Perserikatan Naga Api Jilid 34Karya : Stevanus S.P |
Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay sebagai pemegang kendali tertinggi gerakan kaum pendekar itu, memang sudah tiba di Lam-tiong, bahkan sudah berdiam di situ selama beberapa hari. Seperti telah diketahui, gerakan kaum pendekar menyerbu ke Tiau-im-hong itu tidak berangkat dalam satu barisan besar seperti sepasukan prajurit menuju medan perang, tapi berangkat dalam kelompok-kelompok kecil yang jalurnya pun terpisah-pisah, meskipun semuanya menuju ke satu titik, yaitu Bukit Tiau-im-hong di wilayah Su-coan.
Pemecahan dalam kelompok-kelompok kecil itu dilakukan untuk menghindari kesalah- pahaman atau kecurigaan dengan pihak Tentara Kerajaan yang juga tengah dikerahkan ke arah yang sama itu. Maklumlah, jika darah sedang panas dan pikiran sedang tegang, kesalah-pahaman mudah saja terjadi, apalagi di pihak Tentara Kerajaan itu sudah ada dasar-dasar kecurigaan terhadap kaum persilatan. Jika mereka melihat kaum persilatan berbondong-bondong menuju ke Su-coan, pihak kerajaan tentu mengira para pendekar itu hendak bergabung dengan Li Cu-seng, sehingga gerakan kaum pendekar itu bisa terhambat oleh urusan yang berlarut- larut. Namun berkat siasat Hong-tay Hweshio itu, kecurigaan itu bisa dihilangkan, biarpun di beberapa tempat masih juga terjadi kerewelan-kerewelan kecil dengan Tentara Kerajaan, namun umumnya berjalan lancar. Kaum pendekar, biarpun maju secara berpencaran tetapi tetap berada di bawah satu perintah. Dalam hal penyampaian laporan maupun perintah, jasa Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) tidak kecil, sebab anggota- anggota Kay-panglah yang hilir mudik kemari, merupakan tali penghubung antara si pemimpin dan yang dipimpin. Dengan demikian, sejauh ini gerakan kaum pendekar tetap rapi, seperti yang diharap oleh Hong-tay Hweshio. Tapi kelancaran gerakan kaum pendekar itu, pada suatu hari mulai terganggu. Hong-tay Hweshio dan beberapa tokoh persilatan, berdiam di rumah Ko Gi-ceng, yang untuk kaum persilatan di daerah Lam-tiong dan sekitarnya terkenal dengan gelarnya sebagai Pek-lui-kun (Si Toya Halilintar). Dengan demikian rumah Si Toya Halilintar itulah yang menjadi "markas pusat" gerakan kaum pendekar menuju ke barat itu, meskipun hanya markas sementara, sebab beberapa hari lagi akan bergeser maju semakin dekat ke Tiau-im-hong. Pada suatu hari, seorang pengemis nampak berjalan mantap mendekati pintu gerbang rumah Ko Gi-ceng yang letaknya di tengah-tengah kota Lam-tiong itu. Ketika dia tiba di pintu gerbang, dilihatnya di halaman rumah Ko Gi-ceng ada belasan orang anak muda yang bertelanjang baju tengah berlatih ilmu silat dengan aba-aba salah seorang yang paling tua. Itulah murid-murid Ko Gi-ceng, sebab orang she Ko itu selain bermata-pencaharian pedagang hasil bumi, juga mengajar silat kepada beberapa anak muda Lam-tiong. Tanpa ragu-ragu si pengemis itu melangkah masuk ke dalam rumah itu setelah mengangguk hormat kepada beberapa murid yang sedang berlatih di situ. Murid-murid Ko Gi-cengpun agaknya sudah terbiasa melihat kaum pengemis keluar masuk rumah gurunya, sejak rumah gurunya itu dijadikan markas sementara kaum pendekar, karena tu murid-murid itupun mendiamkan saja si pengemis masuk sampai ke bagian dalam rumah. Setelah sampai ke halaman tengah yang sepi, barulah si pengemis itu menegur salah seorang pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng, "Permisi, saudara, dapatkah saudara membantuku agar dapat menemui Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay? Katakan kepadanya bahwa pembawa berita dari selatan ingin menghadap membawa berita penting." Para pembantu rumah tangga Ko Gi-ceng pun agaknya cukup terdidik dalam tata-krama dunia persilatan, karena majikan mereka adalah tokoh dunia persilatan yang banyak berhubungan dengan orang-orang segolongan, oleh karena itu si pembantu rumah tangga itupun