Perserikatan Naga Api Jilid 33Karya : Stevanus S.P |
Kiau Bun-han terkesiap melihat ketangkasan lawan yang dapat menghindari tikamannya hanya dengan sikap sesantai itu. Namun sebagai pendekar berpengalaman dia sudah memperhitungkan bahwa serangan pertama biasanya sulit mencapai sasaran, maka serangan berikutnya sudah dipersiapkan pula. Dengan gerakan pergelangan tangannya yang terlatih kuat, dia cepat mengubah jurus pertamanya menjadi Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) ke pundak Wi-siang.
Jurus ini biasanya digunakan dengan senjata berbobot berat seperti golok, ruyung atau toya, dan juga memerlukan ayunan lengan dengan lengkung panjang untuk pengerahan tenaganya. Namun tokoh selihai Kiau Bun-han ini agaknya merupakan perkecualian dari semua dalil ilmu silat itu. Pedangnya termasuk senjata berbobot ringan, sedang ayunan senjatanya pun hanya mengandalkan kekuatan pergelangan tangan saja, namun karena tenaga dalamnya yang hebat itu telah terlasur ke batang pedangnya maka bacokan itupun ternyata menjadi dahsyat sekali dan menimbulkan deru angin keras. Beberapa murid Hoa-san-pay segera bersorak memuji kehebatan tokoh andalan perguruan mereka itu. Mereka beranggapan bahwa sebentar lagi si "gila" yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu pasti akan terbacok putus pundaknya, sulit menghindar lagi. Secara naluriah, Wi-siang pun menyadari hebatnya serangan tokoh Hoa-san-pay itu. Meskipun pikirannya sedang kisruh, namun ilmu silat yang telah mendarah daging dalam dirinya itu mampu berjalan sendiri tanpa perintah otak lagi, dengan gerak naluriah. Hampir tak terlihat dia telah melangkah ke samping, pedang lawan lewat di sisi tubuhnya, bersamaan dengan itu Tong Wi-siang pun mengayunkan daging panggang di tangannya untuk menghantam muka lawannya. Cepat Kiau Bun-han menundukkan tubuhnya sambil memutar pedangnya untuk bertahan. Dengan demikian mulailah kedua orang itu bertempur dengan sengitnya. Kiau Bun-han yang marah itu telah memainkan pedangnya dengan tangkas dan penuh semangat. Sebaliknya Tong Wi-siang hanya memegang sepotong ayam panggang namun memainkan jurus-jurus aneh warisan Bu-san-jit-kui, sehingga Kiau Bun-hanpun tidak berani meremehkan "senjata" Ketua Hwe-liong-pang itu, sebab ayam panggang itu ternyata membawakan desir angin yang keras, menandakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin cepat dan semakin seru. Sinar pedang Kiau Bun-han berputar dan berkerdepan semakin gencar, sehingga sinar pedangnya bagaikan mengurung delapan arah mata angin bagi lawannya. Tepatlah kiranya julukan yang dimilikinya sebagai Pat-hong-kiam-kong. Sementara Thian-goan Hweshio dan lain-lainnya yakin bahwa si gila yang mengaku sebagai Ketua Hwe-liong-pang itu tentu akan dapat dikalahkan. Meskipun hal itu yang diduga oleh Thian-goan Hweshio, namun tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Kiau Bun-han sendiri sebagai orang yang langsung merasakan tekanan lawannya. Diam-diam jago pedang Hoa-san-pay itu mengeluh dalam hatinya, karena dia telah bertempur dengan segenap kemampuan dengan jurus-jurus tertingginya. Namun masih belum ada tanda-tanda ia akan memenangkan pertarungan itu. lawan masih belum tersentuh ujung pedangnya. Kiau Bun-han merasa bahwa yang sedang dihadapinya itu bukan sesosok manusia yang berdarah dan berdaging, melainkan rasanya seperti segumpal asap yang tak dapat disentuh. Bahkan sambil berkelit dan membalas, lawannya yang muda itu masih juga menyempatkan diri untuk menggigiti ayam panggangnya! Murid-murid Hoa-san-pay yang ilmunya belum begitu tinggi itu, masih saja salah paham dan mengira Tong Wi- siang terdesak oleh jago mereka, sehingga murid-murid itu masih saja bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendukung jagonya. Tetapi Thian-goan Hweshio yang berilmu tinggi dan lebih tajam penglihatannya, segera dapat melihat bahwa rekannya itu mulai dilibat kesulitan hebat, biarpun nampaknya seperti mendesak maju. Diam-diam rahib ttu mulai mengubah pandangannya terhadap Wi-siang, dan mulai menguatirkan rekannya. Jauh di dasar hatinya dia juga mengagumi kelihaian Ketua Hwe-liong-pang itu. Sementara itu, Wi-siang bukanlah seorang yang sabar, tentu saja ia tidak sudi hanya menghindar saja, maka mulai mengalirkan serangan balasannya. Begitu dia mulai membalas, pecahlah cahaya pedang Kiau Bun-han yang tadinya berkeredapan mengurung badan Wi-siang itu. Kini di tengah gelanggang pertempuran itu muncul bayangan berpuluh-puluh ayam panggang yang berputaran dan menghujani Kiau Bun-han dari segala arah. Pemandangan yang aneh dan menggelikan, namun sangat menakutkan bagi Kiau Bun-han yang mengalaminya sendiri. Thian-goan Hweshio tidak dapat menahan sabar lagi, "Hwe-liong-pang adalah perkumpulan kaum iblis yang mengganggu ketenteraman masyarakat ramai, untuk menyingkirkan mereka kita tidak usah peduli lagi akan ditertawakan orang lain. Saudara Kiau, aku akan ikut mempercepat penyelesaian pertarungan ini!” Ternyata Kiau Bun-han tidak menolak dengan sikap diamnya. Agaknya pendekar Hoa-san-pay itupun mengakui kenyataan bahwa dirinya sendirian saja tidak akan mampu mengatasi Tong Wi-siang, salah-salah malahan bisa celaka sendiri. Maka dibiarkannya saja rekannya dari Go-bi-pay itu ikut terjun ke gelanggang. Rahib tinggi besar itu telah menghunus pedangnya, kemudian dengan loncatan bagaikan seekor rajawali, dia telah melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan langsung menyerang Tong Wi-siang dengan jurus Tay- peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap) yang mengarah iga musuh. Yang dimainkan oleh rahib pemarah dari Go-bi-pay itu ternyata adalah Tat-mo-kiam-hoat (llmu Pedang Tat-mo) gaya Go-bi-pay. Berbeda dengan gaya ilmu pedang Kiau Bun-han yang kaya akan gerak tipu dan kegesitan, maka ilmu rahib ini justru keras, cepat dan langsung, tanpa banyak tipu yang berbelit-belit, namun tidak kalah berbahayanya dengan ilmu pedang Hoa-san-pay. Menghadapi keroyokan dua orang tokoh terkenal dunia persilatan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang terdesak juga, apalagi karena "senjata"nya cuma sepotong ayam panggang. Dalam keadaan terdesak itu, untunglah bahwa dia belum kehilangan ingatannya sama sekali akan ilmu-ilmu ajaran Bu-san-jit-kui. Cepat-cepat ia melompat mundur untuk mengambil jarak, dilemparkannya ayam panggangnya yang tengah dipegangnya, diuraikannya ikatan rambutnya, lalu bibirpun mulai berkomat-kamit menggumamkan mantera dalam bahasa yang aneh. Perlahan-lahan biji mata Tong Wi-siang pun mulai berubah warna kehijau-hijauan seperti mata kucing. Itulah ilmu warisan Bu-san-jit-kui yang diberinya nama "Jit-kui-tiau- goat-sin-kang" (Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan). Baik Kiau Bun-han maupun Thian-goan Hweshio sebagal pendekar-pendekar berpengalaman, terkesiap ketika melihat sikap Tong Wi-siang itu. Mereka sadar akan gawatnya keadaan, maka Thian-goan Hweshiopun berseru, "Bangsat cilik ini menerapkan ilmu iblisnya. Saudara Kiau, hayo kita gempur bersama!" Rahib berdarah panas itu bukan cuma berani mementang mulutnya, tapi juga berani bertindak untuk mempelopori serangannya. Dibarengi dengan bentakannya yang menggeledek ia telah melompat dan melancarkan gerakan Soat-hoa-kay-teng (Bunga Salju Menutup Kepala), gemerlap pedangnya disertai desiran tajam telah membabat ke batok kepala Tong Wi-siang. Kiau Bun-han juga ikut menyerang, namun mengarah sepasang kaki Wi-siang. Begitulah dua orang pendekar yang disegani di dunia persilatan terpaksa