Perserikatan Naga Api Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 24

Karya : Stevanus S.P
MENDADAK Rahib Hong-goan berdiri dari tempat duduknya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tong Wi-siang, sambil berkata dengan suara yang parau, “Pang-cu, aku mohon keadilan untuk saudara Ling Thian-ki!”

Menyusul Ci-ki-tong-cu Lu Siong dan Pek-ki-tong-cu Oh Yun- kim juga berlutut dan mengajukan permohonan yang sama. Sedangkan Ling Thian-ki tetap duduk mematung di tempatnya, sementara dua titik air yang jernih telah mengalir keluar dari sepasang matanya.

Tong Wi-siang duduk termangu-mangu dan tidak dapat segera menyanggupi permintaan dari anak buahnya itu. Meskipun Tong Wi-siang sendiri sangat geram dan besar keinginannya untuk membersihkan perkumpulannya dari orang-orang yang menodai garis perjuangannya itu, namun Wi-siang juga sadar bahwa komplotan yang hendak disingkirkannya itupun punya kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Dia sadar bahwa usaha “pemurnian” garis perjuangan itu akan dapat membelah Hwe-liong-pang menjadi dua bagian besar yang saling bertentangan.

Dalam kebingungannya untuk mengambil keputusan itu, Wi-siang menoleh ke arah Wi-hong dan bertanya, “A-hong, kau banyak membaca buku dan berpandangan luas, bagaimana pendapatmu tentang hal ini?”

Hati Wi-hong tergetar mendengar pertanyaan ini, namun dia menyahut juga dengan tangkas, “Menghilangkan suatu penyakit dalam tubuh sendiri kadang-kadang memang terasa terlampau sakit, namun lebih rasa sakit itu dialami daripada seluruh tubuh menjadi busuk!”

Tong Wi-siang menarik napas mendengar jawaban adik laki-lakinya itu, kemudian ia berpaling kepada adiknya yang satu lagi dan melemparkan pertanyaan bernada sama, “Dan bagaimana pikiranmu, A-lian?”

Pendapat adik perempuannya itu ternyata tidak jauh berbeda, “A-siang, tanpa mempunyai peraturan tata tertib yang berani menghukum anggotanya sendiri yang bersalah, maka suatu perguruan atau perkumpulan akan sulit diterima dalam pergaulan masyarakat dunia persilatan. Ini telah terbukti jika kita melihat sejarah perguruan-perguruan besar seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Begitu pula Hwe-liong-pang, juga harus berani menertibkan anggotanya sendiri, supaya dunia persilatan dapat menerima Hwe-liong-pang sebagai sahabat. Dunia persilatan yang bersejarah ratusan tahun, selamanya belum pernah dan tidak akan pernah bisa menerima suatu perguruan atau perkumpulan yang hanya mengandalkan kekuatan senjata dan mau menangnya sendiri saja, cepat atau lambat, perguruan semacam itu akan menjadi musuh bersama seluruh dunia persilatan.”

Wi-siang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menjawab. Nampaklah kerut-kerut kulit yang dalam muncul di keningnya. Dalam usianya yang baru 26 tahun itu, dia jadi nampak lebih tua seperti seorang yang berusia empat puluh tahun lebih.

Pada saat Tong Wi-siang masih dalam keraguan itulah Ling Thian-ki ikut berbicara pula, “Pang-cu, saat ini Pang kita sedang dihadapkan kepada dua pilihan yang meskipun sama beratnya tetapi kita harus memilih salah satu. Pilihan pertama, kita mampu menertibkan diri sendiri, sehingga meskipun keadaan kita pada saat itu agak lemah namun dapat diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh dunia persilatan. Kedua, kita akan tetap membiarkan Hwe-liong-pang kita dalam keadaan seperti ini, kelihatannya kuat dan banyak anggotanya, namun sesungguhnya kita hanya menunggu kehancuran belaka, sebab jika sampai kemarahan dunia persilatan tidak terbendung lagi, maka kita benar-benar akan menghadapi kesulitan besar. Nah, kita akan menempuh jalan yang pertama atau kedua, sekarang ini hanya tergantung dari sepatah kata dari Pang-cu!”

Ucapan kedua orang adik Wi-siang, ditambah lagi dengan perkataan Ling Thian-ki yang semuanya didukung dengan alasan kuat itu, akhirnya memperteguh hati Wi-siang untuk mengambil suatu keputusan dan menyingkirkan semua kebimbangannya. Dengan suara rendah akhirnya dia berkata,

“Dengan bantuan dan dukungan saudara-saudara sekalian yang tetap berpegang kepada cita-cita murni Hwe-liong-pang, aku memutuskan untuk mengadakan penertiban dan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran!”

Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Oh Yun-kim dan Lu Siong serempak berseru menyambut keputusan itu, “Kami sekalian akan setia terhadap cita-cita luhur Hwe-liong-pang!” Dan setelah itu barulah mereka bangkit dari berlututnya.

Tong Wi-siang merasakan sebuah beban perasaan yang berat telah terlepas dari hatinya, namun sebaliknya kini sebuah kewajiban baru yang maha berat telah terletak di pundaknya, meskipun dia telah bertekad bulat untuk menyelesaikan kewajiban itu sebaik-baiknya. Setelah mempersilahkan semua orang untuk duduk kembali di kursi masing-masing, Tong Wi-siang lalu berkata,

“Suatu cita-cita yang besar memang selalu menuntut pengorbanan yang kadang-kadang terasa terlalu pahit. Demikian pula cita-cita besar Hwe-liong-pang kita harus tetap berjalan terus dan tidak boleh dibelokkan, meskipun untuk itu kita dengan berat hati harus mengorbankan sebagian dari saudara-saudara kita sendiri yang telah bertindak menyeleweng.”

Makan minum itupun berlangsung sampai agak larut malam, sampai Tong Wi-hong dan Wi-lian menyatakan hendak pulang ke rumah keluarga Tong. Sebelum pulang, Wi-hong masih ingat untuk menyampaikan pesan Ting Bun yang sangat rindu ingin bertemu dengan Tong Wi-siang, karena kedua orang itu memang pernah bersahabat. Tetapi mengingat bahwa Hwe-liong-pang sedang menghadapi persoalan yang rumit.

Maka untuk sementara Wi-siang tidak dapat memenuhi permintaan Ting Bun itu. Wi-siang hanya menitipkan salam hangat untuk Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So, namun ia minta agar kedudukannya sebagai Hwe-liong-pang-cu untuk sementara dirahasiakan terhadap orang-orang tadi.

Betapapun juga, kedudukan sebagai Hwe-liong-pang-cu pada saat itu bukanlah sesuatu yang membanggakan mengingat kelakuan busuk dari beberapa anggota Hwe-liong-pang yang mencemarkan nama perkumpulan itu. Itulah alasan Wi-siang untuk menyembunyikan kedudukannya sementara waktu.

Tetapi Wi-siang menyatakan bahwa adik-adiknya dan rombongan kawan-kawannya, jika mau, diperbolehkan menghadiri pertemuan Hwe-liong-pang yang akan diselenggarakan di Jia-hoa-kok itu. Mereka boleh menyaksikan sendiri bagaimana Hwe-liong-pang akan menertibkan diri sendiri secara keras. Agaknya Wi-siang ingin menunjukkan pula kepada orang luar bahwa niatnya untuk menertibkan diri itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, agar pandangan dunia luar terhadap Hwe-liong-pang pun akan berubah.

Wi-hong dan Wi-lian mencapai tepi telaga Po-yang-ou dengan menaiki sebuah sampan, diantar oleh Lu Siong. Setelah di tepi telaga mereka saling mengucapkan salam perpisahan dengan Lu Siong, maka kakak beradik itupun kembali ke rumahnya. Kepulangan mereka yang larut malam itu membuat Ting Bun dan lain-lainnya menjadi lega, setelah mereka gelisah sejak sore tadi. Ting Bun menjadi agak kecewa karena dia belum bisa bertemu dengan Tong Wi-siang sahabatnya itu.

Keenam anak muda itu tinggal di rumah keluarga Tong, melewati hari demi hari sampai tibanya hari yang ditentukan untuk pertemuan Hwe-liong-pang itu. Selama menunggu hari itu, mereka hanya memusatkan perhatian kepada peningkatan ilmu silatnya masing-masing. Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang memiliki ilmu paling tinggi dibandingkan kawan-kawannya, bertindak sebagai pelatih dan pembimbing bagi lain-lainnya. Dalam waktu beberapa hari saja, ilmu anak-anak muda itu telah mengalami perbaikan beberapa bagian.

Selain kesibukan berlatih silat itu, selama beberapa hari itu dimanfaatkan pula oleh Wi-hong untuk meyakinkan Cian Ping bahwa ternyata tidak semua orang Hwe-liong-pang sejahat seperti yang dibayangkan. Seperti diketahui, Cian Ping sangat membenci orang-orang Hwe-liong-pang karena kematian ayahnya.

Dan Wi-hong susah membayangkan bagaimana kelangsungan hubungannya dengan gadis itu, apabila kelak gadis itu tahu rahasia Tong Wi-siang sebagai Hwe-liong-pang-cu. Itulah sebabnya Wi-hong pun berusaha mati-matian mengubah pandangan Cian Ping terhadap Hwe-liong-pang.

Ternyata puteri Cian Sin-wi yang keras hati itu dapat juga diberi pengertian sedikit demi sedikit, apalagi karena Cian Ping juga sudah melihat sendiri bagaimana Thian-liong Hiang-cu dan Lam-ki-tong-cu In Yong yang bertemu di tempat penyeberangan itu, ternyata berbeda sifat dan tingkah-lakunya kalau dibandingkan dengan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya, seperti Mo Hui atau Sebun Say.

Melihat perkembangan sikap Cian Ping itu, Wi-hong masih belum lega betul-betul, sebab dia masih ragu-ragu bagaimana kalau mengetahui kakaknya ternyata adalah Hwe-liong-pang-cu? Terhadap masalah ini, Wi-hong hanya bisa berharap saja dalam hatinya, semoga semua berjalan dengan baik.

* * * * * * *

AKHIRNYA hari yang ditunggu itupun tiba, hari di mana pertemuan lengkap Hwe-liong-pang akan diselenggarakan. Sejak pagi-pagi benar, Wi-hong dan kawan-kawannya telah mempersiapkan dirinya. Bukan hanya jasmani dan senjata mereka saja yang dipersiapkan, melainkan juga batin mereka. Mereka yang menggembirakan, namun lebih tepat kalau dikatakan hendak memasuki sarang serigala.

Mereka sudah kenal ketangguhan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang seperti Sebun Say, Au-yang Siau-hui dan sebagainya, dan kini tokoh-tokoh yang menakutkan itu akan berkumpul semuanya! Meskipun dalam mempersiapkan diri itu mereka kadang-kadang bergurau satu sama lain, tetapi tidak terhindar kadang-kadang tampak ketegangan di wajah mereka.

Di halaman depan, nampaklah beberapa orang pelayan telah mempersiapkan enam ekor kuda yang akan dipakai Wi-hong dan kawan-kawannya. Keenam ekor kuda itu semuanya sudah dimandikan bersih-bersih, diberi makan sekenyang-kenyangnya dan diberi pelana. Begitu cahaya matahari pagi yang hangat itu mulai menyentuh pucuk-pucuk cemara di tepi danau, berkatalah Tong Wi-hong kepada kawan-kawannya,

“Sebaiknya kita berangkat sekarang, supaya tidak kesiangan tiba di Jian-hoa-kok.”

Tidak lama kemudian, berderaplah enam ekor kuda yang tegar dengan enam orang penunggangnya yang perkasa, meninggalkan rumah keluarga Tong dan menembus udara pagi yang masih agak berkabut itu. Mereka menjalankan kuda mereka ke arah timur laut, ke arah kota Lam-cang. Namun mereka tidak akan menuju ke kota itu, melainkan nantinya akan membelok ke arah sebuah lembah yang bernama Jian-hoa-kok dan yang digunakan untuk pertemuan Hwe-liong-pang itu.

Kira-kira dua peminuman teh mereka berkuda, tibalah mereka di sebuah persimpangan jalan. Yang sebelah kanan adalah jalan raya yang menuju ke kota Lam-cang. Sedangkan jalan yang menuju ke lembah Jian-hoa-kok adalah sebuah jalan kecil yang kiri kanannya ditumbuhi belukar. Wi-hong memimpin kawan-kawannya untuk menyusuri jalan sempit itu.

Di sepanjang jalan nampak bunga-bunga yang beraneka warna seakan-akan sedang bertanding dalam memamerkan kecantikannya masing-masing di bawah cahaya matahari yang hangat itu. Tetapi Tong Wi-hong dan rombongannya tidak sempat lagi menikmati keindahan lembah itu, hati mereka sedang diliputi perasaan tegang karena membayangkan apa yang bakal mereka hadapi setelah berada di tengah-tengah orang-orang Hwe-liong-pang nanti.

Di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat orang-orang yang bersikap bersahabat kepada Wi-hong, seperti In Yong dan Lu Siong, namun juga terdapat musuh bebuyutan yang membencinya seperti Au-yang Siau-hui serta Sebun Say, si iblis pendek dari Jing-hay itu.

Setelah mereka berkuda agak cepat kira-kira dua li, tiba-tiba dari gerumbul semak-semak di pinggir jalan melompatlah beberapa orang lelaki yang semuanya berseragam hitam, berikat kepala warna biru, berikat pinggang warna biru pula. Semuanya memegang senjata terhunus.

“Berhenti!” bentak orang-orang itu sambil menghadang di depan kuda Tong Wi-hong. “Harap sebutkan nama kalian dan apa tujuan kalian menuju ke Jian-hoa-kok!”

Tong Wi-hong menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang disebar di sekitar Jian-hoa-kok untuk mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke lembah itu. Maka Tong Wi-hong pun berbicara secara terang-terangan kepada orang-orang itu, “Hwe-liong-pang-cu pribadilah yang mengundang kami untuk ikut menghadiri pertemuan ini, biarpun kami bukan anggota Hwe-liong-pang. Karena itu kami mohon agar saudara-saudara suka memberi jalan buat kami.”

Anak buah Hwe-liong-pang itu nampak menjadi bimbang mendengar jawaban Wi-hong itu, agaknya mereka tidak dapat segera menentukan apakah ucapan Wi-hong itu berbohong ataukah bersungguh-sungguh? Peraturan Hwe-liong-pang sangat keras dan tak kenal ampun, jangan-jangan ada mata-mata dari luar yang menyelundup masuk.

Sehingga dengan demikian para penjaga yang bertugas itu akan kebagian hukuman mati. Tetapi mungkin juga bahwa Wi-hong dan kawan-kawannya memang benar-benar diundang oleh Pang-cu mereka. Karena itulah maka rombongan penjaga itu menjadi bingung untuk menetapkan apakah Wi-hong itu kawan atau lawan.

Seorang lelaki berseragam hitam yang berumur kira-kira empat puluh tahun dan bersikap gagah, segera menjura kepada Tong Wi-hong dan berkata dengan sikap menghormat, “Apakah Hwe-liong-pang-cu ketika mengundang kalian itu juga memberi suatu surat atau tanda pengenal lain untuk membuktikan bahwa kalian benar-benar datang diundang oleh beliau?”

Mendapat pertanyaan semacam itu, seketika itu juga Wi-hong terperangah, tanpa sadar dia bertukar pandangan dengan kawan-kawan serombongannya. Agaknya ketika kakaknya memesankan kepadanya supaya datang ke Jian-hoa-kok itu, sang kakak lupa mengenai soal yang sederhana ini. Dan kini Tong Wi-hong benar-benar menghadapi kesulitan.