tidak berani memandang rendah "tamu" nya itu, meskipun si tamu berpakaian compang-camping. Cepat-cepat ia membalas hormat, mempersilahkan duduk, kemudian dia sendiri menghilang ke ruangan belakang. Tidak lama kemudian, dari ruangan belakang itu muncullah serombongan yang bukan lain adalah Hong-tay Hweshio si rahib sakti dari Siau-lim-pay itu, diiringi beberapa tokoh persilatan lainnya. Antara lain nampaklah tuan rumah sendiri, yaitu Ko Gi-ceng yang bertubuh tegap dan berpakaian mirip saudagar kaya, sementara tangan kirinya memegang pipa tembakau terbuat dari besi yang selalu diisapnya dan dikepulkannya asapnya lewat mulutnya. Selain itu nampak pula Ketua Jing-sia-pay, Kongsun Tiau yang bergelar Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong, Ketua Kong-tong-pay Tiat-sim Tojin (Imam Berhati Besi) serta tiga orang bekas pengikut Te-liong Hiang-cu yang telah tertawan dan menyerah kepada Hong-tay Hweshio, yaitu masing-masing adalah Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) dan He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Hantu Ganas). Ketiga bekas pengikut Te-liong Hiang-cu itu memang sengaja dipaksa ikut oleh Hong-tay Hweshio, tujuannya selain sebagai sumber keterangan tentang seluk-beluk Hwe-liong-pang, juga untuk mengawasi dan memberi peringatan kepada gembong-gembong kaum hitam itu agar di kemudian hari mengubah kelakuan sesatnya. Berkat keterangan ketiga orang itu pulalah maka Hong-tay Hweshio pada beberapa hari yang lalu telah menerima utusan perdamaian dari pihak Hwe-liong-pang yang dipimpin oleh Hong-goan Hweshio, bekas murid Siau-lim-pay juga yang menjadi tokoh Hwe-liong-pang, dan dalam perundingan kedua pihak telah ditetapkan bahwa masing-masing pihak akan menahan diri supaya tidak termakan siasat adu-domba oleh Te-liong Hiang-cu. Kepercayaan Hong-tay Hweshio itu antara lain juga ditimbulkan oleh keterangan Song Hian, Tong King-bun dan He-hou Im, yang dapat disimpulkan bahwa dalam Hwe-liong-pang memang telah terjadi perpecahan. Dengan demikian Hong-tay Hweshio lalu mencoba membuat batas antara Hwe-liong-pang yang asli, dengan pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu yang menyerbu ke Siong-san itu. Yang dimusuhi oleh kaum pendekar adalah pengikut Te-liong Hiang-cu. Si pengemis bangkit dari duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio dan lain-lainnya, sambil melaporkan diri, "Chai Hing, anggota Kay-pang cabang Jing-toh menghadap Beng-cu." Hong-tay Hweshio yang dipanggil "Beng-cu" (Pemimpin Umum) itu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, "Silahkan duduk, saudara Chai. Tentunya saudara membawa suatu berita penting untuk disampaikan kepadaku? Kalau benar, cepat katakan." Sekali lagi pengemis yang bernama Chai Hing itu mengangguk hormat, kemudian duduk di kursinya kembali dan mulai melaporkan, "Beng-cu, di daerah selatan, gerakan kita ini ternyata menemui perkembangan yang kurang menguntungkan. Kira-kira tiga hari yang lalu, Kay-pang cabang Jing-toh telah dihubungi oleh Kiau Lo-eng-hiong (Pendekar Tua She Kiau) serta Rahib Thian-goan dan beberapa muridnya yang luka-luka. "Begitu datang mereka terus marah-marah dan minta tolong kepada kami untuk menyampaikan pesan kepada Beng-cu. Kata mereka, perdamaian dengan pihak Hwe-liong-pang tidak ada gunanya, baik Hwe-liong-pang-nya Te-liong Hiang-cu maupun Hwe-liong-pang satunya lagi, semuanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio juga mengancam. "Apabila Beng-cu tidak segera memerintahkan perintah penyerbuan serempak ke Tiau-im-hong, maka kedua Lo-eng-hiong itu akan menarik mundur semua murid-murid mereka yang ikut dalam gerakan ini, dan selanjutnya Hoa-san-pay dan Go-bi-pay akan membuat perhitungan sendiri terhadap Hwe-liong-pang tanpa mempedulikan Beng-cu lagi." Tokoh-tokoh persilatan yang hadir di ruangan itu seketika berubah air mukanya ketika mendengar laporan Chai Hing