Perserikatan Naga Api Jilid 32Karya : Stevanus S.P |
Sementara itu Oh Yun-kim telah tertawa dan bertepuk tangan, sambil mengejek musuh-musuhnya, “Golok saudara Auyang benar-benar luar biasa cepatnya, siapa lagi yang ingin mencobanya?”
Tentu saja nyali Seng Cu-bok dan kawan-kawannya sudah menyusut banyak ketika melihat nasib mengenaskan yang dialami oleh Liong Pek-ji itu, bukan saja pamor mukanya gagal dipulihkan malahan semakin kehilangan muka. Pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu itu menyadari bahwa cukup Kwa Teng-siong dan Auyang Siau-pa saja sudah merupakan musuh-musuh tangguh yang sulit untuk dihadapi, apalagi merekapun kenal akan kelihaian Oh Yun-kim dengan tendangan kilatnya itu. Tetapi untuk mundur begitu saja, tentu saja anak buah Te-liong Hiang-cu itu merasa kehilangan muka, maka Seng Cu-bok lalu bicara dengan sikap segagah mungkin, “Bagus, kalian ternyata mengandalkan mentang-mentang di kandang sendiri dan bersiap untuk mengeroyok kami. Tapi ingatlah, bahwa penghinaan kalian malam ini kelak akan kalian tebus, dengan harga mahal." Lalu kepada rekan-rekannya Seng Cu-bok berkata, "Kita tidak punya lagi urusan di sini. Hayo kita pergi!" Namun terlalu enak bagi Seng Cu-bok dan kawan-kawannya kalau bisa pergi begitu saja, karena Oh Yun-kim telah berkata, "Sehabis kalian berani mencuri dengar dan menyelidiki tempat kami ini, lalu kalian kira bisa pergi begitu saja? Mana ada urusan segampang ini? Kalian harus kami tangkap dan kami bawa ke markas untuk kami hadapkan kepada Pang-cu, untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian. Bukan saja kesalahan mengintip pertemuan kami, tapi juga dosa besar kalian karena menjadi pengikut Te-liong Hiang-cu si pengkhianat itu.” Memucatlah wajah ketiga orang pengikut Te-liong Hiang-cu itu ketika mendengar ucapan Oh Yun-kim itu. Mereka sadar akan akibatnya apabila mereka benar-benar dibawa menghadap Tong Wi-siang, satu-satunya nasib yang bakalan mereka terima adalah dipaksa menelan Pil Penghancur Badan yang mengerikan itu. Namun untuk melarikan diri agaknya juga tidak mudah, sebab mereka sudah melihat kepandaian Kwa Teng-siong serta Auyang Siau-pa rata-rata di atas mereka semua. Sedangkan Oh Yun-kim yang memang sangat benci kepada Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya yang dianggapnya telah menghancurkan cita-cita Hwe-liong-pang demi nafsu kekuasaan untuk diri pribadi itu, tentu saja tidak akan membiarkan ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu itu lepas begitu saja dari tangannya. Ia telah mendesak lagi kepada ketiga lawannya, "Kalian tidak berhak menentang perintah Ketua sah Hwe-liong-pang yang menyuruh kami untuk menangkap kalian. Kalian jalan di depan. Cepat!" Cacingpun kalau diinjak akan menggeliat. Maka Seng Cu-bok dan kawan-kawannya yang merasa terpojok itupun akhirnya merasa lebih baik melawan mati-matian, mereka terpojok sehingga menjadi beringas dan nekad. Seng Cu- bok menyahut mewakili rekan-rekannya, "Oh Yun-kim si Korea busuk, kalian terlalu mendesak kami! