Perserikatan Naga Api Jilid 22 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 22

Karya : Stevanus S.P
WI-HONG dan Wi-lian mendengar kisah itu dengan kurang tertarik, sebab pernah mendengarnya dari penuturan mendiang ayah mereka. Namun karena orang-orang lainnya belum pernah mendengar kisah itu, maka jadi kedengaran menarik sekali.

Si rahib yang gemar mengembara itu melanjutkan ceritanya, “Dalam tukar menukar itu, aku menerima tongkat bambu sakti yang sekarang aku pakai sebagai senjata itu, sedangkan fakir India itu aku hadiahi dengan gelang bajaku yang telah bertahun-tahun tak terpisah dari tubuhku. Nah, kami berdua berkumpul selama beberapa hari dan bercakap-cakap tentang aneka ragam ilmu kesaktian di negeri masing-masing.

"Kita sebagai orang-orang yang berjiwa lapang harus mengakui bahwa ilmu silat yang berkembang pesat di Tiongkok ini sebenarnya tidak berasal dari negeri kita sendiri, melainkan berasal dari Thian-tiok. Cikal bakal yang mendirikan Siau-lim-pay, yaitu Tat-mo Cou-su, juga adalah seorang yang berkebangsaan India. Dengan kata lain, sebenarnya India adalah sumber ilmu silat. Namun sahabatku si fakir India itu menyayangkan bahwa ilmu silat kurang berkembang di negeri asalnya sendiri.

"Sebaliknya yang berkembang di India adalah ilmu yang aneh-aneh seperti ilmu sihir, ilmu racun, ilmu menaklukkan binatang-binatang buas dan berbisa dan sebagainya. Dari India, ilmu-ilmu yang mengerikan ini merembes ke negeri-negeri sekitarnya, antara lain ke Persia dan juga ke negeri kita ini.”

Karena menariknya kisah yang dibawakan oleh Rahib Hong-koan, maka tak terasa semua orang menghentikan makan minumnya dan memusatkan perhatiannya ke arah si juru cerita.

Rahib itu bertutur pula, “Tidak dapat disangkal, bahwa ilmu sihir maupun ilmu racun dari India itu banyak dipelajari oleh orang-orang bangsa kita pula, terutama dari daerah Jing-hay dan Kam-siok yang merupakan jalan lalu lintasnya orang-orang India dan Persia. Bahkan tidak sedikit orang bangsa Han kita yang mencapai tingkatan tinggi dalam ilmu sesat ini. Contohnya, kira-kira seratus tahun yang lalu, dunia persilatan di Tiong-goan pernah gempar dengan munculnya tujuh orang bersaudara yang menamakan dirinya Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Gunung Bu-san).”

Hampir setiap wajah yang mendengar cerita itu menjadi berubah hebat ketika mendengar disebutnya tentang tujuh orang gembong penjahat yang sangat terkenal di masa lalu itu. Meskipun kejadian itu sudah berlangsung lama, di jaman kakek atau ayah mereka, namun kabarnya setiap orang masih saja bergidik jika mengingat cerita tentang Bu-san-jit-kui itu.

Sementara itu si rahib melanjutkan ceritanya, “Ketujuh bersaudara itu semuanya adalah manusia-manusia berotak cerdas, dilengkapi pula dengan kemauan keras, tapi sayang bahwa mereka memiliki watak begitu jahat, seakan-akan penjelmaan iblis sendiri. Dengan kecerdasan dan kemauan mereka yang membaja, mereka berhasil menggabungkan antara ilmu silat, ilmu racun dan ilmu sihir, sehingga terciptalah sebuah ilmu baru yang sangat mengerikan, hampir-hampir tanpa tandingannya lagi di dunia persilatan.

"Ketujuh saudara itupun menemukan suatu cara baru untuk mencapai tingkat ilmu yang tinggi, tetapi dalam waktu yang sangat singkat. Mereka juga punya sebatang pedang pusaka yang diberi nama Jit-kui-kiam (Pedang Tujuh Iblis), sebuah pedang yang memiliki pengaruh gaib bagi siapapun yang memegangnya. Jika seseorang memegang pedang itu dalam keadaan terhunus, maka orang itu akan dikuasai oleh nafsu membunuh yang berkobar dan menjadi sangat haus darah.”

Selama Rahib Hong-koan bercerita, pendengarnya nampak berwajah tegang, seakan-akan Bu-san-jit-kui yang mengerikan itu benar-benar ada di hadapan mereka. sampai akhirnya Hong-koan Hwesio mengakhiri ceritanya,

“Demikianlah kisah yang pernah kudengar. Sebagai penutup dapatlah dikatakan, bahwa Bu-san-jit-kui akhirnya dapat dibunuh dengan gabungan dua orang tokoh paling sakti di jaman itu, yaitu seorang Tojin dari Bu-tong-pay dan seorang Hweshio dari Siau-lim-pay. Dan Hweshio itu adalah mendiang kakek guruku, Thian-lui Siansu.”

“Apakah mereka (Bu-san-jit-kui) itu meninggalkan keturunan atau murid?” tanya The Toan-yong.

Sahut Hong-koan Hwesio sambil menggelengkan kepalanya, “Belum pernah kudengar hal yang demikian itu. Namun pernah kudengar bahwa mereka meninggalkan harta karun yang tak ternilai besarnya hasil rampokannya terhadap pedagang-pedagang yang lewat di sekitar gunung Bu-san. Mereka juga meninggalkan catatan tentang ilmu sesat mereka yang mengerikan itu, namun aku tidak tahu di mana mereka menyimpannya. Kuharap saja benda-benda maksiat itu sudah lenyap ditelan waktu, daripada dunia persilatan terguncang lagi untuk kesekian kali.”

Begitu cerita tentang Bu-san-jit-kui itu selesai, merekapun melanjutkan makan minum mereka. Namun terdengar Wi-lian bertanya pula, “Pek-hu, apakah seorang yang mempelajari ilmu sesat itu akan berpengaruh juga kepada tabiat aslinya?”

“Sedikit banyak ada juga pengaruhnya,” sahut Rahib Hong- koan. “Tetapi hal itu tidak mutlak, sebab keteguhan hati setiap orang itu berbeda-beda. Tidak sedikit orang yang mengakunya dari golongan ilmu sejati tetapi ternyata tingkah lakunya justru sangat merugikan masyarakat. Sebaliknya ada pula tokoh yang mahir dalam berbagai ilmu sihir atau ilmu beracun, namun menggunakan kepandaiannya itu untuk membela si lemah dan menumpas kejahatan.”

“Pek-hu, Thian-liong Hiang-cu itu tadi mengatakan bahwa dia akan mengusulkan pembersihan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, apakah hal itu kira-kira bisa dipercaya?” tanya Wi-lian pula.

Sahut sang rahib sambil mengangkat bahu, “Kedengarannya dia memang cukup bersungguh-sungguh. Tapi entahlah, hati orang siapa tahu.”

“Aku percaya kepada kata-katanya,” tiba-tiba Yo Hui-jiang berkata dengan nada yang tegas.

Tong Wi-hong memandang sejenak ke arah piau-su tua yang hampir menjadi lawannya itu, lalu ia berkata, “Aku lebih cenderung untuk tidak percaya mentah-mentah begitu saja setiap ucapannya. Betapapun manis ucapannya, namun dengan mata kepalaku sendiri sudah kulihat betapa jahatnya kelakuan orang-orang Hwe-liong-pang. Kata-kata yang memikat dari Thian-liong Hiang-cu tadi tentu ada maksud-maksud tersembunyinya.

"Kudengar pula kabar bahwa dalam waktu dekat ini Hwe-liong-pang akan mengadakan pertemuan besar di suatu tempat di dekat kota Lam-cang dimana ketua mereka sendiri akan memimpin pertemuan. Tujuan pertemuan itu untuk menandingi pertemuan besar kaum ksatria (Eng-hiong-tay-hwe) yang bakal diadakan di Siong-san.

"Dengan demikian jelaslah bahwa nafsu Hwe-liong-pang untuk menguasai dunia persilatan tidaklah padam. Kalau salah satu dari kita berhasil menyusup ke dalam pertemuan besar Hwe-liong-pang nanti, maka akan dapat diketahui apakah ucapan Thian-liong Hiang-cu tadi bersungguh-sungguh atau cuma omong kosong belaka.”

Ucapan Wi-hong itu serempak memancing semua pandangan mata ke arah dirinya. Sejak peristiwa berdarah dikota Tay-beng, memang nama Tong Wi-hong mulai menanjak menjadi terkenal, karena keberaniannya dalam menghadapi Hwe-liong-pang. Kini ucapannya yang berapi-api penuh semangat itu telah menimbulkan kekaguman, tapi sekaligus juga kekuatiran bagi para pendengarnya.

Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian menanggapi, “Cong-piau-thau, kau adalah pemimpin tertinggi dari seluruh Tiong-gi Piau-hang kita, jangan sampai Cong-piau-thau mengalami sesuatu, bukankah Tiong-gi Piau-hang kita menjadi seperti ular tanpa kepala? Harap Cong-piau-thau menyadari bahwa berusaha menyusup ke dalam pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu sama saja dengan masuk ke sarang macan!”

“Terima kasih atas perhatian dan peringatan paman Ho,” sahut Wi-hong. “Tidak memasuki sarang harimau tidak akan mendapatkan anak harimau. Aku sudah bertekad untuk berbuat itu, lagipula paman Ho tidak usah kuatir sebab aku akan bertindak dengan hati-hati dan cermat. Harap paman Ho dan paman-paman lainnya ingat, bahwa Cian Lo-piau-thau gugur di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Ini berarti bahwa dendam permusuhan kita dengan Hwe-liong-pang tidak dapat dihapuskan begitu saja, ibaratnya setinggi gunung dan sedalam lautan.”

Teringat akan gugurnya ayahnya seketika itu juga Cian Ping menjadi berkaca-kaca, dengan suara yang agak bergetar dia berkata, “Dan jangan lupa pula bahwa Tiong-gi Piau-hang masih punya seorang anggota durhaka yang bernama Song Kim yang belum menerima hukumannya. Si durhaka itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah orang Hwe-liong-pang, tetapi dia tetap harus kita tangkap dan menerima hukuman untuk pengkhianatannya itu!”

Ucapan-ucapan Wi-hong dan Cian Ping itu disambung pula oleh Tong Wi-lian dengan tidak kalah bersemangatnya, “Selain itu, kitapun perlu menunjukkan kepada dunia, bahwa bukan hanya orang Hwe-liong-pang yang berani menerjang Tiong-gi Piau-hang, namun orang Tiong-gi Piau-hang juga berani menerjang Hwe-liong-pang!”

“Aku juga ikut!” kata Ting Bun.

Melihat keempat orang muda itu nampaknya sudah begitu besar tekadnya dan tidak bisa dicegah lagi, diam-diam Yo Hui-jiang mengagumi tapi juga menyesali sikap terlalu gegabah dari orang-orang muda itu. Kim-say-kong-pian ini menggerutu dalam hatinya, “Nampaknya memang tepat pepatah yang mengatakan bahwa anak kerbau tidak takut kepada harimau. Tetapi aku sebagai orang luar tentu saja tidak bisa mencampuri urusan mereka, apalagi ini adalah urusan dendam dan sakit hati.”

Dalam pada itu terdengarlah Si Golok Halilintar The Toan-yong bertanya menegaskan, “Jadi Cong-piau-thau berempat sudah bertekad bulat hendak menyusup masuk ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang itu?”

“Ya, tekadku sudah pasti.”

“Begitu pula tekad kami,” sambung Wi-lian, Cian Ping dan Ting Bun secara serempak.

“Keselamatan Cong-piau-thau sangat penting. Karena itu biarlah aku menyumbangkan tenaga tuaku untuk menemani Cong-piau-thau,” kata The Toan-yong mantap.

Maka berturut-turut pula Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian, Kui-gi- to Yap Lam-heng dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, juga Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng menyatakan siap-sedia mengawal Cong-piau-thau mereka untuk menyusup ke pertemuan Hwe-liong-pang itu.

Cepat Tong Wi-hong berdiri dan memberi hormat ke sekelilingnya sambil berkata, “Terima kasih akan kesediaan saudara-saudara dan paman-paman sekalian untuk melindungi keselamatan kami. Namun kelancaran Tiong-gi Piau-hang di semua cabang kitapun merupakan urusan yang tidak kalah pentingnya. Jika semua berangkat mengikuti aku, tentu urusan cabang-cabang akan terbengkalai, karena itu, aku hanya akan memilih dua orang di antara kalian untuk mengikuti aku.”

Suasana menjadi sunyi seketika, semuanya menunggu keputusan sang pemimpin. Sekali lagi Yo Hui-jiang harus kagum melihat bahwa Tong Wi-hong yang masih begitu muda ternyata telah memiliki kewibawaan begitu besar, dan disegani para bawahannya, padahal para bawahannya itu merupakan jago-jago pilihan pula.

Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Wi-hong, “Aku memilih saudara So Hou dan So Pa untuk menyertai kami. Paman-paman lainnya harap tetap menjalankan tugasnya di cabang-cabangnya masing-masing.

So Hou dan So Pa serempak berdiri dan memberi hormat kepada Wi-hong sambil mengucap, “Terima kasih atas kehormatan yang diberikan oleh Cong-piau-thau.”

Kiranya Tong Wi-hong punya pertimbangan tersendiri dalam memilih kedua saudara So yang bergelar Tiong-san-siang- hou itu. Karena Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping merupakan orang-orang muda, maka kurang leluasa rasanya jika melakukan perjalanan bersama dengan orang-orang tua yang jalan pikirannya tentu berlainan.

Karena itu Wi-hong sengaja memilih Tiong-san-siang-hou yang masih muda dan sebaya dengannya itu sebagai teman seperjalanannya. Selain itu, dalam hal ilmu silat maka tingkatan kedua saudara So itu cukup dapat diandalkan, sedikitpun tidak ada di bawah Song Kim atau Ting Bun.

Sementara itu, rombongan dari Kim-say Piau-hang langsung mohon pamit begitu perjamuan itu selesai. Tong Wi-hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya mengantar keberangkatan mereka sampai keluar dari pintu gerbang kota Kiang-leng. Sebelum berpisah, sekali lagi Tong Wi-hong minta maaf kepada Yo Hui-jiang tentang sikapnya yang menuduh tadi.

Setelah kembali ke gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang- leng, maka Tong Wi-hong segera mengajak adiknya ke sebuah ruangan tertutup berdua saja, untuk membicarakan suatu urusan. “A-lian,” kata Wi-hong begitu sudah berada dalam ruangan itu. “Berdasarkan cerita Yo Hui-jiang tadi, tentang seorang muda yang perlente yang menyuruh mengirim barang ke sini, dan berdasarkan pula pengamatan atas bentuk tubuh dan suara Thian-liong Hiang-cu itu, maka rasanya aku mulai dapat menebak siapakah sebenarnya orang yang bersembunyi di balik kedok Thian-liong Hiang-cu itu.”

Mata adik perempuannya bersinar-sinar terang, katanya sambil tertawa, “Apa yang kau pikirkan itu telah menjadi pikiranku sejak tadi. Yo Cong-piau-thau tadi menceritakan tentang seorang anak muda berpakaian perlente seperti anak hartawan, dan di tengah-tengah antara kedua alisnya ada warna hitam yang samar-samar, maka akupun langsung ingat kepada seseorang....”

