Perserikatan Naga Api Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 31

Karya : Stevanus S.P
DALAM saat segenting itu, Rahib Hong-goan berseru kepada Ketuanya, “Pang-cu, kukira kurang menguntungkan jika kita terus menerus berada di atas genteng dan menjadi sasaran empuk panah lawan. Bagaimana kalau kita turun kembali saja dan bertempur di lorong-lorong sempit itu?”

Meskipun pikiran Tong Wi-siang sedang keruh oleh hawa membunuh yang dipancarkan oleh Jit-kui-po-kiam-nya, namun tidak berarti ia kehilangan seluruh akal sehatnya. Ia masih dapat melihat bahwa sudah dua orang di pihaknya yang menderita luka, maka diapun menyahut, “Baik. Kita turun dan bertempur beradu muka dengan begundal-begundal Cong-ceng itu!”

Namun di atas tanah boleh dikatakan sudah tidak ada tempat berpijak sejengkalpun. Di situ tentara kerajaan yang berjumlah ratusan orang sudah berjubal-jubal dan menanti dengan ujung-ujung senjata mereka yang berkilat. Melompat ke bawah sama dengan menerjunkan diri untuk menyongsong ujung-ujung senjata yang haus darah itu.

Hong-goan Hweshio memahami keadaan itu, namun dia bukan cuma pandai mengusulkan namun juga sudah memikirkan caranya. Serunya, “Biarlah aku lebih dulu membuka jalan untuk kalian!”

Lalu tanpa ragu-ragu atau menunggu jawaban lagi, dia langsung melompat turun dari atas genteng itu. Sebelum mencapai tanah dia telah menjungkir balikkan badannya sehingga kaki di atas dan kepala di bawah, sementara senjata hong-pian-jan di tangannya telah berputar sekencang baling-baling yang terhembus angin badai.

Rahib ini benar-benar hebat. Terdengarlah suara bentakan ramai, suara senjata para prajurit yang terlempar dari tangan pemiliknya masing-masing, lalu beberapa orang prajurit sial telah terlempar karena kena tendangan rahib perkasa itu. Dalam keadaan seperti itupun agaknya Rahib Hong-goan masih segan untuk melakukan pembunuhan, kecuali jika keadaan memaksa, terbukti dalam kali itupun tidak ada seorang pun prajurit yang terbunuh, paling-paling hanya pingsan terkena tendangannya.

Setelah mencarikan “tempat pendaratan” bagi kawan-kawannya, maka berturut-turut melompatlah Ling Thian-ki, Siangkoan Hong, Kwa Heng, Lu Siong dan lain-lainnya. Dengan demikian kini para prajurit kerajaan itu tidak bisa lagi mengandalkan senjata panah mereka, dan sekarang mereka dipaksa untuk mencabut pedang mereka dan melayani musuh-musuh mereka dalam suatu pertempuran jarak dekat yang berjubel-jubel.

Di antara perwira-perwira yang memimpin prajurit-prajurit itu ada pula beberapa orang perwira yang memiliki tingkatan ilmu silat yang agak lumayan, namun paling- paling mereka itu tidak cukup berharga untuk menahan amukan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, apalagi Tong Wi-siang dan Siangkoan Hong yang mewarisi ilmu Bu-san-jit-kui yang mengerikan itu.

Namun segi jumlah ternyata ikut menentukan jalannya pertempuran pula. Betapa lihainya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu, namun mereka kewalahan juga menghadapi prajurit yang berjumlah ratusan itu. Lapisan kepungan terdepan sudah dibabat habis, muncullah lapisan kedua dan seterusnya, sehingga kepungan itu bagaikan berlapis- lapis dan tak tertembus. Bahkan Tong Wi-siang yang berilmu paling tinggi dan sangat mengandalkan pedang Jit-kui-po-kiam itupun mulai kerepotan juga. Luka dalamnya mulai terasa lagi akibat pengerahan tenaganya yang berlebihan, gerakannya pun mulai semakin lambat.

Melihat itu, Siangkoan Hong mulai mencemaskan ketuanya sekaligus sahabatnya itu. Siangkoan Hong sendiri mengalami luka-luka, namun hanyalah luka-luka luar saja. Matanya segera berkeliaran ke sekeliling medan untuk mencari celah-celah yang kira-kira dapat digunakan untuk meloloskan diri. Tetapi kepungan tentara kerajaan itu benar-benar rapat luar biasa. Terpaksa Siangkoan Hong harus selalu bertempur berdekatan dengan Tong Wi-siang untuk melindungi ketuanya itu.

Dalam cemasnya, Siangkoan Hong sempat bertanya, “A-siang, bagaimana dengan luka-lukamu?”

Demikianlah, karena begitu terbawa oleh gejolak perasaannya, maka Siangkoan Hong telah memanggilnya “A-siang” dan bukan “Pang-cu” seperti panggilan biasanya. Dalam keadaan terjepit antara batas mati hidup itu maka Siangkoan Hong tidak kenal lagi kepada Hwe-liong-pang-cu yang menyeramkan itu, yang dikenalnya hanyalah A-siang, sahabat karibnya sejak masih kanak-kanak di An-yang-shia itu.

Namun Tong Wi-siang yang tengah terpengaruh oleh sifat gaib dari Jit-kui-po-kiam itu telah menyahut dengan kasarnya, “Persetan, aku bukan orang banci yang membutuhkan pertolonganmu! Aku adalah Hwe-liong-pang-cu, calon maharaja negeri ini! Lihatlah, hari ini aku akan menghirup darah begundal-begundal Cong-ceng ini sebanyak-banyaknya!”

Meskipun suaranya begitu garang dan diucapkan dengan nada yang menggidikkan hati, tetapi sesungguhnya tenaga Tong Wi-siang sudah hampir terkuras habis. Ayunan pedangnya sudah tidak semantap tadi lagi, bahkan kadang-kadang nampak ngawur. Namun pengaruh gaib Jit-kui-po-kiam itu membuatnya masih saja merasa haus darah dan ingin membunuh lebih banyak lagi.

Siangkoan Hong menyadari, meskipun ia mengajak bicara sampai bibirnya robek sekalipun, sahabat dan ketuanya itu tidak akan dapat berpikir jernih, kecuali kalau Jit-kui-po- kiam sudah dilepaskan dari tangannya. Maka Siangkoan Hong mengambil tindakan yang nekad. Tiba-tiba dia menghantam pergelangan tangan Tong Wi-siang sehingga Jit-kui-po-kiam lepas dari tangan Wi-siang. Sang Ketua itu terkejut dan berteriak, “A-hong! Apakah kau sudah gila?!”

Sahut Siangkoan Hong dengan terpaksa, “Maaf, A-siang, kau harus beristirahat karena keadaan tubuhmu yang belum sehat benar. Biarkanlah kami yang bertempur untukmu, untuk membawamu keluar dari tempat keparat itu.”

Sambil bicara itu maka jari-jari Siangkoan Hong bekerja pula untuk menotok beberapa jalan darah di tubuh Tong Wi-siang sehingga Ketua Hwe-liong-pang itu terkulai lemas. Setelah menyarungkan kembali pedang Jit-kui-po-kiam ke sarungnya di pinggang Tong Wi-siang, maka Siangkoan Hong lalu memanggul tubuh Ketuanya itu sambil berseru kepada orang-orangnya, “Terjang ke barat! Selamatkan Pang-cu!”

Sebaliknya di pihak lawanpun terdengar aba-aba, “Perketat kepungan! Mereka akan kehabisan tenaga! Jika mereka tertangkap akan berarti hilangnya sebuah penyakit bagi Kerajaan kita, dan pahala buat kalian!”

Yang berteriak-teriak memimpin ini adalah seorang perwira bertubuh gemuk pendek dan berjenggot kaku seperti ijuk, dia memainkan pedangnya dengan gaya ilmu pedang Heng-san-pay. Gerakannya mantap dan keras, ilmunya cukup tangguh, sebab terbukti ia telah sanggup meladeni Hong-goan Hweshio selama ratusan jurus tanpa terdesak sedikitpun.

Siangkoan Hong melihat bahwa perwira gemuk pendek ini agaknya merupakan “otak” dari pengurungan ini. Maka sambil tetap memondong tubuh Wi-siang, dia menerjang ke arah perwira gemuk pendek itu. Karena keadaan yang sangat mendesak, maka Siangkoan Hong langsung saja menggunakan sebuah ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui yang sangat lihai yang disebut Jit-kui-tiau-goat-sin-kang (Ilmu Sakti Tujuh Setan Menyembah Bulan). Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera aneh, lalu ia membentak kepada perwira itu, “Mampus kau!”

Perwira yang sedang bertempur dengan Hong-goan Hweshio itu segera mulai merasakan ada semacam pengaruh aneh yang menyusup ke dalam tubuhnya dan mengendalikan semua gerak-geriknya. Dengan terkejut dia mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk mengatasi pengaruh aneh yang tak dikenalnya itu, namun ternyata pengaruh itu terlalu kuat dan perwira itu gagal mengatasinya. Ketika pandangan matanya membentur pandangan mata Siangkoan Hong dari balik topeng tengkoraknya yang bersinar kehijauan seperti mata kucing itu, maka runtuhlah pertahanan perwira itu.

Hong-goan Hweshio bukan seorang yang kejam dan gemar membunuh, maka ketika melihat lawannya sudah tak berdaya, dia hanya ingin melumpuhkannya saja. Tapi ia kalah cepat dari Siangkoan Hong, sebab Siangkoan Hong telah lebih dulu mengayunkan pedangnya untuk menembus perut perwira itu. Keanehan dan keganasan Siangkoan Hong mau tidak mau membuat prajurit-prajurit kerajaan itu merasa gentar juga. kepungan menjadi agak kacau, beberapa orang perwira mencoba mengambil alih pimpinan untuk menggantikan si perwira gemuk yang tewas itu, namun mereka tidak berhasil mengatasi kepanikan yang melanda anak buahnya.

“Ilmu siluman!” teriak beberapa orang prajurit dengan ketakutan. “Kita tidak berhadapan dengan manusia-manusia biasa namun sedang berhadapan dengan siluman-siluman!”

Siangkoan Hong tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan prajurit-prajurit itu, serunya, “Betul, aku memang siluman, kalian mau apa?! Lihat ilmu silumanku yang lain!”

Lalu tangannya merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan butiran-butiran hitam yang langsung disebarkannya ke tengah-tengah para prajurit-prajurit. Begitu butiran-butiran itu menyentuh tanah atau membentur benda lain, seketika meledak dan menyebarkan kabut beracun yang berwarna merah.

Pasukan kerajaan menjadi semakin panik, apalagi karena selain kabut beracun itu juga tersebarlah jarum-jarum halus yang langsung merobohkan belasan orang prajurit. Bahkan ada dua orang perwira yang berkepandaian cukup tangguh juga ikut roboh oleh jarum beracun itu.

“Itulah Tong-bu-kiam-ciam-co-boh-tan (Peluru Maut Jarum dan Kabut) hasil karya Hwe-liong-pang kami!” teriak Siangkoan Hong sambil tertawa. “Siapa yang masih ingin hidup cepatlah menyingkir dan memberi jalan kepada kami!”

Kawanan prajurit pada menjelang akhir Kerajaan Beng itu memang sudah begitu bobrok. Mereka bisa bersikap garang jika hanya menghadapi para pencoleng kecil atau rakyat yang tidak bersenjata. Namun begitu menemui lawan yang keras, maka yang terpikir oleh prajurit-prajurit itu hanyalah bagaimana cara memperpanjang umurnya sendiri. Bahkan sikap semacam itu terdapat pula di antara para perwiranya.

Para perwira itu, meskipun masih saja berteriak-teriak menganjurkan anak buanya untuk menyerang, namun perwira perwira itu sendiri tetap saja di garis belakang. Meskipun begitu, kepungan itu memang ketat, dan tidak semua prajurit serta perwira sepengecut itu. Usaha tokoh-tokoh Hwe-liong-pang untuk memecahkan kepungan itu jelas merupakan usaha yang sulit.

Lu Siong merasakan luka-lukanya semakin berat, sehingga dia harus diseret oleh Kwa Heng dan Ji Tiat sambil bertempur. Di sekitar mereka, Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong juga masih bertahan dengan gigihnya.

Pada waktu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu sudah dalam keadaan yang demikian gawatnya, tiba-tiba di bagian belakang dari kepungan pasukan kerajaan itu terjadi keributan, bahkan terdengar pula benturan-benturan senjata dan teriakan-teriakan kesakitan. Siangkoan Hong sesaat mencoba mengamati apa yang terjadi di bagian belakang pasukan kerajaan itu, maka sesaat kemudian ia pun berseru dengan penuh semangat,

“Itulah Lim Hong-pin bersama-sama dengan Oh Yun-kim dan In Yong serta puluhan orang anggota kita yang datang untuk membantu kita!”

Seruan Siangkoan Hong itu memang berhasil membangkitkan semangat dari Hong-goan Hweshio dan lain-lainnya yang hampir putus asa itu. Bangkitnya semangat mereka membuat tenaga merekapun seakan bertambah, bahkan Lu Siong yang tadinya sudah pasrah nasib itu kini pun mulai bersemangat kembali.

Yang datang itu memang Lim Hong-pin, diiringi oleh Lam-ki-tong-cu In Yong dan Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim, beserta anggota Hwe-liong-pang yang berjumlah puluhan orang. Kota Chung-king itu memang tidak jauh lagi letaknya dari Gunung Bu-san, tempat bermarkasnya Hwe-liong-pang, maka pengaruh Hwe-liong-pang di daerah itupun terasa sangat kuatnya.

Serbuan Lim Hong-pin dan orang-orangnya itu ternyata mampu membuat pasukan kerajaan jadi kacau-balau di bagian belakang. Meskipun jumlah orang-orang Hwe-liong- pang itu tidak melebihi empat puluh orang, namun kepandaian silat rata-rata orang-orang Hwe-liong-pang itu cukup tangguh.

Terutama Lim Hong-pin sendiri yang tandangnya bagaikan seekor serigala buas di tengah kerumunan kelinci-kelinci lemah. Meskipun ia tidak bersenjata, namun prajurit-prajurit yang berani menghalang-halanginya akan dilempar-lemparkannya satu demi satu, seringan orang melempar-lemparkan potongan-potongan kayu saja!

Selain itu, Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) itupun mengamuk tanpa senjata pula. Meskipun tidak sehebat Lim Hong-pin, tapi tendangan-tendangan geledeknya yang ampuh itu telah menjungkalkan belasan orang prajurit. Begitu pula Hong- lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong juga telah melancarkan jurus-jurus sepasang goloknya secara tidak kenal ampun, membuat barisan tentara kerajaan yang semakin berantakan.

Tidak memakan waktu terlalu lama, barisan Lim Hong-pin telah dapat bergabung dengan barisan Siangkoan Hong. Begitu melihat Tong Wi-siang berada dalam gendongan Siangkoan Hong, terkejutlah Lim Hong-pin. Tanyanya dengan cemas, “Apa yang terjadi dengannya?”

