Perserikatan Naga Api Jilid 30Karya : Stevanus S.P |
Begitu mendengar seruan itu, perwira yang berkelahi dengan Ji Tiat itu segera menghentikan serangannya dan melompat mundur dari gelanggang. Ji Tiat pun tidak mengejarnya, sebab dia diam-diam juga menyesali tindakannya yang terburu nafsu tadi dan hampir saja mengacaukan urusan besar itu. Ia berharap mudah-mudahan urusan dengan hamba-hamba kerajaan itu mudah diselesaikan, kalau perlu dengan menyuap beberapa tahil perak kepada mereka.
Tapi bukan demikianlah yang terjadi, justru kesulitan yang lebih besar kini telah muncul di depan mata. Bu-ciang berhidung bengkok itu kini telah melangkah ke depan dan berkata sambil tertawa dingin, “Bagus, tidak kusangka kalau di tempat yang berjarak ribuan li dari kota Kay-hong ini akan dapat kutemui Ji Tiat, Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) yang perkasa. He- he-he, Ji Tiat, masih ingatkah kau kepadaku?” Ji Tiat menatap bu-ciang itu tajam-tajam sambil berpikir keras. Ia merasa bahwa wajah itu memang pernah diingatnya, tapi ia sudah lupa tempat dan waktunya. Dengan hati-hati ia berkata, “siapakah kau?” Perwira itu menggeram penuh dendam, “kau tentu masih ingat kepada Thi-bin-sin-eng (Elang Sakti Bermuka Besi) Cio Hong-hoat yang pernah bertempur habis-habisan denganmu di kota Tay-goan? Waktu itu aku berhasil kau kalahkan karena kelengahanku sendiri, namun sekarang kita bertemu kembali dan aku menantangmu untuk mengulangi pertarungan di Tay-goan itu!” Mendengar nama dan julukan itu, mengeluhlah Ji Tiat dalam hatinya, jelaslah bahwa tidak bisa tidak urusan akan menjadi berlarut-larut dengan hamba-hamba kerajaan ini. Bukannya Ji Tiat takut menghadapi urusan, namun tugasnya untuk mengawal Hwe-liong-pang-cu sampai ke Bu-san itu adalah jauh lebih penting ketimbang meladeni prajurit-prajurit itu. Namun agaknya tidak gampang untuk melepaskan diri dari Thi-bin-sin-eng Cio Hong-hoat dengan begitu saja. Dalam keadaan terjepit itu, Ji Tiat bertindak cepat. Tiba-tiba dia berseru kepada Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong, “Saudara berdua harap menahan anjing-anjing Kaisar ini di sini! Cepat!” Namun sebagai perwira kawakan, Cio Hong-hoat juga bertindak tidak kalah cepatnya, “Kepung rumah penginapan ini! Kudengar berita bahwa Siang-po-kay-san Ji Tiat telah menjadi anggota Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang adalah sebuah perkumpulan gelap yang bersikap menentang kerajaan! Kawan-kawan Ji Tiat itupun tentu orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak boleh lolos seorangpun!” Belasan orang prajurit itu segera memencar sambil menghunus senjatanya masing-masing, menutup semua pintu. Bahkan Cio Hong-hoat memerintahkan lebih lanjut, “Salah seorang keluar untuk memanggil bala bantuan.” Seperti diketahui, Hwe-liong-pang bukan saja dimusuhi oleh kaum pendekar golongan lurus, namun juga oleh pihak pemerintah Kerajaan Beng. Itu disebabkan oleh tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang sangat brutal kepada pejabat-pejabat kerajaan, antara lain peristiwa terbasminya Cia To-bun sekeluarga di kota An-yang-shia. Cita-cita Hwe-liong-pang “menumbangkan kebobrokan dan membangun keadaan baru” itu oleh pihak kerajaan telah ditafsirkan sebagai niat untuk memberontak, sehingga pemerintah kerajaan pun dsh mengeluarkan pengumuman resmi bahwa Hwe-liong-pang adalah musuh negara. Tidak peduli Hwe-liong-pang-nya Tong Wi-siang atau Hwe-liong-pang-nya Tan Goan-ciau semuanya harus dibasmi. Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang itu memang belum banyak diketahui orang, sehingga orang masih saja menyamaratakan sikap terhadap Hwe-liong- pang. Waktu itu kota Chung-king hampir kosong penduduknya karena mengungsi, namun justru penuh dengan prajurit-prajurit pemerintah, karena kota itu merupakan sebuah kota penting yang pasti akan dilewati oleh laskar pemberontak apabila hendak menyerbu ke Pak-khia. Kelompok-kelompok prajurit bersenjata hilir-mudik di jalanan. Maka keributan dalam rumah penginapan itu dapat segera diketahui oleh prajurit-prajurit lainnya, maka dalam sekejap saja rumah penginapan itu benar-benar telah terkepung rapat! Cio Hong-hoat tertawa dingin kepada melihat Ji Tiat dan kawan-kawannya nampak gugup dalam menghadapi perkembangan keadaan itu. Ejek Cio Hong-hoat, “Kalian ibarat ikan dalam jaring, biarpun tumbuh sayap juga tidak akan bisa lolos lagi dari sini.” Mengetahui bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali bertarung habis-habisan, maka Ji Tiat menjadi mata gelap, teriaknya pula, “Saudara Ma dan saudara Auyang, lindungi Pang-cu, cepat!” Sadar dari kegugupannya, Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong cepat-cepat berlari menuju ke ruangan dalam. Namun sebelum mereka berhasil mencapai pintu ke ruangan dalam, dua orang prajurit yang bersenjata pedang telah mencegat mereka, lalu menyusul dua orang lagi. Dengan demikian Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong dipaksa menghadapi empat orang lawan bersenjata, sedangkan mereka sendiri hanya bertangan kosong. Sementara itu Ji Tiat telah terlibat perkelahian sengit dengan musuh lamanya, Cio Hong-hoat yang mahir dengan dua macam ilmu tangan kosong bertenaga keras, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Cengkeraman Elang). Ternyata Cio Hong-hoat ini masih terhitung saudara seperguruan dengan Ting Ciau-kun. Perwira bu-ciang she Cio ini membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ganas Eng-jiau-kau-jiu (Cengkeraman Elang). Tangan satunya menjambret pundak dan tangan lainnya menjambret pinggul, jika kedua serangannya ini mengenai sasarannya, maka lawannya akan langsung dibantingnya ke tanah. Biasanya kalau sudah begitu sang lawan akan langsung mampus, atau sedikitnya cacat seumur hidup. Ji Tiat yang sudah waspada akan kemahiran lawannya itu tidak mau dipancing dalam pertarungan jarak dekat. Sambil menggeser mundur dia melakukan gerak Ya-ma-hun-cong (Kuda Liar Membelah Suri), tangannya menangkis ke atas dan ke bawah. Tetapi Cio Hong-hoat terus mendesak ke depan sambil membalikkan telapak tangan dan berusaha untuk mencengkeram kedua pergelangan tangan Ji Tiat yang untuk menangkis itu. Menghadapi seorang lawan yang begitu tangkas, untuk sementara memang Ji Tiat dipaksa untuk bertahan dan mundur saja, sambil mencoba mencari kelemahan dari gaya permainan lawannya. Ternyata orang she Cio itu sangat mempercayakan serangan-serangannya pada kekuatan jari-jari tangannya. Begitu Ji Tiat merasa dapat mengetahui gaya lawan, maka diapun tidak hanya bertahan saja namun juga balas menyerang. Sambil mengelak ke samping, Ji Tiat membalas dengan sebuah hantaman ke batok kepala lawan dengan jurus Liong-teng- toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga). Maka sengitlah kedua musuh bebuyutan