Perserikatan Naga Api Jilid 28Karya : Stevanus S.P |
Ternyata kaum Hwe-liong-pang yang menyerbu bagian itu adalah dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hwe-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok. Begitu pertempuran dimulai, maka Seng Cu-bok langsung saja menghambur-hamburkan peluru api kebanggaannya itu untuk mengacaukan barisan lawan.
Maka dengan bersorak-sorai liar, orang-orang Hwe-liong- pang kelompok Lam-ki-tong ini menyerbu ke atas bukit. Mereka menjadi berbesar hati setelah melihat kelihaian peluru api dari Tong-cu mereka. Pada saat Seng Cu-bok “berpesta” dengan peluru apinya itu, tiba-tiba muncullah seorang pendekar muda yang berseragam kuning Hoa-san-pay yang langsung menghadang serbuan Seng Cu-bok itu. Teriaknya dengan garang, “Penjahat Hwe-liong-pang! Jangan mengganas di sini!” Pendekar muda itu langsung melancarkan sebuah serangan hebat. Ujung pedangnya gemeredep membentuk sekuntum bunga keperak-perakan, sebuah jurus yang sangat indah tetapi juga membawa desir angin yang tajam, menandakan bahwa jurus itu bukan cuma tarian indah tetapi juga bisa mencabut nyawa lawannya. Ternyata yang menghadang Seng Cu-bok itu tidak lain adalah pendekar muda Hoa-san-pay yang sedang menanjak namanya, yaitu Auyang Seng yang berjuluk Gin-hoa-kim (Pedang Bunga Perak) itu. Karena tidak sempat lagi melemparkan peluru apinya, maka Seng Cu-bok segera melompat mundur sambil melolos golok dari pinggangnya. Ternyata dalam hal ilmu golok pun Seng Cu-bok cukup tangguh, ilmu golok yang dimainkannya ternyata bergaya perguruan Koay-to-bun (Perguruan Golok Kilat) yang cukup terkenal di daerah Koan-tong. Auyang Seng adalah pendekar muda yang cukup punya nama pula, tapi hanya untuk wilayah barat, di sekitar Gunung Hoa-san saja. Sekarang ia ikut serta datang ke Siong-san di wilayah Ho-lam ini tujuannya antara lain juga akan mengangkat nama di daerah ini. Maka dengan penuh semangat dia segera mainkan pedangnya untuk melayani permainan golok Seng Cu-bok. Jago muda Hoa-san-pay ini lebih dulu membuka serangan dengan jurus Kim-ke-tok-siok (Ayam Emas Mematuk Gabah). Dan ketika Seng Cu-bok menghindar ke samping, maka Auyang Seng meneruskannya dengan sebuah babatan ke pinggang lawan dengan jurus Hui-hong-sau-liu (Angin Puyuh Menyapu Pohon Liu). Seng Cu-bok menggeram jengkel melihat lawan ciliknya itu mendesaknya tanpa sungkan-sungkan lagi. Maka serangan lawan ke arah pinggang itu tidak dihindarinya melainkan ditangkisnya dengan sekuat tenaganya. Terdengar suara berdentang nyaring hasil benturan kedua senjata itu, dan Auyang Seng terkejut bukan kepalang karena telapak tangannya terasa pedih dan hampir saja pedangnya lepas dari tangannya. Kini sadarlah Auyang Seng bahwa lawannya itu bukanlah lawan empuk seperti yang diduganya semula. Sebaliknya Seng Cu-bok kini merasa bahwa dia kalah dalam urusan keaneka ragaman tipu silat, namun unggul dalam hal kekuatan dan pengalaman. Maka ia segera mendesak Auyang Seng dengan bacokan-bacokan bertubi-tubi, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada pendekar muda Hoa-san-pay itu untuk mengembangkan tipu-tipu pedangnya yang bermacam-macam itu, dan hanya dipaksa untuk bertahan terus. Auyang Seng sekarang benar-benar tidak berdaya di bawah “hujan golok” yang dilancarkan oleh lawannya. Tangannya yang memegang pedang merasa pegal bukan main karena harus selalu menangkis bacokan-bacokan lawan yang beratnya seperti runtuhan gunung itu. Sedang Seng Cu-bok yang merasa senang di atas angin itupun sempat mengeluarkan ejekan, “Kalau tidak salah bukankah kau ini si tikus