Perserikatan Naga Api Jilid 20Karya : Stevanus S.P |
Tong Wi-lian bertiga segera mendekati Rahib Hong-koan dan Imam Kim-hian untuk memberi salam sekalian mengucap terima kasih atas pertolongan tokoh-tokoh angkatan tua itu. Kim-hian Tojin membalasnya dengan sikap ramah, namun juga menegur, “Kalian adalah orang-orang muda yang bernyali besar, tetapi kalian masih terlalu dikuasai oleh darah muda kalian yang panas. Iblis cebol dan iblis berambut merah itu bukanlah tokoh-tokoh yang bisa diajak main petak umpet.”
Wi-lian agak tersipu mendengar teguran itu, sahutnya, “Terima kasih atas nasehat Totiang, kami memang tidak menduga bahwa kedua gembong iblis itu bakal muncul pula di sini. Kami memang sering tidak tahan melihat tingkah laku orang-orang Hwe-liong-pang yang sewenang-wenang itu.” Kim-hian Tojin hanya tersenyum saja menanggapi bantahan gadis yang keras hati itu. Lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Ting Bun yang bajunya telah basah oleh keringat dan darah itu, “He, bagaimana dengan lukamu?” Sahut Ting Bun dengan hormat, “Hanya luka di kulit yang tidak membahayakan, dengan taburan obat luka di kulit yang kubawa dari rumah maka darahnya akan segera berhenti mengalir.” Dalam pada itu Rahib Hong-koan pun telah berkata pula, kali ini sikapnya nampak bersungguh-sungguh dan tidak bergurau lagi, “Diam-diam aku memang sudah mengikuti perjalanan kalian sejak dari Tay-beng. Aku sudah mendengar semuanya. Tentang A-hong yang telah menjadi Cong-piau-thau baru di Tiong-gi Piau-hang, dan juga hubungan dingin antara A-hong dengan Ting Bun. Aku ingin berkata sesuatu kepada A-hong, karena itu marilah kita susul dia ke Kiang-leng.” Usul itu disetujui semua orang, kecuali Kim-hian Tojin yang mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Tanya Rahib Hong-koan sambil tertawa, “Hidung kerbau tua, kenapa kau sangat takut berdekatan dengan aku? Takut kalau kuloloh arak dan daging?” Imam tua Bu-tong-pay itu hanya tersenyum saja menanggapi gurauan sahabatnya itu, sahutnya, “Tepat sekali, aku takut ketularan menjadi sinting jika terlalu lama berdekatan dengan seorang sinting seperti kau ini.” Begitulah merekapun saling mengucapkan salam perpisahan. Imam Kim-hian akan melanjutkan perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perguruan Bu-tong-pay di berbagai tempat, sedangkan Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio yang diiringi oleh Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping lalu menyusul Wi-hong ke kota Kiang-leng yang sudah kelihatan di depan mata. Jilid 01
DALAM pada itu, kedatangan Tong Wi-hong yang sangat mendadak dan tidak terduga-duga itu telah disambut dengan muka-muka yang tegang oleh orang-orang Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Begitu Wi-hong menambatkan kudanya dan melangkah masuk melewati pintu gerbang, maka dilihatnya di halaman itu sudah ada belasan sosok tubuh yang berbaring berjajar-jajar dengan ditutupi tikar, semuanya tanpa nyawa. Sedangkan orang-orang Piau-hang yang masih hidup, berdiri mengelilingi halaman itu dengan muka yang tegang. Pemimpin cabang Kiang-leng adalah Hua Yong-ceng yang bergelar Thi-kun-lo-sat (Raksasa Bertinju Besi), yang segera menyambut kedatangan pemimpinnya itu dengan tergopoh-gopoh. Hua Yong-ceng adalah seorang lelaki tinggi besar, tingginya saja hampir satu setengah kali dari tinggi orang biasa, sedangkan mukanya penuh berewok dan kedua kepalannya nampak menghitam keras karena setiap hari dilatih dengan memukuli karung pasir. Untuk daerah Kiang-leng dan sekitarnya, dia adalah seorang jagoan yang cukup disegani. Begitu telah berhadapan dengan Tong Wi-hong, mendadak Hua Yong-ceng menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Aku Hua Yong-ceng ternyata tidak becus mengurus Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng sehingga nama besar Piau-hang telah dirubuhkan orang dan mengalami kerugian besar. Aku mohon hukuman dari Cong-piau-thau dan setelah itu mohon meletakkan pekerjaan ini.” Cepat Wi-hong memegang tangan Hua Yong-ceng dan mencegahnya untuk berlutut, katanya, “Hua Toako, semua urusan bisa dibicarakan perlahan-lahan dan dengan kepala dingin, harap kau tidak bersikap sesungkan ini kepada aku!” Hua Yong-ceng bangkit dari berlututnya, namun mukanya tetap tertunduk dalam-dalam, menarik napas berkali-kali dan nampak begitu lesu. Sikap gagahnya sehari-hari itu tidak bersisa sedikitpun, katanya, “Kebaikan dan sikap pemaaf Cong-piau-thau justru semakin menyiksa aku dan membuatku merasa semakin berdosa terhadap kebesaran Tiong-gi Piau-hang, aku benar-benar malu, aku...” Sahut Wi-hong memotong ucapan Hua Yong-ceng, “Hua Toako, siapakah orangnya yang belum pernah mengalami kegagalan? Berhentilah menyesali diri, aku ingin mendengar selengkapnya tentang kejadian apa yang telah menimpa cabang ini.” Kedua orang itu lalu berdampingan berjalan masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu. Banyak piau-su cabang Kiang-leng yang belum pernah melihat Tong Wi-hong, pemimpin mereka yang baru itu, dan mereka menjadi heran ketika melihat Wi-hong masih begitu muda. Ada di antara mereka yang mulai timbul keraguannya, sanggupkah orang semuda Wi-hong memimpin dan mengendalikan Tiong-gi Piau-hang yang begitu besar? Sanggupkah mengemudikan Tiong-gi Piau-hang menempuh badai persilatan yang hebat? Dalam pada itu Tong Wi-hong dan Hua Yong-ceng telah duduk berhadap-hadapan di ruangan dalam. Si raksasa bertinju besi itu segera menceritakan selengkapnya tentang apa saja yang telah dialami oleh cabang Kiang-leng itu. Kisahnya, ketika Hua Yong-ceng baru saja pulang dari Tay-beng untuk menghadiri pemakaman Cian Sin-wi beberapa hari yang lalu, begitu tiba di Kiang-leng dia telah menerima laporan dari anak buahnya, bahwa beberapa kiriman yang bernilai tinggi telah hilang di tengah jalan. Yang paling gawat adalah hilangnya bingkisan dari Sun-bu (Kepala Daerah) Ho-lam kepada Kaisar Cong-ceng, dimana bingkisan yang hilang itu berwujud batu-batu permata dan barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya. Selain itu masih ada pula bingkisan-bingkisan lain yang dirampas di tengah perjalanan, yang meskipun nilainya tidak setinggi bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, namun jika pemiliknya sampai menuntut ganti rugi maka akan dapat membangkrutkan Tiong-gi Piau- hang seketika itu juga. “Apakah kalian tahu pihak manakah yang merampas kafilah-kafilah itu?” tanya Wi-hong, meskipun dalam hatinya ia sudah menemui jawabannya. Sahut Hua Yong-ceng, “Hal itulah yang rasanya membuat aku malu untuk menemui Cong-piau-thau. Aku sudah membentuk regu-regu berkuda gerak cepat yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat jarak jauh, juga burung-burung merpati untuk membawa surat, namun hasilnya nihil. Sebagian dari regu-regu penyelidik itu pulang dengan tangan hampa, sedang sebagian lagi pulang dengan membawa anggota-anggotanya yang luka parah atau tewas. Bahkan ada dua regu yang tidak ada kabar beritanya lagi, kemungkinan besar sudah tertumpas habis oleh pihak lawan.” Tong Wi-hong mengertakkan gigi dengan geramnya. Baru beberapa hari ia menjabat sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, telah muncul tantangan yang begitu berat jika dia tidak dapat mengatasi tantangan itu, terpaksa Tiong-gi Piau-hang harus memberi ganti kerugian kepada para pemilik barang yang dikawal itu, dan