Perserikatan Naga Api Jilid 24Karya : Stevanus S.P |
Adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, yaitu Au-yang Siau-pa yang sejak tadi tidak ikut berbicara itu, kini tiba-tiba ikut membuka suara, “Aku pikir, apa yang dikemukakan oleh Kwa Tong-cu itu cukup beralasan. Kita memang tidak boleh bersikap seakan-akan diri kita terlalu kuat dan mengabaikan kenyataan, sehingga akan dapat menjerumuskan kita kepada tindakan-tindakan yang keliru.”
Biasanya Au-yang Siau-pa ini sangat pendiam, sehari saja belum tentu bicara lebih dari lima kalimat, namun kini tiba-tiba berani mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kakak sepupunya, tentu saja sangat menggemaskan. Si kakak sepupu segera membentak, “Piau-te (adik sepupu), jagalah mulutmu baik-baik, jangan asal mangap saja. Atau barangkali kau pun sudah menjadi pengecut karena silau oleh nama kosong para pendekar yang sok suci itu?” Ternyata Au-yang Siau-pa kali ini berbeda dengan Au-yang Siau-pa biasanya, dengan beraninya ia mendebat, “Piau-ko, selama ini kita menutup diri dari kenyataan seperti katak dalam sumur, mengira luasnya langit hanya seluas mulut sumur! Kita semua baru saja melihat salah seorang murid dari keledai gundul Siau-lim-pay itu ternyata mampu merobohkan Ko Tong-cu, itulah kenyataan, dan dari kenyataan itu dapat kita jadikan ukuran...” “Tutup mulutmu!” teriak kakak sepupunya dengan kalap sambil menampar pipi Au-yang Siau-pa. Au-yang Siau-pa tidak dapat menghindari tamparan itu dan terdorong mundur sampai dua langkah, sementara sudut bibirnya pecah dan mengalirkan darah. Namun dengan sikap beringas dia terus saja berbicara tanpa dapat dicegah, “Biarkan aku bicara, Piau-ko, akupun berhak menumpahkan isi hatiku sampai lega! Selama ini sudah cukup aku menindas suara hati nuraniku sendiri, aku hanyalah seperti alat mati yang hanya menjalankan perintah-perintah yang kadang-kadang bertentangan dengan suara hatiku sendiri. Sekarang sudah tiba saatnya aku bicara terus terang bahwa tindakan kita selama ini sama sekali bukan memperjuangkan tujuan mulia seperti yang digembar-gemborkan, namun hanyalah tindakan untuk memuaskan nafsu haus darah kita!” Ucapan Au-yang Siau-pa yang berani itupun seketika menimbulkan suasana perpecahan dalam kelompok Jing-ki-tong sendiri. Beberapa orang anak buah Jing-ki-tong yang tadinya menuruti jejak Au-yang Siau-hui secara membabi buta, kini mau tidak mau mulai berpikir dan menilai sendiri tindakan mereka selama ini. Semua perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan Wi-hong dan Wi-lian, serta cukup menggembirakan hati kakak beradik itu. Mereka memperhitungkan, bahwa meskipun usaha penertiban Hwe-liong-pang itu akan menemui perlawanan yang cukup keras, namun agaknya pengikut Tong Wi-siang lebih banyak daripada pengikut Te-liong Hiang-cu yang akan diberantasnya itu. Dengan demikian besarlah kemungkinannya bahwa penertiban itu akan berhasil dengan baik. Pada saat pertengkaran antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri itu semakin menghangat, bahkan masing-masing pihak sudah siap menghunus senjatanya untuk mempertahankan pendiriannya masing-masing, tiba-tiba dari arah mulut lembah itu terdengar suatu teriakan keras, “Pang-cu sudah tiba! Pang-cu sudah tiba!” Semua hiruk-pikuk di tengah lembah itupun seketika menjadi sunyi seperti di kuburan, hal itu menunjukkan bahwa bagaimanapun juga Hwe-liong-pang-cu masih mempunyai wibawa atas anak buahnya, termasuk anak buahnya yang mencoba-coba mendongkelnya. Para Tong-cu yang sedang bertikai itupun segera berdiri tegap dengan sikap menghormat, diikuti oleh ribuan anggota Hwe-liong-pang yang memenuhi lembah itu. Hwe-liong-pang-cu muncul dengan segala tanda-tanda kebesarannya secara lengkap sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang Ketua dari suatu perkumpulan yang paling menggetarkan dunia persilatan saat itu. Lebih dulu muncullah dua belas orang penunggang kuda yang berseragam dan