kecil yang berhasil lolos dari tangan kami, ketika kami melakukan penyergapan di kota Sin-yang itu? Ha-ha, saat itu kau bisa lolos, tapi kali ini kau jangan harap bisa mengulangi nasib baikmu itu.” Auyang Seng tidak menyahut ejekan lawan itu. Untuk bernapaspun sudah tersengal-sengal, mana ada kesempatan untuk membalas ejekan lawan? Dalam kerepotannya dia mencoba siasat baru, yaitu dengan jalan mencoba bertempur kucing-kucingan di antara pohon-pohon siong yang tumbuh di situ. Namun siasat itupun tidak membawa hasil yang memuaskan, sebab dengan begitu telah memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok untuk kembali menghambur-hamburkan peluru apinya, meskipun hanya dengan tangan kiri. Pada saat Auyang Seng ibaratnya seperti telur di ujung tanduk itu, mendadak seorang gadis muda muncul di tempat itu tanpa membawa sepotong senjata pun. Begitu muncul, ia langsung berseru kepada Auyang Seng, “Saudara Auyang, serahkan orang ini kepadaku!” Ketika Auyang Seng dipergoki oleh gadis itu sedang dalam keadaan “petak umpet” dengan Seng Cu-bok, alangkah malunya dia. Auyang Seng kenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin berani mengeluarkan kata-kata yang keras di hadapan pertemuan kaum ksatria. Gadis itu pernah memancing kekaguman pemuda itu, dan ia sungguh tidak berharap akan dilihat oleh gadis itu ketika sedang dalam keadaan sekonyol itu. Namun dasar Auyang Seng memang keras kepala, demi menjaga gengsinya dia menjawab dengan keras, “Tidak usah nona merepotkan diri. Aku memang sengaja ingin melihat sampai dimana kelihaian bangsat ini dengan peluru-peluru apinya, sebelum dia merasakan kelihaian Hoa-san-kiam-hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay) kami!” Lalu dengan nekad Auyang Seng mengakhiri permainan kucing-kucingannya dan menerjang Seng Cu-bok secara berhadapan. Di dalam hatinya, Tong Wi-lian geli juga melihat pemuda Hoa-san-pay yang keras kepala itu. Namun dia sengaja akan membiarkan pemuda itu merasakan pil pahit dulu, setelah itu barulah menolongnya. Ternyata, begitu Auyang Seng berhenti dari siasat kucing-kucingannya, kembali ia terkurung di bawah bacokan-bacokan Seng Cu-bok yang cepat, keras dan bertubi-tubi itu. Tipu-tipu ilmu pedang Hoa-san-kiam-hoat yang terkenal akan keindahannya itu kini dapat “dikebiri” oleh Seng Cu-bok yang telah kenyang dengan pengalaman bertempur itu. Bahkan terdengar Seng Cu-bok mengejek lagi, “Ha-ha... julukanmu sungguh indah, Si Pedang Bunga Perak, tak tahunya hanya sebegini saja kemampuanmu. Orang-orang muda memang suka membual dan mengarang julukan yang hebat-hebat untuk dirinya sendiri, tapi isinya kosong melompong belaka. Ha-ha-ha-ha...” Sungguh tidak ada yang lebih memalukan daripada seorang anak muda yang bangga akan keadaannya, tahu-tahu dimaki-maki orang dihadapan seorang gadis tanpa bisa membantah sepatah katapun. Demikian pula keadaan Auyang Seng saat itu. Dadanya terasa hampir meledak mendengar maki-makian Seng Cu-bok itu, namun dalam kenyataannya memang dia terus terdesak mundur oleh lawannya. Bahkan sesaat kemudian, pedangnya benar-benar telah terpental lepas dari tangannya. “Gin-hoa-kiam, sekarang akan kubikin kau menjadi pendekar tanpa kepala!” teriak Seng Cu-bok sambil mengayunkan goloknya untuk menebas leher Auyang Seng, yang kini sudah tidak berdaya dan tinggal menunggu nasib saja. Tapi sebelum golok itu mengenai leher korbannya, sekonyong-konyong Seng Cu-bok merasakan lengannya tergetar keras dan bahkan tubuhnya terdorong mundur tiga langkah dengan kerasnya. Tentu saja bacokannya itu tidak mengenai sasarannya. Dengan