Perserikatan Naga Api Jilid 19Karya : Stevanus S.P |
Sementara itu Wi-hong telah hilang nafsu makan minumnya ketika menyaksikan hal itu. Dipandangnya Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun bergantian, lalu katanya, “Kalian teruskan dulu makan dan minum kalian di sini sambil mengawasi keadaan. Aku akan mendahului kalian ke Kiang-leng untuk melihat apa yang sedang terjadi atas cabang itu.”
Kata Ting Bun menawarkan jasa baiknya, “Biarlah aku ikut denganmu, A-hong, meskipun kepandaianku tidak tinggi tetapi barangkali dapat membantumu.” Sikap Wi-hong tawar-tawar saja menghadapi uluran tangan Ting Bun itu, katanya, “Maaf, ini adalah urusan dalam tubuh Tiong-gi Piau-hang sendiri. Kau tidak perlu merepotkan diri untuk ikut campur.” Ting Bun yang hampir saja bangkit dari kursinya itu lalu meletakkan kembali pantatnya di atas kursi. Katanya sambil menarik napas, “Maaf, mungkin aku memang terlalu lancang.” Ucapan Ting Bun itu cukup menyentuh perasaan Wi-hong juga. Bahkan di dalam hati kecilnya Wi-hong sudah merasa bahwa sikapnya kepada Ting Bun selama ini memang agak keterlaluan dinginnya. Betapapun bencinya ia kepada Ting Ciau-kun, namun betapapun harus diingat bahwa Ting Bun bukan Ting Ciau-kun. Tetapi Wi-hong yang keras kepala itu tidak menggubris lagi perasaannya. Dengan tergesa-gesa ia bangkit berdiri dan menyandang pedangnya, dan sesaat kemudian ia telah berpacu di atas punggung kudanya untuk menyusul rombongan Tiong-gi Piau-hang yang kocar-kacir tadi. Begitu Wi-hong sudah berlalu, Cian Ping berkata kepada Ting Bun dengan sikap menyesal, “Ting Toako, harap kau tidak menjadi kecil hati atas sikap A-hong itu.” Sahut Ting Bun sambil tertawa dipaksakan, “Ah, aku berusaha melupakan semuanya dan tidak menyimpannya dalam hati. Aku tahu pikirannya sedang ruwet dan penuh beban sehingga mempengaruhi ketenangannya dalam bersikap. Tetapi dulu aku mengenalnya sebagai seorang anak muda yang mudah menyadari kesalahan dirinya sendiri dan cukup berani untuk mengakui kesalahannya. Dan aku yakin sifat itu masih ada pada dirinya.” Cian Ping nampak lega melihat sikap Ting Bun itu. Katanya, “Kau adalah seorang yang penuh pengertian dan berpikiran lapang. Berbahagialah kelak gadis yang menjadi pendampingmu.” Ketika mengucapkan “gadis yang menjadi pendampingmu” itu diam-diam Cian Ping menggerakkan kakinya di bawah meja untuk menendang kaki Wi-lian. Wi-lian yang sedang meneguk tehnya itu menjadi terkejut sehingga terbatuk-batuk, mukanya pun berubah menjadi merah. Sedangkan Ting Bun sendiri menjadi salah tingkah karena dia tahu gerak-gerik Cian Ping di bawah meja itu. Rupanya kaki Cian Ping tadi tanpa disadari telah menyentuh sedikit kaki Ting Bun! Dengan sikap yang agak kikuk, Ting Bun mencoba membelokkan arah pembicaraan, “Entah pihak mana yang bernyali begitu besar sehingga berani memusuhi Tiong-gi Piau-hang di wilayah Kiang-leng ini?” Pertanyaan Ting Bun itu sebenarnya tidak memerlukan jawaban, sebab siapapun tentu tahu bahwa antara Tiong-gi Piau-hang dengan Hwe-liong-pang telah terbentang jurang permusuhan yang lebar. Ting Bun sendiri juga tidak memerlukan jawaban, dia hanya bicara asal bicara saja untuk menghilangkan salah tingkahnya. Sahut