Perserikatan Naga Api Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 32

Karya : Stevanus S.P
SIANGKOAN HONG tidak menyahut lagi, sementara Tong Wi-siang telah berkata lebih lanjut, "Aku kira, yang pantas untuk dijadikan utusan untuk menemui Hong-tay Hweshio adalah Hong-goan Hweshio serta In Yong atau Kwa Heng. Mereka termasuk orang-orang bijaksana yang berpikiran panjang, kita boleh mengharap banyak dari perundingan mereka. Apalagi Hong-goan Hweshio adalah bekas orang Siau-lim-pay pula, sehingga kita harapkan bahwa hubungan lama itu akan dapat mempengaruhi Hong-tay Hweshio agar tidak melanjutkan gerakannya."

"Tepat sekali," sahut Lim Hong-pin. "Waktu sangat berharga sekarang ini. Karena itu, A-siang, sebaiknya utusan-utusan itu segera kau tunjuk dan kau suruh berangkat secepatnya."

Demikianlah, Hong-goan Hwesio untuk menemui Hong-tay Hweshio. Sebenarnya Hong-goan Hweshio agak sungkan juga unluk menemui Hong-tay Hwesio, sebab rahib tua Siau-lim-pay itu adalah bekas kakak seperguruannya, sedangkan Hong-goan Hweshio pernah menghilang dari kalangan Siau-lim-pay tanpa pamit. Namun mengingat bahwa perundingan itu mungkin akan menyelamatkan ratusan nyawa yang bakal tewas oleh siasat adu-domba Tan Goan-ciau itu, maka Hong-goan Hweshio membulatkan tekad untuk berangkat juga.

Sementara ketiga utusan itu menjalankan tugasnya, maka seluruh anggota Hwe-liong-pang, dari Ketuanya sampai anggota paling bawah terus giat mempertinggi kemampuan ilmunya masing-masing. Mereka semuanya sadar bahwa di tengah suasana kisruh itu maka kemampuan ilmu silat akan ikut berperan, meskipun perkelahian adalah bukan jalan satu-satunya. Berita tentang sedang menyerbunya kaum pendekar, begitu pula berita tentang pemberontakan Li Cu-seng yang semakin berani, telah mengobarkan semangat seluruh anggota Hwe-llong-pang untuk berlatih sebaik-baiknya.

Oh Yun-kim dan Lu Siong nampak sering berlatih bersama-sama. Yang satu berjulukan Bu-lng-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena sangat lihai ilmu tendangannya, sedang yang lainnya berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) karena kedahsyatan ilmu pukulannya. Satu tendangan, satu pukulan. Maka keduanya pun membuat persetujuan untuk saling bertukar ilmu andalannya masing-masing.

Sehingga Oh Yun-kim akan melengkapi ilmunya dengan ilmu pukulan, sebaliknya Lu Siong juga akan berusaha bisa menendang sebaik Oh Yun-kim. Namun keduanya sadar bahwa dalam waktu singkat tentu sulit untuk mencapai kemahiran yang setaraf dengan pemilik ilmu aslinya, tapi yang penting adalah tekad dan kemauan mereka untuk meningkat.

Oh Yun-kim adalah seorang bangsa Korea. Di negeri Korea ada semacam ilmu silat yang sudah berusia ratusan tahun, yang dengan bahasa setempat disebut "Tae-kyun", sedangkan kaum persilatan di Tiong-kok menyebutnya, "tong-jiu-tao (Seni Tangan Dari Timur). Meskipun disebut "Seni Tangan", tapi pada hakekatnya silat Korea itu hampir tidak menggunakan tangan, namun seluruh gerakannya selalu menggunakan kaki, baik untuk menangkis, menepis, melompat maupun menendang, sehingga "Tae-kyun" ini jadi agak mirip dengan Lian-hoa-tui (Tendangan Berantai) dari Bu-tong-pay.

Oh Yun-kim sudah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan negerinya dan berkelana mengamalkan ilmunya di daratan Tiong-goan, selama pengembaraannya itu dia tidak sedikit telah menambah dan menyempurnakan ilmu tendangannya, bahkan kemudian oleh kaum persilatan diTiong-goan dia diberi julukan Bu-ing-tui, menandakan penghargaan orang terhadap kelihaian kakinya. Akhirnya Oh Yun-kim merasa senang hidup di daratan Tiong-goan yang luas itu dan telah menganggapnya sebagai tanah airnya yang baru.

Untuk menguasai ilmu tendangan Oh Yun-kim itu, lebih dulu Lu Siong harus melemaskan seluruh tubuhnya, seluruh persendian badannya, sebab ilmu tendangan Korea ini kaya dengan pergantian tendangan tanpa berubah pijakan, sehingga kelenturan pinggul dan kelemasan kaki mutlak diperlukan. Untuk itu, Oh Yun-kim telah menyusun “menu latihan” bagi “murid”-nya itu, yang harus dijalani oleh Lu Siong setiap harinya.

Antara lain Lu Siong diharuskan merentangkan kakinya sehingga kedua kaki itu bersambung dan berbentuk garis lurus, melakukan gerakan-gerakan pelemasan pinggang yang terasa sangat menyengsarakan bagi Lu Siong yang bertubuh kaku itu. Kadang-kadang Lu Siong menggerutu juga, namun Oh Yun-kim hanya menanggapinya dengan tersenyum.

"Seperti monyet kepanasan", Lu Siong ketika sedang berlatih rnemutar-mutar pinggul dan pinggangnya.

Oh Yun-kim tertawa dan menyahut, “Kelenturan pinggul kita perlukan, supaya sewaktu kita melakukan tendangan kita dapat melakukan dengan cepat dan tidak terbaca oleh lawan. Jika kita berpinggul kaku, maka lawan akan dapat membaca gerak tendangan kita. Baru kita mengangkat kaki sedikit, maka lawan sudah tahu arah tendangannya sehingga dapat menangkis atau mengelaknya. Sebaliknya, Jika pinggul kita cukup lemas, tendangan kitapun akan secepat kilat, lawan tidak akan sempat menangkis atau mengelak tendangan kita. Itulah sebabnya aku dijuluki Tendangan Tanpa Bayangan."

"Aku menyesal berguru kepada orang setakabur kau," kata Lu Siong sambil tertawa pula. Meskipun sambil menggerutu, namun latihannya terus berjalan.

Namun pada saat lainnya, giliran Lu Siong yang jadi guru dan Oh Yun-kim yang jadi muridnya, ternyata latihan- latihan yang diberikan oleh Lu Siong juga sangat berat. Lu Siong berjulukan "Tinju Malaikat Seribu Kati" dan julukannya itu bukan julukan kosong belaka, namun benar-benar karena kehebatan tenaga pukulannya. Dasar ilmu silat yang dimiliki oleh Lu Siong sebenarnya adalah ilmu silat yang sangat umum terdapat di Kang-pak, yaitu ilmu silat yang disingkat dengan sebutan Tam-cap-hoa-hong, terdiri dari empat dasar pelajaran, yaitu Tam-cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-kun.

Begitu sederhananya ilmu silat ini, sehingga setiap bakul jamu di pinggir jalanpun sanggup memainkannya. Namun Lu Siong melatihnya dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, ia telah menolong seorang rahib tua dari kuil Jing-liong-si di Gunung Ngo-tay- san, maka sebagai balas budi, rahib tua itu mengajarkan suatu ilmu pengerahan tenaga yang disebut Tit-siang-kin (Tenaga Melempar Gajah). Dengan landasan Tit-siang-kin inilah maka ilmu pukulan Lu Siong yang sangat sederhana itu telah mencapai taraf yang dapat membahayakan lawannya.

Dalam pengalaman pengembaraannya di dunia persilatan tidak jarang Lu Siong dengan "silat bakul jamu"nya itu berhasil mengalahkan murid-murid pandai dari perguruan-perguruan ternama yang merasa memiliki ilmu tingkat tinggi. Dan akhirnya orangpun mengakui kelebihan Lu Siong si orang kasar ini, julukannya sebagai Jian-kin-sin-kun juga mulai terkenal.

"Aku berhasil membuktikan, bahwa ilmu yang sangat sederhanapun jika dilatih dengan sungguh-sungguh akan tidak kalah gunanya dengan ilmu-ilmu silat yang diberi nama seram-seram ataupun indah-indah," kata Lu Siong kepada Oh Yun-kim dengan nada bangga. "Meskipun demikian, aku mengakui pula bahwa perkembangan ilmu silat kasar semacam kepunyaanku ini, suatu ketika akan terhenti perkembangannya sama sekali. Namun kita tetap dapat menambah-nambahnya lagi, sesuai dengan pengalaman kita dalam menghadapi lawan yang beraneka ragam, sesuai dengan apa yang kita lihat dan kita pikir. Aku tidak pernah putus-asa tentang hai ini."

Kagum juga Oh Yun-kim melihat sahabatnya bersemangat begitu tinggi. Semangat tinggi itulah modal yang paling berharga bagi seorang ahli silat, bukan nama besar perguruannya atau nama besar gurunya. Hanya bermodalkan “silat bakul jamu"nya, Lu Siong berhasil menjadi seorang yang sangat disegani di seluruh wilayah Siam-say dan An-hui. Pada hakekatnya, dia lebih dapat dibanggakan daripada murid-murid perguruan terkenal yang hanya pandai jual lagak dan menggunakan nama perguruannya untuk menggertak orang.

Latihan yang dijalani oleh Oh Yun-kim untuk memahami dasar Tam-cap-hoa-hong itupun sangat berat, meskipun wujud latihannya sangat sederhana. Ia harus telungkup sejajar tanah, lalu dengan satu tangan secara berganti- ganti dia harus mengangkat badannya sendiri naik turun sampai ratusan kali. Lalu disusul melakukan gerak pukulan dasar tapi lamban, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya serta pernapasan yang teratur, sehingga muka Oh Yun-kim sampai merah padam dan otot-otot pelipisnya menyembul di permukaan kulit. Inipun dilakukan sampai puluhan kali.

Ketika Oh Yun-kim mengakhiri latihannya, maka si orang Korea itu telah merasakan seluruh pundak, punggung dan pinggangnya pegal bukan main, sedang kedua tangannya telah gemetar dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan sama sekali. Sambil berjalan pulang menuju cong-toh, la menggerutu, "Benar-benar gila, tanganku hampir tidak dapat bergerak."

Lu Siong tertawa, "Itu sebagal imbalan atas penyiksaanmu kepadaku kemarin sore."

"Oh, jadi kau tidak bersungguh-sungguh mengajarkan Tam-cap-hoa-hong kepadaku, tapi hanya membalas dendam?” tanya Oh Yun-kim dengan pura-pura bersungut-sungut.

Demikianlah kedua sahabat itu bersenda-gurau sehabis latihan. Bukan hanya Lu Siong dan Oh Yun-kim saja yang berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya, tapi juga semua Tong-cu dan Hu-tong-cu telah berlatih keras dengan caranya sendiri-sendiri. Auyang Siau-pa yang pendiam itu kini telah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu golok bulan sabitnya.

Setiap siang hari sehingga sore, dia melatih sabetan-sabetan goloknya dengan berendam di dalam air setinggi leher. Melakukan bacokan di dalam air tentu saja terasa berat, namun Auyang Siau-pa telah berhasil melakukannya dengan mantap.

Maka ketika ia melakukannya di darat, kepesatan sambaran goloknya berkali lipat dari ketika masih dalam air. Kini, jika ia menggerakkan goloknya maka yang tampak hanyalah segumpal sinar-sinar putih yang melebar kian kemari. Ilmu golok Auyang Siau-pa inipun sebenarnya ilmu golok yang sederhana, seperti juga ilmu pukulan Lu Siong, namun dengan tingkat kecepatan seperti yang dimiliki Auyang Siau-Pa saat itu.

Maka orang yang berani memandangnya rendah sama dengan bunuh diri. Ia sudah mencapai taraf "kemana perginya pikirannya, goloknya mengikutinya". Dalam percobaan terakhirnya, Auyang Siau-pa mampu meruntuhkan sekaligus duabelas ekor lalat yang sedang terbang hanya dengan beberapa kali sabetan yang kilat!

Di bagian lain dari puncak Tiau-im-hong yang luas sekali itu, tiap hari terdengar bentakan-bentakan keras mengguntur dan suara gemuruhnya pohon-pohon yang sedang tumbang. Ternyata tempat itu adalah tempat yang dipilih oleh Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat untuk menggembleng dirinya.

Ia merasa bahwa jabatan barunya sebagai Ang-ki-tong-cu itu tentu memerlukan kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya dulu, maka tanpa kenal lelah dia terus berlatih dengan sepasang kampak bertangkai pendeknya. Sesuai dengan julukannya, dapat ditebak bahwa Ji Tiat adalah seorang ahli silat penganut aliran "keras" (gwe-kang), meskipun bentuk tubuhnya tidak tinggi besar.

Dengan latihannya, kini dia mampu menumbangkan pohon sebesar paha orang hanya dengan sekali bacok. Sedangkan dengan sebuah gerakan berantai dia mampu melancarkan tujuh atau delapan bacokan tanpa berhenti, dengan tenaga yang sama kuatnya pada setiap bacokannya. Jika hal itu diterapkan kepada lawannya, maka sama artinya bahwa sang lawan dipaksa untuk menangkis tujuh atau delapan kali serangan yang berkekuatan dahsyat itu!

Karena begitu keras latihannya, maka dalam tempo belasan hari saja Ji Tiat sudah mengganti senjatanya sampai dua kali! Karena segan kalau harus berkali-kali turun gunung untuk memesan kampak baru kepada tukang besi, maka akhirnya Ji Tiat memesan sepuluh pasang kampak pendek sekaligus.

Tong-cu baru lainnya, Ya hui-miao Kwa Tin-siong yang unggul dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) juga telah mematangkan ilmu andalannya. Dia selalu berlatih lari mengitari kaki bukit Tiau-lm-hong sampai tiga putaran setiap harinya, dan itu hanya membutuhkan waktu satu sulutan hio (dupa biting), meskipun punggung dan betis Kwa Tin-siong dibebani dengan kantong-kantong pasir. Sedang ilmu silat andalannya yang lain adalah silat gubahannya sendiri yang diberinya nama Ya-miao-sip-pat-sik (Delapan belas Jurus Kucing Liar).

Ilmu silat ini digubah setelah ia mengamat-amati gerak-gerik kucing hutan sekian lamanya, maka jurus-jurusnya merupakan gabungan dari kecepatan dan gerakan aneh tak terduga, dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan sepasang belati pendeknya. Jika dimainkan dengan tangan kosong, maka gerakannya lebih mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya untuk menampar dan mencakar seperti kucing, sedang tubuhnyapun bisa melejit dan melengkung seenaknya seperti kucing asli.

Sedangkan jika ilmu itu dimainkan dengan sepasang pisau belatinya, maka merupakan jurus-jurus silat untuk bertempur jarak sedang yang ampuh, sementara gerakan kakinya yang lincah terus berusaha "menempel" langkah lawannya, sehingga lawan yang bersenjata lebih panjang pun tidak akan dapat memanfaatkan kelebihan senjatanya.

Begitulah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terus berlatih meningkatkan ilmunya masing-masing. Namun mereka tidak hanya berlatih sendiri-sendiri, melainkan sering pula berlatih bersama-sama dengan bertukar-tukar lawan. Selain untuk menguji kemampuan mereka, juga menjadi "tontonan" anak buah mereka dan dapat membangkitkan semangat para anak buah.

"Kemajuan pesat yang telah kalian capai membuat aku jadi semakin tua," demikian kata Ling Thian-ki pada suatu hari, ketika menyaksikan para Tong-cu itu berlatih bersama. Tokoh yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) itu diam-diam menilai bahwa kemajuan para Tong-cu itu cukup pesat, taraf kepandaian mereka sudah hampir mendekati taraf Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio.