pandangan mata tidak percaya, Seng Cu-bok melihat seorang gadis telah bertolak pinggang didepannya tanpa membawa senjata sepotongpun. Jelas gadis itulah yang telah menggagalkan serangan mautnya atas Auyang Seng tadi. Sementara itu, dengan tersipu-sipu Auyang Seng telah menyingkirkan dirinya dari gelanggang itu setelah lebih dulu memungut pedangnya. Pengalamannya yang sangat memalukan pada hari itu tidak terlupakan seumur hidupnya, namun justru pengalaman pahit itu membawa kebaikan untuknya. Di kemudian hari Auyang Seng lebih giat berlatih ilmu pedangnya, sedang sikap sombongnya itu terhapus sama sekali. Di kemudian hari Auyang Seng akan terkenal sebagai seorang pendekar yang berkepandaian tinggi namun rendah hati. Kini Seng Cu-bok telah berhadapan dengan Tong Wi-lian. Seng Cu-bok langsung mengenal gadis itu sebagai gadis yang kemarin malam telah berhasil lolos dari kuil Tay-hud-si, ketika kepergok sedang mengintai pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kemarin malam, Seng Cu-bok kurang dapat melihat jelas gadis itu. Namun sekarang, di tengah ributnya pertempuran di lereng bukit Siong-san itu, Seng Cu-bok dapat melihat betapa cantik dan manisnya gadis itu, sehingga Seng Cu-bok tak terasa telah menelan air liurnya. “Kiranya kau, yang kemarin beruntung berhasil lolos dari kawan-kawanku.” Kata Seng Cu-bok disertai tertawa cengar-cengirnya. “Kau seorang gadis yang secantik dan semanis ini, kenapa berkeliaran di tengah pertempuran yang ganas dan berbahaya ini? Tidak sayangkah kau jika wajah ayumu itu terkena senjata tajam sehingga mengurangi kecantikanmu?” Tidak jauh dari tempat itu, Cian Ping juga sedang bertarung melawan dua orang anggota Hwe-liong-pang. Puteri Cian Sin-wi itu, dengan sepasang hau-thau-kau nya nampak bertempur agak santai karena kedua lawannya berkepandaian rendah. Ketika Cian Ping sempat pula mendengar ucapan Seng Cu-bok terhadap Wi-lian itu, dia tertawa geli, lalu teriaknya kepada Seng Cu-bok, “He, penjual kembang api, ini adalah medan pertempuran dan bukan taman bunga tempat orang mencari jodoh!” Dan kepada Wi-lian, Cian Ping berteriak, “A-lian, hati-hatilah jangan sampai terbujuk oleh rayuan si penjual petasan itu, jangan sampai Ting Toako patah hati dan mencukur gundul rambutnya menjadi hweshio. Terhadap petasannya sih tidak perlu takut, di kota Tay-beng anak-anak umur lima tahun pun bisa membuat petasan macam itu.” Wi-lian mau tak mau tertawa mendengar senda-gurau Cian Ping itu, begitu pula Ting Bun yang juga tidak jauh dari situ sambil menghadapi tiga orang lawan. Sedangkan Seng Cu-bok menjadi merah padam mukanya saking marahnya karena dirinya dijadikan bahan senda-gurau oleh gadis-gadis itu. Hwe-tan kebanggaannya pun hanya disebut “petasan yang tidak perlu ditakuti”. Maka dengan geram ia merogoh ke dalam kantung kulitnya sambil menggeram ke arah Cian Ping, “Gadis cilik liar, rupanya kau menyukai petasanku, baiklah akan kuhadiahkan beberapa butir kepadamu.” Namun sebelum Seng Cu-bok sempat melemparkan peluru-peluru apinya, Wi-lian telah berkata lebih dulu, “Simpan saja petasan busukmu itu, sekarang bersiaplah untuk kuantarkan menghadap nenek moyangmu!” Seng Cu-bok sudah pernah melihat kelihaian gadis itu, maka diapun tidak berani memandang enteng. Dengan penuh perhatian ia segera mempersiapkan diri menunggu serangan Wi-lian. Diam-diam ia agak malu juga karena harus menghadapi gadis bertangan kosong itu dengan goloknya, namun Seng Cu-bok membuang jauh-jauh rasa malunya itu, sebab menyadari kelihaian lawan. Tong Wi-lian pun bersikap hati-hati. Lebih dulu ia menyerang