Perserikatan Naga Api Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 30

Karya : Stevanus S.P
DALAM pada itu, salah seorang rahib muda itu telah melaporkan kejadian itu kepada Hong-tay Hwesio, sekalian menyampaikan permintaan Tong King-bun bertiga itu dikabulkan, sedangkan jenazah Ko Ce-yang segera diturunkan dan dimakamkan selayaknya.

Dalam saat itu juga, Tong Wi-hong dan rombongannya pun telah memutuskan untuk berangkat mendahului rombongan kaum pendekar. Mereka segera minta diri kepada Hong-tay Hwesio. Untuk mengucapkan kata-kata pamitan ini ternyata benar-benar diperlukan hati yang tabah dan muka yang tebal pula, sebab bukankah permintaan itu bisa dianggap hendak menghindari kewajiban bersama?

Selagi pendekar-pendekar dari berbagai perguruan hendak berjuang melawan Hwe-liong- pang, kenapakah pihak Tiong-gi Piau-hang malah hendak memisahkan diri dari barisan kaum pendekar? Hal itu bisa ditafsirkan sebagai tindakan yang kurang setia kawan, tapi apa boleh buat, Tong Wi-hong benar-benar harus mendahului menemui Tong Wi-siang, sebelum kaum pendekar menemukannya lebih dulu.

Untunglah bahwa Hong-tay Hwesio adalah seorang yang bijaksana, ia mengijinkan rombongan Tong Wi-hong untuk berangkat lebih dulu, meskipun dengan pandangan sinis para pendekar. Rombongan Wi-hong kali ini berjumlah tujuh orang, yaitu Tong Wi-hong sendiri, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping, Tong Hujin dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa.

Ketika tiba di bawah bukit Siong-san, Tong Wi-hong lalu memerintahkan dua saudara So agar menuju ke kota Bu-sek. Di sana mereka harus menyebar perintah kepada cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang dimanapun berada, agar ikut mengamat-amati Hwe-liong-pang-cu dan pengikut-pengikutnya dimanapun berada. Tiong-san-siang-hou segera memisahkan diri dari rombongan itu dan menuju ke kota Bu-sek.

* * * * * * *

JIKA di bagian tengah daratan Tiongkok, yaitu di bukit Siong-san di wilayah Ho-lam baru saja terjadi banjir darah kaum persilatan antara Hwe-liong-pang melawan gabungan para pendekar berbagai perguruan, maka di bagian barat dari daratan Tiongkok pun sudah mulai terasa kegelisahannya. Wilayah ini terancam pula oleh pertumpahan darah yang jauh lebih besar.

Disini yang akan bertarung bukan cuma orang-orang dunia persilatan, namun adalah dua kekuatan raksasa, yaitu pasukan-pasukan Kerajaan Beng berhadapan dengan laskar pemberontak di bawah pimpinan Li Cu-seng yang jumlahnya juga mencapai ratusan ribu orang!

Pertempuran besar-besaran secara terbuka memang belum terjadi, tapi suasana sudah menghangat, tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara tentara-tentara kerajaan dengan laskar pemberontak. Kedua pihak sudah menetapkan titik-titik pemusatan kekuatan di sepanjang daerah yang akan menjadi ajang pertempuran mereka.

Pemberontakan Li Cu-seng itu disebabkan oleh rasa tidak puas kepada pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang dinilai sangat bobrok dan menimbulkan kesengsaraan rakyat kecil. Dengan dasar itulah maka Li Cu-seng berhasil mengumpulkan ratusan ribu pengikut, sebagian besar para petani dan nelayan yang tidak puas kepada Kerajaan Beng.

Dimana ada peperangan, disitu muncul pula kaum pengungsi. Rakyat di daerah yang bakal menjadi ajang pertempuran itupun kini mulai mengungsi, mengalir ke wilayah yang aman. Meskipun mereka pun sadar bahwa pertentangan antara Kerajaan Beng dengan pemberontak itu lambat-laun pasti akan menjalar pula ke wilayah- wilayah sekitarnya namun toh mereka tetap mengungsi juga, berusaha memperpanjang hidupnya seberapa bisa.

Kota Chung-kin adalah sebuah kota yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Ou-lam dengan wilayah Su-coan. Kota ini menjadi ramai dengan mengalirnya kawanan pengungsi dari Su-coan, yang ingin memasuki wilayah Ou-lam yang dianggap masih aman. Arus pengungsi itu semuanya menuju ke timur, meninggalkan kampung halaman dan sawah ladang yang mereka cintai dan mereka tetesi dengan keringat mereka setiap hari, tetapi mereka masih lebih cinta kepada nyawa mereka. Perang, bencana maha dahsyat ciptaan manusia sendiri, kini telah mengintai di ambang pintu.

Deretan panjang tubuh-tubuh kurus dan kuyu berderet lesu meninggalkan daerah Su-coan, daerah maha subur yang sering dijuluki “gudang beras”-nya Tiongkok itu. Namun kini “gudang beras” itu sudah siap diperebutkan oleh tentara kerajaan dan laskar pemberontak yang sama-sama menyadari betapa pentingnya wilayah itu bagi perbekalan pasukannya masing-masing.

Di tengah-tengah keresahan yang menghantui para pengungsi tak berdaya itu, muncullah gerombolan-gerombolan penjahat yang memanfaatkan kesempatan sekisruh itu untuk merajalela, merampas harta pengungsi-pengungsi yang malang itu. Perampokan, perampasan dan pemerkosaan terjadi secara sewenang-wenang di segala tempat, bahkan tidak jarang terjadi pembunuhan-pembunuhan pula.

Rakyat kecil kini benar-benar telah hidup tanpa pelindung lagi! Tentara Kerajaan Beng sudah tidak sempat lagi mengawasi keselamatan rakyat, sebab perhatian mereka sedang terpusat untuk menghadapi laskar pemberontak yang cukup kuat pula. Bahkan tentara kerajaan telah menambah penderitaan rakyat, yaitu dengan jalan merampasi persediaan makanan milik pengungsi-pengungsi itu. Alasan yang dikarangnya sederhana saja, karena tentara sedang “membela rakyat” dari ancaman pemberontak, maka rakyat pun harus “membalas budi” dengan menyerahkan persediaan makanan mereka. Habis perkara.

Demikianlah suasana waktu itu, suasana menjelang runtuhnya sebuah dinasti yang pernah mengalami masa keemasan sampai ke negeri-negeri seberang, namun saat itu dinasti Beng tidak lebih dari sebuah dinasti yang bobrok dan lemah. Perang belum dimulai, tapi rakyat sudah menderita lebih dulu, entah bagaimana nasib rakyat nanti jika perang sudah benar-benar pecah? Yang terang, rakyat tidak bisa minta perlindungan kepada siapapun, baik kepada tentara kerajaan maupun kepada laskar pemberontak.

Dalam kemelut semacam itu, kaum pengungsi lalu mulai mempersenjatai diri sendiri dan mulai membentuk kelompok-kelompok, dengan maksud supaya bisa bersama-sama saling membantu jika diserang oleh pihak lain. Maka muncullah kelompok-kelompok pengungsi bersenjata yang tak terhitung banyaknya. Lalu akibat berikutnya pun muncul. Tidak jarang kelompok pengungsi yang satu mulai menyerang kelompok pengungsi yang lain, karena lapar! Dan karena kelompok-kelompok ini bergerak ke wilayah Ou-lam, maka wilayah Ou-lam yang tadinya aman tenteram itu kini mulai goncang pula!

Siang yang panas itu, nampaklah sebuah barisan pengungsi yang amat panjang sedang meninggalkan kota Chung-king dan menuju ke arah timur. Suaranya hiruk- pikuk bukan kepalang. Suara roda-roda gerobak yang membawa barang atau manusia, suara ringkik kuda, lenguh kerbau dan sapi, bercampur aduk dengan suara jeritan anak-anak yang mengeluh kepanasan. Rombongan yang sangat menyedihkan itu, jika dilihat dari atas lereng bukit akan nampak seperti seekor ular raksasa yang sedang merayap dengan malasnya di bawah panggangan sinar matahari.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, pemandangan seperti itu adalah pemandangan biasa. Namun sian itu ada sedikit kejanggalan. Jika arus manusia itu bergerak menuju ke timur, malahan ada dua buah kereta besar yang bergerak ke barat, jadi berlawanan dengan arus pengungsi itu. Kedua kereta itu masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda tegar, muncul dari sebelah timur dan menuju ke kota Chung-king. Tubuh kereta itu dikerudungi dengan kain rapat-rapat, sehingga orang yang berpapasan tidak dapat melihat ke dalam kereta.

Karena jalan raya itu sesak dengan arus pengungsi, maka kedua buah kereta itu terpaksa berjalan dengan lambatnya karena kuatir menabrak orang. Kereta yang depan disaisi oleh seorang lelaki yang berpakaian daerah Su-coan, lengkap dengan sorban putih dan sepatu rumputnya. Dia nampak kesal sekali karena lambatnya jalan kereta itu, berkali-kali terdengar gerutuannya.

Tiba-tiba tenda kereta itu tersingkap dari dalam, lalu disusul dengan munculnya seorang rahib Buddha berkepala gundul yang berjenggot keriting berwarna pirang dan bermata biru. Rahib itu bertanya kepada sais kereta, “Apakah jalanan sangat sulit?”

Sais orang Su-coan itu menyahut dengan suara hormat, “Benar, Su-cia. Agaknya daerah kampung halaman sudah mulai panas oleh udara perang, sehingga jumlah pengungsi yang kita jumpai hari ini ternyata berkali lipat jumlahnya dari yang kemarin.”

Rahib bermata biru itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Pang-cu telah berpesan agar kita tidak terlalu terburu-buru lagi. Toh perjalanan kita mungkin tinggal dua atau tiga hari lagi. Jika tidak ada aral melintang.”

“Baiklah, Su-cia, aku tidak terburu-buru, hanya ada kesesakan jalan ini memang agak menjengkelkan aku,” sahut sais itu. “Bagaimana dengan keadaan Pang-cu, apakah sudah membaik?”

Sebelum rahib bermata biru itu menyahut, dari dalam kereta telah terdengar jawaban. Suaranya berat dan dalam, meskipun diselingi dengan suara batuk-batuk namun tetap terdengar berwibawa, “Aku sudah semakin sehat, Au-yang Siau-pa. Terima kasih untuk perhatianmu.”

Sais kereta itu nampak lega, “Syukur kepada Thian bahwa kesehatan Pang-cu semakin pulih. Kali ini memang kita kalah karena disergap secara licik, tapi aku yakin bahwa kelak kita akan menang dan menumpas para pengkhianat itu. Dan kita akan membuat Hwe-liong-pang kita menjadi sebuah perkumpulan yang bersih, jaya dan dihormati di dunia persilatan, seimbang dengan Kay-pang, Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay.”

Suara berwibawa dari dalam kereta itu menyahut, “Aku bangga bahwa aku masih memiliki orang-orang bersemangat ksatria sejati seperti kau, Au-yang Siau-pa. Itu semakin meyakinkan aku akan kemenangan perjuangan yang bakal kita raih.”

Dari percakapan tersebut dapatlah ditebak bahwa kedua buah kereta berkerudung itu ternyata berisi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya yang telah tersingkir karena dikhianati Te-liong Hiang-cu Tan Goan- ciau itu. Kini mereka sedang dalam perjalanan untuk kembali ke cong-toh (markas besar) mereka di Gunung Bu-san, wilayah Su-coan, yang belum sempat dikuasai oleh Te-liong Hiang-cu dan komplotannya.

Agaknya, begitu berhasil merebut kekuasaan, Te-liong Hiang-cu begitu sibuk mempersiapkan serbuan ke Siong-san, sehingga lupa untuk menguasai markas besar, padahal dalam markas besar itu masih terdapat sisa kekuatan Hwe-liong-pang yang cukup berarti. Meskipun orang-orang yang tersisa dalam cong-toh itu jumlahnya tidak terlalu banyak.

Namun rata-rata setiap orangnya memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Karena itulah Tong Wi-siang harus beradu cepat dengan Te-liong Hiang-cu untuk menguasai cong- toh, karena kekuatan dalam cong-toh itulah merupakan harapannya yang terakhir untuk bisa menguasai Hwe-liong-pang kembali.

Kini Tong Wi-siang terbaring di dalam kereta dalam keadaan terluka, akibat sergapan Te-liong Hiang-cu beberapa saat yang lalu. Karena luka-luka yang dideritanya itu cukup berat, maka tubuhnya tidak sanggup untuk dibawa melakukan perjalanan dengan meringkuk saja didalam kereta tertutup, meskipun hal itu sebenarnya sangat menjemukan.

Di dalam kereta tertutup itu Tong Wi-siang diikuti oleh dua pengikutnya yang setia, yaitu Hong-goan Hweshio, rahib pelarian dari Siau-lim-si yang berjanggut pirang dan bermata biru itu, serta Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Kuning) yang lama, yaitu Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng.

Sedang yang menjadi saisnya adalah Au-yang Siau-pa, dulunya adalah Hu-tong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) dari Jing- ki-tong (Kelompok Bendera Hijau). Meskipun Au-yang Siau-pa ini adalah adik sepupu dari Au-yang Siau-hui yang berkhianat kepada Tong Wi-siang, namun Au-yang Siau-pa sendiri tetap setia kepada Ketua yang sah. Bahkan dia memilih untuk ikut buron bersama Tong Wi-siang daripada tunduk kepada Te-liong Hiang-cu.

Sementara itu, di dalam kereta yang kedua pun terdapat seorang yang terluka, yaitu Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit) Siangkoan Hong. Dalam kereta kedua itu ia ditemani oleh Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) Ling Thian-ki serta Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) yang lama, yaitu Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Kepalan Malaikat Seribu Kati). Sedang yang menjadi sais kereta kedua itu adalah Ui-ki-tong-cu yang lama, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat.

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya yang tetap setia kepada Tong Wi-siang adalah Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim, Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong, Siau-lo-cia (Lo-cia kecil) Ma Hiong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin tidak nampak dalam rombongan itu, sebab mereka punya tugas sendiri-sendiri. Oh Yun-kim, In Yong dan Ma Hiong ditugaskan berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang akan dilewati oleh Ketua mereka. Sedangkan Lim Hong-pin disuruh langsung menuju cong-toh lebih dulu untuk menundukkan semua anak buah yang masih ada di sana, sebelum didahului oleh Te-liong Hiang-cu.

Demikianlah, meskipun kedua kereta itu berjalan sangat lambat, namun semakin dekat juga ke kota Chung-king. Di dalam keretanya, Tong Wi-siang membaringkan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya diayun-ayunkan oleh goncangan kereta. Matanya terpejam, namun kadang- kadang nampaklah mulutnya menyeringai kesakitan karena menahan rasa nyeri dalam dadanya.

Melihat penderitaan Ketuanya itu, Rahib Hong-goan diam-diam mengutuk dalam hatinya, “Te-liong Hiang-cu benar-benar telah digelapkan oleh nafsunya untuk menguasai Pang kami dengan segala cara. Cara apapun tidak malu untuk dia lakukan, termasuk cara seorang pengecut yang paling rendah sekalipun.”

