Perserikatan Naga Api Jilid 23Karya : Stevanus S.P |
Sikap dan gerak-gerik Tong-cu dari Ci-ki-tong dan Pek-ki-tong itu ternyata mampu menumbuhkan kesan baik di dalam hati Wi-hong dan Wi-lian, sangat berbeda kesannya dengan Tong-cu Tong-cu Hwe-liong-pang yang lainnya seperti Au-yang Siau-hui atau Mo Hui. Meskipun Lu Siong itu bersikap pendiam dan bicaranya pun kaku, namun dia nampak jujur dan berani. Sedangkan Oh Yun-Kim agaknya adalah seorang yang suka bergurau dan menghadapi segala persoalan dengan hati gembira.
Setelah pihak-pihak yang diperkenalkan itu saling memberi hormat, maka acara perjamuan kecil itupun dimulai. Suasananya gembira dan santai. Dalam suasana seperti itulah maka Wi-lian merasa adanya suatu kesempatan baik untuk berbicara kepada Tong Wi-siang, untuk mengadukan kelakuan orang-orang Hwe-liong-pang yang mengganggu ketenteraman umum selama ini. Setelah mendengar pengaduan adik-adiknya itu, Wi-siang menarik napas dan berkata, “Semuanya memang kesalahanku juga. Tadinya aku bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan sebanyak-banyaknya guna mendobrak kebobrokan dinasti Beng seperti sekarang ini. Aku memperluas keanggotaan dengan jalan menerima anggota baru sebanyak-banyaknya, sehingga lupa menyaring mereka. Tidak sedikit anggota-anggota yang bergabung dengan kami itu memang punya cita-cita seperti aku, yaitu memperbaiki keadaan negeri yang rusak ini, contohnya mereka adalah Ui-ki-tong-cu Kwa Heng, Lam-ki-tong-cu In Yong, Ci-ki-tong-cu Lu Siong serta Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim. Aku percaya mereka bergabung dengan kami dengan niat yang tulus untuk ikut mendobrak segala kebobrokan ini.” Lu Siong dan Oh Yun-kim serempak menyahut, “Terima kasih atas besarnya kepercayaan Pang-cu kepada kami!” Sedangkan Tong Wi-siang kembali menarik napas dengan beratnya, dan melanjutkan perkataannya, “Tetapi disamping masuknya orang-orang yang bercita-cita murni seperti mereka ini, muncul pula orang-orang yang hanya sekedar ingin menumpang dalam kejayaan kami, atau orang-orang yang hanya ingin mendapat tempat perlindungan yang aman dari buruan musuh-musuh mereka, dan yang paling buruk adalah munculnya orang-orang yang hanya ingin mendapat sandaran kekuatan untuk melaksanakan nafsu sewenang-wenang mereka. Orang-orang inilah yang telah menodai perjuangan Hwe-liong-pang. Dapat kusebutkan orang-orang macam ini antara lain adalah Jing-ki-tong-cu Au-yang Siau-hui, Jai-ki-tong-cu Mo Hui, Hek-ki-tong-cu Lamkiong Hok serta Ang-ki-tong-cu Ko Ci-yang. Kudengar perbuatan mereka di luaran yang sangat tercela, sehingga akhirnya orang-orang dunia persilatan memandang kita tidak lebih dari sebuah gerombolan liar!” Berbicara sampai di sini, Wi-siang tidak dapat menahan perasaannya lagi, sehingga tanpa sadar ia mengerahkan tenaga ke telapak tangannya, maka cawan arak yang sedang dipegangnya itu langsung hancur dan berubah menjadi segumpal bubuk halus. Rahib Hong-goan lalu berkata untuk menghibur ketuanya itu, “Pang-cu, kau tidak usah berkecil hati dalam menghadapi persoalan ini. Akupun merasa sedih bahwa perjuangan kita telah dinodai oleh tikus-tikus busuk tak kenal malu itu. Aku dan saudara Ling telah saling bersumpah setia akan berdiri sepenuhnya di belakang Pang-cu dalam usaha pembersihan ini! Cukup Pang-cu keluarkan sepatah kata perintah, aku akan segera menumpas bangsat-bangsat yang menodai perjuangan itu.” Jian-kin-sin-kun Lu Siong juga ikut terbawa oleh arus perasaannya, maka diapun menggebrak meja dan berkata dengan suaranya yang