Perserikatan Naga Api Jilid 26Karya : Stevanus S.P |
Sedangkan Tong Hu-jin juga hampir saja bangkit untuk mencegah anak gadisnya itu agar jangan berbicara kurang sopan. Namun Tong Hu-jin kalah cepat dengan kata-kata yang sudah meluncur dari bibir Wi-lian dengan tajamnya,
“kalian, yang menamakan diri sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan, kalian bersikap terlalu angkuh. Kalian hanya menganggap bahwa kata-kata yang berasal dari kalian saja yang patut dipertimbangkan, dengan mengandalkan ketenaran nama kalian. Sedangkan kalian menganggap enteng pendapat orang lain! Jika kalian bicara putih, orang lain harus ikut jadi putih pula, jika kalian bicara hitam, orang lainpun harus ikut jadi hitam pula. Huh, pendekar-pendekar macam apa kalian ini?” Ucapan yang tajam dan berani itu ternyata sanggup membuat tempat berkumpulnya para pendekar itu seketika menjadi sunyi bagaikan kuburan. Namun kesunyian itu hanya sesaat, sebab beberapa detik kemudian gemuruhlah tepuk tangan para pendekar angkatan muda yang mendukung ucapan Wi-lian itu. Sesungguhnya ucapan tajam Wi-lian tadi seolah-olah mewakili cetusan suara hati para pendekar muda itu pula, yang selama ini tunduk tanpa berani membantah kepada keputusan guru-guru atau angkatan tua mereka, meskipun kadang-kadang keputusan itu tidak sesuai dengan hati nurani mereka. Namun tepuk tangan riuh itu sirap begitu guru atau angkatan tua mereka melotot ke arah para pendekar muda itu. Buru-buru para pendekar muda itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sementara itu Kiau Bun-han telah bangkit dengan muka yang merah padam dan membentak Wi-lian, “Siapa kau? Kenapa kau berani berbicara begitu tidak tahu aturan di hadapan para Lo-cian-pwe ini?” Sifat Wi-lian memang keras kepala, sangat mirip dengan sifat kakak tertuanya yang sekarang menjadi Hwe-liong-pang-cu itu. Pelototan mata dan bentakan Ketua Hoa-san-pay itu tidak membuatnya gentar, tapi malah membuat sikapnya kian keras. Jawabannya dengan sopan, “Kiau Tayhiap, kau adalah seorang pendekar yang maha besar dan maha bijaksana, tentunya kau akan selalu mempertimbangkan masak-masak setiap tindakan sebelum melaksanakannya bukan?” Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, Kiau Bun-han tidak mau terjirat oleh kata-katanya sendiri, maka dengan licin ia menyahut, “Nona kecil, di dunia ini ada banyak soal yang tidak begitu mendesak sehingga kita punya banyak waktu untuk memikirkan penyelesaian yang sebaik-baiknya, bahkan mempertimbangkan dan memikirkan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya. Namun ada pula persoalan-persoalan yang begitu mendesaknya, sehingga kita dituntut untuk bertindak secara cepat tanpa ragu-ragu, tanpa sempat memperhitungkan hal-hal yang tetek-bengek lagi. Kau paham?” Dan disambung pula oleh Thian-goan Hweshio, “Ucapan Kiau Tay-hiap sangat tepat. Kita di sini bertele-tele memperdebatkan apakah Hwe-liong-pang itu kawan atau lawan, bahkan berdebat tiga hari tiga malampun barangkali tidak selesai. Tapi selama kita berdebat itu, suatu kenyataan di depan mata telah terbukti, bahwa Hwe-liong-pang telah mulai menyerang kita dan bahkan telah menewaskan orang-orang yang kita tempatkan di Sin-yang. Urusan Hwe-liong-pang itu baik atau jahat adalah urusan belakangan, yang penting sekarang harus segera diambil tindakan sebelum musuh lebih dulu menggorok leher kita!” Karena tidak mampu menjawab lagi, Wi-lian menjadi jengkel. Dengan suara hampir terisak ia berkata, “Tidak! Aku tidak percaya bahwa A.... eh, Hwe-liong-pang-cu menjilat kembali ludah dan menyerang dengan cara serendah itu.” Karena luapan perasaannya, hampir saja Wi-lian menyebutkan nama “A-siang” di hadapan umum. Untung saja ia belum terlanjur bicara. Yang menambah kejengkelan Wi-lian adalah ketika melihat perguruan-perguruan yang tadinya begitu bersimpati kepada Hwe-liong-pang sekarang bungkam semuanya setelah mendenar berita dari kota Sin-yang itu. Agaknya golongan ini merasa kurang punya alasan dan bukti-bukti yang kuat, maka memilih tutup mulut saja daripada sembarangan berbicara dan mendapatkan