Kwa Heng juga ikut hanyut dalam gejolak perasaan seperti yang dialami oleh Hong-goan Hweshio. Namun semuanya hanya tersimpan dalam hatinya dan tidak terucapkan keluar. Ketika kereta-kereta itu sudah mendekati pintu gerbang kota Chung-king, dari dalam kota itu muncullah seorang lelaki penunggang kuda yang bergegas-gegas menghampiri kereta yang depan.

Orang berkuda itu adalah Siau-lo-cia Ma Hiong. Mukanya yang berkulit halus dan bertampang kekanak-kanakan itu nampak agak tegang, namun dia tersenyum begitu berpapasan dengan kereta-kereta itu, tanyanya kepada Au-yang Siau-pa yang duduk sebagai sais, “Auyang Toako, apakah Pang-cu dalam keadaan baik?”

Sebelum Au-yang Siau-pa sempat menjawab, dari dalam kereta sudah terdengar suara Tong Wi-siang yang berat dan diselingi batuk-batuk kecil, “Aku dalam keadaan baik, Ma Hiong. Nampaknya ada sesuatu yang akan kau laporkan kepadaku?”

Ma Hiong memberi hormat ke arah kereta, lalu berkata, “Suasana di kota Chung-king sudah cukup hangat, namun dalam beberapa hari mendatang ini nampaknya masih dapat dikatakan aman, karena perang belum akan meletus secepat itu. Hamba dan kawan-kawan sudah menyiapkan sebuah rumah penginapan yang tenang untuk tempat istirahat Pang-cu sekalian!”

Terdengar tarikan napas lega dari dalam kereta, tanya Tong Wi-siang lagi, “Apa yang kau artikan dengan suasana panas tapi masih aman?”

Sahut Ma Hiong, “Maksud hamba, kota Chung-king sudah dalam suasana perang, lebih dari tiga perempat penduduknya sudah mengungsi meninggalkan kota. Kota sudah dipenuhi dengan kawanan kuku-garuda (maksudnya, pasukannya Kaisar), tapi pengikut-pengikut Li Cu-seng sering juga berhasil menyusup masuk kota. Sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil di dalam kota, namun perang yang terbuka nampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.”

“Apakah keadaan di daerah-daerah setelah Chung-king juga sama?”

“Hamba belum mengetahui, sebab belum sempat mengadakan hubungan berita dengan Oh Tong-cu dan In Tong-cu yang berjalan di depan.”

“Baik, laporanmu sudah kudengar. Sekarang kau boleh berjalan di depan lagi.”

“Siap menjalankan perintah Pang-cu!” jawab Ma Hiong tegas. Setelah memberi hormat lagi ke arah kereta, dia lalu memutar balik kuda tunggangannya dan balik ke dalam kota Chung-king.

Jika dalam keadaan biasa, tentu saja tanya jawab antara Tong Wi-siang dengan bawahannya itu akan menarik perhatian, sebab yang satu dipanggil “pang-cu” dan yang lain menyebut dirinya sendiri sebagai hamba. Namun waktu itu ternyata tidak seorang pun menghiraukan, apalagi menaruh perhatian kepada percakapan yang janggal itu. Keadaan mereka sendiripun sedang dirundung kesusahan, mana sempat memperhatikan orang lain? Andaikata Kaisar Cong-ceng sendiri yang lewat di tempat itu, pengungsi-pengungsi itu tetap tidak akan menghiraukannya.

Dalam pada itu Tong Wi-siang telah menggerutu di dalam keretanya, “Seharusnya Hwe-liong-pang lah yang harus berhasil menumbangkan pemerintahan Cong-ceng yang bobrok ini, dan bukannya Li Cu-seng. Tetapi perpecahan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri telah melemahkan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Agaknya cita-cita Hwe-liong-pang akan didahului oleh Li Cu-seng.”

Wi-siang nampak menyesal dan sangat penasaran, nada suaranya semakin meninggi dan semakin berapi-api. Namun setelah menyadari kenyataan yang terbentang di hadapannya, nada suaranya pun menurun, katanya dengan nada yang pasrah, “Barangkali memang nasib Li Cu-seng yang lebih baik dari nasibku. Tetapi aku mengingini agar dalam waktu yang singkat kita akan berhasil menyusun kekuatan kita kembali. Kalau keadaan memungkinkan, aku ingin agar Hwe-liong-pang ikut ambil bagian dalam pergolakan menumbangkan kebobrokan dinasti Beng ini. Hwe-liong-pang akan ikut mengisi lembaran sejarah negeri ini.”

“Harap Pang-cu menenteramkan pikiran,” kata Kwa Heng menghibur Ketuanya. “Kami semua telah bertekad untuk mengabdi kepada cita-cita Hwe-liong-pang sampai titik darah yang penghabisan. Bukan karena mencari kedudukan, namun hanya sekedar terpanggil oleh hati nurani yang tidak dapat lagi bisa melihat kebobrokan dibiarkan berlarut-larut.”

Kekerasan wajah Wi-siang segera mencair ketika mendengar ucapan Kwa Heng itu. Katanya, “Terima kasih, kesetiaan kalian sangatlah membesarkan hatiku. Aku hanya menyesalkan kelengahanku terhadap seorang manusia selicik Tan Goan-ciau, sehingga ular berkepala dua itu telah memporak-porandakan semua rencanaku dengan nafsu berkuasanya yang berkobar-kobar itu. Benar-benar bangsat yang patut dicincang!”

Semua penyesalan dan kejengkelan Tong Wi-siang itu berlandas dari perasaan di hatinya yang paling dalam, yaitu... dendam! Cita-citanya dalam mendirikan Hwe-liong-pang untuk merobohkan Kerajaan Beng itu tidak lain juga dilandasi oleh dendamnya itu. Dia mendendam Kerajaan Beng, sebab dianggapnya semua kesengsaraan yang menimpa keluarganya di An-yang-shia itu disebabkan ketidak becusan pemerintah Cong-ceng dalam mengatur negara.

Ayahnya terbunuh, sedang kedua adiknya terpencar dan terlunta-lunta di dunia persilatan, untung saja kedua adiknya itu masih selamat dan bahkan telah memiliki kepandaian tinggi, semua itu merupakan “bahan bakar” yang menyalakan api dendam di dada Wi-siang. Maka muncullah cita-citanya untuk merobohkan Kerajaan Beng, dan mendirikan pemerintahan baru keluarga Tong!

Dengan cita-citanya itu, apabila berhasil, dia menganggap akan dapat menebus kehancuran keluarganya selama ini dan mengangkat tinggi-tinggi derajat keluarga Tong. Selama ini memang Tong Wi-siang berhasil menyembunyikan maksudnya, tidak pernah mengatakan maksudnya untuk merobohkan Kerajaan itu secara terus terang. Ia selalu memakai istilah “Ingin memperbaiki keadaan”.

Namun dari gerak-gerik anak buahnya yang selalu memusuhi pihak kerajaan itu, agaknya orang pun dapat menyimpulkan tujuan Hwe-liong-pang yang digariskan ketuanya. Sekarang, dalam luapan perasaannya, Tong Wi-siang telah mengemukakan maksudnya secara blak-blakan. Dia terang-terangan menyesali diri karena dia kalah cepat oleh Li Cu-seng dalam mengobarkan pemberontakan. Kini Tong Wi-siang harus merasakan betapa sakit dan pahitnya ia terbanting dari cita-citanya yang muluk itu.

Sekarang dia harus mengakui kenyataan bahwa dirinya sudah kehilangan sebagian besar anak buahnya yang mengikuti Tan Goan- ciau, dia sendiri luka dan kehilangan sebagian besar ilmu silatnya. Hwe-liong-pang yang didirikannya dengan susah- payah itu kini telah tercerai-berai dan bukan lagi merupakan kekuatan yang disegani di dunia persilatan.

Memang masih ada ratusan anak buahnya yang setia, namun apa arti anak buahnya itu jika dihadapkan dengan ratusan ribu prajurit terlatih Kerajaan Beng dengan Panglima-Panglimanya yang berilmu tinggi? Kenyataan sepahit itu benar-benar sangat membebani pikirannya, dan nyaris meruntuhkan semangat anak muda she Tong itu.

Tidak lama kemudian kedua buah kereta tertutup itu telah menggelinding masuk ke dalam kota Chung-king. Ternyata tidak ada lagi penjagaan prajurit seperti biasanya, entah kemana prajurit-prajurit yang biasanya berjaga di tempat itu, mungkin telah ditarik ke garis depan semuanya. Kedatangan Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu langsung disambut oleh anak buah Hwe-liong-pang cabang Chung-king yang masih setia kepadanya. Mereka lalu mengawal kereta-kereta itu ke sebuah rumah penginapan yang sudah “dibersihkan” dari tamu-tamu lainnya.

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera menempati kamarnya masing-masing. Sementara para pelayan penginapan sibuk mempersiapkan santapan bagi tamu-tamunya yang rata-rata bermuka angker itu, para pelayan itu nampak gembira sekali sebab orang-orang Hwe-liong- pang telah memberi hadiah seperti orang menyebar pasir saja. Namun para pelayan itu dipesankan untuk tidak bercerita kepada orang lain tentang rombongan itu.

Siangkoan Hong menyeringai kecut ketika mendengar pesan pelayan-pelayan itu. Katanya, “Dulu, kita sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang ibaratnya tidak takut kepada setan maupun malaikat, malang melintang kesana kemari tanpa cemas kepada siapapun. Tapi tak kuduga kalau hari- hari belakangan ini kita seperti sekawanan tikus yang tempat persembunyiannya takut diketahui oleh si kucing.”

Entah karena penderitaannya yang bertubi-tubi, maka Tong Wi-siang menjadi seorang yang sabar, sahutnya sambil menarik napas, “Begitulah kenyataannya. Seorang yang bercita-cita tinggi harus pandai melihat gelagat dan berpikir panjang, dia tahu kapan menggunakan kekerasan dan kapan menggunakan kebijaksanaan. Dia boleh saja dihina dan dikalahkan, yang penting semangat harus tetap berkobar dan tidak boleh padam. A-hong, ingatkah kau dulu ketika kita melarikan diri dari An-yang-shia, menjadi buronan yang tak berdaya, tapi kemudian berhasil membangun Hwe-liong-pang? Waktu kita mulai membangun Hwe-liong-pang, kita hanya berempat, toh berhasil. Sekarang tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengulang sejarah lama itu, apalagi di pihak kita masih ada ratusan orang anggota yang setia kepada cita-cita kita. Jangan berkecil hati.”

“Tapi nasib baik jarang berulang untuk kedua kalinya, A-siang.”

“Kita tidak akan menggantungkan diri kepada nasib baik. Keberhasilan kita dulu membangun Hwe-liong-pang juga bukan karena nasib baik semata-mata. Selama kaki kita masih tegak, kita akan berusaha terus.”

Tengah kedua orang tokoh tertinggi Hwe-liong-pang itu bercakap-cakap, tiba-tiba di luar rumah penginapan itu terdengar suara ribut-ribut, bahkan ada pula suara bentakan-bentakan kasar. Terdengar suara bentakan yang keras,

“Omong kosong! Aku tidak percaya kalau rumah makan dan penginapan ini sudah begitu penuhnya sehingga tidak ada lagi tempat buat kami! Buktinya kulihat ruangan ini kosong dan tidak nampak batang hidung seorang tamupun.”

Lalu kedengaran suara seorang pelayan yang gemetar ketakutan, “Harap tay-jin memaafkan, penginapan ini memang tidak penuh, tapi sudah diborong oleh serombongan tamu. Demi nama baik rumah penginapan ini, kami tidak berani mengusir tetamu-tetamu yang telah memborong itu.”

“Persetan, aku tidak peduli dengan nama baik penginapan kalian. Bahkan kalau ada tetamu yang memborong seluruh penginapan ini maka mereka pantas dicurigai, mereka tentu akan melakukan perbuatan busuk yang takut diketahui orang lain. Kami akan memeriksa ke dalam!”

Di dalam biliknya, Tong Wi-siang saling bertukar pandangan dengan Siangkoan Hong, Rahib Hong-goan dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Mendengar panggilan pelayan tadi, yang menyebut “tay-jin” kepada tetamu kasar itu, maka agaknya yang datang itu adalah serombongan pejabat-pejabat Kerajaan, entah dari kalangan sipil atau tentara.

Dalam pada itu, di ruangan depan telah terdengar suara gedubrakan yang ribut, suara barang-barang yang sedang dibanting hancur, agaknya sang tay-jin sedang melampiaskan kejengkelannya. Mendengar itu, Au-yang Siau-pa tidak dapat menahan diri lagi, ia segera bangkit dari duduknya dan berkata kepada Tong Wi-siang, “Pang-cu, ijinkan aku untuk keluar dan menghajar cecunguk-cecunguk begundal Kaisar itu!”

Ma Hiong dan Ji Tiat juga bangkit dari duduknya dan serentak berkata, “Ijinkan kami juga.”

Namun Tong Wi-siang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kening berkerut, sambil berkata, “Saat ini, mengingat keadaan Hwe-liong-pang kita, tidaklah perlu kita mencari permusuhan dengan siapapun. Kalian boleh keluar untuk melihat keadaan, dan kalau perlu kita mengalah sedikit dengan berpindah tempat penginapan. Bagaimana pendapatmu, Siangkoan Hong?”

Siangkoan Hong yang berwatak berangasan itu sebenarnya tidak setuju kepada pendapat Tong Wi-siang yang dianggap “terlalu bijaksana” sehingga nampak lemah itu. Namun demi menjaga muka terang Tong Wi-siang di hadapan anak buahnya, maka ia menyetujui saja ucapan itu. Begitulah, Au-yang Siau-pa, Ji Tiat dan Ma Hiong lalu ditugaskan untuk melihat-lihat keadaan di luar sana. Supaya tidak menimbulkan urusan, maka mereka bertiga keluar tanpa membawa senjata mereka. Tidak terduga bahwa keluarnya Ji Tiat itu justru akan menimbulkan keributan.

Keadaan di ruangan depan yang biasa dijadikan rumah makan itu ternyata sudah porak-poranda. Yang datang mengacau itu ternyata adalah seorang perwira menengah berpangkat bu-ciang yang diiringi oleh belasan orang prajuritnya. Prajurit-prajurit itu berbicara dengan dialek wilayah Ho-pak, nampaknya mereka memang pasukan Kerajaan yang didatangkan dari wilayah Ho-pak.

Perwira itu berhidung bengkok seperti paruh burung kakaktua, bermata tajam seperti mata elang, sikapnya menunjukkan begitu percaya kepada kemampuan dirinya sendiri. Dia hanya bersikap dingin sambil melipat tangannya di depan dada, sedang yang menjungkir-balikkan meja kursi serta berteriak-teriak kasar itu adalah prajurit-prajurit bawahannya yang agaknya sedang “unjuk kegagahan” di hadapan atasannya.

