Perserikatan Naga Api Jilid 26
“TENTU sangat sulit, sebab sikap permusuhan sudah terlanjur tertanam antara kedua pihak, apalagi telah jatuh korban pula,” kata Ting Bun. “Namun jalan tidak tertutup sama sekali, sebab kita harus ingat Hwe-liong-pang pernah punya perbuatan-perbuatan baik pula. Bukankah kau ingat bahwa In Yong pernah bercerita kepada kita bahwa Hwe-liong-pang pernah berbuat kebajikan di beberapa tempat? Kita harapkan sikap para pendekar itu bukan suatu sikap mati yang kaku, namun aku yakin mereka akan cukup bijaksana dalam mempertimbangkan semua keterangan.”
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya sambil menarik napas, “Benar-benar tugas yang berat, seakan-akan kita sekarang ini sudah menjadi juru bicara bagi Hwe-liong-pang. Namun aku tidak menyesal memikul tugas ini. Semoga A-siang bisa mengendalikan anak buahnya.”
Baru saja Wi-hong mengatupkan mulutnya, tiba-tiba di jalan raya di depan rumah penginapan itu terdengar ada suara derap kaki kuda yang dilarikan dengan keras, disusul pula dengan teriakan yang ribut. Cepat Wi-hong dan Ting Bun meletakkan cangkir tehnya dan melongok keluar jendela.
Di jalan raya itu nampak ada seorang anak muda yang berpakaian ringkas berwarna kuning dan punggungnya menggendong sebatang pedang panjang, dialah yang sedang memacu kudanya secepat angin, sehingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan. Wajah penunggang kuda itu nampak gugup dan tegang. Banyak orang-orang di pinggir jalan yang berteriak keheranan,
“He, bukankah penunggang kuda itu adalah Auyang Seng, murid Hoa-san-pay yang bergelar Gin-hoa- kiam (Pedang Bunga Perak) itu?”
“Benar. Dalam pertemuan kaum pendekar kali ini dia memang mendampingi gurunya bersama-sama tokoh Hoa-san-pay lainnya, bahkan dia adalah pemimpin kelompok pendekar muda dari berbagai perguruan yang bertugas mengawasi keadaan di kota Sin-yang. Tetapi kini sikapnya begitu tidak kenal aturan? Kenapa pula ia meninggalkan tempat bertugasnya dan nampaknya terburu-buru sekali menuju ke Siong san?”
Orang yang pertama tadi mendadak berkata lagi dengan nada yang cemas, “Jangan-jangan Hwe-liong-pang sudah mulai mengerahkan kekuatannya kemari?”
Sahut temannya, “Hal itu mungkin sekali. Aku tahu, Gin-hoa-kiam Auyang Seng jarang sekali bersikap segugup dan setegang itu. Pasti ada hal luar biasa yang dihadapinya!”
“Kalau benar-benar kota ini akan menjadi tempat adu kekuatan antara kaum pendekar dan Hwe-liong-pang, maka lebih baik aku menyingkir saja secepat mungkin. Aku masih ingin berumur panjang dan tidak ingin terkena senjata nyasar,” kata orang yang pertama tadi.
Meskipun Wi-hong dan Ting Bun ada di loteng, tapi kebetulan orang-orang yang bercakap-cakap itu ada di pinggir jalan, tepat di bawah jendela kamar mereka, sehingga mereka dapat menangkap percakapan itu. Ketegangan nampak meliputi wajah Wi-hong, ia bergumam sendiri, “Barangkali A-siang memang sudah memimpin anak buahnya untuk menuju ke sini, namun bukan untuk menyerang. Anak muda Hoa-san-pay tadi agaknya salah paham akan gerakan Hwe-liong-pang itu sehingga nampak begitu gugup dan tegang.”
Ting Bun yang berkata, senada dengan Wi-hong, “Akupun berpikiran begitu. Aku yakin A-siang masih cukup waras untuk tidak membuka permusuhan dengan seluruh pendekar di muka jagad ini, karena Hwe-liong-pang sendiri masih begitu lemah setelah mengalami perang saudara yang hampir melumpuhkan itu.”
Tong Wi-hong menjadi agak tenang setelah mendengar hiburan itu. Sore harinya, Tong Wi-hong dan kawan-kawannya sengaja tidak bersantap di dalam kamar mereka, melainkan keluar ke sebuah rumah makan yang paling ramai di kota Teng-hong. Tujuan mereka adalah sekalian untuk mendengar berita tentang Hwe-liong-pang, dan mencari tahu bagaimana sikap orang-orang dunia persilatan kepada Hwe-liong-pang.
Rumah makan yang mereka kunjungi itu memang cukup ramai. Karena kota Teng-hong sudah dekat lekatnya dengan Siong-san, maka saat itu rumah makan itupun banyak dikunjungi oleh orang-orang bertampang dunia persilatan, dengan seragam dari berbagai perguruan yang hadir dalam pertemuan besar itu. Di dalam rumah makan itu juga terasa ramai suasananya, terdengar orang-orang yang saling menyapa, rupanya banyak jago-jago silat yang pernah saling bertemu dan berkenalan.
Wi-hong dan kawan-kawannya sengaja duduk berpencaran untuk dapat menyerap berita sebanyak mungkin. Ternyata perkiraan Ting Bun memang tepat. Terbuktilah bahwa pendapat umum memang terbagi dalam dua garis besar. Sebagian mengutuk Hwe-liong-pang sebagai penyakit masyarakat dan menginginkan agar Hwe-liong-pang secepatnya ditumpas habis.
Tapi sebagian lainnya jusrtu memuji Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang dengan gagah berani menolong rakyat kecil, bahkan sampai berani menentang Kerajaan. Begitu tajamnya perbedaan pendapat antara dua golongan itu, sehingga di rumah makan itu hampir saja terjadi baku hantam antara mereka, untung saja ada yang melerainya.
Malam harinya, Tong Wi-hong berunding dengan kawan-kawannya. Mereka agak berkecil hati juga kalau mengingat bahwa mereka harus berbicara untuk Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang sendiri telah begitu banyak merugikan orang. Namun mereka tidak berputus harapan, sebab ternyata adapula segolongan pendekar yang justru berkesan baik kepada Hwe-liong-pang.
Malam itu mereka beristirahat sebaik-baiknya, dan keesokan harinya mulailah Tong Wi-hong dan rombongannya menuju ke Siong-san. Tidak lama kemudian, kuil Siau-lim yang termasyhur itu sudah nampak di kejauhan, luas dan berderet-deret serta tertutup kabut, selain luas dan megah, juga kelihatan angker dan berwibawa bukan main. Pohon siong banyak tumbuh di tepi jalan yang menuju ke kuil itu, sehingga orang-orang yang sedang berjalan menuju ke kuil itu agak terlindung dari sengatan panas matahari.
Orang-orang yang sedang berjalan menuju ke Siau-lim-si itu pada umumnya adalah tokoh-tokoh atau pimpinan-pimpinan dari suatu aliran, perguruan atau perserikatan lainnya. Ada juga tokoh-tokoh perorangan yang tidak terikat pada golongan tertentu, namun umumnya mereka sudah punya nama dalam dunia persilatan. Sedangkan tokoh-tokoh yang kurang dikenal dan tidak tergabung dalam kelompok manapun, atau yang tidak membawa surat undangan, terpaksa hanya diperkenankan sampai ke pinggang bukit.
Menurut rencana, pertemuan kaum ksatria itu tidak akan diselenggarakan didalam kuil, melainkan diselenggarakan di sebuah lapangan yang tidak jauh dari kuil. Hal itu berdasarkan aturan keras Siau-lim-si yang melarang seorang perempuan untuk masuk ke dalam kuil, padahal di antara tokoh-tokoh yang diundang itu tidak sedikit terdapat pendekar wanita. Di lapangan yang akan digunakan untuk pertemuan itupun telah dibangun beberapa barak kayu yang cukup rapi untuk menampung para tamu.
Tong Wi-hong dan rombongannya tidak mengalami kesulitan apa pun untuk berjalan sampai ke atas, sebab Tong Wi-hong membawa surat undangan yang ditulis oleh Ketua Siau-lim- pay sendiri. Meskipun surat itu sebenarnya ditujukan kepada Cian Sin-wi, tetapi umumnya dunia persilatan sudah tahu bahwa Tong Wi-hong adalah pengganti Cian Sin-wi sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang.
Penyambut tamu adalah seorang rahib tua bergelar Hong-bun Hweshio, yang seangkatan dengan Hong-pek, Hong-tay, Hong-koan dan sebagainya. Kabarnya Ketua Siau-lim-pay sendiri tidak dapat menghadiri pertemuan itu sedang terganggu kesehatannya, namun pihak Siau-lim-pay tetap menampilkan beberapa rahib tua angkatan “Hong” yang akan membuat pertemuan itu cukup berbobot.
Setibanya Tong Wi-hong di lapangan yang akan digunakan untuk pertemuan, ternyata tempatnya sudah hampir penuh dengan para tetamu undangan, semuanya adalah tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan. Tempat duduk diatur melingkar, sehingga para tetamu bisa saling melihat satu sama lain. Begitu memasuki lapangan pertemuan itu, Wi-lian segera celingukan mencari rombongan dari Soat-san-pay, agaknya gadis ini sudah sangat rindu ingin bertemu dengan ibunya yang telah berpisah hampir tiga tahun lamanya itu.
Dan hati gadis itu melonjak begitu melihat rombongan Soat-san-pay duduk di bagian utara. Dilihatnya tokoh-tokoh tua perguruan itu, seperti Yu Hau-seng yang berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san) serta adik seperguruannya, Oh Yu-thian yang berjuluk Soat-sian-kiam-sin (Malaikat Pedang dari Soat-san). Yang satu berjuluk “Dewa Pedang” yang lainnya “Malaikat Pedang” itupun menandakan bahwa ilmu pedang Soat-san-pay memang memiliki kelebihan. Selain kedua orang tokoh tua itu, nampak pula beberapa jagoan Soat-san-pay lainnya, di antaranya adalah Tong Hu-jin, ibu Wi-lian.
Karena begitu meluap perasaannya setelah melihat ibu yang dirindukannya, maka Wi-lian lupa bahwa di tempat itu banyak orang. Tanpa malu-malu lagi dia langsung berlari menyerbu ke arah ibunya sambil berseru, “Ibu!”
Tong Hu-jin pun terkejut melihat anak gadisnya yang sudah hampir tiga tahun tidak dilihatnya itu, bahkan Tong Hu-jin sudah membayangkan bahwa anak gadisnya itu tentu sudah tidak ada lagi di dunia. Tong Hu-jin pernah mendengar cerita dari Wi-hong, bahwa Wi-lian ditawan oleh gerombolan penjahat upahan Cia To-bun dulu. Namun sekarang, bagaikan bermimpi saja dia melihat anak gadisnya itu tengah berlari kepadanya dan hendak memeluknya.
Pertemuan antara ibu dan anak itupun berlangsunglah di bawah ratusan pasang mata yang menyaksikannya. Kedua perempuan itu saling berpelukan, isak tangis keharuan dan kebahagiaan meledak menjadi satu. Sementara itu, Tong Wi-hong yang lebih dapat menahan diri itu telah mengajak kawan-kawannya untuk memberi salam hormat kepada para sesepuh Soat-san-pay yang hadir di situ.
Setelah Tong Hu-jin menumpahkan kerinduannya kepada anaknya itu, barulah ia agak tenang. Katanya kepada Wi-hong dengan nada agak menuduh, “A-hong, kenapa kau dulu bercerita kepadaku bahwa A-lian telah dibawa lari penjahat?”
Sahut Wi-hong, “Akupun tidak menduga akan bertemu kembali dengannya, ibu. Tapi untuk jelasnya ibu dapat bertanya sendiri kepada A-lian.”
Kemudian Tong Hu-jin berkata kepada anak gadisnya, “A-lian, aku hampir-hampir tidak percaya kepada kenyataan bahwa hari ini aku berkumpul kembali denganmu. Tetapi kulitmu agak coklat sekarang, agaknya selama ini kau cukup banyak menderita, nak...”
Berbicara sampai di situ, kembali wajah perempuan itu sudah bergerak-gerak hendak menangis lagi, namun Wi-hong cepat memotong perkataan ibunya dengan nada bergurau, “Ibu tidak usah bersedih. Biarpun A-lian bertambah hitam, tapi Ting Toako tetap akan...”
Namun ucapan itu juga tidak selesai, sebab Wi-lian telah mencubit lengan kakaknya dengan gemas, sedangkan Ting Bun yang berdiri di belakang itupun menjadi merah padam wajahnya. Wi-lian sendiri ternyata tidak tinggal diam dan balas menggoda kakaknya, “Ibu, kuperkenalkan kepada ibu, inilah enci Ping, calon menantu ibu. Enci Ping cepatlah kau memberi hormat kepada ibu mertua!”
Kali ini giliran Wi-hong dan Cian Ping yang terperangah. Kemudian berturut-turut anak-anak muda itu memberi hormat, sebagai lazimnya yang muda kepada yang tua. Terhadap dua saudara So yang berjuluk Tiong-san-siang-hou (Dua Harimau Pegunungan) itu, Wi-hong memperkenalkan kepada ibunya dengan sebutan “rekan sekerja” dan tidak menyebutnya “bawahan”. Hal itu membuat dua saudara So itu semakin kagum kepada kepribadian Cong-piau-thau mereka.
Sementara itu Tong Hu-jin pun telah berkata menegur anak-anak muda itu, “Kalian anak-anak muda terlalu banyak bergurau sehingga kadang-kadang melupakan adat-istiadat. Sudahkah kalian memberi hormat kepada Su-coa (Kakek guru) dan Susiok-cou (Paman Kakek Guru) serta para Su-pek (uwa guru) sekalian?”
Mendengar teguran ibunya itu, barulah Wi-lian sadar bahwa di tempat itu bukan hanya ada ibunya seorang diri, tapi hadir pula beberapa tokoh angkatan tua perguruan Soat-san-pay. Maka dengan agak tersipu-sipu ia memberi salam pula kepada tokoh-tokoh Soat-san-pay itu. Namun ia tidak memanggil tokoh-tokoh itu dengan sebutan “su-cou” atau “susiok-cou” melainkan menyebutnya “Lo-cian-pwe” (orang tua yang terhormat), yaitu sebutan seorang angkatan muda kepada angkatan tua yang dihormati tetapi berbeda perguruannya.
Tong Hu-jin tercengang ketika mendengar sebutan Wi-lian terhadap angkatan tua Soat-san-pay itu. Tegurnya dengan kening berkerut, “A-lian, janganlah kurang sopan kepada angkatan tua. Masakah cara memanggil yang benar saja kau tidak tahu?”
Sahut Wi-lian dengan kepala tertunduk, “Maaf ibu dan para Lo-cian-pwe. Karena kelancanganku, maka aku telah berguru kepada Hong-tay Suhu dari Siau-lim-pay, sehingga dengan demikian sekarang ini aku secara resmi adalah murid Siau-lim-pay dan bukan Soat-san-pay.”