tidak malu-malu lagi mengorbankan nama besar mereka dengan jalan mengeroyok seorang anak muda yang pantas menjadi anak mereka. Namun anak muda itu adalah Ketua Hwe-liong-pang yang menggemparkan rimba persilatan. Menyongsong serangan gabungan itu Tong Wi-siang tidak gentar, malahan memperdengarkan suara tertawanya yang menyeramkan. Lengannya yang hanya terbungkus kulit itu telah diangkat dan ditangkisnya begitu saja menyongsong mata pedang Thian-goan Hweshio yang terbuat dari baja pilihan itu. Akibatnya ternyata cukup mengejutkan, pedang Thian-goan Hweshio terpental balik bagaikan membacok lempengan baja tebal, sedang kulit lengan Tong Wi-siang tidak lecet seujung rambutpun, hanya kain bajunya yang terkoyak. Kiau Bun-han ternyata juga mengalami kejadian yang sama. Pedangnya dengan telak sekali berhasil mengenai kaki Wi-siang, namun bukan kaki Wi-siang yang putus melainkan pedangnya sendiri yang terpental balik dan hampir saja melukai dirinya sendiri. Dengan terkejut kedua tokoh Go-bi-pay dan Hoa-san-pay itu memandang lawan mereka yang masih muda itu dengan ngeri, lalu mereka pun saling bertukar pandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu. Mereka pernah mendengar tentang adanya ilmu kebal sejenis Tiat-po-san (Baju Besi) atau Kim-ciong-to (Lonceng Emas), namun jenis-jenis ilmu itu masih belum bisa diandalkan untuk menghadapi tajamnya senjata yang digerakkan dengan dilambari tenaga lwe-kang. Tapi kini mereka melihat jenis ilmu kebal lain yang hampir-hampir tidak masuk akal, jenis ilmu kebal yang nampaknya lebih hebat dari Tiat-po-san maupun Kim-ciong-to, bahkan samar-samar memancarkan suasana gaib yang seram pula. “Kita benar-benar sedang berhadapan dengan ilmu siluman,” gumam Kiau Bun-han marah bercampur ngeri. Pada waktu itulah terdengar gemerincing lima batang pedang yang dicabut keluar dari sarungnya. Ternyata dua orang murid Hoa-san-pay serta tiga orang murid Go-bi-pay itu telah menyadari kegawatan yang mengancam guru mereka masing-masing, maka disertai gelegak darah muda mereka, merekapun berniat ikut terjun ke gelanggang pertempuran. Mereka berseru, "Suhu, ijinkan kami ikut ambil bagian untuk membasmi siluman yang membahayakan umat manusia ini!" Kelima orang muda itupun kemudian tidak menunggu lagi persetujuan guru-guru mereka, sebab mereka yakin guru merekapun pasti tidak mencela tindakan mereka, bahkan mungkin akan memujinya. Dengan semangat meluap mereka berlima segera menyerbu ke arah Tong Wi-siang. Lima batang pedang berkilauan serempak ke berbagai bagian tubuh Tong Wi-siang. Sayang, agaknya nasib buruklah yang telah siap menunggu kelima orang pendekar muda yang berani itu, sebab saat itu Tong Wi-siang sedang mata gelap, pikirannya keruh, dan sama sekali tidak dapat mengendalikan diri lagi. Melihat serangan serempak itu, cepat Wi-siang memekik dahsyat dan sekuat tenaga melancarkan jurus Jit-kui-keng-te (Tujuh Iblis Menggoncangkan Bumi). Terdengar suara berdentangan yang dahsyat ketika lima batang pedang itu mengenai tubuh Tong Wi-siang yang kebal, kemudian ayunan tangan Ketua Hwe-liong-pang itu membuat murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu terpental berpencaran seperti daun-daun kering dihembus badai. Dua orang di antara mereka kini hanya memegang tangkai pedang yang telah buntung. Sedang seorang yang lainnya malahan telah roboh memuntahkan darah, setelah bergerak-gerak sebentar di tanah, diapun lalu terdiam kaku dan nyawanyapun melayang. Rupanya pemuda itu telah menyerang Tong Wi-siang terlalu berani, sehingga pukulan Wi-siang berhasil masuk telak ke dadanya dan meremukkan tulang-tulang dadanya seketika. Melihat salah seorang muridnya telah menjadi korban Hwe-liong Pang-cu berkobarlah amarah Thian-goan Hweshio yang memang berwatak