Pada suatu malam, tiba-tiba dari arah kaki bukit Tiau-im-hong terdengar suara derap kaki kuda yang menuju ke arah cong-toh. Muncullah tiga orang penunggang kuda yang ternyata adalah Hong-goan Hweshio, Hong-lui-siang- to In Yong serta Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng, tiga orang yang ditugaskan untuk berunding dengan kaum pendekar itu. Wajah mereka nampak berkilat-kilat oleh keringat dan debu, begitu pula pakaian mereka yang berlapis debu, namun airmuka mereka justru nampak cerah.

Kedatangan kembali ketiga utusan Hwe-liong-pang itu segera menimbulkan harapan bagi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh lainnya. Baru saja Hong-goan Hweshio hendak membuka mulut, Wi-siang telah lebih dulu berkata, "Menilik wajah kalian bertiga yang cukup cerah tentunya kalian membawa berita baik. Namun baiklah, kuberi kalian kesempatan untuk mandi dan makan dulu, sementara aku akan mengumpulkan semua Tong-cu dan Hu-tong-cu serta Ling Su-cia untuk bersama-sama mendengarkan laporan kalian."

"Memang cukup menggembirakan Pang-cu," sahut Hong-goan Hweshio.

Sementara itu, dalam waktu singkat delapan orang Tong-cu, Hu-tong-cu dan tokoh-tokoh lainnya telah berkumpul di sebuah ruangan samping. Mulailah Hong-goan Hweshio menuturkan hasil penugasannya,

"Usahaku untuk menemui Hong-tay Suheng sebagai pimpinan kaum pendekar, ternyata berlangsung tanpa menemui banyak kesulitan. Aku bicara secara panjang lebar kepadanya sehingga hampir mengeringkan ludahku, dan akhirnya aku berhasil meyakinkan bekas kakak seperguruanku itu bahwa yang telah menyerbu Siong-san dan menimbulkan banyak korban jiwa itu bukanlah kita, melainkan Ji-liong-pang-cu yang beserta pengikut-pengikutnya telah membelot dari perjuangan Hwe-liong-pang yang murni. Untung pula bahwa In Tong-cu punya hubungan baik dengan Ketua Jing-sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, sehingga semakin melancarkan usaha perdamaianku. Akhirnya Hong-tay Suheng malahan mengajak Hwe-liong-pang kita untuk bersatu-padu menumpas Te-liong Hiang-cu dan segenap kaki tangannya yang telah dianggap musuh bersama itu."

Ucapan yang terakhir ini segera disambut dengan tepuk tangan dan seruan-seruan bersemangat dari para Tong-cu dan Hu-tong-cu yang ada di ruangan itu. Dengan ajakan Hong-tay Hweshio itu, berarti secara tidak langsung Hong- tay Hweshio telah mengakui kehadiran Hwe-liong-pang dan bahkan menganggapnya kawan seperjuangan. Ucapan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh berpengaruh semacam Hong-tay Hweshio tentu saja sangat lain bobotnya jika diucapkan seorang lain yang tidak ternama.

Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pinpun segera saling bertukar pandangan dengan wajah berseri gembira. Tengah para pimpinan Hwe-liong-pang itu bergembira, tiba-tiba terdengar suara genteng yang terinjak patah, disusul dengan seruan salah seorang anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga di atas genteng,

“Siapa itu?! Berhenti, he, aduh....!"

Hek-ki-tong-cu Kwa Teng-siong yang kebetulan menoleh ke arah jendela, segera dapat melihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagaikan burung terbang gesitnya. Teriaknya, "Pang-cu ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!"

Seruan Kwa Teng-siong itu membuat suasana gembira itu jadi suatu kegemparan. Bahkan Kwa Teng-siong tidak pikir panjang lagi langsung menyusul melompat keluar jendela. Di antara delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, memang dialah yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling lihai, gerakannyapun gesit mirip seekor kucing.

Tong Wi-siang pun telah menurunkan perintahnya, "Tutup semua jalan keluar, kalian berpencar untuk memeriksa semua tempat!"

Pertemuan yang baru diwarnai kegembiraan Itu segera bubar. Untunglah bahwa para tokoh Hwe-liong-pang itu merupakan orang-orang yang terlatih baik dan berpengalaman, maka mereka tidak menjadi kebingungan, namun cepat berpencaran. Dalam sekejap mata, tidak ada tanah sejengkal pun di cong-toh itu yang lepas dari pengamatan mereka.

Sementara Itu, begitu Kwa Teng-siong melompat keluar, matanya yang tajam itu masih sempat melihat sesosok tubuh berkelebat ke atas genteng. Bayangan itu memakai pakaian berwarna gelap, di belakang punggungnya memakai selembar mantel yang dibentuk seporti sayap kelelawar, sehingga ketika orang itu melompat maka berkembanglah mantelnya seperti seekor kelelawar raksasa dl tengah kegelapan malam.

Tanpa pikir panjang lagi, Kwa Teng-siong segera memburu. Sementara rekan-rekannya dari dalam ruangan telah berserabutan keluar, si "kelelawar" itu sudah melesat menuju ke arah kaki bukit, dibayangi oleh Kwa Teng-siong yang memburu dengan tidak cepatnya.

Dalam sekejap mata saja, kedua orang yang saling berkejaran itu telah melesat sampai belasan tombak jauhnya. Diam-diam Kwa Teng-siong terperanjat juga ketika melihat kelihaian gin-kang dari orang buruannya itu, sebab dengan gin-kang Kwa Teng-siong yang telah maju pesat itu ternyata ia tidak berhasil memperpendek jarak dengan buruannya.

Namun Kwa Teng-siong tidak tahu bahwa orang buruannya itupun merasa terkejut bukan main. Dia bukan lain adalah Sip-hiat-hok-mo (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, pengikut Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau yang berkedudukan sebagai Pimpinan Kelompok Bendera Kuning itu. Liong Pek adalah penganut sejenis ilmu sesat yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memperpanjang Umur Dalam Peti Mati) yang dapat menambah kekuatannya.

Selain ltu, julukannya sebagai "kelelawar iblis" menandakan bahwa dia mahir dalam ilmu meringankan tubuh. Tapi kini dia bertemu dengan tandingannya dalam hal gin-kang sebab betapapun dia telah mengerahkan tenaganya, Kwa Teng-siong tetap saja membuntutinya beberapa langkah di belakangnya.

Akhirnya Liong Pek-ji menjadi gemas. Ketika tiba di tempat yang sepi, tiba-tiba Liong Pek-ji menghentikan langkahnya secara mendadak lalu menghantam ke belakang dengan secepat kilat. Dengan serangan mendadaknya ini dia berharap akan bisa merobohkan orang yang mengejarnya itu.

Tetapi sekali lagi Liong Pek-Ji harus dikejutkan oleh ketangkasan pengejarnya itu. Kwa Teng-siong ternyata berhasil menghindari hantaman itu dengan gaya Ya- miao-hoan-sin (Kucing Liar Menggeliat). Ia berhasil menghentikan langkahnya secara mendadak dan menggerakkan pinggangnya yang amat lemas itu untuk melenting ke samping dengan tangkasnya. Gerakan pinggang secepat dan selemas itu sesungguhnya di kalangan persilatan di Tiong-goan tidak banyak orang yang sanggup melakukannya.

Setelah melihat gerakan lawannya itu, Liong Pek-ji segera menggeram sengit, “Bagus sekali, kiranya kau si kucing buduk she Kwa itu. Pantas kau berhasil mengikutiku sekian lamanya."

Sebaliknya Kwa Teng-siong pun langsung dapat mengenal siapa lawannya itu, "Dan kiranya kau si kelelawar cengeng yang bertahun-tahun bersembunyi dalam peti mati itu. Kita sesama binatang malam, kurang meriahlah rasanya jika pertemuan kita ini tidak diramaikan dengan saling gebrak puluhan jurus untuk melemaskan otot."

Liong Pek-Ji menyeringai seram di bawah cahaya bintang yang terang temaram di langit, nampaklah sepasang taringnya yang berkilat-kilat di kedua sudut bibirnya. Matanya yang liar dan kemerah-merahan itupun mulai memancarkan cahaya yang liar pula, sementara geramnya bagaikan suara hantu dari lubang kubur,

"Bagus, kuladeni tantanganmu, ingin kulihat sampai dimana kemajuan pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih tidak mau menyerah ini. Jika kau mampus ditanganku, kau jangan menyesal, kucing gila.”

Dalam kejar mengejar yang merupakan adu gin-kang antara kedua orang tadi, tak terasa kedua orang itu sudah jauh meninggalkan markas Hwe-liong-pang di puncak Tiau-im-hong, kini mereka sudah berada di kaki puncak, sebuah tempat yang sepi dan cocok untuk bertempur tanpa ada yang mengganggu. Itulah sebabnva Liong Pek-ji dengan beraninya telah berhenti dan bahkan menantang Kwa Teng-siong.

Apalagi karena si kelelawar hantu itu diam-diam punya perhitungan lain yang cukup licik, yaitu dia menantikan kedatangan teman-temannya di tempat itu, dan nanti akan diajaknya untuk mengeroyok Kwa Teng- siong. Rupanya ia tidak datang menyelidiki markas Hwe- liong-pang itu seorang diri.

Kwa Teng-siong sendiri juga adalah seorang lelaki berdarah panas, biarpun penampilannya tidak seseram Liong Pek-ji, namun keganasannya dalam bertempur agaknya tidak diragukan lagi. Baru saja Liong Pek-ji menutup mulutnya, Kwa Teng-siong telah langsung menyerang dengan sebuah cakaran kilat ke leher lawannya, dan sama cepatnya ia susulkan pula sebuah tendangan ke selangkangan lawan. Sementara menyerang itu ia mengeluarkan pekikan kemarahan, suaranya persis seperti seekor kucing hutan yang sedang berlaga.

Tidak kalah cepatnya Liong Pek-ji menangkis serangan ke arah lehernya itu sambil melejit ke samping untuk menangkis tendangan lawan, kemudian dengan garangnya membalas dengan terkaman ke wajah lawannya. Demikianlah, dalam sekejap saja kedua "binatang malam" itu telah terlibat dalam pertarungan yang seru.

Setelah keduanya bertarung beberapa puluh jurus, ternyatalah kedua pihak mempunyai gaya bertempur yang mirip satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpukkan serangan mereka pada gaya yang cepat, ganas dan aneh, dan keduanya pun sama-sama tidak menghindari pertempuran jarak dekat, maka bayangan tubuh kedua orang itu bagaikan lenyap dan bergulung menjadi satu, diselingi serangan maut dari kedua pihak yang mengincar nyawa musuh.

Namun lama-kelamaan Kwa Teng-siong mulai terganggu oleh hawa busuk yang terpancar dari napas lawannya, bau busuk yang mirip dengan bau binatang pemakan daging. Agaknya bau itupun merupakan salah satu "senjata" Liong Pek-ji, akibat dari kegemarannya menghisap darah manusia hidup itu. Namun demikian, bau busuk itu tidak menjamin kemenangan Liong Pek-ji, sebab ilmu silat Kwa Teng-siong lebih unggul daripadanya, sehingga dalam kemarahannya justru Kwa Teng-siong telah mengerahkan seluruh kekuatannya dan mulai berhasil mendesak Liong Pek-ji selangkah demi selangkah.

"Heh-heh-heh, nama besar Kelelawar Iblis Penghisap Darah yang digembar-gemborkan itu ternyata hanya nama kosong belaka, tidak ada isinya apa-apa," ejek Kwa Teng-siong sambil terus mendesak.

Serangan orang she Kwa itu tidak dikendorkan sedikitpun, sebab ia bermaksud untuk melumpuhkan dan menangkap hidup-hidup salah satu pengikut Te-liong Hiang-cu ini untuk diperas keterangannya. Maka terkaman, tamparan serta tendangan Kwa Teng-siong terus deras membanjir, bagaikan gelombang samudera tak henti-hentinya memecah pantai, membuat Liong Pek-ji semakin keripuhan.

Di saat keadaan Liong Pek-ji sudah ibarat telur di ujung tanduk itu, mendadak dari arah bukit terdengar suitan keras dan nampaklah dua sosok bayangan telah meluncur mendekati tempat pertempuran itu. Dalam keremangan malam, tidak dapat dilihat dengan jelas siapakah yang tengah meluncur datang itu, namun salah seorang dari pendatang itu telah memperdengarkan suaranya yang keras dan kasar, "Apakah yang sedang bertempur itu Ui-ki- tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Kuning)?”

Kwa Teng-siong mengira bahwa yang datang itu tentu rekan-rekannya yang mengejar dari markas besar, meskipun ada pula setitik keheranan kenapa rekan- rekannya itu datang dari kaki puncak dan bukannya dari atas? Namun Kwa Teng-siong menyahut juga, sambil tetap bertempur, "Aku bukan Ui-ki-tong-cu, tetapi Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hitam)! Siapakah di situ?"

Sementara itu, di bawah desakan lawannya, Liong Pek-ji ternyata menjawab juga, "He, kawan, aku Liong Pek-ji. Saudara Seng dan saudara Ho, tolong kalian bantu aku melepaskan diri dari libatan begundal Tong Wi-siang ini!"

Kini jelaslah bagi Kwa Teng-siong bahwa kedua bayangan yang sedang meluncur datang itu ternyata adalah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, orang yang telah melepaskan diri dari Hwe-liong-pang dan mendirikan kepemimpinan tandingan itu. Seperti telah diketahui, dalam Hwe-liong-pangnya Te-liong Hiang-cu itu kedudukan Liong Pek ji adalah sebagai Pemimpin Kelompok Bendera Kuning.

Sedangkan kedua orang yang baru datang dari kaki bukit itu bukan lain adalah rekan-rekan Liong Pek-Ji, sesama pengikut Te-liong Hiang cu, yaitu masing-masing adalah Pemimpin Bendera Biru Seng Cu-bok yang berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api), serta Ho Tin-siong, itu murid murtad dari Go-bi-pay.

Kwa Teng-siong segera mulai melihat kesulitan yang membayang di depan matanya. Jelaslah bahwa kepandaiannya sendiri masih belum cukup jika harus meladeni tiga orang lawan tangguh secara bersamaan. Bukannya ia takut mati, tapi ia enggan terjebak dalam kepungan musuh dan mati secara konyol. Karena itu ia cepat-cepat melompat mundur, melepaskan diri dari lingkaran pertempuran, lalu dengan memasukkan jari-jari tangannya ke mulutnya, iapun membunyikan sebuah siulan nyaring yang menggetarkan udara malam di lereng Tiau-im-hong itu.

Si Kelelawar Iblis yang masih merasa penasaran karena baru saja didesak oleh Kwa Teng-siong itu, rupanya masih merasa penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang memalukan itu. Karena itu, ketika mendengar suitan Kwa Teng-siong itu, dia pun berteriak kepada kedua orang kawannya, “Monyet busuk ini memanggil kawan-kawannya datang.”

Ketika Te-liong Hiang-cu membentuk Hwe-liong-pang tandingan setelah berhasil membokong Tong Wi-siang, dia memang memperkuat dirinya dengan jalan menarik ahliahli silat sebanyak mungkin ke dalam barisannya, di antaranya tidak sedikit yang merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang sama sekali tidak mempedulikan tata-krama dalam pertandingan antara dua pesilat, main keroyokan kalau perlu mereka lakukan demi mencapai kemenangan.

Seruan Liong Pek-ji untuk bersama-sama mengeroyok Kwa Teng-siong itu seketika mereka sambut dengan gembira dan penuh gairah. Seng Cu-bok telah menghunus goloknya dan langsung menerjang lawannya dengan jurus Long-ki-thian-ge (Ombak Mendampar Cakrawala) yang berturut-turut membacok ke leher, dada dan pinggang secara beruntun. Begitu Kwa Teng-siong berhasil mengelakkannya ke samping, Ho Tin-siong si murid murtad Go-bi-pay telah menyambutnya dengan tusukan pedangnya yang mematikan.

Dalam pada itu Liong Pek-ji pun tanpa malu-malu lagi telah mengeluarkan senjatanya berupa sepasang besi runcing sependek dua jengkal yang digenggam di kedua tangannya, dan dengan senjatanya yang aneh itulah dia langsung menerjunkan dirinya ke gelanggang pertempuran dan mengerubuti Kwa Teng-siong. Dalam beberapa bulan ini Si Kucing Terbang Malam telah berlatih keras, ilmu silatnyapun mengalami kemajuan yang cukup berarti, namun sekarang ia harus menghadapi tiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu yang tangguh itu, mau tidak mau Kwa Teng-siong terdesak juga.