keras dan kasar itu, “Seluruh anggota Ci-ki-tong siap berdiri di belakang Pang-cu untuk mendukung kebijaksanaan Pang-cu!” Oh Yun-kim si Tendangan Tanpa Bayangan itu masih bersikap tenang-tenang saja dalam menenggak araknya, namun sepasang matanya sudah bersinar-sinar dengan penuh semangat pula. Meskipun kata-katanya diucapkan tanpa menggebrak meja, namun nada suaranya menunjukkan kebulatan tekadnya, “Aku orang she Oh ini siap hancur lebur bersama seluruh anggota Pek-ki-tong demi mempertahankan kemurnian tujuan perjuangan Hwe-liong-pang!” Melihat sikap ketiga anak buahnya itu, mau tak mau Wi-siang merasa hatinya terhibur dan bangga juga. Wajahnya yang tadi suram itu kini nampak cerah kembali, “Ikrar kesetiaan saudara-saudara sangat membesarkan hatiku dan mengobarkan semangatku. Betapapun aku percaya, bahwa selama Hwe-liong-pang kita masih berdiri di atas jalan kebenaran, kita tidak perlu gentar menghadapi kesulitan yang bagaimanapun juga, dari luar maupun dari dalam! Saudara-saudara, mari kita minum secawan untuk tercapainya cita-cita kita!” Wi-hong dan Wi-lian pun ikut mengangkat cawan araknya. Hal itu membuat Wi-siang bertambah gembira. Sambil tertawa bergelak dia berkata, “Adik-adikku, aku berbesar hati melihat dukungan kalian pula, meskipun kalian bukan anggota Hwe-liong-pang. Melakukan pembersihan dalam Hwe-liong-pang yang sudah terlanjur mendapat busuk ini, memang mudah diucapkannya, tetapi sangat sulit dijalankan. Dari antara delapan kelompok yang ada dalam Hwe-liong-pang, empat kelompok diantaranya sudah tersesat dan menyeleweng dari cita-cita Pang kami. Diantara empat orang Su-cia kami, dua diantaranya juga sudah tidak murni lagi tujuan perjuangannya. Jadi melakukan pembersihan dalam tubuh perkumpulan ini sama saja artinya dengan memecat atau menghukum hampir separuh dari seluruh anggota perkumpulan kami!” Namun Tong Wi-hong menyahut untuk membesarkan hati kakaknya, “Semua usaha yang bertujuan baik tentu akan direstui oleh Thian. A-siang, dalam usahamu kelak untuk membersihkan tubuh Hwe-liong-pang dari para pengacau itu, aku menyediakan tenagaku untuk membantumu.” “Akupun menyediakan tenagaku,” sambung Wi-lian. Tong Wi-siang menarik napas panjang, jawabnya kemudian, “Terima kasih, adik-adikku, tetapi saat ini tenaga kalian itu masih belum kuperlukan. Pendukungku masih cukup banyak di dalam Hwe-liong-pang sendiri. Meskipun pembersihan Hwe-liong-pang ini akan memakan banyak tenaga, tetapi aku yakin akan berhasil, dan setelah itu yang akan nampak di dunia persilatan adalah sebuah Hwe-liong-pang yang bersih dengan cita-cita perjuangan yang luhur.” Begitulah ketiga kakak beradik yang baru saja bertemu setelah suatu perpisahan yang cukup lama itu, kini berbicara dengan asyiknya membicarakan segala sesuatu. Tidak lupa Tong Wi-siang sempat bertanya pula kepada Wi-hong tentang keadaan ibunya, “Aku mendengar kabar bahwa ibu berada di Soat-san bersamamu, A-hong, apakah keadaan beliau baik-baik saja?” “Ibu dalam keadaan baik-baik saja, bahkan ilmu silat pedang serta tenaga dalam beliau mengalami banyak kemajuan karena giat berlatih,” jawab Wi-hong menenteramkan hati kakaknya. “Dalam pertemuan besar kaum ksatria di Siong-san yang diselenggarakan bulan depan itu, ibu akan ikut menghadirinya bersama-sama dengan rombongan dari Soat-san-pay.” “Ah, syukurlah kalau ibu dalam keadaan baik. Selama ini aku sudah terlalu banyak menyusahkan dan membebani pikiran beliau. Bahkan kematian ayahpun secara tidak langsung adalah akibat dari perbuatanku yang kurang pikir. Ingin