jumlah ganti rugi yang demikian besar mungkin bisa membuat Tiong-gi Piau-hang gulung tikar seketika. Lagipula dengan kejadian-kejadian itu Tiong-gi Piau-hang akan kehilangan kepercayaan dari langganan-langganannya, dan jika itu benar-benar terjadi, Wi-hong rasanya tidak punya muka lagi untuk hidup di dunia ini. Setelah berusaha menenangkan dirinya, Wi-hong bertanya lagi, “Dari regu-regu yang pulang dengan luka-luka itu apakah bisa didapatkan keterangan tentang pihak mana yang memusuhi kita ini?” “Hwe-liong-pang,” sahut Hua Yong-ceng sambil mengepalkan tinjunya keras-keras. “Bahkan dari pembicaraan yang berhasil didengar oleh anak buah kita, dapat diketahui bahwa yang melakukan pembegalan ini adalah dari kelompok-kelompok mereka yang disebut Hek-ki-tong, Ang-ki-tong, Jai-ki-tong dan Jing-ki-tong. Empat kelompok sekaligus merampok kita! Betapa gigihnya saudara-saudara kita dalam mempertahankan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini, toh tidak sanggup menghadapi empat kelompok Hwe-liong-pang itu sekaligus. Cukup empat orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dan wakilnya masing-masing itu saja sudah merupakan lawan berat, belum ditambah anak buah mereka yang rata- rata juga cukup tangguh itu.” Di dahi Wi-hong muncul beberapa garis kerutan yang dalam, menandakan dia sedang berpikir keras menyelesaikan persoalan itu. Menghadapi Hwe-liong-pang memang memusingkan kepala. Bukan cuma masalah karena Hwe-liong-pang punya jago-jago tangguh, tetapi juga karena orang-orang Hwe-liong-pang itu sulit dilacak jejaknya, mereka tidak mempunyai tempat tertentu. Mereka memunculkan diri begitu merasa perlu untuk muncul, kemudian menghilang begitu saja bagaikan hantu-hantu gentayangan. Sementara Wi-hong berpikir, kembali terdengar suara kesibukan dari luar gedung itu. Kiranya Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan juga Hong-koan Hwesio telah tiba pula di situ. Meskipun selama ini Wi-hong bersikap dingin kepada Ting Bun, namun ia terkejut pula ketika melihat pakaian Ting Bun penuh dengan bercak-bercak darah, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya si uwak-angkat di tempat itu. Tenaga maupun pengalaman Hong-koan Hwesio akan terasa sangat bermanfaat untuk dimintai bantuan dalam keruwetan itu. Lebih dulu Wi-hong menyambut Rahib Hong-koan dengan hormat, lalu ia bertanya kepada adiknya, “He, kalian seperti orang-orang yang habis berkelahi, apa rupanya yang telah terjadi?” Secara singkat Wi-lian menceritakan kisah pertempurannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang dari kelompok Jai-ki-tong yang berlangsung di warung arak itu. “Hah, orang-orang Hwe-liong-pang?! Ayo kita kejar mereka!” “Percuma, mereka tentu sudah pergi jauh,” sahut Wi-lian. Maka lesulah sikap Wi-hong. Demi basa-basi, Wi-hong melirik sekejap kepada Ting Bun dan bertanya, “Luka-luka Ting Toako ini apakah tidak berbahaya?” Pada kesempatan itulah Hong-koan Hwesio sengaja menunjukkan sikap baik kepada Ting Bun. Kata rahib itu sambil menepuk-nepuk bahu Ting Bun, “Untung hanya luka-luka di luar yang tidak terlalu menguatirkan. Dia terlalu berani ketika bertempur melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu, bahkan juga ketika menghadapi Ang-mo-coa-ong dan si gembong iblis dari Jing-hay." Melihat sikap Rahib Hong-koan yang begitu baik terhadap Ting Bun, mau tidak mau Wi-hong mulai berpikir dan menilai sikapnya sendiri selama ini. Wi-hong teringat bahwa yang memperingatkannya tentang kebusukan Ting Ciau-kun si paman angkat adalah Hong-koan Hwesio ini, juga rahib inilah yang menyelamatkannya ketika Wi-hong hendak dibunuh oleh Ting Ciau-kun bersama Te-yong Tojin di hutan cemara di