Meskipun kemudian diapun sempat menghunus sepasang pedang pendeknya, namun sepasang senjatanya itu hanya dapat membantunya untuk memperbaiki pertahanannya dan tidak memberinya kesempatan untuk balas menyerang. Beberapa kali dia dipaksa untuk bergulingan di tanah atau berlompatan dengan gugupnya karena gencarnya serangan beruntun dari ketiga lawan yang mengeroyoknya.

Tapi rupanya suitan minta tolong yang dibunyikan oleh Kwa Teng-siong tadi tidaklah sia-sia. Orang-orang Hwe-liong-pang anak buah Tong Wi-siang memang banyak berkeliaran di sekitar markas, di lereng-lereng Tiau-im-hong, maka suitan Kwa Teng-siong itu dapat didengar jelas oleh orang-orarg itu. Cu Keng-wan, wakil Kepala Bendera Hitam itulah yang lebih dulu melompat ke arah suara suitan itu, sambil berseru,

"Itu adalah isyarat minta bantuan dari Kwa Teng-siong. Barangkali dia telah bertemu dengan musuh dan memerlukan pertolongan!"

Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa yang kebetulan juga sedang berada di tempat itu serempak menyambut ajakan Cu Keng-wan itu, "Hayo kita juga lihat ke sana!"

Kemudian ketiga orang itupun berlari-lari pesat menuju ke arah suara suitan Kwa Teng-siong tadi, kemudian ketika Ma Hiong serta Lu Siong juga tiba di tempat itu, mereka pun menyusul rekan-rekannya yang terdahulu. Cu Keng-wan yang berjulukan Thiat-ciang (Telapak Tangan Besi) itu memang memiliki ilmu pukulan yang hebat dan keras, namun dalam hal ilmu meringankan tubuh, dia justru ketinggalan heberapa tingkat dari Oh Yun-kim maupun Auyang Siau-pa.

Dalam waktu belasan detik saja dia sudah ketinggalan jauh dari kedua orang itu, yang melesat ke depan secepat anak panah lepas dari busurnya. Kedatangan Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa itu tepat waktu Kwa Teng-siong sudah hampir kehabisan cara membela dirinya. Tong-cu baru dari Kelompok Bendera Hitam itu sudah dalam keadaan hanya mampu menangkis, menghindar dan bergulungan di tanah saja.

Namun suatu saatpun ia terpojok ke jalan buntu, sebab ketika ia sedang bergulingan menghindar dari ayunan golok Seng Cu-bok yang bertubi-tubi itu, tahu-tahu punggung Kwa Teng-siong telah terganjal sebuah batu besar sehingga tidak dapat bergulingan lagi. Serempak ketiga orang lawannyapun menyeringai buas dan langsung mengayunkan senjatanya masing-masing untuk merencah pengikut setia Tong Wi-siong itu.

Detik Kwa Teng-siong hampir sampai ke ujung hidupnya itulah Auyang Siau-pa telah meluncur datang, langsung saja menghunus golok bulan sabitnya dan menggerakkan tiga kali untuk menghalau tiga macam senjata yang sedang mengancam rekannya itu. Ketiga lawannya hanya sempat melihat ada sambaran cahaya berwarna keperak-perakan yang berkelebat di depan mata mereka, dan tahu-tahu mereka merasakan tangan mereka bergetar dan senjata merekapun telah tertangkis semuanya sehingga meleset dari sasaran.

Begitu cepatnya gerakan Auyang Siau-pa, membuat ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu melongo dan agak gentar. Begitu Auyang Siau-pa mengenal siapakah lawan-lawannya, seketika amarahnya pun berkobar hebat, dengusnya dingin, “Bagus, pengkhianat-pengkhianat semacam kalian ini rupanya sudah bosan hidup dan datang ke Tiau-im-hong ini untuk mengantar nyawa!”

Si Kelelawar Hantu Liong Pek-ji adalah anggota baru Hwe-liong-pang, yang baru memasuki Hwe-liong-pang sebagai pengikut Te-liong Hiang-cu, setelah Tong Wi-siang dan pengikut-pengikut setianya tersingkir, dengan demikian Liong Pek-ji belum begitu mengenal siapa Auyang Siau-pa ini, meskipun ia mengenal nama besar mendiang kakak Auyang Siau-pa, yaitu Co-siang-hui-mo Auyang Siau-hui sebagai sesama tokoh golongan hitam.

Meskipun ia tadi cukup kaget melihat kecepatan sabetan golok Auyang Siau-pa, namun ia masih belum jera juga, dianggapnya gerakan Auyang Siau-pa itu cuma kebetulan belaka. Sambil mengeluarkan pekikan aneh dari mulutnya yang berbau busuk itu, dia menubruk ke arah Auyang Siau-pa, sepasang senjata anehnya pun berkelebatan demikian cepatnya sehingga tangannya seolah-olah telah berubah menjadi beberapa pasang dan bayangan senjatanya memenuhi sekitar tubuhnya.

Sebagai seorang tokoh golongan hitam yang cukup ditakuti di Wilayah Cu-lam, bahkan cerita tentang dirinya itu tidak ada bedanya dengan cerita tentang sesosok hantu pengisap darah yang paling menggentarkan, Liong Pek-ji sangat sombong dan sulit menerima kekalahannya begitu saja. Kekalahannya dari Kwa Teng-siong sebelum kedatangan kedua rekannya tadi, telah membuatnya merasa penasaran dan malu, maka kini ia bermaksud menebus kekalahannya dengan jalan merobohkan Auyang Siau-pa untuk mengembalikan pamor mukanya.

Tetapi kali inipun Liong Pek-ji benar-benar telah salah alamat karena memilih Auyang Siau-pa, sebab orang yang hendak dijadikannya tumbal memulihkan pamornya itupun ternyata bukan orang kebanyakan, biarpun tampangnya begitu sederhana dan tidak menyeramkan. Cepat sekali Jing-ki-tong-cu bawahan Tong Wi-siang itu telah bergerak mencabut goloknya untuk membarengi gerakan lawan, melancarkan sebuah sabetan yang sederhana pula.

Namun begitu cepatnya sehingga yang nampak hanyalah sebuah cahaya lebar berwarna perak, menyambar langsung ke pusat bayangan senjata Liong Pek-ji dan langsung membubarkan gerakan senjata lawan. Liong Pek-ji terkejut dan berlompatan mundur, namun Auyang Siau-pa terus mengejarnya sambil membulang-balingkan goloknya secepat kilat, tanpa gaya dan tanpa jurus, itulah permainan goloknya, melulu mengandalkan semangat, kekuatan dan kecepatan.

Setelah mendesak Liong Pek-ji beberapa langkah, cepat Auyang Siau-pa melompat mundur, dan saat itu ujud Liong Pek-ji sudah tidak karuan lagi. Rambutnya telah tarpapas sebagian, sementara itu pakaiannyapun robek-robek tidak keruan, termasuk "Sayap Kelelawar” kebanggaannya itu, sedangkan mukanya pucat karena kaget dan takutnya.

Hantu yang paling ditakuti di Ou-lam itu kini keadaannya benar-benar menggelikan, tampangnya bukan lagi tampang seseorang yang pantas ditakuti oleh lawan-lawannya, melainkan tampang seorang yang pantas dikasihani, hilang lenyap semua keangkerannya, meskipun sepasang taring masih bertengger di sudut-sudut mulutnya. Bacokan-bacokan Auyang Siau-pa yang sederhana tadi ternyata begitu menakutkan kecepatannya.

Sementara itu Auyang Siau-pa sendiri telah berdiri di tempatnya kembali dengan sikap acuh tak acuh, sambil memeluk goloknya yang sudah masuk ke sarungnya kembali. Mukanya tetap dingin tanpa perasaan, seakan- akan hal luar biasa yang baru saja dilakukannya itu bukanlah sesuatu yang patut dipuji.

Bahkan lawan-lawannya pun tidak melihat kapan ia menyarungkan goloknya, mereka hanya melihat cahaya golok lenyap dan tahu-tahu senjata itu sudah dalam sarungnya dan dipeluk di depan dada dengan tenangnya. Jelaslah bahwa Liong Pek-ji masih hidup bukan karena kepandaiannya yang tinggi namun karena Au-yang Siau-pa memang belum bermaksud membunuhnya.

Sementara itu Oh Yun-kim telah tertawa dan bertepuk tangan, sambil mengejek musuh-musuhnya, “Golok saudara Auyang benar-benar luar biasa cepatnya, siapa lagi yang ingin mencobanya?”

Tentu saja nyali Seng Cu-bok dan kawan-kawannya sudah menyusut banyak ketika melihat nasib mengenaskan yang dialami oleh Liong Pek-ji itu, bukan saja pamor mukanya gagal dipulihkan malahan semakin kehilangan muka. Pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu menyadari bahwa cukup Kwa Teng-siong dan Auyang Siau-pa saja sudah merupakan musuh-musuh tangguh yang sulit untuk dihadapi, apalagi merekapun kenal akan kelihaian Oh Yun-kim dengan tendangan kilatnya itu.

Tetapi untuk mundur begitu saja, tentu saja anak buah Te-liong Hiang-cu itu merasa kehilangan muka, maka Seng Cu-bok lalu bicara dengan sikap segagah mungkin, “Bagus, kalian ternyata mengandalkan mentang-mentang di kandang sendiri dan bersiap untuk mengeroyok kami. Tapi ingatlah, bahwa penghinaan kalian malam ini kelak akan kalian tebus, dengan harga mahal."

Lalu kepada rekan-rekannya Seng Cu-bok berkata, "Kita tidak punya lagi urusan di sini. Hayo kita pergi!"

Namun terlalu enak bagi Seng Cu-bok dan kawan-kawannya kalau bisa pergi begitu saja, karena Oh Yun-kim telah berkata, "Sehabis kalian berani mencuri dengar dan menyelidiki tempat kami ini, lalu kalian kira bisa pergi begitu saja? Mana ada urusan segampang ini? Kalian harus kami tangkap dan kami bawa ke markas untuk kami hadapkan kepada Pang-cu, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Bukan saja kesalahan mengintip pertemuan kami, tapi juga dosa besar kalian karena menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu.”

Memucatlah wajah ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu itu ketika mendengar ucapan Oh Yun-kim itu. Mereka sadar akan akibatnya apabila mereka benar-benar dibawa menghadap Tong Wi-siang, satu-satunya nasib yang bakalan mereka terima adalah dipaksa menelan Pil Penghancur Badan yang mengerikan itu. Namun untuk melarikan diri agaknya juga tidak mudah, sebab mereka sudah melihat kepandaian Kwa Teng-siong serta Auyang Siau-pa rata-rata di atas mereka semua.

Sedangkan Oh Yun-kim yang memang sangat benci kepada Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang dianggapnya telah menghancurkan cita-cita Hwe-liong-pang demi nafsu kekuasaan untuk diri pribadi itu, tentu saja tidak akan membiarkan ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu itu lepas begitu saja dari tangannya. Ia telah mendesak lagi kepada ketiga lawannya,

"Kalian tidak berhak menentang perintah Ketua sah Hwe-liong-pang yang menyuruh kami untuk menangkap kalian. Kalian jalan di depan. Cepat!"

Cacingpun kalau diinjak akan menggeliat. Maka Seng Cu-bok dan kawan-kawannya yang merasa terpojok itupun akhirnya merasa lebih baik melawan mati-matian, mereka terpojok sehingga menjadi beringas dan nekad. Seng Cu- bok menyahut mewakili rekan-rekannya, "Oh Yun-kim si Korea busuk, kalian terlalu mendesak kami! Kami akan mengadu jiwa denganmu!"

Kemudian secara kalap ia menerjang maju dengan Jurus Pat-hong-to-lian-hoan (Bacokan Beruntun Delapan Arah), cahaya goloknya pun berkelebatan hebat mengurung segenap tubuh Oh Yun-kim. Namun orang Korea itu memang sudah menduga bahwa ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu yang merasa terpojok itu tentu akan mengamuk, maka diam-diam ia sudah bersiap sedia dari tadi. Rupanya orang Korea itu sengaja memancing kemarahan mereka, agar dia sendiri pun punya kesempatan untuk menguji kepandaiannya setelah berlatih sekian bulan.

Begitu terjangan Seng Cu-bok tiba, lebih dulu Oh Yun-kim menghindar dengan gaya Leng-khong-po-hi (Melangkah Kosong di Tengah Udara), tubuhnya menjadi seringan kapas dan selalu "terbang" mendahului tajam golok lawannya, seakan-akan kesiuran angin golok lawan sudah cukup untuk meniup tubuhnya. Dengan cepat ke delapan bacokan beruntun Seng Cu-bok itu sudah habis tanpa seujung rambutpun berhasil mengenai sasarannya.

Dan ketika Seng Cu-bok sedang mengganti napas, bermaksud melanjutkan serangannya dengan jurus lain, Oh Yun-kim telah membentak, "Sekarang giliranku!"

Terlihat kaki orang Korea jago tendangan itu telah berkelebat bagaikan kilat menendang kepala Seng Cu-bok. Seng Cu-bok menghindarinya dengan jalan menundukkan kepalanya, namun tiba-tiba ia merasa angin gunung yang dingin telah menghembus kepalanya. Ketika ia melompat mundur dan memandang ke depan, nampaklah Oh Yun-kim masih berdiri di atas satu kaki dan masih dalam gaya menendang setinggi kepala.

Namun di ujung kakinya yang terangkat itu berkibarlah secarik kain yang bukan lain daripada ikat kepala Seng Cu-bok sendiri yang rupanya telah "disambarnya" dengan kakinya. Oh Yun-kim tersenyum-senyum mengejek melihat kekagetan lawannya, sementara kain ikat kepala itupun bergoyang- goyang seakan melambai-lambai kepada pemiliknya yang masih terlongong.

"Mampus kau Korea bangsat!" teriak Seng Cu-bok mata gelap. Sambil menggulingkan badannya dia mengayunkan goloknya untuk membabat kaki Oh Yun-kim yang menapak tanah. Tapi Oh Yun-kim lincah sekali berlompatan dengan satu kaki, sementara kaki lain tetap terangkat lurus dengan ikat kepala Seng Cu-bok tetap bergoyang gontai di ujungnya tanpa jatuh.

Begitu Seng Cu-bok meloncat berdiri, tiba-tiba Oh Yun-kim menggerakkan kakinya dan ikat kepala itu secara tepat hingga kembali ke kepala Seng Cu-bok. Mata Seng Cu-bok bagaikan menyala karena marah dan malunya akan penghinaan hebat itu, namun kemudian mata yang berapi-api itu jadi redup dan lesu, karena kenyataan di depan hidungnya telah membuktikan bahwa dia dan rekan-rekannya tidak akan mampu membalas penghinaan itu, karena para pengikut Tong Wi-siang itu benar-benar terlalu tangguh buat mereka bertiga.

Namun apakah mereka juga akan menurut begitu saja untuk diikat tangannya, digiring ke markas dan kemudian diharuskan menelan sebutir Pil Penghancur Badan? Dalam keadaan putus-asa dan patah semangat itu, tiba-tiba Seng Cu-bok telah menggerakkan goloknya secepat kilat, bukan ke arah musuh, melainkan ke arah tenggorokannya sendiri!

Namun sebelum mata golok itu memutuskan lehernya, mendadak melesatlah sebutir batu yang langsung menghantam batang golok itu sehingga lepas dani tangan Seng Cu-bok. Disusul dengan berkumandangnya suara bentakan bengis, "Manusia tak berguna! Hanya menemui kesulitan kecil saja terus hendak membunuh diri?"

Lalu dalam gelapnya malam nampak sesosok bayangan merah kehitam-hitaman yang berkelebat datang, dan tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki kurus berusia setengah umur, bermuka pucat, dan rambutnya yang terurai tidak digelung itu berwarna kemerah-merahan. Ia memakai mantel yang juga berwarna kemerah-merahan, sedang tangan kanannya menjinjing sebatang tongkat besi yang ujungnya berbentuk kepala ular malahan batang tongkatpun dihias dengan ukiran sisik-sisik ular pula.

