Hong-goan Hweshio dan tokoh-tokoh yang sependapat dengannya, yang masih berkepala dingin, memuji kecerdikan tokoh ketiga dalam Hwe-liong-pang itu. Nampaknya saja Lim Hong-pin ikut marah dan ikut mencaci-maki kaum pendekar berbagai aliran itu, namun sebenarnya dia justru mencoba menghindarkan bentrokan lebih lanjut dengan orang-orang berbagai aliran.
Jika benar-benar semua anggota Hwe-liong-pang dikumpulkan di Tiau-im-hong, tentu tidak ada yang berkeliaran di luaran, dan ini memperkecil kemungkinan untuk bertemu dengan anggota-anggota berbagai perguruan, berarti memperkecil pula kemungkinan bentrokan.
Sementara itu, bersamaan dengan lewatnya waktu mungkin akan dapat diusahakan tindakan-tindakan yang dapat meredamkan amarah kedua belah pihak. Hong-goan Hweshio belum putus asa dalam hal ini. Dia berusaha menghindari benturan kekerasan dengan pihak para pendekar. Orang-orang yang masih berkepala dingin itu antara lain adalah Ling Thian-ki, Kwa Heng dan In Yong. Dalam suasana panas itu, kelompok mereka memang tidak bersuara sama sekali, sebab pasti dibantah dan didebat beramai-ramai oleh kelompok lainnya. Maka lebih baik diam dan menunggu suasana agar “mendingin” lebih dulu.
Dalam pada itu, usul Lim Hong-pin untuk menarik semua anggota ke atas Tiau-im-hong dengan alasan “agar pertahanan di gunung lebih kuat” itu ternyata diterima oleh Siangkoan Hong sebagai sesuatu yang cukup masuk akal. Sahutnya,
“Aku setuju, dan aku putuskan saja begitu. Mulai sekarang, setiap anggota dilarang turun melewati kaki gunung, kecuali dengan ijin atau sedang menjalankan tugas. Kita akan menunggu Pang-cu, sambil meningkatkan latihan kita.”
Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya menjadi lega mendengar keputusan itu. Mereka menahan senyum ketika melihat Kim-liong Hiang-cu melirik ke arah mereka sambil menganggukkan kepalanya.
Begitulah, mulai hari itu semua anggota Hwe-liong-pang yang berkumpul di Tiau-im-hong itu bagaikan bergejolak semangatnya. Latihan ditingkatkan secara luar biasa. Setiap fajar menyingsing dan cahayanya menghangati punggung, maka seluruh anggota Hwe-liong-pang dengan bertelanjang baju telah mulai berlari-lari di lereng-lereng terjal Tiau-im-hong untuk meningkatkan ketahanan jasmani mereka, dengan dipimpin oleh beberapa Tong-cu dan Hu-tong-cu secara bergiliran.
Mereka melakukannya sampai mandi keringat, lalu kembali ke markas, dan melanjutkan latihan dengan keterampilan memainkan senjatanya masing-masing. Sore harinya mereka melakukan hal yang sama. Dalam waktu beberapa hari saja nampaklah kesegaran jasmani para anggota telah meningkat.
Dalam belasan hari memang tidak terjadi bentrokan dengan gabungan pendekar dari berbagai perguruan itu, karena semua anggota Hwe-liong-pang telah ditarik ke Tiau-im-hong, tidak ada lagi yang berkeliaran di luaran dan sering menimbulkan salah-paham dengan pihak pendekar. Diam-diam Hong-goan Hweshio dan orang-orang yang sependapat dengannya mengamati perkembangan keadaan itu dengan perasaan agak lega.
Tapi mereka masih berdebar juga jika mengingat bahwa Te-liong Hiang-cu dan pengikutnya masih berkeliaran dengan berbagai wajah, berusaha menyebar permusuhan dengan mulut mereka yang berbisa itu, dengan cara yang halus dan hampir-hampir tidak kentara itu. Ternyata kelegaan mereka itu terlalu pagi.
Pada suatu malam, ketika seluruh markas Hwe-liong-pang telah terlelap dalam tidur di tengah menggigitnya malam dingin, beberapa sosok tubuh kehitam-hitaman nampak merunduk-runduk mendekati markas Hwe-liong-pang dari arah pinggang gunung. Semuanya bergerak dengan gesit dan ringan seperti kucing-kucing hutan, jika ada satu atau dua orang anggota Hwe-liong-pang yang kebetulan lewat untuk meronda sekeliling markas, serempak bayangan-bayangan hitam itu bersembunyi, atau bahkan menyergap dan membantai para peronda itu sama sekali.
Setelah cukup dekat dengan markas Hwe-liong-pang, salah satu dari bayangan itu berkata dengan suara tertahan, “Siapkah panah apinya?”
“Sudah siap, Suhu,” jawab yang lainnya.
Orang yang pertama tadi terdengar tertawa pendek, lalu katanya dengan nada yang geram, “Bagus. Malam ini kita selesaikan segalanya, sendiri, tidak perlu menunggu perintah Hong-tay Hweshio yang bertele-tele dan terlalu banyak pertimbangan itu. Hwe-liong-pang sudah terlalu banyak membunuh murid-murid Hoa-san-pay kita, dan tidak ada perdamaian lagi antara kita dan mereka .Terserah kalau Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay atau Soat-san-pay ingin berdamai dengan iblis-iblis itu, tapi kita tidak. Kita bukan bawahan Siau-lim-pay. Kita orang-orang Hoa-san-pay adalah laki-laki sejati yang akan menuntut bela atas kematian saudara-saudara seperguruan kita.”
Orang yang berbicara itu bukan lain adalah tokoh pertama dari Hoa-san-pay, Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han adanya. Rupanya dendamnya kepada Hwe-liong-pang sudah tak dapat ditawarkan dengan obat apapun, kecuali menghancurkan Hwe-liong-pang secara tuntas barulah dia puas. Malam itu, dia tidak menghiraukan lagi perintah Hong-tay Hweshio sebagai pemimpin umum, agar tidak bergerak dari tempatnya masing-masing dan menunggu isyarat perdamaian lebih lanjut.