“Jangan kau sebut dulu namanya,” potong Wi-hong cepat. “Coba kita tuliskan dugaan kita itu pada telapak tangan kita masing-masing, lalu nanti kita cocokkan. Aku ingin tahu apakah jalan pikiran kita cocok atau tidak.”

Adiknya pun agaknya tertarik juga untuk menggunakan cara seperti tebak-tebakan itu. Maka mereka segera menggosok tinta bak dan menuliskan nama di telapak tangannya masing-masing. Keduanya saling pandang sebentar lalu kemudian saling membuka dan menunjukkan telapak tangannya masing-masing. Ternyata, baik di telapak tangan sang kakak maupun si adik, tertulis sebuah nama yang sama, yaitu “Siangkoan Hong”.

“Ternyata dugaan kita bersamaan bahwa Thian-liong Hiang-cu itu adalah Siangkoan Hong,” desis Wi-lian dengan suara yang bergetar karena goncangan perasaannya. Katanya lebih lanjut, “A-hong, masih ingatkah kau ketika Siangkoan Hong menemui kita di Tay-beng beberapa waktu yang lalu? Waktu itu Siangkoan Hong menanyakan bagaimana sikap kita seandainya A-siang sedang memperjuangkan sebuah cita-cita luhur, dan dalam percakapan itu Siangkoan Hong mengaku bahwa dia hanya suruhan A-siang. Jika benar Siangkoan Hong adalah Thian-liong Hiang-cu, maka jangan-jangan A-siang yang bisa memerintahnya itu adalah... adalah... ah, aku tidak berani memikirkannya.”

Tong Wi-hong menarik napas, ucapnya, “Akupun sebenarnya pernah punya pikiran seperti itu, namun hanya kusimpan saja di dalam hati. Karena ternyata kau pun berpikir demikian, maka dugaanku semakin kuat bahwa A-siang adalah... Ketua Hwe-liong-pang itu!”

Wi-lian menundukkan kepalanya. Jika kenyataan itu benar-benar ada, maka dia tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap terhadap Hwe-liong-pang, harus memusuhi atau bersahabat? Dalam kebingungannya, gadis itu mendengar suara kakaknya lagi,

“Dugaanku itu semakin diperkuat lagi oleh dua alasan, meskipun untuk menyebutnya ini terlalu berat bagi perasaanku. Alasan pertama, tentang disebut-sebutnya kalimat “perjuangan luhur” yang nadanya sama ketika diucapkan oleh Siangkoan Hong di Tay-beng dan Thian-liong Hiang-cu di sini tadi. Kedua, ucapan Siangkoan Hong yang mengatakan bahwa kita akan bisa menemui A-siang di Lam-cang, padahal dalam beberapa hari mendatang ini kota itu akan menjadi ajang pertemuan Hwe-liong-pang.”

“Dan aku bisa menambahnya dengan alasan yang ketiga,” sambung Wi-lian sambil mengangkat mukanya. “Yaitu sikap Thian-liong Hiang-cu ketika berada di padang perdu di luar kota Tay-beng itu. Waktu itu dia mencegah Te-liong Hiang-cu agar tidak mencelakai kita. Secara terselubung Thian-liong Hiang-cu waktu itu mengatakan bahwa kita berdua ada hubungan dengan “toa-suheng” mereka. Meskipun yang diucapkannya pada saat itu hanya untuk menggertak Te-liong Hiang-cu agar membatalkan niatnya untuk mencelakai kita, tetapi jelas bahwa ucapan itu bukan tidak ada maknanya sama sekali."

“Persoalannya menjadi sangat ruwet sekarang,” desah Tong Wi-hong sambil menarik napas. “Tetapi masih ada satu hal yang belum kumengerti. Kita kenal ilmu silat A-siang pada dua tahun yang lalu itu tidak lebih tinggi daripada kita, sebab dia malas berlatih. Tetapi sekarang, bagaimana mungkin dia sekarang bisa memimpin tokoh-tokoh setaraf Sebun Say, Tang Kiau-po dan sebagainya?”

Sahut adiknya, “Setelah mendengar cerita pek-hu tentang buku peninggalan Bu-san-jit-kui tadi, aku punya dugaan keras bahwa A-siang telah menemukan buku itu dan mempelajarinya. Bukankah pek-hu mengatakan bahwa Bu-san-jit-kui juga telah menemukan suatu cara berlatih yang meskipun agak sesat namun dapat mempercepat tingkatan ilmu seseorang?

"Contohnya saja adalah Siangkoan Hong sendiri. Dia adalah anak An-yang-shia yang kita kenal sebagai teman A-siang, dan ketika di An-yang-shia dia tidak becus ilmu silat sedikit pun, meskipun dia gemar berkelahi. Tetapi ingatkah kau akan kejadian ketika dia menemui kita di Tay-beng? Dia rupanya sengaja pamer kekuatan dengan menginjak lantai, sehingga ubin lantai sampai amblas beberapa jari dalamnya.

"Tenaga dalam selihai itu jelas tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh sembarangan, bahkan tokoh yang tergabung dalam “Sepuluh Tokoh Sakti” itupun tidak semuanya dapat berbuat seperti itu. Jika Siangkoan Hong saja telah mencapai kemajuan sepesat itu, bagaimana halnya dengan A-siang yang dasar ilmu silatnya jelas lebih tinggi dari Siangkoan Hong? Aku tak sanggup membayangkannya.”

“Bagaimana pun juga kita harus berani melihat kenyataan. Sekarang kita harus menentukan sikap, bagaimana seandainya Hwe-liong-pang-cu itu benar-benar A-siang sendiri?” kata Wi-lian.

Wi-hong nampak berpikir sebentar, kemudian ia berkata diluar dugaan adiknya, “Aku berpendapat, justru ada baiknya jika yang menjadi Hwe-liong-pang-cu itu adalah A-siang sendiri, sebab dengan demikian ada kemungkinan kita bisa bicara dari hati ke hati dengannya, untuk membicarakan semua kelakuan buruk anak buahnya. Justru A-siang sebagai pemegang kendali sebuah perkumpulan yang kuat seperti Hwe-liong-pang, harus berhasil kita bujuk supaya menggunakan kekuatannya itu untuk menentramkan dunia persilatan dan bukan malahan memperburuknya.”

“Pendapat yang bagus,” sahut Wi-lian sambil menepuk permukaan meja. Wajahnya yang tadi sudah suram dan sedih itu, kini berseri kembali menampilkan suatu harapan baru.

Melihat perubahan wajah adiknya itu, diam-diam Wi-hong merasa terharu juga. Dia tahu bahwa hubungan antara kakaknya dan adik perempuannya itu justru yang paling akrab, keduanya saling menyayangi sepenuh hati, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Wi-lian tidak punya persiapan batin sedikitpun juga jika diharuskan menghadapi Tong Wi- siang sebagai lawan di medan perang.

“Aku punya keyakinan besar bahwa A-siang akan menuruti bujukan kita,” kata gadis itu dengan bersemangat. “Dari dulu dia selalu sayang kepadaku, dan menuruti permintaanku, mudah-mudahan sekarang pun ia belum berubah.”

Sebenarnya Wi-hong ingin memperingatkan bahwa hati manusia itu mudah berubah, namun ia batal untuk mengucapkannya sebab tidak sampai hati mematahkan harapan yang sedang berkembang di hati adiknya itu. Bahkan sambil membelai rambut Wi-lian, Wi-hong berkata,

“Memangnya hanya kau saja yang sayang dan rindu kepadanya? Aku pun sama sekali tidak berkeinginan untuk menghadapi A-siang sebagai lawan, sebab betapapun dia adalah saudaraku, seayah dan seibu.”

Wi-lian pun balas memeluk kakaknya sambil berkata, “Alangkah senangnya kalau kita bertiga bisa berkumpul kembali, dan bersama-sama bergembira seperti dulu lagi.”

Dalam pada itu, persiapan bagi Wi-hong dan kawan-kawannya yang hendak ke Lam-cang untuk “mengintai” pertemuan besar Hwe-liong-pang itupun telah dipersiapkan semuanya. Menurut rencana perjalanan, karena Lam-cang itu cukup dekat dengan An-yang-shia, maka rombongan itu akan lebih dulu singgah di An-yang-shia untuk mencari dan berziarah ke kuburan ayah mereka, yaitu Kiang-se-tay-hiap Tong Tian.

Bahkan kalau perlu membongkar kuburannya dan memakamkannya kembali secara layak, sebab Wi-hong dan Wi-lian teringat bahwa dulu mereka belum sempat memakamkan tubuh ayah mereka secara baik, karena sedang diburu oleh anak buahnya Cia To-bun.

Sebelum berangkat, lebih dulu Tong Wi-hong mengatur pengiriman kembali barang-barang yang pernah dirampas oleh Hwe-liong-pang itu. Untuk menjaga jangan sampai terulangnya hal-hal yang tidak diingini, maka khusus untuk pengiriman bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, diselenggarakan dengan pengawalan yang seketat-ketatnya.

Para jago-jago Tiong-gi Piau-hang dari Lok-yang dan Bu-sek yang tidak turut serta ke An-yang-shia, akan ikut memperkuat kafilah itu sampai ke Pak-khia, setelah itu baru akan pulang ke cabangnya masing-masing. Sedangkan Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng tetap akan berada di Kiang-leng untuk memimpin cabang di kota itu.

Rahib sinting dari Siau-lim, Hong-koan Hwesio, yang pekerjaannya hanya berkelana ke sana ke mari itu, kini juga menyatakan akan coba-coba menyusup pula ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang. Dia bermaksud untuk “memata-matai” dan menghitung kekuatan Hwe-liong-pang, agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam Eng-hiong-tay-hwe yang bakal diadakan di Siong-san pada bulan mendatang. Tetapi rahib itu menyatakan lebih suka berjalan sendirian daripada bersama-sama dengan anak-anak muda itu, meskipun berjanji akan membantunya jika ada kesulitan.

Demikianlah persiapan untuk berangkat itupun telah berjalan dengan lancar. Pada hari keberangkatan, para tokoh Tiong-gi Piau-hang mengucapkan selamat jalan dan mengantarkan rombongan Tong Wi-hong sampai ke pintu gerbang kota. Rombongan Wi-hong menjurus ke tenggara, yaitu ke An-yang-shia di wilayah Kiang-se. Rombongannya terdiri dari enam orang muda yang semuanya menunggang kuda, yaitu Wi-hong, Cian Ping, Ting Bun, Wi-lian serta dua saudara So yang berjuluk Tiong-san-siang-hou itu.

Jilid 01

SEBEGITU jauh perjalanan berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Kota Bu-sek dan Han-leng berturut-turut telah dilewati, dan akhirnya sampailah rombongan itu di tepian sungai Tiang-kang yang lebar itu. Selama dalam perjalanan itu, atas permintaan Tong Wi-hong, kedua saudara So tidak diperkenankan memanggil Wi-hong dengan sebutan “Cong-piau-thau” melainkan diganti dengan sebutan yang lebih akrab.

Karena So Hou lebih tua satu tahun dari Ting Bun dan Wi-hong maka semua anggota rombongan itu memanggilnya “So Toako”. Sedang So Pa yang masih muda, bahkan sama umurnya dengan Wi-lian dan Cian Ping, dipanggil “Ah-pa” begitu saja. Dengan demikian suasana perjalanan itu jadi terasa lebih akrab dan tidak terasa kaku. Tidak ada lagi suasana antara Cong-piau-thau dengan piau-su bawahannya, tapi lebih mirip dengan serombongan sahabat yang sedang bertamasya bersama-sama.

Kini di hadapan mereka terbentanglah sungai Tiang-kang yang sangat lebar itu. Begitu lebarnya, sehingga seorang yang berdiri di tepian utara sungai itu akan melihat tepi seberangnya hanya seperti garis hitam yang tipis dan kabur. So Hou yang sudah cukup berpengalaman dalam melakukan perjalanan jauh, segera berkata,

“Kita cari dermaga di pinggir sungai. Di situ akan mudah didapatkan perahu-perahu sewaan yang bersedia menyeberangkan kita ke selatan dengan upah setahil dua tahil.”

Di sepanjang tepian sungai memang tidak sedikit terdapat dermaga-dermaga seperti yang diceritakan oleh So Hou itu. tidak berapa lama mereka berjalan menyusur tepian, mereka telah menemukan sebuah dermaga seperti itu. Di situ ada juga beberapa orang yang agaknya juga sedang menantikan perahu yang hendak menyeberangkan mereka. Tidak lama kemudian, terlihatlah sebuah perahu mendekati dermaga.

Tubuh perahu itu ternyata cukup lebar dan dapat memuat tiga puluh orang lebih, sedang pendayung-pendayungnya adalah empat orang lelaki bertubuh kekar dan berkulit coklat, yang masing-masing memegang galah panjang untuk mendorong perahu ke tepian. Karena mereka tidak mengenakan baju, maka nampaklah kulit mereka yang mengkilat karena keringat.

Penyeberangan dengan upah memang bukan barang baru lagi di daerah itu. Begitu perahu merapat ke dermaga, maka orang-orang yang ada di dermaga pun segera berbondong-bondong naik ke atas perahu. Begitu pula rombongan Wi-hong naik ke perahu dengan menuntun kuda-kudanya masing-masing. Rupanya hari itu lalu-lintas penyeberangan agak sepi, sehingga dalam perahu terasa agak leluasa, meskipun ada enam ekor kuda sebagai penumpangnya.

“Maaf, tuan-tuan, bayar di depan,” kata si tukang perahu sambil menadahkan tangannya kepada para penumpang. Dan para penumpang pun membayarnya tanpa banyak rewel lagi.

Namun di saat para tukang perahu itu telah siap mendorong perahu ke tengah sungai, tiba-tiba di tepian dekat dermaga itu muncul pula serombongan orang-orang berkuda yang berjumlah lima orang. Semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata, menandakan diri mereka sebagai orang-orang dunia persilatan. Bahkan dalam rombongan itu juga ada dua orang yang berpakaian seperti lelaki tetapi jelas jelas adalah perempuan. Kedua perempuan itupun menyandang senjata dan mengikat rambutnya secara ringkas.

Pemimpin rombongan berkuda itu adalah seorang lelaki tegap yang memakai ikat kepala berwarna biru, segera berseru kepada para tukang perahu, “Toako pemilik perahu, dapatkah rombongan kami ikut naik sampai ke seberang?”

Tentu saja pemilik perahu itu tidak keberatan, sebab semakin penuh perahunya itu akan berarti semakin penuh pula kantongnya. Apalagi memang perahunya cukup lebar, dan masih bisa memuat tambahan lima orang manusia dan lima ekor kuda lagi, meskipun menjadi agak berdesakan. Maka tukang perahu itupun meminggirkan kembali perahu mereka dan mempersilahkan para penumpang baru itu untuk naik.

Meskipun kelima orang penumpang baru itu gagah-gagah dan membawa senjata macam-macam, namun sikap mereka justru sangat sopan dan menghormat kepada setiap penumpang lainnya. Apalagi terhadap rombongan Tong Wi-hong yang juga kelihatan seperti rombongan dunia persilatan itu. Si ikat kepala biru itu lebih dulu mengangguk sopan kepada Wi-hong, sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Wi-hong.

