Perserikatan Naga Api Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 29

Karya : Stevanus S.P
YANG membuat Cian Ping merasa ngeri berhadapan dengan Liong Pek-ji adalah selain gerakannya yang sangat cepat, juga napas lawan yang memancarkan bau busuk luar biasa, seperti umumnya bau binatang-binatang buas pemakan daging mentah! Dan celakanya Liong Pek-ji terus mendesaknya dalam jarak dekat, sehingga Cian Ping benar-benar merasa kepalanya pusing dan perutnya mual luar biasa. Totokan musuh ke arah bahunya masih bisa dihindari, namun totokan ke pinggangnya tidak terhindar lagi, maka Cian Ping pun terhuyung hampir roboh.

“Ha-ha-ha, tibalah saatnya kau membayar hutang bapakmu dengan darahmu yang segar itu!” teriak Liong Pek-ji penuh kegirangan. Matanya semakin merah dan rangsekannya pun semakin hebat.

Namun di saat Cian Ping dalam bahaya itu, muncullah Ting Bun untuk membantunya. Ternyata Ting Bun telah berhasil menyelesaikan tiga orang anggota Hwe-liong-pang yang tadi menjadi lawannya, seorang dibikinnya luka parah dan dua orang lainnya dikirimnya ke neraka. Melihat Cian Ping terdesak, maka Ting Bun langsung turun tangan untuk membantu.

Ilmu silat Ting Bun masih setingkat di bawah Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, namun sudah cukup tangguh dan hampir menyamai rata-rata kemampuan para Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Begitu sambaran goloknya menyerang dengan Tay-peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap), maka mau tidak mau Liong Pek-ji harus membagi perhatiannya. Apalagi Ting Bun sebagai bekas seorang perwira prajurit yang bernyali besar, sama sekali tidak tergentar nyalinya oleh penampilan Liong Pek-ji yang mirip siluman itu.

Sementara Ting Bun menahan Liong Pek-ji, maka Cian Ping berkesempatan untuk menenangkan debaran hatinya dan mengumpulkan semangatnya kembali. Setelah itu, dengan hati yang lebih mantap dia lalu bertempur bahu membahu dengan Ting Bun untuk menghadapi setengah manusia setengah siluman itu. Dengan gabungan kedua orang itu, barulah tandang Liong Pek-ji yang ganas itu dapat agak dibatasi.

Manusia siluman yang pernah menggemparkan wilayah Ou-lam itu memang seorang yang luar biasa. Hasil latihan anehnya yang dijalankan dalam peti mati itu ternyata tidak sia-sia. Gerakannya ringan dan cepat dalam mengitari lawannya, ia memang menciptakan jurus-jurus anehnya itu berdasarkan gerak-gerik seekor kelelawar. Yang dapat digunakan untuk melukai lawannya ternyata bukan cuma belati-belati pendek yang tergenggam di kedua tangannya itu, tetapi juga ujung-ujung mantelnya yang berkibar-kibar dan bisa digunakan untuk menyabet seperti sayap kelelawar itu!

Ting Bun menyadari akan kelihaian lawannya itu, tapi tanpa gentar sedikitpun ia melayaninya dengan ulet dan gagah berani. Goloknya dimainkan secara rapat dengan menggunakan ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu). Ting Bun benar-benar bertempur seperkasa batu karang, sedang tangan kirinya pun tidak tinggal diam, sebab berkali-kali ikut menyerang dengan pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) atau cengkeraman Ing-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang).

Di samping Ting Bun masih ada Cian Ping yang bertarung dengan lincah dan cepat. Dengan kerjasama antara Ting Bun dan Cian Ping untuk membendung Liong Pek-ji ini, maka si kelelawar hantu itu kini tidak bisa lagi berkeliaran ke sana ke mari dengan sesuka hati sambil menyebar maut.

Secara keseluruhan, dalam pertempuran besar-besaran di lereng Siong-san itu, nampaknya kaum pendekar memang nampak agak terdesak. Tetapi sebenarnya itu adalah siasat Rahib Hong-tay, semakin kaum pendekar terdesak ke atas bukit, semakin ketatlah pertahanannya. Dan pada batas tertentu, kaum pendekar benar-benar berhasil membuat suatu garis bertahan yang benar-benar ketat, sehingga pihak Hwe-liong-pang tidak dapat lagi mendesaknya, meskipun hanya selangkah.

Di bagian-bagian tertentu, nampak betapa tangguhnya para Tong-cu dari Hwe-liong-pang, sehingga kadang-kadang setiap Tong-cu harus dilayani oleh sedikitnya dua orang pendekar. Namun di bagian lainnya, nampaklah bahwa Hwe-liong-pang membutuhkan gabungan tenaga dua orang Tong-cu hanya untuk membendung amukan seorang rahib muda Siau-lim-si.

Rahib muda yang dimaksudkan itu adalah Bu-sian Hweshio, murid dari Rahib Hong-tay, yang memainkan toya kiu-hoan-kun (Toya Sembilan Gelang) sekencang baling-baling yang terhembus angin badai. Kedua orang lawan Bu-sian Hweshio adalah Thio Hong-bwe yang berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan Mo Hui yang berjuluk Hong-long-cu (Serigala Gila).

Kedua orang Tong-cu itu memegang senjata yang hampir serupa. Thio Hong-bwe bersenjatakan sebuah lembing yang dilengkapi dengan kaitan untuk mengait senjata atau tangan lawannya, sedangkan Mo Hui juga bersenjata lembing yang ujungnya bergerigi seperti taring serigala.

Thio Hong-bwe mempunyai gaya serangan yang cepat dan keras, dia sama sekali tidak segan-segan membentur serangan lawannya secara keras lawan keras, dan dengan kaitannya itu dia selalu mencoba untuk mengait dan merampas senjata lawannya. Biasanya, dengan gaya bertarung semacam ini Thio Hong-bwe selalu bisa mengalahkan lawan-lawannya.

Tetapi setelah kini ia bertemu dengan lawan semacam Bu-sian Hweshio, maka ia ibaratnya membentur tembok besi. Bukan saja Bu-sian Hweshio itu lebih kuat tenaganya, tapi gerakannya pun lebih cepat. Kaitan di ujung lembing Thio Hong-bwe itupun mati kutunya, sebab beberapa kali Thio Hong-bwe berhasil mengait tongkat lawannya dan menariknya untuk merampasnya, namun selalu gagal, rasanya seperti mengait dan hendak merobohkan bukit cadas!

Sedangkan cara bertempur Mo Hui sedikit lebih cerdik dari rekannya yang hanya mengandalkan kekuatan itu. Dengan lembing bergeriginya dia jarang sekali membentur toya kiu-hoan-kun hweshio lawannya, tapi lebih suka berlincahan sambil mengintai kelemahan lawannya. Cara berkelahinya memang benar-benar mirip seekor serigala, cepat liar serta ganas. Sayang sekali, dengan cara bertempur semacam itupun ia tetap belum bisa mendobrak pertahanan toya kiu-hoan-kun yang berputar kencang itu.

Demikianlah pertempuran antara Bu-sian Hweshio melawan dua orang Tong-cu dari Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong itu. Rahib muda itu sudah belasan tahun terikat di kuil Siau-lim-si, kesibukannya setiap hari hanyalah memperdalam ilmu agama dan ilmu silat, maka dia merupakan lawan yang terlalu tangguh bagi kedua lawannya. Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun kekayaan gerak tipu, dia masih mengungguli kedua Tong-cu dari kelompok-kelompok bendera Hijau dan Coklat itu.

Dalam pada itu nampaklah Tong Wi-hong bersama-sama dengan dua saudara So itu masih saja belum mendapatkan lawan yang setimpal. Mereka memang telah beberapa kali berganti lawan, namun setiap kali mereka berhasil menyingkirkan lawan mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus. Kini Wi-hong dengan kedua jago Tiong-gi Piau-hang nya itu hanya “berjalan-jalan” ke sana ke mari sambil berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.

Apa yang dialami oleh Tong Wi-hong dan kedua jagonya itu, ternyata dialami pula oleh beberapa orang pendekar. Mereka tidak menemui lawan yang setimpal, melainkan hanya menjumpai keroco-keroco Hwe-liong-pang yang mencoba menghadang mereka. Tentu saja mereka agak malu kalau harus menghadapi kaum keroco itu, namun dengan mengingat bahwa pertempuran itu membutuhkan penyelesaian yang secepat-cepatnya maka terpaksa kaum keroco itupun mereka babat.

Ternyata bahwa di pihak Hwe-liong-pang hanya menang dalam jumlah orangnya, namun dalam hal kekuatan masing-masing orang, pihak Hwe-liong-pang kalah jauh. Pihak Hwe-liong-pang jago-jagonya paling-paling hanya Sebun Say, Tang Kiau-po, delapan orang Tong-cu, serta beberapa jago pelarian dari perguruan lain seperti Ho Teng-siong. Sebaliknya di pihak kaum pendekar memiliki jago-jago tangguh yang banyak sekali. Misalnya saja rahib-rahib Siau-lim-pay yang bernama depan “Hong” atau “Bu” sudah merupakan jago-jago tangguh yang sulit dicarikan lawannya di kalangan Hwe-liong-pang.

Selain itu masih ada ketua-ketua perguruan seperti Kongsun Tiau, Kiau Bun-han, Thi-sim Tojin atau pendekar-pendekar perorangan yang kepandaiannya setingkat dengan mereka, ditambah lagi dengan jago-jago muda berbagai perguruan yang bertempur dengan penuh semangat. Mereka yang tidak mendapat lawan setimpal ini ternyata tidak menganggur saja, melainkan bergerak kian kemari bagaikan pisau-pisau tajam yang merobek-robek barisan pertahanan Hwe-liong-pang.

Matahari naik semakin tinggi, panasnya yang terasa semakin menyengat kulit itupun ternyata juga ikut membantu semakin mendidihkan darah orang-orang yang bertempur di lereng Siong-san itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa serta tubuh-tubuh luka terkapar di mana-mana, namun jumlah yang tewas atau yang luka terus saja bertambah banyak.

Di mana-mana yang terdengar hanyalah suara senjata yang berdenting-denting saling beradu, bercampur baur dengan teriakan-teriakan penuh dendam kebencian serta rintihan dari orang-orang yang terluka dan mengharapkan pertolongan, namun tak seorang pun menolongnya sebab semuanya sibuk menyabung nyawa.

Dalam suasana yang sekeras dan sebuas itu, seorang rahib atau imam tidak ada perbedaannya lagi dengan orang biasa. Merekapun membunuh dan terbunuh. Tidak sedikit rahib-rahib muda usia dari Siau-lim-pay yang baru kali ini terjun dalam pertempuran yang sesungguhnya, biasanya hanya dalam latihan, sehingga di medan ganas itu. Mereka muak melihat tubuh-tubuh berlumuran darah tercecer di mana-mana. Tetapi ketika nyawa mereka terancam oleh senjata lawan, maka mereka pun dipaksa untuk menggerakkan senjatanya untuk mempertahankan diri.

Dalam awal pertempuran tadi, nampaknya pihak Hwe-liong- pang berhasil mendesak kaum pendekar untuk mundur ke atas bukit. Tetapi sebelum sampai tengah hari, giliran kaum pendekarlah yang berhasil memukul serbuan Hwe-liong-pang sampai terdesak kembali ke bahwa bukit. Kemampuan pribadi yang lebih unggul dari kaum pendekar, telah membuat jumlah orang-orang Hwe-liong-pang berkurang banyak dengan cepatnya.

Delapan orang Tong-cu yang biasanya merasa bahwa kepandaian mereka sudah cukup hebat untuk malang-melintang di dunia persilatan, kini telah dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa banyak orang yang lebih lihai dari mereka. Lam-ki-tong-cu Seng Cu-bok ternyata tidak berhasil mengungguli Wi-lian, bagaimanapun dia berusaha, dan bahkan dirinyalah yang mulai terdesak oleh gadis murid Hong-tay Hwesio itu. Goloknya berkelebat-kelebat mengerikan, namun dengan kelincahan dan ketangkasannya Wi-lian tidak pernah dapat disentuh oleh golok itu, bahkan membalasnya dengan tendangan-tendangan yang dapat mematahkan tulang.

Tidak jauh dari Seng Cu-bok, Liong Pek-ji juga nampak mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kepungan Ting Bun dan Cian Ping. Meskipun demikian, Ting Bun dan Cian Ping juga harus memeras keringat pula karena lawannya yang berbahaya itu.

Empat orang Tong-cu lainnya, masing-masing Say-ya-jat Tong King-bun, Thi-pwe-siang Song Hian, Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang serta Sat-sin-kui He-hou Im, entah bagaimana asal mulanya ternyata telah terjeblos bersama-sama ke dalam kepungan barisan Lo-han-tin yang dibentuk oleh delapan belas rahib muda. Sambil berteriak-teriak dengan marahnya ke empat orang Tong-cu itu mengamuk dan berusaha membobol kepungan Lo-han-tin itu, tetapi kerjasama delapan belas orang rahib muda itu begitu ketat dan rapinya, sehingga bukan saja keempat Tong-cu itu tidak berhasil lolos bahkan tenaganya semakin terkuras habis.

Keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan Hwe-liong-pang itu tidak lepas dari pengamatan para tokoh-tokohnya. Te-liong Hiang-cu yang sedang bertarung seru dengan Hong-tay Hwesio itu, kini mulai nampak gugup. Dalam hatinya Te-liong Hiang-cu memaki anak buahnya sendiri, “Sungguh celaka, ternyata kawanan kantong nasi ini hanya pintar membual di depanku saja, namun ternyata yang mereka gembar-gemborkan itu tidak terbukti sekarang. Kenapa aku pun begitu bodoh untuk mempercayai ajakan mereka untuk menyerbu kemari?”

Di antara jago-jago Hwe-liong-pang yang telah menemui lawannya masing-masing itu, boleh dibilang hanya Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang keadaannya paling mendingan. Bahkan si raja ular dari Thay-san itu setapak demi setapak bisa mendesak Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio. Namun untuk mengalahkan rahib angin-anginan itu, agaknya Tang Kiau-po akan memerlukan ribuan jurus dan tidak mungkin dalam waktu yang singkat.

Sedangkan keadaan Sebun Say jauh lebih buruk dari keadaan rekannya itu. Dia dipaksa terpontang-panting dalam menyelamatkan diri dari cecaran kipas besi Liu Tay-liong yang selalu bergerak-gerak mengincar urat-urat darah penting di tubuhnya. Senjata sabit beracunnya yang menakutkan itu sudah tidak di tangannya lagi, terbang entah ke mana, sedang jubahnya pun sudah robek-robek di sana sini karena tersambar kipas Liu Tay-liong.

Melihat keadaan anak buahnya yang semacam itu, betapapun sombongnya Te-liong Hiang-cu namun ia harus mengakui kenyataan bahwa serbuannya kali ini telah gagal. Jika ia tetap berkeras kepala untuk melanjutkan pertempuran, maka pihaknya sendirilah yang akan tertumpas habis sebelum matahari terbenam nanti. Tentu saja ia tidak rela apabila kekuatan yang dikumpulkannya selama ini akan tercerai-berai begitu saja, tapi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya hanyalah dengan menariknya mundur.

Maka dengan berat hati, Te-liong Hiang-cu meneriakkan perintahnya, “Mundur!”