Pendatang baru itu bukan lain adalah datuk sesat dari wilayah timur, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) dari Gunung Thay-san, salah seorang pengikut dan pembantu kepercayaan Te-liong Hiang-cu yang amat tangguh. Bahkan setelah tewasnya Sebun Say di Siong-san, boleh dikatakan Ang-mo-coa-ong adalah satu-satunya pendukung andalan Te-liong Hiang-cu yang masih setia.

Tentu saja Oh Yun-kim, Auyang Siau-pa serta Kwa Teng-siong sebagal anggota-anggota lama Hwe-liong-pang juga mengenal sampai di mana kelihaian tokoh yang pernah menjadi salah satu dari empat utusan Hwe-liong-pang itu. Kemunculan Tang Klau-po telah menimbulkan kecemasan Oh Yun-kim bertiga, bukan kecemasan tentang keselamatan diri sendiri, namun kecemasan bahwa jangan-jangan seluruh Tiau-im-hong telah dipenuhi oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya? Padahal Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang saat itu masih dalam usaha memperkuat diri dan belum siap untuk bertempur.

Sementara itu Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah memandang Oh Yun-kim bertiga dengan sikap mencemoohkan dan memandang rendah, lalu desisnya yang mirip desis ular itu, "Hemm, nampaknya kalian mengalami kemajuan yang agak berarti dalam ilmu silat kalian. Namun bagiku, kalian tetap merupakan tikus- tikus yang tidak berarti. Jika kalian bermimpi bahwa dengan ilmu silat kalian hendak mendukung bangkitnya kembali Tong Wi-siang untuk bersaing dengan Te-liong Hiang-cu kami, hemm, kalian agaknya sedang bermimpi di siang hari bolong."

Auyang Siau-pa yang biasanya pendiam itulah yang telah menyahut dengan tajamnya, "Kau tidak menakutkan kami, bahkan hanya membuat kami merasa muak saja, karena kalian secara tidak tahu malu telah bersekutu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng si Kaisar busuk itu!"

Menurut adatnya yang congkak itu, ingin rasanya Ang-mo- coa-ong memuntir kepala Auyang Siau-pa sehingga lepas dari lehernya, karena ucapannya yang dianggap sangat kurang ajar itu, padahal dulu Auyang Siau-pa dan mendiang kakak sepupunya selalu bersikap hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan memanggilnya "su-cia" atau "sin-seng". Tetapi Ang-mo-coa-ong kali ini harus menahan amarahnya, sebab ia tahu bahwa waktu dan tempat tidak mengijinkannya untuk mengumbar perasaan semau-maunya, karena tempat itu tidak terlalu jauh dari markas.

Jika sampai Hwe-liong Pang-cu atau tokoh-tokoh lainnya juga datang ke tempat itu, maka Ang-mo-coa-ong sadar bahwa untuk kaburpun sudah tidak mungkin bisa lagi. Terpaksa dengan menelan semua kedongkolannya, Ang-mo-coa-ong mengajak ketiga orang anak buahnya pergi dari situ. Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dalam beberapa kejap saja mereka telah menghilang di kaki bukit.

Oh Yun-kim dan rekan-rekannya pun tidak mengejar, sebab mereka sadar bahwa kekuatan mereka bertiga tidak akan mampu menangkap mereka, anak buah Te-liong Hiang-cu itu, karena adanya Ang-mo-coa-ong di tengah mereka. Dalam hati masing-masing, Oh Yun-kim dan kawan-kawannya menyesali kesempatan untuk menangkap pengikut-pengikut sl pengkhianat Te- liong Hiang-cu itu.

Auyang Slau-pa memandang kepergian Ang-mo-coa-ong itu dengan sinar mata yang memancarkan dendam kesumat, tak terkira dalamnya. Teringatlah dia akan suasana lembah Jian-hoa-kok, detik-detik menjelang kematian kakak misannya itu, saat diadakan pembersihan besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang dari unsur- unsur yang mengotorinya. Meskipun dalam kenyataannya sang kakak misan itu mati karena menggorok lehernya sendiri.

Namun dapat dikatakan bahwa yang mendorong kakaknya berbuat demikian itu adalah karena ulah Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, termasuk Ang-mo-coa-ong. Komplotan yang nembujuk kakak misannya untuk ikut berkhianat kepada Ketua yang sah, namun ketika komplotan itu hampir terbongkar, mereka mencuci tangan begitu saja dan membiarkan kakak misannya diadili tanpa perlindungan sedikitpun di hadapan Hwe-liong Pang-cu. Kakaknya yang merasa putus-asa karena merasa ditinggalkan begitu saja oleh komplotannya itu kemudian membunuh diri.

Namun Auyang Siau-pa tidak merasa dendam kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, karena sudah sewajarnya jika seorang pemimpin menghukum anak buahnya yang menyeleweng dari garis yang telah ditentukannya. Yang didendam oleh Auyang Siau-pa justru Te-liong Hiang-cu dan komplotannya yang telah membujuk kakak misannya namun kemudian melepaskannya sendiri secara pengecut. Sebaliknya Auyang Siau-pa malahan merasa berhutang budi kepada Tong Wi-siang karena waktu itu tidak menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Dalam pada waktu itu, berturut-turut Cu Keng-wan, Ma Hiong dan juga Lu Siong telah tiba di tempat itu karena mendengar suitan Kwa Teng-siong tadi. Mereka lalu berebutan bertanya apa yang telah terjadi di situ, dan Kwa Teng-siong lalu menceritakan segala sesuatunya secara ringkas.

“Gila! Kalau begitu kawanan pengkhianat itu masih berani juga berkeliaran di tempat ini?!" seru Lu Siong dengan terkejut dan marah setelah mendengar penuturan Kwa Teng-siong itu. "Ini kenyataan, harus secepatnya kita laporkan kepada Pang-cu agar bisa diambil persiapan seperlunya."

Keenam orang itupun segera kembali ke markas dengan setengah lari, dan mereka menjumpai suasana markas masih terasa tegang, penjagaan ketat nampak hampir di semua bagian. Keenam orang itu langsung menemui Tong Wi-siang untuk melaporkan segala sesuatunya.

Setelah mendengar laporan tersebut, Wi-siang serta Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin lalu mengadakan pemeriksaan sendiri di sekitar puncak Tiau-im-hong sampai hampir fajar, namun batang hidung Ang-mo-coa-ong dan kawan-kawannya sudah tidak terlihat lagi, agaknya mereka telah buru-buru meningggalkan puncak itu sebelum kepergok musuh yang lebih keras lagi.

Sementara itu, Ang-mo-coa-ong, Seng Cu-bok dan lain-lainnya ternyata tidak terlalu jauh larinya. Di sebuah hutan kecil yang tidak jauh letaknya dari Tiau-im-hong, mereka berhenti berlari, sebab di tempat itu telah menunggu sekelompok orang yang merupakan komplotan mereka, bahkan Te-liong Hiang-cu juga nampak berada di tempat itu.

Lebih dulu mereka memberi salam, setelah itu barulah Ang-mo-coa-ong berkata, "Yang berhasil mendekati markas dan bahkan mencuri dengar sebagian pembicaraan mereka, adalah Liong Tong-cu, meskipun kemudian Liong Tong-cu harus lari karena jejaknya diketahui oleh mereka, namun agaknya bagian pembicaraan mereka yang terpenting sudah berhasil disadapnya. Nah, Liong Tong-cu, silahkan kau laporkan sendiri hasil penyadapanmu kepada Pang-cu."

Liong Pek-ji merasa agak bangga juga mendapat kesempatan itu, biarpun tampangnya sudah tidak karuan karena sebagian rambutnya terpapas oleh golok Auyang Siau-pa, sementara pakaiannya pun robek-robek. Nada bangga terdengar jelas dalam suaranya,

"Aku berhasil mendekati ke aula tempat mereka berembug. Ternyata Tong Wi-siang telah mengutus Rahib Hong-goan untuk menghubungi pihak Siau-lim-pay dan kawan-kawannya, tujuannya adalah menjernihkan persoalan agar antara Tong Wi-siang dengan kaum sok suci itu tidak terjadi kesalahpahaman, apalagi pertumpahan darah. Rahib Hong-goan telah kembali dari tugasnya itu, dan agaknya tugasnya berhasil, artinya usul perdamaian itu diterima oleh pihak pendekar sok suci itu. Bahkan kutangkap pula kata-kata bahwa Tong Wi-siang akan membantu Siau-lim- pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya untuk menghadapi kita.”

"Kalau begitu, rencana kita untuk mengadu-domba antara Wi-siang dengan orang-orang sok suci itu agaknya mengalami hambatan berat," geram Te-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkorak yang masih saja menempel di wajahnya. Lanjutnya, "Tapi kita harus tetap mengusahakan agar Wi-siang bentrok dengan Hong-tay Hweshio dan kawan kawannya, agar kedua pihak hancur bersama-sama dan kitalah yang akan mengeruk keuntungan dari kehancuran mereka."

Sementara itu Tang Kiau-po melirik ke arah seorang lelaki berseragam perwira Kerajaan Beng yang ikut pula dalam pembicaraan antara Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itu. Kemudian Tang Kiau-po mengajukan usul, "Pang-cu, menurut pendapatku, sekarang kita tidak perlu lagi main sembunyi-sembunyian dengan Wi-siang, atau susah-payah mengadu-domba segala. Dulu , ketika kita masih lemah karena gagal menggempur kaum munafik di Siong-san, kita memang memerlukan siasat itu. Namun kini bukankah kedudukan kita cukup kuat? Kini kita punya sekutu Panglima Tio yang membawahi laksaan prajurit? Betapapun tangguhnya Tong Wi-siang dan anak buahnya, bahkan andaikata mereka bergabung dengan kaum munafik pimpinan Hong-tay gundul itu, kita tidak perlu takut, dengan bantuan panglima Tio masakan kita akan kalah? Kita gempur saja Tiau-im-hong dan mereka akan mampus."

Perwira yang duduk bersama Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itupun mengerutkan alisnya mendengar ucapan Tang Kiau-po itu. Yang disebut Panglima Tio oleh Ang-mo-coa-ong itu adalah atasannya yang saat itu berada di Jing-to, memimpin salah satu garis pertahanan terpenting dalam rangka menghadapi gelombang pemberontakan Li Cu-seng. Sedang perwira itu bukan lain adalah anak buahnya yang pernah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang, yaitu Cio Hong-hoat adanya.

Dia diutus oleh Panglimanya untuk mengadakan perundingan dengan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, kalau bisa membuat perjanjian yang saling menguntungkan kedua pihak. Agaknya Panglima Tio itupun menyadari bahwa biarpun prajuritnya banyak, namun membutuhkan orang- orang berilmu tinggi, seperti Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya untuk dirangkul ke pihaknya sebelum dirangkul oleh Li Cu-seng si raja pemberontak. Kini ketika mendengar usul Tang Kiau-po yang seenaknya itu, yang menganggap nyawa prajurit-prajurit Beng tidak berharga dan patut dikorbankan untuk kepentingan Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, ia menjawab dengan hati-hati,

"Kurasa usul saudara Tang itu agak sulit dilaksanakan. Harap saudara-saudara sekalian memahami kedudukan dan tugas Panglimaku di daerah ini, tugas utamanya bukan untuk mengurusi segala macam tetek- bengek dunia persilatan, namun untuk menghadapi si pemberontak Li Cu-seng. Panglimaku tentu bersedia membantu pang-cu menghadapi Tong Wi-siang, namun jika pengorbanannya tidak terlalu besar dan imbalannya, maksudku imbalan bantuan tenaga, juga cukup memadai. Namun jika pasukan kami harus berkurang banyak lebih dulu, untuk menghadapi Tong Wi-Siang dan kaum pendekar berbagai aliran, kalau tiba saatnya berhadapan dengan Li Cu-seng bagaimana kami bisa memenangkan perang ini? Lagipula menyakiti kaum pendekar sejagad itu berat akibatnya, sebab perhatian pemerintah sedang terpusat sepenuhnya menghadapi petani-petani yang memberontak itu.”

“Jadi, bagaimana pendapat Cio Thong-leng (tuan perwira Cio) yang dapat kami anggap mewakili Panglima Tio di Jing-to? Apa yang dimaksud dengan pengorbanan tidak terlalu besar dan imbalan berupa bantuan tenaga yang memadai?"

Jawab Cio Hong-hoat, "Begini, saudara Ketua, apabila Tong Wi-siang dan kaum pendekar berbagai aliran sampai mempersatukan kekuatannya, maka kekuatan mereka akan dahsyat sekali. Meskipun Tio Ciang-kun dapat menumpas mereka dengan tentaranya yang berlaksa-laksa serta bantuan dari Pang-cu dan anak buah Pang-cu, namun korban yang berjatuhan di pihak laskar kami pasti akan berjumlah sangat banyak. Jelas Panglimaku keberatan kalau hal ini terjadi. Kami akan membantu, tapi jika pihak Tong Wi-siang dan pihak pendekar sudah saling baku hantam dulu, sehingga untuk menumpas mereka tentu pengorbanan prajurit kami tak berarti jumlahnya. Sedangkan tentang imbalan tenaga dari pihak kalian, Panglimaku meminta janji Pang-cu, apabila kelak berhasil menduduki Tiau-im-hong dan berhasil menjadi ketua yang sah....”

"Sekarangpun aku adalah Ketua yang sah, apakah Cio Thong-leng meragukan hal ini?" potong Te-liong Hiang-cu dengan suara berang.

Cio Hong-hoat terperangah, mau tidak mau ia agak merasa seram juga berhadapan dengan orang bertopeng tengkorak yang duduk di depannya itu. Namun mengingat martabatnya sebagai perwira kerajaan, dia berusaha untuk bersikap tenang atas bentakan itu, sambil tertawa dia membetulkan kalimatnya,

“Ya, aku salah bicara, maaf. Maksudku bila kelak Pang-cu sudah menduduki Tiau-im-hong dan mengalahkan Wi-siang. Ketua yang tidak sah itu, panglima mohon agar Pang-cu suka menggunakan pengaruh Pang-cu untuk membujuk dunia persilatan agar berdiri di pihak Pasukan Pemerintah dalam usaha menumpas Li Cu-seng. Selain itu Panglima minta bantuan tenaga langsung, artinya Pang-cu dan anak buah Pang-cu harus bersedia turun ke medan perang langsung berhadapan dengan Li Cu-seng."

Diam-diam Te-liong Hiang-cu mendongkol mendengar persyaratan yang jelas lebih menguntungkan pihak Panglima Tio itu. Jika menuruti nafsu amarahnya, ingin rasanya ia menghancurkan kepala si perwira she Cio itu, toh menurut penilaiannya kepandaian perwira itu tidak lebih tinggi dari Liong Pek-ji atau Seng Cu-bok.

Namun jika ia berbuat demikian, ia akan kehilangan dukungan Panglima Tio dan bahkan menjadi musuhnya. Alangkah ngerinya kalau harus berhadapan dengan laksaan prajurit siap tempur, sedang kesempatannya menjadi Ketua Hwe- liong-pang pun akan tertutup sama sekali.

Pikirnya, "Si bangsat she Tio di Jing-to itu benar-benar keterlaluan, agaknya ia menyadari kedudukannya lebih baik dari aku dalam urusan tawar-menawar ini, sehingga persyaratan yang diajukannyapun kurang adil bagiku. Masakan dia hanya berani kehilangan sebagian kecil prajuritnya saja, untuk menumpas Wi-siang dan kaum munafik jika mereka sudah kelelahan baku hantam, sedang aku harus membantu dengan segenap pengaruh dan anak buahku apabila perang dengan Li Cu-seng pecah? Bangsat...!"
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 32

Perserikatan Naga Api Jilid 32

Karya : Stevanus S.P
SIANGKOAN HONG tidak menyahut lagi, sementara Tong Wi-siang telah berkata lebih lanjut, "Aku kira, yang pantas untuk dijadikan utusan untuk menemui Hong-tay Hweshio adalah Hong-goan Hweshio serta In Yong atau Kwa Heng. Mereka termasuk orang-orang bijaksana yang berpikiran panjang, kita boleh mengharap banyak dari perundingan mereka. Apalagi Hong-goan Hweshio adalah bekas orang Siau-lim-pay pula, sehingga kita harapkan bahwa hubungan lama itu akan dapat mempengaruhi Hong-tay Hweshio agar tidak melanjutkan gerakannya."