Sikap Wi-hong yang gugup itu langsung diketahui oleh lelaki gagah itu. Ia segera memberi hormat lagi dan berkata, “Jika tuan-tuan tidak membawa pertanda apa-apa dari Pang-cu kami, maaf, terpaksa kami tidak dapat mengijinkan tuan-tuan untuk memasuki lembah. Harap tuan-tuan memaklumi bahwa tanggung-jawab kami cukup berat dalam mengamankan jalannya pertemuan ini.”

Melihat sikap orang itu yang begitu menghormatinya, Tong Wi-hong merasa tidak sampai hati untuk menerjang masuk begitu saja, sebab itu berarti mencelakakan para penjaga itu. Tetapi Wi-hong juga merasa berat hatinya jika harus melewatkan kesempatan baik untuk melihat jalannya penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu. Untuk sementara Wi-hong jadi kehilangan pegangan bagaimana harus bertindak mengatasi kesulitan itu.

Pada saat ia sedang berpikir keras, tiba-tiba dari arah lembah kelihatanlah ada dua orang lelaki penunggang kuda yang menuju ke arah mereka dengan cepatnya. Setelah cukup dekat, nampaklah bahwa kedua orang penunggang kuda itu ternyata adalah Lo Siong dan In Yong, dua orang Tong-cu (pemimpin kelompok) dalam Hwe-liong-pang yang masing-masing memimpin Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dan Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru). Keduanya sudah dikenal oleh Wi-hong.

Anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga mulut lembah itupun segera membungkuk hormat kepada kedua Tong-cu itu, dan berucap, “Hormat kami kepada Ji-wi Tong-cu!”

Lu Siong dan In Yong hanya menganggukkan kepala sedikit untuk menyambut penghormatan orang-orang itu, kemudian mereka langsung mendekati rombongan Tong Wi-hong. Kata Lu Siong, “Pang-cu telah khilaf tidak membekali tanda pengenal apapun kepada saudara-saudara, sehingga kalian mengalami kerepotan dari anak buah kami. Tetapi untung aku teringat untuk menjemput kalian. Nah, silahkan ikuti kami.”

Sementara itu In Yong juga telah berkata kepada Tong Wi-hong, “Selamat bertemu kembali, saudara Tong. Hwe-liong-pang hari ini akan mengalami suatu peristiwa besar yang tidak akan terlupakan seumur hidup, hari ini kami akan membasmi para penyeleweng untuk mengembalikan tujuan kami ke garis perjuangan yang murni. Kebetulan saudara-saudara sekalian dapat melihatnya sendiri untuk menjadi saksi tentang apa yang akan terjadi di lembah ini!”

Sikap In Yong begitu bersungguh-sungguh dan bersemangat. Tong Wi-hong tahu bahwa Lam-ki-tong-cu ini berdiri di pihak kakaknya, karena itu Tong Wi-hong pun menyahut dengan hormat, “Segala perbuatan yang baik pasti akan direstui Thian. Saudara In, aku ikut berdoa agar penertiban ini akan berjalan dengan lancar, sehingga Hwe-liong-pang sebagai sebuah kekuatan yang besar kelak akan terasa manfaatnya bagi orang banyak, bukan lagi merupakan malapetaka.”

Yang menjaga jalan itu memang anggota-anggota Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong, yaitu anak buah In Yong, karena itu rombongan Wi-hong tidak mengalami kesulitan lagi dalam menuju langsung ke tengah lembah. Mereka memang masih melalui beberapa pengawalan lagi, namun semuanya dilalui dengan cukup lancar karena Wi-hong diantar sendiri oleh In Yong dan Lu Siong.

Begitu tiba di tengah lembah Jian-hoa-kok yang luas itu, Wi- hong dan kawan-kawannya segera melihat bahwa lembah yang luas itu kini telah dipenuhi dengan ribuan manusia, namun suasananya tetap sunyi mencekam. Ribuan manusia itu duduk bersila di atas rerumputan dan membentuk suatu lingkaran raksasa. Mereka terbagi dalam delapan kelompok masing-masing menempati satu mata angin, tiap kelompok terdiri dari tiga ratus sampai empat ratus orang.

Semuanya berseragam hitam seperti penjaga-penjaga di mulut lembah tadi namun ikat kepala dan ikat pinggang mereka berbeda- beda menurut kelompoknya masing-masing, yaitu putih, kuning, hijau, biru, merah, coklat, ungu, dan hitam. Di depan tiap-tiap kelompok duduklah Tong-cu masing-masing kelompok dan wakilnya. Khusus untuk para Tong-cu dan Hu-tong-cu ini tidak diwajibkan memakai seragam hitam, melainkan berpakaian bebas sesuai dengan kesukaannya masing-masing.

Di tengah-tengah lembah tampaklah ada segundukan tanah datar seluas beberapa tombak yang agaknya akan digunakan sebagai panggung. In Yong dan Lu Siong segera menghantar tamu-tamunya untuk menuju ke arah “panggung” yang masih kosong itu. Melihat Tong Wi-hong dan kawan-kawannya mendapat kehormatan yang begitu besar, seketika tertariklah perhatian dari orang-orang Hwe-liong-pang lainnya.

Namun sebelum Wi-hong dan kawan-kawannya naik ke “panggung”, dari arah rombongan Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) terdengarlah ada yang berteriak, “Saudara In dan saudara Lu, apakah kalian tidak keliru dalam menempatkan tamu-tamu kalian?”

Orang yang berteriak itu ternyata adalah Jing-ki-tong-cu yang sudah dikenal oleh Wi-hong, yaitu Au-yang Siau-hui yang berjulukan Co-siang-hui-mo (iblis terbang di padang rumput), seorang jagoan yang cukup ditakuti di wilayah Su-coan dan Kui-ciu itu. Di samping Au-yang Siau-hui, nampaklah Hu-tong-cu (wakil) yang bernama Au-yang Siau-Ppa, yang juga merupakan adik sepupunya itu. Tong Wi-hong pernah bertempur dengan kakak beradik sepupu ini ketika berada di kota Tay-beng.

Teriakan Au-yang Siau-hui itu segera disambung dengan teriakan seseorang yang lain, “Benar! Panggung kehormatan itu hanya khusus disediakan buat Pang-cu, tiga orang Hiang-cu serta empat orang Su-cia. Kenapa kunyuk-kunyuk kecil itu begitu tidak tahu diri, dan ingin duduk diatas panggung.”

Yang berteriak kali ini adalah Mo Hui, si pemimpin Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat) yang berjulukan Hong-long-cu (Serigala Gila) itu. Tokoh ini pernah dihajar habis-habisan oleh Wi-lian di sebuah warung arak di luar kota Kiang-leng, sehingga tokoh ini punya dendam kesumat kepada gadis murid Siau-lim-pay itu. Kini dia sudah berdiri dari tempat duduknya, matanya yang tinggal satu itu menatap Wi-lian dengan penuh kebencian, sementara tangannya sudah menggenggam tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itu.

Seruan Au-yang Siau-hui dan Mo Hui itu langsung saja mendapat dukungan dari Ang-ki-tong-cu Ko Ce-yang serta Hek-ki-tong-cu Lam-kiong Hok. Keempat orang Tong-cu ini memang sehaluan dalam sikap dan perbuatan mereka bahkan tidak jarang mereka bekerja sama dalam melakukan kejahatan kejahatan mereka.

Di tengah-tengah suasana yang semakin ribut itu, terdengarlah bentakan Lu Siong menggelegar bagaikan geledek, “Saudara-saudara harap mengendalikan diri! Dengarlah perkataanku!”

Hiruk-pikuk itupun segera sirap diganti dengan kesunyian yang mencekam, lalu terdengar Lu Siong berkata dengan suaranya yang tegas, “Harap saudara-saudara ketahui, bahwa saudara tong dengan rombongannya ini memang benar-benar merupakan orang undangan Pang-cu sendiri. Kebetulan aku hadir dalam perjamuan malam di atas kapal pribadi Pang-cu beberapa malam yang lalu, dan dengan telingaku sendiri aku mendengar bahwa Pang-cu mengundang saudara Tong dan kawan-kawannya untuk menghadiri dan menyaksikan pertemuan ini. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka mendapat tempat duduk kehormatan, karena diundang oleh Pang-cu sendiri!”

Namun ucapan Lu Siong itu agaknya tidak mudah dipercaya. Siapa yang mau percaya bahwa Ketua Hwe-liong-pang yang maha sakti dan menakutkan itu mengundang beberapa orang muda yang kurang dikenal dalam dunia persilatan? Terdengarlah Mo Hui tertawa mengejek, “Lu Siong, siapa yang mau percaya kepada bualan kosongmu itu? Bicara terus terang saja, kau mengundang kekuatan dari luar untuk menyingkirkan kami yang tidak sehaluan denganmu, bukan?”

Lu Siong ini orangnya kasar dan bukan seorang penyabar pula, maka mendengar sahutan Mo Hui yang tajam itu, Lu Siong menjawab dengan tidak kalah kerasnya, “Mo Hui, jagalah mulutmu baik-baik kalau tidak ingin kurobek dengan kedua tanganku ini. Aku tidak perduli apakah kau mempercayai ucapanku tadi atau tidak, tetapi yang jelas keselamatan para tetamu ini adalah tanggung-jawabku!”

Dari arah Ang-ki-tong segera terdengar suara teriakan marah, “Lu Siong, kau kira hanya kau sendiri yang laki-laki di dunia ini?”

Yang berteriak itu tidak lain adalah Ko Ce-yang, pemimpin Ang-ki-tong yang sehaluan dengan Mo Hui itu. Ko Ce-yang adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian acak-acakan seperti gelandangan, sedangkan pandangan matanya liar mengerikan. Sebelum ia bergabung ke dalam Hwe-liong-pang, dia cukup terkenal di dunia persilatan dengan julukan Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pengejar Nyawa). Senjatanya adalah sebuah tongkat baja di tangan kanan, dilengkapi sebuah mangkuk baja pula di tangan kirinya. Dengan sepasang senjatanya itu, entah sudah berapa banyak nyawa lawan yang diamblaskannya.

Dalam pada itu Hek-ki-tong-cu Lam-kiong Hok mulai ikut menghasut pula, “Siapapun anggota Hwe-liong-pang kita pasti mengetahui bahwa gadis Siau-lim-pay itu adalah musuh besar Hwe-liong-pang kita. Ingat saja bahwa gadis itu pernah mencelakai Ang-ki-hu-tong-cu (Wakil Kelompok Bendera Merah) dalam pertempuran di Kay-hong, yaitu pada waktu Ang-ki-hu-tong-cu sedang menjalankan tugas untuk mengejar dan menumpas tiga ekor tikus kecil yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong itu! Jelaslah bahwa gadis itu mempunyai permusuhan mendalam dengan Hwe-liong-pang, terutama dengan Ang-ki-tong, dia harus ditumpas dan bukan malah didudukkan di tempat kehormatan.”

Ko Ce-yang memang berkepandaian tangguh, namun sayang otaknya agak bebal dan mudah menerima hasutan orang lain. Kata-kata Lam-kiong Hok yang mengingatkan tentang kejadian di Kay-hong itu, seketika membuat hati Ko Ce-yang menjadi terbakar panas, dia sebagai Pemimpin Ang-ki-tong merasa wajib untuk membalaskan dendam Wakilnya yang telah dicacatkan oleh Wi-lian itu. Maka dengan muka yang memancarkan nafsu membunuh dia berjalan mendekati Wi-hong dan rombongannya, dan katanya dengan dingin,

“Ang- ki-tong masih punya hutang piutang denganmu, gadis liar, mari kita bereskan sekarang!”

Biasanya Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang memang cukup ditakuti di dunia persilatan, julukannya saja sudah menunjukkan bagaimana pandangan orang terhadap dirinya. Tetapi kali ini si pengejar nyawa ini terbentur pada si macan betina Siau-lim-pay yang tidak kenal takut itu. Dengan air muka yang tidak berubah sedikitpun, Tong Wi-lian melangkah maju menyongsong lawannya, jawabnya tenang,

“Ang-ki-tong mu bertindak sewenang-wenang dimana-mana, tetapi hanya terhadap orang-orang yang tidak berani melawan. Begitu bertemu dengan orang yang berani, kalian tidak becus apa-apa. Yang mematahkan kaki Tan Han-ciang di Kay-hong memang aku. Aku menyesal kenapa hanya mematahkan kakinya dan tidak lehernya sekalian.”

Ko Ce-yang yang kejam itu sangat ditakuti oleh anak buahnya, tapi sekarang di hadapan ratusan orang anak buahnya dia ditentang terang-terangan oleh seorang gadis yang umurnya belum sampai dua puluh tahun, tentu saja kemarahannya tidak terkendali lagi. Tanpa peringatan lebih dulu dia melangkah ke depan secepat kilat, lalu tongkat baja di tangan kanannya menghantam dengan gerakan In-tiong-liong-sam-hian (Sang Naga Menampakkan diri Tiga kali di tengah mega).

Tongkatnya yang hanya satu bagaikan terpecah menjadi tiga batang yang mengurung bagian tengah, kiri dan kanan tubuh lawan. Jika lawannya berani maju, maka mangkuk bajanya yang akan menyambutnya, jadi lawannya hanya diberi satu kemungkinan, yaitu mundur ke belakang. Namun gadis murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay itu justru adalah seorang gadis keras kepala yang pantang mundur, sebab mundur dianggapnya sama dengan mengakui keunggulan lawannya.

Cepat Wi-lian merendahkan tubuhnya untuk menghindari sambaran tongkat lawan, dan tanpa menunggu lawan menarik tongkatnya kembali, Wi-lian langsung membalasnya dengan Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut menendang ke belakang) serendah lutut lawan. Ko Ce-yang dengan gugup mundur ke belakang. Ia tidak menyangka bahwa selain tidak mempan gertakan, gadis itupun ternyata dapat membalas serangan secepat itu.

Sebaliknya Wi-lian sungkan memberi hati kepada lawannya itu, begitu musuh mundur, maka Wi-lian lah yang mendesak maju. Gadis yang gemar dengan ilmu tendangan ini sekarang melompat sambil memutar tubuhnya dan melancarkan tendangan Ce-bi-kiak ke kening lawan.

Diam-diam Ko Ce-yang gembira melihat gadis itu menendang sambil melompat, ia merasa sudah tiba saatnya untuk mempertunjukkan kelihaiannya di depan anak buahnya. Tangkas sekali Ko Ce-yang menggerakkan mangkuk baja di tangan kirinya untuk “menangkap” telapak kaki Wi-lian yang menendang itu, dengan maksud untuk langsung diputar dan dibanting.

Begitu yakinnya Ko Ce- yang akan jurus andalannya itu, sehingga mulutnya pun ikut membentak, “Roboh kau...!”

Namun kecepatan dan ketangkasan Tong Wi-lian sama sekali diluar perhitungan lawannya. Selagi tubuhnya belum menginjak tanah, Wi-lian ternyata mampu memutar tubuhnya di tengah udara sambil menarik tendangannya dan digantikan oleh kaki yang lain dengan tendangan Sin-liong-pa-bwe (naga sakti mengibaskan ekornya).

Baru saja Ko Ce-yang membentak “roboh”, ternyata yang roboh adalah dirinya sendiri. Tubuhnya terpental mundur dua langkah dan langsung terkapar di tanah, karena tendangan Sin-liong-pa-bwe yang dilancarkan lawannya itu rupanya tepat mengenai dadanya. Untunglah bahwa pemimpin Ang-ki-tong itu punya tubuh yang kuat, sehingga hanya merasa sakit sedikit di dadanya. Namun demikian kejadian itu sudah cukup untuk meruntuhkan pamornya, seketika itu juga ia melompat bangkit dengan muka yang merah padam.