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" Kemudian secara kalap ia menerjang maju dengan Jurus Pat-hong-to-lian-hoan (Bacokan Beruntun Delapan Arah), cahaya goloknya pun berkelebatan hebat mengurung segenap tubuh Oh Yun-kim. Namun orang Korea itu memang sudah menduga bahwa ketiga pengikut Te-liong Hiang-cu yang merasa terpojok itu tentu akan mengamuk, maka diam-diam ia sudah bersiap sedia dari tadi. Rupanya orang Korea itu sengaja memancing kemarahan mereka, agar dia sendiri pun punya kesempatan untuk menguji kepandaiannya setelah berlatih sekian bulan. Begitu terjangan Seng Cu-bok tiba, lebih dulu Oh Yun-kim menghindar dengan gaya Leng-khong-po-hi (Melangkah Kosong di Tengah Udara), tubuhnya menjadi seringan kapas dan selalu "terbang" mendahului tajam golok lawannya, seakan-akan kesiuran angin golok lawan sudah cukup untuk meniup tubuhnya. Dengan cepat ke delapan bacokan beruntun Seng Cu-bok itu sudah habis tanpa seujung rambutpun berhasil mengenai sasarannya. Dan ketika Seng Cu-bok sedang mengganti napas, bermaksud melanjutkan serangannya dengan jurus lain, Oh Yun-kim telah membentak, "Sekarang giliranku!" Terlihat kaki orang Korea jago tendangan itu telah berkelebat bagaikan kilat menendang kepala Seng Cu-bok. Seng Cu-bok menghindarinya dengan jalan menundukkan kepalanya, namun tiba-tiba ia merasa angin gunung yang dingin telah menghembus kepalanya. Ketika ia melompat mundur dan memandang ke depan, nampaklah Oh Yun-kim masih berdiri di atas satu kaki dan masih dalam gaya menendang setinggi kepala. Namun di ujung kakinya yang terangkat itu berkibarlah secarik kain yang bukan lain daripada ikat kepala Seng Cu-bok sendiri yang rupanya telah "disambarnya" dengan kakinya. Oh Yun-kim tersenyum-senyum mengejek melihat kekagetan lawannya, sementara kain ikat kepala itupun bergoyang- goyang seakan melambai-lambai kepada pemiliknya yang masih terlongong. "Mampus kau Korea bangsat!" teriak Seng Cu-bok mata gelap. Sambil menggulingkan badannya dia mengayunkan goloknya untuk membabat kaki Oh Yun-kim yang menapak tanah. Tapi Oh Yun-kim lincah sekali berlompatan dengan satu kaki, sementara kaki lain tetap terangkat lurus dengan ikat kepala Seng Cu-bok tetap bergoyang gontai di ujungnya tanpa jatuh. Begitu Seng Cu-bok meloncat berdiri, tiba-tiba Oh Yun-kim menggerakkan kakinya dan ikat kepala itu secara tepat hingga kembali ke kepala Seng Cu-bok. Mata Seng Cu-bok bagaikan menyala karena marah dan malunya akan penghinaan hebat itu, namun kemudian mata yang berapi-api itu jadi redup dan lesu, karena kenyataan di depan hidungnya telah membuktikan bahwa dia dan rekan-rekannya tidak akan mampu membalas penghinaan itu, karena para pengikut Tong Wi-siang itu benar-benar terlalu tangguh buat mereka bertiga. Namun apakah mereka juga akan menurut begitu saja untuk diikat tangannya, digiring ke markas dan kemudian diharuskan menelan sebutir Pil Penghancur Badan? Dalam keadaan putus-asa dan patah semangat itu, tiba-tiba Seng Cu-bok telah menggerakkan goloknya secepat kilat, bukan ke arah musuh, melainkan ke arah tenggorokannya sendiri! Namun sebelum mata golok itu memutuskan lehernya, mendadak melesatlah sebutir batu yang langsung menghantam batang golok itu sehingga lepas dani tangan Seng Cu-bok. Disusul dengan berkumandangnya suara bentakan bengis, "Manusia tak berguna! Hanya menemui kesulitan kecil saja terus hendak membunuh diri?" Lalu dalam gelapnya malam nampak sesosok bayangan merah kehitam-hitaman yang berkelebat datang, dan tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki kurus berusia setengah umur, bermuka pucat, dan rambutnya yang terurai tidak digelung itu berwarna kemerah-merahan. Ia memakai mantel yang juga berwarna kemerah-merahan, sedang tangan kanannya menjinjing sebatang tongkat besi yang ujungnya berbentuk kepala ular malahan batang tongkatpun dihias dengan ukiran sisik-sisik ular