"Tepat sekali," sahut Lim Hong-pin. "Waktu sangat berharga sekarang ini. Karena itu, A-siang, sebaiknya utusan-utusan itu segera kau tunjuk dan kau suruh berangkat secepatnya."

Demikianlah, Hong-goan Hwesio untuk menemui Hong-tay Hweshio. Sebenarnya Hong-goan Hweshio agak sungkan juga unluk menemui Hong-tay Hwesio, sebab rahib tua Siau-lim-pay itu adalah bekas kakak seperguruannya, sedangkan Hong-goan Hweshio pernah menghilang dari kalangan Siau-lim-pay tanpa pamit. Namun mengingat bahwa perundingan itu mungkin akan menyelamatkan ratusan nyawa yang bakal tewas oleh siasat adu-domba Tan Goan-ciau itu, maka Hong-goan Hweshio membulatkan tekad untuk berangkat juga.

Sementara ketiga utusan itu menjalankan tugasnya, maka seluruh anggota Hwe-liong-pang, dari Ketuanya sampai anggota paling bawah terus giat mempertinggi kemampuan ilmunya masing-masing. Mereka semuanya sadar bahwa di tengah suasana kisruh itu maka kemampuan ilmu silat akan ikut berperan, meskipun perkelahian adalah bukan jalan satu-satunya. Berita tentang sedang menyerbunya kaum pendekar, begitu pula berita tentang pemberontakan Li Cu-seng yang semakin berani, telah mengobarkan semangat seluruh anggota Hwe-llong-pang untuk berlatih sebaik-baiknya.

Oh Yun-kim dan Lu Siong nampak sering berlatih bersama-sama. Yang satu berjulukan Bu-lng-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena sangat lihai ilmu tendangannya, sedang yang lainnya berjuluk Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seribu Kati) karena kedahsyatan ilmu pukulannya. Satu tendangan, satu pukulan. Maka keduanya pun membuat persetujuan untuk saling bertukar ilmu andalannya masing-masing.

Sehingga Oh Yun-kim akan melengkapi ilmunya dengan ilmu pukulan, sebaliknya Lu Siong juga akan berusaha bisa menendang sebaik Oh Yun-kim. Namun keduanya sadar bahwa dalam waktu singkat tentu sulit untuk mencapai kemahiran yang setaraf dengan pemilik ilmu aslinya, tapi yang penting adalah tekad dan kemauan mereka untuk meningkat.

Oh Yun-kim adalah seorang bangsa Korea. Di negeri Korea ada semacam ilmu silat yang sudah berusia ratusan tahun, yang dengan bahasa setempat disebut "Tae-kyun", sedangkan kaum persilatan di Tiong-kok menyebutnya, "tong-jiu-tao (Seni Tangan Dari Timur). Meskipun disebut "Seni Tangan", tapi pada hakekatnya silat Korea itu hampir tidak menggunakan tangan, namun seluruh gerakannya selalu menggunakan kaki, baik untuk menangkis, menepis, melompat maupun menendang, sehingga "Tae-kyun" ini jadi agak mirip dengan Lian-hoa-tui (Tendangan Berantai) dari Bu-tong-pay.

Oh Yun-kim sudah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan negerinya dan berkelana mengamalkan ilmunya di daratan Tiong-goan, selama pengembaraannya itu dia tidak sedikit telah menambah dan menyempurnakan ilmu tendangannya, bahkan kemudian oleh kaum persilatan diTiong-goan dia diberi julukan Bu-ing-tui, menandakan penghargaan orang terhadap kelihaian kakinya. Akhirnya Oh Yun-kim merasa senang hidup di daratan Tiong-goan yang luas itu dan telah menganggapnya sebagai tanah airnya yang baru.

Untuk menguasai ilmu tendangan Oh Yun-kim itu, lebih dulu Lu Siong harus melemaskan seluruh tubuhnya, seluruh persendian badannya, sebab ilmu tendangan Korea ini kaya dengan pergantian tendangan tanpa berubah pijakan, sehingga kelenturan pinggul dan kelemasan kaki mutlak diperlukan. Untuk itu, Oh Yun-kim telah menyusun “menu latihan” bagi “murid”-nya itu, yang harus dijalani oleh Lu Siong setiap harinya.

Antara lain Lu Siong diharuskan merentangkan kakinya sehingga kedua kaki itu bersambung dan berbentuk garis lurus, melakukan gerakan-gerakan pelemasan pinggang yang terasa sangat menyengsarakan bagi Lu Siong yang bertubuh kaku itu. Kadang-kadang Lu Siong menggerutu juga, namun Oh Yun-kim hanya menanggapinya dengan tersenyum.

"Seperti monyet kepanasan", Lu Siong ketika sedang berlatih rnemutar-mutar pinggul dan pinggangnya.

Oh Yun-kim tertawa dan menyahut, “Kelenturan pinggul kita perlukan, supaya sewaktu kita melakukan tendangan kita dapat melakukan dengan cepat dan tidak terbaca oleh lawan. Jika kita berpinggul kaku, maka lawan akan dapat membaca gerak tendangan kita. Baru kita mengangkat kaki sedikit, maka lawan sudah tahu arah tendangannya sehingga dapat menangkis atau mengelaknya. Sebaliknya, Jika pinggul kita cukup lemas, tendangan kitapun akan secepat kilat, lawan tidak akan sempat menangkis atau mengelak tendangan kita. Itulah sebabnya aku dijuluki Tendangan Tanpa Bayangan."

"Aku menyesal berguru kepada orang setakabur kau," kata Lu Siong sambil tertawa pula. Meskipun sambil menggerutu, namun latihannya terus berjalan.

Namun pada saat lainnya, giliran Lu Siong yang jadi guru dan Oh Yun-kim yang jadi muridnya, ternyata latihan- latihan yang diberikan oleh Lu Siong juga sangat berat. Lu Siong berjulukan "Tinju Malaikat Seribu Kati" dan julukannya itu bukan julukan kosong belaka, namun benar-benar karena kehebatan tenaga pukulannya. Dasar ilmu silat yang dimiliki oleh Lu Siong sebenarnya adalah ilmu silat yang sangat umum terdapat di Kang-pak, yaitu ilmu silat yang disingkat dengan sebutan Tam-cap-hoa-hong, terdiri dari empat dasar pelajaran, yaitu Tam-cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-kun.

Begitu sederhananya ilmu silat ini, sehingga setiap bakul jamu di pinggir jalanpun sanggup memainkannya. Namun Lu Siong melatihnya dengan sungguh-sungguh. Pada suatu hari, ia telah menolong seorang rahib tua dari kuil Jing-liong-si di Gunung Ngo-tay- san, maka sebagai balas budi, rahib tua itu mengajarkan suatu ilmu pengerahan tenaga yang disebut Tit-siang-kin (Tenaga Melempar Gajah). Dengan landasan Tit-siang-kin inilah maka ilmu pukulan Lu Siong yang sangat sederhana itu telah mencapai taraf yang dapat membahayakan lawannya.

Dalam pengalaman pengembaraannya di dunia persilatan tidak jarang Lu Siong dengan "silat bakul jamu"nya itu berhasil mengalahkan murid-murid pandai dari perguruan-perguruan ternama yang merasa memiliki ilmu tingkat tinggi. Dan akhirnya orangpun mengakui kelebihan Lu Siong si orang kasar ini, julukannya sebagai Jian-kin-sin-kun juga mulai terkenal.

"Aku berhasil membuktikan, bahwa ilmu yang sangat sederhanapun jika dilatih dengan sungguh-sungguh akan tidak kalah gunanya dengan ilmu-ilmu silat yang diberi nama seram-seram ataupun indah-indah," kata Lu Siong kepada Oh Yun-kim dengan nada bangga. "Meskipun demikian, aku mengakui pula bahwa perkembangan ilmu silat kasar semacam kepunyaanku ini, suatu ketika akan terhenti perkembangannya sama sekali. Namun kita tetap dapat menambah-nambahnya lagi, sesuai dengan pengalaman kita dalam menghadapi lawan yang beraneka ragam, sesuai dengan apa yang kita lihat dan kita pikir. Aku tidak pernah putus-asa tentang hai ini."

Kagum juga Oh Yun-kim melihat sahabatnya bersemangat begitu tinggi. Semangat tinggi itulah modal yang paling berharga bagi seorang ahli silat, bukan nama besar perguruannya atau nama besar gurunya. Hanya bermodalkan “silat bakul jamu"nya, Lu Siong berhasil menjadi seorang yang sangat disegani di seluruh wilayah Siam-say dan An-hui. Pada hakekatnya, dia lebih dapat dibanggakan daripada murid-murid perguruan terkenal yang hanya pandai jual lagak dan menggunakan nama perguruannya untuk menggertak orang.

Latihan yang dijalani oleh Oh Yun-kim untuk memahami dasar Tam-cap-hoa-hong itupun sangat berat, meskipun wujud latihannya sangat sederhana. Ia harus telungkup sejajar tanah, lalu dengan satu tangan secara berganti- ganti dia harus mengangkat badannya sendiri naik turun sampai ratusan kali. Lalu disusul melakukan gerak pukulan dasar tapi lamban, dengan pengerahan tenaga sepenuhnya serta pernapasan yang teratur, sehingga muka Oh Yun-kim sampai merah padam dan otot-otot pelipisnya menyembul di permukaan kulit. Inipun dilakukan sampai puluhan kali.

Ketika Oh Yun-kim mengakhiri latihannya, maka si orang Korea itu telah merasakan seluruh pundak, punggung dan pinggangnya pegal bukan main, sedang kedua tangannya telah gemetar dan hampir-hampir tidak dapat digerakkan sama sekali. Sambil berjalan pulang menuju cong-toh, la menggerutu, "Benar-benar gila, tanganku hampir tidak dapat bergerak."

Lu Siong tertawa, "Itu sebagal imbalan atas penyiksaanmu kepadaku kemarin sore."

"Oh, jadi kau tidak bersungguh-sungguh mengajarkan Tam-cap-hoa-hong kepadaku, tapi hanya membalas dendam?” tanya Oh Yun-kim dengan pura-pura bersungut-sungut.

Demikianlah kedua sahabat itu bersenda-gurau sehabis latihan. Bukan hanya Lu Siong dan Oh Yun-kim saja yang berusaha keras untuk meningkatkan kemampuannya, tapi juga semua Tong-cu dan Hu-tong-cu telah berlatih keras dengan caranya sendiri-sendiri. Auyang Siau-pa yang pendiam itu kini telah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu golok bulan sabitnya.

Setiap siang hari sehingga sore, dia melatih sabetan-sabetan goloknya dengan berendam di dalam air setinggi leher. Melakukan bacokan di dalam air tentu saja terasa berat, namun Auyang Siau-pa telah berhasil melakukannya dengan mantap.

Maka ketika ia melakukannya di darat, kepesatan sambaran goloknya berkali lipat dari ketika masih dalam air. Kini, jika ia menggerakkan goloknya maka yang tampak hanyalah segumpal sinar-sinar putih yang melebar kian kemari. Ilmu golok Auyang Siau-pa inipun sebenarnya ilmu golok yang sederhana, seperti juga ilmu pukulan Lu Siong, namun dengan tingkat kecepatan seperti yang dimiliki Auyang Siau-Pa saat itu.

Maka orang yang berani memandangnya rendah sama dengan bunuh diri. Ia sudah mencapai taraf "kemana perginya pikirannya, goloknya mengikutinya". Dalam percobaan terakhirnya, Auyang Siau-pa mampu meruntuhkan sekaligus duabelas ekor lalat yang sedang terbang hanya dengan beberapa kali sabetan yang kilat!

Di bagian lain dari puncak Tiau-im-hong yang luas sekali itu, tiap hari terdengar bentakan-bentakan keras mengguntur dan suara gemuruhnya pohon-pohon yang sedang tumbang. Ternyata tempat itu adalah tempat yang dipilih oleh Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) Ji Tiat untuk menggembleng dirinya.

Ia merasa bahwa jabatan barunya sebagai Ang-ki-tong-cu itu tentu memerlukan kemampuan yang lebih tinggi dari kemampuannya dulu, maka tanpa kenal lelah dia terus berlatih dengan sepasang kampak bertangkai pendeknya. Sesuai dengan julukannya, dapat ditebak bahwa Ji Tiat adalah seorang ahli silat penganut aliran "keras" (gwe-kang), meskipun bentuk tubuhnya tidak tinggi besar.

Dengan latihannya, kini dia mampu menumbangkan pohon sebesar paha orang hanya dengan sekali bacok. Sedangkan dengan sebuah gerakan berantai dia mampu melancarkan tujuh atau delapan bacokan tanpa berhenti, dengan tenaga yang sama kuatnya pada setiap bacokannya. Jika hal itu diterapkan kepada lawannya, maka sama artinya bahwa sang lawan dipaksa untuk menangkis tujuh atau delapan kali serangan yang berkekuatan dahsyat itu!

Karena begitu keras latihannya, maka dalam tempo belasan hari saja Ji Tiat sudah mengganti senjatanya sampai dua kali! Karena segan kalau harus berkali-kali turun gunung untuk memesan kampak baru kepada tukang besi, maka akhirnya Ji Tiat memesan sepuluh pasang kampak pendek sekaligus.

Tong-cu baru lainnya, Ya hui-miao Kwa Tin-siong yang unggul dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) juga telah mematangkan ilmu andalannya. Dia selalu berlatih lari mengitari kaki bukit Tiau-lm-hong sampai tiga putaran setiap harinya, dan itu hanya membutuhkan waktu satu sulutan hio (dupa biting), meskipun punggung dan betis Kwa Tin-siong dibebani dengan kantong-kantong pasir. Sedang ilmu silat andalannya yang lain adalah silat gubahannya sendiri yang diberinya nama Ya-miao-sip-pat-sik (Delapan belas Jurus Kucing Liar).

Ilmu silat ini digubah setelah ia mengamat-amati gerak-gerik kucing hutan sekian lamanya, maka jurus-jurusnya merupakan gabungan dari kecepatan dan gerakan aneh tak terduga, dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan sepasang belati pendeknya. Jika dimainkan dengan tangan kosong, maka gerakannya lebih mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya untuk menampar dan mencakar seperti kucing, sedang tubuhnyapun bisa melejit dan melengkung seenaknya seperti kucing asli.

Sedangkan jika ilmu itu dimainkan dengan sepasang pisau belatinya, maka merupakan jurus-jurus silat untuk bertempur jarak sedang yang ampuh, sementara gerakan kakinya yang lincah terus berusaha "menempel" langkah lawannya, sehingga lawan yang bersenjata lebih panjang pun tidak akan dapat memanfaatkan kelebihan senjatanya.

Begitulah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terus berlatih meningkatkan ilmunya masing-masing. Namun mereka tidak hanya berlatih sendiri-sendiri, melainkan sering pula berlatih bersama-sama dengan bertukar-tukar lawan. Selain untuk menguji kemampuan mereka, juga menjadi "tontonan" anak buah mereka dan dapat membangkitkan semangat para anak buah.

"Kemajuan pesat yang telah kalian capai membuat aku jadi semakin tua," demikian kata Ling Thian-ki pada suatu hari, ketika menyaksikan para Tong-cu itu berlatih bersama. Tokoh yang berjuluk Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) itu diam-diam menilai bahwa kemajuan para Tong-cu itu cukup pesat, taraf kepandaian mereka sudah hampir mendekati taraf Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio.