Selama perahu di dayung menuju ke seberang, diam-diam Wi-hong mencoba melirik dan memperhatikan lelaki berikat kepala biru yang duduk di sebelahnya itu. Dia adalah seorang lelaki muda, usianya barangkali belum mencapai tiga puluh tahun, berwajah gagah dan bertubuh tegap, bibirnya selalu siap melemparkan senyuman ramah kepada siapapun.

Senjata yang dibawanya adalah liu-yap-siang-to (sepasng golok daun liu) yang tipis, dan diselipkan di ikat pinggangnya. Sepasang tangannya pun nampak kekar berotot, lebih besar sedikit dari tangan orang-orang kebanyakan, menandakan sepasang tangan yang cukup terlatih menggunakan senjata. Sedang anggota-anggota rombongan yang lainnya pun rata-rata bersikap gagah dan tangkas, tak terkecuali wanita-wanitanya.

So Hou dan So Pa yang sudah biasa berkelana dan bergaul dengan kaum kelana lainnya, dengan cepat telah membuka perkenalan dan bercakap-cakap dengan rombongan orang-orang gagah itu. Ketika So Hou menanyakan dari perguruan manakah rombongan itu, maka jawaban si ikat kepala biru ternyata cukup mengagetkan,

“Kami adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang dari Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru). Aku sendiri bernama In Yong dan beruntung mendapat kepercayaan dari Ketua kami untuk memimpin kelompok Lam-ki-tong ini sebagai Tong-cu (Pemimpin Kelompok).”

Melihat bahwa muka Tong Wi-hong dan seluruh rombongannya berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Hwe-liong-pang, lelaki yang mengaku bernama In Yong itu menjadi heran. Tanyanya, “Kenapa saudara-saudara nampaknya terkejut? Apakah ada sesuatu yang aneh dengan Hwe-liong-pang?”

Cepat Wi-hong menyahut sambil menggoyangkan tangannya, “Harap saudara In jangan salah paham melihat sikap kami. Kulihat saudara In cukup gagah dan aku yakin saudara tentu berilmu silat tinggi pula, tetapi justru karena itulah kami agak menyayangkan saudara. Maaf, bukannya aku sok tua tapi maukah saudara In mendengar beberapa perkataanku?”

Wajah In Yong dan teman-temannya nampak berubah menjadi kurang senang. Namun dengan menahan diri akhirnya In Yong berkata juga dengan nada tawar, “Silahkan saudara berkata.”

Wi-hong menarik napas dalam-dalam, diam-diam dalam hatinya ia mulai menyukai sikap terbuka dari orang she In ini, yang mengaku sebagai pemimpin Lam-ki-tong dalam Hwe-liong-pang ini. Kata Wi-hong kemudian, “Saudara In, ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa „panglima yang gagah memilih junjungan raja yang bijaksana!‟ Apakah saudara In memahami arti dari pepatah itu?”

“Tentu saja aku mengerti. Seorang panglima yang perkasa di bawah perintah seorang raja yang lalim adalah ibarat sebatang golok tajam di tangan seorang gila. Bukan saja tidak ada manfaatnya bagi sesama manusia, bahkan akan membawa malapetaka bagi masyarakat,” sahut In Yong dengan kening yang masih berkerut.

Tong Wi-hong menganggukkan kepalanya dengan puas, lalu berkata, “Bagus, ternyata pengetahuan saudara In juga cukup luas. Sekali lagi aku minta maaf, kini arti pepatah itu akan kuterapkan kepada diri saudara-saudara sekalian. Dengan kegagahan dan keluhuran budi saudara-saudara ini, apakah saudara-saudara tidak keliru kalau memilih Hwe-liong-pang sebagai tempat bernaung kalian?”

Kali ini airmuka In Yong dan keempat orang temannya benar-benar telah berubah, bahkan terang-terangan menunjukkan ketidak-senangannya kepada ucapan Wi-hong itu. Sahut In Yong dingin, “Saudara, kita bagaikan air sumur dan air sungai yang satu sama lain tidak saling mengganggu. Aku memilih Hwe-liong-pang tidak sembarangan saja, melainkan setelah kupikirkan dan kupertimbangkan cukup lama. Aku merasa bahwa hanya Hwe-liong-pang yang berani bertindak untuk mendobrak segala kebobrokan di jaman ini, di mana tindakan yang keras dan tegas diperlukan untuk itu. Aku berkata hanya Hwe-liong-pang yang berani bertindak, karena orang-orang yang disebut para pendekar terhormat ternyata lebih suka berpeluk tangan demi keselamatan diri sendiri, dan tidak berani turun tangan untuk mendobrak kebobrokan keadaan ini.”

“Ucapan yang gagah, saudara In,” kata Wi-hong sambil tertawa, untuk mencoba mendinginkan suasana. “Tetapi harap saudara In ingat, bahwa selama ini nama Hwe-liong-pang di dunia persilatan telah terlanjur menjadi buruk dan dikutuk umat persilatan. Perkumpulan tempat berkumpulnya para bandit dan...”

“Omong kosong!” tiba-tiba salah seorang kawan In Yong berteriak marah dan memotong perkataan Wi-hong. Orang itu ternyata masih muda, namun wajahnya keras, dan di keningnya ada bekas luka yang memanjang sampai ke dekat telinga. Bahkan dengan berapi-api dia berkata, “Cobalah tuan tanya kepada rakyat di wilayah Ou-lam dan Ou-pak, bagaimana kesan mereka kepada Hwe-liong-pang.

"Mereka akan menjawab bahwa Hwe-liong-pang adalah sahabat dan pelindung mereka, selagi orang-orang yang menamakan dirinya “pendekar” tengah berdiam diri tidak mempedulikan penderitaan orang kecil. Tanya pula kepada mereka, siapa yang memberantas pembesar-pembesar rakus di kedua wilayah itu kalau bukan Hwe-liong-pang?

"Tanya pula siapa yang memeras keringat dan darah untuk membasmi penjahat-penjahat demi ketentraman rakyat? Mereka pasti akan menjawab bahwa Hwe-liong-pang lah yang melakukannya. Bagaimana tuan ini dengan lancang berani mengatakan bahwa Hwe-liong-pang bernama busuk dan merupakan perkumpulan para bandit?”

Sesaat wajah Tong Wi-hong pun menjadi menegang dan kupingnya menjadi panas. Ingin rasanya Wi-hong membeberkan kepada anak muda itu tentang sederetan bukti-bukti kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang, antara lain membunuh Hong-ho-sam-hiong dan membunuh pula Cian Sin-wi yang terkenal sebagai tokoh yang “keras” dalam menentang kejahatan itu.

Tetapi sebelum Tong Wi-hong membuka mulutnya, telah terdengar helaan napas berat dari In Yong, dan dengan sedih In Yong memandang kepada kawannya yang luka keningnya itu, sambil berkata, “Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Di satu daerah, Hwe-liong-pang memang menjadi sahabat rakyat kecil. Tetapi Hwe-liong-pang punya wajah yang lain di daerah yang lain, di beberapa daerah memang nama Hwe-liong-pang sudah begitu kotornya dan susah untuk tercuci bersih lagi.

"Kita dari kelompok Lam-ki-tong memang telah berbuat begitu banyak bagi ketentraman dan kesejahteraan rakyat jelata. Tetapi tentu kita pun pernah mendengar bahwa rekan-rekan kami dari Jing-ki-tong, Ang- ki-tong, Jai-ki-tong dan Hek-ki-tong telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela atas nama Hwe-liong- pang. Hal itu jelas merugikan nama baik dan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang secara keseluruhan.”

Lalu In Yong menoleh kepada Wi-hong dan berkata, “Hal itupun aku ketahui, dan aku sungguh menyesalkannya. Tujuan pertemuan besar Hwe-liong-pang kali ini, tujuan utamanya juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran dan tak kenal ampun. Meskipun agak terlambat, tetapi kukira lebih baik daripada tidak diambil tindakan sama sekali.”

Di dalam hatinya, Tong Wi-hong berkesan baik terhadap In Yong, meskipun sudah tahu bahwa In Yong adalah seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Kata Wi-hong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah kalau begitu. Semoga pertemuan Hwe-liong-pang di Lam-cang nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia persilatan, dan bukan malah sebaliknya.”

Sementara mereka bercakap-cakap, perahu itupun sudah tiba di tepian seberang. Para penumpangpun segera turun ke darat. Tong Wi-hong dan rombongannya pun segera berpisah dengan rombongan In Yong, setelah saling memberi hormat dan mengucapkan selamat berpisah.

Begitu telah jauh dari rombongan In Yong, Tong Wi-hong bergumam sendirian, “Sebenarnya perkumpulan macam apakah Hwe-liong-pang itu? Kenapa kaum bandit dan kaum ksatria bercampur aduk di dalamnya. Di sisi lain nampaklah sisi gelapnya yang diwakili oleh Tang Kiau-po, Sebun Say, Au-yang Siau-hui. Mo Hui dan sebagainya. Sedang di sisi lain nampak bagian yang bersih diwakili oleh orang-orang seperti In Yong dan Thian-liong Hiang-cu.”

So Houlah yang menyahut keheranan Wi-hong itu, “Kukira hal itu tidak mengherankan. Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan belum sampai dua tahun, namun sudah memiliki sebarisan jago-jago tangguh yang demikian banyak, ini jelas disebabkan karena pihak mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima anggota. Akibatnya, anggota yang masukpun tidak sempat dipilih lagi, tidak sempat lagi diselidiki pribadi dan asal-usulnya, maka bercampur-aduklah kaum pendekar dan kaum penjahat di dalam perkumpulan itu.”

“Aku juga sependapat dengan So Toako,” sambung Wi-lian. “Bahkan aku sering melihat sendiri bahwa sebenarnya dalam tubuh Hwe-liong-pang itu terjadi pula keretakan-keretakan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang kualami di kota Kay-hong, dalam peristiwa terbunuhnya Hong-ho-sam-hiong itu. Waktu itu kulihat kerjasama dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dengan Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) ternyata bukanlah kerjasama yang sepenuh hati. Bahkan berkali-kali pemimpin Ui-ki-tong yang bernama Kwa Heng dan berjuluk Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) itu mencegah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) untuk turun tangan terhadap Hong-ho-sam- hiong.”

Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap dan tidak terburu-buru. Tak terasa, dalam percakapan mereka itu sudah mulai timbul pandangan lain kepada Hwe-liong-pang. Bahkan Cian Ping yang mendendam Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsum itu, kini mau tidak mau harus meninjau kembali sikapnya itu.

Sedangkan bagi Tong Wi-hong dan adiknya, pandangan baru kepada Hwe-liong-pang itu ada segi yang menggembirakan mereka, membuat hati mereka semakin cerah. Mereka punya dugaan kuat bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu tidak lain adalah kakak mereka sendiri yaitu Tong Wi-siang yang sangat mereka rindukan. Mereka gembira jika di dalam Hwe-liong-pang masih ada unsur-unsur baiknya, sebab dengan demikian akan semakin kecillah kemungkinannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang sebagai lawan.

Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, maka tidak lama kemudian rombongan itupun telah memasuki wilayah Kiang-se. Tong Wi-hong dan adiknya merasa sangat terharu karena dapat menginjak kembali daerah kelahiran mereka, setelah selama dua tahun mereka meninggalkannya dalam keadaan kepedihan dan penderitaan.

Begitu mereka memasuki wilayah Kiang-se, segera nampaklah di daerah itu ada kesibukan yang tidak terasa di daerah lain. Makin sering mereka menjumpai rombongan kecil atau besar, dari orang-orang yang berwajah keras dan menyandang senjata. Ada di antara orang-orang itu yang bersikap gagah seperti kaum ksatria umumnya, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki tampang “orang sesat”, kejam dan dingin.

“Tentu mereka adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hendak menghadiri pertemuan besar itu,” kata Wi-hong pada So Hou yang berkuda di dekatnya. “Semakin kuat dugaanku bahwa Hwe-liong-pang benar-benar merupakan wadah tempat bercampur-aduknya orang baik dan orang jahat. Benar-benar perkumpulan yang aneh.”

Mereka bermalam lagi satu malam. Keesokan harinya, setelah mereka berkuda tanpa berhenti selama setengah hari, maka telaga Po-yang-ou yang indah permai itu sudah nampak di depan mata. Hampir menangis rasanya Wi-hong dan Wi-lian ketika melihat kampung halaman yang dirindukan itu sudah nampak di depan mata. Mereka segera mempercepat lari kuda mereka, diimbangi oleh anggota rombongan lainnya. Mereka memutari tepian Po-yang-ou melalui sisi timur, dan akhirnya kota kecil An-yang-shia pun nampak di depan mata.

“An-yang-shia!” desis Wi-hong dengan tenggorokan yang terasa tersekat. “Aku kembali ke pangkuanmu.”

Kota kecil An-yang-shia ternyata masih seperti dulu, lorong- lorongnya tidak berubah begitu pula bangunan-bangunannya. Agaknya waktu dua tahun memang bukan waktu yang terlalu lama bagi orang yang tidak diamuk perasaan rindu. Bahkan orang-orangnya pun tidak berubah. Wi-hong dan Wi-lian masih sempat bertegur sapa dengan orang-orang yang pernah mereka kenal. Tetapi suasananya tidak seramai dulu lagi, bahkan nampak adanya suasana tertekan dan ketakutan yang menggantung di kota kecil itu.

“Ada sesuatu yang terjadi di tempat ini rupanya,” kata Wi-lian.

“Ya, sikap orang-orang yang kita jumpai tadi nampak kurang wajar dan begitu terburu-buru.”

“Ya, jalanan pun terasa lebih sepi dari dulu.”

Mereka menjalankan kudanya dengan langkah perlahan menuju ke pusat kota kecil itu. Dan begitu mereka mendekati ke gedung tempat kediaman Cia To-bun, terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian. Di luar gedung itu nampaklah ada belasan orang kuli yang sedang mengangkut belasan buah peti mati ke dalam gedung itu yang mengherankan, jika memang ada orang yang mati di rumah itu, masakan yang mati sekaligus sebanyak itu? Dan kenapa nampak pula regu-regu prajurit sedang berjaga-jaga di sekitar gedung itu, seakan-akan sedang menghadapi serbuan musuh yang tangguh?

“Apakah Cia To-bun mati?” tanya Wi-hong kepada diri sendiri.

Wi-lian menggelengkan kepalanya, sahutnya sambil mengangkat bahunya, “Entahlah. Tetapi kalau hanya dia seorang yang mati, masakan ia membutuhkan delapan buah peti mati?”

Sementara itu So Pa telah memajukan kudanya dan berkata kepada Wi-hong, “Tong Toako, biarlah akan kucoba bertanya kepada prajurit-prajurit yang berjaga-jaga itu, atau kepada siapa saja yang barangkali dapat menerangkan tentang kejadian aneh ini.”

Kata Wi-hong menyetujui, “Baiklah, kalau kita muncul berenam sekaligus tentu akan dicurigai oleh prajurit-prajurit itu, apalagi karena kita membawa senjata. Ah Po, selidikilah dengan baik, kau akan kami tunggu di sebuah warung teh dekat simpang tiga itu. Sebaiknya senjata dan kudamu tidak kau bawa, supaya tidak dicurigai dan ditangkap mereka.”

Demikianlah So Po mendapat tugas untuk mencari keterangan tentang peti-peti mati di gedung Cia To-bun itu. Tampang So Pa memang cocok untuk itu, dia bertampang bersih kekanak-kanakan, sedikitpun tidak memberi kesan “berbahaya”. Sedangkan Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan So Hou lalu menantikan So Pa di warung teh yang agak jauh letaknya dari rumah Cia To-bun.