Kiau Bun-han tidak peduli lagi, maka diajaknya semua anggota Hoa-san-pay untuk menyerbu Tiau-im-hong secara diam-diam. Selain Hoa-san-pay, ternyata Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Tiam-jong-pay dan Ki-lian-pay, juga sudah tidak sabar lagi melihat upaya damai Hong-tay Hweshio yang dianggap berlarut-larut tanpa hasil yang pasti itu, padahal perguruan-perguruan itupun sudah kehilangan beberapa anggotanya dalam bentrokan di berbagai tempat dengan anak buah Hwe-liong-pang ataupun dengan anak buah Te-liong Hiang-cu.
Dengan demikian, dari pihak gabungan perguruan-perguruan itu sudah ada lima buah perguruan yang memisahkan diri dan tidak mau tunduk kepada pemimpin umum lagi, dan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Malam itu, yang menyerbu diam-diam ke Tiau-im-hong bukan hanya orang-orang Hoa-san-pay, tetapi juga dari keempat perguruan yang membangkang lainnya namun arah serangan mereka berbeda-beda. Mereka sudah bersepakat untuk menghancurkan Hwe-liong-pang di sarangnya sendiri malam itu juga.
“Baik, sekarang lepaskan panah api!” perintah Kiau Bun-han.
Maka panah-panah api serta bumbung-bumbung berisi minyak pun mulai dilempar-lemparkan ke balik tembok yang mengelilingi markas Hwe-liong-pang itu. Bumbung minyak menumpahkan minyaknya di atas atap bangunan dan disusul dengan panah api yang langsung menjilat minyak-minyak itu, maka dalam waktu singkat berkobarlah api di atas sebagian bangunan markas Hwe-liong-pang yang berderet-deret itu.
Teriakan-teriakan terkejut dan marah terdengar dari balik tembok, “Api! Api! Awas ada serangan musuh!” Derap langkah yang berlari-lari hilir-mudik dan gemerincing senjata terdengar dengan ributnya.
Di luar tembok, Kiau Bun-han berdiri dengan tegangnya sambil menatap kobaran api yang menjilat langit itu. Di sebelahnya, adik seperguruan Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan yang berjuluk Tui-seng-kiam itu juga tengah memandang kobaran api dengan senyuman haus darah tersungging di bibirnya. Inilah yang diharapkannya selama ini. Pertempuran besar. Pertumpahan darah. Inilah arena yang akan digunakannya untuk mengangkat namanya menjadi nama yang terkenal, bukan cuma nama yang terlindung oleh bayang-bayang kebesaran nama kakak seperguruannya.
Dalam hatinya dia berharap agar kakak seperguruannya segera memberi perintah untuk menyerbu, supaya ia segera dapat melompati tembok itu dan menyabetkan pedangnya ke kiri dan kanan untuk membantai musuh sebanyak-banyaknya. Ya, ia sudah rindu akan muncratnya darah dan lolongan kesakitan lawan-lawannya.
Kobaran api itu ternyata tidak hanya bertujuan mengagetkan musuh, tapi juga sekaligus isyarat bagi orang-orang Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Ki-lian-pay dan Tiam-jong-pay di arah yang berbeda-beda, bahwa serangan sudah bisa dimulai.
Pihak Go-bi-pay yang dipimpin oleh Go-bi-sam-sin-ceng (Tiga Pendekar Sakti dari Go-bi-pay) yaitu Thian-bok Hweshio yang bersenjata pedang yang panjangnya hampir satu setengah kali dari pedang biasa, Thian-sek Hweshio yang bersenjata toya perunggu yang beratnya hampir delapan puluh kati, dan Thiang-cong Hweshio dengan senjatanya yang berwujud Liong-hou-siang-hoan (Sepasang Gelang Naga dan Harimau).
Orang ketiga dalam Go-bi-sam-sin-ceng ini belum pernah bentrok dengan Hwe-liong-pang, namun karena kedua kakak seperguruannya mengatakan bahwa orang Hwe-liong-pang itu jahat-jahat, maka si adik seperguruan ini tanpa pikir panjang juga ikut memutuskan untuk menyerbu Tiau-im-hong dan menumpas “para iblis”. Dia adalah ahli dalam hal gwa-kang (tenaga luar), sesuai dengan bentuk tubuhnya yang sangat kekar itu.
Begitu melihat kobaran api, Thiang-goan Hweshio memerintahkan seluruh murid-murid Go-bi-pay untuk siap-siap menyerbu. Sebagai seorang pendeta, agaknya Thian-goan Hweshio sungkan juga untuk menggunakan api dan main bakar seperti kawanan perampok, maka ia memilih untuk langsung menyerbu saja tanpa menyerang dengan panah api dulu. Begitulah dengan dipelopori tiga tokoh utamanya, orang-orang Go-bi-pay yang berjumlah hampir lima puluh orang itu segera menyerbu ke arah markas Hwe- liong-pang.
Ketika mereka kebentur tembok yang mengelilingi markas musuh, Thian-goan Hweshio segera berkata, “Thian-cong Sute, buat pintu!”
Si adik seperguruan mengerti yang dimaksudkan dengan “membuat pintu” itu. Dia segera maju ke arah tembok. Dengan hantaman sepasang gelangnya yang bertubi-tubi ke arah tembok, tidak lama kemudian terciptalah sebuah “pintu” di tembok itu, tidak peduli tembok itu terbuat dari batu bata rangkap dua yang direkat dengan semen yang baik.
Melihat kehebatan tenaga Thian-cong Hweshio itu, bersoraklah murid-murid Go-bi-pay dan sekaligus berkobarlah semangat tempur mereka. Didahului oleh Thian-goan Hweshio yang membolang-balingkan pedangnya, mereka menyerbu masuk lewat lobang itu, dan langsung bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang agaknya sudah terbangun pula.
Serbuan mendadak dari segala penjuru itu memang cukup mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Untunglah bahwa selama ini mereka pun selalu dalam suasana perang, sehingga dengan tangkasnya mereka pun bersiap untuk mempertahankan diri. Sebagian menahan serbuan musuh, sebagian lagi memadamkan api, dan ada pula yang membunyikan lonceng tanda bahaya.
Kesunyian lereng Tiau-im-hong di malam hari itu segara berubah menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan kemarahan dan suara senjata yang beradu di segala sudut, bercampur dengan suara lonceng yang menggema sampai di kejauhan.