Sahut Siangkoan Hong, “Tidak apa-apa. Aku hanya menotoknya lemas supaya ia tidak semakin parah lukanya. Dia terlalu terpengaruh oleh pedang Jit-kui-po-kiam dan mengamuk hebat sehingga melupakan keadaan tubuhnya yang belum begitu sehat. Aku terpaksa melumpuhkannya dan tidak mengijinkannya ikut bertempur.”

Lim Hong-pin tampak lega, namun ia sempat menggerutu juga, “Yang jadi ketua itu kau atau A-siang? Kenapa kau berkata dengan memakai istilah “tidak mengijinkan’?”

Di tengah kepungan itu Siangkoan Hong masih sempat tertawa mendengar gurauan sahabatnya itu. Tanyanya, “Bagaimana keadaan di cong-toh (markas besar)?”

“Menguntungkan kita. Sisa anak buah yang berada di cong-toh ternyata tetap setia kepada Ketua yang sah. Tapi percakapannya kita lanjutkan nanti saja, yang penting adalah membawa seluruh anak buah kita ini keluar dari kepungan, bahkan keluar sekalian dari kota Chung-king ini,” sahut Lim Hong-pin.

Dengan bergabungnya dua kelompok Hwe-liong-pang itu, maka bobollah kepungan prajurit-prajurit kerajaan itu, apalagi menghadapi amukan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merupakan pewaris-pewaris tidak langsung dari kepandaian rahasia Bu-san-jit-kui yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu. Tanpa perlawanan yang berarti, rombongan Hwe-liong-pang itu berhasil mencapai pintu gerbang barat kota Chung-king dan langsung menerobos keluar kota.

Pihak tentara kerajaan tidak mengejar lebih lanjut. Selain merasa gentar akan kegagahan orang-orang Hwe-liong-pang, pihak kerajaan juga menganggap Hwe-liong-pang bukan lawan penting yang harus diladeni mati-matian, yang lebih penting adalah melawan laskar pemberontak Li Cu-seng yang semakin kuat dan semakin mendekati wilayah itu.

Begitu telah tiba di luar tembok kota, rombongan Hwe-liong-pang itu segera berhenti. Lebih dulu mereka mengobati Lu Siong, Ji Tiat dan Au-yang Siau-pa yang mendapat luka dalam pertempuran tadi. Sedangkan Wi- siang telah dibebaskan dari totokannya oleh Siangkoan Hong. Setelah itu secara resmi Siangkoan Hong memberi hormat kepada Tong Wi-siang sambil berkata,

“Siau-te (adik) telah bertindak kurang hormat tadi kepada Pang-cu dan siap menerima hukuman.”

Meskipun dalam hubungan sehari-harinya Tong Wi-siang dan Siangkoan Hong sangat akrab, bahkan saling memanggil namanya dengan begitu saja, tapi di hadapan sekian banyak anggota Hwe-liong-pang Siangkoan Hong tidak berani bersikap kurang hormat, sebab betapapun juga ia harus ikut menjaga kewibawaan Ketuanya di hadapan segenap anggota.

Namun Tong Wi-siang yang sudah bebas dari totokan itu ternyata tidak marah, sambil menepuk-nepuk pundak Siangkoan Hong ia berkata, “Jika tidak ada tindakanmu yang tegas tadi, barangkali saat ini aku sudah menjadi seonggok daging cincang di tengah-tengah kota Chung-king. Kau tidak bersalah.”

Setelah mengucapkan terima kasihnya, Siangkoan Hong bangkit dari berlututnya. Kemudian Tong Wi-siang mengalihkan pandangannya kepada Lim Hong-pin dan bertanya, “Kau kuberi tugas untuk menenteramkan dan menguasai keadaan di cong-toh, apakah sudah berhasil?”

Sahut Lim Hong-pin, “Keadaan Cong-toh telah berhasil kami kuasai dengan cepat. Semua anak buah menyatakan tetap setia kepada Pang-cu dan menyatakan marah atas pengkhianatan Tan Goan-ciau. Ada juga beberapa orang anggota yang nampaknya berpihak kepada Tan Goan-ciau, kini mereka sudah kumasukkan ke dalam kurungan dan menunggu keputusan Pang-cu lebih lanjut.”

Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dengan perasaan puas, kemudian ia bertanya kepada Oh Yun-kim dan In Yong, “Kalian kutugaskan untuk mengamati daerah- daerah sepanjang jalan yang kulewati dalam perjalanan pulangku ke Bu-san. Bagaimana laporan kalian?”

Oh Yun-kim melapor lebih dulu, “Hamba bersama dengan beberapa saudara-saudara kita dari Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) telah menyelidiki di kota I-pin dengan seksama. Keadaan di kota itu sudah berubah. Laskar pemberontak Li Cu-seng telah menguasai daerah pedesaan, bahkan sudah berani merembes ke dalam kota pula. Dalam kota I-pin sendiri tidak ada tentara Cong-ceng sedikitpun, kabarnya seluruh pasukan telah ditarik mundur ke perbatasan Ou-lam untuk membendung laskar Li Cu-seng di sana.”

“Jadi kota I-pin telah dilepaskan begitu saja oleh tentaranya Cong-ceng?” tanya Wi-siang.

“Benar, Pang-cu. Pihak Kerajaan Beng agaknya lebih suka memusatkan pasukannya dalam sebuah pasukan yang besar dan kuat, daripada terpencar-pencar dan menjadi makanan empuk bagi laskar pemberontak.”

“Baiklah. Sekarang aku ingin mendengar laporan dari Lam-ki-tong-cu In Yong!”

In Yong pun segera memberi laporan, “Aku bersama-sama dengan beberapa anggota Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) telah menyelidiki ke kota Jing-toh (ibukota wilayah Su-coan). Sekarang ini di dalam kota sudah ada dua ratus ribu tentara kerajaan yang siap bertempur, pengaruh Li Cu-seng belum terasa di tempat ini.”

“Kalau begitu kita akan melewati I-pin saja dan menjauhi Jing-toh,” kata Tong Wi-siang. “Meskipun Li Cu-seng bukan sahabat kita, namun dalam keadaan seperti ini lebih baik bertemu dengan Li Cu-seng daripada bertemu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng itu.”

Kemudian Tong Wi-siang berkata kepada Oh Yun-kim, “Oh Tong-cu, seluruh anggota Pek-ki-tong kuperintahkan untuk memanggil pulang semua anggota kita yang masih terpencar di berbagai kota, semuanya harus sudah berkumpul di cong-toh dalam waktu sepuluh hari. Namun orang-orang kita yang bertindak sebagai mata-mata untuk mengamati keadaan tidak usah dipanggil pulang, biarkan mereka tetap di tempatnya masing-masing dengan tugasnya.”

Oh Yun-kim cepat berlutut dan menyatakan siap, setelah itu lalu berpisah untuk mengerjakan tugas barunya itu. Sedangkan Tong Wi-siang, Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki, Kwa Heng, Lu Siong, Ji Tiat, Au-yang Siau-pa, Ma Hiong serta In Yong serta anak buah Hwe-liong-pang lainnya segera melanjutkan perjalanan menuju ke bukit Bu-san.

Dulu, ketika Tong Wi-siang berempat menemukan tempat penyimpanan warisan-warisan Bu-san-jit-kui, mereka pernah punya rencana untuk menjadikan puncak Yu-kui- hong sebagai markas pusat Hwe-liong-pang. Namun karena tempat itu letaknya hampir tegak lurus dengan tanah, terlalu sukar dicapai dan tidak terlalu luas pula, maka akhirnya mereka bersepakat untuk mencari tempat lain sebagai markas pusat. Kini yang dijadikan pusat adalah puncak Tiau-im-hong.

Selama dalam perjalanan pulang itu, rombongan Tong Wi-siang bertemu dengan arus pengungsi yang tidak henti-hentinya mengalir ke arah timur. Tidak jarang pula mereka bertemu dengan sepasukan kecil pasukan kerajaan, atau sekelompok kecil laskar pemberontak. Kedua pasukan yang bertengkar ini ternyata sama-sama tidak memikirkan keselamatan orang banyak, bahkan membebani pundak rakyat kecil dengan kesusahan yang semakin menumpuk. Pasukan Kerajaan Beng sering merampas bahan pangan milik rakyat dengan alasan “untuk membiayai tentara pemerintah yang sedang berjuang untuk melindungi rakyat dari gangguan pengacau”.

Sebaliknya pihak laskar pemberontak juga gemar memaksa laki-laki yang bertubuh masih kuat untuk bergabung dengan mereka, tentu saja disertai dengan bujukan-bujukan yang menarik dan semboyan-semboyan yang mendirikan bulu kuduk seperti “berjuang untuk keadilan” dan sebagainya. Tapi tidak jarang laskar pemberontak ini memaksa secara kekerasan kepada orang yang enggan memanggul senjata. Begitulah kocar-kacirnya di jaman Kaisar Cong-ceng itu. Rakyat kecil benar-benar tidak punya pelindung lagi.

Melihat penderitaan rakyat di sepanjang jalan itu, Hong-goan Hweshio jadi menarik napas panjang dan mengeluh sendiri, “Rakyat kecil memang ditakdirkan sebagai golongan yang selalu menjadi korban, tidak peduli siapapun yang bertikai. Hanya seorang Cong-ceng yang tidak becus memegang kendali kerajaan, namun ketidakbecusannya telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan orang.”

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu nampak muram pula wajahnya ketika melihat kesengsaraan rakyat itu. Selama dalam perjalanan, belasan kali Wi-siang memerintahkan orang-orangnya untuk membantu rombongan-rombongan pengungsi yang dalam kesusahan. Dan untuk tindakan itu, tidak jarang orang-orang Hwe-liong-pang itu harus bentrok senjata dengan para perampok yang memanfaatkan kesempatan di air keruh, tidak jarang bertempur dengan tentara pemerintah Beng atau laskar Li Cu-seng!

* * * * * * *

SETELAH beberapa hari menempuh perjalanan, akhirnya Tong Wi-siang dan rombongannya tiba di kaki pegunungan Bu-san. Pegunungan itu mempunyai dua belas buah puncak yang megah, sementara Sungai Tiang-kang yang mengalir berliku-liku di kaki pegunungan itu nampak berkelok-kelok bagaikan seekor ular raksasa yang berwarna cokelat tua.

Markas Hwe-liong-pang didirikan di atas salah satu dari dua belas puncak terkenal itu, yaitu puncak Tiau-im-hong. Dari kaki gunung sudah kelihatan bangunan markas yang megah berderet-deret, gentengnya yang berwarna merah menyolok nampak indah sekali dengan latar belakangnya suasana pegunungan yang berwarna biru lembut. Sejak dari pinggang gunung sampai ke pintu gerbang markas itu dibuatlah sebuah tangga batu dari lempengan-lempengan batu hitam yang keras, jumlah anak tangganya mencapai puluhan ribu buah.

Kedatangan Sang Ketua dengan rombongannya itu segera disambut meriah oleh anak buahnya yang masih tinggal di dalam markas. Anak buah Hwe-liong-pang itu memang tidak ikut dalam pertemuan besar di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, sebab mereka bertugas menjaga markas agar tidak kosong sama sekali. Namun kabar tentang pembangkangan Tan Goan-ciau juga sudah sampai ke telinga para anak buah yang menjaga markas itu.

Begitu tiba di markas besar, Tong Wi-siang langsung mengeluarkan perintah agar pada hari itu juga seluruh anak buah dikumpulkan di ruang pertemuan utama. Ia bermaksud akan menetapkan garis perjuangan yang baru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan baik yang disebabkan oleh Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya, maupun perkembangan yang disebabkan oleh suasana yang semakin memanas antara Kerajaan Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin berani saja.

Setelah terjadinya pemisahan diri oleh Tan Goan-ciau, maka jumlah anggota yang tadinya mencapai tiga ribu orang lebih itu, kini menyusut hanya tinggal sekitar enam ratus orang. Rupanya Tan Goan-ciau berhasil merebut hati sebagian besar anggota karena pintarnya ia membuat janji-janji yang muluk-muluk. Andaikata pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih berpencaran di berbagai kota itu nantinya berkumpul semua, jumlahnya pun tidak akan melebihi seribu orang.

Dulu, ruangan pertemuan itu selalu penuh jika diadakan pertemuan seluruh anggota itu, namun kini yang terisi separuhnya saja tidak ada. Melihat keadaan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang menjadi agak masgul juga. Tapi semangatnya tetap berkobar untuk membangun kembali perkumpulannya itu. Meskipun jumlahnya sudah berkurang banyak sekali, namun sisa-sisa Hwe-liong-pang itu masih tetap ada dalam tata-tertib yang tinggi.

Semua anggota duduk menurut kelompoknya masing-masing, yaitu delapan kelompok masing-masing Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih), Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning), Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau), Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru), Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), Ci- ki-tong (Kelompok Bendera Ungu), Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) dan Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah). Setiap kelompok ditandai dengan warna ikat kepala dan ikat pinggang yang sesuai dengan warna bendera kelompoknya masing-masing.

Di depan tiap kelompok, sebenarnya disediakan tempat duduk untuk Tong-cu (Kepala Kelompok) dan Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok), namun banyak kursi-kursi itu yang tidak terisi. Rupanya banyak kepala kelompok atau wakil-wakilnya yang telah gugur atau telah menjadi pengikut Tan Goan-ciau, sedang pengganti-pengganti mereka belum ditetapkan. Di antara delapan kelompok itu, hanya Ui-ki-tong dan Lam-ki-tong saja yang masih lengkap mempunyai Tong-cu dan Hu-tong-cu.

Di depan deretan orang-orang Ui-ki-tong masih nampak Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat. Sedangkan di bagian Lam-ki-tong masih nampak ada Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong serta wakilnya yang berwatak berangasan, yaitu Siau-lo-cia (Locia Kecil) Ma Hiong yang berwajah bulat kekanak-kanakan itu.

Kelompok yang masih mempunyai Tong-cu namun sudah kehilangan Hu-tong-cu-nya, masing-masing adalah kelompok Pek-ki-tong yang dipimpin oleh Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim serta kelompok Ci-ki-tong yang dipimpin oleh Jian-kin-sin-kun (Pukulan Sakti Seribu Kati) Lu Siong. Wakil kepala kelompok dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong ini sebenarnya masih hidup, namun mereka telah mengalami cacat berat ketika terlibat dalam pertempuran sengit melawan pengikut-pengikut Tan Goan-ciau di lembah Jian-hoa-kok.

Sedangkan kelompok yang masih memiliki Hu-tong-cu namun sudah tidak berpemimpin lagi adalah kelompok Jing-ki-tong. Di dalam kelompok ini kursi Hu-tong-cu masih diduduki oleh Au-yang Siau-pa, sedangkan kursi Tong-cu yang tadinya diduduki oleh kakak sepupu Au-yang Siau-pa, yaitu Au-yang Siau-hui yang berjuluk Co-siang- hui-mo (Iblis Terbang di Padang Rumput), kini telah kosong.