Pemilik warung teh itu sudah dikenal oleh keluarga Tong sejak dulu, namanya Ong Lo-ya-cu. Namun si tua Ong itu ternyata sudah meninggal dua bulan yang lalu, dan kini pengelolaan warung teh itu dijalankan oleh anak tertuanya yang bernama Ong San, yang juga sudah dikenal baik oleh Wi-hong maupun adiknya. Maka begitu Wi-hong dan rombongannya muncul di pintu warung, Ong San yang sedang mengelap meja itupun segera menjerit gembira.

“He, A-hong! A-lian! Selama ini kalian menghilang ke mana saja?”

Demikianlah Wi-hong dan rombongannya melepaskan dahaga di warung teh Ong San itu sambil menunggu kedatangan So Pa. Mereka bercakap-cakap dengan Ong San tentang beberapa hal-hal ringan. Kemudian Wi-hong mencoba mencari keterangan dari Ong San,

“Ong Toako, dua tahun aku telah meninggalkan An-yang-shia, dan aku merasakan perubahan suasana di kota kecil ini. Kulihat kota ini tidak seramai dan setenang dulu lagi, apakah yang telah terjadi?”

Ong San menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan nada setengah menggerutu, “Dasar memang belakangan ini rejekiku yang ditakdirkan untuk menurun. Dulu ketika kota ini masih ramai dikunjungi oleh para pelancong, warung tehku ini hampir-hampir kewalahan menampung para pengunjung sehingga uang pun mengalir ke kantongku dengan derasnya. Tetapi dalam beberapa waktu belakangan ini, keadaan berubah menjadi sepi mendadak, entah apa sebabnya. Para pelancong tidak kelihatan lagi mengunjungi An-yang-shia ini, seakan-akan di kota ini timbul suatu wabah menular yang mengerikan.”

“Kau tahu apa sebab yang sesungguhnya?” tanya Wi-hong.

Ong San si pemilik warung teh hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dan Wi-hong tidak bertanya lagi, dia percaya bahwa So Pa tentu akan membawa keterangan yang lebih lengkap tentang apa yang mereka herankan itu.

Tidak lama kemudian, orang yang diharapkan itupun telah datang ke warung teh itu. So Pa bersikap tenang dan tersenyum-senyum, berusaha bersikap sewajar mungkin, tetapi sinar matanya jelas menunjukkan bahwa berita yang dibawanya itu cukup penting dan menegangkan.

Wi-hong pun dapat merasakan hal itu. Setelah memberi kesempatan kepada So Pa untuk minum secangkir teh, Wi-hong pun segera mengajak rombongannya untuk cepat-cepat meninggalkan warung Ong San itu. Mereka berkuda melalui jalan yang tidak melewati rumah Cia To-bun menuju langsung keluar kota An-yang-shia.

Begitu tiba di tempat yang sepi, serempak mereka menghentikan kudanya. Tong Wi-hong dan adiknyalah yang paling tidak sabar, hampir bersamaan mereka bertanya, “Ah Pa, ada kejadian apa?”

Lebih dulu So Pa menghapus keringat yang mengembun di dahinya itu dengan punggung telapak tangannya. Lalu katanya, “Tong Toako, kukira kalian sudah tidak perlu lagi membalaskan sakit hati keluarga kalian kepada Cia To-bun, sebab dia sudah mampus. Menurut keterangan yang berhasil kuperoleh, tadi malam Cia To-bun serta tujuh orang anggota rumah tangganya, termasuk puteranya dan selir-selirnya, semuanya telah kehilangan batok kepala mereka! Siapa yang melakukannya, tidak seorang pun tahu. Bahkan para penjaga yang menjaga di sekeliling gedung pada malam tadi, juga tidak mendengar suara apa-apa, tahu-tahu keesokan harinya Cia To-bun sekeluarga sudah menjadi setan-setan tanpa kepala!”

Wajah orang-orang yang mendengarkan keterangan So Pa itu menjadi tegang. Akhirnya terdengar Wi-hong berkata dengan menghela napas, “Benar-benar luar biasa! Aku tahu Cia To-bun selalu berada di tengah pengawalan yang ketat para prajuritnya, bahkan dia pun mempunyai beberapa orang jago andalan yang lihai dalam rumahnya. Masa tidak seorangpun dapat melihat bentuk potongan pembunuh itu?”

“Kalau dibayangkan benar-benar menakutkan,” kata So Pa sambil menelan ludahnya. “Para pelayan dan tukang-tukang pukul Cia To-bun yang biasanya sangat garang itu, ternyata sampai saat ini belum bisa ditanyai apapun tentang pembunuh itu, atau mereka bisa menjawab tetapi jawabannya kacau-balau tidak keruan. Para pelayan dan tukang pukul itu nampak begitu ketakutan dan terpukul jiwanya oleh kejadian tadi malam. Yang sudah agak tenang hanya bisa mengatakan bahwa pembunuh itu bukan manusia melainkan sesosok hantu hitam yang bermuka tengkorak, gerakannya secepat angin.”

Hampir bersamaan, semua orang mendesiskan sebuah nama, “Hwe-liong-pang!”

Sementara itu Ting Bun berkata dengan keheranan, “Hwe-liong-pang bukan saja memusuhi dunia persilatan, tetapi bahkan berani pula memusuhi pihak pemerintah Kerajaan Beng. Benar-benar luar biasa. Apakah alasan Hwe-liong-pang untuk menumpas Cia To-bun sekeluarga?”

Pertayaan Ting Bun itu tidak terjawab. Hanya saja Tong Wi-hong saling bertukar pandangan dengan Wi-lian dengan pandangan yang penuh arti. Kejadian yang dilaporkan oleh So Pa itu hanya memperkuat dugaan kakak beradik itu bahwa Ketua Hwe-liong-pang sebenarnya adalah Tong Wi-siang, kakak tertua mereka sendiri. Namun kakak beradik itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Bahkan kemudian Wi-lian mencoba membelokkan pembicaraan, “Anggaplah bahwa sakit hati keluarga Tong kepada Cia To-bun sudah lepas. Sekarang kita akan memikirkan tujuan kita datang ke An-yang-shia ini.”

Tanpa pikir panjang lagi, Tong Wi-hong menyahut, “Menengok rumah kita, lalu mencari makam ayah.”

Maka keenam orang itupun kemudian menyusuri tepian danau dan menuju ke arah selatan, tanpa melalui kota An- yang-shia yang tengah dicekam oleh suasana kengerian itu. Setelah melewati sebuah teluk kecil dan sederetan pohon siong yang permai, akhirnya di depan mereka nampaklah sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh pepohonan cemara, membelakangi sebuah bukit kecil dan menghadap ke arah danau. Sekali pandang saja sudah nampak betapa nyaman dan sejuknya rumah itu.

“Rumah kita!” Wi-lian berteriak dan langsung hendak melarikan kudanya ke rumah itu.

Namun Wi-hong cepat menyambar tali kendali kuda adiknya itu, dan berkata, “Tahan dulu, A-lian.”

“Ada apa, A-hong?”

Wi-hong tidak menyahut tetapi hanya mengerutkan keningnya. Ia nampak berpikir keras. Tadinya Wi-hong mengira bahwa dia tentu akan menjumpai rumahnya dalam keadaan berantakan dan berujud puing belaka, sebab menurut keterangan ibunya ketika tiba di Soat-san, anak buah Cia To-bun telah membumi-hanguskan rumah itu. Tetapi kini yang tergelar di hadapan Wi-hong adalah sebuah rumah yang utuh dan bersih, sedikitpun tidak nampak tanda-tanda bekas kerusakannya, bahkan cat pintunya pun masih sangat baru. Inilah yang membuat Wi-hong tercengang.

“Mengherankan sekali,” desisnya.

“Tidak mengherankan sedikitpun,” kata Wi-lian membantah kakaknya. “A-hong, apakah kau masih ingat kepada kata-kata yang diucapkan oleh Siangkoan Hong ketika dia menemui kita di Tay-beng?”

“Siapakah Siangkoan Hong? Dan apa yang dikatakannya? Kenapa kalian bersikap seaneh ini justru setelah sampai di rumah kalian sendiri?” tiba-tiba Cian Ping memberondongnya dengan serangkaian pertanyaan karena herannya melihat sikap kakak beradik itu. Ting Bun sebenarnya juga memendam rasa heran yang serupa, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya sebab belum memahami persoalannya.

Mendengar pertanyaan Cian Ping yang bertubi-tubi itu, Wi-hong dan Wi-lian kebingungan untuk menjawabnya. Mereka tahu bahwa Cian Ping sangat membenci Hwe-liong-pang, bahkan mendendamnya sampai ke tulang sungsum, bagaimana kalau gadis itu sampai mendengar atau mengetahui bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu justru kakak tertua dari Wi-hong, orang yang dicintainya?

Dalam bingungnya itu, Wi-lian telah menjawab secara untung-untungan saja, “Siangkoan Hong adalah teman sekampung kami yang juga minggat dari An-yang-shia karena menjadi buronan yang berwajib. Dia pernah menemui kami di Tay-beng dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke An-yang-shia, mungkin dia pula yang telah memperbaiki rumah kami ini. Itulah dugaan kami.”

Untuk sementara Cian Ping harus puas dengan jawaban itu. Namun ketika Cian Ping hendak bertanya lebih jelas lagi, tiba-tiba pintu rumah itu telah terbuka dari sebelah dalam, dan muncullah seorang pelayan rumah yang pakaiannya cukup bersih dan rapi. Pelayan itu langsung memberi hormat kepada Wi-hong dan bertanya,

“Apakah aku sedang berhadapan dengan tuan muda Tong Wi-hong serta nona Wi-lian?”

Begitu berhadapan ternyata pelayan itu langsung dapat menyebut nama Wi-hong dan Wi-lian, itu membuat kedua kakak beradik itu bertambah heran. Terpaksa mereka mengiakan pertanyaan pelayan itu. Mendengar jawaban Wi-hong itu, wajah si pelayan seketika menjadi berseri-seri kegirangan, katanya lagi,

“Sudah beberapa hari ini kami menunggu dan siap menyambut kedatangan tuan muda dan nona. Silahkan masuk!”

Sementara itu, beberapa orang pelayan telah muncul pula dari dalam rumah. Dengan sikap hormat, para pelayan itu menyambut kuda Tong Wi-hong dan rombongannya, dan langsung membawa kuda-kuda itu ke bagian belakang rumah itu. Sambil melangkah masuk, Wi-hong bertanya kepada pelayan yang muncul pertama kalinya tadi,

“Paman, siapakah yang memiliki rumah ini? Kenapa kalian mengetahui kedatangan dan nama-nama kami?”

Pelayan tua itu tertawa lebar, sehingga terlihatlah sederetan gigi-giginya yang kecokelatan karena terlalu banyak mengisap tembakau itu. Sahutnya riang, “Ah, tuan muda bergurau saja rupanya. Bukankah rumah ini adalah rumah Tong Tay-hiap? Sekarang beliau telah tiada, dengan sendirinya rumah ini adalah kepunyaan putera-puterinya. Tentang kedatangan tuan muda dan rombonganmu ini, kira-kira dua hari yang lalu tempat ini didatangi oleh seorang rahib bertubuh gemuk, yang memberitahukan kepada kami bahwa dalam beberapa hari ini kalian akan datang ke rumah ini. Rahib gemuk itu juga menyuruh kami agar kami menyambut secara baik. Bahkan rahib itu meninggalkan kepadaku uang sejumlah lima ratus tahil perak untuk menyiapkan penyambutan kalian ini. Aku sendiri heran, entah dari mana seorang rahib bisa mendapatkan uang sebanyak itu, tetapi aku lupa bertanya.”

Wi-hong segera menoleh kepada adiknya yang murid Siau- lim-pay itu, dan bertanya, “Siau-lim-pay biasanya mempunyai anggota para rahib. Apakah kau kenal rahib semacam itu?”

Pelayan tua itu nampak mengerutkan alisnya seperti mengingat-ingat, kemudian ia menjawab dengan hati-hati, “Selain tubuhnya yang pendek gemuk hampir bundar, dia juga berjenggot keriting kekuning-kuningan, matanya biru, tampangnya seperti bukan tampang orang-orang bangsa Han kita. Dia membawa sebatang tongkat besi yang disebut Hong-pian-jan (toya yang pada ujungnya terdapat besi berbentuk bulan sabit, senjata khas kaum rahib Buddha). Meskipun dia bertubuh gemuk, tetapi ternyata jalannya cepat sekali. Hanya dengan melangkah seenaknya saja tahu-tahu dia telah pergi bagaikan terbang, sekejap saja aku sudah tidak dapat melihatnya lagi.”

Mendengar keterangan itu, mendadak mata Wi-lian jadi bersinar terang, serunya sambil menepuk paha, “Aku ingat rahib seperti itu!”

“Siapa?”

Sahut Wi-lian, “Aku sendiri memang belum pernah bertemu secara langsung dengannya, namun Suhuku pernah bercerita tentang rahib dengan ciri-ciri seperti itu. Dia adalah murid Siau-lim-si juga, bahkan seangkatan dengan Suhu, namanya Hong-goan Hweshio. Kira-kira pada lima tahun yang lalu dia meninggalkan kuil dan kemudian menghilang entah kemana. Kabarnya ada orang yang melihat jejaknya di daerah Jing-hay. Dia memang bukan bangsa Han, tetapi bangsa Hui yang berdiam di daerah Jing-hay. Itulah sebabnya tampangnya tidak sama dengan orang-orang bangsa kita.”

“Kalau dia sudah menghilang selama lima tahun, bagaimana mendadak bisa muncul di sini dan bahkan menyuruh paman ini untuk menyambut kita? Apakah dia punya hubungan dengan keluarga Tong?” tanya Ting Bun dengan perasaan heran.

Sambil bercakap-cakap dengan pelayan tua itu, tak terasa Wi-hong dan rombongannya telah memasuki ruangan depan dari rumah itu. Kembali Wi-hong dan Wi-lian terlongong memandangi keadaan di dalam rumah itu. Ternyata keadaan ruangan itu masih tetap seperti dulu, baik perabot-perabotnya maupun letak perabot-perabotnya, sedikitpun sudah tidak nampak bekas pembakaran atau pengrusakan oleh anak buah Cia To-bun dulu.

Namun benda-benda perabot itu jelas tidak asli lagi, masih nampak baru bahkan catnya pun kelihatan baru saja kering. Meskipun keanehan menyelubungi suasana rumah itu, namun betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian tetap merasa berhak untuk bertindak sebagai tuan rumah di tempat itu. Mereka segera menyuruh kepada para pelayan agar menyediakan tempat beristirahat yang pantas bagi rombongannya.

Para pelayan menjalankan perintah itu dengan hormat dan gembira, hal mana membuat Wi-hong dan Wi-lian semakin berpikir keras. Akhirnya kakak beradik itu merasa tidak ada perlunya tinggal terlalu lama dalam kebingungan mereka, mereka memutuskan untuk bertanya secara terang-terangan kepada pelayan tua itu....
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 22

Perserikatan Naga Api Jilid 22

Karya : Stevanus S.P
WI-HONG dan Wi-lian mendengar kisah itu dengan kurang tertarik, sebab pernah mendengarnya dari penuturan mendiang ayah mereka. Namun karena orang-orang lainnya belum pernah mendengar kisah itu, maka jadi kedengaran menarik sekali.