dengan sebuah serangan pancingan yang disebut Ji-liong-jio- cu (Dua Naga Berebut Mutiara), menggunakan dua jari tangannya untuk menusuk ke mata lawan. Ketika Seng Cu-bok menyambut tangannya dengan sebuah bacokan tegak lurus, maka Wi-lian cepat sekali bergeser ke samping sambil menggunakan jurus Tin-jiu-kin-na (Menurunkan Siku Tangan dan Menangkap) untuk mencengkeram pergelangan tangan Seng Cu-bok yang memegang golok. Terpaksa Seng Cu-bok menarik kembali goloknya dan menghadapkan tajam goloknya ke atas untuk melukai telapak tangan Wi-lian. Kedua orang itu segera bertempur dengan serunya. Pada kesempatan itu Tong Wi-lian mencoba mengukur dan membandingkan bagaimanakah kiranya kemampuan para Tong-cu di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu dengan para Tong-cu di bawah pimpinan Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang? Ternyata meskipun Seng Cu-bok merupakan seorang yang tangguh pula ilmu goloknya, namun ia masih kalah setingkat kalau dibandingkan para Tong-cu bawahan Tong Wi-siang seperti In Yong, Lu Siong, Kwa Heng atau si orang Korea Oh Yun-kim itu. Dari situ dapatlah disimpulkan bahwa Te-liong Hiang-cu agaknya tidak terlalu ketat dalam mencari anak buah untuk memupuk kekuatannya. Beberapa langkah dari situ, Cian Ping dengan lincah dan santainya memainkan sepasang kaitannya untuk menghadapi dua orang anggota Hwe-liong-pang yang masing-masing bersenjata pedang dan ruyung. Kedua-duanya memakai ikat kepala dan ikat pinggang berwarna kuning, menandakan bahwa mereka dari kelompok Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning). Mereka berdua merupakan bekas penjahat yang disegani orang, namun kini mereka tidak berkutik menghadapi seorang gadis semuda Cian Ping, keruan mereka menjadi penasaran. Apalagi, sambil bertempur pun Cian Ping masih sempat bergurau dan saling mengolok dengan Wi-lian, hal ini benar-benar membuat kedua anggota Hwe-liong-pang itu mata gelap karena merasa sangat terhina. Namun kedua orang itu memang bukan tandingan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu. Apalagi selama dalam perjalanannya dengan Tong Wi-hong, gadis itu telah mengalami penyempurnaan dalam ilmu silatnya. Tidak mengherankan kalau belasan jurus kemudian orang Hwe-liong-pang yang bersenjata ruyung itu telah berteriak kesakitan sambil melepaskan ruyungnya. Rupanya lengannya telah terkait oleh kaitan tajam Cian Ping sehingga luka berat. Cepat-cepat dia melompat keluar dari gelanggang dan membebat lukanya dengan sobekan bajunya, supaya ia tidak mati kehabisan darah. Namun keluarnya orang itu dari gelanggang pertempuran berarti malapetaka bagi kawannya yang bersenjata pedang itu. Dia tentu saja tidak dapat bertahan lama menghadapi rangsakan puteri Cian Sin-wi yang perkasa itu, dan nasibnya jauh lebih buruk dari nasib kawannya, sebab kaitan Cian Ping bukan cuma melukai lengan namun langsung merobek lambungnya, dan tubuh orang itupun terguling ke kaki bukit, entah bagaimana nasib selanjutnya. Baru saja Cian Ping hendak beranjak untuk mencari lawan baru, tiba-tiba gadis itu merasa ada desiran angin tajam yang menyambarnya dari samping dengan kecepatan tinggi. Cian Ping sempat menundukkan kepalanya untuk mengelak, namun tak urung segumpal tipis rambutnya telah tersambar putus oleh serangan gelap itu. Nampak sesosok bayangan hitam telah melayang turun di depan Cian Ping, dan setelah Cian Ping memperhatikan bentuk orang itu, seketika itu juga bergidiklah ia karena ngerinya. Orang yang berdiri di muka Cian Ping itu adalah seorang lelaki bertubuh kurus dan demikian pucatnya, sehingga