itu mengulangi perkelahian mereka dulu. Kali ini bahkan lebih sengit dari dulu, sebab masing-masing pihak sudah mengalami kemajuan dalam ilmunya masing-masing. Cio Hong-hoat dengan ilmu Eng-jiau-kang dan Ngo-heng-ciang-nya itu benar-benar lawan yang sangat berbahaya dengan sepasang telapak tangannya itu. Cengkeraman jari-jarinya akan sanggup untuk merobek kulit lawan atau bahkan langsung mematahkan tulang-tulangnya, sedangkan pukulan Ngo-heng-ciang-nya dilatih khusus untuk bertempur dalam jarak dekat dan punya kemampuan untuk menghancurkan bagian dalam tubuh manusia. Begitulah dia mencengkeram dan menghantam berganti-ganti. Namun Ji Tiat juga bukan seorang lawan empuk. Dia adalah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) Ui-ki-tong, salah satu dari delapan kelompok Hwe-liong-pang yang pernah disegani dalam dunia persilatan. Julukannya adalah Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), menandakan bahwa ia memiliki tenaga raksasa yang diibaratkan dapat membelah gunung. Kini dalam menghadapi seorang lawan yang mahir bertempur jarak dekat dan mengandalkan kekuatan jari-jarinya, Ji Tiat tidak gentar sama sekali, sebab dia sudah biasa berlatih bersama dengan Kwa Heng yang juga mahir berkelahi jarak dekat. Julukan Kwa Heng adalah Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) dan mahir Kau-kun (Silat Monyet). Antara Kau-kun dengan Eng-jiau-kang ada persamaannya dalam hal mengandalkan kekuatan cengkeraman jari-jarinya dan memaksa lawannya berkelahi jarak dekat, tapi ada pula perbedaannya. Perbedaannya adalah bahwa Eng-jiau-kang banyak menitikberatkan kepada tubrukan-tubrukan dan terkaman-terkaman yang ganas serta bertenaga, sedang Kau-kun lebih licin dan lincah, penuh dengan kelitan-kelitan yang lemas. Maka dalam menghadapi keganasan Cio Hong-hoat itu Ji Tiat tidak merasa takut sedikitpun, sebab Cio Hong- hoat masih belum mampu bergerak secepat teman berlatih Ji Tiat, yaitu Kwa Heng. Sedang dalam hal tenaga pun Ji Tiat tidak perlu merasa ragu-ragu untuk membenturkan kekuatannya secara keras lawan keras. Sekejap saja kedua seteru bebuyutan itu telah bertukar serangan belasan kali. Cio Hong-hoat bertubuh ringan dan gesit, benar-benar mirip seekor elang ganas yang beterbangan di udara, namun lawannya pun berkelahi dengan gagah perkasa bagaikan sebuah pagoda besi yang takkan goyah oleh badai yang bagaimanapun dahysatnya. Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang masih belum kebagian lawan, segera menyerbu ke bagian dalam rumah penginapan itu sambil berteriak-teriak penuh semangat. Tiga orang prajurit yang merasa kepandaiannya paling menonjol, segera mendahului rekan-rekannya untuk menerjang ke dalam. Inilah kesempatan baik untuk mendirikan jasa dan memperoleh kenaikan pangkat, demikianlah pikiran mereka. Namun, baru saja mereka masuk beberapa langkah, maka prajurit-prajurit sial itu tahu-tahu telah “beterbangan” keluar kembali bagaikan dihantam oleh hembusan angin berkekuatan raksasa. Masuknya mereka menggunakan jurus-jurus silat dan gaya-gaya lompatan yang indah, maka keluarnya justru sangat konyol sebab muka mereka yang lebih dulu menghunjam lantai. Menyusul itu, dari dalam ruangan terdengar bentakan keras, “Kawanan anjing kaisar, kalian masih belum cukup berharga untuk berani jual lagak di depan ketua kami!” Lalu muncullah Hong-goan Hweshio, diikuti oleh Ling Thian-ki, Kwa Heng dan Lu