Si rahib yang gemar mengembara itu melanjutkan ceritanya, “Dalam tukar menukar itu, aku menerima tongkat bambu sakti yang sekarang aku pakai sebagai senjata itu, sedangkan fakir India itu aku hadiahi dengan gelang bajaku yang telah bertahun-tahun tak terpisah dari tubuhku. Nah, kami berdua berkumpul selama beberapa hari dan bercakap-cakap tentang aneka ragam ilmu kesaktian di negeri masing-masing.

"Kita sebagai orang-orang yang berjiwa lapang harus mengakui bahwa ilmu silat yang berkembang pesat di Tiongkok ini sebenarnya tidak berasal dari negeri kita sendiri, melainkan berasal dari Thian-tiok. Cikal bakal yang mendirikan Siau-lim-pay, yaitu Tat-mo Cou-su, juga adalah seorang yang berkebangsaan India. Dengan kata lain, sebenarnya India adalah sumber ilmu silat. Namun sahabatku si fakir India itu menyayangkan bahwa ilmu silat kurang berkembang di negeri asalnya sendiri.

"Sebaliknya yang berkembang di India adalah ilmu yang aneh-aneh seperti ilmu sihir, ilmu racun, ilmu menaklukkan binatang-binatang buas dan berbisa dan sebagainya. Dari India, ilmu-ilmu yang mengerikan ini merembes ke negeri-negeri sekitarnya, antara lain ke Persia dan juga ke negeri kita ini.”

Karena menariknya kisah yang dibawakan oleh Rahib Hong-koan, maka tak terasa semua orang menghentikan makan minumnya dan memusatkan perhatiannya ke arah si juru cerita.

Rahib itu bertutur pula, “Tidak dapat disangkal, bahwa ilmu sihir maupun ilmu racun dari India itu banyak dipelajari oleh orang-orang bangsa kita pula, terutama dari daerah Jing-hay dan Kam-siok yang merupakan jalan lalu lintasnya orang-orang India dan Persia. Bahkan tidak sedikit orang bangsa Han kita yang mencapai tingkatan tinggi dalam ilmu sesat ini. Contohnya, kira-kira seratus tahun yang lalu, dunia persilatan di Tiong-goan pernah gempar dengan munculnya tujuh orang bersaudara yang menamakan dirinya Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Gunung Bu-san).”

Hampir setiap wajah yang mendengar cerita itu menjadi berubah hebat ketika mendengar disebutnya tentang tujuh orang gembong penjahat yang sangat terkenal di masa lalu itu. Meskipun kejadian itu sudah berlangsung lama, di jaman kakek atau ayah mereka, namun kabarnya setiap orang masih saja bergidik jika mengingat cerita tentang Bu-san-jit-kui itu.

Sementara itu si rahib melanjutkan ceritanya, “Ketujuh bersaudara itu semuanya adalah manusia-manusia berotak cerdas, dilengkapi pula dengan kemauan keras, tapi sayang bahwa mereka memiliki watak begitu jahat, seakan-akan penjelmaan iblis sendiri. Dengan kecerdasan dan kemauan mereka yang membaja, mereka berhasil menggabungkan antara ilmu silat, ilmu racun dan ilmu sihir, sehingga terciptalah sebuah ilmu baru yang sangat mengerikan, hampir-hampir tanpa tandingannya lagi di dunia persilatan.

"Ketujuh saudara itupun menemukan suatu cara baru untuk mencapai tingkat ilmu yang tinggi, tetapi dalam waktu yang sangat singkat. Mereka juga punya sebatang pedang pusaka yang diberi nama Jit-kui-kiam (Pedang Tujuh Iblis), sebuah pedang yang memiliki pengaruh gaib bagi siapapun yang memegangnya. Jika seseorang memegang pedang itu dalam keadaan terhunus, maka orang itu akan dikuasai oleh nafsu membunuh yang berkobar dan menjadi sangat haus darah.”

Selama Rahib Hong-koan bercerita, pendengarnya nampak berwajah tegang, seakan-akan Bu-san-jit-kui yang mengerikan itu benar-benar ada di hadapan mereka. sampai akhirnya Hong-koan Hwesio mengakhiri ceritanya,

“Demikianlah kisah yang pernah kudengar. Sebagai penutup dapatlah dikatakan, bahwa Bu-san-jit-kui akhirnya dapat dibunuh dengan gabungan dua orang tokoh paling sakti di jaman itu, yaitu seorang Tojin dari Bu-tong-pay dan seorang Hweshio dari Siau-lim-pay. Dan Hweshio itu adalah mendiang kakek guruku, Thian-lui Siansu.”

“Apakah mereka (Bu-san-jit-kui) itu meninggalkan keturunan atau murid?” tanya The Toan-yong.

Sahut Hong-koan Hwesio sambil menggelengkan kepalanya, “Belum pernah kudengar hal yang demikian itu. Namun pernah kudengar bahwa mereka meninggalkan harta karun yang tak ternilai besarnya hasil rampokannya terhadap pedagang-pedagang yang lewat di sekitar gunung Bu-san. Mereka juga meninggalkan catatan tentang ilmu sesat mereka yang mengerikan itu, namun aku tidak tahu di mana mereka menyimpannya. Kuharap saja benda-benda maksiat itu sudah lenyap ditelan waktu, daripada dunia persilatan terguncang lagi untuk kesekian kali.”

Begitu cerita tentang Bu-san-jit-kui itu selesai, merekapun melanjutkan makan minum mereka. Namun terdengar Wi-lian bertanya pula, “Pek-hu, apakah seorang yang mempelajari ilmu sesat itu akan berpengaruh juga kepada tabiat aslinya?”

“Sedikit banyak ada juga pengaruhnya,” sahut Rahib Hong- koan. “Tetapi hal itu tidak mutlak, sebab keteguhan hati setiap orang itu berbeda-beda. Tidak sedikit orang yang mengakunya dari golongan ilmu sejati tetapi ternyata tingkah lakunya justru sangat merugikan masyarakat. Sebaliknya ada pula tokoh yang mahir dalam berbagai ilmu sihir atau ilmu beracun, namun menggunakan kepandaiannya itu untuk membela si lemah dan menumpas kejahatan.”

“Pek-hu, Thian-liong Hiang-cu itu tadi mengatakan bahwa dia akan mengusulkan pembersihan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri, apakah hal itu kira-kira bisa dipercaya?” tanya Wi-lian pula.

Sahut sang rahib sambil mengangkat bahu, “Kedengarannya dia memang cukup bersungguh-sungguh. Tapi entahlah, hati orang siapa tahu.”

“Aku percaya kepada kata-katanya,” tiba-tiba Yo Hui-jiang berkata dengan nada yang tegas.

Tong Wi-hong memandang sejenak ke arah piau-su tua yang hampir menjadi lawannya itu, lalu ia berkata, “Aku lebih cenderung untuk tidak percaya mentah-mentah begitu saja setiap ucapannya. Betapapun manis ucapannya, namun dengan mata kepalaku sendiri sudah kulihat betapa jahatnya kelakuan orang-orang Hwe-liong-pang. Kata-kata yang memikat dari Thian-liong Hiang-cu tadi tentu ada maksud-maksud tersembunyinya.

"Kudengar pula kabar bahwa dalam waktu dekat ini Hwe-liong-pang akan mengadakan pertemuan besar di suatu tempat di dekat kota Lam-cang dimana ketua mereka sendiri akan memimpin pertemuan. Tujuan pertemuan itu untuk menandingi pertemuan besar kaum ksatria (Eng-hiong-tay-hwe) yang bakal diadakan di Siong-san.

"Dengan demikian jelaslah bahwa nafsu Hwe-liong-pang untuk menguasai dunia persilatan tidaklah padam. Kalau salah satu dari kita berhasil menyusup ke dalam pertemuan besar Hwe-liong-pang nanti, maka akan dapat diketahui apakah ucapan Thian-liong Hiang-cu tadi bersungguh-sungguh atau cuma omong kosong belaka.”

Ucapan Wi-hong itu serempak memancing semua pandangan mata ke arah dirinya. Sejak peristiwa berdarah dikota Tay-beng, memang nama Tong Wi-hong mulai menanjak menjadi terkenal, karena keberaniannya dalam menghadapi Hwe-liong-pang. Kini ucapannya yang berapi-api penuh semangat itu telah menimbulkan kekaguman, tapi sekaligus juga kekuatiran bagi para pendengarnya.

Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian menanggapi, “Cong-piau-thau, kau adalah pemimpin tertinggi dari seluruh Tiong-gi Piau-hang kita, jangan sampai Cong-piau-thau mengalami sesuatu, bukankah Tiong-gi Piau-hang kita menjadi seperti ular tanpa kepala? Harap Cong-piau-thau menyadari bahwa berusaha menyusup ke dalam pertemuan orang-orang Hwe-liong-pang itu sama saja dengan masuk ke sarang macan!”

“Terima kasih atas perhatian dan peringatan paman Ho,” sahut Wi-hong. “Tidak memasuki sarang harimau tidak akan mendapatkan anak harimau. Aku sudah bertekad untuk berbuat itu, lagipula paman Ho tidak usah kuatir sebab aku akan bertindak dengan hati-hati dan cermat. Harap paman Ho dan paman-paman lainnya ingat, bahwa Cian Lo-piau-thau gugur di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Ini berarti bahwa dendam permusuhan kita dengan Hwe-liong-pang tidak dapat dihapuskan begitu saja, ibaratnya setinggi gunung dan sedalam lautan.”

Teringat akan gugurnya ayahnya seketika itu juga Cian Ping menjadi berkaca-kaca, dengan suara yang agak bergetar dia berkata, “Dan jangan lupa pula bahwa Tiong-gi Piau-hang masih punya seorang anggota durhaka yang bernama Song Kim yang belum menerima hukumannya. Si durhaka itu sekarang bersembunyi di tengah-tengah orang Hwe-liong-pang, tetapi dia tetap harus kita tangkap dan menerima hukuman untuk pengkhianatannya itu!”

Ucapan-ucapan Wi-hong dan Cian Ping itu disambung pula oleh Tong Wi-lian dengan tidak kalah bersemangatnya, “Selain itu, kitapun perlu menunjukkan kepada dunia, bahwa bukan hanya orang Hwe-liong-pang yang berani menerjang Tiong-gi Piau-hang, namun orang Tiong-gi Piau-hang juga berani menerjang Hwe-liong-pang!”

“Aku juga ikut!” kata Ting Bun.

Melihat keempat orang muda itu nampaknya sudah begitu besar tekadnya dan tidak bisa dicegah lagi, diam-diam Yo Hui-jiang mengagumi tapi juga menyesali sikap terlalu gegabah dari orang-orang muda itu. Kim-say-kong-pian ini menggerutu dalam hatinya, “Nampaknya memang tepat pepatah yang mengatakan bahwa anak kerbau tidak takut kepada harimau. Tetapi aku sebagai orang luar tentu saja tidak bisa mencampuri urusan mereka, apalagi ini adalah urusan dendam dan sakit hati.”

Dalam pada itu terdengarlah Si Golok Halilintar The Toan-yong bertanya menegaskan, “Jadi Cong-piau-thau berempat sudah bertekad bulat hendak menyusup masuk ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang itu?”

“Ya, tekadku sudah pasti.”

“Begitu pula tekad kami,” sambung Wi-lian, Cian Ping dan Ting Bun secara serempak.

“Keselamatan Cong-piau-thau sangat penting. Karena itu biarlah aku menyumbangkan tenaga tuaku untuk menemani Cong-piau-thau,” kata The Toan-yong mantap.

Maka berturut-turut pula Tok-gan-sin-eng Ho Po-jian, Kui-gi- to Yap Lam-heng dan Tiong-san-siang-hou So Hou dan So Pa, juga Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng menyatakan siap-sedia mengawal Cong-piau-thau mereka untuk menyusup ke pertemuan Hwe-liong-pang itu.

Cepat Tong Wi-hong berdiri dan memberi hormat ke sekelilingnya sambil berkata, “Terima kasih akan kesediaan saudara-saudara dan paman-paman sekalian untuk melindungi keselamatan kami. Namun kelancaran Tiong-gi Piau-hang di semua cabang kitapun merupakan urusan yang tidak kalah pentingnya. Jika semua berangkat mengikuti aku, tentu urusan cabang-cabang akan terbengkalai, karena itu, aku hanya akan memilih dua orang di antara kalian untuk mengikuti aku.”

Suasana menjadi sunyi seketika, semuanya menunggu keputusan sang pemimpin. Sekali lagi Yo Hui-jiang harus kagum melihat bahwa Tong Wi-hong yang masih begitu muda ternyata telah memiliki kewibawaan begitu besar, dan disegani para bawahannya, padahal para bawahannya itu merupakan jago-jago pilihan pula.

Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Wi-hong, “Aku memilih saudara So Hou dan So Pa untuk menyertai kami. Paman-paman lainnya harap tetap menjalankan tugasnya di cabang-cabangnya masing-masing.

So Hou dan So Pa serempak berdiri dan memberi hormat kepada Wi-hong sambil mengucap, “Terima kasih atas kehormatan yang diberikan oleh Cong-piau-thau.”

Kiranya Tong Wi-hong punya pertimbangan tersendiri dalam memilih kedua saudara So yang bergelar Tiong-san-siang- hou itu. Karena Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping merupakan orang-orang muda, maka kurang leluasa rasanya jika melakukan perjalanan bersama dengan orang-orang tua yang jalan pikirannya tentu berlainan.

Karena itu Wi-hong sengaja memilih Tiong-san-siang-hou yang masih muda dan sebaya dengannya itu sebagai teman seperjalanannya. Selain itu, dalam hal ilmu silat maka tingkatan kedua saudara So itu cukup dapat diandalkan, sedikitpun tidak ada di bawah Song Kim atau Ting Bun.

Sementara itu, rombongan dari Kim-say Piau-hang langsung mohon pamit begitu perjamuan itu selesai. Tong Wi-hong dan tokoh-tokoh Tiong-gi Piau-hang lainnya mengantar keberangkatan mereka sampai keluar dari pintu gerbang kota Kiang-leng. Sebelum berpisah, sekali lagi Tong Wi-hong minta maaf kepada Yo Hui-jiang tentang sikapnya yang menuduh tadi.

Setelah kembali ke gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang- leng, maka Tong Wi-hong segera mengajak adiknya ke sebuah ruangan tertutup berdua saja, untuk membicarakan suatu urusan. “A-lian,” kata Wi-hong begitu sudah berada dalam ruangan itu. “Berdasarkan cerita Yo Hui-jiang tadi, tentang seorang muda yang perlente yang menyuruh mengirim barang ke sini, dan berdasarkan pula pengamatan atas bentuk tubuh dan suara Thian-liong Hiang-cu itu, maka rasanya aku mulai dapat menebak siapakah sebenarnya orang yang bersembunyi di balik kedok Thian-liong Hiang-cu itu.”

Mata adik perempuannya bersinar-sinar terang, katanya sambil tertawa, “Apa yang kau pikirkan itu telah menjadi pikiranku sejak tadi. Yo Cong-piau-thau tadi menceritakan tentang seorang anak muda berpakaian perlente seperti anak hartawan, dan di tengah-tengah antara kedua alisnya ada warna hitam yang samar-samar, maka akupun langsung ingat kepada seseorang....”