Sementara itu Mo Hui telah berseru kepada segenap anggota Hwe-liong-pang yang duduk di sekeliling panggung alam itu, “Para anggota Hwe-liong-pang sekalian! Rombongan anak-anak liar ini telah berani bertindak tanpa kendali dalam pertemuan agung kita ini, dan itu berarti bahwa mereka tidak memandang kita sebelah matapun. Hayo kita bereskan mereka!”

Seruan itu seketika mendapat tanggapan, terutama dari kelompok-kelompok bendera-bendera Merah, Hijau, Coklat dan Hitam. Seketika itu terdengar gemerincing bersahut-sahutan dari senjata yang ditarik keluar dari sarungnya. Sedangkan empat orang Tong-cu dari kelompok-kelompok itupun sudah mengepung Wi-hong dan teman-temannya, suasana menjadi tegang seketika.

Wi-hong dan teman-temannya pun tidak ingin dibantai mentah-mentah begitu saja, maka merekapun menyiapkan senjatanya pula. Wi-hong dengan pedangnya, Ting Bun dengan goloknya, Cian Ping dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) dan dua saudara So dengan lembing- lembing mereka. Sedangkan Wi-lian yang lebih percaya kepada sepasang tangan kosongnya itupun telah mempersiapkan diri pula.

Dalam keadaan segenting itu, Lu Siong dan Oh Yun-kim telah melompat ke depan Wi-hong dan kawan-kawannya, sambil berteriak, “Keselamatan dari tamu-tamu undangan Pang-cu ini adalah tanggung-jawab kami. Siapapun dilarang mengusik mereka sebelum melangkahi mayat kami berdua!”

“Bukan berdua tetapi bertiga!” tiba-tiba In Yong memperbaiki ucapan Oh Yun-kim itu. Lalu dia pun berdiri berjajar dengan Lu Siong dan Oh Yun-kim, sementara sepasang golok tipisnya sudah keluar dari sarungnya dan tergenggam erat di kedua tangannya. Kata In Yong kemudian, “Aku percaya bahwa Pang-cu benar-benar mengundang mereka, karena itu akupun akan ikut bertanggung-jawab untuk melindungi tamu-tamu undangan Pang-cu ini dari tindakan-tindakan liar kalian!”

Suasana di dalam lembah itu seketika menjadi sunyi mencekam, para anggota Hwe-liong-pang yang bersorak-sorai tadipun sudah bungkam semuanya. Kini para anggota menjadi kebingungan melihat pertentangan antar Tong-cu itu, mereka tidak tahu apakah harus memihak Au-yang Siau-hui dan kelompoknya ataukah harus membela Oh Yun-kim dan kelompoknya pula?

Di tengah ketegangan yang mencekam itu tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang memecah kesunyian, “Kalian benar-benar seperti anak-anak kecil saja, bertengkar dan berkelahi untuk hal-hal yang belum pasti. Saudara-saudara sekalian, lebih baik kita tunggu kedatangan Pang-cu yang tidak lama lagi pasti akan tiba, dan nanti akan terbukti apakah tamu-tamu ini benar-benar undangan Pang-cu atau hanya mengaku-aku saja.”

Pembicara bersuara serak itu ternyata sudah pernah dikenal oleh Wi-lian pula, bahkan Wi-lian pernah bertempur dengannya, dia bukan lain adalah Thi-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, pemimpin Kelompok Bendera Kuning. Dia masih tetap didampingi oleh wakilnya, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pendobrak Gunung) Ji Tiat yang gagah perkasa itu.

Usul Kwa Heng itu segera disambut serempak oleh Oh Yun-kim dan Lu Siong, “Sebuah saran yang tepat!”

Tetapi pihak Ko Ce-yang dan kawan-kawannya rupanya tidak mau menyudahi urusan dengan begitu saja. Lamkiong Hok yang tajam mulutnya itu telah berkata pula, “Sekarang urusannya bukan lagi mereka ini tetamu asli atau tetamu palsu, namun sudah menyangkut kehormatan Pang kita. Gadis liar ini berani merobohkan saudara Ko di depan sekian ribu anggota kita, hal itu jelas tidak dapat dibiarkan sebab sama dengan tidak menghormati kita sebagai tuan rumah!”

“Cocok sekali pendapat saudara Lamkiong,” sambut Mo Hui. “Gadis itu harus mengalami penghinaan berkali lipat dari penghinaan yang didapat oleh saudara Ko!”

Sebenarnya si Hong-long-cu (Serigala Gila) ini sudah agak jera kalau disuruh berurusan dengan Wi-lian yang pernah menghajarnya itu, namun kali ini dia timbul pula keberaniannya, sebab merasa mempunyai banyak teman.

Sementara pertengkaran antar Tong-cu Hwe-liong-pang itu berlangsung cukup hangat, Wi-hong dan rombongannya berdiam diri saja, meskipun terus dalam keadaan waspada. Demi menghormati kepada Lu Siong dan lain-lainnya, mereka lebih suka membiarkan urusan itu diselesaikan oleh orang-orang Hwe-liong-pang sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

Sementara itu terdengar Kwa Heng yang bungkuk itu telah berkata lagi, “Saudara-saudara sekalian, kuingatkan kepada kalian hendaknya kita berpikir secara jernih dan tidak berat sebelah. Coba pikirkan baik-baik, benarkah tindakan gadis tadi bermaksud menghina Pang kita? Aku rasa tidak demikian, sebab dia hanya membela diri terhadap serangan saudara Ko tadi. Ataukah sebagai tanda hormat kepada Pang kita dia harus menyerah saja untuk dipukuli sesuka hati?”

“Persetan dengan mulut tajammu, monyet bungkuk!” teriak Ko Ce-yang marah. “Aku tidak peduli omong kosongmu yang bertele-tele itu. Pokoknya aku ingin melampiaskan sakit hati wakilku yang telah dibuatnya cacat kaki seumur hidup itu!”

Namun Kwa Heng justru berbicara terus, “Ketika gadis itu melukai saudara Tan di Kay-hong, kebetulan aku pun hadir di sana, sebab rumah penginapan kepunyaanku itulah yang dijadikan ajang perkelahian. Aku melihat pertempuran berlangsung secara adil, masalah ada yang luka atau mati, itu adalah tanggungan yang wajar dari setiap orang yang telah menyatakan dirinya berani berkelana di dunia persilatan. Saudara Ko, kau marah dan dendam karena seorang wakilmu terluka dalam perkelahian itu, tetapi bagaimanakah dengan Hong-ho-sam-hiong yang telah kau tumpas beserta seluruh keluarganya itu? Apakah mereka tidak berhak untuk merasa penasaran?”

Ko Ce-yang memang bukan seorang yang pandai menggunakan mulutnya selain untuk makan dan mencaci maki, maka ketika didebat sedemikian rupa oleh Kwa Heng, seketika bungkamlah ia. Kemudian Au-yang Siau-hui yang berbicara untuk menolong rekannya itu,

“Saudara Kwa, masakah kau tidak paham pepatah yang berlaku dalam dunia persilatan, bahwa siapa yang kuat dialah yang menang? Kami menumpas beberapa perguruan kecil itu bukanlah salah kami, melainkan kesalahan mereka kenapa begitu tidak becus?”

Jawaban yang seenak perutnya sendiri itu seketika membuat darah Tong Wi-hong jadi mendidih, apalagi kalau Wi-hong mengingat bahwa kelompok Jing-ki-tongnya Au-yang Siau-hui inilah yang telah membunuh Cian Sin-wi. Namun demikian Wi- hong tetap menahan diri dan membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang menyelesaikan urusan mereka sendiri.

Sahut Kwa Heng sambil tertawa tawar, “Saudara Auyang, jika seluruh dunia persilatan ini sama-sama bersemboyan „siapa kuat dia menang‟ seperti katamu itu, apakah kau kira sekarang ini Hwe-liong-pang masih bisa berdiri di tengah gelombang badai dunia persilatan ini? Apakah kau kira bahwa Hwe-liong-pang kita mampu menghadapi kekuatan ksatria seluruh jagad? Apakah kau kira kekuatan Hwe-liong-pang kita yang masih muda ini sudah cukup pantas untuk dihadapkan kepada Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Khong-tong-pay, Hoa-san-pay atau aliran-aliran yang besar lainnya?”

“Saudara Kwa, kenapa kau justru menjunjung-junjung tinggi musuh dan mengecilkan diri sendiri?” tegur Lamkiong Hok. “Perkataanmu itu tidak sepantasnya kau perdengarkan kepada anak buah kita, sebab dapat mengecilkan semangat mereka sekalian.”

Adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, yaitu Au-yang Siau-pa yang sejak tadi tidak ikut berbicara itu, kini tiba-tiba ikut membuka suara, “Aku pikir, apa yang dikemukakan oleh Kwa Tong-cu itu cukup beralasan. Kita memang tidak boleh bersikap seakan-akan diri kita terlalu kuat dan mengabaikan kenyataan, sehingga akan dapat menjerumuskan kita kepada tindakan-tindakan yang keliru.”

Biasanya Au-yang Siau-pa ini sangat pendiam, sehari saja belum tentu bicara lebih dari lima kalimat, namun kini tiba-tiba berani mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kakak sepupunya, tentu saja sangat menggemaskan. Si kakak sepupu segera membentak,

“Piau-te (adik sepupu), jagalah mulutmu baik-baik, jangan asal mangap saja. Atau barangkali kau pun sudah menjadi pengecut karena silau oleh nama kosong para pendekar yang sok suci itu?”

Ternyata Au-yang Siau-pa kali ini berbeda dengan Au-yang Siau-pa biasanya, dengan beraninya ia mendebat, “Piau-ko, selama ini kita menutup diri dari kenyataan seperti katak dalam sumur, mengira luasnya langit hanya seluas mulut sumur! Kita semua baru saja melihat salah seorang murid dari keledai gundul Siau-lim-pay itu ternyata mampu merobohkan Ko Tong-cu, itulah kenyataan, dan dari kenyataan itu dapat kita jadikan ukuran...”

“Tutup mulutmu!” teriak kakak sepupunya dengan kalap sambil menampar pipi Au-yang Siau-pa.

Au-yang Siau-pa tidak dapat menghindari tamparan itu dan terdorong mundur sampai dua langkah, sementara sudut bibirnya pecah dan mengalirkan darah. Namun dengan sikap beringas dia terus saja berbicara tanpa dapat dicegah, “Biarkan aku bicara, Piau-ko, akupun berhak menumpahkan isi hatiku sampai lega! Selama ini sudah cukup aku menindas suara hati nuraniku sendiri, aku hanyalah seperti alat mati yang hanya menjalankan perintah-perintah yang kadang-kadang bertentangan dengan suara hatiku sendiri. Sekarang sudah tiba saatnya aku bicara terus terang bahwa tindakan kita selama ini sama sekali bukan memperjuangkan tujuan mulia seperti yang digembar-gemborkan, namun hanyalah tindakan untuk memuaskan nafsu haus darah kita!”

Ucapan Au-yang Siau-pa yang berani itupun seketika menimbulkan suasana perpecahan dalam kelompok Jing-ki-tong sendiri. Beberapa orang anak buah Jing-ki-tong yang tadinya menuruti jejak Au-yang Siau-hui secara membabi buta, kini mau tidak mau mulai berpikir dan menilai sendiri tindakan mereka selama ini.

Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Wi-hong dan Wi-lian, serta cukup menggembirakan hati kakak beradik itu. Mereka memperhitungkan, bahwa meskipun usaha penertiban Hwe-liong-pang itu akan menemui perlawanan yang cukup keras, namun agaknya pengikut Tong Wi-siang lebih banyak daripada pengikut Te-liong Hiang-cu yang akan diberantasnya itu. Dengan demikian besarlah kemungkinannya bahwa penertiban itu akan berhasil dengan baik.

Pada saat pertengkaran antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri itu semakin menghangat, bahkan masing-masing pihak sudah siap menghunus senjatanya untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing, tiba-tiba dari arah mulut lembah itu terdengar suatu teriakan keras, “Pang-cu sudah tiba! Pang-cu sudah tiba!”

Semua hiruk-pikuk di tengah lembah itupun seketika menjadi sunyi seperti di kuburan, hal itu menunjukkan bahwa bagaimanapun juga Hwe-liong-pang-cu masih mempunyai wibawa atas anak buahnya, termasuk anak buahnya yang mencoba-coba mendongkelnya. Para Tong-cu yang sedang bertikai itupun segera berdiri tegap dengan sikap menghormat, diikuti oleh ribuan anggota Hwe-liong-pang yang memenuhi lembah itu.

Hwe-liong-pang-cu muncul dengan segala tanda-tanda kebesarannya secara lengkap sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Ketua dari suatu perkumpulan yang paling menggetarkan dunia persilatan saat itu. Lebih dulu muncullah dua belas orang penunggang kuda yang berseragam dan bermantel hitam, berjajar dua-dua. Dua orang penunggang kuda yang paling depan masing-masing membawa bendera besar berwarna ungu, yang tengah-tengahnya bersulam dengan gambar seekor naga berapi yang dahsyat.

Setelah rombongan dua belas orang itu, barulah nampak Hwe-liong-pang-cu muncul di atas kudanya yang hitam dan tegar. Hwe-liong-pang-cu berpakaian serba hitam pula, bermantel hitam, sedang mukanya tertutup sehelai topeng terbuat dari perunggu yang kuning kehijau-hijauan. Kemudian di belakang Hwe-liong-pang-cu, tiga orang Hiang-cu (Hulubalang) berkuda berjajar tiga. Ketiga orang ini bertopeng pula, hanyalah warna pakaian dan mantel merekalah yang membedakan diri masing-masing Hiang-cu. Te-liong Hiang-cu bermantel merah darah, Thian-liong Hiang-cu bermantel warna ungu gelap, dan Kim-liong Hiang-cu bermantel berwarna kuning emas.

Kemudian empat orang Su-cia muncul di belakang rombongan Hiang-cu, dengan menaiki kuda pula. Mereka adalah Sebun Say, Tang Kiau-po, Ling Thian-ki, dan Hong-goan Hweshio. Karena tidak mengenakan topeng, maka wajah keempat orang Su-cia itu nampak tegang. Agaknya keempat Su-cia itu menyadari bahwa urusan penertiban itu akan mengubah sesama kawan perjuangan menjadi lawan-lawan yang harus ditumpas habis!

Rombongan Hwe-liong-pang-cu itu terus menaiki kudanya sampai ke pinggir panggung tanah itu, sementara ribuan mulut anggota Hwe-liong-pang serempak berseru, “Salam hormat kepada Hwe-liong-pang-cu!”

Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian merasa bangga juga bahwa kakak mereka ternyata dapat menguasai sekian ribu anak buahnya. Karena tidak ingin menurunkan pamor kakaknya, maka Wi-hong sengaja mengajak seluruh anggota rombongannya untuk maju menyambut dan memberi hormat, “Selamat bertemu, Hwe-liong-pang-cu, kami berenam datang untuk memenuhi undangan pang-cu!”

Di luar dugaan siapapun, Hwe-liong-pang-cu tiba-tiba melompat turun dari kudanya, dan dengan akrabnya dia langsung menggandeng tangan Wi-hong dan Wi-lian untuk naik ke atas panggung. Kepada Cian Ping dan anggota rombongan lainnya pun Hwe-liong-pang-cu berkata, “Silahkan naik, kalian adalah tamu-tamu kehormatanku, maaf jika tempatnya kurang memuaskan kalian.”