Perintah untuk mundur itu diperintahkan secara berantai, sehingga seluruh anggota Hwe-liong-pang yang berkelahi di bagian manapun akan dapat mendengar perintah Ketua mereka itu. Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah bingung dan takut menghadapi kaum pendekar yang rata-rata berkepandaian tinggi itu, maka perintah untuk mundur itu merupakan suatu kebetulan bagi mereka. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, mereka turun berbondong-bondong ke bawah bukit bagaikan air laut yang surut.

Karena mereka bukan merupakan pasukan yang terlatih baik, maka cara mereka mengundurkan diri pun mirip dengan cara orang-orang di pasar yang dilanda kebakaran. Berlari-larian tak teratur dan kadang-kadang saling bertubrukan antara teman-teman sendiri, bahkan kawan-kawan mereka yang terluka atau jatuh itu mereka injak begitu saja dalam usahanya untuk menyelamatkan diri sendiri.

Sebun Say juga berusaha untuk bisa melepaskan diri dari tekanan Liu Tay-liong agar bisa bergerak mundur bersama rombongannya. Tetapi Liu Tay-liong agaknya tidak ingin melepaskan lawan kerdilnya itu. Dia sadar, bahwa melepaskan Sebun Say akan sama halnya dengan melepaskan macan pulang kegunungnya, bukannya akan menginsyafi kesalahannya tapi malahan akan bertambah kejam dan menjadi bencana bagi umat manusia.

Karena itu Liu Tay-liong sudah bertekad untuk menghabisi iblis cebol dari Jing-hay yang terkenal akan kekejamannya itu. Kipas besinya itu digerakkan semakin gencar dan cepat, sampai akhirnya seluruh tubuh Sebun Say bagaikan telah terkurung oleh bayangan kipas besi lawannya itu, jalan untuk meloloskan diri sudah tidak ada sama sekali!

Sebun Say menjadi mata gelap. Sebagai usaha terakhir untuk mempertahankan hidupnya, maka sambil menggertakkan gigi dia lalu melancarkan sebuah jurus yang disebutnya Wan-hun-pat-sik (Delapan Jurus Arwah Gentayangan). Jika tadinya dia sudah kempas-kempis, maka kini Sebun Say bangkit kembali semangat tempurnya. Sepasang lengannya yang pendek-pendek itu beruntun melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke depan dan menimbulkan gulungan kekuatan tak berwujud yang kedahsyatannya bagaikan gunung runtuh.

Dalam keadaan biasa, tentu Liu Tay-liong akan lebih suka menghindari jurus yang nekad itu. Tetapi saat itu Liu Tay-liong sudah bertekad bulat untuk menamatkan riwayat pengacau masyarakat ini, tidak peduli bagaimanapun pengorbanannya yang harus dibayarnya. Liu Tay-liong tahu maksud Sebun Say, bahwa begitu ia mundur dari rangsekan itu, maka Sebun Say tentu akan melompat keluar gelanggang dan melarikan diri.

Karena itu Liu Tay-liong tidak sudi mundur setapakpun. Ia justru mendesak maju untuk menyongsong serangan nekad Sebun Say itu, kipas besinya telah dirapatkan dan digerakkan dengan jurus Hau-bwe-tau-lui (Putik Bunga Bwe Memuntahkan Diri) yang disertai dengan pengerahan seluruh kekuatan lahir batinnya.

Sebun Say tidak menyangka kalau Liu Tay-liong yang selalu tertawa-tawa dan senang bergurau itu ternyata berani juga melakukan gerakan adu jiwa senekad itu. Ia kaget bukan kepalang, tetapi semuanya segera berlangsung tanpa dapat ditarik kembali. Terdengar jeritan melengking kesakitan yang hampir bersamaan dengan sebuah keluhan berat. Yang melengking kesakitan itu adalah Sebun Say, dan itu adalah jeritan terakhirnya, sebab kipas besi Liu Tay-liong berhasil langsung menembus ulu hatinya sampai tembus ke punggungnya.

Sedang suara keluhan berat itu berasal dari mulut Liu Tay-liong yang terbanting jatuh sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Rupanya ada juga pukulan beruntun Sebun Say itu yang sempat mendarat telak di dadanya, kemudian pendekar she Liu itu terbaring di tanah dengan muka yang pucat dan tubuh tidak bergerak-gerak lagi.

Hong-koan Hwesio yang berkelahi tidak jauh dari tempat itu, kaget bukan main ketika melihat sahabat karibnya roboh terkapar seperti itu. Perhatiannya kepada lawannya menjadi bercabang, dan itu memberi kesempatan kepada Tang Kiau-po untuk mendaratkan sebuah sapuan tongkat besinya yang telak ke paha Hong-koan Hwesio. Tak ampun lagi rahib angin-anginan itupun roboh dengan tulang paha yang retak berat!

Sebenarnya Tang Kiau-po masih ingin menghadiahkan sebuah pukulan lagi ke batok kepala lawan yang dibencinya itu, tapi karena melihat Hong-koan Hwesio telah dilindungi oleh beberapa murid Siau-lim-pay, maka Tang Kiau-po lalu membatalkan niatnya dan bergerak mundur bersama rombongan Hwe-liong-pang. Toh keberhasilannya untuk mengungguli Hong-koan Hwesio pada hari itu sudah cukup untuk mengangkat pamornya.

Di sebelah lain, Hong-tay Hwesio sebenarnya juga bertekad tidak akan melepaskan Te-liong Hiang-cu yang dapat menjadi bibit malapetaka di kemudian hari itu, tapi ternyata pemimpin Hwe-liong-pang itu berhasil juga melarikan diri setelah menggunakan ilmu hitamnya yang bernama Thian-ko-kay-teh-kang, yaitu ilmu untuk meningkatkan tenaga secara mendadak dengan jalan menggigit lidahnya sendiri.

Dengan cepat barisan Hwe-liong-pang itu telah mencapai kaki bukit Siong-san, jumlah mereka nampak sudah jauh susut dengan jumlah ketika menyerbu naik, hampir separonya telah gugur atau tertawan oleh kaum pendekar. Dengan buru-buru, orang-orang Hwe-liong-pang itu berlompatan ke punggung kuda-kuda mereka, lalu berpacu meninggalkan Siong-san secepat-cepatnya.

Kerugian yang diderita oleh Hwe-liong-pang kali itu memang tidak kecil. Selain kehilangan hampir separoh dari anak buah mereka, mereka pun kehilangan beberapa tokoh penting dan jago mereka. Sebun Say tewas ditembus kipas besi Liu Tay-liong, begitu pula Hong-long-cu Mo Hui tewas pula diremuk oleh toya Kiu-hoan-kun Bu-sian Hweshio. Sedangkan Thio Hong-bwe beruntung bisa lolos dari amukan rahib muda itu, biarpun dengan membawa luka- uka parah yang mengenaskan.

Empat orang Tong-cu yang tadi terkurung oleh barisan Lo-han-tin, ternyata tidak seorang pun yang berhasil lolos, semuanya tertangkap hidup-hidup. Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji bisa lolos, namun dengan kekecewaaan yang sangat mendalam di hatinya karena menemui kenyataan bahwa ketinggian ilmunya ternyata tidak seperti yang dibayangkannya selama ini. Hwe-tan Seng Cu-bok juga lolos, namun seluruh gigi depannya telah habis dipreteli oleh Wi-lian dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan geledeknya. Kini jika ia membuka mulutnya, maka yang kelihatan cuma sederetan gusi merah tanpa gigi sebuahpun, sedang bicara pun menjadi tidak jelas.

Hampir meledak rasanya dada Te-liong Hiang-cu, ketika melihat anak buahnya yang dibanggakan itu ternyata menjadi begitu konyol keadaannya itu. Hampir saja ia mencaci maki anak buahnya, namun akhirnya ia tidak melakukan hal itu, sebab kuatir anak buahnya akan meninggalkan dirinya, padahal mereka masih diperlukan untuk masa-masa berikutnya dalam rangka mewujudkan nafsunya untuk menguasai dunia.

* * * * * * *

SETELAH rampungnya pertempuran besar-besaran yang dahsyat itu, ternyata pihak kaum pendekar juga mengalami kerugian. Umumnya yang menjadi korban ialah kaum muda dari berbagai perguruan, yang meskipun memiliki kepandaian-kepandaian cukup, namun kurang pengalaman menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Tapi anak-anak muda yang berhasil lolos dari pertempuran itu akan dapat berbangga dengan pengalamannya yang hebat itu.

Hong-tay Hwesio sebagai pimpinan seluruh pendekar, segera bertindak dengan cepat. Ia membentuk regu-regu penolong untuk menolong orang-orang terluka yang masih berserakan di seluruh lereng bukit, tidak peduli orang itu dari pihak kaum pendekar atau dari Hwe-liong-pang, semuanya mendapat pertolongan sekedarnya.

Sementara itu regu-regu lain bertugas untuk menguburkan mayat- mayat yang malang-melintang agar tidak menimbulkan bau busuk. Orang-orang Hwe-liong-pang yang tertawan tapi tidak terluka, dilucuti senjatanya dan dikurung dalam sebuah barak dengan tangan terikat. Sementara regu-regu itu bekerja, Hong-tay Hwesio telah mengumpulkan ketua-ketua perguruan atau tokoh-tokoh utama lainnya untuk merundingkan tindakan lebih lanjut apa yang akan diambil.

Setelah semuanya berkumpul, Hong-tay Hwesio pun berkata, “Sungguh tidak kita harapkan bahwa gembong iblis Te-liong Hiang-cu itu masih dapat meloloskan diri dengan sebagian dari anak buahnya. Aku yakin mereka tetap merupakan bahaya di kemudian hari, sebab tidak sulit bagi mereka untuk menyusun kekuatannya kembali dan menarik penjahat-penjahat untuk diajak bergabung, saat itu mereka akan melanjutkan cita-cita gila mereka untuk menaklukkan dunia persilatan. Apabila mereka sempat menyusun kekuatan lagi, maka kesulitan yang kita hadapi mungkin lebih besar dari sekarang. Bagaimana pendapat rekan-rekan?”

“Aku sependapat!” sahut Hong-lui kiam-khek Kongsun Tiau, ketua Jing-sia-pay itu. “Tadinya aku punya kesan baik terhadap Hwe-liong-pang, namun setelah aku menyelidiki sendiri ke kota Bun-siau dan mendapat kenyataan bahwa Hwe-liong-pang sekarang lain dengan Hwe-liong-pang yang dulu kukenal, maka aku merasa tidak perlu ragu-ragu lagi menghadapi mereka. Aku sudah melihat sendiri betapa ganasnya serbuan mereka kemari, dan beberapa anggota Jing-sia-pay telah gugur pula.”

“Aku juga sependapat,” sokong ketua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han. “Jumlah orang jahat dalam dunia persilatan tidak sedikit, tidak sedikit pula yang berkepandaian silat cukup tangguh. Apabila Te-liong Hiang-cu sempat membujuk mereka dan merangkul mereka ke dalam Hwe-liong-pang, kita semakin suluit menumpas mereka.”

“Menurut pendapatku, kita harus segera mengejar mereka secepatnya. Saat ini mereka sedang dalam keadaan lemah karena baru saja mengalami kekalahan dari kita, maka untuk menumpas mereka tentu tidak sesulit jika kekuatan mereka sudah terhimpun kembali. Hong-tay Hwesio, kau adalah pemimpin kami semua, silahkan segera mengambil langkah untuk rencana kita ini.”

Rahib Hong-tay tersenyum, lalu dengan suaranya yang lembut tapi tegas ia menyahut, “Baik. Untuk pertama kali aku terpaksa akan merepotkan saudara-saudara dari Kay-pang (Perkumpulan Pengemis)."

Wakil Kay-pang dalam pertemuan ksatria itu adalah Ling-kok-yan yang berjuuk Pat-pi-sin-kay (Pengemis Sakti Delapan Lengan). Ia segera berdiri dari tempat duduiknya dan berkata, “Siap mendengarkan perintah Tay-su!”

Kata Rahib Hong-tay, “Kay-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan yang cabang-cabangnya tersebar luas, anggotanya berjumlah puluhan ribu dan terdapat dimana-mana, ibaratnya seperti mempunyai sejuta mata dan sejuta telinga. Maka aku mohon kepada saudara Ling untuk menggerakkan saudara-saudara anggota Kay-pang untuk memata-matai dan menyelidiki kemanakah orang-orang Hwe-liong-pang itu melarikan diri. Ini perlu agar kita tidak kehilangan jejak mereka dan dapat menghancurkan mereka.”

“Baik,” sahut Ling Kok-yan singkat. Begitu menjawab, dia langsung bangkit dan berdiri meninggalkan tempat pertemuan.

Untuk menjalankan pekerjaan seperti yang diminta oleh Hong-tay Hwesio itu ternyata Ling Kok-yan tidak perlu bersusah-payah. Cukup ia menuju ke kota Teng-hong yang tidak jauh dari Siong-san, lalu menemui ketua cabang Kay-pang di Teng-hong dan memberikan perintah-perintah singkat tentang apa yang harus diperbuat. Dan tidak lama kemudian, Kay-pang cabang Teng-hong pun telah menyebarkan burung-burung merpati pembawa surat ke segala penjuru, serta kurir-kurir yang menunggang kuda. Demikian cepat dan rapinya cara kerja golongan pengemis itu.

Sementara itu, di Siong-san Hong-tay Hwesio telah menetapkan rencana berikutnya, “Sekarang kita tetapkan saja bahwa mulai besok pagi-pagi buta kita akan serempak meninggalkan bukit ini dan mengejar sisa Hwe-liong-pang sesuai dengan arah yang akan diberitahukan oleh saudara-saudara kita dari Kay-pang. Supaya gerakan kita ini tidak menimbulkan perhatian Pemerintah Kerajaan Beng yang selalu mencari-cari kesalahan kita itu, maka pengejaran akan dipecah-pecah dalam regu-regu kecil yang tidak menyolok. Setiap regu yang mengalami kesulitan, misalnya karena bentrok dengan musuh yang lebih kuat, harap jangan ragu-ragu atau sungkan-sungkan untuk mengirim kabar atau minta bantuan kepada regu-regu lainnya. Jangan sampai kita dihancurkan sebagian demi sebagian tanpa dapat saling membantu. Dalam hal ini dperlukan kesadaran saudara-saudara agar tidak terlalu teguh berpegang pada harga diri pribadi sehingga segan meminta bantuan, sikap demikian itu akan dapat mengacaukan seluruh rencana besar kita.”

Suara-suara yang menyatakan sanggup memenuhi pesan-pesan Hong-tay Hwesio itu segera berkumandang di segala sudut ruangan. Dengan keputusan yang sudah ditetapkan demikian itu, maka pertemuan itu dibubarkan. Mereka masih akan punya kesempatan satu hari untuk beristirahat di Siong-san sambil merawat yang luka-luka atau tewas.

Rata-rata di antara mereka menunjukkan semangat tinggi, terutama bagi para pendekar=pendekar muda yang baru kali ini terjun ke dunia persilatan. Anak-anak muda itu menganggap bahwa permainan “kejar-kejaran” dengan Hwe-liong-pang itu tentu akan menarik sekali, mengingatkan mereka kepada permainan perang-perangan sewaktu mereka masih kecil.

Hong-tay Hwesio menggunakan kesempatan hari itu untuk menjenguk keadaan luka Liu Tay-liong serta Hong-koan Hwesio, dengan didampingi oleh Kim-hian Tojin, Yu Hau- seng dan tokoh-tokoh utama lainnya. Kedua orang yang terluka itu telah dibawa masuk ke bagian dalam kuil kuno itu dan ditangani langsung oleh rahib-rahib tua yang mahir dalam ilmu pengobatan.