luar kota Tay-beng. Namun kini rahib itu nampak bersikap begitu baik terhadap Ting Bun, jelaslah ini merupakan “isyarat” buat Wi-hong agar jangan menyama-ratakan Ting Bun dengan ayahnya. Ting Ciau-kun adalah seorang yang berwatak culas dan licik, tidak segan-segan berbuat apapun untuk keuntungan sendiri, sebaliknya Ting Bun adalah seorang pemuda yang bersifat lugu dan bahkan punya watak ksatria. Lalu Wi-hong pun teringat akan suatu kejadian dua tahun lalu, ketika Wi-hong dan adiknya pertama kali menginjak Pak-khia, di sebuah rumah makan. Ketika itu Ting Bun berpihak justru kepada orang lemah yang ditindas oleh ayahnya sendiri, sikap itu tidak nampak dibuat-buat. Setelah berpikir demikian, akhirnya Wi-hong merasa bahwa sikapnya selama ini kepada Ting Bun memang agak kelewat batas, betapapun Ting Bun tidak bisa disamakan dengan Ting Ciau-kun. Bahkan kemungkinan besar anak muda ini tidak mengetahui akan perbuatan-perbuatan busuk dari ayahnya sendiri. Akhirnya sikap Wi-hong berubah. Secara terbuka, dan dengan disaksikan oleh beberapa orang, ia meminta maaf kepada Ting Bun dengan tulus, “Selama ini aku bersikap dingin dan beberapa kali menyakitkan hati Toako, harap Toako sudi memaafkan aku. Mungkin karena aku yang terlalu dipengaruhi pengalaman pahit masa lalu, sehingga mataku tertutup dan tidak melihat ketulusan Toako.” Sikap Wi-hong itu sudah cukup melegakan siapapun. Sahut Ting Bun dengan agak terharu, “Asal kau dapat memahami isi hatiku, dibacok beberapa kalipun aku rela. Akupun dapat memaklumi sikapmu selama ini, karena pengalaman pahit masa lalu agaknya memang membekas terlalu dalam dan sulit dilupakan.” Ternyata kembali terjadi salah pengertian antara Wi-hong dan Ting Bun dalam mengartikan kata-kata “pengalaman pahit masa lalu” itu. Ting Bun mengira bahwa pengalaman pahit masa lalu itu adalah peristiwa terbunuhnya ayah Wi-hong oleh orang-orang berseragam kaum prajurit Kerajaan, sehingga Wi-hong jadi berkesan buruk kepada kaum prajurit. Sedangkan Wi-hong mengartikan pengalaman pahit masa lalunya itu sebagai peristiwa kelicikan Ting Ciau-kun ketika hendak membunuhnya di luar kota Tay-beng dulu. Namun kesalah-pahaman itu tidak jadi soal lagi, dan sama sekali tidak mengurangi rasa hangatnya persahabatan yang mulai terasa di hati anak-anak muda itu. Keduanya adalah sama-sama anak muda yang bersifat terbuka dan menyanjung tinggi sifat-sifat jantan, karena itu segala perselisihan masa lalu dengan mudah telah mereka singkirkan jauh-jauh. Tentu saja yang paling berbahagia melihat rukunnya kembali kedua anak muda ini adalah Wi-lian, ini terlihat dari sinar matanya yang berseri-seri. Tetapi ketika Rahib Hong-koan berdehem sambil tersenyum ke arahnya, maka gadis itupun menundukkan kepalanya dengan tersipu-sipu. Kini Tong Wi-hong, Hua Yong-ceng, Hong-koan Hwesio, Wi- lian, Ting Bun dan Cian Ping telah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja hidangan. Sekali lagi Hua Yong-ceng harus mengulangi ceritanya tadi, agar orang-orang yang baru datang itu dapat mendengarnya pula. Semua orang mendengarkan pengisahan Hua Yong-ceng itu dengan penuh perhatian. Dan setelah cerita itu selesai, semua orang berpendapat bahwa masalahnya cukup rumit. Mereka sudah tahu jelas bahwa orang Hwe-liong-pang pelaku semua kekacauan itu, namun tidak seorang pun tahu kemana harus mencari orang-orang itu? “Betapapun juga kita tidak boleh menyerah diperlakukan semena-mena seperti ini,” akhirnya Tong Wi-hong berseru sambil menggebrak meja. “Jika masalah ini tidak bisa diatasi, maka untuk selanjutnya Tiong-gi Piau-hang akan runtuh namanya dan tidak lagi mendapat kepercayaan orang, dan itu berarti ribuan anak buah kita akan kehilangan