Seperti diketahui, Au-yang Siau-hui telah melakukan bunuh diri di Jian-hoa-kok ketika pengkhianatannya terbongkar, ia bunuh diri karena takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Badan yang merupakan alat hukuman yang mengerikan itu. Kini, menduduki kursi Hu-tong-cu-nya itu wajah Au-yang Siau-pa nampak termangu-mangu, agaknya ia terkenang kakak sepupunya yang telah tiada itu, yang biasanya duduk di kursi sebelahnya dalam pertemuan-pertemuan semacam itu.

Mereka kakak beradik sepupu adalah sama-sama anak kelahiran Su-coan, melewati masa kanak-kanak bersama-sama dan merintis cita-cita bersama-sama pula, namun sayang sang kakak sepupu telah terbujuk oleh janji muluk Tan Goan-ciau sehingga melakukan tindakan yang amat bodoh. Kini jasad kakak sepupunya itu terkubur di tengah Jian-hoa-kok di wilayah Kiang-se sana, yang jauhnya ribuan li dari Bu-san.

Mengingat hal ini, terasa pedih juga perasaan Au-yang Siau-pa, namun dia menyadari bahwa akibat yang telah diterima oleh kakak sepupunya itu adalah cukup setimpal dengan perbuatannya sendiri. Sementara itu kelompok-kelompok lain seperti Hek-ki-tong, Ang-ki-tong dan Jai-ki-tong sudah tidak berpemimpin sama sekali, sebab pemimpin-pemimpin mereka telah mengikuti Tan Goan-ciau, sedang pemimpin yang baru belum sempat dipilih.

Pertemuan itupun segera dimulai. Suasana hening mencekam semua mata kini menatap ke arah Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang yang duduk dengan gagahnya di atas kursi ketuanya, diapit oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio. Terdengarlah Tong Wi-siang membuka pembicaraan,

“Agaknya kalian sedang heran kenapa hari ini aku muncul di depan kalian tanpa topeng tengkorakku itu? Bahkan aku yakin bahwa sebagian besar dari kalian tentu baru kali ini melihat wajah asliku, bukankah begitu?”

Kata pembukaan yang terdengar ramah dan hangat itu memang mencengangkan para anggota, terasa lain dari dulu. Dulu, suasana pertemuan semacam itu selalu diliputi oleh suasana mencekam dan angker. Beberapa anggota saling berbisik-bisik menyatakan keheranannya, tapi tidak ada seorangpun yang berani memotong ucapan sang Ketua.

Sementara itu Tong Wi-siang telah meneruskan, “Salah satu kesalahan terbesar yang pernah kubuat dalam hidupku adalah, ketika aku dulu begitu lebar membuka pintu keanggotaan Hwe-liong-pang kita ini, sehingga tidak sedikit kaum persilatan berjiwa bejat yang berhasil menyusup ke dalam Hwe-liong-pang tanpa melalui saringan, sebagai akibat lebih lanjut adalah menjadi busuknya nama Hwe-liong-pang di kalangan persilatan. Ini benar-benar merupakan kesalahanku yang paling besar.

"Namun kesalahan itu sudah aku perbaiki di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, di mana aku mengadakan pembersihan tubuh sendiri, Tan Goan-ciau dan semua pengikutnya kupecat dari keanggotaan Pang, korban yang jatuh juga tidak sedikit sebab Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya melakukan perlawanan gigih. Aku menang di Jian-hoa-kok, namun aku lengah di saat berikutnya, sebab Tan Goan-ciau yang melarikan diri itu telah muncul kembali dan menyergap aku sehingga luka, bahkan mengambil alih pimpinan Pang.

"Dengan tindakan pengkhianatannya itu, Pang kita yang besar ini telah terbelah dua, sebagian besar mengikuti Tan Goan-ciau sedang kita hanya kebagian sebagian kecil. Aku sedih, tapi aku juga puas dan lega sebab mulai saat ini Pang kita ini akan benar-benar terdiri dari orang-orang yang mengabdi cita-cita kita secara sungguh-sungguh. Jumlah kita memang telah susut dengan banyak, namun kita justru benar-benar menjadi teman seperjuangan, tidak ada lagi sampah persilatan yang menyusup dan hanya ingin membonceng ketenaran Hwe-liong-pang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang.

"Mulai saat ini, kita bertekad akan hidup secara terang-terangan, seperti perguruan-perguruan kaum lurus lainnya. Karena itulah kutanggalkan topengku, sebab tindakan sembunyi di balik topeng itu hanya pantas dilakukan oleh gerombolan-gerombolan sesat!”

Ucapan itu segera disambut dengan tepuk tangan oleh hampir seluruh anggota. Memangnya tidak sedikit pula anggota Hwe-liong-pang yang selama ini sudah memendam perasaan tidak setuju terhadap tindakan-tindakan Hwe-liong-pang yang gelap-gelapan mirip gerombolan sesat itu, maka kini gembiralah mereka ketika mendengar keputusan Sang Ketua itu.

Tong Wi-siang tersenyum dan mengangkat tangannya, setelah keadaan menjadi tenang kembali, ia berkata lagi, “Aku berbesar hati melihat sambutan kalian. Sekarang aku umumkan secara resmi bahwa gelar-gelar yang menyeramkan seperti Thian-liong Hiang-cu dan sebagainya itu aku hapuskan dari Pang kita. Kedudukan Tong-cu tetap ada, didampingi oleh Hu-tong-cu, memimpin kelompoknya masing-masing yang merupakan kelompok kerja dan bukannya kelompok yang bersaing satu sama lain untuk berbuat kekejaman seperti di masa-masa lalu.”

Keputusan ini disambut pula. “Tahap pertama yang akan kita laksanakan dalam membenahi keadaan Pang kita sekarang, adalah mengisi beberapa jabatan Tong-cu dan Hu-tong-cu yang lowong dengan orang-orang yang bertanggung-jawab. Jabatan Su-cia (utusan keluar) untuk sementara biar tetap diduduki oleh dua orang saja, yaitu Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki, kelak kekosongan ini akan kita pikirkan lagi.”

Kemudian berturut-turut Tong Wi-siang mengumumkan bahwa Au-yang Siau-pa diangkat sebagai Tong-cu untuk Jing-ki-tong. Sedang kedudukan wakilnya diserahkan kepada seorang anggota Jing-ki-tong yang selama ini cukup menonjol kepandaiannya dan juga kerjanya dan semangatnya, yaitu Yu Ling-hua, seorang bekas murid Khong-tong-pay yang mahir memainkan sepasang perisai tajam Gun-goan-pai.

Ji Tiat dari jabatan Ui-ki-hu-tong-cu diangkat menjadi Tong-cu Ang-ki-tong untuk menggantikan Ko Ce-yang yang telah ikut berkhianat bersama Tan Goan-ciau. Ma Hiong dari kedudukan Lam-ki-hu-tong-cu diangkat menjadi Tong-cu Jai-ki-tong untuk menggantikan Hong-long-cu Mo Hui. Untuk para Tong-cu baru maupun yang lama yang belum memiliki wakilnya, diperbolehkan memilih wakilnya sendiri dengan pertimbangan yang masak.

Tinggallah sekarang Hek-ki-tong yang belum punya Tong-cu maupun Hu-tong-cu, maka Tong Wi-siang lalu mempersilakan para anggota-anggota kelompok itu sendiri untuk berunding dan memilih atau mengajukan calonnya sendiri. Kejadian macam itu baru terjadi kali ini di kalangan Hwe-liong-pang, dimana para anggota diberi kesempatan mengambil keputusan sendiri, berbeda dengan masa lalu di mana setiap keputusan selalu ditetapkan dari pimpinan tanpa menghiraukan perasaan anak buahnya.

Dari hasil kesepakatan antara orang-orang Hek-ki-tong sendiri, akhirnya terpilihlah dua orang calon yang dianggap cukup pantas untuk menduduki jabatan Hek-ki-tong-cu atau wakilnya. Kedua orang itu masing-masing adalah anggota Hek-ki-tong yang bernama Kwa Teng-siong yang dijuluki Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang di Malam Hari) serta Cu Keng-wan yang berjuluk Thi-ciang (Si Tangan Besi). Cu Keng-wan sebenarnya bermaksud mengalah saja dan membiarkan rekannya itu menerima jabatan Tong-cu tanpa saingan, namun karena ia tidak ingin mengecewakan pendukung-pendukungnya maka diapun menyatakan bersedia untuk dicalonkan.

Kedua calon itu disetujui pula oleh Tong Wi-siang, karena kedua orang itu dikenal berkelakuan cukup bersih dan tidak punya hubungan dengan kelompoknya Tan Goan-ciau. Dalam hal kepandaian silat pun mereka cukup tangguh, meskipun belum dapat disejajarkan dengan para Tong-cu yang lama seperti Kwa Heng, Lu Siong, In Yong atau Oh Yun-kim. Karena kedua calon itu sama-sama punya pendukung kuat.

Maka akhirnya Tong Wi-siang memutuskan bahwa keduanya harus melakukan pertandingan ilmu silat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi Tong-cu dan siapa yang akan menjadi Hu- tong-cu. Kedua orang calon itu segera maju ke depan. Setelah memberi hormat kepada Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, keduanya pun siap bertanding dengan tangan kosong.

“Saudara Kwa, harap berbelas kasihan kepadaku,” demikian Cu Keng-wan berbasa-basi. Dalam hatinya dia sudah memutuskan akan mengalah saja, namun dia harus berusaha untuk menyembunyikan niatnya itu agar calon lawannya tidak merasa tersinggung.

Ya-hui-miao Kwa Teng-siong juga tidak langsung menyerang, namun berkata sambil tertawa, “Kau berolok-olok, saudara Cu, akulah yang sebenarnya harus kau kasihani agar tidak terjungkal di bawah telapak tangan besimu.”

Sesaat kemudian kedua orang itupun telah mulai saling gebrak dan mempertunjukkan kepandaian andalannya masing-masing. Karena pertandingan itu ditonton oleh para tokoh tertinggi Hwe-liong-pang, maka kedua calon Tong-cu itu tidak berani bersungguh-sungguh. Bahkan Cu Keng-wan yang berniat mengalah itupun pada mulanya harus menunjukkan kesungguhan hatinya.

Kwa Teng-siong, sesuai dengan julukannya sebagai Kucing Terbang Malam, ternyata memang mempunyai kegesitan dan kelincahan yang luar biasa. Langkah-langkahnya enteng dan lemas, tubuhnya lemas, sedang gerakan-gerakannya dimainkan dengan mengutamakan kecepatan serta kelenturan badan, namun bukan berarti tidak ada kekuatannya. Sedang lawannya adalah seorang pelatih gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup hebat, dengan ilmu Thi-sah-ciang (Tangan Pasir Besi) yang cukup matang. Meskipun ia tidak selincah lawannya, namun desir pukulan dan tendangannya terdengar lebih kuat dan mantap dari lawannya.

Melihat permainan telapak tangan dari Cu Keng-wan itu, diam-diam Au-yang Siau-pa juga teringat kepada dua orang anggota Jing-ki-tong yang punya ilmu serupa itu, meskipun tingkatannya tidak setinggi Cu Keng-wan. Kedua orang anggota itu masing-masing adalah Cong Hun dan Cong Yo, dua bersaudara dari Shoa-tang, yang akhirnya harus mengakhiri hidupnya di tangan macan betina Siau-lim-pay, yaitu Tong Wi-lian.

Terkenang akan kedua orang itu, diam-diam Au-yang Siau-pa membatin, “Kedua orang saudara Cong itu sebenarnya tidak terlalu jahat, sayang pendirian mereka terlalu lemah sehingga mudah dipengaruhi oleh orang lain untuk melakukan kejahatan. Gara-gara ikut menyerbu Tiong-gi Piau-hang serta menculik puteri Cian Sin-wi, kedua saudara itu harus mampus di tangan Tong Wi-lian yang ternyata adalah adik perempuan dari pang-cu sendiri.”

Dalam pada itu, pertarungan antara Kwa Teng-siong dan Cu Keng-wan telah berlangsung puluhan jurus tanpa kelihatan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Kedua belah pihak telah bermandikan keringat, namun semangat tempur mereka tetap menyala-nyala hebat. Tetapi pada jurus yang kesekian puluh, Cu Keng-wan mulai melaksanakan rencananya. Sengaja ia membuat kesalahan langkah sehingga kakinya tersapu oleh tendangan rendah Kwa Teng-siong sehingga ia roboh.

Setelah berhasil merobohkan lawannya, ternyata Kwa Teng-siong tidak meneruskan serangannya, melainkan membangunkan Cu Keng-wan sambil berkata, “Maafkan kelancanganku, Saudara Cu.”

Namun Cu Keng-wan tidak nampak marah sedikitpun, bahkan ia langsung memberi selamat kepada Kwa Teng-siong dengan tulus, “Terimalah salamku, Tong-cu!”

Dengan demikian kini Hek-ki-tong telah memiliki Tong-cu dan Hu-tong-cu atas pilihan anggota-anggota mereka sendiri, maka tepuk tangan riuh pun segera berkumandang di ruangan itu. Suasana segera berubah menjadihangat dan penuh semangat persahabatan.

Dalam pandangan Tong Wi-siang serta tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, sudah tentu “kekalahan” Cu Keng-wan yang disengaja itu tidak dapat mengelabui mata mereka, namun tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu agaknya tidak menunjukkan keberatannya atas sikap itu. Bahkan hal itu menunjukkan bahwa hubungan akrab antar anggota sudah berkembang lebih baik dengan bersedia saling mengalah, tidak ada lagi hubungan saling mencurigai dan saling menjegal seperti di masa mereka masih bercampur- aduk dengan pengikut-pengikut Tan Goan-ciau itu.

Dengan demikian acara pertama dari pertemuan itupun sudah diselesaikan dengan baik dan lancar. Kemudian Tong Wi-siang mulai membicarakan bagaimana sikap yang sebaiknya dari Hwe-liong-pang dalam menghadapi perkembangan keadaan saat itu, untuk menentukan bagaimana sikap dan tindakan Hwe-liong-pang dalam menghadapi pengikut-pengikut Tan Goan-ciau yang masih merajalela di dunia persilatan dan menimbulkan kesalahpahaman kaum pendekar terhadap Hwe-liong-pang.

Selain itu juga perlu memikirkan sikap Hwe-liong-pang dalam menghadapi masalah pertentangan antara Pemerintah Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin tajam itu. Bicara tentang Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya, maka Siangkoan Hong yang berwatak keras itu mengajukan usulnya,

“Selama pengkhianat dan orang- orangnya itu masih hidup dan berkeliaran dengan bebas untuk menyebar fitnah dan kesalahpahaman antara kita dengan kaum pendekar, maka itu ibaratnya penyakit yang belum terberantas akarnya. Selain itu juga akan menyulitkan Pang kita dalam hidup secara tenang di dunia persilatan. Menurut pendapatku, biarlah aku dan Hong pin masing-masing memimpin sebagian anak buah kita untuk mencari Tan Goan-ciau serta pengikut-pengikutnya, dan membasmi mereka sama sekali.”