Pada suatu malam, tiba-tiba dari arah kaki bukit Tiau-im-hong terdengar suara derap kaki kuda yang menuju ke arah cong-toh. Muncullah tiga orang penunggang kuda yang ternyata adalah Hong-goan Hweshio, Hong-lui-siang- to In Yong serta Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng, tiga orang yang ditugaskan untuk berunding dengan kaum pendekar itu. Wajah mereka nampak berkilat-kilat oleh keringat dan debu, begitu pula pakaian mereka yang berlapis debu, namun airmuka mereka justru nampak cerah.

Kedatangan kembali ketiga utusan Hwe-liong-pang itu segera menimbulkan harapan bagi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh lainnya. Baru saja Hong-goan Hweshio hendak membuka mulut, Wi-siang telah lebih dulu berkata, "Menilik wajah kalian bertiga yang cukup cerah tentunya kalian membawa berita baik. Namun baiklah, kuberi kalian kesempatan untuk mandi dan makan dulu, sementara aku akan mengumpulkan semua Tong-cu dan Hu-tong-cu serta Ling Su-cia untuk bersama-sama mendengarkan laporan kalian."

"Memang cukup menggembirakan Pang-cu," sahut Hong-goan Hweshio.

Sementara itu, dalam waktu singkat delapan orang Tong-cu, Hu-tong-cu dan tokoh-tokoh lainnya telah berkumpul di sebuah ruangan samping. Mulailah Hong-goan Hweshio menuturkan hasil penugasannya,

"Usahaku untuk menemui Hong-tay Suheng sebagai pimpinan kaum pendekar, ternyata berlangsung tanpa menemui banyak kesulitan. Aku bicara secara panjang lebar kepadanya sehingga hampir mengeringkan ludahku, dan akhirnya aku berhasil meyakinkan bekas kakak seperguruanku itu bahwa yang telah menyerbu Siong-san dan menimbulkan banyak korban jiwa itu bukanlah kita, melainkan Ji-liong-pang-cu yang beserta pengikut-pengikutnya telah membelot dari perjuangan Hwe-liong-pang yang murni. Untung pula bahwa In Tong-cu punya hubungan baik dengan Ketua Jing-sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, sehingga semakin melancarkan usaha perdamaianku. Akhirnya Hong-tay Suheng malahan mengajak Hwe-liong-pang kita untuk bersatu-padu menumpas Te-liong Hiang-cu dan segenap kaki tangannya yang telah dianggap musuh bersama itu."

Ucapan yang terakhir ini segera disambut dengan tepuk tangan dan seruan-seruan bersemangat dari para Tong-cu dan Hu-tong-cu yang ada di ruangan itu. Dengan ajakan Hong-tay Hweshio itu, berarti secara tidak langsung Hong- tay Hweshio telah mengakui kehadiran Hwe-liong-pang dan bahkan menganggapnya kawan seperjuangan. Ucapan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh berpengaruh semacam Hong-tay Hweshio tentu saja sangat lain bobotnya jika diucapkan seorang lain yang tidak ternama.

Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pinpun segera saling bertukar pandangan dengan wajah berseri gembira. Tengah para pimpinan Hwe-liong-pang itu bergembira, tiba-tiba terdengar suara genteng yang terinjak patah, disusul dengan seruan salah seorang anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga di atas genteng,

“Siapa itu?! Berhenti, he, aduh....!"

Hek-ki-tong-cu Kwa Teng-siong yang kebetulan menoleh ke arah jendela, segera dapat melihat sesosok bayangan berkelebat cepat bagaikan burung terbang gesitnya. Teriaknya, "Pang-cu ada orang mencuri dengar pembicaraan kita!"

Seruan Kwa Teng-siong itu membuat suasana gembira itu jadi suatu kegemparan. Bahkan Kwa Teng-siong tidak pikir panjang lagi langsung menyusul melompat keluar jendela. Di antara delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang, memang dialah yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling lihai, gerakannyapun gesit mirip seekor kucing.

Tong Wi-siang pun telah menurunkan perintahnya, "Tutup semua jalan keluar, kalian berpencar untuk memeriksa semua tempat!"

Pertemuan yang baru diwarnai kegembiraan Itu segera bubar. Untunglah bahwa para tokoh Hwe-liong-pang itu merupakan orang-orang yang terlatih baik dan berpengalaman, maka mereka tidak menjadi kebingungan, namun cepat berpencaran. Dalam sekejap mata, tidak ada tanah sejengkal pun di cong-toh itu yang lepas dari pengamatan mereka.

Sementara Itu, begitu Kwa Teng-siong melompat keluar, matanya yang tajam itu masih sempat melihat sesosok tubuh berkelebat ke atas genteng. Bayangan itu memakai pakaian berwarna gelap, di belakang punggungnya memakai selembar mantel yang dibentuk seporti sayap kelelawar, sehingga ketika orang itu melompat maka berkembanglah mantelnya seperti seekor kelelawar raksasa dl tengah kegelapan malam.

Tanpa pikir panjang lagi, Kwa Teng-siong segera memburu. Sementara rekan-rekannya dari dalam ruangan telah berserabutan keluar, si "kelelawar" itu sudah melesat menuju ke arah kaki bukit, dibayangi oleh Kwa Teng-siong yang memburu dengan tidak cepatnya.

Dalam sekejap mata saja, kedua orang yang saling berkejaran itu telah melesat sampai belasan tombak jauhnya. Diam-diam Kwa Teng-siong terperanjat juga ketika melihat kelihaian gin-kang dari orang buruannya itu, sebab dengan gin-kang Kwa Teng-siong yang telah maju pesat itu ternyata ia tidak berhasil memperpendek jarak dengan buruannya.

Namun Kwa Teng-siong tidak tahu bahwa orang buruannya itupun merasa terkejut bukan main. Dia bukan lain adalah Sip-hiat-hok-mo (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, pengikut Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau yang berkedudukan sebagai Pimpinan Kelompok Bendera Kuning itu. Liong Pek adalah penganut sejenis ilmu sesat yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (Ilmu Memperpanjang Umur Dalam Peti Mati) yang dapat menambah kekuatannya.

Selain ltu, julukannya sebagai "kelelawar iblis" menandakan bahwa dia mahir dalam ilmu meringankan tubuh. Tapi kini dia bertemu dengan tandingannya dalam hal gin-kang sebab betapapun dia telah mengerahkan tenaganya, Kwa Teng-siong tetap saja membuntutinya beberapa langkah di belakangnya.

Akhirnya Liong Pek-ji menjadi gemas. Ketika tiba di tempat yang sepi, tiba-tiba Liong Pek-ji menghentikan langkahnya secara mendadak lalu menghantam ke belakang dengan secepat kilat. Dengan serangan mendadaknya ini dia berharap akan bisa merobohkan orang yang mengejarnya itu.

Tetapi sekali lagi Liong Pek-Ji harus dikejutkan oleh ketangkasan pengejarnya itu. Kwa Teng-siong ternyata berhasil menghindari hantaman itu dengan gaya Ya- miao-hoan-sin (Kucing Liar Menggeliat). Ia berhasil menghentikan langkahnya secara mendadak dan menggerakkan pinggangnya yang amat lemas itu untuk melenting ke samping dengan tangkasnya. Gerakan pinggang secepat dan selemas itu sesungguhnya di kalangan persilatan di Tiong-goan tidak banyak orang yang sanggup melakukannya.

Setelah melihat gerakan lawannya itu, Liong Pek-ji segera menggeram sengit, “Bagus sekali, kiranya kau si kucing buduk she Kwa itu. Pantas kau berhasil mengikutiku sekian lamanya."

Sebaliknya Kwa Teng-siong pun langsung dapat mengenal siapa lawannya itu, "Dan kiranya kau si kelelawar cengeng yang bertahun-tahun bersembunyi dalam peti mati itu. Kita sesama binatang malam, kurang meriahlah rasanya jika pertemuan kita ini tidak diramaikan dengan saling gebrak puluhan jurus untuk melemaskan otot."

Liong Pek-Ji menyeringai seram di bawah cahaya bintang yang terang temaram di langit, nampaklah sepasang taringnya yang berkilat-kilat di kedua sudut bibirnya. Matanya yang liar dan kemerah-merahan itupun mulai memancarkan cahaya yang liar pula, sementara geramnya bagaikan suara hantu dari lubang kubur,

"Bagus, kuladeni tantanganmu, ingin kulihat sampai dimana kemajuan pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih tidak mau menyerah ini. Jika kau mampus ditanganku, kau jangan menyesal, kucing gila.”

Dalam kejar mengejar yang merupakan adu gin-kang antara kedua orang tadi, tak terasa kedua orang itu sudah jauh meninggalkan markas Hwe-liong-pang di puncak Tiau-im-hong, kini mereka sudah berada di kaki puncak, sebuah tempat yang sepi dan cocok untuk bertempur tanpa ada yang mengganggu. Itulah sebabnva Liong Pek-ji dengan beraninya telah berhenti dan bahkan menantang Kwa Teng-siong.

Apalagi karena si kelelawar hantu itu diam-diam punya perhitungan lain yang cukup licik, yaitu dia menantikan kedatangan teman-temannya di tempat itu, dan nanti akan diajaknya untuk mengeroyok Kwa Teng- siong. Rupanya ia tidak datang menyelidiki markas Hwe- liong-pang itu seorang diri.

Kwa Teng-siong sendiri juga adalah seorang lelaki berdarah panas, biarpun penampilannya tidak seseram Liong Pek-ji, namun keganasannya dalam bertempur agaknya tidak diragukan lagi. Baru saja Liong Pek-ji menutup mulutnya, Kwa Teng-siong telah langsung menyerang dengan sebuah cakaran kilat ke leher lawannya, dan sama cepatnya ia susulkan pula sebuah tendangan ke selangkangan lawan. Sementara menyerang itu ia mengeluarkan pekikan kemarahan, suaranya persis seperti seekor kucing hutan yang sedang berlaga.

Tidak kalah cepatnya Liong Pek-ji menangkis serangan ke arah lehernya itu sambil melejit ke samping untuk menangkis tendangan lawan, kemudian dengan garangnya membalas dengan terkaman ke wajah lawannya. Demikianlah, dalam sekejap saja kedua "binatang malam" itu telah terlibat dalam pertarungan yang seru.

Setelah keduanya bertarung beberapa puluh jurus, ternyatalah kedua pihak mempunyai gaya bertempur yang mirip satu sama lain. Keduanya sama-sama menumpukkan serangan mereka pada gaya yang cepat, ganas dan aneh, dan keduanya pun sama-sama tidak menghindari pertempuran jarak dekat, maka bayangan tubuh kedua orang itu bagaikan lenyap dan bergulung menjadi satu, diselingi serangan maut dari kedua pihak yang mengincar nyawa musuh.

Namun lama-kelamaan Kwa Teng-siong mulai terganggu oleh hawa busuk yang terpancar dari napas lawannya, bau busuk yang mirip dengan bau binatang pemakan daging. Agaknya bau itupun merupakan salah satu "senjata" Liong Pek-ji, akibat dari kegemarannya menghisap darah manusia hidup itu. Namun demikian, bau busuk itu tidak menjamin kemenangan Liong Pek-ji, sebab ilmu silat Kwa Teng-siong lebih unggul daripadanya, sehingga dalam kemarahannya justru Kwa Teng-siong telah mengerahkan seluruh kekuatannya dan mulai berhasil mendesak Liong Pek-ji selangkah demi selangkah.

"Heh-heh-heh, nama besar Kelelawar Iblis Penghisap Darah yang digembar-gemborkan itu ternyata hanya nama kosong belaka, tidak ada isinya apa-apa," ejek Kwa Teng-siong sambil terus mendesak.

Serangan orang she Kwa itu tidak dikendorkan sedikitpun, sebab ia bermaksud untuk melumpuhkan dan menangkap hidup-hidup salah satu pengikut Te-liong Hiang-cu ini untuk diperas keterangannya. Maka terkaman, tamparan serta tendangan Kwa Teng-siong terus deras membanjir, bagaikan gelombang samudera tak henti-hentinya memecah pantai, membuat Liong Pek-ji semakin keripuhan.

Di saat keadaan Liong Pek-ji sudah ibarat telur di ujung tanduk itu, mendadak dari arah bukit terdengar suitan keras dan nampaklah dua sosok bayangan telah meluncur mendekati tempat pertempuran itu. Dalam keremangan malam, tidak dapat dilihat dengan jelas siapakah yang tengah meluncur datang itu, namun salah seorang dari pendatang itu telah memperdengarkan suaranya yang keras dan kasar, "Apakah yang sedang bertempur itu Ui-ki- tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Kuning)?”

Kwa Teng-siong mengira bahwa yang datang itu tentu rekan-rekannya yang mengejar dari markas besar, meskipun ada pula setitik keheranan kenapa rekan- rekannya itu datang dari kaki puncak dan bukannya dari atas? Namun Kwa Teng-siong menyahut juga, sambil tetap bertempur, "Aku bukan Ui-ki-tong-cu, tetapi Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hitam)! Siapakah di situ?"

Sementara itu, di bawah desakan lawannya, Liong Pek-ji ternyata menjawab juga, "He, kawan, aku Liong Pek-ji. Saudara Seng dan saudara Ho, tolong kalian bantu aku melepaskan diri dari libatan begundal Tong Wi-siang ini!"

Kini jelaslah bagi Kwa Teng-siong bahwa kedua bayangan yang sedang meluncur datang itu ternyata adalah pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, orang yang telah melepaskan diri dari Hwe-liong-pang dan mendirikan kepemimpinan tandingan itu. Seperti telah diketahui, dalam Hwe-liong-pangnya Te-liong Hiang-cu itu kedudukan Liong Pek ji adalah sebagai Pemimpin Kelompok Bendera Kuning.

Sedangkan kedua orang yang baru datang dari kaki bukit itu bukan lain adalah rekan-rekan Liong Pek-Ji, sesama pengikut Te-liong Hiang cu, yaitu masing-masing adalah Pemimpin Bendera Biru Seng Cu-bok yang berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api), serta Ho Tin-siong, itu murid murtad dari Go-bi-pay.

Kwa Teng-siong segera mulai melihat kesulitan yang membayang di depan matanya. Jelaslah bahwa kepandaiannya sendiri masih belum cukup jika harus meladeni tiga orang lawan tangguh secara bersamaan. Bukannya ia takut mati, tapi ia enggan terjebak dalam kepungan musuh dan mati secara konyol. Karena itu ia cepat-cepat melompat mundur, melepaskan diri dari lingkaran pertempuran, lalu dengan memasukkan jari-jari tangannya ke mulutnya, iapun membunyikan sebuah siulan nyaring yang menggetarkan udara malam di lereng Tiau-im-hong itu.

Si Kelelawar Iblis yang masih merasa penasaran karena baru saja didesak oleh Kwa Teng-siong itu, rupanya masih merasa penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang memalukan itu. Karena itu, ketika mendengar suitan Kwa Teng-siong itu, dia pun berteriak kepada kedua orang kawannya, “Monyet busuk ini memanggil kawan-kawannya datang.”

Ketika Te-liong Hiang-cu membentuk Hwe-liong-pang tandingan setelah berhasil membokong Tong Wi-siang, dia memang memperkuat dirinya dengan jalan menarik ahliahli silat sebanyak mungkin ke dalam barisannya, di antaranya tidak sedikit yang merupakan tokoh-tokoh golongan hitam yang sama sekali tidak mempedulikan tata-krama dalam pertandingan antara dua pesilat, main keroyokan kalau perlu mereka lakukan demi mencapai kemenangan.

Seruan Liong Pek-ji untuk bersama-sama mengeroyok Kwa Teng-siong itu seketika mereka sambut dengan gembira dan penuh gairah. Seng Cu-bok telah menghunus goloknya dan langsung menerjang lawannya dengan jurus Long-ki-thian-ge (Ombak Mendampar Cakrawala) yang berturut-turut membacok ke leher, dada dan pinggang secara beruntun. Begitu Kwa Teng-siong berhasil mengelakkannya ke samping, Ho Tin-siong si murid murtad Go-bi-pay telah menyambutnya dengan tusukan pedangnya yang mematikan.