Alis Tong Hu-jin semakin berkerut ketika mendengar jawaban anak gadisnya itu. Katanya, “Berganti perguruanpun boleh, asal dengan seijin perguruan semula, kalau tidak, itu berarti menganggap enteng perguruannya sendiri. Kenapa kau sampai melupakan hal ini?”
Tong Wi-lian menjadi serba susah untuk menjawab, maka ia hanya bisa menundukkan kepalanya dan membungkam seribu bahasa. Ternyata kemudian Soat-san-kiam-sian Yu Hau-seng yang menyahut dengan bijaksana, “Ilmu silat seluruh dunia ini satu sumbernya, tidak jadi soal orang mempelajari cabang yang manapun juga. Yang penting adalah bahwa orang yang belajar silat itu harus punya keyakinan bahwa apa yang dipilihnya itu adalah yang terbaik, dengan demikian dia akan bersungguh-sungguh dalam latihan dan akhirnya mencapai kemajuan.
"Orang tidak dapat dipaksa mempelajari suatu cabang ilmu yang tidak sesuai dengan seleranya, dan andaikata dapat dipaksakan maka dia akan kurang bersungguh-sungguh sebab merasa terpaksa. Su-tit (keponakan murid), kau tidak usah memarahi anakmu karena soal ini. Jangan-jangan nanti malah bisa timbul anggapan di luaran bahwa golongan Soat-san-pay kita merasa ilmu silat sendiri yang paling unggul di kolong langit. Hal itu justru akan menjadikan perguruan kita sebagai tertawaan orang sejagad.”
Tong Hu-jin mengiakan kata-kata uwa gurunya itu dengan khidmat. sedang Wi-lian pun cepat-cepat mengucapkan terima kasih kepada tokoh tua Soat-san-pay itu, “Terima kasih atas pengertian dan kebijaksanaan Lo-cian-pwe.”
Yu Hau-seng menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, tangannya membelai jenggotnya yang menjuntai putih seperti benang perak itu, dan berkata lebih lanjut, “Kalian anak-anak muda hendaknya berpikiran luas dalam mencapai kemajuan, berani mendobrak pandangan-pandangan picik yang sudah berkarat dalam kebudayaan kita. Banyak sekali tokoh persilatan saat ini yang berpikiran kolot, mengutamakan peraturan-peraturan yang dibuat leluhurnya tanpa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tertutup akal sehatnya. Memang tata tertib harus ditegakkan, tapi tidak dengan cara sekaku itu.”
Mendadak terdengarlah seseorang menyahut sambil tertawa, “Terima kasih banyak atas kebijaksanaanmu itu, tua bangka she Yu. Biarlah aku mewakili pihak Siau-lim-pay untuk mengucapkan terima kasih atas kelapangan dadamu itu.”
Ternyata, entah kapan datangnya, tahu-tahu di dekat rombongan orang-orang Soat-san-pay itu telah muncul seorang rahib yang memakai jubah abu-abu dekil, bertubuh dekil pula dan nampaknya jarang mandi. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Sinting dari Siau-lim), Hong-koan Hwesio adanya.
Rahib dekil itu telah berkata lebih lanjut, “Sebagai tanda terima kasih kami, biarlah di waktu-waktu mendatang aku akan sering-sering mengunjungi kalian di Soat-san-pay, kalau perlu tinggal di sana selama beberapa bulan, agar kalian tidak kesepian di pegunungan bersalju yang terpencil di daerah barat itu. Setuju?”
Yu Hau-seng hanya tersenyum saja mendengarnya, yang menjawab malahan Oh Yu-thian, “Jika kau diam di tempat kami, itu berarti kau akan menghabiskan persediaan makanan kami untuk takaran beberapa orang. Bagaimana hal semacam itu bisa disebut sebagai tanda terima kasih?”
Demikianlah senda gurau kedua sahabat itu. Sementara itu, rombongan tuan rumah, yaitu rahib-rahib Siau-lim-pay telah keluar dari dalam kuil untuk menyalami tamu-tamunya. Wi-lian cepat menyongsong maju dan memberi hormat kepada guru dan paman gurunya itu. Dengan keluarnya rahib-rahib tua Siau-lim-si itu, itulah pertanda bahwa pertemuan itu akan segera dimulai.
Meskipun Tong Wi-hong adalah seorang murid perguruan Soat-san-pay, namun dia mendapat tempat tersendiri dalam kedudukannya sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Tong Wi-lian sebagai murid Siau-lim-pay ternyata lebih suka berada tetap dalam rombongan kakaknya. Gadis itu merasa kurang bebas kalau harus berkumpul dengan orang-orang Soat-san-pay yang rata-rata berwajah angker, pendiam dan berusia tinggi itu. Dan lebih tidak mungkin lagi kalau harus berkumpul dengan rombongan Siau-lim-pay yang terdiri dari rahib-rahib melulu itu.
Para tetamu telah menduduki tempatnya masing-masing, menurut kelompoknya masing-masing. Rombongan dari Bu-tong-pay nampak dipimpin oleh Imam Kim-hian yang pernah menolong Wi-lian ketika terancam oleh orang-orang Hwe-liong-pang di luar kota Kiang-leng itu. Juga nampak si sasterawan butut yang sakti, Liu Tay-liong, yang juga pernah menolong Wi-lian itu, serta tokoh-tokoh terkenal lainnya.
Perguruan-perguruan yang mengirimkan wakil-wakilnya antara lain adalah Hoa-san-pay, Cong-lam-pay, Ki-lian-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay, Soat-san-pay, Jing-sia-pay dan bahkan Kun-lun-pay yang terletak jauh di barat, dekat dengan perbatasan India itupun nampak mengirimkan wakilnya yang terdiri dari empat orang. Juga terlihat wakil dari Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) yang merupakan perkumpulan yang paling luas keanggotaannya di wilayah Tiong-goan itu, terkenal pula dengan cara penyampaian beritanya yang rapi.
Maka pertemuan pun dimulai. Hong-tay Hweshio mewakili pihak Siau-lim-pay, dan mulai berbicara, “Kami pihak Siau-lim-pay saat ini merasa sangat beruntung dan berbahagia sekali, bahwa kaum ksatria se Tiong-goan sudi memberi muka kepada kami dan meluangka waktu untuk menghadiri pertemuan ini. Bahkan rekan-rekan dari Soat-san-pay dan Kun-lun-pay yang jauhnya laksaan li juga menyempatkan hadir di sini, untuk itu kami mengucapkan terima kasih.
"Seperti yang telah kami sebutkan dalam surat undangan kami, pertemuan ini hanya akan punya acara tunggal, yaitu bagaimana kita sekalian akan menyatukan sikap dan langkah kita dalam menghadapi keresahan dunia persilatan yang diakibatkan oleh sebuah perkumpulan yang menamakan diri Hwe-liong-pang itu. Kami menyadari, bahwa di antara kita tentu nantinya akan muncul perbedaan pendapat, namun sebelumnya kami mohon kepada kaum ksatria agar bersikap dewasa dan mencari jalan keluar sebaik-baiknya.”
Agaknya Hong-tay Hweshio sudah mendengar pula tentang desas-desus pecahnya sikap para ksatria dalam masalah Hwe-liong-pang itu, maka Hong-tay Hweshio lebih dulu mengucapkan peringatan halus agar para pendekar menahan diri. Setelah itu, mulailah wakil-wakil dari setiap golongan diberi kesempatan untuk berbicara dan mengusulkan jalan keluar bagaimana dalam menghadapi ancaman Hwe-liong-pang itu.
Dan ternyata mereka terbagi dalam tiga golongan besar. Golongan pertama adalah golongan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka kesempatan bicara itu langsung digunakannya untuk mencaci maki Hwe-liong-pang dan mengutuknya tujuh turunan. Bagi golongan pertama ini, hanya ada satu jalan untuk menghadapi Hwe-liong-pang, yaitu menyatukan kekuatan seluruh ksatria dan langsung menumpas habis Hwe-liong-pang sampai ke akar-akarnya.
Golongan yang kedua, berpendapat justru bertolak-belakang dengan golongan yang pertama. Mereka justru menganggap Hwe-liong-pang sebagai suatu perkumpulan yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan penentang kesewenang-wenangan para pejabat Kerajaan Beng, meskipun harus diakui pula bahwa gerak-gerik orang-orang Hwe-liong-pang pun “kurang begitu lurus”, namun sebegitu jauh belum pantas untuk ditumpas habis dan bahkan sebaiknya dirangkul sebagai teman seperjuangan.
Golongan ketiga mengambil jalan tengah, yaitu menganjurkan agar tindakan terhadap Hwe-liong-pang dilakukan kepada orang demi orang, bukan asal pukul rata dan menganggap jahat semua orang Hwe-liong-pang. Mereka berpendapat, bahwa orang Hwe-liong-pang yang berbuat kejahatan harus dihadapi secara keras, tetapi yang berbuat kebajikan tidak ada salahnya dianggap sebagai teman.
Dengan adanya perbedaan pendapat itu, maka suasana pertemuan itupun segera meningkat menjadi kian panas. Meskipun belum sempat terdengar kata-kata yang kasar, namun nampaknya golongan-golongan yang berbeda pendapat itu sangat kukuh dengan pendapatnya masing-masing.
Golongan yang bersikap keras dan menghendaki Hwe-liong-pang ditumpas adalah perguruan-perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay. Ketua Hoa-san-pay yang bernama Kiau Bun-han dan berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) itu berkata dengan berapi-api penuh semangat,
“kami tidak membantah bahwa mungkin saja di dalam Hwe-liong-pang terdapat orang orang yang tidak jahat, tetapi bagaimana mungkin bisa membedakan siapa jahat siapa baik, sedangkan mereka bercampur-aduk jadi satu? Selagi kita sedang sibuk memilih-milih dan membeda-bedakan yang baik dan yang jahat, tahu-tahu mereka telah menggorok leher kita lebih dahulu!”
Namun Ketua Jing-sia-pay, Kon-sun Tiau yang berjulukan Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), segera membantah pendapat Kiau Bun-han itu, “Kalau begitu, menurut saudara Kiau ini kita harus melakukan pembunuhan tanpa melihat-lihat lagi kesalahan orang yang kita bunuh? Padahal dengan mata kepalaku sendiri aku pernah melihat bagaimana ksatria-ksatria Hwe-liong-pang itu tanpa ragu-ragu menggulung lengan bajunya, turun tangan membantu kesulitan rakyat, tidak segan-segan bentrok dengan kaum kuku garuda dalam mempertahankan pendiriannya. Tindakan mereka yang sedikit bicara banyak bekerja itu, jauh lebih mulia daripada orang-orang semacam kita, yang mengaku sebagai pendekar-pendekar sejati tetapi hanya pandai berdebat tanpa melakukan tindakan apapun yang bermanfaat bagi sesama manusia!”
“Tepat sekali ucapan saudara Kongsun!” sambut Thi-sim Tojin (Imam Berhati Besi) dari perguruan Khong-tong-pay itu. “Setiap kejahatan yang kita jumpai, haruslah kita tumpas habis. Tetapi kitapun harus dapat membedakan siapa baik dan siapa jahat. Bicara soal kejahatan, bukankah ada di antara kita ini yang juga menyeleweng dari garis kebenaran? Penyelewengan itu bukan milik Hwe-liong-pang saja!”
Ucapan Kongsun Tiau dan Thi-sim Tojin itu agak melegakan hati Wi-hong dan Wi-lian, sebab ada juga ternyata kaum ksatria yang punya kesan baik terhadap Hwe-liong-pang. Mereka nanti dapat diajak bicara lebih mendalam lagi, untuk bersama-sama meyakinkan kaum pendekar lainnya yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang.
Sementara itu, Ketua Go-bi-pay Thian-goan Hweshio yang tinggi besar dan berewokan itu telah berbicara pula dengan suaranya yang menggeledek, “Omitohud. Kuharap tuan-tuan sekalian tidak terbuai oleh kebaikan yang tidak seberapa dari orang-orang Hwe-liong-pang, kebaikan yang sengaja mereka perbuat untuk menutupi kejahatan mereka yang jauh lebih besar dari kebaikannya. Bagaimana kita bisa melupakan akan dua ratus jiwa anggota Sin-hou-bun yang melayang semuanya, dibantai oleh algojo-algojo Hwe-liong-pang hanya karena alasan yang ramah? Pantaskah sebuah gerombolan seliar dan sebuas Hwe-liong-pang itu dibiarkan hidup terus, dan bahkan akan kita jadikan sebagai kawan seperjuangan kita? Aku menyetujui pendapat tuan Kiau dari Hoa-san-pay, bahwa sikap lunak tidak akan cocok untuk menghadapi gerombolan pembunuh haus darah itu! Dan lagipula sudah sepantasnya jika suatu perkumpulan itu bertanggung-jawab terhadap perbuatan anggotanya. Seperti kita juga ikut bersalah jika ada murid-murid kita yang sampai merugikan orang lain, karena hal itu berarti kita tidak sanggup mendidiknya!”
Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han nampak puas sekali ketika mendengar dukungan suara dari ketua Go-bi-pay itu. Ia lalu menyambung ucapan Thian-goan Hweshio itu, “Dan perlu saudara-saudara sekalian ketahui, bahwa hutang dua ratus jiwa itu belum terbayar oleh Hwe-liong-pang, malahan Hwe-liong-pang kemarin sudah membuat hutang darah yang baru pula. Kemarin, seorang keponakan muridku yang memimpin beberapa rekan-rekannya untuk mengawasi keadaan di kota Sin-yang, telah kembali ke Siong-san ini dan melaporkan kepadaku bahwa Hwe-liong-pang telah mengganas kembali. Kali ini ada empat puluh jiwa angkatan muda dari berbagai perguruan yang telah tewas di Sin-yang, karena disergap dan diserang secara licik dengan kabut beracun!”
Kata-kata Kiau Bun-han yang terakhir itu seketika membuat pertemuan itu menjadi gempar hebat. Tong Wi-hong dan adiknya terguncang hebat mendengar berita itu, seakan-akan mereka tidak percaya lagi terhadap kuping mereka sendiri. Bukankah ketika di lembah Jian-hoa-kok mereka telah mendengar sendiri bagaimana kakak mereka Tong Wi-siang telah berjanji untuk tidak memusuhi kaum pendekar dan bahkan mengajak bersahabat? Apakah kini kakak mereka itu telah melanggar janjinya sendiri?
Sementara itu, beberapa wakil dari perguruan-perguruan yang membela Hwe-liong-pang, mulai berseru-seru tidak percaya. Thi-sim Tojin cepat berdiri dari tempat duduknya, dan serunya keras, “Saudara Kiau, kita adalah golongan ksatria yang selalu bertindak jujur dan terbuka, hendaknya jangan sembarangan melontarkan fitnah sehebat itu!”
Kiau Bun-han segera memberi hormat kepada Thi-sim Tojin, dan berkata dengan suara yang dibuat sesabar mungkin, “Totiang (bapak imam), buat apa kami merancang fintah keji? Apa yang aku katakan tadi semuanya berdasarkan kenyataan!”