“Jangan kau sebut dulu namanya,” potong Wi-hong cepat. “Coba kita tuliskan dugaan kita itu pada telapak tangan kita masing-masing, lalu nanti kita cocokkan. Aku ingin tahu apakah jalan pikiran kita cocok atau tidak.”

Adiknya pun agaknya tertarik juga untuk menggunakan cara seperti tebak-tebakan itu. Maka mereka segera menggosok tinta bak dan menuliskan nama di telapak tangannya masing-masing. Keduanya saling pandang sebentar lalu kemudian saling membuka dan menunjukkan telapak tangannya masing-masing. Ternyata, baik di telapak tangan sang kakak maupun si adik, tertulis sebuah nama yang sama, yaitu “Siangkoan Hong”.

“Ternyata dugaan kita bersamaan bahwa Thian-liong Hiang-cu itu adalah Siangkoan Hong,” desis Wi-lian dengan suara yang bergetar karena goncangan perasaannya. Katanya lebih lanjut, “A-hong, masih ingatkah kau ketika Siangkoan Hong menemui kita di Tay-beng beberapa waktu yang lalu? Waktu itu Siangkoan Hong menanyakan bagaimana sikap kita seandainya A-siang sedang memperjuangkan sebuah cita-cita luhur, dan dalam percakapan itu Siangkoan Hong mengaku bahwa dia hanya suruhan A-siang. Jika benar Siangkoan Hong adalah Thian-liong Hiang-cu, maka jangan-jangan A-siang yang bisa memerintahnya itu adalah... adalah... ah, aku tidak berani memikirkannya.”

Tong Wi-hong menarik napas, ucapnya, “Akupun sebenarnya pernah punya pikiran seperti itu, namun hanya kusimpan saja di dalam hati. Karena ternyata kau pun berpikir demikian, maka dugaanku semakin kuat bahwa A-siang adalah... Ketua Hwe-liong-pang itu!”

Wi-lian menundukkan kepalanya. Jika kenyataan itu benar-benar ada, maka dia tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap terhadap Hwe-liong-pang, harus memusuhi atau bersahabat? Dalam kebingungannya, gadis itu mendengar suara kakaknya lagi,

“Dugaanku itu semakin diperkuat lagi oleh dua alasan, meskipun untuk menyebutnya ini terlalu berat bagi perasaanku. Alasan pertama, tentang disebut-sebutnya kalimat “perjuangan luhur” yang nadanya sama ketika diucapkan oleh Siangkoan Hong di Tay-beng dan Thian-liong Hiang-cu di sini tadi. Kedua, ucapan Siangkoan Hong yang mengatakan bahwa kita akan bisa menemui A-siang di Lam-cang, padahal dalam beberapa hari mendatang ini kota itu akan menjadi ajang pertemuan Hwe-liong-pang.”

“Dan aku bisa menambahnya dengan alasan yang ketiga,” sambung Wi-lian sambil mengangkat mukanya. “Yaitu sikap Thian-liong Hiang-cu ketika berada di padang perdu di luar kota Tay-beng itu. Waktu itu dia mencegah Te-liong Hiang-cu agar tidak mencelakai kita. Secara terselubung Thian-liong Hiang-cu waktu itu mengatakan bahwa kita berdua ada hubungan dengan “toa-suheng” mereka. Meskipun yang diucapkannya pada saat itu hanya untuk menggertak Te-liong Hiang-cu agar membatalkan niatnya untuk mencelakai kita, tetapi jelas bahwa ucapan itu bukan tidak ada maknanya sama sekali."

“Persoalannya menjadi sangat ruwet sekarang,” desah Tong Wi-hong sambil menarik napas. “Tetapi masih ada satu hal yang belum kumengerti. Kita kenal ilmu silat A-siang pada dua tahun yang lalu itu tidak lebih tinggi daripada kita, sebab dia malas berlatih. Tetapi sekarang, bagaimana mungkin dia sekarang bisa memimpin tokoh-tokoh setaraf Sebun Say, Tang Kiau-po dan sebagainya?”

Sahut adiknya, “Setelah mendengar cerita pek-hu tentang buku peninggalan Bu-san-jit-kui tadi, aku punya dugaan keras bahwa A-siang telah menemukan buku itu dan mempelajarinya. Bukankah pek-hu mengatakan bahwa Bu-san-jit-kui juga telah menemukan suatu cara berlatih yang meskipun agak sesat namun dapat mempercepat tingkatan ilmu seseorang?

"Contohnya saja adalah Siangkoan Hong sendiri. Dia adalah anak An-yang-shia yang kita kenal sebagai teman A-siang, dan ketika di An-yang-shia dia tidak becus ilmu silat sedikit pun, meskipun dia gemar berkelahi. Tetapi ingatkah kau akan kejadian ketika dia menemui kita di Tay-beng? Dia rupanya sengaja pamer kekuatan dengan menginjak lantai, sehingga ubin lantai sampai amblas beberapa jari dalamnya.

"Tenaga dalam selihai itu jelas tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh sembarangan, bahkan tokoh yang tergabung dalam “Sepuluh Tokoh Sakti” itupun tidak semuanya dapat berbuat seperti itu. Jika Siangkoan Hong saja telah mencapai kemajuan sepesat itu, bagaimana halnya dengan A-siang yang dasar ilmu silatnya jelas lebih tinggi dari Siangkoan Hong? Aku tak sanggup membayangkannya.”

“Bagaimana pun juga kita harus berani melihat kenyataan. Sekarang kita harus menentukan sikap, bagaimana seandainya Hwe-liong-pang-cu itu benar-benar A-siang sendiri?” kata Wi-lian.

Wi-hong nampak berpikir sebentar, kemudian ia berkata diluar dugaan adiknya, “Aku berpendapat, justru ada baiknya jika yang menjadi Hwe-liong-pang-cu itu adalah A-siang sendiri, sebab dengan demikian ada kemungkinan kita bisa bicara dari hati ke hati dengannya, untuk membicarakan semua kelakuan buruk anak buahnya. Justru A-siang sebagai pemegang kendali sebuah perkumpulan yang kuat seperti Hwe-liong-pang, harus berhasil kita bujuk supaya menggunakan kekuatannya itu untuk menentramkan dunia persilatan dan bukan malahan memperburuknya.”

“Pendapat yang bagus,” sahut Wi-lian sambil menepuk permukaan meja. Wajahnya yang tadi sudah suram dan sedih itu, kini berseri kembali menampilkan suatu harapan baru.

Melihat perubahan wajah adiknya itu, diam-diam Wi-hong merasa terharu juga. Dia tahu bahwa hubungan antara kakaknya dan adik perempuannya itu justru yang paling akrab, keduanya saling menyayangi sepenuh hati, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Wi-lian tidak punya persiapan batin sedikitpun juga jika diharuskan menghadapi Tong Wi- siang sebagai lawan di medan perang.

“Aku punya keyakinan besar bahwa A-siang akan menuruti bujukan kita,” kata gadis itu dengan bersemangat. “Dari dulu dia selalu sayang kepadaku, dan menuruti permintaanku, mudah-mudahan sekarang pun ia belum berubah.”

Sebenarnya Wi-hong ingin memperingatkan bahwa hati manusia itu mudah berubah, namun ia batal untuk mengucapkannya sebab tidak sampai hati mematahkan harapan yang sedang berkembang di hati adiknya itu. Bahkan sambil membelai rambut Wi-lian, Wi-hong berkata,

“Memangnya hanya kau saja yang sayang dan rindu kepadanya? Aku pun sama sekali tidak berkeinginan untuk menghadapi A-siang sebagai lawan, sebab betapapun dia adalah saudaraku, seayah dan seibu.”

Wi-lian pun balas memeluk kakaknya sambil berkata, “Alangkah senangnya kalau kita bertiga bisa berkumpul kembali, dan bersama-sama bergembira seperti dulu lagi.”

Dalam pada itu, persiapan bagi Wi-hong dan kawan-kawannya yang hendak ke Lam-cang untuk “mengintai” pertemuan besar Hwe-liong-pang itupun telah dipersiapkan semuanya. Menurut rencana perjalanan, karena Lam-cang itu cukup dekat dengan An-yang-shia, maka rombongan itu akan lebih dulu singgah di An-yang-shia untuk mencari dan berziarah ke kuburan ayah mereka, yaitu Kiang-se-tay-hiap Tong Tian.

Bahkan kalau perlu membongkar kuburannya dan memakamkannya kembali secara layak, sebab Wi-hong dan Wi-lian teringat bahwa dulu mereka belum sempat memakamkan tubuh ayah mereka secara baik, karena sedang diburu oleh anak buahnya Cia To-bun.

Sebelum berangkat, lebih dulu Tong Wi-hong mengatur pengiriman kembali barang-barang yang pernah dirampas oleh Hwe-liong-pang itu. Untuk menjaga jangan sampai terulangnya hal-hal yang tidak diingini, maka khusus untuk pengiriman bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, diselenggarakan dengan pengawalan yang seketat-ketatnya.

Para jago-jago Tiong-gi Piau-hang dari Lok-yang dan Bu-sek yang tidak turut serta ke An-yang-shia, akan ikut memperkuat kafilah itu sampai ke Pak-khia, setelah itu baru akan pulang ke cabangnya masing-masing. Sedangkan Thi-kun-lo-sat Hua Yong-ceng tetap akan berada di Kiang-leng untuk memimpin cabang di kota itu.

Rahib sinting dari Siau-lim, Hong-koan Hwesio, yang pekerjaannya hanya berkelana ke sana ke mari itu, kini juga menyatakan akan coba-coba menyusup pula ke dalam pertemuan Hwe-liong-pang. Dia bermaksud untuk “memata-matai” dan menghitung kekuatan Hwe-liong-pang, agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam Eng-hiong-tay-hwe yang bakal diadakan di Siong-san pada bulan mendatang. Tetapi rahib itu menyatakan lebih suka berjalan sendirian daripada bersama-sama dengan anak-anak muda itu, meskipun berjanji akan membantunya jika ada kesulitan.

Demikianlah persiapan untuk berangkat itupun telah berjalan dengan lancar. Pada hari keberangkatan, para tokoh Tiong-gi Piau-hang mengucapkan selamat jalan dan mengantarkan rombongan Tong Wi-hong sampai ke pintu gerbang kota. Rombongan Wi-hong menjurus ke tenggara, yaitu ke An-yang-shia di wilayah Kiang-se. Rombongannya terdiri dari enam orang muda yang semuanya menunggang kuda, yaitu Wi-hong, Cian Ping, Ting Bun, Wi-lian serta dua saudara So yang berjuluk Tiong-san-siang-hou itu.

Jilid 01

SEBEGITU jauh perjalanan berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Kota Bu-sek dan Han-leng berturut-turut telah dilewati, dan akhirnya sampailah rombongan itu di tepian sungai Tiang-kang yang lebar itu. Selama dalam perjalanan itu, atas permintaan Tong Wi-hong, kedua saudara So tidak diperkenankan memanggil Wi-hong dengan sebutan “Cong-piau-thau” melainkan diganti dengan sebutan yang lebih akrab.

Karena So Hou lebih tua satu tahun dari Ting Bun dan Wi-hong maka semua anggota rombongan itu memanggilnya “So Toako”. Sedang So Pa yang masih muda, bahkan sama umurnya dengan Wi-lian dan Cian Ping, dipanggil “Ah-pa” begitu saja. Dengan demikian suasana perjalanan itu jadi terasa lebih akrab dan tidak terasa kaku. Tidak ada lagi suasana antara Cong-piau-thau dengan piau-su bawahannya, tapi lebih mirip dengan serombongan sahabat yang sedang bertamasya bersama-sama.

Kini di hadapan mereka terbentanglah sungai Tiang-kang yang sangat lebar itu. Begitu lebarnya, sehingga seorang yang berdiri di tepian utara sungai itu akan melihat tepi seberangnya hanya seperti garis hitam yang tipis dan kabur. So Hou yang sudah cukup berpengalaman dalam melakukan perjalanan jauh, segera berkata,

“Kita cari dermaga di pinggir sungai. Di situ akan mudah didapatkan perahu-perahu sewaan yang bersedia menyeberangkan kita ke selatan dengan upah setahil dua tahil.”

Di sepanjang tepian sungai memang tidak sedikit terdapat dermaga-dermaga seperti yang diceritakan oleh So Hou itu. tidak berapa lama mereka berjalan menyusur tepian, mereka telah menemukan sebuah dermaga seperti itu. Di situ ada juga beberapa orang yang agaknya juga sedang menantikan perahu yang hendak menyeberangkan mereka. Tidak lama kemudian, terlihatlah sebuah perahu mendekati dermaga.

Tubuh perahu itu ternyata cukup lebar dan dapat memuat tiga puluh orang lebih, sedang pendayung-pendayungnya adalah empat orang lelaki bertubuh kekar dan berkulit coklat, yang masing-masing memegang galah panjang untuk mendorong perahu ke tepian. Karena mereka tidak mengenakan baju, maka nampaklah kulit mereka yang mengkilat karena keringat.

Penyeberangan dengan upah memang bukan barang baru lagi di daerah itu. Begitu perahu merapat ke dermaga, maka orang-orang yang ada di dermaga pun segera berbondong-bondong naik ke atas perahu. Begitu pula rombongan Wi-hong naik ke perahu dengan menuntun kuda-kudanya masing-masing. Rupanya hari itu lalu-lintas penyeberangan agak sepi, sehingga dalam perahu terasa agak leluasa, meskipun ada enam ekor kuda sebagai penumpangnya.

“Maaf, tuan-tuan, bayar di depan,” kata si tukang perahu sambil menadahkan tangannya kepada para penumpang. Dan para penumpang pun membayarnya tanpa banyak rewel lagi.

Namun di saat para tukang perahu itu telah siap mendorong perahu ke tengah sungai, tiba-tiba di tepian dekat dermaga itu muncul pula serombongan orang-orang berkuda yang berjumlah lima orang. Semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata, menandakan diri mereka sebagai orang-orang dunia persilatan. Bahkan dalam rombongan itu juga ada dua orang yang berpakaian seperti lelaki tetapi jelas jelas adalah perempuan. Kedua perempuan itupun menyandang senjata dan mengikat rambutnya secara ringkas.

Pemimpin rombongan berkuda itu adalah seorang lelaki tegap yang memakai ikat kepala berwarna biru, segera berseru kepada para tukang perahu, “Toako pemilik perahu, dapatkah rombongan kami ikut naik sampai ke seberang?”

Tentu saja pemilik perahu itu tidak keberatan, sebab semakin penuh perahunya itu akan berarti semakin penuh pula kantongnya. Apalagi memang perahunya cukup lebar, dan masih bisa memuat tambahan lima orang manusia dan lima ekor kuda lagi, meskipun menjadi agak berdesakan. Maka tukang perahu itupun meminggirkan kembali perahu mereka dan mempersilahkan para penumpang baru itu untuk naik.

Meskipun kelima orang penumpang baru itu gagah-gagah dan membawa senjata macam-macam, namun sikap mereka justru sangat sopan dan menghormat kepada setiap penumpang lainnya. Apalagi terhadap rombongan Tong Wi-hong yang juga kelihatan seperti rombongan dunia persilatan itu. Si ikat kepala biru itu lebih dulu mengangguk sopan kepada Wi-hong, sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Wi-hong.