Siong. Paling belakang muncullah Tong Wi-siang didampingi oleh Siangkoan Hong, keduanya memakai topeng tengkorak dan jubah kebesarannya masing-masing. Rupanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu telah mendengar keributan yang terjadi di ruangan depan, juga menyadari bahwa rumah penginapan itu telah terkepung. Maka mereka pun memutuskan untuk menerjang keluar daripada mati sebagai tikus dalam liangnya. Munculnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau tidak mau telah menciutkan keberanian Cio Hong-hoat dan prajurit-prajuritnya. Apalagi melihat kehebatan Hong-goan Hweshio dalam membuka jalan untuk Ketuanya. Dengan senjata Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) di tangannya, Hong-goan Hweshio menyapu kawanan prajurit yang merintanginya, sekejap saja dua orang prajurit telah terjungkal dalam keadaan luka parah. Ling Thian-ki tidak mau ketinggalan dari rekannya itu, maka dengan sepasang cundriknya diapun telah merobohkan beberapa prajurit. Kwa Heng telah melemparkan sepasang kampak bergagang pendek kepada Ji Tiat sambil berseru, “Saudara Ji, inilah senjatamu!” Cepat Ji Tiat melompat mundur dan dengan tepat berhasil menyanggapi sepasang senjata andalannya itu. Kini, dengan sepasang kampak pendek telah berada di tangannya, maka Ji Tiat bagaikan seekor macan yang tumbuh sayapnya, tandangnya semakin beringas dan menggentarkan. Untuk mengimbanginya, Cio Hong-hoat terpaksa mencabut pedangnya. Namun perwira she Cio itu menginsyafi bahaya, bahwa dengan keluarnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu keadaan akan menyulitkan pihaknya. Maka ia berseru, “Keluar dari ruangan! Perketat kepungan di luar!” Buat prajurit-prajurit yang sudah kewalahan itu, perintah “tinggalkan ruangan” itu ibarat pembatalan hukuman mati buat mereka. Mereka sudah tidak tahan lagi menghadapi amukan orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka serempak merekapun berlompatan keluar ruangan untuk bergabung dengan pasukan yang sudah mengepung di sekitar rumah penginapan itu. Mereka sudah tidak ingat untuk mencari pahala lagi, buat apa pahala jika nyawa melayang? Sedangkan Cio Hong-hoat sendiri sudah lebih dulu ada di luar ruangan. Waktu itu, di jalan-jalan raya di depan dan di sekitar rumah penginapan itu sudah penuh dengan tentara kerajaan. Barisan pemanah berada di paling depan dan terdiri dari dua lapis, yang depan berjongkok dan yang belakang berdiri, busur sudah terpentang dan anak panah pun sudah terpasang, hanya tinggal menunggu aba-aba untuk memanah. Begitu pula beberapa gang kecil di sekitar rumah penginapan itu sudah dijaga ketat, bahkan beberapa orang perwira yang berilmu tinggi telah berjaga-jaga di atas genteng. Agaknya pasukan pemerintah itu maklum betapa tangguhnya jago-jago Hwe-liong-pang itu, maka mereka mengerahkan tentara sebanyak itu. Di dalam rumah penginapan, tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera membuat perhitungan yang cermat. Mereka tahu bahwa di samping kanan dan kiri rumah penginapan itu tentu penjagaannya tidak terlalu kuat, sebab tempat-tempat itu hanya merupakan gang-gang kecil yang tidak memungkinkan untuk dimuati banyak prajurit. Begitu pula di tempat-tempat itu tentu barisan panah tidak akan leluasa bergerak. Tong Wi-siang segera memerintahkan anak buahnya untuk menerjang lewat samping rumah, sedangkan dia sendiri telah menghunus pedang pusaka yang