Perserikatan Naga Api Jilid 29Karya : Stevanus S.P |
Ting Bun, Cian Ping, Tong Wi-hong dan dua saudara So juga terkejut melihat kecakapan jurus pedang setinggi itu. Dengan kemampuannya yang seperti itu, Tong Hujin jelas bukan beban yang memberatkan anak-anaknya, namun justru merupakan tenaga bantuan yang dapat diandalkan dalam menghadapi kesulitan.
“Jurus yang tidak berarti bukan?” kata Tong Hujin ketika melihat anak gadisnya masih melongo kaget. Wi-lian tersipu sejenak, tapi ia lalu tertawa sambil memeluk ibunya, katanya, “Hebat! Tidak kuduga kemajuan ilmu silat ibu sehebat ini!” Di bagian lain, Hong-tay Hwesio telah memerintahkan kepada beberapa orang murid dan keponakan muridnya untuk menghadapkan keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berhasil ditawan hidup-hidup dengan menggunakan bariasan Lo-han-tin itu. Keempat Tong-cu itu akan dikorek keterangan tentang Hwe-liong-pang. Tak lama kemudian, keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah muncul di ruangan itu dalam keadaan terikat tangannya, digiring oleh murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkumpul di Siong-san itu. Keempat Tong-cu itu masing-masing adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang menjabat Pek-ki-tong-cu, Thi-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian yang memimpin Ci-ki-tong, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang sebagai Ang-ki-tong-cu serta Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) He-hou Im sebagai Hek-ki-tong-cu. Keempat orang itu nampak lesu dan penuh kelelahan, meskipun mata mereka masih memancarkan kemarahan dan permusuhan. Melihat munculnya keempat tawanan itu, Hong-tay Hwesio segera memerintahkan kepada murid-muridnya, “Lepaskan ikatan mereka dan ambilkan tempat duduk untuk mereka!” Ketika keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah duduk di kursinya masing-masing, dengan muka yang cerah dan sama sekali tidak mengandung permusuhan, Hong-tay mulai berkata, “Si-wi-eng-hiong (tuan pendekar berempat), seperti kalian lihat sendiri bahwa saat ini Hwe-liong-pang sudah mendekati saat kehancurannya. Itu adalah hukum alam. Siapa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang hukum alam, sama dengan mempercepat kehancurannya sendiri. Besok pagi-pagi benar, kami semua akan meninggalkan gunung ini secara serempak, dan mulai melakukan pengejaran besar-besaran kepada teman-teman kalian yang masih berhasil lolos dari pertempuran tadi. Seluruh kekuatan dunia persilatan dari kaum lurus akan dikerahkan untuk pekerjaan ini, sehingga hasilnya pun tidak diragukan lagi.” Keempat orang Tong-cu itu mendengarkan perkataan Hong-tay Hwesio itu tanpa menyahut sepatah katapun, namun mimik muka mereka menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Tong King-bun nampak acuh tak acuh, kepada nasibnya sendiri pun dia sudah tidak peduli lagi, apalagi terhadap orang lain. He-hou Im nampak dingin, namun diam-diam dalam hatinya menyimpan harapan agar diampuni dan dibebaskan. Song Hian menggertak gigi dengan geram. Ko Ce-yang menatap penuh kebencian kepada Hong-tay Hwesio, namun ketika rahib tua itu balas menatapnya, maka terpaksa Ko Ce-yang membuang muka karena tidak tahan menantang tatapan rahib tua itu. Dengan suara yang tetap sesabar semula, Hong-tay Hwesio berkata lagi, “Lambat atau cepat, kami akan menemukan tempat persembunyian mereka dan kemudian menumpas pentolan-pentolannya. Sedang terhadap anggota-anggota biasa yang bertindak hanya karena menjalankan perintah, kami akan mempertimbangkan keinsyafan mereka, sebab kami bukannya orang-orang yang haus darah dan selalu ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Begitu pula kepada Su-wi-eng-hiong kami tawarkan kesempatan untuk berbuat kebajikan kepada dunia persilatan, yaitu dengan cara menunjukkan tempat mereka.” Kecuali Ko Ce-yang yang keras kepala, maka ketiga orang Tong-cu lainnya sudah menunjukkan sikap berminat kepada tawaran Hong-tay Hwesio itu. Perbedaan sikap itu dapat dimengerti. Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian memang bukan anggota lama Hwe-liong-pang, mereka baru beberapa hari saja menjadi anggota Hwe-liong-pang, karena ditarik oleh Te-liong Hiang-cu dan diberi janji yang muluk-muluk. Karena itu kesetiaan mereka kepada Hwe-liong-pang boleh dikata tidak ada sama sekali. Mereka akan ikut mencicipi jika Hwe-liong-pang kelak mengalami kejayaan, tapi jika Hwe-liong-pang di pinggir jurang kehancuran, mereka lebih suka menyelamatkan dirinya sendiri. Sedangkan Ko Ce-yang memang anggota lama Hwe-liong-pang yang sudah bertahun-tahun dibina oleh Te-liong Hiang-cu, seluruh pikiran dan perasaannya sudah dipenuhi oleh nafsu berkuasa yang dikobarkan karena mendengar janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, tidak ada pertimbangan lain lagi. Apalagi otaknya memang agak bebal, maka ia bertekad setia kepada Te-liong Hiang-cu secara membabi buta. Hong-tay Hwesio mengamati perubahan wajah keempat orang tawanannya itu dengan cermat, ucapnya lagi, “Bagi kami yang belum tahu tempat persembunyian Hwe-liong-pang tentu agak sulit menemukan tempat itu. Tapi kalian dapat mempercepat tugas kami dengan jalan membantu kami.” Mata He-hou Im berputar-putar, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apa imbalan buat kami?” “Kalian berempat akan kami bebaskan kembali, meskipun dengan syarat agar kalian tidak membuat kekacauan lagi.” “Hanya itu saja imbalannya?” He-hou Im mencoba “menawar”. Thian-goan Hweshio yang duduk di sebelah Hong-tay Hwesio itu menjadi naik darah melihat sikap He-hou Im itu. Bentaknya, “Tutup mulutmu! Kepala kalian masih utuh karena kami biarkan bertengger terus di leher kalian itu saja sudah suatu keuntungan bagi kalian, kalian masih mau menuntut apa lagi?” Seri tawa He-hou Im lenyap seketika bagaikan awan dihembus angin. Dia berjulukan Sat-sin-kui atau Setan Ganas, menandakan tindak-tanduknya yang kejam sekali, namun ketika berhadapan dengan Thian-goan Hweshio yang bermata mencorong seperti mata harimau itu, maka rontoklah nyali Sat-sin-kui tanpa tersisa sedikitpun. Buru-buru ia menundukkan kepalanya dengan mulut bungkam. Yang berani membalas membentak justru adalah Ko Ce-yang, “Persetan dengan usul kalian yang bau kentut itu, keledai gundul! Aku lebih suka mampus daripada berkhianat kepada Te-liong Hiang-cu dan cita-citanya!” “Benar-benar lelaki sejati!” seru Kiau Bun-han dengan suara tidak kalah garangnya. “Kalau ingin mampus sekarang, apa gunanya? Sekarang juga aku sanggup memampuskan kau!” Suasana segera menjadi agak ribut. Ko Ce-yang adalah seorang yang nekad dan tidak kenal gelagat, sebaliknya Kiau Bun-han pun berwatak keras dan berdarah panas, maka kedua orang itu telah bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan siap untuk berbaku hantam. Namun Hong-tay Hwesio cepat berkata kepada Ketua Hoa-san-pay yang pemarah itu, “Kiau Ciang-bun-jin, aku harap kau tidak menuruti saja hati panasmu itu sehingga akan membuat terbengkalainya urusan yang lebih penting.” Dengan muka yang masih merah, akhirnya Kiau Bun-han meletakkan kembali pantatnya ke atas kursinya. Namun matanya masih berapi-api melotot ke arah Ko Ce-yang. Hong-tay Hwesio segera memerintahkan murid-muridnya untuk mengurung kembali Ko Ce-yang, karena orang itu agaknya tidak bisa diajak bicara lagi, dan kehadirannya malah akan mengganggu rekan-rekannya dalam mengambil keputusan. Ketika dua orang hweshio muda hendak meringkusnya kembali, Ko Ce-yang meronta-ronta hebat dan memaki-maki dengan kata-kata yang kotor, sehingga kedua rahib muda itu menjadi agak kewalahan. Terpaksa Hong-tay Hwesio turun tangan. Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dari jarak belasan langkah, Hong-tay Hwesio menudingkan jarinya dan melancarkan ilmu totokan Kim-kong-ci (Jari Malaikat) yang terkenal itu. Orang-orang di tempat itu hanya melihat ada sejalur warna putih melesat dari ujung jari rahib tua dan “mendarat” di pinggang Ko Ce-yang, seketika itu juga Tong-cu yang bandel itu terkulai lemas. Gumam kekaguman terdengar di ruang itu. Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian pun merasa kagum dan gentar ketika melihat kepandaian rahib tua itu, lunturlah semangat mereka itu untuk membangkang lagi. Bagi orang-orang semacam mereka bertiga ini, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan diri sendiri. Maka begitu melihat kepandaian Hong-tay Hwesio, mereka sadar bahwa cita-cita muluk yang dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu itu sudah kandas di tengah jalan, Hwe- liong-pang sudah tidak bisa diandalkan lagi. Ketika Hong-tay Hwesio sekali lagi menanyakan tempat persembunyian Te-liong Hiang-cu, maka Song Hian menjawab sejujurnya, “Taysu (Bapak Pendeta), tentang tempat persembunyiannya yang pasti, kami tidak tahu, sebab kami menjadi anggota Hwe-liong-pang baru beberapa hari saja. Namun kami pernah bercakap-cakap dengan beberapa anggota lama seperti Ko Ce-yang atau Mo Hui, mereka sering menyebut tentang puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Kami tidak tahu apakah tempat itu merupakan tempat persembunyian mereka yang sesungguhnya atau bukan, tapi hanya itulah yang bisa kami katakan.” Kongsun Tiau membantingkan kakinya ke lantai dan berteriak, “Hanya keterangan seremeh itu yang dapat kalian katakan, apakah itu setimpal dengan kebebasan yang akan kalian peroleh?” Song Hian saling bertukar pandangan dengan kedua orang temannya, lalu katanya sambil menarik napas, “Apa boleh buat... Kami adalah tawanan kalian, mau kalian bunuh atau kalian siksa pun kami tetap tidak bisa melawan lagi, buat apa kami membohongi kalian? Coba kalian pikir, kami baru belasan hari menjadi anggota Hwe-liong-pang, masakah Te-liong Hiang-cu bisa langsung mempercayai kami dan memberitahukan semua rahasia-rahasia perkumpulannya? Bukankah itu tidak masuk akal?” Tong King-bun dan He-hou Im segera membenarkan ucapan rekannya itu. “Lagipula, buat apa kami menyembunyikan rahasia tempat mereka, sedang saat ini kami sudah tidak ada hubungan kepentingan lagi dengan mereka?” kata Tong King-bun memperkuat pendapat temannya. Kongsun Tiau dan ketua-ketua perguruan lainnya serempak memandang ke arah Hong-tay Hwesio untuk meminta pendapat rahib tua itu. Dengan ketajaman mata batinnya, Hong-tay Hwesio tahu bahwa Song Hian dan kawan-kawannya itu tidak mungkin berbohong lagi dalam keadaan semacam itu. Kata Hong-tay dengan sabar, “Aku percaya ucapan kalian bertiga. Baiklah, saudara-saudara pendekar, kita akan mulai bergerak besok pagi ke arah Gunung Bu-san di Su-coan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa arah perjalanan kita akan berubah di tengah jalan. Tidak mustahil bahwa Te-liong Hiang-cu telah menebak tindakan kita ini, lalu dia mencari tempat persembunyian yang lain. Kita akan berangkat secara terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, namun setiap kelompok hendaknya saling berhubungan dan saling memberi kabar tentang keadaannya masing-masing, dengan melewati saudara-saudara anggota-anggota Kay-pang yang akan bertindak sebagai penghubung dan penyampai berita. Gerakan besar ini tidak boleh kacau.” Lalu Rahib Hong-tay berkata kepada ketiga orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu, “Kalian bertiga akan termasuk dalam kelompok kecilku.” Begitu mendengar itu, wajah ketiga orang Tong-cu itu seketika pucat karena terkejutnya. Dengan tergagap-gagap Tong King-bun berkata, “Tetapi... tetapi... apakah kami sanggup melawan Te-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti... seperti iblis itu? Kami... kami...” Rahib Hong-tay cepat memotong ucapan Tong King-bun itu, “Tepat sekali, kalian harus ikut bertempur melawan bekas rekan-rekan kalian itu. Selama ini telah cukup