Lalu ia menoleh ke arah rombongannya sendiri dari Hoa-san- pay dan berseru, “Auyang Seng, majulah ke depan dan ceritakanlah kembali laporan yang telah kau laporkan kepadaku kemarin sore itu. Selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya.”
Dari rombongan anak murid Hoa-san-pay itupun segera muncul seorang anak muda yang usianya kira-kira sebaya dengan Wi-hong, berwajah tampan dan gagah, serta berpakaian kuning gading. Tong Wi-hong dapat segera mengenal bahwa anak muda itulah yang kemarin sore berkuda dengan terburu-buru melewati kota Teng-hong. Wi-hong ingat percakapan orang-orang di pinggir jalan waktu itu, bahwa anak muda yang bernama Auyang Seng itu punya julukan yang indah, yaitu Gin-hoa kiam (Pedang Bunga Perak).
Gerak-gerik Auyang Seng yang kalem dan tidak gugup berbicara di depan orang banyak itu menandakan bahwa dia sudah berpengalaman dalam pergaulan dunia persilatan. Ia cepat maju ke depan dan menjawab panggilan Kiau Bun-han itu, “Murid siap menjalankan perintah dari Ciang-bun Su-siok (paman guru dan Ketua)!”
Setelah itu, lebih dulu ia memberi hormat berkeliling kepada tokoh-tokoh tua lainnya, dan mulailah ia bercerita dengan lancar, “Aku adalah murid Hoa-san-pay yang kebetulan ikut terpilih untuk ikut dalam rombongan orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di kota-kota yang mungkin akan dilewati pihak Hwe-liong-pang. Aku kebagian untuk mengawasi kota Sin-yang bersama beberapa rekan muda dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan Khong-tong-pay yang seluruhnya berjumlah 40 orang.
"Atas kerendahan hati rekan-rekan kami itu, aku diangkatnya sebagai pemimpin kelompok kecil itu. Pada suatu sore, kira-kira empat hari yang lalu tiba- tiba kami menemukan bahwa semua burung merpati pembawa surat telah mati di kandangnya masing-masing karena diracuni oleh orang. Segera kami meningkatkan kewaspadaan dan mengadakan penyelidikan.
"Namun ternyata orang-orang Hwe-liong-pang secara diam-diam telah menyusup ke kota Sin-yang dalam jumlah yang besar. Mereka menyergap kami secara mendadak dengan menggunakan senjata-senjata beracun. Semua rekan-rekan yang ada di Sin-yang telah tewas, hanya aku yang beruntung bisa lolos dengan menunggang kuda, untuk memberitahukan hal ini kepada para ksatria!”
Berita sehebat itu tentu saja membuat pertemuan menjadi geger. Bahkan orang-orang yang tadinya berkesan baik terhadap Hwe-liong-pang, kini agaknya mulai goyah pendiriannya.
“Maksud saudara kecil Auyang ini, Hwe-liong-pang sudah bergerak untuk menyerang kita?” tanya Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau.
Sahut Auyang Seng, “Benar, paman Kongsun. Empat hari yang lalu musuh sudah berada di kota Sin-yang dan jika mereka maju terus kemari maka diperkirakan hari ini mereka hanya sekitar dua ratus li jauhnya dari kita, kemungkinan besar nanti malam atau besok pagi mereka sudah akan mulai menyerang kita.”
Kata-kata Auyang Seng yang terakhir ini lebih mengejutkan lagi dan segera menimbulkan keributan di antara para hadirin. Suara-suara yang bersimpati kepada Hwe-liong- pang, kini sudah tidak kedengaran lagi, tenggelam karena dikalahkan oleh suara-suara bernada kecemasan yang mendesak untuk segera diambil tindakan bersama sebelum didahului oleh musuh.
Dalam keadaan seribut itu, Tong Wi-hong merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara. Ia tidak akan menunggu sampai suasana menjadi semakin buruk sehingga tidak dapat dikuasai lagi. Maka dengan suara keras ia segera berseru sambil bangkit dari tempat duduknya, “Para Lo-cian-pwe yang kuhormati, aku mohon waktu untuk berbicara!”
Suasana ribut itu seketika reda, dan kini semua mata ditujukan ke arah pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang masih muda itu. Meskipun Tong Wi-hong belum lama terjun ke dunia persilatan, namun sebagian orang sudah tahu akan keberanian Wi-hong ketika menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang di kota Tay-beng, karena itu tidak ada yang berani memandang enteng Tong Wi-hong.
Setelah suasana cukup tenang, maka terlebih dulu Wi-hong memperkenalkan dirinya, lalu mulai berbicara, “Aku mohon maaf atas kelancangan diriku yang tak berarti ini, karena telah berani ikut campur dalam pembicaraan para sesepuh yang terhormat ini. Tapi aku benar-benar terdorong oleh suara hati nuraniku untuk ikut berbicara, menyumbangkan pikiran dalam pertemuan ini.”
Lalu secara singkat dan terang, Tong Wi-hong menceritakan pengalamannya yang bersangkut paut dengan orang-orang Hwe-liong-pang kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) di Tay-beng, sampai peristiwa besar di lembah Jian-hoa-kok yang menelan korban ratusan jiwa itu. Namun demikian Wi-hong masih belum mengutarakan bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu adalah kakaknya sendiri.
Sebab ia merasakan situasinya kurang menguntungkan untuk mengutarakan hal itu. Bukan berarti Wi-hong tidak perlu atau tidak berani mengakui kakaknya, tapi pertimbangannya adalah bahwa pernyataan itu hanya akan mengeruhkan suasana, padahal masih ada soal penting di depan mata yang harus diselesaikan dulu. Ketika Wi-hong sampai pada cerita terbunuhnya Cian Sin-wi, para pendengar mengira bahwa Wi-hong tentu termasuk golongan yang anti Hwe-liong-pang, karena sebagai pengganti Cian Sin-wi tentunya menaruh dendam sakit hati kepada perkumpulan Hwe-liong-pang itu.
Namun setelah Wi-hong menceritakan pula bahwa di antara orang-orang Hwe-liong-pang pun terdapat tokoh-tokoh berwatak ksatria seperti Lam-ki-tong-cu In Yong, Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong dan sebagainya, dan juga menceritakan tentang penertiban ke dalam tubuh Hwe-liong-pang di lembah Jian-hoa-kok, maka pandangan orang-orang itu terhadap Hwe-liong-pang mulai agak berubah. Sebagai penutup “cerita”nya, Wi-hong berkata,
“Ternyata Hwe-liong-pang itu terdiri dari delapan kelompok yang masing-masing punya warna bendera sendiri-sendiri, yaitu Pek (Putih), Ui (Kuning), Jing (Hijau), Lam (Biru), Jai (Coklat), Hek (Hitam), Ci (Ungu) dan Ang (Merah). Yang biasa berbuat kejahatan dan kesewenang-wenangan adalah orang-orang dari kelompok-kelompok Hek, Ci, Ang dan Jing, dan bahkan kelompok-kelompok ini telah berusaha membuat suatu komplotan yang akan merebut kursi Ketua Hwe-liong- pang, supaya dapat mengendalikan Hwe-liong-pang semaunya sendiri.
"Tapi usaha komplotan itu telah gagal, bahkan di lembah Jian-hoa-kok telah terjadi penertiban dan penghukuman besar-besaran terhadap anggota-anggota Hwe-liong-pang yang menyeleweng di luaran. Dari situ dapat aku simpulkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang agaknya tidak menyetujui tindakan-tindakan jahat anak buahnya itu, bahkan setelah selesainya penertiban itu Ketua Hwe-liong-pang mengucapkan keinginannya untuk bersahabat dengan siapapun dan bergandengan tangan menegakkan keadilan di muka bumi ini!”
Penuturan Wi-hong itu segera disambut dengan dua macam tanggapan oleh para pendekar. Wakil-wakil dari perguruan-perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay tetap bersikeras bahwa kebaikan-kebaikan Hwe-liong-pang itu hanyalah suatu sandiwara untuk mengelabui pandangan umum. Sedangkan pihak-pihak Jing-sia-pay, Khong-tong-pay, Ki-lian-pay, Cong-lam-pay serta Tiam-jong-pay juga tetap bersikeras bahwa Hwe-liong-pang sebenarnya bukan musuh, dan beranggapan bahwa penyelewengan dari sebagian anggotanya itu adalah hal biasa, sebab perguruan atau perkumpulan yang manapun juga tentu punya anggota-anggota yang menyeleweng dari garis kebenaran.
Yang belum berpihak adalah orang-orang dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Soat-san-pay dan Kay-pang. Agaknya mereka ini bersikap cukup hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mungkin juga sikap mereka itu untuk menjaga agar perpecahan antara golongan-golongan yang berbeda pendapat itu tidak menjadi semakin tajam.
Thian Goan Hweshio yang bersikap anti Hwe-liong-pang itu telah berdiri dari tempat duduknya dan berseru kepada Wi- hong, “Tong Cong-piau-thau, tentang maksud baik Hwe-liong-pang untuk menjadi sahabat umat manusia seperti yang kau katakan tadi, adalah hasil kesimpulanmu sendiri ataukah Ketua Hwe-liong-pang sendiri yang mengatakannya kepadamu?”
Dasar Thian-goan Hweshio memang lebih tua dan lebih berpengalaman, maka pertanyaannya yang nampak sederhana itupun mengandung perangkap bagi Wi-hong. Apabila Wi-hong menjawab bahwa pendapatnya tadi hanyalah merupakan kesimpulannya sendiri, maka dengan mudah tentu akan didebat karena dianggap terlalu lemah. Tapi jika Wi-hong mengatakan bahwa orang Hwe-liong-pang yang mengatakannya kepadanya, maka Wi-hong pun akan mendapat tuduhan sebagai sahabat dan “juru bicara” Hwe-liong-pang. Kedua pilihan itu sama-sama tidak enak dirasakan.
Namun Wi-hong menyahut juga, “Kepandaianku memang masih rendah dan pengalamanku pun masih dangkal, tetapi secara kebetulan aku mendengar sendiri ucapan Hwe-liong-pang-cu itu, diucapkan sepatah demi sepatah kata dan tidak mungkin ditafsirkan lain lagi.”
“Kalau begitu, melayangnya empat puluh jiwa di kota Sin-yang yang baru saja dilaporkan itu lalu merupakan perbuatan siapakah?” desak Thian-goan Hweshio dengan gencar.
Sahut Wi-hong, “Perlu Taysu ketahui, bahwa dalam pertempuran di lembah Jian-hoa-kok antara unsur-unsur baik dan unsur-unsur jahat Hwe-liong-pang itu, memang akhirnya unsur-unsur yang jahat dapat dikalahkan. Namun dalam pertempuran itu, pentolan kelompok yang jahat, yaitu Te-liong Hiang-cu, berhasil meloloskan diri dari tangkapan Hwe-liong-pang-cu bahkan sempat menghantam Hwe-liong-pang-cu. Satu kali peristiwa yang menimpa rekan-rekan di kota Sin-yang itu kemungkinan besar adalah buah karya Te-liong Hiang-cu yang belum tertangkap ini, tujuannya hanyalah mengeruhkan keadaan, mengadu domba antara Hwe-liong-pang-cu dengan para pendekar yang sedang berkumpul di sini!”
Tukas Pet-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dengan suara sinis, “Tong Cong-piau-thau, nampaknya pendapatmu itu terlalu direka-reka dan kurang mempunyai bukti yang nyata!”
Seketika itu juga muka Tong Wi-hong menjadi merah padam. Bibirnya sudah bergerak-gerak hendak mengeluarkan bantahan, namun karena meluapnya perasaannya, maka dia justru tidak tahu dari sudut mana dia harus menyanggah ucapan Kiau Bun-han yang tajam itu. Namun di saat Wi-hong tersudut itulah, adik perempuannya lah yang berdiri dan berkata dengan suaranya yang nyaring,
“Maafkan aku, tuan-tuan pendekar yang terhormat, dalam pembicaraan ini tuan-tuan telah bertindak kurang adil!”
Tentu saja merupakan hal yang sangat mengejutkan, bahwa seorang gadis berusia dua puluh tahun berani mengucapkan kata-kata setajam itu di hadapan sidang kaum pendekar kawakan dunia persilatan itu. Namun Rahib Hong-tay sudah cukup mengenal akan sikap keras dari muridnya itu, ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan tidak mencegahnya.
Sedangkan Tong Hu-jin juga hampir saja bangkit untuk mencegah anak gadisnya itu agar jangan berbicara kurang sopan. Namun Tong Hu-jin kalah cepat dengan kata-kata yang sudah meluncur dari bibir Wi-lian dengan tajamnya,
“kalian, yang menamakan diri sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan, kalian bersikap terlalu angkuh. Kalian hanya menganggap bahwa kata-kata yang berasal dari kalian saja yang patut dipertimbangkan, dengan mengandalkan ketenaran nama kalian. Sedangkan kalian menganggap enteng pendapat orang lain! Jika kalian bicara putih, orang lain harus ikut jadi putih pula, jika kalian bicara hitam, orang lainpun harus ikut jadi hitam pula. Huh, pendekar-pendekar macam apa kalian ini?”
Ucapan yang tajam dan berani itu ternyata sanggup membuat tempat berkumpulnya para pendekar itu seketika menjadi sunyi bagaikan kuburan. Namun kesunyian itu hanya sesaat, sebab beberapa detik kemudian gemuruhlah tepuk tangan para pendekar angkatan muda yang mendukung ucapan Wi-lian itu.
Sesungguhnya ucapan tajam Wi-lian tadi seolah-olah mewakili cetusan suara hati para pendekar muda itu pula, yang selama ini tunduk tanpa berani membantah kepada keputusan guru-guru atau angkatan tua mereka, meskipun kadang-kadang keputusan itu tidak sesuai dengan hati nurani mereka.
Namun tepuk tangan riuh itu sirap begitu guru atau angkatan tua mereka melotot ke arah para pendekar muda itu. Buru-buru para pendekar muda itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara itu Kiau Bun-han telah bangkit dengan muka yang merah padam dan membentak Wi-lian, “Siapa kau? Kenapa kau berani berbicara begitu tidak tahu aturan di hadapan para Lo-cian-pwe ini?”
Sifat Wi-lian memang keras kepala, sangat mirip dengan sifat kakak tertuanya yang sekarang menjadi Hwe-liong-pang-cu itu. Pelototan mata dan bentakan Ketua Hoa-san-pay itu tidak membuatnya gentar, tapi malah membuat sikapnya kian keras. Jawabannya dengan sopan, “Kiau Tayhiap, kau adalah seorang pendekar yang maha besar dan maha bijaksana, tentunya kau akan selalu mempertimbangkan masak-masak setiap tindakan sebelum melaksanakannya bukan?”
Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, Kiau Bun-han tidak mau terjirat oleh kata-katanya sendiri, maka dengan licin ia menyahut, “Nona kecil, di dunia ini ada banyak soal yang tidak begitu mendesak sehingga kita punya banyak waktu untuk memikirkan penyelesaian yang sebaik-baiknya, bahkan mempertimbangkan dan memikirkan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Namun ada pula persoalan-persoalan yang begitu mendesaknya, sehingga kita dituntut untuk bertindak secara cepat tanpa ragu-ragu, tanpa sempat memperhitungkan hal-hal yang tetek-bengek lagi. Kau paham?”
