Perserikatan Naga Api Jilid 22Karya : Stevanus S.P |
Tetapi sebelum Tong Wi-hong membuka mulutnya, telah terdengar helaan napas berat dari In Yong, dan dengan sedih In Yong memandang kepada kawannya yang luka keningnya itu, sambil berkata, “Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Di satu daerah, Hwe-liong-pang memang menjadi sahabat rakyat kecil. Tetapi Hwe-liong-pang punya wajah yang lain di daerah yang lain, di beberapa daerah memang nama Hwe-liong-pang sudah begitu kotornya dan susah untuk tercuci bersih lagi.
"Kita dari kelompok Lam-ki-tong memang telah berbuat begitu banyak bagi ketentraman dan kesejahteraan rakyat jelata. Tetapi tentu kita pun pernah mendengar bahwa rekan-rekan kami dari Jing-ki-tong, Ang- ki-tong, Jai-ki-tong dan Hek-ki-tong telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela atas nama Hwe-liong- pang. Hal itu jelas merugikan nama baik dan tujuan perjuangan Hwe-liong-pang secara keseluruhan.” Lalu In Yong menoleh kepada Wi-hong dan berkata, “Hal itupun aku ketahui, dan aku sungguh menyesalkannya. Tujuan pertemuan besar Hwe-liong-pang kali ini, tujuan utamanya juga untuk mengadakan pembersihan diri sendiri secara besar-besaran dan tak kenal ampun. Meskipun agak terlambat, tetapi kukira lebih baik daripada tidak diambil tindakan sama sekali.” Di dalam hatinya, Tong Wi-hong berkesan baik terhadap In Yong, meskipun sudah tahu bahwa In Yong adalah seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Kata Wi-hong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah kalau begitu. Semoga pertemuan Hwe-liong-pang di Lam-cang nanti akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan dunia persilatan, dan bukan malah sebaliknya.” Sementara mereka bercakap-cakap, perahu itupun sudah tiba di tepian seberang. Para penumpangpun segera turun ke darat. Tong Wi-hong dan rombongannya pun segera berpisah dengan rombongan In Yong, setelah saling memberi hormat dan mengucapkan selamat berpisah. Begitu telah jauh dari rombongan In Yong, Tong Wi-hong bergumam sendirian, “Sebenarnya perkumpulan macam apakah Hwe-liong-pang itu? Kenapa kaum bandit dan kaum ksatria bercampur aduk di dalamnya. Di sisi lain nampaklah sisi gelapnya yang diwakili oleh Tang Kiau-po, Sebun Say, Au-yang Siau-hui. Mo Hui dan sebagainya. Sedang di sisi lain nampak bagian yang bersih diwakili oleh orang-orang seperti In Yong dan Thian-liong Hiang-cu.” So Houlah yang menyahut keheranan Wi-hong itu, “Kukira hal itu tidak mengherankan. Hwe-liong-pang muncul di dunia persilatan belum sampai dua tahun, namun sudah memiliki sebarisan jago-jago tangguh yang demikian banyak, ini jelas disebabkan karena pihak mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima anggota. Akibatnya, anggota yang masukpun tidak sempat dipilih lagi, tidak sempat lagi diselidiki pribadi dan asal-usulnya, maka bercampur-aduklah kaum pendekar dan kaum penjahat di dalam perkumpulan itu.” “Aku juga sependapat dengan So Toako,” sambung Wi-lian. “Bahkan aku sering melihat sendiri bahwa sebenarnya dalam tubuh Hwe-liong-pang itu terjadi pula keretakan-keretakan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang kualami di kota Kay-hong, dalam peristiwa terbunuhnya Hong-ho-sam-hiong itu. Waktu itu kulihat kerjasama dari Ang-ki-tong (Kelompok Bendera Merah) dengan Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning) ternyata bukanlah kerjasama yang sepenuh hati. Bahkan berkali-kali pemimpin Ui-ki-tong yang bernama Kwa Heng dan berjuluk Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) itu mencegah Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) untuk turun tangan terhadap Hong-ho-sam- hiong.” Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap dan tidak terburu-buru. Tak terasa, dalam percakapan mereka itu sudah mulai timbul pandangan lain kepada Hwe-liong-pang. Bahkan Cian Ping yang mendendam Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsum itu, kini mau tidak mau harus meninjau kembali sikapnya itu. Sedangkan bagi Tong Wi-hong dan adiknya, pandangan baru kepada Hwe-liong-pang itu ada segi yang menggembirakan mereka, membuat hati mereka semakin cerah. Mereka punya dugaan kuat bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu tidak lain adalah kakak mereka sendiri yaitu Tong Wi-siang yang sangat mereka rindukan. Mereka gembira jika di dalam Hwe-liong-pang masih ada unsur-unsur baiknya, sebab dengan demikian akan semakin kecillah kemungkinannya untuk menghadapi Hwe-liong-pang sebagai lawan. Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, maka tidak lama kemudian rombongan itupun telah memasuki wilayah Kiang-se. Tong Wi-hong dan adiknya merasa sangat terharu karena dapat menginjak kembali daerah kelahiran mereka, setelah selama dua tahun mereka meninggalkannya dalam keadaan kepedihan dan penderitaan. Begitu mereka memasuki wilayah Kiang-se, segera nampaklah di daerah itu ada kesibukan yang tidak terasa di daerah lain. Makin sering mereka menjumpai rombongan kecil atau besar, dari orang-orang yang berwajah keras dan menyandang senjata. Ada di antara orang-orang itu yang bersikap gagah seperti kaum ksatria umumnya, tetapi tidak sedikit pula yang memiliki tampang “orang sesat”, kejam dan dingin. “Tentu mereka adalah orang-orang Hwe-liong-pang yang hendak menghadiri pertemuan besar itu,” kata Wi-hong pada So Hou yang berkuda di dekatnya. “Semakin kuat dugaanku bahwa Hwe-liong-pang benar-benar merupakan wadah tempat bercampur-aduknya orang baik dan orang jahat. Benar-benar perkumpulan yang aneh.” Mereka bermalam lagi satu malam. Keesokan harinya, setelah mereka berkuda tanpa berhenti selama setengah hari, maka telaga Po-yang-ou yang indah permai itu sudah nampak di depan mata. Hampir menangis rasanya Wi-hong dan Wi-lian ketika melihat kampung halaman yang dirindukan itu sudah nampak di depan mata. Mereka segera mempercepat lari kuda mereka, diimbangi oleh anggota rombongan lainnya. Mereka memutari tepian Po-yang-ou melalui sisi timur, dan akhirnya kota kecil An-yang-shia pun nampak di depan mata. “An-yang-shia!” desis Wi-hong dengan tenggorokan yang terasa tersekat. “Aku kembali ke pangkuanmu.” Kota kecil An-yang-shia ternyata masih seperti dulu, lorong- lorongnya tidak berubah begitu pula bangunan-bangunannya. Agaknya waktu dua tahun memang bukan waktu yang terlalu lama bagi orang yang tidak diamuk perasaan rindu. Bahkan orang-orangnya pun tidak berubah. Wi-hong dan Wi-lian masih sempat bertegur sapa dengan orang-orang yang pernah mereka kenal. Tetapi suasananya tidak seramai dulu lagi, bahkan nampak adanya suasana tertekan dan ketakutan yang menggantung di kota kecil itu. “Ada sesuatu yang terjadi di tempat ini rupanya,” kata Wi-lian. “Ya, sikap orang-orang yang kita jumpai tadi nampak kurang wajar dan begitu terburu-buru.” “Ya, jalanan pun terasa lebih sepi dari dulu.” Mereka menjalankan kudanya dengan langkah perlahan menuju ke pusat kota kecil itu. Dan begitu mereka mendekati ke gedung tempat kediaman Cia To-bun, terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian. Di luar gedung itu nampaklah ada belasan orang kuli yang sedang mengangkut belasan buah