berangasan itu. Tidak peduli lagi ilmu-ilmu sesat lawannya yang lihai, ia telah menyerang kembali dengan jurus-jurus andalannya. Begitu pula Kiau Bun-han ikut menyerang bersama rekannya ini. Namun kali ini Kiau Bun-han bertindak agak cerdik, ujung pedangnya tidak menyambar ke sembarangan bagian tubuh lawan, melainkan memilih sasaran-sasaran yang biasanya tidak dapat dilindungi ilmu kebal seperti mata, bagian bawah dagu dan sebagainya. Begitulah, di bawah siraman hujan deras itu pertempuran telah berkobar kembali, lebih dahsyat dari semula, sebab kini murid-murid Hoa-san-pay dan Go-bi-pay juga telah ikut terjun ke gelanggang. Tong Wi-siang yang hanya bertangan kosong itu harus bertempur meladeni enam orang lawan yang semuanya bersenjata pedang. Pertempuran kali inipun lain sifatnya dengan pertempuran yang mula-mula tadi. Kalau tadi masih bersifat pertandingan dan saling menjajaki, maka yang sekarang ini sudah diwarnai oleh dendam kesumat dan kemarahan yang meluap di hati orang-orang Hoa-san-pay dan Go-bi-pay. Satu korban jiwa yang jatuh di pihak Go-bi-pay sudah cukup untuk mengobarkan api kebencian kaum pendekar. Tapi Tong Wi-siang adalah pemimpin resmi dari sebuah perkumpulan yang pernah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan, dengan demikian tingkatan ilmunyapun sangat tinggi, apalagi Tong Wi-siang juga meladeni lawan-lawannya dengan tidak kurang marahnya. Sebagai seorang bekas anak berandalan di An-yang-shia yang memang gemar berkelahi dan tidak kenal takut, ia sudah biasa mengumbar perasaan marahnya itu tanpa peduli tempat, waktu dan siapa yang dihadapinya. Ia merasa sangat jemu dan muak melihat tingkah para pendekar yang dianggapnya orang-orang munafik yang sok alim itu. Sifatnya yang pemarah itu masih ditambah lagi dengan pengaruh ilmu sesat warisan Bu-san-jit-kui yang sedikit banyak mempengaruhi kepribadiannya juga, membentuknya menjadi pribadi yang agak liar dan ganas. Maka ketika pertempuran meningkat semakin seru dan hati Tong Wi-siang pun semakin panas, ia tidak mengendalikan dirinya lagi dan bertarung sejadi-jadinya. Pertempuran mati hidup itu bergeser perlahan-lahan dari dalam aula kuil ke arah halaman kuil. Tapi ke tujuh orang yang tengah bergulat dengan nyawanya itu tidak peduli air hujan yang menyiram mereka, kilat yang menyambar-nyambar di langit, semuanya sudah lupa diri dan dikeruhkan oleh nafsu membunuh yang harus mendapat penyalurannya. Nafsu melihat tumpahnya darah sesama manusia. Patung-patung para malaikat dan dewa yang dipuja dalam rumah abu itu, serta hiasan-hiasan kuil lainnya, kini telah porak-poranda karena tersentuh tangan-tangan dan kaki-kaki yang digerakkan oleh angkara murka itu. Suaranya menggidikkan hati, sehingga para pengungsi yang menyaksikan pertempuran itupun merasa diri mereka bagaikan mahluk-mahluk lemah tak berdaya yang berada di lingkungan siluman-siluman yang berilmu tinggi. Apalagi ketika melihat sepasang mata Wi-siang yang telah berubah bersinar kehijau-hijauan seperti kucing, sementara rambutnya yang terurai acak-acakan itu menambah seramnya penampilannya. Sementara itu, betapapun tangguhnya Tong Wi-siang, tapi karena harus menghadapi keroyokan enam orang pendekar tua dan muda itu, mau tidak mau ia terdesak juga. Yang muda berani luar biasa, yang tua mengandalkan pengalamannya dan kematangan ilmunya, benar-benar gabungan kemampuan yang tidak dapat dianggap remeh. Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han jika maju sendiri-sendiri pasti akan kalah, namun mereka berdua maju serempak, masih ditambah lagi dengan empat orang pemuda berbakat dari Go-bi-pay dan Hoa-san-pay, maka Tong Wi-siang benar-benar dalam bahaya. Ilmu kebal warisan Bu-san-jit-kui itupun terasa mengendor juga, sebab ilmu ini memerlukan pemusatan kekuatan batin dalam ketenangan, sedangkan saat itu Wi-siang tidak sempat memusatkan kekuatan batinnya karena ujung- ujung pedang lawan-lawannya yang terus melandanya bagaikan hujan gerimis. Lama-kelamaan terasa juga bahwa ujung-ujung pedang itu ternyata dapat menyakiti kulitnya. Namun Tong Wi-siang bukan Tong Wi-siang kalau gampang menyerah begitu saja, anak berandalan dari An-yang-shia ini sudah terkenal karena kekerasan hati dan kebandelannya. Ilmu kebalnya kini dilepaskannya begitu saja, namun justru ilmu Jit-kui-tiau-goat-sin-kang-nya ditingkatkannya sampai ke tahapan yang tertinggi. Matanya bersinar semakin hijau, suara mantera yang digumamkannya semakin jelas terdengar mendengung di pinggir kuping lawan-lawannya. Akibat dari pengerahan ilmu itu, yang paling merasakan adalah para murid-murid muda Go-bi-pay dan Hoa-san-pay yang baik tenaga dalamnya maupun keteguhan batinnya belum begitu tinggi itu. Mereka segera merasa hati mereka mulai terguncang oleh dengung mantera berbahasa aneh dan berirama aneh itu, pemusatan pikiran terhadap ilmu silat merekapun dengan sendirinya mulai terganggu. Selain suara mendengung lembut itu, sinar mata yang kehijau-hijauan itu ternyata punya pengaruh tersendiri pula, yaitu dapat mengendalikan dan memerintah pikiran lawan-lawannya. Beberapa kali para pendekar muda itu seakan-akan kehilangan kendali atas diri dan senjatanya sendiri, seakan mereka mendapat perintah lewat pikirannya untuk menusukkan pedang-pedang mereka ke arah... kawan-kawan atau guru mereka sendiri! Dengan demikian pemuda-pemuda ini mulai kebingungan mengatasi keadaan yang belum pernah diajarkan dalam ilmu silat ini, mereka bertempur tanpa pegangan lagi. Thian-goan Hweshio dan Kiau Bun-han agaknya dapat memahami oleh murid-murid mereka itu, sebab mereka berdua pun mengalami hal yang sama, tapi tidak terlalu parah karena keteguhan batin mereka. Namun toh tokoh-tokoh itu sedikit banyak terpengaruh juga, paling tidak mereka harus memencarkan pemusatan pikiran mereka, sebagian untuk bertahan dari pengaruh gaib dan sebagian lagi untuk menggerakkan senjata mereka. Mereka juga harus berhati-hati terhadap ujung-ujung pedang murid-murid mereka sendiri yang kadang-kadang kehilangan arah itu. Untunglah bahwa Tong Wi-siang tidak dapat mempengaruhi enam orang sekaligus dengan ilmunya, namun hanya seorang demi seorang secara bergantian, dengan kadar kekuatan yang berbeda-beda pula. Namun toh cukup mengacaukan perlawanan para pendekar itu. Melihat kekacauan yang melanda pihaknya itu, Thian-goan Hweshio tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dengan ilmu Sau-cu-hau-kang (Ilmu Singa Meraung) yang berdasar dari ilmu kaum Hud-kau yang dilontarkan dengan pengerahan kekuatan batin tinggi, sehingga dapat mempengaruhi kawan dan lawan. Suara gelegar raungannya bagaikan menggetarkan ruangan itu, meskipun memekakkan telinga kawan-kawannya tetapi bagaikan segayung air dingin yang disiramkan di atas kepala mereka, menyadarkan mereka dari kebingungan mereka. "Kerahkan kekuatan batin! Kepung terus! Ilmu kebalnya tidak mutlak dapat melindungi kulitnya!" teriak Thian-goan Hweshio. Tong Wi-siang tertawa dingin dan menggeram, "Bagus, keledai gundul bangsat, sebelum aku membunuh lain-lainnya agaknya aku harus mengambil batok kepalamu lebih dulu. Sekarang jika kau benar-benar lihai, cobalah ilmu-ilmuku yang lainnya!" Berbareng dengan selesainya kalimatnya itu, Wi-siang telah menggigit lidahnya sendiri sehingga luka dan berdarah, lalu mengalirkan suatu kekuatan dahsyat ke seluruh tubuhnya, suatu kekuatan yang beberapa kali lipat dari kekuatan wajarnya dalam keadaan biasa. Thian-goan Hweshio yang kaya dengan pengalaman itu segera mengetahui apa yang diperbuat lawannya, apalagi ketika