Perserikatan Naga Api Jilid 27Karya : Stevanus S.P |
Tanpa menolehkan kepalanya, Bu-sian Hweshio membalikkan dan menyodokkan tongkat kiu-hoan-kun ke belakang, memaksa si kelelawar harus membatalkan serangannya dan berjungkir-balik menyelamatkan dadanya dari sodokan tongkat baja itu.
Sementara itu Hong-long-cu Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang telah memburu ke arah Wi-lian dengan perasaan penuh kebencian dan dendam kesumat. Kedua orang Tong- cu ini pernah merasakan dihajar habis-habisan oleh gadis Siau-lim-pay itu, bahkan dihajar di hadapan mata orang banyak sehingga kedua Tong-cu itu merasa sangat kehilangan muka. Sekarang tibalah saat mereka untuk membalas dendam. Karena mereka masing-masing merasa belum sanggup menandingi gadis itu satu lawan satu, maka tanpa kenal malu lagi mereka maju serempak, dengan senjata andalannya masing-masing mengeroyok gadis yang tidak bersenjata itu! Si Serigala Gila Mo Hui lebih dulu membuka serangan dengan gerakan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit). Mata tunggalnya itu berkilat penuh kebencian, sedang mata tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itupun berkilat memancarkan hawa pembunuhan, siap merobek-robek tubuh Wi-lian. Cepat gadis itu menghindar ke samping, namun tongkat besi Ko Ce-yang telah siap menyambut untuk memecahkan kepalanya. Terpaksa Wi-lian menghindari sambaran tongkat itu dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepalanya). Dalam beberapa gebrakan itu Wi-lian belum sempat membalas serangan musuh-musuhnya. Tong Wi-hong cemas ketika melihat adik perempuannya dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Ia segera mencabut pedang dan bergerak untuk menolong adiknya, namun langkahnya itu ternyata dihadapi oleh Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) serta He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas). Tong King-bun bersenjata sebatang pedang panjang, sedangkan He-hou Im bersenjata thi-koan (Tongkat yang melengkung tajam). Kedua Tong-cu ini bertempur dengan ganasnya dan nampaknya tidak segan-segan untuk mencincang lawannya, maka terpaksa Wi-hong harus memusatkan perhatiannya kepada kedua lawannya ini. Melihat Wi-hong dan Wi-lian telah terlibat oleh lawannya masing-masing dan tidak dapat melarikan diri lagi, diam-diam Bu-sian Hweshio mengeluh dalam hatinya. Namun rahib muda itu tidak sudi menjadi pengecut dan lari untuk keselamatan dirinya sendiri. Maka ia pun terjun ke tengah arena pertarungan sambil berseru, “Tong Cong-piau-thau dan Sumoay, cepat kita bentuk lingkaran untuk bertempur bahu-membahu!” Peluru-peluru api milik Seng Cu-bok telah tidak dapat digunakan lagi, karena sekarang pertempuran itu telah bercampur-aduk antara kawan dan lawan. Maka Seng Cu-bok memasukkan kembali peluru-peluru apinya ke dalam kantung kulitnya, lalu menghunus goloknya dan langsung terjun ke gelanggang pertempuran. Si Gajah Berpunggung Besi (Thi-pwe-siang) Song Hian serta Hek-liong (Naga Hitam) Thio Hong-bwe tidak mau ketinggalan dalam merebut pahala, maka serempak mereka pun mengeluarkan senjatanya masing-masing yang berupa gada besi segi delapan dan tombak berkait. Menghadapi keadaan segawat itu, Bu-sian Hweshio merasa bahwa kedudukannya dan kawan-kawannya agak terdesak di bawah angin, ia harus berusaha membuka jalan agar bisa bertempur bersama kawan-kawannya secara bahu- membahu. Maka dibarengi dengan bentakannya yang menggelegak, toya kiu-hoan-kunnya telah diputar dahsyat bagaikan gelombang lautan menggempur lawan-lawannya. Para Tong-cu baru dari Hwe-liong-pang itu terkesiap ketika melihat tenaga yang sedahsyat itu. Thi-pwe-siang Song Hian yang juga merasa mempunyai tenaga raksasa yang dapat dibanggakan itu, telah timbul keinginannya untuk menjajal kekuatan rahib muda Siau-lim- si itu. Segera ia melompat maju sambil melintangkan gada besinya, sambil membentak, “Keledai gundul, jangan bertingkah di sini, tuan besarmu akan segera menghajarmu!” Tak terhindarkan lagi, dua jenis senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu telah berbenturan dengan hebatnya. Suasananya berdentang nyaring dan membuat kuping setiap orang bagaikan pekak. Song Hian terdorong mundur tiga langkah, sedang Bu-sian Hweshio merasakan tangannya tergetar hebat. Dari hasil benturan itu nampaklah keunggulan tenaga dari rahib muda Siau-lim-si itu. Ketika Bu-sian Hweshio sekali lagi menyapukan toyanya untuk menyingkirkan lawan-lawannya, maka tak seorang pun lawannya yang berani cari penyakit dengan jalan membenturnya secara keras, serempak mereka menyibak. Dengan demikian akhirnya Bu-sian Hweshio berhasil bergabung dengan adik seperguruannya. Sedangkan Tong Wi-hong dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan lincah, ternyata juga telah bergabung ke situ. Kini ketiga jago muda itu bertempur bahu membahu menghadapi kepungan delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang haus pahala itu. Dengan bertempur sambil beradu punggung membentuk segitiga, kedudukan Bu-sian Hweshio bertiga tidak serepot tadi lagi. Kini mereka tidak usah menguatirkan akan datangnya sergapan licik dari punggung mereka. Namun dengan demikian mereka pun terkepung dan kecil sekali kesempatannya untuk melarikan diri, apalagi tentunya Te-liong Hiang-cu tentu tidak akan membiarkan anak buahnya dikalahkan musuh di depan hidungnya. Kedelapan orang Tong-cu itu ternyata bertempur dengan beringas sekali, mereka punya dorongan yang sama, yaitu memperoleh pujian dihadapan Ketua mereka. Namun mereka pun penasaran bukan main karena gabungan dari delapan orang yang punya nama julukan seram-seram itu ternyata tidak dapat berbuat apa-apa terhadap tiga orang muda yang umurnya jauh di bawah mereka itu. Kedelapan Tong-cu itu jadi merasa semakin malu dan penasaran setelah Te-liong Hiang-cu kemudian melangkah keluar dari dalam kuil dan menonton pertempuran itu dengan didampingi oleh Sebun Say dan Tang Kiau-po. Tiba-tiba Liong Pek-ji menemukan suatu akal bagus untuk memecah kerjasama ketiga lawannya itu. Ia lalu berteriak kepada Seng Cu-bok, “Saudara Seng, lemparkan peluru apimu ke tengah-tengah lingkaran mereka!” Seruan itu segera menyadarkan Seng Cu-bok, ia segera melompat keluar dari arena pertempuran dan mengeluarkan kembali butir-butir Hwe-tannya. Dia girang karena akan mendapat muka dengan jasanya, tapi satu-satunya hal yang membuat dia agak menyesal ialah karena Liong Pek-ji lah yang mengingatkannya untuk berbuat demikian, sehingga jasanya pun agaknya akan terbagi dua. Sedangkan Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya terkejut ketika mendengar seruan itu. Jika siasat lawan itu benar- benar akan dijalankan, maka Bu-sian Hweshio bertiga akan benar-benar jatuh ke dalam kesulitan besar, sebab senjata Hwe-tan Seng Cu-bok itu tidak dapat ditangkis. Tetapi mereka tidak berdaya mencegah Seng Cu-bok, sebab tujuh orang Tong-cu lainnya semakin merapatkan kurungan mereka untuk memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok menyiapkan peluru-peluru apinya. Dalam keadaan genting itu, Tong Wi-hong menjadi nekad. Tanpa pikir panjang lagi ia telah melemparkan pedangnya sekuat tenaga ke arah Seng Cu-bok. Kini pedangnya meluncur dan berubah wujud menjadi sebuah garis perak yang melesat kencang ke sasarannya. Siapapun tidak akan menduga tindakan Wi-hong semacam itu, bahkan Seng Cu-bok juga tidak. Orang she Seng itu hanya melongo kaget ketika melihat pedang itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang diluar kemampuannya untuk menghindarinya. Namun agaknya nasib she Seng itu masih cukup bagus. Di saat pedang Wi-hong itu hampir menembus badannya, Sebun Say telah menolongnya dengan jalan menubruk maju secepat kilat. Dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu pedang itu telah berada dalam tangan si iblis Jing-hay itu. Seng Cu-bok yang baru saja lepas dari ancaman maut itu, menjadi murka bukan kepalang. Secara beruntun ia menghamburkan lima butir peluru-peluru apinya untuk menghantam ke pusat kerjasama segitiga antara Bu-sian Hweshio, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Agaknya