Perserikatan Naga Api Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 34

Karya : Stevanus S.P
WI-SIANG menggeram bagaikan singa luka ketika melihat kesempatan bagus itu. Sekuat tenaga ia mengayunkan tangannya secara mendatar, dengan sisi tangannya dia menghantam punggung Kiau Bun-han yang tidak terlindung itu. Bagaikan diseruduk seekor kerbau gila, tubuh pendekar Hoa-san-pay yang belum menemukan keseimbangan itu telah terpelanting beberapa langkah ke depan sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya, kemudian roboh tertelungkup tak bergerak-gerak lagi.

Geram karena lambungnya terasa pedih, Tong Wi-siang bermaksud menambahkan lagi sebuah pukulan untuk menghantam Kiau Bun-han yang sudah tak bergerak itu. Tetapi Thian-goan Hweshio telah merintanginya dengan kemarahan dan kebencian meluap di hati masing-masing. Murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tersisa itu hanya bisa melihat kejadian-kejadian dahsyat di depan mata mereka itu dengan mulut terlongong.

Sementara itu, kekuatan dahsyat hasil pengerahan Thian-mo-kay-teh-kang itu telah semakin menurun, dan Wi-siang merasakan hal itu. Kini bahkan kekuatannya tidak sehebat sewaktu dia belum menggunakan ilmu tadi, apalagi luka di lambungnya pun terasa pedih tersiram air hujan, serta terus menerus mengalirkan darah sehingga mengakibatkan tubuhnya semakin lemah.

Di lain pihak, Thian-goan Hweshio yang memahami akibat penggunaan Thian-mo-kay-teh-kang itu, telah mencecar terus dengan pedangnya dan tidak memberi kesempatan bernapas. Rahib berdarah panas itu telah bertekad untuk menghabisi nyawa Wi-siang saat itu juga, demi sakit hati rekannya dan murid-muridnya.

Wi-siang sendiri mulai merasakan tenaganya menyusut sedikit demi sedikit, isi dadanyapun mulai terasa nyeri. Biarpun dia sedang berpikiran keruh, tapi ia masih memiliki naluri para mahkluk hidup umumnya, yaitu bertahan hidup. Apalagi Wi-siang bukan binatang. Dia menyadari jika tenaganya menyusut terus maka dia akan terbunuh oleh Rahib Go-bi-pay itu, itulah sebabnya diapun mulai mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari libatan lawannya.

Pada suatu saat Thian-goan Hweshio memainkan jurus Liong-coa-ci-cau (Naga dan Ular Lari Sejajar), pedangnya beruntun menikam ke tubuh Wi-siang. Secara nekad Tong Wi-siang mengerahkan sisa kekuatannya dan menyongsong jurus itu dengan gerakan Sin-liong-jip-hay (Naga Sakti Mencebur ke Laut) yang dilakukannya sambil melompat dan menerkam dari atas. Serangan ini boleh dikata serangan nekad yang memberi kemungkinan besar kedua belah pihak sama-sama terluka parah.

Betapapun marahnya Thian-goan Hweshio, sudah tentu dia belum siap untuk bertarung nekad-nekadan semacam itu, maka terpaksalah ia menarik kembali serangannya dan dengan gesitnya melakukan langkah Liong-heng-hui-po (Langkah Naga Terbang) ke samping kanan sambil melintangi pedangnya dengan gaya Heng-ke-kim-lian (Melintangkan Belandar Emas) untuk melindungi dirinya.

Sekali ini Thian-goan Hweshio agak terkecoh oleh lawan mudanya. Gerakan Tong Wi-siang yang seakan-akan hendak mengadu jiwa itu ternyata hanya gertak sambal agar lawannya mundur, dan begitu lawan benar-benar mundur, maka Tong Wi-siangpun mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melompat pergi. Bagaikan sesosok bayangan hantu tak berbobot, ia melayang cepat melintasi dinding halaman rumah bobrok itu, dan sekejap kemudian bayangan tubuhnyapun telah lenyap ditelan gelapnya malam.

Thian-goan Hweshio menggeram marah karena ia telah menyadari tipu muslihat lawannya. Namun diapun tidak berniat untuk mengejar Tong Wi-siang, sebab pengejaran dalam hutan segelap itu tentu sangat berbahaya, apalagi rahib itu menyadari lawannya punya bermacam-macam ilmu sesat yang aneh-aneh.

Terpaksa dengan gemas ia melepaskan lawan-lawannya begitu saja. Kemudian dengan dibantu oleh murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tidak luka serta kaum pengungsi yang masih agak ketakutan, ia lalu mengangkati yang luka atau tewas untuk dibawa masuk ke halaman dalam, dilindungi dari derasnya air hujan.

Seorang murid Goi-bi-pay dan seorang murid Hoa-san-pay tewas secara mengerikan, sedang seorang murid Go-bi-pay lainnya kehilangan sebelah tangannya yang "dicabut" oleh Tong Wi-siang tadi, dan ia belum sadarkan diri juga. Kiau Bun-han yang menderita luka dalam cukup parah, tetap dalam keadaan sadar namun begitu lemahnya.

Melihat korban-korban Hwe-liong-Pang-cu bergelimpangan di depan matanya, Thian-goan Hweshio tak dapat lagi mengendalikan luapan perasaannya. Dengan sengitnya ia mengayunkan tinjunya untuk menghantam sebuah patung batu, yang langsung saja roboh dan putus menjadi dua potong. Teriaknya dengan geram,

"Sudah berkali-kali aku mengatakan bahwa kita tidak boleh bertindak lunak kepada gerombolan iblis Hwe-liong-pang itu, tapi banyak orang berlagak penuh welas-asih dan ingin mengadakan perdamaian dengan bangsat-bangsat itu. Beginilah akibatnya! Selamanya aku tidak mempercayai bangsat-bangsat itu. Tapi agaknya Hong-tay Hweshio tidak mau memperdengarkan pendapatku dan masih saja mau mengadakan hubungan perdamaian dengan mereka! Perdamaian apa? Perdamaian tai anjing!"

Karena marahnya, Thian-goan Hweshio sampai lupa bahwa dia seorang pendeta, maka kata-kata kotorpun berhamburan keluar dari mulutnya, membuat kaum pengungsi itu jadi terheran-heran melihat bagaimana seorang rahib dapat bicara seperti itu.

Sementara murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay lainnya juga sama menggertakkan gigi, "Akupun juga tidak percaya akan kabar bahwa mereka terpecah dua saling cakar-cakaran sendiri, namun aku tidak percaya bahwa yang satu jahat dan yang lain baik. Aku yakin Hwe-liong- pang yang manapun juga adalah sama jahatnya, sama-sama harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"

"Benar, kita harus segera menghubungi Hong-tay Hweshio sebagai Pemimpin Umum dari gerakan menumpas Hwe-liong-pang ini. Rahib tua itu terlalu lemah hati menghadapi iblis-iblis itu, namun aku akan memperingatkannya bahwa ada jebakan maut di balik uluran perdamaian Hwe-liong-pang yang nampaknya menarik itu, mereka ingin menumpas kita selangkah demi selangkah," kata Thian-goan Hweshio dengan hati panas.

"Kalau mereka menyodorkan perdamaian, itu hanya akal mereka untuk mengulur waktu, sebab mereka sedang dalam keadaan lemah, tapi jika mereka menjadi kuat kembali mereka akan menginjak-injak perdamaian itu membahayakan kita!"

Dalam pada itu, dalam keadaan luka parah, Tong Wi-siang berlari-lari menerobos hujan lebat dan angin dingin, tanpa menghiraukan rasa pedih di lambungnya yang lukanya terkena air hujan itu. Justru guyuran air hujan yang dingin menusuk tulang itu telah mengembalikan kejernihan pikirannya yang tadinya kacau itu. Bahkan dengan melihat kedudukan bintang di langit, meskipun tidak jelas karena ada mendung, Wi-siang telah dapat menentukan arah dan menetapkan langkahnya menuju Tiau-im-hong, tempat markas Hwe-liong-pang.

Semakin lama ia berlari, lukanya terasa semakin mengganggu, apalagi lambungnya yang terus menerus mengalirkan darah itu, dan langkah Wi-siang pun mulai sempoyongan. Pandangan matanya mulai semakin kabur dan segala di sekitarnya nampak kuning kehijau-hijauan, perutnya mual, telinganya mendengung hebat. Namun dengan bandel Wi-siang tidak menghentikan langkahnya menuju Tiau-im-hong.

Untunglah bahwa Thian-goan Hweshio dan rombongannya tidak mengetahui keadaan Wi-siang itu, sehingga mereka juga tidak mengejarnya. Andaikata mereka mengejar, maka mereka dengan mudah akan menemukan Wi-siang, dan nasib Hwe-liong Pang-cu itu pasti akan menjadi sangat buruk apabila jatuh ke tangan para pendekar yang sedang dimabuk dendam itu. Mungkin mayatnya akan dicincang dan dibiarkan di tengah hutan begitu saja untuk menjadi makanan serigala atau binatang liar lainnya.

Tengah Tong Wi-siang melangkah terhuyung-huyung di lorong hutan yang sepi dan gelap itu, tiba-tiba terdengarlah suara derap kaki kuda dari arah depan sana, dan di kegelapan muncul lima sosok bayangan orang berkuda yang sedang berjalan menyongsong ke arah Tong Wi-siang. Kelima orang penunggang kuda itu semuanya bertudung bambu lebar untuk menahan air hujan, dan mengenakan mantel penutup tubuh mereka.

Tong Wi-siang terkejut karena mengira orang-orang berkuda itu adalah orang-orang Go-bi-pay dan Ho-san-pay yang baru saja bertempur dengannya, atau mungkin kawan-kawan mereka yang lain. Secepat-cepatnya ia melompat ke pinggir jalan untuk berusaha bersembunyi. Namun agaknya lukanya telah mengganggu gerakannya tidak segesit semula, dia terlambat, dan dia mendengar salah seorang dari kelima penunggang kuda itu telah berseru,

"He, ada orang di depan kita!"

Otak Tong Wi-siang masih saja dipenuhi oleh adegan-adegan dari pertempuran berdarah yang baru saja dialaminya di rumah bobrok itu, nalurinya yang mirip naluri binatang buas itu masih saja peka terhadap ancaman bahaya yang bagaimanapun kecilnya. Maka ketika ia sadar bahwa jejaknya telah diketahui oleh orang-orang berkuda yang belum diketahuinya siapa saja itu, Wi-siang menjadi kalap seperti seekor binatang buruan yang tersudut.

Sambil menggeram marah dia melompat menerkam penunggang kuda yang paling depan dengan sebuah loncatan disertai pukulan yang kuat. Terdengarlah orang yang diserang itu berseru kaget, secara naluriah dia mengangkat kedua tangannya, disilangkan di depan mukanya untuk menangkis hantaman Wi-siang itu.

Sedang penunggang-penunggang kuda lainnya yang agaknya juga dikejutkan oleh peristiwa mendadak itu, hampir serempak berteriak memperingatkan, bahkan ada suara seorang gadis pula, "Awas, A-hong!"

Pukulan Wi-siang yang kuat itu segera berbenturan dengan tangkisan dari penunggang kuda terdepan itu. Jika Tong Wi-siang dalam keadaan sehat dan wajar, maka dengan pukulannya yang sekuat tenaga itu, tentu si penunggang kuda akan terlempar dari punggung kudanya dan jatuh dengan tulang-tulang berpatahan. Tetapi kali ini keadaan tubuh Tong Wi-siang sudah sangat lemahnya karena luka-lukanya, dan karena baru saja menggunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang yang sangat menguras tenaga itu.

Maka bukan penunggang kuda itu yang terbanting dari kudanya, melainkan Wi-siang sendiri yang terpental balik dan pingsan oleh tenaganya sendiri yang memantul. Sedang penunggang kuda itu hanya merasakan tangannya tergetar keras saja. Orang-orang berkuda itu cepat-cepat berlompatan turun dari kudanya masing-masing, lalu melangkah mendekati tubuh Wi-siang yang telentang pingsan itu dengan langkah-langkah waspada. Mereka baru mengendorkan kesiagaan mereka setelah yakin bahwa orang yang didekati itu benar-benar pingsan.

"Entah siapa orang ini, tanpa alasan apa-apa tiba-tiba saja dia menyerangku," kata penunggang kuda yang diserang Wi-siang tadi.

“Mungkin kesalah-pahaman. Tapi siapapun dia, kita tidak akan membiarkannya terbaring di tengah jalan dan mungkin akan terinjak-injak oleh orang-orang yang lewat jalan ini, karena malam memang cukup gelap," sahut penunggang kuda lainnya, suara seorang perempuan muda. "Ayo kita angkat dia!"

Pada saat orang-orang berkuda itu mendekati tubuh Wi-siang dan membungkuk di dekat tubuh itu, tiba-tiba kilat menyambar di langit dengan cahayanya yang cemerlang. Cahaya yang hanya sekejap itu ternyata telah cukup memberi kesempatan kepada orang-orang berkuda itu untuk melihat wajah orang yang terbaring di tengah jalan itu.

Salah seorang dari orang-orang berkuda itu, yang agaknya adalah seorang gadis, mendadak saja terpekik kaget, "He... dia... dia... adalah A-siang!"

Pengenalan atas diri Tong Wi-siang itu memang telah mengejutkan seluruh anggota rombongan berkuda itu, sebab rombongan itu memang orang-orang yang kebetulan mempunyai hubungan yang dekat dengan Ketua Hwe-liong-pang itu. Mereka terdiri dari Tong Hu-jin, ibu Tong Wi-siang, disertai dua orang anak-anaknya, yaitu Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, serta Cian Ping dan Ting Bun.

Seperti telah diceritakan, mereka telah meninggalkan Gunung Siong-san, tempat pertemuan kaum pendekar itu, lebih awal dari bubarnya kaum pendekar itu. Tujuan Tong Hu-jin dan rombongannya tidak lain adalah menganjurkan agar Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang, untuk sementara waktu menyembunyikan semua kegiatannya, atau meniadakannya sama sekali, untuk menghindarkan salah paham dengan kaum pendekar yang sedang dalam perjalanan menyerbu ke Tiau-im-hong.

Dari mulut salah seorang anggota Kay-pang yang bertindak sebagai penghubung, Tong Hu-jin berhasil mendapat keterangan bahwa Tong Wi-siang dan sisa-sisa anak buahnya yang masih setia kepadanya diperkirakan sudah berada di markas Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong, maka Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta kedua calon menantunya pun bergegas menuju ke sana untuk mendahului perjalanan kaum pendekar yang beringas itu.

Karena tergesa-gesanya, tidak jarang mereka menempuh perjalanan malam tanpa menghiraukan kelelahan mereka, dan bahkan sudah beberapa kali mereka harus mengganti kuda tunggangan, karena binatang-binatang itu agaknya tidak mampu mendukung kemauan tuannya. Dan kini, sebelum mereka sampai ke Tiau-im-hong, mereka ternyata telah bertemu dengan orang yang mereka cari, meskipun dengan cara yang agak berbahaya.

Selain berlega hati, mereka juga menjadi cemas ketika melihat Tong Wi-siang dalam keadaan luka-luka separah itu. Yang tidak dapat mengendalikan perasaannya terutama adalah Tong Hu-jin. Sebagai seorang ibu yang sudah tiga tahun tidak menjumpai putera sulungnya itu, betapapun bengalnya sang anak, kini perjumpaan itu benar-benar telah memeras air matanya.