malu. Dalam pada itu, tiba-tiba seorang rahib muda yang berpakaian seperti murid-murid Siau-lim-si, telah memasuki lapangan pertemuan itu dengan sikap tergesa-gesa dan muka yang tegang. Ia langsung mendekati ke arah Rahib Hong-tay, memberi hormat dan memberi laporan, “Suhu, beberapa orang rekan kami yang bertugas di kota Bun-siau telah datang ke sini dan mohon menghadap untuk melaporkan sesuatu.” Sikap rahib muda yang tidak begitu tenang itu dengan cepat telah menarik perhatian semua orang. “Suruh mereka datang!” perintah Rahib Hong-tay. Rahib muda itupun mengiakan sambil memberi hormat, lalu bergegas-gegas keluar lapangan kembali. Tidak lama kemudian, rahib muda itu muncul kembali, kali ini dengan diiringi oleh tiga orang lelaki muda. Keadaan tiga orang pemuda itu benar-benar mengibakan, sekujur tubuh mereka penuh dengan luka-luka berdarah yang tidak sempat dirawat dengan baik, sedang muka mereka pun pucat. Bahkan salah seorang dari tiga pemuda itu bermuka hitam kebiru-biruan, menandakan bahwa dia telah keracunan cukup hebat! Begitu melihat rombongan pemuda-pemuda yang luka-luka dan dipapah oleh para rahib itu, dari rombongan Jing-sia-pay terdengar teriakan terkejut oleh Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau, “Li Sutit dan Ciong Sutit!” Serempak dengan itu, dari pihak Cong-lam-pay juga terdengar seruan, “Han Suheng (abang seperguruan Han)!” Ketiga orang pemuda yang luka luka dan keracunan itu memang terdiri dari dua orang Jing-sia-pay dan seorang murid Cong-lam-pay. Mereka nampak begitu payah keadaannya, sehingga jika tidak dipapah oleh rahib-rahib Siau-lim-pay mereka susah untuk berdiri sendiri. Begitu telah berada di tengah tengah sidang, salah seorang dari mereka mulai berkata dengan suara terputus-putus, “Hwe-liong...pang... sss... sudah ma... masuk Bun-siau. Se... semua kawan... te... tewas.” Berita itu datangnya bagaikan halilintar di siang hari bolong. Kaum pendekar segera gempar membicarakan kejadian itu. Sementara itu Rahib Hong-tay telah memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk membawa orang-orang yang luka-luka itu ke dalam kuil untuk mendapatkan perawatan seperlunya. Thian-goan Hweshio lah yang paling dulu menanggapi berita gawat itu. Serunya sambil menggebrak meja, “Itulah contohnya kalau kita bertindak ragu-ragu dalam menghadapi kawanan iblis tak berperikemanusiaan itu! Sementara kita berunding harus begini atau harus begitu, mereka terus maju dan pihak kita pun kehilangan beberapa orang!” Lalu tokoh Go-bi-pay itu menoleh ke arah rombongan Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay secara bergantian, sambil berkata, “Saudara Kong-sun dan saudara Cia, apakah kalian masih akan tetap berkukuh pada pendapat kalian setelah melihat bahwa murid-murid kalian sendiri telah menjadi korban kekejaman orang-orang Hwe-liong-pang?” Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay adalah perguruan-perguruan yang tadinya bersimpati kepada Hwe-liong-pang. Namun setelah kini mereka melihat bukti yang terpampang di depan mata, maka pendirian mereka pun mulai goyah. Jika pihak Jing-sia-pay masih mengambil sikap hati-hati, maka pihak Cong-lam-pay malahan langsung berubah arah dalam mengambil sikap. Terdengarlah Ketua Cong-lam-pay berkata dengan geram, “Selama ini hubungan antara Hwe-liong-pang dengan Cong-lam-pay boleh dikata tidak saling mengganggu, bahkan kami pernah bahu membahu dalam memberantas kawanan bandit yang merajalela di sekitar pegunungan Cong-lam-san. Tapi tak terduga kalau hari ini Hwe-liong-pang tidak mengingat persahabatan dan telah bertindak demikian keji kepada anak murid kami. Aku Cia-hok-tong, sebagai Ketua Cong-lam-pay angkatan ke tiga belas memutuskan untuk berubah haluan, dan menghadapi Hwe-liong-pang sebagai musuh utama!” “Bagus!” sambut ketua Hoa-san-pay Kiau Bun-han dengan penuh semangat. “Saudara Cia, itulah sikap seorang laki-laki sejati yang tidak ragu-ragu mengakui kekeliruan sendiri dan mengambil keputusan penting. Sikapmu ini sangat kupuji!” Sebaliknya Kongsun Tiau malah bertanya kepada Cia Hok-tong dengan nada agak menegur, “Saudara