pula. Pendatang baru itu bukan lain adalah datuk sesat dari wilayah timur, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) dari Gunung Thay-san, salah seorang pengikut dan pembantu kepercayaan Te-liong Hiang-cu yang amat tangguh. Bahkan setelah tewasnya Sebun Say di Siong-san, boleh dikatakan Ang-mo-coa-ong adalah satu-satunya pendukung andalan Te-liong Hiang-cu yang masih setia. Tentu saja Oh Yun-kim, Auyang Siau-pa serta Kwa Teng-siong sebagal anggota-anggota lama Hwe-liong-pang juga mengenal sampai di mana kelihaian tokoh yang pernah menjadi salah satu dari empat utusan Hwe-liong-pang itu. Kemunculan Tang Klau-po telah menimbulkan kecemasan Oh Yun-kim bertiga, bukan kecemasan tentang keselamatan diri sendiri, namun kecemasan bahwa jangan-jangan seluruh Tiau-im-hong telah dipenuhi oleh Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya? Padahal Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang saat itu masih dalam usaha memperkuat diri dan belum siap untuk bertempur. Sementara itu Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po telah memandang Oh Yun-kim bertiga dengan sikap mencemoohkan dan memandang rendah, lalu desisnya yang mirip desis ular itu, "Hemm, nampaknya kalian mengalami kemajuan yang agak berarti dalam ilmu silat kalian. Namun bagiku, kalian tetap merupakan tikus- tikus yang tidak berarti. Jika kalian bermimpi bahwa dengan ilmu silat kalian hendak mendukung bangkitnya kembali Tong Wi-siang untuk bersaing dengan Te-liong Hiang-cu kami, hemm, kalian agaknya sedang bermimpi di siang hari bolong." Auyang Siau-pa yang biasanya pendiam itulah yang telah menyahut dengan tajamnya, "Kau tidak menakutkan kami, bahkan hanya membuat kami merasa muak saja, karena kalian secara tidak tahu malu telah bersekutu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng si Kaisar busuk itu!" Menurut adatnya yang congkak itu, ingin rasanya Ang-mo- coa-ong memuntir kepala Auyang Siau-pa sehingga lepas dari lehernya, karena ucapannya yang dianggap sangat kurang ajar itu, padahal dulu Auyang Siau-pa dan mendiang kakak sepupunya selalu bersikap hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan memanggilnya "su-cia" atau "sin-seng". Tetapi Ang-mo-coa-ong kali ini harus menahan amarahnya, sebab ia tahu bahwa waktu dan tempat tidak mengijinkannya untuk mengumbar perasaan semau-maunya, karena tempat itu tidak terlalu jauh dari markas. Jika sampai Hwe-liong Pang-cu atau tokoh-tokoh lainnya juga datang ke tempat itu, maka Ang-mo-coa-ong sadar bahwa untuk kaburpun sudah tidak mungkin bisa lagi. Terpaksa dengan menelan semua kedongkolannya, Ang-mo-coa-ong mengajak ketiga orang anak buahnya pergi dari situ. Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga dalam beberapa kejap saja mereka telah menghilang di kaki bukit. Oh Yun-kim dan rekan-rekannya pun tidak mengejar, sebab mereka sadar bahwa kekuatan mereka bertiga tidak akan mampu menangkap mereka, anak buah Te-liong Hiang-cu itu, karena adanya Ang-mo-coa-ong di tengah mereka. Dalam hati masing-masing, Oh Yun-kim dan kawan-kawannya menyesali kesempatan untuk menangkap pengikut-pengikut sl pengkhianat Te- liong Hiang-cu itu. Auyang Slau-pa memandang kepergian Ang-mo-coa-ong itu dengan sinar mata yang memancarkan dendam kesumat, tak terkira dalamnya. Teringatlah dia akan suasana lembah Jian-hoa-kok, detik-detik menjelang kematian kakak misannya itu, saat diadakan pembersihan besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang dari unsur- unsur yang mengotorinya. Meskipun dalam kenyataannya sang kakak misan itu mati karena menggorok lehernya sendiri. Namun dapat dikatakan bahwa yang mendorong kakaknya berbuat demikian itu adalah karena ulah Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, termasuk Ang-mo-coa-ong. Komplotan yang nembujuk kakak misannya untuk ikut berkhianat kepada Ketua yang sah, namun ketika komplotan itu hampir terbongkar, mereka mencuci tangan begitu saja dan membiarkan kakak misannya diadili tanpa perlindungan sedikitpun di hadapan Hwe-liong Pang-cu. Kakaknya yang merasa putus-asa karena merasa ditinggalkan begitu saja oleh komplotannya itu kemudian membunuh diri. Namun Auyang Siau-pa tidak merasa dendam kepada Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang, karena sudah sewajarnya jika seorang pemimpin menghukum anak buahnya yang menyeleweng dari garis yang telah ditentukannya. Yang didendam oleh Auyang Siau-pa justru Te-liong Hiang-cu dan komplotannya yang telah membujuk kakak misannya namun kemudian melepaskannya sendiri secara pengecut. Sebaliknya Auyang Siau-pa malahan merasa berhutang budi kepada Tong Wi-siang karena waktu itu tidak menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dalam pada waktu itu, berturut-turut Cu Keng-wan, Ma Hiong dan juga Lu Siong telah tiba di tempat itu karena mendengar suitan Kwa Teng-siong tadi. Mereka lalu berebutan bertanya apa yang telah terjadi di situ, dan Kwa Teng-siong lalu menceritakan segala sesuatunya secara ringkas. “Gila! Kalau begitu kawanan pengkhianat itu masih berani juga berkeliaran di tempat ini?!" seru Lu Siong dengan terkejut dan marah setelah mendengar penuturan Kwa Teng-siong itu. "Ini kenyataan, harus secepatnya kita laporkan kepada Pang-cu agar bisa diambil persiapan seperlunya." Keenam orang itupun segera kembali ke markas dengan setengah lari, dan mereka menjumpai suasana markas masih terasa tegang, penjagaan ketat nampak hampir di semua bagian. Keenam orang itu langsung menemui Tong Wi-siang untuk melaporkan segala sesuatunya. Setelah mendengar laporan tersebut, Wi-siang serta Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin lalu mengadakan pemeriksaan sendiri di sekitar puncak Tiau-im-hong sampai hampir fajar, namun batang hidung Ang-mo-coa-ong dan kawan-kawannya sudah tidak terlihat lagi, agaknya mereka telah buru-buru meningggalkan puncak itu sebelum kepergok musuh yang lebih keras lagi. Sementara itu, Ang-mo-coa-ong, Seng Cu-bok dan lain-lainnya ternyata tidak terlalu jauh larinya. Di sebuah hutan kecil yang tidak jauh letaknya dari Tiau-im-hong, mereka berhenti berlari, sebab di tempat itu telah menunggu sekelompok orang yang merupakan komplotan mereka, bahkan Te-liong Hiang-cu juga nampak berada di tempat itu. Lebih dulu mereka memberi salam, setelah itu barulah Ang-mo-coa-ong berkata, "Yang berhasil mendekati markas dan bahkan mencuri dengar sebagian pembicaraan mereka, adalah Liong Tong-cu, meskipun kemudian Liong Tong-cu harus lari karena jejaknya diketahui oleh mereka, namun agaknya bagian pembicaraan mereka yang terpenting sudah berhasil disadapnya. Nah, Liong Tong-cu, silahkan kau laporkan sendiri hasil penyadapanmu kepada Pang-cu." Liong Pek-ji merasa agak bangga juga mendapat kesempatan itu, biarpun tampangnya sudah tidak karuan karena sebagian rambutnya terpapas oleh golok Auyang Siau-pa, sementara pakaiannya pun robek-robek. Nada bangga terdengar jelas dalam suaranya, "Aku