bermantel hitam, berjajar dua-dua. Dua orang penunggang kuda yang paling depan masing-masing membawa bendera besar berwarna ungu, yang tengah-tengahnya bersulam dengan gambar seekor naga berapi yang dahsyat. Setelah rombongan dua belas orang itu, barulah nampak Hwe-liong-pang-cu muncul di atas kudanya yang hitam dan tegar. Hwe-liong-pang-cu berpakaian serba hitam pula, bermantel hitam, sedang mukanya tertutup sehelai topeng terbuat dari perunggu yang kuning kehijau-hijauan. Kemudian di belakang Hwe-liong-pang-cu, tiga orang Hiang-cu (Hulubalang) berkuda berjajar tiga. Ketiga orang ini bertopeng pula, hanyalah warna pakaian dan mantel merekalah yang membedakan diri masing-masing Hiang-cu. Te-liong Hiang-cu bermantel merah darah, Thian-liong Hiang-cu bermantel warna ungu gelap, dan Kim-liong Hiang-cu bermantel berwarna kuning emas. Kemudian empat orang Su-cia muncul di belakang rombongan Hiang-cu, dengan menaiki kuda pula. Mereka adalah Sebun Say, Tang Kiau-po, Ling Thian-ki, dan Hong-goan Hweshio. Karena tidak mengenakan topeng, maka wajah keempat orang Su-cia itu nampak tegang. Agaknya keempat Su-cia itu menyadari bahwa urusan penertiban itu akan mengubah sesama kawan perjuangan menjadi lawan-lawan yang harus ditumpas habis! Rombongan Hwe-liong-pang-cu itu terus menaiki kudanya sampai ke pinggir panggung tanah itu, sementara ribuan mulut anggota Hwe-liong-pang serempak berseru, “Salam hormat kepada Hwe-liong-pang-cu!” Diam-diam Wi-hong dan Wi-lian merasa bangga juga bahwa kakak mereka ternyata dapat menguasai sekian ribu anak buahnya. Karena tidak ingin menurunkan pamor kakaknya, maka Wi-hong sengaja mengajak seluruh anggota rombongannya untuk maju menyambut dan memberi hormat, “Selamat bertemu, Hwe-liong-pang-cu, kami berenam datang untuk memenuhi undangan pang-cu!” Di luar dugaan siapapun, Hwe-liong-pang-cu tiba-tiba melompat turun dari kudanya, dan dengan akrabnya dia langsung menggandeng tangan Wi-hong dan Wi-lian untuk naik ke atas panggung. Kepada Cian Ping dan anggota rombongan lainnya pun Hwe-liong-pang-cu berkata, “Silahkan naik, kalian adalah tamu-tamu kehormatanku, maaf jika tempatnya kurang memuaskan kalian.” Sesungguhnya kehormatan yang diterima oleh Wi-hong dan rombongannya adalah kehormatan yang terlalu besar, dan seketika itu membuat melongo ribuan anggota Hwe-liong-pang yang menyaksikannya. Sedangkan bagi Au-yang Siau-hui dan rekan-rekan sekomplotannya, kejadian itu menimbulkan firasat buruk di dalam perasaan mereka. Diam-diam mereka mulai menyesali diri kenapa harus ikut hadir di lembah ini, kenapakah tidak melarikan diri sejauh-jauhnya saja? Namun hati mereka pun merasa agak lega jika mengingat bahwa komplotan mereka cukup kuat dan tidak mudah untuk digilas begitu saja, apalagi di dalam komplotan itu sendiri terdapat tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi, seperti Sebun Say, Tang Kiau-po dan bahkan Te-liong Hiang-cu. Di atas panggung tanah itu telah diletakkan batu-batu besar yang digunakan sebagai tempat duduk. Sebenarnya yang berhak duduk di panggung itu hanyalah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berpangkat Su-cia ke atas, namun kali ini Tong Wi-hong dan rombongannya mendapat kehormatan untuk duduk bersama-sama Sang Ketua di atas panggung, hal itu membuat orang-orang semacam Au-yang Siau-hui jadi cemburu dan gusar bukan main, tetapi tidak berani berbuat apa-apa. Kini ribuan mata dipusatkan ke atas panggung semuanya. Sesaat nampak Hwe-liong-pang-cu berdiam diri untuk menguasai perasaannya, lalu terdengarlah suaranya yang bagaikan menggeram dan mengandung pengaruh gaib itu, “Tujuanku mengadakan pertemuan lengkap Pang kita di lembah ini ada dua hal. Yang pertama, aku ingin mendengarkan sendiri laporan dari setiap Kelompok, dan meminta pertanggungan-jawab mereka tentang apa yang berhasil mereka lakukan selama ini, untuk menetapkan pahala dan hukuman bagi mereka.” Seluruh lembah sunyi senyap, sementara debaran