rasanya aku bersujud kepada ibu dan mencium kakinya, entah kapan kesempatan itu datang,” kata Wi-siang. Setelah menarik napas beberapa kali, Tong Wi-siang lalu menyambung perkataannya, “Aku punya keinginan untuk ikut menghadiri pertemuan di Siong-san itu, tetapi pelaksanaannya tergantung perkembangan keadaan nanti.” “Kau hadir di Siong-san sebagai Tong Wi-siang atau sebagai Hwe-liong-pang-cu?” tanya Wi-lian dengan tegang. Gadis itu tahu bahwa pertemuan di Siong-san itu diselenggarakan khusus untuk menghadapi Hwe-liong-pang, entah bagaimana kalau kehadiran kakaknya itu tidak berkenan di hati kaum pendekar. Jawab Wi-siang, “Tong Wi-siang adalah Hwe-liong-pang-cu, Hwe-liong-pang-cu adalah Tong Wi-siang, maka aku akan hadir di Siong-san sebagai kedua-duanya. Sebagai Tong Wi-siang pribadi, aku ingin bersujud kepada ibu dan menjumpai para sesepuh. Sebagai ketua Hwe-liong-pang aku ingin memberi penjelasan kepada para kesatria agar kesalahpahaman terhadap Hwe-liong-pang selama ini terhapus bersih. Aku akan menjelaskan pula bahwa Hwe-liong-pang siap bergandengan tangan dengan kaum kesatria di seluruh negeri untuk menentang dan menghancurkan kezaliman Kaisar Cong-ceng!” Kalimat yang terakhir ini ternyata sangat mengejutkan Wi-hong dan Wi-lian. Dari kalimat itu dapatlah disimpulkan bahwa yang disebut “Cita-cita luhur Hwe-liong-pang” itu ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah merobohkan Kerajaan Beng yang bejat itu dan mendirikan negara baru! Suatu cita-cita yang tidak tanggung-tanggung, pikir Wi-hong. Ketika Wi-hong melirik ke arah Hong-goan Hweshio, Oh Yun-kim serta Lu Siong, maka nampaklah bahwa air muka ketiga orang itu ternyata tidak berubah sedikitpun dalam mendengar ucapan Wi-siang itu. Jelas bahwa ketiga orang itupun mempunyai cita-cita yang sama dengan Wi-siang, dan merupakan pendukung-pendukung setia dari perjuangan hebat itu. Demikianlah, makan minum di atas kapal di tengah telaga Po-yang-ou itu berlangsung dengan suasana santai dan gembira, dan kadang-kadang diselingi dengan suasana yang penuh semangat berkobar. Mendadak dari arah tepi telaga yang berjarak puluhan tombak disana, terdengar suara suitan melengking nyaring, dua kali suitan pendek dan sekali suitan panjang. Suara suitan panjang yang terakhir itu mengalun panjang dan keras sehingga mendenging di telinga. Jelas bahwa suitan itu dilandasi dengan tenaga dalam yang meyakinkan. “Ilmu Liong-ling-kang (Ilmu naga menjerit) yang hebat!” tak terasa Wi-hong memuji mendengar suara suitan itu. “Siapakah tokoh hebat di pinggir telaga itu?” Wi-siang tersenyum dan menjawab tenang, “Dia juga seorang tokoh Hwe-liong-pang kami, jabatannya adalah Su-cia, namanya Ling Thian-ki dan berjulukan Jian-jiu-sin-wan (lutung sakti bertangan seribu).” Dan kepada Hong-goan Hweshio, Tong Wi-siang memerintahkan, “Su-cia, tolong kau jawab panggilan Ling Su-cia itu, dan silahkanlah dia naik ke kapal ini.” Rahib Hong-goan segera keluar dari ruangan perjamuan itu dan berdiri di geladak menghadap ke arah pinggir telaga. Serunya, “Lutung tua she Ling, jangan bertingkah di situ, hayolah cepat naik kemari supaya kau masih kebagian hidangan sebelum kuhabiskan sama sekali!” Seruan Hong-goan Hweshio itu nampaknya hanya diucapkan secara biasa saja dan tidak dengan berteriak, namun gema suaranya terasa menggetarkan udara lembab di permukaan danau yang tenang itu. Kembali Wi-hong mengeluarkan pujiannya, “Yang pertama tadi Liong-ling-kang dan yang ini adalah Say-cu-hou-kang (ilmu singa menggeram) yang tidak kalah