Perserikatan Naga Api Jilid 25Karya : Stevanus S.P |
Dalam keadaan yang amat pahit itu, Te-liong Hiang-cu memutuskan untuk melarikan diri saja. Ia tidak peduli lagi akan mati hidup dari anggota komplotannya yang masih terkurung di dalam lembah itu, yang penting dirinya sendiri selamat. Memang begitulah sifatnya sejak ia masih menjadi seorang penjudi kecil di An-yang-shia.
Karena merasa sangat mustahil untuk mengalahkan Tong Wi-siang dengan ilmu-ilmu biasa, maka akhirnya Tan Goan-ciau bertekad akan menggunakan sejenis ilmu hitam yang bernama Thian-mopay-goat-sin-kang (Tenaga Sakti Hantu langit Menyembah Rembulan). Karena itu tiba-tiba saja Tan Goan-ciau melompat mundur dan melepaskan ikat kepalanya. Sehingga rambutnya terurai menutupi mukanya, sinar matanya pun semakin hijau dan mantera-mantera yang digumamkannya semakin keras. Ilmu ini memang sangat dahsyat, tetapi penggunaannya dapat melukai diri sendiri, sehingga umumnya para penganutnya tidak akan menggunakan ilmu ini jika tidak dalam keadaan yang terdesak. Perubahan sikap itu mengejutkan Tong Wi-siang. Wi-siang tahu juga akan ilmu itu, sebab ilmu itu tercantum dalam kitab kuno peninggalan Bu-san-jit-kui. Dia tahu pula bahwa orang yang mengetrapkan ilmu itu akan berlipat ganda kekuatannya, tetapi dirinya sendiripun akan luka dalam. Dalam kejutnya, Wi-siang melompat mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi ilmu yang dahsyat itu. Namun Tan Goan-ciau sama sekali tidak membiarkan Tong Wi-siang sempat mempersiapkan dirinya. Cepat cepat ia menggigit lidahnya sendiri sehingga berdarah, lalu disemburkannya segumpal darah mengenai tubuh Tong Wi-siang. Itulah satu-satunya cara yang diajarkan oleh Kitab Bu-san-jit-kui untuk mencegah agar Wi-siang tidak dapat mempergunakan ilmu yang sama. Segala sesuatunya terjadi dalam waktu yang amat singkat. Semburan darah Tan Goan-ciau disusul dengan sergapan kilatnya yang menghantam dada Tong Wi-siang. Tanpa sempat menghindari lagi, ketua Hwe-liong-pang itu terpental roboh sambil memuntahkan darah segar, topeng yang dipakainya pun berlumuran darah. “A-siang!” Hampir bersamaan terdengarlah seruan kaget dari Thian-liong Hiang-cu Siangkoan Hong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin. Siangkoan Hong cepat memburu ke depan untuk menyanggah tubuh Wi-siang, sedangkan Lim Hong-pin cepat melompat menghadang Tan Goan-ciau agar jangan menyerang lagi ke arah Wi-siang. Namun Tan Goan-ciau sendiri agaknya memang tidak berniat melanjutkan serangannya, dia hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja. Maka begitu melihat Wi-siang roboh, ia langsung melompat pergi dengan kecepatan kilat, sekejap saya bayangannya sudah tidak terlihat lagi. Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak mengejarnya, sebab mereka lebih mementingkan keadaan Sang Ketua yang nampak agak parah itu. Dengan agak tertatih Wi-siang berhasil juga untuk bangkit berdiri. Setelah menarik napas beberapa kali, ia berkata dengan suara yang lemah, “Goan-ciau memang gila, aku tidak menduga ia akan berani menggunakan ilmu itu. A-hong dan A-pin berdua, keadaanku tidak terlalu menguatirkan, cepatlah kalian terjun ke gelanggang untuk mempercepat penyelesaian agar korban di pihak kita tidak terlalu banyak.” Meskipun masih mencemaskan keadaan tubuh Tong Wi-siang yang masih lemah itu, namun Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin langsung menjalankan perintah Ketua dan sahabatnya itu tanpa membantah. Dengan meratnya Te-liong Hiang-cu serta terjunnya Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu yang berkepandaian seperti iblis itu, maka keseimbangan pertempuran di lembah Jian-hoa-kok itu dengan cepatnya terasa makin berat sebelah. Para pengikut Te-liong Hiang-cu menjadi patah semangat karena ditinggalkan begitu saja oleh pemimpinnya, apalagi setelah mereka melihat bagaimana dengan mudahnya Te-liong dan lainnya tidak berdaya apa-apa. Kemudian Sebun Say dan Tang Kiau-po yang menerima nasib sial untuk pertama kalinya, sebab mereka dengan mudahnya diringkus oleh Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu. Seruan untuk menyerah segera dikumandangkan kepada para pengikut Te-liong Hiang-cu yang masih melawan. Seruan itu ditaati oleh sebagian dari mereka, namun yang sebagian lainnya tetap berkepala batu untuk melawan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali ditumpas habis. Di antara orang-orang yang tertumpas habis itu terdapat pula Lamkiong Hok, yang tulang-tulang dadanya rontok oleh tendangan Oh Yun-kim, juga Song Kim yang mati di bawah senjata seorang gadis yang pernah dicintainya. Meskipun pemberontakan dalam Hwe-liong-pang itu akhirnya berhasil dipadamkan, namun korban di pihak pengikut Hwe-liong-pang-cu tidak sedikit pula. Anggota-anggota dari berbagai Tong yang tewas, ada seratus orang lebih, sedang yang luka-luka jauh lebih banyak lagi. Di antara pengikut-pengikut yang tewas itu terdapat pula Hu-tong-cu (wakil pemimpin kelompok) dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong. Para pembangkang yang menyerah segera diikat kaki tangannya dan dikumpulkan di salah satu sudut lembah untuk menunggu keputusan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada mereka. Sedang orang-orang yang tewas, baik pengikut Hwe-liong-pang-cu maupun pengikut-pengikut Te-liong Hiang-cu, segera dimakamkan di lembah itu juga. Kini di antara bunga-bunga yang bertaburan di lembah itu, bertaburan pula gundukan-gundukan tanah merah yang berisi mayat-mayat anggota-anggota Hwe-liong-pang. Meskipun isi dadanya masih terasa agak nyeri, Tong Wi-siang menguatkan diri untuk duduk di atas batu di tengah-tengah panggung. Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu serta dua orang Su-cia mengapit di kiri dan kanan Sang Ketua dengan sikap mengawal. Sementara Tong Wi-hong dan kawan-kawannya pun telah berada kembali di atas panggung. Wajah mereka rata-rata menampilkan kesedihan, karena penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu ternyata memakan korban jiwa begitu banyak, namun mereka pun merasa terhibur bahwa di kemudian hari para pengacau yang bernaung dibawah bendera Hwe-liong-pang itu tidak akan meresahkan dunia persilatan lagi. Tong Wi-siang pun nampak sedih. Meskipun wajahnya tidak terlihat, sebab tertutup topeng, namun perasaan sedihnya itu dapat dilihat dari tarikan napas panjangnya yang berulang-ulang. Matanya yang redup menatap kepada Wi-hong, Wi-lian dan kawan-kawannya, katanya dengan suara agak parau, “Aku tidak berbohong bukan? Aku benar-benar melakukan penertiban itu, meskipun hal itu nyaris saja membuat Hwe-liong-pang hancur berkeping-keping oleh perang saudara.” “Tetapi itu adalah tindakan yang berani dan terpuji,” sahut Wi-hong. “Sebuah luka yang membusuk harus segera diobati dan diberantas, betapapun