Dalam pada itu Liong Pek-ji pun tanpa malu-malu lagi telah mengeluarkan senjatanya berupa sepasang besi runcing sependek dua jengkal yang digenggam di kedua tangannya, dan dengan senjatanya yang aneh itulah dia langsung menerjunkan dirinya ke gelanggang pertempuran dan mengerubuti Kwa Teng-siong. Dalam beberapa bulan ini Si Kucing Terbang Malam telah berlatih keras, ilmu silatnyapun mengalami kemajuan yang cukup berarti, namun sekarang ia harus menghadapi tiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu yang tangguh itu, mau tidak mau Kwa Teng-siong terdesak juga.

Meskipun kemudian diapun sempat menghunus sepasang pedang pendeknya, namun sepasang senjatanya itu hanya dapat membantunya untuk memperbaiki pertahanannya dan tidak memberinya kesempatan untuk balas menyerang. Beberapa kali dia dipaksa untuk bergulingan di tanah atau berlompatan dengan gugupnya karena gencarnya serangan beruntun dari ketiga lawan yang mengeroyoknya.

Tapi rupanya suitan minta tolong yang dibunyikan oleh Kwa Teng-siong tadi tidaklah sia-sia. Orang-orang Hwe-liong-pang anak buah Tong Wi-siang memang banyak berkeliaran di sekitar markas, di lereng-lereng Tiau-im-hong, maka suitan Kwa Teng-siong itu dapat didengar jelas oleh orang-orarg itu. Cu Keng-wan, wakil Kepala Bendera Hitam itulah yang lebih dulu melompat ke arah suara suitan itu, sambil berseru,

"Itu adalah isyarat minta bantuan dari Kwa Teng-siong. Barangkali dia telah bertemu dengan musuh dan memerlukan pertolongan!"

Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa yang kebetulan juga sedang berada di tempat itu serempak menyambut ajakan Cu Keng-wan itu, "Hayo kita juga lihat ke sana!"

Kemudian ketiga orang itupun berlari-lari pesat menuju ke arah suara suitan Kwa Teng-siong tadi, kemudian ketika Ma Hiong serta Lu Siong juga tiba di tempat itu, mereka pun menyusul rekan-rekannya yang terdahulu. Cu Keng-wan yang berjulukan Thiat-ciang (Telapak Tangan Besi) itu memang memiliki ilmu pukulan yang hebat dan keras, namun dalam hal ilmu meringankan tubuh, dia justru ketinggalan heberapa tingkat dari Oh Yun-kim maupun Auyang Siau-pa.

Dalam waktu belasan detik saja dia sudah ketinggalan jauh dari kedua orang itu, yang melesat ke depan secepat anak panah lepas dari busurnya. Kedatangan Oh Yun-kim serta Auyang Siau-pa itu tepat waktu Kwa Teng-siong sudah hampir kehabisan cara membela dirinya. Tong-cu baru dari Kelompok Bendera Hitam itu sudah dalam keadaan hanya mampu menangkis, menghindar dan bergulungan di tanah saja.

Namun suatu saatpun ia terpojok ke jalan buntu, sebab ketika ia sedang bergulingan menghindar dari ayunan golok Seng Cu-bok yang bertubi-tubi itu, tahu-tahu punggung Kwa Teng-siong telah terganjal sebuah batu besar sehingga tidak dapat bergulingan lagi. Serempak ketiga orang lawannyapun menyeringai buas dan langsung mengayunkan senjatanya masing-masing untuk merencah pengikut setia Tong Wi-siong itu.

Detik Kwa Teng-siong hampir sampai ke ujung hidupnya itulah Auyang Siau-pa telah meluncur datang, langsung saja menghunus golok bulan sabitnya dan menggerakkan tiga kali untuk menghalau tiga macam senjata yang sedang mengancam rekannya itu. Ketiga lawannya hanya sempat melihat ada sambaran cahaya berwarna keperak-perakan yang berkelebat di depan mata mereka, dan tahu-tahu mereka merasakan tangan mereka bergetar dan senjata merekapun telah tertangkis semuanya sehingga meleset dari sasaran.

Begitu cepatnya gerakan Auyang Siau-pa, membuat ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu melongo dan agak gentar. Begitu Auyang Siau-pa mengenal siapakah lawan-lawannya, seketika amarahnya pun berkobar hebat, dengusnya dingin, “Bagus, pengkhianat-pengkhianat semacam kalian ini rupanya sudah bosan hidup dan datang ke Tiau-im-hong ini untuk mengantar nyawa!”

Si Kelelawar Hantu Liong Pek-ji adalah anggota baru Hwe-liong-pang, yang baru memasuki Hwe-liong-pang sebagai pengikut Te-liong Hiang-cu, setelah Tong Wi-siang dan pengikut-pengikut setianya tersingkir, dengan demikian Liong Pek-ji belum begitu mengenal siapa Auyang Siau-pa ini, meskipun ia mengenal nama besar mendiang kakak Auyang Siau-pa, yaitu Co-siang-hui-mo Auyang Siau-hui sebagai sesama tokoh golongan hitam.

Meskipun ia tadi cukup kaget melihat kecepatan sabetan golok Auyang Siau-pa, namun ia masih belum jera juga, dianggapnya gerakan Auyang Siau-pa itu cuma kebetulan belaka. Sambil mengeluarkan pekikan aneh dari mulutnya yang berbau busuk itu, dia menubruk ke arah Auyang Siau-pa, sepasang senjata anehnya pun berkelebatan demikian cepatnya sehingga tangannya seolah-olah telah berubah menjadi beberapa pasang dan bayangan senjatanya memenuhi sekitar tubuhnya.

Sebagai seorang tokoh golongan hitam yang cukup ditakuti di Wilayah Cu-lam, bahkan cerita tentang dirinya itu tidak ada bedanya dengan cerita tentang sesosok hantu pengisap darah yang paling menggentarkan, Liong Pek-ji sangat sombong dan sulit menerima kekalahannya begitu saja. Kekalahannya dari Kwa Teng-siong sebelum kedatangan kedua rekannya tadi, telah membuatnya merasa penasaran dan malu, maka kini ia bermaksud menebus kekalahannya dengan jalan merobohkan Auyang Siau-pa untuk mengembalikan pamor mukanya.

Tetapi kali inipun Liong Pek-ji benar-benar telah salah alamat karena memilih Auyang Siau-pa, sebab orang yang hendak dijadikannya tumbal memulihkan pamornya itupun ternyata bukan orang kebanyakan, biarpun tampangnya begitu sederhana dan tidak menyeramkan. Cepat sekali Jing-ki-tong-cu bawahan Tong Wi-siang itu telah bergerak mencabut goloknya untuk membarengi gerakan lawan, melancarkan sebuah sabetan yang sederhana pula.

Namun begitu cepatnya sehingga yang nampak hanyalah sebuah cahaya lebar berwarna perak, menyambar langsung ke pusat bayangan senjata Liong Pek-ji dan langsung membubarkan gerakan senjata lawan. Liong Pek-ji terkejut dan berlompatan mundur, namun Auyang Siau-pa terus mengejarnya sambil membulang-balingkan goloknya secepat kilat, tanpa gaya dan tanpa jurus, itulah permainan goloknya, melulu mengandalkan semangat, kekuatan dan kecepatan.

Setelah mendesak Liong Pek-ji beberapa langkah, cepat Auyang Siau-pa melompat mundur, dan saat itu ujud Liong Pek-ji sudah tidak karuan lagi. Rambutnya telah tarpapas sebagian, sementara itu pakaiannyapun robek-robek tidak keruan, termasuk "Sayap Kelelawar” kebanggaannya itu, sedangkan mukanya pucat karena kaget dan takutnya.

Hantu yang paling ditakuti di Ou-lam itu kini keadaannya benar-benar menggelikan, tampangnya bukan lagi tampang seseorang yang pantas ditakuti oleh lawan-lawannya, melainkan tampang seorang yang pantas dikasihani, hilang lenyap semua keangkerannya, meskipun sepasang taring masih bertengger di sudut-sudut mulutnya. Bacokan-bacokan Auyang Siau-pa yang sederhana tadi ternyata begitu menakutkan kecepatannya.

Sementara itu Auyang Siau-pa sendiri telah berdiri di tempatnya kembali dengan sikap acuh tak acuh, sambil memeluk goloknya yang sudah masuk ke sarungnya kembali. Mukanya tetap dingin tanpa perasaan, seakan- akan hal luar biasa yang baru saja dilakukannya itu bukanlah sesuatu yang patut dipuji.

Bahkan lawan-lawannya pun tidak melihat kapan ia menyarungkan goloknya, mereka hanya melihat cahaya golok lenyap dan tahu-tahu senjata itu sudah dalam sarungnya dan dipeluk di depan dada dengan tenangnya. Jelaslah bahwa Liong Pek-ji masih hidup bukan karena kepandaiannya yang tinggi namun karena Au-yang Siau-pa memang belum bermaksud membunuhnya.

Sementara itu Oh Yun-kim telah tertawa dan bertepuk tangan, sambil mengejek musuh-musuhnya, “Golok saudara Auyang benar-benar luar biasa cepatnya, siapa lagi yang ingin mencobanya?”

Tentu saja nyali Seng Cu-bok dan kawan-kawannya sudah menyusut banyak ketika melihat nasib mengenaskan yang dialami oleh Liong Pek-ji itu, bukan saja pamor mukanya gagal dipulihkan malahan semakin kehilangan muka. Pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu menyadari bahwa cukup Kwa Teng-siong dan Auyang Siau-pa saja sudah merupakan musuh-musuh tangguh yang sulit untuk dihadapi, apalagi merekapun kenal akan kelihaian Oh Yun-kim dengan tendangan kilatnya itu.

Tetapi untuk mundur begitu saja, tentu saja anak buah Te-liong Hiang-cu itu merasa kehilangan muka, maka Seng Cu-bok lalu bicara dengan sikap segagah mungkin, “Bagus, kalian ternyata mengandalkan mentang-mentang di kandang sendiri dan bersiap untuk mengeroyok kami. Tapi ingatlah, bahwa penghinaan kalian malam ini kelak akan kalian tebus, dengan harga mahal."

Lalu kepada rekan-rekannya Seng Cu-bok berkata, "Kita tidak punya lagi urusan di sini. Hayo kita pergi!"

Namun terlalu enak bagi Seng Cu-bok dan kawan-kawannya kalau bisa pergi begitu saja, karena Oh Yun-kim telah berkata, "Sehabis kalian berani mencuri dengar dan menyelidiki tempat kami ini, lalu kalian kira bisa pergi begitu saja? Mana ada urusan segampang ini? Kalian harus kami tangkap dan kami bawa ke markas untuk kami hadapkan kepada Pang-cu, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Bukan saja kesalahan mengintip pertemuan kami, tapi juga dosa besar kalian karena menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu.”

Memucatlah wajah ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu itu ketika mendengar ucapan Oh Yun-kim itu. Mereka sadar akan akibatnya apabila mereka benar-benar dibawa menghadap Tong Wi-siang, satu-satunya nasib yang bakalan mereka terima adalah dipaksa menelan Pil Penghancur Badan yang mengerikan itu. Namun untuk melarikan diri agaknya juga tidak mudah, sebab mereka sudah melihat kepandaian Kwa Teng-siong serta Auyang Siau-pa rata-rata di atas mereka semua.

Sedangkan Oh Yun-kim yang memang sangat benci kepada Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang dianggapnya telah menghancurkan cita-cita Hwe-liong-pang demi nafsu kekuasaan untuk diri pribadi itu, tentu saja tidak akan membiarkan ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu itu lepas begitu saja dari tangannya. Ia telah mendesak lagi kepada ketiga lawannya,

"Kalian tidak berhak menentang perintah Ketua sah Hwe-liong-pang yang menyuruh kami untuk menangkap kalian. Kalian jalan di depan. Cepat!"

Cacingpun kalau diinjak akan menggeliat. Maka Seng Cu-bok dan kawan-kawannya yang merasa terpojok itupun akhirnya merasa lebih baik melawan mati-matian, mereka terpojok sehingga menjadi beringas dan nekad. Seng Cu- bok menyahut mewakili rekan-rekannya, "Oh Yun-kim si Korea busuk, kalian terlalu mendesak kami! Kami akan mengadu jiwa denganmu!"

Kemudian secara kalap ia menerjang maju dengan Jurus Pat-hong-to-lian-hoan (Bacokan Beruntun Delapan Arah), cahaya goloknya pun berkelebatan hebat mengurung segenap tubuh Oh Yun-kim. Namun orang Korea itu memang sudah menduga bahwa ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu yang merasa terpojok itu tentu akan mengamuk, maka diam-diam ia sudah bersiap sedia dari tadi. Rupanya orang Korea itu sengaja memancing kemarahan mereka, agar dia sendiri pun punya kesempatan untuk menguji kepandaiannya setelah berlatih sekian bulan.

Begitu terjangan Seng Cu-bok tiba, lebih dulu Oh Yun-kim menghindar dengan gaya Leng-khong-po-hi (Melangkah Kosong di Tengah Udara), tubuhnya menjadi seringan kapas dan selalu "terbang" mendahului tajam golok lawannya, seakan-akan kesiuran angin golok lawan sudah cukup untuk meniup tubuhnya. Dengan cepat ke delapan bacokan beruntun Seng Cu-bok itu sudah habis tanpa seujung rambutpun berhasil mengenai sasarannya.

Dan ketika Seng Cu-bok sedang mengganti napas, bermaksud melanjutkan serangannya dengan jurus lain, Oh Yun-kim telah membentak, "Sekarang giliranku!"

Terlihat kaki orang Korea jago tendangan itu telah berkelebat bagaikan kilat menendang kepala Seng Cu-bok. Seng Cu-bok menghindarinya dengan jalan menundukkan kepalanya, namun tiba-tiba ia merasa angin gunung yang dingin telah menghembus kepalanya. Ketika ia melompat mundur dan memandang ke depan, nampaklah Oh Yun-kim masih berdiri di atas satu kaki dan masih dalam gaya menendang setinggi kepala.

Namun di ujung kakinya yang terangkat itu berkibarlah secarik kain yang bukan lain daripada ikat kepala Seng Cu-bok sendiri yang rupanya telah "disambarnya" dengan kakinya. Oh Yun-kim tersenyum-senyum mengejek melihat kekagetan lawannya, sementara kain ikat kepala itupun bergoyang- goyang seakan melambai-lambai kepada pemiliknya yang masih terlongong.

"Mampus kau Korea bangsat!" teriak Seng Cu-bok mata gelap. Sambil menggulingkan badannya dia mengayunkan goloknya untuk membabat kaki Oh Yun-kim yang menapak tanah. Tapi Oh Yun-kim lincah sekali berlompatan dengan satu kaki, sementara kaki lain tetap terangkat lurus dengan ikat kepala Seng Cu-bok tetap bergoyang gontai di ujungnya tanpa jatuh.

Begitu Seng Cu-bok meloncat berdiri, tiba-tiba Oh Yun-kim menggerakkan kakinya dan ikat kepala itu secara tepat hingga kembali ke kepala Seng Cu-bok. Mata Seng Cu-bok bagaikan menyala karena marah dan malunya akan penghinaan hebat itu, namun kemudian mata yang berapi-api itu jadi redup dan lesu, karena kenyataan di depan hidungnya telah membuktikan bahwa dia dan rekan-rekannya tidak akan mampu membalas penghinaan itu, karena para pengikut Tong Wi-siang itu benar-benar terlalu tangguh buat mereka bertiga.

Namun apakah mereka juga akan menurut begitu saja untuk diikat tangannya, digiring ke markas dan kemudian diharuskan menelan sebutir Pil Penghancur Badan? Dalam keadaan putus-asa dan patah semangat itu, tiba-tiba Seng Cu-bok telah menggerakkan goloknya secepat kilat, bukan ke arah musuh, melainkan ke arah tenggorokannya sendiri!

Namun sebelum mata golok itu memutuskan lehernya, mendadak melesatlah sebutir batu yang langsung menghantam batang golok itu sehingga lepas dani tangan Seng Cu-bok. Disusul dengan berkumandangnya suara bentakan bengis, "Manusia tak berguna! Hanya menemui kesulitan kecil saja terus hendak membunuh diri?"