Dan disambung pula oleh Thian-goan Hweshio, “Ucapan Kiau Tay-hiap sangat tepat. Kita di sini bertele-tele memperdebatkan apakah Hwe-liong-pang itu kawan atau lawan, bahkan berdebat tiga hari tiga malampun barangkali tidak selesai. Tapi selama kita berdebat itu, suatu kenyataan di depan mata telah terbukti, bahwa Hwe-liong-pang telah mulai menyerang kita dan bahkan telah menewaskan orang-orang yang kita tempatkan di Sin-yang. Urusan Hwe-liong-pang itu baik atau jahat adalah urusan belakangan, yang penting sekarang harus segera diambil tindakan sebelum musuh lebih dulu menggorok leher kita!”
Karena tidak mampu menjawab lagi, Wi-lian menjadi jengkel. Dengan suara hampir terisak ia berkata, “Tidak! Aku tidak percaya bahwa A.... eh, Hwe-liong-pang-cu menjilat kembali ludah dan menyerang dengan cara serendah itu.” Karena luapan perasaannya, hampir saja Wi-lian menyebutkan nama “A-siang” di hadapan umum. Untung saja ia belum terlanjur bicara.
Yang menambah kejengkelan Wi-lian adalah ketika melihat perguruan-perguruan yang tadinya begitu bersimpati kepada Hwe-liong-pang sekarang bungkam semuanya setelah mendenar berita dari kota Sin-yang itu. Agaknya golongan ini merasa kurang punya alasan dan bukti-bukti yang kuat, maka memilih tutup mulut saja daripada sembarangan berbicara dan mendapatkan malu.
Dalam pada itu, tiba-tiba seorang rahib muda yang berpakaian seperti murid-murid Siau-lim-si, telah memasuki lapangan pertemuan itu dengan sikap tergesa-gesa dan muka yang tegang. Ia langsung mendekati ke arah Rahib Hong-tay, memberi hormat dan memberi laporan, “Suhu, beberapa orang rekan kami yang bertugas di kota Bun-siau telah datang ke sini dan mohon menghadap untuk melaporkan sesuatu.”
Sikap rahib muda yang tidak begitu tenang itu dengan cepat telah menarik perhatian semua orang. “Suruh mereka datang!” perintah Rahib Hong-tay.
Rahib muda itupun mengiakan sambil memberi hormat, lalu bergegas-gegas keluar lapangan kembali. Tidak lama kemudian, rahib muda itu muncul kembali, kali ini dengan diiringi oleh tiga orang lelaki muda. Keadaan tiga orang pemuda itu benar-benar mengibakan, sekujur tubuh mereka penuh dengan luka-luka berdarah yang tidak sempat dirawat dengan baik, sedang muka mereka pun pucat. Bahkan salah seorang dari tiga pemuda itu bermuka hitam kebiru-biruan, menandakan bahwa dia telah keracunan cukup hebat!
Begitu melihat rombongan pemuda-pemuda yang luka-luka dan dipapah oleh para rahib itu, dari rombongan Jing-sia-pay terdengar teriakan terkejut oleh Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau, “Li Sutit dan Ciong Sutit!”
Serempak dengan itu, dari pihak Cong-lam-pay juga terdengar seruan, “Han Suheng (abang seperguruan Han)!”
Ketiga orang pemuda yang luka luka dan keracunan itu memang terdiri dari dua orang Jing-sia-pay dan seorang murid Cong-lam-pay. Mereka nampak begitu payah keadaannya, sehingga jika tidak dipapah oleh rahib-rahib Siau-lim-pay mereka susah untuk berdiri sendiri. Begitu telah berada di tengah tengah sidang, salah seorang dari mereka mulai berkata dengan suara terputus-putus,
“Hwe-liong...pang... sss... sudah ma... masuk Bun-siau. Se... semua kawan... te... tewas.”
Berita itu datangnya bagaikan halilintar di siang hari bolong. Kaum pendekar segera gempar membicarakan kejadian itu. Sementara itu Rahib Hong-tay telah memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk membawa orang-orang yang luka-luka itu ke dalam kuil untuk mendapatkan perawatan seperlunya.
Thian-goan Hweshio lah yang paling dulu menanggapi berita gawat itu. Serunya sambil menggebrak meja, “Itulah contohnya kalau kita bertindak ragu-ragu dalam menghadapi kawanan iblis tak berperikemanusiaan itu! Sementara kita berunding harus begini atau harus begitu, mereka terus maju dan pihak kita pun kehilangan beberapa orang!”
Lalu tokoh Go-bi-pay itu menoleh ke arah rombongan Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay secara bergantian, sambil berkata, “Saudara Kong-sun dan saudara Cia, apakah kalian masih akan tetap berkukuh pada pendapat kalian setelah melihat bahwa murid-murid kalian sendiri telah menjadi korban kekejaman orang-orang Hwe-liong-pang?”
Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay adalah perguruan-perguruan yang tadinya bersimpati kepada Hwe-liong-pang. Namun setelah kini mereka melihat bukti yang terpampang di depan mata, maka pendirian mereka pun mulai goyah. Jika pihak Jing-sia-pay masih mengambil sikap hati-hati, maka pihak Cong-lam-pay malahan langsung berubah arah dalam mengambil sikap. Terdengarlah Ketua Cong-lam-pay berkata dengan geram,
“Selama ini hubungan antara Hwe-liong-pang dengan Cong-lam-pay boleh dikata tidak saling mengganggu, bahkan kami pernah bahu membahu dalam memberantas kawanan bandit yang merajalela di sekitar pegunungan Cong-lam-san. Tapi tak terduga kalau hari ini Hwe-liong-pang tidak mengingat persahabatan dan telah bertindak demikian keji kepada anak murid kami. Aku Cia-hok-tong, sebagai Ketua Cong-lam-pay angkatan ke tiga belas memutuskan untuk berubah haluan, dan menghadapi Hwe-liong-pang sebagai musuh utama!”
“Bagus!” sambut ketua Hoa-san-pay Kiau Bun-han dengan penuh semangat. “Saudara Cia, itulah sikap seorang laki-laki sejati yang tidak ragu-ragu mengakui kekeliruan sendiri dan mengambil keputusan penting. Sikapmu ini sangat kupuji!”
Sebaliknya Kongsun Tiau malah bertanya kepada Cia Hok-tong dengan nada agak menegur, “Saudara Cia, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan sebaik-baiknya?”
Cia Hok-tong menyahut, “Sekarang apa yang perlu dipertimbangkan lagi? Pihak Hwe-liong-pang ternyata sudah lebih dulu merusakkan hubungan baik yang selama ini ada di antara kami. Apakah Cong-lam-pay kami harus mengemis-emis kepada mereka untuk meminta perdamaian?”
Sementara itu Wi-hong dan Wi-lian kini benar-benar telah merasakan jalan buntu. Mereka menjalankan pesan kakak mereka untuk berusaha mengubah pandangan orang banyak kepada Hwe-liong-pang, namun perkembangan yang mereka hadapi ternyata telah membingungkan mereka. Kakak-beradik itu saling bertukar pandangan, lalu terdengar Wi-hong berkata lirih kepada adiknya,
“Aku sampai sekarang masih tetap yakin bahwa A-siang tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya. Begitu pula dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Mereka memang bekas anak-anak berandalan yang bengal dan keras kepala, tapi aku merasa pasti bahwa mereka tidak akan sudi menjilat ludahnya sendiri. Aku heran kenapa sekarang bisa muncul peristiwa-peristiwa seperti ini?”
“Akupun merasa penasaran,” sahut Wi-lian sambil mengepal tinjunya. “Aku tidak percaya bahwa A-siang akan menjerumuskan kita berdua ke dalam keadaan serba salah semacam ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik semuanya ini. Tetapi akupun tidak punya bukti yang cukup kuat untuk merubah pendapat umum yang sudah terbentuk ini.”
“Kota Bun-siau tidak jauh dari sini, bagaimana kalau malam nanti kita coba menyelidiki ke kota itu untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?”
“Aku setuju,” sahut Wi-lian tanpa pikir panjang lagi.
Dalam pada itu, pertemuan para ksatria itu kini sudah diliputi suasana permusuhan luar biasa kepada Hwe-liong-pang. Orang-orang yang tadinya masih ragu-ragu, kini hampir semuanya telah tertarik masuk ke dalam golongan yang anti Hwe-liong-pang itu. Golongan yang masih bersimpati kepada Hwe-liong-pang sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, suara mereka pun sudah tenggelam tak terdengar lagi. Bahkan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, dua perguruan besar yang paling disegani di dunia persilatan pun sudah memperlihatkan kecondongan untuk melawan Hwe-liong-pang. Hal itu sungguh merisaukan hati kakak beradik she Tong itu.
Kota Bun-siau hanya berjarak kira-kira seratus li dari Siong- san, itu berarti gerakan orang-orang Hwe-liong-pang sudah berada di ambang pintu. Maka pertemuan pun membicarakan siasat untuk membendung serangan Hwe-liong-pang. Tentang hal ini, semua perguruan telah sepakat untuk tidak mengorbankan lagi murid-murid mereka yang masih berjaga-jaga di tempat-tempat yang jauh dari Siong-san.
Mereka semua akan ditarik mundur ke Siong-san dan semua kekuatan pun dipusatkan di situ. Kurir-kurir berkuda segera disebar untuk memanggil murid-murid dari berbagai perguruan itu dari tempat penjagaannya masing-masing. Menjelang sore, semuanya sudah berkumpul.
Beberapa murid Siau-lim-pay yang bertugas mengintai di kota Bun-siau telah melaporkan, bahwa setelah berada di Bun-siau ternyata pihak Hwe-liong-pang pun sedang menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kaum pendekar golongan putih yang berhimpun di Siong-san itu.
MALAM turun dengan perlahan-lahan, dan bersamaan dengan itu suasana tegang di gunung Siong-san pun meningkat. Di segala sudut jalan yang menuju ke arah kuil Siau-lim-si telah dijaga ketat. Di mana-mana nampak bayangan dari orang-orang yang berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Penjagaan seketat itu karena adanya kekuatiran bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan serangan tidak secara terbuka, melainkan secara licik, dengan demikian tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak terjaga.
Kaum persilatan yang tidak ikut dalam pertemuan di halaman kuil Siau-lim, yang hanya berkumpul di kaki bukit atau di kota Teng-hong hanya untuk menonton keramaian, kini sudah bubar sejak sore tadi. Mereka sudah mendengar tentang gerakan orang-orang Hwe-liong-pang, dan demi keselamatan diri sendiri maka mereka memilih untuk tidak campur tangan dalam bentrokan itu.
Tetapi ada juga beberapa orang yang merasa ilmu silatnya cukup tangguh dan menganggap bahwa inilah kesempatan untuk mencari nama, maka mereka ini tidak bubar melainkan menggabungkan diri dengan kaum pendekar di Siong-san. Di dalam barak kaum pendekar, khusus untuk yang digunakan oleh rombongan Tiong-gi Piau-hang, Tong Wi-hong dan adiknya sedang mempersiapkan diri untuk diam-diam meninggalkan Siong-san dan menyelidiki ke kota Bun-siau pada malam itu juga.
Mereka memakai pakaian ringkas berwarna hitam, Tong Wi-hong telah menyandang pedangnya, sedangkan adiknya tidak bersenjata seperti biasanya. Sengaja mereka hanya akan berangkat berdua dan tidak mengajak yang lain-lainnya. Sebab orang-orang yang kepandaiannya tidak begitu tinggi itu akan dapat merepotkan saja dan malahan dapat menggagalkan penyelidikan.
Dengan langkah yang hati-hati sekali, Wi-hong dan adiknya mulai menuruni bukit Siong-san yang telah dikerudungi kegelapan itu. Tapi penjagaan di sekitar kuil itu agaknya memang benar-benar ketat sebab baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tahu-tahu dari balik sebuah pohon siong telah terdengar bentakan keras,
“Berhenti! Siapakah kalian?!”
Dan sebelum Tong Wi-hong atau Wi-lian menjawab sepatah katapun, tahu-tahu diri mereka telah dikepung oleh tujuh orang yang memegang senjata yang berbeda-beda, toya, pedang, golok dan juga mengenakan seragam perguruan yang berbeda-beda pula. Wajah mereka tidak dapat dikenali karena gelapnya malam.
Agar tidak terjadi salah paham, Tong Wi-hong berbicara terus terang, “Aku Tong Wi-hong, Cong-piau-thau dari Tiong-gi Piau-hang. Dan ini adalah adikku, Tong Wi-lian, murid Siau-lim-pay.”
Pemimpin dari kelompok yang menghadang mereka itu ternyata adalah seorang rahib gundul yang bertubuh tegap kekar dan berusia belum mencapai tigapuluh tahun, tangannya memegang jenis senjata yang disebut Kiu-hoan kun (Toya Sembilan Gelang). Ketika rahib muda ini mendengar nama Wi-lian disebutkan, maka ia segera menegaskan, “Apakah Wi-lian Su-moay?”
Tong Wi-lian pun menjadi lega setelah mendengar suara yang dikenalnya itu. Itulah suara kakak seperguruannya, Rahib Bu-sian, seorang pendeta muda yang ramah, berkepandaian tinggi dan penuh pengabdian kepada tegaknya keadilan dan kemanusiaan. Maka Wi-lian pun menyahut, “Benar, aku Wi-lian, apakah di situ Bu-sian Suheng?”
Tanya Rahib Bu-sian kemudian, “Su-moay dalam keadaan segenting ini, kenapa kau malahan meninggalkan gunung? Kau hendak pergi ke mana?”
Tanpa tedeng aling-aling lagi gadis itu menyahut, “Aku dan kakakku ini hendak menuju ke kota Bun-siu untuk menyelidki sendiri kebenaran berita tentang Hwe-liong-pang itu. Aku masih kurang yakin benarkah yang telah melukai orang-orang Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang pernah kukenal?”
“Jika ternyata benar, lalu bagaimana?” seseorang yang memegang pedang dan berdiri di sebelah Rahib Bu-sian segera menyahut dengan sinis.
Meskipun Wi-lian tidak dapat melihat wajahnya tetapi ia dapat mengenali suara itu sebagai suara dari Gin-hoa-kiam Auyang Seng. Agaknya pendekar muda dari Hoa-san-pay yang sedang berusaha menanjakkan namanya itu merasa tersinggung sebab jika Wi-lian sampai menyelidiki sendiri gerak gerik Hwe-liong-pang, itu sama saja dengan meragukan laporan yang pernah disampaikan oleh Auyang Seng kepada para pendekar.
Wi-lian pun dapat menangkap nada sinis yang terkandung dalam kata-kata Auyang Seng itu. Tetapi dengan menahan diri Wi-lian telah menjawab tegas, “Jika benar tentu saja aku berpihak kepada kaum pendekar. Aku tahu membedakan baik dan jahat.”