Namun usul Lim Hong-pin tidak sekeras rekannya itu, “Aku pikir, kita jangan terlalu dipengaruhi oleh luapan perasaan, sehingga kehilangan pertimbangan dari beberapa segi. Kita harus menyadari bahwa kekuatan kita saat ini sedang lemah-lemahnya, maka sikap yang sebaiknya bagi kita hanyalah menunggu dan menahan diri. Bukannya kita takut, namun adalah sangat bijaksana jika kita hendak membenturkan telur dan batu. Lebih baik kita menunggu perkembangan sambil memperkuat diri sendiri, sehingga kita akan bangkit lebih cemerlang dari masa lalu.”

Antara Siangkoan Hong yang berwatak keras dan berangasan, dengan Lim Hong-pin yang selalu berpikir dengan kepala dingin dan cermat, memang sering terjadi perselisihan pendapat. Untunglah bahwa hal itu tidak mengurangi keakraban hubungan persahabatan di antara mereka, sebab agaknya masing-masing sudah saling memahami watak temannya itu.

Begitu pula kali ini Siangkoan Hong merasa bahwa pendapat rekannya itu agaknya lebih dapat diterima, maka katanya dengan terus terang, “Baiklah. Pertimbanganku memang tidak secermat kau, Hong-pin. Aku menarik usulku tadi.”

Pembicaraan itu berlangsung dalam suasana yang blak-blakan, namun tertib. Kali ini pembicaraan bukan hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh tertinggi Hwe-liong-pang, namun sampai kepada anggota-anggota biasapun diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Kadang-kadang tidak terhindar adu pendapat yang singit.

Namun akhirnya Tong Wi-siang sebagai ketua telah menjatuhkan keputusan terakhir, bahwa Hwe-liong-pang untuk sementara waktu akan bersikap menunggu saja, karena merasa belum cukup punya kekuatan untuk menghadapi kelompok Tan Goan-ciau yang mencakup sebagian besar anggota Hwe-liong-pang yang lama, masih ditambah lagi dengan tokoh-tokoh sesat yang menggabungkan diri baru-baru ini.

Waktu diadakan pembicaraan itu, Tong Wi-siang dan teman-temannya belum mendengar berita tentang hancurnya sebagian kekuatan Tan Goan-ciau yang sia-sia di Siong-san, dalam usaha mewujudkan nafsu Tan Goan- ciau untuk menguasai dunia persilatan itu. Jarak antara Gunung Siong-san di wilayah Ho-lam dengan Gunung Bu-san di wilayah Se-coan memang terlalu jauh, mencapai laksaan li, sehingga berita tentang kekalahan Tan Goan-ciau itu belum terdengar oleh Tong Wi-siang dan kawan-kawannya.

Andaikata mereka telah mendengarnya, mereka tentu akan mengambil sikap lain, barangkali akan menyebar anak buahnya untuk menumpas sisa-sisa pengikut Tan Goan-ciau sama sekali. Menghadapi keadaan yang semakin panas akibat pertentangan kerajaan Beng dengan pihak Li Cu-seng, muncul juga usul agar Hwe-liong-pang lebih baik bergabung saja dengan pemberontak Li Cu-seng.

Namun Tong Wi-siang sudah melihat sendiri kelakuan kelompok-kelompok anak buah Li Cu-seng yang kurang disukainya, bahkan dalam anggapan Wi-siang, anak buah Li Cu-seng sama buruknya dengan kelakuan para prajurit Kerajaan Beng. Karena itu usul itu ditolak, Hwe-liong-pang memutuskan untuk berdiri di luar garis pertikaian itu, dan hanya akan bertindak menurut keadaan.

Sebelum pertemuan itu dibubarkan Wi-siang juga telah menjatuhkan perintah kepada seluruh anak buahnya, agar latihan ilmu silat ditingkatkan secara keras, baik secara kelompok per kelompok maupun secara perorangan. Perintah itu berlaku untuk seluruh anggota Hwe-liong- pang, dari Ketuanya sendiri sampai anggota yang paling rendah.

Tong Wi-siang sendiri, begitu pertemuan itu selesai segera masuk ke ruang dalam, tempat tinggalnya yang indah seperti istana itu, ia akan mulai bersemedi untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya sama sekali. Di saat seperti itu, ia membutuhkan waktu kira-kira sepuluh hari untuk menyembuhkan diri, tentu saja tidak mampu menjalankan tugas sebagai Ketua. Untuk sementara waktu, tugas Ketua akan dijalankan oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan dibantu oleh dua orang Su-cia.

Perubahan menyeluruh yang dialami oleh Hwe-liong-pang itu, ternyata bukan hanya diucapkan namun juga dilaksanakan secara nyata. Mulai hari itu, setiap pagi hari nampaklah para anggota berbaris menurut kelompoknya masing-masing, lalu berlari-lari naik turun menyusuri lereng-lereng pegunungan Bu-san yang terjal itu, tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan jasmani mereka. Kemudian dilanjutkan dengan latihan ilmu silat sampai siang hari, di bawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing.

Kini setiap anggota sudah memiliki semangat baru, semuanya bertekad untuk membangun kejayaan Pang mereka yang pernah punya nama ternoda itu. Tidak seorang pun yang mengeluh atau mengutarakan keberatannya dengan latihan-latihan yang melelahkan itu, semuanya sadar bahwa kejayaan Hwe-liong-pang tergantung dari mereka sendiri, dan bukan kepada orang lain.

Meskipun para Tong-cu dan Hu-tong-cu bertindak sebagai pelatih, namun mereka pun tidak melupakan untuk melatih ilmunya masing-masing pada sore harinya. Di bagian belakang puncak Tiau-im-hong tempat berdirinya markas Hwe-liong-pang, memang terdapat cukup banyak tempat-tempat yang indah dan sepi untuk melatih diri, kesanalah para Tong-cu dan Hu-tong-cu sering pergi untuk meningkatkan ilmunya. Kadang-kadang mereka berlatih sendiri-sendiri, tapi kadang-kadang berlatih berpasangan sambil saling menunjukkan kelemahan pasangannya, sehingga masing-masing dapat memperbaiki diri.

Dalam beberapa hari, para anggota Hwe-liong-pang yang masih terpencar di berbagai kota itupun sudah berkumpul di markas semuanya, mereka langsung bergabung dengan kelompoknya masing-masing dan melibatkan diri dalam kegiatan latihan itu. Orang-orang yang ditugaskan untuk mengawasi keadaan, ternyata telah datang pula dengan laporan-laporan yang tidak menggembirakan tentang keadaan dunia luar.

Pada suatu hari, seekor burung merpati pembawa surat telah tiba di cong-toh dengan sebuah bumbung kecil terikat di kakinya. Itulah berita yang dikirimkan dari salah seorang pengintai Hwe-liong-pang. Ketika Siangkoan Hong menerima dan membaca surat itu, ternyata pengirimnya adalah pengintai di kota Lam-tiong. Dan setelah membaca surat itu, nampaklah wajahnya berubah jadi merah membara, gerahamnya pun gemeretak menahan amarah. Teriaknya sambil menggebrak meja, “Gila! Ini benar-benar gila!”

Mendengar teriakan Siangkoan Hong itu, Lim Hong-pin cepat mendekatinya sambil bertanya, “Ada berita apa, A-hong?”

Dengan suara masih agak gemetar karena menahan amarah, Siangkoan Hong menjawab, “Bajingan Goan-ciau itu benar-benar manusia licik yang sangat berbahaya, ular berkepala dua, pengkhianat paling busuk dalam sejarah! Mata-mata kita di Lam-tiong telah melaporkan berita yang mengejutkan. Rupanya setelah dia berhasil merebut sebagian besar anak buah dengan mengkhianati A-siang, dia langsung membawa seluruh begundalnya untuk menyerbu Siong-san, dimana saat itu kaum pendekar dari berbagai perguruan sedang berkumpul. Namun si ular busuk itu dikalahkan oleh para pendekar, dan sekarang tahukah kau apa yang telah dikerjakannya?”

Lim Hong-pin diam saja dan membiarkan rekannya itu mengeluarkan caci maki sepuas hati supaya lega hatinya. Ia belum tahu apa kelanjutan omongan Siangkoan Hong, namun pasti bukan berita baik kalau menilik Siangkoan Hong sampai begitu marahnya setelah mendengar laporan itu.

Sementara itu Siangkoan Hong telah berulangkali menyedot napas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menyedot seluruh udara sejuk pegunungan Bu-san itu untuk mendinginkan gejolak kemarahannya. Katanya lebih lanjut dengan suara lebih tenang, “Ular busuk itu dikalahkan para pendekar lalu mengundurkan diri bersama seluruh begundalnya, namun dalam pengunduran dirinya itu dia sengaja meninggalkan jejak ke arah bukit Bu-san ini, ke arah tempat kita ini! Kini para pendekar yang sedang menyerbu kemari di bawah pimpinan si keledai gundul Hong-tay itu. Jelaslah bahwa si ular busuk Goan-ciau itu tahu kalau kita sudah menguasai tempat ini, lalu dia akan berusaha mengadu domba antara kita dengan kaum pendekar itu, agar dia sendiri yang dapat memungut hasilnya. Si ular busuk itu sendiri sekarang telah bergabung dengan kaswanan kuku garudanya Cong-ceng secara tidak tahu malu!”

Berita itu memang cukup mengejutkan dan tidak bisa ditanggapi dengan santai saja. Lim Hong-pin yang biasanya bersikap tenang itupun, kini nampak agak terguncang ketenangannya. Ia menggeram sambil meremas tangannya, “Tan Goan-ciau telah menjual anak buahnya kepada anjing-anjingnya Cong-ceng. Kini ia tinggal menunggu benturan antara kita dengan kaum pendekar, pihak manapun yang akan keluar sebagai pemenang, tentu keadaannya sudah hampir sama hancurnya dengan yang kalah, setelah itu barulah Tan Goan-ciau akan menghancurkan kita sama sekali tanpa banyak kesulitan, apalagi dengan bantuan tentara pemerintah.”

“Begitulah. Aku sama sekali tidak gentar jika harus berhadapan dengan kawanan keledai gundul Siau-lim-pay atau hidung-hidung kerbau Bu-tong-pay itu, namun aku benar-benar tidak rela jika Tan Goan-ciau lah yang bakal memetik keuntungan dari kejadian ini!”

Dalam keadaan seperti itu, nyatalah bahwa Lim Hong-pin tetap dapat bersikap lebih tenang. Katanya, “Kita tidak boleh terseret oleh kemarahan dan mengaburkan pikiran jernih ini, kita harus mencari akal supaya jangan terjebak ke dalam akal licik Tan Goan-ciau itu. Kita akan merundingkannya dengan A-siang. Entah berapa hari lagi A-siang akan menyelesaikan semedinya?”

Sebelum Siangkoan Hong menyahut, tiba-tiba dalam ruangan itu telah bergema sebuah suara berat dan mantap, “Hari inipun aku sudah menyelesaikan semediku. Ada urusan apa sehingga kalian berdua begitu ribut?”

Lalu Tong Wi-siang pun melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Meskipun ia nampak lebih kurus, namun wajahnya sudah tidak pucat lagi dan sinar matanya pun tajam berkilauan seperti dulu lagi. Jelas bahwa ia telah menyembuhkan luka dalamnya. Melihat hal ini diam-diam Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong merasa lega.

“Katamu kau akan bersemedi sepuluh hari, sekarang kan baru delapan hari?” tanya Siangkoan Hong.

“Perhitungan itu memang agak meleset. Aku mengira lukaku begitu parah sehingga memutuskan untuk bersemedi sepuluh hari, tapi ternyata lukaku tidak separah dugaanku, terbukti bahwa aku telah berhasil menyembuhkannya sama sekali dalam waktu hanya delapan hari.”

Setelah berkata begitu, Wi-siang melepaskan sebuah pukulan ke tengah udara. Terciptalah deru angin hebat akibat pukulan itu, menandakan bahwa keadaan Ketua Hwe-liong-pang itu sudah pulih seperti semula. Jika sedang ada di hadapan anak buah Hwe-liong-pang, ketiga orang itu saling memanggil dengan sebutan resmi yang berlaku. Namun jika hanya ada mereka bertiga, maka mereka lebih suka saling memanggil dengan nama panggilan sehari-hari selama mereka masih sebagai kawanan berandal di An-yang-shia. Mereka merasa lebih akrab satu sama lain dengan panggilan lama itu.

“Kebetulan sekali kau sudah menyelesaikan semedimu, A-siang,” kata Siangkoan Hong sambil menyodorkan surat yang dibawa oleh burung merpati tadi. “Ada berita penting dari mata-mata kita di Lam-tong, dan membutuhkan keputusanmu untuk menentukan sikap seluruh Hwe-liong- pang kita.”

Dengan alis yang berkerut, Wi-siang membaca surat itu, kemudian bergumam perlahan, “Benar-benar seorang manusia yang berbahaya, licik dan tidak tahu malu, ia sanggup menggunakan cara apa saja untuk mencapai maksudnya. A-pin, bagaimana pikiranmu?”

Dalam hal yang memerlukan pertimbangan, Wi-siang memang lebih mengandalkan Lim Hong-pin daripada Siangkoan Hong. Bukan karena Siangkoan Hong kurang pintar, melainkan karena sifat pemarah dan berangasan dari Siangkoan Hong itu kurang menguntungkan jika harus memberi pertimbangan yang membutuhkan kecermatan. Sedang Lim Hong-pin lebih berkepala dingin.

Sahut Lim Hong-pin dengan berhati-hati, “Menurut pendapatku, kaum pendekar di bawah pimpinan Hong-tay Hwesio itu tentu bukan manusia-manusia tidak berotak sama sekali yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yakin bahwa mereka akan bisa diberi penjelasan tentang pergolakan yang terjadi di dalam Pang kita. Sebaiknya kita mengirim seorang utusan kepada Hong-tay Hwesio untuk memberi penjelasan bahwa bukan kitalah yang telah menyerbu Siong-san itu, melainkan Tan Goan-ciau sebagai Ketua yang tidak sah, kita berharap agar Hong-tay Hwesio dapat menerima penjelasan ini dan menarik mundur barisan pendekarnya.”

Sebelum Wi-siang menyahut Siangkoan Hong telah menimbrung lebih dulu, “aku agak kurang setuju. Hal itu menjadikan kita seolah-olah pengemis yang ketakutan dan mengemis belas kasihan dari kawanan keledai gundul itu. Andaikata mereka menerima permintaan kita, tentu mereka pun akan bersikap memandang rendah kepada kita!”

Namun pendapat Wi-siang berbeda dengan pendapat Siangkoan Hong, “Kukira usul A-pin itu cukup cermat. Kita mengirim utusan untuk menemui Hong-tay Hwesio bukan berarti kita takut dan minta ampun, namun hanya usaha untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak ada gunanya. Sebab jika pertempuran antara Hwe-liong-pang kita dengan kaum pendekar itu benar meletus, maka yang rugi adalah kedua pihak juga, sedang Tan Goan-ciau juga yang mengeruk keuntungan...”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 31

Perserikatan Naga Api Jilid 31

Karya : Stevanus S.P
DALAM saat segenting itu, Rahib Hong-goan berseru kepada Ketuanya, “Pang-cu, kukira kurang menguntungkan jika kita terus menerus berada di atas genteng dan menjadi sasaran empuk panah lawan. Bagaimana kalau kita turun kembali saja dan bertempur di lorong-lorong sempit itu?”