Tanpa mempedulikan tanah yang berlumpur tebal akan mengotori pakaiannya, perempuan itu berjongkok di sisi tubuh Tong Wi-siang yang pingsan, dipeluknya kepala anaknya dan didekapnya ke dadanya, air matanyapun mengalir bercampur dengan air hujan. Bibirnya tak henti-hentinya mendesiskan perasaan rindunya, "A-siang, akhirnya aku melihatmu kembali... A- siang, ini aku ibumu, nak...."

Tong Wi-hong dan lain-lainnya untuk sementara tercekam keharuan melihat pertemuan yang sangat mengharukan itu, mereka dapat membayangkan betapa perasaan seorang ibu setelah menemui kembali anaknya yang hampir saja dikiranya sudah mati itu. Betapapun nakalnya anak itu, tapi ia tetap saja darah dagingnya, buah rahimnya yang dihadirkannya ke dunia dengan taruhan nyawanya, dan dibesarkannya dengan air susunya sendiri.

Kini betapa pilunya hati janda pendekar itu setelah menjumpai Tong Wi-siang dalam keadaan separah itu. Dalam kegelisahan pikirannya, tiba-tiba saja timbul sebuah dugaan yang mencemaskan hatinya, “Kenapa A-siang terluka separah ini, padahal menurut A-hong dan A-lian ia sebagai Ketua Hwe-liong-pang adalah seorang yang berilmu tinggi, bahkan lebih tinggi dari Te-liong Hiang-cu yang di Siong-san mampu bertempur seimbang dengan Hong-tay Hweshio? Tentu yang melukainya bukan hanya seorang melainkan ahli silat yang menggabungkan kekuatannya sekaligus. Jangan-jangan ada juga pendekar-pendekar yang tidak mentaati perintah Hong-tay Hweshio, dan telah mulai menyerang Tiau-im-hong tanpa menunggu perintah lagi?"

Dugaan semacam itu tidak saja berkecamuk di benak Tong Hu-jin, tapi juga di benak kedua orang putera-puterinya serta Cian Ping dan Ting Bun. Jika dugaan itu benar, maka benar-benar sesuatu yang mencemaskan. Mereka semua menyadari bahwa apabila benar-benar terjadi bentrokan tak terkendali antara kaum pendekar berbagai aliran dengan Hwe-liong-pang, maka tidak akan ada satu pihakpun yang mendapat keuntungan.

Korban sia-sia hanya akan jatuh gara-gara kesalah-pahaman. Baik di pihak kaum pendekar maupun di pihak Hwe-liong-pang sama-sama terdapat ksatria-ksatria sejati penjunjung kebenaran dan keadilan, haruskah mereka saling bunuh satu sama lain, sedangkan Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya yang busuk-busuk itu yang akan memungut keuntungan?

Tujuan mencegah pertikaian itulah salah satu alasan kenapa Tong Hu-jin dan rombongannya berjalan mendahului kaum pendekar untuk menemui dan melunakkan hati Tong Wi-siang, jadi bukan sekedar rasa rindu dari ibu kepada anaknya saja.

Terdengar Tong Wi-hong menggumam, "Jika benar-benar kedua belah pihak tidak tercegah lagi untuk mengadu senjata, alangkah sayangnya. Dunia persilatan bakal kehilangan putera-putera terbaiknya hanya karena adu-domba dari seorang bermulut busuk....”

“Kita tidak perlu menebak-nebak sembarangan saja, yang perlu adalah mencoba memahami keadaan yang sedang berkembang dan kemudian dicari jalan keluarnya," usul Tong Wi-lian. "Sekarang lebih dulu kita harus mencari tempat yang teduh dan berusaha mengobati A-siang. Barangkali setelah dia sadarkan diri nanti, dia akan dapat berbicara beberapa hal yang dapat kita jadikan bahan pertimbangan."

Usul ini memang masuk akal, dan semuanya pun setuju. Tubuh Tong Wi-siang perlahan-lahan diangkat ke atas kuda tunggangan Tong Hu-Jin, sebab pendekar wanita itu telah menyatakan bahwa dia sendirilah yang akan membawa puteranya itu, bahkan Tong Hu-Jin menggunakan mantelnya sendiri untuk membungkus tubuh anaknya agar tidak kehujanan, sehingga dengan demikian Tong Hu-Jin sendirilah yang menjadi basah-kuyup.

Baik Wi-hong maupun Wi-lian tidak mencegah niat ibunya itu, sebab mereka tahu bahwa dengan demikian sang ibu akan mendapatkan kepuasan batinnya tersendiri. Maka mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Tong Hu-Jin di atas kudanya mendekap tubuh Wi-siang seperti mendekap seorang bayi saja, seakan ia takut kehilangan untuk kedua kalinya.

Daerah itu adalah daerah yang sedang digelisahkan oleh ancaman perang, banyak penduduk yang telah mengungsi meninggalkan rumah dan sawah ladangnya. Maka Tong Hu-jin dan rombongannya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan rumah kosong yang masih cukup baik, untuk melindungi diri dari siraman air hujan yang agaknya akan berlangsung sampai besok pagi.

Rupanya penghuni rumah itu telah mengungsi dengan terburu-buru, sebab dalam rumah itu masih ada juga beberapa peralatan rumah tangga yang tertinggal karena sulit dibawa dan mudah didapat di tempat lain. Bahkan masih ada sisa-sisa bahan makanan juga, biarpun hanya berupa sekeranjang besar kentang yang sudah tumbuh daunnya karena lama tidak dimasak.

Namun itu cukup baik. Rupanya rombongan Tong Hu-jin ini sudah sejak pagi tadi belum makan apa-apa, bukan karena kehabisan uang, tapi karena sepanjang jalan di daerah yang terancam perang itu tidak ada warung makanan sebijipun. Kini ditemuinya kentang sebanyak itu, tentu saja lebih baik perut terisi kentang rebus, meskipun tanpa lauk apapun, daripada kosong sama sekali.

Tugas merebus kentang segera dilaksanakan oleh Tong Wi-lian dan Cian Ping. Sedangkan Tong Wi-hong serta Ting Bun mencoba merapikan rumah itu, terutama menyiapkan pembaringan yang cukup layak untuk Tong Wi-siang. Untunglah di salah satu ruangan depan ada sebuah pembaringan terbuat dari tanah liat yang masih cukup baik, kolongannya biasanya ditaruhi perapian untuk menghangatkan badan di musim dingin.

Wi-siang yang masih belum sadarkan diri itu dapat ditaruh di situ. Kemudian lebih dulu Tong Hu-jin meloloh Wi-siang dengan sebuah pil berbau buatan perguruan Soat-san-pay yang punya khasiat dapat meringankan luka dalam. Ketika Tong Hu-jin memaksa membuka rahang Wi-siang, nampaklah bahwa pada lidah putera tertuanya itu ada bekas gigitan yang masih agak berdarah.

Sebagai seorang yang punya pengetahuan cukup luas dalam masalah-masalah dunia persilatan, Tong Hu-jin dapat segera menebak sebab-musabab terluka dalamnya anaknya ini. Setelah memasukkan obat pulung harum itu ke mulut puteranya dan kemudian mendorongnya dengan setengah cawan air bersih yang diminumkannya perlahan-lahan, Tong Hu-jin nampak lega. Namun kemudian berkata dengan sedih,

"Agaknya A-siang benar-benar telah terjerat mempelajari ilmu sesat. Luka luarnya jelas karena senjata, namun luka dalamnya itu bukan karena pukulan lawan, melainkan karena dia terlalu memaksakan dirinya ketika menggunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang, sehingga berbalik melukai diri sendiri. Apabila dia telah sembuh kelak, aku akan menasihatinya agar dia membuang semua ilmu sesatnya itu dan mulai belajar ilmu sejati aliran Soat-san-pay kita. Biarpun harus mulai dari permulaan lagi juga tidak apa-apa, asalkan tubuhnya tidak dirusakkan oleh ilmu iblis itu.”

Tong Wi-hong yang telah duduk menemani ibunya di ruangan itu, lalu menyahut, "Ibu jangan terlalu menyalahkan A-siang nantinya. Ketika dia mulai menemukan dan mempelajari Kitab warisan Bun-san-jit-kui itu dia sedang dalam keadaan panik dan berpikiran keruh, nyaris mendekati sikap putus-asa. Waktu itu dia menjadi buronan Pasukan Kerajaan karena di beberapa kota ia dan kawan-kawannya telah melakukan beberapa pembunuhan terhadap pembesar-pembesar yang menindas rakyat, dan dalam keadaan terjepit itulah dia tanpa pikir panjang mempelajari ilmu-ilmu sesat itu, yang kemudian menjadi modal utama untuk mendirikan Hwe-liong-pang.”

"Kenapa kau tahu keadaan kakakmu sejelas itu, seakan-akan kau mengalaminya sendiri, A-hong?"

"A-siang telah menceritakan semuanya kepadaku, ketika kami bertiga bertemu di tengah danau Po-yang-ou dekat rumah kita itu, di atas kapalnya," sahut Tong Wi-hong. "Ketika itu aku dan A-lian menuju An-yang-shia dengan tujuan membalas kepada Cia To-bun dan mencari ayah. Ternyata sesampainya di An-yang-shia telah terjadi perubahan penting di sana.

"Kuburan ayah yang letaknya seperti ibu ceritakan dulu itu, ternyata telah dipugar indah sekali dan berlapis pualam, bahkan di sebelah kuburan itu dilengkapi pula dengan sebuah rumah pemujaan arwah yang berisi arca mendiang ayah, yang lebih hebat lagi, di altar pemujaan itu bergeletakanlah batok-batok kepala Cia To-bun dan semua anggota keluarganya, seakan-akan memang diletakkan sebagai persembahan kepada arwah ayah. Jelas itu perbuatan A-siang.

"Dan malam harinya aku dan A-lian benar-benar berhasil menemuinya di tengah danau. Saat itulah A-siang menceritakan semua yang telah dialaminya selama berpisah itu, dan saat itu pula aku dan A-lian mulai mencoba untuk memahami cita-citanya, meskipun aku pernah memperingatkannya pula bahwa cara-cara yang digunakannya kadang-kadang di luar batas kemanusiaan."

Ibunya mengerutkan alisnya ketika mendengar cerita putera keduanya itu. Perempuan itu sendiri sangat membenci Cia To-bun si pejabat An-yang-shia yang telah menjadi biang keladi kehancuran keluarganya itu, namun dia pun tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk membalas dendam dengan cara sekejam itu. Bahkan andaikata Tong Hu-jin sempat bertemu dengan Wi-siang sebelum terjadinya pembantaian di An-yang-shia itu, tentu akan dicegahnya puteranya membalas dendam selain kepada Cia To-bun pribadi, tanpa menyangkut anggota keluarganya yang tidak bersalah sama sekali.

Kemudian ia berkata sambil menarik napas, "Memang begitu umumnya orang yang mempelajari ilmu sesat. Disadari atau tidak disadari, kepribadian merekapun akan terpengaruh oleh watak ilmu yang dipelajarinya itu. Wi-siang termasuk seorang yang berpribadi cukup kuat, namun ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu toh mempengaruhinya juga, apalagi kebetulan agak sejalan dengan sifatnya sendiri yang pemarah dan keras kepala itu. Aku berharap masih dapat menggunakan pengaruhku untuk menarik kembali A-siang dari jalan sesat yang ditempuhnya.

"Aku tidak keberatan cita-citanya melambung setinggi langit, namun cara memperjuangkan cita-cita itulah yang tidak boleh melanggar dari garis yang sudah sama-sama dijunjung tinggi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tak dapat disimpangi. Tanpa menghiraukan itu, dia akan membuat masyarakat ini bagaikan hutan raya, satu sama lain saling menerkam dan membunuh tak terkendali. Ini yang harus dicegah.”

Tengah ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan nada prihatin tentang diri Wi-siang itu, tiba-tiba orang yang dipercakapkan terdengar mengeluh perlahan, agaknya mulai siuman. Tong Hu-jin cepat-cepat mendekati pembaringan sambil mengulurkan kepalanya, sambil berdesis dengan penuh pengharapan, "A-siang, kau sudah sadar kembali?"

Namun Wi-siang yang telah sadar kembali itu ternyata memberi tanggapan yang mengejutkan, dl luar dugaan orang-orang yang menungguinya, sebab dengan kasarnya dia telah menepiskan tangan ibunya yang bermaksud meraba keningnya itu. Bahkan kemudian terdengar teriakannya yang parau, menandakan kegoncangan jiwanya yang belum reda sama sekali,

"Siapa kau? Pergi! Kenapa kau seenaknya saja hendak memegang kepala Ketua hwe-liong-pang yang terhormat? Kau bosan hidup? Enyah kau kaum munafik, kaum sok alim yang suka mengaku-aku sebagai pendekar penegak keadilan! Kalian tidak berani apa-apa untuk merombak keadaan yang menindas rakyat kecil, tetapi akulah yang berbuat, berani bertindak membela rakyat... Ha-ha-ha-ha...."

Tong Hu-jin tidak menduga bahwa putera sulungnya itu akan bersikap demikian, tentu saja dia menjadi sangat terkejut, hampir saja dia jatuh terpelanting karena tangkisan Wi-siang itu. Sementara itu Wi-siang telah melompat bangun dengan mata yang merah dan liar, seperti mata seekor kerbau gila. Dengan muka beringas ditudingnya wajah ibunya sendiri sambil berteriak kalap,

"Siapa kau, he, perempuan busuk! Apakah kaupun termasuk dalam rombongan kaum sok alim yang hendak menyerbu markasku di Tiau-im-hong? Kami tidak takut! Hayo, beramai-ramailah kalian menyerbu Tiau-im-hong dan kami akan menyambut kalian dengan senjata-senjata kami, dan kalian akan segera tahu bahwa Hwe-liong-pang bukan kawanan kantong nasi!"

Setelah berteriak-teriak menantang, lalu tertawa terbahak-bahak tidak keruan, kemudian memaki-maki lagi dengan sangat kasarnya, tiba-tiba Wi-siang menangis sekeras-kerasnya. Sambil menangis ia berteriak pula, "Bangsat, kalian mengaku pendekar berbudi luhur, tetapi kalian melakukan perbuatan rendah yang tidak sesuai dengan martabat kalian! Kalian menculik isteriku yang sedang mengandung anakku! He! Kembalikan isteriku dan anakku, atau akan kucekik kau!"

Lalu dengan dua tangan yang terjulur lurus ke depan, Wi-siang melangkah ke depan, mendekati Tong Hu-jin dan siap mencekik ibunya sendiri yang agaknya sudah tidak dikenalinya karena keruwetan pikirannya itu! Sebaliknya Tong Hu-jin dengan perasaan hancur melihat keadaan puteranya itu. Tenaga perempuan tua itu bagaikan meninggalkan raganya karena sedihnya, meskipun matanya yang kabur karena terlapis air mata itu masih juga dapat samar-samar melihat gerakan puteranya yang hendak mencekiknya, Tong Hu-jin nampaknya pasrah saja dan tidak ingin melawannya.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Wi-hong, sudah tentu dia tidak dapat melihat keselamatan ibunya terancam hanya karena tidak sampai hati menindak puteranya sendiri. Cepat Wi-hong melompat ke arah kakaknya dan memberikan sebuah totokan ringan di tengkuk kakaknya itu, membuat Tong Wi-siang yang tengah mata gelap itu langsung terkulai lemah. Dalam keadaan wajar, meskipun ilmu Wi-hong tetap tinggi, tentu saja ia belum bisa merobohkan Ketua Hwe-liong-pang itu hanya dengan sekali gerak saja.