jantung beberapa orang yang merasa bersalah mulai berdenyut lebih cepat, menunggu bagaimana kelanjutan nasib mereka. Kemudian terdengar pula suara Hwe-liong-pang-cu, “Tujuan kedua, aku mendengar bahwa sudah banyak anggota kita yang bertindak menyeleweng dari garis perjuangan yang telah aku tetapkan. Untuk para penyeleweng itu, aku akan mengambil tindakan khusus...” Kalimat yang terakhir ini segera disambut dengan suara mendengung seperti jutaan ekor lebah yang terbang bersama-sama. Kiranya para anggota Hwe-liong-pang itu mulai saling berbisik-bisik satu sama lain. Biarpun hanya berbisik-bisik, namun karena yang berbisik-bisik itu ribuan orang secara serempak maka suaranyapun mendengung di lembah itu. Hwe-liong-pang-cu mengangkat tangannya untuk menenangkan keadaan, dan suara mendengung itupun seketika reda. Kali ini Hwe-liong-pang-cu bangkit berdiri dari tempat duduknya, suaranya pun lebih keras dari tadi, “Kudengar pula ada sekelompok orang yang tidak puas kepada kepemimpinanku, dan bahkan akupun sudah tahu bahwa mereka telah mempersiapkan perlawanan untuk mendongkel kedudukanku. Kini aku katakan kepada mereka, bahwa mereka akan gagal dan bahkan akulah yang akan menumpas habis pengkhianat-pengkhianat itu!” Kalimat terakhir ini diucapkan dengan keras dan dilambari pula dengan perasaan murka sehingga nadanya pun menggetarkan hati. Te-liong Hiang-cu beserta orang-orang sekomplotannya pun segera merasakan hati mereka tergoncang keras, namun mereka masih berusaha untuk bersikap tenang dan pura-pura tidak paham apa yang diucapkan Sang Ketua. Setelah menumpahkan perasaan murkanya lewat kata-kata, Hwe-liong-pang-cu merasa agak puas. Suaranya pun menurun dan terdengar lebih lunak, “Sekarang aku ingin mendengar laporan dari masing-masing Tong-cu tentang apa yang telah mereka hasilkan selama ini.” Maka mulailah para Tong-cu itu satu persatu maju ke depan untuk memberi laporan. Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) yang diwakili oleh Bu Ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim segera melaporkan bahwa Pek-ki-tong telah berhasil menumpas sebagian besar bajak laut di Laut Kuning yang sering mengganggu ketentraman para nelayan pesisir timur, sehingga untuk sementara waktu gerombolan bajak laut itu dilumpuhkan kekuatannya. Lalu Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) juga melaporkan bahwa mereka berhasil menolong banyak orang miskin dari jeratan tuan tanah, sehingga banyak orang miskin yang secara sukarela bergabung dengan Hwe-liong-pang. Setelah itu giliran Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) diwakili oleh Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang melaporkan bahwa mereka berhasil membasmi “para penjahat” yang menamakan diri Hong-ho-sam-hiong, dan dengan demikian “mengamankan” rakyat dari “gangguan” mereka. Mendengar laporan Ang-ki Tong-cu yang diputar-balikkan itu, Wi-lian yang ikut mendengarkan itu menjadi sangat gemas dan mencaci kelicinan Ko Ce-yang. Namun Wi-lian berdiam diri saja sebab merasa dirinya sebagai bukan orang Hwe-liong-pang dan tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. Dia hanya berharap agar hukuman dan pahala dijatuhkan secara adil kepada yang bersalah dan berjasa. Begitulah secara berturut-turut para Tong-cu melaporkan hasil kerjanya selama ini, sebagai manusia tentu saja semuanya melaporkan kebaikannya saja. Nampaklah Hwe-liong-pang-cu diam saja mendengarkan laporan para Tong-cu itu. Karena wajahnya tertutup oleh topeng, maka orang tidak tahu bagaimana perubahan air mukanya, apakah ia merasa puas atau kecewa. Setelah delapan Tong-cu selesai melaporkan hasil kerjanya masing-masing, terdengarlah Hwe-liong-pang-cu berkata dengan suara menggeram, “Aku mengetahui bahwa beberapa orang Tong-cu memberikan laporannya secara tidak jujur. Mereka mengira aku tidak tahu peristiwa yang sebenarnya tentang Sin-hou-bun dan Tiong-gi Piau-hang, yang sama sekali berbeda dengan yang kalian