peti mati ke dalam gedung itu yang mengherankan, jika memang ada orang yang mati di rumah itu, masakan yang mati sekaligus sebanyak itu? Dan kenapa nampak pula regu-regu prajurit sedang berjaga-jaga di sekitar gedung itu, seakan-akan sedang menghadapi serbuan musuh yang tangguh? “Apakah Cia To-bun mati?” tanya Wi-hong kepada diri sendiri. Wi-lian menggelengkan kepalanya, sahutnya sambil mengangkat bahunya, “Entahlah. Tetapi kalau hanya dia seorang yang mati, masakan ia membutuhkan delapan buah peti mati?” Sementara itu So Pa telah memajukan kudanya dan berkata kepada Wi-hong, “Tong Toako, biarlah akan kucoba bertanya kepada prajurit-prajurit yang berjaga-jaga itu, atau kepada siapa saja yang barangkali dapat menerangkan tentang kejadian aneh ini.” Kata Wi-hong menyetujui, “Baiklah, kalau kita muncul berenam sekaligus tentu akan dicurigai oleh prajurit-prajurit itu, apalagi karena kita membawa senjata. Ah Po, selidikilah dengan baik, kau akan kami tunggu di sebuah warung teh dekat simpang tiga itu. Sebaiknya senjata dan kudamu tidak kau bawa, supaya tidak dicurigai dan ditangkap mereka.” Demikianlah So Po mendapat tugas untuk mencari keterangan tentang peti-peti mati di gedung Cia To-bun itu. Tampang So Pa memang cocok untuk itu, dia bertampang bersih kekanak-kanakan, sedikitpun tidak memberi kesan “berbahaya”. Sedangkan Wi-hong, Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan So Hou lalu menantikan So Pa di warung teh yang agak jauh letaknya dari rumah Cia To-bun. Pemilik warung teh itu sudah dikenal oleh keluarga Tong sejak dulu, namanya Ong Lo-ya-cu. Namun si tua Ong itu ternyata sudah meninggal dua bulan yang lalu, dan kini pengelolaan warung teh itu dijalankan oleh anak tertuanya yang bernama Ong San, yang juga sudah dikenal baik oleh Wi-hong maupun adiknya. Maka begitu Wi-hong dan rombongannya muncul di pintu warung, Ong San yang sedang mengelap meja itupun segera menjerit gembira. “He, A-hong! A-lian! Selama ini kalian menghilang ke mana saja?” Demikianlah Wi-hong dan rombongannya melepaskan dahaga di warung teh Ong San itu sambil menunggu kedatangan So Pa. Mereka bercakap-cakap dengan Ong San tentang beberapa hal-hal ringan. Kemudian Wi-hong mencoba mencari keterangan dari Ong San, “Ong Toako, dua tahun aku telah meninggalkan An-yang-shia, dan aku merasakan perubahan suasana di kota kecil ini. Kulihat kota ini tidak seramai dan setenang dulu lagi, apakah yang telah terjadi?” Ong San menarik napas dalam-dalam lalu berkata dengan nada setengah menggerutu, “Dasar memang belakangan ini rejekiku yang ditakdirkan untuk menurun. Dulu ketika kota ini masih ramai dikunjungi oleh para pelancong, warung tehku ini hampir-hampir kewalahan menampung para pengunjung sehingga uang pun mengalir ke kantongku dengan derasnya. Tetapi dalam beberapa waktu belakangan ini, keadaan berubah menjadi sepi mendadak, entah apa sebabnya. Para pelancong tidak kelihatan lagi mengunjungi An-yang-shia ini, seakan-akan di kota ini timbul suatu wabah menular yang mengerikan.” “Kau tahu apa sebab yang sesungguhnya?” tanya Wi-hong. Ong San si pemilik warung teh hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu. Dan Wi-hong tidak bertanya lagi, dia percaya bahwa So Pa tentu akan membawa keterangan yang lebih lengkap tentang apa yang mereka herankan itu. Tidak lama kemudian, orang yang diharapkan itupun telah datang ke warung teh itu. So Pa bersikap tenang dan tersenyum-senyum, berusaha bersikap sewajar mungkin, tetapi sinar matanya jelas menunjukkan bahwa berita yang dibawanya itu cukup penting dan