Dari arah yang berbeda-beda, orang-orang Kun-lun-pay yang dipimpin oleh Bong-san Tojin, orang-orang Tiam-jong-pay pimpinan pendekar Ki Im-kok yang berjuluk Lam-i-hui-hou (Macan Terbang Berbaju Biru), serta orang-orang Ki-lian-pay di bawah pimpinan Im-kan-jio (Si Tombak Akherat) Liu Hui-ko juga telah menyerbu. Dengan demikian untuk sementara pihak Hwe-liong-pang memang menjadi agak panik.
Namun setelah pimpinan mereka para Su-cia, Tong-cu dan Hu-tong-cu keluar pula ke arena pertempuran, maka para anggota Hwe-liong-pang menjadi agak tenang dan bertahan dengan penuh semangat. Apalagi setelah Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin munculkan diri pula karena dikejutkan oleh suara genta bertalu-talu itu.
Kiau Bun-han, Yo Ciong-wan, Lim Sin serta si jago muda Auyang Seng merupakan ujung-ujung tombak barisan Hoa-san-pay yang mendobrak dari arah selatan dengan melompati tembok itu. Anggota-anggota Hwe-liong-pang yang masih mengantuk itu kocar-kacir dibabat oleh keempat jago Hoa-san-pay ini, sedangkan murid-murid Hoa-san-pay lainnyapun menyerbu dengan berapi-api pula. Dalam sekejap saja barisan Hwe-liong-pang di sisi selatan ini telah terdesak mundur dengan meninggalkan beberapa korban, karena tak seorang pun sanggup menahan amukan keempat jago Hoa-san-pay itu.
“Hayo, murid-murid Hoa-san-pay, bumi hanguskan sarang iblis ini!” teriak Yo Ciong-wan nyaring. “Kelak nama Hoa-san-pay kita akan dikenang melebihi kenangan terhadap Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay yang ternyata hanya bernama besar tapi tidak berani berbuat apa-apa kepada golongan iblis ini!”
Tiba-tiba dari pihak Hwe-liong-pang ada yang tertawa dingin dan menyahut seruan Yo Ciong-wan itu, “Sungguh bermulut besar. Siau-lim-pay dan perguruan-perguruan lain yang tidak ikut dalam penyerbuan ini bukanlah karena takut, tapi karena mereka dapat berpikir jernih dan tahu ada yang mengadu domba kita. Sedang kau yang sering berlagak pintar inilah yang sebenarnya tolol seperti keledai, dengan mudah dapat diadu seperti cengkerik saja!”
Waktu Yo Ciong-wan dan orang-orang Hoa-san-pay lainnya menoleh ke arah suara itu, nampaklah seorang rahib kekar bertampang suku Hui tengah berdiri tegak dan memandang orang-orang Hoa-san-pay dengan marahnya, tangan kanannya memegang toya Hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit).
Dia adalah Hong-goan Hweshio, salah seorang tokoh Hwe-liong-pang yang sudah dialaminya sendiri kelihaiannya oleh Yo Ciong-wan beberapa hari yang lalu. Waktu itu Hong-goan Hweshio hanya bertangan kosong, apalagi kini ia membawa senjatanya, maka diam-diam bergetar juga hati Yo Ciong-wan.
Sementara itu Yo Ciong-wan telah melanjutkan kata-katanya, “Rahib asing, jangan mencari dalih yang bukan-bukan untuk menyelamatkan Hwe-liong-pang dari kehancuran! Malam ini Hwe-liong-pang dan segala isinya akan hancur!”
Hong-goan Hweshio yang biasanya bermuka ramah dan banyak tertawa itu, kali ini nampak begitu seram bagaikan malaikat yang turun dari langit. Dengan sengit ia menjawab, “Bukan Hwe-liong-pang kami yang akan hancur, tapi kalianlah yang akan kami hancurkan malam ini juga! Kami memang cinta perdamaian dan sedang mengusahakan perdamaian, tetapi tidak dengan orang-orang yang telah berani mengobrak-abrik markas kami dan bahkan membakarnya!”
Menutup ucapannya itu, Hong-goan Hweshio telah menggerakkan ujung senjatanya langsung ke dada Yo Ciong-wan, serangannya itu membawa desir angin yang keras, menandakan tenaga si rahib Hui yang hebat. Yo Ciong-wan sudah mengetahui kelihaian rahib itu dalam pertempuran di pinggir hutan beberapa hari yang lalu, maka ia tidak berani menangkis serangan itu dengan keras lawan keras, cepat-cepat tokoh kedua di Hoa-san-pay itu melompat ke samping.
Baru saja Yo Ciong-wan memikir untuk membalas serangan itu, tahu-tahu senjata si rahib telah menyabet mendatar dengan hebatnya, sekali lagi Yo Ciong-wan harus menghindar dengan melompat mundur. Tapi Hong-goan Hweshio yang telah marah besar itu tidak melepaskan lawannya, ujung senjatanya gagal mengenai tubuh lawan, maka tangkai senjatanyalah yang menyusul memburu Yo Ciong-wan dibikin kalang kabut oleh serangan Hong-goan Hweshio yang beruntun.
Untunglah, pada saat kesulitan di pihak Yo Ciong-wan itu, si jago muda Hoa-san-pay, Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) itu telah menyelip maju untuk membantu paman gurunya. Meskipun Auyang Seng itu hanya merupakan keponakan murid Yo Ciong-wan, namun karena bakatnya yang baik dan latihannya yang keras, maka tingkat ilmunya justru tidak kalah dari paman- paman gurunya.
Karena itulah bantuan Auyang Seng terasa cukup berarti bagi Yo Ciong-wan. Dan paman guru serta keponakan murid itupun kemudian bekerja sama melawan Hong-goan Hweshio yang mengamuk dengan Hong-pian- jiannya yang menderu-deru menguncupkan keberanian lawan itu.
Sedangkan Kiau Bun-han pun tidak dapat malang-melintang lebih lanjut, sebab di hadapannya kini telah menghadang seorang pemuda yang memegang golok bulan sabit di tangannya, memakai pakaian daerah Su-coan, lengkap dengan sorban putih dan rompi kulit dombanya. Melihat sikap penghadangnya yang begitu tenang dan penuh kepercayaan diri sendiri, Kiau Bun-han tidak berani memandang ringan, tegurnya,
“Siapa kau? Kelihatannya kau bukan anggota biasa Hwe-liong-pang?”