Sementara itu, Ting Bun, Tong Wi-lian serta Cian Ping telah mendengar suara ribut-ribut di ruangan depan itu, telah berlari-larian menuju ke ruangan depan. Wajah mereka menggambarkan seribu pertanyaan ketika melihat Wi-siang telah tergeletak di lantai, sedangkan Tong Hu-jin masih bersandar di dinding dengan air mata bercucuran. Di sebelah lain Tong Wi-hong masih berdiri dengan muka tegang bercampur menyesal.

“Ibu, apa yang telah terjadi?" tanya Wi-lian.

Tong Hu-jin hanya mampu menggerakkan kepalanya untuk menggeleng lemah sebagai jawabannya, namun sesaat kemudian diapun dapat menjawabnya meskipun dengan suara hampir tak terdengar karena lirihnya, "Kakakmu... kakakmu A-siang agaknya... agak terganggu kesehatan jiwanya... entah mengapa...."

Kemudian Tong Wi-hong yang lebih tenanglah yang melanjutkan kata-kata ibunya, "Tadi dia berteriak-teriak tentang seorang perempuan yang dikatakannya isterinya, bahkan ada anaknya pula. Ibu, kau harus menenangkan diri, sebab apabila apa yang diigaukan oleh A-siang tentang anaknya dan isterinya tadi benar-benar ada, maka agaknya ibu justru harus diberi selamat. Itu berarti ibu telah mendapat seorang cucu. Namun... namun goncangan jiwa yang dialami A-siang itu agaknya disebabkan oleh sesuatu yang menimpa anak isterinya, seperti igauannya tadi, agaknya semacam penculikan atau penyanderaan... entahlah...!"

Kata-kata Wi-hong itu ternyata cukup manjur untuk menenangkan Tong Hu-jin, sebab perlahan-lahan Tong Hu-jin mulai bersinar kembali matanya. Di tengah-tengah kesedihan dan kecemasan yang bercampur-aduk, alangkah bahagianya apabila dugaan itu benar-benar sesuai kenyataan, sebab orang tua manakah yang tidak mengharapkan bahwa suatu ketika ia akan menimang seorang cucu? Namun ucapan terakhir tentang penculikan itu agak mengganggunya juga. Namun Tong Hu-jin belum menanyakannya lagi, kuatir kepedihannya akan menjadi- jadi dan menghilangkan ketenangan dalam berpikir.

Setelah merasa agak tenang, barulah kemudian pendekar wanita dari Soat san-pay itu berkata sambil menarik napas, "Selama kalian ada dalam perjalanan menuju ke tempat ini, kalian tentu masih ingat, bahwa kita mendengar berita tentang dikirimnya seorang duta perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang kepada Hong-tay Hweshio, dan kabarnya Hong-tay Hweshio telah menerima pula uluran perdamaian itu meskipun dengan beberapa syarat yang akan membuktikan itikad baik Hwe-liong pang.

"Jika demikian, pihak yang menculik isteri dan anak Wi-siang itu mungkin bukanlah para pendekar berbagai aliran yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu. Aku kuatir justru penculikan itu dijalankan oleh pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang rupanya tidak suka jika kaum pendekar dan Hwe-liong-pang berdamai."

Kembali Tong Hu-jin menarik napas sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada murung penuh kegelisahan, "Inilah yang mencemaskan, sebab adu domba oleh pengikut Te-liong Hiang-cu itu agaknya begitu rapi dan lihai, buktinya kaum pendekar sampai bisa dituntun menuju Tiau-im-hong dengan sengaja meninggalkan jejak. Lagipula di antara kaum pendekarpun tidak sedikit orang-orang berpengaruh yang pada dasarnya memang sudah membenci Hwe-liong-pang sampai ke bulu-bulunya.

"Sehingga salah langkah sedikit saja di pihak Hwe-liong-pang sudah cukup untuk membuat mereka kehilangan pengendalian diri dan memakai senjata sebagai satu- satunya pemecahan persoalan. Sebaliknya, Hwe-liong-pang sendiri dipimpin oleh seorang berdarah panas seperti A-siang, yang meskipun berilmu tinggi namun belum cukup matang untuk memimpin sebuah perkumpulan sebesar Hwe-liong-pang. Sifatnya masih saja berangasan dan menurutkan nafsu amarahnya saja, seperti beberapa tahun yang lalu.

"Ketika dia melakukan pembunuhan beberapa pejabat negeri di An-yang-shia hanya karena bujukan seorang kawannya yang mabuk, sehingga dia menjadi buronan bersama kawan-kawannya. Dalam igauannya tadi, agaknya diapun tetap menganggap pihak pendekar yang menculik anak isterinya, anggapan ini jelas berbahaya, bisa mengobarkan perang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar yang jelas hendak kita cegah!”

"Ya, apalagi pucuk pimpinan Hwe-liong-pang justru dipegang oleh anak-anak berandalan semacam A-siang, Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang menganggap perkelahian sebagai masalah ringan saja, dan dapat mereka lakukan kapan saja mereka mau dan di tempat mana saja."

Pendekar wanita Soat-san-pay itu kini benar-benar merasa dihadapkan persoalan yang berat. Bukan saja persoalan menyembuhkan anaknya dan mencegah perang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar, namun juga persoalan mencari siapa yang menculik "anak dan isteri" yang disebut dalam igauan Wi-siang tadi, dan sekaligus membebaskannya. Katanya,

"Persoalannya memang berbelit. Sekarang lebih dulu kita harus mengurus Wi-siang sampai sembuh dan mencoba mempengaruhi jalan pikirannya. Aku berharap, aku sebagai ibunya masih punya pengaruh cukup kuat atas kepribadiannya, melebihi pengaruh ilmu iblis yang telah mencengkamnya. Dengan demikian banjir darah di Tiau-im-hong dapat dihindarkan."

Kemudian kepada Wi-hong, Tong Hu-jin berkata, "A-hong, untuk sementara kita akan berada di sini untuk merawat kakakmu, tapi kita tidak boleh buta tuli sama sekali terhadap keadaan wilayah ini yang agaknya semakin panas dengan api peperangan. Karena itu kau harus sering-sering keluar untuk melihat-lihat keadaan, sehingga langkah- langkah yang akan kita ambilpun akan dapat kita sesuaikan."

"Baiklah, ibu."

"Hati-hatilah, kawasan ini ibarat genangan minyak. Setitik api saja sudah cukup untuk membuat seluruh kawasan jadi berkobar, dan kemudian hangus menjadi arang. Di sini bukan cuma ada pertentangan antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai aliran, tapi antara Kerajaan Beng dengan pihak pemberontak yang dipimpin Li Cu-seng."

Sementara itu Ting Bun telah menimbrung, "Bibi, apabila bibi tidak berkeberatan dan demikian pula A-hong, biarlah aku menemani A-hong setiap kali ia keluar untuk menyelidiki keadaan. Meskipun ilmu silatku tidak setinggi A-hong, mungkin tenagaku dapat juga membantunya mengatasi kesulitan-kesulitan."

"Baiklah. A-hong, kau akan ditemani A-bun dalam setiap penyelidikanmu."

* * * * * * *

DI bagian utara wilayah Su-coan ada sebuah kota yang bernama Lam-tiong. Kota ini letaknya agak jauh dari daerah yang sedang terancam peperangan, sehingga "hangat"nya api perang itu tidak begitu terasa di sini. Namun bukan berarti daerah ini bebas dari kegelisahan sama sekali, sebab kabar peperangan itu sudah terdengar pula sampai ke kota ini. Malahan kota Lam-tiong termasuk penting pula dalam perhitungan peperangan, sebab kota ini merupakan titik penting dalam jalur perbekalan Tentara Kerajaan Beng dari Pak-khia ke garis depan.

Karena itu tidak mengherankan kalau Tentara Kerajaan melindungi titik penting ini sebaik-baiknya, jangan sampai terpotong putus oleh pihak pemberontak. Itulah sebabnya di Lam- tiong telah dipenuhi dengan tentara Kerajaan, bahkan tentara Kerajaan membuat pesanggrahan di luar kota juga, menunjukkan kesungguhan pihak Kerajaan untuk melindungi titik penting ini dari incaran musuh.

Tapi Lam-tiong bukan saja titik penting dalam pertentangan antara Kaisar Cong-ceng dengan puluhan ribu prajuritnya, melawan Li Cu-seng dengan laskarnya yang menyemut banyaknya, melainkan juga merupakan tempat penting dalam pertentangan yang lebih kecil namun tidak kalah membahayakannya. Pertentangan antara Kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang. Meskipun pertentangan ini tidak melibatkan jutaan prajurit atau laskar, tapi tidak kalah berbahaya, sebab orang-orang yang terlibat dalam pertentangan ini adalah orang-orang berilmu tinggi.

Seperti juga Kerajaan Beng dan Li Cu-seng tengah memperebutkan kepemimpinan atas negeri yang maha luas itu, untuk menentukan masa depan negeri, maka pertentangan antara kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang itupun dapat dikatakan sedang memperebutkan kepemimpinan antara mereka, kepemimpinan atas rimba persilatan. Apakah masa depan rimba persilatan akan tetap tenang seperti masa-masa sebelumnya, dimana setiap perguruan atau aliran hidup berdampingan secara damai dan hormat menghormati?

Ataukah dunia persilatan akan jatuh ke bawah pimpinan Hwe-liong-pang, yang cita-citanya sudah jelas ingin merobohkan Kerajaan Beng hanya karena ambisi balas dendam dari Tong Wi-siang yang kehilangan keluarganya? Semuanya masih harus ditentukan lewat sebuah percaturan kekuatan yang pelik. Semuanya tergantung penyelesaiannya, siapakah yang menang nantinya.

Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay sebagai pemegang kendali tertinggi gerakan kaum pendekar itu, memang sudah tiba di Lam-tiong, bahkan sudah berdiam di situ selama beberapa hari. Seperti telah diketahui, gerakan kaum pendekar menyerbu ke Tiau-im-hong itu tidak berangkat dalam satu barisan besar seperti sepasukan prajurit menuju medan perang, tapi berangkat dalam kelompok-kelompok kecil yang jalurnya pun terpisah-pisah, meskipun semuanya menuju ke satu titik, yaitu Bukit Tiau-im-hong di wilayah Su-coan.

Pemecahan dalam kelompok-kelompok kecil itu dilakukan untuk menghindari kesalah- pahaman atau kecurigaan dengan pihak Tentara Kerajaan yang juga tengah dikerahkan ke arah yang sama itu. Maklumlah, jika darah sedang panas dan pikiran sedang tegang, kesalah-pahaman mudah saja terjadi, apalagi di pihak Tentara Kerajaan itu sudah ada dasar-dasar kecurigaan terhadap kaum persilatan.

Jika mereka melihat kaum persilatan berbondong-bondong menuju ke Su-coan, pihak kerajaan tentu mengira para pendekar itu hendak bergabung dengan Li Cu-seng, sehingga gerakan kaum pendekar itu bisa terhambat oleh urusan yang berlarut- larut. Namun berkat siasat Hong-tay Hweshio itu, kecurigaan itu bisa dihilangkan, biarpun di beberapa tempat masih juga terjadi kerewelan-kerewelan kecil dengan Tentara Kerajaan, namun umumnya berjalan lancar. Kaum pendekar, biarpun maju secara berpencaran tetapi tetap berada di bawah satu perintah.

Dalam hal penyampaian laporan maupun perintah, jasa Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) tidak kecil, sebab anggota- anggota Kay-panglah yang hilir mudik kemari, merupakan tali penghubung antara si pemimpin dan yang dipimpin. Dengan demikian, sejauh ini gerakan kaum pendekar tetap rapi, seperti yang diharap oleh Hong-tay Hweshio. Tapi kelancaran gerakan kaum pendekar itu, pada suatu hari mulai terganggu.

Hong-tay Hweshio dan beberapa tokoh persilatan, berdiam di rumah Ko Gi-ceng, yang untuk kaum persilatan di daerah Lam-tiong dan sekitarnya terkenal dengan gelarnya sebagai Pek-lui-kun (Si Toya Halilintar). Dengan demikian rumah Si Toya Halilintar itulah yang menjadi "markas pusat" gerakan kaum pendekar menuju ke barat itu, meskipun hanya markas sementara, sebab beberapa hari lagi akan bergeser maju semakin dekat ke Tiau-im-hong.

Pada suatu hari, seorang pengemis nampak berjalan mantap mendekati pintu gerbang rumah Ko Gi-ceng yang letaknya di tengah-tengah kota Lam-tiong itu. Ketika dia tiba di pintu gerbang, dilihatnya di halaman rumah Ko Gi-ceng ada belasan orang anak muda yang bertelanjang baju tengah berlatih ilmu silat dengan aba-aba salah seorang yang paling tua. Itulah murid-murid Ko Gi-ceng, sebab orang she Ko itu selain bermata-pencaharian pedagang hasil bumi, juga mengajar silat kepada beberapa anak muda Lam-tiong.

Tanpa ragu-ragu si pengemis itu melangkah masuk ke dalam rumah itu setelah mengangguk hormat kepada beberapa murid yang sedang berlatih di situ. Murid-murid Ko Gi-cengpun agaknya sudah terbiasa melihat kaum pengemis keluar masuk rumah gurunya, sejak rumah gurunya itu dijadikan markas sementara kaum pendekar, karena tu murid-murid itupun mendiamkan saja si pengemis masuk sampai ke bagian dalam rumah.

Setelah sampai ke halaman tengah yang sepi, barulah si pengemis itu menegur salah seorang pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng, "Permisi, saudara, dapatkah saudara membantuku agar dapat menemui Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay? Katakan kepadanya bahwa pembawa berita dari selatan ingin menghadap membawa berita penting."

Para pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng pun agaknya cukup terdidik dalam tata-krama dunia persilatan, karena majikan mereka adalah tokoh dunia persilatan yang banyak berhubungan dengan orang-orang segolongan, oleh karena itu si pembantu rumah tangga itupun tidak berani memandang rendah "tamu" nya itu, meskipun si tamu berpakaian compang-camping. Cepat-cepat ia membalas hormat, mempersilahkan duduk, kemudian dia sendiri menghilang ke ruangan belakang.

Tidak lama kemudian, dari ruangan belakang itu muncullah serombongan yang bukan lain adalah Hong-tay Hweshio si rahib sakti dari Siau-lim-pay itu, diiringi beberapa tokoh persilatan lainnya. Antara lain nampaklah tuan rumah sendiri, yaitu Ko Gi-ceng yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip saudagar kaya, sementara tangan kirinya memegang pipa tembakau terbuat dari besi yang selalu diisapnya dan dikepulkannya asapnya lewat mulutnya.

Selain itu nampak pula Ketua Jing-sia-pay, Kongsun Tiau yang bergelar Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong, Ketua Kong-tong-pay Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) serta tiga orang bekas pengikut Te-liong Hiang-cu yang telah tertawan dan menyerah kepada Hong-tay Hweshio, yaitu masing-masing adalah Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) dan He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Hantu Ganas).

Ketiga bekas pengikut Te-liong Hiang-cu itu memang sengaja dipaksa ikut oleh Hong-tay Hweshio, tujuannya selain sebagai sumber keterangan tentang seluk-beluk Hwe-liong-pang, juga untuk mengawasi dan memberi peringatan kepada gembong-gembong kaum hitam itu agar di kemudian hari mengubah kelakuan sesatnya.

Berkat keterangan ketiga orang itu pulalah maka Hong-tay Hweshio pada beberapa hari yang lalu telah menerima utusan perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Hong-goan Hweshio, bekas murid Siau-lim-pay juga yang menjadi tokoh Hwe-liong-pang, dan dalam perundingan kedua pihak telah ditetapkan bahwa masing-masing pihak akan menahan diri supaya tidak termakan siasat adu-domba oleh Te-liong Hiang-cu.