Ternyata keadaan Hong-koan Hwesio dan Liu Tay-liong memang tidak menggembirakan sama sekali. Rahib Hong-goan tetap dalam keadaan sadar, tetapi tidak henti-hentinya meringis kesakitan sambil mencaci-maki orang-orang Hwe-liong-pang. Menurut Rahib, Hong-koan Hwesio itu akan dapat disembuhkan namun tidak bisa pulih seperti semula. Jika sembuh kelak, Hong-koan Hwesio akan menjadi seorang yang timpang, sehingga kemahiran ilmu silatnya pun akan merosot beberapa bagian.

“Aku benar-benar sial,” demikian Hong-koan Hwesio menggerutu di tempat tidurnya. “Aku menderita luka atau cacat yang lebih berat pun aku rela, asal lawanku juga menderita luka yang sama beratnya. Tapi luka yang kuderita kali ini benar-benar percuma, sebab si ular tua berambut merah itu berhasil melarikan diri dengan segar-bugar. Huh!”

Soat-san-kiam-sin Oh Yu Thian menghibur sahabat karibnya itu dengan berkata, “Sudahlah, itu adalah akibat kesalahanmu sendiri yang kurang giat berlatih silat, kerjamu selama ini hanya keluyuran kesana kemari sambil mengganggu orang lain. Tapi tentang urusan bangsat berambut merah itu, serahkanlah kepadaku, akan kupotong sebelah kakinya untukmu."

Sementara itu keadaan Liu Tay-liong jauh lebih buruk dari Hong-koan Hwesio. Sejak digotong masuk ke dalam ruangan ini tadi, dia belum sadarkan diri sama sekali. Rahib Hong-bun sudah bekerja keras dengan segala jenis obat dan seluruh kepandaian pertabibannya yang dikuasainya, namun usahanya itu paling-paling hanya membuat muka Liu Tay-liong tidak terlalu pucat saja, dan sama sekali belum berhasil membuatnya siuman.

Ketika Hong-tay Hwesio menanyakan bagaimana keadaan Liu Tay-liong, Hong-bun Hwesio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum pahit. Katanya hampir putus asa, “Payah sekali. Menurut beberapa saksi mata yang melihatnya, saudara Liu ini memang sengaja mengorbankan dirinya agar bisa membunuh lawannya. Dia berhasil membunuh lawan, namun dadanya sendiri terkena pukulan lawannya yang bukan main kerasnya, mengakibatkan empat helai tulang dadanya patah ke dalam dan agak melukai bagian dalam tubuhnya. Sedangkan beberapa buah uratnya pun tergetar putus dan agaknya sulit pulih kembali. Andaikata saudara Liu ini dapat sembuh, semua kepandaiannya akan hilang, begitu pula jurus-jurus silatnya hanya dapat untuk menyehatkan badan saja, tidak bisa lagi untuk berkelahi.”

Mendengar keterangan Hong-bun Hwesio itu, para pendekar hanya menarik napas panjang dengan sikap sayang, mereka merasa sayang karena seorang tokoh pendekar yang begitu gigih menegakkan kebenaran seperti Liu Tay-liong ini akhirnya harus mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Kongsun Tiau, yang pernah bersama-sama dengan Liu Tay-liong ketika menerobos kota Bun-siau untuk menyelidiki kekuatan Hwe-liong-pang, berkata dengan nada penuh penyesalan,

“Aku belum lama mengenal Liu Lo-eng-hiong secara pribadi, meskipun pernah pula kudengar akan nama besarnya, namun dalam perkenalanku yang singkat itu aku telah mengetahui akan pribadinya yang baik dan terbuka sehingga meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Dengan nasib yang dialaminya ini, untuk selanjutnya dunia persilatan akan kehilangan seorang tokoh yang begitu cemerlang.”

Sahut Kiau Bun-han gagah, “Tapi pengorbanan Liu Lo-eng-hiong tidak sia-sia. Meskipun Liu Lo-eng-hiong menjadi cacat seumur hidup, namun iblis kerdil dari Jing-hay itu berhasil dibunuhnya pula, sehingga berkuranglah satu orang pembuat huru-hara yang ditakuti itu. Dalam usaha kita untuk mengejar Hwe-liong-pang besok, siapa tahu beberapa orang di antara kita juga akan menjadi korban, gugur atau cacat, namun demi ketentraman umat manusia kita memang sudah bertekad untuk menempuh jalan itu dan tidak peduli pengorbanan apapun.”

“Ucapan seorang ksatria sejati!” sambung Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay. “Aku percaya bahwa Liu Lo-eng-hiong pun tidak akan menyesali nasib yang dideritanya, sebab pengorbanannya cukup setimpal.”

Demikianlah keadaan Hong-koan Hwesio dan Liu Tay-liong yang terluka berat itu. Terlukanya kedua tokoh utama kaum pendekar itu tidak membuat pendekar-pendekar lainnya jadi patah semangat, melainkan justru semakin berkobar semangatnya untuk menumpas Hwe-liong-pang sampai ke akar-akarnya.

Semangat yang terlalu berkobar itulah yang mencemaskan Tong Wi-hong dan Wi-lian, sebab dengan sikap permusuhan semacam itu maka yang menerima akibatnya bukan hanya Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, melainkan juga Tong Wi-siang yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang penyerbuan ke Siong-san itu!

Di salah sebuah barak yang didirikan di sekitar kuil, nampaklah Wi-hong dan Wi-lian sedang berbicara dengan asyiknya dengan ibu mereka. Dalam percakapan itu, untuk lebih menggembirakan hati ibunya, Wi-lian menceritakan bahwa ternyata kakak tertuanya, Tong Wi-siang yang sekian lama menghilang tak tentu rimbanya itu, ternyata masih ada dan menitipkan sembah sujud untuk ibunya.

Berita itu bagaikan sebuah aliran tenaga ajaib yang membuat wajah Tong Hu-jin seketika itu berseri-seri kegirangan. Sambil mengguncang-guncang pundak anak gadisnya, ia berkata dengan nada setengah percaya setengah tidak, “Ka... kata... mu kau sudah bertemu A-siang? Benarkah itu?”

“Benar, ibu, aku dan A-hong sudah menjumpainya sendiri di sebuah kapal di tengah-tengah danau Po-yang-ou dekat rumah kita. Bahkan A-siang juga yang telah memperbaiki rumah kita, membangun dan memperindah makam ayah dan bahkan telah membalaskan sakit hati keluarga kita kepada Cia To-bun.”

“Benarkah itu, A-hong?” tanya ibunya kepada Tong Wi-hong.

Dan ketika Tong Wi-hong mengangguk membenarkan, maka meneteslah air mata kebahagiaan perempuan tua itu, bibirnya gemetar menyebut kebesaran Tuhan, “Thian benar-benar maha adil. Tadinya aku mengira bahwa anakku hanya tinggal A-hong seorang diri. Aku menduga A-lian tentu sudah dibunuh oleh kawanan pembunuh suruhan Cia To-bun, begitu pula A-siang sudah hilang tak keruan lagi jejaknya, namun ternyata ketiga anakku masih lengkap semuanya.”

Sejenak suasana pertemuan antara ibu dan anak-anaknya itu jadi dicengkam oleh keharuan. Setelah Tong Hujin dapat menguasai gelora perasaannya dan menjadi tenang kembali, ia lalu mengusap air matanya dan bertanya, “Lalu sekarang di manakah anak benga itu?”

Terhadap ibunya ini Wi-hong dan Wi-lian tidak berani menyembunyikan rahasia apapun juga. Maka mereka pun menceritakan secara lengkap mulai dari pertemuan di atas telaga Po-yang-ou di mana saat itu mereka mengetahui bahwa Tong Wi-siang adalah Hwe-liong-pang-cu, kemudian pertempuran di Jian-hoa-kok di mana Hwe-liong-pang terbagi dua menjadi pihak-pihak yang bermusuhan, semuanya diceritakan selengkap-lengkapnya.

Dan yang melengkapi penuturan itu adalah hasil penyelidikan mereka di kota Bun-siau, dimana diketahui bahwa Tong Wi-siang telah dikhianati dan diambil alih kekuasaannya oleh bekas sahabatnya sendiri, yaitu Tan Goan-ciau yang bergelar Te-liong Hiang-cu itu. Mendengar kabar itu, wajah Tong Hujin kembali menjadi sedih, namun Wi-lian buru-buru menghiburnya,

“Ibu tidak usah mencemaskan nasib A-siang, aku yakin bahwa saat ini A-siang tidak kurang suatu apapun, paling-paling hanya kehilangan kekuasaannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang. Ketika aku sempat mencuri dengar pembicaraan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang di kuil Tay-hud-si, mereka masih berusaha menemukan A-siang dan pengikut-pengikutnya. Ini berarti A-siang masih dalam keadaan selamat karena belum diketemukan.”

Tong Hujin menarik napas berulang kali ketika mendengar kisah yang cukup menegangkan itu. Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Aku bersyukur bahwa A-siang masih selamat, namun sifat-sifat bengalnya itu agaknya belum hilang juga dan selalu membawanya dalam kesulitan. Dulu di An-yang-shia dia telah memimpin kawanan berandalnya untuk mengacau kota, dan kini ia mengacau dunia persilatan dengan Hwe-liong-pangnya.”

Mendengar ucapan ibunya itu, cepat Wi-lian memotong, “Ibu jangan keliru, yang mengacau dunia persilatan saat ini bukan Hwe-liong-pangnya A-siang melainkan Hwe-liong-pangnya Tan Goan-ciau alias Te-liong Hiang-cu yang kepemimpinannya sama sekali tidak sah. Kalau A-siang sendiri justru pernah menyatakan kepadaku, katanya ingin memimpin Hwe-liong-pangnya untuk bersahabat dengan golongan-golongan lainnya dan berjuang bersama-sama menegakkan keadilan.”

“Oh, ya, aku salah bicara,” kata Tong Hujin sambil tertawa. “Setelah selesainya pertemuan di tempat ini, bagaimanakah rencana kalian selanjutnya?”

Sahut Wi-hong, “Aku mencemaskan bahwa suasana permusuhan antara para pendekar ini terhadap Hwe-liong-pang sulit dipadamkan dalam waktu singkat, yang aku kuatirkan bahwa mereka akan keliru menghantam Hwe-liong-pang nya A-siang yang tidak tahu menahu dalam permusuhan ini. Karena itu, aku dan A-lian setelah selesainya pertemuan ini akan segera berusaha mencari jejak A-siang, lalu membujuk A-siang agar dia dan pengikut-pengikutnya untuk sementara waktu tidak muncul dulu di dunia persilatan agar tidak menimbulkan salah paham dengan kaum pendekar.”

“Kemana kalian hendak mencari?” tanya ibunya.

Tong Wi-hong menarik napas, “Entahlah, tapi kami harus berusaha sebelum terjadinya korban jiwa hanya karena kesalahpahaman. Jelas kami tidak menginginkan terjadinya korban jiwa di pihak para pendekar maupun di pihak A-siang dan pengikut-pengikutnya. Kedua pihak sama-sama ksatria sejati yang bercita-cita luhur, tidak pantas untuk saling cakar satu sama lain. Tentang bagaimana caranya mencari A-siang, kami akan mencoba melacak jejaknya lewat tempat-tempat yang pernah dianggap sebagai cabang Hwe-liong-pang. Memang sulitnya bagaikan mencari sebatang jarum di tumpukan jerami, namun betapapun kita harus berusaha.”

“Kalau begitu, aku ikut kalian untuk mencari A-siang,” kata Tong Hujin mantap.

Wi-lian memegang tangan ibunya, sambil berkata, “Ibu, perjalanan untuk menemukan jejak A-siang dan pengikut-pengikutnya itu pasti bukan suatu perjalanan yang enak namun malahan penuh bahaya. Selain adanya kemungkinan bentrok dengan orang-orangnya Te-liong Hiang-cu yang lihai-lihai, juga ada kemungkinan bentrok dengan kaum pendekar yang bersikap keras terhadap Hwe-liong-pang. Karena itu sebaiknya ibu beristirahat saja di rumah kita di An-yang-shia yang sekarang sudah dipugar, dan disana ibu boleh menunggu berita saja dari kami.”

Tong Hujin tertawa ketika mendengar ucapan anak gadisnya itu, “Anak sombong, kau pikir ibumu ini hanya akan menjadi beban kalian saja? Mentang-mentang kau sudah menjadi murid Hong-tay Hwesio lalu memandang remeh orang lain, kau kira ibumu selama dua tahun lebih di Soat-san itu hanya menganggur dan tidak melatih ilmu silat?”

Untuk meyakinkan puterinya itu, cepat Tong Hujin menghunus pedangnya dan memainkan sejurus ilmu pedang yang cepat, dan sedetik kemudian pedang itu sudah berada dalam sarungnya kembali. Wi-lian masih ingin bergurau dengan ibunya, maka sambil mencibirkan bibirnya ia berkata, “Apa hebatnya jurus itu...”

Namun kata-katanya itu terputus, dengan terkejut ia melihat beberapa ekor lalat sudah bergeletakan di tanah dalam keadaan tubuh terbelah dua! Jelaslah bahwa lalat-lalat sial itu telah terbelah oleh sambaran pedang Tong Hujin ketika memainkan jurus pedangnya tadi. Mau tidak mau Wi-lian menjulurkan lidahnya karena kagum.

Ting Bun, Cian Ping, Tong Wi-hong dan dua saudara So juga terkejut melihat kecakapan jurus pedang setinggi itu. Dengan kemampuannya yang seperti itu, Tong Hujin jelas bukan beban yang memberatkan anak-anaknya, namun justru merupakan tenaga bantuan yang dapat diandalkan dalam menghadapi kesulitan.

“Jurus yang tidak berarti bukan?” kata Tong Hujin ketika melihat anak gadisnya masih melongo kaget.

Wi-lian tersipu sejenak, tapi ia lalu tertawa sambil memeluk ibunya, katanya, “Hebat! Tidak kuduga kemajuan ilmu silat ibu sehebat ini!”

Di bagian lain, Hong-tay Hwesio telah memerintahkan kepada beberapa orang murid dan keponakan muridnya untuk menghadapkan keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berhasil ditawan hidup-hidup dengan menggunakan bariasan Lo-han-tin itu. Keempat Tong-cu itu akan dikorek keterangan tentang Hwe-liong-pang.

Tak lama kemudian, keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah muncul di ruangan itu dalam keadaan terikat tangannya, digiring oleh murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkumpul di Siong-san itu. Keempat Tong-cu itu masing-masing adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang menjabat Pek-ki-tong-cu, Thi-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian yang memimpin Ci-ki-tong, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang sebagai Ang-ki-tong-cu serta Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) He-hou Im sebagai Hek-ki-tong-cu. Keempat orang itu nampak lesu dan penuh kelelahan, meskipun mata mereka masih memancarkan kemarahan dan permusuhan.

Melihat munculnya keempat tawanan itu, Hong-tay Hwesio segera memerintahkan kepada murid-muridnya, “Lepaskan ikatan mereka dan ambilkan tempat duduk untuk mereka!”