Sementara itu Rahib Bu-sian telah berkata pula, “Tong Cong-piau-thau dan Wi-lian Sumoay menurut laporan orang-orang kita saat ini kota Bun-sian dipenuhi oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang jelas memusuhi kita. Tindakan kalian untuk menyelidiki ke Bun-siau itu jelas merupakan tindakan yang percuma, dan juga sangat membahayakan keselamatan kalian sendiri....”
Wi-hong mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya sambil menarik napas, “Benar-benar tugas yang berat, seakan-akan kita sekarang ini sudah menjadi juru bicara bagi Hwe-liong-pang. Namun aku tidak menyesal memikul tugas ini. Semoga A-siang bisa mengendalikan anak buahnya.”
Baru saja Wi-hong mengatupkan mulutnya, tiba-tiba di jalan raya di depan rumah penginapan itu terdengar ada suara derap kaki kuda yang dilarikan dengan keras, disusul pula dengan teriakan yang ribut. Cepat Wi-hong dan Ting Bun meletakkan cangkir tehnya dan melongok keluar jendela.
Di jalan raya itu nampak ada seorang anak muda yang berpakaian ringkas berwarna kuning dan punggungnya menggendong sebatang pedang panjang, dialah yang sedang memacu kudanya secepat angin, sehingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan. Wajah penunggang kuda itu nampak gugup dan tegang. Banyak orang-orang di pinggir jalan yang berteriak keheranan,
“He, bukankah penunggang kuda itu adalah Auyang Seng, murid Hoa-san-pay yang bergelar Gin-hoa- kiam (Pedang Bunga Perak) itu?”
“Benar. Dalam pertemuan kaum pendekar kali ini dia memang mendampingi gurunya bersama-sama tokoh Hoa-san-pay lainnya, bahkan dia adalah pemimpin kelompok pendekar muda dari berbagai perguruan yang bertugas mengawasi keadaan di kota Sin-yang. Tetapi kini sikapnya begitu tidak kenal aturan? Kenapa pula ia meninggalkan tempat bertugasnya dan nampaknya terburu-buru sekali menuju ke Siong san?”
Orang yang pertama tadi mendadak berkata lagi dengan nada yang cemas, “Jangan-jangan Hwe-liong-pang sudah mulai mengerahkan kekuatannya kemari?”
Sahut temannya, “Hal itu mungkin sekali. Aku tahu, Gin-hoa-kiam Auyang Seng jarang sekali bersikap segugup dan setegang itu. Pasti ada hal luar biasa yang dihadapinya!”
“Kalau benar-benar kota ini akan menjadi tempat adu kekuatan antara kaum pendekar dan Hwe-liong-pang, maka lebih baik aku menyingkir saja secepat mungkin. Aku masih ingin berumur panjang dan tidak ingin terkena senjata nyasar,” kata orang yang pertama tadi.
Meskipun Wi-hong dan Ting Bun ada di loteng, tapi kebetulan orang-orang yang bercakap-cakap itu ada di pinggir jalan, tepat di bawah jendela kamar mereka, sehingga mereka dapat menangkap percakapan itu. Ketegangan nampak meliputi wajah Wi-hong, ia bergumam sendiri, “Barangkali A-siang memang sudah memimpin anak buahnya untuk menuju ke sini, namun bukan untuk menyerang. Anak muda Hoa-san-pay tadi agaknya salah paham akan gerakan Hwe-liong-pang itu sehingga nampak begitu gugup dan tegang.”
Ting Bun yang berkata, senada dengan Wi-hong, “Akupun berpikiran begitu. Aku yakin A-siang masih cukup waras untuk tidak membuka permusuhan dengan seluruh pendekar di muka jagad ini, karena Hwe-liong-pang sendiri masih begitu lemah setelah mengalami perang saudara yang hampir melumpuhkan itu.”
Tong Wi-hong menjadi agak tenang setelah mendengar hiburan itu. Sore harinya, Tong Wi-hong dan kawan-kawannya sengaja tidak bersantap di dalam kamar mereka, melainkan keluar ke sebuah rumah makan yang paling ramai di kota Teng-hong. Tujuan mereka adalah sekalian untuk mendengar berita tentang Hwe-liong-pang, dan mencari tahu bagaimana sikap orang-orang dunia persilatan kepada Hwe-liong-pang.
Rumah makan yang mereka kunjungi itu memang cukup ramai. Karena kota Teng-hong sudah dekat lekatnya dengan Siong-san, maka saat itu rumah makan itupun banyak dikunjungi oleh orang-orang bertampang dunia persilatan, dengan seragam dari berbagai perguruan yang hadir dalam pertemuan besar itu. Di dalam rumah makan itu juga terasa ramai suasananya, terdengar orang-orang yang saling menyapa, rupanya banyak jago-jago silat yang pernah saling bertemu dan berkenalan.
Wi-hong dan kawan-kawannya sengaja duduk berpencaran untuk dapat menyerap berita sebanyak mungkin. Ternyata perkiraan Ting Bun memang tepat. Terbuktilah bahwa pendapat umum memang terbagi dalam dua garis besar. Sebagian mengutuk Hwe-liong-pang sebagai penyakit masyarakat dan menginginkan agar Hwe-liong-pang secepatnya ditumpas habis.
Tapi sebagian lainnya jusrtu memuji Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang dengan gagah berani menolong rakyat kecil, bahkan sampai berani menentang Kerajaan. Begitu tajamnya perbedaan pendapat antara dua golongan itu, sehingga di rumah makan itu hampir saja terjadi baku hantam antara mereka, untung saja ada yang melerainya.
Malam harinya, Tong Wi-hong berunding dengan kawan-kawannya. Mereka agak berkecil hati juga kalau mengingat bahwa mereka harus berbicara untuk Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang sendiri telah begitu banyak merugikan orang. Namun mereka tidak berputus harapan, sebab ternyata adapula segolongan pendekar yang justru berkesan baik kepada Hwe-liong-pang.
Malam itu mereka beristirahat sebaik-baiknya, dan keesokan harinya mulailah Tong Wi-hong dan rombongannya menuju ke Siong-san. Tidak lama kemudian, kuil Siau-lim yang termasyhur itu sudah nampak di kejauhan, luas dan berderet-deret serta tertutup kabut, selain luas dan megah, juga kelihatan angker dan berwibawa bukan main. Pohon siong banyak tumbuh di tepi jalan yang menuju ke kuil itu, sehingga orang-orang yang sedang berjalan menuju ke kuil itu agak terlindung dari sengatan panas matahari.
Orang-orang yang sedang berjalan menuju ke Siau-lim-si itu pada umumnya adalah tokoh-tokoh atau pimpinan-pimpinan dari suatu aliran, perguruan atau perserikatan lainnya. Ada juga tokoh-tokoh perorangan yang tidak terikat pada golongan tertentu, namun umumnya mereka sudah punya nama dalam dunia persilatan. Sedangkan tokoh-tokoh yang kurang dikenal dan tidak tergabung dalam kelompok manapun, atau yang tidak membawa surat undangan, terpaksa hanya diperkenankan sampai ke pinggang bukit.
Menurut rencana, pertemuan kaum ksatria itu tidak akan diselenggarakan didalam kuil, melainkan diselenggarakan di sebuah lapangan yang tidak jauh dari kuil. Hal itu berdasarkan aturan keras Siau-lim-si yang melarang seorang perempuan untuk masuk ke dalam kuil, padahal di antara tokoh-tokoh yang diundang itu tidak sedikit terdapat pendekar wanita. Di lapangan yang akan digunakan untuk pertemuan itupun telah dibangun beberapa barak kayu yang cukup rapi untuk menampung para tamu.
Tong Wi-hong dan rombongannya tidak mengalami kesulitan apa pun untuk berjalan sampai ke atas, sebab Tong Wi-hong membawa surat undangan yang ditulis oleh Ketua Siau-lim- pay sendiri. Meskipun surat itu sebenarnya ditujukan kepada Cian Sin-wi, tetapi umumnya dunia persilatan sudah tahu bahwa Tong Wi-hong adalah pengganti Cian Sin-wi sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang.
Penyambut tamu adalah seorang rahib tua bergelar Hong-bun Hweshio, yang seangkatan dengan Hong-pek, Hong-tay, Hong-koan dan sebagainya. Kabarnya Ketua Siau-lim-pay sendiri tidak dapat menghadiri pertemuan itu sedang terganggu kesehatannya, namun pihak Siau-lim-pay tetap menampilkan beberapa rahib tua angkatan “Hong” yang akan membuat pertemuan itu cukup berbobot.
Setibanya Tong Wi-hong di lapangan yang akan digunakan untuk pertemuan, ternyata tempatnya sudah hampir penuh dengan para tetamu undangan, semuanya adalah tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan. Tempat duduk diatur melingkar, sehingga para tetamu bisa saling melihat satu sama lain. Begitu memasuki lapangan pertemuan itu, Wi-lian segera celingukan mencari rombongan dari Soat-san-pay, agaknya gadis ini sudah sangat rindu ingin bertemu dengan ibunya yang telah berpisah hampir tiga tahun lamanya itu.
Dan hati gadis itu melonjak begitu melihat rombongan Soat-san-pay duduk di bagian utara. Dilihatnya tokoh-tokoh tua perguruan itu, seperti Yu Hau-seng yang berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san) serta adik seperguruannya, Oh Yu-thian yang berjuluk Soat-sian-kiam-sin (Malaikat Pedang dari Soat-san). Yang satu berjuluk “Dewa Pedang” yang lainnya “Malaikat Pedang” itupun menandakan bahwa ilmu pedang Soat-san-pay memang memiliki kelebihan. Selain kedua orang tokoh tua itu, nampak pula beberapa jagoan Soat-san-pay lainnya, di antaranya adalah Tong Hu-jin, ibu Wi-lian.
Karena begitu meluap perasaannya setelah melihat ibu yang dirindukannya, maka Wi-lian lupa bahwa di tempat itu banyak orang. Tanpa malu-malu lagi dia langsung berlari menyerbu ke arah ibunya sambil berseru, “Ibu!”
Tong Hu-jin pun terkejut melihat anak gadisnya yang sudah hampir tiga tahun tidak dilihatnya itu, bahkan Tong Hu-jin sudah membayangkan bahwa anak gadisnya itu tentu sudah tidak ada lagi di dunia. Tong Hu-jin pernah mendengar cerita dari Wi-hong, bahwa Wi-lian ditawan oleh gerombolan penjahat upahan Cia To-bun dulu. Namun sekarang, bagaikan bermimpi saja dia melihat anak gadisnya itu tengah berlari kepadanya dan hendak memeluknya.
Pertemuan antara ibu dan anak itupun berlangsunglah di bawah ratusan pasang mata yang menyaksikannya. Kedua perempuan itu saling berpelukan, isak tangis keharuan dan kebahagiaan meledak menjadi satu. Sementara itu, Tong Wi-hong yang lebih dapat menahan diri itu telah mengajak kawan-kawannya untuk memberi salam hormat kepada para sesepuh Soat-san-pay yang hadir di situ.
Setelah Tong Hu-jin menumpahkan kerinduannya kepada anaknya itu, barulah ia agak tenang. Katanya kepada Wi-hong dengan nada agak menuduh, “A-hong, kenapa kau dulu bercerita kepadaku bahwa A-lian telah dibawa lari penjahat?”
Sahut Wi-hong, “Akupun tidak menduga akan bertemu kembali dengannya, ibu. Tapi untuk jelasnya ibu dapat bertanya sendiri kepada A-lian.”
Kemudian Tong Hu-jin berkata kepada anak gadisnya, “A-lian, aku hampir-hampir tidak percaya kepada kenyataan bahwa hari ini aku berkumpul kembali denganmu. Tetapi kulitmu agak coklat sekarang, agaknya selama ini kau cukup banyak menderita, nak...”
Berbicara sampai di situ, kembali wajah perempuan itu sudah bergerak-gerak hendak menangis lagi, namun Wi-hong cepat memotong perkataan ibunya dengan nada bergurau, “Ibu tidak usah bersedih. Biarpun A-lian bertambah hitam, tapi Ting Toako tetap akan...”
Namun ucapan itu juga tidak selesai, sebab Wi-lian telah mencubit lengan kakaknya dengan gemas, sedangkan Ting Bun yang berdiri di belakang itupun menjadi merah padam wajahnya. Wi-lian sendiri ternyata tidak tinggal diam dan balas menggoda kakaknya, “Ibu, kuperkenalkan kepada ibu, inilah enci Ping, calon menantu ibu. Enci Ping cepatlah kau memberi hormat kepada ibu mertua!”
Kali ini giliran Wi-hong dan Cian Ping yang terperangah. Kemudian berturut-turut anak-anak muda itu memberi hormat, sebagai lazimnya yang muda kepada yang tua. Terhadap dua saudara So yang berjuluk Tiong-san-siang-hou (Dua Harimau Pegunungan) itu, Wi-hong memperkenalkan kepada ibunya dengan sebutan “rekan sekerja” dan tidak menyebutnya “bawahan”. Hal itu membuat dua saudara So itu semakin kagum kepada kepribadian Cong-piau-thau mereka.
Sementara itu Tong Hu-jin pun telah berkata menegur anak-anak muda itu, “Kalian anak-anak muda terlalu banyak bergurau sehingga kadang-kadang melupakan adat-istiadat. Sudahkah kalian memberi hormat kepada Su-coa (Kakek guru) dan Susiok-cou (Paman Kakek Guru) serta para Su-pek (uwa guru) sekalian?”
Mendengar teguran ibunya itu, barulah Wi-lian sadar bahwa di tempat itu bukan hanya ada ibunya seorang diri, tapi hadir pula beberapa tokoh angkatan tua perguruan Soat-san-pay. Maka dengan agak tersipu-sipu ia memberi salam pula kepada tokoh-tokoh Soat-san-pay itu. Namun ia tidak memanggil tokoh-tokoh itu dengan sebutan “su-cou” atau “susiok-cou” melainkan menyebutnya “Lo-cian-pwe” (orang tua yang terhormat), yaitu sebutan seorang angkatan muda kepada angkatan tua yang dihormati tetapi berbeda perguruannya.
Tong Hu-jin tercengang ketika mendengar sebutan Wi-lian terhadap angkatan tua Soat-san-pay itu. Tegurnya dengan kening berkerut, “A-lian, janganlah kurang sopan kepada angkatan tua. Masakah cara memanggil yang benar saja kau tidak tahu?”
Sahut Wi-lian dengan kepala tertunduk, “Maaf ibu dan para Lo-cian-pwe. Karena kelancanganku, maka aku telah berguru kepada Hong-tay Suhu dari Siau-lim-pay, sehingga dengan demikian sekarang ini aku secara resmi adalah murid Siau-lim-pay dan bukan Soat-san-pay.”
Alis Tong Hu-jin semakin berkerut ketika mendengar jawaban anak gadisnya itu. Katanya, “Berganti perguruanpun boleh, asal dengan seijin perguruan semula, kalau tidak, itu berarti menganggap enteng perguruannya sendiri. Kenapa kau sampai melupakan hal ini?”