Lalu dalam gelapnya malam nampak sesosok bayangan merah kehitam-hitaman yang berkelebat datang, dan tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki kurus berusia setengah umur, bermuka pucat, dan rambutnya yang terurai tidak digelung itu berwarna kemerah-merahan. Ia memakai mantel yang juga berwarna kemerah-merahan, sedang tangan kanannya menjinjing sebatang tongkat besi yang ujungnya berbentuk kepala ular malahan batang tongkatpun dihias dengan ukiran sisik-sisik ular pula.

Pendatang baru itu bukan lain adalah datuk sesat dari wilayah timur, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) dari Gunung Thay-san, salah seorang pengikut dan pembantu kepercayaan Te-liong Hiang-cu yang amat tangguh. Bahkan setelah tewasnya Sebun Say di Siong-san, boleh dikatakan Ang-mo-coa-ong adalah satu-satunya pendukung andalan Te-liong Hiang-cu yang masih setia.

Tentu saja Oh Yun-kim, Auyang Siau-pa serta Kwa Teng-siong sebagal anggota-anggota lama Hwe-liong-pang juga mengenal sampai di mana kelihaian tokoh yang pernah menjadi salah satu dari empat utusan Hwe-liong-pang itu. Kemunculan Tang Klau-po telah menimbulkan kecemasan Oh Yun-kim bertiga, bukan kecemasan tentang keselamatan diri sendiri, namun kecemasan bahwa jangan-jangan seluruh Tiau-im-hong telah dipenuhi oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya? Padahal Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang saat itu masih dalam usaha memperkuat diri dan belum siap untuk bertempur.

Sementara itu Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah memandang Oh Yun-kim bertiga dengan sikap mencemoohkan dan memandang rendah, lalu desisnya yang mirip desis ular itu, "Hemm, nampaknya kalian mengalami kemajuan yang agak berarti dalam ilmu silat kalian. Namun bagiku, kalian tetap merupakan tikus- tikus yang tidak berarti. Jika kalian bermimpi bahwa dengan ilmu silat kalian hendak mendukung bangkitnya kembali Tong Wi-siang untuk bersaing dengan Te-liong Hiang-cu kami, hemm, kalian agaknya sedang bermimpi di siang hari bolong."

Auyang Siau-pa yang biasanya pendiam itulah yang telah menyahut dengan tajamnya, "Kau tidak menakutkan kami, bahkan hanya membuat kami merasa muak saja, karena kalian secara tidak tahu malu telah bersekutu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng si Kaisar busuk itu!"

Menurut adatnya yang congkak itu, ingin rasanya Ang-mo- coa-ong memuntir kepala Auyang Siau-pa sehingga lepas dari lehernya, karena ucapannya yang dianggap sangat kurang ajar itu, padahal dulu Auyang Siau-pa dan mendiang kakak sepupunya selalu bersikap hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan memanggilnya "su-cia" atau "sin-seng". Tetapi Ang-mo-coa-ong kali ini harus menahan amarahnya, sebab ia tahu bahwa waktu dan tempat tidak mengijinkannya untuk mengumbar perasaan semau-maunya, karena tempat itu tidak terlalu jauh dari markas.

Jika sampai Hwe-liong Pang-cu atau tokoh-tokoh lainnya juga datang ke tempat itu, maka Ang-mo-coa-ong sadar bahwa untuk kaburpun sudah tidak mungkin bisa lagi. Terpaksa dengan menelan semua kedongkolannya, Ang-mo-coa-ong mengajak ketiga orang anak buahnya pergi dari situ. Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dalam beberapa kejap saja mereka telah menghilang di kaki bukit.

Oh Yun-kim dan rekan-rekannya pun tidak mengejar, sebab mereka sadar bahwa kekuatan mereka bertiga tidak akan mampu menangkap mereka, anak buah Te-liong Hiang-cu itu, karena adanya Ang-mo-coa-ong di tengah mereka. Dalam hati masing-masing, Oh Yun-kim dan kawan-kawannya menyesali kesempatan untuk menangkap pengikut-pengikut sl pengkhianat Te- liong Hiang-cu itu.

Auyang Slau-pa memandang kepergian Ang-mo-coa-ong itu dengan sinar mata yang memancarkan dendam kesumat, tak terkira dalamnya. Teringatlah dia akan suasana lembah Jian-hoa-kok, detik-detik menjelang kematian kakak misannya itu, saat diadakan pembersihan besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang dari unsur- unsur yang mengotorinya. Meskipun dalam kenyataannya sang kakak misan itu mati karena menggorok lehernya sendiri.

Namun dapat dikatakan bahwa yang mendorong kakaknya berbuat demikian itu adalah karena ulah Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, termasuk Ang-mo-coa-ong. Komplotan yang nembujuk kakak misannya untuk ikut berkhianat kepada Ketua yang sah, namun ketika komplotan itu hampir terbongkar, mereka mencuci tangan begitu saja dan membiarkan kakak misannya diadili tanpa perlindungan sedikitpun di hadapan Hwe-liong Pang-cu. Kakaknya yang merasa putus-asa karena merasa ditinggalkan begitu saja oleh komplotannya itu kemudian membunuh diri.

Namun Auyang Siau-pa tidak merasa dendam kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, karena sudah sewajarnya jika seorang pemimpin menghukum anak buahnya yang menyeleweng dari garis yang telah ditentukannya. Yang didendam oleh Auyang Siau-pa justru Te-liong Hiang-cu dan komplotannya yang telah membujuk kakak misannya namun kemudian melepaskannya sendiri secara pengecut. Sebaliknya Auyang Siau-pa malahan merasa berhutang budi kepada Tong Wi-siang karena waktu itu tidak menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Dalam pada waktu itu, berturut-turut Cu Keng-wan, Ma Hiong dan juga Lu Siong telah tiba di tempat itu karena mendengar suitan Kwa Teng-siong tadi. Mereka lalu berebutan bertanya apa yang telah terjadi di situ, dan Kwa Teng-siong lalu menceritakan segala sesuatunya secara ringkas.

“Gila! Kalau begitu kawanan pengkhianat itu masih berani juga berkeliaran di tempat ini?!" seru Lu Siong dengan terkejut dan marah setelah mendengar penuturan Kwa Teng-siong itu. "Ini kenyataan, harus secepatnya kita laporkan kepada Pang-cu agar bisa diambil persiapan seperlunya."

Keenam orang itupun segera kembali ke markas dengan setengah lari, dan mereka menjumpai suasana markas masih terasa tegang, penjagaan ketat nampak hampir di semua bagian. Keenam orang itu langsung menemui Tong Wi-siang untuk melaporkan segala sesuatunya.

Setelah mendengar laporan tersebut, Wi-siang serta Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin lalu mengadakan pemeriksaan sendiri di sekitar puncak Tiau-im-hong sampai hampir fajar, namun batang hidung Ang-mo-coa-ong dan kawan-kawannya sudah tidak terlihat lagi, agaknya mereka telah buru-buru meningggalkan puncak itu sebelum kepergok musuh yang lebih keras lagi.

Sementara itu, Ang-mo-coa-ong, Seng Cu-bok dan lain-lainnya ternyata tidak terlalu jauh larinya. Di sebuah hutan kecil yang tidak jauh letaknya dari Tiau-im-hong, mereka berhenti berlari, sebab di tempat itu telah menunggu sekelompok orang yang merupakan komplotan mereka, bahkan Te-liong Hiang-cu juga nampak berada di tempat itu.

Lebih dulu mereka memberi salam, setelah itu barulah Ang-mo-coa-ong berkata, "Yang berhasil mendekati markas dan bahkan mencuri dengar sebagian pembicaraan mereka, adalah Liong Tong-cu, meskipun kemudian Liong Tong-cu harus lari karena jejaknya diketahui oleh mereka, namun agaknya bagian pembicaraan mereka yang terpenting sudah berhasil disadapnya. Nah, Liong Tong-cu, silahkan kau laporkan sendiri hasil penyadapanmu kepada Pang-cu."

Liong Pek-ji merasa agak bangga juga mendapat kesempatan itu, biarpun tampangnya sudah tidak karuan karena sebagian rambutnya terpapas oleh golok Auyang Siau-pa, sementara pakaiannya pun robek-robek. Nada bangga terdengar jelas dalam suaranya,

"Aku berhasil mendekati ke aula tempat mereka berembug. Ternyata Tong Wi-siang telah mengutus Rahib Hong-goan untuk menghubungi pihak Siau-lim-pay dan kawan-kawannya, tujuannya adalah menjernihkan persoalan agar antara Tong Wi-siang dengan kaum sok suci itu tidak terjadi kesalahpahaman, apalagi pertumpahan darah. Rahib Hong-goan telah kembali dari tugasnya itu, dan agaknya tugasnya berhasil, artinya usul perdamaian itu diterima oleh pihak pendekar sok suci itu. Bahkan kutangkap pula kata-kata bahwa Tong Wi-siang akan membantu Siau-lim- pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya untuk menghadapi kita.”

"Kalau begitu, rencana kita untuk mengadu-domba antara Wi-siang dengan orang-orang sok suci itu agaknya mengalami hambatan berat," geram Te-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkorak yang masih saja menempel di wajahnya. Lanjutnya, "Tapi kita harus tetap mengusahakan agar Wi-siang bentrok dengan Hong-tay Hweshio dan kawan kawannya, agar kedua pihak hancur bersama-sama dan kitalah yang akan mengeruk keuntungan dari kehancuran mereka."

Sementara itu Tang Kiau-po melirik ke arah seorang lelaki berseragam perwira Kerajaan Beng yang ikut pula dalam pembicaraan antara Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itu. Kemudian Tang Kiau-po mengajukan usul, "Pang-cu, menurut pendapatku, sekarang kita tidak perlu lagi main sembunyi-sembunyian dengan Wi-siang, atau susah-payah mengadu-domba segala. Dulu , ketika kita masih lemah karena gagal menggempur kaum munafik di Siong-san, kita memang memerlukan siasat itu. Namun kini bukankah kedudukan kita cukup kuat? Kini kita punya sekutu Panglima Tio yang membawahi laksaan prajurit? Betapapun tangguhnya Tong Wi-siang dan anak buahnya, bahkan andaikata mereka bergabung dengan kaum munafik pimpinan Hong-tay gundul itu, kita tidak perlu takut, dengan bantuan panglima Tio masakan kita akan kalah? Kita gempur saja Tiau-im-hong dan mereka akan mampus."

Perwira yang duduk bersama Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itupun mengerutkan alisnya mendengar ucapan Tang Kiau-po itu. Yang disebut Panglima Tio oleh Ang-mo-coa-ong itu adalah atasannya yang saat itu berada di Jing-to, memimpin salah satu garis pertahanan terpenting dalam rangka menghadapi gelombang pemberontakan Li Cu-seng. Sedang perwira itu bukan lain adalah anak buahnya yang pernah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang, yaitu Cio Hong-hoat adanya.

Dia diutus oleh Panglimanya untuk mengadakan perundingan dengan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, kalau bisa membuat perjanjian yang saling menguntungkan kedua pihak. Agaknya Panglima Tio itupun menyadari bahwa biarpun prajuritnya banyak, namun membutuhkan orang- orang berilmu tinggi, seperti Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya untuk dirangkul ke pihaknya sebelum dirangkul oleh Li Cu-seng si raja pemberontak. Kini ketika mendengar usul Tang Kiau-po yang seenaknya itu, yang menganggap nyawa prajurit-prajurit Beng tidak berharga dan patut dikorbankan untuk kepentingan Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, ia menjawab dengan hati-hati,

"Kurasa usul saudara Tang itu agak sulit dilaksanakan. Harap saudara-saudara sekalian memahami kedudukan dan tugas Panglimaku di daerah ini, tugas utamanya bukan untuk mengurusi segala macam tetek- bengek dunia persilatan, namun untuk menghadapi si pemberontak Li Cu-seng. Panglimaku tentu bersedia membantu pang-cu menghadapi Tong Wi-siang, namun jika pengorbanannya tidak terlalu besar dan imbalannya, maksudku imbalan bantuan tenaga, juga cukup memadai. Namun jika pasukan kami harus berkurang banyak lebih dulu, untuk menghadapi Tong Wi-Siang dan kaum pendekar berbagai aliran, kalau tiba saatnya berhadapan dengan Li Cu-seng bagaimana kami bisa memenangkan perang ini? Lagipula menyakiti kaum pendekar sejagad itu berat akibatnya, sebab perhatian pemerintah sedang terpusat sepenuhnya menghadapi petani-petani yang memberontak itu.”

“Jadi, bagaimana pendapat Cio Thong-leng (tuan perwira Cio) yang dapat kami anggap mewakili Panglima Tio di Jing-to? Apa yang dimaksud dengan pengorbanan tidak terlalu besar dan imbalan berupa bantuan tenaga yang memadai?"

Jawab Cio Hong-hoat, "Begini, saudara Ketua, apabila Tong Wi-siang dan kaum pendekar berbagai aliran sampai mempersatukan kekuatannya, maka kekuatan mereka akan dahsyat sekali. Meskipun Tio Ciang-kun dapat menumpas mereka dengan tentaranya yang berlaksa-laksa serta bantuan dari Pang-cu dan anak buah Pang-cu, namun korban yang berjatuhan di pihak laskar kami pasti akan berjumlah sangat banyak. Jelas Panglimaku keberatan kalau hal ini terjadi. Kami akan membantu, tapi jika pihak Tong Wi-siang dan pihak pendekar sudah saling baku hantam dulu, sehingga untuk menumpas mereka tentu pengorbanan prajurit kami tak berarti jumlahnya. Sedangkan tentang imbalan tenaga dari pihak kalian, Panglimaku meminta janji Pang-cu, apabila kelak berhasil menduduki Tiau-im-hong dan berhasil menjadi ketua yang sah....”

"Sekarangpun aku adalah Ketua yang sah, apakah Cio Thong-leng meragukan hal ini?" potong Te-liong Hiang-cu dengan suara berang.

Cio Hong-hoat terperangah, mau tidak mau ia agak merasa seram juga berhadapan dengan orang bertopeng tengkorak yang duduk di depannya itu. Namun mengingat martabatnya sebagai perwira kerajaan, dia berusaha untuk bersikap tenang atas bentakan itu, sambil tertawa dia membetulkan kalimatnya,

“Ya, aku salah bicara, maaf. Maksudku bila kelak Pang-cu sudah menduduki Tiau-im-hong dan mengalahkan Wi-siang. Ketua yang tidak sah itu, panglima mohon agar Pang-cu suka menggunakan pengaruh Pang-cu untuk membujuk dunia persilatan agar berdiri di pihak Pasukan Pemerintah dalam usaha menumpas Li Cu-seng. Selain itu Panglima minta bantuan tenaga langsung, artinya Pang-cu dan anak buah Pang-cu harus bersedia turun ke medan perang langsung berhadapan dengan Li Cu-seng."

Diam-diam Te-liong Hiang-cu mendongkol mendengar persyaratan yang jelas lebih menguntungkan pihak Panglima Tio itu. Jika menuruti nafsu amarahnya, ingin rasanya ia menghancurkan kepala si perwira she Cio itu, toh menurut penilaiannya kepandaian perwira itu tidak lebih tinggi dari Liong Pek-ji atau Seng Cu-bok.

Namun jika ia berbuat demikian, ia akan kehilangan dukungan Panglima Tio dan bahkan menjadi musuhnya. Alangkah ngerinya kalau harus berhadapan dengan laksaan prajurit siap tempur, sedang kesempatannya menjadi Ketua Hwe- liong-pang pun akan tertutup sama sekali.

Pikirnya, "Si bangsat she Tio di Jing-to itu benar-benar keterlaluan, agaknya ia menyadari kedudukannya lebih baik dari aku dalam urusan tawar-menawar ini, sehingga persyaratan yang diajukannyapun kurang adil bagiku. Masakan dia hanya berani kehilangan sebagian kecil prajuritnya saja, untuk menumpas Wi-siang dan kaum munafik jika mereka sudah kelelahan baku hantam, sedang aku harus membantu dengan segenap pengaruh dan anak buahku apabila perang dengan Li Cu-seng pecah? Bangsat...!"
Selanjutnya;