Cian Ping, “Kemungkinan besar ini adalah perbuatan orang-orang Hwe-liong-pang, karena mereka telah bertekad untuk menghancurkan Tiong-gi Piau-hang sama sekali yang dianggapnya tidak mau tunduk kepada kemauan mereka. Dulu mereka hanya menyerang pusat Piau-hang di Tay-beng, dan kini mereka agaknya mulai menyerang cabang kami yang terpencar-pencar.” Ting Bun menganggukkan kepalanya, katanya, “Aku secara pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi aku telah mendengar bahwa apa yang mereka lakukan selama ini selalu melanggar tata tertib dunia persilatan dan bertindak sewenang-wenang di luar batas-batas perikemanusiaan, jika dibiarkan terus menerus tentu akan menggelisahkan masyarakat.” Baru saja Ting Bun selesai dengan ucapannya, tiba-tiba dari arah pintu masuk warung makan itu terdengar orang tertawa mengejek, dan disusul dengan kata-kata, “Ha-ha-ha, seekor tikus kecil seperti ini pun juga berani menentang kekuasaan Hwe-liong-pang kami yang jaya?” Ting Bun dan kawan-kawannya terkejut dan menoleh ke arah pintu masuk, bahkan semua pengunjung warung makan itupun serentak menoleh ke arah yang sama untuk melihat siapa yang berbicara itu. Dari pintu masuk itu muncullah berturut-turut tujuh orang lelaki. Yang paling depan adalah seorang lelaki bertubuh ceking yang sebelah matanya cacat dan ditutup dengan kain hitam, bentuk bibirnya menandakan bahwa orang ini memiliki sifat-sifat yang kejam luar biasa. Dan tangan orang ini menjinjing sebatang tombak pendek yang mata tombaknya bergerigi seperti rahang serigala, yang melangkah di belakang si mata satu ini berturut-turut adalah Song Kim si murid murtad serta Han Toan si bekas bajak laut, kedua orang ini tentu saja sudah dikenal oleh Cian Ping dan Wi-lian. Selanjutnya muncul pula empat orang lelaki yang berpakaian sama dan bahkan mukanya pun mirip satu sama lain, tentunya mereka berempat adalah bersaudara. Keempat orang itu masing-masing, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka agaknya ahli-ahli dalam perkelahian jarak dekat. Begitu tujuh orang itu melangkah masuk ke dalam warung arak, maka para tetamu lain yang tahu gelagat dan tidak senang keributan segera membayar harga makanannya masing-masing dan buru-buru meninggalkan tempat itu. Tetapi buat Cian Ping, Wi-lian dan Ting Bun yang bernyali besar itu, penampilan pendatang-pendatang baru itu sama sekali tidak menggentarkan mereka. Mereka bertiga tetap makan minum dengan tenangnya bahkan Cian Ping dengan berani telah memelototkan matanya kepada Song Kim dengan penuh dendam kesumat. Dipandang semacam itu, Song Kim ngeri juga. Tetapi di luarnya dia justru bersikap tertawa-tawa sambil berkata, “Selamat bertemu kembali, adik Ping, kau nampak kurus sekarang tetapi kecantikanmu tidak berkurang sedikitpun. Eh, kenapa kau memandangku dengan cara yang begitu menakutkan?” Cian Ping telah meraih sepasang hau-thau-kaunya yang disandarkan di dinding, sahutnya dingin, “Manusia berhati binatang dan berjantung anjing, kau masih punya muka untuk menemui aku?” Song Kim menyahut masih dengan cengar-cengir, “Kenapa tidak berani menemuimu? Aku sama sekali tidak rela kau diperistri oleh bocah she Tong keparat itu. Kudengar kabar dia telah