Orang itu menyahut dingin, “Aku Au-yang Siau-pa, pemimpin Kelompok Bendera Hijau (Jing-ki-tong)!”
Kiau Bun-han mengangkat pedangnya dan menudingkannya ke arah lawan sambil berkata, “Bagus, rupanya kau salah satu pentolan dalam sarang setan ini. Biarlah kubabat dulu pentolan-pentolannya, baru kubersihkan kerucuk-kerucuknya kemudian!”
Ternyata Au-yang Siau-pa yang tidak suka banyak bicara itu tidak menunggu sampai Kiau Bun-han selesai menutup mulutnya. Kakinya meluncur maju dan golok bulan sabitnya pun digerakkan, maka muncullah selapis bayangan berwarna keperak-perakan yang melebar dan membawa hawa dingin tajam, di balik bayangan itu nampak seakan-akan puluhan batang golok membacok serempak.
Terkejutlah Kiau Bun-han melihat kecepatan golok lawannya. Cepat-cepat dia menggerakkan pedang untuk menangkis, dan kemudian kedua orang itupun terlihatlah dalam sebuah pertempuran sengit satu lawan satu yang hebat. Kedua-duanya sama-sama mengutamakan kecepatan geraknya dalam permainan silatnya, maka yang nampak di tengah arena itu bukan dua manusia yang tengah berkelahi, tapi hanya bayangan golok dan pedang berpuluh-puluh jumlahnya dan saling menyambar tak henti- hentinya. Bayangan Au-yang Siau-pa dan Kiau Bun-han tidak terlihat lagi karena terselubung bayangan senjata mereka.
Kini di pihak Hoa-san-pay tinggallah Lim Sin yang belum menemukan lawan seimbang. Tapi itupun sudah lama, sebab Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Hijau) telah menghadangnya tidak lama kemudian dan melibatnya dalam pertempuran sengit yang seimbang. Yu Ling-hoa si bekas murid Khong-tong-pay dengan sepasang Gun-goan-pay (Perisai Berpinggiran Tajam) itu ternyata mampu menandingi tokoh ketiga dari Hoa-san-pay itu.
Dengan demikian keempat jago andalan Hoa-san-pay itu telah menemui lawannya sendiri-sendiri, mereka tidak lagi babat sana babat sini seperti tadi. Bahkan karena jumlah orang-orang Hwe-liong-pang lebih banyak, maka sedikit demi sedikit orang-orang Hoa-san-pay mulai terdesak ke arah tembok, dan kedua pihakpun mulai kehilangan orang-orangnya yang berguguran dimangsa senjata. Tapi jatuhnya korban satu demi satu itu tidak meredakan pertempuran, malahan semakin mengobarkannya, sebab masing-masing pihak semakin bernafsu untuk menuntut bela bagi teman-temannya.
Sambil bertempur melayani keroyokan Yo Ciong-wan dan Auyang Seng, Hong-goan Hweshio sempat memperhatikan gelanggang pertempuran secara keseluruhan, dan hatinya pedih bukan main melihat betapa kedua belah pihak sudah sulit didamaikan lagi agaknya. Masing-masing berkelahi dengan buasnya bagaikan kesurupan setan. Dalam hatinya dia juga berpikir,
“Sungguh mengherankan bahwa orang-orang Hoa-san-pay bisa lepas dari ikatan dan bertindak sendiri semacam ini. Apakah Hong-tay Suheng tidak mampu lagi menguasai perguruan-perguruan yang sementara ini di bawah pimpinannya? Ataukah malahan Suheng sudah terpengaruh oleh siasat adu domba Te-liong Hiang-cu ini dan justru menyuruh orang-orang Hoa-san-pay ini menyerbu lebih dulu untuk membuka jalan bagi serangan berikutnya yang lebih hebat?”
Namun Hong-goan Hweshio tidak sempat berangan-angan macam-macam lagi, adalah suatu kenyataan yang jelas tertera di depan matanya bahwa beberapa perguruan telah melepaskan diri dari ikatan gerakan bersama, dan malam itu menyerbu serta membakar markas Hwe-liong-pang. Suatu kenyataan pula bahwa Yo Ciong-wan dan Auyang Seng sangat bernafsu untuk menghujamkan pedangnya dalam-dalam ke tubuh Hong-goan Hweshiol, sehingga rahib Hui itu harus bertempur dengan gigihnya.
Di antara lima perguruan yang menyerbu Tiau-im-hong malam itu, yang paling nekad adalah orang-orang Kun-lun-pay. Mereka tidak menjebol tembok atau melompati tembok untuk masuk ke dalam markas Hwe-liong-pang, melainkan menerjang langsung lewat pintu gerbang. Terdiri dari kaum Tojin dan orang biasa yang rata-rata bersenjata pedang, mereka menyerbu dipimpin oleh Bong-san Tojin, si imam jangkung yang sambaran pedangnya bagaikan surat undangan Giam-lo-ong (Raja Akherat) itu.
Jumlah mereka juga paling banyak dibandingkan perguruan-perguruan penyerang lainnya, kira-kira hampir delapan puluh orang. Beberapa anggota Hwe-liong-pang yang menjaga pintu gerbang, menjadi korban sia-sia bagi pedang Bong-san Tojin yang sebentar saja sudah merah karena darah. Sambil melangkahi mayat-mayat anggota-anggota Hwe-liong-pang Bong-san Tojin berseru kepada murid-murid Kun-lun-pay,
“Lebih dulu serbu aula! Hancurkan papan nama Hwe-liong-pang ini!”
Namun sebelum orang-orang Kun-lun-pay itu sempat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi, dari halaman tengah telah keluar serombongan orang Hwe-liong-pang yang dipimpin seorang lelaki muda, yang tangannya membawa sepasang golok liu-yap-to. Dialah Lam-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) dari Hwe-liong-pang, In Yong yang berjuluk Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar). Di sampingnya ada laki-laki muda lainnya yang juga membawa sepasang golok, yang bukan lain adalah wakilnya dan sekaligus juga adik seperguruannya, bernama Ong Wi-yong, berjuluk Hui-long (Serigala Terbang).