Tong Wi-lian menjadi serba susah untuk menjawab, maka ia hanya bisa menundukkan kepalanya dan membungkam seribu bahasa. Ternyata kemudian Soat-san-kiam-sian Yu Hau-seng yang menyahut dengan bijaksana, “Ilmu silat seluruh dunia ini satu sumbernya, tidak jadi soal orang mempelajari cabang yang manapun juga. Yang penting adalah bahwa orang yang belajar silat itu harus punya keyakinan bahwa apa yang dipilihnya itu adalah yang terbaik, dengan demikian dia akan bersungguh-sungguh dalam latihan dan akhirnya mencapai kemajuan.
"Orang tidak dapat dipaksa mempelajari suatu cabang ilmu yang tidak sesuai dengan seleranya, dan andaikata dapat dipaksakan maka dia akan kurang bersungguh-sungguh sebab merasa terpaksa. Su-tit (keponakan murid), kau tidak usah memarahi anakmu karena soal ini. Jangan-jangan nanti malah bisa timbul anggapan di luaran bahwa golongan Soat-san-pay kita merasa ilmu silat sendiri yang paling unggul di kolong langit. Hal itu justru akan menjadikan perguruan kita sebagai tertawaan orang sejagad.”
Tong Hu-jin mengiakan kata-kata uwa gurunya itu dengan khidmat. sedang Wi-lian pun cepat-cepat mengucapkan terima kasih kepada tokoh tua Soat-san-pay itu, “Terima kasih atas pengertian dan kebijaksanaan Lo-cian-pwe.”
Yu Hau-seng menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, tangannya membelai jenggotnya yang menjuntai putih seperti benang perak itu, dan berkata lebih lanjut, “Kalian anak-anak muda hendaknya berpikiran luas dalam mencapai kemajuan, berani mendobrak pandangan-pandangan picik yang sudah berkarat dalam kebudayaan kita. Banyak sekali tokoh persilatan saat ini yang berpikiran kolot, mengutamakan peraturan-peraturan yang dibuat leluhurnya tanpa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tertutup akal sehatnya. Memang tata tertib harus ditegakkan, tapi tidak dengan cara sekaku itu.”
Mendadak terdengarlah seseorang menyahut sambil tertawa, “Terima kasih banyak atas kebijaksanaanmu itu, tua bangka she Yu. Biarlah aku mewakili pihak Siau-lim-pay untuk mengucapkan terima kasih atas kelapangan dadamu itu.”
Ternyata, entah kapan datangnya, tahu-tahu di dekat rombongan orang-orang Soat-san-pay itu telah muncul seorang rahib yang memakai jubah abu-abu dekil, bertubuh dekil pula dan nampaknya jarang mandi. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Sinting dari Siau-lim), Hong-koan Hwesio adanya.
Rahib dekil itu telah berkata lebih lanjut, “Sebagai tanda terima kasih kami, biarlah di waktu-waktu mendatang aku akan sering-sering mengunjungi kalian di Soat-san-pay, kalau perlu tinggal di sana selama beberapa bulan, agar kalian tidak kesepian di pegunungan bersalju yang terpencil di daerah barat itu. Setuju?”
Yu Hau-seng hanya tersenyum saja mendengarnya, yang menjawab malahan Oh Yu-thian, “Jika kau diam di tempat kami, itu berarti kau akan menghabiskan persediaan makanan kami untuk takaran beberapa orang. Bagaimana hal semacam itu bisa disebut sebagai tanda terima kasih?”
Demikianlah senda gurau kedua sahabat itu. Sementara itu, rombongan tuan rumah, yaitu rahib-rahib Siau-lim-pay telah keluar dari dalam kuil untuk menyalami tamu-tamunya. Wi-lian cepat menyongsong maju dan memberi hormat kepada guru dan paman gurunya itu. Dengan keluarnya rahib-rahib tua Siau-lim-si itu, itulah pertanda bahwa pertemuan itu akan segera dimulai.
Meskipun Tong Wi-hong adalah seorang murid perguruan Soat-san-pay, namun dia mendapat tempat tersendiri dalam kedudukannya sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Tong Wi-lian sebagai murid Siau-lim-pay ternyata lebih suka berada tetap dalam rombongan kakaknya. Gadis itu merasa kurang bebas kalau harus berkumpul dengan orang-orang Soat-san-pay yang rata-rata berwajah angker, pendiam dan berusia tinggi itu. Dan lebih tidak mungkin lagi kalau harus berkumpul dengan rombongan Siau-lim-pay yang terdiri dari rahib-rahib melulu itu.
Para tetamu telah menduduki tempatnya masing-masing, menurut kelompoknya masing-masing. Rombongan dari Bu-tong-pay nampak dipimpin oleh Imam Kim-hian yang pernah menolong Wi-lian ketika terancam oleh orang-orang Hwe-liong-pang di luar kota Kiang-leng itu. Juga nampak si sasterawan butut yang sakti, Liu Tay-liong, yang juga pernah menolong Wi-lian itu, serta tokoh-tokoh terkenal lainnya.
Perguruan-perguruan yang mengirimkan wakil-wakilnya antara lain adalah Hoa-san-pay, Cong-lam-pay, Ki-lian-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay, Soat-san-pay, Jing-sia-pay dan bahkan Kun-lun-pay yang terletak jauh di barat, dekat dengan perbatasan India itupun nampak mengirimkan wakilnya yang terdiri dari empat orang. Juga terlihat wakil dari Kay-pang (Perkumpulan Pengemis) yang merupakan perkumpulan yang paling luas keanggotaannya di wilayah Tiong-goan itu, terkenal pula dengan cara penyampaian beritanya yang rapi.
Maka pertemuan pun dimulai. Hong-tay Hweshio mewakili pihak Siau-lim-pay, dan mulai berbicara, “Kami pihak Siau-lim-pay saat ini merasa sangat beruntung dan berbahagia sekali, bahwa kaum ksatria se Tiong-goan sudi memberi muka kepada kami dan meluangka waktu untuk menghadiri pertemuan ini. Bahkan rekan-rekan dari Soat-san-pay dan Kun-lun-pay yang jauhnya laksaan li juga menyempatkan hadir di sini, untuk itu kami mengucapkan terima kasih.
"Seperti yang telah kami sebutkan dalam surat undangan kami, pertemuan ini hanya akan punya acara tunggal, yaitu bagaimana kita sekalian akan menyatukan sikap dan langkah kita dalam menghadapi keresahan dunia persilatan yang diakibatkan oleh sebuah perkumpulan yang menamakan diri Hwe-liong-pang itu. Kami menyadari, bahwa di antara kita tentu nantinya akan muncul perbedaan pendapat, namun sebelumnya kami mohon kepada kaum ksatria agar bersikap dewasa dan mencari jalan keluar sebaik-baiknya.”
Agaknya Hong-tay Hweshio sudah mendengar pula tentang desas-desus pecahnya sikap para ksatria dalam masalah Hwe-liong-pang itu, maka Hong-tay Hweshio lebih dulu mengucapkan peringatan halus agar para pendekar menahan diri. Setelah itu, mulailah wakil-wakil dari setiap golongan diberi kesempatan untuk berbicara dan mengusulkan jalan keluar bagaimana dalam menghadapi ancaman Hwe-liong-pang itu.
Dan ternyata mereka terbagi dalam tiga golongan besar. Golongan pertama adalah golongan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka kesempatan bicara itu langsung digunakannya untuk mencaci maki Hwe-liong-pang dan mengutuknya tujuh turunan. Bagi golongan pertama ini, hanya ada satu jalan untuk menghadapi Hwe-liong-pang, yaitu menyatukan kekuatan seluruh ksatria dan langsung menumpas habis Hwe-liong-pang sampai ke akar-akarnya.
Golongan yang kedua, berpendapat justru bertolak-belakang dengan golongan yang pertama. Mereka justru menganggap Hwe-liong-pang sebagai suatu perkumpulan yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan penentang kesewenang-wenangan para pejabat Kerajaan Beng, meskipun harus diakui pula bahwa gerak-gerik orang-orang Hwe-liong-pang pun “kurang begitu lurus”, namun sebegitu jauh belum pantas untuk ditumpas habis dan bahkan sebaiknya dirangkul sebagai teman seperjuangan.
Golongan ketiga mengambil jalan tengah, yaitu menganjurkan agar tindakan terhadap Hwe-liong-pang dilakukan kepada orang demi orang, bukan asal pukul rata dan menganggap jahat semua orang Hwe-liong-pang. Mereka berpendapat, bahwa orang Hwe-liong-pang yang berbuat kejahatan harus dihadapi secara keras, tetapi yang berbuat kebajikan tidak ada salahnya dianggap sebagai teman.
Dengan adanya perbedaan pendapat itu, maka suasana pertemuan itupun segera meningkat menjadi kian panas. Meskipun belum sempat terdengar kata-kata yang kasar, namun nampaknya golongan-golongan yang berbeda pendapat itu sangat kukuh dengan pendapatnya masing-masing.
Golongan yang bersikap keras dan menghendaki Hwe-liong-pang ditumpas adalah perguruan-perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay. Ketua Hoa-san-pay yang bernama Kiau Bun-han dan berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) itu berkata dengan berapi-api penuh semangat,
“kami tidak membantah bahwa mungkin saja di dalam Hwe-liong-pang terdapat orang orang yang tidak jahat, tetapi bagaimana mungkin bisa membedakan siapa jahat siapa baik, sedangkan mereka bercampur-aduk jadi satu? Selagi kita sedang sibuk memilih-milih dan membeda-bedakan yang baik dan yang jahat, tahu-tahu mereka telah menggorok leher kita lebih dahulu!”
Namun Ketua Jing-sia-pay, Kon-sun Tiau yang berjulukan Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Badai), segera membantah pendapat Kiau Bun-han itu, “Kalau begitu, menurut saudara Kiau ini kita harus melakukan pembunuhan tanpa melihat-lihat lagi kesalahan orang yang kita bunuh? Padahal dengan mata kepalaku sendiri aku pernah melihat bagaimana ksatria-ksatria Hwe-liong-pang itu tanpa ragu-ragu menggulung lengan bajunya, turun tangan membantu kesulitan rakyat, tidak segan-segan bentrok dengan kaum kuku garuda dalam mempertahankan pendiriannya. Tindakan mereka yang sedikit bicara banyak bekerja itu, jauh lebih mulia daripada orang-orang semacam kita, yang mengaku sebagai pendekar-pendekar sejati tetapi hanya pandai berdebat tanpa melakukan tindakan apapun yang bermanfaat bagi sesama manusia!”
“Tepat sekali ucapan saudara Kongsun!” sambut Thi-sim Tojin (Imam Berhati Besi) dari perguruan Khong-tong-pay itu. “Setiap kejahatan yang kita jumpai, haruslah kita tumpas habis. Tetapi kitapun harus dapat membedakan siapa baik dan siapa jahat. Bicara soal kejahatan, bukankah ada di antara kita ini yang juga menyeleweng dari garis kebenaran? Penyelewengan itu bukan milik Hwe-liong-pang saja!”
Ucapan Kongsun Tiau dan Thi-sim Tojin itu agak melegakan hati Wi-hong dan Wi-lian, sebab ada juga ternyata kaum ksatria yang punya kesan baik terhadap Hwe-liong-pang. Mereka nanti dapat diajak bicara lebih mendalam lagi, untuk bersama-sama meyakinkan kaum pendekar lainnya yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang.
Sementara itu, Ketua Go-bi-pay Thian-goan Hweshio yang tinggi besar dan berewokan itu telah berbicara pula dengan suaranya yang menggeledek, “Omitohud. Kuharap tuan-tuan sekalian tidak terbuai oleh kebaikan yang tidak seberapa dari orang-orang Hwe-liong-pang, kebaikan yang sengaja mereka perbuat untuk menutupi kejahatan mereka yang jauh lebih besar dari kebaikannya. Bagaimana kita bisa melupakan akan dua ratus jiwa anggota Sin-hou-bun yang melayang semuanya, dibantai oleh algojo-algojo Hwe-liong-pang hanya karena alasan yang ramah? Pantaskah sebuah gerombolan seliar dan sebuas Hwe-liong-pang itu dibiarkan hidup terus, dan bahkan akan kita jadikan sebagai kawan seperjuangan kita? Aku menyetujui pendapat tuan Kiau dari Hoa-san-pay, bahwa sikap lunak tidak akan cocok untuk menghadapi gerombolan pembunuh haus darah itu! Dan lagipula sudah sepantasnya jika suatu perkumpulan itu bertanggung-jawab terhadap perbuatan anggotanya. Seperti kita juga ikut bersalah jika ada murid-murid kita yang sampai merugikan orang lain, karena hal itu berarti kita tidak sanggup mendidiknya!”
Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han nampak puas sekali ketika mendengar dukungan suara dari ketua Go-bi-pay itu. Ia lalu menyambung ucapan Thian-goan Hweshio itu, “Dan perlu saudara-saudara sekalian ketahui, bahwa hutang dua ratus jiwa itu belum terbayar oleh Hwe-liong-pang, malahan Hwe-liong-pang kemarin sudah membuat hutang darah yang baru pula. Kemarin, seorang keponakan muridku yang memimpin beberapa rekan-rekannya untuk mengawasi keadaan di kota Sin-yang, telah kembali ke Siong-san ini dan melaporkan kepadaku bahwa Hwe-liong-pang telah mengganas kembali. Kali ini ada empat puluh jiwa angkatan muda dari berbagai perguruan yang telah tewas di Sin-yang, karena disergap dan diserang secara licik dengan kabut beracun!”
Kata-kata Kiau Bun-han yang terakhir itu seketika membuat pertemuan itu menjadi gempar hebat. Tong Wi-hong dan adiknya terguncang hebat mendengar berita itu, seakan-akan mereka tidak percaya lagi terhadap kuping mereka sendiri. Bukankah ketika di lembah Jian-hoa-kok mereka telah mendengar sendiri bagaimana kakak mereka Tong Wi-siang telah berjanji untuk tidak memusuhi kaum pendekar dan bahkan mengajak bersahabat? Apakah kini kakak mereka itu telah melanggar janjinya sendiri?
Sementara itu, beberapa wakil dari perguruan-perguruan yang membela Hwe-liong-pang, mulai berseru-seru tidak percaya. Thi-sim Tojin cepat berdiri dari tempat duduknya, dan serunya keras, “Saudara Kiau, kita adalah golongan ksatria yang selalu bertindak jujur dan terbuka, hendaknya jangan sembarangan melontarkan fitnah sehebat itu!”
Kiau Bun-han segera memberi hormat kepada Thi-sim Tojin, dan berkata dengan suara yang dibuat sesabar mungkin, “Totiang (bapak imam), buat apa kami merancang fintah keji? Apa yang aku katakan tadi semuanya berdasarkan kenyataan!”
Lalu ia menoleh ke arah rombongannya sendiri dari Hoa-san- pay dan berseru, “Auyang Seng, majulah ke depan dan ceritakanlah kembali laporan yang telah kau laporkan kepadaku kemarin sore itu. Selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya.”