Ketika Au-yang Siau-pa bertiga muncul ke ruangan itu, prajurit-prajurit itu masih saja menghantami meja kursi, disaksikan oleh pelayan penginapan itu dengan tubuh gemetar ketakutan. Munculnya Au-yang Siau-pa dan kawan-kawannya itu segera menarik perhatian para prajurit itu. Apalagi karena melihat Au-yang Siau-pa yang berpakaian khas daerah Su-coan itu langsung menimbulkan kecurigaan, sebab kebanyakan pengikut laskar pemberontak Li Cu-seng adalah orang-orang Su-coan!

Seorang perwira rendahan yang sedang menendangi kursi segera menghentikan ulahnya, lalu sambil bertolak pinggang dia berjalan mendekati Au-yang Siau-pa, lalu tanyanya dengan angkuh, “Kudengar bahwa penginapan ini sudah diborong seluruhnya oleh orang, apakah kalian yang memborongnya?”

“Benar, tuan,” sahut Au-yang Siau-pa dengan menahan muaknya.

Perwiran rendahan itu mengangkat dagunya sambil menyipitkan matanya, tanyanya lagi, “Berapa orang jumlah rombongan kalian?”

Ji Tiat yang tidak sabaran itu hampir saja tak dapat menahan diri dan menjotos ringsek muka perwira rendahan itu. Untunglah dia masih dapat menekan hatinya, sementara itu Au-yang Siau-pa masih tetap bersikap sopan dalam menjawab, “Jumlah kami semuanya sembilan orang.”

“Hanya sembilan orang rombongan kalian, kenapa memborong semua ruangan di penginapan ini dan mengusir semua tamu?”

Sahut Au-yang Siau-pa tetap tenang, “sebab ada dua orang anggota rombongan kami yang sakit keras dan memerlukan tempat istirahat yang tenang, sehingga terpaksa kami mohon kepada para tetamu untuk meninggalkan tempat ini, lagipula kami tidak sembarangan mengusir melainkan memberikan pula ganti rugi sepantasnya.”

Agaknya perwira itu mengira bahwa ketiga orang yang berdiri di hadapannya itu mulai takut kepadanya, maka lagaknya pun semakin besar kepala, “Hem, benar-benar mencurigakan. He, kenapa kedua orang anggota rombongan itu sakit?”

Au-yang Siau-pa merasa semakin jemu kepada perwira rendahan ini, maka jawabannya pun mulai ngawur dan sekenanya saja, “Kami sekeluarga memang berasal dari Su-coan untuk menengok kampung halaman yang kami rindukan.”

Sudah menjadi “kebudayaan” di jaman pemerintahan Cong-ceng yang bobrok itu, bahwa tentara kerajaan selalu berusaha mengisi kantongnya sendiri dengan berbagai cara dan berbagai kesempatan, dan begitu pula kali ini. Si perwira agaknya menganggap bahwa ketiga orang di hadapannya itu merupakan “kambing gemuk” yang gampang diperas, maka dia lalu pura-pura marah dan membentak,

“Bicaramu semakin lama semakin mencurigakan, dan tanpa kalian sadari semakin membuka kedok asli kalian sendiri. Setiap orang tahu bahwa Su-coan sedang menjadi daerah rawan yang terancam oleh pemberontakan si keparat Li Cu-seng itu, semua penduduk telah mengungsi dari wilayah itu, kenapa kalian justru hendak menuju ke sana? Ha-ha, jelaslah sudah bahwa kalian akan menggabungkan diri dengan laskar pemberontak untuk merongrong kewibawaan pemerintah! Kalian harus ditangkap dan diperiksa di markas kami!”

Ji Tiat agaknya sudah kehilangan kesabaran, dia tahu bahwa tujuan prajurit-prajurit itu bukannya benar-benar “berjuang bagi Kerajaan” melainkan hanya berjuang bagi kantongnya sendiri, segala alasan percuma dikeluarkan di situ. Maka Ji Tiat lalu melangkah maju dan berkata dengan geramnya, “Mau menangkap kami boleh saja, tapi tanyalah dulu kedua tinjuku ini!”

Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong terkejut melihat sikap rekannya yang tidak dapat mengendalikan diri itu, mereka hendak mencegah namun sudah terlambat. Sedangkan si perwira rendahan yang congkak itu tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu. Biasanya jika dia mulai menggertak rakyat kecil, maka yang didengarnya hanyalah rengekan-rengekan minta ampun, dan kalau sedang begitu barulah terjadi tawar-menawar tentang berapa yang harus dibayar.

Kini, menemui sikap Ji Tiat yang lain dari biasanya itu, si perwira jadi agak gugup, lalu membentak untuk menutupi kegugupannya, “He, kau berani membangkang perintah seorang perwira Kerajaan, itu sama saja dengan memberontak!”

Rupanya perwira itu punya andalan untuk berbuat sewenang-wenang, bukan cuma mulutnya yang garang, namun ilmu silatnya pun tidak buruk pula. Begitu selesai membentak, maka tinjunya pun serentak menjotos dengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun). Kepalanya terarah ke hidung lawan, namun jika serangan itu gagal dia siap untuk menghantam dada dengan pangkal telapak tangannya dan masih ada lanjutannya pula berupa tusukan jari ke tenggorokan. Begitulah, hanya dengan sebelah tangannya saja si perwira itu ternyata mampu melancarkan serangan tiga berantai yang cepat dan bertenaga itu.

Ji Tiat dan kedua rekannya terkesiap juga ketika melihat ketangkasan perwira itu. Jika semua prajurit yang berjumlah belasan orang itu berkepandaian setingkat itu, maka ketiga orang Hu-tong-cu Hwe-liong-pang itu agaknya benar-benar akan mengalami kesulitan. Sebaliknya perwira itupun tidak menyangka kalau Ji Tiat dapat melepaskan diri dari serangan itu dengan mudahnya. Ia semakin penasaran.

Sambil membentak keras dia segera menyambung jurusnya dengan Oh-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengulur Cakar) untuk mencengkeram ke pundak Ji Tiat. Kali ini Ji Tiat tidak mau diserang terus tanpa membalas, maka ia menangkis dan balas menghantam lawannya. Dengan demikian timbullah pertarungan sengit antara kedua orang itu, sehingga si pelayan penginapan yang sudah ketakutan itu kini jadi bertambah ketakutan. Ternyata tamu-tamu yang memborong rumah penginapannya dan tadi kelihatan ramah tamah itu, bisa juga bersikap garang seperti itu.

Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong saling bertukar pandangan sejenak. Mereka sadar bahwa agaknya perkembangan itu sudah tidak dapat dicegah lagi, dan hal itu tidak menguntungkan bagi pihak Hwe-liong-pang. Bertengkar dengan prajurit kerajaan tidak menimbulkan keuntungan apa-apa, malahan akan menimbulkan kerepotan yang tak bakal habis-habisnya, sedang rombongan Hwe-liong-pang itu justru sedang menuju ke Bu-san secepat-cepatnya supaya jangan didahului oleh Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya.

“Bagaimana ini saudara Ma?” tanya Au-yang Siau-pa lirih.

“Untung-untungan kita coba pisahkan mereka,” sahut Ma Hiong. “Di kantongku masih ada beberapa tahil perak yang barangkali bisa digunakan untuk membungkam anjing-anjing kaisar ini.”

Namun sebelum kedua Hu-tong-cu ini melaksanakan niatnya, tiba-tiba perwira berhidung bengkok berpangkat bu-ciang itu telah berseru keras, “Cu Pin, berhenti!”

Begitu mendengar seruan itu, perwira yang berkelahi dengan Ji Tiat itu segera menghentikan serangannya dan melompat mundur dari gelanggang. Ji Tiat pun tidak mengejarnya, sebab dia diam-diam juga menyesali tindakannya yang terburu nafsu tadi dan hampir saja mengacaukan urusan besar itu. Ia berharap mudah-mudahan urusan dengan hamba-hamba kerajaan itu mudah diselesaikan, kalau perlu dengan menyuap beberapa tahil perak kepada mereka.

Tapi bukan demikianlah yang terjadi, justru kesulitan yang lebih besar kini telah muncul di depan mata. Bu-ciang berhidung bengkok itu kini telah melangkah ke depan dan berkata sambil tertawa dingin, “Bagus, tidak kusangka kalau di tempat yang berjarak ribuan li dari kota Kay-hong ini akan dapat kutemui Ji Tiat, Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) yang perkasa. He- he-he, Ji Tiat, masih ingatkah kau kepadaku?”

Ji Tiat menatap bu-ciang itu tajam-tajam sambil berpikir keras. Ia merasa bahwa wajah itu memang pernah diingatnya, tapi ia sudah lupa tempat dan waktunya. Dengan hati-hati ia berkata, “siapakah kau?”

Perwira itu menggeram penuh dendam, “kau tentu masih ingat kepada Thi-bin-sin-eng (Elang Sakti Bermuka Besi) Cio Hong-hoat yang pernah bertempur habis-habisan denganmu di kota Tay-goan? Waktu itu aku berhasil kau kalahkan karena kelengahanku sendiri, namun sekarang kita bertemu kembali dan aku menantangmu untuk mengulangi pertarungan di Tay-goan itu!”

Mendengar nama dan julukan itu, mengeluhlah Ji Tiat dalam hatinya, jelaslah bahwa tidak bisa tidak urusan akan menjadi berlarut-larut dengan hamba-hamba kerajaan ini. Bukannya Ji Tiat takut menghadapi urusan, namun tugasnya untuk mengawal Hwe-liong-pang-cu sampai ke Bu-san itu adalah jauh lebih penting ketimbang meladeni prajurit-prajurit itu. Namun agaknya tidak gampang untuk melepaskan diri dari Thi-bin-sin-eng Cio Hong-hoat dengan begitu saja.

Dalam keadaan terjepit itu, Ji Tiat bertindak cepat. Tiba-tiba dia berseru kepada Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong, “Saudara berdua harap menahan anjing-anjing Kaisar ini di sini! Cepat!”

Namun sebagai perwira kawakan, Cio Hong-hoat juga bertindak tidak kalah cepatnya, “Kepung rumah penginapan ini! Kudengar berita bahwa Siang-po-kay-san Ji Tiat telah menjadi anggota Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang adalah sebuah perkumpulan gelap yang bersikap menentang kerajaan! Kawan-kawan Ji Tiat itupun tentu orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak boleh lolos seorangpun!”

Belasan orang prajurit itu segera memencar sambil menghunus senjatanya masing-masing, menutup semua pintu. Bahkan Cio Hong-hoat memerintahkan lebih lanjut, “Salah seorang keluar untuk memanggil bala bantuan.”

Seperti diketahui, Hwe-liong-pang bukan saja dimusuhi oleh kaum pendekar golongan lurus, namun juga oleh pihak pemerintah Kerajaan Beng. Itu disebabkan oleh tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang sangat brutal kepada pejabat-pejabat kerajaan, antara lain peristiwa terbasminya Cia To-bun sekeluarga di kota An-yang-shia.

Cita-cita Hwe-liong-pang “menumbangkan kebobrokan dan membangun keadaan baru” itu oleh pihak kerajaan telah ditafsirkan sebagai niat untuk memberontak, sehingga pemerintah kerajaan pun dsh mengeluarkan pengumuman resmi bahwa Hwe-liong-pang adalah musuh negara. Tidak peduli Hwe-liong-pang-nya Tong Wi-siang atau Hwe-liong-pang-nya Tan Goan-ciau semuanya harus dibasmi. Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang itu memang belum banyak diketahui orang, sehingga orang masih saja menyamaratakan sikap terhadap Hwe-liong- pang.

Waktu itu kota Chung-king hampir kosong penduduknya karena mengungsi, namun justru penuh dengan prajurit-prajurit pemerintah, karena kota itu merupakan sebuah kota penting yang pasti akan dilewati oleh laskar pemberontak apabila hendak menyerbu ke Pak-khia. Kelompok-kelompok prajurit bersenjata hilir-mudik di jalanan. Maka keributan dalam rumah penginapan itu dapat segera diketahui oleh prajurit-prajurit lainnya, maka dalam sekejap saja rumah penginapan itu benar-benar telah terkepung rapat!

Cio Hong-hoat tertawa dingin kepada melihat Ji Tiat dan kawan-kawannya nampak gugup dalam menghadapi perkembangan keadaan itu. Ejek Cio Hong-hoat, “Kalian ibarat ikan dalam jaring, biarpun tumbuh sayap juga tidak akan bisa lolos lagi dari sini.”

Mengetahui bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali bertarung habis-habisan, maka Ji Tiat menjadi mata gelap, teriaknya pula, “Saudara Ma dan saudara Auyang, lindungi Pang-cu, cepat!”

Sadar dari kegugupannya, Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong cepat-cepat berlari menuju ke ruangan dalam. Namun sebelum mereka berhasil mencapai pintu ke ruangan dalam, dua orang prajurit yang bersenjata pedang telah mencegat mereka, lalu menyusul dua orang lagi. Dengan demikian Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong dipaksa menghadapi empat orang lawan bersenjata, sedangkan mereka sendiri hanya bertangan kosong.

Sementara itu Ji Tiat telah terlibat perkelahian sengit dengan musuh lamanya, Cio Hong-hoat yang mahir dengan dua macam ilmu tangan kosong bertenaga keras, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Cengkeraman Elang). Ternyata Cio Hong-hoat ini masih terhitung saudara seperguruan dengan Ting Ciau-kun.

Perwira bu-ciang she Cio ini membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ganas Eng-jiau-kau-jiu (Cengkeraman Elang). Tangan satunya menjambret pundak dan tangan lainnya menjambret pinggul, jika kedua serangannya ini mengenai sasarannya, maka lawannya akan langsung dibantingnya ke tanah. Biasanya kalau sudah begitu sang lawan akan langsung mampus, atau sedikitnya cacat seumur hidup.

Ji Tiat yang sudah waspada akan kemahiran lawannya itu tidak mau dipancing dalam pertarungan jarak dekat. Sambil menggeser mundur dia melakukan gerak Ya-ma-hun-cong (Kuda Liar Membelah Suri), tangannya menangkis ke atas dan ke bawah. Tetapi Cio Hong-hoat terus mendesak ke depan sambil membalikkan telapak tangan dan berusaha untuk mencengkeram kedua pergelangan tangan Ji Tiat yang untuk menangkis itu.

Menghadapi seorang lawan yang begitu tangkas, untuk sementara memang Ji Tiat dipaksa untuk bertahan dan mundur saja, sambil mencoba mencari kelemahan dari gaya permainan lawannya. Ternyata orang she Cio itu sangat mempercayakan serangan-serangannya pada kekuatan jari-jari tangannya. Begitu Ji Tiat merasa dapat mengetahui gaya lawan, maka diapun tidak hanya bertahan saja namun juga balas menyerang.

Sambil mengelak ke samping, Ji Tiat membalas dengan sebuah hantaman ke batok kepala lawan dengan jurus Liong-teng- toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga). Maka sengitlah kedua musuh bebuyutan itu mengulangi perkelahian mereka dulu. Kali ini bahkan lebih sengit dari dulu, sebab masing-masing pihak sudah mengalami kemajuan dalam ilmunya masing-masing.