ketiga pendekar muda yang gagah berani itu kini dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Harus bertempur secara berpencaran kembali, atau tetap bergabung tetapi akan terbakar hidup-hidup oleh peluru-peluru api yang ampuh itu. Tapi sang nasib baik agaknya tidak berpihak. Jika Seng Cu-bok baru saja berhasil memperpanjang umurnya lolos dari lubang jarum karena pertolongan Sebun Say, maka di saat gawat bagi Bu-sian Hweshio bertiga itupun mendadak muncullah pertolongan tak terduga. Di saat kelima butir Hwe-tan itu hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba entah dari mana datangnya muncullah segulungan angin yang lembut tetapi kuat, dan tanpa menimbulkan ledakan kelima butir Hek-liong malahan berbalik ke arah orang-orang Hwe-liong-pang sendiri. Perubahan tak terduga itu telah membubarkan kepungan orang-orang Hwe-liong-pang, mereka dengan paniknya berusaha menghindari sambaran peluru-peluru api milik rekan sendiri yang sangat berbahaya itu. Mereka sadar bahwa benturan yang lemah pun sudah cukup untuk membuat peluru itu meledak dan menyemburkan apinya. Thi-pwe-siang Song Hian bertubuh raksasa dan bertenaga kuat, namun gerak-geriknya terlambat menyelamatkan diri sehingga pinggulnya tersambar sebutir Hwe-tan yang langsung meledak dan menyala. Sambil menjerit kaget, ia langsung saja menjatuhkan dirinya untuk bergulingan di rerumputan yang basah oleh embun malam. Api yang membakar tubuhnya memang berhasil dipadamkan, tapi pakaiannya sudah robek-robek tidak karuan, kulitnya melepuh di sana-sini, keadaannya benar-benar sangat konyol. Keanehan tidak berhenti sampai di situ saja. Api yang menyala-nyala itu tiba-tiba dihembus lagi oleh “angin aneh” yang tidak diketahui sumbernya itu, sehingga nyala api itupun terpecah-pecah dan berubah menjadi jalur-jalur api yang mengejar dan hendak menjilat ke arah orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kembali orang-orang Hwe-liong-pang menjadi kalang kabut menghadapi kejaran “ular api” itu. Sementara orang-orang Hwe-liong-pang itu panik, Bu-sian Hweshio bertiga telah mendengar suara bisikan selembut suara nyamuk di pinggir telinga mereka, “Lekas lari. Permainan ini tidak akan bertahan lama.” Itulah suara yang dilemparkan dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengiris Gelombang Suara), suatu ilmu tingkat tinggi yang hanya dapat dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tanpa melewatkan kesempatan sebagus itu, Bu-sian Hweshio bertiga telah melompat ke dalam gerombolan pepohonan yang lebat di belakang kuil Tay-hud-si itu dan melarikan diri. Tapi di tempat itu hadir tiga orang tokoh Hwe-liong-pang yang ilmunya lebih tinggi dari delapan Tong-cu itu. Mereka adalah Te-liong Hiang-cu, Sebun Say dan Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po. Sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka langsung menyadari bahwa kekacauan itu tentu disebabkan oleh kekuatan dari luar yang ikut campur. Dan kekuatan luar itu tentu saja tidak dapat dianggap remeh, menilik caranya yang mahir dalam “memainkan” api itu. Sebun Say dan Tang Kiau-po serempak menghantam ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tempat itu, sambil membentak, “Manusia bosan hidup dari manakah yang bersembunyi di situ? Hayo perlihatkan dirimu!” Batang pohon yang hampir sebesar paha orang dewasa itu seketika itu ambruk terkena gabungan pukulan dari kedua tokoh Hwe-liong-pang itu. Bersamaan dengan ambruknya pohon itu, terlihatlah pula dua sosok bayangan melompat turun dari pohon dan langsung kabur mengikuti jejak Bu-sian Hweshio bertiga yang telah lari lebih dulu. “Bangsat! Setelah mengacau kau kira bisa kabur begitu saja?” teriak Sebun Say yang geram karena merasa orang itu berani malang-melintang seenaknya di depan hidungnya. Tubuhnya yang pendek kecil itu melesat mengejar ke arah dua bayangan itu. Kedelapan orang Tong-cu juga ikut mengejar, terutama Song Hian yang masih mendongkol karena hampir saja ia terbakar hidup-hidup gara-gara ulah orang itu. Tapi orang-orang yang dikejar itupun