Kepercayaan Hong-tay Hweshio itu antara lain juga ditimbulkan oleh keterangan Song Hian, Tong King-bun dan He-hou Im, yang dapat disimpulkan bahwa dalam Hwe-liong-pang memang telah terjadi perpecahan. Dengan demikian Hong-tay Hweshio lalu mencoba membuat batas antara Hwe-liong-pang yang asli, dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang menyerbu ke Siong-san itu. Yang dimusuhi oleh kaum pendekar adalah pengikut Te-liong Hiang-cu.

Si pengemis bangkit dari duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio dan lain-lainnya, sambil melaporkan diri, "Chai Hing, anggota Kay-pang cabang Jing-toh menghadap Beng-cu."

Hong-tay Hweshio yang dipanggil "Beng-cu" (Pemimpin Umum) itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silahkan duduk, saudara Chai. Tentunya saudara membawa suatu berita penting untuk disampaikan kepadaku? Kalau benar, cepat katakan."

Sekali lagi pengemis yang bernama Chai Hing itu mengangguk hormat, kemudian duduk di kursinya kembali dan mulai melaporkan, "Beng-cu, di daerah selatan, gerakan kita ini ternyata menemui perkembangan yang kurang menguntungkan. Kira-kira tiga hari yang lalu, Kay-pang cabang Jing-toh telah dihubungi oleh Kiau Lo-eng-hiong (Pendekar Tua She Kiau) serta Rahib Thian-goan dan beberapa muridnya yang luka-luka.

"Begitu datang mereka terus marah-marah dan minta tolong kepada kami untuk menyampaikan pesan kepada Beng-cu. Kata mereka, perdamaian dengan pihak Hwe-liong-pang tidak ada gunanya, baik Hwe-liong-pang-nya Te-liong Hiang-cu maupun Hwe-liong-pang satunya lagi, semuanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio juga mengancam.

"Apabila Beng-cu tidak segera memerintahkan perintah penyerbuan serempak ke Tiau-im-hong, maka kedua Lo-eng-hiong itu akan menarik mundur semua murid-murid mereka yang ikut dalam gerakan ini, dan selanjutnya Hoa-san-pay dan Go-bi-pay akan membuat perhitungan sendiri terhadap Hwe-liong-pang tanpa mempedulikan Beng-cu lagi."

Tokoh-tokoh persilatan yang hadir di ruangan itu seketika berubah air mukanya ketika mendengar laporan Chai Hing itu. Hong-tay Hweshio dengan sabar mencoba menenangkan goncangan perasaannya, sambil berdesah, "Ini masalah gawat yang tidak dapat dibiarkan saja. Di Siong-san kita sudah bersepakat untuk menyatukan gerakan kita agar tidak tercerai-berai, tidak mudah diombang-ambingkan oleh kabar angin ataupun diadu-domba satu sama lain, dan para sahabat-sahabat dunia persilatanpun sudah mengangkat aku sebagai Beng-cu. Sekarang jika kita masih juga ingin bertindak sendiri-sendiri, apa gunanya mengangkat aku sebagai pimpinan?"

Sementara itu Chai Hing telah berkata, "Maaf, Beng-cu, bahwa aku berani ikut bicara, namun jika diijinkan biarlah aku melengkapi laporanku agar Beng-cu dapat mempertimbangkan setiap keputusan sematang-matangnya...”

"Silahkan, saudara Chai..."

"Menurut penuturan Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio, mereka dan murid-murid mereka telah bentrok dengan seorang pemuda gila yang sangat lihai, dan ternyata si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang sendiri, yang telah membunuh dan melukai beberapa orang murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay sehingga Kiau Lo-eng-hiong serta Thian-goan Hweshio sangat berang, sulit sekali untuk ditenangkan."

"Darimana Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio dapat memastikan bahwa si gila yang bertempur dengan mereka itu adalah Ketua Hwe-liong-pang? Bukankah Ketua Hwe-liong-pang itu kabarnya selalu memakai topeng tengkorak, sehingga tidak kelihatan wajahnya?"

"Beng-cu, Kiau Lo-eng-hiong berdua sangat yakin bahwa yang bertempur dengan mereka dan mengalahkan mereka di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin itu adalah benar-benar Ketua Hwe-liong-pang. Bukan saja karena si gila itu telah mengaku sendiri akan kedudukannya, tapi juga karena ketinggian ilmu si gila itu luar biasa, dan ilmu-ilmu yang dipergunakannya pun adalah jenis-jenis ilmu sesat seperti Jit-kui-tiau-goat-sin-kang dan Thian-mo-kay-teh-hoat."

Hong-tay Hweshio menarik napas, "Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio terlalu gegabah mengambil kesimpulan. Beberapa kali harus kujelaskan kepada mereka bahwa ada pihak Te-liong Hiang-cu yang hendak mengadu domba kita dengan Hwe-liong-pang? Bukankah mudah sekali jika Te-liong Hiang-cu melepaskan topeng tengkoraknya, kemudian dengan berlagak gila dia menyerang dan membunuh orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu? Kenapa Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio semudah itu termakan oleh siasat yang sangat sederhana ini?"

Chai Hing termangu mendengar perkataan Hong-tay Hweshio itu, namun dia juga masih ingat betapa Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio sampai berani sumpah disambar petir, yakin bahwa si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang. Akhirnya pengemis anggota Kay-pang itu membuang jauh semua pikiran yang meruwetkannya, dia hanya sekedar menjalankan tugas. Sambil menarik napas ia berkata, "Lalu bagaimana sekarang? Kedua lo-eng-hiong itu sudah tidak dapat disabarkan lagi, dan ingin secepatnya mendengarkan keputusan Beng-cu, kalau tidak, mereka akan...."

Hong-tay Hweshio berdiri dari kursinya sambil mengibaskan tangan kanannya, menyuruh Chai Hing jangan berbicara lagi. Sambil berjalan hilir-mudik sepasang alis putih dari rahib tua itu nampak berkerut, otaknya bekerja keras. "Kita sudah maju dan sudah berada tepat di depan hidung Hwe-liong-pang, kita tidak boleh tercerai-berai justru setelah tiba di sini. Thi-sim Tojin, Kong-sun Ciang-bun (Ketua Kong-sun) serta Ciu Ciang-bun (Ketua Ciu), aku akan terpaksa merepotkan kalian....”

Imam berhati besi Thiat-sim Tojin, Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau serta Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong serempak berdiri dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio, sambil berkata, "Demi lancarnya gerakan bersama kita ini, kami bertiga siap menjalankan perintah Beng-cu!"

"Terima kasih atas kesediaan saudara bertiga. Kini kalian harus ikut saudara Chai ini pergi ke markas cabang Kay-pang di Jing-toh, untuk membujuk dan menenteramkan Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio agar mereka tidak bertindak sendiri dan mengacaukan semua rencana yang telah tersusun rapi. Aku memang akan mengambil tindakan dalam waktu singkat, namun tentu harus disesuaikan dengan keadaan, jangan sampai dimanfaatkan oleh Te-liong Hiang-cu."

"Baik, kami akan menjelaskannya kepada saudara Kiau dan saudara Thian-goan," sahut Tiat-sim Tojin. "Ijinkan kami berangkat sekarang juga."

Karena persoalannya memang cukup mendesak, maka Hong-tay Hweshiopun mengijinkan ketiga orang utusannya itu untuk langsung berangkat. Tetapi baru saja ketiga orang itu hendak beranjak pergi dari ruangan itu, tiba-tiba di luar halaman sana terdengar derap kaki kuda yang riuh dan disertai pula ringkik kuda yang ramai. Menyusul itu seorang pelayan rumah Ko Gi-ceng telah bergegas-gegas masuk.

Ko Gi-ceng sebagai tuan rumah segera melangkah maju dan berkata, "Tentu ada yang akan kau laporkan. Cepat katakan."

Pelayan itu memberi hormat kepada tokoh-tokoh yang ada di tempat itu, lalu menjawab, "Memang benar, tuan. Saat ini di luar halaman sana telah kedatangan utusan-utusan dari Hwe-liong-pang yang ingin menghadap Beng-cu."

“Utusan Hwe-liong-pang? Siapa saja mereka itu?"

Sahut si pelayan, "Pemimpin rombongan itu agaknya adalah rahib berjenggot kuning dan bermata biru yang juga telah datang ke rumah ini beberapa hari yang lalu. Selain itu adalah seorang tua bertampang seperti kera, dan seorang berkulit hitam serta seorang lelaki berpakaian seperti orang Korea."

"Hanya empat orang?"

"Ya. Hanya empat orang dan hamba lihat semuanya tidak ada yang membawa senjata."

Ko Gi-ceng melemparkan pandangannya kepada Hong-tay Hweshio, minta pendapat rahib tua itu. Ketika Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, barulah Ko Gi-ceng berkata kepada pelayannya, "Persilahkan mereka masuk. Sambut dengan baik."

Pelayan itu cepat menjalankan perintah majikannya. Tidak lama kemudian si pelayan telah masuk kembali dengan mengantarkan empat orang tamu dari Hwe-liong-pang. Yang paling depan adalah seorang rahib bertubuh kekar, berjenggot keriting warna pirang, bermata biru, dia bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, si rahib suku Hui yang merupakan bekas murid Siau-lim-si, seangkatan dengan Hong-tay Hweshio.

Yang datang bersamanya adalah tokoh Hwe-liong-pang lainnya, Ling Thian-ki yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Si Lutung Sakti Bertangan Seribu) yang tampangnya memang penuh bulu, sehingga tidak keliru kalau pelayan Ko Gi-ceng tadi melaporkan bahwa salah seorang tamunya "mirip monyet". Yang dua orang lainnya adalah si ahli pukulan dan ahli tendangan dari Hwe-liong-pang, masing-masing Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) serta Oh Yun-kim orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).

Keempat orang utusan Hwe-liong-pang itu memasuki ruangan itu dengan sikap yang agak berbeda dibanding beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu mereka bersikap penuh damai dan muka berseri-seri ramah. Namun kali ini muka mereka nampak tegang dan bahkan sinar mata mereka menampakkan kemarahan yang ditahan-tahan. Tetapi, Hong-goan Hweshio sebagai pemimpin rombongan Hwe-liong-pang agaknya masih berusaha untuk bersikap sopan.

Tiba di depan Hong-tay Hweshio, rahib suku Hui itu merangkapkan kedua telapak tangannya, membungkuk kepada Hong-tay Hweshio dan berkata dengan suara sehormat mungkin, "Selamat bertemu kembali, Suheng, maafkan adikmu hari ini mengganggumu lagi."

Meskipun Hong-goan Hweshio hanya bekas murid Siau-lim- si, tetapi ia tetap memanggil "suheng" (kakak seperguruan) kepada Hong-tay Hweshio. Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnyapun membalas hormat utusan Hwe-liong-pang itu dan mempersilahkan duduk. Hati Hong-tay Hweshio sudah merasa tidak enak ketika melihat wajah orang-orang Hwe-liong-pang yang nampak kurang bersahabat itu, diam-diam si rahib tua itu menduga ada hal yang kurang beres telah terjadi.

Benar juga firasat Hong-tay Hweshio itu. Setelah utusan-utusan Hwe-liong-pang itu duduk di kursinya masing-masing, Hong-goan Hweshio memulai pembicaraan, "Maafkan, Suheng, barangkali kehadiran kami yang mendadak dan tanpa pemberitahuan lebih dulu ini telah mengejutkan Suheng dan tuan-tuan sekalian, namun kedatangan kami ini bukannya tanpa keperluan sama sekali."

"Ada masalah apa lagi, Sute? Bukankah perjanjian perdamaian antara pihak kami dengan pihak Hwe-liong-pang kalian sudah ditanda-tangani beberapa hari yang lalu? Apakah ada syarat yang kurang ataukah maksud untuk merubah perjanjian itu?"

"Benar, Suheng. Perjanjian telah sama-sama kita setujui. Jika ada juga orang yang ingin mengubah persetujuan damai itu, agaknya orang itu dari pihak Suheng sendiri."

Meskipun Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnya samar-samar sudah menduga garis persoalannya, namun setelah mendengar ucapan tegas dari Hong-goan Hweshio itu, mau tidak mau berubahlah air muka sekalian tokoh itu. Tiat-sim Tojin yang berwatak keras, sesuai dengan julukannya itu, telah mendahului menyahut tanpa menunggu Hong-tay Hweshio lagi,

"Jadi maksud saudara Hong-goan, kami adalah ksatria-ksatria palsu yang tidak bisa memegang janji, begitu?"

Hong-goan Hweshio menggeram menahan kemarahannya, tetapi dia juga berusaha bersikap tenang ketika menjawab ucapan Tiat-sim Tojin itu, "Bukan begitu maksudku, Totiang (bapak imam), aku percaya bahwa Hong-tay Suheng dan Tiat-sim Tojin dan saudara-saudara pendekar di sini adalah orang-orang jantan yang teguh pada janji, tapi ternyata tidak semua orang yang mengaku dirinya pendekar di pihak kalian itu berpegang teguh pada perjanjian perdamaian kita."

Tiat-sim Tojin yang berwatak keras itu sudah berdiri dengan wajah tegang, di pihak Hwe-liong-pang pun Lu Siong yang tidak kalah panas darahnya dari Tiat-sim Tojin, juga telah menggebrak meja di sebelahnya sehingga keempat kakinya patah. Namun sebelum kedua orang pemarah itu saling baku-hantam dan semakin mengkisruhkan suasana, Hong-tay Hweshio dan Hong-goan Hweshio cepat-cepat berusaha menenangkan orangnya masing-masing. Tiat-sim Tojin duduk kembali dengan wajah merah padam, sedangkan Lu Siong telah menggosok-gosok kepalan tangannya yang sekeras besi itu.

Kemudian Hong-tay Hweshio berkata dengan sabar, "Harap saudara-saudara sekalian, baik dari pihakku maupun pihak Hwe-liong-pang, menahan diri. Kita semua menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sangat licik yang berusaha mengadu domba kita, jika kita menurutkan luapan perasaan marah saja tanpa mau berpikir bening memecahkan persoalannya, maka kita benar-benar akan termakan oleh siasat adu-domba itu. Sute, kata-katamu tadi kurang jelas. Apa yang kau maksudkan dengan ada orang di pihak kami yang bermaksud melanggar perjanjian?"

Timbul rasa hormat Hong-goan Hweshio kepada bekas kakak seperguruannya yang dapat tetap bersikap tenang itu, diam-diam rahib Hui itupun merasa sayang jika dia harus berhadapan dengan kakak seperguruannya itu sebagai musuh. Karena itu Hong-goan Hweshio pun menyabarkan diri sejauh mungkin. Lebih dulu ia merangkap tangan dan memberi hormat kepada semua orang, katanya,

"Maaf, kata-kataku tadi terlalu tajam dan hampir menimbulkan salah paham Tiat-sim Totiang. Aku hanya ingin memberitahukan kepada Suheng, bahwa di kota Jing-toh telah terjadi suatu peristiwa yang barangkali tidak kita kehendaki bersama-sama."

“Peristiwa apa?” tanya Hong-tay Hweshio.

"Entah karena peristiwa atau alasan apa, ternyata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, masing-masing dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, telah menyerang secara membabi-buta kepada beberapa kelompok anak buah kami yang kebetulan ditemui oleh mereka, sehingga beberapa orang anak buah kami tewas secara penasaran...”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 34

Perserikatan Naga Api Jilid 34

Karya : Stevanus S.P
WI-SIANG menggeram bagaikan singa luka ketika melihat kesempatan bagus itu. Sekuat tenaga ia mengayunkan tangannya secara mendatar, dengan sisi tangannya dia menghantam punggung Kiau Bun-han yang tidak terlindung itu. Bagaikan diseruduk seekor kerbau gila, tubuh pendekar Hoa-san-pay yang belum menemukan keseimbangan itu telah terpelanting beberapa langkah ke depan sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya, kemudian roboh tertelungkup tak bergerak-gerak lagi.