melihat ada tetesan darah mengalir dari sudut mulut lawannya itu, maka dengan terkejutnya ia telah berseru memperingatkan rekan-rekannya, "Ilmu iblis Thian-mo-kay-teh-kang! Awas, iblis cilik ini mengeluarkan ilmu lainnya yang dapat melipatgandakan kekuatannya! Ambil jarak dan jangan menyerang secara gegabah!" Ilmu sesat Thian-mo-kay-teh-karg yang sedang digunakan oleh Tong Wi-siang itu adalah ilmu bagaimana cara melipat gandakan kekuatannya tetapi dengan jalan melukai dirinya sendiri, yaitu menggigit lidahnya. Kekuatan yang didapatkannya akan menjadi dahsyat bukan main, namun tenaga yang dahsyat itupun tidak akan dapat bertahan terlalu lama, jika dipaksakan dapat merusak diri sendiri. Banyak tokoh golongan hitam tingkat atas yang mempelajari ilmu ini tapi takut menggunakannya, sebab setiap kali digunakan berarti dirinya sendiri harus terluka dan tenaga dalam yang dipupuknya bertahun-tahunpun bisa dirugikan. Teriakan Thian-goan Hweshio yang memperingatkan untuk menjauhi lawan, dengan maksud agar lawan kehabisan tenaga lebih dulu, tetapi peringatan itu agak terlambat rupanya. Para murid-murid muda Hoa-san-pay serta Go-bi pay yang masih dibakar kemarahan itu sama sekali tidak memahami maksud Thian-goan Hweshio itu, mereka tetap saja merangsak Tong Wi-siang tanpa kenal takut. Akibatnya, seorang murid Hoa-san-pay kemudian terkapar dengan batok kepala remuk seperti tomat diinjak terkena sambaran pukulan Tong Wi-siang yang maha dahsyat itu. "Kian-ji!" teriak Kiau Bun-han ketika melihat nasib buruk yang menimpa muridnya itu. Belum habis rasa kejut dan ngeri dari pendekar-pendekar itu, lagi-lagi Wi-siang berhasil mencengkeram pundak salah seorang murid Go-bi-pay, dan diiringi tertawa seramnya dia menggunakan tangan satunya lagi untuk menarik dan memutar lengan anak Go-bi-pay itu sekuat tenaganya. Tak ampun lagi tangan murid Go-bi-pay itu dapat "dicabut"-nya mentah-mentah dari pangkal lengannya dan dilemparkannya, sedang si pemilik lengan itupun langsung jatuh pingsan di tanah becek. Betapapun keberanian menyala di hati murid-murid muda Hoa-san-pay dan Go-bi-pay itu, tetapi setelah melihat bagaimana brutal dan ganasnya Ketua Hwe-liong-pang itu, tergoncanglah perasaan mereka. Sungguh tidak pernah terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia persilatan ada cara berkelahi semacam itu. Tadinya mereka mengira bahwa pertempuran di rimba persilatan hanyalah adu kekuatan, kecepatan dan keterampilan mamainkan jurus-jurus andalannya, namun kini di hadapan mata mereka telah terpampang sesuatu yang sangat menggetarkan. Tetapi di samping perasaan takut mereka, semakin berkobar pula rasa marah mereka ketika melihat saudara-saudara seperguruan mereka mengalami nasib seburuk itu. Tong Wi-siang sendiri merasa kekuatannya mulai menurun setingkat setelah membereskan dua orang lawan mudanya itu. Itulah akibat wajar dari pemakaian ilmu Thian-mo-kay-teh-kang itu, cepat pula pertambahan tenaganya, namun cepat pula menurunnya. Pada saat itulah Kiau Bun-han telah meluncur maju sambil menggerakkan pedangnya dengan gerakan Pek-coa-tou-sin (Ular Putih Menyemburkan Racun) yang dilambari dengan seluruh kekuatan dalamnya. Pedangnya bagaikan petir menyambar ke arah perut Tong Wi-siang, agaknya tokoh Hoa-san-pay ini sudah nekad mengadu jiwa untuk membalaskan dendam murid-muridnya. Tong Wi-siang agak terkejut melihat serangan secepat itu, padahal ilmu kebalnya sudah "dilepas" dari tadi, sebisa-bisanya dia menghindar ke kanan, namun tidak sepenuhnya lolos dari jurus maut tokoh Hoa-san-pay itu. Lambungnya tetap saja tersobek oleh ujung pedang Kiau Bun-han, menghasilkan luka panjang yang cukup dalam. Namun Kiau Bun-han sendiri telah kehilangan keseimbangannya dan terjerumus ke depan.... |
Selanjutnya;
|