sempurnanya!” Sahut Wi-lian, “Baik Hong-goan Hweshio maupun Ling Su-cia ini kepandaiannya jelas-jelas lebih tinggi dibandingkan Sebun Say atau Tang Kiau-po, tetapi kenapa nama mereka tidak tercantum dalam deretan nama Sepuluh Tokoh Sakti? Kenapa justru nama Sebun Say dan Tang Kiau-po yang tercantum?” Agaknya gadis itu lupa bahwa deretan nama “Sepuluh Tokoh Sakti” itu dibuat hampir lima belas tahun yang lalu, sehingga kurang dapat dijadikan pegangan lagi untuk jaman itu. Diantara sepuluh tokoh yang namanya dicantumkan itu tentu saja ada yang kesaktiannya mengalami peningkatan, sebaliknya ada pula yang mengalami kemunduran, begitu pula muncul tokoh-tokoh baru yang tadinya belum tercantum namanya memiliki kesaktian yang pantas diperhitungkan. Dengan demikian sebenarnya urut-urutan nama Sepuluh Tokoh Sakti di jaman itu perlu diperbaharui kembali. Sementara itu, dari arah tepian telaga kembali terdengar suara lengkingan nyaring yang semakin lama semakin mendekat ke arah perahu. Lalu terlihat sesosok bayangan berkelebat ke atas perahu, dan muncullah seorang manusia berwujud aneh di kapal itu. Disebut aneh, sebab yang muncul ini lebih tepat kalau dikatakan setengah manusia setengah kera. Ia bertubuh agak bungkuk seperti kera, mulutnya agak monyong dan mukanya penuh bulu, sedangkan ujung jari-jari tangannya yang panjang-panjang itu jika dikebawahkan akan mencapai bawah lutut lebih. Potongan manusia yang satu ini memang benar-benar mirip monyet, tetapi dia memiliki sepasang mata yang jernih dan bersinar lembut. Begitu menginjakkan kakinya di atas kapal, manusia monyet ini segera menjura kepada Wi-siang dan memberi salam, “Ling Thian-ki memberi hormat kepada Pang-cu!” Sedangkan Lu Siong dan Oh Yun-kim yang kedudukannya lebih rendah dari Ling Thian-ki, segera berdiri menyambut kedatangan manusia monyet itu dan mengucapkan salamnya. Tokoh yang berjulukan Jian-jiu-sin-wan itu menyapukan pandangannya ke segala sudut ruangan kapal itu. Ia nampak menjadi heran ketika melihat dua orang muda-mudi yang tidak dikenalnya tengah duduk makan minum dengan akrabnya bersama sang ketua. Demi tata-krama dunia persilatan, karena merasa dirinya lebih muda, Wi-hong dan Wi-lian lebih dulu berdiri dan memberi hormat kepada Ling Thian-ki, dan dibalas oleh tokoh tua itu dengan hormat pula. Tong Wi-siang segera bertindak untuk memperkenalkan kedua belah pihak, “Ling Su-cia, inilah adik-adikku yang bernama Wi-hong dan Wi-lian. Adik-adikku, inilah Ling Su-cia yang tadi telah kalian puji ilmu Liong-ling-kang nya. Silahkan kalian berkenalan.” Setelah saling berkenalan, Ling Thian-ki segera memenuhi undangan Tong Wi-siang untuk ikut duduk di dalam perjamuan kecil itu. Setelah menerima suguhan secawan arak dari ketuanya, Ling Thian-ki segera berkata dengan nada yang sungguh-sungguh, “Pang-cu, kedatanganku ini sesungguhnya hendak melaporkan suatu hal yang penting dan patut untuk cepat-cepat diketahui...” Setelah berbicara sampai disini, Ling Thian-ki melirik ke arah Wi-hong dan Wi-lian dengan sikap agak ragu-ragu. Agaknya dia bingung apakah akan meneruskan perkataannya atau tidak, sebab meskipun Wi-hong dan Wi-lian itu adalah adik-adik dari ketuanya, namun mereka bukan anggota Hwe-liong-pang, sedangkan urusan yang hendak dilaporkan oleh Ling Thian-ki itu menyangkut urusan Hwe-liong-pang. Wi-siang mengerti kebimbangan Ling Thian-ki itu, maka ia berkata, “Ling Su-cia, tidak usah ragu-ragu untuk berkata, mereka adalah adik-adikku yang dapat kupercaya. Sebelum kau datang, akupun telah berbicara banyak