Dari rombongan anak murid Hoa-san-pay itupun segera muncul seorang anak muda yang usianya kira-kira sebaya dengan Wi-hong, berwajah tampan dan gagah, serta berpakaian kuning gading. Tong Wi-hong dapat segera mengenal bahwa anak muda itulah yang kemarin sore berkuda dengan terburu-buru melewati kota Teng-hong. Wi-hong ingat percakapan orang-orang di pinggir jalan waktu itu, bahwa anak muda yang bernama Auyang Seng itu punya julukan yang indah, yaitu Gin-hoa kiam (Pedang Bunga Perak).
Gerak-gerik Auyang Seng yang kalem dan tidak gugup berbicara di depan orang banyak itu menandakan bahwa dia sudah berpengalaman dalam pergaulan dunia persilatan. Ia cepat maju ke depan dan menjawab panggilan Kiau Bun-han itu, “Murid siap menjalankan perintah dari Ciang-bun Su-siok (paman guru dan Ketua)!”
Setelah itu, lebih dulu ia memberi hormat berkeliling kepada tokoh-tokoh tua lainnya, dan mulailah ia bercerita dengan lancar, “Aku adalah murid Hoa-san-pay yang kebetulan ikut terpilih untuk ikut dalam rombongan orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di kota-kota yang mungkin akan dilewati pihak Hwe-liong-pang. Aku kebagian untuk mengawasi kota Sin-yang bersama beberapa rekan muda dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan Khong-tong-pay yang seluruhnya berjumlah 40 orang.
"Atas kerendahan hati rekan-rekan kami itu, aku diangkatnya sebagai pemimpin kelompok kecil itu. Pada suatu sore, kira-kira empat hari yang lalu tiba- tiba kami menemukan bahwa semua burung merpati pembawa surat telah mati di kandangnya masing-masing karena diracuni oleh orang. Segera kami meningkatkan kewaspadaan dan mengadakan penyelidikan.
"Namun ternyata orang-orang Hwe-liong-pang secara diam-diam telah menyusup ke kota Sin-yang dalam jumlah yang besar. Mereka menyergap kami secara mendadak dengan menggunakan senjata-senjata beracun. Semua rekan-rekan yang ada di Sin-yang telah tewas, hanya aku yang beruntung bisa lolos dengan menunggang kuda, untuk memberitahukan hal ini kepada para ksatria!”
Berita sehebat itu tentu saja membuat pertemuan menjadi geger. Bahkan orang-orang yang tadinya berkesan baik terhadap Hwe-liong-pang, kini agaknya mulai goyah pendiriannya.
“Maksud saudara kecil Auyang ini, Hwe-liong-pang sudah bergerak untuk menyerang kita?” tanya Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau.
Sahut Auyang Seng, “Benar, paman Kongsun. Empat hari yang lalu musuh sudah berada di kota Sin-yang dan jika mereka maju terus kemari maka diperkirakan hari ini mereka hanya sekitar dua ratus li jauhnya dari kita, kemungkinan besar nanti malam atau besok pagi mereka sudah akan mulai menyerang kita.”
Kata-kata Auyang Seng yang terakhir ini lebih mengejutkan lagi dan segera menimbulkan keributan di antara para hadirin. Suara-suara yang bersimpati kepada Hwe-liong- pang, kini sudah tidak kedengaran lagi, tenggelam karena dikalahkan oleh suara-suara bernada kecemasan yang mendesak untuk segera diambil tindakan bersama sebelum didahului oleh musuh.
Dalam keadaan seribut itu, Tong Wi-hong merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara. Ia tidak akan menunggu sampai suasana menjadi semakin buruk sehingga tidak dapat dikuasai lagi. Maka dengan suara keras ia segera berseru sambil bangkit dari tempat duduknya, “Para Lo-cian-pwe yang kuhormati, aku mohon waktu untuk berbicara!”
Suasana ribut itu seketika reda, dan kini semua mata ditujukan ke arah pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang masih muda itu. Meskipun Tong Wi-hong belum lama terjun ke dunia persilatan, namun sebagian orang sudah tahu akan keberanian Wi-hong ketika menghadapi orang-orang Hwe-liong-pang di kota Tay-beng, karena itu tidak ada yang berani memandang enteng Tong Wi-hong.
Setelah suasana cukup tenang, maka terlebih dulu Wi-hong memperkenalkan dirinya, lalu mulai berbicara, “Aku mohon maaf atas kelancangan diriku yang tak berarti ini, karena telah berani ikut campur dalam pembicaraan para sesepuh yang terhormat ini. Tapi aku benar-benar terdorong oleh suara hati nuraniku untuk ikut berbicara, menyumbangkan pikiran dalam pertemuan ini.”
Lalu secara singkat dan terang, Tong Wi-hong menceritakan pengalamannya yang bersangkut paut dengan orang-orang Hwe-liong-pang kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) di Tay-beng, sampai peristiwa besar di lembah Jian-hoa-kok yang menelan korban ratusan jiwa itu. Namun demikian Wi-hong masih belum mengutarakan bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu adalah kakaknya sendiri.
Sebab ia merasakan situasinya kurang menguntungkan untuk mengutarakan hal itu. Bukan berarti Wi-hong tidak perlu atau tidak berani mengakui kakaknya, tapi pertimbangannya adalah bahwa pernyataan itu hanya akan mengeruhkan suasana, padahal masih ada soal penting di depan mata yang harus diselesaikan dulu. Ketika Wi-hong sampai pada cerita terbunuhnya Cian Sin-wi, para pendengar mengira bahwa Wi-hong tentu termasuk golongan yang anti Hwe-liong-pang, karena sebagai pengganti Cian Sin-wi tentunya menaruh dendam sakit hati kepada perkumpulan Hwe-liong-pang itu.
Namun setelah Wi-hong menceritakan pula bahwa di antara orang-orang Hwe-liong-pang pun terdapat tokoh-tokoh berwatak ksatria seperti Lam-ki-tong-cu In Yong, Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong dan sebagainya, dan juga menceritakan tentang penertiban ke dalam tubuh Hwe-liong-pang di lembah Jian-hoa-kok, maka pandangan orang-orang itu terhadap Hwe-liong-pang mulai agak berubah. Sebagai penutup “cerita”nya, Wi-hong berkata,
“Ternyata Hwe-liong-pang itu terdiri dari delapan kelompok yang masing-masing punya warna bendera sendiri-sendiri, yaitu Pek (Putih), Ui (Kuning), Jing (Hijau), Lam (Biru), Jai (Coklat), Hek (Hitam), Ci (Ungu) dan Ang (Merah). Yang biasa berbuat kejahatan dan kesewenang-wenangan adalah orang-orang dari kelompok-kelompok Hek, Ci, Ang dan Jing, dan bahkan kelompok-kelompok ini telah berusaha membuat suatu komplotan yang akan merebut kursi Ketua Hwe-liong- pang, supaya dapat mengendalikan Hwe-liong-pang semaunya sendiri.
"Tapi usaha komplotan itu telah gagal, bahkan di lembah Jian-hoa-kok telah terjadi penertiban dan penghukuman besar-besaran terhadap anggota-anggota Hwe-liong-pang yang menyeleweng di luaran. Dari situ dapat aku simpulkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang agaknya tidak menyetujui tindakan-tindakan jahat anak buahnya itu, bahkan setelah selesainya penertiban itu Ketua Hwe-liong-pang mengucapkan keinginannya untuk bersahabat dengan siapapun dan bergandengan tangan menegakkan keadilan di muka bumi ini!”
Penuturan Wi-hong itu segera disambut dengan dua macam tanggapan oleh para pendekar. Wakil-wakil dari perguruan-perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay tetap bersikeras bahwa kebaikan-kebaikan Hwe-liong-pang itu hanyalah suatu sandiwara untuk mengelabui pandangan umum. Sedangkan pihak-pihak Jing-sia-pay, Khong-tong-pay, Ki-lian-pay, Cong-lam-pay serta Tiam-jong-pay juga tetap bersikeras bahwa Hwe-liong-pang sebenarnya bukan musuh, dan beranggapan bahwa penyelewengan dari sebagian anggotanya itu adalah hal biasa, sebab perguruan atau perkumpulan yang manapun juga tentu punya anggota-anggota yang menyeleweng dari garis kebenaran.
Yang belum berpihak adalah orang-orang dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Soat-san-pay dan Kay-pang. Agaknya mereka ini bersikap cukup hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mungkin juga sikap mereka itu untuk menjaga agar perpecahan antara golongan-golongan yang berbeda pendapat itu tidak menjadi semakin tajam.
Thian Goan Hweshio yang bersikap anti Hwe-liong-pang itu telah berdiri dari tempat duduknya dan berseru kepada Wi- hong, “Tong Cong-piau-thau, tentang maksud baik Hwe-liong-pang untuk menjadi sahabat umat manusia seperti yang kau katakan tadi, adalah hasil kesimpulanmu sendiri ataukah Ketua Hwe-liong-pang sendiri yang mengatakannya kepadamu?”
Dasar Thian-goan Hweshio memang lebih tua dan lebih berpengalaman, maka pertanyaannya yang nampak sederhana itupun mengandung perangkap bagi Wi-hong. Apabila Wi-hong menjawab bahwa pendapatnya tadi hanyalah merupakan kesimpulannya sendiri, maka dengan mudah tentu akan didebat karena dianggap terlalu lemah. Tapi jika Wi-hong mengatakan bahwa orang Hwe-liong-pang yang mengatakannya kepadanya, maka Wi-hong pun akan mendapat tuduhan sebagai sahabat dan “juru bicara” Hwe-liong-pang. Kedua pilihan itu sama-sama tidak enak dirasakan.
Namun Wi-hong menyahut juga, “Kepandaianku memang masih rendah dan pengalamanku pun masih dangkal, tetapi secara kebetulan aku mendengar sendiri ucapan Hwe-liong-pang-cu itu, diucapkan sepatah demi sepatah kata dan tidak mungkin ditafsirkan lain lagi.”
“Kalau begitu, melayangnya empat puluh jiwa di kota Sin-yang yang baru saja dilaporkan itu lalu merupakan perbuatan siapakah?” desak Thian-goan Hweshio dengan gencar.
Sahut Wi-hong, “Perlu Taysu ketahui, bahwa dalam pertempuran di lembah Jian-hoa-kok antara unsur-unsur baik dan unsur-unsur jahat Hwe-liong-pang itu, memang akhirnya unsur-unsur yang jahat dapat dikalahkan. Namun dalam pertempuran itu, pentolan kelompok yang jahat, yaitu Te-liong Hiang-cu, berhasil meloloskan diri dari tangkapan Hwe-liong-pang-cu bahkan sempat menghantam Hwe-liong-pang-cu. Satu kali peristiwa yang menimpa rekan-rekan di kota Sin-yang itu kemungkinan besar adalah buah karya Te-liong Hiang-cu yang belum tertangkap ini, tujuannya hanyalah mengeruhkan keadaan, mengadu domba antara Hwe-liong-pang-cu dengan para pendekar yang sedang berkumpul di sini!”
Tukas Pet-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dengan suara sinis, “Tong Cong-piau-thau, nampaknya pendapatmu itu terlalu direka-reka dan kurang mempunyai bukti yang nyata!”
Seketika itu juga muka Tong Wi-hong menjadi merah padam. Bibirnya sudah bergerak-gerak hendak mengeluarkan bantahan, namun karena meluapnya perasaannya, maka dia justru tidak tahu dari sudut mana dia harus menyanggah ucapan Kiau Bun-han yang tajam itu. Namun di saat Wi-hong tersudut itulah, adik perempuannya lah yang berdiri dan berkata dengan suaranya yang nyaring,
“Maafkan aku, tuan-tuan pendekar yang terhormat, dalam pembicaraan ini tuan-tuan telah bertindak kurang adil!”
Tentu saja merupakan hal yang sangat mengejutkan, bahwa seorang gadis berusia dua puluh tahun berani mengucapkan kata-kata setajam itu di hadapan sidang kaum pendekar kawakan dunia persilatan itu. Namun Rahib Hong-tay sudah cukup mengenal akan sikap keras dari muridnya itu, ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan tidak mencegahnya.
Sedangkan Tong Hu-jin juga hampir saja bangkit untuk mencegah anak gadisnya itu agar jangan berbicara kurang sopan. Namun Tong Hu-jin kalah cepat dengan kata-kata yang sudah meluncur dari bibir Wi-lian dengan tajamnya,
“kalian, yang menamakan diri sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan, kalian bersikap terlalu angkuh. Kalian hanya menganggap bahwa kata-kata yang berasal dari kalian saja yang patut dipertimbangkan, dengan mengandalkan ketenaran nama kalian. Sedangkan kalian menganggap enteng pendapat orang lain! Jika kalian bicara putih, orang lain harus ikut jadi putih pula, jika kalian bicara hitam, orang lainpun harus ikut jadi hitam pula. Huh, pendekar-pendekar macam apa kalian ini?”
Ucapan yang tajam dan berani itu ternyata sanggup membuat tempat berkumpulnya para pendekar itu seketika menjadi sunyi bagaikan kuburan. Namun kesunyian itu hanya sesaat, sebab beberapa detik kemudian gemuruhlah tepuk tangan para pendekar angkatan muda yang mendukung ucapan Wi-lian itu.
Sesungguhnya ucapan tajam Wi-lian tadi seolah-olah mewakili cetusan suara hati para pendekar muda itu pula, yang selama ini tunduk tanpa berani membantah kepada keputusan guru-guru atau angkatan tua mereka, meskipun kadang-kadang keputusan itu tidak sesuai dengan hati nurani mereka.
Namun tepuk tangan riuh itu sirap begitu guru atau angkatan tua mereka melotot ke arah para pendekar muda itu. Buru-buru para pendekar muda itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara itu Kiau Bun-han telah bangkit dengan muka yang merah padam dan membentak Wi-lian, “Siapa kau? Kenapa kau berani berbicara begitu tidak tahu aturan di hadapan para Lo-cian-pwe ini?”
Sifat Wi-lian memang keras kepala, sangat mirip dengan sifat kakak tertuanya yang sekarang menjadi Hwe-liong-pang-cu itu. Pelototan mata dan bentakan Ketua Hoa-san-pay itu tidak membuatnya gentar, tapi malah membuat sikapnya kian keras. Jawabannya dengan sopan, “Kiau Tayhiap, kau adalah seorang pendekar yang maha besar dan maha bijaksana, tentunya kau akan selalu mempertimbangkan masak-masak setiap tindakan sebelum melaksanakannya bukan?”
Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, Kiau Bun-han tidak mau terjirat oleh kata-katanya sendiri, maka dengan licin ia menyahut, “Nona kecil, di dunia ini ada banyak soal yang tidak begitu mendesak sehingga kita punya banyak waktu untuk memikirkan penyelesaian yang sebaik-baiknya, bahkan mempertimbangkan dan memikirkan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Namun ada pula persoalan-persoalan yang begitu mendesaknya, sehingga kita dituntut untuk bertindak secara cepat tanpa ragu-ragu, tanpa sempat memperhitungkan hal-hal yang tetek-bengek lagi. Kau paham?”