diangkat menjadi Cong-piau-thau menggantikan ayahmu, hem, tapi sebentar lagi dia hanya akan memimpin sebuah Piau-hang yang berantakan dan bangkrut.” Air muka Cian Ping seketika berubah hebat mendengar ucapan Song Kim itu. Semakin yakinlah Cian Ping bahwa kerusakan Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu adalah hasil ulah orang-orang Hwe-liong-pang. Karena kaget dan marahnya, untuk sementara Cian Ping malahan bagaikan terkunci mulutnya, tidak mampu berkata-kata sepatah katapun. Song Kim dan rombongannya tertawa kesenangan melihat ucapan mereka telah mengenai sasarannya, bahkan Song Kim melanjutkan, “Itu hanya sebagai contoh bahwa siapapun yang berlagak sok pahlawan dan tidak mau tunduk kepada kami, akan kami babat habis sampai ke akar-akarnya.” Wi-lian yang berdarah panas itu tidak tahan mendengar ucapan takabur itu. Ejeknya, “Membabat habis sampai ke akar-akarnya? Hemm, aku sedikitpun tak percaya. Masakah Hwe-liong-pang kalian punya kekuatan sehebat itu?” Song Kim mengalihkan perhatiannya kepada Wi-lian, lalu katanya sambil tersenyum sinis, “Aku tahu kau adalah seorang murid Siau-lim-pay yang berkepandaian tinggi, ketika di padang perdu pun aku sudah melihat bagaimana kau membunuh Cong Yo dan Cong Hun. Tetapi kau jangan terlalu bangga dengan kepandaianmu itu. Jika kau tahu siapa orang-orang yang datang bersama dengan aku ini, maka kau akan menyesal bahwa kau bersikap begitu sombong.” Dan tanpa diminta lagi, dengan sikap bangga Song Kim menyebutkan teman-temannya itu lengkap dengan julukan-julukannya. Lebih dulu ia menunjuk si mata satu yang membawa tombak duri pandan itu, katanya, “Kuperkenalkan yang ini adalah Tong-cu dari Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) dalam Pang kami bernama Mo Hui dan berjulukan Hong-long-cu (Si Serigala Gila). Dan keempat bersaudara ini tentu pernah pula kau dengar namanya yang menggetarkan, mereka inilah yang berjuluk Lam-gak-su-koay (Empat Siluman Gunung Lam-gak) yang kini telah bergabung dengan Hwe-liong-pang kami.” Airmuka Wi-lian sama sekali tidak pernah berubah mendengar julukan-julukan seram itu bahkan jawabnya dengan santai, “Aku memang pernah mendengar nama-nama itu. Kabarnya si anjing gila itu mahir ilmu tombak yang diberinya nama Sha-cap-lak-hong-long-cio-hoat (Tigapuluh enam Jurus Ilmu Tombak Serigala Gila), entah ilmu tombaknya benar-benar hebat atau hanya untuk menakut- nakuti anak-anak kecil saja?” Baru saja Wi-lian mengatupkan mulutnya sehabis mengeluarkan kata-kata ejekan itu, sudah menggereng dengan marahnya dan menendang meja yang ada di depannya itu sehingga mencelat ke samping. Lalu bagaikan seekor serigala kelaparan dia melompat, dan ujung tombak gigi serigalanya telah membesat ke arah lambung Wi-lian. Agaknya si serigala gila bermata satu ini seorang pemarah yang tidak tahan ejekan Wi-lian yang tajam tadi. Dia memang seorang yang jarang menggunakan mulutnya untuk bicara, namun lebih siap untuk senantiasa menghunjamkan tombaknya ke tubuh korban-korbannya. Serangan kilat itu disebut jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompati Parit), serangannya cepat dan ganas luar biasa. Cian Ping dan Ting Bun sampai menjerit serempak, “A-lian, awas!” Namun