Seperti telah diketahui, dulunya wakil In Yong adalah Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia (Lo Cia Kecil). Kemudian Ma Hiong diangkat menjadi Tong-cu dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) untuk menggantikan jabatan yang ditinggalkan oleh Tong-cu lama, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang yang telah berkhianat dan menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu itu. Untuk mengisi kekosongan wakil ketua di kelompoknya, In Yong mengangkat adik seperguruannya sendiri, dan ternyata tidak ada keberatan dari anggota-anggota kelompok lainnya.
Ketika melihat penjaga-penjaga gerbang telah bergelimpangan dibantai oleh Bong-san Tojin dan orang-orang Kun-lun-pay lainnya, seketika itu meluaplah darah In Yong. Sambil melompat maju ia berteriak, “Beginikah perbuatan dari seorang imam yang mengaku sebagai pendekar golongan lurus dan taat beragama pula? Benar-benar tak berperikemanusiaan!”
Bong-san Tojin tertawa berderai, “Ha-ha-ha... kau mencoba menutupi ketakutanmu dengan bersikap segarang mungkin? Kau marah atas terbunuhnya kawan-kawanmu ini? He, kawanan iblis, dengarlah! Kematian orang-orang semacam kalian ini semakin cepat semakin baik, dunia pun akan menjadi semakin bersih!”
Darah In Yong kian mendidih, “Imam munafik, kalianlah orang-orang yang mengotori dunia ini! Kalian hidup dalam menara kebanggaan yang kalian ciptakan sendiri, terpisah dari masyarakat ramai. Kalian menganggap diri kalian sendiri dengan bermacam sebutan golongan lurus, kaum ksatria, penjunjung kebenaran dan sebagainya. Benar-benar memuakkan. Tapi apa yang kalian perbuat ketika rakyat kecil memerlukan pembelaan dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh ketidak-becusan Kaisar Cong-ceng? Apa yang kalian perbuat, hah? Kalian tetap tinggal dalam sarang kalian sendiri-sendiri, takut terlibat, menulikan telinga terhadap jeritan rakyat! Dan siapakah yang kemudian turun tangan membela rakyat tertindas? Hwe-liong-pang! Namun kalian yang iri, takut tersaingi ketenaran kalian, lalu mencap kami sebagai golongan sesat dan bahkan memusuhi kami! Kalian tidak menjunjung kebenaran dan kemanusiaan seperti yang kalian gembar-gemborkan sendiri, melainkan hanya menjunjung tinggi pamor perguruan masing-masing, harga diri masing-masing, nama besar sendiri-sendiri! Bangsat! Kalianlah yang harus lenyap dari muka bumi ini!”
Sebagai tokoh Kun-lun-pay yang biasanya dihormati dan disanjung orang, kapankah Bong-san Tojin pernah menerima caci-maki setajam itu? Biarpun caci-maki itu ada juga yang menyentuh hati kecilnya, dan terasa pula kebenarannya, namun Bong-san Tojin tidak sudi mengakuinya secara terang-terangan. Ia akan kehilangan muka! Karena itu, dengan muka merah padam dia balas membentak, “Bangsat Hwe-liong-pang bukan saja perbuatan kalian yang kotor, tapi mulut kalian pun sangat kotor. Pedangku akan merobek mulutmu yang penuh kenajisan itu!”
In Yong biasanya bersikap tenang itu, kali ini agaknya terpancing kemurkaannya oleh kecongkakan Bong-san Tojin itu. Kepada anak buahnya dia berseru, “Serang! Jangan ada seorang pun di antara mereka yang lolos!”
Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah gatal ketika melihat rekan-rekan mereka dibunuhi itu, maka perintah In Yong itu kebetulan cocok dengan gelora perasaan mereka. Mereka segera berlompatan maju, senjata-senjata yang sejak tadi sudah dihunus keluar itu, kini mulai menyambar-nyambar mencari mangsa. Sedang murid-murid Kun-lun-pay juga menyambutnya tanpa kenal takut.
Begitulah, di depan aula di halaman depan itupun berkobar pertempuran sengit yang tidak kalah hebatnya di bagian-bagian lain dari gedung Hwe-liong-pang itu. In Yong yang sangat muak kepada Bong-san Tojin itu telah menerjang langsung ke arah imam Kun-lun-pay itu dengan sepasang goloknya. Lebih dulu golok kanan menyambar dengan gerakan Sui-in-piau-hui (Awan Beterbangan), dan ketika imam lawannya menangkis dengan pedangnya, In Yong dengan tangkas memutar golok kanannya untuk melibat senjata lawan, sedang golok kirinya disabetkan langsung ke arah lambung.
Bong-san Tojin yang tadinya menganggap remeh lawannya itu, terkejut bukan kepalang ketika merasakan sendiri betapa tangkasnya In Yong memainkan sepasang liu-yap-to-nya itu. Hampir saja pedangnya terputar dan terlempar dari tangannya, dan lambungnya tersobek oleh golok kiri lawannya, Untung bahwa Bong-san Tojin juga bukan tokoh sembarangan. Dalam terkejutnya dia sempat melakukan gerakan Gan-heng-sia-ki (Burung Meliwis Terbang Rendah), sambil menekuk pinggang dia melompat keluar dari jangkauan serangan In Yong.
“Imam berhati kejam, hendak lari ke mana kau?” bentak In Yong yang tidak mau melepaskan lawannya itu. Bong-san Tojin mundur, maka In Yong pun terus mendesak maju dengan tiga jurus beruntun Lo-cia Lo-hay (Lo-cia Mengaduk Lautan), Pek-in-kak-he-hian (Mega Putih Mengalir di Telapak Kaki) dan Sui-hong-pai-liu (Cemara Bergoyang Tertembus Angin). Begitu sengit serangannya, begitu cepat gerakan sepasang goloknya, sehingga Bong-san Tojin benar-benar gelagapan dibuatnya.
Imam itu melihat seakan-akan ada puluhan batang golok sekaligus yang menghujani tubuhnya dengan bacokan bertubi-tubi dari berbagai arah, maka bayangan golok yang asli dan mana yang palsu sulit dibedakan. Dalam beberapa gebrakan saja imam Kun-lun-pay yang sombong itu dipaksa mundur bertahan sampai enam langkah, bahkan pada langkah yang ketujuh golok kiri In Yong berhasil merobek paha kanannya yang terlambat melangkah.