Meskipun pikiran Tong Wi-siang sedang keruh oleh hawa membunuh yang dipancarkan oleh Jit-kui-po-kiam-nya, namun tidak berarti ia kehilangan seluruh akal sehatnya. Ia masih dapat melihat bahwa sudah dua orang di pihaknya yang menderita luka, maka diapun menyahut, “Baik. Kita turun dan bertempur beradu muka dengan begundal-begundal Cong-ceng itu!”

Namun di atas tanah boleh dikatakan sudah tidak ada tempat berpijak sejengkalpun. Di situ tentara kerajaan yang berjumlah ratusan orang sudah berjubal-jubal dan menanti dengan ujung-ujung senjata mereka yang berkilat. Melompat ke bawah sama dengan menerjunkan diri untuk menyongsong ujung-ujung senjata yang haus darah itu.

Hong-goan Hweshio memahami keadaan itu, namun dia bukan cuma pandai mengusulkan namun juga sudah memikirkan caranya. Serunya, “Biarlah aku lebih dulu membuka jalan untuk kalian!”

Lalu tanpa ragu-ragu atau menunggu jawaban lagi, dia langsung melompat turun dari atas genteng itu. Sebelum mencapai tanah dia telah menjungkir balikkan badannya sehingga kaki di atas dan kepala di bawah, sementara senjata hong-pian-jan di tangannya telah berputar sekencang baling-baling yang terhembus angin badai.

Rahib ini benar-benar hebat. Terdengarlah suara bentakan ramai, suara senjata para prajurit yang terlempar dari tangan pemiliknya masing-masing, lalu beberapa orang prajurit sial telah terlempar karena kena tendangan rahib perkasa itu. Dalam keadaan seperti itupun agaknya Rahib Hong-goan masih segan untuk melakukan pembunuhan, kecuali jika keadaan memaksa, terbukti dalam kali itupun tidak ada seorang pun prajurit yang terbunuh, paling-paling hanya pingsan terkena tendangannya.

Setelah mencarikan “tempat pendaratan” bagi kawan-kawannya, maka berturut-turut melompatlah Ling Thian-ki, Siangkoan Hong, Kwa Heng, Lu Siong dan lain-lainnya. Dengan demikian kini para prajurit kerajaan itu tidak bisa lagi mengandalkan senjata panah mereka, dan sekarang mereka dipaksa untuk mencabut pedang mereka dan melayani musuh-musuh mereka dalam suatu pertempuran jarak dekat yang berjubel-jubel.

Di antara perwira-perwira yang memimpin prajurit-prajurit itu ada pula beberapa orang perwira yang memiliki tingkatan ilmu silat yang agak lumayan, namun paling- paling mereka itu tidak cukup berharga untuk menahan amukan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, apalagi Tong Wi-siang dan Siangkoan Hong yang mewarisi ilmu Bu-san-jit-kui yang mengerikan itu.

Namun segi jumlah ternyata ikut menentukan jalannya pertempuran pula. Betapa lihainya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu, namun mereka kewalahan juga menghadapi prajurit yang berjumlah ratusan itu. Lapisan kepungan terdepan sudah dibabat habis, muncullah lapisan kedua dan seterusnya, sehingga kepungan itu bagaikan berlapis- lapis dan tak tertembus. Bahkan Tong Wi-siang yang berilmu paling tinggi dan sangat mengandalkan pedang Jit-kui-po-kiam itupun mulai kerepotan juga. Luka dalamnya mulai terasa lagi akibat pengerahan tenaganya yang berlebihan, gerakannya pun mulai semakin lambat.

Melihat itu, Siangkoan Hong mulai mencemaskan ketuanya sekaligus sahabatnya itu. Siangkoan Hong sendiri mengalami luka-luka, namun hanyalah luka-luka luar saja. Matanya segera berkeliaran ke sekeliling medan untuk mencari celah-celah yang kira-kira dapat digunakan untuk meloloskan diri. Tetapi kepungan tentara kerajaan itu benar-benar rapat luar biasa. Terpaksa Siangkoan Hong harus selalu bertempur berdekatan dengan Tong Wi-siang untuk melindungi ketuanya itu.

Dalam cemasnya, Siangkoan Hong sempat bertanya, “A-siang, bagaimana dengan luka-lukamu?”

Demikianlah, karena begitu terbawa oleh gejolak perasaannya, maka Siangkoan Hong telah memanggilnya “A-siang” dan bukan “Pang-cu” seperti panggilan biasanya. Dalam keadaan terjepit antara batas mati hidup itu maka Siangkoan Hong tidak kenal lagi kepada Hwe-liong-pang-cu yang menyeramkan itu, yang dikenalnya hanyalah A-siang, sahabat karibnya sejak masih kanak-kanak di An-yang-shia itu.

Namun Tong Wi-siang yang tengah terpengaruh oleh sifat gaib dari Jit-kui-po-kiam itu telah menyahut dengan kasarnya, “Persetan, aku bukan orang banci yang membutuhkan pertolonganmu! Aku adalah Hwe-liong-pang-cu, calon maharaja negeri ini! Lihatlah, hari ini aku akan menghirup darah begundal-begundal Cong-ceng ini sebanyak-banyaknya!”

Meskipun suaranya begitu garang dan diucapkan dengan nada yang menggidikkan hati, tetapi sesungguhnya tenaga Tong Wi-siang sudah hampir terkuras habis. Ayunan pedangnya sudah tidak semantap tadi lagi, bahkan kadang-kadang nampak ngawur. Namun pengaruh gaib Jit-kui-po-kiam itu membuatnya masih saja merasa haus darah dan ingin membunuh lebih banyak lagi.

Siangkoan Hong menyadari, meskipun ia mengajak bicara sampai bibirnya robek sekalipun, sahabat dan ketuanya itu tidak akan dapat berpikir jernih, kecuali kalau Jit-kui-po- kiam sudah dilepaskan dari tangannya. Maka Siangkoan Hong mengambil tindakan yang nekad. Tiba-tiba dia menghantam pergelangan tangan Tong Wi-siang sehingga Jit-kui-po-kiam lepas dari tangan Wi-siang. Sang Ketua itu terkejut dan berteriak, “A-hong! Apakah kau sudah gila?!”

Sahut Siangkoan Hong dengan terpaksa, “Maaf, A-siang, kau harus beristirahat karena keadaan tubuhmu yang belum sehat benar. Biarkanlah kami yang bertempur untukmu, untuk membawamu keluar dari tempat keparat itu.”

Sambil bicara itu maka jari-jari Siangkoan Hong bekerja pula untuk menotok beberapa jalan darah di tubuh Tong Wi-siang sehingga Ketua Hwe-liong-pang itu terkulai lemas. Setelah menyarungkan kembali pedang Jit-kui-po-kiam ke sarungnya di pinggang Tong Wi-siang, maka Siangkoan Hong lalu memanggul tubuh Ketuanya itu sambil berseru kepada orang-orangnya, “Terjang ke barat! Selamatkan Pang-cu!”

Sebaliknya di pihak lawanpun terdengar aba-aba, “Perketat kepungan! Mereka akan kehabisan tenaga! Jika mereka tertangkap akan berarti hilangnya sebuah penyakit bagi Kerajaan kita, dan pahala buat kalian!”

Yang berteriak-teriak memimpin ini adalah seorang perwira bertubuh gemuk pendek dan berjenggot kaku seperti ijuk, dia memainkan pedangnya dengan gaya ilmu pedang Heng-san-pay. Gerakannya mantap dan keras, ilmunya cukup tangguh, sebab terbukti ia telah sanggup meladeni Hong-goan Hweshio selama ratusan jurus tanpa terdesak sedikitpun.

Siangkoan Hong melihat bahwa perwira gemuk pendek ini agaknya merupakan “otak” dari pengurungan ini. Maka sambil tetap memondong tubuh Wi-siang, dia menerjang ke arah perwira gemuk pendek itu. Karena keadaan yang sangat mendesak, maka Siangkoan Hong langsung saja menggunakan sebuah ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui yang sangat lihai yang disebut Jit-kui-tiau-goat-sin-kang (Ilmu Sakti Tujuh Setan Menyembah Bulan). Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera aneh, lalu ia membentak kepada perwira itu, “Mampus kau!”

Perwira yang sedang bertempur dengan Hong-goan Hweshio itu segera mulai merasakan ada semacam pengaruh aneh yang menyusup ke dalam tubuhnya dan mengendalikan semua gerak-geriknya. Dengan terkejut dia mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk mengatasi pengaruh aneh yang tak dikenalnya itu, namun ternyata pengaruh itu terlalu kuat dan perwira itu gagal mengatasinya. Ketika pandangan matanya membentur pandangan mata Siangkoan Hong dari balik topeng tengkoraknya yang bersinar kehijauan seperti mata kucing itu, maka runtuhlah pertahanan perwira itu.

Hong-goan Hweshio bukan seorang yang kejam dan gemar membunuh, maka ketika melihat lawannya sudah tak berdaya, dia hanya ingin melumpuhkannya saja. Tapi ia kalah cepat dari Siangkoan Hong, sebab Siangkoan Hong telah lebih dulu mengayunkan pedangnya untuk menembus perut perwira itu. Keanehan dan keganasan Siangkoan Hong mau tidak mau membuat prajurit-prajurit kerajaan itu merasa gentar juga. kepungan menjadi agak kacau, beberapa orang perwira mencoba mengambil alih pimpinan untuk menggantikan si perwira gemuk yang tewas itu, namun mereka tidak berhasil mengatasi kepanikan yang melanda anak buahnya.

“Ilmu siluman!” teriak beberapa orang prajurit dengan ketakutan. “Kita tidak berhadapan dengan manusia-manusia biasa namun sedang berhadapan dengan siluman-siluman!”

Siangkoan Hong tertawa terbahak-bahak mendengar teriakan prajurit-prajurit itu, serunya, “Betul, aku memang siluman, kalian mau apa?! Lihat ilmu silumanku yang lain!”

Lalu tangannya merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan butiran-butiran hitam yang langsung disebarkannya ke tengah-tengah para prajurit-prajurit. Begitu butiran-butiran itu menyentuh tanah atau membentur benda lain, seketika meledak dan menyebarkan kabut beracun yang berwarna merah.

Pasukan kerajaan menjadi semakin panik, apalagi karena selain kabut beracun itu juga tersebarlah jarum-jarum halus yang langsung merobohkan belasan orang prajurit. Bahkan ada dua orang perwira yang berkepandaian cukup tangguh juga ikut roboh oleh jarum beracun itu.

“Itulah Tong-bu-kiam-ciam-co-boh-tan (Peluru Maut Jarum dan Kabut) hasil karya Hwe-liong-pang kami!” teriak Siangkoan Hong sambil tertawa. “Siapa yang masih ingin hidup cepatlah menyingkir dan memberi jalan kepada kami!”

Kawanan prajurit pada menjelang akhir Kerajaan Beng itu memang sudah begitu bobrok. Mereka bisa bersikap garang jika hanya menghadapi para pencoleng kecil atau rakyat yang tidak bersenjata. Namun begitu menemui lawan yang keras, maka yang terpikir oleh prajurit-prajurit itu hanyalah bagaimana cara memperpanjang umurnya sendiri. Bahkan sikap semacam itu terdapat pula di antara para perwiranya.

Para perwira itu, meskipun masih saja berteriak-teriak menganjurkan anak buanya untuk menyerang, namun perwira perwira itu sendiri tetap saja di garis belakang. Meskipun begitu, kepungan itu memang ketat, dan tidak semua prajurit serta perwira sepengecut itu. Usaha tokoh-tokoh Hwe-liong-pang untuk memecahkan kepungan itu jelas merupakan usaha yang sulit.

Lu Siong merasakan luka-lukanya semakin berat, sehingga dia harus diseret oleh Kwa Heng dan Ji Tiat sambil bertempur. Di sekitar mereka, Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong juga masih bertahan dengan gigihnya.

Pada waktu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu sudah dalam keadaan yang demikian gawatnya, tiba-tiba di bagian belakang dari kepungan pasukan kerajaan itu terjadi keributan, bahkan terdengar pula benturan-benturan senjata dan teriakan-teriakan kesakitan. Siangkoan Hong sesaat mencoba mengamati apa yang terjadi di bagian belakang pasukan kerajaan itu, maka sesaat kemudian ia pun berseru dengan penuh semangat,

“Itulah Lim Hong-pin bersama-sama dengan Oh Yun-kim dan In Yong serta puluhan orang anggota kita yang datang untuk membantu kita!”

Seruan Siangkoan Hong itu memang berhasil membangkitkan semangat dari Hong-goan Hweshio dan lain-lainnya yang hampir putus asa itu. Bangkitnya semangat mereka membuat tenaga merekapun seakan bertambah, bahkan Lu Siong yang tadinya sudah pasrah nasib itu kini pun mulai bersemangat kembali.

Yang datang itu memang Lim Hong-pin, diiringi oleh Lam-ki-tong-cu In Yong dan Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim, beserta anggota Hwe-liong-pang yang berjumlah puluhan orang. Kota Chung-king itu memang tidak jauh lagi letaknya dari Gunung Bu-san, tempat bermarkasnya Hwe-liong-pang, maka pengaruh Hwe-liong-pang di daerah itupun terasa sangat kuatnya.

Serbuan Lim Hong-pin dan orang-orangnya itu ternyata mampu membuat pasukan kerajaan jadi kacau-balau di bagian belakang. Meskipun jumlah orang-orang Hwe-liong- pang itu tidak melebihi empat puluh orang, namun kepandaian silat rata-rata orang-orang Hwe-liong-pang itu cukup tangguh.

Terutama Lim Hong-pin sendiri yang tandangnya bagaikan seekor serigala buas di tengah kerumunan kelinci-kelinci lemah. Meskipun ia tidak bersenjata, namun prajurit-prajurit yang berani menghalang-halanginya akan dilempar-lemparkannya satu demi satu, seringan orang melempar-lemparkan potongan-potongan kayu saja!

Selain itu, Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) itupun mengamuk tanpa senjata pula. Meskipun tidak sehebat Lim Hong-pin, tapi tendangan-tendangan geledeknya yang ampuh itu telah menjungkalkan belasan orang prajurit. Begitu pula Hong- lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong juga telah melancarkan jurus-jurus sepasang goloknya secara tidak kenal ampun, membuat barisan tentara kerajaan yang semakin berantakan.

Tidak memakan waktu terlalu lama, barisan Lim Hong-pin telah dapat bergabung dengan barisan Siangkoan Hong. Begitu melihat Tong Wi-siang berada dalam gendongan Siangkoan Hong, terkejutlah Lim Hong-pin. Tanyanya dengan cemas, “Apa yang terjadi dengannya?”

