Perserikatan Naga Api Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 27

Karya : Stevanus S.P
TONG WI-HONG yang menyahut, “Tay-su (bapak pendeta), hal itu sudah kami pertimbangkan. Tetapi kami berdua tetap bertekad untuk menyelidiki ke sana betapapun besarnya bahaya yang harus kami hadapi, supaya jika kelak kami bertempur dengan orang-orang Hwe-liong-pang perasaan kami sudah merasa lega karena sudah tahu siapa musuh-musuh kami itu.”

Rahib Bu-sian termangu-mangu mendengar tekad kakak beradik she Tong yang sudah bulat dan tidak mungkin dicegah itu. Rahib muda itu juga menguatirkan keselamatan kakak beradik itu maka akhirnya Bu-sian mengambil keputusan yang tak terduga, “Baiklah, kalau begitu biarlah aku ikut dengan kalian!”

Mendengar keputusan Rahib Bu-sian itu Tong Wi-hong menjadi bingung bagaimana harus menanggapinya. Seperti diketahui, rencana Wi-hong di kota Bun-siau itu adalah untuk berusaha menemui Hwe-liong-pang-cu secara pribadi yang bukan lain adalah kakak Wi-hong sendiri. Tetapi dengan ikutnya Rahib Bu-sian, maka kemungkinan besar orang luar pun akan ikut mengetahui hubungan antara Wi-hong dengan Hwe-liong-pang-cu.

Keadaan seperti itu benar-benar dapat menyulitkan Wi-hong dengan Tiong-gi Piau-hang nya, sebab seluruh dunia persilatan sedang dilanda suasana permusuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi untuk menolak keikutsertaan Bu-sian Hweshio Tong Wi-hong juga agak sulit untuk mengutarakannya karena takut akan menyinggung perasaan pendeta itu. Untuk sesaat lamanya Wi-hong hanya berdiri kebingungan saja.

Sementara itu Wi-lian justru punya pendapat lain. Gadis itu merasa bahwa keikutsertaan Bu-sian Hweshio itu ada keuntungannya. Selain berilmu silat tinggi sehingga dapat memberi bantuan, Rahib itu juga seorang yang berpandangan luas dan bijaksana andaikata diberitahukan tentang persoalan Hwe-liong-pang-cu pun dia pasti akan dapat menerimanya dengan kebijaksanaannya. Maka jawab Wi-lian, “Baiklah Suheng, kami berterima kasih atas perhatianmu itu.”

Wi-hong terkejut ketika mendengar jawaban adiknya itu. Tetapi di saat bibirnya sudah bergerak hendak mencegahnya, ia merasa telapak tangannya telah digenggam dan diremas oleh adiknya. Wi-hong memahami isyarat adiknya itu maka akhirnya ia bungkam saja.

Dalam pada itu Bu-sian Hweshio telah berkata kepada Auyang Seng, “Saudara Auyang, aku akan beserta Tong Cong-piau-thau serta adik seperguruanku ini untuk mencoba memasuki dan menyelidiki kubu lawan di kota Bun-siau. Selama aku pergi, harap saudara Auyang memimpin semua saudara-saudara yang ada di tempat ini untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya.”

Setelah Auyang Seng menyatakan sanggup mengambil alih pimpinan kelompok itu, maka berangkatlah kakak beradik she Tong itu bersama dengan Bu-sian Hweshio. Sebelum mencapai kaki bukit Siong-san, mereka masih melewati lagi beberapa lapis penjagaan dari murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkumpul di situ. Namun mereka dapat melewatinya dengan lancar, karena Bu-sian Hweshio sudah dikenal oleh murid-murid perguruan itu.

Tong Wi-hong dan adiknya tidak tahu bahwa malam itu ternyata bukan hanya mereka yang meninggalkan bukit itu untuk menuju ke Bun-siau. Dari arah lain bukit Siong-san, nampak pula dua sosok bayangan yang diam-diam pergi meninggalkan kuil dan menuju ke Bun-siau pula. Mereka bukan lain adalah Hong-lui Kiam-khek Kongsun Tiau yang ditemani oleh si sasterawan sakti dari Kay-hong, Liu Tay- liong. Kedua orang ini ternyata juga merasa penasaran dan tidak mau menelan begitu saja berita yang mereka terima.

Mereka ingin menyelidiki sendiri ke kota Bun-siau. Terutama Kongsun Tiau yang berkesan baik kepada Hwe-liong-pang itu, kini benar-benar merasa penasaran karena ia masih tidak percaya bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan tindakan permusuhan semacam itu. Itulah yang mendorongnya untuk meninggalkan Siong-san menuju Bun-siau.

Semula Bu-sian Hweshio bermaksud langsung menuju Bun-siau, namun setelah memperhitungkan jarak yang harus ditempuh dengan waktu yang tersedia, akhirnya Bu-sian mengusulkan untuk mencari kuda tunggangan dulu. Usul itu disetujui oleh Wi-hong dan Wi-lian. Karena itu mereka lebih dulu menuju ke rumah seorang murid Siau-lim-pay yang hidup di luar kota Teng-hong sebagai pemilik sebuah peternakan kuda yang cukup besar. Dari murid Siau-lim-pay itu, mereka berhasil mendapatkan pinjaman tiga ekor kuda tegar, dan dengan kuda-kuda tegar itulah mereka menembus gelapnya malam menuju ke kota Bun-siau.

Karena Wi-lian berpendapat bahwa Suhengnya cukup dapat dipercaya dan cukup bijaksana, maka sambil berkuda, gadis itu terang-terangan menceritakan tentang hubungan pribadinya dengan Hwe-liong-pang-cu, dan menerangkan pula tentang kemelut dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri. Terhadap kakak seperguruannya ini, Wi-lian begitu terus terang dan tak ada yang disembunyikannya lagi.

Rahib muda itupun tercengang setelah mendengar bahwa kedua orang yang sedang berkuda bersama-sama dengannya itu ternyata adalah adik-adik dari Hwe-liong-pang-cu, tokoh yang dianggap sebagai musuh bersama dunia persilatan itu. Tetapi diapun juga menghargai kejujuran Wi-lian yang mau berbicara terbuka kepadanya itu. Sahut rahib itu,

“Sumoay, baik buruknya seseorang bukanlah ditentukan oleh hubungan pribadi antara orang itu dengan orang lainnya, namun ditentukan oleh sikap dirinya sendiri. Kau adalah adik perempuan dari Hwe-liong-pang-cu, itu adalah takdir dan sama sekali bukan kesalahanmu. Tetapi jika sampai kau mengikuti jejaknya yang sesat, nah, itu baru kekeliruan besar!”

Wi-lian mengerutkan keningnya ketika mendengar Suhengnya bicara dengan gambaran sejelek itu terhadap Hwe-liong-pang-cu, namun Wi-lian akhirnya memahami bahwa sikap Suhengnya itu tentu terpengaruh pula oleh sikap kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Katanya, “Suheng, niatku untuk menyelidik sendiri ke kota Bun-siau ini justru terdorong oleh rasa tidak percaya bahwa kakakku itulah yang mendalangi perbuatan-perbuatan ganas itu. Kakakku telah berjanji kepadaku bahwa dia ingin membina hubungan baik dengan kaum pendekar. Aku kenal betul sifat-sifat kakakku. Meskipun dia keras kepala dan kaku, namun dia paling pantang menjilat kembali ludahnya!”

“Kalau bukan kakakmu yang memimpin gerakan ini, lalu siapakah?”

“Aku menduga ada kelompok lain yang menggunakan nama Hwe-liong-pang untuk kepentingannya sendiri. Barangkali ia bertujuan untuk mengadu domba antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar di Siong-san, agar dengan demikian mereka sendiri akan bisa mengail di air keruh.”

“Tujuan kita ke Bun-siau justru hendak menyelidiki hal itu sejelas-jelasnya,” sambung Tong Wi-hong.

Karena jarak kota Bun-siau memang tidak terlalu jauh dari kota Teng-hong, maka sebelum tengah malam mereka telah dapat melihat tembok kota Bun-siau telah menghadang di depan mata. Di atas tembok kota nampak kelap-kelipnya lentera yang dinyalakan oleh prajurit-prajurit penjaga kota, dan sayup-sayup terdengar pula suara para prajurit yang sedang bercakap-cakap atau bergurau untuk menahan kantuk.

Wi-hong, Wi-lian dan Bu-sian Hweshio segera turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka di balik sebuah semak-semak yang tersembunyi. Bu-sian Hweshio berdesis dengan suara tertahan, “Sumoay, Tong Cong-piau-thau, kita akan menggunakan ilmu Pia-hou-yu-jio (Cicak Merayap di Tembok) sebab tembok kota itu terlalu tinggi untuk dilompati.”

“Aku tidak menguasai ilmu semacam itu,” Tong Wi-hong dengan terus terang.

Soat-san-pay adalah sebuah perguruan silat yang mengutamakan pelajaran gerakan-gerakan bagus dan tipu-tipu yang rumit, baik dalam ilmu pedang maupun ilmu tangan kosong. Sedangkan ilmu Pia-hou-yu-jio yang diusulkan oleh Bu-sian Hweshio itu biasanya diajarkan dalam perguruan-perguruan silat yang mengutamakan latihan tenaga dalam, sebab dalam ilmu itu sangat dibutuhkan tenaga dalam yang tinggi untuk menimbulkan daya sedot yang kuat di telapak tangan. Dengan demikian pengakuan Tong Wi-hong itu sama sekali tidak memalukan perguruannya, sebab tiap perguruan memang punya keistimewaan sendiri-sendiri.

“Kalau Cong-piau-thau tidak keberatan, biarlah aku bersedia menggendong Cong-piau-thau sambil merambat ke atas,” kata Bu-sian Hweshio.

“Kalau begitu, aku terpaksa merepotkan Tay-su (bapak pendeta),” sahut Wi-hong.

Tidak lama kemudian, nampaklah bahwa Tong Wi-lian dan Bu-sian Hweshio sudah merayap di permukaan tembok kota itu seperti dua ekor cicak raksasa. Tong Wi-hong digendong di punggung si rahib, sambil membawakan toya baja si rahib. Meskipun tubuhnya dibebani oleh tubuh Wi-hong, namun Bu-sian Hweshio seolah-olah bagaikan tidak merasakan apa-apa. Dengan ringannya dia terus merayap ke atas di permukaan tembok yang tegak lurus dengan tanah itu, napasnya tetap biasa saja dan tidak terengah-engah.

Diam-diam Wi-hong mengakui ketinggian tenaga dalam dari rahib muda ini, pantas saja kalau kuil Siau-lim-si selalu disebut sebagai tempat paling angker dalam dunia persilatan, dan sering pula diumpamakan bagai “Kubangan naga” atau “gua harimau”.

Tidak lama kemudian, tibalah ketiga orang itu di atas tembok kota, dan suatu keberuntungan bagi mereka bahwa para penjaga tembok kota itu lebih suka duduk berkumpul-kumpul dengan kawan-kawannya daripada jalan berkeliling untuk meronda. Dari atas tembok kota itu mereka langsung saja melompat ke bawah dengan ilmu meringankan tubuhnya masing-masing. Dan sebagai murid Soat-san-pay, kali ini Wi-hong menunjukkan keunggulan perguruannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Sepasang kaki Wi-hong berhasil mendarat di tanah hanya dengan mengepulkan sedikit debu, sedangkan “pendaratan” Bu-sian Hweshio dan Wi-lian tidak seringan itu.

Waktu itu keadaan kota Bun-siau sudah agak sepi, hampir semua pintu sudah tertutup, kecuali warung-warung arak yang biasanya buka sampai larut malam. Di beberapa tempat masih terdengar suara gelak tertawa yang liar dari kelompok pemabuk. Kadang-kadang nampak pula sekelompok prajurit lewat, namun mereka sama sekali tidak menggubris Tong Wi-hong bertiga.

Sambil berjalan menyusuri jalan-jalan kota Bun-siau yang sudah sepi itu, Bu-sian Hweshio bertanya, “Entah di manakah sembunyinya orang-orang Hwe-liong-pang itu?”

Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari arah depan muncullah empat orang laki-laki yang berjalan berangkul-rangkulan dengan langkah yang sempoyongan, sedang mulut mereka menyanyikan lagu yang tak keruan nadanya. Jelaslah bahwa keempat lelaki itu dalam keadaan mabuk. Namun yang menarik perhatian adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh keempat orang lelaki mabuk itu, sebab mereka berempat semuanya berseragam hitam dan memakai ikat kepala serta sabuk yang berwarna biru! Itulah seragam anggota Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru)!

Melihat kelakuan keempat pemabuk itu, Wi-hong menggeram, “Gila. Aku hampir-hampir tidak percaya bahwa beginilah kelakuan orang-orang kelompok Lam-ki-tong yang dipimpin In Yong itu!”

“Kita ringkus mereka dan kita korek keterangan dari mereka,” kata Bu-sian Hweshio.

“Setuju,” sahut Wi-hong dan Wi-lian serempak.

Dengan langkah tegap dan terang-terangan mereka mendekati keempat pemabuk itu, lalu dengan serempak mereka meringkus pemabuk-pemabuk itu. Wi-hong dan Wi-lian meringkus masing-masing satu, sedangkan Bu-sian Hweshio meringkus dua sekaligus tanpa banyak perlawanan, lalu menyeret pemabuk-pemabuk itu ke sebuah sudut yang gelap di pinggir jalan.

Setelah diringkus, agaknya pemabuk-pemabuk itu masih juga belum sadar akan apa yang terjadi atas diri mereka, mereka masih saja bernyanyi-nyanyi dengan suara parau. Namun setelah Wi-lian “menghujani” muka mereka dengan tamparan-tamparan keras, barulah mereka geragapan dan menemukan sebagian kesadaran mereka.

“Apakah kalian adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang?” Wi-hong mulai bertanya.

“Betul,” sahut salah seorang di antara mereka. Nampaknya orang inilah yang paling sadar di antara teman-temannya.

“Dari kelompok yang mana?” tanya Wi-hong pula, meskipun sebenarnya ia sudah bisa menduganya.

“He, siapakah kalian? Apa perlunya kalian ber...” sahut si pemabuk itu tiba-tiba dengan garangnya, tetapi ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Wi-lian telah menamparnya dengan keras sehingga kepala orang itu terputar ke samping.

“Dari kelompok mana?” Wi-hong mengulangi bentakannya, kali ini dengan nada yang lebih mengancam.

Tawanan itu masih merasakan kepalanya pusing habis digampar, maka ia tidak berani bermain-main lagi. Sahutnya cepat, “Lam-ki-tong.”

“He, jadi kau adalah anak buah dari Lam-ki-tong-cu In Yong?”