menegangkan. Wi-hong pun dapat merasakan hal itu. Setelah memberi kesempatan kepada So Pa untuk minum secangkir teh, Wi-hong pun segera mengajak rombongannya untuk cepat-cepat meninggalkan warung Ong San itu. Mereka berkuda melalui jalan yang tidak melewati rumah Cia To-bun menuju langsung keluar kota An-yang-shia. Begitu tiba di tempat yang sepi, serempak mereka menghentikan kudanya. Tong Wi-hong dan adiknyalah yang paling tidak sabar, hampir bersamaan mereka bertanya, “Ah Pa, ada kejadian apa?” Lebih dulu So Pa menghapus keringat yang mengembun di dahinya itu dengan punggung telapak tangannya. Lalu katanya, “Tong Toako, kukira kalian sudah tidak perlu lagi membalaskan sakit hati keluarga kalian kepada Cia To-bun, sebab dia sudah mampus. Menurut keterangan yang berhasil kuperoleh, tadi malam Cia To-bun serta tujuh orang anggota rumah tangganya, termasuk puteranya dan selir-selirnya, semuanya telah kehilangan batok kepala mereka! Siapa yang melakukannya, tidak seorang pun tahu. Bahkan para penjaga yang menjaga di sekeliling gedung pada malam tadi, juga tidak mendengar suara apa-apa, tahu-tahu keesokan harinya Cia To-bun sekeluarga sudah menjadi setan-setan tanpa kepala!” Wajah orang-orang yang mendengarkan keterangan So Pa itu menjadi tegang. Akhirnya terdengar Wi-hong berkata dengan menghela napas, “Benar-benar luar biasa! Aku tahu Cia To-bun selalu berada di tengah pengawalan yang ketat para prajuritnya, bahkan dia pun mempunyai beberapa orang jago andalan yang lihai dalam rumahnya. Masa tidak seorangpun dapat melihat bentuk potongan pembunuh itu?” “Kalau dibayangkan benar-benar menakutkan,” kata So Pa sambil menelan ludahnya. “Para pelayan dan tukang-tukang pukul Cia To-bun yang biasanya sangat garang itu, ternyata sampai saat ini belum bisa ditanyai apapun tentang pembunuh itu, atau mereka bisa menjawab tetapi jawabannya kacau-balau tidak keruan. Para pelayan dan tukang pukul itu nampak begitu ketakutan dan terpukul jiwanya oleh kejadian tadi malam. Yang sudah agak tenang hanya bisa mengatakan bahwa pembunuh itu bukan manusia melainkan sesosok hantu hitam yang bermuka tengkorak, gerakannya secepat angin.” Hampir bersamaan, semua orang mendesiskan sebuah nama, “Hwe-liong-pang!” Sementara itu Ting Bun berkata dengan keheranan, “Hwe-liong-pang bukan saja memusuhi dunia persilatan, tetapi bahkan berani pula memusuhi pihak pemerintah Kerajaan Beng. Benar-benar luar biasa. Apakah alasan Hwe-liong-pang untuk menumpas Cia To-bun sekeluarga?” Pertayaan Ting Bun itu tidak terjawab. Hanya saja Tong Wi-hong saling bertukar pandangan dengan Wi-lian dengan pandangan yang penuh arti. Kejadian yang dilaporkan oleh So Pa itu hanya memperkuat dugaan kakak beradik itu bahwa Ketua Hwe-liong-pang sebenarnya adalah Tong Wi-siang, kakak tertua mereka sendiri. Namun kakak beradik itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Bahkan kemudian Wi-lian mencoba membelokkan pembicaraan, “Anggaplah bahwa sakit hati keluarga Tong kepada Cia To-bun sudah lepas. Sekarang kita akan memikirkan tujuan kita datang ke An-yang-shia ini.” Tanpa pikir panjang lagi, Tong Wi-hong menyahut, “Menengok rumah kita, lalu mencari makam ayah.” Maka keenam orang itupun kemudian menyusuri tepian danau dan menuju ke arah selatan, tanpa melalui kota An- yang-shia yang tengah dicekam oleh suasana kengerian itu. Setelah melewati sebuah teluk kecil dan sederetan pohon siong yang permai, akhirnya di depan mereka nampaklah sebuah rumah kecil yang dikelilingi oleh pepohonan cemara, membelakangi sebuah bukit kecil dan menghadap ke