Sahut Siangkoan Hong, “Tidak apa-apa. Aku hanya menotoknya lemas supaya ia tidak semakin parah lukanya. Dia terlalu terpengaruh oleh pedang Jit-kui-po-kiam dan mengamuk hebat sehingga melupakan keadaan tubuhnya yang belum begitu sehat. Aku terpaksa melumpuhkannya dan tidak mengijinkannya ikut bertempur.”

Lim Hong-pin tampak lega, namun ia sempat menggerutu juga, “Yang jadi ketua itu kau atau A-siang? Kenapa kau berkata dengan memakai istilah “tidak mengijinkan’?”

Di tengah kepungan itu Siangkoan Hong masih sempat tertawa mendengar gurauan sahabatnya itu. Tanyanya, “Bagaimana keadaan di cong-toh (markas besar)?”

“Menguntungkan kita. Sisa anak buah yang berada di cong-toh ternyata tetap setia kepada Ketua yang sah. Tapi percakapannya kita lanjutkan nanti saja, yang penting adalah membawa seluruh anak buah kita ini keluar dari kepungan, bahkan keluar sekalian dari kota Chung-king ini,” sahut Lim Hong-pin.

Dengan bergabungnya dua kelompok Hwe-liong-pang itu, maka bobollah kepungan prajurit-prajurit kerajaan itu, apalagi menghadapi amukan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merupakan pewaris-pewaris tidak langsung dari kepandaian rahasia Bu-san-jit-kui yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu. Tanpa perlawanan yang berarti, rombongan Hwe-liong-pang itu berhasil mencapai pintu gerbang barat kota Chung-king dan langsung menerobos keluar kota.

Pihak tentara kerajaan tidak mengejar lebih lanjut. Selain merasa gentar akan kegagahan orang-orang Hwe-liong-pang, pihak kerajaan juga menganggap Hwe-liong-pang bukan lawan penting yang harus diladeni mati-matian, yang lebih penting adalah melawan laskar pemberontak Li Cu-seng yang semakin kuat dan semakin mendekati wilayah itu.

Begitu telah tiba di luar tembok kota, rombongan Hwe-liong-pang itu segera berhenti. Lebih dulu mereka mengobati Lu Siong, Ji Tiat dan Au-yang Siau-pa yang mendapat luka dalam pertempuran tadi. Sedangkan Wi- siang telah dibebaskan dari totokannya oleh Siangkoan Hong. Setelah itu secara resmi Siangkoan Hong memberi hormat kepada Tong Wi-siang sambil berkata,

“Siau-te (adik) telah bertindak kurang hormat tadi kepada Pang-cu dan siap menerima hukuman.”

Meskipun dalam hubungan sehari-harinya Tong Wi-siang dan Siangkoan Hong sangat akrab, bahkan saling memanggil namanya dengan begitu saja, tapi di hadapan sekian banyak anggota Hwe-liong-pang Siangkoan Hong tidak berani bersikap kurang hormat, sebab betapapun juga ia harus ikut menjaga kewibawaan Ketuanya di hadapan segenap anggota.

Namun Tong Wi-siang yang sudah bebas dari totokan itu ternyata tidak marah, sambil menepuk-nepuk pundak Siangkoan Hong ia berkata, “Jika tidak ada tindakanmu yang tegas tadi, barangkali saat ini aku sudah menjadi seonggok daging cincang di tengah-tengah kota Chung-king. Kau tidak bersalah.”

Setelah mengucapkan terima kasihnya, Siangkoan Hong bangkit dari berlututnya. Kemudian Tong Wi-siang mengalihkan pandangannya kepada Lim Hong-pin dan bertanya, “Kau kuberi tugas untuk menenteramkan dan menguasai keadaan di cong-toh, apakah sudah berhasil?”

Sahut Lim Hong-pin, “Keadaan Cong-toh telah berhasil kami kuasai dengan cepat. Semua anak buah menyatakan tetap setia kepada Pang-cu dan menyatakan marah atas pengkhianatan Tan Goan-ciau. Ada juga beberapa orang anggota yang nampaknya berpihak kepada Tan Goan-ciau, kini mereka sudah kumasukkan ke dalam kurungan dan menunggu keputusan Pang-cu lebih lanjut.”

Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dengan perasaan puas, kemudian ia bertanya kepada Oh Yun-kim dan In Yong, “Kalian kutugaskan untuk mengamati daerah- daerah sepanjang jalan yang kulewati dalam perjalanan pulangku ke Bu-san. Bagaimana laporan kalian?”

Oh Yun-kim melapor lebih dulu, “Hamba bersama dengan beberapa saudara-saudara kita dari Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) telah menyelidiki di kota I-pin dengan seksama. Keadaan di kota itu sudah berubah. Laskar pemberontak Li Cu-seng telah menguasai daerah pedesaan, bahkan sudah berani merembes ke dalam kota pula. Dalam kota I-pin sendiri tidak ada tentara Cong-ceng sedikitpun, kabarnya seluruh pasukan telah ditarik mundur ke perbatasan Ou-lam untuk membendung laskar Li Cu-seng di sana.”

“Jadi kota I-pin telah dilepaskan begitu saja oleh tentaranya Cong-ceng?” tanya Wi-siang.

“Benar, Pang-cu. Pihak Kerajaan Beng agaknya lebih suka memusatkan pasukannya dalam sebuah pasukan yang besar dan kuat, daripada terpencar-pencar dan menjadi makanan empuk bagi laskar pemberontak.”

“Baiklah. Sekarang aku ingin mendengar laporan dari Lam-ki-tong-cu In Yong!”

In Yong pun segera memberi laporan, “Aku bersama-sama dengan beberapa anggota Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) telah menyelidiki ke kota Jing-toh (ibukota wilayah Su-coan). Sekarang ini di dalam kota sudah ada dua ratus ribu tentara kerajaan yang siap bertempur, pengaruh Li Cu-seng belum terasa di tempat ini.”

“Kalau begitu kita akan melewati I-pin saja dan menjauhi Jing-toh,” kata Tong Wi-siang. “Meskipun Li Cu-seng bukan sahabat kita, namun dalam keadaan seperti ini lebih baik bertemu dengan Li Cu-seng daripada bertemu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng itu.”

Kemudian Tong Wi-siang berkata kepada Oh Yun-kim, “Oh Tong-cu, seluruh anggota Pek-ki-tong kuperintahkan untuk memanggil pulang semua anggota kita yang masih terpencar di berbagai kota, semuanya harus sudah berkumpul di cong-toh dalam waktu sepuluh hari. Namun orang-orang kita yang bertindak sebagai mata-mata untuk mengamati keadaan tidak usah dipanggil pulang, biarkan mereka tetap di tempatnya masing-masing dengan tugasnya.”

Oh Yun-kim cepat berlutut dan menyatakan siap, setelah itu lalu berpisah untuk mengerjakan tugas barunya itu. Sedangkan Tong Wi-siang, Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki, Kwa Heng, Lu Siong, Ji Tiat, Au-yang Siau-pa, Ma Hiong serta In Yong serta anak buah Hwe-liong-pang lainnya segera melanjutkan perjalanan menuju ke bukit Bu-san.

Dulu, ketika Tong Wi-siang berempat menemukan tempat penyimpanan warisan-warisan Bu-san-jit-kui, mereka pernah punya rencana untuk menjadikan puncak Yu-kui- hong sebagai markas pusat Hwe-liong-pang. Namun karena tempat itu letaknya hampir tegak lurus dengan tanah, terlalu sukar dicapai dan tidak terlalu luas pula, maka akhirnya mereka bersepakat untuk mencari tempat lain sebagai markas pusat. Kini yang dijadikan pusat adalah puncak Tiau-im-hong.

Selama dalam perjalanan pulang itu, rombongan Tong Wi-siang bertemu dengan arus pengungsi yang tidak henti-hentinya mengalir ke arah timur. Tidak jarang pula mereka bertemu dengan sepasukan kecil pasukan kerajaan, atau sekelompok kecil laskar pemberontak. Kedua pasukan yang bertengkar ini ternyata sama-sama tidak memikirkan keselamatan orang banyak, bahkan membebani pundak rakyat kecil dengan kesusahan yang semakin menumpuk. Pasukan Kerajaan Beng sering merampas bahan pangan milik rakyat dengan alasan “untuk membiayai tentara pemerintah yang sedang berjuang untuk melindungi rakyat dari gangguan pengacau”.

Sebaliknya pihak laskar pemberontak juga gemar memaksa laki-laki yang bertubuh masih kuat untuk bergabung dengan mereka, tentu saja disertai dengan bujukan-bujukan yang menarik dan semboyan-semboyan yang mendirikan bulu kuduk seperti “berjuang untuk keadilan” dan sebagainya. Tapi tidak jarang laskar pemberontak ini memaksa secara kekerasan kepada orang yang enggan memanggul senjata. Begitulah kocar-kacirnya di jaman Kaisar Cong-ceng itu. Rakyat kecil benar-benar tidak punya pelindung lagi.

Melihat penderitaan rakyat di sepanjang jalan itu, Hong-goan Hweshio jadi menarik napas panjang dan mengeluh sendiri, “Rakyat kecil memang ditakdirkan sebagai golongan yang selalu menjadi korban, tidak peduli siapapun yang bertikai. Hanya seorang Cong-ceng yang tidak becus memegang kendali kerajaan, namun ketidakbecusannya telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan orang.”

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu nampak muram pula wajahnya ketika melihat kesengsaraan rakyat itu. Selama dalam perjalanan, belasan kali Wi-siang memerintahkan orang-orangnya untuk membantu rombongan-rombongan pengungsi yang dalam kesusahan. Dan untuk tindakan itu, tidak jarang orang-orang Hwe-liong-pang itu harus bentrok senjata dengan para perampok yang memanfaatkan kesempatan di air keruh, tidak jarang bertempur dengan tentara pemerintah Beng atau laskar Li Cu-seng!

* * * * * * *

SETELAH beberapa hari menempuh perjalanan, akhirnya Tong Wi-siang dan rombongannya tiba di kaki pegunungan Bu-san. Pegunungan itu mempunyai dua belas buah puncak yang megah, sementara Sungai Tiang-kang yang mengalir berliku-liku di kaki pegunungan itu nampak berkelok-kelok bagaikan seekor ular raksasa yang berwarna cokelat tua.

Markas Hwe-liong-pang didirikan di atas salah satu dari dua belas puncak terkenal itu, yaitu puncak Tiau-im-hong. Dari kaki gunung sudah kelihatan bangunan markas yang megah berderet-deret, gentengnya yang berwarna merah menyolok nampak indah sekali dengan latar belakangnya suasana pegunungan yang berwarna biru lembut. Sejak dari pinggang gunung sampai ke pintu gerbang markas itu dibuatlah sebuah tangga batu dari lempengan-lempengan batu hitam yang keras, jumlah anak tangganya mencapai puluhan ribu buah.

Kedatangan Sang Ketua dengan rombongannya itu segera disambut meriah oleh anak buahnya yang masih tinggal di dalam markas. Anak buah Hwe-liong-pang itu memang tidak ikut dalam pertemuan besar di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, sebab mereka bertugas menjaga markas agar tidak kosong sama sekali. Namun kabar tentang pembangkangan Tan Goan-ciau juga sudah sampai ke telinga para anak buah yang menjaga markas itu.

Begitu tiba di markas besar, Tong Wi-siang langsung mengeluarkan perintah agar pada hari itu juga seluruh anak buah dikumpulkan di ruang pertemuan utama. Ia bermaksud akan menetapkan garis perjuangan yang baru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan baik yang disebabkan oleh Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya, maupun perkembangan yang disebabkan oleh suasana yang semakin memanas antara Kerajaan Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin berani saja.

Setelah terjadinya pemisahan diri oleh Tan Goan-ciau, maka jumlah anggota yang tadinya mencapai tiga ribu orang lebih itu, kini menyusut hanya tinggal sekitar enam ratus orang. Rupanya Tan Goan-ciau berhasil merebut hati sebagian besar anggota karena pintarnya ia membuat janji-janji yang muluk-muluk. Andaikata pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih berpencaran di berbagai kota itu nantinya berkumpul semua, jumlahnya pun tidak akan melebihi seribu orang.

Dulu, ruangan pertemuan itu selalu penuh jika diadakan pertemuan seluruh anggota itu, namun kini yang terisi separuhnya saja tidak ada. Melihat keadaan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang menjadi agak masgul juga. Tapi semangatnya tetap berkobar untuk membangun kembali perkumpulannya itu. Meskipun jumlahnya sudah berkurang banyak sekali, namun sisa-sisa Hwe-liong-pang itu masih tetap ada dalam tata-tertib yang tinggi.

Semua anggota duduk menurut kelompoknya masing-masing, yaitu delapan kelompok masing-masing Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih), Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning), Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau), Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru), Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), Ci- ki-tong (Kelompok Bendera Ungu), Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) dan Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah). Setiap kelompok ditandai dengan warna ikat kepala dan ikat pinggang yang sesuai dengan warna bendera kelompoknya masing-masing.

Di depan tiap kelompok, sebenarnya disediakan tempat duduk untuk Tong-cu (Kepala Kelompok) dan Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok), namun banyak kursi-kursi itu yang tidak terisi. Rupanya banyak kepala kelompok atau wakil-wakilnya yang telah gugur atau telah menjadi pengikut Tan Goan-ciau, sedang pengganti-pengganti mereka belum ditetapkan. Di antara delapan kelompok itu, hanya Ui-ki-tong dan Lam-ki-tong saja yang masih lengkap mempunyai Tong-cu dan Hu-tong-cu.

Di depan deretan orang-orang Ui-ki-tong masih nampak Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat. Sedangkan di bagian Lam-ki-tong masih nampak ada Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong serta wakilnya yang berwatak berangasan, yaitu Siau-lo-cia (Locia Kecil) Ma Hiong yang berwajah bulat kekanak-kanakan itu.

Kelompok yang masih mempunyai Tong-cu namun sudah kehilangan Hu-tong-cu-nya, masing-masing adalah kelompok Pek-ki-tong yang dipimpin oleh Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim serta kelompok Ci-ki-tong yang dipimpin oleh Jian-kin-sin-kun (Pukulan Sakti Seribu Kati) Lu Siong. Wakil kepala kelompok dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong ini sebenarnya masih hidup, namun mereka telah mengalami cacat berat ketika terlibat dalam pertempuran sengit melawan pengikut-pengikut Tan Goan-ciau di lembah Jian-hoa-kok.

Sedangkan kelompok yang masih memiliki Hu-tong-cu namun sudah tidak berpemimpin lagi adalah kelompok Jing-ki-tong. Di dalam kelompok ini kursi Hu-tong-cu masih diduduki oleh Au-yang Siau-pa, sedangkan kursi Tong-cu yang tadinya diduduki oleh kakak sepupu Au-yang Siau-pa, yaitu Au-yang Siau-hui yang berjuluk Co-siang- hui-mo (Iblis Terbang di Padang Rumput), kini telah kosong.