Cio Hong-hoat dengan ilmu Eng-jiau-kang dan Ngo-heng-ciang-nya itu benar-benar lawan yang sangat berbahaya dengan sepasang telapak tangannya itu. Cengkeraman jari-jarinya akan sanggup untuk merobek kulit lawan atau bahkan langsung mematahkan tulang-tulangnya, sedangkan pukulan Ngo-heng-ciang-nya dilatih khusus untuk bertempur dalam jarak dekat dan punya kemampuan untuk menghancurkan bagian dalam tubuh manusia. Begitulah dia mencengkeram dan menghantam berganti-ganti.

Namun Ji Tiat juga bukan seorang lawan empuk. Dia adalah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) Ui-ki-tong, salah satu dari delapan kelompok Hwe-liong-pang yang pernah disegani dalam dunia persilatan. Julukannya adalah Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), menandakan bahwa ia memiliki tenaga raksasa yang diibaratkan dapat membelah gunung.

Kini dalam menghadapi seorang lawan yang mahir bertempur jarak dekat dan mengandalkan kekuatan jari-jarinya, Ji Tiat tidak gentar sama sekali, sebab dia sudah biasa berlatih bersama dengan Kwa Heng yang juga mahir berkelahi jarak dekat. Julukan Kwa Heng adalah Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) dan mahir Kau-kun (Silat Monyet).

Antara Kau-kun dengan Eng-jiau-kang ada persamaannya dalam hal mengandalkan kekuatan cengkeraman jari-jarinya dan memaksa lawannya berkelahi jarak dekat, tapi ada pula perbedaannya. Perbedaannya adalah bahwa Eng-jiau-kang banyak menitikberatkan kepada tubrukan-tubrukan dan terkaman-terkaman yang ganas serta bertenaga, sedang Kau-kun lebih licin dan lincah, penuh dengan kelitan-kelitan yang lemas.

Maka dalam menghadapi keganasan Cio Hong-hoat itu Ji Tiat tidak merasa takut sedikitpun, sebab Cio Hong- hoat masih belum mampu bergerak secepat teman berlatih Ji Tiat, yaitu Kwa Heng. Sedang dalam hal tenaga pun Ji Tiat tidak perlu merasa ragu-ragu untuk membenturkan kekuatannya secara keras lawan keras.

Sekejap saja kedua seteru bebuyutan itu telah bertukar serangan belasan kali. Cio Hong-hoat bertubuh ringan dan gesit, benar-benar mirip seekor elang ganas yang beterbangan di udara, namun lawannya pun berkelahi dengan gagah perkasa bagaikan sebuah pagoda besi yang takkan goyah oleh badai yang bagaimanapun dahysatnya.

Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang masih belum kebagian lawan, segera menyerbu ke bagian dalam rumah penginapan itu sambil berteriak-teriak penuh semangat. Tiga orang prajurit yang merasa kepandaiannya paling menonjol, segera mendahului rekan-rekannya untuk menerjang ke dalam. Inilah kesempatan baik untuk mendirikan jasa dan memperoleh kenaikan pangkat, demikianlah pikiran mereka.

Namun, baru saja mereka masuk beberapa langkah, maka prajurit-prajurit sial itu tahu-tahu telah “beterbangan” keluar kembali bagaikan dihantam oleh hembusan angin berkekuatan raksasa. Masuknya mereka menggunakan jurus-jurus silat dan gaya-gaya lompatan yang indah, maka keluarnya justru sangat konyol sebab muka mereka yang lebih dulu menghunjam lantai.

Menyusul itu, dari dalam ruangan terdengar bentakan keras, “Kawanan anjing kaisar, kalian masih belum cukup berharga untuk berani jual lagak di depan ketua kami!”

Lalu muncullah Hong-goan Hweshio, diikuti oleh Ling Thian-ki, Kwa Heng dan Lu Siong. Paling belakang muncullah Tong Wi-siang didampingi oleh Siangkoan Hong, keduanya memakai topeng tengkorak dan jubah kebesarannya masing-masing. Rupanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu telah mendengar keributan yang terjadi di ruangan depan, juga menyadari bahwa rumah penginapan itu telah terkepung. Maka mereka pun memutuskan untuk menerjang keluar daripada mati sebagai tikus dalam liangnya.

Munculnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau tidak mau telah menciutkan keberanian Cio Hong-hoat dan prajurit-prajuritnya. Apalagi melihat kehebatan Hong-goan Hweshio dalam membuka jalan untuk Ketuanya. Dengan senjata Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) di tangannya, Hong-goan Hweshio menyapu kawanan prajurit yang merintanginya, sekejap saja dua orang prajurit telah terjungkal dalam keadaan luka parah. Ling Thian-ki tidak mau ketinggalan dari rekannya itu, maka dengan sepasang cundriknya diapun telah merobohkan beberapa prajurit.

Kwa Heng telah melemparkan sepasang kampak bergagang pendek kepada Ji Tiat sambil berseru, “Saudara Ji, inilah senjatamu!”

Cepat Ji Tiat melompat mundur dan dengan tepat berhasil menyanggapi sepasang senjata andalannya itu. Kini, dengan sepasang kampak pendek telah berada di tangannya, maka Ji Tiat bagaikan seekor macan yang tumbuh sayapnya, tandangnya semakin beringas dan menggentarkan. Untuk mengimbanginya, Cio Hong-hoat terpaksa mencabut pedangnya.

Namun perwira she Cio itu menginsyafi bahaya, bahwa dengan keluarnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu keadaan akan menyulitkan pihaknya. Maka ia berseru, “Keluar dari ruangan! Perketat kepungan di luar!”

Buat prajurit-prajurit yang sudah kewalahan itu, perintah “tinggalkan ruangan” itu ibarat pembatalan hukuman mati buat mereka. Mereka sudah tidak tahan lagi menghadapi amukan orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka serempak merekapun berlompatan keluar ruangan untuk bergabung dengan pasukan yang sudah mengepung di sekitar rumah penginapan itu. Mereka sudah tidak ingat untuk mencari pahala lagi, buat apa pahala jika nyawa melayang? Sedangkan Cio Hong-hoat sendiri sudah lebih dulu ada di luar ruangan.

Waktu itu, di jalan-jalan raya di depan dan di sekitar rumah penginapan itu sudah penuh dengan tentara kerajaan. Barisan pemanah berada di paling depan dan terdiri dari dua lapis, yang depan berjongkok dan yang belakang berdiri, busur sudah terpentang dan anak panah pun sudah terpasang, hanya tinggal menunggu aba-aba untuk memanah. Begitu pula beberapa gang kecil di sekitar rumah penginapan itu sudah dijaga ketat, bahkan beberapa orang perwira yang berilmu tinggi telah berjaga-jaga di atas genteng. Agaknya pasukan pemerintah itu maklum betapa tangguhnya jago-jago Hwe-liong-pang itu, maka mereka mengerahkan tentara sebanyak itu.

Di dalam rumah penginapan, tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera membuat perhitungan yang cermat. Mereka tahu bahwa di samping kanan dan kiri rumah penginapan itu tentu penjagaannya tidak terlalu kuat, sebab tempat-tempat itu hanya merupakan gang-gang kecil yang tidak memungkinkan untuk dimuati banyak prajurit. Begitu pula di tempat-tempat itu tentu barisan panah tidak akan leluasa bergerak. Tong Wi-siang segera memerintahkan anak buahnya untuk menerjang lewat samping rumah, sedangkan dia sendiri telah menghunus pedang pusaka yang ditemukannya di Bu-san, yaitu Jit-kui-po-kiam (Pedang Pusaka Tujuh Setan).

Begitu pedang yang dahsyat itu terlolos keluar dari sarungnya, seketika itu juga tersebarlah suasana seram yang menggidikkan hati. Pedang itu adalah peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang diketemukan Wi-siang dari atas bukit Yu-kui-hong, merupakan sebatang pedang yang mengandung kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi orang yang memegangnya. Jika pedang itu ada dalam sarungnya, hawa gaib itu tidak terasa, namun begitu dicabut keluar akan mempengaruhi pemegangnya dengan hawa setan yang terpancar daripadanya.

Dengan memegang pedang itu, si pemegang bukan lagi manusia yang berakal jernih, melainkan akan berubah menjadi makhluk ganas yang tidak berperi-kemanusiaan lagi, jika pedang disarungkan kembali maka si pemegang akan pulih kembali kepada kepribadiannya yang semula. Begitu seramnya kesaktian pedang itu, sehingga pengaruhnya tidak luntur meskipun sudah ratusan tahun tidak pernah mengisap darah manusia lagi. Kini Tong Wi-siang telah menarik pedang itu dari sarungnya, menandakan bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi.

Hong-goan Hweshio terkesiap melihat pedang yang dipegang oleh ketuanya itu, dengan agak gugup ia berkata, “Pang-cu, apakah pedang itu tidak sebaiknya disimpan dulu? Sebab... sebab...”

Sikap ramah tamah Tong Wi-siang yang biasanya terlihat itu kini telah lenyap tak bersisa sedikitpun. Sebelum Rahib Hong-goan menyelesaikan kata-katanya, Tong Wi-siang telah membentaknya dengan bengis, “Tutup mulutmu! Kita akan jebolkan kepungan mereka sambil membunuh anjing-anjing Cong-ceng itu sebanyak-banyaknya! Siapa yang tidak tunduk kepada perintahku, biarlah darahnya akan dihirup oleh pedang ini!”

Bibir Rahib Hong-goan sudah bergerak-gerak hendak menyelesaikan kalimatnya, namun Ling Thian-ki yang lebih mengerti gelagat segera menggamit lengan sahabatnya itu dan memberi tanda kedipan mata agar jangan berbicara lagi. Begitulah, dengan dipimpin sendiri oleh Hwe-liong-pang-cu orang-orang Hwe-liong-pang itu mencoba menerjang lewat pintu samping yang tembus ke sebuah lorong kecil.

Di lorong itu memang telah menunggu puluhan orang prajurit, namun hanya dengan beberapa kali ayunan Jit-kui-po-kiam-nya, prajurit-prajurit sial itu langsung berkelojotan mandi darah. Tong Wi-siang kini adalah sesosok hantu haus darah yang tiada taranya, luka dalamnya yang diderita akibat sergapan Tan Goan-ciau itu kini seolah tidak terasa lagi.

Rahib Hong-goan yang diam-diam mengikuti di belakang ketuanya dan melihat pembantaian itu, diam-diam menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dalam hatinya, “Mengerikan sekali pengaruh pedang iblis itu. Semoga pedang itu tidak terlalu sering dicabut keluar dari sarungnya.”

Pasukan kerajaan yang mengepung tempat itu agaknya menyadari bahwa orang-orang yang ingin mereka tangkap itu telah membobol pintu samping. Cio Hong-hoat yang mengetahui hal itu segera berteriak memerintahkan, “Mereka menerjang pintu samping, dan pasti akan melompat ke atas genteng sebab lorong itu buntu! Pemanah yang di atas genteng bersiap!”

Benar juga perhitungan Cio Hong-hoat itu, sebab lorong itu memang buntu. Tentu saja Wi-siang dan anak buahnya tidak ingin terkurung dalam lorong buntu itu, namun lari ke jalan raya adalah tidak mungkin sebab di situ sudah ditunggu oleh pasukan yang sangat kuat. Jalan satu- satunya adalah naik ke genteng, dan berharap bahwa tinggi rendahnya wuwungan rumah yang tidak merata itu akan dapat melindungi mereka dari sambaran panah.

Demikianlah mereka terpaksa berlompatan ke atas genteng. Namun ternyata di atas genteng itu juga sudah menunggu sekelompok prajurit pemanah. Begitu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu menginjakkan kakinya di atas genteng, maka hujan panah pun melanda ke arah mereka. Lu Siong yang gerak-geriknya kurang tangkas itu segera terpanah pundaknya.

Sedangkan Tong Wi-siang benar-benar telah dikuasai oleh hawa iblis pedang yang dipegangnya, entah dari mana datangnya kekuatannya dia telah berhasil menyapu semua anak panah yang tertuju kepadanya, bahkan beberapa batang anak panah telah terlempar balik dan mengenai prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri!

Seorang perwira yang memimpin pengepungan di atas genteng itu segera berteriak, “Itulah pemimpin pengacau yang dipanggil Hwe-liong-pang-cu itu! Tangkap dia lebih dulu supaya anak buahnya menyerah!”

Bicara memang enak, namun pelaksanaannya sungguh sulit. Pada hakekatnya keberanian prajurit-prajurit itu sudah runtuh ketika melihat keperkasaan Hwe-liong-pang-cu itu. Tong Wi-siang tertawa terbahak-bahak dari balik topeng tengkoraknya, suaranya bagaikan iblis meringkik sehingga membuat bulu kuduk para pendengarnya jadi merinding.

Teriak Wi-siang sambil memutar pedangnya, “Benar. Akulah Hwe-liong-pang-cu yang bakal mendepak Cong-ceng sehingga terjungkal dari singgasana kekaisarannya! Anjing-anjing Cong-ceng, hayo cobalah tangkap aku!”

Tubuh Tong Wi-siang bagaikan sesosok bayangan hantu segera berkelebat menerjang kelompok prajurit di atas genteng itu. Kawanan prajurit itu ternyata tidak sanggup menghadapi terjangan sedahysat dan secepat itu, bahkan mereka belum sempat untuk meletakkan busur dan mencabut pedang mereka, darah mereka sudah lebih dulu dihirup oleh Jit-kui-po-kiam yang hebat itu!

Perwira yang memimipn kelompok prajurit di atas genteng itu jadi bergidik ngeri ketika melihat keganasan Ketua Hwe-liong-pang itu. Tanpa malu-malu lagi ia cepat-cepat melompat ke bawah genteng, meskipun jatuhnya ke tanah itu agak konyol namun dia boleh berlega hati karena nyawanya selamat.

Meskipun kawanan prajurit di atas genteng itu sudah menyingkir, namun tidak berarti tokoh-tokoh Hwe-liong- pang itu lalu dapat meloloskan diri dengan mudah. Hujan anak panah terus menerus terhambur ke arah mereka, sedang bala bantuan prajurit kerajaan terus mengalir ke tempat itu dan semakin merapatkan kepungan. Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu hanya dapat bergerak setapak demi setapak karena direpotkan oleh hujan panah yang tak henti-hentinya itu.

Bahkan Li Siong tidak sempat merawat lukanya lagi, sebab tidak ada tempat untuk sembunyi sehingga dia dipaksa terus menerus memutar senjatanya untuk menghalau setiap panah yang tertuju ke tubuhnya. Gerakannya yang memakan banyak tenaga itu telah membuat tubuhnya yang sudah luka itu bertambah lemah, darah terus menerus mengalir dari lukanya, sedang mukanya pun semakin pucat.

Kwa Heng dan lain-lainnya pun berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Lu Siong, namun mereka sendiripun disulitkan oleh hujan panah itu. Bahkan sesaat kemudian Au-yang Siau-pa juga ikut-ikutan terluka, terpanah betisnya sehingga gerakannya menjadi pincang....
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 30

Perserikatan Naga Api Jilid 30

Karya : Stevanus S.P
DALAM pada itu, salah seorang rahib muda itu telah melaporkan kejadian itu kepada Hong-tay Hwesio, sekalian menyampaikan permintaan Tong King-bun bertiga itu dikabulkan, sedangkan jenazah Ko Ce-yang segera diturunkan dan dimakamkan selayaknya.