peringatan itu sebenarnya tidak perlu bagi murid Rahib Hong-tay itu, sebab bersamaan dengan datangnya serangan itu tubuh Wi-lian telah “terbang” ke atas, dan dalam keadaan melompat itu dia melancarkan tendangan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor) yang dengan tepat sekali mengenai pundak Mo Hui. Terdengar si mata satu ini meraung sekali lagi, namun raungannya kali ini adalah raungan kesakitan. Ia merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit, dan tubuhnya terlempar ke samping menimpa seperangkat meja kursi. Dengan tenangnya Wi-lian duduk kembali di kursinya, meneguk kembali tehnya, dan berkata kepada Song Kim sambil tertawa, “Wah, hebat sekali temanmu yang kau bangga-banggakan itu ya? Nah, siapa lagi ingin mencoba? Barangkali keempat orang siluman kecil ini?” Bahwa seorang Tong-cu dalam Hwe-liong-pang bisa dirobohkan dengan sekali gebrakan saja oleh Wi-lian, hal itu cukup mencengangkan Song Kim dan teman-temannya. Sesungguhnya Mo Hui tidak selemah itu, bahkan dapat digolongkan tokoh tangguh dalam dunia persilatan, hanya saja dia terlalu gegabah dan memandang rendah kepada Wi-lian sehingga harus mengalami pil pahit macam itu. Serangan Mo-Hui yang menakutkan tadi juga kurang perhitungan, hanya bisa menakut-nakuti orang yang bernyali kecil, tapi bagi ahli silat yang bersikap tenang akan terlihat banyak sekali kelemahannya. Kini, meskipun Lam-gak-su-koay telah ditantang secara terang-terangan, tapi tidak berani langsung menjawab tantangan itu, mereka agaknya tidak ingin mengalami nasib buruk seperti Tong-cu mereka. Dalam pada itu Mo Hui dengan tertatih-tatih telah bangkit dari reruntuhan meja kursi yang dijatuhi tubuhnya tadi. Mukanya yang biasanya dingin dan pucat itu sekarang telah berubah menjadi merah membara, pandangan matanya yang hanya satu itupun memancarkan keingingan membunuhnya yang menggidikkan hati. Teriaknya, “Bunuh mereka semuanya! Jangan seorangpun dibiarkan dengan tubuh yang utuh! Akan kukirim mayat-mayat mereka ke Kiang-leng supaya orang-orang Tiong-gi Piau-hang di sana menggigil ketakutan!” Tujuh orang Hwe-liong-pang itupun segera berlompatan mengitari Wi-lian bertiga dengan senjatanya masing-masing. Song Kim siap dengan tombak panjangnya yang bergagang besi itu, Han Toan dengan toya ce-bi-kun (toya setinggi alis) yang terbuat dari perunggu, sedangkan masing-masing Lam-gak-cu-koay telah memegang sepasang belati pendek di kedua belah tangan masing-masing. Cian Ping bertiga pun segera mempersiapkan diri karena tidak berani memandang remeh lawan-lawan mereka. Cian Ping sudah siap dengan sepasang hau-thau-kau nya, Ting Bun dengan golok Toan-bun-to (golok penghadang pintu), sementara Wi-lian tidak memegang senjata apapun sebab gadis itu agaknya lebih percaya kepada tangan kakinya. Pemilik warung arak itu menjadi ketakutan karena melihat tamu-tamunya sudah berhadapan dan siap bertempur. Dengan menggigil ketakutan ia menyembunyikan dirinya di ruangan belakang, sementara itu di matanya sudah terbayang bahwa semua meja, kursi, mangkuk dan barang-barang modal lainnya akan hancur berantakan tanpa sisa. Wi-lian agaknya masih punya pikiran untuk tidak menghancurkan warung arak itu. Tiba-tiba