mukanya mirip muka mayat, seakan dalam tubuhnya itu tak ada setetes darahpun. Kulitnya pucat, tetapi matanya justru liar kemerah-merahan, begitu pula bibirnya yang tipis itu nampak begitu merahnya, sehingga terlihat kurang wajar. Dan pada ujung bibir-bibir yang tipis itu, tersembullah taring-taring tajam yang putih mengkilat! Jubah orang ini berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok dengan kulitnya yang pucat itu. Senjata yang dipegangnya pun cukup aneh, yaitu mirip mata tombak yang panjangnya tidak lebih dari sejengkal dan cara memegangnya seperti orang memegang pisau belati. Ujung sepasang senjatanya itu masih basah oleh darah segar, menandakan bahwa orang yang menyeramkan ini baru saja membunuh beberapa korban. Yang membuat Cian Ping bergidik adalah pandangan mata yang buas dari orang itu, bukan buas seperti umumnya seorang lelaki melihat kecantikan seorang perempuan, melainkan buasnya seekor serigala yang melihat daging mentah atau mencium bau darah! Ditambah dengan taring-taring di sudut bibirnya, maka penampilan orang itu benar-benar tidak mirip manusia melainkan lebih tepat disebut golongan siluman atau hantu! Tetapi kalau hantu kenapa berkeliaran di siang hari bolong dan di tempat seramai itu? Kalau manusia biasa kenapa di mulutnya ada taringnya? “Si... siapa... kau?” tanya Cian Ping dengan suara setenang mungkin, namun tak urung suaranya bergetar juga. Orang itu tidak menjawab malahan balik bertanya, suaranya dingin bergulung-gulung seperti suara hantu dari alam kubur, “Kau anak Cian Sin-wi dari Tay-beng?” Cian Ping mengiakan, dengan harapan agar orang itu agak gentar karena nama besar ayahnya. Di luar dugaan, bukannya orang itu menjadi gentar, malahan ia tertawa terkekeh-kekeh sehingga sepasang taringnya yang mengerikan itu menonjol semakin jelas. Katanya, “Bagus, tak kusangka akan kujumpai anak Cian Sin-wi di tempat ini. Bapaknya punya hutang, anaknyalah yang harus membayarnya. He, gadis cilik, ketahuilah bahwa bapakmu masih punya hutang nyawa kepadaku, karena ia telah membunuh adikku, dan kini sebagai puteri Cian Sin-wi kau harus membayar hutang bapakmu itu. Akan kuhisap darahmu sampai kering, dan nampaknya darahmu pasti akan cukup segar untuk menghilangkan rasa hausku.” Orang yang dihadapi oleh Cian Ping itu bukan lain adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Pengisap Darah) Liong Pek-ji, yang kini menduduki Ui-ki-tong-cu. Liong Pek-ji adalah seorang penganut ilmu hitam yang disebut Siu-bok-tiang-seng-kang (yaitu semacam ilmu untuk mendapatkan umur panjang dengan jalan bersemedi dalam peti mati, syarat lain untuk mempelajari ilmu itu ialah dengan jalan menghisap darah gadis-gadis perawan pada waktu-waktu tertentu. Karena kebiasaannya menghidap darah itulah maka lama kelamaan sepasang taringnya tumbuh menjadi lebih tajam dan lebih panjang sedikit dibandingkan orang lain. Tokoh sesat ini cukup menghantui masyarakat daerah Ou-lam, dan karena keluarnya selalu pada malam hari seperti seekor kalong, maka dia mendapat julukan Sip-hiat-mo-hok itu. Di daerah Ou-lam sendiri entah sudah berapa ratus gadis yang mati menjadi korbannya, gadis-gadis itu semuanya mati dengan darah terhisap habis, dan pada leher korbannya selalu terdapat dua buah lubang kecil bekas gigitan sepasang taringnya! Beberapa orang pendekar yang tidak senang kepada kesewenang-wenangan Sip-hiat-mo-hok pernah berusaha untuk menangkapnya, namun persembunyian orang ini tidak pernah dapat diketemukan, sementara korbannya berjatuhan terus. Ketika di wilayah Ou-lam didirikan Hwe-liong-pang kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru) yang dipimpin oleh Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Halilintar) In Yong. Maka Liong Pek-ji menjadi sangat terbatas gerak-geriknya, sebab In Yong bersikap sangat memusuhinya. Waktu mendengar tentang terjadinya pergeseran dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang, yaitu tersingkirnya Tong Wi-siang dan pengikut-pengikutnya, termasuk In Yong, oleh karena pengkhianatan Te-liong Hiang-cu, maka Liong Pek-ji yang telah bosan bersembunyi terus menerus dalam peti mati itupun mulai keluar kandang. Dia langsung menggabungkan diri dengan Hwe-liong-pang pimpinan Te-liong Hiang-cu, dan bahkan kemudian dalam waktu singkat telah mendapat kedudukan Ui-ki-tong-cu, menggantikan kedudukan Thi-jiau-tho-wan (Lutung Buntung Berkuku Besi) Kwa Heng yang ikut tersingkir bersama Tong Wi-siang itu. Ketika masih melakukan kejahatannya seorang diri saja Liong Pek-ji sudah begitu kejam dan ganas, apalagi kini setelah bergabung dengan Hwe-liong-pang dia mendapat kawan-kawan sehaluan. Tentu saja kekejamannya semakin menjadi-jadi. Kini dia merasa tidak takut lagi kepada musuh-musuh yang selama ini mencarinya. Tujuannya untuk keluar kandang dan bergabung dengan Hwe-liong-pang ini antara lain juga karena ingin membalas musuh-musuhnya, di samping tergiur pula oleh janji-janji muluk yang diucapkan oleh Te-liong Hiang-cu. Kini setelah melihat kulit leher Cian Ping yang halus mulus itu, teringatlah Liong Pek-ji akan seleranya dalam meminum darah segar para gadis perawan itu, dan langsung timbullah keinginan jahatnya untuk menancapkan sepasang taringnya ke leher yang mulus itu. Begitulah kelainan Liong Pek-ji dari lelaki-lelaki lainnya jika melihat wanita cantik. Jika lelaki lain tentu lebih tertarik kepada kecantikannya, maka Liong Pek-ji lebih tertarik untuk meminum darahnya! Kini musuh yang begitu mengerikan itu telah ada di depan Cian Ping dan membuat gadis itu gemetar juga. Tapi sebagai puteri Cian Sin-wi yang berhati sekeras baja, ia tidak sudi menyerah begitu saja. Dengan menggenggam erat sepasang hau-thau-kau nya, dia bersiap menantikan serangan musuh. Liong Pek-ji nampaknya bersikap sombong sekali dan tidak memandang sebelah matapun kepada lawannya itu. Tiba-tiba ia memekik nyaring dan melompat menerkam Cian Ping dengan sepasang tangan yang terkembang lebar. Dengan gerakannya itu dia jadi mirip seekor kelelawar raksasa yang tengah mengembangkan sayapnya. Cepat Cian Ping memiringkan tubuhnya dan menggerakkan sepasang kaitanya dengan jurus Siang-hi-kiat-ging (Sejodoh Ikan Berbahagia), ujung tajam kedua hau-thau-kau nya menyongsong ke arah dada dan lambung si kelelawar hantu itu. Liong Pek-ji tertawa mengejek melihat sambutan lawannya. Di tengah udara dia memutar tubuhnya seperti gasingan dan menimbulkan tekanan udara yang mampu memaksa Cian Ping melompat mundur sambil mengambil napas. Dengan demikian serangan balasan Cian Ping itu telah digagalkan dengan cara yang aneh sekali. Sip-hiat-mo-hok ternyata tidak berhenti sampai di situ saja, begitu kakinya menyentuh tanah dia telah melompat kembali ke arah Cian Ping, sepasang belati pendeknya segera menikam kedua buah jalan darah, masing-masing jalan darah kian-keng-hiat di pundak serta ki-keng-hiat di pinggang. Liong Pek-ji memang seorang yang jago dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) sehingga gerakan tubuhnya pun ringan sekali, seperti asap yang melayang-layang tanpa bobot saja. Belum sampai Cian Ping mempersiapkan diri lagi, tahu-tahu serangan Liong Pek-ji telah tiba di depan mata...! |
Selanjutnya;
|