Karena gugupnya, Bong-san Tojin sampai lupa akan sikapnya yang angkuh tadi, sambil menggerak-gerakkan pedang untuk menangkis, dia berteriak kepada salah seorang imam lain dari Kun-lun-pay yang tengah bertempur tidak jauh darinya, “Bong-sin Sute, bantu aku!”
In Yong tertawa dingin melihat sikap lawannya itu, “Jangan cuma satu Sute-mu yang kau suruh mengeroyokku, tapi beberapa orang sekaligus pun tidak mengapa, malahan aku akan berkesempatan melihat kehebatan murid-murid Kun-lun-pay sesuai dengan nama besar kalian!”
Bong-san Tojin menggeram mendengar sindiran tajam itu, sahutnya sambil tetap berkelahi, “Untuk membasmi kaum iblis....”
Namun In Yong telah menyambung kata-katanya sambil tertawa mengejek, “... tidak perlu menghiraukan tata-krama dunia persilatan, bukankah begitu yang hendak kau ucapkan? Memang itulah satu-satunya alasan kalian untuk berbuat pengecut. Alasan yang sangat masuk akal!”
Bong-sang Tojin yang biasa angkuh dan sangat membanggakan diri itupun menjadi merah-padam mukanya, mulutnya pun bungkam tak dapat menjawab sindiran itu. Namun adalah kenyataan bahwa dia tidak sanggup melawan In Yong seorang diri, terpaksa minta bantuan salah seorang adik seperguruannya.
Begitulah, tak lama kemudian In Yong dengan sepasang golok tipisnya terpaksa harus berhadapan dengan sepasang kakak beradik seperguruan dari Kun-lun-pay, Bong-san dan Bong-sin Tojin. Dengan demikian In Yong harus bekerja keras luar biasa menghadapi lawan-lawannya yang tanggh dalam ilmu pedang itu. Untunglah bahwa latihan keras In Yong dalam beberapa bulan terakhir ini telah menghasilkan buah yang membanggakan.
Hampir setiap pagi dan sore, bahkan malam haripun jika ada kesempatan, In Yong selalu mengulang-ulang memainkan jurus-jurus sepasang goloknya, bukan hanya puluhan kali namun ratusan kali setiap harinya. Tidak lupa ia berlatih keras pula menambah tenaganya, sehingga sekarang terlihatlah betapa hebatnya permainan sepasang goloknya itu. Goloknya yang hanya dua helai itu seolah-olah terpecah-pecah menjadi banyak sekali, bayangannya berkelebatan mengurung lawan-lawannya. Menghadapi dua orang tokoh Kun-lun-pay sekaligus, In Yong ternyata tidak terdesak, meskipun ia juga sulit untuk mendesak kedua lawannya.
Sementara itu, adik seperguruan dan wakil In Yong, yaitu Hui-long Ong Wi-yong juga harus menghadapi dua orang lawan tosu yang bernama depan “Bong” dari Kun-lun-pay, yaitu imam-imam yang seangkatan dengan Bong-san Tojin. Kedua imam itu ialah Bong-thian dan Bong-go Tojin. Biarpun ilmu Ong Wi-yong belum setangguh kakak seperguruannya, namun selisihnya juga cuma sedikit, sehingga Ong Wi-yong pun ternyata sanggup membuat lawan-lawannya terheran-heran dan harus memeras keringat.
Dalam rombongan orang-orang Kun-lun-pay itu, ada lima orang Tojin bernama depan Bong, yang kepandaiannya rata-rata hampir setingkat. Selain Bong-san dan Bong-sin yang sudah terikat dalam perkelahian melawan In Yong serta Bong-thian dan Bong-go yang dihadapi oleh Ong Wi-yong, masih ada Bong-seng Tojin yang belum bertemu lawan seimbang.
Untuk menghadapi amukan tokoh Kun-lun-pay yang satu ini, pihak Hwe-liong-pang terpaksa harus mengerahkan lima orang anggota terbaiknya hanya untuk melawan satu orang saja. Itupun Bong-seng Tojin masih bisa “meminta korban” berulang kali, melukai atau bahkan membunuh orang-orang yang mengeroyoknya satu demi satu dan kemudian berganti lawan lagi.
Tapi kegarangan Bong-seng Tojin itu terhenti, ketika ada sesosok bayangan meluncur turun dari atas genteng dan mendarat tepat di depan Bong-seng Tojin. Orang yang melompat turun itu ternyata seorang lelaki muda sebaya dengan In Yong, bertubuh tegap dan berpandangan mata tajam menusuk, tangan kanannya membawa sebatang pedang yang bentuknya mirip dengan pedang orang-orang Kun-lun-pay.
Dengan pandangan mata yang tajam menusuk, ia memandang ke arah Bong-seng Tojin, dan menyapa dengan suara dingin, "Selamat bertemu kembali, su-siok (paman guru). Alangkah hebatnya ilmu silat su-siok yang tadi kulihat dari atas genteng, namun tidak ada artinya su-siok membunuhi teman-temanku yang bukan tandinganmu itu."
Ketika melihat pemuda yang berdiri di hadapannya itu, terbelalaklah mata Bong-seng Tojin. Kumis dan jenggot pendeknya yang kaku seperti kawat itu bergerak-gerak karena menahan luapan perasaannya, kemudian berkatalah ia, "Anak murtad, jadi selama beberapa tahun ini kau ternyata telah menjadi anggota perkumpulan setan-setan iblis ini?"
Pemuda itu tetap dingin, "Benar, su-siok. Bahkan bukan anggota biasa saja, tapi aku mendapat kehormatan juga untuk menjadi Ui-ki-hu-tong-cu (Wakil Ketua Kelompok Bendera Kuning)."
Mata Bong-seng Tojin melotot semakin lebar, "Mendapat kehormatan katamu? Bukan! Tapi aku mendatangkan kenajisan bagi nama suci Kun-lun-pay kami! Sungguh penasaran bahwa Kun-lun-pay juga menghasilkan iblis kecil seperti kau ini!"
"Su-siok keliru. Selama ini aku tetap menghormati Kun-lun-pay sebagai perguruanku, sebagai sumber ilmuku, namun ternyata Kun-lun-pay bukan tempat persemaian yang subur bagi cita-cita yang bergejolak dalam hatiku, bahkan Kun-lun-pay dengan peraturan-peraturannya yang ketat dan kaku malahan memenjarakan jiwaku, mengungkung cita-citaku. Para guru di Kun-lun-pay mengajar murid-muridnya agar dengan ilmu silat yang dimiliki digunakan untuk membela kebenaran.