Dalam saat itu juga, Tong Wi-hong dan rombongannya pun telah memutuskan untuk berangkat mendahului rombongan kaum pendekar. Mereka segera minta diri kepada Hong-tay Hwesio. Untuk mengucapkan kata-kata pamitan ini ternyata benar-benar diperlukan hati yang tabah dan muka yang tebal pula, sebab bukankah permintaan itu bisa dianggap hendak menghindari kewajiban bersama?

Selagi pendekar-pendekar dari berbagai perguruan hendak berjuang melawan Hwe-liong- pang, kenapakah pihak Tiong-gi Piau-hang malah hendak memisahkan diri dari barisan kaum pendekar? Hal itu bisa ditafsirkan sebagai tindakan yang kurang setia kawan, tapi apa boleh buat, Tong Wi-hong benar-benar harus mendahului menemui Tong Wi-siang, sebelum kaum pendekar menemukannya lebih dulu.

Untunglah bahwa Hong-tay Hwesio adalah seorang yang bijaksana, ia mengijinkan rombongan Tong Wi-hong untuk berangkat lebih dulu, meskipun dengan pandangan sinis para pendekar. Rombongan Wi-hong kali ini berjumlah tujuh orang, yaitu Tong Wi-hong sendiri, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping, Tong Hujin dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa.

Ketika tiba di bawah bukit Siong-san, Tong Wi-hong lalu memerintahkan dua saudara So agar menuju ke kota Bu-sek. Di sana mereka harus menyebar perintah kepada cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang dimanapun berada, agar ikut mengamat-amati Hwe-liong-pang-cu dan pengikut-pengikutnya dimanapun berada. Tiong-san-siang-hou segera memisahkan diri dari rombongan itu dan menuju ke kota Bu-sek.

* * * * * * *

JIKA di bagian tengah daratan Tiongkok, yaitu di bukit Siong-san di wilayah Ho-lam baru saja terjadi banjir darah kaum persilatan antara Hwe-liong-pang melawan gabungan para pendekar berbagai perguruan, maka di bagian barat dari daratan Tiongkok pun sudah mulai terasa kegelisahannya. Wilayah ini terancam pula oleh pertumpahan darah yang jauh lebih besar.

Disini yang akan bertarung bukan cuma orang-orang dunia persilatan, namun adalah dua kekuatan raksasa, yaitu pasukan-pasukan Kerajaan Beng berhadapan dengan laskar pemberontak di bawah pimpinan Li Cu-seng yang jumlahnya juga mencapai ratusan ribu orang!

Pertempuran besar-besaran secara terbuka memang belum terjadi, tapi suasana sudah menghangat, tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara tentara-tentara kerajaan dengan laskar pemberontak. Kedua pihak sudah menetapkan titik-titik pemusatan kekuatan di sepanjang daerah yang akan menjadi ajang pertempuran mereka.

Pemberontakan Li Cu-seng itu disebabkan oleh rasa tidak puas kepada pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang dinilai sangat bobrok dan menimbulkan kesengsaraan rakyat kecil. Dengan dasar itulah maka Li Cu-seng berhasil mengumpulkan ratusan ribu pengikut, sebagian besar para petani dan nelayan yang tidak puas kepada Kerajaan Beng.

Dimana ada peperangan, disitu muncul pula kaum pengungsi. Rakyat di daerah yang bakal menjadi ajang pertempuran itupun kini mulai mengungsi, mengalir ke wilayah yang aman. Meskipun mereka pun sadar bahwa pertentangan antara Kerajaan Beng dengan pemberontak itu lambat-laun pasti akan menjalar pula ke wilayah- wilayah sekitarnya namun toh mereka tetap mengungsi juga, berusaha memperpanjang hidupnya seberapa bisa.

Kota Chung-kin adalah sebuah kota yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Ou-lam dengan wilayah Su-coan. Kota ini menjadi ramai dengan mengalirnya kawanan pengungsi dari Su-coan, yang ingin memasuki wilayah Ou-lam yang dianggap masih aman. Arus pengungsi itu semuanya menuju ke timur, meninggalkan kampung halaman dan sawah ladang yang mereka cintai dan mereka tetesi dengan keringat mereka setiap hari, tetapi mereka masih lebih cinta kepada nyawa mereka. Perang, bencana maha dahsyat ciptaan manusia sendiri, kini telah mengintai di ambang pintu.

Deretan panjang tubuh-tubuh kurus dan kuyu berderet lesu meninggalkan daerah Su-coan, daerah maha subur yang sering dijuluki “gudang beras”-nya Tiongkok itu. Namun kini “gudang beras” itu sudah siap diperebutkan oleh tentara kerajaan dan laskar pemberontak yang sama-sama menyadari betapa pentingnya wilayah itu bagi perbekalan pasukannya masing-masing.

Di tengah-tengah keresahan yang menghantui para pengungsi tak berdaya itu, muncullah gerombolan-gerombolan penjahat yang memanfaatkan kesempatan sekisruh itu untuk merajalela, merampas harta pengungsi-pengungsi yang malang itu. Perampokan, perampasan dan pemerkosaan terjadi secara sewenang-wenang di segala tempat, bahkan tidak jarang terjadi pembunuhan-pembunuhan pula.

Rakyat kecil kini benar-benar telah hidup tanpa pelindung lagi! Tentara Kerajaan Beng sudah tidak sempat lagi mengawasi keselamatan rakyat, sebab perhatian mereka sedang terpusat untuk menghadapi laskar pemberontak yang cukup kuat pula. Bahkan tentara kerajaan telah menambah penderitaan rakyat, yaitu dengan jalan merampasi persediaan makanan milik pengungsi-pengungsi itu. Alasan yang dikarangnya sederhana saja, karena tentara sedang “membela rakyat” dari ancaman pemberontak, maka rakyat pun harus “membalas budi” dengan menyerahkan persediaan makanan mereka. Habis perkara.

Demikianlah suasana waktu itu, suasana menjelang runtuhnya sebuah dinasti yang pernah mengalami masa keemasan sampai ke negeri-negeri seberang, namun saat itu dinasti Beng tidak lebih dari sebuah dinasti yang bobrok dan lemah. Perang belum dimulai, tapi rakyat sudah menderita lebih dulu, entah bagaimana nasib rakyat nanti jika perang sudah benar-benar pecah? Yang terang, rakyat tidak bisa minta perlindungan kepada siapapun, baik kepada tentara kerajaan maupun kepada laskar pemberontak.

Dalam kemelut semacam itu, kaum pengungsi lalu mulai mempersenjatai diri sendiri dan mulai membentuk kelompok-kelompok, dengan maksud supaya bisa bersama-sama saling membantu jika diserang oleh pihak lain. Maka muncullah kelompok-kelompok pengungsi bersenjata yang tak terhitung banyaknya. Lalu akibat berikutnya pun muncul. Tidak jarang kelompok pengungsi yang satu mulai menyerang kelompok pengungsi yang lain, karena lapar! Dan karena kelompok-kelompok ini bergerak ke wilayah Ou-lam, maka wilayah Ou-lam yang tadinya aman tenteram itu kini mulai goncang pula!

Siang yang panas itu, nampaklah sebuah barisan pengungsi yang amat panjang sedang meninggalkan kota Chung-king dan menuju ke arah timur. Suaranya hiruk- pikuk bukan kepalang. Suara roda-roda gerobak yang membawa barang atau manusia, suara ringkik kuda, lenguh kerbau dan sapi, bercampur aduk dengan suara jeritan anak-anak yang mengeluh kepanasan. Rombongan yang sangat menyedihkan itu, jika dilihat dari atas lereng bukit akan nampak seperti seekor ular raksasa yang sedang merayap dengan malasnya di bawah panggangan sinar matahari.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, pemandangan seperti itu adalah pemandangan biasa. Namun sian itu ada sedikit kejanggalan. Jika arus manusia itu bergerak menuju ke timur, malahan ada dua buah kereta besar yang bergerak ke barat, jadi berlawanan dengan arus pengungsi itu. Kedua kereta itu masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda tegar, muncul dari sebelah timur dan menuju ke kota Chung-king. Tubuh kereta itu dikerudungi dengan kain rapat-rapat, sehingga orang yang berpapasan tidak dapat melihat ke dalam kereta.

Karena jalan raya itu sesak dengan arus pengungsi, maka kedua buah kereta itu terpaksa berjalan dengan lambatnya karena kuatir menabrak orang. Kereta yang depan disaisi oleh seorang lelaki yang berpakaian daerah Su-coan, lengkap dengan sorban putih dan sepatu rumputnya. Dia nampak kesal sekali karena lambatnya jalan kereta itu, berkali-kali terdengar gerutuannya.

Tiba-tiba tenda kereta itu tersingkap dari dalam, lalu disusul dengan munculnya seorang rahib Buddha berkepala gundul yang berjenggot keriting berwarna pirang dan bermata biru. Rahib itu bertanya kepada sais kereta, “Apakah jalanan sangat sulit?”

Sais orang Su-coan itu menyahut dengan suara hormat, “Benar, Su-cia. Agaknya daerah kampung halaman sudah mulai panas oleh udara perang, sehingga jumlah pengungsi yang kita jumpai hari ini ternyata berkali lipat jumlahnya dari yang kemarin.”

Rahib bermata biru itu mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Pang-cu telah berpesan agar kita tidak terlalu terburu-buru lagi. Toh perjalanan kita mungkin tinggal dua atau tiga hari lagi. Jika tidak ada aral melintang.”

“Baiklah, Su-cia, aku tidak terburu-buru, hanya ada kesesakan jalan ini memang agak menjengkelkan aku,” sahut sais itu. “Bagaimana dengan keadaan Pang-cu, apakah sudah membaik?”

Sebelum rahib bermata biru itu menyahut, dari dalam kereta telah terdengar jawaban. Suaranya berat dan dalam, meskipun diselingi dengan suara batuk-batuk namun tetap terdengar berwibawa, “Aku sudah semakin sehat, Au-yang Siau-pa. Terima kasih untuk perhatianmu.”

Sais kereta itu nampak lega, “Syukur kepada Thian bahwa kesehatan Pang-cu semakin pulih. Kali ini memang kita kalah karena disergap secara licik, tapi aku yakin bahwa kelak kita akan menang dan menumpas para pengkhianat itu. Dan kita akan membuat Hwe-liong-pang kita menjadi sebuah perkumpulan yang bersih, jaya dan dihormati di dunia persilatan, seimbang dengan Kay-pang, Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay.”

Suara berwibawa dari dalam kereta itu menyahut, “Aku bangga bahwa aku masih memiliki orang-orang bersemangat ksatria sejati seperti kau, Au-yang Siau-pa. Itu semakin meyakinkan aku akan kemenangan perjuangan yang bakal kita raih.”

Dari percakapan tersebut dapatlah ditebak bahwa kedua buah kereta berkerudung itu ternyata berisi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya yang telah tersingkir karena dikhianati Te-liong Hiang-cu Tan Goan- ciau itu. Kini mereka sedang dalam perjalanan untuk kembali ke cong-toh (markas besar) mereka di Gunung Bu-san, wilayah Su-coan, yang belum sempat dikuasai oleh Te-liong Hiang-cu dan komplotannya.

Agaknya, begitu berhasil merebut kekuasaan, Te-liong Hiang-cu begitu sibuk mempersiapkan serbuan ke Siong-san, sehingga lupa untuk menguasai markas besar, padahal dalam markas besar itu masih terdapat sisa kekuatan Hwe-liong-pang yang cukup berarti. Meskipun orang-orang yang tersisa dalam cong-toh itu jumlahnya tidak terlalu banyak.

Namun rata-rata setiap orangnya memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Karena itulah Tong Wi-siang harus beradu cepat dengan Te-liong Hiang-cu untuk menguasai cong- toh, karena kekuatan dalam cong-toh itulah merupakan harapannya yang terakhir untuk bisa menguasai Hwe-liong-pang kembali.

Kini Tong Wi-siang terbaring di dalam kereta dalam keadaan terluka, akibat sergapan Te-liong Hiang-cu beberapa saat yang lalu. Karena luka-luka yang dideritanya itu cukup berat, maka tubuhnya tidak sanggup untuk dibawa melakukan perjalanan dengan meringkuk saja didalam kereta tertutup, meskipun hal itu sebenarnya sangat menjemukan.

Di dalam kereta tertutup itu Tong Wi-siang diikuti oleh dua pengikutnya yang setia, yaitu Hong-goan Hweshio, rahib pelarian dari Siau-lim-si yang berjanggut pirang dan bermata biru itu, serta Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Kuning) yang lama, yaitu Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng.

Sedang yang menjadi saisnya adalah Au-yang Siau-pa, dulunya adalah Hu-tong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) dari Jing- ki-tong (Kelompok Bendera Hijau). Meskipun Au-yang Siau-pa ini adalah adik sepupu dari Au-yang Siau-hui yang berkhianat kepada Tong Wi-siang, namun Au-yang Siau-pa sendiri tetap setia kepada Ketua yang sah. Bahkan dia memilih untuk ikut buron bersama Tong Wi-siang daripada tunduk kepada Te-liong Hiang-cu.

Sementara itu, di dalam kereta yang kedua pun terdapat seorang yang terluka, yaitu Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit) Siangkoan Hong. Dalam kereta kedua itu ia ditemani oleh Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) Ling Thian-ki serta Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Ungu) yang lama, yaitu Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Kepalan Malaikat Seribu Kati). Sedang yang menjadi sais kereta kedua itu adalah Ui-ki-tong-cu yang lama, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat.

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya yang tetap setia kepada Tong Wi-siang adalah Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim, Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong, Siau-lo-cia (Lo-cia kecil) Ma Hiong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin tidak nampak dalam rombongan itu, sebab mereka punya tugas sendiri-sendiri. Oh Yun-kim, In Yong dan Ma Hiong ditugaskan berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang akan dilewati oleh Ketua mereka. Sedangkan Lim Hong-pin disuruh langsung menuju cong-toh lebih dulu untuk menundukkan semua anak buah yang masih ada di sana, sebelum didahului oleh Te-liong Hiang-cu.

Demikianlah, meskipun kedua kereta itu berjalan sangat lambat, namun semakin dekat juga ke kota Chung-king. Di dalam keretanya, Tong Wi-siang membaringkan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya diayun-ayunkan oleh goncangan kereta. Matanya terpejam, namun kadang- kadang nampaklah mulutnya menyeringai kesakitan karena menahan rasa nyeri dalam dadanya.

Melihat penderitaan Ketuanya itu, Rahib Hong-goan diam-diam mengutuk dalam hatinya, “Te-liong Hiang-cu benar-benar telah digelapkan oleh nafsunya untuk menguasai Pang kami dengan segala cara. Cara apapun tidak malu untuk dia lakukan, termasuk cara seorang pengecut yang paling rendah sekalipun.”