Tawanan itu nampak keheranan mendengar pertanyaan itu. Katanya, “In Yong? Aku tidak kenal Lam-ki-tong-cu In Yong.”

Wi-lian yang hampir kehabisan kesabaran itu telah mengangkat lagi tangannya dan siap menampar, ancamnya, “Jika kau menjawab seenaknya, jangan salahkan aku kalau sampai gigi-gigimu kurontokkan semua. Kau sebagai seorang anggota Lam-ki-tong, kenapa sampai tidak kenal kepada pemimpin kelompokmu sendiri?”

Bu-sian Hweshio diam-diam tersenyum geli melihat cara adik seperguruannya dalam memeras keterangan dari tawanan itu. Meskipun dia adalah seorang rahib Buddha, namun ia dapat memaklumi tindakan keras dari Su-moay nya itu, sebab mereka sedang dalam keadaan darurat yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan bertindak.

Sebaiknya tawanan Hwe-liong-pang itu menjadi semakin ketakutan sebab ia sudah merasakan betapa kerasnya tangan gadis itu. Sahutnya dengan tergagap, “Li-hiap (Pendekar Wanita), harap ampuni aku, biarpun kau patahkan seluruh tulang-tulangku pun aku tidak kenal orang yang bernama In Yong itu. Aku orang baru yang menjadi anggota Hwe-liong-pang lima hari yang lalu. Lagipula Lam-ki-tong-cu yang sekarang bukannya In Yong melainkan adalah seorang bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api).”

Mendengar jawaban orang itu, seketika Wi-hong dan Wi-lian berpandangan dengan agak kebingungan. Mereka belum pernah mendengar nama Hwe-tan Seng Cu-bok itu. Lalu kemanakah perginya In Yong yang tadinya menjabat Lam- ki-tong-cu itu? Apakah telah terjadi pergeseran orang-orang dalam tubuh Hwe-liong-pang?”

Tanya Wi-hong kemudian kepada tawanannya, “Kau tentunya mengetahui juga tentang ketujuh orang Tong-cu lainnya? Nah, sebutkan.”

Karena takutnya, orang Hwe-liong-pang itu tidak berani berlambat-lambat dalam menyahut, “Tentu saja aku kenal mereka. Pemimpin Pek-ki-tong adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun, pemimpin Ui-ki-tong adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Menghisap Darah) Liong Pek-ji, pemimpin Jing-ki-tong adalah Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe, pemimpin Jai-ki-tong adalah Hong-long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui, pemimpin Ci-ki-tong adalah Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian, pemimpin Ang-ki-tong adalah Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang, sedangkan Hek-ki-tong dipimpin oleh Hehou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas).”

Tentu saja Wi-hong dan Wi-lian menjadi semakin bingung ketika mendengar deretan nama-nama asing itu. Yang mereka kenal di antara deretan nama itu hanyalah nama Mo Hui dan Ko Ce-yang. Namun bukankah kedua orang itu sudah ditawan oleh Hwe-liong-pang-cu ketika terjadi penertiban di Jian-hoa-kok itu? Kenapa mendadak sekarang bisa bebas dan bahkan menduduki jabatan lama mereka sebagai Tong-cu? Di mana pula Tong-cu lainnya yang pernah dikenal oleh Wi-hong, seperti In Yong, Lu Siong, Oh Yun-kim dan Kwa Heng?

“Pasti telah terjadi pergeseran besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang,” gumam Wi-lian. “Dan menilik julukan-julukan seram yang dipakai oleh Tong-cu Tong-cu baru itu, nampaknya mereka kebanyakan berasal dari golongan sesat. Mungkinkah A-siang sendiri yang telah melakukan tindakan penggantian ini?”

“Benar-benar memusingkan, kita harus mengorek keterangan tentang kejadian ini sampai tuntas.”

Lalu kepada orang tangkapan itu Wi-hong bertanya, “Apakah kau mengetahui ke mana orang-orang seperti In Yong, Lu Siong dan lain-lainnya itu tidak lagi menduduki jabatan sebagai Tong-cu?”

“Aku tidak pernah mendengar nama mereka, sungguh mati. Begitu aku dipaksa masuk Hwe-liong-pang, aku langsung ditempatkan dalam kelompok Lam-ki-tong dan dipimpin oleh Seng-cu Bok. Aku hanya tahu menjalankan perintah, tidak tahu urusan lainnya.”

Dengan gemasnya Wi-lian sudah mengangkat tangannya lagi untuk menggampar orang itu, namun Rahib Bu-sian yang welas asih itu telah mencegahnya. “Sumoay, kukira orang ini tidak berani bicara berbohong kepada kita.”

Kalau saja tidak dicegah oleh kakak seperguruannya, sebenarnya gadis itu ingin melampiaskan kejengkelannya kepada orang tangkapan itu. Katanya, “Anggap saja nasibmu cukup bagus sehingga aku dicegah oleh kakak seperguruanku untuk menghabiskan gigimu. Sekarang ceritakan kepada kami, dimanakah pentolan-pentolan kalian berada pada saat ini?”

Sahut si tawanan, “Di kelenteng Tay-hud-si di sebelah timur tembok kota Bun-siau.”

Bu-sian Hweshio terlonjak bagaikan disengat kalajengking ketika mendengar jawaban itu. Kuil Tay-hud-si yang disebutkan itu adalah sebuah kuil cabang Siau-lim-si yang dipimpin oleh kakak seperguruan Bu-sian yang bernama Bu-khong Hweshio. Kini ia mendengar bahwa kuil itu telah dijadikan berkumpulnya pentolan-pentolan Hwe-liong-pang, lalu entah bagaimana nasib hweshio-hweshio di sana yang berjumlah belasan orang itu?

Hilanglah ketenangan Bu-sian Hweshio, katanya dengan gelisah, “Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana untuk melihat keadaan. Bu-khong Suheng ada di kuil itu, barangkali mendapat kesulitan.”

Keinginan itu cocok pula dengan gelora hati Wi-hong dan Wi- lian yang ingin cepat-cepat menemui kakak mereka itu. Setelah menotok pingsan keempat orang anggota Hwe-liong-pang itu, mereka cepat-cepat keluar kembali dari kota Bun-siau dengan cara memanjat seperti tadi, lalu menuju ke sebelah timur pintu kota. Bu-sian Hweshio yang paling hafal dimana letaknya kuil Tay-hud-si itu, maka dialah yang berjalan di depan untuk memimpin.

Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga tidak lama kemudian nampaklah bayangan Tay-hud-si terpampang di keremangan malam. Setelah kuil itu nampak, mereka bertiga lalu memperlambat langkah mereka. Mereka menduga tentunya di sekitar kuil itu dijaga oleh orang-orang Hwe-liong-pang, karena itu Bu-sian Hweshio mengusulkan supaya lewat jalan belakang saja agar tidak menimbulkan keributan.

Tetapi Wi-lian menyanggah usul kakak seperguruannya itu, “Suheng, kukira kita tidak perlu main kucing-kucingan seperti itu. Hwe-liong-pang-cu adalah kakakku, aku ingin menjumpainya secara berhadapan muka dan menanyakan apa maksud semua perbuatannya itu.”

Namun Bu-sian Hweshio menggelengkan kepalanya, katanya, “Sumoay, keadaan sangat mencurigakan, tadi kau sendiri mengatakan bahwa terjadi pergantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang dari orang-orang yang tadinya kau kenal menjadi orang-orang yang belum kau kenal sama sekali. Ini menandakan bahwa kita tidak boleh menganggap Hwe-liong-pang yang sekarang ini sama dengan Hwe-liong-pang beberapa hari yang lalu. Kita tetap harus bersikap hati-hati. Maaf, Sumoay, aku berkata terus terang, bahwa menurut dugaanku Hwe-liong-pang sudah tidak dipimpin oleh kakakmu lagi.”

Wi-lian hampir menangis karena menahan gejolak pertentangan dalam hatinya itu, sambil menggelengkan kepalanya dia berkata dengan ngotot, “Tidak. Aku tidak percaya bahwa A-siang tidak memimpin Hwe-liong-pang lagi. Seribu kali diucapkanpun aku tidak percaya.”

Melihat sikap keras adik perempuannya yang seolah-olah kurang akal itu, diam-diam Wi-hong menjadi terharu sekali. Wi-hong tahu sebabnya kenapa adiknya bersikap begitu. Hubungan Wi-lian dengan kakak tertuanya itu sangat rapat, karena itu Wi-lian sangat tidak siap untuk menerima kenyataan-kenyataan buruk tentang diri kakaknya itu, meskipun kadang-kadang menyingkirkan akal sehatnya dan membiarkan perasaannya bergejolak.

Dengan penuh pengertian, Wi-hong menepuk pundak adiknya, lalu berkata dengan suara sabar dan membujuk, “A-lian, cobalah kau bendung arus perasaanmu itu dan gunakan akal sehatmu. Apa yang diucapkan oleh Suhengmu itu memang bukan hal yang mustahil terjadi, meskipun aku sendiripun tidak rela mendengarnya. Kita harus ingat bahwa Te-liong Hiang-cu adalah seorang yang licik dan penuh tipu muslihat. Dalam pertempuran di Jian-hoa-kok, orang licik ini belum tertangkap dan masih berkeliaran secara bebas. Kemungkinan besar dia telah kembali membalas dendam, dan A-siang telah termakan oleh sergapannya yang licik luar biasa itu sehingga terjadilah penggantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang menurut selera Te-liong Hiang-cu sendiri...”

“Sudahlah, aku mengerti,” potong Wi-lian dengan kepala tertunduk. Namun untuk melampiaskan kepepatan hatinya, ia menubruk ke dada kakaknya dan menangis terisak-isak.

Wi-hong mengusap-usap kepala adiknya itu dengan perasaan terharu, bahkan matanya pun ikut-ikutan mengembeng air mata. Sementara itu, Bu-sian Hweshio yang sedang digelisahkan oleh nasib saudara-saudara seperguruannya yang berada di Tay-hud-si itu, diam-diam menjadi tidak sabaran melihat adegan kakak beradik bertangis-tangisan itu.

Setelah tangis Wi-lian agak mereda, barulah Bu-sian berkata, “Waktu berjalan terus, dan sebelum fajar menyingsing kita harus sudah berada kembali di Siong-san.”

Mendengar ucapan Bu-sian Hweshio yang mengandung teguran halus itu, Wi-lian sadar akan keadaannya. Katanya sambil menarik napas, “Maafkan aku Suheng, agaknya aku begitu terseret oleh luapan perasaanku sehingga hampir saja melalaikan tujuan kita yang sebenarnya. Marilah kita berjalan kembali, aku setuju usul Suheng untuk menyelidiki kuil itu dari arah belakang agar jangan bentrok dengan penjaga-penjaga.”

Demikianlah, ketiga orang muda itu lalu beranjak dengan hati-hati untuk mendekati kuil yang dari kejauhan masih nampak terang benderang itu. Bagian belakang dari kelenteng itu membelakangi sebuah lereng bukit yang ditumbuhi dengan pepohonan yang lebat, sehingga banyak tempat persembunyian yang dapat digunakan bilamana perlu.

Di lereng di belakang kuil itupun ada beberapa orang Hwe- liong-pang yang berjaga-jaga, namun dengan cekatan Bu- sian Hweshio serta Wi-hong dapat membereskan mereka dengan pukulan-pukulan kilat ke tengkuk mereka. Ketika mereka maju beberapa langkah lagi, mendadak kaki mereka menyentuh semacam benda yang lunak dan dingin. Ketika mereka memeriksa benda itu, ternyata lah bahwa benda-benda itu bukan lain daripada mayat beberapa orang rahib Buddha yang diletakkan sembarangan begitu saja, tanpa dikubur.

“Bu-hian Suheng!” geram Bu-sian Hweshio setelah mengenal salah satu mayat itu. Diketemukannya pula mayat Bu-khong Hweshio, si pemimpin kuil yang tidak pandai bersilat itu. “Sungguh biadab! Orang-orang Hwe-liong-pang itu telah membunuh seisi kuil ini hanya untuk dipakai tempatnya, bahkan mereka telah membuang mayat-mayat ini dengan seenaknya di belakang kuil seperti membuang bangkai tikus saja!”

Tadinya Wi-lian mengharapkan untuk dapat bertemu dengan kakaknya, namun setelah melihat hasil karya kebiadaban orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka ia berharap mudah-mudahan kakaknya tidak termasuk dalam orang-orang yang tengah menduduki kuil itu. Dari dalam kuil terdengar suara orang-orang yang bercakap- cakap, dan kadang-kadang suara terbahak-bahak yang liar, juga suara cawan yang berbenturan dengan sumpit, menandakan bahwa dalam kuil Tay-hud-si itu tengah terjadi suatu pesta pora.

Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, Bu- sian Hweshio dan kawan-kawannya melompati tembok samping kuil itu. Lalu dengan merambat melalui dahan pohon besar yang menjulur sampai ke atas ruangan sembahyang, mereka berhasil mencapai atap ruangan sembahyang. Dengan hati-hati mereka mencopot selembar genteng untuk mengintai ke bawah, dan apa yang terlihat di dalam ruangan itu telah membuat Bu-sian Hweshio sebagai penganut agama Buddha sangat tersinggung perasaannya.

Ternyata di tengah ruang sembahyang itu telah digelarkan sebuah meja perjamuan yang dikelilingi oleh belasan orang yang tengah makan minum dengan gembiranya, tanpa menghormati kesucian kuil sebagai tempat suci umat Buddha, dan inilah yang membuat darah Bu-sian Hweshio menggelegak dengan hebatnya. Meja sembahyang di hadapan arca Buddha itu kini telah digunakan untuk meletakkan makanan-makanan dari barang berjiwa serta arak, yang merupakan pantangan dalam agama.

Sedang orang-orang yang mengelilingi meja perjamuan itu ada sebelas orang, lima orang di antaranya sudah dikenal oleh Wi-hong dan Wi-lian, yaitu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau, lalu si iblis dari Jing-hay Sebun Say, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Hong-long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang.

Tidak usah dijelaskan lagi enam orang lainnya yang bertampang seram-seram itu tentunya enam orang Tong-cu baru yang telah diangkat oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengganti pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang telah didepaknya itu.

Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa agaknya Tan Goan-ciau telah berhasil merebut kedudukan pemimpin dalam Hwe-liong-pang, entah dengan cara bagaimana. Agaknya ia berhasil juga membebaskan pengikut-pengikutnya yang ditawan oleh Tong Wi-siang, sedangkan nasib Tong Wi-siang dan pengikut-pengikut setianya entah bagaimana lagi.