"Tapi ketika aku membunuh si hartawan penindas rakyat itu, malahan aku diusir oleh perguruanku sendiri. Alasan pengusiranku memang disusun demikian muluk, seakan-akan aku melanggar peraturan pasal ini pasal itu, tapi aku tahu bahwa alasan yang sebenarnya hanyalah karena si tukang tindas itu sahabat Ketua dan bahkan tidak jarang memberi uang banyak kepada Ketua. Bukankah begitu, su-siok?
"Bukankah kalian si jenggot-jenggot panjang yang sok pintar ini hanya bisa mengajar orang-orang muda murid kalian, tapi kalian tidak sanggup mengajar diri sendiri? Hanya bisa bicara panjang lebar tetapi tidak bisa melaksanakan ajaran-ajaran kalian itu? Salahkah kalau aku menjadi muak kepada kalian, dan mencari wadah baru bagi penyaluran cita-citaku?”
Jika pada kalimat pertama si pemuda itu masih bicara dengan kalem, maka pada akhir perkataannya telah bernada semakin keras, dan bahkan setengah berteriak, terdorong oleh luapan perasaannya yang selama ini terpendam rapat jauh di dasar hatinya, Wajahnya yang tadinya dingin itupun kini telah menjadi merah padam, pedangnya juga telah terangkat menuding ke wajah Bong-seng Tojin yang agak memucat.
Diam-diam Bong-seng Tojin tergetar juga ketika melihat sikap pemuda bekas keponakan muridnya itu, dia tahu benar sampai dimana kemampuan anak muda itu dalam hal ilmu pedang. Biarpun ia hanya angkatan muda, tapi bakat yang dipunyainya adalah sedemikian mengherankan, sehingga dalam latihan beberapa tahun saja ia sudah hampir menyamai guru-guru besar Kun-lun-pay yang berlatih belasan tahun. Itu terjadi beberapa tahun silam, ketika anak muda yang bernama Sebun Peng itu diusir dari perguruannya karena dituduh melakukan pembunuhan sewenang-wenang atas seorang tuan tanah desa.
Kini, andaikata Sebun Peng terus berlatih selama ini, entah bagaimana dengan kepandaiannya? Memikirkan hal itu, diam-diam Bong-seng Tojin agak gentar. Tapi dasar keras kepala, ia tidak sudi menunjukkan perasaan gentarnya itu kepada orang lain, apalagi kepada murid-murid Kun-lun-pay yang bertebaran di aula itu. "Kau memang pintar bicara. Di Kun lun-pay kau bisa lolos dari hukuman berat, tapi setelah menjadi anggota Hwe-liong-pang kau harus dihukum mati!"
Sebun Peng tertawa tergelak sampai kepalanya mendongak, "Ha-ha-ha, kalian lucu! Hwe-liong-pang sebagai wadah cita-cita hendak kalian tumpas dengan alasan yang dibuat-buat. Sedangkan kaki tangan Kaisar Cong-ceng yang bertebaran dimana-mana dan memeras rakyat, kalian biarkan saja karena kalian takut dicap pemberontak? Dasar munafik!"
Alangkah marahnya Bong-seng Tojin karena dicaci-maki seenak sendiri oleh Sebun Peng yang dulu merupakan keponakan muridnya itu, tapi diapun tidak berani bertindak gegabah karena tidak yakin ilmunya bisa menandingi Sebun Peng. Terpaksa ia menahan kemarahan sehingga dadanya terasa hampir meledak!
Sebaliknya Sebun Peng tidak ingin cepat-cepat bertempur, melainkan masih ingin menumpahkan isi hatinya yang terpendam bertahun-tahun itu. Sambil menunjuk ke arah In Yong dan Ong Wi-yong, ia berkata, "Su-siok, tahukah kau siapa sebenarnya In Yong dan adik seperguruannya itu. Mereka adalah murid-murid Heng-san-pay, perguruan yang juga menyebut dirinya sebagai golongan pendekar dan kaum lurus. Namun merekapun senasib denganku, merasa terkekang, dan akhirnya menemukan Hwe-liong-pang sebagai wadah penyaluran gejolak jiwa mereka.
"Ketahuilah, su-siok, dalam Hwe-liong-pang ini berkumpul orang dari bermacam-macam asal-usul, namun satu cita-cita. Kau tentu tahu bahwa Hong-goan Hweshio adalah murid Siau-lim-pay dulunya, pemimpin Bendera Ungu Lu Siong adalah bekas murid Ngo-tay-pay, si wakil ketua Bendera Hijau, Yu Ling-hoa adalah bekas murid Khong-tong-pay, dan masih banyak lagi murid-murid Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan lain-lain yang bergabung dengan kami...."
Sambil tertawa mengejek, Bong-seng Tojin menyambungnya, "Dan malahan ahli-ahli waris dari aliran sesatnya Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) juga ada, bahkan menjadi pucuk pimpinan kalian."
Tapi Sebun Peng acuh saja mendengar kecaman itu, malah sambil tertawa dia berkata, "Benar, tapi yang penting bukan sumber ilmunya dari mana, melainkan pengamalan ilmu itu bermanfaat atau tidak. Bukankah Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng itu juga seorang penganut agama yang tadinya dlanggap agama sesat? Tapi ia berhasil membebaskan rakyat dari tindasan bangsa Mongol. Memang pemimpin-pemimpin Hwe-liong-pang kami adalah pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, namun mereka bertujuan luhur untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman Kaisar Cong-ceng yang tidak becus itu, Kaisar yang tidak lebih dari bonekanya si menteri keparat Co Hua-sun itu!"
"He, jadi Hwe-liong-pang adalah pendukung pemberontakan di Cu-seng?"
"Boleh dikata kami sejalan, meskipun tidak bersama-sama."
"Kau tahu berapa banyak korban di kalangan rakyat andaikata perang benar-benar mulai berkobar? Kau tidak akan mempedulikan itu?"
Sebun Peng membalas, "Dan tahukah berapa juta orang yang tetap tertindas kemiskinan dan kesengsaraan apabila keadaan dibiarkan seperti ini terus dan Kaisar Cong-ceng serta dorna Co Hua-sun itu tetap berada di Pucuk pemerintahan?”