Cia, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan sebaik-baiknya?” Cia Hok-tong menyahut, “Sekarang apa yang perlu dipertimbangkan lagi? Pihak Hwe-liong-pang ternyata sudah lebih dulu merusakkan hubungan baik yang selama ini ada di antara kami. Apakah Cong-lam-pay kami harus mengemis-emis kepada mereka untuk meminta perdamaian?” Sementara itu Wi-hong dan Wi-lian kini benar-benar telah merasakan jalan buntu. Mereka menjalankan pesan kakak mereka untuk berusaha mengubah pandangan orang banyak kepada Hwe-liong-pang, namun perkembangan yang mereka hadapi ternyata telah membingungkan mereka. Kakak-beradik itu saling bertukar pandangan, lalu terdengar Wi-hong berkata lirih kepada adiknya, “Aku sampai sekarang masih tetap yakin bahwa A-siang tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya. Begitu pula dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Mereka memang bekas anak-anak berandalan yang bengal dan keras kepala, tapi aku merasa pasti bahwa mereka tidak akan sudi menjilat ludahnya sendiri. Aku heran kenapa sekarang bisa muncul peristiwa-peristiwa seperti ini?” “Akupun merasa penasaran,” sahut Wi-lian sambil mengepal tinjunya. “Aku tidak percaya bahwa A-siang akan menjerumuskan kita berdua ke dalam keadaan serba salah semacam ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik semuanya ini. Tetapi akupun tidak punya bukti yang cukup kuat untuk merubah pendapat umum yang sudah terbentuk ini.” “Kota Bun-siau tidak jauh dari sini, bagaimana kalau malam nanti kita coba menyelidiki ke kota itu untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?” “Aku setuju,” sahut Wi-lian tanpa pikir panjang lagi. Dalam pada itu, pertemuan para ksatria itu kini sudah diliputi suasana permusuhan luar biasa kepada Hwe-liong-pang. Orang-orang yang tadinya masih ragu-ragu, kini hampir semuanya telah tertarik masuk ke dalam golongan yang anti Hwe-liong-pang itu. Golongan yang masih bersimpati kepada Hwe-liong-pang sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, suara mereka pun sudah tenggelam tak terdengar lagi. Bahkan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, dua perguruan besar yang paling disegani di dunia persilatan pun sudah memperlihatkan kecondongan untuk melawan Hwe-liong-pang. Hal itu sungguh merisaukan hati kakak beradik she Tong itu. Kota Bun-siau hanya berjarak kira-kira seratus li dari Siong- san, itu berarti gerakan orang-orang Hwe-liong-pang sudah berada di ambang pintu. Maka pertemuan pun membicarakan siasat untuk membendung serangan Hwe-liong-pang. Tentang hal ini, semua perguruan telah sepakat untuk tidak mengorbankan lagi murid-murid mereka yang masih berjaga-jaga di tempat-tempat yang jauh dari Siong-san. Mereka semua akan ditarik mundur ke Siong-san dan semua kekuatan pun dipusatkan di situ. Kurir-kurir berkuda segera disebar untuk memanggil murid-murid dari berbagai perguruan itu dari tempat penjagaannya masing-masing. Menjelang sore, semuanya sudah berkumpul. Beberapa murid Siau-lim-pay yang bertugas mengintai di kota Bun-siau telah melaporkan, bahwa setelah berada di Bun-siau ternyata pihak Hwe-liong-pang pun sedang menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kaum pendekar golongan putih yang berhimpun di Siong-san itu. * * * * * * *
MALAM turun dengan perlahan-lahan, dan bersamaan dengan itu suasana tegang di gunung Siong-san pun meningkat. Di segala sudut jalan yang menuju ke arah kuil Siau-lim-si telah dijaga ketat. Di mana-mana nampak bayangan dari orang-orang yang berjaga-jaga dengan senjata terhunus. Penjagaan seketat itu karena adanya kekuatiran bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan serangan tidak secara terbuka, melainkan secara licik, dengan demikian tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak terjaga. Kaum persilatan yang tidak ikut dalam pertemuan di halaman kuil Siau-lim, yang hanya berkumpul di kaki bukit atau di kota Teng-hong hanya untuk menonton keramaian, kini sudah bubar sejak sore tadi. Mereka sudah mendengar tentang gerakan orang-orang Hwe-liong-pang, dan demi keselamatan diri