Terdengar suara Te-liong Hiang-cu sambil tertawa puas, “Berkat kerjasama kita yang erat, akhirnya terwujudlah cita-cita kita untuk membersihkan Pang kita ini dari manusia-manusia banci yang takut melihat darah semacam Tong Wi-siang dan kaki tangannya itu, dan kemudian kita akan membuat Hwe-liong-pang sebagai perkumpulan yang paling kuat di dunia persilatan ini. Meskipun Wi-siang dan orang-orangnya berhasil melarikan diri, namun mereka sudah terluka parah dan pengikutnya pun sedikit. Mereka sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, adalah menjadi kewajiban kalian untuk menemukan dan menumpas mereka, di manapun mereka berada!”

Sepuluh orang lainnya cepat-cepat menyahut serempak, “Kami siap menjalankan perintah Pang-cu (Ketua)!”

Te-liong Hiang-cu lalu melanjutkan kata-katanya, “Selama ini, kita yhg telah dianggap sebagai kaum sesat oleh orang-orang munafik yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus itu, telah cukup menerima penghinaan dan penindasan dari kaum munafik itu. Namun, besok pagi kita akan menyerbu Siong-san, dan akan kita paksa para orang-orang munafik itu untuk bertekuk-lutut dan mengakui kekuatan kita. Kita tunjukkan kepada mereka, bahwa dengan bersatu-padu kita sanggup memberi hajaran keras kepada mereka.”

Para anak buahnya pun bersorak gembira sambil mengangkat cawan arak mereka. Seorang yang bertubuh tinggi besar lalu berkata dengan suaranya yang lantang, “Aku Song Hian, biarpun menjadi anggota Hwe-liong-pang baru beberapa hari, tetapi Pang-cu telah berkenan mempercayai aku untuk memimpin kelompok Ci-ki-tong. Atas budi baik Pang-cu ini, besok aku berjanji akan mencurahkan tenagaku habis-habisan di Siong-san untuk melabrak kaum munafik itu!”

“Terima kasih, Song Tong-cu!” sahut Te-liong Hiang-cu dengan gembira. “Saat ini kedudukan Su-cia (duta) dalam Pang kita masih ada lowongan dua orang, karena itu dalam pertempuran besok pagi, siapa yang menunjukkan semangat paling tinggi akan kuangkat menjadi Su-cia! Harap kalian berjuang dengan sekuat tenaga!”

Bertepuk tanganlah para Su-cia dan Tong-cu itu menyambut ucapan Ketuanya. Setelah suasana tenang kembali, Tan Goan-ciau lalu berkata, “Malam sudah cukup larut, kita harus beristirahat untuk menyimpan tenaga dalam menghadapi pertempuran besok pagi. Tetapi sebelum kalian beristirahat, ada sebuah pekerjaan yang menarik bagi kalian, barangkali untuk sekedar melemaskan otot di malam dingin ini.”

“Tugas apakah itu, Pang-cu?” tanya Sebun Say.

Te-liong Hiang-cu tertawa dingin dari balik topeng tengkoraknya, lalu katanya sepatah demi sepatah kata, “Pekerjaan menarik itu adalah menangkap tiga ekor tikus yang sudah sejak tadi telah berani mengintip pertemuan kita ini dari atas genteng!”

Terkejutlah Bu-sian Hweshio bertiga ketika mengetahui bahwa kehadiran mereka ternyata telah diketahui oleh musuh. Bu-sian Hweshio cepat-cepat mendorong tubuh Wi-hong dan Wi-lian sambil berkata dengan agak gugup, “Kalian berdua cepat lari untuk mengabarkan kepada para ksatria di Siong-san. Biar aku akan menahan mereka di sini!”

Wi-lian cukup tahu sampai di mana ketangguhan kakak seperguruannya itu, bahkan lebih tangguh dari dirinya sendiri dan Wi-hong. Tapi itu belum cukup untuk menghadang tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan juga rata-rata berilmu tinggi itu. Maka Wi-lian pun berseru nekad, “Suheng, kita lari bersama-sama atau gugur bersama-sama.”

Dalam pada itu, kedelapan orang Tong-cu itu telah berlompatan menghambur keluar dari ruangan perjamuan itu, dan kemudian mereka pun berlompatan ke atas genteng. Mereka akan berebutan untuk menangkap mata-mata musuh, agar mendapat pahala di hadapan Sang Ketua. Namun gerakan mereka masih kalah cepat dibandingkan ketiga orang yang hendak ditangkap itu. Begitu kedelapan Tong-cu itu sudah menginjak permukaan genteng, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah melompat keluar melintasi tembok samping kuil, lalu berlari menuju ke belakang kuil yang rimbun itu untuk menyembunyikan diri.

“Kejar!” teriak para Tong-cu itu.

Pemimpin Ui-ki-tong yang baru, yaitu Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, yang merasa punya ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang paling lihai di antara rekan-rekannya, bermaksud untuk pamer kepandaian. Dengan sekali jejakan kakinya, tubuhnya telah terlontar ke depan sampai beberapa tombak jauhnya, mantel hitam yang dikenakannya pun terkembang lebar sehingga ia benar-benar mirip seekor kelelawar berukuran raksasa.

Namun Tong-cu Tong-cu lainnya pun tidak membiarkan pahala itu dinikmati sendiri oleh Liong Pek-ji. Seng Cu-bok yang berjulukan Hwe-tan (Peluru Api) itu segera menyambitkan tiga butir peluru apinya ke punggung Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya, sambil menggertak, “Bangsat, lihat peluru apiku akan membuat kalian jadi babi panggang!”

Luncuran ketiga butir Hwe-tan itu ternyata lebih pesat dari luncuran tubuh Liong Pek-ji. Dalam sekejap saja suara desingannya telah terdengar di belakang punggung Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya. Bu-sian Hweshio cukup berpengalaman, cukup dengan mendengar suaranya saja dia telah dapat mengetahui senjata apakah yang mengancamnya itu. Tidak lupa ia memperingatkan kawan-kawannya, “Peluru api dari keluarga Seng! Cepat menghindar dan jangan ditangkis!”

Ilmu meringankan tubuh Tong Wi-hong pun cukup lihai. Hanya dengan tekukan pinggangnya, tubuhnya yang tengah meluncur itu telah berbelok ke samping dengan gaya Gan- heng-sia-hui (Burung Belibis Terbang Miring). Sedangkan Wi- lian menggunakan gerakan It-ho-ciong-thian (Seekor Bangau Menembus Langit), melompat tinggi ke atas sehingga peluru api itu hanya mendesis di bawah telapak kakinya. Bu-sian Hweshio sendiri telah berhasil meloloskan diri dengan gerakan Boan-liong-jiau-po (Naga Berputar Langkah).

Ketiga butir Hwe-tan yang disambitkan oleh Seng Cu-bok itu segera mengenai pepohonan dan langsung meledak serta membakarnya, sehingga kini keadaan di sekitar kuil Tay-hud-si itu menjadi terang benderang bagaikan siang hari. Sementara itu, Liong Pek-ji telah menubruk dari angkasa bagaikan seekor kalong raksasa, mulutnya yang bertaring itu menyeringai mengerikan, dan dengan kuku-kuku tangannya dia langsung menerjang ke arah Bu-sian Hweshio.

Biasanya, dengan serangannya yang hebat ini Liong Pek-ji selalu berhasil mencabut nyawa korbannya. Perhitungannya kali ini pun demikian pula, jika dapat membunuh lawan dengan sekali gebrakan maka pamornya akan ikut naik. Tetapi kali ini Liong Pek-ji agaknya salah alamat, sebab sasarannya kali ini adalah murid Hong-tay Hweshio, tokoh yang menduduki tempat kedua dalam deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” dunia persilatan itu.

Tanpa menolehkan kepalanya, Bu-sian Hweshio membalikkan dan menyodokkan tongkat kiu-hoan-kun ke belakang, memaksa si kelelawar harus membatalkan serangannya dan berjungkir-balik menyelamatkan dadanya dari sodokan tongkat baja itu.

Sementara itu Hong-long-cu Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang telah memburu ke arah Wi-lian dengan perasaan penuh kebencian dan dendam kesumat. Kedua orang Tong- cu ini pernah merasakan dihajar habis-habisan oleh gadis Siau-lim-pay itu, bahkan dihajar di hadapan mata orang banyak sehingga kedua Tong-cu itu merasa sangat kehilangan muka.

Sekarang tibalah saat mereka untuk membalas dendam. Karena mereka masing-masing merasa belum sanggup menandingi gadis itu satu lawan satu, maka tanpa kenal malu lagi mereka maju serempak, dengan senjata andalannya masing-masing mengeroyok gadis yang tidak bersenjata itu!

Si Serigala Gila Mo Hui lebih dulu membuka serangan dengan gerakan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit). Mata tunggalnya itu berkilat penuh kebencian, sedang mata tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itupun berkilat memancarkan hawa pembunuhan, siap merobek-robek tubuh Wi-lian.

Cepat gadis itu menghindar ke samping, namun tongkat besi Ko Ce-yang telah siap menyambut untuk memecahkan kepalanya. Terpaksa Wi-lian menghindari sambaran tongkat itu dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepalanya). Dalam beberapa gebrakan itu Wi-lian belum sempat membalas serangan musuh-musuhnya.

Tong Wi-hong cemas ketika melihat adik perempuannya dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Ia segera mencabut pedang dan bergerak untuk menolong adiknya, namun langkahnya itu ternyata dihadapi oleh Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) serta He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas). Tong King-bun bersenjata sebatang pedang panjang, sedangkan He-hou Im bersenjata thi-koan (Tongkat yang melengkung tajam). Kedua Tong-cu ini bertempur dengan ganasnya dan nampaknya tidak segan-segan untuk mencincang lawannya, maka terpaksa Wi-hong harus memusatkan perhatiannya kepada kedua lawannya ini.

Melihat Wi-hong dan Wi-lian telah terlibat oleh lawannya masing-masing dan tidak dapat melarikan diri lagi, diam-diam Bu-sian Hweshio mengeluh dalam hatinya. Namun rahib muda itu tidak sudi menjadi pengecut dan lari untuk keselamatan dirinya sendiri. Maka ia pun terjun ke tengah arena pertarungan sambil berseru, “Tong Cong-piau-thau dan Sumoay, cepat kita bentuk lingkaran untuk bertempur bahu-membahu!”

Peluru-peluru api milik Seng Cu-bok telah tidak dapat digunakan lagi, karena sekarang pertempuran itu telah bercampur-aduk antara kawan dan lawan. Maka Seng Cu-bok memasukkan kembali peluru-peluru apinya ke dalam kantung kulitnya, lalu menghunus goloknya dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Si Gajah Berpunggung Besi (Thi-pwe-siang) Song Hian serta Hek-liong (Naga Hitam) Thio Hong-bwe tidak mau ketinggalan dalam merebut pahala, maka serempak mereka pun mengeluarkan senjatanya masing-masing yang berupa gada besi segi delapan dan tombak berkait.

Menghadapi keadaan segawat itu, Bu-sian Hweshio merasa bahwa kedudukannya dan kawan-kawannya agak terdesak di bawah angin, ia harus berusaha membuka jalan agar bisa bertempur bersama kawan-kawannya secara bahu- membahu. Maka dibarengi dengan bentakannya yang menggelegak, toya kiu-hoan-kunnya telah diputar dahsyat bagaikan gelombang lautan menggempur lawan-lawannya. Para Tong-cu baru dari Hwe-liong-pang itu terkesiap ketika melihat tenaga yang sedahsyat itu.

Thi-pwe-siang Song Hian yang juga merasa mempunyai tenaga raksasa yang dapat dibanggakan itu, telah timbul keinginannya untuk menjajal kekuatan rahib muda Siau-lim- si itu. Segera ia melompat maju sambil melintangkan gada besinya, sambil membentak, “Keledai gundul, jangan bertingkah di sini, tuan besarmu akan segera menghajarmu!”

Tak terhindarkan lagi, dua jenis senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu telah berbenturan dengan hebatnya. Suasananya berdentang nyaring dan membuat kuping setiap orang bagaikan pekak. Song Hian terdorong mundur tiga langkah, sedang Bu-sian Hweshio merasakan tangannya tergetar hebat. Dari hasil benturan itu nampaklah keunggulan tenaga dari rahib muda Siau-lim-si itu.

Ketika Bu-sian Hweshio sekali lagi menyapukan toyanya untuk menyingkirkan lawan-lawannya, maka tak seorang pun lawannya yang berani cari penyakit dengan jalan membenturnya secara keras, serempak mereka menyibak. Dengan demikian akhirnya Bu-sian Hweshio berhasil bergabung dengan adik seperguruannya. Sedangkan Tong Wi-hong dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan lincah, ternyata juga telah bergabung ke situ. Kini ketiga jago muda itu bertempur bahu membahu menghadapi kepungan delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang haus pahala itu.

Dengan bertempur sambil beradu punggung membentuk segitiga, kedudukan Bu-sian Hweshio bertiga tidak serepot tadi lagi. Kini mereka tidak usah menguatirkan akan datangnya sergapan licik dari punggung mereka. Namun dengan demikian mereka pun terkepung dan kecil sekali kesempatannya untuk melarikan diri, apalagi tentunya Te-liong Hiang-cu tentu tidak akan membiarkan anak buahnya dikalahkan musuh di depan hidungnya.

Kedelapan orang Tong-cu itu ternyata bertempur dengan beringas sekali, mereka punya dorongan yang sama, yaitu memperoleh pujian dihadapan Ketua mereka. Namun mereka pun penasaran bukan main karena gabungan dari delapan orang yang punya nama julukan seram-seram itu ternyata tidak dapat berbuat apa-apa terhadap tiga orang muda yang umurnya jauh di bawah mereka itu. Kedelapan Tong-cu itu jadi merasa semakin malu dan penasaran setelah Te-liong Hiang-cu kemudian melangkah keluar dari dalam kuil dan menonton pertempuran itu dengan didampingi oleh Sebun Say dan Tang Kiau-po.

Tiba-tiba Liong Pek-ji menemukan suatu akal bagus untuk memecah kerjasama ketiga lawannya itu. Ia lalu berteriak kepada Seng Cu-bok, “Saudara Seng, lemparkan peluru apimu ke tengah-tengah lingkaran mereka!”

Seruan itu segera menyadarkan Seng Cu-bok, ia segera melompat keluar dari arena pertempuran dan mengeluarkan kembali butir-butir Hwe-tannya. Dia girang karena akan mendapat muka dengan jasanya, tapi satu-satunya hal yang membuat dia agak menyesal ialah karena Liong Pek-ji lah yang mengingatkannya untuk berbuat demikian, sehingga jasanya pun agaknya akan terbagi dua.