dengan mereka tentang perkumpulan kita. Adik-adikku ini sudah tahu pula tentang kebobrokan dalam Pang kita, bahkan tidak jarang bentrok dengan anak buah kita. Tidak ada halangannya Su-cia meneruskan perkataan tadi.” Jian-jiu-sin-wan Ling Thian-ki menganggukkan kepalanya dengan lega, lalu mulai berkata, “Baiklah aku menurut perintah Pang-cu. Aku hendak melaporkan bahwa persiapan Pang kita untuk sebuah pertemuan lengkap di lembah Jian-hoa-kok (lembah seribu bunga) di dekat kota Lam-cang itu telah berjalan dengan cukup lancar. Segenap anggota dari kelompok-kelompok bendera Putih, Kuning, Hijau, Biru, Coklat, Hitam, Merah dan Ungu telah berdatangan semuanya dan hanya menunggu kedatangan Pang-cu. Tetapi... tetapi...” Kening Wi-siang berkerut melihat sikap bimbang Ling Thian-ki itu. Katanya, “Ada apa? Tidak usah ragu-ragu, berita baik maupun berita buruk kau laporkan seadanya saja, akupun ingin mengetahui.” Ling Thian-ki menarik napas panjang lalu berkata, “Aku secara halus telah menjajaki pendapat para Tong-cu (Kepala Kelompok) tentang pembersihan dalam tubuh Pang yang bakal diadakan ini. Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Kuning) Kwa Heng serta Lam-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Panji Biru) sudah menyatakan sikap akan mendukung usaha pembersihan itu, dan berdiri sepenuhnya dibawah garis perintah Pang-cu. Namun sikap para Tong-cu dari Ang-ki-tong, Hek-ki-tong, Jing-ki-tong dan Jai-ki-tong agaknya sangat meragukan, bahkan samar-samar mereka menunjukkan sikap menentang, mereka agaknya didukung oleh Tang Kiau-po dan Sebun Say. Mereka ngotot mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang telah mereka tempuh selama ini dapat dibenarkan dan sama sekali tidak menyeleweng dari garis perjuangan yang Pang-cu tetapkan. Dan mereka nampaknya juga sudah menyiapkan diri untuk... maaf, untuk menentang Pang-cu secara terang-terangan!” “Kurang ajar! Ini adalah suatu pengkhianatan!” tiba-tiba Lu Siong berteriak sambil menggebrak meja. “Pang-cu, perintahkanlah aku untuk menumpas pemberontak-pemberontak itu!” Bukan hanya Lu Siong, tetapi Oh Yun-kim dan Hong-goan Hweshio juga menjadi panas hatinya ketika mendengar laporan Ling Thian-ki itu. Rahib Hong-goan segera menggeram sengit, “Sudah jelas bersalah tetapi tidak mau mengakui kesalahannya, malah hendak memberontak kepada Pang-cu. Pang-cu, agaknya kau perlu menyiapkan beberapa butir Racun Penghancur tubuh untuk dihadiahkan kepada mereka.” Wajah Tong Wi-siang pun berubah menjadi merah padam karena marahnya, namun dia berhasil mendinginkan suasana dengan mengangkat tangannya ke atas, lalu katanya dengan suara dingin menyeramkan, “Hem, para pembangkang itu mengandalkan apa hendak melawan aku?” Sahut Ling Thian-ki setelah menarik napas, “Pang-cu, jika hanya Tang Kiau-po, Sebun Say serta keempat orang Tong-cu dari Ang, Hek, Jing dan Jai-ki-tong saja kukira mereka tidak berani bertindak sekurang-ajar itu. Bahkan cukup dengan tenagaku serta tenaga saudara Hong-goan serta bantuan keempat Tong-cu dari Ui, Pek, Lam dan Ci-ki-tong, mereka akan berhasil ditumpas. Namun Sebun Say dan komplotannya berani berbuat demikian kurang-ajar itu sesungguhnya memang punya seorang andalan yang tangguh. Maaf, Pang-cu apakah aku boleh berbicara terus?” “Teruskan berbicara. Aku ingin tahu sejelas-jelasnya,” kata Wi-siang. Ling Thian-ki nampak merasa lega, sebab dia diperkenankan mengeluarkan isi yang selama ini belum sempat diucapkannya. Katanya, “Pang-cu, sesungguhnya para pembangkang itu berani berbuat