ia berseru kepada Cian Ping dan Ting Bun, “Terjang ke luar pintu! Kita akan mencari tempat yang cukup luas untuk menghajar bangsat-bangsat Hwe-liong-pang ini!” Namun Mo Hui telah menghadang gerakan Wi-lian, sambil berteriak ganas ia menikamkan tombaknya ke leher Wi-lian. Ketika gadis itu menggunakan gerakan menunduk untuk menghindari serangan tombaknya, cepat Mo Hui memutar tombaknya dan mencoba menggunakan gerigi pada mata tombaknya untuk mengoyak punggung Wi-lian. Tetapi murid Rahib Hong-tay itu terlalu tangkas untuk dipecundangi hanya dalam segebrakan saja. Selicin belut selincah kupu-kupu dia berhasil menyelinap ke samping sambil menyodorkan sebuah hantaman keras ke dagu Mo Hui dengan jurus Wan-kiong-sia-tiau (Pentang Busur Memanah Rajawali). Gerakan setangkas itu memaksa Mo Hui harus melompat mundur kembali supaya dagunya tidak berantakan terhantam lawan. Ting Bun dan Cian Ping juga tidak dapat menerobos keluar dengan mudah, sebab lawan-lawannya tidak membiarkannya berbuat sesuka hati. Ting Bun seorang diri harus meladeni keroyokan Lam-gak-su-koay yang ganas itu, begitu pula Cian Ping terdesak dalam menghadapi keroyokan Song Kim dan Han Toan. Anak gadis Cian Sin-wi itu bukannya berhasil mendekati pintu, namun malahan terdesak semakin ke bagian dalam warung itu. Melihat hal itu, Wi-lian bertindak cepat untuk menolong kawan-kawannya. Lebih dulu ia memaksa Mo Hui mundur kelabakan setelah dicecar dengan serangkaian serangan hebat. Setelah itu Wi-lian melompat secepat kilat kepada Han Toan dan langsung diluncurkan sebuah tendangan ke pinggang bekas bajak laut itu. Han Toan terkesiap, senjata toya perunggunya terlalu berat untuk digerakkan dengan lincah untuk melindungi bagian yang diserang itu, maka tendangan Wi-lian itu tak ampun lagi mendarat telak di lambungnya, langsung melemparkannya menubruk dinding dan membuat Han Toan pingsan seketika itu juga. Rontoklah keberanian Song Kim melihat keperkasaan Tong Wi-lian itu. Terpaksa dia harus menyingkir mundur dan membiarkan Wi-lian untuk bergabung dengan Cian Ping dan menerobos ke pintu keluar. Di dekat pintu keluar, Ting Bun sedang keripuhan menghadapi empat pasang belati yang dimainkan oleh Lam-gak-su-koay secara cepat dan mahir itu. Sebatang golok yang dimainkan Ting Bun itu ternyata justru sangat merepotkan jika dimainkan di tempat yang sesak dengan meja dan kursi itu, apalagi lawan-lawannya itu agaknya sangat mahir berkelahi dalam jarak pendek. Terpaksa untuk sementara waktu Ting Bun hanya bersikap bertahan serapat-rapatnya, namun tak urung pundak dan lengannya sempat tergores juga oleh senjata lawan sehingga mengeluarkan darah. Tong Wi-lian tidak mempedulikan Mo Hui yang memburunya dari belakang itu. Gadis itu sudah memperhitungkan, bahwa jika dirinya menerjunkan diri langsung untuk membantu Ting Bun, maka Mo Hui pasti tidak akan leluasa menyerangnya karena terhalang oleh teman-temannya sendiri. Dengan perhitungan semacam itu, Wi-lian tanpa pikir panjang lagi langsung “menyusup” ke dalam arena pertempuran yang rapat antara Ting Bun dengan Lam-gak- su-koay itu. Tindakan gadis yang berani itu sempat menggoncangkan hati Lam-gak-su-koay. Salah seorang dari Lam-gak-su-koay yang