Sedangkan Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya terkejut ketika mendengar seruan itu. Jika siasat lawan itu benar- benar akan dijalankan, maka Bu-sian Hweshio bertiga akan benar-benar jatuh ke dalam kesulitan besar, sebab senjata Hwe-tan Seng Cu-bok itu tidak dapat ditangkis. Tetapi mereka tidak berdaya mencegah Seng Cu-bok, sebab tujuh orang Tong-cu lainnya semakin merapatkan kurungan mereka untuk memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok menyiapkan peluru-peluru apinya.

Dalam keadaan genting itu, Tong Wi-hong menjadi nekad. Tanpa pikir panjang lagi ia telah melemparkan pedangnya sekuat tenaga ke arah Seng Cu-bok. Kini pedangnya meluncur dan berubah wujud menjadi sebuah garis perak yang melesat kencang ke sasarannya. Siapapun tidak akan menduga tindakan Wi-hong semacam itu, bahkan Seng Cu-bok juga tidak. Orang she Seng itu hanya melongo kaget ketika melihat pedang itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang diluar kemampuannya untuk menghindarinya.

Namun agaknya nasib she Seng itu masih cukup bagus. Di saat pedang Wi-hong itu hampir menembus badannya, Sebun Say telah menolongnya dengan jalan menubruk maju secepat kilat. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang itu telah berada dalam tangan si iblis Jing-hay itu. Seng Cu-bok yang baru saja lepas dari ancaman maut itu, menjadi murka bukan kepalang.

Secara beruntun ia menghamburkan lima butir peluru-peluru apinya untuk menghantam ke pusat kerjasama segitiga antara Bu-sian Hweshio, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Agaknya ketiga pendekar muda yang gagah berani itu kini dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Harus bertempur secara berpencaran kembali, atau tetap bergabung tetapi akan terbakar hidup-hidup oleh peluru-peluru api yang ampuh itu.

Tapi sang nasib baik agaknya tidak berpihak. Jika Seng Cu-bok baru saja berhasil memperpanjang umurnya lolos dari lubang jarum karena pertolongan Sebun Say, maka di saat gawat bagi Bu-sian Hweshio bertiga itupun mendadak muncullah pertolongan tak terduga. Di saat kelima butir Hwe-tan itu hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba entah dari mana datangnya muncullah segulungan angin yang lembut tetapi kuat, dan tanpa menimbulkan ledakan kelima butir Hek-liong malahan berbalik ke arah orang-orang Hwe-liong-pang sendiri.

Perubahan tak terduga itu telah membubarkan kepungan orang-orang Hwe-liong-pang, mereka dengan paniknya berusaha menghindari sambaran peluru-peluru api milik rekan sendiri yang sangat berbahaya itu. Mereka sadar bahwa benturan yang lemah pun sudah cukup untuk membuat peluru itu meledak dan menyemburkan apinya.

Thi-pwe-siang Song Hian bertubuh raksasa dan bertenaga kuat, namun gerak-geriknya terlambat menyelamatkan diri sehingga pinggulnya tersambar sebutir Hwe-tan yang langsung meledak dan menyala. Sambil menjerit kaget, ia langsung saja menjatuhkan dirinya untuk bergulingan di rerumputan yang basah oleh embun malam. Api yang membakar tubuhnya memang berhasil dipadamkan, tapi pakaiannya sudah robek-robek tidak karuan, kulitnya melepuh di sana-sini, keadaannya benar-benar sangat konyol.

Keanehan tidak berhenti sampai di situ saja. Api yang menyala-nyala itu tiba-tiba dihembus lagi oleh “angin aneh” yang tidak diketahui sumbernya itu, sehingga nyala api itupun terpecah-pecah dan berubah menjadi jalur-jalur api yang mengejar dan hendak menjilat ke arah orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kembali orang-orang Hwe-liong-pang menjadi kalang kabut menghadapi kejaran “ular api” itu.

Sementara orang-orang Hwe-liong-pang itu panik, Bu-sian Hweshio bertiga telah mendengar suara bisikan selembut suara nyamuk di pinggir telinga mereka, “Lekas lari. Permainan ini tidak akan bertahan lama.”

Itulah suara yang dilemparkan dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengiris Gelombang Suara), suatu ilmu tingkat tinggi yang hanya dapat dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tanpa melewatkan kesempatan sebagus itu, Bu-sian Hweshio bertiga telah melompat ke dalam gerombolan pepohonan yang lebat di belakang kuil Tay-hud-si itu dan melarikan diri.

Tapi di tempat itu hadir tiga orang tokoh Hwe-liong-pang yang ilmunya lebih tinggi dari delapan Tong-cu itu. Mereka adalah Te-liong Hiang-cu, Sebun Say dan Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po. Sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka langsung menyadari bahwa kekacauan itu tentu disebabkan oleh kekuatan dari luar yang ikut campur. Dan kekuatan luar itu tentu saja tidak dapat dianggap remeh, menilik caranya yang mahir dalam “memainkan” api itu.

Sebun Say dan Tang Kiau-po serempak menghantam ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tempat itu, sambil membentak, “Manusia bosan hidup dari manakah yang bersembunyi di situ? Hayo perlihatkan dirimu!”

Batang pohon yang hampir sebesar paha orang dewasa itu seketika itu ambruk terkena gabungan pukulan dari kedua tokoh Hwe-liong-pang itu. Bersamaan dengan ambruknya pohon itu, terlihatlah pula dua sosok bayangan melompat turun dari pohon dan langsung kabur mengikuti jejak Bu-sian Hweshio bertiga yang telah lari lebih dulu.

“Bangsat! Setelah mengacau kau kira bisa kabur begitu saja?” teriak Sebun Say yang geram karena merasa orang itu berani malang-melintang seenaknya di depan hidungnya. Tubuhnya yang pendek kecil itu melesat mengejar ke arah dua bayangan itu. Kedelapan orang Tong-cu juga ikut mengejar, terutama Song Hian yang masih mendongkol karena hampir saja ia terbakar hidup-hidup gara-gara ulah orang itu.

Tapi orang-orang yang dikejar itupun tidak tinggal diam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba berbalik sambil mengebaskan sebuah kipas ke arah api yang masih menyala. Gelombang angin yang kuat segera menghembus dahsyat, membuat kobaran nyala api itu menyembur ke arah para pengejar itu. Untuk beberapa detik lamanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terhalang, dan itu sudah cukup bagi kedua orang itu untuk melenyapkan diri ke dalam hutan di belakang kuil itu. Sayup-sayup telinga Sebun Say masih mendengar suara orang tertawa mengejek, suara yang sangat dikenalnya!

Geram Sebun Say sambil membanting kakinya, “Sastrawan busuk she Liu itu kembali telah mengganggu pekerjaanku. Dalam pertempuran di Siong-san besok pagi mudah-mudahan saja aku bertemu dengan bangsat itu, supaya aku dunia persilatan tmencincangnya untuk melampiaskan kejengkelanku!”

Sebenarnya, jika tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau berpikir dengan kepala dingin, kejadian malam itu harusnya cukup membukakan mata mereka bahwa kaum pendekar memiliki kekuatan yang jauh di atas Hwe-liong-pang. Delapan orang Tong-cu ditambah dengan dua Su-cia dan satu Te-liong Hiang-cu ternyata masih belum sanggup menangkap tiga orang pendekar muda dan dua orang tokoh kaum pendekar lainnya, apalagi di Siong-san tentunya berkumpul berpuluh-puluh orang pendekar muda yang setingkat atau hampir setingkat dengan Tong Wi-hong, dan tokoh-tokoh tua yang setingkat dengan Liu Tay-liong.

Namun mata hati Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya itu telah dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri yang merasa diri mereka sakti tanpa lawan, dan sedikitpun tidak terbit pikiran mereka untuk memikirkan kembali rencana penyerbuan mereka ke Siong-san. Bahkan kejadian di malam itu malah semakin mengobarkan kebencian mereka ke kaum pendekar.

Dalam pada itu, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk menyusup jauh ke dalam hutan, bahkan menembus sampai ke seberang hutan. Di tempat itu barulah mereka berhenti berlari dan duduk beristirahat di atas akar-akar pepohonan, sambil mengusap keringat mereka. Angin malam yang sejuk membantu mengeringkan keringat mereka dan menyegarkan kembali tubuh mereka.

“Sungguh berbahaya,” desis Bu-sian Hweshio. “Hampir saja kita tidak dapat kembali ke Siong-san. Untunglah ada seorang berilmu tinggi yang menolong kita. Entah siapakah Lo-cian-pwe itu?”

Sahut Wi-lian, “Liu Lo-cianpwe, Liu Tay-liong dari Kay-hong. Aku cukup mengenal suaranya aku pernah ditolongnya di kota Kay-hong. Kita tunggu Liu Lo-cian-pwe di sini.”

Mereka tidak menunggu terlalu lama, sebab sesaat kemudian terdengar suara kibaran kain baju, lalu muncullah Liu Tay-liong yang disertai seorang laki-laki setengah umur dan berjenggot cabang tiga serta berpakaian ringkas. Dialah Kongsun Tiau, Ketua Jing-sia-pay yang berjuluk Hong-lui kiam-khek (Pendekar Angin dan Halilintar).

Bu-sian Hweshio bertiga segera memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh angkatan tua yang telah menolong mereka itu. Kemudian mereka semuanya duduk berkeliling sambil membicarakan peristiwa yang baru saja mereka alami itu. Wi-lian dengan gamblang dan terperinci lalu menjelaskan tentang perubahan besar-besaran yang telah terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang, di mana para Tong-cu lama yang berwatak ksatria telah tersingkir dan digantikan dengan tokoh-tokoh golongan hitam sebangsa Seng Cu-bok dan sebagainya.

Sebagai kesimpulannya, Wi-lian berkata, “Dengan demikian, kita tidak ragu-ragu lagi bertindak sebab sudah mengetahui macam apakah lawan kita itu. Hwe-liong-pang yang kita temui malam ini berbeda dengan Hwe-liong-pang yang pernah kita temui dulu, yang mungkin pernah menimbulkan kesan baik di hati kita.”

Kongsun Tiau, yang dalam pertemuan kemarin hari begitu ngotot membela Hwe-liong-pang, sekarang juga mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar keterangan Wi-lian itu. Katanya, “Sekarang jelaslah persoalannya. Tentu saja sekarang aku tidak ragu-ragu lagi mengayunkan pedangku untuk membabat mereka, sebab mereka ternyata bukan sahabat-sahabatku yang dulu, meskipun sama-sama bernaung di bawah bendera Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api). Tapi persoalan yang kuhadapi kali ini benar-benar telah menambah pengalamanku. Biasanya jika aku menghadapi seseorang atau suatu kelompok, aku langsung dapat menentukan sikap karena aku langsung dapat menentukan jahat atau baiknya pihak yang kuhadapi itu. Namun berhadapan dengan Hwe-liong-pang benar-benar memusingkan kepala. Sebentar jahat, sebentar baik, sehingga aku kadang-kadang ragu-ragu dalam menurunkan tangan.”

Mendengar kata-kata Kongsun Tiau itu, Liu Tay-liong menjawab sambil tertawa, “Bukan kau saja yang pusing, tapi seluruh dunia persilatan pun pusing kepala menghadapi Hwe-liong-pang yang kabur haluannya itu. Jadi tenang sajalah, sebab kau punya beribu-ribu kawan dalam kepusingan.”

Dalam pada itu, malam telah melewati pusatnya, dan bulan sabit pun sudah terlihat condong ke sebelah barat. Liu Tay-liong segera beranjak dari tempat duduknya sambil berkata, “Ayo kita pulang sekarang. Penyelidikan kita malam ini boleh dianggap telah cukup berhasil, cukup membantu kita untuk menetapkan sikap tegas kepada Hwe-liong-pang.”

Demikianlah kelima orang itupun kembali ke Siong-san. Lebih dulu mereka mengambil kuda-kuda tunggangan mereka yang disembunyikan tidak jauh dari tembok kota Bun-siau, setelah itu barulah mereka berangkat bersama-sama kembali ke Siong-san.

“Apakah hasil penyelidikan kita malam ini perlu kita laporkan hasilnya kepada para ksatria?” tanya Wi-lian dalam perjalanan.

“Aku merasa perlu hal itu,” sahut kakaknya. “Hal ini agar kaum ksatria dapat membedakan mana Hwe-liong-pang yang musuh dan mana Hwe-liong-pang yang bukan musuh. Mereka harus dapat membedakan antara Hwe-liong-pang Te-liong Hiang-cu dan Hwe-liong-pangnya Hwe-liong-pang-cu yang sah.”

Ternyata semuanya sependapat bahwa apa yang mereka saksikan malam itu harus dilaporkan kepada kaum ksatria, meskipun barangkali mereka akan menerima teguran karena telah berani meninggalkan Siong-san tanpa berpamitan.

* * * * * * *

BEGITU cahaya keemas-emasan mulai bertebaran di cakrawala timur, kelima orang yang baru saja menyelidiki kota Bun-siau itu telah tiba di Siong-san. Kedatangan dan laporan yang mereka bawa langsung saja menggemparkan segenap kaum pendekar yang berkumpul di situ. Ada yang menanggapi laporan itu dengan cukup bijaksana, namun lebih banyak lagi yang tetap bersikeras dengan sikapnya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, tidak peduli Hwe-liong-pang yang manapun tetap harus dibabat.

Yang membuat Tong Wi-hong dan adiknya merasa prihatin, adalah kenyataan bahwa pendapat yang kedua inilah yang menguasai sebagian besar kaum pendekar. Pendapat yang kurang menguntungkan bagi cita-cita Tong Wi-siang yang ingin berjalan secara lurus di dunia persilatan.

“Sehabis pertempuran ini selesai, kita harus cepat-cepat mencari A-siang dan menganjurkannya agar untuk sementara waktu ia tidak mengadakan kegiatan dulu,” kata Wi-lian kepada kakaknya, setelah mereka sendirian saja. “Ternyata ada juga kaum pendekar yang begitu keras kepala dan sulit diberi penjelasan.”

“Susahnya, kemana kita harus mencari A-siang?”

Begitulah, di tengah-tengah kesibukan kaum ksatria yang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan Hwe-liong-pang, maka Wi-hong dan Wi-lian masih saja digelisahkan oleh sikap kaum pendekar yang keras kepala itu. Namun merekapun secara jujur tidak dapat terlalu menyalahkan sikap semacam itu, sikap yang begitu membenci semua yang berbau Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumnya.

Sebagian besar kesalahan memang terletak di pundak Tong Wi-siang, yang dulu kurang ketat dalam mengawasi tindak-tanduk para anak buahnya. Inilah yang mengakibatkan sikap permusuhan dari sebagian besar kaum pendekar itu sulit dihapuskan begitu saja, meskipun telah mendengarkan keterangan terperinci, karena memang sebagian besar kaum ksatria ini pernah menelan pengalaman pahit dengan Hwe-liong-pang....
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 27

Perserikatan Naga Api Jilid 27

Karya : Stevanus S.P
TONG WI-HONG yang menyahut, “Tay-su (bapak pendeta), hal itu sudah kami pertimbangkan. Tetapi kami berdua tetap bertekad untuk menyelidiki ke sana betapapun besarnya bahaya yang harus kami hadapi, supaya jika kelak kami bertempur dengan orang-orang Hwe-liong-pang perasaan kami sudah merasa lega karena sudah tahu siapa musuh-musuh kami itu.”