berhasil mendekati ke aula tempat mereka berembug. Ternyata Tong Wi-siang telah mengutus Rahib Hong-goan untuk menghubungi pihak Siau-lim-pay dan kawan-kawannya, tujuannya adalah menjernihkan persoalan agar antara Tong Wi-siang dengan kaum sok suci itu tidak terjadi kesalahpahaman, apalagi pertumpahan darah. Rahib Hong-goan telah kembali dari tugasnya itu, dan agaknya tugasnya berhasil, artinya usul perdamaian itu diterima oleh pihak pendekar sok suci itu. Bahkan kutangkap pula kata-kata bahwa Tong Wi-siang akan membantu Siau-lim- pay, Bu-tong-pay dan lain-lainnya untuk menghadapi kita.” "Kalau begitu, rencana kita untuk mengadu-domba antara Wi-siang dengan orang-orang sok suci itu agaknya mengalami hambatan berat," geram Te-liong Hiang-cu dari balik topeng tengkorak yang masih saja menempel di wajahnya. Lanjutnya, "Tapi kita harus tetap mengusahakan agar Wi-siang bentrok dengan Hong-tay Hweshio dan kawan kawannya, agar kedua pihak hancur bersama-sama dan kitalah yang akan mengeruk keuntungan dari kehancuran mereka." Sementara itu Tang Kiau-po melirik ke arah seorang lelaki berseragam perwira Kerajaan Beng yang ikut pula dalam pembicaraan antara Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itu. Kemudian Tang Kiau-po mengajukan usul, "Pang-cu, menurut pendapatku, sekarang kita tidak perlu lagi main sembunyi-sembunyian dengan Wi-siang, atau susah-payah mengadu-domba segala. Dulu , ketika kita masih lemah karena gagal menggempur kaum munafik di Siong-san, kita memang memerlukan siasat itu. Namun kini bukankah kedudukan kita cukup kuat? Kini kita punya sekutu Panglima Tio yang membawahi laksaan prajurit? Betapapun tangguhnya Tong Wi-siang dan anak buahnya, bahkan andaikata mereka bergabung dengan kaum munafik pimpinan Hong-tay gundul itu, kita tidak perlu takut, dengan bantuan panglima Tio masakan kita akan kalah? Kita gempur saja Tiau-im-hong dan mereka akan mampus." Perwira yang duduk bersama Te-liong Hiang-cu dan orang-orangnya itupun mengerutkan alisnya mendengar ucapan Tang Kiau-po itu. Yang disebut Panglima Tio oleh Ang-mo-coa-ong itu adalah atasannya yang saat itu berada di Jing-to, memimpin salah satu garis pertahanan terpenting dalam rangka menghadapi gelombang pemberontakan Li Cu-seng. Sedang perwira itu bukan lain adalah anak buahnya yang pernah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang, yaitu Cio Hong-hoat adanya. Dia diutus oleh Panglimanya untuk mengadakan perundingan dengan Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, kalau bisa membuat perjanjian yang saling menguntungkan kedua pihak. Agaknya Panglima Tio itupun menyadari bahwa biarpun prajuritnya banyak, namun membutuhkan orang- orang berilmu tinggi, seperti Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya untuk dirangkul ke pihaknya sebelum dirangkul oleh Li Cu-seng si raja pemberontak. Kini ketika mendengar usul Tang Kiau-po yang seenaknya itu, yang menganggap nyawa prajurit-prajurit Beng tidak berharga dan patut dikorbankan untuk kepentingan Te-liong Hiang-cu dan komplotannya, ia menjawab dengan hati-hati, "Kurasa usul saudara Tang itu agak sulit dilaksanakan. Harap saudara-saudara sekalian memahami kedudukan dan tugas Panglimaku di daerah ini, tugas utamanya bukan untuk mengurusi segala macam tetek- bengek dunia persilatan, namun untuk menghadapi si pemberontak Li Cu-seng. Panglimaku tentu bersedia membantu pang-cu menghadapi Tong Wi-siang, namun jika pengorbanannya tidak terlalu besar