sedemikian jauh karena mereka merasa dilindungi dan direstui oleh Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi).” Bagi Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, jawaban Ling Thian-ki itu tidak terlalu mengagetkan mereka. Beberapa bulan yang lalu, ketika mereka bertempur dengan orang-orang Hwe-liong-pang di tengah padang perdu di luar kota Tay-beng untuk merebut Cian Ping dari tangan orang Hwe-liong-pang, Wi-hong dan Wi-lian pernah bertemu dengan tokoh yang disebut Te-liong Hiang-cu itul. Saat itu memang Wi-hong melihat dengan matanya sendiri bahwa Te-liong Hiang-cu cenderung membenarkan semua tindakan sewenang-wenang dari orang-orang Hwe-liong-pang, dengan alasan untuk menggentarkan dunia persilatan. Bahkan waktu itu Te-liong Hiang-cu sampai bertengkar dengan tokoh lain yang bergelar Thian-liong Hiang-cu. Sedangkan bagi Tong Wi-siang, keterlibatan Te-liong Hiang- cu dalam komplotan penentang-penentang itu merupakan berita baru yang sangat mengejutkannya. Mukanya menjadi pucat, kemudian menjadi merah padam menahan amarah, giginya pun gemeretak hebat. “Ling Su-cia, benarkah ucapanmu itu?” geram Wi-siang. Wajah Ling Thian-ki saat itu kelihatan amat lesu, seakan teringat hal yang membuatnya sangat malu. Suaranya terdengar lesu pula ketika ia menyahut, “Biarpun aku makan hati macan pun tetap tidak berani membohongi Pang-cu. Peristiwa yang kualami beberapa hari yang lalu itu benar-benar sangat memalukan, sehingga jika aku mengingatnya aku seakan-akan bosan hidup di dunia ini.” Biasanya si Lutung Sakti Bertangan Seribu ini bersikap riang gembira dan senang bergurau, tetapi kini sungguh diluar dugaan kalau ia bersikap begitu lesu dan bahkan mengucapkan kata-kata yang bernada putus asa itu. Tentu saja Wi-siang dan orang-orang Hwe-liong-pang ingin tahu apa gerangan yang telah dialami oleh Ling Thian-ki ini? “Saudara Ling, maukah kau menceritakan kepada kami tentang beban yang memberatkan hatimu itu?” tanya Rahib Hong-goan. “Betul, Ling Su-cia, ceritakanlah,” sambung Wi-siang. Ling Thian-ki pun mulai bertutur, “Beberapa hari yang lalu, seluruh anggota kita sudah berkumpul di Jin-hoa-kok dan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Ketika aku memeriksa keadaan di sana, aku mendapat laporan tentang kelakuan-kelakuan yang kejam dari orang-orang Ang-ki-tong, Jing-ki-tong, Hek-ki-tong, dan Jai-ki-tong. "Aku mendengar bagaimana orang Ang-ki-tong mengejar dan menumpas Hong-ho-sam-hiong bersama seluruh keluarganya, tanpa ampun dan belas kasihan sedikitpun. Lalu kudengar pula Lam-kiong Hok dengan Kelompok Bendera Hitamnya telah menumpas Sin-hou-bun (Perguruan Harimau Sakti) di Kwi-tang sehingga jatuh korban dua ratus orang lebih, hanya karena Sin-hou-bun enggan mengakui kepemimpinan Lam-kiong Hok di wilayah itu. "Lalu kudengar pula Jin-ki-tong dengan cara yang brutal dibawah pimpinan Au-yang Siau-hui telah membunuh pemimpin Tiong-gi Piau-hang dan menculik anak gadisnya. Tidak ketinggalan si serigala sinting Mo Hui dengan Jai-ki-tong nya telah mencoba merebut pengaruh dengan Bu-tong-pay di wilayah Ho-pak, sehingga telah tertanam permusuhan dengan pihak Bu-tong-pay. "Dan berita yang paling akhir kudengar, dan yang paling gila, yaitu Ko Ci-yang, Lam-kiong Hok, Au-yang Siau-hui dan Mo Hui telah mempersatukan kekuatan Tong mereka masing-masing untuk merampok barang-barang hantaran Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng, yang nyaris membangkrutkan cabang itu sama sekali. "Untunglah tindakan itu diketahui oleh Thian-liong Hiang-cu, dan