Perserikatan Naga Api Jilid 20
DALAM pada itu Cian Ping telah berhasil menerobos pintu keluar. Cian Ping sadar bahwa keadaan Wi-lian tidak perlu dikuatirkan meskipun bertempur seorang diri, sebab Cian Ping sudah tahu betapa tingginya ilmu calon iparnya itu. Yang membutuhkan bantuan dengan segera justru adalah Ting Bun yang mulai diganggu oleh luka-lukanya.
Dengan terjunnya Cian Ping untuk membantu Ting Bun, maka Song Kim segera mulai merasakan desakan hebat kedua lawannya itu. Ting Bun saja sudah begitu “keras” dan sukar ditundukkan, apalagi kini ditambah dengan Cian Ping yang berkelahi dengan ganas karena ingin membalaskan kematian ayahnya.
Di dalam warung arak, Mo Hui sudah hampir kehilangan seluruh pikiran jernihnya. Dia yang biasa disanjung dan ditakuti, benar-benar tidak siap untuk menerima kekalahan. Dia tidak penasaran andaikata harus kalah di tangan tokoh-tokoh ternama yang duduk dalam deretan “sepuluh tokoh puncak”.
Tetapi ke manakah mukanya akan disembunyikan apabila ia sampai kalah dari seorang gadis remaja yang tidak bersenjata? Mimpipun dia tidak pernah membayangkan hal itu, dan hal itu pulalah yang membuat Mo Hui bertempur dengan kalap bagaikan kerasukan setan.
Sayang seribu sayang, biarpun dia bertempur dengan gila-gilaan, tapi kali ini si Hong-long-cu benar-benar telah membentur tembok baja. Tong Wi-lian tidak tergeser sejengkalpun, meskipun Mo Hui sudah dibantu oleh dua orang sisa Lam-gak-su-koay. Kedua orang tokoh Lam-gak ini sudah tidak bersemangat lagi dalam bertempur, mereka senantiasa memasang kupingnya kalau-kalau pemimpin mereka menyuruh untuk mundur.
Pertempuran baik yang terjadi di dalam warung arak maupun di halaman luar warung arak itu ternyata dengan mudah telah memancing datangnya banyak penonton, karena tempat itu cukup ramai dilewati orang yang berlalu-lalang. Di halaman luar warung arak itu kini sudah terbentuk suatu lingkaran manusia yang berjubel seperti menonton adu jago.
Di antara para penonton yang berdesakan itu ada seorang rahib yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul dan usianya kurang lebih lima puluh tahun. Ia memakai jubah pendeta berwarna abu-abu yang sudah lusuh dan hampir tak diketahui lagi warna aslinya, sedang tangannya menjinjing sebatang tongkat hitam sepanjang satu depa.
Berkali-kali ia tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala gundulnya, setiap kali ia melihat Cian Ping dan Ting Bun berhasil mendesak Song Kim. Dan ia lebih gembira lagi ketika melihat bagaimana perkasanya Wi-lian bertempur melawan Mo Hui dan dua orang sisa Lam-gak-su-koay.
“Anak itu mengalami kemajuan pesat,” desisnya seorang diri.
Tiba-tiba terlihat dinding warung arak itu jebol karena diterjang suatu benda dari dalam warung, dan ternyata setelah diamat-amati “benda” yang menjebolkan dinding warung itu bukan lain adalah satu orang lagi dari Lam-gak- su-koay yang “terbang” karena tendangan Wi-lian. Dengan demikian ke “empat siluman Lam-gak” itu tinggal satu orang saja yang masih mendampingi Mo Hui, sedangkan yang tiga orang sudah bergelimpangan tak berdaya.
Dalam pada itu Wi-lian telah merasa bosan bertempur dalam warung arak itu, lagipula ia merasa kasihan kepada pemilik warung yang barang-barang modalnya telah hancur semua itu. Tanpa dapat dirintangi oleh lawan-lawannya lagi ia segera melompat keluar pintu, sedangkan Mo Hui dan seorang sisa satu itu pun memburunya keluar.
Sekarang pertempuran di halaman luar warung arak itu bertambah ramai karena bertambah orangnya, sedang penonton pun semakin berjubel. Namun nampaknya tidak ada seorang pun di antara penonton yang mau melibatkan diri, sebab para penonton mengetahui bahwa urusan itu ada sangkut pautnya dengan Hwe-liong-pang, perkumpulan yang ditakuti itu.
Hanya rahib berjubah lusuh itu sajalah yang secara terang-terangan memihak Wi-lian dan kawan-kawannya, dan tidak segan-segan memperdengarkan pujiannya setiap kali Wi-lian menampakkan jurus yang bagus.