rasa sakitnya, agar luka itu tidak menjalar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya menjadi busuk.” “Ucapan yang tepat,” sambung Thian-liong Hiang-cu dari balik topengnya. “Memang sangat menyedihkan, bahwa hampir sepertiga dari kekuatan Hwe-liong-pang kita telah hancur begitu saja karena bentrokan dalam tubuh sendiri. Namun untuk waktu-waktu selanjutnya Hwe-liong-pang kita akan berjalan lurus dalam garis perjuangan tanpa menyeleweng.” Hwe-liong-pang-cu Tong Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Kata-kata kalian sangat membesarkan hatiku. Sekarang aku akan mengumumkan suatu keputusan. Tan Goan-ciau kunyatakan kupecat dari Hwe-liong-pang, selanjutnya jika kalian bertemu dengan dia dimana saja, kalian boleh langsung menumpasnya.” Setelah menarik napas beberapa kali, Wi-siang berkata lagi, “Kita akan tetap punya delapan kelompok yang bekerja di wilayahnya masing-masing. Para Tong-cu (Kepala Kelompok) Hu-tong-cu (wakil Kepala Kelompok) yang telah gugur atau telah dipecat, akan segera diangkat penggantinya. Sedang untuk jabatan Su-cia (Utusan) untuk sementara biarlah diduduki oleh dua orang saja, kelak perlahan-lahan akan kulihat siapa yang pantas untuk mengisi lowongan yang dua lagi.” Sementara itu, penguburan mayat-mayat sudah selesai, dan matahari pun sudah condong ke sebelah barat. Para anggota Hwe-liong-pang segera berbaris tertib dalam kelompoknya masing-masing untuk menantikan perintah lebih lanjut. Ternyata tidak semua anggota dari kelompok Bendera Merah, Coklat, Hijau dan Hitam itu ikut memberontak seperti pemimpin kelompok mereka. Ada sebagian kecil dari anggota kelompok-kelompok itu yang tadi bertempur gigih di pihak Ketua yang sah. Kini merekapun berbaris menurut kelompoknya lagi, dan meskipun jumlah mereka sangat sedikit, namun wajah-wajah mereka menampilkan perasaan puas dan bangga, karena merasa telah menyumbangkan tenaga untuk ikut menegakkan kewibawaan Ketua yang sah. Setelah seluruh anggota berkumpul dalam kelompoknya masing-masing, terdengarlah suara Hwe-liong-pang-cu mengumandang ke seluruh lembah, “Kita merasa puas bahwa kita berhasil menertibkan diri sendiri, membersihkan tubuh kita sendiri dari penyakit yang selama ini menggerogoti dari dalam dan membuat nama kita menjadi busuk di luaran. Peristiwa pahit ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika setiap anggota tetap setia kepada tujuan akhir kita tanpa punya pikiran untuk menyeleweng. Hendaknya peristiwa seperti ini hanya terjadi sekali ini, dan merupakan cambuk bagi kita agar di kemudian hari lebih berhati-hati dalam menerima anggota, jangan sembarangan menerima orang yang tidak diketahui asal-usulnya.” Suasana di lembah hening sejenak, sampai terdengar lagi suara Hwe-liong-pang-cu, “Aku juga berterima kasih kepada mereka yang gigih menegakkan kewibawaan Pang tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, bahkan nama-nama mereka yang gugur membela nama Hwe-liong-pang, akan tetap kita ukirkan dalam hati kita. Marilah bersama kita hadapi hari esok yang cerah, namun tidak berarti perjuangan kita akan mandeg. Hari ini kalian boleh beristirahat, pertemuan ini akan kita lanjutkan besok pagi dengan acara lain, menetapkan kembali garis perjuangan kita dalam menghadapi perkembangan-perkembangan baru.” Begitulah pertemuan hari pertama itu ternyata diwarnai dengan mengalirkan darah dan melayangnya ratusan nyawa. Namun hal itu memang sudah dalam perkiraan semua pihak. Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasa sudah cukup menghadiri dan menyaksikan pertemuan hari itu. Sedangkan pertemuan esok hari tentunya lebih bersifat urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang sendiri yang tidak pantas untuk dicampuri orang luar, maka Wi-hong dan kawan-kawannya lalu memutuskan bahwa besok pagi-pagi akan meninggalkan lembah. Namun ketika Wi-hong mengemukakan hal itu kepada kakaknya yang Ketua Hwe-liong-pang itu, sang kakak minta diberi kesempatan untuk lebih dulu menjamu Wi-hong dan kawan-kawannya dalam suatu perjamuan perpisahan. Maka pada malam harinya berlangsunglah sebuah perjamuan yang berlangsung sangat sederhana tetapi bersuasana akrab, tempatnya ialah di salah satu barak yang memang didirikan di sekitar lembah itu. Yang mengitari meja perjamuan adalah Tong Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merasa tidak perlu lagi mengenakan topeng mereka, juga Hong-goan Hweshio, Ling Thian-ki, para Tong-cu serta Hu-tong-cu yang masih setia kepada Ketua, dan tentu saja Wi-hong sendiri dan rombongannya. Karena Wi-siang, Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak hadir sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang melainkan hadir sebagai pribadi, maka pertemuan itu berjalan akrab dan tidak kaku, lebih menyerupai pesta anak-anak An-yang-shia daripada pesta yang diselenggarakan oleh tokoh seangker Hwe-liong-pang-cu. Saat itu pulalah Cian Ping baru mengetahui bahwa Hwe-liong-pang-cu yang menakutkan itu ternyata adalah bakal kakak iparnya sendiri, begitu pula Ting Bun tidak menduga kalau sahabatnya semasa kanak-kanak itulah yang ternyata bersembunyi di balik kedok Hwe-liong-pang-cu yang menggemparkan itu. Namun dendam kesumat di hati Cian Ping sudah terhapus bersih, dia sudah melihat sendiri bagaimana Hwe-liong-pang ternyata terbagi dua dalam bagian yang baik dan yang jahat, lagipula Cian Ping juga puas karena Song Kim, si pengkhianat, sudah berhasil dibunuhnya dengan tangannya sendiri. Muka Tong Wi-siang masih agak pucat karena luka dalamnya akibat hantaman Te-liong Hiang-cu tadi, namun ia nampak gembira dan berkali-kali mengajak tamu-tamunya untuk meneguk cawan araknya. Katanya kepada Wi-hong dan rombongannya, “Adik-adikku dan saudara-saudara sekalian, kalian sudah melihat sendiri sebuah peristiwa besar di lembah ini, bagaimana kami benar-benar berusaha mencuci diri, meskipun harus kehilangan sebagian dari kekuatan kami. Mulai detik ini, aku berharap bahwa Hwe-liong-pang yang kejam dan sewenang-wenang akan terhapus dari ingatan orang, digantikan dengan Hwe-liong-pang yang bersih, dengan cita-cita luhur kami untuk mendobrak kebobrokan pemerintahan Cong-ceng dan mengusahakan kesejahteraan rakyat banyak.” Kata-kata yang terakhir itu cukup menggetarkan dada Ting Bun, Cian Ping dan dua saudara So yang memang belum pernah mendengarnya, sebab kalimat itu mengandung makna bahwa Hwe-liong-pang akan berusaha merobohkan Kerajaan Beng yang saat itu berkuasa! Jika hal itu yang betul-betul digariskan sebagai cita-cita Hwe-liong-pang. Maka agaknya Tong Wi-siang ingin agar namanya tercatat dalam sejarah sebagai pendiri dinasti baru. Sejajar dengan Tio Khong-in, itu pendiri dinasti Song, atau Li Yan si pendiri dinasti Tong, atau Temuchin si pendiri dinasti Goan dan juga Cu Goan-ciang si pendiri