arah danau. Sekali pandang saja sudah nampak betapa nyaman dan sejuknya rumah itu. “Rumah kita!” Wi-lian berteriak dan langsung hendak melarikan kudanya ke rumah itu. Namun Wi-hong cepat menyambar tali kendali kuda adiknya itu, dan berkata, “Tahan dulu, A-lian.” “Ada apa, A-hong?” Wi-hong tidak menyahut tetapi hanya mengerutkan keningnya. Ia nampak berpikir keras. Tadinya Wi-hong mengira bahwa dia tentu akan menjumpai rumahnya dalam keadaan berantakan dan berujud puing belaka, sebab menurut keterangan ibunya ketika tiba di Soat-san, anak buah Cia To-bun telah membumi-hanguskan rumah itu. Tetapi kini yang tergelar di hadapan Wi-hong adalah sebuah rumah yang utuh dan bersih, sedikitpun tidak nampak tanda-tanda bekas kerusakannya, bahkan cat pintunya pun masih sangat baru. Inilah yang membuat Wi-hong tercengang. “Mengherankan sekali,” desisnya. “Tidak mengherankan sedikitpun,” kata Wi-lian membantah kakaknya. “A-hong, apakah kau masih ingat kepada kata-kata yang diucapkan oleh Siangkoan Hong ketika dia menemui kita di Tay-beng?” “Siapakah Siangkoan Hong? Dan apa yang dikatakannya? Kenapa kalian bersikap seaneh ini justru setelah sampai di rumah kalian sendiri?” tiba-tiba Cian Ping memberondongnya dengan serangkaian pertanyaan karena herannya melihat sikap kakak beradik itu. Ting Bun sebenarnya juga memendam rasa heran yang serupa, tetapi ia tidak terlalu banyak bertanya sebab belum memahami persoalannya. Mendengar pertanyaan Cian Ping yang bertubi-tubi itu, Wi-hong dan Wi-lian kebingungan untuk menjawabnya. Mereka tahu bahwa Cian Ping sangat membenci Hwe-liong-pang, bahkan mendendamnya sampai ke tulang sungsum, bagaimana kalau gadis itu sampai mendengar atau mengetahui bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu justru kakak tertua dari Wi-hong, orang yang dicintainya? Dalam bingungnya itu, Wi-lian telah menjawab secara untung-untungan saja, “Siangkoan Hong adalah teman sekampung kami yang juga minggat dari An-yang-shia karena menjadi buronan yang berwajib. Dia pernah menemui kami di Tay-beng dan mengatakan bahwa dia akan kembali ke An-yang-shia, mungkin dia pula yang telah memperbaiki rumah kami ini. Itulah dugaan kami.” Untuk sementara Cian Ping harus puas dengan jawaban itu. Namun ketika Cian Ping hendak bertanya lebih jelas lagi, tiba-tiba pintu rumah itu telah terbuka dari sebelah dalam, dan muncullah seorang pelayan rumah yang pakaiannya cukup bersih dan rapi. Pelayan itu langsung memberi hormat kepada Wi-hong dan bertanya, “Apakah aku sedang berhadapan dengan tuan muda Tong Wi-hong serta nona Wi-lian?” Begitu berhadapan ternyata pelayan itu langsung dapat menyebut nama Wi-hong dan Wi-lian, itu membuat kedua kakak beradik itu bertambah heran. Terpaksa mereka mengiakan pertanyaan pelayan itu. Mendengar jawaban Wi-hong itu, wajah si pelayan seketika menjadi berseri-seri kegirangan, katanya lagi, “Sudah beberapa hari ini kami menunggu dan siap menyambut kedatangan tuan muda dan nona. Silahkan masuk!” Sementara itu, beberapa orang pelayan telah muncul pula dari dalam rumah. Dengan sikap hormat, para pelayan itu menyambut kuda Tong Wi-hong dan rombongannya, dan langsung membawa kuda-kuda itu ke bagian belakang rumah itu. Sambil melangkah masuk, Wi-hong bertanya kepada pelayan yang muncul pertama kalinya tadi, “Paman, siapakah yang memiliki rumah ini? Kenapa kalian mengetahui kedatangan dan nama-nama kami?” Pelayan tua itu tertawa lebar, sehingga terlihatlah sederetan gigi-giginya yang kecokelatan karena terlalu banyak mengisap tembakau itu. Sahutnya riang, “Ah, tuan muda