itu. Hong-tay Hweshio dengan sabar mencoba menenangkan goncangan perasaannya, sambil berdesah, "Ini masalah gawat yang tidak dapat dibiarkan saja. Di Siong-san kita sudah bersepakat untuk menyatukan gerakan kita agar tidak tercerai-berai, tidak mudah diombang-ambingkan oleh kabar angin ataupun diadu-domba satu sama lain, dan para sahabat-sahabat dunia persilatanpun sudah mengangkat aku sebagai Beng-cu. Sekarang jika kita masih juga ingin bertindak sendiri-sendiri, apa gunanya mengangkat aku sebagai pimpinan?" Sementara itu Chai Hing telah berkata, "Maaf, Beng-cu, bahwa aku berani ikut bicara, namun jika diijinkan biarlah aku melengkapi laporanku agar Beng-cu dapat mempertimbangkan setiap keputusan sematang-matangnya...” "Silahkan, saudara Chai..." "Menurut penuturan Kiau Lo-eng-hiong dan Thian-goan Hweshio, mereka dan murid-murid mereka telah bentrok dengan seorang pemuda gila yang sangat lihai, dan ternyata si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang sendiri, yang telah membunuh dan melukai beberapa orang murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay sehingga Kiau Lo-eng-hiong serta Thian-goan Hweshio sangat berang, sulit sekali untuk ditenangkan." "Darimana Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio dapat memastikan bahwa si gila yang bertempur dengan mereka itu adalah Ketua Hwe-liong-pang? Bukankah Ketua Hwe-liong-pang itu kabarnya selalu memakai topeng tengkorak, sehingga tidak kelihatan wajahnya?" "Beng-cu, Kiau Lo-eng-hiong berdua sangat yakin bahwa yang bertempur dengan mereka dan mengalahkan mereka di sebuah kuil rusak di dekat desa Bu-sian-tin itu adalah benar-benar Ketua Hwe-liong-pang. Bukan saja karena si gila itu telah mengaku sendiri akan kedudukannya, tapi juga karena ketinggian ilmu si gila itu luar biasa, dan ilmu-ilmu yang dipergunakannya pun adalah jenis-jenis ilmu sesat seperti Jit-kui-tiau-goat-sin-kang dan Thian-mo-kay-teh-hoat." Hong-tay Hweshio menarik napas, "Kiau Ciang-bun dan Thian-goan Hweshio terlalu gegabah mengambil kesimpulan. Beberapa kali harus kujelaskan kepada mereka bahwa ada pihak Te-liong Hiang-cu yang hendak mengadu domba kita dengan Hwe-liong-pang? Bukankah mudah sekali jika Te-liong Hiang-cu melepaskan topeng tengkoraknya, kemudian dengan berlagak gila dia menyerang dan membunuh orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu? Kenapa Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio semudah itu termakan oleh siasat yang sangat sederhana ini?" Chai Hing termangu mendengar perkataan Hong-tay Hweshio itu, namun dia juga masih ingat betapa Kiau Bun-han serta Thian-goan Hweshio sampai berani sumpah disambar petir, yakin bahwa si gila itu adalah Ketua Hwe-liong-pang. Akhirnya pengemis anggota Kay-pang itu membuang jauh semua pikiran yang meruwetkannya, dia hanya sekedar menjalankan tugas. Sambil menarik napas ia berkata, "Lalu bagaimana sekarang? Kedua lo-eng-hiong itu sudah tidak dapat disabarkan lagi, dan ingin secepatnya mendengarkan keputusan Beng-cu, kalau tidak, mereka akan...." Hong-tay Hweshio berdiri dari kursinya sambil mengibaskan tangan kanannya, menyuruh Chai Hing jangan berbicara lagi. Sambil berjalan hilir-mudik sepasang alis putih dari rahib tua itu nampak berkerut, otaknya bekerja keras. "Kita sudah maju dan sudah berada tepat di depan hidung Hwe-liong-pang, kita tidak boleh tercerai-berai justru setelah tiba di sini. Thi-sim Tojin, Kong-sun Ciang-bun (Ketua Kong-sun) serta Ciu Ciang-bun (Ketua Ciu), aku akan terpaksa merepotkan kalian....” Imam berhati besi Thiat-sim Tojin, Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau serta Ketua Cong-lam-pay Ciu Hong-tiong serempak berdiri dari tempat duduknya dan memberi hormat kepada Hong-tay Hweshio, sambil berkata, "Demi lancarnya gerakan bersama kita ini, kami bertiga siap menjalankan perintah Beng-cu!" "Terima kasih atas kesediaan saudara bertiga. Kini kalian