Rahib Bu-sian termangu-mangu mendengar tekad kakak beradik she Tong yang sudah bulat dan tidak mungkin dicegah itu. Rahib muda itu juga menguatirkan keselamatan kakak beradik itu maka akhirnya Bu-sian mengambil keputusan yang tak terduga, “Baiklah, kalau begitu biarlah aku ikut dengan kalian!”

Mendengar keputusan Rahib Bu-sian itu Tong Wi-hong menjadi bingung bagaimana harus menanggapinya. Seperti diketahui, rencana Wi-hong di kota Bun-siau itu adalah untuk berusaha menemui Hwe-liong-pang-cu secara pribadi yang bukan lain adalah kakak Wi-hong sendiri. Tetapi dengan ikutnya Rahib Bu-sian, maka kemungkinan besar orang luar pun akan ikut mengetahui hubungan antara Wi-hong dengan Hwe-liong-pang-cu.

Keadaan seperti itu benar-benar dapat menyulitkan Wi-hong dengan Tiong-gi Piau-hang nya, sebab seluruh dunia persilatan sedang dilanda suasana permusuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi untuk menolak keikutsertaan Bu-sian Hweshio Tong Wi-hong juga agak sulit untuk mengutarakannya karena takut akan menyinggung perasaan pendeta itu. Untuk sesaat lamanya Wi-hong hanya berdiri kebingungan saja.

Sementara itu Wi-lian justru punya pendapat lain. Gadis itu merasa bahwa keikutsertaan Bu-sian Hweshio itu ada keuntungannya. Selain berilmu silat tinggi sehingga dapat memberi bantuan, Rahib itu juga seorang yang berpandangan luas dan bijaksana andaikata diberitahukan tentang persoalan Hwe-liong-pang-cu pun dia pasti akan dapat menerimanya dengan kebijaksanaannya. Maka jawab Wi-lian, “Baiklah Suheng, kami berterima kasih atas perhatianmu itu.”

Wi-hong terkejut ketika mendengar jawaban adiknya itu. Tetapi di saat bibirnya sudah bergerak hendak mencegahnya, ia merasa telapak tangannya telah digenggam dan diremas oleh adiknya. Wi-hong memahami isyarat adiknya itu maka akhirnya ia bungkam saja.

Dalam pada itu Bu-sian Hweshio telah berkata kepada Auyang Seng, “Saudara Auyang, aku akan beserta Tong Cong-piau-thau serta adik seperguruanku ini untuk mencoba memasuki dan menyelidiki kubu lawan di kota Bun-siau. Selama aku pergi, harap saudara Auyang memimpin semua saudara-saudara yang ada di tempat ini untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya.”

Setelah Auyang Seng menyatakan sanggup mengambil alih pimpinan kelompok itu, maka berangkatlah kakak beradik she Tong itu bersama dengan Bu-sian Hweshio. Sebelum mencapai kaki bukit Siong-san, mereka masih melewati lagi beberapa lapis penjagaan dari murid-murid berbagai perguruan yang sedang berkumpul di situ. Namun mereka dapat melewatinya dengan lancar, karena Bu-sian Hweshio sudah dikenal oleh murid-murid perguruan itu.

Tong Wi-hong dan adiknya tidak tahu bahwa malam itu ternyata bukan hanya mereka yang meninggalkan bukit itu untuk menuju ke Bun-siau. Dari arah lain bukit Siong-san, nampak pula dua sosok bayangan yang diam-diam pergi meninggalkan kuil dan menuju ke Bun-siau pula. Mereka bukan lain adalah Hong-lui Kiam-khek Kongsun Tiau yang ditemani oleh si sasterawan sakti dari Kay-hong, Liu Tay- liong. Kedua orang ini ternyata juga merasa penasaran dan tidak mau menelan begitu saja berita yang mereka terima.

Mereka ingin menyelidiki sendiri ke kota Bun-siau. Terutama Kongsun Tiau yang berkesan baik kepada Hwe-liong-pang itu, kini benar-benar merasa penasaran karena ia masih tidak percaya bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan tindakan permusuhan semacam itu. Itulah yang mendorongnya untuk meninggalkan Siong-san menuju Bun-siau.

Semula Bu-sian Hweshio bermaksud langsung menuju Bun-siau, namun setelah memperhitungkan jarak yang harus ditempuh dengan waktu yang tersedia, akhirnya Bu-sian mengusulkan untuk mencari kuda tunggangan dulu. Usul itu disetujui oleh Wi-hong dan Wi-lian. Karena itu mereka lebih dulu menuju ke rumah seorang murid Siau-lim-pay yang hidup di luar kota Teng-hong sebagai pemilik sebuah peternakan kuda yang cukup besar. Dari murid Siau-lim-pay itu, mereka berhasil mendapatkan pinjaman tiga ekor kuda tegar, dan dengan kuda-kuda tegar itulah mereka menembus gelapnya malam menuju ke kota Bun-siau.

Karena Wi-lian berpendapat bahwa Suhengnya cukup dapat dipercaya dan cukup bijaksana, maka sambil berkuda, gadis itu terang-terangan menceritakan tentang hubungan pribadinya dengan Hwe-liong-pang-cu, dan menerangkan pula tentang kemelut dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri. Terhadap kakak seperguruannya ini, Wi-lian begitu terus terang dan tak ada yang disembunyikannya lagi.

Rahib muda itupun tercengang setelah mendengar bahwa kedua orang yang sedang berkuda bersama-sama dengannya itu ternyata adalah adik-adik dari Hwe-liong-pang-cu, tokoh yang dianggap sebagai musuh bersama dunia persilatan itu. Tetapi diapun juga menghargai kejujuran Wi-lian yang mau berbicara terbuka kepadanya itu. Sahut rahib itu,

“Sumoay, baik buruknya seseorang bukanlah ditentukan oleh hubungan pribadi antara orang itu dengan orang lainnya, namun ditentukan oleh sikap dirinya sendiri. Kau adalah adik perempuan dari Hwe-liong-pang-cu, itu adalah takdir dan sama sekali bukan kesalahanmu. Tetapi jika sampai kau mengikuti jejaknya yang sesat, nah, itu baru kekeliruan besar!”

Wi-lian mengerutkan keningnya ketika mendengar Suhengnya bicara dengan gambaran sejelek itu terhadap Hwe-liong-pang-cu, namun Wi-lian akhirnya memahami bahwa sikap Suhengnya itu tentu terpengaruh pula oleh sikap kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Katanya, “Suheng, niatku untuk menyelidik sendiri ke kota Bun-siau ini justru terdorong oleh rasa tidak percaya bahwa kakakku itulah yang mendalangi perbuatan-perbuatan ganas itu. Kakakku telah berjanji kepadaku bahwa dia ingin membina hubungan baik dengan kaum pendekar. Aku kenal betul sifat-sifat kakakku. Meskipun dia keras kepala dan kaku, namun dia paling pantang menjilat kembali ludahnya!”

“Kalau bukan kakakmu yang memimpin gerakan ini, lalu siapakah?”

“Aku menduga ada kelompok lain yang menggunakan nama Hwe-liong-pang untuk kepentingannya sendiri. Barangkali ia bertujuan untuk mengadu domba antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar di Siong-san, agar dengan demikian mereka sendiri akan bisa mengail di air keruh.”

“Tujuan kita ke Bun-siau justru hendak menyelidiki hal itu sejelas-jelasnya,” sambung Tong Wi-hong.

Karena jarak kota Bun-siau memang tidak terlalu jauh dari kota Teng-hong, maka sebelum tengah malam mereka telah dapat melihat tembok kota Bun-siau telah menghadang di depan mata. Di atas tembok kota nampak kelap-kelipnya lentera yang dinyalakan oleh prajurit-prajurit penjaga kota, dan sayup-sayup terdengar pula suara para prajurit yang sedang bercakap-cakap atau bergurau untuk menahan kantuk.

Wi-hong, Wi-lian dan Bu-sian Hweshio segera turun dari kuda dan menambatkan kuda mereka di balik sebuah semak-semak yang tersembunyi. Bu-sian Hweshio berdesis dengan suara tertahan, “Sumoay, Tong Cong-piau-thau, kita akan menggunakan ilmu Pia-hou-yu-jio (Cicak Merayap di Tembok) sebab tembok kota itu terlalu tinggi untuk dilompati.”

“Aku tidak menguasai ilmu semacam itu,” Tong Wi-hong dengan terus terang.

Soat-san-pay adalah sebuah perguruan silat yang mengutamakan pelajaran gerakan-gerakan bagus dan tipu-tipu yang rumit, baik dalam ilmu pedang maupun ilmu tangan kosong. Sedangkan ilmu Pia-hou-yu-jio yang diusulkan oleh Bu-sian Hweshio itu biasanya diajarkan dalam perguruan-perguruan silat yang mengutamakan latihan tenaga dalam, sebab dalam ilmu itu sangat dibutuhkan tenaga dalam yang tinggi untuk menimbulkan daya sedot yang kuat di telapak tangan. Dengan demikian pengakuan Tong Wi-hong itu sama sekali tidak memalukan perguruannya, sebab tiap perguruan memang punya keistimewaan sendiri-sendiri.

“Kalau Cong-piau-thau tidak keberatan, biarlah aku bersedia menggendong Cong-piau-thau sambil merambat ke atas,” kata Bu-sian Hweshio.

“Kalau begitu, aku terpaksa merepotkan Tay-su (bapak pendeta),” sahut Wi-hong.

Tidak lama kemudian, nampaklah bahwa Tong Wi-lian dan Bu-sian Hweshio sudah merayap di permukaan tembok kota itu seperti dua ekor cicak raksasa. Tong Wi-hong digendong di punggung si rahib, sambil membawakan toya baja si rahib. Meskipun tubuhnya dibebani oleh tubuh Wi-hong, namun Bu-sian Hweshio seolah-olah bagaikan tidak merasakan apa-apa. Dengan ringannya dia terus merayap ke atas di permukaan tembok yang tegak lurus dengan tanah itu, napasnya tetap biasa saja dan tidak terengah-engah.

Diam-diam Wi-hong mengakui ketinggian tenaga dalam dari rahib muda ini, pantas saja kalau kuil Siau-lim-si selalu disebut sebagai tempat paling angker dalam dunia persilatan, dan sering pula diumpamakan bagai “Kubangan naga” atau “gua harimau”.

Tidak lama kemudian, tibalah ketiga orang itu di atas tembok kota, dan suatu keberuntungan bagi mereka bahwa para penjaga tembok kota itu lebih suka duduk berkumpul-kumpul dengan kawan-kawannya daripada jalan berkeliling untuk meronda. Dari atas tembok kota itu mereka langsung saja melompat ke bawah dengan ilmu meringankan tubuhnya masing-masing. Dan sebagai murid Soat-san-pay, kali ini Wi-hong menunjukkan keunggulan perguruannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Sepasang kaki Wi-hong berhasil mendarat di tanah hanya dengan mengepulkan sedikit debu, sedangkan “pendaratan” Bu-sian Hweshio dan Wi-lian tidak seringan itu.

Waktu itu keadaan kota Bun-siau sudah agak sepi, hampir semua pintu sudah tertutup, kecuali warung-warung arak yang biasanya buka sampai larut malam. Di beberapa tempat masih terdengar suara gelak tertawa yang liar dari kelompok pemabuk. Kadang-kadang nampak pula sekelompok prajurit lewat, namun mereka sama sekali tidak menggubris Tong Wi-hong bertiga.

Sambil berjalan menyusuri jalan-jalan kota Bun-siau yang sudah sepi itu, Bu-sian Hweshio bertanya, “Entah di manakah sembunyinya orang-orang Hwe-liong-pang itu?”

Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari arah depan muncullah empat orang laki-laki yang berjalan berangkul-rangkulan dengan langkah yang sempoyongan, sedang mulut mereka menyanyikan lagu yang tak keruan nadanya. Jelaslah bahwa keempat lelaki itu dalam keadaan mabuk. Namun yang menarik perhatian adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh keempat orang lelaki mabuk itu, sebab mereka berempat semuanya berseragam hitam dan memakai ikat kepala serta sabuk yang berwarna biru! Itulah seragam anggota Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru)!

Melihat kelakuan keempat pemabuk itu, Wi-hong menggeram, “Gila. Aku hampir-hampir tidak percaya bahwa beginilah kelakuan orang-orang kelompok Lam-ki-tong yang dipimpin In Yong itu!”

“Kita ringkus mereka dan kita korek keterangan dari mereka,” kata Bu-sian Hweshio.

“Setuju,” sahut Wi-hong dan Wi-lian serempak.

Dengan langkah tegap dan terang-terangan mereka mendekati keempat pemabuk itu, lalu dengan serempak mereka meringkus pemabuk-pemabuk itu. Wi-hong dan Wi-lian meringkus masing-masing satu, sedangkan Bu-sian Hweshio meringkus dua sekaligus tanpa banyak perlawanan, lalu menyeret pemabuk-pemabuk itu ke sebuah sudut yang gelap di pinggir jalan.

Setelah diringkus, agaknya pemabuk-pemabuk itu masih juga belum sadar akan apa yang terjadi atas diri mereka, mereka masih saja bernyanyi-nyanyi dengan suara parau. Namun setelah Wi-lian “menghujani” muka mereka dengan tamparan-tamparan keras, barulah mereka geragapan dan menemukan sebagian kesadaran mereka.

“Apakah kalian adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang?” Wi-hong mulai bertanya.

“Betul,” sahut salah seorang di antara mereka. Nampaknya orang inilah yang paling sadar di antara teman-temannya.

“Dari kelompok yang mana?” tanya Wi-hong pula, meskipun sebenarnya ia sudah bisa menduganya.

“He, siapakah kalian? Apa perlunya kalian ber...” sahut si pemabuk itu tiba-tiba dengan garangnya, tetapi ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Wi-lian telah menamparnya dengan keras sehingga kepala orang itu terputar ke samping.

“Dari kelompok mana?” Wi-hong mengulangi bentakannya, kali ini dengan nada yang lebih mengancam.

Tawanan itu masih merasakan kepalanya pusing habis digampar, maka ia tidak berani bermain-main lagi. Sahutnya cepat, “Lam-ki-tong.”

“He, jadi kau adalah anak buah dari Lam-ki-tong-cu In Yong?”