ditemukannya di Bu-san, yaitu Jit-kui-po-kiam (Pedang Pusaka Tujuh Setan). Begitu pedang yang dahsyat itu terlolos keluar dari sarungnya, seketika itu juga tersebarlah suasana seram yang menggidikkan hati. Pedang itu adalah peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang diketemukan Wi-siang dari atas bukit Yu-kui-hong, merupakan sebatang pedang yang mengandung kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi orang yang memegangnya. Jika pedang itu ada dalam sarungnya, hawa gaib itu tidak terasa, namun begitu dicabut keluar akan mempengaruhi pemegangnya dengan hawa setan yang terpancar daripadanya. Dengan memegang pedang itu, si pemegang bukan lagi manusia yang berakal jernih, melainkan akan berubah menjadi makhluk ganas yang tidak berperi-kemanusiaan lagi, jika pedang disarungkan kembali maka si pemegang akan pulih kembali kepada kepribadiannya yang semula. Begitu seramnya kesaktian pedang itu, sehingga pengaruhnya tidak luntur meskipun sudah ratusan tahun tidak pernah mengisap darah manusia lagi. Kini Tong Wi-siang telah menarik pedang itu dari sarungnya, menandakan bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi. Hong-goan Hweshio terkesiap melihat pedang yang dipegang oleh ketuanya itu, dengan agak gugup ia berkata, “Pang-cu, apakah pedang itu tidak sebaiknya disimpan dulu? Sebab... sebab...” Sikap ramah tamah Tong Wi-siang yang biasanya terlihat itu kini telah lenyap tak bersisa sedikitpun. Sebelum Rahib Hong-goan menyelesaikan kata-katanya, Tong Wi-siang telah membentaknya dengan bengis, “Tutup mulutmu! Kita akan jebolkan kepungan mereka sambil membunuh anjing-anjing Cong-ceng itu sebanyak-banyaknya! Siapa yang tidak tunduk kepada perintahku, biarlah darahnya akan dihirup oleh pedang ini!” Bibir Rahib Hong-goan sudah bergerak-gerak hendak menyelesaikan kalimatnya, namun Ling Thian-ki yang lebih mengerti gelagat segera menggamit lengan sahabatnya itu dan memberi tanda kedipan mata agar jangan berbicara lagi. Begitulah, dengan dipimpin sendiri oleh Hwe-liong-pang-cu orang-orang Hwe-liong-pang itu mencoba menerjang lewat pintu samping yang tembus ke sebuah lorong kecil. Di lorong itu memang telah menunggu puluhan orang prajurit, namun hanya dengan beberapa kali ayunan Jit-kui-po-kiam-nya, prajurit-prajurit sial itu langsung berkelojotan mandi darah. Tong Wi-siang kini adalah sesosok hantu haus darah yang tiada taranya, luka dalamnya yang diderita akibat sergapan Tan Goan-ciau itu kini seolah tidak terasa lagi. Rahib Hong-goan yang diam-diam mengikuti di belakang ketuanya dan melihat pembantaian itu, diam-diam menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dalam hatinya, “Mengerikan sekali pengaruh pedang iblis itu. Semoga pedang itu tidak terlalu sering dicabut keluar dari sarungnya.” Pasukan kerajaan yang mengepung tempat itu agaknya menyadari bahwa orang-orang yang ingin mereka tangkap itu telah membobol pintu samping. Cio Hong-hoat yang mengetahui hal itu segera berteriak memerintahkan, “Mereka menerjang pintu samping, dan pasti akan melompat ke atas genteng sebab lorong itu buntu! Pemanah yang di atas genteng bersiap!” Benar juga perhitungan Cio Hong-hoat itu, sebab lorong itu memang buntu. Tentu saja Wi-siang dan anak buahnya tidak ingin terkurung dalam lorong buntu itu, namun lari ke jalan raya adalah tidak mungkin sebab di situ sudah ditunggu oleh pasukan yang sangat kuat. Jalan