nafkahnya!” “Kita tunda perjalanan kita berziarah ke An-yang-shia, sampai persoalan di tempat ini selesai lebih dulu,” kata Wi-hong. Semuanya ternyata sependapat dan mendukung usul itu. Setelah berunding sampai hampir sore, akhirnya ditemukan akal bahwa orang-orang Hwe-liong-pang jangan dicari, melainkan dipancing supaya keluar sendiri dari sarangnya. Untuk itu dipakailah tipu muslihat pura-pura hendak mengirimkan suatu barang kawalan berharga ke tempat yang jauh. Wi-hong, Cian Ping dan Wi-lian akan menampakkan diri secara terang-terangan dalam iring-iringan itu, agar menarik perhatian lawan. Ting Bun dan beberapa jagoan dalam Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng akan menyamar sebagai piau-su biasa dan bercampur dengan piau-su piau-su biasa lainnya, sedangkan Hong-koan Hwesio akan ikut serta pula, namun dengan bersembunyi di dalam kereta barang. Sedangkan Hua Yong-ceng tetap bertugas menjaga markas. Persiapan untuk itu segera dijalankan. Untuk meyakinkan pihak lawan bahwa seolah-olah kiriman besar itu bukan suatu tipuan, maka Hua Yong-ceng mengatur segala-galanya dengan cermat. Beberapa orangnya menyamar sebagai hartawan yang mengunjungi gedung Tiong-gi Piau-hang secara menyolok, sementara itu beberapa peti “harta berharga” nampak diangkut masuk ke dalam gedung dengan pengawalan ketat. Hua Yong-ceng yakin bahwa semua kegiatan gedung itu tentu diketahui oleh pihak Hwe-liong-pang, sebab mereka agaknya punya mata-mata yang tersebar di semua tempat. Dugaan Hua Yong-ceng memang tidak meleset. Kesibukan yang luar biasa di Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu memang tidak lepas dari pengamatan seorang “tukang sayur” yang setiap hari hilir mudik di jalan di depan gedung itu. Lelaki itu memang bertampang seperti orang dusun tulen, lengkap dengan tampangnya yang kelihatan bodoh dan lugu. Namun, tanpa dilihat siapapun, kadang-kadang nampak sepasang matanya di bawah tudung bambu itu berkilat-kilat dengan tajamnya, menandakan bahwa bobot orang ini tidak seremeh tampangnya. Pagi itu kembali si penjual sayur lewat di depan gedung, dan kebetulan dilihatnya ada belasan orang kuli sedang mengusung kotak-kotak kayu besar ke dalam gedung. Dari halaman dalam dan samping, terdengar para piau-su sedang membentak-bentak dalam latihan silatnya. Diam-diam si tukang sayur ini tersenyum mengejek dan berdesis seorang diri, “Rupanya si kerbau dogol she Hua itu belum kapok juga meskipun telah menelan beberapa pengalaman pahit.” Lalu dengan langkah santai dan wajar, si penjual sayur berbelok masuk ke sebuah lorong sempit. Di depan sebuah toko obat yang terletak di lorong itu, si tukang sayur berhenti dan meletakkan keranjang sayurnya. Lalu dengan langkah terbungkuk-bungkuk persis seperti orang dusun tulen, ia melangkah masuk ke dalam toko obat itu. Si pemilik toko obat itu agaknya sudah mengenalnya. Begitu nampak kedatangan si tukang sayur, ia segera menyambutnya dengan ucapan, “Bahan-bahan obat apa lagi yang kau bawa? Aku percaya tentunya bahan-bahan yang bermutu baik, lekaslah kau bawa masuk ke dalam.” Tidak ada yang mencurigai tanya jawab itu terlalu wajar dan terlalu umum, bahkan para pegawai toko obat itupun tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Suatu hal yang biasa kalau majikan mereka membeli bahan-bahan obat-obatan berupa tumbuh-tumbuhan dari para pedagang di desa. Si penjual sayur mengucap terima kasih, dan dengan terbungkuk-bungkuk memikul keranjang sayurnya, ia masuk ke dalam bersama si majikan toko obat itu. Mereka langsung masuk ke ruang tengah, sebuah ruangan tertutup dan merupakan ruangan pribadi sang majikan. Begitu pintu tertutup, si majikan rumah obat itu langsung