tidak tinggal diam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba berbalik sambil mengebaskan sebuah kipas ke arah api yang masih menyala. Gelombang angin yang kuat segera menghembus dahsyat, membuat kobaran nyala api itu menyembur ke arah para pengejar itu. Untuk beberapa detik lamanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terhalang, dan itu sudah cukup bagi kedua orang itu untuk melenyapkan diri ke dalam hutan di belakang kuil itu. Sayup-sayup telinga Sebun Say masih mendengar suara orang tertawa mengejek, suara yang sangat dikenalnya! Geram Sebun Say sambil membanting kakinya, “Sastrawan busuk she Liu itu kembali telah mengganggu pekerjaanku. Dalam pertempuran di Siong-san besok pagi mudah-mudahan saja aku bertemu dengan bangsat itu, supaya aku dunia persilatan tmencincangnya untuk melampiaskan kejengkelanku!” Sebenarnya, jika tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau berpikir dengan kepala dingin, kejadian malam itu harusnya cukup membukakan mata mereka bahwa kaum pendekar memiliki kekuatan yang jauh di atas Hwe-liong-pang. Delapan orang Tong-cu ditambah dengan dua Su-cia dan satu Te-liong Hiang-cu ternyata masih belum sanggup menangkap tiga orang pendekar muda dan dua orang tokoh kaum pendekar lainnya, apalagi di Siong-san tentunya berkumpul berpuluh-puluh orang pendekar muda yang setingkat atau hampir setingkat dengan Tong Wi-hong, dan tokoh-tokoh tua yang setingkat dengan Liu Tay-liong. Namun mata hati Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya itu telah dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri yang merasa diri mereka sakti tanpa lawan, dan sedikitpun tidak terbit pikiran mereka untuk memikirkan kembali rencana penyerbuan mereka ke Siong-san. Bahkan kejadian di malam itu malah semakin mengobarkan kebencian mereka ke kaum pendekar. Dalam pada itu, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk menyusup jauh ke dalam hutan, bahkan menembus sampai ke seberang hutan. Di tempat itu barulah mereka berhenti berlari dan duduk beristirahat di atas akar-akar pepohonan, sambil mengusap keringat mereka. Angin malam yang sejuk membantu mengeringkan keringat mereka dan menyegarkan kembali tubuh mereka. “Sungguh berbahaya,” desis Bu-sian Hweshio. “Hampir saja kita tidak dapat kembali ke Siong-san. Untunglah ada seorang berilmu tinggi yang menolong kita. Entah siapakah Lo-cian-pwe itu?” Sahut Wi-lian, “Liu Lo-cianpwe, Liu Tay-liong dari Kay-hong. Aku cukup mengenal suaranya aku pernah ditolongnya di kota Kay-hong. Kita tunggu Liu Lo-cian-pwe di sini.” Mereka tidak menunggu terlalu lama, sebab sesaat kemudian terdengar suara kibaran kain baju, lalu muncullah Liu Tay-liong yang disertai seorang laki-laki setengah umur dan berjenggot cabang tiga serta berpakaian ringkas. Dialah Kongsun Tiau, Ketua Jing-sia-pay yang berjuluk Hong-lui kiam-khek (Pendekar Angin dan Halilintar). Bu-sian Hweshio bertiga segera memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh angkatan tua yang telah menolong mereka itu. Kemudian mereka semuanya duduk berkeliling sambil membicarakan peristiwa yang baru saja mereka alami itu. Wi-lian dengan gamblang dan terperinci lalu menjelaskan tentang perubahan besar-besaran yang telah terjadi dalam tubuh Hwe-liong-pang, di mana para Tong-cu lama yang berwatak ksatria telah tersingkir dan digantikan dengan tokoh-tokoh golongan hitam sebangsa Seng Cu-bok dan sebagainya. Sebagai kesimpulannya, Wi-lian berkata, “Dengan demikian, kita tidak ragu-ragu lagi bertindak sebab sudah mengetahui macam apakah lawan kita itu. Hwe-liong-pang yang kita temui malam ini berbeda dengan Hwe-liong-pang yang pernah kita temui dulu, yang mungkin pernah menimbulkan kesan baik di hati kita.” Kongsun Tiau, yang dalam pertemuan kemarin hari begitu ngotot membela Hwe-liong-pang, sekarang juga mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar keterangan Wi-lian itu. Katanya, “Sekarang jelaslah persoalannya. Tentu saja sekarang aku tidak ragu-ragu lagi mengayunkan pedangku untuk membabat mereka, sebab