satu- satunya adalah naik ke genteng, dan berharap bahwa tinggi rendahnya wuwungan rumah yang tidak merata itu akan dapat melindungi mereka dari sambaran panah. Demikianlah mereka terpaksa berlompatan ke atas genteng. Namun ternyata di atas genteng itu juga sudah menunggu sekelompok prajurit pemanah. Begitu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu menginjakkan kakinya di atas genteng, maka hujan panah pun melanda ke arah mereka. Lu Siong yang gerak-geriknya kurang tangkas itu segera terpanah pundaknya. Sedangkan Tong Wi-siang benar-benar telah dikuasai oleh hawa iblis pedang yang dipegangnya, entah dari mana datangnya kekuatannya dia telah berhasil menyapu semua anak panah yang tertuju kepadanya, bahkan beberapa batang anak panah telah terlempar balik dan mengenai prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri! Seorang perwira yang memimpin pengepungan di atas genteng itu segera berteriak, “Itulah pemimpin pengacau yang dipanggil Hwe-liong-pang-cu itu! Tangkap dia lebih dulu supaya anak buahnya menyerah!” Bicara memang enak, namun pelaksanaannya sungguh sulit. Pada hakekatnya keberanian prajurit-prajurit itu sudah runtuh ketika melihat keperkasaan Hwe-liong-pang-cu itu. Tong Wi-siang tertawa terbahak-bahak dari balik topeng tengkoraknya, suaranya bagaikan iblis meringkik sehingga membuat bulu kuduk para pendengarnya jadi merinding. Teriak Wi-siang sambil memutar pedangnya, “Benar. Akulah Hwe-liong-pang-cu yang bakal mendepak Cong-ceng sehingga terjungkal dari singgasana kekaisarannya! Anjing-anjing Cong-ceng, hayo cobalah tangkap aku!” Tubuh Tong Wi-siang bagaikan sesosok bayangan hantu segera berkelebat menerjang kelompok prajurit di atas genteng itu. Kawanan prajurit itu ternyata tidak sanggup menghadapi terjangan sedahysat dan secepat itu, bahkan mereka belum sempat untuk meletakkan busur dan mencabut pedang mereka, darah mereka sudah lebih dulu dihirup oleh Jit-kui-po-kiam yang hebat itu! Perwira yang memimipn kelompok prajurit di atas genteng itu jadi bergidik ngeri ketika melihat keganasan Ketua Hwe-liong-pang itu. Tanpa malu-malu lagi ia cepat-cepat melompat ke bawah genteng, meskipun jatuhnya ke tanah itu agak konyol namun dia boleh berlega hati karena nyawanya selamat. Meskipun kawanan prajurit di atas genteng itu sudah menyingkir, namun tidak berarti tokoh-tokoh Hwe-liong- pang itu lalu dapat meloloskan diri dengan mudah. Hujan anak panah terus menerus terhambur ke arah mereka, sedang bala bantuan prajurit kerajaan terus mengalir ke tempat itu dan semakin merapatkan kepungan. Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu hanya dapat bergerak setapak demi setapak karena direpotkan oleh hujan panah yang tak henti-hentinya itu. Bahkan Li Siong tidak sempat merawat lukanya lagi, sebab tidak ada tempat untuk sembunyi sehingga dia dipaksa terus menerus memutar senjatanya untuk menghalau setiap panah yang tertuju ke tubuhnya. Gerakannya yang memakan banyak tenaga itu telah membuat tubuhnya yang sudah luka itu bertambah lemah, darah terus menerus mengalir dari lukanya, sedang mukanya pun semakin pucat. Kwa Heng dan lain-lainnya pun berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Lu Siong, namun mereka sendiripun disulitkan oleh hujan panah itu. Bahkan sesaat kemudian Au-yang Siau-pa juga ikut-ikutan terluka, terpanah betisnya sehingga gerakannya menjadi pincang.... |
Selanjutnya;
|