Sesungguhnya kehormatan yang diterima oleh Wi-hong dan rombongannya adalah kehormatan yang terlalu besar, dan seketika itu membuat melongo ribuan anggota Hwe-liong-pang yang menyaksikannya. Sedangkan bagi Au-yang Siau-hui dan rekan-rekan sekomplotannya, kejadian itu menimbulkan firasat buruk di dalam perasaan mereka.

Diam-diam mereka mulai menyesali diri kenapa harus ikut hadir di lembah ini, kenapakah tidak melarikan diri sejauh-jauhnya saja? Namun hati mereka pun merasa agak lega jika mengingat bahwa komplotan mereka cukup kuat dan tidak mudah untuk digilas begitu saja, apalagi di dalam komplotan itu sendiri terdapat tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi, seperti Sebun Say, Tang Kiau-po dan bahkan Te-liong Hiang-cu.

Di atas panggung tanah itu telah diletakkan batu-batu besar yang digunakan sebagai tempat duduk. Sebenarnya yang berhak duduk di panggung itu hanyalah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berpangkat Su-cia ke atas, namun kali ini Tong Wi-hong dan rombongannya mendapat kehormatan untuk duduk bersama-sama Sang Ketua di atas panggung, hal itu membuat orang-orang semacam Au-yang Siau-hui jadi cemburu dan gusar bukan main, tetapi tidak berani berbuat apa-apa.

Kini ribuan mata dipusatkan ke atas panggung semuanya. Sesaat nampak Hwe-liong-pang-cu berdiam diri untuk menguasai perasaannya, lalu terdengarlah suaranya yang bagaikan menggeram dan mengandung pengaruh gaib itu,

“Tujuanku mengadakan pertemuan lengkap Pang kita di lembah ini ada dua hal. Yang pertama, aku ingin mendengarkan sendiri laporan dari setiap Kelompok, dan meminta pertanggungan-jawab mereka tentang apa yang berhasil mereka lakukan selama ini, untuk menetapkan pahala dan hukuman bagi mereka.”

Seluruh lembah sunyi senyap, sementara debaran jantung beberapa orang yang merasa bersalah mulai berdenyut lebih cepat, menunggu bagaimana kelanjutan nasib mereka. Kemudian terdengar pula suara Hwe-liong-pang-cu,

“Tujuan kedua, aku mendengar bahwa sudah banyak anggota kita yang bertindak menyeleweng dari garis perjuangan yang telah aku tetapkan. Untuk para penyeleweng itu, aku akan mengambil tindakan khusus...”

Kalimat yang terakhir ini segera disambut dengan suara mendengung seperti jutaan ekor lebah yang terbang bersama-sama. Kiranya para anggota Hwe-liong-pang itu mulai saling berbisik-bisik satu sama lain. Biarpun hanya berbisik-bisik, namun karena yang berbisik-bisik itu ribuan orang secara serempak maka suaranyapun mendengung di lembah itu.

Hwe-liong-pang-cu mengangkat tangannya untuk menenangkan keadaan, dan suara mendengung itupun seketika reda. Kali ini Hwe-liong-pang-cu bangkit berdiri dari tempat duduknya, suaranya pun lebih keras dari tadi, “Kudengar pula ada sekelompok orang yang tidak puas kepada kepemimpinanku, dan bahkan akupun sudah tahu bahwa mereka telah mempersiapkan perlawanan untuk mendongkel kedudukanku. Kini aku katakan kepada mereka, bahwa mereka akan gagal dan bahkan akulah yang akan menumpas habis pengkhianat-pengkhianat itu!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan keras dan dilambari pula dengan perasaan murka sehingga nadanya pun menggetarkan hati. Te-liong Hiang-cu beserta orang-orang sekomplotannya pun segera merasakan hati mereka tergoncang keras, namun mereka masih berusaha untuk bersikap tenang dan pura-pura tidak paham apa yang diucapkan Sang Ketua.

Setelah menumpahkan perasaan murkanya lewat kata-kata, Hwe-liong-pang-cu merasa agak puas. Suaranya pun menurun dan terdengar lebih lunak, “Sekarang aku ingin mendengar laporan dari masing-masing Tong-cu tentang apa yang telah mereka hasilkan selama ini.”

Maka mulailah para Tong-cu itu satu persatu maju ke depan untuk memberi laporan. Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) yang diwakili oleh Bu Ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim segera melaporkan bahwa Pek-ki-tong telah berhasil menumpas sebagian besar bajak laut di Laut Kuning yang sering mengganggu ketentraman para nelayan pesisir timur, sehingga untuk sementara waktu gerombolan bajak laut itu dilumpuhkan kekuatannya.

Lalu Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) juga melaporkan bahwa mereka berhasil menolong banyak orang miskin dari jeratan tuan tanah, sehingga banyak orang miskin yang secara sukarela bergabung dengan Hwe-liong-pang. Setelah itu giliran Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) diwakili oleh Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang melaporkan bahwa mereka berhasil membasmi “para penjahat” yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong, dan dengan demikian “mengamankan” rakyat dari “gangguan” mereka.

Mendengar laporan Ang-ki Tong-cu yang diputar-balikkan itu, Wi-lian yang ikut mendengarkan itu menjadi sangat gemas dan mencaci kelicinan Ko Ce-yang. Namun Wi-lian berdiam diri saja sebab merasa dirinya sebagai bukan orang Hwe-liong-pang dan tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. Dia hanya berharap agar hukuman dan pahala dijatuhkan secara adil kepada yang bersalah dan berjasa.

Begitulah secara berturut-turut para Tong-cu melaporkan hasil kerjanya selama ini, sebagai manusia tentu saja semuanya melaporkan kebaikannya saja. Nampaklah Hwe-liong-pang-cu diam saja mendengarkan laporan para Tong-cu itu. Karena wajahnya tertutup oleh topeng, maka orang tidak tahu bagaimana perubahan air mukanya, apakah ia merasa puas atau kecewa.

Setelah delapan Tong-cu selesai melaporkan hasil kerjanya masing-masing, terdengarlah Hwe-liong-pang-cu berkata dengan suara menggeram, “Aku mengetahui bahwa beberapa orang Tong-cu memberikan laporannya secara tidak jujur. Mereka mengira aku tidak tahu peristiwa yang sebenarnya tentang Sin-hou-bun dan Tiong-gi Piau-hang, yang sama sekali berbeda dengan yang kalian laporkan!”

Lalu Hwe-liong-pang-cu menoleh kepada Thian-liong Hiang-cu yang duduk di sebelahnya, serta berkata, “Sam-sute (adik seperguruan ketiga), coba kau bicara sebenarnya tentang apa yang kau ketahui.”

Lebih dulu Thian-liong Hiang-cu memberi hormat kepada Ketuanya, lalu mulai berkata, "Kira-kira dua bulan yang lalu, Jing-ki-tong dengan alasan yang sangat lemah telah melakukan suatu tindakan yang menggemparkan dunia persilatan dan dapat membahayakan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang kita. Mereka telah melakukan tindakan berdarah di kota Tay-beng, yaitu membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang bernama Cian Sin-wi. Menurut hasil penyelidikanku, tindakan itu ternyata hanya untuk melampiaskan dendam pribadi salah seorang anggota Jing-ki-tong yang bernama Song Kim, namun diberi kedok seakan-akan untuk perjuangan Hwe-liong-pang, sehingga sekarang ini nama Hwe-liong-pang sudah sangat kotor bagi umat persilatan di wilayah Kang-pak!”

Hwe-liong-pang-cu mendengus dan membentak kepada Au-yang Siau-hui, “Auyang Tong-cu, apa katamu sekarang?!”

Dengan kaki yang agak gemetar, Au-yang Siau-hui menjura kepada Hwe-liong-pang-cu dan menyahut, “Harap Pang-cu mengetahui, bahwa dalam tindakan tersebut aku punya pertimbangan sendiri, semuanya kulakukan demi perkembangan dan kejayaan Hwe-liong-pang. Si tua she Cian itu secara terang-terangan telah berani merobek-robek surat kiriman kami. Jika hal itu didiamkan, maka akan meruntuhkan kewibawaan Hwe-liong-pang.”

Cian Ping yang duduk di samping Wi-hong itu, sudah gemetar seluruh tubuhnya karena marahnya mendengar jawaban Au-yang Siau-hui itu. Hampir saja Cian Ping berdiri dan berteriak membantah ucapan Au-yang Siau-hui itu, namun Wi-hong telah keburu menangkap tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar Cian Ping jangan terburu nafsu.

Ternyata meskipun Cian Ping tidak membantah, ada juga orang Hwe-liong-pang sendiri yang membantah perkataan Au-yang Siau-hui itu. Orang itu bukan lain adalah Rahib Hong-goan yang berkata sambil tertawa dingin, “O, kiranya begitulah cara Auyang Tong-cu dalam menegakkan kewibaan Pang kita. Lalu bagaimana hasilnya? Benarkah Pang kita ini sekarang sudah menjadi sebuah Pang yang dihormati dan berwibawa?”

Au-yang Siau-hui tertunduk dan tidak mampu menjawab. Matanya berkali-kali melirik ke arah Te-liong Hiang-cu yang duduk di panggung, mengharap agar Te-liong Hiang-cu berbicara untuk membela kedudukannya yang tersudut. Namun Te-liong Hiang-cu itu berpura-pura tidak tahu akan lirikan Au-yang Siau-hui, sehingga Au-yang Siau-hui hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hatinya.

Rupanya Te-liong Hiang-cu dapat merasakan bahwa anak buahnya sedang kalah semangat dalam menghadapi pengikut Hwe-liong-pang-cu, karena itu terpaksa ia membiarkan Au-yang Siau-hui dalam kesulitan sendiri, bahkan mampus pun jangan dibela asal kedoknya sendiri tetap tertutup.

Sementara itu Hwe-liong-pang-cu telah mengucapkan keputusannya, “Menimbang beratnya kesalahan yang diperbuat oleh Auyang Tong-cu, sehingga membuat nama Hwe-liong-pang tercoreng hebat, maka aku putuskan bahwa dia kupecat dari jabatan Jing-ki-tong-cu dan akan dikurung sambil menunggu putusan berikutnya!”

Au-yang Siau-hui sangat gugup mendengar putusan itu, dia hampir pasti bahwa “putusan selanjutnya” itu tentu akan memaksanya untuk menelan sebutir racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Mukanya jadi putih karena takutnya, teriaknya dengan ketakutan, “Harap Pang-cu mengetahui bahwa aku melakukan pembunuhan kepada Cian Sin-wi itu bukan karena kehendakku sendiri dan tidak seorang diri pula! Tang Kiau-po itulah yang mendorong dan merestui tindakanku itu!”

Begitulah, dalam keadaan ketakutan karena terancam hukuman mati, Au-yang Siau-hui mencoba mencari “kawan seperjalanan” dengan jalan menyeret rekan-rekan sekomplotannya agar ikut dihukum.

“Bohong!” bantah Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dari atas panggung. Mukanya yang biasanya garang itupun menjadi agak pucat karena takut rahasianya terbongkar.

Sementara itu, adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, Au-yang Siau-pa, ternyata bersikap jantan dan tidak perlu tedeng aling-aling. Ia melangkah maju ke depan Hwe-liong-pang-cu, memberi hormat lalu berkata dengan suara yang lantang, “semua yang diucapkan oleh piau-ko (kakak sepupu) hamba itupun benar semuanya. Tang Su-cia ikut mendorong dan merestui tindakan kami ketika itu, meskipun dia sendiri tidak ikut turun tangan secara langsung, dan sekarang Tang Su-cia secara pengecut menghindari tanggung jawabnya. Aku sendiri pun ikut dalam peristiwa itu dan siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu!”

“Bohong! Bohong!” teriak Tang Kiau-po dengan gugup. “Pang-cu, bangsat kakak beradik she Auyang ini sedang memfitnah aku untuk mencari teman dalam kesulitan mereka. Dosa mereka tidak pantas diampuni, hendaknya dihukum mati sekarang juga!”

Ucapan Tang Kiau-po yang bernada sangat pengecut dan terang-terangan melepaskan tanggung-jawab dan kesetia-kawanan itu seketika menimbulkan rasa muak dan marah bagi orang-orang sekomplotannya sendiri, Au-yang Siau-hui sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang selama ini mendorong dan menganjurkannya, ternyata dalam keadaan sulit seperti itu justru melepaskannya begitu saja dan tidak menolongnya.

Sebaliknya adik misannya yang selama ini dianggapnya tolol dan selalu dibentak-bentaknya, justru berani membelanya secara jantan. Akhirnya terbukalah mata Au-yang Siau-hui dan dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Katanya kepada adik misannya itu, “Piau-te, ternyata baru hari ini aku memahami pepatah yang mengatakan bahwa „nasehat seorang kawan sejati memang baru nampak gunanya setelah dalam kesulitan‟, begitu pula kawan sejati ialah kawan dalam kesulitan. Aku menyesal bahwa selama ini aku tidak menyadarinya. Adikku yang baik, selamat tinggal...”

Dan tanpa dapat dicegah oleh siapapun lagi, secepat kilat Au-yang Siau-hui mencabut pisau belati dari dalam bajunya dan langsung menikamnya ke ulu hatinya sendiri. Darah muncrat membasahi pakaiannya dan rerumputan di bawah kakinya, dan sesaat kemudian terkulailah tubuh seorang tokoh yang pernah ditakuti di daerah Su-coan dan pernah bergelar Co-siang-hui-mo itu. Menghembuskan napas terakhirnya di bawah ribuan pasang mata. Agaknya Au-yang Siau-hui sangat takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh, dimana tubuhnya akan lenyap seketika menjadi darah dan air, maka dia memilih mati dengan tubuh yang utuh.

“Piau-ko,” seru Au-yang Siau-pa sambil menubruk tubuh kakak misannya yang sudah tidak bernyawa itu. Sesaat dia termangu-mangu seakan-akan tidak mempercayai kenyataan di depannya, bahwa kakak misannya yang selalu didampinginya itu kini telah menjadi sesosok mayat. Dan akhirnya hanya terdengar helaan napas Au-yang Siau-pa yang berat. Kemudian Au-yang Siau-pa berdiri menghadap Hwe-liong-pang-cu dan berkata tegas,

“Hamba siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu, karena peristiwa berdarah di kota Tay-beng itu, biarlah hamba menggantikan tanggung-jawab kakak hamba. Tetapi hamba hanya mohon kiranya Pang-cu mengabulkan sebuah permohonan hamba!”

“Katakan, akan kupertimbangkan,” kata Hwe-liong-pang-cu.

“Hamba mohon kiranya Pang-cu memperkenankan tubuh kakak misan hamba tetap dalam keadaan utuh, supaya dapat hamba kuburkan secara layak.”

Sementara itu, Tong Wi-hong diam-diam mengagumi sifat-sifat Au-yang Siau-pa yang jantan itu, timbullah rasa sayangnya jika orang seperti itu sampai harus dihukum mati. Maka diam-diam Wi-hong menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) ke telinga Hwe-liong-pang-cu dan berkata,

“A-siang, orang ini berwatak berani dan setia. Jika kau dapat mengampuninya dan mengambil hatinya, maka kau akan punya seorang pembantu yang dapat diandalkan di kemudian hari...”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 24

Perserikatan Naga Api Jilid 24

Karya : Stevanus S.P
MENDADAK Rahib Hong-goan berdiri dari tempat duduknya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tong Wi-siang, sambil berkata dengan suara yang parau, “Pang-cu, aku mohon keadilan untuk saudara Ling Thian-ki!”