Seperti diketahui, Au-yang Siau-hui telah melakukan bunuh diri di Jian-hoa-kok ketika pengkhianatannya terbongkar, ia bunuh diri karena takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Badan yang merupakan alat hukuman yang mengerikan itu. Kini, menduduki kursi Hu-tong-cu-nya itu wajah Au-yang Siau-pa nampak termangu-mangu, agaknya ia terkenang kakak sepupunya yang telah tiada itu, yang biasanya duduk di kursi sebelahnya dalam pertemuan-pertemuan semacam itu.

Mereka kakak beradik sepupu adalah sama-sama anak kelahiran Su-coan, melewati masa kanak-kanak bersama-sama dan merintis cita-cita bersama-sama pula, namun sayang sang kakak sepupu telah terbujuk oleh janji muluk Tan Goan-ciau sehingga melakukan tindakan yang amat bodoh. Kini jasad kakak sepupunya itu terkubur di tengah Jian-hoa-kok di wilayah Kiang-se sana, yang jauhnya ribuan li dari Bu-san.

Mengingat hal ini, terasa pedih juga perasaan Au-yang Siau-pa, namun dia menyadari bahwa akibat yang telah diterima oleh kakak sepupunya itu adalah cukup setimpal dengan perbuatannya sendiri. Sementara itu kelompok-kelompok lain seperti Hek-ki-tong, Ang-ki-tong dan Jai-ki-tong sudah tidak berpemimpin sama sekali, sebab pemimpin-pemimpin mereka telah mengikuti Tan Goan-ciau, sedang pemimpin yang baru belum sempat dipilih.

Pertemuan itupun segera dimulai. Suasana hening mencekam semua mata kini menatap ke arah Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang yang duduk dengan gagahnya di atas kursi ketuanya, diapit oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio. Terdengarlah Tong Wi-siang membuka pembicaraan,

“Agaknya kalian sedang heran kenapa hari ini aku muncul di depan kalian tanpa topeng tengkorakku itu? Bahkan aku yakin bahwa sebagian besar dari kalian tentu baru kali ini melihat wajah asliku, bukankah begitu?”

Kata pembukaan yang terdengar ramah dan hangat itu memang mencengangkan para anggota, terasa lain dari dulu. Dulu, suasana pertemuan semacam itu selalu diliputi oleh suasana mencekam dan angker. Beberapa anggota saling berbisik-bisik menyatakan keheranannya, tapi tidak ada seorangpun yang berani memotong ucapan sang Ketua.

Sementara itu Tong Wi-siang telah meneruskan, “Salah satu kesalahan terbesar yang pernah kubuat dalam hidupku adalah, ketika aku dulu begitu lebar membuka pintu keanggotaan Hwe-liong-pang kita ini, sehingga tidak sedikit kaum persilatan berjiwa bejat yang berhasil menyusup ke dalam Hwe-liong-pang tanpa melalui saringan, sebagai akibat lebih lanjut adalah menjadi busuknya nama Hwe-liong-pang di kalangan persilatan. Ini benar-benar merupakan kesalahanku yang paling besar.

"Namun kesalahan itu sudah aku perbaiki di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, di mana aku mengadakan pembersihan tubuh sendiri, Tan Goan-ciau dan semua pengikutnya kupecat dari keanggotaan Pang, korban yang jatuh juga tidak sedikit sebab Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya melakukan perlawanan gigih. Aku menang di Jian-hoa-kok, namun aku lengah di saat berikutnya, sebab Tan Goan-ciau yang melarikan diri itu telah muncul kembali dan menyergap aku sehingga luka, bahkan mengambil alih pimpinan Pang.

"Dengan tindakan pengkhianatannya itu, Pang kita yang besar ini telah terbelah dua, sebagian besar mengikuti Tan Goan-ciau sedang kita hanya kebagian sebagian kecil. Aku sedih, tapi aku juga puas dan lega sebab mulai saat ini Pang kita ini akan benar-benar terdiri dari orang-orang yang mengabdi cita-cita kita secara sungguh-sungguh. Jumlah kita memang telah susut dengan banyak, namun kita justru benar-benar menjadi teman seperjuangan, tidak ada lagi sampah persilatan yang menyusup dan hanya ingin membonceng ketenaran Hwe-liong-pang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang.

"Mulai saat ini, kita bertekad akan hidup secara terang-terangan, seperti perguruan-perguruan kaum lurus lainnya. Karena itulah kutanggalkan topengku, sebab tindakan sembunyi di balik topeng itu hanya pantas dilakukan oleh gerombolan-gerombolan sesat!”

Ucapan itu segera disambut dengan tepuk tangan oleh hampir seluruh anggota. Memangnya tidak sedikit pula anggota Hwe-liong-pang yang selama ini sudah memendam perasaan tidak setuju terhadap tindakan-tindakan Hwe-liong-pang yang gelap-gelapan mirip gerombolan sesat itu, maka kini gembiralah mereka ketika mendengar keputusan Sang Ketua itu.

Tong Wi-siang tersenyum dan mengangkat tangannya, setelah keadaan menjadi tenang kembali, ia berkata lagi, “Aku berbesar hati melihat sambutan kalian. Sekarang aku umumkan secara resmi bahwa gelar-gelar yang menyeramkan seperti Thian-liong Hiang-cu dan sebagainya itu aku hapuskan dari Pang kita. Kedudukan Tong-cu tetap ada, didampingi oleh Hu-tong-cu, memimpin kelompoknya masing-masing yang merupakan kelompok kerja dan bukannya kelompok yang bersaing satu sama lain untuk berbuat kekejaman seperti di masa-masa lalu.”

Keputusan ini disambut pula. “Tahap pertama yang akan kita laksanakan dalam membenahi keadaan Pang kita sekarang, adalah mengisi beberapa jabatan Tong-cu dan Hu-tong-cu yang lowong dengan orang-orang yang bertanggung-jawab. Jabatan Su-cia (utusan keluar) untuk sementara biar tetap diduduki oleh dua orang saja, yaitu Hong-goan Hweshio dan Ling Thian-ki, kelak kekosongan ini akan kita pikirkan lagi.”

Kemudian berturut-turut Tong Wi-siang mengumumkan bahwa Au-yang Siau-pa diangkat sebagai Tong-cu untuk Jing-ki-tong. Sedang kedudukan wakilnya diserahkan kepada seorang anggota Jing-ki-tong yang selama ini cukup menonjol kepandaiannya dan juga kerjanya dan semangatnya, yaitu Yu Ling-hua, seorang bekas murid Khong-tong-pay yang mahir memainkan sepasang perisai tajam Gun-goan-pai.

Ji Tiat dari jabatan Ui-ki-hu-tong-cu diangkat menjadi Tong-cu Ang-ki-tong untuk menggantikan Ko Ce-yang yang telah ikut berkhianat bersama Tan Goan-ciau. Ma Hiong dari kedudukan Lam-ki-hu-tong-cu diangkat menjadi Tong-cu Jai-ki-tong untuk menggantikan Hong-long-cu Mo Hui. Untuk para Tong-cu baru maupun yang lama yang belum memiliki wakilnya, diperbolehkan memilih wakilnya sendiri dengan pertimbangan yang masak.

Tinggallah sekarang Hek-ki-tong yang belum punya Tong-cu maupun Hu-tong-cu, maka Tong Wi-siang lalu mempersilakan para anggota-anggota kelompok itu sendiri untuk berunding dan memilih atau mengajukan calonnya sendiri. Kejadian macam itu baru terjadi kali ini di kalangan Hwe-liong-pang, dimana para anggota diberi kesempatan mengambil keputusan sendiri, berbeda dengan masa lalu di mana setiap keputusan selalu ditetapkan dari pimpinan tanpa menghiraukan perasaan anak buahnya.

Dari hasil kesepakatan antara orang-orang Hek-ki-tong sendiri, akhirnya terpilihlah dua orang calon yang dianggap cukup pantas untuk menduduki jabatan Hek-ki-tong-cu atau wakilnya. Kedua orang itu masing-masing adalah anggota Hek-ki-tong yang bernama Kwa Teng-siong yang dijuluki Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang di Malam Hari) serta Cu Keng-wan yang berjuluk Thi-ciang (Si Tangan Besi). Cu Keng-wan sebenarnya bermaksud mengalah saja dan membiarkan rekannya itu menerima jabatan Tong-cu tanpa saingan, namun karena ia tidak ingin mengecewakan pendukung-pendukungnya maka diapun menyatakan bersedia untuk dicalonkan.

Kedua calon itu disetujui pula oleh Tong Wi-siang, karena kedua orang itu dikenal berkelakuan cukup bersih dan tidak punya hubungan dengan kelompoknya Tan Goan-ciau. Dalam hal kepandaian silat pun mereka cukup tangguh, meskipun belum dapat disejajarkan dengan para Tong-cu yang lama seperti Kwa Heng, Lu Siong, In Yong atau Oh Yun-kim. Karena kedua calon itu sama-sama punya pendukung kuat.

Maka akhirnya Tong Wi-siang memutuskan bahwa keduanya harus melakukan pertandingan ilmu silat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi Tong-cu dan siapa yang akan menjadi Hu- tong-cu. Kedua orang calon itu segera maju ke depan. Setelah memberi hormat kepada Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, keduanya pun siap bertanding dengan tangan kosong.

“Saudara Kwa, harap berbelas kasihan kepadaku,” demikian Cu Keng-wan berbasa-basi. Dalam hatinya dia sudah memutuskan akan mengalah saja, namun dia harus berusaha untuk menyembunyikan niatnya itu agar calon lawannya tidak merasa tersinggung.

Ya-hui-miao Kwa Teng-siong juga tidak langsung menyerang, namun berkata sambil tertawa, “Kau berolok-olok, saudara Cu, akulah yang sebenarnya harus kau kasihani agar tidak terjungkal di bawah telapak tangan besimu.”

Sesaat kemudian kedua orang itupun telah mulai saling gebrak dan mempertunjukkan kepandaian andalannya masing-masing. Karena pertandingan itu ditonton oleh para tokoh tertinggi Hwe-liong-pang, maka kedua calon Tong-cu itu tidak berani bersungguh-sungguh. Bahkan Cu Keng-wan yang berniat mengalah itupun pada mulanya harus menunjukkan kesungguhan hatinya.

Kwa Teng-siong, sesuai dengan julukannya sebagai Kucing Terbang Malam, ternyata memang mempunyai kegesitan dan kelincahan yang luar biasa. Langkah-langkahnya enteng dan lemas, tubuhnya lemas, sedang gerakan-gerakannya dimainkan dengan mengutamakan kecepatan serta kelenturan badan, namun bukan berarti tidak ada kekuatannya. Sedang lawannya adalah seorang pelatih gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup hebat, dengan ilmu Thi-sah-ciang (Tangan Pasir Besi) yang cukup matang. Meskipun ia tidak selincah lawannya, namun desir pukulan dan tendangannya terdengar lebih kuat dan mantap dari lawannya.

Melihat permainan telapak tangan dari Cu Keng-wan itu, diam-diam Au-yang Siau-pa juga teringat kepada dua orang anggota Jing-ki-tong yang punya ilmu serupa itu, meskipun tingkatannya tidak setinggi Cu Keng-wan. Kedua orang anggota itu masing-masing adalah Cong Hun dan Cong Yo, dua bersaudara dari Shoa-tang, yang akhirnya harus mengakhiri hidupnya di tangan macan betina Siau-lim-pay, yaitu Tong Wi-lian.

Terkenang akan kedua orang itu, diam-diam Au-yang Siau-pa membatin, “Kedua orang saudara Cong itu sebenarnya tidak terlalu jahat, sayang pendirian mereka terlalu lemah sehingga mudah dipengaruhi oleh orang lain untuk melakukan kejahatan. Gara-gara ikut menyerbu Tiong-gi Piau-hang serta menculik puteri Cian Sin-wi, kedua saudara itu harus mampus di tangan Tong Wi-lian yang ternyata adalah adik perempuan dari pang-cu sendiri.”

Dalam pada itu, pertarungan antara Kwa Teng-siong dan Cu Keng-wan telah berlangsung puluhan jurus tanpa kelihatan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Kedua belah pihak telah bermandikan keringat, namun semangat tempur mereka tetap menyala-nyala hebat. Tetapi pada jurus yang kesekian puluh, Cu Keng-wan mulai melaksanakan rencananya. Sengaja ia membuat kesalahan langkah sehingga kakinya tersapu oleh tendangan rendah Kwa Teng-siong sehingga ia roboh.

Setelah berhasil merobohkan lawannya, ternyata Kwa Teng-siong tidak meneruskan serangannya, melainkan membangunkan Cu Keng-wan sambil berkata, “Maafkan kelancanganku, Saudara Cu.”

Namun Cu Keng-wan tidak nampak marah sedikitpun, bahkan ia langsung memberi selamat kepada Kwa Teng-siong dengan tulus, “Terimalah salamku, Tong-cu!”

Dengan demikian kini Hek-ki-tong telah memiliki Tong-cu dan Hu-tong-cu atas pilihan anggota-anggota mereka sendiri, maka tepuk tangan riuh pun segera berkumandang di ruangan itu. Suasana segera berubah menjadihangat dan penuh semangat persahabatan.

Dalam pandangan Tong Wi-siang serta tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, sudah tentu “kekalahan” Cu Keng-wan yang disengaja itu tidak dapat mengelabui mata mereka, namun tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu agaknya tidak menunjukkan keberatannya atas sikap itu. Bahkan hal itu menunjukkan bahwa hubungan akrab antar anggota sudah berkembang lebih baik dengan bersedia saling mengalah, tidak ada lagi hubungan saling mencurigai dan saling menjegal seperti di masa mereka masih bercampur- aduk dengan pengikut-pengikut Tan Goan-ciau itu.

Dengan demikian acara pertama dari pertemuan itupun sudah diselesaikan dengan baik dan lancar. Kemudian Tong Wi-siang mulai membicarakan bagaimana sikap yang sebaiknya dari Hwe-liong-pang dalam menghadapi perkembangan keadaan saat itu, untuk menentukan bagaimana sikap dan tindakan Hwe-liong-pang dalam menghadapi pengikut-pengikut Tan Goan-ciau yang masih merajalela di dunia persilatan dan menimbulkan kesalahpahaman kaum pendekar terhadap Hwe-liong-pang.

Selain itu juga perlu memikirkan sikap Hwe-liong-pang dalam menghadapi masalah pertentangan antara Pemerintah Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin tajam itu. Bicara tentang Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya, maka Siangkoan Hong yang berwatak keras itu mengajukan usulnya,

“Selama pengkhianat dan orang- orangnya itu masih hidup dan berkeliaran dengan bebas untuk menyebar fitnah dan kesalahpahaman antara kita dengan kaum pendekar, maka itu ibaratnya penyakit yang belum terberantas akarnya. Selain itu juga akan menyulitkan Pang kita dalam hidup secara tenang di dunia persilatan. Menurut pendapatku, biarlah aku dan Hong pin masing-masing memimpin sebagian anak buah kita untuk mencari Tan Goan-ciau serta pengikut-pengikutnya, dan membasmi mereka sama sekali.”