Geram karena lambungnya terasa pedih, Tong Wi-siang bermaksud menambahkan lagi sebuah pukulan untuk menghantam Kiau Bun-han yang sudah tak bergerak itu. Tetapi Thian-goan Hweshio telah merintanginya dengan kemarahan dan kebencian meluap di hati masing-masing. Murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tersisa itu hanya bisa melihat kejadian-kejadian dahsyat di depan mata mereka itu dengan mulut terlongong.

Sementara itu, kekuatan dahsyat hasil pengerahan Thian-mo-kay-teh-kang itu telah semakin menurun, dan Wi-siang merasakan hal itu. Kini bahkan kekuatannya tidak sehebat sewaktu dia belum menggunakan ilmu tadi, apalagi luka di lambungnya pun terasa pedih tersiram air hujan, serta terus menerus mengalirkan darah sehingga mengakibatkan tubuhnya semakin lemah.

Di lain pihak, Thian-goan Hweshio yang memahami akibat penggunaan Thian-mo-kay-teh-kang itu, telah mencecar terus dengan pedangnya dan tidak memberi kesempatan bernapas. Rahib berdarah panas itu telah bertekad untuk menghabisi nyawa Wi-siang saat itu juga, demi sakit hati rekannya dan murid-muridnya.

Wi-siang sendiri mulai merasakan tenaganya menyusut sedikit demi sedikit, isi dadanyapun mulai terasa nyeri. Biarpun dia sedang berpikiran keruh, tapi ia masih memiliki naluri para mahkluk hidup umumnya, yaitu bertahan hidup. Apalagi Wi-siang bukan binatang. Dia menyadari jika tenaganya menyusut terus maka dia akan terbunuh oleh Rahib Go-bi-pay itu, itulah sebabnya diapun mulai mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari libatan lawannya.

Pada suatu saat Thian-goan Hweshio memainkan jurus Liong-coa-ci-cau (Naga dan Ular Lari Sejajar), pedangnya beruntun menikam ke tubuh Wi-siang. Secara nekad Tong Wi-siang mengerahkan sisa kekuatannya dan menyongsong jurus itu dengan gerakan Sin-liong-jip-hay (Naga Sakti Mencebur ke Laut) yang dilakukannya sambil melompat dan menerkam dari atas. Serangan ini boleh dikata serangan nekad yang memberi kemungkinan besar kedua belah pihak sama-sama terluka parah.

Betapapun marahnya Thian-goan Hweshio, sudah tentu dia belum siap untuk bertarung nekad-nekadan semacam itu, maka terpaksalah ia menarik kembali serangannya dan dengan gesitnya melakukan langkah Liong-heng-hui-po (Langkah Naga Terbang) ke samping kanan sambil melintangi pedangnya dengan gaya Heng-ke-kim-lian (Melintangkan Belandar Emas) untuk melindungi dirinya.

Sekali ini Thian-goan Hweshio agak terkecoh oleh lawan mudanya. Gerakan Tong Wi-siang yang seakan-akan hendak mengadu jiwa itu ternyata hanya gertak sambal agar lawannya mundur, dan begitu lawan benar-benar mundur, maka Tong Wi-siangpun mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk melompat pergi. Bagaikan sesosok bayangan hantu tak berbobot, ia melayang cepat melintasi dinding halaman rumah bobrok itu, dan sekejap kemudian bayangan tubuhnyapun telah lenyap ditelan gelapnya malam.

Thian-goan Hweshio menggeram marah karena ia telah menyadari tipu muslihat lawannya. Namun diapun tidak berniat untuk mengejar Tong Wi-siang, sebab pengejaran dalam hutan segelap itu tentu sangat berbahaya, apalagi rahib itu menyadari lawannya punya bermacam-macam ilmu sesat yang aneh-aneh.

Terpaksa dengan gemas ia melepaskan lawan-lawannya begitu saja. Kemudian dengan dibantu oleh murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay yang tidak luka serta kaum pengungsi yang masih agak ketakutan, ia lalu mengangkati yang luka atau tewas untuk dibawa masuk ke halaman dalam, dilindungi dari derasnya air hujan.

Seorang murid Goi-bi-pay dan seorang murid Hoa-san-pay tewas secara mengerikan, sedang seorang murid Go-bi-pay lainnya kehilangan sebelah tangannya yang "dicabut" oleh Tong Wi-siang tadi, dan ia belum sadarkan diri juga. Kiau Bun-han yang menderita luka dalam cukup parah, tetap dalam keadaan sadar namun begitu lemahnya.

Melihat korban-korban Hwe-liong-Pang-cu bergelimpangan di depan matanya, Thian-goan Hweshio tak dapat lagi mengendalikan luapan perasaannya. Dengan sengitnya ia mengayunkan tinjunya untuk menghantam sebuah patung batu, yang langsung saja roboh dan putus menjadi dua potong. Teriaknya dengan geram,

"Sudah berkali-kali aku mengatakan bahwa kita tidak boleh bertindak lunak kepada gerombolan iblis Hwe-liong-pang itu, tapi banyak orang berlagak penuh welas-asih dan ingin mengadakan perdamaian dengan bangsat-bangsat itu. Beginilah akibatnya! Selamanya aku tidak mempercayai bangsat-bangsat itu. Tapi agaknya Hong-tay Hweshio tidak mau memperdengarkan pendapatku dan masih saja mau mengadakan hubungan perdamaian dengan mereka! Perdamaian apa? Perdamaian tai anjing!"

Karena marahnya, Thian-goan Hweshio sampai lupa bahwa dia seorang pendeta, maka kata-kata kotorpun berhamburan keluar dari mulutnya, membuat kaum pengungsi itu jadi terheran-heran melihat bagaimana seorang rahib dapat bicara seperti itu.

Sementara murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay lainnya juga sama menggertakkan gigi, "Akupun juga tidak percaya akan kabar bahwa mereka terpecah dua saling cakar-cakaran sendiri, namun aku tidak percaya bahwa yang satu jahat dan yang lain baik. Aku yakin Hwe-liong- pang yang manapun juga adalah sama jahatnya, sama-sama harus dilenyapkan dari muka bumi ini!"

"Benar, kita harus segera menghubungi Hong-tay Hweshio sebagai Pemimpin Umum dari gerakan menumpas Hwe-liong-pang ini. Rahib tua itu terlalu lemah hati menghadapi iblis-iblis itu, namun aku akan memperingatkannya bahwa ada jebakan maut di balik uluran perdamaian Hwe-liong-pang yang nampaknya menarik itu, mereka ingin menumpas kita selangkah demi selangkah," kata Thian-goan Hweshio dengan hati panas.

"Kalau mereka menyodorkan perdamaian, itu hanya akal mereka untuk mengulur waktu, sebab mereka sedang dalam keadaan lemah, tapi jika mereka menjadi kuat kembali mereka akan menginjak-injak perdamaian itu membahayakan kita!"

Dalam pada itu, dalam keadaan luka parah, Tong Wi-siang berlari-lari menerobos hujan lebat dan angin dingin, tanpa menghiraukan rasa pedih di lambungnya yang lukanya terkena air hujan itu. Justru guyuran air hujan yang dingin menusuk tulang itu telah mengembalikan kejernihan pikirannya yang tadinya kacau itu. Bahkan dengan melihat kedudukan bintang di langit, meskipun tidak jelas karena ada mendung, Wi-siang telah dapat menentukan arah dan menetapkan langkahnya menuju Tiau-im-hong, tempat markas Hwe-liong-pang.

Semakin lama ia berlari, lukanya terasa semakin mengganggu, apalagi lambungnya yang terus menerus mengalirkan darah itu, dan langkah Wi-siang pun mulai sempoyongan. Pandangan matanya mulai semakin kabur dan segala di sekitarnya nampak kuning kehijau-hijauan, perutnya mual, telinganya mendengung hebat. Namun dengan bandel Wi-siang tidak menghentikan langkahnya menuju Tiau-im-hong.

Untunglah bahwa Thian-goan Hweshio dan rombongannya tidak mengetahui keadaan Wi-siang itu, sehingga mereka juga tidak mengejarnya. Andaikata mereka mengejar, maka mereka dengan mudah akan menemukan Wi-siang, dan nasib Hwe-liong Pang-cu itu pasti akan menjadi sangat buruk apabila jatuh ke tangan para pendekar yang sedang dimabuk dendam itu. Mungkin mayatnya akan dicincang dan dibiarkan di tengah hutan begitu saja untuk menjadi makanan serigala atau binatang liar lainnya.

Tengah Tong Wi-siang melangkah terhuyung-huyung di lorong hutan yang sepi dan gelap itu, tiba-tiba terdengarlah suara derap kaki kuda dari arah depan sana, dan di kegelapan muncul lima sosok bayangan orang berkuda yang sedang berjalan menyongsong ke arah Tong Wi-siang. Kelima orang penunggang kuda itu semuanya bertudung bambu lebar untuk menahan air hujan, dan mengenakan mantel penutup tubuh mereka.

Tong Wi-siang terkejut karena mengira orang-orang berkuda itu adalah orang-orang Go-bi-pay dan Ho-san-pay yang baru saja bertempur dengannya, atau mungkin kawan-kawan mereka yang lain. Secepat-cepatnya ia melompat ke pinggir jalan untuk berusaha bersembunyi. Namun agaknya lukanya telah mengganggu gerakannya tidak segesit semula, dia terlambat, dan dia mendengar salah seorang dari kelima penunggang kuda itu telah berseru,

"He, ada orang di depan kita!"

Otak Tong Wi-siang masih saja dipenuhi oleh adegan-adegan dari pertempuran berdarah yang baru saja dialaminya di rumah bobrok itu, nalurinya yang mirip naluri binatang buas itu masih saja peka terhadap ancaman bahaya yang bagaimanapun kecilnya. Maka ketika ia sadar bahwa jejaknya telah diketahui oleh orang-orang berkuda yang belum diketahuinya siapa saja itu, Wi-siang menjadi kalap seperti seekor binatang buruan yang tersudut.

Sambil menggeram marah dia melompat menerkam penunggang kuda yang paling depan dengan sebuah loncatan disertai pukulan yang kuat. Terdengarlah orang yang diserang itu berseru kaget, secara naluriah dia mengangkat kedua tangannya, disilangkan di depan mukanya untuk menangkis hantaman Wi-siang itu.

Sedang penunggang-penunggang kuda lainnya yang agaknya juga dikejutkan oleh peristiwa mendadak itu, hampir serempak berteriak memperingatkan, bahkan ada suara seorang gadis pula, "Awas, A-hong!"

Pukulan Wi-siang yang kuat itu segera berbenturan dengan tangkisan dari penunggang kuda terdepan itu. Jika Tong Wi-siang dalam keadaan sehat dan wajar, maka dengan pukulannya yang sekuat tenaga itu, tentu si penunggang kuda akan terlempar dari punggung kudanya dan jatuh dengan tulang-tulang berpatahan. Tetapi kali ini keadaan tubuh Tong Wi-siang sudah sangat lemahnya karena luka-lukanya, dan karena baru saja menggunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang yang sangat menguras tenaga itu.

Maka bukan penunggang kuda itu yang terbanting dari kudanya, melainkan Wi-siang sendiri yang terpental balik dan pingsan oleh tenaganya sendiri yang memantul. Sedang penunggang kuda itu hanya merasakan tangannya tergetar keras saja. Orang-orang berkuda itu cepat-cepat berlompatan turun dari kudanya masing-masing, lalu melangkah mendekati tubuh Wi-siang yang telentang pingsan itu dengan langkah-langkah waspada. Mereka baru mengendorkan kesiagaan mereka setelah yakin bahwa orang yang didekati itu benar-benar pingsan.

"Entah siapa orang ini, tanpa alasan apa-apa tiba-tiba saja dia menyerangku," kata penunggang kuda yang diserang Wi-siang tadi.

“Mungkin kesalah-pahaman. Tapi siapapun dia, kita tidak akan membiarkannya terbaring di tengah jalan dan mungkin akan terinjak-injak oleh orang-orang yang lewat jalan ini, karena malam memang cukup gelap," sahut penunggang kuda lainnya, suara seorang perempuan muda. "Ayo kita angkat dia!"

Pada saat orang-orang berkuda itu mendekati tubuh Wi-siang dan membungkuk di dekat tubuh itu, tiba-tiba kilat menyambar di langit dengan cahayanya yang cemerlang. Cahaya yang hanya sekejap itu ternyata telah cukup memberi kesempatan kepada orang-orang berkuda itu untuk melihat wajah orang yang terbaring di tengah jalan itu.

Salah seorang dari orang-orang berkuda itu, yang agaknya adalah seorang gadis, mendadak saja terpekik kaget, "He... dia... dia... adalah A-siang!"

Pengenalan atas diri Tong Wi-siang itu memang telah mengejutkan seluruh anggota rombongan berkuda itu, sebab rombongan itu memang orang-orang yang kebetulan mempunyai hubungan yang dekat dengan Ketua Hwe-liong-pang itu. Mereka terdiri dari Tong Hu-jin, ibu Tong Wi-siang, disertai dua orang anak-anaknya, yaitu Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, serta Cian Ping dan Ting Bun.

Seperti telah diceritakan, mereka telah meninggalkan Gunung Siong-san, tempat pertemuan kaum pendekar itu, lebih awal dari bubarnya kaum pendekar itu. Tujuan Tong Hu-jin dan rombongannya tidak lain adalah menganjurkan agar Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong-pang, untuk sementara waktu menyembunyikan semua kegiatannya, atau meniadakannya sama sekali, untuk menghindarkan salah paham dengan kaum pendekar yang sedang dalam perjalanan menyerbu ke Tiau-im-hong.

Dari mulut salah seorang anggota Kay-pang yang bertindak sebagai penghubung, Tong Hu-jin berhasil mendapat keterangan bahwa Tong Wi-siang dan sisa-sisa anak buahnya yang masih setia kepadanya diperkirakan sudah berada di markas Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong, maka Tong Hu-jin dan putera-puterinya serta kedua calon menantunya pun bergegas menuju ke sana untuk mendahului perjalanan kaum pendekar yang beringas itu.

Karena tergesa-gesanya, tidak jarang mereka menempuh perjalanan malam tanpa menghiraukan kelelahan mereka, dan bahkan sudah beberapa kali mereka harus mengganti kuda tunggangan, karena binatang-binatang itu agaknya tidak mampu mendukung kemauan tuannya. Dan kini, sebelum mereka sampai ke Tiau-im-hong, mereka ternyata telah bertemu dengan orang yang mereka cari, meskipun dengan cara yang agak berbahaya.

Selain berlega hati, mereka juga menjadi cemas ketika melihat Tong Wi-siang dalam keadaan luka-luka separah itu. Yang tidak dapat mengendalikan perasaannya terutama adalah Tong Hu-jin. Sebagai seorang ibu yang sudah tiga tahun tidak menjumpai putera sulungnya itu, betapapun bengalnya sang anak, kini perjumpaan itu benar-benar telah memeras air matanya.

Tanpa mempedulikan tanah yang berlumpur tebal akan mengotori pakaiannya, perempuan itu berjongkok di sisi tubuh Tong Wi-siang yang pingsan, dipeluknya kepala anaknya dan didekapnya ke dadanya, air matanyapun mengalir bercampur dengan air hujan. Bibirnya tak henti-hentinya mendesiskan perasaan rindunya, "A-siang, akhirnya aku melihatmu kembali... A- siang, ini aku ibumu, nak...."