Dan disambung pula oleh Thian-goan Hweshio, “Ucapan Kiau Tay-hiap sangat tepat. Kita di sini bertele-tele memperdebatkan apakah Hwe-liong-pang itu kawan atau lawan, bahkan berdebat tiga hari tiga malampun barangkali tidak selesai. Tapi selama kita berdebat itu, suatu kenyataan di depan mata telah terbukti, bahwa Hwe-liong-pang telah mulai menyerang kita dan bahkan telah menewaskan orang-orang yang kita tempatkan di Sin-yang. Urusan Hwe-liong-pang itu baik atau jahat adalah urusan belakangan, yang penting sekarang harus segera diambil tindakan sebelum musuh lebih dulu menggorok leher kita!”
Karena tidak mampu menjawab lagi, Wi-lian menjadi jengkel. Dengan suara hampir terisak ia berkata, “Tidak! Aku tidak percaya bahwa A.... eh, Hwe-liong-pang-cu menjilat kembali ludah dan menyerang dengan cara serendah itu.” Karena luapan perasaannya, hampir saja Wi-lian menyebutkan nama “A-siang” di hadapan umum. Untung saja ia belum terlanjur bicara.
Yang menambah kejengkelan Wi-lian adalah ketika melihat perguruan-perguruan yang tadinya begitu bersimpati kepada Hwe-liong-pang sekarang bungkam semuanya setelah mendenar berita dari kota Sin-yang itu. Agaknya golongan ini merasa kurang punya alasan dan bukti-bukti yang kuat, maka memilih tutup mulut saja daripada sembarangan berbicara dan mendapatkan malu.
Dalam pada itu, tiba-tiba seorang rahib muda yang berpakaian seperti murid-murid Siau-lim-si, telah memasuki lapangan pertemuan itu dengan sikap tergesa-gesa dan muka yang tegang. Ia langsung mendekati ke arah Rahib Hong-tay, memberi hormat dan memberi laporan, “Suhu, beberapa orang rekan kami yang bertugas di kota Bun-siau telah datang ke sini dan mohon menghadap untuk melaporkan sesuatu.”
Sikap rahib muda yang tidak begitu tenang itu dengan cepat telah menarik perhatian semua orang. “Suruh mereka datang!” perintah Rahib Hong-tay.
Rahib muda itupun mengiakan sambil memberi hormat, lalu bergegas-gegas keluar lapangan kembali. Tidak lama kemudian, rahib muda itu muncul kembali, kali ini dengan diiringi oleh tiga orang lelaki muda. Keadaan tiga orang pemuda itu benar-benar mengibakan, sekujur tubuh mereka penuh dengan luka-luka berdarah yang tidak sempat dirawat dengan baik, sedang muka mereka pun pucat. Bahkan salah seorang dari tiga pemuda itu bermuka hitam kebiru-biruan, menandakan bahwa dia telah keracunan cukup hebat!
Begitu melihat rombongan pemuda-pemuda yang luka-luka dan dipapah oleh para rahib itu, dari rombongan Jing-sia-pay terdengar teriakan terkejut oleh Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau, “Li Sutit dan Ciong Sutit!”
Serempak dengan itu, dari pihak Cong-lam-pay juga terdengar seruan, “Han Suheng (abang seperguruan Han)!”
Ketiga orang pemuda yang luka luka dan keracunan itu memang terdiri dari dua orang Jing-sia-pay dan seorang murid Cong-lam-pay. Mereka nampak begitu payah keadaannya, sehingga jika tidak dipapah oleh rahib-rahib Siau-lim-pay mereka susah untuk berdiri sendiri. Begitu telah berada di tengah tengah sidang, salah seorang dari mereka mulai berkata dengan suara terputus-putus,
“Hwe-liong...pang... sss... sudah ma... masuk Bun-siau. Se... semua kawan... te... tewas.”
Berita itu datangnya bagaikan halilintar di siang hari bolong. Kaum pendekar segera gempar membicarakan kejadian itu. Sementara itu Rahib Hong-tay telah memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk membawa orang-orang yang luka-luka itu ke dalam kuil untuk mendapatkan perawatan seperlunya.
Thian-goan Hweshio lah yang paling dulu menanggapi berita gawat itu. Serunya sambil menggebrak meja, “Itulah contohnya kalau kita bertindak ragu-ragu dalam menghadapi kawanan iblis tak berperikemanusiaan itu! Sementara kita berunding harus begini atau harus begitu, mereka terus maju dan pihak kita pun kehilangan beberapa orang!”
Lalu tokoh Go-bi-pay itu menoleh ke arah rombongan Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay secara bergantian, sambil berkata, “Saudara Kong-sun dan saudara Cia, apakah kalian masih akan tetap berkukuh pada pendapat kalian setelah melihat bahwa murid-murid kalian sendiri telah menjadi korban kekejaman orang-orang Hwe-liong-pang?”
Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay adalah perguruan-perguruan yang tadinya bersimpati kepada Hwe-liong-pang. Namun setelah kini mereka melihat bukti yang terpampang di depan mata, maka pendirian mereka pun mulai goyah. Jika pihak Jing-sia-pay masih mengambil sikap hati-hati, maka pihak Cong-lam-pay malahan langsung berubah arah dalam mengambil sikap. Terdengarlah Ketua Cong-lam-pay berkata dengan geram,
“Selama ini hubungan antara Hwe-liong-pang dengan Cong-lam-pay boleh dikata tidak saling mengganggu, bahkan kami pernah bahu membahu dalam memberantas kawanan bandit yang merajalela di sekitar pegunungan Cong-lam-san. Tapi tak terduga kalau hari ini Hwe-liong-pang tidak mengingat persahabatan dan telah bertindak demikian keji kepada anak murid kami. Aku Cia-hok-tong, sebagai Ketua Cong-lam-pay angkatan ke tiga belas memutuskan untuk berubah haluan, dan menghadapi Hwe-liong-pang sebagai musuh utama!”
“Bagus!” sambut ketua Hoa-san-pay Kiau Bun-han dengan penuh semangat. “Saudara Cia, itulah sikap seorang laki-laki sejati yang tidak ragu-ragu mengakui kekeliruan sendiri dan mengambil keputusan penting. Sikapmu ini sangat kupuji!”
Sebaliknya Kongsun Tiau malah bertanya kepada Cia Hok-tong dengan nada agak menegur, “Saudara Cia, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan sebaik-baiknya?”
Cia Hok-tong menyahut, “Sekarang apa yang perlu dipertimbangkan lagi? Pihak Hwe-liong-pang ternyata sudah lebih dulu merusakkan hubungan baik yang selama ini ada di antara kami. Apakah Cong-lam-pay kami harus mengemis-emis kepada mereka untuk meminta perdamaian?”
Sementara itu Wi-hong dan Wi-lian kini benar-benar telah merasakan jalan buntu. Mereka menjalankan pesan kakak mereka untuk berusaha mengubah pandangan orang banyak kepada Hwe-liong-pang, namun perkembangan yang mereka hadapi ternyata telah membingungkan mereka. Kakak-beradik itu saling bertukar pandangan, lalu terdengar Wi-hong berkata lirih kepada adiknya,
“Aku sampai sekarang masih tetap yakin bahwa A-siang tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya. Begitu pula dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Mereka memang bekas anak-anak berandalan yang bengal dan keras kepala, tapi aku merasa pasti bahwa mereka tidak akan sudi menjilat ludahnya sendiri. Aku heran kenapa sekarang bisa muncul peristiwa-peristiwa seperti ini?”
“Akupun merasa penasaran,” sahut Wi-lian sambil mengepal tinjunya. “Aku tidak percaya bahwa A-siang akan menjerumuskan kita berdua ke dalam keadaan serba salah semacam ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik semuanya ini. Tetapi akupun tidak punya bukti yang cukup kuat untuk merubah pendapat umum yang sudah terbentuk ini.”
“Kota Bun-siau tidak jauh dari sini, bagaimana kalau malam nanti kita coba menyelidiki ke kota itu untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?”
“Aku setuju,” sahut Wi-lian tanpa pikir panjang lagi.
Dalam pada itu, pertemuan para ksatria itu kini sudah diliputi suasana permusuhan luar biasa kepada Hwe-liong-pang. Orang-orang yang tadinya masih ragu-ragu, kini hampir semuanya telah tertarik masuk ke dalam golongan yang anti Hwe-liong-pang itu. Golongan yang masih bersimpati kepada Hwe-liong-pang sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, suara mereka pun sudah tenggelam tak terdengar lagi. Bahkan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, dua perguruan besar yang paling disegani di dunia persilatan pun sudah memperlihatkan kecondongan untuk melawan Hwe-liong-pang. Hal itu sungguh merisaukan hati kakak beradik she Tong itu.
Kota Bun-siau hanya berjarak kira-kira seratus li dari Siong- san, itu berarti gerakan orang-orang Hwe-liong-pang sudah berada di ambang pintu. Maka pertemuan pun membicarakan siasat untuk membendung serangan Hwe-liong-pang. Tentang hal ini, semua perguruan telah sepakat untuk tidak mengorbankan lagi murid-murid mereka yang masih berjaga-jaga di tempat-tempat yang jauh dari Siong-san.
Mereka semua akan ditarik mundur ke Siong-san dan semua kekuatan pun dipusatkan di situ. Kurir-kurir berkuda segera disebar untuk memanggil murid-murid dari berbagai perguruan itu dari tempat penjagaannya masing-masing. Menjelang sore, semuanya sudah berkumpul.
Beberapa murid Siau-lim-pay yang bertugas mengintai di kota Bun-siau telah melaporkan, bahwa setelah berada di Bun-siau ternyata pihak Hwe-liong-pang pun sedang menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kaum pendekar golongan putih yang berhimpun di Siong-san itu.
* * * * * * *
MALAM turun dengan perlahan-lahan, dan bersamaan dengan itu suasana tegang di gunung Siong-san pun meningkat. Di segala sudut jalan yang menuju ke arah kuil Siau-lim-si telah dijaga ketat. Di mana-mana nampak bayangan dari orang-orang yang berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Penjagaan seketat itu karena adanya kekuatiran bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan serangan tidak secara terbuka, melainkan secara licik, dengan demikian tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak terjaga.
Kaum persilatan yang tidak ikut dalam pertemuan di halaman kuil Siau-lim, yang hanya berkumpul di kaki bukit atau di kota Teng-hong hanya untuk menonton keramaian, kini sudah bubar sejak sore tadi. Mereka sudah mendengar tentang gerakan orang-orang Hwe-liong-pang, dan demi keselamatan diri sendiri maka mereka memilih untuk tidak campur tangan dalam bentrokan itu.
Tetapi ada juga beberapa orang yang merasa ilmu silatnya cukup tangguh dan menganggap bahwa inilah kesempatan untuk mencari nama, maka mereka ini tidak bubar melainkan menggabungkan diri dengan kaum pendekar di Siong-san. Di dalam barak kaum pendekar, khusus untuk yang digunakan oleh rombongan Tiong-gi Piau-hang, Tong Wi-hong dan adiknya sedang mempersiapkan diri untuk diam-diam meninggalkan Siong-san dan menyelidiki ke kota Bun-siau pada malam itu juga.
Mereka memakai pakaian ringkas berwarna hitam, Tong Wi-hong telah menyandang pedangnya, sedangkan adiknya tidak bersenjata seperti biasanya. Sengaja mereka hanya akan berangkat berdua dan tidak mengajak yang lain-lainnya. Sebab orang-orang yang kepandaiannya tidak begitu tinggi itu akan dapat merepotkan saja dan malahan dapat menggagalkan penyelidikan.
Dengan langkah yang hati-hati sekali, Wi-hong dan adiknya mulai menuruni bukit Siong-san yang telah dikerudungi kegelapan itu. Tapi penjagaan di sekitar kuil itu agaknya memang benar-benar ketat sebab baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tahu-tahu dari balik sebuah pohon siong telah terdengar bentakan keras,
“Berhenti! Siapakah kalian?!”
Dan sebelum Tong Wi-hong atau Wi-lian menjawab sepatah katapun, tahu-tahu diri mereka telah dikepung oleh tujuh orang yang memegang senjata yang berbeda-beda, toya, pedang, golok dan juga mengenakan seragam perguruan yang berbeda-beda pula. Wajah mereka tidak dapat dikenali karena gelapnya malam.
Agar tidak terjadi salah paham, Tong Wi-hong berbicara terus terang, “Aku Tong Wi-hong, Cong-piau-thau dari Tiong-gi Piau-hang. Dan ini adalah adikku, Tong Wi-lian, murid Siau-lim-pay.”
Pemimpin dari kelompok yang menghadang mereka itu ternyata adalah seorang rahib gundul yang bertubuh tegap kekar dan berusia belum mencapai tigapuluh tahun, tangannya memegang jenis senjata yang disebut Kiu-hoan kun (Toya Sembilan Gelang). Ketika rahib muda ini mendengar nama Wi-lian disebutkan, maka ia segera menegaskan, “Apakah Wi-lian Su-moay?”
Tong Wi-lian pun menjadi lega setelah mendengar suara yang dikenalnya itu. Itulah suara kakak seperguruannya, Rahib Bu-sian, seorang pendeta muda yang ramah, berkepandaian tinggi dan penuh pengabdian kepada tegaknya keadilan dan kemanusiaan. Maka Wi-lian pun menyahut, “Benar, aku Wi-lian, apakah di situ Bu-sian Suheng?”
Tanya Rahib Bu-sian kemudian, “Su-moay dalam keadaan segenting ini, kenapa kau malahan meninggalkan gunung? Kau hendak pergi ke mana?”
Tanpa tedeng aling-aling lagi gadis itu menyahut, “Aku dan kakakku ini hendak menuju ke kota Bun-siu untuk menyelidki sendiri kebenaran berita tentang Hwe-liong-pang itu. Aku masih kurang yakin benarkah yang telah melukai orang-orang Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang pernah kukenal?”
“Jika ternyata benar, lalu bagaimana?” seseorang yang memegang pedang dan berdiri di sebelah Rahib Bu-sian segera menyahut dengan sinis.
Meskipun Wi-lian tidak dapat melihat wajahnya tetapi ia dapat mengenali suara itu sebagai suara dari Gin-hoa-kiam Auyang Seng. Agaknya pendekar muda dari Hoa-san-pay yang sedang berusaha menanjakkan namanya itu merasa tersinggung sebab jika Wi-lian sampai menyelidiki sendiri gerak gerik Hwe-liong-pang, itu sama saja dengan meragukan laporan yang pernah disampaikan oleh Auyang Seng kepada para pendekar.
Wi-lian pun dapat menangkap nada sinis yang terkandung dalam kata-kata Auyang Seng itu. Tetapi dengan menahan diri Wi-lian telah menjawab tegas, “Jika benar tentu saja aku berpihak kepada kaum pendekar. Aku tahu membedakan baik dan jahat.”
Sementara itu Rahib Bu-sian telah berkata pula, “Tong Cong-piau-thau dan Wi-lian Sumoay menurut laporan orang-orang kita saat ini kota Bun-sian dipenuhi oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang jelas memusuhi kita. Tindakan kalian untuk menyelidiki ke Bun-siau itu jelas merupakan tindakan yang percuma, dan juga sangat membahayakan keselamatan kalian sendiri....”
Selanjutnya;