Kwa Heng juga ikut hanyut dalam gejolak perasaan seperti yang dialami oleh Hong-goan Hweshio. Namun semuanya hanya tersimpan dalam hatinya dan tidak terucapkan keluar. Ketika kereta-kereta itu sudah mendekati pintu gerbang kota Chung-king, dari dalam kota itu muncullah seorang lelaki penunggang kuda yang bergegas-gegas menghampiri kereta yang depan.

Orang berkuda itu adalah Siau-lo-cia Ma Hiong. Mukanya yang berkulit halus dan bertampang kekanak-kanakan itu nampak agak tegang, namun dia tersenyum begitu berpapasan dengan kereta-kereta itu, tanyanya kepada Au-yang Siau-pa yang duduk sebagai sais, “Auyang Toako, apakah Pang-cu dalam keadaan baik?”

Sebelum Au-yang Siau-pa sempat menjawab, dari dalam kereta sudah terdengar suara Tong Wi-siang yang berat dan diselingi batuk-batuk kecil, “Aku dalam keadaan baik, Ma Hiong. Nampaknya ada sesuatu yang akan kau laporkan kepadaku?”

Ma Hiong memberi hormat ke arah kereta, lalu berkata, “Suasana di kota Chung-king sudah cukup hangat, namun dalam beberapa hari mendatang ini nampaknya masih dapat dikatakan aman, karena perang belum akan meletus secepat itu. Hamba dan kawan-kawan sudah menyiapkan sebuah rumah penginapan yang tenang untuk tempat istirahat Pang-cu sekalian!”

Terdengar tarikan napas lega dari dalam kereta, tanya Tong Wi-siang lagi, “Apa yang kau artikan dengan suasana panas tapi masih aman?”

Sahut Ma Hiong, “Maksud hamba, kota Chung-king sudah dalam suasana perang, lebih dari tiga perempat penduduknya sudah mengungsi meninggalkan kota. Kota sudah dipenuhi dengan kawanan kuku-garuda (maksudnya, pasukannya Kaisar), tapi pengikut-pengikut Li Cu-seng sering juga berhasil menyusup masuk kota. Sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil di dalam kota, namun perang yang terbuka nampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.”

“Apakah keadaan di daerah-daerah setelah Chung-king juga sama?”

“Hamba belum mengetahui, sebab belum sempat mengadakan hubungan berita dengan Oh Tong-cu dan In Tong-cu yang berjalan di depan.”

“Baik, laporanmu sudah kudengar. Sekarang kau boleh berjalan di depan lagi.”

“Siap menjalankan perintah Pang-cu!” jawab Ma Hiong tegas. Setelah memberi hormat lagi ke arah kereta, dia lalu memutar balik kuda tunggangannya dan balik ke dalam kota Chung-king.

Jika dalam keadaan biasa, tentu saja tanya jawab antara Tong Wi-siang dengan bawahannya itu akan menarik perhatian, sebab yang satu dipanggil “pang-cu” dan yang lain menyebut dirinya sendiri sebagai hamba. Namun waktu itu ternyata tidak seorang pun menghiraukan, apalagi menaruh perhatian kepada percakapan yang janggal itu. Keadaan mereka sendiripun sedang dirundung kesusahan, mana sempat memperhatikan orang lain? Andaikata Kaisar Cong-ceng sendiri yang lewat di tempat itu, pengungsi-pengungsi itu tetap tidak akan menghiraukannya.

Dalam pada itu Tong Wi-siang telah menggerutu di dalam keretanya, “Seharusnya Hwe-liong-pang lah yang harus berhasil menumbangkan pemerintahan Cong-ceng yang bobrok ini, dan bukannya Li Cu-seng. Tetapi perpecahan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri telah melemahkan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Agaknya cita-cita Hwe-liong-pang akan didahului oleh Li Cu-seng.”

Wi-siang nampak menyesal dan sangat penasaran, nada suaranya semakin meninggi dan semakin berapi-api. Namun setelah menyadari kenyataan yang terbentang di hadapannya, nada suaranya pun menurun, katanya dengan nada yang pasrah, “Barangkali memang nasib Li Cu-seng yang lebih baik dari nasibku. Tetapi aku mengingini agar dalam waktu yang singkat kita akan berhasil menyusun kekuatan kita kembali. Kalau keadaan memungkinkan, aku ingin agar Hwe-liong-pang ikut ambil bagian dalam pergolakan menumbangkan kebobrokan dinasti Beng ini. Hwe-liong-pang akan ikut mengisi lembaran sejarah negeri ini.”

“Harap Pang-cu menenteramkan pikiran,” kata Kwa Heng menghibur Ketuanya. “Kami semua telah bertekad untuk mengabdi kepada cita-cita Hwe-liong-pang sampai titik darah yang penghabisan. Bukan karena mencari kedudukan, namun hanya sekedar terpanggil oleh hati nurani yang tidak dapat lagi bisa melihat kebobrokan dibiarkan berlarut-larut.”

Kekerasan wajah Wi-siang segera mencair ketika mendengar ucapan Kwa Heng itu. Katanya, “Terima kasih, kesetiaan kalian sangatlah membesarkan hatiku. Aku hanya menyesalkan kelengahanku terhadap seorang manusia selicik Tan Goan-ciau, sehingga ular berkepala dua itu telah memporak-porandakan semua rencanaku dengan nafsu berkuasanya yang berkobar-kobar itu. Benar-benar bangsat yang patut dicincang!”

Semua penyesalan dan kejengkelan Tong Wi-siang itu berlandas dari perasaan di hatinya yang paling dalam, yaitu... dendam! Cita-citanya dalam mendirikan Hwe-liong-pang untuk merobohkan Kerajaan Beng itu tidak lain juga dilandasi oleh dendamnya itu. Dia mendendam Kerajaan Beng, sebab dianggapnya semua kesengsaraan yang menimpa keluarganya di An-yang-shia itu disebabkan ketidak becusan pemerintah Cong-ceng dalam mengatur negara.

Ayahnya terbunuh, sedang kedua adiknya terpencar dan terlunta-lunta di dunia persilatan, untung saja kedua adiknya itu masih selamat dan bahkan telah memiliki kepandaian tinggi, semua itu merupakan “bahan bakar” yang menyalakan api dendam di dada Wi-siang. Maka muncullah cita-citanya untuk merobohkan Kerajaan Beng, dan mendirikan pemerintahan baru keluarga Tong!

Dengan cita-citanya itu, apabila berhasil, dia menganggap akan dapat menebus kehancuran keluarganya selama ini dan mengangkat tinggi-tinggi derajat keluarga Tong. Selama ini memang Tong Wi-siang berhasil menyembunyikan maksudnya, tidak pernah mengatakan maksudnya untuk merobohkan Kerajaan itu secara terus terang. Ia selalu memakai istilah “Ingin memperbaiki keadaan”.

Namun dari gerak-gerik anak buahnya yang selalu memusuhi pihak kerajaan itu, agaknya orang pun dapat menyimpulkan tujuan Hwe-liong-pang yang digariskan ketuanya. Sekarang, dalam luapan perasaannya, Tong Wi-siang telah mengemukakan maksudnya secara blak-blakan. Dia terang-terangan menyesali diri karena dia kalah cepat oleh Li Cu-seng dalam mengobarkan pemberontakan. Kini Tong Wi-siang harus merasakan betapa sakit dan pahitnya ia terbanting dari cita-citanya yang muluk itu.

Sekarang dia harus mengakui kenyataan bahwa dirinya sudah kehilangan sebagian besar anak buahnya yang mengikuti Tan Goan- ciau, dia sendiri luka dan kehilangan sebagian besar ilmu silatnya. Hwe-liong-pang yang didirikannya dengan susah- payah itu kini telah tercerai-berai dan bukan lagi merupakan kekuatan yang disegani di dunia persilatan.

Memang masih ada ratusan anak buahnya yang setia, namun apa arti anak buahnya itu jika dihadapkan dengan ratusan ribu prajurit terlatih Kerajaan Beng dengan Panglima-Panglimanya yang berilmu tinggi? Kenyataan sepahit itu benar-benar sangat membebani pikirannya, dan nyaris meruntuhkan semangat anak muda she Tong itu.

Tidak lama kemudian kedua buah kereta tertutup itu telah menggelinding masuk ke dalam kota Chung-king. Ternyata tidak ada lagi penjagaan prajurit seperti biasanya, entah kemana prajurit-prajurit yang biasanya berjaga di tempat itu, mungkin telah ditarik ke garis depan semuanya. Kedatangan Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu langsung disambut oleh anak buah Hwe-liong-pang cabang Chung-king yang masih setia kepadanya. Mereka lalu mengawal kereta-kereta itu ke sebuah rumah penginapan yang sudah “dibersihkan” dari tamu-tamu lainnya.

Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera menempati kamarnya masing-masing. Sementara para pelayan penginapan sibuk mempersiapkan santapan bagi tamu-tamunya yang rata-rata bermuka angker itu, para pelayan itu nampak gembira sekali sebab orang-orang Hwe-liong- pang telah memberi hadiah seperti orang menyebar pasir saja. Namun para pelayan itu dipesankan untuk tidak bercerita kepada orang lain tentang rombongan itu.

Siangkoan Hong menyeringai kecut ketika mendengar pesan pelayan-pelayan itu. Katanya, “Dulu, kita sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang ibaratnya tidak takut kepada setan maupun malaikat, malang melintang kesana kemari tanpa cemas kepada siapapun. Tapi tak kuduga kalau hari- hari belakangan ini kita seperti sekawanan tikus yang tempat persembunyiannya takut diketahui oleh si kucing.”

Entah karena penderitaannya yang bertubi-tubi, maka Tong Wi-siang menjadi seorang yang sabar, sahutnya sambil menarik napas, “Begitulah kenyataannya. Seorang yang bercita-cita tinggi harus pandai melihat gelagat dan berpikir panjang, dia tahu kapan menggunakan kekerasan dan kapan menggunakan kebijaksanaan. Dia boleh saja dihina dan dikalahkan, yang penting semangat harus tetap berkobar dan tidak boleh padam. A-hong, ingatkah kau dulu ketika kita melarikan diri dari An-yang-shia, menjadi buronan yang tak berdaya, tapi kemudian berhasil membangun Hwe-liong-pang? Waktu kita mulai membangun Hwe-liong-pang, kita hanya berempat, toh berhasil. Sekarang tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengulang sejarah lama itu, apalagi di pihak kita masih ada ratusan orang anggota yang setia kepada cita-cita kita. Jangan berkecil hati.”

“Tapi nasib baik jarang berulang untuk kedua kalinya, A-siang.”

“Kita tidak akan menggantungkan diri kepada nasib baik. Keberhasilan kita dulu membangun Hwe-liong-pang juga bukan karena nasib baik semata-mata. Selama kaki kita masih tegak, kita akan berusaha terus.”

Tengah kedua orang tokoh tertinggi Hwe-liong-pang itu bercakap-cakap, tiba-tiba di luar rumah penginapan itu terdengar suara ribut-ribut, bahkan ada pula suara bentakan-bentakan kasar. Terdengar suara bentakan yang keras,

“Omong kosong! Aku tidak percaya kalau rumah makan dan penginapan ini sudah begitu penuhnya sehingga tidak ada lagi tempat buat kami! Buktinya kulihat ruangan ini kosong dan tidak nampak batang hidung seorang tamupun.”

Lalu kedengaran suara seorang pelayan yang gemetar ketakutan, “Harap tay-jin memaafkan, penginapan ini memang tidak penuh, tapi sudah diborong oleh serombongan tamu. Demi nama baik rumah penginapan ini, kami tidak berani mengusir tetamu-tetamu yang telah memborong itu.”

“Persetan, aku tidak peduli dengan nama baik penginapan kalian. Bahkan kalau ada tetamu yang memborong seluruh penginapan ini maka mereka pantas dicurigai, mereka tentu akan melakukan perbuatan busuk yang takut diketahui orang lain. Kami akan memeriksa ke dalam!”

Di dalam biliknya, Tong Wi-siang saling bertukar pandangan dengan Siangkoan Hong, Rahib Hong-goan dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Mendengar panggilan pelayan tadi, yang menyebut “tay-jin” kepada tetamu kasar itu, maka agaknya yang datang itu adalah serombongan pejabat-pejabat Kerajaan, entah dari kalangan sipil atau tentara.

Dalam pada itu, di ruangan depan telah terdengar suara gedubrakan yang ribut, suara barang-barang yang sedang dibanting hancur, agaknya sang tay-jin sedang melampiaskan kejengkelannya. Mendengar itu, Au-yang Siau-pa tidak dapat menahan diri lagi, ia segera bangkit dari duduknya dan berkata kepada Tong Wi-siang, “Pang-cu, ijinkan aku untuk keluar dan menghajar cecunguk-cecunguk begundal Kaisar itu!”

Ma Hiong dan Ji Tiat juga bangkit dari duduknya dan serentak berkata, “Ijinkan kami juga.”

Namun Tong Wi-siang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kening berkerut, sambil berkata, “Saat ini, mengingat keadaan Hwe-liong-pang kita, tidaklah perlu kita mencari permusuhan dengan siapapun. Kalian boleh keluar untuk melihat keadaan, dan kalau perlu kita mengalah sedikit dengan berpindah tempat penginapan. Bagaimana pendapatmu, Siangkoan Hong?”

Siangkoan Hong yang berwatak berangasan itu sebenarnya tidak setuju kepada pendapat Tong Wi-siang yang dianggap “terlalu bijaksana” sehingga nampak lemah itu. Namun demi menjaga muka terang Tong Wi-siang di hadapan anak buahnya, maka ia menyetujui saja ucapan itu. Begitulah, Au-yang Siau-pa, Ji Tiat dan Ma Hiong lalu ditugaskan untuk melihat-lihat keadaan di luar sana. Supaya tidak menimbulkan urusan, maka mereka bertiga keluar tanpa membawa senjata mereka. Tidak terduga bahwa keluarnya Ji Tiat itu justru akan menimbulkan keributan.

Keadaan di ruangan depan yang biasa dijadikan rumah makan itu ternyata sudah porak-poranda. Yang datang mengacau itu ternyata adalah seorang perwira menengah berpangkat bu-ciang yang diiringi oleh belasan orang prajuritnya. Prajurit-prajurit itu berbicara dengan dialek wilayah Ho-pak, nampaknya mereka memang pasukan Kerajaan yang didatangkan dari wilayah Ho-pak.

Perwira itu berhidung bengkok seperti paruh burung kakaktua, bermata tajam seperti mata elang, sikapnya menunjukkan begitu percaya kepada kemampuan dirinya sendiri. Dia hanya bersikap dingin sambil melipat tangannya di depan dada, sedang yang menjungkir-balikkan meja kursi serta berteriak-teriak kasar itu adalah prajurit-prajurit bawahannya yang agaknya sedang “unjuk kegagahan” di hadapan atasannya.