dan imbalannya, maksudku imbalan bantuan tenaga, juga cukup memadai. Namun jika pasukan kami harus berkurang banyak lebih dulu, untuk menghadapi Tong Wi-Siang dan kaum pendekar berbagai aliran, kalau tiba saatnya berhadapan dengan Li Cu-seng bagaimana kami bisa memenangkan perang ini? Lagipula menyakiti kaum pendekar sejagad itu berat akibatnya, sebab perhatian pemerintah sedang terpusat sepenuhnya menghadapi petani-petani yang memberontak itu.” “Jadi, bagaimana pendapat Cio Thong-leng (tuan perwira Cio) yang dapat kami anggap mewakili Panglima Tio di Jing-to? Apa yang dimaksud dengan pengorbanan tidak terlalu besar dan imbalan berupa bantuan tenaga yang memadai?" Jawab Cio Hong-hoat, "Begini, saudara Ketua, apabila Tong Wi-siang dan kaum pendekar berbagai aliran sampai mempersatukan kekuatannya, maka kekuatan mereka akan dahsyat sekali. Meskipun Tio Ciang-kun dapat menumpas mereka dengan tentaranya yang berlaksa-laksa serta bantuan dari Pang-cu dan anak buah Pang-cu, namun korban yang berjatuhan di pihak laskar kami pasti akan berjumlah sangat banyak. Jelas Panglimaku keberatan kalau hal ini terjadi. Kami akan membantu, tapi jika pihak Tong Wi-siang dan pihak pendekar sudah saling baku hantam dulu, sehingga untuk menumpas mereka tentu pengorbanan prajurit kami tak berarti jumlahnya. Sedangkan tentang imbalan tenaga dari pihak kalian, Panglimaku meminta janji Pang-cu, apabila kelak berhasil menduduki Tiau-im-hong dan berhasil menjadi ketua yang sah....” "Sekarangpun aku adalah Ketua yang sah, apakah Cio Thong-leng meragukan hal ini?" potong Te-liong Hiang-cu dengan suara berang. Cio Hong-hoat terperangah, mau tidak mau ia agak merasa seram juga berhadapan dengan orang bertopeng tengkorak yang duduk di depannya itu. Namun mengingat martabatnya sebagai perwira kerajaan, dia berusaha untuk bersikap tenang atas bentakan itu, sambil tertawa dia membetulkan kalimatnya, “Ya, aku salah bicara, maaf. Maksudku bila kelak Pang-cu sudah menduduki Tiau-im-hong dan mengalahkan Wi-siang. Ketua yang tidak sah itu, panglima mohon agar Pang-cu suka menggunakan pengaruh Pang-cu untuk membujuk dunia persilatan agar berdiri di pihak Pasukan Pemerintah dalam usaha menumpas Li Cu-seng. Selain itu Panglima minta bantuan tenaga langsung, artinya Pang-cu dan anak buah Pang-cu harus bersedia turun ke medan perang langsung berhadapan dengan Li Cu-seng." Diam-diam Te-liong Hiang-cu mendongkol mendengar persyaratan yang jelas lebih menguntungkan pihak Panglima Tio itu. Jika menuruti nafsu amarahnya, ingin rasanya ia menghancurkan kepala si perwira she Cio itu, toh menurut penilaiannya kepandaian perwira itu tidak lebih tinggi dari Liong Pek-ji atau Seng Cu-bok. Namun jika ia berbuat demikian, ia akan kehilangan dukungan Panglima Tio dan bahkan menjadi musuhnya. Alangkah ngerinya kalau harus berhadapan dengan laksaan prajurit siap tempur, sedang kesempatannya menjadi Ketua Hwe- liong-pang pun akan tertutup sama sekali. Pikirnya, "Si bangsat she Tio di Jing-to itu benar-benar keterlaluan, agaknya ia menyadari kedudukannya lebih baik dari aku dalam urusan tawar-menawar ini, sehingga persyaratan yang diajukannyapun kurang adil bagiku. Masakan dia hanya berani kehilangan sebagian kecil prajuritnya saja, untuk menumpas Wi-siang dan kaum munafik jika mereka sudah kelelahan baku hantam, sedang aku harus membantu dengan segenap pengaruh dan anak buahku apabila perang dengan Li Cu-seng pecah? Bangsat...!" |
Selanjutnya;
|