Ketika keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah duduk di kursinya masing-masing, dengan muka yang cerah dan sama sekali tidak mengandung permusuhan, Hong-tay mulai berkata, “Si-wi-eng-hiong (tuan pendekar berempat), seperti kalian lihat sendiri bahwa saat ini Hwe-liong-pang sudah mendekati saat kehancurannya. Itu adalah hukum alam. Siapa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang hukum alam, sama dengan mempercepat kehancurannya sendiri. Besok pagi-pagi benar, kami semua akan meninggalkan gunung ini secara serempak, dan mulai melakukan pengejaran besar-besaran kepada teman-teman kalian yang masih berhasil lolos dari pertempuran tadi. Seluruh kekuatan dunia persilatan dari kaum lurus akan dikerahkan untuk pekerjaan ini, sehingga hasilnya pun tidak diragukan lagi.”

Keempat orang Tong-cu itu mendengarkan perkataan Hong-tay Hwesio itu tanpa menyahut sepatah katapun, namun mimik muka mereka menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Tong King-bun nampak acuh tak acuh, kepada nasibnya sendiri pun dia sudah tidak peduli lagi, apalagi terhadap orang lain. He-hou Im nampak dingin, namun diam-diam dalam hatinya menyimpan harapan agar diampuni dan dibebaskan.

Song Hian menggertak gigi dengan geram. Ko Ce-yang menatap penuh kebencian kepada Hong-tay Hwesio, namun ketika rahib tua itu balas menatapnya, maka terpaksa Ko Ce-yang membuang muka karena tidak tahan menantang tatapan rahib tua itu.

Dengan suara yang tetap sesabar semula, Hong-tay Hwesio berkata lagi, “Lambat atau cepat, kami akan menemukan tempat persembunyian mereka dan kemudian menumpas pentolan-pentolannya. Sedang terhadap anggota-anggota biasa yang bertindak hanya karena menjalankan perintah, kami akan mempertimbangkan keinsyafan mereka, sebab kami bukannya orang-orang yang haus darah dan selalu ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Begitu pula kepada Su-wi-eng-hiong kami tawarkan kesempatan untuk berbuat kebajikan kepada dunia persilatan, yaitu dengan cara menunjukkan tempat mereka.”

Kecuali Ko Ce-yang yang keras kepala, maka ketiga orang Tong-cu lainnya sudah menunjukkan sikap berminat kepada tawaran Hong-tay Hwesio itu. Perbedaan sikap itu dapat dimengerti. Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian memang bukan anggota lama Hwe-liong-pang, mereka baru beberapa hari saja menjadi anggota Hwe-liong-pang, karena ditarik oleh Te-liong Hiang-cu dan diberi janji yang muluk-muluk. Karena itu kesetiaan mereka kepada Hwe-liong-pang boleh dikata tidak ada sama sekali. Mereka akan ikut mencicipi jika Hwe-liong-pang kelak mengalami kejayaan, tapi jika Hwe-liong-pang di pinggir jurang kehancuran, mereka lebih suka menyelamatkan dirinya sendiri.

Sedangkan Ko Ce-yang memang anggota lama Hwe-liong-pang yang sudah bertahun-tahun dibina oleh Te-liong Hiang-cu, seluruh pikiran dan perasaannya sudah dipenuhi oleh nafsu berkuasa yang dikobarkan karena mendengar janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, tidak ada pertimbangan lain lagi. Apalagi otaknya memang agak bebal, maka ia bertekad setia kepada Te-liong Hiang-cu secara membabi buta.

Hong-tay Hwesio mengamati perubahan wajah keempat orang tawanannya itu dengan cermat, ucapnya lagi, “Bagi kami yang belum tahu tempat persembunyian Hwe-liong-pang tentu agak sulit menemukan tempat itu. Tapi kalian dapat mempercepat tugas kami dengan jalan membantu kami.”

Mata He-hou Im berputar-putar, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apa imbalan buat kami?”

“Kalian berempat akan kami bebaskan kembali, meskipun dengan syarat agar kalian tidak membuat kekacauan lagi.”

“Hanya itu saja imbalannya?” He-hou Im mencoba “menawar”.

Thian-goan Hweshio yang duduk di sebelah Hong-tay Hwesio itu menjadi naik darah melihat sikap He-hou Im itu. Bentaknya, “Tutup mulutmu! Kepala kalian masih utuh karena kami biarkan bertengger terus di leher kalian itu saja sudah suatu keuntungan bagi kalian, kalian masih mau menuntut apa lagi?”

Seri tawa He-hou Im lenyap seketika bagaikan awan dihembus angin. Dia berjulukan Sat-sin-kui atau Setan Ganas, menandakan tindak-tanduknya yang kejam sekali, namun ketika berhadapan dengan Thian-goan Hweshio yang bermata mencorong seperti mata harimau itu, maka rontoklah nyali Sat-sin-kui tanpa tersisa sedikitpun. Buru-buru ia menundukkan kepalanya dengan mulut bungkam.

Yang berani membalas membentak justru adalah Ko Ce-yang, “Persetan dengan usul kalian yang bau kentut itu, keledai gundul! Aku lebih suka mampus daripada berkhianat kepada Te-liong Hiang-cu dan cita-citanya!”

“Benar-benar lelaki sejati!” seru Kiau Bun-han dengan suara tidak kalah garangnya. “Kalau ingin mampus sekarang, apa gunanya? Sekarang juga aku sanggup memampuskan kau!”

Suasana segera menjadi agak ribut. Ko Ce-yang adalah seorang yang nekad dan tidak kenal gelagat, sebaliknya Kiau Bun-han pun berwatak keras dan berdarah panas, maka kedua orang itu telah bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan siap untuk berbaku hantam.

Namun Hong-tay Hwesio cepat berkata kepada Ketua Hoa-san-pay yang pemarah itu, “Kiau Ciang-bun-jin, aku harap kau tidak menuruti saja hati panasmu itu sehingga akan membuat terbengkalainya urusan yang lebih penting.”

Dengan muka yang masih merah, akhirnya Kiau Bun-han meletakkan kembali pantatnya ke atas kursinya. Namun matanya masih berapi-api melotot ke arah Ko Ce-yang. Hong-tay Hwesio segera memerintahkan murid-muridnya untuk mengurung kembali Ko Ce-yang, karena orang itu agaknya tidak bisa diajak bicara lagi, dan kehadirannya malah akan mengganggu rekan-rekannya dalam mengambil keputusan.

Ketika dua orang hweshio muda hendak meringkusnya kembali, Ko Ce-yang meronta-ronta hebat dan memaki-maki dengan kata-kata yang kotor, sehingga kedua rahib muda itu menjadi agak kewalahan. Terpaksa Hong-tay Hwesio turun tangan. Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dari jarak belasan langkah, Hong-tay Hwesio menudingkan jarinya dan melancarkan ilmu totokan Kim-kong-ci (Jari Malaikat) yang terkenal itu. Orang-orang di tempat itu hanya melihat ada sejalur warna putih melesat dari ujung jari rahib tua dan “mendarat” di pinggang Ko Ce-yang, seketika itu juga Tong-cu yang bandel itu terkulai lemas. Gumam kekaguman terdengar di ruang itu.

Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian pun merasa kagum dan gentar ketika melihat kepandaian rahib tua itu, lunturlah semangat mereka itu untuk membangkang lagi. Bagi orang-orang semacam mereka bertiga ini, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan diri sendiri. Maka begitu melihat kepandaian Hong-tay Hwesio, mereka sadar bahwa cita-cita muluk yang dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu itu sudah kandas di tengah jalan, Hwe- liong-pang sudah tidak bisa diandalkan lagi.

Ketika Hong-tay Hwesio sekali lagi menanyakan tempat persembunyian Te-liong Hiang-cu, maka Song Hian menjawab sejujurnya, “Taysu (Bapak Pendeta), tentang tempat persembunyiannya yang pasti, kami tidak tahu, sebab kami menjadi anggota Hwe-liong-pang baru beberapa hari saja. Namun kami pernah bercakap-cakap dengan beberapa anggota lama seperti Ko Ce-yang atau Mo Hui, mereka sering menyebut tentang puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Kami tidak tahu apakah tempat itu merupakan tempat persembunyian mereka yang sesungguhnya atau bukan, tapi hanya itulah yang bisa kami katakan.”

Kongsun Tiau membantingkan kakinya ke lantai dan berteriak, “Hanya keterangan seremeh itu yang dapat kalian katakan, apakah itu setimpal dengan kebebasan yang akan kalian peroleh?”

Song Hian saling bertukar pandangan dengan kedua orang temannya, lalu katanya sambil menarik napas, “Apa boleh buat... Kami adalah tawanan kalian, mau kalian bunuh atau kalian siksa pun kami tetap tidak bisa melawan lagi, buat apa kami membohongi kalian? Coba kalian pikir, kami baru belasan hari menjadi anggota Hwe-liong-pang, masakah Te-liong Hiang-cu bisa langsung mempercayai kami dan memberitahukan semua rahasia-rahasia perkumpulannya? Bukankah itu tidak masuk akal?”

Tong King-bun dan He-hou Im segera membenarkan ucapan rekannya itu.

“Lagipula, buat apa kami menyembunyikan rahasia tempat mereka, sedang saat ini kami sudah tidak ada hubungan kepentingan lagi dengan mereka?” kata Tong King-bun memperkuat pendapat temannya.

Kongsun Tiau dan ketua-ketua perguruan lainnya serempak memandang ke arah Hong-tay Hwesio untuk meminta pendapat rahib tua itu. Dengan ketajaman mata batinnya, Hong-tay Hwesio tahu bahwa Song Hian dan kawan-kawannya itu tidak mungkin berbohong lagi dalam keadaan semacam itu. Kata Hong-tay dengan sabar,

“Aku percaya ucapan kalian bertiga. Baiklah, saudara-saudara pendekar, kita akan mulai bergerak besok pagi ke arah Gunung Bu-san di Su-coan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa arah perjalanan kita akan berubah di tengah jalan. Tidak mustahil bahwa Te-liong Hiang-cu telah menebak tindakan kita ini, lalu dia mencari tempat persembunyian yang lain. Kita akan berangkat secara terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, namun setiap kelompok hendaknya saling berhubungan dan saling memberi kabar tentang keadaannya masing-masing, dengan melewati saudara-saudara anggota-anggota Kay-pang yang akan bertindak sebagai penghubung dan penyampai berita. Gerakan besar ini tidak boleh kacau.”

Lalu Rahib Hong-tay berkata kepada ketiga orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu, “Kalian bertiga akan termasuk dalam kelompok kecilku.”

Begitu mendengar itu, wajah ketiga orang Tong-cu itu seketika pucat karena terkejutnya. Dengan tergagap-gagap Tong King-bun berkata, “Tetapi... tetapi... apakah kami sanggup melawan Te-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti... seperti iblis itu? Kami... kami...”

Rahib Hong-tay cepat memotong ucapan Tong King-bun itu, “Tepat sekali, kalian harus ikut bertempur melawan bekas rekan-rekan kalian itu. Selama ini telah cukup banyak perbuatan kalian yang merugikan orang lain, sekarang cobalah gunakan tenaga kalian untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan orang banyak, dengan jalan ikut menumpas Hwe-liong-pang. Lagipula kalian tidak perlu begitu takutnya kepada Te-liong Hiang-cu, sebab dia bukannya seorang yang tidak terkalahkan sama sekali. Bicara terus terang saja, dari pihak Siau-lim-pay kami saja ada beberapa orang yang akan sanggup bertempur mengimbangi iblis itu. Belum terhitung dari perguruan-perguruan lain.”

Ketiga orang Tong-cu itu tidak membantah lagi, namun wajah mereka masih menampakkan kebimbangan dan kengerian jika harus melawan iblis bertopeng yang pernah menjadi pemimpin mereka itu.

Hong-tay Hwesio memahami perasaan mereka, maka ia berkata lagi, “Tentu saja kami akan bertindak adil dengan jalan tidak akan menyuruh kalian untuk menghadapi lawan yang tidak seimbang. Tetapi kalian harus ikut dan harus menjadi penunjuk jalan kami, itu mutlak tidak bisa ditawar lagi.”

Ketiga orang Tong-cu itu akhirnya cuma bisa menarik napas panjang dan menyesali nasib mereka yang kurang baik. Betapapun enggannya mereka, namun keputusan sudah dijatuhkan, dan mereka akan melakukan pekerjaan yang paling tidak enak, yaitu memburu bekas kawan-kawan mereka sendiri.

Kepada murid-muridnya, Hong-tay Hwesio memerintahkan, “Bawalah ketiga Tong-cu ini ke ruang istirahat mereka, dan layanilah mereka baik-baik.”

Tentu saja yang dimaksudkan dengan “ruang istirahat” adalah tempat tahanan mereka. Begitu mereka tiba di tempat penahanan mereka dan membuka pintu, mereka hampir menjerit serempak karena terkejutnya. Bahkan empat orang rahib muda Siau-lim-si yang mengawal mereka pun ikut terkejut.

Ko Ce-yang, yang tadi telah dipulangkan ke rumah tahanan ini lebih dulu, ternyata kini telah tergantung kaku di atas belandar ruangan itu. Dia telah menggunakan ikat pinggangnya sendiri untuk menjerat lehernya, matanya melotot lebar dan lidahnya terjulur keluar, sedang di bawah kakinya ada sebuah kursi yang sudah roboh. Tubuhnya masih belum begitu kaku ketika diraba oleh salah seorang rahib, namun jelas bahwa nyawanya sudah tidak di dalam tubuhnya lagi.

“Omitohud,” desis rahib-rahib muda itu sambil merangkapkan tangan mereka. “Kehidupan masih begitu panjang dan membutuhkan amal bakti, kenapa berpikiran sependek ini?”

Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian juga tidak menduga bahwa rekan mereka itu akan menjadi senekad itu mengakhiri hidupnya. Terdengar Song Hian menggerutu perlahan, “Dasar goblok. Te-liong Hiang-cu sendiri tidak menggubris mati hidup anak buahnya, sebaliknya dia begitu mati-matian setia kepada Te-liong Hiang-cu. Hemm, benar-benar mati penasaran.”

Sedang He-hou Im telah berkata kepada rahib yang mengawalnya, “Aku keberatan jika malam ini aku ditempatkan di ruang celaka ini.”

Mendengar ucapan He-hou Im itu, Tong King-bun lalu bergurau, “He, kau adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), kenapa malah takut kepada Tiau-si-kui (Setan Orang Menggantung Diri)?”

“Sat-sin-kui adalah setan berderajat tinggi, tidak sudi tidur satu ruangan dengan setan berderajat rendah macam Tiau-si-kui ini.”

“Begitu pula aku Say-ya-jat (Si Hantu Malam) juga tidak sudi berkumpul dengan setan penggantungan macam ini, kita pindah kamar saja,” kata Tong King-bun.

Dalam keadaan tertawan oleh musuh, ternyata para Tong-cu itu sempat juga bersenda-gurau untuk mengeluarkan kepepatan hati mereka. Keempat orang hweshio muda yang mengawal mereka pun ikut tersenyum, namun sekaligus terbuktilah bahwa kesetiakawanan di antara para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tipis sekali.

Bagaimanapun renggangnya hubungan mereka dengan Ko Ce-yang, toh mereka pernah seperjuangan, namun sekarang mereka tidak nampak sedih sedikitpun ketika melihat kematian Ko Ce-yang, bahkan kematian rekan mereka itu dijadikannya bahan senda gurau...!
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 29

Perserikatan Naga Api Jilid 29

Karya : Stevanus S.P
YANG membuat Cian Ping merasa ngeri berhadapan dengan Liong Pek-ji adalah selain gerakannya yang sangat cepat, juga napas lawan yang memancarkan bau busuk luar biasa, seperti umumnya bau binatang-binatang buas pemakan daging mentah! Dan celakanya Liong Pek-ji terus mendesaknya dalam jarak dekat, sehingga Cian Ping benar-benar merasa kepalanya pusing dan perutnya mual luar biasa. Totokan musuh ke arah bahunya masih bisa dihindari, namun totokan ke pinggangnya tidak terhindar lagi, maka Cian Ping pun terhuyung hampir roboh.