Menyusul Ci-ki-tong-cu Lu Siong dan Pek-ki-tong-cu Oh Yun- kim juga berlutut dan mengajukan permohonan yang sama. Sedangkan Ling Thian-ki tetap duduk mematung di tempatnya, sementara dua titik air yang jernih telah mengalir keluar dari sepasang matanya.

Tong Wi-siang duduk termangu-mangu dan tidak dapat segera menyanggupi permintaan dari anak buahnya itu. Meskipun Tong Wi-siang sendiri sangat geram dan besar keinginannya untuk membersihkan perkumpulannya dari orang-orang yang menodai garis perjuangannya itu, namun Wi-siang juga sadar bahwa komplotan yang hendak disingkirkannya itupun punya kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Dia sadar bahwa usaha “pemurnian” garis perjuangan itu akan dapat membelah Hwe-liong-pang menjadi dua bagian besar yang saling bertentangan.

Dalam kebingungannya untuk mengambil keputusan itu, Wi-siang menoleh ke arah Wi-hong dan bertanya, “A-hong, kau banyak membaca buku dan berpandangan luas, bagaimana pendapatmu tentang hal ini?”

Hati Wi-hong tergetar mendengar pertanyaan ini, namun dia menyahut juga dengan tangkas, “Menghilangkan suatu penyakit dalam tubuh sendiri kadang-kadang memang terasa terlampau sakit, namun lebih rasa sakit itu dialami daripada seluruh tubuh menjadi busuk!”

Tong Wi-siang menarik napas mendengar jawaban adik laki-lakinya itu, kemudian ia berpaling kepada adiknya yang satu lagi dan melemparkan pertanyaan bernada sama, “Dan bagaimana pikiranmu, A-lian?”

Pendapat adik perempuannya itu ternyata tidak jauh berbeda, “A-siang, tanpa mempunyai peraturan tata tertib yang berani menghukum anggotanya sendiri yang bersalah, maka suatu perguruan atau perkumpulan akan sulit diterima dalam pergaulan masyarakat dunia persilatan. Ini telah terbukti jika kita melihat sejarah perguruan-perguruan besar seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Begitu pula Hwe-liong-pang, juga harus berani menertibkan anggotanya sendiri, supaya dunia persilatan dapat menerima Hwe-liong-pang sebagai sahabat. Dunia persilatan yang bersejarah ratusan tahun, selamanya belum pernah dan tidak akan pernah bisa menerima suatu perguruan atau perkumpulan yang hanya mengandalkan kekuatan senjata dan mau menangnya sendiri saja, cepat atau lambat, perguruan semacam itu akan menjadi musuh bersama seluruh dunia persilatan.”

Wi-siang hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menjawab. Nampaklah kerut-kerut kulit yang dalam muncul di keningnya. Dalam usianya yang baru 26 tahun itu, dia jadi nampak lebih tua seperti seorang yang berusia empat puluh tahun lebih.

Pada saat Tong Wi-siang masih dalam keraguan itulah Ling Thian-ki ikut berbicara pula, “Pang-cu, saat ini Pang kita sedang dihadapkan kepada dua pilihan yang meskipun sama beratnya tetapi kita harus memilih salah satu. Pilihan pertama, kita mampu menertibkan diri sendiri, sehingga meskipun keadaan kita pada saat itu agak lemah namun dapat diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh dunia persilatan. Kedua, kita akan tetap membiarkan Hwe-liong-pang kita dalam keadaan seperti ini, kelihatannya kuat dan banyak anggotanya, namun sesungguhnya kita hanya menunggu kehancuran belaka, sebab jika sampai kemarahan dunia persilatan tidak terbendung lagi, maka kita benar-benar akan menghadapi kesulitan besar. Nah, kita akan menempuh jalan yang pertama atau kedua, sekarang ini hanya tergantung dari sepatah kata dari Pang-cu!”

Ucapan kedua orang adik Wi-siang, ditambah lagi dengan perkataan Ling Thian-ki yang semuanya didukung dengan alasan kuat itu, akhirnya memperteguh hati Wi-siang untuk mengambil suatu keputusan dan menyingkirkan semua kebimbangannya. Dengan suara rendah akhirnya dia berkata,

“Dengan bantuan dan dukungan saudara-saudara sekalian yang tetap berpegang kepada cita-cita murni Hwe-liong-pang, aku memutuskan untuk mengadakan penertiban dan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran!”

Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Oh Yun-kim dan Lu Siong serempak berseru menyambut keputusan itu, “Kami sekalian akan setia terhadap cita-cita luhur Hwe-liong-pang!” Dan setelah itu barulah mereka bangkit dari berlututnya.

Tong Wi-siang merasakan sebuah beban perasaan yang berat telah terlepas dari hatinya, namun sebaliknya kini sebuah kewajiban baru yang maha berat telah terletak di pundaknya, meskipun dia telah bertekad bulat untuk menyelesaikan kewajiban itu sebaik-baiknya. Setelah mempersilahkan semua orang untuk duduk kembali di kursi masing-masing, Tong Wi-siang lalu berkata,

“Suatu cita-cita yang besar memang selalu menuntut pengorbanan yang kadang-kadang terasa terlalu pahit. Demikian pula cita-cita besar Hwe-liong-pang kita harus tetap berjalan terus dan tidak boleh dibelokkan, meskipun untuk itu kita dengan berat hati harus mengorbankan sebagian dari saudara-saudara kita sendiri yang telah bertindak menyeleweng.”

Makan minum itupun berlangsung sampai agak larut malam, sampai Tong Wi-hong dan Wi-lian menyatakan hendak pulang ke rumah keluarga Tong. Sebelum pulang, Wi-hong masih ingat untuk menyampaikan pesan Ting Bun yang sangat rindu ingin bertemu dengan Tong Wi-siang, karena kedua orang itu memang pernah bersahabat. Tetapi mengingat bahwa Hwe-liong-pang sedang menghadapi persoalan yang rumit.

Maka untuk sementara Wi-siang tidak dapat memenuhi permintaan Ting Bun itu. Wi-siang hanya menitipkan salam hangat untuk Ting Bun, Cian Ping serta dua saudara So, namun ia minta agar kedudukannya sebagai Hwe-liong-pang-cu untuk sementara dirahasiakan terhadap orang-orang tadi.

Betapapun juga, kedudukan sebagai Hwe-liong-pang-cu pada saat itu bukanlah sesuatu yang membanggakan mengingat kelakuan busuk dari beberapa anggota Hwe-liong-pang yang mencemarkan nama perkumpulan itu. Itulah alasan Wi-siang untuk menyembunyikan kedudukannya sementara waktu.

Tetapi Wi-siang menyatakan bahwa adik-adiknya dan rombongan kawan-kawannya, jika mau, diperbolehkan menghadiri pertemuan Hwe-liong-pang yang akan diselenggarakan di Jia-hoa-kok itu. Mereka boleh menyaksikan sendiri bagaimana Hwe-liong-pang akan menertibkan diri sendiri secara keras. Agaknya Wi-siang ingin menunjukkan pula kepada orang luar bahwa niatnya untuk menertibkan diri itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, agar pandangan dunia luar terhadap Hwe-liong-pang pun akan berubah.

Wi-hong dan Wi-lian mencapai tepi telaga Po-yang-ou dengan menaiki sebuah sampan, diantar oleh Lu Siong. Setelah di tepi telaga mereka saling mengucapkan salam perpisahan dengan Lu Siong, maka kakak beradik itupun kembali ke rumahnya. Kepulangan mereka yang larut malam itu membuat Ting Bun dan lain-lainnya menjadi lega, setelah mereka gelisah sejak sore tadi. Ting Bun menjadi agak kecewa karena dia belum bisa bertemu dengan Tong Wi-siang sahabatnya itu.

Keenam anak muda itu tinggal di rumah keluarga Tong, melewati hari demi hari sampai tibanya hari yang ditentukan untuk pertemuan Hwe-liong-pang itu. Selama menunggu hari itu, mereka hanya memusatkan perhatian kepada peningkatan ilmu silatnya masing-masing. Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang memiliki ilmu paling tinggi dibandingkan kawan-kawannya, bertindak sebagai pelatih dan pembimbing bagi lain-lainnya. Dalam waktu beberapa hari saja, ilmu anak-anak muda itu telah mengalami perbaikan beberapa bagian.

Selain kesibukan berlatih silat itu, selama beberapa hari itu dimanfaatkan pula oleh Wi-hong untuk meyakinkan Cian Ping bahwa ternyata tidak semua orang Hwe-liong-pang sejahat seperti yang dibayangkan. Seperti diketahui, Cian Ping sangat membenci orang-orang Hwe-liong-pang karena kematian ayahnya.

Dan Wi-hong susah membayangkan bagaimana kelangsungan hubungannya dengan gadis itu, apabila kelak gadis itu tahu rahasia Tong Wi-siang sebagai Hwe-liong-pang-cu. Itulah sebabnya Wi-hong pun berusaha mati-matian mengubah pandangan Cian Ping terhadap Hwe-liong-pang.

Ternyata puteri Cian Sin-wi yang keras hati itu dapat juga diberi pengertian sedikit demi sedikit, apalagi karena Cian Ping juga sudah melihat sendiri bagaimana Thian-liong Hiang-cu dan Lam-ki-tong-cu In Yong yang bertemu di tempat penyeberangan itu, ternyata berbeda sifat dan tingkah-lakunya kalau dibandingkan dengan orang-orang Hwe-liong-pang lainnya, seperti Mo Hui atau Sebun Say.

Melihat perkembangan sikap Cian Ping itu, Wi-hong masih belum lega betul-betul, sebab dia masih ragu-ragu bagaimana kalau mengetahui kakaknya ternyata adalah Hwe-liong-pang-cu? Terhadap masalah ini, Wi-hong hanya bisa berharap saja dalam hatinya, semoga semua berjalan dengan baik.

* * * * * * *

AKHIRNYA hari yang ditunggu itupun tiba, hari di mana pertemuan lengkap Hwe-liong-pang akan diselenggarakan. Sejak pagi-pagi benar, Wi-hong dan kawan-kawannya telah mempersiapkan dirinya. Bukan hanya jasmani dan senjata mereka saja yang dipersiapkan, melainkan juga batin mereka. Mereka yang menggembirakan, namun lebih tepat kalau dikatakan hendak memasuki sarang serigala.

Mereka sudah kenal ketangguhan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang seperti Sebun Say, Au-yang Siau-hui dan sebagainya, dan kini tokoh-tokoh yang menakutkan itu akan berkumpul semuanya! Meskipun dalam mempersiapkan diri itu mereka kadang-kadang bergurau satu sama lain, tetapi tidak terhindar kadang-kadang tampak ketegangan di wajah mereka.

Di halaman depan, nampaklah beberapa orang pelayan telah mempersiapkan enam ekor kuda yang akan dipakai Wi-hong dan kawan-kawannya. Keenam ekor kuda itu semuanya sudah dimandikan bersih-bersih, diberi makan sekenyang-kenyangnya dan diberi pelana. Begitu cahaya matahari pagi yang hangat itu mulai menyentuh pucuk-pucuk cemara di tepi danau, berkatalah Tong Wi-hong kepada kawan-kawannya,

“Sebaiknya kita berangkat sekarang, supaya tidak kesiangan tiba di Jian-hoa-kok.”

Tidak lama kemudian, berderaplah enam ekor kuda yang tegar dengan enam orang penunggangnya yang perkasa, meninggalkan rumah keluarga Tong dan menembus udara pagi yang masih agak berkabut itu. Mereka menjalankan kuda mereka ke arah timur laut, ke arah kota Lam-cang. Namun mereka tidak akan menuju ke kota itu, melainkan nantinya akan membelok ke arah sebuah lembah yang bernama Jian-hoa-kok dan yang digunakan untuk pertemuan Hwe-liong-pang itu.

Kira-kira dua peminuman teh mereka berkuda, tibalah mereka di sebuah persimpangan jalan. Yang sebelah kanan adalah jalan raya yang menuju ke kota Lam-cang. Sedangkan jalan yang menuju ke lembah Jian-hoa-kok adalah sebuah jalan kecil yang kiri kanannya ditumbuhi belukar. Wi-hong memimpin kawan-kawannya untuk menyusuri jalan sempit itu.

Di sepanjang jalan nampak bunga-bunga yang beraneka warna seakan-akan sedang bertanding dalam memamerkan kecantikannya masing-masing di bawah cahaya matahari yang hangat itu. Tetapi Tong Wi-hong dan rombongannya tidak sempat lagi menikmati keindahan lembah itu, hati mereka sedang diliputi perasaan tegang karena membayangkan apa yang bakal mereka hadapi setelah berada di tengah-tengah orang-orang Hwe-liong-pang nanti.

Di antara orang-orang Hwe-liong-pang itu terdapat orang-orang yang bersikap bersahabat kepada Wi-hong, seperti In Yong dan Lu Siong, namun juga terdapat musuh bebuyutan yang membencinya seperti Au-yang Siau-hui serta Sebun Say, si iblis pendek dari Jing-hay itu.

Setelah mereka berkuda agak cepat kira-kira dua li, tiba-tiba dari gerumbul semak-semak di pinggir jalan melompatlah beberapa orang lelaki yang semuanya berseragam hitam, berikat kepala warna biru, berikat pinggang warna biru pula. Semuanya memegang senjata terhunus.

“Berhenti!” bentak orang-orang itu sambil menghadang di depan kuda Tong Wi-hong. “Harap sebutkan nama kalian dan apa tujuan kalian menuju ke Jian-hoa-kok!”

Tong Wi-hong menyadari bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang disebar di sekitar Jian-hoa-kok untuk mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke lembah itu. Maka Tong Wi-hong pun berbicara secara terang-terangan kepada orang-orang itu, “Hwe-liong-pang-cu pribadilah yang mengundang kami untuk ikut menghadiri pertemuan ini, biarpun kami bukan anggota Hwe-liong-pang. Karena itu kami mohon agar saudara-saudara suka memberi jalan buat kami.”

Anak buah Hwe-liong-pang itu nampak menjadi bimbang mendengar jawaban Wi-hong itu, agaknya mereka tidak dapat segera menentukan apakah ucapan Wi-hong itu berbohong ataukah bersungguh-sungguh? Peraturan Hwe-liong-pang sangat keras dan tak kenal ampun, jangan-jangan ada mata-mata dari luar yang menyelundup masuk.

Sehingga dengan demikian para penjaga yang bertugas itu akan kebagian hukuman mati. Tetapi mungkin juga bahwa Wi-hong dan kawan-kawannya memang benar-benar diundang oleh Pang-cu mereka. Karena itulah maka rombongan penjaga itu menjadi bingung untuk menetapkan apakah Wi-hong itu kawan atau lawan.

Seorang lelaki berseragam hitam yang berumur kira-kira empat puluh tahun dan bersikap gagah, segera menjura kepada Tong Wi-hong dan berkata dengan sikap menghormat, “Apakah Hwe-liong-pang-cu ketika mengundang kalian itu juga memberi suatu surat atau tanda pengenal lain untuk membuktikan bahwa kalian benar-benar datang diundang oleh beliau?”

Mendapat pertanyaan semacam itu, seketika itu juga Wi-hong terperangah, tanpa sadar dia bertukar pandangan dengan kawan-kawan serombongannya. Agaknya ketika kakaknya memesankan kepadanya supaya datang ke Jian-hoa-kok itu, sang kakak lupa mengenai soal yang sederhana ini. Dan kini Tong Wi-hong benar-benar menghadapi kesulitan.