banyak perbuatan kalian yang merugikan orang lain, sekarang cobalah gunakan tenaga kalian untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan orang banyak, dengan jalan ikut menumpas Hwe-liong-pang. Lagipula kalian tidak perlu begitu takutnya kepada Te-liong Hiang-cu, sebab dia bukannya seorang yang tidak terkalahkan sama sekali. Bicara terus terang saja, dari pihak Siau-lim-pay kami saja ada beberapa orang yang akan sanggup bertempur mengimbangi iblis itu. Belum terhitung dari perguruan-perguruan lain.” Ketiga orang Tong-cu itu tidak membantah lagi, namun wajah mereka masih menampakkan kebimbangan dan kengerian jika harus melawan iblis bertopeng yang pernah menjadi pemimpin mereka itu. Hong-tay Hwesio memahami perasaan mereka, maka ia berkata lagi, “Tentu saja kami akan bertindak adil dengan jalan tidak akan menyuruh kalian untuk menghadapi lawan yang tidak seimbang. Tetapi kalian harus ikut dan harus menjadi penunjuk jalan kami, itu mutlak tidak bisa ditawar lagi.” Ketiga orang Tong-cu itu akhirnya cuma bisa menarik napas panjang dan menyesali nasib mereka yang kurang baik. Betapapun enggannya mereka, namun keputusan sudah dijatuhkan, dan mereka akan melakukan pekerjaan yang paling tidak enak, yaitu memburu bekas kawan-kawan mereka sendiri. Kepada murid-muridnya, Hong-tay Hwesio memerintahkan, “Bawalah ketiga Tong-cu ini ke ruang istirahat mereka, dan layanilah mereka baik-baik.” Tentu saja yang dimaksudkan dengan “ruang istirahat” adalah tempat tahanan mereka. Begitu mereka tiba di tempat penahanan mereka dan membuka pintu, mereka hampir menjerit serempak karena terkejutnya. Bahkan empat orang rahib muda Siau-lim-si yang mengawal mereka pun ikut terkejut. Ko Ce-yang, yang tadi telah dipulangkan ke rumah tahanan ini lebih dulu, ternyata kini telah tergantung kaku di atas belandar ruangan itu. Dia telah menggunakan ikat pinggangnya sendiri untuk menjerat lehernya, matanya melotot lebar dan lidahnya terjulur keluar, sedang di bawah kakinya ada sebuah kursi yang sudah roboh. Tubuhnya masih belum begitu kaku ketika diraba oleh salah seorang rahib, namun jelas bahwa nyawanya sudah tidak di dalam tubuhnya lagi. “Omitohud,” desis rahib-rahib muda itu sambil merangkapkan tangan mereka. “Kehidupan masih begitu panjang dan membutuhkan amal bakti, kenapa berpikiran sependek ini?” Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian juga tidak menduga bahwa rekan mereka itu akan menjadi senekad itu mengakhiri hidupnya. Terdengar Song Hian menggerutu perlahan, “Dasar goblok. Te-liong Hiang-cu sendiri tidak menggubris mati hidup anak buahnya, sebaliknya dia begitu mati-matian setia kepada Te-liong Hiang-cu. Hemm, benar-benar mati penasaran.” Sedang He-hou Im telah berkata kepada rahib yang mengawalnya, “Aku keberatan jika malam ini aku ditempatkan di ruang celaka ini.” Mendengar ucapan He-hou Im itu, Tong King-bun lalu bergurau, “He, kau adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), kenapa malah takut kepada Tiau-si-kui (Setan Orang Menggantung Diri)?” “Sat-sin-kui adalah setan berderajat tinggi, tidak sudi tidur satu ruangan dengan setan berderajat rendah macam Tiau-si-kui ini.” “Begitu pula aku Say-ya-jat (Si Hantu Malam) juga tidak sudi berkumpul dengan setan penggantungan macam ini, kita pindah kamar saja,” kata Tong King-bun. Dalam keadaan tertawan oleh musuh, ternyata para Tong-cu itu sempat juga bersenda-gurau untuk mengeluarkan kepepatan hati mereka. Keempat orang hweshio muda yang mengawal mereka pun ikut tersenyum, namun sekaligus terbuktilah bahwa kesetiakawanan di antara para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tipis sekali. Bagaimanapun renggangnya hubungan mereka dengan Ko Ce-yang, toh mereka pernah seperjuangan, namun sekarang mereka tidak nampak sedih sedikitpun ketika melihat kematian Ko Ce-yang, bahkan kematian rekan mereka itu dijadikannya bahan senda gurau...! |
Selanjutnya;
|