sendiri maka mereka memilih untuk tidak campur tangan dalam bentrokan itu. Tetapi ada juga beberapa orang yang merasa ilmu silatnya cukup tangguh dan menganggap bahwa inilah kesempatan untuk mencari nama, maka mereka ini tidak bubar melainkan menggabungkan diri dengan kaum pendekar di Siong-san. Di dalam barak kaum pendekar, khusus untuk yang digunakan oleh rombongan Tiong-gi Piau-hang, Tong Wi-hong dan adiknya sedang mempersiapkan diri untuk diam-diam meninggalkan Siong-san dan menyelidiki ke kota Bun-siau pada malam itu juga. Mereka memakai pakaian ringkas berwarna hitam, Tong Wi-hong telah menyandang pedangnya, sedangkan adiknya tidak bersenjata seperti biasanya. Sengaja mereka hanya akan berangkat berdua dan tidak mengajak yang lain-lainnya. Sebab orang-orang yang kepandaiannya tidak begitu tinggi itu akan dapat merepotkan saja dan malahan dapat menggagalkan penyelidikan. Dengan langkah yang hati-hati sekali, Wi-hong dan adiknya mulai menuruni bukit Siong-san yang telah dikerudungi kegelapan itu. Tapi penjagaan di sekitar kuil itu agaknya memang benar-benar ketat sebab baru saja mereka berjalan beberapa langkah, tahu-tahu dari balik sebuah pohon siong telah terdengar bentakan keras, “Berhenti! Siapakah kalian?!” Dan sebelum Tong Wi-hong atau Wi-lian menjawab sepatah katapun, tahu-tahu diri mereka telah dikepung oleh tujuh orang yang memegang senjata yang berbeda-beda, toya, pedang, golok dan juga mengenakan seragam perguruan yang berbeda-beda pula. Wajah mereka tidak dapat dikenali karena gelapnya malam. Agar tidak terjadi salah paham, Tong Wi-hong berbicara terus terang, “Aku Tong Wi-hong, Cong-piau-thau dari Tiong-gi Piau-hang. Dan ini adalah adikku, Tong Wi-lian, murid Siau-lim-pay.” Pemimpin dari kelompok yang menghadang mereka itu ternyata adalah seorang rahib gundul yang bertubuh tegap kekar dan berusia belum mencapai tigapuluh tahun, tangannya memegang jenis senjata yang disebut Kiu-hoan kun (Toya Sembilan Gelang). Ketika rahib muda ini mendengar nama Wi-lian disebutkan, maka ia segera menegaskan, “Apakah Wi-lian Su-moay?” Tong Wi-lian pun menjadi lega setelah mendengar suara yang dikenalnya itu. Itulah suara kakak seperguruannya, Rahib Bu-sian, seorang pendeta muda yang ramah, berkepandaian tinggi dan penuh pengabdian kepada tegaknya keadilan dan kemanusiaan. Maka Wi-lian pun menyahut, “Benar, aku Wi-lian, apakah di situ Bu-sian Suheng?” Tanya Rahib Bu-sian kemudian, “Su-moay dalam keadaan segenting ini, kenapa kau malahan meninggalkan gunung? Kau hendak pergi ke mana?” Tanpa tedeng aling-aling lagi gadis itu menyahut, “Aku dan kakakku ini hendak menuju ke kota Bun-siu untuk menyelidki sendiri kebenaran berita tentang Hwe-liong-pang itu. Aku masih kurang yakin benarkah yang telah melukai orang-orang Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay itu adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang pernah kukenal?” “Jika ternyata benar, lalu bagaimana?” seseorang yang memegang pedang dan berdiri di sebelah Rahib Bu-sian segera menyahut dengan sinis. Meskipun Wi-lian tidak dapat melihat wajahnya tetapi ia dapat mengenali suara itu sebagai suara dari Gin-hoa-kiam Auyang Seng. Agaknya pendekar muda dari Hoa-san-pay yang sedang berusaha menanjakkan namanya itu merasa tersinggung sebab jika Wi-lian sampai menyelidiki sendiri gerak gerik Hwe-liong-pang, itu sama saja dengan meragukan laporan yang pernah disampaikan oleh Auyang Seng kepada para pendekar. Wi-lian pun dapat menangkap nada sinis yang terkandung dalam kata-kata Auyang Seng itu. Tetapi dengan menahan diri Wi-lian telah menjawab tegas, “Jika benar tentu saja aku berpihak kepada kaum pendekar. Aku tahu membedakan baik dan jahat.” Sementara itu Rahib Bu-sian telah berkata pula, “Tong Cong-piau-thau dan Wi-lian Sumoay menurut laporan orang-orang kita saat ini kota Bun-sian dipenuhi oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang jelas memusuhi kita. Tindakan kalian untuk menyelidiki ke Bun-siau itu jelas merupakan tindakan yang percuma, dan juga sangat membahayakan keselamatan kalian sendiri....” |
Selanjutnya;
|