harus ikut saudara Chai ini pergi ke markas cabang Kay-pang di Jing-toh, untuk membujuk dan menenteramkan Kiau Ciang-bun serta Thian-goan Hweshio agar mereka tidak bertindak sendiri dan mengacaukan semua rencana yang telah tersusun rapi. Aku memang akan mengambil tindakan dalam waktu singkat, namun tentu harus disesuaikan dengan keadaan, jangan sampai dimanfaatkan oleh Te-liong Hiang-cu." "Baik, kami akan menjelaskannya kepada saudara Kiau dan saudara Thian-goan," sahut Tiat-sim Tojin. "Ijinkan kami berangkat sekarang juga." Karena persoalannya memang cukup mendesak, maka Hong-tay Hweshiopun mengijinkan ketiga orang utusannya itu untuk langsung berangkat. Tetapi baru saja ketiga orang itu hendak beranjak pergi dari ruangan itu, tiba-tiba di luar halaman sana terdengar derap kaki kuda yang riuh dan disertai pula ringkik kuda yang ramai. Menyusul itu seorang pelayan rumah Ko Gi-ceng telah bergegas-gegas masuk. Ko Gi-ceng sebagai tuan rumah segera melangkah maju dan berkata, "Tentu ada yang akan kau laporkan. Cepat katakan." Pelayan itu memberi hormat kepada tokoh-tokoh yang ada di tempat itu, lalu menjawab, "Memang benar, tuan. Saat ini di luar halaman sana telah kedatangan utusan-utusan dari Hwe-liong-pang yang ingin menghadap Beng-cu." “Utusan Hwe-liong-pang? Siapa saja mereka itu?" Sahut si pelayan, "Pemimpin rombongan itu agaknya adalah rahib berjenggot kuning dan bermata biru yang juga telah datang ke rumah ini beberapa hari yang lalu. Selain itu adalah seorang tua bertampang seperti kera, dan seorang berkulit hitam serta seorang lelaki berpakaian seperti orang Korea." "Hanya empat orang?" "Ya. Hanya empat orang dan hamba lihat semuanya tidak ada yang membawa senjata." Ko Gi-ceng melemparkan pandangannya kepada Hong-tay Hweshio, minta pendapat rahib tua itu. Ketika Hong-tay Hweshio menganggukkan kepalanya, barulah Ko Gi-ceng berkata kepada pelayannya, "Persilahkan mereka masuk. Sambut dengan baik." Pelayan itu cepat menjalankan perintah majikannya. Tidak lama kemudian si pelayan telah masuk kembali dengan mengantarkan empat orang tamu dari Hwe-liong-pang. Yang paling depan adalah seorang rahib bertubuh kekar, berjenggot keriting warna pirang, bermata biru, dia bukan lain adalah Hong-goan Hweshio, si rahib suku Hui yang merupakan bekas murid Siau-lim-si, seangkatan dengan Hong-tay Hweshio. Yang datang bersamanya adalah tokoh Hwe-liong-pang lainnya, Ling Thian-ki yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Si Lutung Sakti Bertangan Seribu) yang tampangnya memang penuh bulu, sehingga tidak keliru kalau pelayan Ko Gi-ceng tadi melaporkan bahwa salah seorang tamunya "mirip monyet". Yang dua orang lainnya adalah si ahli pukulan dan ahli tendangan dari Hwe-liong-pang, masing-masing Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) serta Oh Yun-kim orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Keempat orang utusan Hwe-liong-pang itu memasuki ruangan itu dengan sikap yang agak berbeda dibanding beberapa hari yang lalu. Beberapa hari yang lalu mereka bersikap penuh damai dan muka berseri-seri ramah. Namun kali ini muka mereka nampak tegang dan bahkan sinar mata mereka menampakkan kemarahan yang ditahan-tahan. Tetapi, Hong-goan Hweshio sebagai pemimpin rombongan Hwe-liong-pang agaknya masih berusaha untuk bersikap sopan. Tiba di depan Hong-tay Hweshio, rahib suku Hui itu merangkapkan kedua telapak tangannya, membungkuk kepada Hong-tay Hweshio dan berkata dengan suara sehormat mungkin, "Selamat bertemu kembali, Suheng, maafkan adikmu hari ini mengganggumu lagi." Meskipun Hong-goan Hweshio hanya bekas murid Siau-lim- si, tetapi ia tetap memanggil "suheng" (kakak seperguruan) kepada Hong-tay Hweshio. Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnyapun membalas hormat utusan Hwe-liong-pang itu dan mempersilahkan duduk. Hati Hong-tay Hweshio sudah merasa tidak enak ketika melihat wajah orang-orang Hwe-liong-pang yang nampak kurang bersahabat itu, diam-diam si rahib tua itu menduga ada hal yang kurang beres telah terjadi. Benar juga firasat Hong-tay Hweshio itu. Setelah utusan-utusan Hwe-liong-pang itu duduk di kursinya masing-masing, Hong-goan Hweshio memulai pembicaraan, "Maafkan, Suheng, barangkali kehadiran kami yang mendadak dan tanpa pemberitahuan lebih dulu ini telah mengejutkan Suheng dan tuan-tuan sekalian, namun kedatangan kami ini bukannya tanpa keperluan sama sekali." "Ada masalah apa lagi, Sute? Bukankah perjanjian perdamaian antara pihak kami dengan pihak Hwe-liong-pang kalian sudah ditanda-tangani beberapa hari yang lalu? Apakah ada syarat yang kurang ataukah maksud untuk merubah perjanjian itu?" "Benar, Suheng. Perjanjian telah sama-sama kita setujui. Jika ada juga orang yang ingin mengubah persetujuan damai itu, agaknya orang itu dari pihak Suheng sendiri." Meskipun Hong-tay Hweshio dan tokoh-tokoh lainnya samar-samar sudah menduga garis persoalannya, namun setelah mendengar ucapan tegas dari Hong-goan Hweshio itu, mau tidak mau berubahlah air muka sekalian tokoh itu. Tiat-sim Tojin yang berwatak keras, sesuai dengan julukannya itu, telah mendahului menyahut tanpa menunggu Hong-tay Hweshio lagi, "Jadi maksud saudara Hong-goan, kami adalah ksatria-ksatria palsu yang tidak bisa memegang janji, begitu?" Hong-goan Hweshio menggeram menahan kemarahannya, tetapi dia juga berusaha bersikap tenang ketika menjawab ucapan Tiat-sim Tojin itu, "Bukan begitu maksudku, Totiang (bapak imam), aku percaya bahwa Hong-tay Suheng dan Tiat-sim Tojin dan saudara-saudara pendekar di sini adalah orang-orang jantan yang teguh pada janji, tapi ternyata tidak semua orang yang mengaku dirinya pendekar di pihak kalian itu berpegang teguh pada perjanjian perdamaian kita." Tiat-sim Tojin yang berwatak keras itu sudah berdiri dengan wajah tegang, di pihak Hwe-liong-pang pun Lu Siong yang tidak kalah panas darahnya dari Tiat-sim Tojin, juga telah menggebrak meja di sebelahnya sehingga keempat kakinya patah. Namun sebelum kedua orang pemarah itu saling baku-hantam dan semakin mengkisruhkan suasana, Hong-tay Hweshio dan Hong-goan Hweshio cepat-cepat berusaha menenangkan orangnya masing-masing. Tiat-sim Tojin duduk kembali dengan wajah merah padam, sedangkan Lu Siong telah menggosok-gosok kepalan tangannya yang sekeras besi itu. Kemudian Hong-tay Hweshio berkata dengan sabar, "Harap saudara-saudara sekalian, baik dari pihakku maupun pihak Hwe-liong-pang, menahan diri. Kita semua menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sangat licik yang berusaha mengadu domba kita, jika kita menurutkan luapan perasaan marah saja tanpa mau berpikir bening memecahkan persoalannya, maka kita benar-benar akan termakan oleh siasat adu-domba itu. Sute, kata-katamu tadi kurang jelas. Apa yang kau maksudkan dengan ada orang di pihak kami yang bermaksud melanggar perjanjian?" Timbul rasa hormat Hong-goan Hweshio kepada bekas kakak seperguruannya yang dapat tetap bersikap tenang itu, diam-diam rahib Hui itupun merasa sayang jika dia harus berhadapan dengan kakak seperguruannya itu sebagai musuh. Karena itu Hong-goan Hweshio pun menyabarkan diri sejauh mungkin. Lebih dulu ia merangkap tangan dan memberi hormat kepada semua orang, katanya, "Maaf, kata-kataku tadi terlalu tajam dan hampir menimbulkan salah paham Tiat-sim Totiang. Aku hanya ingin memberitahukan kepada Suheng, bahwa di kota Jing-toh telah terjadi suatu peristiwa yang barangkali tidak kita kehendaki bersama-sama." “Peristiwa apa?” tanya Hong-tay Hweshio. "Entah karena peristiwa atau alasan apa, ternyata Kiau Bun-han dan Thian-goan Hweshio, masing-masing dari Hoa-san-pay dan Go-bi-pay, telah menyerang secara membabi-buta kepada beberapa kelompok anak buah kami yang kebetulan ditemui oleh mereka, sehingga beberapa orang anak buah kami tewas secara penasaran...” |
Selanjutnya;
|