Namun usul Lim Hong-pin tidak sekeras rekannya itu, “Aku pikir, kita jangan terlalu dipengaruhi oleh luapan perasaan, sehingga kehilangan pertimbangan dari beberapa segi. Kita harus menyadari bahwa kekuatan kita saat ini sedang lemah-lemahnya, maka sikap yang sebaiknya bagi kita hanyalah menunggu dan menahan diri. Bukannya kita takut, namun adalah sangat bijaksana jika kita hendak membenturkan telur dan batu. Lebih baik kita menunggu perkembangan sambil memperkuat diri sendiri, sehingga kita akan bangkit lebih cemerlang dari masa lalu.”

Antara Siangkoan Hong yang berwatak keras dan berangasan, dengan Lim Hong-pin yang selalu berpikir dengan kepala dingin dan cermat, memang sering terjadi perselisihan pendapat. Untunglah bahwa hal itu tidak mengurangi keakraban hubungan persahabatan di antara mereka, sebab agaknya masing-masing sudah saling memahami watak temannya itu.

Begitu pula kali ini Siangkoan Hong merasa bahwa pendapat rekannya itu agaknya lebih dapat diterima, maka katanya dengan terus terang, “Baiklah. Pertimbanganku memang tidak secermat kau, Hong-pin. Aku menarik usulku tadi.”

Pembicaraan itu berlangsung dalam suasana yang blak-blakan, namun tertib. Kali ini pembicaraan bukan hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh tertinggi Hwe-liong-pang, namun sampai kepada anggota-anggota biasapun diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Kadang-kadang tidak terhindar adu pendapat yang singit.

Namun akhirnya Tong Wi-siang sebagai ketua telah menjatuhkan keputusan terakhir, bahwa Hwe-liong-pang untuk sementara waktu akan bersikap menunggu saja, karena merasa belum cukup punya kekuatan untuk menghadapi kelompok Tan Goan-ciau yang mencakup sebagian besar anggota Hwe-liong-pang yang lama, masih ditambah lagi dengan tokoh-tokoh sesat yang menggabungkan diri baru-baru ini.

Waktu diadakan pembicaraan itu, Tong Wi-siang dan teman-temannya belum mendengar berita tentang hancurnya sebagian kekuatan Tan Goan-ciau yang sia-sia di Siong-san, dalam usaha mewujudkan nafsu Tan Goan- ciau untuk menguasai dunia persilatan itu. Jarak antara Gunung Siong-san di wilayah Ho-lam dengan Gunung Bu-san di wilayah Se-coan memang terlalu jauh, mencapai laksaan li, sehingga berita tentang kekalahan Tan Goan-ciau itu belum terdengar oleh Tong Wi-siang dan kawan-kawannya.

Andaikata mereka telah mendengarnya, mereka tentu akan mengambil sikap lain, barangkali akan menyebar anak buahnya untuk menumpas sisa-sisa pengikut Tan Goan-ciau sama sekali. Menghadapi keadaan yang semakin panas akibat pertentangan kerajaan Beng dengan pihak Li Cu-seng, muncul juga usul agar Hwe-liong-pang lebih baik bergabung saja dengan pemberontak Li Cu-seng.

Namun Tong Wi-siang sudah melihat sendiri kelakuan kelompok-kelompok anak buah Li Cu-seng yang kurang disukainya, bahkan dalam anggapan Wi-siang, anak buah Li Cu-seng sama buruknya dengan kelakuan para prajurit Kerajaan Beng. Karena itu usul itu ditolak, Hwe-liong-pang memutuskan untuk berdiri di luar garis pertikaian itu, dan hanya akan bertindak menurut keadaan.

Sebelum pertemuan itu dibubarkan Wi-siang juga telah menjatuhkan perintah kepada seluruh anak buahnya, agar latihan ilmu silat ditingkatkan secara keras, baik secara kelompok per kelompok maupun secara perorangan. Perintah itu berlaku untuk seluruh anggota Hwe-liong- pang, dari Ketuanya sendiri sampai anggota yang paling rendah.

Tong Wi-siang sendiri, begitu pertemuan itu selesai segera masuk ke ruang dalam, tempat tinggalnya yang indah seperti istana itu, ia akan mulai bersemedi untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya sama sekali. Di saat seperti itu, ia membutuhkan waktu kira-kira sepuluh hari untuk menyembuhkan diri, tentu saja tidak mampu menjalankan tugas sebagai Ketua. Untuk sementara waktu, tugas Ketua akan dijalankan oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan dibantu oleh dua orang Su-cia.

Perubahan menyeluruh yang dialami oleh Hwe-liong-pang itu, ternyata bukan hanya diucapkan namun juga dilaksanakan secara nyata. Mulai hari itu, setiap pagi hari nampaklah para anggota berbaris menurut kelompoknya masing-masing, lalu berlari-lari naik turun menyusuri lereng-lereng pegunungan Bu-san yang terjal itu, tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan jasmani mereka. Kemudian dilanjutkan dengan latihan ilmu silat sampai siang hari, di bawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing.

Kini setiap anggota sudah memiliki semangat baru, semuanya bertekad untuk membangun kejayaan Pang mereka yang pernah punya nama ternoda itu. Tidak seorang pun yang mengeluh atau mengutarakan keberatannya dengan latihan-latihan yang melelahkan itu, semuanya sadar bahwa kejayaan Hwe-liong-pang tergantung dari mereka sendiri, dan bukan kepada orang lain.

Meskipun para Tong-cu dan Hu-tong-cu bertindak sebagai pelatih, namun mereka pun tidak melupakan untuk melatih ilmunya masing-masing pada sore harinya. Di bagian belakang puncak Tiau-im-hong tempat berdirinya markas Hwe-liong-pang, memang terdapat cukup banyak tempat-tempat yang indah dan sepi untuk melatih diri, kesanalah para Tong-cu dan Hu-tong-cu sering pergi untuk meningkatkan ilmunya. Kadang-kadang mereka berlatih sendiri-sendiri, tapi kadang-kadang berlatih berpasangan sambil saling menunjukkan kelemahan pasangannya, sehingga masing-masing dapat memperbaiki diri.

Dalam beberapa hari, para anggota Hwe-liong-pang yang masih terpencar di berbagai kota itupun sudah berkumpul di markas semuanya, mereka langsung bergabung dengan kelompoknya masing-masing dan melibatkan diri dalam kegiatan latihan itu. Orang-orang yang ditugaskan untuk mengawasi keadaan, ternyata telah datang pula dengan laporan-laporan yang tidak menggembirakan tentang keadaan dunia luar.

Pada suatu hari, seekor burung merpati pembawa surat telah tiba di cong-toh dengan sebuah bumbung kecil terikat di kakinya. Itulah berita yang dikirimkan dari salah seorang pengintai Hwe-liong-pang. Ketika Siangkoan Hong menerima dan membaca surat itu, ternyata pengirimnya adalah pengintai di kota Lam-tiong. Dan setelah membaca surat itu, nampaklah wajahnya berubah jadi merah membara, gerahamnya pun gemeretak menahan amarah. Teriaknya sambil menggebrak meja, “Gila! Ini benar-benar gila!”

Mendengar teriakan Siangkoan Hong itu, Lim Hong-pin cepat mendekatinya sambil bertanya, “Ada berita apa, A-hong?”

Dengan suara masih agak gemetar karena menahan amarah, Siangkoan Hong menjawab, “Bajingan Goan-ciau itu benar-benar manusia licik yang sangat berbahaya, ular berkepala dua, pengkhianat paling busuk dalam sejarah! Mata-mata kita di Lam-tiong telah melaporkan berita yang mengejutkan. Rupanya setelah dia berhasil merebut sebagian besar anak buah dengan mengkhianati A-siang, dia langsung membawa seluruh begundalnya untuk menyerbu Siong-san, dimana saat itu kaum pendekar dari berbagai perguruan sedang berkumpul. Namun si ular busuk itu dikalahkan oleh para pendekar, dan sekarang tahukah kau apa yang telah dikerjakannya?”

Lim Hong-pin diam saja dan membiarkan rekannya itu mengeluarkan caci maki sepuas hati supaya lega hatinya. Ia belum tahu apa kelanjutan omongan Siangkoan Hong, namun pasti bukan berita baik kalau menilik Siangkoan Hong sampai begitu marahnya setelah mendengar laporan itu.

Sementara itu Siangkoan Hong telah berulangkali menyedot napas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menyedot seluruh udara sejuk pegunungan Bu-san itu untuk mendinginkan gejolak kemarahannya. Katanya lebih lanjut dengan suara lebih tenang, “Ular busuk itu dikalahkan para pendekar lalu mengundurkan diri bersama seluruh begundalnya, namun dalam pengunduran dirinya itu dia sengaja meninggalkan jejak ke arah bukit Bu-san ini, ke arah tempat kita ini! Kini para pendekar yang sedang menyerbu kemari di bawah pimpinan si keledai gundul Hong-tay itu. Jelaslah bahwa si ular busuk Goan-ciau itu tahu kalau kita sudah menguasai tempat ini, lalu dia akan berusaha mengadu domba antara kita dengan kaum pendekar itu, agar dia sendiri yang dapat memungut hasilnya. Si ular busuk itu sendiri sekarang telah bergabung dengan kaswanan kuku garudanya Cong-ceng secara tidak tahu malu!”

Berita itu memang cukup mengejutkan dan tidak bisa ditanggapi dengan santai saja. Lim Hong-pin yang biasanya bersikap tenang itupun, kini nampak agak terguncang ketenangannya. Ia menggeram sambil meremas tangannya, “Tan Goan-ciau telah menjual anak buahnya kepada anjing-anjingnya Cong-ceng. Kini ia tinggal menunggu benturan antara kita dengan kaum pendekar, pihak manapun yang akan keluar sebagai pemenang, tentu keadaannya sudah hampir sama hancurnya dengan yang kalah, setelah itu barulah Tan Goan-ciau akan menghancurkan kita sama sekali tanpa banyak kesulitan, apalagi dengan bantuan tentara pemerintah.”

“Begitulah. Aku sama sekali tidak gentar jika harus berhadapan dengan kawanan keledai gundul Siau-lim-pay atau hidung-hidung kerbau Bu-tong-pay itu, namun aku benar-benar tidak rela jika Tan Goan-ciau lah yang bakal memetik keuntungan dari kejadian ini!”

Dalam keadaan seperti itu, nyatalah bahwa Lim Hong-pin tetap dapat bersikap lebih tenang. Katanya, “Kita tidak boleh terseret oleh kemarahan dan mengaburkan pikiran jernih ini, kita harus mencari akal supaya jangan terjebak ke dalam akal licik Tan Goan-ciau itu. Kita akan merundingkannya dengan A-siang. Entah berapa hari lagi A-siang akan menyelesaikan semedinya?”

Sebelum Siangkoan Hong menyahut, tiba-tiba dalam ruangan itu telah bergema sebuah suara berat dan mantap, “Hari inipun aku sudah menyelesaikan semediku. Ada urusan apa sehingga kalian berdua begitu ribut?”

Lalu Tong Wi-siang pun melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Meskipun ia nampak lebih kurus, namun wajahnya sudah tidak pucat lagi dan sinar matanya pun tajam berkilauan seperti dulu lagi. Jelas bahwa ia telah menyembuhkan luka dalamnya. Melihat hal ini diam-diam Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong merasa lega.

“Katamu kau akan bersemedi sepuluh hari, sekarang kan baru delapan hari?” tanya Siangkoan Hong.

“Perhitungan itu memang agak meleset. Aku mengira lukaku begitu parah sehingga memutuskan untuk bersemedi sepuluh hari, tapi ternyata lukaku tidak separah dugaanku, terbukti bahwa aku telah berhasil menyembuhkannya sama sekali dalam waktu hanya delapan hari.”

Setelah berkata begitu, Wi-siang melepaskan sebuah pukulan ke tengah udara. Terciptalah deru angin hebat akibat pukulan itu, menandakan bahwa keadaan Ketua Hwe-liong-pang itu sudah pulih seperti semula. Jika sedang ada di hadapan anak buah Hwe-liong-pang, ketiga orang itu saling memanggil dengan sebutan resmi yang berlaku. Namun jika hanya ada mereka bertiga, maka mereka lebih suka saling memanggil dengan nama panggilan sehari-hari selama mereka masih sebagai kawanan berandal di An-yang-shia. Mereka merasa lebih akrab satu sama lain dengan panggilan lama itu.

“Kebetulan sekali kau sudah menyelesaikan semedimu, A-siang,” kata Siangkoan Hong sambil menyodorkan surat yang dibawa oleh burung merpati tadi. “Ada berita penting dari mata-mata kita di Lam-tong, dan membutuhkan keputusanmu untuk menentukan sikap seluruh Hwe-liong- pang kita.”

Dengan alis yang berkerut, Wi-siang membaca surat itu, kemudian bergumam perlahan, “Benar-benar seorang manusia yang berbahaya, licik dan tidak tahu malu, ia sanggup menggunakan cara apa saja untuk mencapai maksudnya. A-pin, bagaimana pikiranmu?”

Dalam hal yang memerlukan pertimbangan, Wi-siang memang lebih mengandalkan Lim Hong-pin daripada Siangkoan Hong. Bukan karena Siangkoan Hong kurang pintar, melainkan karena sifat pemarah dan berangasan dari Siangkoan Hong itu kurang menguntungkan jika harus memberi pertimbangan yang membutuhkan kecermatan. Sedang Lim Hong-pin lebih berkepala dingin.

Sahut Lim Hong-pin dengan berhati-hati, “Menurut pendapatku, kaum pendekar di bawah pimpinan Hong-tay Hwesio itu tentu bukan manusia-manusia tidak berotak sama sekali yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Aku yakin bahwa mereka akan bisa diberi penjelasan tentang pergolakan yang terjadi di dalam Pang kita. Sebaiknya kita mengirim seorang utusan kepada Hong-tay Hwesio untuk memberi penjelasan bahwa bukan kitalah yang telah menyerbu Siong-san itu, melainkan Tan Goan-ciau sebagai Ketua yang tidak sah, kita berharap agar Hong-tay Hwesio dapat menerima penjelasan ini dan menarik mundur barisan pendekarnya.”

Sebelum Wi-siang menyahut Siangkoan Hong telah menimbrung lebih dulu, “aku agak kurang setuju. Hal itu menjadikan kita seolah-olah pengemis yang ketakutan dan mengemis belas kasihan dari kawanan keledai gundul itu. Andaikata mereka menerima permintaan kita, tentu mereka pun akan bersikap memandang rendah kepada kita!”

Namun pendapat Wi-siang berbeda dengan pendapat Siangkoan Hong, “Kukira usul A-pin itu cukup cermat. Kita mengirim utusan untuk menemui Hong-tay Hwesio bukan berarti kita takut dan minta ampun, namun hanya usaha untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak ada gunanya. Sebab jika pertempuran antara Hwe-liong-pang kita dengan kaum pendekar itu benar meletus, maka yang rugi adalah kedua pihak juga, sedang Tan Goan-ciau juga yang mengeruk keuntungan...”
Selanjutnya;