menjadi bimbang, langsung saja menjadi korban pertama Wi-lian, terpental keluar arena dengan gigi depan rontok semua! “Ting Toako, cepat terjang keluar!” teriak Wi-lian. Ting Bun juga melihat kesempatan itu. Sesaat selagi kepungan Lam-gak-su-koay menjadi agak kacau, maka Ting Bun telah menerobos keluar pintu sambil membolang-balingkan goloknya, tapi sebuah goresan kecil sempat juga “hinggap” di punggungnya. Dalam pada itu Mo Hui telah menerjang kepada Cian Ping, namun Tong Wi-lian lah yang menghadapi amukan serigala gila bermata satu itu. Sambil mendorong pundak Cian Ping ke samping, Wi-lian berteriak, “Cici Ping, kau pun cepat keluar, jangan merisaukan aku!” Cian Ping yang bertarung gigih itupun menyahut, “Kau tidak boleh bertempur seorang diri di sini!” Sambil tetap melayani serangan Mo Hui yang gencar luar biasa itu, Wi-lian menyahut, “Tidak perlu Cici menguatirkan aku. Telah Cici lihat sendiri bahwa monyet Hwe-liong-pang ini tidak dapat berbuat apa-apa kepada aku.” Dasar memang seorang gadis yang cerdik, dalam satu perkataan saja Wi-lian sekaligus punya dua tujuan. Pertama, ucapan itu bertujuan untuk meyakinkan Cian Ping agar gadis itu sebaiknya menerjang keluar. Kedua, ucapan itu bermaksud memanaskan hati orang-orang Hwe-liong-pang, terutama Hong-long-cu Mo Hui yang berangasan itu, agar kemarahan mereka terpancing. Dalam asas ilmu silat dikenal suatu pelajaran yang sangat umum, bahwa orang yang dikuasai oleh kemarahan akan kehilangan sebagian dari kecermatannya, dan dengan demikian berarti menguntungkan lawannya. Maka Wi-lian mencoba mengalahkan Mo Hui dengan lebih dulu mengobarkan kemarahannya. Cian Ping pun cukup cerdik untuk memahami maksud Wi-lian itu, maka sambil mendesak Lam-gak-su-koay yang tinggal tiga itu, Cian Ping ikut berkata untuk menambahkan 'minyak', “Baiklah kalau begitu. Tolong kau buka kain hitam yang menutupi mata kiri anjing gila itu, aku ingin melihat di balik kain hitam itu ada biji matanya atau cuma sarang kecoak!” Sahut menyahut antara Cian Ping dan Wi-lian itu memang berhasil membuat dada Mo Hui serasa hampir meledak. sambil mengertakkan giginya ia menghamburkan tigapuluh enam jurus ilmu tombaknya tanpa kenal kasihan, sambil berteriak penuh kebencian, “Gadis-gadis sombong! Akan kuhancur-leburkan tubuh kalian!” Dalam pada itu, Song Kim yang bersenjatakan tombak panjang dan berat itu, pertempuran di tempat yang luas akan lebih menguntungkan dirinya. Di tempat yang luas ia akan dapat mengembangkan ilmu tombak kebanggaannya. Namun karena Song Kim tidak dapat melewati pintu, maka ia melompat saja lewat jendela. Begitu sepasang kakinya menginjak halaman luar, Ting Bun telah siap menyambutnya dengan sengit. Maka bertempurlah kedua anak muda itu. Baik Song Kim maupun Ting Bun adalah anak-anak muda yang sama-sama berdarah panas, dan ternyata gaya bertempur mereka pun sama persis, yaitu sama-sama cepat dan keras. Tombak besi Song Kim maupun golok Ting Bun sama mengeluarkan desing-desingan keras yang menggidikkan hati. Meskipun Ting Bun telah mengalami luka namun hanya luka-luka ringan yang untuk sementara tidak menghalangi gerak-geriknya yang garang. Di bagian dalam warung arak itu, Wi-lian bertempur melawan