Ketika Au-yang Siau-pa bertiga muncul ke ruangan itu, prajurit-prajurit itu masih saja menghantami meja kursi, disaksikan oleh pelayan penginapan itu dengan tubuh gemetar ketakutan. Munculnya Au-yang Siau-pa dan kawan-kawannya itu segera menarik perhatian para prajurit itu. Apalagi karena melihat Au-yang Siau-pa yang berpakaian khas daerah Su-coan itu langsung menimbulkan kecurigaan, sebab kebanyakan pengikut laskar pemberontak Li Cu-seng adalah orang-orang Su-coan!

Seorang perwira rendahan yang sedang menendangi kursi segera menghentikan ulahnya, lalu sambil bertolak pinggang dia berjalan mendekati Au-yang Siau-pa, lalu tanyanya dengan angkuh, “Kudengar bahwa penginapan ini sudah diborong seluruhnya oleh orang, apakah kalian yang memborongnya?”

“Benar, tuan,” sahut Au-yang Siau-pa dengan menahan muaknya.

Perwiran rendahan itu mengangkat dagunya sambil menyipitkan matanya, tanyanya lagi, “Berapa orang jumlah rombongan kalian?”

Ji Tiat yang tidak sabaran itu hampir saja tak dapat menahan diri dan menjotos ringsek muka perwira rendahan itu. Untunglah dia masih dapat menekan hatinya, sementara itu Au-yang Siau-pa masih tetap bersikap sopan dalam menjawab, “Jumlah kami semuanya sembilan orang.”

“Hanya sembilan orang rombongan kalian, kenapa memborong semua ruangan di penginapan ini dan mengusir semua tamu?”

Sahut Au-yang Siau-pa tetap tenang, “sebab ada dua orang anggota rombongan kami yang sakit keras dan memerlukan tempat istirahat yang tenang, sehingga terpaksa kami mohon kepada para tetamu untuk meninggalkan tempat ini, lagipula kami tidak sembarangan mengusir melainkan memberikan pula ganti rugi sepantasnya.”

Agaknya perwira itu mengira bahwa ketiga orang yang berdiri di hadapannya itu mulai takut kepadanya, maka lagaknya pun semakin besar kepala, “Hem, benar-benar mencurigakan. He, kenapa kedua orang anggota rombongan itu sakit?”

Au-yang Siau-pa merasa semakin jemu kepada perwira rendahan ini, maka jawabannya pun mulai ngawur dan sekenanya saja, “Kami sekeluarga memang berasal dari Su-coan untuk menengok kampung halaman yang kami rindukan.”

Sudah menjadi “kebudayaan” di jaman pemerintahan Cong-ceng yang bobrok itu, bahwa tentara kerajaan selalu berusaha mengisi kantongnya sendiri dengan berbagai cara dan berbagai kesempatan, dan begitu pula kali ini. Si perwira agaknya menganggap bahwa ketiga orang di hadapannya itu merupakan “kambing gemuk” yang gampang diperas, maka dia lalu pura-pura marah dan membentak,

“Bicaramu semakin lama semakin mencurigakan, dan tanpa kalian sadari semakin membuka kedok asli kalian sendiri. Setiap orang tahu bahwa Su-coan sedang menjadi daerah rawan yang terancam oleh pemberontakan si keparat Li Cu-seng itu, semua penduduk telah mengungsi dari wilayah itu, kenapa kalian justru hendak menuju ke sana? Ha-ha, jelaslah sudah bahwa kalian akan menggabungkan diri dengan laskar pemberontak untuk merongrong kewibawaan pemerintah! Kalian harus ditangkap dan diperiksa di markas kami!”

Ji Tiat agaknya sudah kehilangan kesabaran, dia tahu bahwa tujuan prajurit-prajurit itu bukannya benar-benar “berjuang bagi Kerajaan” melainkan hanya berjuang bagi kantongnya sendiri, segala alasan percuma dikeluarkan di situ. Maka Ji Tiat lalu melangkah maju dan berkata dengan geramnya, “Mau menangkap kami boleh saja, tapi tanyalah dulu kedua tinjuku ini!”

Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong terkejut melihat sikap rekannya yang tidak dapat mengendalikan diri itu, mereka hendak mencegah namun sudah terlambat. Sedangkan si perwira rendahan yang congkak itu tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu. Biasanya jika dia mulai menggertak rakyat kecil, maka yang didengarnya hanyalah rengekan-rengekan minta ampun, dan kalau sedang begitu barulah terjadi tawar-menawar tentang berapa yang harus dibayar.

Kini, menemui sikap Ji Tiat yang lain dari biasanya itu, si perwira jadi agak gugup, lalu membentak untuk menutupi kegugupannya, “He, kau berani membangkang perintah seorang perwira Kerajaan, itu sama saja dengan memberontak!”

Rupanya perwira itu punya andalan untuk berbuat sewenang-wenang, bukan cuma mulutnya yang garang, namun ilmu silatnya pun tidak buruk pula. Begitu selesai membentak, maka tinjunya pun serentak menjotos dengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun). Kepalanya terarah ke hidung lawan, namun jika serangan itu gagal dia siap untuk menghantam dada dengan pangkal telapak tangannya dan masih ada lanjutannya pula berupa tusukan jari ke tenggorokan. Begitulah, hanya dengan sebelah tangannya saja si perwira itu ternyata mampu melancarkan serangan tiga berantai yang cepat dan bertenaga itu.

Ji Tiat dan kedua rekannya terkesiap juga ketika melihat ketangkasan perwira itu. Jika semua prajurit yang berjumlah belasan orang itu berkepandaian setingkat itu, maka ketiga orang Hu-tong-cu Hwe-liong-pang itu agaknya benar-benar akan mengalami kesulitan. Sebaliknya perwira itupun tidak menyangka kalau Ji Tiat dapat melepaskan diri dari serangan itu dengan mudahnya. Ia semakin penasaran.

Sambil membentak keras dia segera menyambung jurusnya dengan Oh-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengulur Cakar) untuk mencengkeram ke pundak Ji Tiat. Kali ini Ji Tiat tidak mau diserang terus tanpa membalas, maka ia menangkis dan balas menghantam lawannya. Dengan demikian timbullah pertarungan sengit antara kedua orang itu, sehingga si pelayan penginapan yang sudah ketakutan itu kini jadi bertambah ketakutan. Ternyata tamu-tamu yang memborong rumah penginapannya dan tadi kelihatan ramah tamah itu, bisa juga bersikap garang seperti itu.

Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong saling bertukar pandangan sejenak. Mereka sadar bahwa agaknya perkembangan itu sudah tidak dapat dicegah lagi, dan hal itu tidak menguntungkan bagi pihak Hwe-liong-pang. Bertengkar dengan prajurit kerajaan tidak menimbulkan keuntungan apa-apa, malahan akan menimbulkan kerepotan yang tak bakal habis-habisnya, sedang rombongan Hwe-liong-pang itu justru sedang menuju ke Bu-san secepat-cepatnya supaya jangan didahului oleh Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya.

“Bagaimana ini saudara Ma?” tanya Au-yang Siau-pa lirih.

“Untung-untungan kita coba pisahkan mereka,” sahut Ma Hiong. “Di kantongku masih ada beberapa tahil perak yang barangkali bisa digunakan untuk membungkam anjing-anjing kaisar ini.”

Namun sebelum kedua Hu-tong-cu ini melaksanakan niatnya, tiba-tiba perwira berhidung bengkok berpangkat bu-ciang itu telah berseru keras, “Cu Pin, berhenti!”

Begitu mendengar seruan itu, perwira yang berkelahi dengan Ji Tiat itu segera menghentikan serangannya dan melompat mundur dari gelanggang. Ji Tiat pun tidak mengejarnya, sebab dia diam-diam juga menyesali tindakannya yang terburu nafsu tadi dan hampir saja mengacaukan urusan besar itu. Ia berharap mudah-mudahan urusan dengan hamba-hamba kerajaan itu mudah diselesaikan, kalau perlu dengan menyuap beberapa tahil perak kepada mereka.

Tapi bukan demikianlah yang terjadi, justru kesulitan yang lebih besar kini telah muncul di depan mata. Bu-ciang berhidung bengkok itu kini telah melangkah ke depan dan berkata sambil tertawa dingin, “Bagus, tidak kusangka kalau di tempat yang berjarak ribuan li dari kota Kay-hong ini akan dapat kutemui Ji Tiat, Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) yang perkasa. He- he-he, Ji Tiat, masih ingatkah kau kepadaku?”

Ji Tiat menatap bu-ciang itu tajam-tajam sambil berpikir keras. Ia merasa bahwa wajah itu memang pernah diingatnya, tapi ia sudah lupa tempat dan waktunya. Dengan hati-hati ia berkata, “siapakah kau?”

Perwira itu menggeram penuh dendam, “kau tentu masih ingat kepada Thi-bin-sin-eng (Elang Sakti Bermuka Besi) Cio Hong-hoat yang pernah bertempur habis-habisan denganmu di kota Tay-goan? Waktu itu aku berhasil kau kalahkan karena kelengahanku sendiri, namun sekarang kita bertemu kembali dan aku menantangmu untuk mengulangi pertarungan di Tay-goan itu!”

Mendengar nama dan julukan itu, mengeluhlah Ji Tiat dalam hatinya, jelaslah bahwa tidak bisa tidak urusan akan menjadi berlarut-larut dengan hamba-hamba kerajaan ini. Bukannya Ji Tiat takut menghadapi urusan, namun tugasnya untuk mengawal Hwe-liong-pang-cu sampai ke Bu-san itu adalah jauh lebih penting ketimbang meladeni prajurit-prajurit itu. Namun agaknya tidak gampang untuk melepaskan diri dari Thi-bin-sin-eng Cio Hong-hoat dengan begitu saja.

Dalam keadaan terjepit itu, Ji Tiat bertindak cepat. Tiba-tiba dia berseru kepada Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong, “Saudara berdua harap menahan anjing-anjing Kaisar ini di sini! Cepat!”

Namun sebagai perwira kawakan, Cio Hong-hoat juga bertindak tidak kalah cepatnya, “Kepung rumah penginapan ini! Kudengar berita bahwa Siang-po-kay-san Ji Tiat telah menjadi anggota Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang adalah sebuah perkumpulan gelap yang bersikap menentang kerajaan! Kawan-kawan Ji Tiat itupun tentu orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak boleh lolos seorangpun!”

Belasan orang prajurit itu segera memencar sambil menghunus senjatanya masing-masing, menutup semua pintu. Bahkan Cio Hong-hoat memerintahkan lebih lanjut, “Salah seorang keluar untuk memanggil bala bantuan.”

Seperti diketahui, Hwe-liong-pang bukan saja dimusuhi oleh kaum pendekar golongan lurus, namun juga oleh pihak pemerintah Kerajaan Beng. Itu disebabkan oleh tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang sangat brutal kepada pejabat-pejabat kerajaan, antara lain peristiwa terbasminya Cia To-bun sekeluarga di kota An-yang-shia.

Cita-cita Hwe-liong-pang “menumbangkan kebobrokan dan membangun keadaan baru” itu oleh pihak kerajaan telah ditafsirkan sebagai niat untuk memberontak, sehingga pemerintah kerajaan pun dsh mengeluarkan pengumuman resmi bahwa Hwe-liong-pang adalah musuh negara. Tidak peduli Hwe-liong-pang-nya Tong Wi-siang atau Hwe-liong-pang-nya Tan Goan-ciau semuanya harus dibasmi. Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang itu memang belum banyak diketahui orang, sehingga orang masih saja menyamaratakan sikap terhadap Hwe-liong- pang.

Waktu itu kota Chung-king hampir kosong penduduknya karena mengungsi, namun justru penuh dengan prajurit-prajurit pemerintah, karena kota itu merupakan sebuah kota penting yang pasti akan dilewati oleh laskar pemberontak apabila hendak menyerbu ke Pak-khia. Kelompok-kelompok prajurit bersenjata hilir-mudik di jalanan. Maka keributan dalam rumah penginapan itu dapat segera diketahui oleh prajurit-prajurit lainnya, maka dalam sekejap saja rumah penginapan itu benar-benar telah terkepung rapat!

Cio Hong-hoat tertawa dingin kepada melihat Ji Tiat dan kawan-kawannya nampak gugup dalam menghadapi perkembangan keadaan itu. Ejek Cio Hong-hoat, “Kalian ibarat ikan dalam jaring, biarpun tumbuh sayap juga tidak akan bisa lolos lagi dari sini.”

Mengetahui bahwa tidak ada kemungkinan lain kecuali bertarung habis-habisan, maka Ji Tiat menjadi mata gelap, teriaknya pula, “Saudara Ma dan saudara Auyang, lindungi Pang-cu, cepat!”

Sadar dari kegugupannya, Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong cepat-cepat berlari menuju ke ruangan dalam. Namun sebelum mereka berhasil mencapai pintu ke ruangan dalam, dua orang prajurit yang bersenjata pedang telah mencegat mereka, lalu menyusul dua orang lagi. Dengan demikian Au-yang Siau-pa dan Ma Hiong dipaksa menghadapi empat orang lawan bersenjata, sedangkan mereka sendiri hanya bertangan kosong.

Sementara itu Ji Tiat telah terlibat perkelahian sengit dengan musuh lamanya, Cio Hong-hoat yang mahir dengan dua macam ilmu tangan kosong bertenaga keras, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Cengkeraman Elang). Ternyata Cio Hong-hoat ini masih terhitung saudara seperguruan dengan Ting Ciau-kun.

Perwira bu-ciang she Cio ini membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ganas Eng-jiau-kau-jiu (Cengkeraman Elang). Tangan satunya menjambret pundak dan tangan lainnya menjambret pinggul, jika kedua serangannya ini mengenai sasarannya, maka lawannya akan langsung dibantingnya ke tanah. Biasanya kalau sudah begitu sang lawan akan langsung mampus, atau sedikitnya cacat seumur hidup.

Ji Tiat yang sudah waspada akan kemahiran lawannya itu tidak mau dipancing dalam pertarungan jarak dekat. Sambil menggeser mundur dia melakukan gerak Ya-ma-hun-cong (Kuda Liar Membelah Suri), tangannya menangkis ke atas dan ke bawah. Tetapi Cio Hong-hoat terus mendesak ke depan sambil membalikkan telapak tangan dan berusaha untuk mencengkeram kedua pergelangan tangan Ji Tiat yang untuk menangkis itu.

Menghadapi seorang lawan yang begitu tangkas, untuk sementara memang Ji Tiat dipaksa untuk bertahan dan mundur saja, sambil mencoba mencari kelemahan dari gaya permainan lawannya. Ternyata orang she Cio itu sangat mempercayakan serangan-serangannya pada kekuatan jari-jari tangannya. Begitu Ji Tiat merasa dapat mengetahui gaya lawan, maka diapun tidak hanya bertahan saja namun juga balas menyerang.

Sambil mengelak ke samping, Ji Tiat membalas dengan sebuah hantaman ke batok kepala lawan dengan jurus Liong-teng- toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga). Maka sengitlah kedua musuh bebuyutan itu mengulangi perkelahian mereka dulu. Kali ini bahkan lebih sengit dari dulu, sebab masing-masing pihak sudah mengalami kemajuan dalam ilmunya masing-masing.