“Ha-ha-ha, tibalah saatnya kau membayar hutang bapakmu dengan darahmu yang segar itu!” teriak Liong Pek-ji penuh kegirangan. Matanya semakin merah dan rangsekannya pun semakin hebat.

Namun di saat Cian Ping dalam bahaya itu, muncullah Ting Bun untuk membantunya. Ternyata Ting Bun telah berhasil menyelesaikan tiga orang anggota Hwe-liong-pang yang tadi menjadi lawannya, seorang dibikinnya luka parah dan dua orang lainnya dikirimnya ke neraka. Melihat Cian Ping terdesak, maka Ting Bun langsung turun tangan untuk membantu.

Ilmu silat Ting Bun masih setingkat di bawah Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, namun sudah cukup tangguh dan hampir menyamai rata-rata kemampuan para Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Begitu sambaran goloknya menyerang dengan Tay-peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap), maka mau tidak mau Liong Pek-ji harus membagi perhatiannya. Apalagi Ting Bun sebagai bekas seorang perwira prajurit yang bernyali besar, sama sekali tidak tergentar nyalinya oleh penampilan Liong Pek-ji yang mirip siluman itu.

Sementara Ting Bun menahan Liong Pek-ji, maka Cian Ping berkesempatan untuk menenangkan debaran hatinya dan mengumpulkan semangatnya kembali. Setelah itu, dengan hati yang lebih mantap dia lalu bertempur bahu membahu dengan Ting Bun untuk menghadapi setengah manusia setengah siluman itu. Dengan gabungan kedua orang itu, barulah tandang Liong Pek-ji yang ganas itu dapat agak dibatasi.

Manusia siluman yang pernah menggemparkan wilayah Ou-lam itu memang seorang yang luar biasa. Hasil latihan anehnya yang dijalankan dalam peti mati itu ternyata tidak sia-sia. Gerakannya ringan dan cepat dalam mengitari lawannya, ia memang menciptakan jurus-jurus anehnya itu berdasarkan gerak-gerik seekor kelelawar. Yang dapat digunakan untuk melukai lawannya ternyata bukan cuma belati-belati pendek yang tergenggam di kedua tangannya itu, tetapi juga ujung-ujung mantelnya yang berkibar-kibar dan bisa digunakan untuk menyabet seperti sayap kelelawar itu!

Ting Bun menyadari akan kelihaian lawannya itu, tapi tanpa gentar sedikitpun ia melayaninya dengan ulet dan gagah berani. Goloknya dimainkan secara rapat dengan menggunakan ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu). Ting Bun benar-benar bertempur seperkasa batu karang, sedang tangan kirinya pun tidak tinggal diam, sebab berkali-kali ikut menyerang dengan pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) atau cengkeraman Ing-jiau-kang (Tenaga Kuku Elang).

Di samping Ting Bun masih ada Cian Ping yang bertarung dengan lincah dan cepat. Dengan kerjasama antara Ting Bun dan Cian Ping untuk membendung Liong Pek-ji ini, maka si kelelawar hantu itu kini tidak bisa lagi berkeliaran ke sana ke mari dengan sesuka hati sambil menyebar maut.

Secara keseluruhan, dalam pertempuran besar-besaran di lereng Siong-san itu, nampaknya kaum pendekar memang nampak agak terdesak. Tetapi sebenarnya itu adalah siasat Rahib Hong-tay, semakin kaum pendekar terdesak ke atas bukit, semakin ketatlah pertahanannya. Dan pada batas tertentu, kaum pendekar benar-benar berhasil membuat suatu garis bertahan yang benar-benar ketat, sehingga pihak Hwe-liong-pang tidak dapat lagi mendesaknya, meskipun hanya selangkah.

Di bagian-bagian tertentu, nampak betapa tangguhnya para Tong-cu dari Hwe-liong-pang, sehingga kadang-kadang setiap Tong-cu harus dilayani oleh sedikitnya dua orang pendekar. Namun di bagian lainnya, nampaklah bahwa Hwe-liong-pang membutuhkan gabungan tenaga dua orang Tong-cu hanya untuk membendung amukan seorang rahib muda Siau-lim-si.

Rahib muda yang dimaksudkan itu adalah Bu-sian Hweshio, murid dari Rahib Hong-tay, yang memainkan toya kiu-hoan-kun (Toya Sembilan Gelang) sekencang baling-baling yang terhembus angin badai. Kedua orang lawan Bu-sian Hweshio adalah Thio Hong-bwe yang berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan Mo Hui yang berjuluk Hong-long-cu (Serigala Gila).

Kedua orang Tong-cu itu memegang senjata yang hampir serupa. Thio Hong-bwe bersenjatakan sebuah lembing yang dilengkapi dengan kaitan untuk mengait senjata atau tangan lawannya, sedangkan Mo Hui juga bersenjata lembing yang ujungnya bergerigi seperti taring serigala.

Thio Hong-bwe mempunyai gaya serangan yang cepat dan keras, dia sama sekali tidak segan-segan membentur serangan lawannya secara keras lawan keras, dan dengan kaitannya itu dia selalu mencoba untuk mengait dan merampas senjata lawannya. Biasanya, dengan gaya bertarung semacam ini Thio Hong-bwe selalu bisa mengalahkan lawan-lawannya.

Tetapi setelah kini ia bertemu dengan lawan semacam Bu-sian Hweshio, maka ia ibaratnya membentur tembok besi. Bukan saja Bu-sian Hweshio itu lebih kuat tenaganya, tapi gerakannya pun lebih cepat. Kaitan di ujung lembing Thio Hong-bwe itupun mati kutunya, sebab beberapa kali Thio Hong-bwe berhasil mengait tongkat lawannya dan menariknya untuk merampasnya, namun selalu gagal, rasanya seperti mengait dan hendak merobohkan bukit cadas!

Sedangkan cara bertempur Mo Hui sedikit lebih cerdik dari rekannya yang hanya mengandalkan kekuatan itu. Dengan lembing bergeriginya dia jarang sekali membentur toya kiu-hoan-kun hweshio lawannya, tapi lebih suka berlincahan sambil mengintai kelemahan lawannya. Cara berkelahinya memang benar-benar mirip seekor serigala, cepat liar serta ganas. Sayang sekali, dengan cara bertempur semacam itupun ia tetap belum bisa mendobrak pertahanan toya kiu-hoan-kun yang berputar kencang itu.

Demikianlah pertempuran antara Bu-sian Hweshio melawan dua orang Tong-cu dari Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong itu. Rahib muda itu sudah belasan tahun terikat di kuil Siau-lim-si, kesibukannya setiap hari hanyalah memperdalam ilmu agama dan ilmu silat, maka dia merupakan lawan yang terlalu tangguh bagi kedua lawannya. Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun kekayaan gerak tipu, dia masih mengungguli kedua Tong-cu dari kelompok-kelompok bendera Hijau dan Coklat itu.

Dalam pada itu nampaklah Tong Wi-hong bersama-sama dengan dua saudara So itu masih saja belum mendapatkan lawan yang setimpal. Mereka memang telah beberapa kali berganti lawan, namun setiap kali mereka berhasil menyingkirkan lawan mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus. Kini Wi-hong dengan kedua jago Tiong-gi Piau-hang nya itu hanya “berjalan-jalan” ke sana ke mari sambil berusaha mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.

Apa yang dialami oleh Tong Wi-hong dan kedua jagonya itu, ternyata dialami pula oleh beberapa orang pendekar. Mereka tidak menemui lawan yang setimpal, melainkan hanya menjumpai keroco-keroco Hwe-liong-pang yang mencoba menghadang mereka. Tentu saja mereka agak malu kalau harus menghadapi kaum keroco itu, namun dengan mengingat bahwa pertempuran itu membutuhkan penyelesaian yang secepat-cepatnya maka terpaksa kaum keroco itupun mereka babat.

Ternyata bahwa di pihak Hwe-liong-pang hanya menang dalam jumlah orangnya, namun dalam hal kekuatan masing-masing orang, pihak Hwe-liong-pang kalah jauh. Pihak Hwe-liong-pang jago-jagonya paling-paling hanya Sebun Say, Tang Kiau-po, delapan orang Tong-cu, serta beberapa jago pelarian dari perguruan lain seperti Ho Teng-siong. Sebaliknya di pihak kaum pendekar memiliki jago-jago tangguh yang banyak sekali. Misalnya saja rahib-rahib Siau-lim-pay yang bernama depan “Hong” atau “Bu” sudah merupakan jago-jago tangguh yang sulit dicarikan lawannya di kalangan Hwe-liong-pang.

Selain itu masih ada ketua-ketua perguruan seperti Kongsun Tiau, Kiau Bun-han, Thi-sim Tojin atau pendekar-pendekar perorangan yang kepandaiannya setingkat dengan mereka, ditambah lagi dengan jago-jago muda berbagai perguruan yang bertempur dengan penuh semangat. Mereka yang tidak mendapat lawan setimpal ini ternyata tidak menganggur saja, melainkan bergerak kian kemari bagaikan pisau-pisau tajam yang merobek-robek barisan pertahanan Hwe-liong-pang.

Matahari naik semakin tinggi, panasnya yang terasa semakin menyengat kulit itupun ternyata juga ikut membantu semakin mendidihkan darah orang-orang yang bertempur di lereng Siong-san itu. Tubuh-tubuh tak bernyawa serta tubuh-tubuh luka terkapar di mana-mana, namun jumlah yang tewas atau yang luka terus saja bertambah banyak.

Di mana-mana yang terdengar hanyalah suara senjata yang berdenting-denting saling beradu, bercampur baur dengan teriakan-teriakan penuh dendam kebencian serta rintihan dari orang-orang yang terluka dan mengharapkan pertolongan, namun tak seorang pun menolongnya sebab semuanya sibuk menyabung nyawa.

Dalam suasana yang sekeras dan sebuas itu, seorang rahib atau imam tidak ada perbedaannya lagi dengan orang biasa. Merekapun membunuh dan terbunuh. Tidak sedikit rahib-rahib muda usia dari Siau-lim-pay yang baru kali ini terjun dalam pertempuran yang sesungguhnya, biasanya hanya dalam latihan, sehingga di medan ganas itu. Mereka muak melihat tubuh-tubuh berlumuran darah tercecer di mana-mana. Tetapi ketika nyawa mereka terancam oleh senjata lawan, maka mereka pun dipaksa untuk menggerakkan senjatanya untuk mempertahankan diri.

Dalam awal pertempuran tadi, nampaknya pihak Hwe-liong- pang berhasil mendesak kaum pendekar untuk mundur ke atas bukit. Tetapi sebelum sampai tengah hari, giliran kaum pendekarlah yang berhasil memukul serbuan Hwe-liong-pang sampai terdesak kembali ke bahwa bukit. Kemampuan pribadi yang lebih unggul dari kaum pendekar, telah membuat jumlah orang-orang Hwe-liong-pang berkurang banyak dengan cepatnya.

Delapan orang Tong-cu yang biasanya merasa bahwa kepandaian mereka sudah cukup hebat untuk malang-melintang di dunia persilatan, kini telah dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa banyak orang yang lebih lihai dari mereka. Lam-ki-tong-cu Seng Cu-bok ternyata tidak berhasil mengungguli Wi-lian, bagaimanapun dia berusaha, dan bahkan dirinyalah yang mulai terdesak oleh gadis murid Hong-tay Hwesio itu. Goloknya berkelebat-kelebat mengerikan, namun dengan kelincahan dan ketangkasannya Wi-lian tidak pernah dapat disentuh oleh golok itu, bahkan membalasnya dengan tendangan-tendangan yang dapat mematahkan tulang.

Tidak jauh dari Seng Cu-bok, Liong Pek-ji juga nampak mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari kepungan Ting Bun dan Cian Ping. Meskipun demikian, Ting Bun dan Cian Ping juga harus memeras keringat pula karena lawannya yang berbahaya itu.

Empat orang Tong-cu lainnya, masing-masing Say-ya-jat Tong King-bun, Thi-pwe-siang Song Hian, Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang serta Sat-sin-kui He-hou Im, entah bagaimana asal mulanya ternyata telah terjeblos bersama-sama ke dalam kepungan barisan Lo-han-tin yang dibentuk oleh delapan belas rahib muda. Sambil berteriak-teriak dengan marahnya ke empat orang Tong-cu itu mengamuk dan berusaha membobol kepungan Lo-han-tin itu, tetapi kerjasama delapan belas orang rahib muda itu begitu ketat dan rapinya, sehingga bukan saja keempat Tong-cu itu tidak berhasil lolos bahkan tenaganya semakin terkuras habis.

Keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan Hwe-liong-pang itu tidak lepas dari pengamatan para tokoh-tokohnya. Te-liong Hiang-cu yang sedang bertarung seru dengan Hong-tay Hwesio itu, kini mulai nampak gugup. Dalam hatinya Te-liong Hiang-cu memaki anak buahnya sendiri, “Sungguh celaka, ternyata kawanan kantong nasi ini hanya pintar membual di depanku saja, namun ternyata yang mereka gembar-gemborkan itu tidak terbukti sekarang. Kenapa aku pun begitu bodoh untuk mempercayai ajakan mereka untuk menyerbu kemari?”

Di antara jago-jago Hwe-liong-pang yang telah menemui lawannya masing-masing itu, boleh dibilang hanya Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po yang keadaannya paling mendingan. Bahkan si raja ular dari Thay-san itu setapak demi setapak bisa mendesak Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio. Namun untuk mengalahkan rahib angin-anginan itu, agaknya Tang Kiau-po akan memerlukan ribuan jurus dan tidak mungkin dalam waktu yang singkat.

Sedangkan keadaan Sebun Say jauh lebih buruk dari keadaan rekannya itu. Dia dipaksa terpontang-panting dalam menyelamatkan diri dari cecaran kipas besi Liu Tay-liong yang selalu bergerak-gerak mengincar urat-urat darah penting di tubuhnya. Senjata sabit beracunnya yang menakutkan itu sudah tidak di tangannya lagi, terbang entah ke mana, sedang jubahnya pun sudah robek-robek di sana sini karena tersambar kipas Liu Tay-liong.

Melihat keadaan anak buahnya yang semacam itu, betapapun sombongnya Te-liong Hiang-cu namun ia harus mengakui kenyataan bahwa serbuannya kali ini telah gagal. Jika ia tetap berkeras kepala untuk melanjutkan pertempuran, maka pihaknya sendirilah yang akan tertumpas habis sebelum matahari terbenam nanti. Tentu saja ia tidak rela apabila kekuatan yang dikumpulkannya selama ini akan tercerai-berai begitu saja, tapi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya hanyalah dengan menariknya mundur.

Maka dengan berat hati, Te-liong Hiang-cu meneriakkan perintahnya, “Mundur!”

Perintah untuk mundur itu diperintahkan secara berantai, sehingga seluruh anggota Hwe-liong-pang yang berkelahi di bagian manapun akan dapat mendengar perintah Ketua mereka itu. Memangnya orang-orang Hwe-liong-pang itu sudah bingung dan takut menghadapi kaum pendekar yang rata-rata berkepandaian tinggi itu, maka perintah untuk mundur itu merupakan suatu kebetulan bagi mereka. Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, mereka turun berbondong-bondong ke bawah bukit bagaikan air laut yang surut.