Sikap Wi-hong yang gugup itu langsung diketahui oleh lelaki gagah itu. Ia segera memberi hormat lagi dan berkata, “Jika tuan-tuan tidak membawa pertanda apa-apa dari Pang-cu kami, maaf, terpaksa kami tidak dapat mengijinkan tuan-tuan untuk memasuki lembah. Harap tuan-tuan memaklumi bahwa tanggung-jawab kami cukup berat dalam mengamankan jalannya pertemuan ini.”

Melihat sikap orang itu yang begitu menghormatinya, Tong Wi-hong merasa tidak sampai hati untuk menerjang masuk begitu saja, sebab itu berarti mencelakakan para penjaga itu. Tetapi Wi-hong juga merasa berat hatinya jika harus melewatkan kesempatan baik untuk melihat jalannya penertiban dalam tubuh Hwe-liong-pang itu. Untuk sementara Wi-hong jadi kehilangan pegangan bagaimana harus bertindak mengatasi kesulitan itu.

Pada saat ia sedang berpikir keras, tiba-tiba dari arah lembah kelihatanlah ada dua orang lelaki penunggang kuda yang menuju ke arah mereka dengan cepatnya. Setelah cukup dekat, nampaklah bahwa kedua orang penunggang kuda itu ternyata adalah Lo Siong dan In Yong, dua orang Tong-cu (pemimpin kelompok) dalam Hwe-liong-pang yang masing-masing memimpin Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu) dan Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru). Keduanya sudah dikenal oleh Wi-hong.

Anak buah Hwe-liong-pang yang menjaga mulut lembah itupun segera membungkuk hormat kepada kedua Tong-cu itu, dan berucap, “Hormat kami kepada Ji-wi Tong-cu!”

Lu Siong dan In Yong hanya menganggukkan kepala sedikit untuk menyambut penghormatan orang-orang itu, kemudian mereka langsung mendekati rombongan Tong Wi-hong. Kata Lu Siong, “Pang-cu telah khilaf tidak membekali tanda pengenal apapun kepada saudara-saudara, sehingga kalian mengalami kerepotan dari anak buah kami. Tetapi untung aku teringat untuk menjemput kalian. Nah, silahkan ikuti kami.”

Sementara itu In Yong juga telah berkata kepada Tong Wi-hong, “Selamat bertemu kembali, saudara Tong. Hwe-liong-pang hari ini akan mengalami suatu peristiwa besar yang tidak akan terlupakan seumur hidup, hari ini kami akan membasmi para penyeleweng untuk mengembalikan tujuan kami ke garis perjuangan yang murni. Kebetulan saudara-saudara sekalian dapat melihatnya sendiri untuk menjadi saksi tentang apa yang akan terjadi di lembah ini!”

Sikap In Yong begitu bersungguh-sungguh dan bersemangat. Tong Wi-hong tahu bahwa Lam-ki-tong-cu ini berdiri di pihak kakaknya, karena itu Tong Wi-hong pun menyahut dengan hormat, “Segala perbuatan yang baik pasti akan direstui Thian. Saudara In, aku ikut berdoa agar penertiban ini akan berjalan dengan lancar, sehingga Hwe-liong-pang sebagai sebuah kekuatan yang besar kelak akan terasa manfaatnya bagi orang banyak, bukan lagi merupakan malapetaka.”

Yang menjaga jalan itu memang anggota-anggota Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong, yaitu anak buah In Yong, karena itu rombongan Wi-hong tidak mengalami kesulitan lagi dalam menuju langsung ke tengah lembah. Mereka memang masih melalui beberapa pengawalan lagi, namun semuanya dilalui dengan cukup lancar karena Wi-hong diantar sendiri oleh In Yong dan Lu Siong.

Begitu tiba di tengah lembah Jian-hoa-kok yang luas itu, Wi- hong dan kawan-kawannya segera melihat bahwa lembah yang luas itu kini telah dipenuhi dengan ribuan manusia, namun suasananya tetap sunyi mencekam. Ribuan manusia itu duduk bersila di atas rerumputan dan membentuk suatu lingkaran raksasa. Mereka terbagi dalam delapan kelompok masing-masing menempati satu mata angin, tiap kelompok terdiri dari tiga ratus sampai empat ratus orang.

Semuanya berseragam hitam seperti penjaga-penjaga di mulut lembah tadi namun ikat kepala dan ikat pinggang mereka berbeda- beda menurut kelompoknya masing-masing, yaitu putih, kuning, hijau, biru, merah, coklat, ungu, dan hitam. Di depan tiap-tiap kelompok duduklah Tong-cu masing-masing kelompok dan wakilnya. Khusus untuk para Tong-cu dan Hu-tong-cu ini tidak diwajibkan memakai seragam hitam, melainkan berpakaian bebas sesuai dengan kesukaannya masing-masing.

Di tengah-tengah lembah tampaklah ada segundukan tanah datar seluas beberapa tombak yang agaknya akan digunakan sebagai panggung. In Yong dan Lu Siong segera menghantar tamu-tamunya untuk menuju ke arah “panggung” yang masih kosong itu. Melihat Tong Wi-hong dan kawan-kawannya mendapat kehormatan yang begitu besar, seketika tertariklah perhatian dari orang-orang Hwe-liong-pang lainnya.

Namun sebelum Wi-hong dan kawan-kawannya naik ke “panggung”, dari arah rombongan Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau) terdengarlah ada yang berteriak, “Saudara In dan saudara Lu, apakah kalian tidak keliru dalam menempatkan tamu-tamu kalian?”

Orang yang berteriak itu ternyata adalah Jing-ki-tong-cu yang sudah dikenal oleh Wi-hong, yaitu Au-yang Siau-hui yang berjulukan Co-siang-hui-mo (iblis terbang di padang rumput), seorang jagoan yang cukup ditakuti di wilayah Su-coan dan Kui-ciu itu. Di samping Au-yang Siau-hui, nampaklah Hu-tong-cu (wakil) yang bernama Au-yang Siau-Ppa, yang juga merupakan adik sepupunya itu. Tong Wi-hong pernah bertempur dengan kakak beradik sepupu ini ketika berada di kota Tay-beng.

Teriakan Au-yang Siau-hui itu segera disambung dengan teriakan seseorang yang lain, “Benar! Panggung kehormatan itu hanya khusus disediakan buat Pang-cu, tiga orang Hiang-cu serta empat orang Su-cia. Kenapa kunyuk-kunyuk kecil itu begitu tidak tahu diri, dan ingin duduk diatas panggung.”

Yang berteriak kali ini adalah Mo Hui, si pemimpin Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat) yang berjulukan Hong-long-cu (Serigala Gila) itu. Tokoh ini pernah dihajar habis-habisan oleh Wi-lian di sebuah warung arak di luar kota Kiang-leng, sehingga tokoh ini punya dendam kesumat kepada gadis murid Siau-lim-pay itu. Kini dia sudah berdiri dari tempat duduknya, matanya yang tinggal satu itu menatap Wi-lian dengan penuh kebencian, sementara tangannya sudah menggenggam tombaknya yang bergerigi seperti gigi serigala itu.

Seruan Au-yang Siau-hui dan Mo Hui itu langsung saja mendapat dukungan dari Ang-ki-tong-cu Ko Ce-yang serta Hek-ki-tong-cu Lam-kiong Hok. Keempat orang Tong-cu ini memang sehaluan dalam sikap dan perbuatan mereka bahkan tidak jarang mereka bekerja sama dalam melakukan kejahatan kejahatan mereka.

Di tengah-tengah suasana yang semakin ribut itu, terdengarlah bentakan Lu Siong menggelegar bagaikan geledek, “Saudara-saudara harap mengendalikan diri! Dengarlah perkataanku!”

Hiruk-pikuk itupun segera sirap diganti dengan kesunyian yang mencekam, lalu terdengar Lu Siong berkata dengan suaranya yang tegas, “Harap saudara-saudara ketahui, bahwa saudara tong dengan rombongannya ini memang benar-benar merupakan orang undangan Pang-cu sendiri. Kebetulan aku hadir dalam perjamuan malam di atas kapal pribadi Pang-cu beberapa malam yang lalu, dan dengan telingaku sendiri aku mendengar bahwa Pang-cu mengundang saudara Tong dan kawan-kawannya untuk menghadiri dan menyaksikan pertemuan ini. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka mendapat tempat duduk kehormatan, karena diundang oleh Pang-cu sendiri!”

Namun ucapan Lu Siong itu agaknya tidak mudah dipercaya. Siapa yang mau percaya bahwa Ketua Hwe-liong-pang yang maha sakti dan menakutkan itu mengundang beberapa orang muda yang kurang dikenal dalam dunia persilatan? Terdengarlah Mo Hui tertawa mengejek, “Lu Siong, siapa yang mau percaya kepada bualan kosongmu itu? Bicara terus terang saja, kau mengundang kekuatan dari luar untuk menyingkirkan kami yang tidak sehaluan denganmu, bukan?”

Lu Siong ini orangnya kasar dan bukan seorang penyabar pula, maka mendengar sahutan Mo Hui yang tajam itu, Lu Siong menjawab dengan tidak kalah kerasnya, “Mo Hui, jagalah mulutmu baik-baik kalau tidak ingin kurobek dengan kedua tanganku ini. Aku tidak perduli apakah kau mempercayai ucapanku tadi atau tidak, tetapi yang jelas keselamatan para tetamu ini adalah tanggung-jawabku!”

Dari arah Ang-ki-tong segera terdengar suara teriakan marah, “Lu Siong, kau kira hanya kau sendiri yang laki-laki di dunia ini?”

Yang berteriak itu tidak lain adalah Ko Ce-yang, pemimpin Ang-ki-tong yang sehaluan dengan Mo Hui itu. Ko Ce-yang adalah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian acak-acakan seperti gelandangan, sedangkan pandangan matanya liar mengerikan. Sebelum ia bergabung ke dalam Hwe-liong-pang, dia cukup terkenal di dunia persilatan dengan julukan Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pengejar Nyawa). Senjatanya adalah sebuah tongkat baja di tangan kanan, dilengkapi sebuah mangkuk baja pula di tangan kirinya. Dengan sepasang senjatanya itu, entah sudah berapa banyak nyawa lawan yang diamblaskannya.

Dalam pada itu Hek-ki-tong-cu Lam-kiong Hok mulai ikut menghasut pula, “Siapapun anggota Hwe-liong-pang kita pasti mengetahui bahwa gadis Siau-lim-pay itu adalah musuh besar Hwe-liong-pang kita. Ingat saja bahwa gadis itu pernah mencelakai Ang-ki-hu-tong-cu (Wakil Kelompok Bendera Merah) dalam pertempuran di Kay-hong, yaitu pada waktu Ang-ki-hu-tong-cu sedang menjalankan tugas untuk mengejar dan menumpas tiga ekor tikus kecil yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong itu! Jelaslah bahwa gadis itu mempunyai permusuhan mendalam dengan Hwe-liong-pang, terutama dengan Ang-ki-tong, dia harus ditumpas dan bukan malah didudukkan di tempat kehormatan.”

Ko Ce-yang memang berkepandaian tangguh, namun sayang otaknya agak bebal dan mudah menerima hasutan orang lain. Kata-kata Lam-kiong Hok yang mengingatkan tentang kejadian di Kay-hong itu, seketika membuat hati Ko Ce-yang menjadi terbakar panas, dia sebagai Pemimpin Ang-ki-tong merasa wajib untuk membalaskan dendam Wakilnya yang telah dicacatkan oleh Wi-lian itu. Maka dengan muka yang memancarkan nafsu membunuh dia berjalan mendekati Wi-hong dan rombongannya, dan katanya dengan dingin,

“Ang- ki-tong masih punya hutang piutang denganmu, gadis liar, mari kita bereskan sekarang!”

Biasanya Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang memang cukup ditakuti di dunia persilatan, julukannya saja sudah menunjukkan bagaimana pandangan orang terhadap dirinya. Tetapi kali ini si pengejar nyawa ini terbentur pada si macan betina Siau-lim-pay yang tidak kenal takut itu. Dengan air muka yang tidak berubah sedikitpun, Tong Wi-lian melangkah maju menyongsong lawannya, jawabnya tenang,

“Ang-ki-tong mu bertindak sewenang-wenang dimana-mana, tetapi hanya terhadap orang-orang yang tidak berani melawan. Begitu bertemu dengan orang yang berani, kalian tidak becus apa-apa. Yang mematahkan kaki Tan Han-ciang di Kay-hong memang aku. Aku menyesal kenapa hanya mematahkan kakinya dan tidak lehernya sekalian.”

Ko Ce-yang yang kejam itu sangat ditakuti oleh anak buahnya, tapi sekarang di hadapan ratusan orang anak buahnya dia ditentang terang-terangan oleh seorang gadis yang umurnya belum sampai dua puluh tahun, tentu saja kemarahannya tidak terkendali lagi. Tanpa peringatan lebih dulu dia melangkah ke depan secepat kilat, lalu tongkat baja di tangan kanannya menghantam dengan gerakan In-tiong-liong-sam-hian (Sang Naga Menampakkan diri Tiga kali di tengah mega).

Tongkatnya yang hanya satu bagaikan terpecah menjadi tiga batang yang mengurung bagian tengah, kiri dan kanan tubuh lawan. Jika lawannya berani maju, maka mangkuk bajanya yang akan menyambutnya, jadi lawannya hanya diberi satu kemungkinan, yaitu mundur ke belakang. Namun gadis murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay itu justru adalah seorang gadis keras kepala yang pantang mundur, sebab mundur dianggapnya sama dengan mengakui keunggulan lawannya.

Cepat Wi-lian merendahkan tubuhnya untuk menghindari sambaran tongkat lawan, dan tanpa menunggu lawan menarik tongkatnya kembali, Wi-lian langsung membalasnya dengan Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut menendang ke belakang) serendah lutut lawan. Ko Ce-yang dengan gugup mundur ke belakang. Ia tidak menyangka bahwa selain tidak mempan gertakan, gadis itupun ternyata dapat membalas serangan secepat itu.

Sebaliknya Wi-lian sungkan memberi hati kepada lawannya itu, begitu musuh mundur, maka Wi-lian lah yang mendesak maju. Gadis yang gemar dengan ilmu tendangan ini sekarang melompat sambil memutar tubuhnya dan melancarkan tendangan Ce-bi-kiak ke kening lawan.

Diam-diam Ko Ce-yang gembira melihat gadis itu menendang sambil melompat, ia merasa sudah tiba saatnya untuk mempertunjukkan kelihaiannya di depan anak buahnya. Tangkas sekali Ko Ce-yang menggerakkan mangkuk baja di tangan kirinya untuk “menangkap” telapak kaki Wi-lian yang menendang itu, dengan maksud untuk langsung diputar dan dibanting.

Begitu yakinnya Ko Ce- yang akan jurus andalannya itu, sehingga mulutnya pun ikut membentak, “Roboh kau...!”

Namun kecepatan dan ketangkasan Tong Wi-lian sama sekali diluar perhitungan lawannya. Selagi tubuhnya belum menginjak tanah, Wi-lian ternyata mampu memutar tubuhnya di tengah udara sambil menarik tendangannya dan digantikan oleh kaki yang lain dengan tendangan Sin-liong-pa-bwe (naga sakti mengibaskan ekornya).