laporkan!” Lalu Hwe-liong-pang-cu menoleh kepada Thian-liong Hiang-cu yang duduk di sebelahnya, serta berkata, “Sam-sute (adik seperguruan ketiga), coba kau bicara sebenarnya tentang apa yang kau ketahui.” Lebih dulu Thian-liong Hiang-cu memberi hormat kepada Ketuanya, lalu mulai berkata, "Kira-kira dua bulan yang lalu, Jing-ki-tong dengan alasan yang sangat lemah telah melakukan suatu tindakan yang menggemparkan dunia persilatan dan dapat membahayakan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang kita. Mereka telah melakukan tindakan berdarah di kota Tay-beng, yaitu membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang yang bernama Cian Sin-wi. Menurut hasil penyelidikanku, tindakan itu ternyata hanya untuk melampiaskan dendam pribadi salah seorang anggota Jing-ki-tong yang bernama Song Kim, namun diberi kedok seakan-akan untuk perjuangan Hwe-liong-pang, sehingga sekarang ini nama Hwe-liong-pang sudah sangat kotor bagi umat persilatan di wilayah Kang-pak!” Hwe-liong-pang-cu mendengus dan membentak kepada Au-yang Siau-hui, “Auyang Tong-cu, apa katamu sekarang?!” Dengan kaki yang agak gemetar, Au-yang Siau-hui menjura kepada Hwe-liong-pang-cu dan menyahut, “Harap Pang-cu mengetahui, bahwa dalam tindakan tersebut aku punya pertimbangan sendiri, semuanya kulakukan demi perkembangan dan kejayaan Hwe-liong-pang. Si tua she Cian itu secara terang-terangan telah berani merobek-robek surat kiriman kami. Jika hal itu didiamkan, maka akan meruntuhkan kewibawaan Hwe-liong-pang.” Cian Ping yang duduk di samping Wi-hong itu, sudah gemetar seluruh tubuhnya karena marahnya mendengar jawaban Au-yang Siau-hui itu. Hampir saja Cian Ping berdiri dan berteriak membantah ucapan Au-yang Siau-hui itu, namun Wi-hong telah keburu menangkap tangannya dan memberi isyarat dengan kedipan mata agar Cian Ping jangan terburu nafsu. Ternyata meskipun Cian Ping tidak membantah, ada juga orang Hwe-liong-pang sendiri yang membantah perkataan Au-yang Siau-hui itu. Orang itu bukan lain adalah Rahib Hong-goan yang berkata sambil tertawa dingin, “O, kiranya begitulah cara Auyang Tong-cu dalam menegakkan kewibaan Pang kita. Lalu bagaimana hasilnya? Benarkah Pang kita ini sekarang sudah menjadi sebuah Pang yang dihormati dan berwibawa?” Au-yang Siau-hui tertunduk dan tidak mampu menjawab. Matanya berkali-kali melirik ke arah Te-liong Hiang-cu yang duduk di panggung, mengharap agar Te-liong Hiang-cu berbicara untuk membela kedudukannya yang tersudut. Namun Te-liong Hiang-cu itu berpura-pura tidak tahu akan lirikan Au-yang Siau-hui, sehingga Au-yang Siau-hui hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hatinya. Rupanya Te-liong Hiang-cu dapat merasakan bahwa anak buahnya sedang kalah semangat dalam menghadapi pengikut Hwe-liong-pang-cu, karena itu terpaksa ia membiarkan Au-yang Siau-hui dalam kesulitan sendiri, bahkan mampus pun jangan dibela asal kedoknya sendiri tetap tertutup. Sementara itu Hwe-liong-pang-cu telah mengucapkan keputusannya, “Menimbang beratnya kesalahan yang diperbuat oleh Auyang Tong-cu, sehingga membuat nama Hwe-liong-pang tercoreng hebat, maka aku putuskan bahwa dia kupecat dari jabatan Jing-ki-tong-cu dan akan dikurung sambil menunggu putusan berikutnya!” Au-yang Siau-hui sangat gugup mendengar putusan itu, dia hampir pasti bahwa “putusan selanjutnya” itu tentu akan memaksanya untuk menelan sebutir racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Mukanya jadi putih karena takutnya, teriaknya dengan ketakutan, “Harap Pang-cu mengetahui bahwa aku melakukan pembunuhan kepada Cian Sin-wi itu bukan karena kehendakku sendiri dan tidak seorang diri pula! Tang Kiau-po itulah yang mendorong dan merestui tindakanku itu!” Begitulah, dalam keadaan ketakutan karena terancam hukuman mati, Au-yang Siau-hui mencoba mencari “kawan seperjalanan” dengan jalan menyeret rekan-rekan sekomplotannya agar ikut dihukum. “Bohong!” bantah Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dari