Selama perahu di dayung menuju ke seberang, diam-diam Wi-hong mencoba melirik dan memperhatikan lelaki berikat kepala biru yang duduk di sebelahnya itu. Dia adalah seorang lelaki muda, usianya barangkali belum mencapai tiga puluh tahun, berwajah gagah dan bertubuh tegap, bibirnya selalu siap melemparkan senyuman ramah kepada siapapun.

Senjata yang dibawanya adalah liu-yap-siang-to (sepasng golok daun liu) yang tipis, dan diselipkan di ikat pinggangnya. Sepasang tangannya pun nampak kekar berotot, lebih besar sedikit dari tangan orang-orang kebanyakan, menandakan sepasang tangan yang cukup terlatih menggunakan senjata. Sedang anggota-anggota rombongan yang lainnya pun rata-rata bersikap gagah dan tangkas, tak terkecuali wanita-wanitanya.

So Hou dan So Pa yang sudah biasa berkelana dan bergaul dengan kaum kelana lainnya, dengan cepat telah membuka perkenalan dan bercakap-cakap dengan rombongan orang-orang gagah itu. Ketika So Hou menanyakan dari perguruan manakah rombongan itu, maka jawaban si ikat kepala biru ternyata cukup mengagetkan,

“Kami adalah anggota-anggota Hwe-liong-pang dari Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru). Aku sendiri bernama In Yong dan beruntung mendapat kepercayaan dari Ketua kami untuk memimpin kelompok Lam-ki-tong ini sebagai Tong-cu (Pemimpin Kelompok).”

Melihat bahwa muka Tong Wi-hong dan seluruh rombongannya berubah hebat begitu mendengar disebutnya nama Hwe-liong-pang, lelaki yang mengaku bernama In Yong itu menjadi heran. Tanyanya, “Kenapa saudara-saudara nampaknya terkejut? Apakah ada sesuatu yang aneh dengan Hwe-liong-pang?”

Cepat Wi-hong menyahut sambil menggoyangkan tangannya, “Harap saudara In jangan salah paham melihat sikap kami. Kulihat saudara In cukup gagah dan aku yakin saudara tentu berilmu silat tinggi pula, tetapi justru karena itulah kami agak menyayangkan saudara. Maaf, bukannya aku sok tua tapi maukah saudara In mendengar beberapa perkataanku?”

Wajah In Yong dan teman-temannya nampak berubah menjadi kurang senang. Namun dengan menahan diri akhirnya In Yong berkata juga dengan nada tawar, “Silahkan saudara berkata.”

Wi-hong menarik napas dalam-dalam, diam-diam dalam hatinya ia mulai menyukai sikap terbuka dari orang she In ini, yang mengaku sebagai pemimpin Lam-ki-tong dalam Hwe-liong-pang ini. Kata Wi-hong kemudian, “Saudara In, ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa „panglima yang gagah memilih junjungan raja yang bijaksana!‟ Apakah saudara In memahami arti dari pepatah itu?”

“Tentu saja aku mengerti. Seorang panglima yang perkasa di bawah perintah seorang raja yang lalim adalah ibarat sebatang golok tajam di tangan seorang gila. Bukan saja tidak ada manfaatnya bagi sesama manusia, bahkan akan membawa malapetaka bagi masyarakat,” sahut In Yong dengan kening yang masih berkerut.

Tong Wi-hong menganggukkan kepalanya dengan puas, lalu berkata, “Bagus, ternyata pengetahuan saudara In juga cukup luas. Sekali lagi aku minta maaf, kini arti pepatah itu akan kuterapkan kepada diri saudara-saudara sekalian. Dengan kegagahan dan keluhuran budi saudara-saudara ini, apakah saudara-saudara tidak keliru kalau memilih Hwe-liong-pang sebagai tempat bernaung kalian?”

Kali ini airmuka In Yong dan keempat orang temannya benar-benar telah berubah, bahkan terang-terangan menunjukkan ketidak-senangannya kepada ucapan Wi-hong itu. Sahut In Yong dingin, “Saudara, kita bagaikan air sumur dan air sungai yang satu sama lain tidak saling mengganggu. Aku memilih Hwe-liong-pang tidak sembarangan saja, melainkan setelah kupikirkan dan kupertimbangkan cukup lama. Aku merasa bahwa hanya Hwe-liong-pang yang berani bertindak untuk mendobrak segala kebobrokan di jaman ini, di mana tindakan yang keras dan tegas diperlukan untuk itu. Aku berkata hanya Hwe-liong-pang yang berani bertindak, karena orang-orang yang disebut para pendekar terhormat ternyata lebih suka berpeluk tangan demi keselamatan diri sendiri, dan tidak berani turun tangan untuk mendobrak kebobrokan keadaan ini.”

“Ucapan yang gagah, saudara In,” kata Wi-hong sambil tertawa, untuk mencoba mendinginkan suasana. “Tetapi harap saudara In ingat, bahwa selama ini nama Hwe-liong-pang di dunia persilatan telah terlanjur menjadi buruk dan dikutuk umat persilatan. Perkumpulan tempat berkumpulnya para bandit dan...”

“Omong kosong!” tiba-tiba salah seorang kawan In Yong berteriak marah dan memotong perkataan Wi-hong. Orang itu ternyata masih muda, namun wajahnya keras, dan di keningnya ada bekas luka yang memanjang sampai ke dekat telinga. Bahkan dengan berapi-api dia berkata, “Cobalah tuan tanya kepada rakyat di wilayah Ou-lam dan Ou-pak, bagaimana kesan mereka kepada Hwe-liong-pang.

"Mereka akan menjawab bahwa Hwe-liong-pang adalah sahabat dan pelindung mereka, selagi orang-orang yang menamakan dirinya “pendekar” tengah berdiam diri tidak mempedulikan penderitaan orang kecil. Tanya pula kepada mereka, siapa yang memberantas pembesar-pembesar rakus di kedua wilayah itu kalau bukan Hwe-liong-pang?

"Tanya pula siapa yang memeras keringat dan darah untuk membasmi penjahat-penjahat demi ketentraman rakyat? Mereka pasti akan menjawab bahwa Hwe-liong-pang lah yang melakukannya. Bagaimana tuan ini dengan lancang berani mengatakan bahwa Hwe-liong-pang bernama busuk dan merupakan perkumpulan para bandit?”

Sesaat wajah Tong Wi-hong pun menjadi menegang dan kupingnya menjadi panas. Ingin rasanya Wi-hong membeberkan kepada anak muda itu tentang sederetan bukti-bukti kejahatan orang-orang Hwe-liong-pang, antara lain membunuh Hong-ho-sam-hiong dan membunuh pula Cian Sin-wi yang terkenal sebagai tokoh yang “keras” dalam menentang kejahatan itu.

Tetapi sebelum Tong Wi-hong membuka mulutnya, telah terdengar helaan napas berat dari In Yong, dan dengan sedih In Yong memandang kepada kawannya yang luka keningnya itu, sambil berkata, “Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Di satu daerah, Hwe-liong-pang memang menjadi sahabat rakyat kecil. Tetapi Hwe-liong-pang punya wajah yang lain di daerah yang lain, di beberapa daerah memang nama Hwe-liong-pang sudah begitu kotornya dan susah untuk tercuci bersih lagi.

"Kita dari kelompok Lam-ki-tong memang telah berbuat begitu banyak bagi ketentraman dan kesejahteraan rakyat jelata. Tetapi tentu kita pun pernah mendengar bahwa rekan-rekan kami dari Jing-ki-tong, Ang- ki-tong, Jai-ki-tong dan Hek-ki-tong telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela atas nama Hwe-liong- pang. Hal itu jelas merugikan nama baik dan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang secara keseluruhan.”

Lalu In Yong menoleh kepada Wi-hong dan berkata, “Hal itupun aku ketahui, dan aku sungguh menyesalkannya. Tujuan pertemuan besar Hwe-liong-pang kali ini, tujuan utamanya juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran dan tak kenal ampun. Meskipun agak terlambat, tetapi kukira lebih baik daripada tidak diambil tindakan sama sekali.”

Di dalam hatinya, Tong Wi-hong berkesan baik terhadap In Yong, meskipun sudah tahu bahwa In Yong adalah seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Kata Wi-hong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah kalau begitu. Semoga pertemuan Hwe-liong-pang di Lam-cang nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia persilatan, dan bukan malah sebaliknya.”

Sementara mereka bercakap-cakap, perahu itupun sudah tiba di tepian seberang. Para penumpangpun segera turun ke darat. Tong Wi-hong dan rombongannya pun segera berpisah dengan rombongan In Yong, setelah saling memberi hormat dan mengucapkan selamat berpisah.

Begitu telah jauh dari rombongan In Yong, Tong Wi-hong bergumam sendirian, “Sebenarnya perkumpulan macam apakah Hwe-liong-pang itu? Kenapa kaum bandit dan kaum ksatria bercampur aduk di dalamnya. Di sisi lain nampaklah sisi gelapnya yang diwakili oleh Tang Kiau-po, Sebun Say, Au-yang Siau-hui. Mo Hui dan sebagainya. Sedang di sisi lain nampak bagian yang bersih diwakili oleh orang-orang seperti In Yong dan Thian-liong Hiang-cu.”

So Houlah yang menyahut keheranan Wi-hong itu, “Kukira hal itu tidak mengherankan. Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan belum sampai dua tahun, namun sudah memiliki sebarisan jago-jago tangguh yang demikian banyak, ini jelas disebabkan karena pihak mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima anggota. Akibatnya, anggota yang masukpun tidak sempat dipilih lagi, tidak sempat lagi diselidiki pribadi dan asal-usulnya, maka bercampur-aduklah kaum pendekar dan kaum penjahat di dalam perkumpulan itu.”

“Aku juga sependapat dengan So Toako,” sambung Wi-lian. “Bahkan aku sering melihat sendiri bahwa sebenarnya dalam tubuh Hwe-liong-pang itu terjadi pula keretakan-keretakan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang kualami di kota Kay-hong, dalam peristiwa terbunuhnya Hong-ho-sam-hiong itu. Waktu itu kulihat kerjasama dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dengan Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) ternyata bukanlah kerjasama yang sepenuh hati. Bahkan berkali-kali pemimpin Ui-ki-tong yang bernama Kwa Heng dan berjuluk Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) itu mencegah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) untuk turun tangan terhadap Hong-ho-sam- hiong.”

Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap dan tidak terburu-buru. Tak terasa, dalam percakapan mereka itu sudah mulai timbul pandangan lain kepada Hwe-liong-pang. Bahkan Cian Ping yang mendendam Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsum itu, kini mau tidak mau harus meninjau kembali sikapnya itu.

Sedangkan bagi Tong Wi-hong dan adiknya, pandangan baru kepada Hwe-liong-pang itu ada segi yang menggembirakan mereka, membuat hati mereka semakin cerah. Mereka punya dugaan kuat bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu tidak lain adalah kakak mereka sendiri yaitu Tong Wi-siang yang sangat mereka rindukan. Mereka gembira jika di dalam Hwe-liong-pang masih ada unsur-unsur baiknya, sebab dengan demikian akan semakin kecillah kemungkinannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang sebagai lawan.

Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, maka tidak lama kemudian rombongan itupun telah memasuki wilayah Kiang-se. Tong Wi-hong dan adiknya merasa sangat terharu karena dapat menginjak kembali daerah kelahiran mereka, setelah selama dua tahun mereka meninggalkannya dalam keadaan kepedihan dan penderitaan.

Begitu mereka memasuki wilayah Kiang-se, segera nampaklah di daerah itu ada kesibukan yang tidak terasa di daerah lain. Makin sering mereka menjumpai rombongan kecil atau besar, dari orang-orang yang berwajah keras dan menyandang senjata. Ada di antara orang-orang itu yang bersikap gagah seperti kaum ksatria umumnya, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki tampang “orang sesat”, kejam dan dingin.

“Tentu mereka adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hendak menghadiri pertemuan besar itu,” kata Wi-hong pada So Hou yang berkuda di dekatnya. “Semakin kuat dugaanku bahwa Hwe-liong-pang benar-benar merupakan wadah tempat bercampur-aduknya orang baik dan orang jahat. Benar-benar perkumpulan yang aneh.”

Mereka bermalam lagi satu malam. Keesokan harinya, setelah mereka berkuda tanpa berhenti selama setengah hari, maka telaga Po-yang-ou yang indah permai itu sudah nampak di depan mata. Hampir menangis rasanya Wi-hong dan Wi-lian ketika melihat kampung halaman yang dirindukan itu sudah nampak di depan mata. Mereka segera mempercepat lari kuda mereka, diimbangi oleh anggota rombongan lainnya. Mereka memutari tepian Po-yang-ou melalui sisi timur, dan akhirnya kota kecil An-yang-shia pun nampak di depan mata.

“An-yang-shia!” desis Wi-hong dengan tenggorokan yang terasa tersekat. “Aku kembali ke pangkuanmu.”

Kota kecil An-yang-shia ternyata masih seperti dulu, lorong- lorongnya tidak berubah begitu pula bangunan-bangunannya. Agaknya waktu dua tahun memang bukan waktu yang terlalu lama bagi orang yang tidak diamuk perasaan rindu. Bahkan orang-orangnya pun tidak berubah. Wi-hong dan Wi-lian masih sempat bertegur sapa dengan orang-orang yang pernah mereka kenal. Tetapi suasananya tidak seramai dulu lagi, bahkan nampak adanya suasana tertekan dan ketakutan yang menggantung di kota kecil itu.

“Ada sesuatu yang terjadi di tempat ini rupanya,” kata Wi-lian.

“Ya, sikap orang-orang yang kita jumpai tadi nampak kurang wajar dan begitu terburu-buru.”

“Ya, jalanan pun terasa lebih sepi dari dulu.”

Mereka menjalankan kudanya dengan langkah perlahan menuju ke pusat kota kecil itu. Dan begitu mereka mendekati ke gedung tempat kediaman Cia To-bun, terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian. Di luar gedung itu nampaklah ada belasan orang kuli yang sedang mengangkut belasan buah peti mati ke dalam gedung itu yang mengherankan, jika memang ada orang yang mati di rumah itu, masakan yang mati sekaligus sebanyak itu? Dan kenapa nampak pula regu-regu prajurit sedang berjaga-jaga di sekitar gedung itu, seakan-akan sedang menghadapi serbuan musuh yang tangguh?

“Apakah Cia To-bun mati?” tanya Wi-hong kepada diri sendiri.

Wi-lian menggelengkan kepalanya, sahutnya sambil mengangkat bahunya, “Entahlah. Tetapi kalau hanya dia seorang yang mati, masakan ia membutuhkan delapan buah peti mati?”

Sementara itu So Pa telah memajukan kudanya dan berkata kepada Wi-hong, “Tong Toako, biarlah akan kucoba bertanya kepada prajurit-prajurit yang berjaga-jaga itu, atau kepada siapa saja yang barangkali dapat menerangkan tentang kejadian aneh ini.”

Kata Wi-hong menyetujui, “Baiklah, kalau kita muncul berenam sekaligus tentu akan dicurigai oleh prajurit-prajurit itu, apalagi karena kita membawa senjata. Ah Po, selidikilah dengan baik, kau akan kami tunggu di sebuah warung teh dekat simpang tiga itu. Sebaiknya senjata dan kudamu tidak kau bawa, supaya tidak dicurigai dan ditangkap mereka.”