Tong Wi-hong dan lain-lainnya untuk sementara tercekam keharuan melihat pertemuan yang sangat mengharukan itu, mereka dapat membayangkan betapa perasaan seorang ibu setelah menemui kembali anaknya yang hampir saja dikiranya sudah mati itu. Betapapun nakalnya anak itu, tapi ia tetap saja darah dagingnya, buah rahimnya yang dihadirkannya ke dunia dengan taruhan nyawanya, dan dibesarkannya dengan air susunya sendiri.

Kini betapa pilunya hati janda pendekar itu setelah menjumpai Tong Wi-siang dalam keadaan separah itu. Dalam kegelisahan pikirannya, tiba-tiba saja timbul sebuah dugaan yang mencemaskan hatinya, “Kenapa A-siang terluka separah ini, padahal menurut A-hong dan A-lian ia sebagai Ketua Hwe-liong-pang adalah seorang yang berilmu tinggi, bahkan lebih tinggi dari Te-liong Hiang-cu yang di Siong-san mampu bertempur seimbang dengan Hong-tay Hweshio? Tentu yang melukainya bukan hanya seorang melainkan ahli silat yang menggabungkan kekuatannya sekaligus. Jangan-jangan ada juga pendekar-pendekar yang tidak mentaati perintah Hong-tay Hweshio, dan telah mulai menyerang Tiau-im-hong tanpa menunggu perintah lagi?"

Dugaan semacam itu tidak saja berkecamuk di benak Tong Hu-jin, tapi juga di benak kedua orang putera-puterinya serta Cian Ping dan Ting Bun. Jika dugaan itu benar, maka benar-benar sesuatu yang mencemaskan. Mereka semua menyadari bahwa apabila benar-benar terjadi bentrokan tak terkendali antara kaum pendekar berbagai aliran dengan Hwe-liong-pang, maka tidak akan ada satu pihakpun yang mendapat keuntungan.

Korban sia-sia hanya akan jatuh gara-gara kesalah-pahaman. Baik di pihak kaum pendekar maupun di pihak Hwe-liong-pang sama-sama terdapat ksatria-ksatria sejati penjunjung kebenaran dan keadilan, haruskah mereka saling bunuh satu sama lain, sedangkan Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya yang busuk-busuk itu yang akan memungut keuntungan?

Tujuan mencegah pertikaian itulah salah satu alasan kenapa Tong Hu-jin dan rombongannya berjalan mendahului kaum pendekar untuk menemui dan melunakkan hati Tong Wi-siang, jadi bukan sekedar rasa rindu dari ibu kepada anaknya saja.

Terdengar Tong Wi-hong menggumam, "Jika benar-benar kedua belah pihak tidak tercegah lagi untuk mengadu senjata, alangkah sayangnya. Dunia persilatan bakal kehilangan putera-putera terbaiknya hanya karena adu-domba dari seorang bermulut busuk....”

“Kita tidak perlu menebak-nebak sembarangan saja, yang perlu adalah mencoba memahami keadaan yang sedang berkembang dan kemudian dicari jalan keluarnya," usul Tong Wi-lian. "Sekarang lebih dulu kita harus mencari tempat yang teduh dan berusaha mengobati A-siang. Barangkali setelah dia sadarkan diri nanti, dia akan dapat berbicara beberapa hal yang dapat kita jadikan bahan pertimbangan."

Usul ini memang masuk akal, dan semuanya pun setuju. Tubuh Tong Wi-siang perlahan-lahan diangkat ke atas kuda tunggangan Tong Hu-Jin, sebab pendekar wanita itu telah menyatakan bahwa dia sendirilah yang akan membawa puteranya itu, bahkan Tong Hu-Jin menggunakan mantelnya sendiri untuk membungkus tubuh anaknya agar tidak kehujanan, sehingga dengan demikian Tong Hu-Jin sendirilah yang menjadi basah-kuyup.

Baik Wi-hong maupun Wi-lian tidak mencegah niat ibunya itu, sebab mereka tahu bahwa dengan demikian sang ibu akan mendapatkan kepuasan batinnya tersendiri. Maka mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Tong Hu-Jin di atas kudanya mendekap tubuh Wi-siang seperti mendekap seorang bayi saja, seakan ia takut kehilangan untuk kedua kalinya.

Daerah itu adalah daerah yang sedang digelisahkan oleh ancaman perang, banyak penduduk yang telah mengungsi meninggalkan rumah dan sawah ladangnya. Maka Tong Hu-jin dan rombongannya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan rumah kosong yang masih cukup baik, untuk melindungi diri dari siraman air hujan yang agaknya akan berlangsung sampai besok pagi.

Rupanya penghuni rumah itu telah mengungsi dengan terburu-buru, sebab dalam rumah itu masih ada juga beberapa peralatan rumah tangga yang tertinggal karena sulit dibawa dan mudah didapat di tempat lain. Bahkan masih ada sisa-sisa bahan makanan juga, biarpun hanya berupa sekeranjang besar kentang yang sudah tumbuh daunnya karena lama tidak dimasak.

Namun itu cukup baik. Rupanya rombongan Tong Hu-jin ini sudah sejak pagi tadi belum makan apa-apa, bukan karena kehabisan uang, tapi karena sepanjang jalan di daerah yang terancam perang itu tidak ada warung makanan sebijipun. Kini ditemuinya kentang sebanyak itu, tentu saja lebih baik perut terisi kentang rebus, meskipun tanpa lauk apapun, daripada kosong sama sekali.

Tugas merebus kentang segera dilaksanakan oleh Tong Wi-lian dan Cian Ping. Sedangkan Tong Wi-hong serta Ting Bun mencoba merapikan rumah itu, terutama menyiapkan pembaringan yang cukup layak untuk Tong Wi-siang. Untunglah di salah satu ruangan depan ada sebuah pembaringan terbuat dari tanah liat yang masih cukup baik, kolongannya biasanya ditaruhi perapian untuk menghangatkan badan di musim dingin.

Wi-siang yang masih belum sadarkan diri itu dapat ditaruh di situ. Kemudian lebih dulu Tong Hu-jin meloloh Wi-siang dengan sebuah pil berbau buatan perguruan Soat-san-pay yang punya khasiat dapat meringankan luka dalam. Ketika Tong Hu-jin memaksa membuka rahang Wi-siang, nampaklah bahwa pada lidah putera tertuanya itu ada bekas gigitan yang masih agak berdarah.

Sebagai seorang yang punya pengetahuan cukup luas dalam masalah-masalah dunia persilatan, Tong Hu-jin dapat segera menebak sebab-musabab terluka dalamnya anaknya ini. Setelah memasukkan obat pulung harum itu ke mulut puteranya dan kemudian mendorongnya dengan setengah cawan air bersih yang diminumkannya perlahan-lahan, Tong Hu-jin nampak lega. Namun kemudian berkata dengan sedih,

"Agaknya A-siang benar-benar telah terjerat mempelajari ilmu sesat. Luka luarnya jelas karena senjata, namun luka dalamnya itu bukan karena pukulan lawan, melainkan karena dia terlalu memaksakan dirinya ketika menggunakan ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-kang, sehingga berbalik melukai diri sendiri. Apabila dia telah sembuh kelak, aku akan menasihatinya agar dia membuang semua ilmu sesatnya itu dan mulai belajar ilmu sejati aliran Soat-san-pay kita. Biarpun harus mulai dari permulaan lagi juga tidak apa-apa, asalkan tubuhnya tidak dirusakkan oleh ilmu iblis itu.”

Tong Wi-hong yang telah duduk menemani ibunya di ruangan itu, lalu menyahut, "Ibu jangan terlalu menyalahkan A-siang nantinya. Ketika dia mulai menemukan dan mempelajari Kitab warisan Bun-san-jit-kui itu dia sedang dalam keadaan panik dan berpikiran keruh, nyaris mendekati sikap putus-asa. Waktu itu dia menjadi buronan Pasukan Kerajaan karena di beberapa kota ia dan kawan-kawannya telah melakukan beberapa pembunuhan terhadap pembesar-pembesar yang menindas rakyat, dan dalam keadaan terjepit itulah dia tanpa pikir panjang mempelajari ilmu-ilmu sesat itu, yang kemudian menjadi modal utama untuk mendirikan Hwe-liong-pang.”

"Kenapa kau tahu keadaan kakakmu sejelas itu, seakan-akan kau mengalaminya sendiri, A-hong?"

"A-siang telah menceritakan semuanya kepadaku, ketika kami bertiga bertemu di tengah danau Po-yang-ou dekat rumah kita itu, di atas kapalnya," sahut Tong Wi-hong. "Ketika itu aku dan A-lian menuju An-yang-shia dengan tujuan membalas kepada Cia To-bun dan mencari ayah. Ternyata sesampainya di An-yang-shia telah terjadi perubahan penting di sana.

"Kuburan ayah yang letaknya seperti ibu ceritakan dulu itu, ternyata telah dipugar indah sekali dan berlapis pualam, bahkan di sebelah kuburan itu dilengkapi pula dengan sebuah rumah pemujaan arwah yang berisi arca mendiang ayah, yang lebih hebat lagi, di altar pemujaan itu bergeletakanlah batok-batok kepala Cia To-bun dan semua anggota keluarganya, seakan-akan memang diletakkan sebagai persembahan kepada arwah ayah. Jelas itu perbuatan A-siang.

"Dan malam harinya aku dan A-lian benar-benar berhasil menemuinya di tengah danau. Saat itulah A-siang menceritakan semua yang telah dialaminya selama berpisah itu, dan saat itu pula aku dan A-lian mulai mencoba untuk memahami cita-citanya, meskipun aku pernah memperingatkannya pula bahwa cara-cara yang digunakannya kadang-kadang di luar batas kemanusiaan."

Ibunya mengerutkan alisnya ketika mendengar cerita putera keduanya itu. Perempuan itu sendiri sangat membenci Cia To-bun si pejabat An-yang-shia yang telah menjadi biang keladi kehancuran keluarganya itu, namun dia pun tidak pernah menganjurkan anak-anaknya untuk membalas dendam dengan cara sekejam itu. Bahkan andaikata Tong Hu-jin sempat bertemu dengan Wi-siang sebelum terjadinya pembantaian di An-yang-shia itu, tentu akan dicegahnya puteranya membalas dendam selain kepada Cia To-bun pribadi, tanpa menyangkut anggota keluarganya yang tidak bersalah sama sekali.

Kemudian ia berkata sambil menarik napas, "Memang begitu umumnya orang yang mempelajari ilmu sesat. Disadari atau tidak disadari, kepribadian merekapun akan terpengaruh oleh watak ilmu yang dipelajarinya itu. Wi-siang termasuk seorang yang berpribadi cukup kuat, namun ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu toh mempengaruhinya juga, apalagi kebetulan agak sejalan dengan sifatnya sendiri yang pemarah dan keras kepala itu. Aku berharap masih dapat menggunakan pengaruhku untuk menarik kembali A-siang dari jalan sesat yang ditempuhnya.

"Aku tidak keberatan cita-citanya melambung setinggi langit, namun cara memperjuangkan cita-cita itulah yang tidak boleh melanggar dari garis yang sudah sama-sama dijunjung tinggi oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tak dapat disimpangi. Tanpa menghiraukan itu, dia akan membuat masyarakat ini bagaikan hutan raya, satu sama lain saling menerkam dan membunuh tak terkendali. Ini yang harus dicegah.”

Tengah ibu dan anak ini bercakap-cakap dengan nada prihatin tentang diri Wi-siang itu, tiba-tiba orang yang dipercakapkan terdengar mengeluh perlahan, agaknya mulai siuman. Tong Hu-jin cepat-cepat mendekati pembaringan sambil mengulurkan kepalanya, sambil berdesis dengan penuh pengharapan, "A-siang, kau sudah sadar kembali?"

Namun Wi-siang yang telah sadar kembali itu ternyata memberi tanggapan yang mengejutkan, dl luar dugaan orang-orang yang menungguinya, sebab dengan kasarnya dia telah menepiskan tangan ibunya yang bermaksud meraba keningnya itu. Bahkan kemudian terdengar teriakannya yang parau, menandakan kegoncangan jiwanya yang belum reda sama sekali,

"Siapa kau? Pergi! Kenapa kau seenaknya saja hendak memegang kepala Ketua hwe-liong-pang yang terhormat? Kau bosan hidup? Enyah kau kaum munafik, kaum sok alim yang suka mengaku-aku sebagai pendekar penegak keadilan! Kalian tidak berani apa-apa untuk merombak keadaan yang menindas rakyat kecil, tetapi akulah yang berbuat, berani bertindak membela rakyat... Ha-ha-ha-ha...."

Tong Hu-jin tidak menduga bahwa putera sulungnya itu akan bersikap demikian, tentu saja dia menjadi sangat terkejut, hampir saja dia jatuh terpelanting karena tangkisan Wi-siang itu. Sementara itu Wi-siang telah melompat bangun dengan mata yang merah dan liar, seperti mata seekor kerbau gila. Dengan muka beringas ditudingnya wajah ibunya sendiri sambil berteriak kalap,

"Siapa kau, he, perempuan busuk! Apakah kaupun termasuk dalam rombongan kaum sok alim yang hendak menyerbu markasku di Tiau-im-hong? Kami tidak takut! Hayo, beramai-ramailah kalian menyerbu Tiau-im-hong dan kami akan menyambut kalian dengan senjata-senjata kami, dan kalian akan segera tahu bahwa Hwe-liong-pang bukan kawanan kantong nasi!"

Setelah berteriak-teriak menantang, lalu tertawa terbahak-bahak tidak keruan, kemudian memaki-maki lagi dengan sangat kasarnya, tiba-tiba Wi-siang menangis sekeras-kerasnya. Sambil menangis ia berteriak pula, "Bangsat, kalian mengaku pendekar berbudi luhur, tetapi kalian melakukan perbuatan rendah yang tidak sesuai dengan martabat kalian! Kalian menculik isteriku yang sedang mengandung anakku! He! Kembalikan isteriku dan anakku, atau akan kucekik kau!"

Lalu dengan dua tangan yang terjulur lurus ke depan, Wi-siang melangkah ke depan, mendekati Tong Hu-jin dan siap mencekik ibunya sendiri yang agaknya sudah tidak dikenalinya karena keruwetan pikirannya itu! Sebaliknya Tong Hu-jin dengan perasaan hancur melihat keadaan puteranya itu. Tenaga perempuan tua itu bagaikan meninggalkan raganya karena sedihnya, meskipun matanya yang kabur karena terlapis air mata itu masih juga dapat samar-samar melihat gerakan puteranya yang hendak mencekiknya, Tong Hu-jin nampaknya pasrah saja dan tidak ingin melawannya.

Tetapi tidak demikian halnya dengan Wi-hong, sudah tentu dia tidak dapat melihat keselamatan ibunya terancam hanya karena tidak sampai hati menindak puteranya sendiri. Cepat Wi-hong melompat ke arah kakaknya dan memberikan sebuah totokan ringan di tengkuk kakaknya itu, membuat Tong Wi-siang yang tengah mata gelap itu langsung terkulai lemah. Dalam keadaan wajar, meskipun ilmu Wi-hong tetap tinggi, tentu saja ia belum bisa merobohkan Ketua Hwe-liong-pang itu hanya dengan sekali gerak saja.