Tawanan itu nampak keheranan mendengar pertanyaan itu. Katanya, “In Yong? Aku tidak kenal Lam-ki-tong-cu In Yong.”

Wi-lian yang hampir kehabisan kesabaran itu telah mengangkat lagi tangannya dan siap menampar, ancamnya, “Jika kau menjawab seenaknya, jangan salahkan aku kalau sampai gigi-gigimu kurontokkan semua. Kau sebagai seorang anggota Lam-ki-tong, kenapa sampai tidak kenal kepada pemimpin kelompokmu sendiri?”

Bu-sian Hweshio diam-diam tersenyum geli melihat cara adik seperguruannya dalam memeras keterangan dari tawanan itu. Meskipun dia adalah seorang rahib Buddha, namun ia dapat memaklumi tindakan keras dari Su-moay nya itu, sebab mereka sedang dalam keadaan darurat yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan bertindak.

Sebaiknya tawanan Hwe-liong-pang itu menjadi semakin ketakutan sebab ia sudah merasakan betapa kerasnya tangan gadis itu. Sahutnya dengan tergagap, “Li-hiap (Pendekar Wanita), harap ampuni aku, biarpun kau patahkan seluruh tulang-tulangku pun aku tidak kenal orang yang bernama In Yong itu. Aku orang baru yang menjadi anggota Hwe-liong-pang lima hari yang lalu. Lagipula Lam-ki-tong-cu yang sekarang bukannya In Yong melainkan adalah seorang bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api).”

Mendengar jawaban orang itu, seketika Wi-hong dan Wi-lian berpandangan dengan agak kebingungan. Mereka belum pernah mendengar nama Hwe-tan Seng Cu-bok itu. Lalu kemanakah perginya In Yong yang tadinya menjabat Lam- ki-tong-cu itu? Apakah telah terjadi pergeseran orang-orang dalam tubuh Hwe-liong-pang?”

Tanya Wi-hong kemudian kepada tawanannya, “Kau tentunya mengetahui juga tentang ketujuh orang Tong-cu lainnya? Nah, sebutkan.”

Karena takutnya, orang Hwe-liong-pang itu tidak berani berlambat-lambat dalam menyahut, “Tentu saja aku kenal mereka. Pemimpin Pek-ki-tong adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun, pemimpin Ui-ki-tong adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Menghisap Darah) Liong Pek-ji, pemimpin Jing-ki-tong adalah Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe, pemimpin Jai-ki-tong adalah Hong-long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui, pemimpin Ci-ki-tong adalah Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian, pemimpin Ang-ki-tong adalah Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang, sedangkan Hek-ki-tong dipimpin oleh Hehou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas).”

Tentu saja Wi-hong dan Wi-lian menjadi semakin bingung ketika mendengar deretan nama-nama asing itu. Yang mereka kenal di antara deretan nama itu hanyalah nama Mo Hui dan Ko Ce-yang. Namun bukankah kedua orang itu sudah ditawan oleh Hwe-liong-pang-cu ketika terjadi penertiban di Jian-hoa-kok itu? Kenapa mendadak sekarang bisa bebas dan bahkan menduduki jabatan lama mereka sebagai Tong-cu? Di mana pula Tong-cu lainnya yang pernah dikenal oleh Wi-hong, seperti In Yong, Lu Siong, Oh Yun-kim dan Kwa Heng?

“Pasti telah terjadi pergeseran besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang,” gumam Wi-lian. “Dan menilik julukan-julukan seram yang dipakai oleh Tong-cu Tong-cu baru itu, nampaknya mereka kebanyakan berasal dari golongan sesat. Mungkinkah A-siang sendiri yang telah melakukan tindakan penggantian ini?”

“Benar-benar memusingkan, kita harus mengorek keterangan tentang kejadian ini sampai tuntas.”

Lalu kepada orang tangkapan itu Wi-hong bertanya, “Apakah kau mengetahui ke mana orang-orang seperti In Yong, Lu Siong dan lain-lainnya itu tidak lagi menduduki jabatan sebagai Tong-cu?”

“Aku tidak pernah mendengar nama mereka, sungguh mati. Begitu aku dipaksa masuk Hwe-liong-pang, aku langsung ditempatkan dalam kelompok Lam-ki-tong dan dipimpin oleh Seng-cu Bok. Aku hanya tahu menjalankan perintah, tidak tahu urusan lainnya.”

Dengan gemasnya Wi-lian sudah mengangkat tangannya lagi untuk menggampar orang itu, namun Rahib Bu-sian yang welas asih itu telah mencegahnya. “Sumoay, kukira orang ini tidak berani bicara berbohong kepada kita.”

Kalau saja tidak dicegah oleh kakak seperguruannya, sebenarnya gadis itu ingin melampiaskan kejengkelannya kepada orang tangkapan itu. Katanya, “Anggap saja nasibmu cukup bagus sehingga aku dicegah oleh kakak seperguruanku untuk menghabiskan gigimu. Sekarang ceritakan kepada kami, dimanakah pentolan-pentolan kalian berada pada saat ini?”

Sahut si tawanan, “Di kelenteng Tay-hud-si di sebelah timur tembok kota Bun-siau.”

Bu-sian Hweshio terlonjak bagaikan disengat kalajengking ketika mendengar jawaban itu. Kuil Tay-hud-si yang disebutkan itu adalah sebuah kuil cabang Siau-lim-si yang dipimpin oleh kakak seperguruan Bu-sian yang bernama Bu-khong Hweshio. Kini ia mendengar bahwa kuil itu telah dijadikan berkumpulnya pentolan-pentolan Hwe-liong-pang, lalu entah bagaimana nasib hweshio-hweshio di sana yang berjumlah belasan orang itu?

Hilanglah ketenangan Bu-sian Hweshio, katanya dengan gelisah, “Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana untuk melihat keadaan. Bu-khong Suheng ada di kuil itu, barangkali mendapat kesulitan.”

Keinginan itu cocok pula dengan gelora hati Wi-hong dan Wi- lian yang ingin cepat-cepat menemui kakak mereka itu. Setelah menotok pingsan keempat orang anggota Hwe-liong-pang itu, mereka cepat-cepat keluar kembali dari kota Bun-siau dengan cara memanjat seperti tadi, lalu menuju ke sebelah timur pintu kota. Bu-sian Hweshio yang paling hafal dimana letaknya kuil Tay-hud-si itu, maka dialah yang berjalan di depan untuk memimpin.

Mereka menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, sehingga tidak lama kemudian nampaklah bayangan Tay-hud-si terpampang di keremangan malam. Setelah kuil itu nampak, mereka bertiga lalu memperlambat langkah mereka. Mereka menduga tentunya di sekitar kuil itu dijaga oleh orang-orang Hwe-liong-pang, karena itu Bu-sian Hweshio mengusulkan supaya lewat jalan belakang saja agar tidak menimbulkan keributan.

Tetapi Wi-lian menyanggah usul kakak seperguruannya itu, “Suheng, kukira kita tidak perlu main kucing-kucingan seperti itu. Hwe-liong-pang-cu adalah kakakku, aku ingin menjumpainya secara berhadapan muka dan menanyakan apa maksud semua perbuatannya itu.”

Namun Bu-sian Hweshio menggelengkan kepalanya, katanya, “Sumoay, keadaan sangat mencurigakan, tadi kau sendiri mengatakan bahwa terjadi pergantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang dari orang-orang yang tadinya kau kenal menjadi orang-orang yang belum kau kenal sama sekali. Ini menandakan bahwa kita tidak boleh menganggap Hwe-liong-pang yang sekarang ini sama dengan Hwe-liong-pang beberapa hari yang lalu. Kita tetap harus bersikap hati-hati. Maaf, Sumoay, aku berkata terus terang, bahwa menurut dugaanku Hwe-liong-pang sudah tidak dipimpin oleh kakakmu lagi.”

Wi-lian hampir menangis karena menahan gejolak pertentangan dalam hatinya itu, sambil menggelengkan kepalanya dia berkata dengan ngotot, “Tidak. Aku tidak percaya bahwa A-siang tidak memimpin Hwe-liong-pang lagi. Seribu kali diucapkanpun aku tidak percaya.”

Melihat sikap keras adik perempuannya yang seolah-olah kurang akal itu, diam-diam Wi-hong menjadi terharu sekali. Wi-hong tahu sebabnya kenapa adiknya bersikap begitu. Hubungan Wi-lian dengan kakak tertuanya itu sangat rapat, karena itu Wi-lian sangat tidak siap untuk menerima kenyataan-kenyataan buruk tentang diri kakaknya itu, meskipun kadang-kadang menyingkirkan akal sehatnya dan membiarkan perasaannya bergejolak.

Dengan penuh pengertian, Wi-hong menepuk pundak adiknya, lalu berkata dengan suara sabar dan membujuk, “A-lian, cobalah kau bendung arus perasaanmu itu dan gunakan akal sehatmu. Apa yang diucapkan oleh Suhengmu itu memang bukan hal yang mustahil terjadi, meskipun aku sendiripun tidak rela mendengarnya. Kita harus ingat bahwa Te-liong Hiang-cu adalah seorang yang licik dan penuh tipu muslihat. Dalam pertempuran di Jian-hoa-kok, orang licik ini belum tertangkap dan masih berkeliaran secara bebas. Kemungkinan besar dia telah kembali membalas dendam, dan A-siang telah termakan oleh sergapannya yang licik luar biasa itu sehingga terjadilah penggantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang menurut selera Te-liong Hiang-cu sendiri...”

“Sudahlah, aku mengerti,” potong Wi-lian dengan kepala tertunduk. Namun untuk melampiaskan kepepatan hatinya, ia menubruk ke dada kakaknya dan menangis terisak-isak.

Wi-hong mengusap-usap kepala adiknya itu dengan perasaan terharu, bahkan matanya pun ikut-ikutan mengembeng air mata. Sementara itu, Bu-sian Hweshio yang sedang digelisahkan oleh nasib saudara-saudara seperguruannya yang berada di Tay-hud-si itu, diam-diam menjadi tidak sabaran melihat adegan kakak beradik bertangis-tangisan itu.

Setelah tangis Wi-lian agak mereda, barulah Bu-sian berkata, “Waktu berjalan terus, dan sebelum fajar menyingsing kita harus sudah berada kembali di Siong-san.”

Mendengar ucapan Bu-sian Hweshio yang mengandung teguran halus itu, Wi-lian sadar akan keadaannya. Katanya sambil menarik napas, “Maafkan aku Suheng, agaknya aku begitu terseret oleh luapan perasaanku sehingga hampir saja melalaikan tujuan kita yang sebenarnya. Marilah kita berjalan kembali, aku setuju usul Suheng untuk menyelidiki kuil itu dari arah belakang agar jangan bentrok dengan penjaga-penjaga.”

Demikianlah, ketiga orang muda itu lalu beranjak dengan hati-hati untuk mendekati kuil yang dari kejauhan masih nampak terang benderang itu. Bagian belakang dari kelenteng itu membelakangi sebuah lereng bukit yang ditumbuhi dengan pepohonan yang lebat, sehingga banyak tempat persembunyian yang dapat digunakan bilamana perlu.

Di lereng di belakang kuil itupun ada beberapa orang Hwe- liong-pang yang berjaga-jaga, namun dengan cekatan Bu- sian Hweshio serta Wi-hong dapat membereskan mereka dengan pukulan-pukulan kilat ke tengkuk mereka. Ketika mereka maju beberapa langkah lagi, mendadak kaki mereka menyentuh semacam benda yang lunak dan dingin. Ketika mereka memeriksa benda itu, ternyata lah bahwa benda-benda itu bukan lain daripada mayat beberapa orang rahib Buddha yang diletakkan sembarangan begitu saja, tanpa dikubur.

“Bu-hian Suheng!” geram Bu-sian Hweshio setelah mengenal salah satu mayat itu. Diketemukannya pula mayat Bu-khong Hweshio, si pemimpin kuil yang tidak pandai bersilat itu. “Sungguh biadab! Orang-orang Hwe-liong-pang itu telah membunuh seisi kuil ini hanya untuk dipakai tempatnya, bahkan mereka telah membuang mayat-mayat ini dengan seenaknya di belakang kuil seperti membuang bangkai tikus saja!”

Tadinya Wi-lian mengharapkan untuk dapat bertemu dengan kakaknya, namun setelah melihat hasil karya kebiadaban orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka ia berharap mudah-mudahan kakaknya tidak termasuk dalam orang-orang yang tengah menduduki kuil itu. Dari dalam kuil terdengar suara orang-orang yang bercakap- cakap, dan kadang-kadang suara terbahak-bahak yang liar, juga suara cawan yang berbenturan dengan sumpit, menandakan bahwa dalam kuil Tay-hud-si itu tengah terjadi suatu pesta pora.

Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, Bu- sian Hweshio dan kawan-kawannya melompati tembok samping kuil itu. Lalu dengan merambat melalui dahan pohon besar yang menjulur sampai ke atas ruangan sembahyang, mereka berhasil mencapai atap ruangan sembahyang. Dengan hati-hati mereka mencopot selembar genteng untuk mengintai ke bawah, dan apa yang terlihat di dalam ruangan itu telah membuat Bu-sian Hweshio sebagai penganut agama Buddha sangat tersinggung perasaannya.

Ternyata di tengah ruang sembahyang itu telah digelarkan sebuah meja perjamuan yang dikelilingi oleh belasan orang yang tengah makan minum dengan gembiranya, tanpa menghormati kesucian kuil sebagai tempat suci umat Buddha, dan inilah yang membuat darah Bu-sian Hweshio menggelegak dengan hebatnya. Meja sembahyang di hadapan arca Buddha itu kini telah digunakan untuk meletakkan makanan-makanan dari barang berjiwa serta arak, yang merupakan pantangan dalam agama.

Sedang orang-orang yang mengelilingi meja perjamuan itu ada sebelas orang, lima orang di antaranya sudah dikenal oleh Wi-hong dan Wi-lian, yaitu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau, lalu si iblis dari Jing-hay Sebun Say, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Hong-long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang.

Tidak usah dijelaskan lagi enam orang lainnya yang bertampang seram-seram itu tentunya enam orang Tong-cu baru yang telah diangkat oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengganti pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang telah didepaknya itu.

Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa agaknya Tan Goan-ciau telah berhasil merebut kedudukan pemimpin dalam Hwe-liong-pang, entah dengan cara bagaimana. Agaknya ia berhasil juga membebaskan pengikut-pengikutnya yang ditawan oleh Tong Wi-siang, sedangkan nasib Tong Wi-siang dan pengikut-pengikut setianya entah bagaimana lagi.