atas panggung. Mukanya yang biasanya garang itupun menjadi agak pucat karena takut rahasianya terbongkar. Sementara itu, adik sepupu dan wakil Au-yang Siau-hui, Au-yang Siau-pa, ternyata bersikap jantan dan tidak perlu tedeng aling-aling. Ia melangkah maju ke depan Hwe-liong-pang-cu, memberi hormat lalu berkata dengan suara yang lantang, “semua yang diucapkan oleh piau-ko (kakak sepupu) hamba itupun benar semuanya. Tang Su-cia ikut mendorong dan merestui tindakan kami ketika itu, meskipun dia sendiri tidak ikut turun tangan secara langsung, dan sekarang Tang Su-cia secara pengecut menghindari tanggung jawabnya. Aku sendiri pun ikut dalam peristiwa itu dan siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu!” “Bohong! Bohong!” teriak Tang Kiau-po dengan gugup. “Pang-cu, bangsat kakak beradik she Auyang ini sedang memfitnah aku untuk mencari teman dalam kesulitan mereka. Dosa mereka tidak pantas diampuni, hendaknya dihukum mati sekarang juga!” Ucapan Tang Kiau-po yang bernada sangat pengecut dan terang-terangan melepaskan tanggung-jawab dan kesetia-kawanan itu seketika menimbulkan rasa muak dan marah bagi orang-orang sekomplotannya sendiri, Au-yang Siau-hui sendiri sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang selama ini mendorong dan menganjurkannya, ternyata dalam keadaan sulit seperti itu justru melepaskannya begitu saja dan tidak menolongnya. Sebaliknya adik misannya yang selama ini dianggapnya tolol dan selalu dibentak-bentaknya, justru berani membelanya secara jantan. Akhirnya terbukalah mata Au-yang Siau-hui dan dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Katanya kepada adik misannya itu, “Piau-te, ternyata baru hari ini aku memahami pepatah yang mengatakan bahwa „nasehat seorang kawan sejati memang baru nampak gunanya setelah dalam kesulitan‟, begitu pula kawan sejati ialah kawan dalam kesulitan. Aku menyesal bahwa selama ini aku tidak menyadarinya. Adikku yang baik, selamat tinggal...” Dan tanpa dapat dicegah oleh siapapun lagi, secepat kilat Au-yang Siau-hui mencabut pisau belati dari dalam bajunya dan langsung menikamnya ke ulu hatinya sendiri. Darah muncrat membasahi pakaiannya dan rerumputan di bawah kakinya, dan sesaat kemudian terkulailah tubuh seorang tokoh yang pernah ditakuti di daerah Su-coan dan pernah bergelar Co-siang-hui-mo itu. Menghembuskan napas terakhirnya di bawah ribuan pasang mata. Agaknya Au-yang Siau-hui sangat takut kalau disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh, dimana tubuhnya akan lenyap seketika menjadi darah dan air, maka dia memilih mati dengan tubuh yang utuh. “Piau-ko,” seru Au-yang Siau-pa sambil menubruk tubuh kakak misannya yang sudah tidak bernyawa itu. Sesaat dia termangu-mangu seakan-akan tidak mempercayai kenyataan di depannya, bahwa kakak misannya yang selalu didampinginya itu kini telah menjadi sesosok mayat. Dan akhirnya hanya terdengar helaan napas Au-yang Siau-pa yang berat. Kemudian Au-yang Siau-pa berdiri menghadap Hwe-liong-pang-cu dan berkata tegas, “Hamba siap menerima hukuman apapun dari Pang-cu, karena peristiwa berdarah di kota Tay-beng itu, biarlah hamba menggantikan tanggung-jawab kakak hamba. Tetapi hamba hanya mohon kiranya Pang-cu mengabulkan sebuah permohonan hamba!” “Katakan, akan kupertimbangkan,” kata Hwe-liong-pang-cu. “Hamba mohon kiranya Pang-cu memperkenankan tubuh kakak misan hamba tetap dalam keadaan utuh, supaya dapat hamba kuburkan secara layak.” Sementara itu, Tong Wi-hong diam-diam mengagumi sifat-sifat Au-yang Siau-pa yang jantan itu, timbullah rasa sayangnya jika orang seperti itu sampai harus dihukum mati. Maka diam-diam Wi-hong menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) ke telinga Hwe-liong-pang-cu dan berkata, “A-siang, orang ini berwatak berani dan setia. Jika kau dapat mengampuninya dan mengambil hatinya, maka kau akan punya seorang pembantu yang dapat diandalkan di kemudian hari...” |
Selanjutnya;
|