Sementara itu, Ting Bun, Tong Wi-lian serta Cian Ping telah mendengar suara ribut-ribut di ruangan depan itu, telah berlari-larian menuju ke ruangan depan. Wajah mereka menggambarkan seribu pertanyaan ketika melihat Wi-siang telah tergeletak di lantai, sedangkan Tong Hu-jin masih bersandar di dinding dengan air mata bercucuran. Di sebelah lain Tong Wi-hong masih berdiri dengan muka tegang bercampur menyesal.

“Ibu, apa yang telah terjadi?" tanya Wi-lian.

Tong Hu-jin hanya mampu menggerakkan kepalanya untuk menggeleng lemah sebagai jawabannya, namun sesaat kemudian diapun dapat menjawabnya meskipun dengan suara hampir tak terdengar karena lirihnya, "Kakakmu... kakakmu A-siang agaknya... agak terganggu kesehatan jiwanya... entah mengapa...."

Kemudian Tong Wi-hong yang lebih tenanglah yang melanjutkan kata-kata ibunya, "Tadi dia berteriak-teriak tentang seorang perempuan yang dikatakannya isterinya, bahkan ada anaknya pula. Ibu, kau harus menenangkan diri, sebab apabila apa yang diigaukan oleh A-siang tentang anaknya dan isterinya tadi benar-benar ada, maka agaknya ibu justru harus diberi selamat. Itu berarti ibu telah mendapat seorang cucu. Namun... namun goncangan jiwa yang dialami A-siang itu agaknya disebabkan oleh sesuatu yang menimpa anak isterinya, seperti igauannya tadi, agaknya semacam penculikan atau penyanderaan... entahlah...!"

Kata-kata Wi-hong itu ternyata cukup manjur untuk menenangkan Tong Hu-jin, sebab perlahan-lahan Tong Hu-jin mulai bersinar kembali matanya. Di tengah-tengah kesedihan dan kecemasan yang bercampur-aduk, alangkah bahagianya apabila dugaan itu benar-benar sesuai kenyataan, sebab orang tua manakah yang tidak mengharapkan bahwa suatu ketika ia akan menimang seorang cucu? Namun ucapan terakhir tentang penculikan itu agak mengganggunya juga. Namun Tong Hu-jin belum menanyakannya lagi, kuatir kepedihannya akan menjadi- jadi dan menghilangkan ketenangan dalam berpikir.

Setelah merasa agak tenang, barulah kemudian pendekar wanita dari Soat san-pay itu berkata sambil menarik napas, "Selama kalian ada dalam perjalanan menuju ke tempat ini, kalian tentu masih ingat, bahwa kita mendengar berita tentang dikirimnya seorang duta perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang kepada Hong-tay Hweshio, dan kabarnya Hong-tay Hweshio telah menerima pula uluran perdamaian itu meskipun dengan beberapa syarat yang akan membuktikan itikad baik Hwe-liong pang.

"Jika demikian, pihak yang menculik isteri dan anak Wi-siang itu mungkin bukanlah para pendekar berbagai aliran yang dipimpin oleh Hong-tay Hweshio itu. Aku kuatir justru penculikan itu dijalankan oleh pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang rupanya tidak suka jika kaum pendekar dan Hwe-liong-pang berdamai."

Kembali Tong Hu-jin menarik napas sebentar, lalu melanjutkan kalimatnya dengan nada murung penuh kegelisahan, "Inilah yang mencemaskan, sebab adu domba oleh pengikut Te-liong Hiang-cu itu agaknya begitu rapi dan lihai, buktinya kaum pendekar sampai bisa dituntun menuju Tiau-im-hong dengan sengaja meninggalkan jejak. Lagipula di antara kaum pendekarpun tidak sedikit orang-orang berpengaruh yang pada dasarnya memang sudah membenci Hwe-liong-pang sampai ke bulu-bulunya.

"Sehingga salah langkah sedikit saja di pihak Hwe-liong-pang sudah cukup untuk membuat mereka kehilangan pengendalian diri dan memakai senjata sebagai satu- satunya pemecahan persoalan. Sebaliknya, Hwe-liong-pang sendiri dipimpin oleh seorang berdarah panas seperti A-siang, yang meskipun berilmu tinggi namun belum cukup matang untuk memimpin sebuah perkumpulan sebesar Hwe-liong-pang. Sifatnya masih saja berangasan dan menurutkan nafsu amarahnya saja, seperti beberapa tahun yang lalu.

"Ketika dia melakukan pembunuhan beberapa pejabat negeri di An-yang-shia hanya karena bujukan seorang kawannya yang mabuk, sehingga dia menjadi buronan bersama kawan-kawannya. Dalam igauannya tadi, agaknya diapun tetap menganggap pihak pendekar yang menculik anak isterinya, anggapan ini jelas berbahaya, bisa mengobarkan perang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar yang jelas hendak kita cegah!”

"Ya, apalagi pucuk pimpinan Hwe-liong-pang justru dipegang oleh anak-anak berandalan semacam A-siang, Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang menganggap perkelahian sebagai masalah ringan saja, dan dapat mereka lakukan kapan saja mereka mau dan di tempat mana saja."

Pendekar wanita Soat-san-pay itu kini benar-benar merasa dihadapkan persoalan yang berat. Bukan saja persoalan menyembuhkan anaknya dan mencegah perang antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar, namun juga persoalan mencari siapa yang menculik "anak dan isteri" yang disebut dalam igauan Wi-siang tadi, dan sekaligus membebaskannya. Katanya,

"Persoalannya memang berbelit. Sekarang lebih dulu kita harus mengurus Wi-siang sampai sembuh dan mencoba mempengaruhi jalan pikirannya. Aku berharap, aku sebagai ibunya masih punya pengaruh cukup kuat atas kepribadiannya, melebihi pengaruh ilmu iblis yang telah mencengkamnya. Dengan demikian banjir darah di Tiau-im-hong dapat dihindarkan."

Kemudian kepada Wi-hong, Tong Hu-jin berkata, "A-hong, untuk sementara kita akan berada di sini untuk merawat kakakmu, tapi kita tidak boleh buta tuli sama sekali terhadap keadaan wilayah ini yang agaknya semakin panas dengan api peperangan. Karena itu kau harus sering-sering keluar untuk melihat-lihat keadaan, sehingga langkah- langkah yang akan kita ambilpun akan dapat kita sesuaikan."

"Baiklah, ibu."

"Hati-hatilah, kawasan ini ibarat genangan minyak. Setitik api saja sudah cukup untuk membuat seluruh kawasan jadi berkobar, dan kemudian hangus menjadi arang. Di sini bukan cuma ada pertentangan antara Hwe-liong-pang dan kaum pendekar berbagai aliran, tapi antara Kerajaan Beng dengan pihak pemberontak yang dipimpin Li Cu-seng."

Sementara itu Ting Bun telah menimbrung, "Bibi, apabila bibi tidak berkeberatan dan demikian pula A-hong, biarlah aku menemani A-hong setiap kali ia keluar untuk menyelidiki keadaan. Meskipun ilmu silatku tidak setinggi A-hong, mungkin tenagaku dapat juga membantunya mengatasi kesulitan-kesulitan."

"Baiklah. A-hong, kau akan ditemani A-bun dalam setiap penyelidikanmu."

* * * * * * *

DI bagian utara wilayah Su-coan ada sebuah kota yang bernama Lam-tiong. Kota ini letaknya agak jauh dari daerah yang sedang terancam peperangan, sehingga "hangat"nya api perang itu tidak begitu terasa di sini. Namun bukan berarti daerah ini bebas dari kegelisahan sama sekali, sebab kabar peperangan itu sudah terdengar pula sampai ke kota ini. Malahan kota Lam-tiong termasuk penting pula dalam perhitungan peperangan, sebab kota ini merupakan titik penting dalam jalur perbekalan Tentara Kerajaan Beng dari Pak-khia ke garis depan.

Karena itu tidak mengherankan kalau Tentara Kerajaan melindungi titik penting ini sebaik-baiknya, jangan sampai terpotong putus oleh pihak pemberontak. Itulah sebabnya di Lam- tiong telah dipenuhi dengan tentara Kerajaan, bahkan tentara Kerajaan membuat pesanggrahan di luar kota juga, menunjukkan kesungguhan pihak Kerajaan untuk melindungi titik penting ini dari incaran musuh.

Tapi Lam-tiong bukan saja titik penting dalam pertentangan antara Kaisar Cong-ceng dengan puluhan ribu prajuritnya, melawan Li Cu-seng dengan laskarnya yang menyemut banyaknya, melainkan juga merupakan tempat penting dalam pertentangan yang lebih kecil namun tidak kalah membahayakannya. Pertentangan antara Kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang. Meskipun pertentangan ini tidak melibatkan jutaan prajurit atau laskar, tapi tidak kalah berbahaya, sebab orang-orang yang terlibat dalam pertentangan ini adalah orang-orang berilmu tinggi.

Seperti juga Kerajaan Beng dan Li Cu-seng tengah memperebutkan kepemimpinan atas negeri yang maha luas itu, untuk menentukan masa depan negeri, maka pertentangan antara kaum Pendekar dengan Hwe-liong-pang itupun dapat dikatakan sedang memperebutkan kepemimpinan antara mereka, kepemimpinan atas rimba persilatan. Apakah masa depan rimba persilatan akan tetap tenang seperti masa-masa sebelumnya, dimana setiap perguruan atau aliran hidup berdampingan secara damai dan hormat menghormati?

Ataukah dunia persilatan akan jatuh ke bawah pimpinan Hwe-liong-pang, yang cita-citanya sudah jelas ingin merobohkan Kerajaan Beng hanya karena ambisi balas dendam dari Tong Wi-siang yang kehilangan keluarganya? Semuanya masih harus ditentukan lewat sebuah percaturan kekuatan yang pelik. Semuanya tergantung penyelesaiannya, siapakah yang menang nantinya.

Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay sebagai pemegang kendali tertinggi gerakan kaum pendekar itu, memang sudah tiba di Lam-tiong, bahkan sudah berdiam di situ selama beberapa hari. Seperti telah diketahui, gerakan kaum pendekar menyerbu ke Tiau-im-hong itu tidak berangkat dalam satu barisan besar seperti sepasukan prajurit menuju medan perang, tapi berangkat dalam kelompok-kelompok kecil yang jalurnya pun terpisah-pisah, meskipun semuanya menuju ke satu titik, yaitu Bukit Tiau-im-hong di wilayah Su-coan.

Pemecahan dalam kelompok-kelompok kecil itu dilakukan untuk menghindari kesalah- pahaman atau kecurigaan dengan pihak Tentara Kerajaan yang juga tengah dikerahkan ke arah yang sama itu. Maklumlah, jika darah sedang panas dan pikiran sedang tegang, kesalah-pahaman mudah saja terjadi, apalagi di pihak Tentara Kerajaan itu sudah ada dasar-dasar kecurigaan terhadap kaum persilatan.

Jika mereka melihat kaum persilatan berbondong-bondong menuju ke Su-coan, pihak kerajaan tentu mengira para pendekar itu hendak bergabung dengan Li Cu-seng, sehingga gerakan kaum pendekar itu bisa terhambat oleh urusan yang berlarut- larut. Namun berkat siasat Hong-tay Hweshio itu, kecurigaan itu bisa dihilangkan, biarpun di beberapa tempat masih juga terjadi kerewelan-kerewelan kecil dengan Tentara Kerajaan, namun umumnya berjalan lancar. Kaum pendekar, biarpun maju secara berpencaran tetapi tetap berada di bawah satu perintah.

Dalam hal penyampaian laporan maupun perintah, jasa Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) tidak kecil, sebab anggota- anggota Kay-panglah yang hilir mudik kemari, merupakan tali penghubung antara si pemimpin dan yang dipimpin. Dengan demikian, sejauh ini gerakan kaum pendekar tetap rapi, seperti yang diharap oleh Hong-tay Hweshio. Tapi kelancaran gerakan kaum pendekar itu, pada suatu hari mulai terganggu.

Hong-tay Hweshio dan beberapa tokoh persilatan, berdiam di rumah Ko Gi-ceng, yang untuk kaum persilatan di daerah Lam-tiong dan sekitarnya terkenal dengan gelarnya sebagai Pek-lui-kun (Si Toya Halilintar). Dengan demikian rumah Si Toya Halilintar itulah yang menjadi "markas pusat" gerakan kaum pendekar menuju ke barat itu, meskipun hanya markas sementara, sebab beberapa hari lagi akan bergeser maju semakin dekat ke Tiau-im-hong.

Pada suatu hari, seorang pengemis nampak berjalan mantap mendekati pintu gerbang rumah Ko Gi-ceng yang letaknya di tengah-tengah kota Lam-tiong itu. Ketika dia tiba di pintu gerbang, dilihatnya di halaman rumah Ko Gi-ceng ada belasan orang anak muda yang bertelanjang baju tengah berlatih ilmu silat dengan aba-aba salah seorang yang paling tua. Itulah murid-murid Ko Gi-ceng, sebab orang she Ko itu selain bermata-pencaharian pedagang hasil bumi, juga mengajar silat kepada beberapa anak muda Lam-tiong.

Tanpa ragu-ragu si pengemis itu melangkah masuk ke dalam rumah itu setelah mengangguk hormat kepada beberapa murid yang sedang berlatih di situ. Murid-murid Ko Gi-cengpun agaknya sudah terbiasa melihat kaum pengemis keluar masuk rumah gurunya, sejak rumah gurunya itu dijadikan markas sementara kaum pendekar, karena tu murid-murid itupun mendiamkan saja si pengemis masuk sampai ke bagian dalam rumah.

Setelah sampai ke halaman tengah yang sepi, barulah si pengemis itu menegur salah seorang pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng, "Permisi, saudara, dapatkah saudara membantuku agar dapat menemui Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay? Katakan kepadanya bahwa pembawa berita dari selatan ingin menghadap membawa berita penting."

Para pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng pun agaknya cukup terdidik dalam tata-krama dunia persilatan, karena majikan mereka adalah tokoh dunia persilatan yang banyak berhubungan dengan orang-orang segolongan, oleh karena itu si pembantu rumah tangga itupun tidak berani memandang rendah "tamu" nya itu, meskipun si tamu berpakaian compang-camping. Cepat-cepat ia membalas hormat, mempersilahkan duduk, kemudian dia sendiri menghilang ke ruangan belakang.

Tidak lama kemudian, dari ruangan belakang itu muncullah serombongan yang bukan lain adalah Hong-tay Hweshio si rahib sakti dari Siau-lim-pay itu, diiringi beberapa tokoh persilatan lainnya. Antara lain nampaklah tuan rumah sendiri, yaitu Ko Gi-ceng yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip saudagar kaya, sementara tangan kirinya memegang pipa tembakau terbuat dari besi yang selalu diisapnya dan dikepulkannya asapnya lewat mulutnya.

Selain itu nampak pula Ketua Jing-sia-pay, Kongsun Tiau yang bergelar Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong, Ketua Kong-tong-pay Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) serta tiga orang bekas pengikut Te-liong Hiang-cu yang telah tertawan dan menyerah kepada Hong-tay Hweshio, yaitu masing-masing adalah Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) dan He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Hantu Ganas).

Ketiga bekas pengikut Te-liong Hiang-cu itu memang sengaja dipaksa ikut oleh Hong-tay Hweshio, tujuannya selain sebagai sumber keterangan tentang seluk-beluk Hwe-liong-pang, juga untuk mengawasi dan memberi peringatan kepada gembong-gembong kaum hitam itu agar di kemudian hari mengubah kelakuan sesatnya.