Cio Hong-hoat dengan ilmu Eng-jiau-kang dan Ngo-heng-ciang-nya itu benar-benar lawan yang sangat berbahaya dengan sepasang telapak tangannya itu. Cengkeraman jari-jarinya akan sanggup untuk merobek kulit lawan atau bahkan langsung mematahkan tulang-tulangnya, sedangkan pukulan Ngo-heng-ciang-nya dilatih khusus untuk bertempur dalam jarak dekat dan punya kemampuan untuk menghancurkan bagian dalam tubuh manusia. Begitulah dia mencengkeram dan menghantam berganti-ganti.

Namun Ji Tiat juga bukan seorang lawan empuk. Dia adalah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) Ui-ki-tong, salah satu dari delapan kelompok Hwe-liong-pang yang pernah disegani dalam dunia persilatan. Julukannya adalah Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), menandakan bahwa ia memiliki tenaga raksasa yang diibaratkan dapat membelah gunung.

Kini dalam menghadapi seorang lawan yang mahir bertempur jarak dekat dan mengandalkan kekuatan jari-jarinya, Ji Tiat tidak gentar sama sekali, sebab dia sudah biasa berlatih bersama dengan Kwa Heng yang juga mahir berkelahi jarak dekat. Julukan Kwa Heng adalah Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) dan mahir Kau-kun (Silat Monyet).

Antara Kau-kun dengan Eng-jiau-kang ada persamaannya dalam hal mengandalkan kekuatan cengkeraman jari-jarinya dan memaksa lawannya berkelahi jarak dekat, tapi ada pula perbedaannya. Perbedaannya adalah bahwa Eng-jiau-kang banyak menitikberatkan kepada tubrukan-tubrukan dan terkaman-terkaman yang ganas serta bertenaga, sedang Kau-kun lebih licin dan lincah, penuh dengan kelitan-kelitan yang lemas.

Maka dalam menghadapi keganasan Cio Hong-hoat itu Ji Tiat tidak merasa takut sedikitpun, sebab Cio Hong- hoat masih belum mampu bergerak secepat teman berlatih Ji Tiat, yaitu Kwa Heng. Sedang dalam hal tenaga pun Ji Tiat tidak perlu merasa ragu-ragu untuk membenturkan kekuatannya secara keras lawan keras.

Sekejap saja kedua seteru bebuyutan itu telah bertukar serangan belasan kali. Cio Hong-hoat bertubuh ringan dan gesit, benar-benar mirip seekor elang ganas yang beterbangan di udara, namun lawannya pun berkelahi dengan gagah perkasa bagaikan sebuah pagoda besi yang takkan goyah oleh badai yang bagaimanapun dahysatnya.

Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang masih belum kebagian lawan, segera menyerbu ke bagian dalam rumah penginapan itu sambil berteriak-teriak penuh semangat. Tiga orang prajurit yang merasa kepandaiannya paling menonjol, segera mendahului rekan-rekannya untuk menerjang ke dalam. Inilah kesempatan baik untuk mendirikan jasa dan memperoleh kenaikan pangkat, demikianlah pikiran mereka.

Namun, baru saja mereka masuk beberapa langkah, maka prajurit-prajurit sial itu tahu-tahu telah “beterbangan” keluar kembali bagaikan dihantam oleh hembusan angin berkekuatan raksasa. Masuknya mereka menggunakan jurus-jurus silat dan gaya-gaya lompatan yang indah, maka keluarnya justru sangat konyol sebab muka mereka yang lebih dulu menghunjam lantai.

Menyusul itu, dari dalam ruangan terdengar bentakan keras, “Kawanan anjing kaisar, kalian masih belum cukup berharga untuk berani jual lagak di depan ketua kami!”

Lalu muncullah Hong-goan Hweshio, diikuti oleh Ling Thian-ki, Kwa Heng dan Lu Siong. Paling belakang muncullah Tong Wi-siang didampingi oleh Siangkoan Hong, keduanya memakai topeng tengkorak dan jubah kebesarannya masing-masing. Rupanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu telah mendengar keributan yang terjadi di ruangan depan, juga menyadari bahwa rumah penginapan itu telah terkepung. Maka mereka pun memutuskan untuk menerjang keluar daripada mati sebagai tikus dalam liangnya.

Munculnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau tidak mau telah menciutkan keberanian Cio Hong-hoat dan prajurit-prajuritnya. Apalagi melihat kehebatan Hong-goan Hweshio dalam membuka jalan untuk Ketuanya. Dengan senjata Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) di tangannya, Hong-goan Hweshio menyapu kawanan prajurit yang merintanginya, sekejap saja dua orang prajurit telah terjungkal dalam keadaan luka parah. Ling Thian-ki tidak mau ketinggalan dari rekannya itu, maka dengan sepasang cundriknya diapun telah merobohkan beberapa prajurit.

Kwa Heng telah melemparkan sepasang kampak bergagang pendek kepada Ji Tiat sambil berseru, “Saudara Ji, inilah senjatamu!”

Cepat Ji Tiat melompat mundur dan dengan tepat berhasil menyanggapi sepasang senjata andalannya itu. Kini, dengan sepasang kampak pendek telah berada di tangannya, maka Ji Tiat bagaikan seekor macan yang tumbuh sayapnya, tandangnya semakin beringas dan menggentarkan. Untuk mengimbanginya, Cio Hong-hoat terpaksa mencabut pedangnya.

Namun perwira she Cio itu menginsyafi bahaya, bahwa dengan keluarnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu keadaan akan menyulitkan pihaknya. Maka ia berseru, “Keluar dari ruangan! Perketat kepungan di luar!”

Buat prajurit-prajurit yang sudah kewalahan itu, perintah “tinggalkan ruangan” itu ibarat pembatalan hukuman mati buat mereka. Mereka sudah tidak tahan lagi menghadapi amukan orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka serempak merekapun berlompatan keluar ruangan untuk bergabung dengan pasukan yang sudah mengepung di sekitar rumah penginapan itu. Mereka sudah tidak ingat untuk mencari pahala lagi, buat apa pahala jika nyawa melayang? Sedangkan Cio Hong-hoat sendiri sudah lebih dulu ada di luar ruangan.

Waktu itu, di jalan-jalan raya di depan dan di sekitar rumah penginapan itu sudah penuh dengan tentara kerajaan. Barisan pemanah berada di paling depan dan terdiri dari dua lapis, yang depan berjongkok dan yang belakang berdiri, busur sudah terpentang dan anak panah pun sudah terpasang, hanya tinggal menunggu aba-aba untuk memanah. Begitu pula beberapa gang kecil di sekitar rumah penginapan itu sudah dijaga ketat, bahkan beberapa orang perwira yang berilmu tinggi telah berjaga-jaga di atas genteng. Agaknya pasukan pemerintah itu maklum betapa tangguhnya jago-jago Hwe-liong-pang itu, maka mereka mengerahkan tentara sebanyak itu.

Di dalam rumah penginapan, tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera membuat perhitungan yang cermat. Mereka tahu bahwa di samping kanan dan kiri rumah penginapan itu tentu penjagaannya tidak terlalu kuat, sebab tempat-tempat itu hanya merupakan gang-gang kecil yang tidak memungkinkan untuk dimuati banyak prajurit. Begitu pula di tempat-tempat itu tentu barisan panah tidak akan leluasa bergerak. Tong Wi-siang segera memerintahkan anak buahnya untuk menerjang lewat samping rumah, sedangkan dia sendiri telah menghunus pedang pusaka yang ditemukannya di Bu-san, yaitu Jit-kui-po-kiam (Pedang Pusaka Tujuh Setan).

Begitu pedang yang dahsyat itu terlolos keluar dari sarungnya, seketika itu juga tersebarlah suasana seram yang menggidikkan hati. Pedang itu adalah peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang diketemukan Wi-siang dari atas bukit Yu-kui-hong, merupakan sebatang pedang yang mengandung kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi orang yang memegangnya. Jika pedang itu ada dalam sarungnya, hawa gaib itu tidak terasa, namun begitu dicabut keluar akan mempengaruhi pemegangnya dengan hawa setan yang terpancar daripadanya.

Dengan memegang pedang itu, si pemegang bukan lagi manusia yang berakal jernih, melainkan akan berubah menjadi makhluk ganas yang tidak berperi-kemanusiaan lagi, jika pedang disarungkan kembali maka si pemegang akan pulih kembali kepada kepribadiannya yang semula. Begitu seramnya kesaktian pedang itu, sehingga pengaruhnya tidak luntur meskipun sudah ratusan tahun tidak pernah mengisap darah manusia lagi. Kini Tong Wi-siang telah menarik pedang itu dari sarungnya, menandakan bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi.

Hong-goan Hweshio terkesiap melihat pedang yang dipegang oleh ketuanya itu, dengan agak gugup ia berkata, “Pang-cu, apakah pedang itu tidak sebaiknya disimpan dulu? Sebab... sebab...”

Sikap ramah tamah Tong Wi-siang yang biasanya terlihat itu kini telah lenyap tak bersisa sedikitpun. Sebelum Rahib Hong-goan menyelesaikan kata-katanya, Tong Wi-siang telah membentaknya dengan bengis, “Tutup mulutmu! Kita akan jebolkan kepungan mereka sambil membunuh anjing-anjing Cong-ceng itu sebanyak-banyaknya! Siapa yang tidak tunduk kepada perintahku, biarlah darahnya akan dihirup oleh pedang ini!”

Bibir Rahib Hong-goan sudah bergerak-gerak hendak menyelesaikan kalimatnya, namun Ling Thian-ki yang lebih mengerti gelagat segera menggamit lengan sahabatnya itu dan memberi tanda kedipan mata agar jangan berbicara lagi. Begitulah, dengan dipimpin sendiri oleh Hwe-liong-pang-cu orang-orang Hwe-liong-pang itu mencoba menerjang lewat pintu samping yang tembus ke sebuah lorong kecil.

Di lorong itu memang telah menunggu puluhan orang prajurit, namun hanya dengan beberapa kali ayunan Jit-kui-po-kiam-nya, prajurit-prajurit sial itu langsung berkelojotan mandi darah. Tong Wi-siang kini adalah sesosok hantu haus darah yang tiada taranya, luka dalamnya yang diderita akibat sergapan Tan Goan-ciau itu kini seolah tidak terasa lagi.

Rahib Hong-goan yang diam-diam mengikuti di belakang ketuanya dan melihat pembantaian itu, diam-diam menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dalam hatinya, “Mengerikan sekali pengaruh pedang iblis itu. Semoga pedang itu tidak terlalu sering dicabut keluar dari sarungnya.”

Pasukan kerajaan yang mengepung tempat itu agaknya menyadari bahwa orang-orang yang ingin mereka tangkap itu telah membobol pintu samping. Cio Hong-hoat yang mengetahui hal itu segera berteriak memerintahkan, “Mereka menerjang pintu samping, dan pasti akan melompat ke atas genteng sebab lorong itu buntu! Pemanah yang di atas genteng bersiap!”

Benar juga perhitungan Cio Hong-hoat itu, sebab lorong itu memang buntu. Tentu saja Wi-siang dan anak buahnya tidak ingin terkurung dalam lorong buntu itu, namun lari ke jalan raya adalah tidak mungkin sebab di situ sudah ditunggu oleh pasukan yang sangat kuat. Jalan satu- satunya adalah naik ke genteng, dan berharap bahwa tinggi rendahnya wuwungan rumah yang tidak merata itu akan dapat melindungi mereka dari sambaran panah.

Demikianlah mereka terpaksa berlompatan ke atas genteng. Namun ternyata di atas genteng itu juga sudah menunggu sekelompok prajurit pemanah. Begitu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu menginjakkan kakinya di atas genteng, maka hujan panah pun melanda ke arah mereka. Lu Siong yang gerak-geriknya kurang tangkas itu segera terpanah pundaknya.

Sedangkan Tong Wi-siang benar-benar telah dikuasai oleh hawa iblis pedang yang dipegangnya, entah dari mana datangnya kekuatannya dia telah berhasil menyapu semua anak panah yang tertuju kepadanya, bahkan beberapa batang anak panah telah terlempar balik dan mengenai prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri!

Seorang perwira yang memimpin pengepungan di atas genteng itu segera berteriak, “Itulah pemimpin pengacau yang dipanggil Hwe-liong-pang-cu itu! Tangkap dia lebih dulu supaya anak buahnya menyerah!”

Bicara memang enak, namun pelaksanaannya sungguh sulit. Pada hakekatnya keberanian prajurit-prajurit itu sudah runtuh ketika melihat keperkasaan Hwe-liong-pang-cu itu. Tong Wi-siang tertawa terbahak-bahak dari balik topeng tengkoraknya, suaranya bagaikan iblis meringkik sehingga membuat bulu kuduk para pendengarnya jadi merinding.

Teriak Wi-siang sambil memutar pedangnya, “Benar. Akulah Hwe-liong-pang-cu yang bakal mendepak Cong-ceng sehingga terjungkal dari singgasana kekaisarannya! Anjing-anjing Cong-ceng, hayo cobalah tangkap aku!”

Tubuh Tong Wi-siang bagaikan sesosok bayangan hantu segera berkelebat menerjang kelompok prajurit di atas genteng itu. Kawanan prajurit itu ternyata tidak sanggup menghadapi terjangan sedahysat dan secepat itu, bahkan mereka belum sempat untuk meletakkan busur dan mencabut pedang mereka, darah mereka sudah lebih dulu dihirup oleh Jit-kui-po-kiam yang hebat itu!

Perwira yang memimipn kelompok prajurit di atas genteng itu jadi bergidik ngeri ketika melihat keganasan Ketua Hwe-liong-pang itu. Tanpa malu-malu lagi ia cepat-cepat melompat ke bawah genteng, meskipun jatuhnya ke tanah itu agak konyol namun dia boleh berlega hati karena nyawanya selamat.

Meskipun kawanan prajurit di atas genteng itu sudah menyingkir, namun tidak berarti tokoh-tokoh Hwe-liong- pang itu lalu dapat meloloskan diri dengan mudah. Hujan anak panah terus menerus terhambur ke arah mereka, sedang bala bantuan prajurit kerajaan terus mengalir ke tempat itu dan semakin merapatkan kepungan. Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu hanya dapat bergerak setapak demi setapak karena direpotkan oleh hujan panah yang tak henti-hentinya itu.

Bahkan Li Siong tidak sempat merawat lukanya lagi, sebab tidak ada tempat untuk sembunyi sehingga dia dipaksa terus menerus memutar senjatanya untuk menghalau setiap panah yang tertuju ke tubuhnya. Gerakannya yang memakan banyak tenaga itu telah membuat tubuhnya yang sudah luka itu bertambah lemah, darah terus menerus mengalir dari lukanya, sedang mukanya pun semakin pucat.

Kwa Heng dan lain-lainnya pun berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Lu Siong, namun mereka sendiripun disulitkan oleh hujan panah itu. Bahkan sesaat kemudian Au-yang Siau-pa juga ikut-ikutan terluka, terpanah betisnya sehingga gerakannya menjadi pincang....
Selanjutnya;