"Kau memang pintar bicara! Sekarang terimalah hukumanmu!" bentak Bong-seng Tojin dengan garang. Sehabis membentak, pedangnyapun langsung menikam dengan Tiang-cian-ji-im (Panah Panjang Menembus Mega) sebuah jurus dalam Kun-lun-kiam-hoat (Ilmu Pedang Kun-lun-pay) yang menekan kecepatan dan kejutan pada serangannya. Ternyata Bong-seng Tojin tanpa kenal malu telah berbuat licik, dengan pura-pura mengajak Sebun Peng untuk berdebat dan kemudian menyerangnya secara mendadak tanpa menunggu lawan bersiap.
Sebun Peng memang tidak mengira paman gurunya akan bertindak selicik itu, sungguh tidak setimpal dengan martabatnya sebagai tokoh perguruan Kun-lun-pay yang termasyhur di wilayah barat itu. Sergapan mendadak itu memang mendatangkan hasil, meskipun Sebun Peng sudah berusaha menghindar tapi tetap saja pundak dan lengannya tergores panjang sampai mengalirkan darah.
"Bagus!" teriak Sebun Peng marah. "Anggap saja seranganmu ini sebagai lambang putusnya hubungan lama kita! Su-siok, aku tidak akan segan-segan lagi!"
Bong-seng Tojin tidak peduli teriakan kemarahan Sebun Peng itu. Malahan dia menyerang lagi dengan Kui-seng-tiam-goan (Bintang Kejora Menohok Pusar) yang memaksa Sebun Peng menghindar ke samping, namun Bong-seng Tojin membabatkan pedangnya dengan gerak susulan Pek-loh-heng-kang (Embun Putih Menyeberang Sungai).
Kali ini Sebun Peng sudah siap dan tidak ingin dilukai untuk kedua kalinya. Ditangkisnya pedang paman gurunya itu dan kemudian langsung dibalasnya dengan gerakan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-keng (Kera Putih Mencuri Buah Tho dan Menyembah Langit), sebuah gerak rumit penuh perubahan yang amat sulit melatihnya sehingga mahir. Tapi nampaklah bahwa Sebun Peng dapat mempergunakannya dengan lancar dan bertenaga.
Bong-seng Tojin terkejut bercampur iri, karena dia sendiri belum bisa sebaik itu dalam memainkan jurus sulit itu, biarpun latihannya jauh lebih lama dari Sebun Peng. Gentar oleh keadaan itu, terpaksa imam berjenggot kaku itu melompat mundur untuk mengambil jarak.
Tapi Sebun Peng yang terluka itu sudah terlanjur jadi sangat muak kepada bekas paman gurunya itu, bagaikan banteng ketaton dia terus merangsek maju, bayangan pedangnya bagaikan hujan lebat yang mencurah ke tubuh Bong-seng Tojin. Imam Kun-lun-pay itu mengeluh dalam hati, namun demikian dia malu juga kalau terus menerus melangkah mundur, maka dengan mengeraskan hati diapun mainkan Kun-lun-kiam-hoat untuk bertahan dan membalas menyerang.
Begitulah, di tengah-tengah ributnya pertentangan antara orang-orang Hwe-liong-pang dengan kaum penyerbu itu, terjadi pula pertempuran antara dua orang yang sama-sama mahir ilmu pedang dari Kun-lun itu. Karena berasal dari satu perguruan, gerakan kedua pihak begitu serasi, seperti orang yang sedang berlatih saja, namun sinar mata yang buas dan memancarkan nafsu membunuh itulah yang membedakan perkelahian itu dan latihan biasa.
Pertempuran antara orang-orang Hwe-liong-pang yang mempertahankan markasnya, dengan orang-orang lima perguruan yang berniat menghancurkan markas itu, pada mulanya hanya terjadi di tempat-tempat tertentu secara berkelompok-kelompok. Namun karena mereka bukan prajurit-prajurit yang terlatih untuk bertempur berkelompok secara teratur, maka sedikit demi sedikit jalannya pertempuran pun mulai berubah.
Banyak yang terpencar-pencar dari kelompoknya, sehingga perkelahian pun akhirnya menyebar hampir di segala sudut markas Hwe- liong-pang. Di lorong-lorong, di halaman-halaman dan pintu-pintu yang menyekat antar halaman, di anak-anak tangga, pokoknya hampir di segala tempat. Sudah begitu, orang-orang berbagai perguruan itu mencoba melepaskan api di tempat-tempat yang mereka lalui, sehingga pihak Hwe-liong-pang bukan saja berjuang melawan para penyerbu tapi juga menjaga jangan sampai si jago merah menelan markas mereka.
Dengan berkobarnya api besar maupun kecil di berbagai tempat, orang-orang Hwe-liong-pang memang terpecah perhatiannya. Tapi sekaligus juga terbakar amarahnya, tidak kalah panasnya dengan kobaran api yang sedang menelan gedung itu. Akibatnya sungguh gawat. Tidak ampun lagi bagi murid-murid lima perguruan itu kalau sampai jatuh ke tangan orang-orang Hwe-liong-pang yang tengah marah itu.
Kemudian tindakan buas orang-orang Hwe-liong-pang itu dibalas lawan-lawannya dengan tidak kalah buasnya pula. Dengan demikian perkelahian besar-besaran di markas Hwe-liong-pang itu sudah bukan lagi seperti pertarungan antara manusia-manusia beradab, tapi mirip bertarungnya dua kelompok hewan buas yang memperebutkan mangsa.
Di sebuah lorong yang di kedua ujungnya sudah “tersumbat” oleh orang-orang Hwe-liong-pang, nampaklah orang-orang Tiam-jong-pay di bawah pimpinan Ki Im-kok, si Harimau Terbang Berbaju Biru itu, tengah bertahan dengan gigihnya dari gencetan lawan. Entah mengapa orang-orang Tiam-jong-pay itu bisa sampai terjebak, atau tergiring masuk ke dalam lorong panjang itu, dan tidak ada jalan keluar lagi. Tidak ada pilihan lain kecuali bertempur sampai titik darah penghabisan sambil mencoba “mencari teman ke liang kubur” sebanyak-banyaknya di pihak lawan....
Selanjutnya;