dinasti Beng. Benar-benar suatu cita-cita yang tidak tanggung-tanggung. Sementara itu Tong Wi-siang telah melanjutkan kata-katanya dengan bersemangat, “Adik-adikku, kelak jika kalian menghadiri pertemuan besar kaum kesatria di Siong-san, kuharap kalian menceritakan apa yang kalian lihat di lembah ini. Sampaikanlah pesanku kepada kaum kesatria di Siong-san itu, bahkan Hwe-liong-pang bukan musuh mereka, namun justru kawan mereka yang akan mengajak mereka untuk bergandengan tangan memperjuangkan cita-cita luhur.” Keesokan harinya, ketika baru saja matahari terbit, Wi-hong dan kelima orang kawannya itu berkuda meninggalkan lembah Jian-hoa-kok yang penuh kenangan itu. Kepergian mereka diantarkan sendiri oleh Wi-siang sampai ke luar lembah, juga oleh beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang. * * * * * * *
LEBIH dulu Tong Wi-hong dan kawan-kawannya menuju ke rumah keluarga Tong di An-yang-shia itu untuk mengambil perbekalan yang mereka tinggalkan di sana. Kemudian setelah mengambil bekal dan berpesan kepada para pelayan agar merawat rumah itu dan makam Tong Tian sebaik-baiknya, Tong Wi-hong mengajak rombongannya menuju ke Siong-san di wilayah Ho-lam, untuk menghadiri pertemuan kaum pendekar yang diprakarsai oleh pihak Siau-lim-pay. Seperti diketahui, Tiong-gi Piau-hang menerima pula sepucuk undangan dari Siau-lim-pay. Meskipun Tiong-gi Piau-hang itu pada hakekatnya bukanlah sebuah aliran atau perguruan silat, melainkan hanya sebuah perusahaan di bidang pengawalan, namun kekuatannya yang cukup tangguh itu dianggap dapat ikut berperanan dalam setiap peristiwa dunia persilatan. Dalam Tiong-gi Piau-hang itulah bernaung puluhan orang jagoan tangguh, sehingga pihak penyelenggara pertemuan itu merasa lebih bijaksana untuk merangkul Tiong-gi Piau-hang sebagai sekutu. Yang diundang hadir itu sebenarnya adalah Cian Sin-wi, namun karena Cian Sin-wi telah tewas, maka kehadirannya diwakili oleh Tong Wi-hong yang telah menjadi pemimpin baru Tiong-gi Piau-hang itu. So Hou dan So Pa sebenarnya sudah ditawari oleh Wi-hong untuk pulang kembali ke Bu-sek, namun kedua saudara So itu menyatakan bertekad untuk mengawal Tong Wi-hong sampai ke Siong-san. Menurut pendapat kedua saudara itu, seorang pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang terkenal itu tidak pantas kalau muncul seorang diri tanpa pengawal, harus ada pengawalan supaya nampak kewibawaannya. Mau tak mau Tong Wi-hong tersenyum mendengar alasan yang dikemukakan oleh kedua orangnya itu. Katanya, “Kadang-kadang aku lupa bahwa aku adalah Cong-piau-thau Tiong-gi Piau-hang, sehingga aku masih saja berbuat sesuka hatiku seperti dulu ketika masih bebas.” Karena Siau-lim-si terletak di wilayah Ho-lam, maka perjalanan mereka pun ditujukan ke arah utara. Hari pertama perjalanan mereka sejak meninggalkan An-yang-shia, mereka tiba di kota Kiu-kiang yang terletak di tepian sungai besar Yang-ce-kiang. Mereka bermalam di kota itu, dan di kota itu pula mereka masih dapat menikmati danau Po-yang-ou yang membentang luas sampai bersentuhan dengan sungai Yang-ce-kiang. Setelah keesokan harinya mereka menyeberangi sungai yang terkenal itu, tidak lama kemudian mereka pun memasuki wilayah Ou-pak. Begitu masuk daerah Ou-pak, mulailah Tong Wi-hong dan kawan-kawannya merasakan suasana tegangnya kaum persilatan di wilayah itu. Sebentar-sebentar nampak orang-orang yang berkuda