Mo Hui sambil bergeser ke arah pintu. Ia beradu punggung dengan Cian Ping yang memainkan sepasang kaitannya dengan lincah cepat sehingga Lam-gak-su-koay yang sudah biasa mengepung lawan-lawannya dari segala penjuru itu kini mau tidak mau jadi mati kutu. Permainan sepasang belati mereka jadi ragu-ragu dan tidak bisa dikembangkan sepenuhnya. “A-lian mari kita kerahkan tenaga sebab Ting Toako sudah terluka,” kata Cian Ping. Karena bertempur dengan menghadapi ke arah halaman luar, maka Cian Ping lah yang dapat melihat keadaan Ting Bun yang agak menguatirkan itu, meskipun anak muda itu masih bertarung dengan gigihnya. Seruan Cian Ping itu ternyata secara tidak langsung telah membawa akibat buruk bagi orang-orang Hwe-liong-pang, sebab hal itu berarti mengisyaratkan agar si macan betina dari Siau-lim-pay itu berkelahi lebih sungguh-sungguh lagi. Dan begitu Wi-lian menggeram sambil meningkatkan kecepatannya, maka lagi-lagi seorang dari Lam-gak-su-koay mengerang kesakitan karena lututnya telah tertendang patah oleh Wi-lian. “Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang, jika kalian cukup tahu diri, cepatlah menggelinding pergi dari hadapanku,” gertak Wi-lian. Saat itu pihak Hwe-liong-pang sudah berkurang dengan tiga orang yang tidak dapat melanjutkan pertempuran, dan ketiga orang itu semuanya adalah korban dari Wi-lian. Yang pertama adalah Han Toan yang saat itu belum juga siuman dari pingsannya, kemudian dua orang dari Lam-gak-su-koay yang sudah terluka dan tidak dapat berkelahi lagi. Yang masih bertempur menghadapi Wi-lian kini hanyalah Mo Hui serta dua orang sisa Lam-gak-su-koay. Dua orang sisa Lam-gak-su-koay yang masih mengeraskan kepala itupun sebenarnya sudah susut semangat tempurnya. Andaikata mereka tidak sungkan kepada Mo Hui, mereka lebih suka ngacir meninggalkan gelanggang untuk menyelamatkan diri. Tetapi Mo Hui justru bersikap kebalikannya dari anak buahnya yang sudah patah semangat itu. Mo Hui sudah biasa berlaku ganas dan sewenang-wenang kepada siapapun, dia sudah sangat senang jika melihat calon korbannya sampai terkencing-kencing ketakutan, apalagi kalau kemudian ia menyiksa korban-korbannya dengan tangannya sendiri. Dalam Hwe-liong-pang pun dia dihormati dan disegani. Tapi Mo Hui benar-benar penasaran karena sekian lama bertempur ia belum juga dapat menundukkan seorang gadis muda tak bersenjata. Bahkan sambil bertempur dengannya, gadis lawannya itu masih sempat pula melakukan “kerja sambilan” dengan mempreteli anak buahnya satu per satu. Maka dengan mengeraskan kepala terpaksa Mo Hui bertempur terus, bahkan telah cenderung menjadi gelap. Sebaliknya Wi-lian sendiri bukan seorang gadis yang bersifat terlalu sabar. Sifatnya keras, bahkan lebih keras dari Wi- hong yang laki-laki itu. Mendengar bahwa Ting Bun telah terluka, gadis itu tidak menahan diri lagi, seluruh kepandaiannya yang didapatnya di Siong-san telah dihamburkannya keluar tanpa sisa. Ujung jari-jarinya yang telah dilatih dengan direndam pasir panas itu tidak kalah berbahayanya dengan ujung senjata tajam manapun juga, sedang tendangan kakinya yang cepat dan keras itu pasti bisa merontokkan tulang-tulang korbannya apabila dikenainya... |
Selanjutnya;
|