bergurau saja rupanya. Bukankah rumah ini adalah rumah Tong Tay-hiap? Sekarang beliau telah tiada, dengan sendirinya rumah ini adalah kepunyaan putera-puterinya. Tentang kedatangan tuan muda dan rombonganmu ini, kira-kira dua hari yang lalu tempat ini didatangi oleh seorang rahib bertubuh gemuk, yang memberitahukan kepada kami bahwa dalam beberapa hari ini kalian akan datang ke rumah ini. Rahib gemuk itu juga menyuruh kami agar kami menyambut secara baik. Bahkan rahib itu meninggalkan kepadaku uang sejumlah lima ratus tahil perak untuk menyiapkan penyambutan kalian ini. Aku sendiri heran, entah dari mana seorang rahib bisa mendapatkan uang sebanyak itu, tetapi aku lupa bertanya.” Wi-hong segera menoleh kepada adiknya yang murid Siau- lim-pay itu, dan bertanya, “Siau-lim-pay biasanya mempunyai anggota para rahib. Apakah kau kenal rahib semacam itu?” Pelayan tua itu nampak mengerutkan alisnya seperti mengingat-ingat, kemudian ia menjawab dengan hati-hati, “Selain tubuhnya yang pendek gemuk hampir bundar, dia juga berjenggot keriting kekuning-kuningan, matanya biru, tampangnya seperti bukan tampang orang-orang bangsa Han kita. Dia membawa sebatang tongkat besi yang disebut Hong-pian-jan (toya yang pada ujungnya terdapat besi berbentuk bulan sabit, senjata khas kaum rahib Buddha). Meskipun dia bertubuh gemuk, tetapi ternyata jalannya cepat sekali. Hanya dengan melangkah seenaknya saja tahu-tahu dia telah pergi bagaikan terbang, sekejap saja aku sudah tidak dapat melihatnya lagi.” Mendengar keterangan itu, mendadak mata Wi-lian jadi bersinar terang, serunya sambil menepuk paha, “Aku ingat rahib seperti itu!” “Siapa?” Sahut Wi-lian, “Aku sendiri memang belum pernah bertemu secara langsung dengannya, namun Suhuku pernah bercerita tentang rahib dengan ciri-ciri seperti itu. Dia adalah murid Siau-lim-si juga, bahkan seangkatan dengan Suhu, namanya Hong-goan Hweshio. Kira-kira pada lima tahun yang lalu dia meninggalkan kuil dan kemudian menghilang entah kemana. Kabarnya ada orang yang melihat jejaknya di daerah Jing-hay. Dia memang bukan bangsa Han, tetapi bangsa Hui yang berdiam di daerah Jing-hay. Itulah sebabnya tampangnya tidak sama dengan orang-orang bangsa kita.” “Kalau dia sudah menghilang selama lima tahun, bagaimana mendadak bisa muncul di sini dan bahkan menyuruh paman ini untuk menyambut kita? Apakah dia punya hubungan dengan keluarga Tong?” tanya Ting Bun dengan perasaan heran. Sambil bercakap-cakap dengan pelayan tua itu, tak terasa Wi-hong dan rombongannya telah memasuki ruangan depan dari rumah itu. Kembali Wi-hong dan Wi-lian terlongong memandangi keadaan di dalam rumah itu. Ternyata keadaan ruangan itu masih tetap seperti dulu, baik perabot-perabotnya maupun letak perabot-perabotnya, sedikitpun sudah tidak nampak bekas pembakaran atau pengrusakan oleh anak buah Cia To-bun dulu. Namun benda-benda perabot itu jelas tidak asli lagi, masih nampak baru bahkan catnya pun kelihatan baru saja kering. Meskipun keanehan menyelubungi suasana rumah itu, namun betapapun juga Wi-hong dan Wi-lian tetap merasa berhak untuk bertindak sebagai tuan rumah di tempat itu. Mereka segera menyuruh kepada para pelayan agar menyediakan tempat beristirahat yang pantas bagi rombongannya. Para pelayan menjalankan perintah itu dengan hormat dan gembira, hal mana membuat Wi-hong dan Wi-lian semakin berpikir keras. Akhirnya kakak beradik itu merasa tidak ada perlunya tinggal terlalu lama dalam kebingungan mereka, mereka memutuskan untuk bertanya secara terang-terangan kepada pelayan tua itu.... |
Selanjutnya;
|