Terdengar suara Te-liong Hiang-cu sambil tertawa puas, “Berkat kerjasama kita yang erat, akhirnya terwujudlah cita-cita kita untuk membersihkan Pang kita ini dari manusia-manusia banci yang takut melihat darah semacam Tong Wi-siang dan kaki tangannya itu, dan kemudian kita akan membuat Hwe-liong-pang sebagai perkumpulan yang paling kuat di dunia persilatan ini. Meskipun Wi-siang dan orang-orangnya berhasil melarikan diri, namun mereka sudah terluka parah dan pengikutnya pun sedikit. Mereka sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, adalah menjadi kewajiban kalian untuk menemukan dan menumpas mereka, di manapun mereka berada!”

Sepuluh orang lainnya cepat-cepat menyahut serempak, “Kami siap menjalankan perintah Pang-cu (Ketua)!”

Te-liong Hiang-cu lalu melanjutkan kata-katanya, “Selama ini, kita yhg telah dianggap sebagai kaum sesat oleh orang-orang munafik yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus itu, telah cukup menerima penghinaan dan penindasan dari kaum munafik itu. Namun, besok pagi kita akan menyerbu Siong-san, dan akan kita paksa para orang-orang munafik itu untuk bertekuk-lutut dan mengakui kekuatan kita. Kita tunjukkan kepada mereka, bahwa dengan bersatu-padu kita sanggup memberi hajaran keras kepada mereka.”

Para anak buahnya pun bersorak gembira sambil mengangkat cawan arak mereka. Seorang yang bertubuh tinggi besar lalu berkata dengan suaranya yang lantang, “Aku Song Hian, biarpun menjadi anggota Hwe-liong-pang baru beberapa hari, tetapi Pang-cu telah berkenan mempercayai aku untuk memimpin kelompok Ci-ki-tong. Atas budi baik Pang-cu ini, besok aku berjanji akan mencurahkan tenagaku habis-habisan di Siong-san untuk melabrak kaum munafik itu!”

“Terima kasih, Song Tong-cu!” sahut Te-liong Hiang-cu dengan gembira. “Saat ini kedudukan Su-cia (duta) dalam Pang kita masih ada lowongan dua orang, karena itu dalam pertempuran besok pagi, siapa yang menunjukkan semangat paling tinggi akan kuangkat menjadi Su-cia! Harap kalian berjuang dengan sekuat tenaga!”

Bertepuk tanganlah para Su-cia dan Tong-cu itu menyambut ucapan Ketuanya. Setelah suasana tenang kembali, Tan Goan-ciau lalu berkata, “Malam sudah cukup larut, kita harus beristirahat untuk menyimpan tenaga dalam menghadapi pertempuran besok pagi. Tetapi sebelum kalian beristirahat, ada sebuah pekerjaan yang menarik bagi kalian, barangkali untuk sekedar melemaskan otot di malam dingin ini.”

“Tugas apakah itu, Pang-cu?” tanya Sebun Say.

Te-liong Hiang-cu tertawa dingin dari balik topeng tengkoraknya, lalu katanya sepatah demi sepatah kata, “Pekerjaan menarik itu adalah menangkap tiga ekor tikus yang sudah sejak tadi telah berani mengintip pertemuan kita ini dari atas genteng!”

Terkejutlah Bu-sian Hweshio bertiga ketika mengetahui bahwa kehadiran mereka ternyata telah diketahui oleh musuh. Bu-sian Hweshio cepat-cepat mendorong tubuh Wi-hong dan Wi-lian sambil berkata dengan agak gugup, “Kalian berdua cepat lari untuk mengabarkan kepada para ksatria di Siong-san. Biar aku akan menahan mereka di sini!”

Wi-lian cukup tahu sampai di mana ketangguhan kakak seperguruannya itu, bahkan lebih tangguh dari dirinya sendiri dan Wi-hong. Tapi itu belum cukup untuk menghadang tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan juga rata-rata berilmu tinggi itu. Maka Wi-lian pun berseru nekad, “Suheng, kita lari bersama-sama atau gugur bersama-sama.”

Dalam pada itu, kedelapan orang Tong-cu itu telah berlompatan menghambur keluar dari ruangan perjamuan itu, dan kemudian mereka pun berlompatan ke atas genteng. Mereka akan berebutan untuk menangkap mata-mata musuh, agar mendapat pahala di hadapan Sang Ketua. Namun gerakan mereka masih kalah cepat dibandingkan ketiga orang yang hendak ditangkap itu. Begitu kedelapan Tong-cu itu sudah menginjak permukaan genteng, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah melompat keluar melintasi tembok samping kuil, lalu berlari menuju ke belakang kuil yang rimbun itu untuk menyembunyikan diri.

“Kejar!” teriak para Tong-cu itu.

Pemimpin Ui-ki-tong yang baru, yaitu Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, yang merasa punya ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang paling lihai di antara rekan-rekannya, bermaksud untuk pamer kepandaian. Dengan sekali jejakan kakinya, tubuhnya telah terlontar ke depan sampai beberapa tombak jauhnya, mantel hitam yang dikenakannya pun terkembang lebar sehingga ia benar-benar mirip seekor kelelawar berukuran raksasa.

Namun Tong-cu Tong-cu lainnya pun tidak membiarkan pahala itu dinikmati sendiri oleh Liong Pek-ji. Seng Cu-bok yang berjulukan Hwe-tan (Peluru Api) itu segera menyambitkan tiga butir peluru apinya ke punggung Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya, sambil menggertak, “Bangsat, lihat peluru apiku akan membuat kalian jadi babi panggang!”

Luncuran ketiga butir Hwe-tan itu ternyata lebih pesat dari luncuran tubuh Liong Pek-ji. Dalam sekejap saja suara desingannya telah terdengar di belakang punggung Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya. Bu-sian Hweshio cukup berpengalaman, cukup dengan mendengar suaranya saja dia telah dapat mengetahui senjata apakah yang mengancamnya itu. Tidak lupa ia memperingatkan kawan-kawannya, “Peluru api dari keluarga Seng! Cepat menghindar dan jangan ditangkis!”

Ilmu meringankan tubuh Tong Wi-hong pun cukup lihai. Hanya dengan tekukan pinggangnya, tubuhnya yang tengah meluncur itu telah berbelok ke samping dengan gaya Gan- heng-sia-hui (Burung Belibis Terbang Miring). Sedangkan Wi- lian menggunakan gerakan It-ho-ciong-thian (Seekor Bangau Menembus Langit), melompat tinggi ke atas sehingga peluru api itu hanya mendesis di bawah telapak kakinya. Bu-sian Hweshio sendiri telah berhasil meloloskan diri dengan gerakan Boan-liong-jiau-po (Naga Berputar Langkah).

Ketiga butir Hwe-tan yang disambitkan oleh Seng Cu-bok itu segera mengenai pepohonan dan langsung meledak serta membakarnya, sehingga kini keadaan di sekitar kuil Tay-hud-si itu menjadi terang benderang bagaikan siang hari. Sementara itu, Liong Pek-ji telah menubruk dari angkasa bagaikan seekor kalong raksasa, mulutnya yang bertaring itu menyeringai mengerikan, dan dengan kuku-kuku tangannya dia langsung menerjang ke arah Bu-sian Hweshio.

Biasanya, dengan serangannya yang hebat ini Liong Pek-ji selalu berhasil mencabut nyawa korbannya. Perhitungannya kali ini pun demikian pula, jika dapat membunuh lawan dengan sekali gebrakan maka pamornya akan ikut naik. Tetapi kali ini Liong Pek-ji agaknya salah alamat, sebab sasarannya kali ini adalah murid Hong-tay Hweshio, tokoh yang menduduki tempat kedua dalam deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” dunia persilatan itu.

Tanpa menolehkan kepalanya, Bu-sian Hweshio membalikkan dan menyodokkan tongkat kiu-hoan-kun ke belakang, memaksa si kelelawar harus membatalkan serangannya dan berjungkir-balik menyelamatkan dadanya dari sodokan tongkat baja itu.

Sementara itu Hong-long-cu Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang telah memburu ke arah Wi-lian dengan perasaan penuh kebencian dan dendam kesumat. Kedua orang Tong- cu ini pernah merasakan dihajar habis-habisan oleh gadis Siau-lim-pay itu, bahkan dihajar di hadapan mata orang banyak sehingga kedua Tong-cu itu merasa sangat kehilangan muka.

Sekarang tibalah saat mereka untuk membalas dendam. Karena mereka masing-masing merasa belum sanggup menandingi gadis itu satu lawan satu, maka tanpa kenal malu lagi mereka maju serempak, dengan senjata andalannya masing-masing mengeroyok gadis yang tidak bersenjata itu!

Si Serigala Gila Mo Hui lebih dulu membuka serangan dengan gerakan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit). Mata tunggalnya itu berkilat penuh kebencian, sedang mata tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itupun berkilat memancarkan hawa pembunuhan, siap merobek-robek tubuh Wi-lian.

Cepat gadis itu menghindar ke samping, namun tongkat besi Ko Ce-yang telah siap menyambut untuk memecahkan kepalanya. Terpaksa Wi-lian menghindari sambaran tongkat itu dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepalanya). Dalam beberapa gebrakan itu Wi-lian belum sempat membalas serangan musuh-musuhnya.

Tong Wi-hong cemas ketika melihat adik perempuannya dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Ia segera mencabut pedang dan bergerak untuk menolong adiknya, namun langkahnya itu ternyata dihadapi oleh Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) serta He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas). Tong King-bun bersenjata sebatang pedang panjang, sedangkan He-hou Im bersenjata thi-koan (Tongkat yang melengkung tajam). Kedua Tong-cu ini bertempur dengan ganasnya dan nampaknya tidak segan-segan untuk mencincang lawannya, maka terpaksa Wi-hong harus memusatkan perhatiannya kepada kedua lawannya ini.

Melihat Wi-hong dan Wi-lian telah terlibat oleh lawannya masing-masing dan tidak dapat melarikan diri lagi, diam-diam Bu-sian Hweshio mengeluh dalam hatinya. Namun rahib muda itu tidak sudi menjadi pengecut dan lari untuk keselamatan dirinya sendiri. Maka ia pun terjun ke tengah arena pertarungan sambil berseru, “Tong Cong-piau-thau dan Sumoay, cepat kita bentuk lingkaran untuk bertempur bahu-membahu!”

Peluru-peluru api milik Seng Cu-bok telah tidak dapat digunakan lagi, karena sekarang pertempuran itu telah bercampur-aduk antara kawan dan lawan. Maka Seng Cu-bok memasukkan kembali peluru-peluru apinya ke dalam kantung kulitnya, lalu menghunus goloknya dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Si Gajah Berpunggung Besi (Thi-pwe-siang) Song Hian serta Hek-liong (Naga Hitam) Thio Hong-bwe tidak mau ketinggalan dalam merebut pahala, maka serempak mereka pun mengeluarkan senjatanya masing-masing yang berupa gada besi segi delapan dan tombak berkait.

Menghadapi keadaan segawat itu, Bu-sian Hweshio merasa bahwa kedudukannya dan kawan-kawannya agak terdesak di bawah angin, ia harus berusaha membuka jalan agar bisa bertempur bersama kawan-kawannya secara bahu- membahu. Maka dibarengi dengan bentakannya yang menggelegak, toya kiu-hoan-kunnya telah diputar dahsyat bagaikan gelombang lautan menggempur lawan-lawannya. Para Tong-cu baru dari Hwe-liong-pang itu terkesiap ketika melihat tenaga yang sedahsyat itu.

Thi-pwe-siang Song Hian yang juga merasa mempunyai tenaga raksasa yang dapat dibanggakan itu, telah timbul keinginannya untuk menjajal kekuatan rahib muda Siau-lim- si itu. Segera ia melompat maju sambil melintangkan gada besinya, sambil membentak, “Keledai gundul, jangan bertingkah di sini, tuan besarmu akan segera menghajarmu!”

Tak terhindarkan lagi, dua jenis senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu telah berbenturan dengan hebatnya. Suasananya berdentang nyaring dan membuat kuping setiap orang bagaikan pekak. Song Hian terdorong mundur tiga langkah, sedang Bu-sian Hweshio merasakan tangannya tergetar hebat. Dari hasil benturan itu nampaklah keunggulan tenaga dari rahib muda Siau-lim-si itu.

Ketika Bu-sian Hweshio sekali lagi menyapukan toyanya untuk menyingkirkan lawan-lawannya, maka tak seorang pun lawannya yang berani cari penyakit dengan jalan membenturnya secara keras, serempak mereka menyibak. Dengan demikian akhirnya Bu-sian Hweshio berhasil bergabung dengan adik seperguruannya. Sedangkan Tong Wi-hong dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan lincah, ternyata juga telah bergabung ke situ. Kini ketiga jago muda itu bertempur bahu membahu menghadapi kepungan delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang haus pahala itu.

Dengan bertempur sambil beradu punggung membentuk segitiga, kedudukan Bu-sian Hweshio bertiga tidak serepot tadi lagi. Kini mereka tidak usah menguatirkan akan datangnya sergapan licik dari punggung mereka. Namun dengan demikian mereka pun terkepung dan kecil sekali kesempatannya untuk melarikan diri, apalagi tentunya Te-liong Hiang-cu tentu tidak akan membiarkan anak buahnya dikalahkan musuh di depan hidungnya.

Kedelapan orang Tong-cu itu ternyata bertempur dengan beringas sekali, mereka punya dorongan yang sama, yaitu memperoleh pujian dihadapan Ketua mereka. Namun mereka pun penasaran bukan main karena gabungan dari delapan orang yang punya nama julukan seram-seram itu ternyata tidak dapat berbuat apa-apa terhadap tiga orang muda yang umurnya jauh di bawah mereka itu. Kedelapan Tong-cu itu jadi merasa semakin malu dan penasaran setelah Te-liong Hiang-cu kemudian melangkah keluar dari dalam kuil dan menonton pertempuran itu dengan didampingi oleh Sebun Say dan Tang Kiau-po.

Tiba-tiba Liong Pek-ji menemukan suatu akal bagus untuk memecah kerjasama ketiga lawannya itu. Ia lalu berteriak kepada Seng Cu-bok, “Saudara Seng, lemparkan peluru apimu ke tengah-tengah lingkaran mereka!”

Seruan itu segera menyadarkan Seng Cu-bok, ia segera melompat keluar dari arena pertempuran dan mengeluarkan kembali butir-butir Hwe-tannya. Dia girang karena akan mendapat muka dengan jasanya, tapi satu-satunya hal yang membuat dia agak menyesal ialah karena Liong Pek-ji lah yang mengingatkannya untuk berbuat demikian, sehingga jasanya pun agaknya akan terbagi dua.