dan menyandang senjata, hilir-mudik di jalanan dan bersikap mengawasi setiap orang asing. Pertemuan kaum pendekar di Siong-san itu memang bermaksud untuk menghadapi Hwe-liong-pang, maka tidak mengherankan jika kaum pendekar pun menyiapkan penjagaan ketat karena kuatir akan pengacauan dari pihak Hwe-liong-pang. Para-para jago persilatan yang ditemui sepanjang jalan menuju ke Siong-san itu, rata-rata terdiri dari jago-jago muda usia dari berbagai perguruan terkenal dunia persilatan. Mereka dilengkapi dengan burung-burung merpati pembawa surat serta kuda-kuda tunggangan yang dapat berlari cepat, supaya dapat segera saling berhubungan bila ada keadaan darurat. Demikianlah, suasananya mirip suasana perang. Namun untunglah, bahwa banyak diantara jago-jago muda itu yang mengenal Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, atau banyak pula murid-murid Siau-lim-pay yang mengenal Wi-lian sebagai sesama murid Siau-lim-pay pula. Bahkan tidak sedikit pula yang sudah mengenal dua saudara So yang luas pengalamannya karena sering berkelana itu. Dengan demikian perjalanan Wi-hong dan rombongannya cukup lancar. Meskipun perjalanan cukup lancar, tapi “suasana perang” yang ditunjukkan oleh para jago muda dari berbagai perguruan itu cukup mendebarkan hati. Maklumlah, mereka adalah anak-anak muda yang baru keluar dari perguruan dan dalam anggapan mereka maka mereka sudah merupakan orang-orang yang tak terkalahkan, mereka menjual lagak dan selalu mencari kesempatan untuk menghunus pedang mereka dan memamerkan kebolehannya bermain pedang. Selain itu, melihat sekian banyak jagoan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka Tong Wi-hong menjadi bimbang, dapatkah nanti ia meyakinkan para pendekar itu bahwa Hwe-liong-pang bukanlah musuh? Dan bagaimana nanti sikap golongan-golongan atau perguruan-perguruan yang pernah dirugikan oleh Hwe-liong-pang? Semuanya itu masih merupakan pertanyaan-pertanyaan yang belum dipastikan jawabannya. Rombongan Tong Wi-hong melalui wilayah Ou-pak dalam waktu lima hari berkuda, pada hari yang keenam mereka telah mulai menginjak wilayah Ho-lam. Di sini perjalanan lebih lancar lagi, sebab nama besar Siau-lim-pay sangat terasa pengaruhnya di wilayah ini, dan banyak di antara jago-jago Siau-lim-pay itu yang mengenal Wi-lian, baik yang pendeta maupun yang bukan pendeta. Setelah melakukan perjalanan dua hari lagi, Wi-hong dan rombongannya mulai memasuki kota Teng-hong, jaraknya dengan bukit Siong-san sudah tidak jauh lagi. Maka Tong Wi-hong memutuskan untuk beristirahat satu hari di kota itu, sambil melihat-lihat suasana. Mereka beristirahat di sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang bernama “Hui-in-lau” yang terletak tepat di jantung kota Teng-hong. Di situ mereka menyewa tiga kamar. Cian Ping dan Wi-lian menempati satu kamar, begitu pula Wi-hong dan Ting Bun serta dua saudara So masing-masing mendapat satu kamar. Mereka sengaja memilih kamar di loteng atas yang jendelanya menghadap ke jalan raya, sehingga mereka akan dapat memperhatikan keadaan di jalan raya itu. Ketika hari sore, Ting Bun dan Tong Wi-hong duduk bercakap-cakap di dekat jendela kamar mereka, sambil sekali-kali menghirup teh wangi mereka. Mereka sedang membicarakan bagaimana caranya mengadakan pendekatan kepada kaum pendekar, dan bagaimana menerangkan tujuan Hwe-liong-pang kepada kaum pendekar itu...? |
Selanjutnya;
|