Baru saja Ko Ce-yang membentak “roboh”, ternyata yang roboh adalah dirinya sendiri. Tubuhnya terpental mundur dua langkah dan langsung terkapar di tanah, karena tendangan Sin-liong-pa-bwe yang dilancarkan lawannya itu rupanya tepat mengenai dadanya. Untunglah bahwa pemimpin Ang-ki-tong itu punya tubuh yang kuat, sehingga hanya merasa sakit sedikit di dadanya. Namun demikian kejadian itu sudah cukup untuk meruntuhkan pamornya, seketika itu juga ia melompat bangkit dengan muka yang merah padam.

Sementara itu Mo Hui telah berseru kepada segenap anggota Hwe-liong-pang yang duduk di sekeliling panggung alam itu, “Para anggota Hwe-liong-pang sekalian! Rombongan anak-anak liar ini telah berani bertindak tanpa kendali dalam pertemuan agung kita ini, dan itu berarti bahwa mereka tidak memandang kita sebelah matapun. Hayo kita bereskan mereka!”

Seruan itu seketika mendapat tanggapan, terutama dari kelompok-kelompok bendera-bendera Merah, Hijau, Coklat dan Hitam. Seketika itu terdengar gemerincing bersahut-sahutan dari senjata yang ditarik keluar dari sarungnya. Sedangkan empat orang Tong-cu dari kelompok-kelompok itupun sudah mengepung Wi-hong dan teman-temannya, suasana menjadi tegang seketika.

Wi-hong dan teman-temannya pun tidak ingin dibantai mentah-mentah begitu saja, maka merekapun menyiapkan senjatanya pula. Wi-hong dengan pedangnya, Ting Bun dengan goloknya, Cian Ping dengan sepasang hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) dan dua saudara So dengan lembing- lembing mereka. Sedangkan Wi-lian yang lebih percaya kepada sepasang tangan kosongnya itupun telah mempersiapkan diri pula.

Dalam keadaan segenting itu, Lu Siong dan Oh Yun-kim telah melompat ke depan Wi-hong dan kawan-kawannya, sambil berteriak, “Keselamatan dari tamu-tamu undangan Pang-cu ini adalah tanggung-jawab kami. Siapapun dilarang mengusik mereka sebelum melangkahi mayat kami berdua!”

“Bukan berdua tetapi bertiga!” tiba-tiba In Yong memperbaiki ucapan Oh Yun-kim itu. Lalu dia pun berdiri berjajar dengan Lu Siong dan Oh Yun-kim, sementara sepasang golok tipisnya sudah keluar dari sarungnya dan tergenggam erat di kedua tangannya. Kata In Yong kemudian, “Aku percaya bahwa Pang-cu benar-benar mengundang mereka, karena itu akupun akan ikut bertanggung-jawab untuk melindungi tamu-tamu undangan Pang-cu ini dari tindakan-tindakan liar kalian!”

Suasana di dalam lembah itu seketika menjadi sunyi mencekam, para anggota Hwe-liong-pang yang bersorak-sorai tadipun sudah bungkam semuanya. Kini para anggota menjadi kebingungan melihat pertentangan antar Tong-cu itu, mereka tidak tahu apakah harus memihak Au-yang Siau-hui dan kelompoknya ataukah harus membela Oh Yun-kim dan kelompoknya pula?

Di tengah ketegangan yang mencekam itu tiba-tiba terdengarlah sebuah suara yang memecah kesunyian, “Kalian benar-benar seperti anak-anak kecil saja, bertengkar dan berkelahi untuk hal-hal yang belum pasti. Saudara-saudara sekalian, lebih baik kita tunggu kedatangan Pang-cu yang tidak lama lagi pasti akan tiba, dan nanti akan terbukti apakah tamu-tamu ini benar-benar undangan Pang-cu atau hanya mengaku-aku saja.”

Pembicara bersuara serak itu ternyata sudah pernah dikenal oleh Wi-lian pula, bahkan Wi-lian pernah bertempur dengannya, dia bukan lain adalah Thi-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng, pemimpin Kelompok Bendera Kuning. Dia masih tetap didampingi oleh wakilnya, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pendobrak Gunung) Ji Tiat yang gagah perkasa itu.

Usul Kwa Heng itu segera disambut serempak oleh Oh Yun-kim dan Lu Siong, “Sebuah saran yang tepat!”

Tetapi pihak Ko Ce-yang dan kawan-kawannya rupanya tidak mau menyudahi urusan dengan begitu saja. Lamkiong Hok yang tajam mulutnya itu telah berkata pula, “Sekarang urusannya bukan lagi mereka ini tetamu asli atau tetamu palsu, namun sudah menyangkut kehormatan Pang kita. Gadis liar ini berani merobohkan saudara Ko di depan sekian ribu anggota kita, hal itu jelas tidak dapat dibiarkan sebab sama dengan tidak menghormati kita sebagai tuan rumah!”

“Cocok sekali pendapat saudara Lamkiong,” sambut Mo Hui. “Gadis itu harus mengalami penghinaan berkali lipat dari penghinaan yang didapat oleh saudara Ko!”

Sebenarnya si Hong-long-cu (Serigala Gila) ini sudah agak jera kalau disuruh berurusan dengan Wi-lian yang pernah menghajarnya itu, namun kali ini dia timbul pula keberaniannya, sebab merasa mempunyai banyak teman.

Sementara pertengkaran antar Tong-cu Hwe-liong-pang itu berlangsung cukup hangat, Wi-hong dan rombongannya berdiam diri saja, meskipun terus dalam keadaan waspada. Demi menghormati kepada Lu Siong dan lain-lainnya, mereka lebih suka membiarkan urusan itu diselesaikan oleh orang-orang Hwe-liong-pang sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

Sementara itu terdengar Kwa Heng yang bungkuk itu telah berkata lagi, “Saudara-saudara sekalian, kuingatkan kepada kalian hendaknya kita berpikir secara jernih dan tidak berat sebelah. Coba pikirkan baik-baik, benarkah tindakan gadis tadi bermaksud menghina Pang kita? Aku rasa tidak demikian, sebab dia hanya membela diri terhadap serangan saudara Ko tadi. Ataukah sebagai tanda hormat kepada Pang kita dia harus menyerah saja untuk dipukuli sesuka hati?”

“Persetan dengan mulut tajammu, monyet bungkuk!” teriak Ko Ce-yang marah. “Aku tidak peduli omong kosongmu yang bertele-tele itu. Pokoknya aku ingin melampiaskan sakit hati wakilku yang telah dibuatnya cacat kaki seumur hidup itu!”

Namun Kwa Heng justru berbicara terus, “Ketika gadis itu melukai saudara Tan di Kay-hong, kebetulan aku pun hadir di sana, sebab rumah penginapan kepunyaanku itulah yang dijadikan ajang perkelahian. Aku melihat pertempuran berlangsung secara adil, masalah ada yang luka atau mati, itu adalah tanggungan yang wajar dari setiap orang yang telah menyatakan dirinya berani berkelana di dunia persilatan. Saudara Ko, kau marah dan dendam karena seorang wakilmu terluka dalam perkelahian itu, tetapi bagaimanakah dengan Hong-ho-sam-hiong yang telah kau tumpas beserta seluruh keluarganya itu? Apakah mereka tidak berhak untuk merasa penasaran?”

Ko Ce-yang memang bukan seorang yang pandai menggunakan mulutnya selain untuk makan dan mencaci maki, maka ketika didebat sedemikian rupa oleh Kwa Heng, seketika bungkamlah ia. Kemudian Au-yang Siau-hui yang berbicara untuk menolong rekannya itu,

“Saudara Kwa, masakah kau tidak paham pepatah yang berlaku dalam dunia persilatan, bahwa siapa yang kuat dialah yang menang? Kami menumpas beberapa perguruan kecil itu bukanlah salah kami, melainkan kesalahan mereka kenapa begitu tidak becus?”

Jawaban yang seenak perutnya sendiri itu seketika membuat darah Tong Wi-hong jadi mendidih, apalagi kalau Wi-hong mengingat bahwa kelompok Jing-ki-tongnya Au-yang Siau-hui inilah yang telah membunuh Cian Sin-wi. Namun demikian Wi- hong tetap menahan diri dan membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang menyelesaikan urusan mereka sendiri.

Sahut Kwa Heng sambil tertawa tawar, “Saudara Auyang, jika seluruh dunia persilatan ini sama-sama bersemboyan „siapa kuat dia menang‟ seperti katamu itu, apakah kau kira sekarang ini Hwe-liong-pang masih bisa berdiri di tengah gelombang badai dunia persilatan ini? Apakah kau kira bahwa Hwe-liong-pang kita mampu menghadapi kekuatan ksatria seluruh jagad? Apakah kau kira kekuatan Hwe-liong-pang kita yang masih muda ini sudah cukup pantas untuk dihadapkan kepada Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Khong-tong-pay, Hoa-san-pay atau aliran-aliran yang besar lainnya?”

“Saudara Kwa, kenapa kau justru menjunjung-junjung tinggi musuh dan mengecilkan diri sendiri?” tegur Lamkiong Hok. “Perkataanmu itu tidak sepantasnya kau perdengarkan kepada anak buah kita, sebab dapat mengecilkan semangat mereka sekalian.”

Adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, yaitu Au-yang Siau-pa yang sejak tadi tidak ikut berbicara itu, kini tiba-tiba ikut membuka suara, “Aku pikir, apa yang dikemukakan oleh Kwa Tong-cu itu cukup beralasan. Kita memang tidak boleh bersikap seakan-akan diri kita terlalu kuat dan mengabaikan kenyataan, sehingga akan dapat menjerumuskan kita kepada tindakan-tindakan yang keliru.”

Biasanya Au-yang Siau-pa ini sangat pendiam, sehari saja belum tentu bicara lebih dari lima kalimat, namun kini tiba-tiba berani mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kakak sepupunya, tentu saja sangat menggemaskan. Si kakak sepupu segera membentak,

“Piau-te (adik sepupu), jagalah mulutmu baik-baik, jangan asal mangap saja. Atau barangkali kau pun sudah menjadi pengecut karena silau oleh nama kosong para pendekar yang sok suci itu?”

Ternyata Au-yang Siau-pa kali ini berbeda dengan Au-yang Siau-pa biasanya, dengan beraninya ia mendebat, “Piau-ko, selama ini kita menutup diri dari kenyataan seperti katak dalam sumur, mengira luasnya langit hanya seluas mulut sumur! Kita semua baru saja melihat salah seorang murid dari keledai gundul Siau-lim-pay itu ternyata mampu merobohkan Ko Tong-cu, itulah kenyataan, dan dari kenyataan itu dapat kita jadikan ukuran...”

“Tutup mulutmu!” teriak kakak sepupunya dengan kalap sambil menampar pipi Au-yang Siau-pa.

Au-yang Siau-pa tidak dapat menghindari tamparan itu dan terdorong mundur sampai dua langkah, sementara sudut bibirnya pecah dan mengalirkan darah. Namun dengan sikap beringas dia terus saja berbicara tanpa dapat dicegah, “Biarkan aku bicara, Piau-ko, akupun berhak menumpahkan isi hatiku sampai lega! Selama ini sudah cukup aku menindas suara hati nuraniku sendiri, aku hanyalah seperti alat mati yang hanya menjalankan perintah-perintah yang kadang-kadang bertentangan dengan suara hatiku sendiri. Sekarang sudah tiba saatnya aku bicara terus terang bahwa tindakan kita selama ini sama sekali bukan memperjuangkan tujuan mulia seperti yang digembar-gemborkan, namun hanyalah tindakan untuk memuaskan nafsu haus darah kita!”

Ucapan Au-yang Siau-pa yang berani itupun seketika menimbulkan suasana perpecahan dalam kelompok Jing-ki-tong sendiri. Beberapa orang anak buah Jing-ki-tong yang tadinya menuruti jejak Au-yang Siau-hui secara membabi buta, kini mau tidak mau mulai berpikir dan menilai sendiri tindakan mereka selama ini.

Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Wi-hong dan Wi-lian, serta cukup menggembirakan hati kakak beradik itu. Mereka memperhitungkan, bahwa meskipun usaha penertiban Hwe-liong-pang itu akan menemui perlawanan yang cukup keras, namun agaknya pengikut Tong Wi-siang lebih banyak daripada pengikut Te-liong Hiang-cu yang akan diberantasnya itu. Dengan demikian besarlah kemungkinannya bahwa penertiban itu akan berhasil dengan baik.

Pada saat pertengkaran antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri itu semakin menghangat, bahkan masing-masing pihak sudah siap menghunus senjatanya untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing, tiba-tiba dari arah mulut lembah itu terdengar suatu teriakan keras, “Pang-cu sudah tiba! Pang-cu sudah tiba!”

Semua hiruk-pikuk di tengah lembah itupun seketika menjadi sunyi seperti di kuburan, hal itu menunjukkan bahwa bagaimanapun juga Hwe-liong-pang-cu masih mempunyai wibawa atas anak buahnya, termasuk anak buahnya yang mencoba-coba mendongkelnya. Para Tong-cu yang sedang bertikai itupun segera berdiri tegap dengan sikap menghormat, diikuti oleh ribuan anggota Hwe-liong-pang yang memenuhi lembah itu.

Hwe-liong-pang-cu muncul dengan segala tanda-tanda kebesarannya secara lengkap sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Ketua dari suatu perkumpulan yang paling menggetarkan dunia persilatan saat itu. Lebih dulu muncullah dua belas orang penunggang kuda yang berseragam dan bermantel hitam, berjajar dua-dua. Dua orang penunggang kuda yang paling depan masing-masing membawa bendera besar berwarna ungu, yang tengah-tengahnya bersulam dengan gambar seekor naga berapi yang dahsyat.

Setelah rombongan dua belas orang itu, barulah nampak Hwe-liong-pang-cu muncul di atas kudanya yang hitam dan tegar. Hwe-liong-pang-cu berpakaian serba hitam pula, bermantel hitam, sedang mukanya tertutup sehelai topeng terbuat dari perunggu yang kuning kehijau-hijauan. Kemudian di belakang Hwe-liong-pang-cu, tiga orang Hiang-cu (Hulubalang) berkuda berjajar tiga. Ketiga orang ini bertopeng pula, hanyalah warna pakaian dan mantel merekalah yang membedakan diri masing-masing Hiang-cu. Te-liong Hiang-cu bermantel merah darah, Thian-liong Hiang-cu bermantel warna ungu gelap, dan Kim-liong Hiang-cu bermantel berwarna kuning emas.

Kemudian empat orang Su-cia muncul di belakang rombongan Hiang-cu, dengan menaiki kuda pula. Mereka adalah Sebun Say, Tang Kiau-po, Ling Thian-ki, dan Hong-goan Hweshio. Karena tidak mengenakan topeng, maka wajah keempat orang Su-cia itu nampak tegang. Agaknya keempat Su-cia itu menyadari bahwa urusan penertiban itu akan mengubah sesama kawan perjuangan menjadi lawan-lawan yang harus ditumpas habis!

Rombongan Hwe-liong-pang-cu itu terus menaiki kudanya sampai ke pinggir panggung tanah itu, sementara ribuan mulut anggota Hwe-liong-pang serempak berseru, “Salam hormat kepada Hwe-liong-pang-cu!”

Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian merasa bangga juga bahwa kakak mereka ternyata dapat menguasai sekian ribu anak buahnya. Karena tidak ingin menurunkan pamor kakaknya, maka Wi-hong sengaja mengajak seluruh anggota rombongannya untuk maju menyambut dan memberi hormat, “Selamat bertemu, Hwe-liong-pang-cu, kami berenam datang untuk memenuhi undangan pang-cu!”