Sedangkan Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya terkejut ketika mendengar seruan itu. Jika siasat lawan itu benar- benar akan dijalankan, maka Bu-sian Hweshio bertiga akan benar-benar jatuh ke dalam kesulitan besar, sebab senjata Hwe-tan Seng Cu-bok itu tidak dapat ditangkis. Tetapi mereka tidak berdaya mencegah Seng Cu-bok, sebab tujuh orang Tong-cu lainnya semakin merapatkan kurungan mereka untuk memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok menyiapkan peluru-peluru apinya.

Dalam keadaan genting itu, Tong Wi-hong menjadi nekad. Tanpa pikir panjang lagi ia telah melemparkan pedangnya sekuat tenaga ke arah Seng Cu-bok. Kini pedangnya meluncur dan berubah wujud menjadi sebuah garis perak yang melesat kencang ke sasarannya. Siapapun tidak akan menduga tindakan Wi-hong semacam itu, bahkan Seng Cu-bok juga tidak. Orang she Seng itu hanya melongo kaget ketika melihat pedang itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang diluar kemampuannya untuk menghindarinya.

Namun agaknya nasib she Seng itu masih cukup bagus. Di saat pedang Wi-hong itu hampir menembus badannya, Sebun Say telah menolongnya dengan jalan menubruk maju secepat kilat. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang itu telah berada dalam tangan si iblis Jing-hay itu. Seng Cu-bok yang baru saja lepas dari ancaman maut itu, menjadi murka bukan kepalang.

Secara beruntun ia menghamburkan lima butir peluru-peluru apinya untuk menghantam ke pusat kerjasama segitiga antara Bu-sian Hweshio, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Agaknya ketiga pendekar muda yang gagah berani itu kini dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Harus bertempur secara berpencaran kembali, atau tetap bergabung tetapi akan terbakar hidup-hidup oleh peluru-peluru api yang ampuh itu.

Tapi sang nasib baik agaknya tidak berpihak. Jika Seng Cu-bok baru saja berhasil memperpanjang umurnya lolos dari lubang jarum karena pertolongan Sebun Say, maka di saat gawat bagi Bu-sian Hweshio bertiga itupun mendadak muncullah pertolongan tak terduga. Di saat kelima butir Hwe-tan itu hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba entah dari mana datangnya muncullah segulungan angin yang lembut tetapi kuat, dan tanpa menimbulkan ledakan kelima butir Hek-liong malahan berbalik ke arah orang-orang Hwe-liong-pang sendiri.

Perubahan tak terduga itu telah membubarkan kepungan orang-orang Hwe-liong-pang, mereka dengan paniknya berusaha menghindari sambaran peluru-peluru api milik rekan sendiri yang sangat berbahaya itu. Mereka sadar bahwa benturan yang lemah pun sudah cukup untuk membuat peluru itu meledak dan menyemburkan apinya.

Thi-pwe-siang Song Hian bertubuh raksasa dan bertenaga kuat, namun gerak-geriknya terlambat menyelamatkan diri sehingga pinggulnya tersambar sebutir Hwe-tan yang langsung meledak dan menyala. Sambil menjerit kaget, ia langsung saja menjatuhkan dirinya untuk bergulingan di rerumputan yang basah oleh embun malam. Api yang membakar tubuhnya memang berhasil dipadamkan, tapi pakaiannya sudah robek-robek tidak karuan, kulitnya melepuh di sana-sini, keadaannya benar-benar sangat konyol.

Keanehan tidak berhenti sampai di situ saja. Api yang menyala-nyala itu tiba-tiba dihembus lagi oleh “angin aneh” yang tidak diketahui sumbernya itu, sehingga nyala api itupun terpecah-pecah dan berubah menjadi jalur-jalur api yang mengejar dan hendak menjilat ke arah orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kembali orang-orang Hwe-liong-pang menjadi kalang kabut menghadapi kejaran “ular api” itu.

Sementara orang-orang Hwe-liong-pang itu panik, Bu-sian Hweshio bertiga telah mendengar suara bisikan selembut suara nyamuk di pinggir telinga mereka, “Lekas lari. Permainan ini tidak akan bertahan lama.”

Itulah suara yang dilemparkan dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengiris Gelombang Suara), suatu ilmu tingkat tinggi yang hanya dapat dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tanpa melewatkan kesempatan sebagus itu, Bu-sian Hweshio bertiga telah melompat ke dalam gerombolan pepohonan yang lebat di belakang kuil Tay-hud-si itu dan melarikan diri.

Tapi di tempat itu hadir tiga orang tokoh Hwe-liong-pang yang ilmunya lebih tinggi dari delapan Tong-cu itu. Mereka adalah Te-liong Hiang-cu, Sebun Say dan Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po. Sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka langsung menyadari bahwa kekacauan itu tentu disebabkan oleh kekuatan dari luar yang ikut campur. Dan kekuatan luar itu tentu saja tidak dapat dianggap remeh, menilik caranya yang mahir dalam “memainkan” api itu.

Sebun Say dan Tang Kiau-po serempak menghantam ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tempat itu, sambil membentak, “Manusia bosan hidup dari manakah yang bersembunyi di situ? Hayo perlihatkan dirimu!”

Batang pohon yang hampir sebesar paha orang dewasa itu seketika itu ambruk terkena gabungan pukulan dari kedua tokoh Hwe-liong-pang itu. Bersamaan dengan ambruknya pohon itu, terlihatlah pula dua sosok bayangan melompat turun dari pohon dan langsung kabur mengikuti jejak Bu-sian Hweshio bertiga yang telah lari lebih dulu.

“Bangsat! Setelah mengacau kau kira bisa kabur begitu saja?” teriak Sebun Say yang geram karena merasa orang itu berani malang-melintang seenaknya di depan hidungnya. Tubuhnya yang pendek kecil itu melesat mengejar ke arah dua bayangan itu. Kedelapan orang Tong-cu juga ikut mengejar, terutama Song Hian yang masih mendongkol karena hampir saja ia terbakar hidup-hidup gara-gara ulah orang itu.

Tapi orang-orang yang dikejar itupun tidak tinggal diam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba berbalik sambil mengebaskan sebuah kipas ke arah api yang masih menyala. Gelombang angin yang kuat segera menghembus dahsyat, membuat kobaran nyala api itu menyembur ke arah para pengejar itu. Untuk beberapa detik lamanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terhalang, dan itu sudah cukup bagi kedua orang itu untuk melenyapkan diri ke dalam hutan di belakang kuil itu. Sayup-sayup telinga Sebun Say masih mendengar suara orang tertawa mengejek, suara yang sangat dikenalnya!

Geram Sebun Say sambil membanting kakinya, “Sastrawan busuk she Liu itu kembali telah mengganggu pekerjaanku. Dalam pertempuran di Siong-san besok pagi mudah-mudahan saja aku bertemu dengan bangsat itu, supaya aku dunia persilatan tmencincangnya untuk melampiaskan kejengkelanku!”

Sebenarnya, jika tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau berpikir dengan kepala dingin, kejadian malam itu harusnya cukup membukakan mata mereka bahwa kaum pendekar memiliki kekuatan yang jauh di atas Hwe-liong-pang. Delapan orang Tong-cu ditambah dengan dua Su-cia dan satu Te-liong Hiang-cu ternyata masih belum sanggup menangkap tiga orang pendekar muda dan dua orang tokoh kaum pendekar lainnya, apalagi di Siong-san tentunya berkumpul berpuluh-puluh orang pendekar muda yang setingkat atau hampir setingkat dengan Tong Wi-hong, dan tokoh-tokoh tua yang setingkat dengan Liu Tay-liong.

Namun mata hati Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya itu telah dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri yang merasa diri mereka sakti tanpa lawan, dan sedikitpun tidak terbit pikiran mereka untuk memikirkan kembali rencana penyerbuan mereka ke Siong-san. Bahkan kejadian di malam itu malah semakin mengobarkan kebencian mereka ke kaum pendekar.

Dalam pada itu, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk menyusup jauh ke dalam hutan, bahkan menembus sampai ke seberang hutan. Di tempat itu barulah mereka berhenti berlari dan duduk beristirahat di atas akar-akar pepohonan, sambil mengusap keringat mereka. Angin malam yang sejuk membantu mengeringkan keringat mereka dan menyegarkan kembali tubuh mereka.

“Sungguh berbahaya,” desis Bu-sian Hweshio. “Hampir saja kita tidak dapat kembali ke Siong-san. Untunglah ada seorang berilmu tinggi yang menolong kita. Entah siapakah Lo-cian-pwe itu?”

Sahut Wi-lian, “Liu Lo-cianpwe, Liu Tay-liong dari Kay-hong. Aku cukup mengenal suaranya aku pernah ditolongnya di kota Kay-hong. Kita tunggu Liu Lo-cian-pwe di sini.”

Mereka tidak menunggu terlalu lama, sebab sesaat kemudian terdengar suara kibaran kain baju, lalu muncullah Liu Tay-liong yang disertai seorang laki-laki setengah umur dan berjenggot cabang tiga serta berpakaian ringkas. Dialah Kongsun Tiau, Ketua Jing-sia-pay yang berjuluk Hong-lui kiam-khek (Pendekar Angin dan Halilintar).

Bu-sian Hweshio bertiga segera memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh angkatan tua yang telah menolong mereka itu. Kemudian mereka semuanya duduk berkeliling sambil membicarakan peristiwa yang baru saja mereka alami itu. Wi-lian dengan gamblang dan terperinci lalu menjelaskan tentang perubahan besar-besaran yang telah terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang, di mana para Tong-cu lama yang berwatak ksatria telah tersingkir dan digantikan dengan tokoh-tokoh golongan hitam sebangsa Seng Cu-bok dan sebagainya.

Sebagai kesimpulannya, Wi-lian berkata, “Dengan demikian, kita tidak ragu-ragu lagi bertindak sebab sudah mengetahui macam apakah lawan kita itu. Hwe-liong-pang yang kita temui malam ini berbeda dengan Hwe-liong-pang yang pernah kita temui dulu, yang mungkin pernah menimbulkan kesan baik di hati kita.”

Kongsun Tiau, yang dalam pertemuan kemarin hari begitu ngotot membela Hwe-liong-pang, sekarang juga mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar keterangan Wi-lian itu. Katanya, “Sekarang jelaslah persoalannya. Tentu saja sekarang aku tidak ragu-ragu lagi mengayunkan pedangku untuk membabat mereka, sebab mereka ternyata bukan sahabat-sahabatku yang dulu, meskipun sama-sama bernaung di bawah bendera Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api). Tapi persoalan yang kuhadapi kali ini benar-benar telah menambah pengalamanku. Biasanya jika aku menghadapi seseorang atau suatu kelompok, aku langsung dapat menentukan sikap karena aku langsung dapat menentukan jahat atau baiknya pihak yang kuhadapi itu. Namun berhadapan dengan Hwe-liong-pang benar-benar memusingkan kepala. Sebentar jahat, sebentar baik, sehingga aku kadang-kadang ragu-ragu dalam menurunkan tangan.”

Mendengar kata-kata Kongsun Tiau itu, Liu Tay-liong menjawab sambil tertawa, “Bukan kau saja yang pusing, tapi seluruh dunia persilatan pun pusing kepala menghadapi Hwe-liong-pang yang kabur haluannya itu. Jadi tenang sajalah, sebab kau punya beribu-ribu kawan dalam kepusingan.”

Dalam pada itu, malam telah melewati pusatnya, dan bulan sabit pun sudah terlihat condong ke sebelah barat. Liu Tay-liong segera beranjak dari tempat duduknya sambil berkata, “Ayo kita pulang sekarang. Penyelidikan kita malam ini boleh dianggap telah cukup berhasil, cukup membantu kita untuk menetapkan sikap tegas kepada Hwe-liong-pang.”

Demikianlah kelima orang itupun kembali ke Siong-san. Lebih dulu mereka mengambil kuda-kuda tunggangan mereka yang disembunyikan tidak jauh dari tembok kota Bun-siau, setelah itu barulah mereka berangkat bersama-sama kembali ke Siong-san.

“Apakah hasil penyelidikan kita malam ini perlu kita laporkan hasilnya kepada para ksatria?” tanya Wi-lian dalam perjalanan.

“Aku merasa perlu hal itu,” sahut kakaknya. “Hal ini agar kaum ksatria dapat membedakan mana Hwe-liong-pang yang musuh dan mana Hwe-liong-pang yang bukan musuh. Mereka harus dapat membedakan antara Hwe-liong-pang Te-liong Hiang-cu dan Hwe-liong-pangnya Hwe-liong-pang-cu yang sah.”

Ternyata semuanya sependapat bahwa apa yang mereka saksikan malam itu harus dilaporkan kepada kaum ksatria, meskipun barangkali mereka akan menerima teguran karena telah berani meninggalkan Siong-san tanpa berpamitan.

* * * * * * *

BEGITU cahaya keemas-emasan mulai bertebaran di cakrawala timur, kelima orang yang baru saja menyelidiki kota Bun-siau itu telah tiba di Siong-san. Kedatangan dan laporan yang mereka bawa langsung saja menggemparkan segenap kaum pendekar yang berkumpul di situ. Ada yang menanggapi laporan itu dengan cukup bijaksana, namun lebih banyak lagi yang tetap bersikeras dengan sikapnya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, tidak peduli Hwe-liong-pang yang manapun tetap harus dibabat.

Yang membuat Tong Wi-hong dan adiknya merasa prihatin, adalah kenyataan bahwa pendapat yang kedua inilah yang menguasai sebagian besar kaum pendekar. Pendapat yang kurang menguntungkan bagi cita-cita Tong Wi-siang yang ingin berjalan secara lurus di dunia persilatan.

“Sehabis pertempuran ini selesai, kita harus cepat-cepat mencari A-siang dan menganjurkannya agar untuk sementara waktu ia tidak mengadakan kegiatan dulu,” kata Wi-lian kepada kakaknya, setelah mereka sendirian saja. “Ternyata ada juga kaum pendekar yang begitu keras kepala dan sulit diberi penjelasan.”

“Susahnya, kemana kita harus mencari A-siang?”

Begitulah, di tengah-tengah kesibukan kaum ksatria yang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan Hwe-liong-pang, maka Wi-hong dan Wi-lian masih saja digelisahkan oleh sikap kaum pendekar yang keras kepala itu. Namun merekapun secara jujur tidak dapat terlalu menyalahkan sikap semacam itu, sikap yang begitu membenci semua yang berbau Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumnya.

Sebagian besar kesalahan memang terletak di pundak Tong Wi-siang, yang dulu kurang ketat dalam mengawasi tindak-tanduk para anak buahnya. Inilah yang mengakibatkan sikap permusuhan dari sebagian besar kaum pendekar itu sulit dihapuskan begitu saja, meskipun telah mendengarkan keterangan terperinci, karena memang sebagian besar kaum ksatria ini pernah menelan pengalaman pahit dengan Hwe-liong-pang....
Selanjutnya;