Karena mereka bukan merupakan pasukan yang terlatih baik, maka cara mereka mengundurkan diri pun mirip dengan cara orang-orang di pasar yang dilanda kebakaran. Berlari-larian tak teratur dan kadang-kadang saling bertubrukan antara teman-teman sendiri, bahkan kawan-kawan mereka yang terluka atau jatuh itu mereka injak begitu saja dalam usahanya untuk menyelamatkan diri sendiri.

Sebun Say juga berusaha untuk bisa melepaskan diri dari tekanan Liu Tay-liong agar bisa bergerak mundur bersama rombongannya. Tetapi Liu Tay-liong agaknya tidak ingin melepaskan lawan kerdilnya itu. Dia sadar, bahwa melepaskan Sebun Say akan sama halnya dengan melepaskan macan pulang kegunungnya, bukannya akan menginsyafi kesalahannya tapi malahan akan bertambah kejam dan menjadi bencana bagi umat manusia.

Karena itu Liu Tay-liong sudah bertekad untuk menghabisi iblis cebol dari Jing-hay yang terkenal akan kekejamannya itu. Kipas besinya itu digerakkan semakin gencar dan cepat, sampai akhirnya seluruh tubuh Sebun Say bagaikan telah terkurung oleh bayangan kipas besi lawannya itu, jalan untuk meloloskan diri sudah tidak ada sama sekali!

Sebun Say menjadi mata gelap. Sebagai usaha terakhir untuk mempertahankan hidupnya, maka sambil menggertakkan gigi dia lalu melancarkan sebuah jurus yang disebutnya Wan-hun-pat-sik (Delapan Jurus Arwah Gentayangan). Jika tadinya dia sudah kempas-kempis, maka kini Sebun Say bangkit kembali semangat tempurnya. Sepasang lengannya yang pendek-pendek itu beruntun melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke depan dan menimbulkan gulungan kekuatan tak berwujud yang kedahsyatannya bagaikan gunung runtuh.

Dalam keadaan biasa, tentu Liu Tay-liong akan lebih suka menghindari jurus yang nekad itu. Tetapi saat itu Liu Tay-liong sudah bertekad bulat untuk menamatkan riwayat pengacau masyarakat ini, tidak peduli bagaimanapun pengorbanannya yang harus dibayarnya. Liu Tay-liong tahu maksud Sebun Say, bahwa begitu ia mundur dari rangsekan itu, maka Sebun Say tentu akan melompat keluar gelanggang dan melarikan diri.

Karena itu Liu Tay-liong tidak sudi mundur setapakpun. Ia justru mendesak maju untuk menyongsong serangan nekad Sebun Say itu, kipas besinya telah dirapatkan dan digerakkan dengan jurus Hau-bwe-tau-lui (Putik Bunga Bwe Memuntahkan Diri) yang disertai dengan pengerahan seluruh kekuatan lahir batinnya.

Sebun Say tidak menyangka kalau Liu Tay-liong yang selalu tertawa-tawa dan senang bergurau itu ternyata berani juga melakukan gerakan adu jiwa senekad itu. Ia kaget bukan kepalang, tetapi semuanya segera berlangsung tanpa dapat ditarik kembali. Terdengar jeritan melengking kesakitan yang hampir bersamaan dengan sebuah keluhan berat. Yang melengking kesakitan itu adalah Sebun Say, dan itu adalah jeritan terakhirnya, sebab kipas besi Liu Tay-liong berhasil langsung menembus ulu hatinya sampai tembus ke punggungnya.

Sedang suara keluhan berat itu berasal dari mulut Liu Tay-liong yang terbanting jatuh sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Rupanya ada juga pukulan beruntun Sebun Say itu yang sempat mendarat telak di dadanya, kemudian pendekar she Liu itu terbaring di tanah dengan muka yang pucat dan tubuh tidak bergerak-gerak lagi.

Hong-koan Hwesio yang berkelahi tidak jauh dari tempat itu, kaget bukan main ketika melihat sahabat karibnya roboh terkapar seperti itu. Perhatiannya kepada lawannya menjadi bercabang, dan itu memberi kesempatan kepada Tang Kiau-po untuk mendaratkan sebuah sapuan tongkat besinya yang telak ke paha Hong-koan Hwesio. Tak ampun lagi rahib angin-anginan itupun roboh dengan tulang paha yang retak berat!

Sebenarnya Tang Kiau-po masih ingin menghadiahkan sebuah pukulan lagi ke batok kepala lawan yang dibencinya itu, tapi karena melihat Hong-koan Hwesio telah dilindungi oleh beberapa murid Siau-lim-pay, maka Tang Kiau-po lalu membatalkan niatnya dan bergerak mundur bersama rombongan Hwe-liong-pang. Toh keberhasilannya untuk mengungguli Hong-koan Hwesio pada hari itu sudah cukup untuk mengangkat pamornya.

Di sebelah lain, Hong-tay Hwesio sebenarnya juga bertekad tidak akan melepaskan Te-liong Hiang-cu yang dapat menjadi bibit malapetaka di kemudian hari itu, tapi ternyata pemimpin Hwe-liong-pang itu berhasil juga melarikan diri setelah menggunakan ilmu hitamnya yang bernama Thian-ko-kay-teh-kang, yaitu ilmu untuk meningkatkan tenaga secara mendadak dengan jalan menggigit lidahnya sendiri.

Dengan cepat barisan Hwe-liong-pang itu telah mencapai kaki bukit Siong-san, jumlah mereka nampak sudah jauh susut dengan jumlah ketika menyerbu naik, hampir separonya telah gugur atau tertawan oleh kaum pendekar. Dengan buru-buru, orang-orang Hwe-liong-pang itu berlompatan ke punggung kuda-kuda mereka, lalu berpacu meninggalkan Siong-san secepat-cepatnya.

Kerugian yang diderita oleh Hwe-liong-pang kali itu memang tidak kecil. Selain kehilangan hampir separoh dari anak buah mereka, mereka pun kehilangan beberapa tokoh penting dan jago mereka. Sebun Say tewas ditembus kipas besi Liu Tay-liong, begitu pula Hong-long-cu Mo Hui tewas pula diremuk oleh toya Kiu-hoan-kun Bu-sian Hweshio. Sedangkan Thio Hong-bwe beruntung bisa lolos dari amukan rahib muda itu, biarpun dengan membawa luka- uka parah yang mengenaskan.

Empat orang Tong-cu yang tadi terkurung oleh barisan Lo-han-tin, ternyata tidak seorang pun yang berhasil lolos, semuanya tertangkap hidup-hidup. Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji bisa lolos, namun dengan kekecewaaan yang sangat mendalam di hatinya karena menemui kenyataan bahwa ketinggian ilmunya ternyata tidak seperti yang dibayangkannya selama ini. Hwe-tan Seng Cu-bok juga lolos, namun seluruh gigi depannya telah habis dipreteli oleh Wi-lian dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan geledeknya. Kini jika ia membuka mulutnya, maka yang kelihatan cuma sederetan gusi merah tanpa gigi sebuahpun, sedang bicara pun menjadi tidak jelas.

Hampir meledak rasanya dada Te-liong Hiang-cu, ketika melihat anak buahnya yang dibanggakan itu ternyata menjadi begitu konyol keadaannya itu. Hampir saja ia mencaci maki anak buahnya, namun akhirnya ia tidak melakukan hal itu, sebab kuatir anak buahnya akan meninggalkan dirinya, padahal mereka masih diperlukan untuk masa-masa berikutnya dalam rangka mewujudkan nafsunya untuk menguasai dunia.

* * * * * * *

SETELAH rampungnya pertempuran besar-besaran yang dahsyat itu, ternyata pihak kaum pendekar juga mengalami kerugian. Umumnya yang menjadi korban ialah kaum muda dari berbagai perguruan, yang meskipun memiliki kepandaian-kepandaian cukup, namun kurang pengalaman menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Tapi anak-anak muda yang berhasil lolos dari pertempuran itu akan dapat berbangga dengan pengalamannya yang hebat itu.

Hong-tay Hwesio sebagai pimpinan seluruh pendekar, segera bertindak dengan cepat. Ia membentuk regu-regu penolong untuk menolong orang-orang terluka yang masih berserakan di seluruh lereng bukit, tidak peduli orang itu dari pihak kaum pendekar atau dari Hwe-liong-pang, semuanya mendapat pertolongan sekedarnya.

Sementara itu regu-regu lain bertugas untuk menguburkan mayat- mayat yang malang-melintang agar tidak menimbulkan bau busuk. Orang-orang Hwe-liong-pang yang tertawan tapi tidak terluka, dilucuti senjatanya dan dikurung dalam sebuah barak dengan tangan terikat. Sementara regu-regu itu bekerja, Hong-tay Hwesio telah mengumpulkan ketua-ketua perguruan atau tokoh-tokoh utama lainnya untuk merundingkan tindakan lebih lanjut apa yang akan diambil.

Setelah semuanya berkumpul, Hong-tay Hwesio pun berkata, “Sungguh tidak kita harapkan bahwa gembong iblis Te-liong Hiang-cu itu masih dapat meloloskan diri dengan sebagian dari anak buahnya. Aku yakin mereka tetap merupakan bahaya di kemudian hari, sebab tidak sulit bagi mereka untuk menyusun kekuatannya kembali dan menarik penjahat-penjahat untuk diajak bergabung, saat itu mereka akan melanjutkan cita-cita gila mereka untuk menaklukkan dunia persilatan. Apabila mereka sempat menyusun kekuatan lagi, maka kesulitan yang kita hadapi mungkin lebih besar dari sekarang. Bagaimana pendapat rekan-rekan?”

“Aku sependapat!” sahut Hong-lui kiam-khek Kongsun Tiau, ketua Jing-sia-pay itu. “Tadinya aku punya kesan baik terhadap Hwe-liong-pang, namun setelah aku menyelidiki sendiri ke kota Bun-siau dan mendapat kenyataan bahwa Hwe-liong-pang sekarang lain dengan Hwe-liong-pang yang dulu kukenal, maka aku merasa tidak perlu ragu-ragu lagi menghadapi mereka. Aku sudah melihat sendiri betapa ganasnya serbuan mereka kemari, dan beberapa anggota Jing-sia-pay telah gugur pula.”

“Aku juga sependapat,” sokong ketua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han. “Jumlah orang jahat dalam dunia persilatan tidak sedikit, tidak sedikit pula yang berkepandaian silat cukup tangguh. Apabila Te-liong Hiang-cu sempat membujuk mereka dan merangkul mereka ke dalam Hwe-liong-pang, kita semakin suluit menumpas mereka.”

“Menurut pendapatku, kita harus segera mengejar mereka secepatnya. Saat ini mereka sedang dalam keadaan lemah karena baru saja mengalami kekalahan dari kita, maka untuk menumpas mereka tentu tidak sesulit jika kekuatan mereka sudah terhimpun kembali. Hong-tay Hwesio, kau adalah pemimpin kami semua, silahkan segera mengambil langkah untuk rencana kita ini.”

Rahib Hong-tay tersenyum, lalu dengan suaranya yang lembut tapi tegas ia menyahut, “Baik. Untuk pertama kali aku terpaksa akan merepotkan saudara-saudara dari Kay-pang (Perkumpulan Pengemis)."

Wakil Kay-pang dalam pertemuan ksatria itu adalah Ling-kok-yan yang berjuuk Pat-pi-sin-kay (Pengemis Sakti Delapan Lengan). Ia segera berdiri dari tempat duduiknya dan berkata, “Siap mendengarkan perintah Tay-su!”

Kata Rahib Hong-tay, “Kay-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan yang cabang-cabangnya tersebar luas, anggotanya berjumlah puluhan ribu dan terdapat dimana-mana, ibaratnya seperti mempunyai sejuta mata dan sejuta telinga. Maka aku mohon kepada saudara Ling untuk menggerakkan saudara-saudara anggota Kay-pang untuk memata-matai dan menyelidiki kemanakah orang-orang Hwe-liong-pang itu melarikan diri. Ini perlu agar kita tidak kehilangan jejak mereka dan dapat menghancurkan mereka.”

“Baik,” sahut Ling Kok-yan singkat. Begitu menjawab, dia langsung bangkit dan berdiri meninggalkan tempat pertemuan.

Untuk menjalankan pekerjaan seperti yang diminta oleh Hong-tay Hwesio itu ternyata Ling Kok-yan tidak perlu bersusah-payah. Cukup ia menuju ke kota Teng-hong yang tidak jauh dari Siong-san, lalu menemui ketua cabang Kay-pang di Teng-hong dan memberikan perintah-perintah singkat tentang apa yang harus diperbuat. Dan tidak lama kemudian, Kay-pang cabang Teng-hong pun telah menyebarkan burung-burung merpati pembawa surat ke segala penjuru, serta kurir-kurir yang menunggang kuda. Demikian cepat dan rapinya cara kerja golongan pengemis itu.

Sementara itu, di Siong-san Hong-tay Hwesio telah menetapkan rencana berikutnya, “Sekarang kita tetapkan saja bahwa mulai besok pagi-pagi buta kita akan serempak meninggalkan bukit ini dan mengejar sisa Hwe-liong-pang sesuai dengan arah yang akan diberitahukan oleh saudara-saudara kita dari Kay-pang. Supaya gerakan kita ini tidak menimbulkan perhatian Pemerintah Kerajaan Beng yang selalu mencari-cari kesalahan kita itu, maka pengejaran akan dipecah-pecah dalam regu-regu kecil yang tidak menyolok. Setiap regu yang mengalami kesulitan, misalnya karena bentrok dengan musuh yang lebih kuat, harap jangan ragu-ragu atau sungkan-sungkan untuk mengirim kabar atau minta bantuan kepada regu-regu lainnya. Jangan sampai kita dihancurkan sebagian demi sebagian tanpa dapat saling membantu. Dalam hal ini dperlukan kesadaran saudara-saudara agar tidak terlalu teguh berpegang pada harga diri pribadi sehingga segan meminta bantuan, sikap demikian itu akan dapat mengacaukan seluruh rencana besar kita.”

Suara-suara yang menyatakan sanggup memenuhi pesan-pesan Hong-tay Hwesio itu segera berkumandang di segala sudut ruangan. Dengan keputusan yang sudah ditetapkan demikian itu, maka pertemuan itu dibubarkan. Mereka masih akan punya kesempatan satu hari untuk beristirahat di Siong-san sambil merawat yang luka-luka atau tewas.

Rata-rata di antara mereka menunjukkan semangat tinggi, terutama bagi para pendekar=pendekar muda yang baru kali ini terjun ke dunia persilatan. Anak-anak muda itu menganggap bahwa permainan “kejar-kejaran” dengan Hwe-liong-pang itu tentu akan menarik sekali, mengingatkan mereka kepada permainan perang-perangan sewaktu mereka masih kecil.

Hong-tay Hwesio menggunakan kesempatan hari itu untuk menjenguk keadaan luka Liu Tay-liong serta Hong-koan Hwesio, dengan didampingi oleh Kim-hian Tojin, Yu Hau- seng dan tokoh-tokoh utama lainnya. Kedua orang yang terluka itu telah dibawa masuk ke bagian dalam kuil kuno itu dan ditangani langsung oleh rahib-rahib tua yang mahir dalam ilmu pengobatan.