Di luar dugaan siapapun, Hwe-liong-pang-cu tiba-tiba melompat turun dari kudanya, dan dengan akrabnya dia langsung menggandeng tangan Wi-hong dan Wi-lian untuk naik ke atas panggung. Kepada Cian Ping dan anggota rombongan lainnya pun Hwe-liong-pang-cu berkata, “Silahkan naik, kalian adalah tamu-tamu kehormatanku, maaf jika tempatnya kurang memuaskan kalian.”

Sesungguhnya kehormatan yang diterima oleh Wi-hong dan rombongannya adalah kehormatan yang terlalu besar, dan seketika itu membuat melongo ribuan anggota Hwe-liong-pang yang menyaksikannya. Sedangkan bagi Au-yang Siau-hui dan rekan-rekan sekomplotannya, kejadian itu menimbulkan firasat buruk di dalam perasaan mereka.

Diam-diam mereka mulai menyesali diri kenapa harus ikut hadir di lembah ini, kenapakah tidak melarikan diri sejauh-jauhnya saja? Namun hati mereka pun merasa agak lega jika mengingat bahwa komplotan mereka cukup kuat dan tidak mudah untuk digilas begitu saja, apalagi di dalam komplotan itu sendiri terdapat tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi, seperti Sebun Say, Tang Kiau-po dan bahkan Te-liong Hiang-cu.

Di atas panggung tanah itu telah diletakkan batu-batu besar yang digunakan sebagai tempat duduk. Sebenarnya yang berhak duduk di panggung itu hanyalah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berpangkat Su-cia ke atas, namun kali ini Tong Wi-hong dan rombongannya mendapat kehormatan untuk duduk bersama-sama Sang Ketua di atas panggung, hal itu membuat orang-orang semacam Au-yang Siau-hui jadi cemburu dan gusar bukan main, tetapi tidak berani berbuat apa-apa.

Kini ribuan mata dipusatkan ke atas panggung semuanya. Sesaat nampak Hwe-liong-pang-cu berdiam diri untuk menguasai perasaannya, lalu terdengarlah suaranya yang bagaikan menggeram dan mengandung pengaruh gaib itu,

“Tujuanku mengadakan pertemuan lengkap Pang kita di lembah ini ada dua hal. Yang pertama, aku ingin mendengarkan sendiri laporan dari setiap Kelompok, dan meminta pertanggungan-jawab mereka tentang apa yang berhasil mereka lakukan selama ini, untuk menetapkan pahala dan hukuman bagi mereka.”

Seluruh lembah sunyi senyap, sementara debaran jantung beberapa orang yang merasa bersalah mulai berdenyut lebih cepat, menunggu bagaimana kelanjutan nasib mereka. Kemudian terdengar pula suara Hwe-liong-pang-cu,

“Tujuan kedua, aku mendengar bahwa sudah banyak anggota kita yang bertindak menyeleweng dari garis perjuangan yang telah aku tetapkan. Untuk para penyeleweng itu, aku akan mengambil tindakan khusus...”

Kalimat yang terakhir ini segera disambut dengan suara mendengung seperti jutaan ekor lebah yang terbang bersama-sama. Kiranya para anggota Hwe-liong-pang itu mulai saling berbisik-bisik satu sama lain. Biarpun hanya berbisik-bisik, namun karena yang berbisik-bisik itu ribuan orang secara serempak maka suaranyapun mendengung di lembah itu.

Hwe-liong-pang-cu mengangkat tangannya untuk menenangkan keadaan, dan suara mendengung itupun seketika reda. Kali ini Hwe-liong-pang-cu bangkit berdiri dari tempat duduknya, suaranya pun lebih keras dari tadi, “Kudengar pula ada sekelompok orang yang tidak puas kepada kepemimpinanku, dan bahkan akupun sudah tahu bahwa mereka telah mempersiapkan perlawanan untuk mendongkel kedudukanku. Kini aku katakan kepada mereka, bahwa mereka akan gagal dan bahkan akulah yang akan menumpas habis pengkhianat-pengkhianat itu!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan keras dan dilambari pula dengan perasaan murka sehingga nadanya pun menggetarkan hati. Te-liong Hiang-cu beserta orang-orang sekomplotannya pun segera merasakan hati mereka tergoncang keras, namun mereka masih berusaha untuk bersikap tenang dan pura-pura tidak paham apa yang diucapkan Sang Ketua.

Setelah menumpahkan perasaan murkanya lewat kata-kata, Hwe-liong-pang-cu merasa agak puas. Suaranya pun menurun dan terdengar lebih lunak, “Sekarang aku ingin mendengar laporan dari masing-masing Tong-cu tentang apa yang telah mereka hasilkan selama ini.”

Maka mulailah para Tong-cu itu satu persatu maju ke depan untuk memberi laporan. Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) yang diwakili oleh Bu Ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim segera melaporkan bahwa Pek-ki-tong telah berhasil menumpas sebagian besar bajak laut di Laut Kuning yang sering mengganggu ketentraman para nelayan pesisir timur, sehingga untuk sementara waktu gerombolan bajak laut itu dilumpuhkan kekuatannya.

Lalu Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) juga melaporkan bahwa mereka berhasil menolong banyak orang miskin dari jeratan tuan tanah, sehingga banyak orang miskin yang secara sukarela bergabung dengan Hwe-liong-pang. Setelah itu giliran Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) diwakili oleh Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang melaporkan bahwa mereka berhasil membasmi “para penjahat” yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong, dan dengan demikian “mengamankan” rakyat dari “gangguan” mereka.

Mendengar laporan Ang-ki Tong-cu yang diputar-balikkan itu, Wi-lian yang ikut mendengarkan itu menjadi sangat gemas dan mencaci kelicinan Ko Ce-yang. Namun Wi-lian berdiam diri saja sebab merasa dirinya sebagai bukan orang Hwe-liong-pang dan tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. Dia hanya berharap agar hukuman dan pahala dijatuhkan secara adil kepada yang bersalah dan berjasa.

Begitulah secara berturut-turut para Tong-cu melaporkan hasil kerjanya selama ini, sebagai manusia tentu saja semuanya melaporkan kebaikannya saja. Nampaklah Hwe-liong-pang-cu diam saja mendengarkan laporan para Tong-cu itu. Karena wajahnya tertutup oleh topeng, maka orang tidak tahu bagaimana perubahan air mukanya, apakah ia merasa puas atau kecewa.

Setelah delapan Tong-cu selesai melaporkan hasil kerjanya masing-masing, terdengarlah Hwe-liong-pang-cu berkata dengan suara menggeram, “Aku mengetahui bahwa beberapa orang Tong-cu memberikan laporannya secara tidak jujur. Mereka mengira aku tidak tahu peristiwa yang sebenarnya tentang Sin-hou-bun dan Tiong-gi Piau-hang, yang sama sekali berbeda dengan yang kalian laporkan!”

Lalu Hwe-liong-pang-cu menoleh kepada Thian-liong Hiang-cu yang duduk di sebelahnya, serta berkata, “Sam-sute (adik seperguruan ketiga), coba kau bicara sebenarnya tentang apa yang kau ketahui.”

Lebih dulu Thian-liong Hiang-cu memberi hormat kepada Ketuanya, lalu mulai berkata, "Kira-kira dua bulan yang lalu, Jing-ki-tong dengan alasan yang sangat lemah telah melakukan suatu tindakan yang menggemparkan dunia persilatan dan dapat membahayakan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang kita. Mereka telah melakukan tindakan berdarah di kota Tay-beng, yaitu membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang bernama Cian Sin-wi. Menurut hasil penyelidikanku, tindakan itu ternyata hanya untuk melampiaskan dendam pribadi salah seorang anggota Jing-ki-tong yang bernama Song Kim, namun diberi kedok seakan-akan untuk perjuangan Hwe-liong-pang, sehingga sekarang ini nama Hwe-liong-pang sudah sangat kotor bagi umat persilatan di wilayah Kang-pak!”

Hwe-liong-pang-cu mendengus dan membentak kepada Au-yang Siau-hui, “Auyang Tong-cu, apa katamu sekarang?!”

Dengan kaki yang agak gemetar, Au-yang Siau-hui menjura kepada Hwe-liong-pang-cu dan menyahut, “Harap Pang-cu mengetahui, bahwa dalam tindakan tersebut aku punya pertimbangan sendiri, semuanya kulakukan demi perkembangan dan kejayaan Hwe-liong-pang. Si tua she Cian itu secara terang-terangan telah berani merobek-robek surat kiriman kami. Jika hal itu didiamkan, maka akan meruntuhkan kewibawaan Hwe-liong-pang.”

Cian Ping yang duduk di samping Wi-hong itu, sudah gemetar seluruh tubuhnya karena marahnya mendengar jawaban Au-yang Siau-hui itu. Hampir saja Cian Ping berdiri dan berteriak membantah ucapan Au-yang Siau-hui itu, namun Wi-hong telah keburu menangkap tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar Cian Ping jangan terburu nafsu.

Ternyata meskipun Cian Ping tidak membantah, ada juga orang Hwe-liong-pang sendiri yang membantah perkataan Au-yang Siau-hui itu. Orang itu bukan lain adalah Rahib Hong-goan yang berkata sambil tertawa dingin, “O, kiranya begitulah cara Auyang Tong-cu dalam menegakkan kewibaan Pang kita. Lalu bagaimana hasilnya? Benarkah Pang kita ini sekarang sudah menjadi sebuah Pang yang dihormati dan berwibawa?”

Au-yang Siau-hui tertunduk dan tidak mampu menjawab. Matanya berkali-kali melirik ke arah Te-liong Hiang-cu yang duduk di panggung, mengharap agar Te-liong Hiang-cu berbicara untuk membela kedudukannya yang tersudut. Namun Te-liong Hiang-cu itu berpura-pura tidak tahu akan lirikan Au-yang Siau-hui, sehingga Au-yang Siau-hui hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hatinya.

Rupanya Te-liong Hiang-cu dapat merasakan bahwa anak buahnya sedang kalah semangat dalam menghadapi pengikut Hwe-liong-pang-cu, karena itu terpaksa ia membiarkan Au-yang Siau-hui dalam kesulitan sendiri, bahkan mampus pun jangan dibela asal kedoknya sendiri tetap tertutup.

Sementara itu Hwe-liong-pang-cu telah mengucapkan keputusannya, “Menimbang beratnya kesalahan yang diperbuat oleh Auyang Tong-cu, sehingga membuat nama Hwe-liong-pang tercoreng hebat, maka aku putuskan bahwa dia kupecat dari jabatan Jing-ki-tong-cu dan akan dikurung sambil menunggu putusan berikutnya!”

Au-yang Siau-hui sangat gugup mendengar putusan itu, dia hampir pasti bahwa “putusan selanjutnya” itu tentu akan memaksanya untuk menelan sebutir racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Mukanya jadi putih karena takutnya, teriaknya dengan ketakutan, “Harap Pang-cu mengetahui bahwa aku melakukan pembunuhan kepada Cian Sin-wi itu bukan karena kehendakku sendiri dan tidak seorang diri pula! Tang Kiau-po itulah yang mendorong dan merestui tindakanku itu!”

Begitulah, dalam keadaan ketakutan karena terancam hukuman mati, Au-yang Siau-hui mencoba mencari “kawan seperjalanan” dengan jalan menyeret rekan-rekan sekomplotannya agar ikut dihukum.

“Bohong!” bantah Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dari atas panggung. Mukanya yang biasanya garang itupun menjadi agak pucat karena takut rahasianya terbongkar.

Sementara itu, adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, Au-yang Siau-pa, ternyata bersikap jantan dan tidak perlu tedeng aling-aling. Ia melangkah maju ke depan Hwe-liong-pang-cu, memberi hormat lalu berkata dengan suara yang lantang, “semua yang diucapkan oleh piau-ko (kakak sepupu) hamba itupun benar semuanya. Tang Su-cia ikut mendorong dan merestui tindakan kami ketika itu, meskipun dia sendiri tidak ikut turun tangan secara langsung, dan sekarang Tang Su-cia secara pengecut menghindari tanggung jawabnya. Aku sendiri pun ikut dalam peristiwa itu dan siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu!”

“Bohong! Bohong!” teriak Tang Kiau-po dengan gugup. “Pang-cu, bangsat kakak beradik she Auyang ini sedang memfitnah aku untuk mencari teman dalam kesulitan mereka. Dosa mereka tidak pantas diampuni, hendaknya dihukum mati sekarang juga!”

Ucapan Tang Kiau-po yang bernada sangat pengecut dan terang-terangan melepaskan tanggung-jawab dan kesetia-kawanan itu seketika menimbulkan rasa muak dan marah bagi orang-orang sekomplotannya sendiri, Au-yang Siau-hui sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang selama ini mendorong dan menganjurkannya, ternyata dalam keadaan sulit seperti itu justru melepaskannya begitu saja dan tidak menolongnya.

Sebaliknya adik misannya yang selama ini dianggapnya tolol dan selalu dibentak-bentaknya, justru berani membelanya secara jantan. Akhirnya terbukalah mata Au-yang Siau-hui dan dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Katanya kepada adik misannya itu, “Piau-te, ternyata baru hari ini aku memahami pepatah yang mengatakan bahwa „nasehat seorang kawan sejati memang baru nampak gunanya setelah dalam kesulitan‟, begitu pula kawan sejati ialah kawan dalam kesulitan. Aku menyesal bahwa selama ini aku tidak menyadarinya. Adikku yang baik, selamat tinggal...”

Dan tanpa dapat dicegah oleh siapapun lagi, secepat kilat Au-yang Siau-hui mencabut pisau belati dari dalam bajunya dan langsung menikamnya ke ulu hatinya sendiri. Darah muncrat membasahi pakaiannya dan rerumputan di bawah kakinya, dan sesaat kemudian terkulailah tubuh seorang tokoh yang pernah ditakuti di daerah Su-coan dan pernah bergelar Co-siang-hui-mo itu. Menghembuskan napas terakhirnya di bawah ribuan pasang mata. Agaknya Au-yang Siau-hui sangat takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh, dimana tubuhnya akan lenyap seketika menjadi darah dan air, maka dia memilih mati dengan tubuh yang utuh.

“Piau-ko,” seru Au-yang Siau-pa sambil menubruk tubuh kakak misannya yang sudah tidak bernyawa itu. Sesaat dia termangu-mangu seakan-akan tidak mempercayai kenyataan di depannya, bahwa kakak misannya yang selalu didampinginya itu kini telah menjadi sesosok mayat. Dan akhirnya hanya terdengar helaan napas Au-yang Siau-pa yang berat. Kemudian Au-yang Siau-pa berdiri menghadap Hwe-liong-pang-cu dan berkata tegas,

“Hamba siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu, karena peristiwa berdarah di kota Tay-beng itu, biarlah hamba menggantikan tanggung-jawab kakak hamba. Tetapi hamba hanya mohon kiranya Pang-cu mengabulkan sebuah permohonan hamba!”

“Katakan, akan kupertimbangkan,” kata Hwe-liong-pang-cu.

“Hamba mohon kiranya Pang-cu memperkenankan tubuh kakak misan hamba tetap dalam keadaan utuh, supaya dapat hamba kuburkan secara layak.”

Sementara itu, Tong Wi-hong diam-diam mengagumi sifat-sifat Au-yang Siau-pa yang jantan itu, timbullah rasa sayangnya jika orang seperti itu sampai harus dihukum mati. Maka diam-diam Wi-hong menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) ke telinga Hwe-liong-pang-cu dan berkata,

“A-siang, orang ini berwatak berani dan setia. Jika kau dapat mengampuninya dan mengambil hatinya, maka kau akan punya seorang pembantu yang dapat diandalkan di kemudian hari...”
Selanjutnya;