Demikianlah So Po mendapat tugas untuk mencari keterangan tentang peti-peti mati di gedung Cia To-bun itu. Tampang So Pa memang cocok untuk itu, dia bertampang bersih kekanak-kanakan, sedikitpun tidak memberi kesan “berbahaya”. Sedangkan Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan So Hou lalu menantikan So Pa di warung teh yang agak jauh letaknya dari rumah Cia To-bun.

Pemilik warung teh itu sudah dikenal oleh keluarga Tong sejak dulu, namanya Ong Lo-ya-cu. Namun si tua Ong itu ternyata sudah meninggal dua bulan yang lalu, dan kini pengelolaan warung teh itu dijalankan oleh anak tertuanya yang bernama Ong San, yang juga sudah dikenal baik oleh Wi-hong maupun adiknya. Maka begitu Wi-hong dan rombongannya muncul di pintu warung, Ong San yang sedang mengelap meja itupun segera menjerit gembira.

“He, A-hong! A-lian! Selama ini kalian menghilang ke mana saja?”

Demikianlah Wi-hong dan rombongannya melepaskan dahaga di warung teh Ong San itu sambil menunggu kedatangan So Pa. Mereka bercakap-cakap dengan Ong San tentang beberapa hal-hal ringan. Kemudian Wi-hong mencoba mencari keterangan dari Ong San,

“Ong Toako, dua tahun aku telah meninggalkan An-yang-shia, dan aku merasakan perubahan suasana di kota kecil ini. Kulihat kota ini tidak seramai dan setenang dulu lagi, apakah yang telah terjadi?”

Ong San menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan nada setengah menggerutu, “Dasar memang belakangan ini rejekiku yang ditakdirkan untuk menurun. Dulu ketika kota ini masih ramai dikunjungi oleh para pelancong, warung tehku ini hampir-hampir kewalahan menampung para pengunjung sehingga uang pun mengalir ke kantongku dengan derasnya. Tetapi dalam beberapa waktu belakangan ini, keadaan berubah menjadi sepi mendadak, entah apa sebabnya. Para pelancong tidak kelihatan lagi mengunjungi An-yang-shia ini, seakan-akan di kota ini timbul suatu wabah menular yang mengerikan.”

“Kau tahu apa sebab yang sesungguhnya?” tanya Wi-hong.

Ong San si pemilik warung teh hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dan Wi-hong tidak bertanya lagi, dia percaya bahwa So Pa tentu akan membawa keterangan yang lebih lengkap tentang apa yang mereka herankan itu.

Tidak lama kemudian, orang yang diharapkan itupun telah datang ke warung teh itu. So Pa bersikap tenang dan tersenyum-senyum, berusaha bersikap sewajar mungkin, tetapi sinar matanya jelas menunjukkan bahwa berita yang dibawanya itu cukup penting dan menegangkan.

Wi-hong pun dapat merasakan hal itu. Setelah memberi kesempatan kepada So Pa untuk minum secangkir teh, Wi-hong pun segera mengajak rombongannya untuk cepat-cepat meninggalkan warung Ong San itu. Mereka berkuda melalui jalan yang tidak melewati rumah Cia To-bun menuju langsung keluar kota An-yang-shia.

Begitu tiba di tempat yang sepi, serempak mereka menghentikan kudanya. Tong Wi-hong dan adiknyalah yang paling tidak sabar, hampir bersamaan mereka bertanya, “Ah Pa, ada kejadian apa?”

Lebih dulu So Pa menghapus keringat yang mengembun di dahinya itu dengan punggung telapak tangannya. Lalu katanya, “Tong Toako, kukira kalian sudah tidak perlu lagi membalaskan sakit hati keluarga kalian kepada Cia To-bun, sebab dia sudah mampus. Menurut keterangan yang berhasil kuperoleh, tadi malam Cia To-bun serta tujuh orang anggota rumah tangganya, termasuk puteranya dan selir-selirnya, semuanya telah kehilangan batok kepala mereka! Siapa yang melakukannya, tidak seorang pun tahu. Bahkan para penjaga yang menjaga di sekeliling gedung pada malam tadi, juga tidak mendengar suara apa-apa, tahu-tahu keesokan harinya Cia To-bun sekeluarga sudah menjadi setan-setan tanpa kepala!”

Wajah orang-orang yang mendengarkan keterangan So Pa itu menjadi tegang. Akhirnya terdengar Wi-hong berkata dengan menghela napas, “Benar-benar luar biasa! Aku tahu Cia To-bun selalu berada di tengah pengawalan yang ketat para prajuritnya, bahkan dia pun mempunyai beberapa orang jago andalan yang lihai dalam rumahnya. Masa tidak seorangpun dapat melihat bentuk potongan pembunuh itu?”

“Kalau dibayangkan benar-benar menakutkan,” kata So Pa sambil menelan ludahnya. “Para pelayan dan tukang-tukang pukul Cia To-bun yang biasanya sangat garang itu, ternyata sampai saat ini belum bisa ditanyai apapun tentang pembunuh itu, atau mereka bisa menjawab tetapi jawabannya kacau-balau tidak keruan. Para pelayan dan tukang pukul itu nampak begitu ketakutan dan terpukul jiwanya oleh kejadian tadi malam. Yang sudah agak tenang hanya bisa mengatakan bahwa pembunuh itu bukan manusia melainkan sesosok hantu hitam yang bermuka tengkorak, gerakannya secepat angin.”

Hampir bersamaan, semua orang mendesiskan sebuah nama, “Hwe-liong-pang!”

Sementara itu Ting Bun berkata dengan keheranan, “Hwe-liong-pang bukan saja memusuhi dunia persilatan, tetapi bahkan berani pula memusuhi pihak pemerintah Kerajaan Beng. Benar-benar luar biasa. Apakah alasan Hwe-liong-pang untuk menumpas Cia To-bun sekeluarga?”

Pertayaan Ting Bun itu tidak terjawab. Hanya saja Tong Wi-hong saling bertukar pandangan dengan Wi-lian dengan pandangan yang penuh arti. Kejadian yang dilaporkan oleh So Pa itu hanya memperkuat dugaan kakak beradik itu bahwa Ketua Hwe-liong-pang sebenarnya adalah Tong Wi-siang, kakak tertua mereka sendiri. Namun kakak beradik itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Bahkan kemudian Wi-lian mencoba membelokkan pembicaraan, “Anggaplah bahwa sakit hati keluarga Tong kepada Cia To-bun sudah lepas. Sekarang kita akan memikirkan tujuan kita datang ke An-yang-shia ini.”

Tanpa pikir panjang lagi, Tong Wi-hong menyahut, “Menengok rumah kita, lalu mencari makam ayah.”

Maka keenam orang itupun kemudian menyusuri tepian danau dan menuju ke arah selatan, tanpa melalui kota An- yang-shia yang tengah dicekam oleh suasana kengerian itu. Setelah melewati sebuah teluk kecil dan sederetan pohon siong yang permai, akhirnya di depan mereka nampaklah sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh pepohonan cemara, membelakangi sebuah bukit kecil dan menghadap ke arah danau. Sekali pandang saja sudah nampak betapa nyaman dan sejuknya rumah itu.

“Rumah kita!” Wi-lian berteriak dan langsung hendak melarikan kudanya ke rumah itu.

Namun Wi-hong cepat menyambar tali kendali kuda adiknya itu, dan berkata, “Tahan dulu, A-lian.”

“Ada apa, A-hong?”

Wi-hong tidak menyahut tetapi hanya mengerutkan keningnya. Ia nampak berpikir keras. Tadinya Wi-hong mengira bahwa dia tentu akan menjumpai rumahnya dalam keadaan berantakan dan berujud puing belaka, sebab menurut keterangan ibunya ketika tiba di Soat-san, anak buah Cia To-bun telah membumi-hanguskan rumah itu. Tetapi kini yang tergelar di hadapan Wi-hong adalah sebuah rumah yang utuh dan bersih, sedikitpun tidak nampak tanda-tanda bekas kerusakannya, bahkan cat pintunya pun masih sangat baru. Inilah yang membuat Wi-hong tercengang.

“Mengherankan sekali,” desisnya.

“Tidak mengherankan sedikitpun,” kata Wi-lian membantah kakaknya. “A-hong, apakah kau masih ingat kepada kata-kata yang diucapkan oleh Siangkoan Hong ketika dia menemui kita di Tay-beng?”

“Siapakah Siangkoan Hong? Dan apa yang dikatakannya? Kenapa kalian bersikap seaneh ini justru setelah sampai di rumah kalian sendiri?” tiba-tiba Cian Ping memberondongnya dengan serangkaian pertanyaan karena herannya melihat sikap kakak beradik itu. Ting Bun sebenarnya juga memendam rasa heran yang serupa, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya sebab belum memahami persoalannya.

Mendengar pertanyaan Cian Ping yang bertubi-tubi itu, Wi-hong dan Wi-lian kebingungan untuk menjawabnya. Mereka tahu bahwa Cian Ping sangat membenci Hwe-liong-pang, bahkan mendendamnya sampai ke tulang sungsum, bagaimana kalau gadis itu sampai mendengar atau mengetahui bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu justru kakak tertua dari Wi-hong, orang yang dicintainya?

Dalam bingungnya itu, Wi-lian telah menjawab secara untung-untungan saja, “Siangkoan Hong adalah teman sekampung kami yang juga minggat dari An-yang-shia karena menjadi buronan yang berwajib. Dia pernah menemui kami di Tay-beng dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke An-yang-shia, mungkin dia pula yang telah memperbaiki rumah kami ini. Itulah dugaan kami.”

Untuk sementara Cian Ping harus puas dengan jawaban itu. Namun ketika Cian Ping hendak bertanya lebih jelas lagi, tiba-tiba pintu rumah itu telah terbuka dari sebelah dalam, dan muncullah seorang pelayan rumah yang pakaiannya cukup bersih dan rapi. Pelayan itu langsung memberi hormat kepada Wi-hong dan bertanya,

“Apakah aku sedang berhadapan dengan tuan muda Tong Wi-hong serta nona Wi-lian?”

Begitu berhadapan ternyata pelayan itu langsung dapat menyebut nama Wi-hong dan Wi-lian, itu membuat kedua kakak beradik itu bertambah heran. Terpaksa mereka mengiakan pertanyaan pelayan itu. Mendengar jawaban Wi-hong itu, wajah si pelayan seketika menjadi berseri-seri kegirangan, katanya lagi,

“Sudah beberapa hari ini kami menunggu dan siap menyambut kedatangan tuan muda dan nona. Silahkan masuk!”

Sementara itu, beberapa orang pelayan telah muncul pula dari dalam rumah. Dengan sikap hormat, para pelayan itu menyambut kuda Tong Wi-hong dan rombongannya, dan langsung membawa kuda-kuda itu ke bagian belakang rumah itu. Sambil melangkah masuk, Wi-hong bertanya kepada pelayan yang muncul pertama kalinya tadi,

“Paman, siapakah yang memiliki rumah ini? Kenapa kalian mengetahui kedatangan dan nama-nama kami?”

Pelayan tua itu tertawa lebar, sehingga terlihatlah sederetan gigi-giginya yang kecokelatan karena terlalu banyak mengisap tembakau itu. Sahutnya riang, “Ah, tuan muda bergurau saja rupanya. Bukankah rumah ini adalah rumah Tong Tay-hiap? Sekarang beliau telah tiada, dengan sendirinya rumah ini adalah kepunyaan putera-puterinya. Tentang kedatangan tuan muda dan rombonganmu ini, kira-kira dua hari yang lalu tempat ini didatangi oleh seorang rahib bertubuh gemuk, yang memberitahukan kepada kami bahwa dalam beberapa hari ini kalian akan datang ke rumah ini. Rahib gemuk itu juga menyuruh kami agar kami menyambut secara baik. Bahkan rahib itu meninggalkan kepadaku uang sejumlah lima ratus tahil perak untuk menyiapkan penyambutan kalian ini. Aku sendiri heran, entah dari mana seorang rahib bisa mendapatkan uang sebanyak itu, tetapi aku lupa bertanya.”

Wi-hong segera menoleh kepada adiknya yang murid Siau- lim-pay itu, dan bertanya, “Siau-lim-pay biasanya mempunyai anggota para rahib. Apakah kau kenal rahib semacam itu?”

Pelayan tua itu nampak mengerutkan alisnya seperti mengingat-ingat, kemudian ia menjawab dengan hati-hati, “Selain tubuhnya yang pendek gemuk hampir bundar, dia juga berjenggot keriting kekuning-kuningan, matanya biru, tampangnya seperti bukan tampang orang-orang bangsa Han kita. Dia membawa sebatang tongkat besi yang disebut Hong-pian-jan (toya yang pada ujungnya terdapat besi berbentuk bulan sabit, senjata khas kaum rahib Buddha). Meskipun dia bertubuh gemuk, tetapi ternyata jalannya cepat sekali. Hanya dengan melangkah seenaknya saja tahu-tahu dia telah pergi bagaikan terbang, sekejap saja aku sudah tidak dapat melihatnya lagi.”

Mendengar keterangan itu, mendadak mata Wi-lian jadi bersinar terang, serunya sambil menepuk paha, “Aku ingat rahib seperti itu!”

“Siapa?”

Sahut Wi-lian, “Aku sendiri memang belum pernah bertemu secara langsung dengannya, namun Suhuku pernah bercerita tentang rahib dengan ciri-ciri seperti itu. Dia adalah murid Siau-lim-si juga, bahkan seangkatan dengan Suhu, namanya Hong-goan Hweshio. Kira-kira pada lima tahun yang lalu dia meninggalkan kuil dan kemudian menghilang entah kemana. Kabarnya ada orang yang melihat jejaknya di daerah Jing-hay. Dia memang bukan bangsa Han, tetapi bangsa Hui yang berdiam di daerah Jing-hay. Itulah sebabnya tampangnya tidak sama dengan orang-orang bangsa kita.”

“Kalau dia sudah menghilang selama lima tahun, bagaimana mendadak bisa muncul di sini dan bahkan menyuruh paman ini untuk menyambut kita? Apakah dia punya hubungan dengan keluarga Tong?” tanya Ting Bun dengan perasaan heran.

Sambil bercakap-cakap dengan pelayan tua itu, tak terasa Wi-hong dan rombongannya telah memasuki ruangan depan dari rumah itu. Kembali Wi-hong dan Wi-lian terlongong memandangi keadaan di dalam rumah itu. Ternyata keadaan ruangan itu masih tetap seperti dulu, baik perabot-perabotnya maupun letak perabot-perabotnya, sedikitpun sudah tidak nampak bekas pembakaran atau pengrusakan oleh anak buah Cia To-bun dulu.

Namun benda-benda perabot itu jelas tidak asli lagi, masih nampak baru bahkan catnya pun kelihatan baru saja kering. Meskipun keanehan menyelubungi suasana rumah itu, namun betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian tetap merasa berhak untuk bertindak sebagai tuan rumah di tempat itu. Mereka segera menyuruh kepada para pelayan agar menyediakan tempat beristirahat yang pantas bagi rombongannya.

Para pelayan menjalankan perintah itu dengan hormat dan gembira, hal mana membuat Wi-hong dan Wi-lian semakin berpikir keras. Akhirnya kakak beradik itu merasa tidak ada perlunya tinggal terlalu lama dalam kebingungan mereka, mereka memutuskan untuk bertanya secara terang-terangan kepada pelayan tua itu....
Selanjutnya;