Ternyata keadaan Hong-koan Hwesio dan Liu Tay-liong memang tidak menggembirakan sama sekali. Rahib Hong-goan tetap dalam keadaan sadar, tetapi tidak henti-hentinya meringis kesakitan sambil mencaci-maki orang-orang Hwe-liong-pang. Menurut Rahib, Hong-koan Hwesio itu akan dapat disembuhkan namun tidak bisa pulih seperti semula. Jika sembuh kelak, Hong-koan Hwesio akan menjadi seorang yang timpang, sehingga kemahiran ilmu silatnya pun akan merosot beberapa bagian.

“Aku benar-benar sial,” demikian Hong-koan Hwesio menggerutu di tempat tidurnya. “Aku menderita luka atau cacat yang lebih berat pun aku rela, asal lawanku juga menderita luka yang sama beratnya. Tapi luka yang kuderita kali ini benar-benar percuma, sebab si ular tua berambut merah itu berhasil melarikan diri dengan segar-bugar. Huh!”

Soat-san-kiam-sin Oh Yu Thian menghibur sahabat karibnya itu dengan berkata, “Sudahlah, itu adalah akibat kesalahanmu sendiri yang kurang giat berlatih silat, kerjamu selama ini hanya keluyuran kesana kemari sambil mengganggu orang lain. Tapi tentang urusan bangsat berambut merah itu, serahkanlah kepadaku, akan kupotong sebelah kakinya untukmu."

Sementara itu keadaan Liu Tay-liong jauh lebih buruk dari Hong-koan Hwesio. Sejak digotong masuk ke dalam ruangan ini tadi, dia belum sadarkan diri sama sekali. Rahib Hong-bun sudah bekerja keras dengan segala jenis obat dan seluruh kepandaian pertabibannya yang dikuasainya, namun usahanya itu paling-paling hanya membuat muka Liu Tay-liong tidak terlalu pucat saja, dan sama sekali belum berhasil membuatnya siuman.

Ketika Hong-tay Hwesio menanyakan bagaimana keadaan Liu Tay-liong, Hong-bun Hwesio hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum pahit. Katanya hampir putus asa, “Payah sekali. Menurut beberapa saksi mata yang melihatnya, saudara Liu ini memang sengaja mengorbankan dirinya agar bisa membunuh lawannya. Dia berhasil membunuh lawan, namun dadanya sendiri terkena pukulan lawannya yang bukan main kerasnya, mengakibatkan empat helai tulang dadanya patah ke dalam dan agak melukai bagian dalam tubuhnya. Sedangkan beberapa buah uratnya pun tergetar putus dan agaknya sulit pulih kembali. Andaikata saudara Liu ini dapat sembuh, semua kepandaiannya akan hilang, begitu pula jurus-jurus silatnya hanya dapat untuk menyehatkan badan saja, tidak bisa lagi untuk berkelahi.”

Mendengar keterangan Hong-bun Hwesio itu, para pendekar hanya menarik napas panjang dengan sikap sayang, mereka merasa sayang karena seorang tokoh pendekar yang begitu gigih menegakkan kebenaran seperti Liu Tay-liong ini akhirnya harus mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Kongsun Tiau, yang pernah bersama-sama dengan Liu Tay-liong ketika menerobos kota Bun-siau untuk menyelidiki kekuatan Hwe-liong-pang, berkata dengan nada penuh penyesalan,

“Aku belum lama mengenal Liu Lo-eng-hiong secara pribadi, meskipun pernah pula kudengar akan nama besarnya, namun dalam perkenalanku yang singkat itu aku telah mengetahui akan pribadinya yang baik dan terbuka sehingga meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Dengan nasib yang dialaminya ini, untuk selanjutnya dunia persilatan akan kehilangan seorang tokoh yang begitu cemerlang.”

Sahut Kiau Bun-han gagah, “Tapi pengorbanan Liu Lo-eng-hiong tidak sia-sia. Meskipun Liu Lo-eng-hiong menjadi cacat seumur hidup, namun iblis kerdil dari Jing-hay itu berhasil dibunuhnya pula, sehingga berkuranglah satu orang pembuat huru-hara yang ditakuti itu. Dalam usaha kita untuk mengejar Hwe-liong-pang besok, siapa tahu beberapa orang di antara kita juga akan menjadi korban, gugur atau cacat, namun demi ketentraman umat manusia kita memang sudah bertekad untuk menempuh jalan itu dan tidak peduli pengorbanan apapun.”

“Ucapan seorang ksatria sejati!” sambung Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay. “Aku percaya bahwa Liu Lo-eng-hiong pun tidak akan menyesali nasib yang dideritanya, sebab pengorbanannya cukup setimpal.”

Demikianlah keadaan Hong-koan Hwesio dan Liu Tay-liong yang terluka berat itu. Terlukanya kedua tokoh utama kaum pendekar itu tidak membuat pendekar-pendekar lainnya jadi patah semangat, melainkan justru semakin berkobar semangatnya untuk menumpas Hwe-liong-pang sampai ke akar-akarnya.

Semangat yang terlalu berkobar itulah yang mencemaskan Tong Wi-hong dan Wi-lian, sebab dengan sikap permusuhan semacam itu maka yang menerima akibatnya bukan hanya Te-liong Hiang-cu dan pengikut-pengikutnya, melainkan juga Tong Wi-siang yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang penyerbuan ke Siong-san itu!

Di salah sebuah barak yang didirikan di sekitar kuil, nampaklah Wi-hong dan Wi-lian sedang berbicara dengan asyiknya dengan ibu mereka. Dalam percakapan itu, untuk lebih menggembirakan hati ibunya, Wi-lian menceritakan bahwa ternyata kakak tertuanya, Tong Wi-siang yang sekian lama menghilang tak tentu rimbanya itu, ternyata masih ada dan menitipkan sembah sujud untuk ibunya.

Berita itu bagaikan sebuah aliran tenaga ajaib yang membuat wajah Tong Hu-jin seketika itu berseri-seri kegirangan. Sambil mengguncang-guncang pundak anak gadisnya, ia berkata dengan nada setengah percaya setengah tidak, “Ka... kata... mu kau sudah bertemu A-siang? Benarkah itu?”

“Benar, ibu, aku dan A-hong sudah menjumpainya sendiri di sebuah kapal di tengah-tengah danau Po-yang-ou dekat rumah kita. Bahkan A-siang juga yang telah memperbaiki rumah kita, membangun dan memperindah makam ayah dan bahkan telah membalaskan sakit hati keluarga kita kepada Cia To-bun.”

“Benarkah itu, A-hong?” tanya ibunya kepada Tong Wi-hong.

Dan ketika Tong Wi-hong mengangguk membenarkan, maka meneteslah air mata kebahagiaan perempuan tua itu, bibirnya gemetar menyebut kebesaran Tuhan, “Thian benar-benar maha adil. Tadinya aku mengira bahwa anakku hanya tinggal A-hong seorang diri. Aku menduga A-lian tentu sudah dibunuh oleh kawanan pembunuh suruhan Cia To-bun, begitu pula A-siang sudah hilang tak keruan lagi jejaknya, namun ternyata ketiga anakku masih lengkap semuanya.”

Sejenak suasana pertemuan antara ibu dan anak-anaknya itu jadi dicengkam oleh keharuan. Setelah Tong Hujin dapat menguasai gelora perasaannya dan menjadi tenang kembali, ia lalu mengusap air matanya dan bertanya, “Lalu sekarang di manakah anak benga itu?”

Terhadap ibunya ini Wi-hong dan Wi-lian tidak berani menyembunyikan rahasia apapun juga. Maka mereka pun menceritakan secara lengkap mulai dari pertemuan di atas telaga Po-yang-ou di mana saat itu mereka mengetahui bahwa Tong Wi-siang adalah Hwe-liong-pang-cu, kemudian pertempuran di Jian-hoa-kok di mana Hwe-liong-pang terbagi dua menjadi pihak-pihak yang bermusuhan, semuanya diceritakan selengkap-lengkapnya.

Dan yang melengkapi penuturan itu adalah hasil penyelidikan mereka di kota Bun-siau, dimana diketahui bahwa Tong Wi-siang telah dikhianati dan diambil alih kekuasaannya oleh bekas sahabatnya sendiri, yaitu Tan Goan-ciau yang bergelar Te-liong Hiang-cu itu. Mendengar kabar itu, wajah Tong Hujin kembali menjadi sedih, namun Wi-lian buru-buru menghiburnya,

“Ibu tidak usah mencemaskan nasib A-siang, aku yakin bahwa saat ini A-siang tidak kurang suatu apapun, paling-paling hanya kehilangan kekuasaannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang. Ketika aku sempat mencuri dengar pembicaraan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang di kuil Tay-hud-si, mereka masih berusaha menemukan A-siang dan pengikut-pengikutnya. Ini berarti A-siang masih dalam keadaan selamat karena belum diketemukan.”

Tong Hujin menarik napas berulang kali ketika mendengar kisah yang cukup menegangkan itu. Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Aku bersyukur bahwa A-siang masih selamat, namun sifat-sifat bengalnya itu agaknya belum hilang juga dan selalu membawanya dalam kesulitan. Dulu di An-yang-shia dia telah memimpin kawanan berandalnya untuk mengacau kota, dan kini ia mengacau dunia persilatan dengan Hwe-liong-pangnya.”

Mendengar ucapan ibunya itu, cepat Wi-lian memotong, “Ibu jangan keliru, yang mengacau dunia persilatan saat ini bukan Hwe-liong-pangnya A-siang melainkan Hwe-liong-pangnya Tan Goan-ciau alias Te-liong Hiang-cu yang kepemimpinannya sama sekali tidak sah. Kalau A-siang sendiri justru pernah menyatakan kepadaku, katanya ingin memimpin Hwe-liong-pangnya untuk bersahabat dengan golongan-golongan lainnya dan berjuang bersama-sama menegakkan keadilan.”

“Oh, ya, aku salah bicara,” kata Tong Hujin sambil tertawa. “Setelah selesainya pertemuan di tempat ini, bagaimanakah rencana kalian selanjutnya?”

Sahut Wi-hong, “Aku mencemaskan bahwa suasana permusuhan antara para pendekar ini terhadap Hwe-liong-pang sulit dipadamkan dalam waktu singkat, yang aku kuatirkan bahwa mereka akan keliru menghantam Hwe-liong-pang nya A-siang yang tidak tahu menahu dalam permusuhan ini. Karena itu, aku dan A-lian setelah selesainya pertemuan ini akan segera berusaha mencari jejak A-siang, lalu membujuk A-siang agar dia dan pengikut-pengikutnya untuk sementara waktu tidak muncul dulu di dunia persilatan agar tidak menimbulkan salah paham dengan kaum pendekar.”

“Kemana kalian hendak mencari?” tanya ibunya.

Tong Wi-hong menarik napas, “Entahlah, tapi kami harus berusaha sebelum terjadinya korban jiwa hanya karena kesalahpahaman. Jelas kami tidak menginginkan terjadinya korban jiwa di pihak para pendekar maupun di pihak A-siang dan pengikut-pengikutnya. Kedua pihak sama-sama ksatria sejati yang bercita-cita luhur, tidak pantas untuk saling cakar satu sama lain. Tentang bagaimana caranya mencari A-siang, kami akan mencoba melacak jejaknya lewat tempat-tempat yang pernah dianggap sebagai cabang Hwe-liong-pang. Memang sulitnya bagaikan mencari sebatang jarum di tumpukan jerami, namun betapapun kita harus berusaha.”

“Kalau begitu, aku ikut kalian untuk mencari A-siang,” kata Tong Hujin mantap.

Wi-lian memegang tangan ibunya, sambil berkata, “Ibu, perjalanan untuk menemukan jejak A-siang dan pengikut-pengikutnya itu pasti bukan suatu perjalanan yang enak namun malahan penuh bahaya. Selain adanya kemungkinan bentrok dengan orang-orangnya Te-liong Hiang-cu yang lihai-lihai, juga ada kemungkinan bentrok dengan kaum pendekar yang bersikap keras terhadap Hwe-liong-pang. Karena itu sebaiknya ibu beristirahat saja di rumah kita di An-yang-shia yang sekarang sudah dipugar, dan disana ibu boleh menunggu berita saja dari kami.”

Tong Hujin tertawa ketika mendengar ucapan anak gadisnya itu, “Anak sombong, kau pikir ibumu ini hanya akan menjadi beban kalian saja? Mentang-mentang kau sudah menjadi murid Hong-tay Hwesio lalu memandang remeh orang lain, kau kira ibumu selama dua tahun lebih di Soat-san itu hanya menganggur dan tidak melatih ilmu silat?”

Untuk meyakinkan puterinya itu, cepat Tong Hujin menghunus pedangnya dan memainkan sejurus ilmu pedang yang cepat, dan sedetik kemudian pedang itu sudah berada dalam sarungnya kembali. Wi-lian masih ingin bergurau dengan ibunya, maka sambil mencibirkan bibirnya ia berkata, “Apa hebatnya jurus itu...”

Namun kata-katanya itu terputus, dengan terkejut ia melihat beberapa ekor lalat sudah bergeletakan di tanah dalam keadaan tubuh terbelah dua! Jelaslah bahwa lalat-lalat sial itu telah terbelah oleh sambaran pedang Tong Hujin ketika memainkan jurus pedangnya tadi. Mau tidak mau Wi-lian menjulurkan lidahnya karena kagum.

Ting Bun, Cian Ping, Tong Wi-hong dan dua saudara So juga terkejut melihat kecakapan jurus pedang setinggi itu. Dengan kemampuannya yang seperti itu, Tong Hujin jelas bukan beban yang memberatkan anak-anaknya, namun justru merupakan tenaga bantuan yang dapat diandalkan dalam menghadapi kesulitan.

“Jurus yang tidak berarti bukan?” kata Tong Hujin ketika melihat anak gadisnya masih melongo kaget.

Wi-lian tersipu sejenak, tapi ia lalu tertawa sambil memeluk ibunya, katanya, “Hebat! Tidak kuduga kemajuan ilmu silat ibu sehebat ini!”

Di bagian lain, Hong-tay Hwesio telah memerintahkan kepada beberapa orang murid dan keponakan muridnya untuk menghadapkan keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berhasil ditawan hidup-hidup dengan menggunakan bariasan Lo-han-tin itu. Keempat Tong-cu itu akan dikorek keterangan tentang Hwe-liong-pang.

Tak lama kemudian, keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah muncul di ruangan itu dalam keadaan terikat tangannya, digiring oleh murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkumpul di Siong-san itu. Keempat Tong-cu itu masing-masing adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun yang menjabat Pek-ki-tong-cu, Thi-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian yang memimpin Ci-ki-tong, Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang sebagai Ang-ki-tong-cu serta Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) He-hou Im sebagai Hek-ki-tong-cu. Keempat orang itu nampak lesu dan penuh kelelahan, meskipun mata mereka masih memancarkan kemarahan dan permusuhan.

Melihat munculnya keempat tawanan itu, Hong-tay Hwesio segera memerintahkan kepada murid-muridnya, “Lepaskan ikatan mereka dan ambilkan tempat duduk untuk mereka!”