Hiang-cu dengan cara yang sangat bijaksana telah berhasil mengembalikan barang-barang yang dirampok itu ke tangan Tiong-gi Piau-hang kembali, sehingga permusuhan yang semakin hebat dengan Tiong-gi Piau-hang dapat dihindari. Namun demikian, tindakan-tindakan brutal dari anak buah kita itu telah menimbulkan kemarahan segenap kaum ksatria di dunia persilatan. "Harap Pang-cu mengetahui, bahwa bulan depan ini seluruh kaum pendekar akan berkumpul di Siong-san dan mengadakan pertemuan besar, tujuannya adalah untuk membahas bagaimana menghadapi kita! Dalam pandangan kaum pendekar itu, kita sekarang sudah dicap sebagai gerombolan pengacau dunia persilatan!” Bicara sampai di sini, agaknya Ling Thian-ki sudah sangat terpengaruh oleh gejolak perasaannya, suaranya pun makin lama makin meninggi. Bahkan pada akhir kalimatnya, tanpa sadar dia mencengkeramkan jari-jarinya ke permukaan meja, sehingga membekaslah lima jalur guratan yang cukup dalam di atas meja yang terbuat dari kayu keras itu! Sesaat lamanya Ling Thian-ki nampak berusaha meredakan gejolak perasaannya yang terasa menyesakkan dada itu, lalu ia melanjutkan bicaranya dengan suara yang lebih tenang. “Maaf, Pang-cu, aku sangat terbawa oleh kemarahan dan penyesalanku sehingga kurang dapat mengendalikan diri. Sekarang akan kulanjutkan penuturanku. Setelah aku mendengar laporan tentang tindak-tanduk para Tong-cu yang dapat mencemarkan nama baik Hwe-liong-pang itu, maka aku segera memanggil mereka ke suatu tempat yang sepi untuk menegur dan memperingatkan mereka. "Tengah aku berbicara dengan mereka, datang pula Sebun Say dan Tang Kiau-po ke tempat itu, dan tanpa memberi muka sedikit pun kepadaku, mereka malah membalik menyalahkan aku dan mencaci maki diriku, secara terang-terangan mereka membela tindakan para Tong-cu yang kutegur itu. Mereka berpendapat bahwa tindakan-tindakan berdarah itu sangat diperlukan, katanya supaya seluruh dunia persilatan menggigil ketakutan di bawah kaki Hwe-liong-pang. "Aku masih berusaha menghindari perpecahan terbuka antara sesama anggota Hwe-liong-pang, maka kuajak mereka berbicara secara baik-baik dan dengan kepala dingin. Tapi sikap Sebun Say dan Tang Kiau-po itu semakin kurang ajar, sehingga hampir saja kami bertempur. Lalu muncullah Te-liong Hiang-cu di tempat itu untuk melerai kami. Tadinya aku berharap bahwa kemunculan Te-liong Hiang-cu itu akan memutuskan secara bijaksana tentang apa yang kami pertengkarkan itu. "Tetapi ternyata kemudian bahwa harapanku itu terlalu berlebihan. Begitu muncul, ternyata Te-liong Hiang-cu langsung berpihak kepada Sebun Say dan komplotannya, bahkan dia terus mencaci aku dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati, katanya aku adalah seorang cengeng yang tidak berani melihat darah dan sebagainya. Tentu saja aku tidak berani membantahnya dan cuma memendam perasaan dalam hati. "Sementara Sebun Say dan orang-orangnya memandang kepadaku dengan sikap penuh kemenangan dan sangat menghina. Puncak penderitaan batin yang kualami adalah ketika Te-liong Hiang-cu memaksa aku untuk memberi hormat dan meminta maaf kepada Sebun Su-cia, Tang Su-cia serta keempat orang Tong-cu yang baru saja kutegur dan kumarahi itu, dan mereka menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan kata-kata sindiran yang memerahkan telingaku!” Demikian Ling Thian-ki mengakhiri penuturannya, suasana dalam ruangan di atas kapal itupun menjadi sunyi mencekam. Hanya terdengar suara gemericiknya air telaga yang tersibak oleh tubuh perahu besar itu.... |
Selanjutnya;
|