Berkat keterangan ketiga orang itu pulalah maka Hong-tay Hweshio pada beberapa hari yang lalu telah menerima utusan perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Hong-goan Hweshio, bekas murid Siau-lim-pay juga yang menjadi tokoh Hwe-liong-pang, dan dalam perundingan kedua pihak telah ditetapkan bahwa masing-masing pihak akan menahan diri supaya tidak termakan siasat adu-domba oleh Te-liong Hiang-cu.

Kepercayaan Hong-tay Hweshio itu antara lain juga ditimbulkan oleh keterangan Song Hian, Tong King-bun dan He-hou Im, yang dapat disimpulkan bahwa dalam Hwe-liong-pang memang telah terjadi perpecahan. Dengan demikian Hong-tay Hweshio lalu mencoba membuat batas antara Hwe-liong-pang yang asli, dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang menyerbu ke Siong-san itu. Yang dimusuhi oleh kaum pendekar adalah pengikut Te-liong Hiang-cu.

Si pengemis bangkit dari duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio dan lain-lainnya, sambil melaporkan diri, "Chai Hing, anggota Kay-pang cabang Jing-toh menghadap Beng-cu."

Hong-tay Hweshio yang dipanggil "Beng-cu" (Pemimpin Umum) itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silahkan duduk, saudara Chai. Tentunya saudara membawa suatu berita penting untuk disampaikan kepadaku? Kalau benar, cepat katakan."

Sekali lagi pengemis yang bernama Chai Hing itu mengangguk hormat, kemudian duduk di kursinya kembali dan mulai melaporkan, "Beng-cu, di daerah selatan, gerakan kita ini ternyata menemui perkembangan yang kurang menguntungkan. Kira-kira tiga hari yang lalu, Kay-pang cabang Jing-toh telah dihubungi oleh Kiau Lo-eng-hiong (Pendekar Tua She Kiau) serta Rahib Thian-goan dan beberapa muridnya yang luka-luka.

"Begitu datang mereka terus marah-marah dan minta tolong kepada kami untuk menyampaikan pesan kepada Beng-cu. Kata mereka, perdamaian dengan pihak Hwe-liong-pang tidak ada gunanya, baik Hwe-liong-pang-nya Te-liong Hiang-cu maupun Hwe-liong-pang satunya lagi, semuanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio juga mengancam.

"Apabila Beng-cu tidak segera memerintahkan perintah penyerbuan serempak ke Tiau-im-hong, maka kedua Lo-eng-hiong itu akan menarik mundur semua murid-murid mereka yang ikut dalam gerakan ini, dan selanjutnya Hoa-san-pay dan Go-bi-pay akan membuat perhitungan sendiri terhadap Hwe-liong-pang tanpa mempedulikan Beng-cu lagi."

Tokoh-tokoh persilatan yang hadir di ruangan itu seketika berubah air mukanya ketika mendengar laporan Chai Hing itu. Hong-tay Hweshio dengan sabar mencoba menenangkan goncangan perasaannya, sambil berdesah, "Ini masalah gawat yang tidak dapat dibiarkan saja. Di Siong-san kita sudah bersepakat untuk menyatukan gerakan kita agar tidak tercerai-berai, tidak mudah diombang-ambingkan oleh kabar angin ataupun diadu-domba satu sama lain, dan para sahabat-sahabat dunia persilatanpun sudah mengangkat aku sebagai Beng-cu. Sekarang jika kita masih juga ingin bertindak sendiri-sendiri, apa gunanya mengangkat aku sebagai pimpinan?"

Sementara itu Chai Hing telah berkata, "Maaf, Beng-cu, bahwa aku berani ikut bicara, namun jika diijinkan biarlah aku melengkapi laporanku agar Beng-cu dapat mempertimbangkan setiap keputusan sematang-matangnya...”

"Silahkan, saudara Chai..."

"Menurut penuturan Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio, mereka dan murid-murid mereka telah bentrok dengan seorang pemuda gila yang sangat lihai, dan ternyata si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang sendiri, yang telah membunuh dan melukai beberapa orang murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay sehingga Kiau Lo-eng-hiong serta Thian-goan Hweshio sangat berang, sulit sekali untuk ditenangkan."

"Darimana Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio dapat memastikan bahwa si gila yang bertempur dengan mereka itu adalah Ketua Hwe-liong-pang? Bukankah Ketua Hwe-liong-pang itu kabarnya selalu memakai topeng tengkorak, sehingga tidak kelihatan wajahnya?"

"Beng-cu, Kiau Lo-eng-hiong berdua sangat yakin bahwa yang bertempur dengan mereka dan mengalahkan mereka di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin itu adalah benar-benar Ketua Hwe-liong-pang. Bukan saja karena si gila itu telah mengaku sendiri akan kedudukannya, tapi juga karena ketinggian ilmu si gila itu luar biasa, dan ilmu-ilmu yang dipergunakannya pun adalah jenis-jenis ilmu sesat seperti Jit-kui-tiau-goat-sin-kang dan Thian-mo-kay-teh-hoat."

Hong-tay Hweshio menarik napas, "Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio terlalu gegabah mengambil kesimpulan. Beberapa kali harus kujelaskan kepada mereka bahwa ada pihak Te-liong Hiang-cu yang hendak mengadu domba kita dengan Hwe-liong-pang? Bukankah mudah sekali jika Te-liong Hiang-cu melepaskan topeng tengkoraknya, kemudian dengan berlagak gila dia menyerang dan membunuh orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu? Kenapa Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio semudah itu termakan oleh siasat yang sangat sederhana ini?"

Chai Hing termangu mendengar perkataan Hong-tay Hweshio itu, namun dia juga masih ingat betapa Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio sampai berani sumpah disambar petir, yakin bahwa si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang. Akhirnya pengemis anggota Kay-pang itu membuang jauh semua pikiran yang meruwetkannya, dia hanya sekedar menjalankan tugas. Sambil menarik napas ia berkata, "Lalu bagaimana sekarang? Kedua lo-eng-hiong itu sudah tidak dapat disabarkan lagi, dan ingin secepatnya mendengarkan keputusan Beng-cu, kalau tidak, mereka akan...."

Hong-tay Hweshio berdiri dari kursinya sambil mengibaskan tangan kanannya, menyuruh Chai Hing jangan berbicara lagi. Sambil berjalan hilir-mudik sepasang alis putih dari rahib tua itu nampak berkerut, otaknya bekerja keras. "Kita sudah maju dan sudah berada tepat di depan hidung Hwe-liong-pang, kita tidak boleh tercerai-berai justru setelah tiba di sini. Thi-sim Tojin, Kong-sun Ciang-bun (Ketua Kong-sun) serta Ciu Ciang-bun (Ketua Ciu), aku akan terpaksa merepotkan kalian....”

Imam berhati besi Thiat-sim Tojin, Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau serta Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong serempak berdiri dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio, sambil berkata, "Demi lancarnya gerakan bersama kita ini, kami bertiga siap menjalankan perintah Beng-cu!"

"Terima kasih atas kesediaan saudara bertiga. Kini kalian harus ikut saudara Chai ini pergi ke markas cabang Kay-pang di Jing-toh, untuk membujuk dan menenteramkan Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio agar mereka tidak bertindak sendiri dan mengacaukan semua rencana yang telah tersusun rapi. Aku memang akan mengambil tindakan dalam waktu singkat, namun tentu harus disesuaikan dengan keadaan, jangan sampai dimanfaatkan oleh Te-liong Hiang-cu."

"Baik, kami akan menjelaskannya kepada saudara Kiau dan saudara Thian-goan," sahut Tiat-sim Tojin. "Ijinkan kami berangkat sekarang juga."

Karena persoalannya memang cukup mendesak, maka Hong-tay Hweshiopun mengijinkan ketiga orang utusannya itu untuk langsung berangkat. Tetapi baru saja ketiga orang itu hendak beranjak pergi dari ruangan itu, tiba-tiba di luar halaman sana terdengar derap kaki kuda yang riuh dan disertai pula ringkik kuda yang ramai. Menyusul itu seorang pelayan rumah Ko Gi-ceng telah bergegas-gegas masuk.

Ko Gi-ceng sebagai tuan rumah segera melangkah maju dan berkata, "Tentu ada yang akan kau laporkan. Cepat katakan."

Pelayan itu memberi hormat kepada tokoh-tokoh yang ada di tempat itu, lalu menjawab, "Memang benar, tuan. Saat ini di luar halaman sana telah kedatangan utusan-utusan dari Hwe-liong-pang yang ingin menghadap Beng-cu."

“Utusan Hwe-liong-pang? Siapa saja mereka itu?"

Sahut si pelayan, "Pemimpin rombongan itu agaknya adalah rahib berjenggot kuning dan bermata biru yang juga telah datang ke rumah ini beberapa hari yang lalu. Selain itu adalah seorang tua bertampang seperti kera, dan seorang berkulit hitam serta seorang lelaki berpakaian seperti orang Korea."

"Hanya empat orang?"

"Ya. Hanya empat orang dan hamba lihat semuanya tidak ada yang membawa senjata."

Ko Gi-ceng melemparkan pandangannya kepada Hong-tay Hweshio, minta pendapat rahib tua itu. Ketika Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, barulah Ko Gi-ceng berkata kepada pelayannya, "Persilahkan mereka masuk. Sambut dengan baik."

Pelayan itu cepat menjalankan perintah majikannya. Tidak lama kemudian si pelayan telah masuk kembali dengan mengantarkan empat orang tamu dari Hwe-liong-pang. Yang paling depan adalah seorang rahib bertubuh kekar, berjenggot keriting warna pirang, bermata biru, dia bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, si rahib suku Hui yang merupakan bekas murid Siau-lim-si, seangkatan dengan Hong-tay Hweshio.

Yang datang bersamanya adalah tokoh Hwe-liong-pang lainnya, Ling Thian-ki yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Si Lutung Sakti Bertangan Seribu) yang tampangnya memang penuh bulu, sehingga tidak keliru kalau pelayan Ko Gi-ceng tadi melaporkan bahwa salah seorang tamunya "mirip monyet". Yang dua orang lainnya adalah si ahli pukulan dan ahli tendangan dari Hwe-liong-pang, masing-masing Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) serta Oh Yun-kim orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan).

Keempat orang utusan Hwe-liong-pang itu memasuki ruangan itu dengan sikap yang agak berbeda dibanding beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu mereka bersikap penuh damai dan muka berseri-seri ramah. Namun kali ini muka mereka nampak tegang dan bahkan sinar mata mereka menampakkan kemarahan yang ditahan-tahan. Tetapi, Hong-goan Hweshio sebagai pemimpin rombongan Hwe-liong-pang agaknya masih berusaha untuk bersikap sopan.

Tiba di depan Hong-tay Hweshio, rahib suku Hui itu merangkapkan kedua telapak tangannya, membungkuk kepada Hong-tay Hweshio dan berkata dengan suara sehormat mungkin, "Selamat bertemu kembali, Suheng, maafkan adikmu hari ini mengganggumu lagi."

Meskipun Hong-goan Hweshio hanya bekas murid Siau-lim- si, tetapi ia tetap memanggil "suheng" (kakak seperguruan) kepada Hong-tay Hweshio. Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnyapun membalas hormat utusan Hwe-liong-pang itu dan mempersilahkan duduk. Hati Hong-tay Hweshio sudah merasa tidak enak ketika melihat wajah orang-orang Hwe-liong-pang yang nampak kurang bersahabat itu, diam-diam si rahib tua itu menduga ada hal yang kurang beres telah terjadi.

Benar juga firasat Hong-tay Hweshio itu. Setelah utusan-utusan Hwe-liong-pang itu duduk di kursinya masing-masing, Hong-goan Hweshio memulai pembicaraan, "Maafkan, Suheng, barangkali kehadiran kami yang mendadak dan tanpa pemberitahuan lebih dulu ini telah mengejutkan Suheng dan tuan-tuan sekalian, namun kedatangan kami ini bukannya tanpa keperluan sama sekali."

"Ada masalah apa lagi, Sute? Bukankah perjanjian perdamaian antara pihak kami dengan pihak Hwe-liong-pang kalian sudah ditanda-tangani beberapa hari yang lalu? Apakah ada syarat yang kurang ataukah maksud untuk merubah perjanjian itu?"

"Benar, Suheng. Perjanjian telah sama-sama kita setujui. Jika ada juga orang yang ingin mengubah persetujuan damai itu, agaknya orang itu dari pihak Suheng sendiri."

Meskipun Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnya samar-samar sudah menduga garis persoalannya, namun setelah mendengar ucapan tegas dari Hong-goan Hweshio itu, mau tidak mau berubahlah air muka sekalian tokoh itu. Tiat-sim Tojin yang berwatak keras, sesuai dengan julukannya itu, telah mendahului menyahut tanpa menunggu Hong-tay Hweshio lagi,

"Jadi maksud saudara Hong-goan, kami adalah ksatria-ksatria palsu yang tidak bisa memegang janji, begitu?"

Hong-goan Hweshio menggeram menahan kemarahannya, tetapi dia juga berusaha bersikap tenang ketika menjawab ucapan Tiat-sim Tojin itu, "Bukan begitu maksudku, Totiang (bapak imam), aku percaya bahwa Hong-tay Suheng dan Tiat-sim Tojin dan saudara-saudara pendekar di sini adalah orang-orang jantan yang teguh pada janji, tapi ternyata tidak semua orang yang mengaku dirinya pendekar di pihak kalian itu berpegang teguh pada perjanjian perdamaian kita."

Tiat-sim Tojin yang berwatak keras itu sudah berdiri dengan wajah tegang, di pihak Hwe-liong-pang pun Lu Siong yang tidak kalah panas darahnya dari Tiat-sim Tojin, juga telah menggebrak meja di sebelahnya sehingga keempat kakinya patah. Namun sebelum kedua orang pemarah itu saling baku-hantam dan semakin mengkisruhkan suasana, Hong-tay Hweshio dan Hong-goan Hweshio cepat-cepat berusaha menenangkan orangnya masing-masing. Tiat-sim Tojin duduk kembali dengan wajah merah padam, sedangkan Lu Siong telah menggosok-gosok kepalan tangannya yang sekeras besi itu.

Kemudian Hong-tay Hweshio berkata dengan sabar, "Harap saudara-saudara sekalian, baik dari pihakku maupun pihak Hwe-liong-pang, menahan diri. Kita semua menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sangat licik yang berusaha mengadu domba kita, jika kita menurutkan luapan perasaan marah saja tanpa mau berpikir bening memecahkan persoalannya, maka kita benar-benar akan termakan oleh siasat adu-domba itu. Sute, kata-katamu tadi kurang jelas. Apa yang kau maksudkan dengan ada orang di pihak kami yang bermaksud melanggar perjanjian?"

Timbul rasa hormat Hong-goan Hweshio kepada bekas kakak seperguruannya yang dapat tetap bersikap tenang itu, diam-diam rahib Hui itupun merasa sayang jika dia harus berhadapan dengan kakak seperguruannya itu sebagai musuh. Karena itu Hong-goan Hweshio pun menyabarkan diri sejauh mungkin. Lebih dulu ia merangkap tangan dan memberi hormat kepada semua orang, katanya,

"Maaf, kata-kataku tadi terlalu tajam dan hampir menimbulkan salah paham Tiat-sim Totiang. Aku hanya ingin memberitahukan kepada Suheng, bahwa di kota Jing-toh telah terjadi suatu peristiwa yang barangkali tidak kita kehendaki bersama-sama."

“Peristiwa apa?” tanya Hong-tay Hweshio.

"Entah karena peristiwa atau alasan apa, ternyata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, masing-masing dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, telah menyerang secara membabi-buta kepada beberapa kelompok anak buah kami yang kebetulan ditemui oleh mereka, sehingga beberapa orang anak buah kami tewas secara penasaran...”
Selanjutnya;