Ketika keempat Tong-cu Hwe-liong-pang itu telah duduk di kursinya masing-masing, dengan muka yang cerah dan sama sekali tidak mengandung permusuhan, Hong-tay mulai berkata, “Si-wi-eng-hiong (tuan pendekar berempat), seperti kalian lihat sendiri bahwa saat ini Hwe-liong-pang sudah mendekati saat kehancurannya. Itu adalah hukum alam. Siapa yang berbuat sewenang-wenang dan menentang hukum alam, sama dengan mempercepat kehancurannya sendiri. Besok pagi-pagi benar, kami semua akan meninggalkan gunung ini secara serempak, dan mulai melakukan pengejaran besar-besaran kepada teman-teman kalian yang masih berhasil lolos dari pertempuran tadi. Seluruh kekuatan dunia persilatan dari kaum lurus akan dikerahkan untuk pekerjaan ini, sehingga hasilnya pun tidak diragukan lagi.”

Keempat orang Tong-cu itu mendengarkan perkataan Hong-tay Hwesio itu tanpa menyahut sepatah katapun, namun mimik muka mereka menunjukkan sikap yang berbeda-beda. Tong King-bun nampak acuh tak acuh, kepada nasibnya sendiri pun dia sudah tidak peduli lagi, apalagi terhadap orang lain. He-hou Im nampak dingin, namun diam-diam dalam hatinya menyimpan harapan agar diampuni dan dibebaskan.

Song Hian menggertak gigi dengan geram. Ko Ce-yang menatap penuh kebencian kepada Hong-tay Hwesio, namun ketika rahib tua itu balas menatapnya, maka terpaksa Ko Ce-yang membuang muka karena tidak tahan menantang tatapan rahib tua itu.

Dengan suara yang tetap sesabar semula, Hong-tay Hwesio berkata lagi, “Lambat atau cepat, kami akan menemukan tempat persembunyian mereka dan kemudian menumpas pentolan-pentolannya. Sedang terhadap anggota-anggota biasa yang bertindak hanya karena menjalankan perintah, kami akan mempertimbangkan keinsyafan mereka, sebab kami bukannya orang-orang yang haus darah dan selalu ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Begitu pula kepada Su-wi-eng-hiong kami tawarkan kesempatan untuk berbuat kebajikan kepada dunia persilatan, yaitu dengan cara menunjukkan tempat mereka.”

Kecuali Ko Ce-yang yang keras kepala, maka ketiga orang Tong-cu lainnya sudah menunjukkan sikap berminat kepada tawaran Hong-tay Hwesio itu. Perbedaan sikap itu dapat dimengerti. Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian memang bukan anggota lama Hwe-liong-pang, mereka baru beberapa hari saja menjadi anggota Hwe-liong-pang, karena ditarik oleh Te-liong Hiang-cu dan diberi janji yang muluk-muluk. Karena itu kesetiaan mereka kepada Hwe-liong-pang boleh dikata tidak ada sama sekali. Mereka akan ikut mencicipi jika Hwe-liong-pang kelak mengalami kejayaan, tapi jika Hwe-liong-pang di pinggir jurang kehancuran, mereka lebih suka menyelamatkan dirinya sendiri.

Sedangkan Ko Ce-yang memang anggota lama Hwe-liong-pang yang sudah bertahun-tahun dibina oleh Te-liong Hiang-cu, seluruh pikiran dan perasaannya sudah dipenuhi oleh nafsu berkuasa yang dikobarkan karena mendengar janji-janji muluk Te-liong Hiang-cu, tidak ada pertimbangan lain lagi. Apalagi otaknya memang agak bebal, maka ia bertekad setia kepada Te-liong Hiang-cu secara membabi buta.

Hong-tay Hwesio mengamati perubahan wajah keempat orang tawanannya itu dengan cermat, ucapnya lagi, “Bagi kami yang belum tahu tempat persembunyian Hwe-liong-pang tentu agak sulit menemukan tempat itu. Tapi kalian dapat mempercepat tugas kami dengan jalan membantu kami.”

Mata He-hou Im berputar-putar, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apa imbalan buat kami?”

“Kalian berempat akan kami bebaskan kembali, meskipun dengan syarat agar kalian tidak membuat kekacauan lagi.”

“Hanya itu saja imbalannya?” He-hou Im mencoba “menawar”.

Thian-goan Hweshio yang duduk di sebelah Hong-tay Hwesio itu menjadi naik darah melihat sikap He-hou Im itu. Bentaknya, “Tutup mulutmu! Kepala kalian masih utuh karena kami biarkan bertengger terus di leher kalian itu saja sudah suatu keuntungan bagi kalian, kalian masih mau menuntut apa lagi?”

Seri tawa He-hou Im lenyap seketika bagaikan awan dihembus angin. Dia berjulukan Sat-sin-kui atau Setan Ganas, menandakan tindak-tanduknya yang kejam sekali, namun ketika berhadapan dengan Thian-goan Hweshio yang bermata mencorong seperti mata harimau itu, maka rontoklah nyali Sat-sin-kui tanpa tersisa sedikitpun. Buru-buru ia menundukkan kepalanya dengan mulut bungkam.

Yang berani membalas membentak justru adalah Ko Ce-yang, “Persetan dengan usul kalian yang bau kentut itu, keledai gundul! Aku lebih suka mampus daripada berkhianat kepada Te-liong Hiang-cu dan cita-citanya!”

“Benar-benar lelaki sejati!” seru Kiau Bun-han dengan suara tidak kalah garangnya. “Kalau ingin mampus sekarang, apa gunanya? Sekarang juga aku sanggup memampuskan kau!”

Suasana segera menjadi agak ribut. Ko Ce-yang adalah seorang yang nekad dan tidak kenal gelagat, sebaliknya Kiau Bun-han pun berwatak keras dan berdarah panas, maka kedua orang itu telah bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan siap untuk berbaku hantam.

Namun Hong-tay Hwesio cepat berkata kepada Ketua Hoa-san-pay yang pemarah itu, “Kiau Ciang-bun-jin, aku harap kau tidak menuruti saja hati panasmu itu sehingga akan membuat terbengkalainya urusan yang lebih penting.”

Dengan muka yang masih merah, akhirnya Kiau Bun-han meletakkan kembali pantatnya ke atas kursinya. Namun matanya masih berapi-api melotot ke arah Ko Ce-yang. Hong-tay Hwesio segera memerintahkan murid-muridnya untuk mengurung kembali Ko Ce-yang, karena orang itu agaknya tidak bisa diajak bicara lagi, dan kehadirannya malah akan mengganggu rekan-rekannya dalam mengambil keputusan.

Ketika dua orang hweshio muda hendak meringkusnya kembali, Ko Ce-yang meronta-ronta hebat dan memaki-maki dengan kata-kata yang kotor, sehingga kedua rahib muda itu menjadi agak kewalahan. Terpaksa Hong-tay Hwesio turun tangan. Tanpa bangkit dari tempat duduknya dan dari jarak belasan langkah, Hong-tay Hwesio menudingkan jarinya dan melancarkan ilmu totokan Kim-kong-ci (Jari Malaikat) yang terkenal itu. Orang-orang di tempat itu hanya melihat ada sejalur warna putih melesat dari ujung jari rahib tua dan “mendarat” di pinggang Ko Ce-yang, seketika itu juga Tong-cu yang bandel itu terkulai lemas. Gumam kekaguman terdengar di ruang itu.

Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian pun merasa kagum dan gentar ketika melihat kepandaian rahib tua itu, lunturlah semangat mereka itu untuk membangkang lagi. Bagi orang-orang semacam mereka bertiga ini, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatan diri sendiri. Maka begitu melihat kepandaian Hong-tay Hwesio, mereka sadar bahwa cita-cita muluk yang dijanjikan oleh Te-liong Hiang-cu itu sudah kandas di tengah jalan, Hwe- liong-pang sudah tidak bisa diandalkan lagi.

Ketika Hong-tay Hwesio sekali lagi menanyakan tempat persembunyian Te-liong Hiang-cu, maka Song Hian menjawab sejujurnya, “Taysu (Bapak Pendeta), tentang tempat persembunyiannya yang pasti, kami tidak tahu, sebab kami menjadi anggota Hwe-liong-pang baru beberapa hari saja. Namun kami pernah bercakap-cakap dengan beberapa anggota lama seperti Ko Ce-yang atau Mo Hui, mereka sering menyebut tentang puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Kami tidak tahu apakah tempat itu merupakan tempat persembunyian mereka yang sesungguhnya atau bukan, tapi hanya itulah yang bisa kami katakan.”

Kongsun Tiau membantingkan kakinya ke lantai dan berteriak, “Hanya keterangan seremeh itu yang dapat kalian katakan, apakah itu setimpal dengan kebebasan yang akan kalian peroleh?”

Song Hian saling bertukar pandangan dengan kedua orang temannya, lalu katanya sambil menarik napas, “Apa boleh buat... Kami adalah tawanan kalian, mau kalian bunuh atau kalian siksa pun kami tetap tidak bisa melawan lagi, buat apa kami membohongi kalian? Coba kalian pikir, kami baru belasan hari menjadi anggota Hwe-liong-pang, masakah Te-liong Hiang-cu bisa langsung mempercayai kami dan memberitahukan semua rahasia-rahasia perkumpulannya? Bukankah itu tidak masuk akal?”

Tong King-bun dan He-hou Im segera membenarkan ucapan rekannya itu.

“Lagipula, buat apa kami menyembunyikan rahasia tempat mereka, sedang saat ini kami sudah tidak ada hubungan kepentingan lagi dengan mereka?” kata Tong King-bun memperkuat pendapat temannya.

Kongsun Tiau dan ketua-ketua perguruan lainnya serempak memandang ke arah Hong-tay Hwesio untuk meminta pendapat rahib tua itu. Dengan ketajaman mata batinnya, Hong-tay Hwesio tahu bahwa Song Hian dan kawan-kawannya itu tidak mungkin berbohong lagi dalam keadaan semacam itu. Kata Hong-tay dengan sabar,

“Aku percaya ucapan kalian bertiga. Baiklah, saudara-saudara pendekar, kita akan mulai bergerak besok pagi ke arah Gunung Bu-san di Su-coan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa arah perjalanan kita akan berubah di tengah jalan. Tidak mustahil bahwa Te-liong Hiang-cu telah menebak tindakan kita ini, lalu dia mencari tempat persembunyian yang lain. Kita akan berangkat secara terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, namun setiap kelompok hendaknya saling berhubungan dan saling memberi kabar tentang keadaannya masing-masing, dengan melewati saudara-saudara anggota-anggota Kay-pang yang akan bertindak sebagai penghubung dan penyampai berita. Gerakan besar ini tidak boleh kacau.”

Lalu Rahib Hong-tay berkata kepada ketiga orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu, “Kalian bertiga akan termasuk dalam kelompok kecilku.”

Begitu mendengar itu, wajah ketiga orang Tong-cu itu seketika pucat karena terkejutnya. Dengan tergagap-gagap Tong King-bun berkata, “Tetapi... tetapi... apakah kami sanggup melawan Te-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti... seperti iblis itu? Kami... kami...”

Rahib Hong-tay cepat memotong ucapan Tong King-bun itu, “Tepat sekali, kalian harus ikut bertempur melawan bekas rekan-rekan kalian itu. Selama ini telah cukup banyak perbuatan kalian yang merugikan orang lain, sekarang cobalah gunakan tenaga kalian untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan orang banyak, dengan jalan ikut menumpas Hwe-liong-pang. Lagipula kalian tidak perlu begitu takutnya kepada Te-liong Hiang-cu, sebab dia bukannya seorang yang tidak terkalahkan sama sekali. Bicara terus terang saja, dari pihak Siau-lim-pay kami saja ada beberapa orang yang akan sanggup bertempur mengimbangi iblis itu. Belum terhitung dari perguruan-perguruan lain.”

Ketiga orang Tong-cu itu tidak membantah lagi, namun wajah mereka masih menampakkan kebimbangan dan kengerian jika harus melawan iblis bertopeng yang pernah menjadi pemimpin mereka itu.

Hong-tay Hwesio memahami perasaan mereka, maka ia berkata lagi, “Tentu saja kami akan bertindak adil dengan jalan tidak akan menyuruh kalian untuk menghadapi lawan yang tidak seimbang. Tetapi kalian harus ikut dan harus menjadi penunjuk jalan kami, itu mutlak tidak bisa ditawar lagi.”

Ketiga orang Tong-cu itu akhirnya cuma bisa menarik napas panjang dan menyesali nasib mereka yang kurang baik. Betapapun enggannya mereka, namun keputusan sudah dijatuhkan, dan mereka akan melakukan pekerjaan yang paling tidak enak, yaitu memburu bekas kawan-kawan mereka sendiri.

Kepada murid-muridnya, Hong-tay Hwesio memerintahkan, “Bawalah ketiga Tong-cu ini ke ruang istirahat mereka, dan layanilah mereka baik-baik.”

Tentu saja yang dimaksudkan dengan “ruang istirahat” adalah tempat tahanan mereka. Begitu mereka tiba di tempat penahanan mereka dan membuka pintu, mereka hampir menjerit serempak karena terkejutnya. Bahkan empat orang rahib muda Siau-lim-si yang mengawal mereka pun ikut terkejut.

Ko Ce-yang, yang tadi telah dipulangkan ke rumah tahanan ini lebih dulu, ternyata kini telah tergantung kaku di atas belandar ruangan itu. Dia telah menggunakan ikat pinggangnya sendiri untuk menjerat lehernya, matanya melotot lebar dan lidahnya terjulur keluar, sedang di bawah kakinya ada sebuah kursi yang sudah roboh. Tubuhnya masih belum begitu kaku ketika diraba oleh salah seorang rahib, namun jelas bahwa nyawanya sudah tidak di dalam tubuhnya lagi.

“Omitohud,” desis rahib-rahib muda itu sambil merangkapkan tangan mereka. “Kehidupan masih begitu panjang dan membutuhkan amal bakti, kenapa berpikiran sependek ini?”

Tong King-bun, He-hou Im dan Song Hian juga tidak menduga bahwa rekan mereka itu akan menjadi senekad itu mengakhiri hidupnya. Terdengar Song Hian menggerutu perlahan, “Dasar goblok. Te-liong Hiang-cu sendiri tidak menggubris mati hidup anak buahnya, sebaliknya dia begitu mati-matian setia kepada Te-liong Hiang-cu. Hemm, benar-benar mati penasaran.”

Sedang He-hou Im telah berkata kepada rahib yang mengawalnya, “Aku keberatan jika malam ini aku ditempatkan di ruang celaka ini.”

Mendengar ucapan He-hou Im itu, Tong King-bun lalu bergurau, “He, kau adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), kenapa malah takut kepada Tiau-si-kui (Setan Orang Menggantung Diri)?”

“Sat-sin-kui adalah setan berderajat tinggi, tidak sudi tidur satu ruangan dengan setan berderajat rendah macam Tiau-si-kui ini.”

“Begitu pula aku Say-ya-jat (Si Hantu Malam) juga tidak sudi berkumpul dengan setan penggantungan macam ini, kita pindah kamar saja,” kata Tong King-bun.

Dalam keadaan tertawan oleh musuh, ternyata para Tong-cu itu sempat juga bersenda-gurau untuk mengeluarkan kepepatan hati mereka. Keempat orang hweshio muda yang mengawal mereka pun ikut tersenyum, namun sekaligus terbuktilah bahwa kesetiakawanan di antara para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tipis sekali.

Bagaimanapun renggangnya hubungan mereka dengan Ko Ce-yang, toh mereka pernah seperjuangan, namun sekarang mereka tidak nampak sedih sedikitpun ketika melihat kematian Ko Ce-yang, bahkan kematian rekan mereka itu dijadikannya bahan senda gurau...!
Selanjutnya;