mereka ternyata bukan sahabat-sahabatku yang dulu, meskipun sama-sama bernaung di bawah bendera Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api). Tapi persoalan yang kuhadapi kali ini benar-benar telah menambah pengalamanku. Biasanya jika aku menghadapi seseorang atau suatu kelompok, aku langsung dapat menentukan sikap karena aku langsung dapat menentukan jahat atau baiknya pihak yang kuhadapi itu. Namun berhadapan dengan Hwe-liong-pang benar-benar memusingkan kepala. Sebentar jahat, sebentar baik, sehingga aku kadang-kadang ragu-ragu dalam menurunkan tangan.” Mendengar kata-kata Kongsun Tiau itu, Liu Tay-liong menjawab sambil tertawa, “Bukan kau saja yang pusing, tapi seluruh dunia persilatan pun pusing kepala menghadapi Hwe-liong-pang yang kabur haluannya itu. Jadi tenang sajalah, sebab kau punya beribu-ribu kawan dalam kepusingan.” Dalam pada itu, malam telah melewati pusatnya, dan bulan sabit pun sudah terlihat condong ke sebelah barat. Liu Tay-liong segera beranjak dari tempat duduknya sambil berkata, “Ayo kita pulang sekarang. Penyelidikan kita malam ini boleh dianggap telah cukup berhasil, cukup membantu kita untuk menetapkan sikap tegas kepada Hwe-liong-pang.” Demikianlah kelima orang itupun kembali ke Siong-san. Lebih dulu mereka mengambil kuda-kuda tunggangan mereka yang disembunyikan tidak jauh dari tembok kota Bun-siau, setelah itu barulah mereka berangkat bersama-sama kembali ke Siong-san. “Apakah hasil penyelidikan kita malam ini perlu kita laporkan hasilnya kepada para ksatria?” tanya Wi-lian dalam perjalanan. “Aku merasa perlu hal itu,” sahut kakaknya. “Hal ini agar kaum ksatria dapat membedakan mana Hwe-liong-pang yang musuh dan mana Hwe-liong-pang yang bukan musuh. Mereka harus dapat membedakan antara Hwe-liong-pang Te-liong Hiang-cu dan Hwe-liong-pangnya Hwe-liong-pang-cu yang sah.” Ternyata semuanya sependapat bahwa apa yang mereka saksikan malam itu harus dilaporkan kepada kaum ksatria, meskipun barangkali mereka akan menerima teguran karena telah berani meninggalkan Siong-san tanpa berpamitan. * * * * * * *
BEGITU cahaya keemas-emasan mulai bertebaran di cakrawala timur, kelima orang yang baru saja menyelidiki kota Bun-siau itu telah tiba di Siong-san. Kedatangan dan laporan yang mereka bawa langsung saja menggemparkan segenap kaum pendekar yang berkumpul di situ. Ada yang menanggapi laporan itu dengan cukup bijaksana, namun lebih banyak lagi yang tetap bersikeras dengan sikapnya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong-pang, tidak peduli Hwe-liong-pang yang manapun tetap harus dibabat. Yang membuat Tong Wi-hong dan adiknya merasa prihatin, adalah kenyataan bahwa pendapat yang kedua inilah yang menguasai sebagian besar kaum pendekar. Pendapat yang kurang menguntungkan bagi cita-cita Tong Wi-siang yang ingin berjalan secara lurus di dunia persilatan. “Sehabis pertempuran ini selesai, kita harus cepat-cepat mencari A-siang dan menganjurkannya agar untuk sementara waktu ia tidak mengadakan kegiatan dulu,” kata Wi-lian kepada kakaknya, setelah mereka sendirian saja. “Ternyata ada juga kaum pendekar yang begitu keras kepala dan sulit diberi penjelasan.” “Susahnya, kemana kita harus mencari A-siang?” Begitulah, di tengah-tengah kesibukan kaum ksatria yang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan Hwe-liong-pang, maka Wi-hong dan Wi-lian masih saja digelisahkan oleh sikap kaum pendekar yang keras kepala itu. Namun merekapun secara jujur tidak dapat terlalu menyalahkan sikap semacam itu, sikap yang begitu membenci semua yang berbau Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumnya. Sebagian besar kesalahan memang terletak di pundak Tong Wi-siang, yang dulu kurang ketat dalam mengawasi tindak-tanduk para anak buahnya. Inilah yang mengakibatkan sikap permusuhan dari sebagian besar kaum pendekar itu sulit dihapuskan begitu saja, meskipun telah mendengarkan keterangan terperinci, karena memang sebagian besar kaum ksatria ini pernah menelan pengalaman pahit dengan Hwe-liong-pang.... |
Selanjutnya;
|