bertanya, “Bagaimana kabar yang tersiar belakangan ini? Berita tentang pengiriman besar-besaran itu apakah bisa kita percayai?” Kini si tukang sayur itu tidak terbungkuk-bungkuk lagi, namun bersikap tegap dan tangkas. Sambil memberi hormat kepada majikan rumah obat itu, ia menjawab, “Sudah kuselidiki dengan cermat dan ternyata memang betul akan ada pengiriman besar-besaran. Agaknya para piau-su tolol itu merasa besar hati sebab pemimpin mereka dari Tay-beng ada di tengah mereka, yaitu si bocah ingusan Tong Wi-hong itu. Kuduga barang kawalan itupun cukup mahal, sebab para piau-su sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dirinya, bahkan latihan silatpun ditingkatkan. Bahkan kudengar pengawalannya bukan cuma ditangani cabang Kiang-leng, namun juga dibantu oleh jago-jago tangguh Tiong-gi Piau-hang dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek.” Si majikan rumah obat menggebrak meja dan berseru gembira, “Wah, kali ini benar-benar kelas kakap kalau begitu! Kita tidak boleh melewatinya begitu saja! Jika kita berhasil, aku yakin ini akan merupakan pukulan terakhir yang mematikan buat Tiong-gi Piau-hang!” Si tukang sayur itupun matanya nampak bersinar-sinar dengan liciknya, sahutnya, “Betul sekali ucapan Tong-cu itu! Ini tidak boleh dilewatkan. Seluruh rekan-rekan dari Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) sudah gatal tangan semuanya dan menunggu perintah Tong-cu!” Si majikan rumah obat itu tampangnya sedikitpun tidak menunjukkan tampang dunia persilatan, orang tentu tidak menduga bahwa dia ternyata adalah salah seorang Tong-cu (Pemimpin Kelompok) di dalam Hwe-liong-pang. Dialah Tong-cu dari Kelompok Bendera Hitam, salah satu kelompok tangguh di kalangan Hwe-liong-pang. Majikan rumah obat itu nampak berpikir keras, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Kita memang harus turun tangan, tapi sama sekali jangan gegabah. Menilik kekuatan Tiong-gi Piau-hang yang dikerahkan untuk mengawal barang itu, maka harus kita akui bahwa kekuatan kelompok kita sendiri tidak akan mencukupi. Seperti pada saat-saat yang lalu, kita harus bekerja-sama dengan Jing-ki-tong, Jai-ki-tong dan Ang-ki-tong. Apakah mereka masih bisa dihubungi?” Sahut si “tukang sayur” itu, “Jai-ki-tong baru saja mengalami pukulan berat dari gadis Siau-lim-pay itu. Mo Tong-cu terluka agak parah dan kehilangan beberapa anak buah andalannya, agaknya kurang bisa diandalkan untuk kerja sama. Sedangkan Ang-ki-tong sudah berada dalam perjalanan ke Lam-cang untuk memenuhi panggilan Pang-cu (Ketua), agaknya tidak sempat untuk disusul lagi.” “Kenapa begitu terburu-buru menuju Lam-cang? Bukankah pertemuan itu masih belasan hari lagi, dan masih ada kesempatan untuk mencari rejeki tambahan?” gerutu majikan rumah obat itu. “Jika hanya gabungan antara kita dengan Jing-ki-tong saja, kukira kekuatan kita tidak meyakinkan untuk menandingi musuh.” Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik jendela yang tertutup itu. Suara geramannya begitu dingin dan jelas mengandung perasaan marah yang terpendam. Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu serentak bangkit dengan terkejutnya. Siapakah orangnya yang telah mampu menyelundup ke bagian dalam rumah obat itu, dan bahkan dapat berdiri di muka jendela tanpa diketahui oleh orang- orang yang berada di dalam? Belum lagi kejutan pertama hilang kesannya, maka kejutan yang kedua telah terjadi pula. Tiba-tiba jendela kayu yang tertutup itu telah rontok begitu saja, tanpa suara, berubah menjadi serpihan-serpihan kayu kecil, ibarat segumpal tanah kering yang dicelupkan ke dalam air saja. Dan kini nampaklah siapa orangnya yang telah berdehem tadi.... |
Selanjutnya;
|