Jalannya pertempuran itu kini benar-benar berat sebelah. Song Kim sudah terang terdesak terus oleh Cian Ping dan Ting Bun. Muka Song Kim sudah merah dan licin dengan keringat. Di sebelah lain, meskipun Wi-lian berkelahi dengan tangan kosong dan dikeroyok oleh dua orang lelaki bersenjata, tetapi justru Wi-lian lah yang mendesak lawannya dengan bengis.
Dalam hati Wi-lian sudah bertekad bulat untuk menghajar habis-habisan orang Hwe-liong-pang ini di hadapan umum, agar pamor mereka turun dan tidak berani bertindak sewenang-wenang lagi di dunia persilatan. Tetapi Wi-lian juga sama sekali tidak berniat membunuh seorang pun, kecuali jika keadaan sangat memaksa.
Agaknya ajaran cinta kasih agama Buddha yang ditanamkan oleh Rahib Hong-tay ke hati muridnya itu telah begitu meresap dalam hati sang murid, sehingga ia senantiasa berusaha menaklukkan lawan tanpa membunuhnya. Tetapi menghadapi Mo Hui yang bertarung seperti serigala gila itu benar-benar sangat menyulitkan Wi-lian untuk menaklukkannya tanpa membunuh.
Mo Hui yang sangat marah dan malu itu agaknya benar-benar sudah bosan hidup, dia sudah tidak ingat lagi pertahanan diri sendiri, yang ada dalam pikirannya hanyalah membunuh dan membunuh. Meskipun berkali-kali ia roboh oleh tendangan atau pukulan Wi-lian, namun setiap kali pula ia bangkit kembali dan bertarung secara gila-gilaan.
Sebaliknya orang terakhir dari Lam-gak-su-koay itu agaknya akan panjang umur, karena dia bertempur dengan cara yang paling aman buat dirinya. Dia hanya berlari-lari berputar- putar, dan ia menyerang begitu ada kesempatan, habis itu ia melompat mundur dan berputar-putar lagi menantikan kesempatan selanjutnya.
Cemoohan dan tertawa mengejek dari para penonton yang mengerumuni tempat itu tidak digubrisnya sama sekali, yang penting ia menjaga jangan sampai mengalami nasib seperti tiga orang saudaranya. Diam-diam Wi-lian kasihan juga melihat orang ini, yang nampaknya sudah kehilangan semangat tempurnya.
Tengah pertempuran berlangsung dengan ramai, dimeriahkan pula oleh “lawakan” orang Lam-gak-su-koay itu, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan merah berkelebat cepat melewati kepala para penonton.
Tahu-tahu dalam lingkaran pertempuran itu kini telah muncul seorang lelaki bertubuh tinggi kurus, berwajah runcing dan licik seperti ular, rambutnya kemerah-merahan. Jubahnya berwarna merah darah dan tangannya menjinjing sebatang tongkat besi panjang yang ujungnya dibentuk seperti kepala ular.
Banyak di antara penonton itu yang merupakan perantau dunia persilatan yang cukup berpengalaman. Maka munculnya si jubah merah itu langsung disambut dengan seruan terkejut dari beberapa orang, “Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah)!”
Pendatang baru ini memang bukan lain adalah Tang Kiau-po, tokoh golongan hitam yang terkenal dari Thay-san itu. Belum hilang debaran kaget para penonton, kembali sesosok bayangan berwarna hitam telah melayang masuk ke tengah gelanggang bagaikan seekor burung gagak besar saja. Kali ini yang muncul adalah seorang manusia pendek yang tingginya hanya separuh dari manusia biasa.
Namun ukuran besar kepalanya justru dua kali lipat dari ukuran orang biasa. Si pendek ini memakai pakaian serba hitam, di punggungnya tersandang sebentuk senjata yang mirip sabit dan berwarna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam dengan racun yang keras.
Kembali terdengar seruan kaget dari para penonton, terutama yang pernah menjelajah wilayah Barat, “Itu dia Sebun Say!”
Dengan demikian kini di tengah gelanggang pertempuran itu telah muncul dua orang tokoh yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, yaitu kedudukan sebagai Su-cia (duta) yang kedudukannya lebih tinggi dari Tong-cu (Kepala Kelompok). Bukan hanya itu yang menggemparkan penonton, namun juga kenyataan bahwa kedua tokoh yang baru muncul itu namanya sama-sama tercantum dalam deretan nama “Sepuluh Tokoh Sakti” yang diakui di jaman itu. Sebun Say menduduki urutan ke delapan dan Tang Kiau-po pada urutan ke sepuluh.
Melihat bahwa Song Kim telah terdesak hebat, Tang Kiau-po langsung saja turun tangan dengan mengayunkan tongkat kepala ularnya untuk menangkis golok Ting Bun dan sepasang kaitan Cian Ping. Ting Bun dan Cian Ping tidak sanggup menahan benturan dengan tokoh dari Thay-san itu, maka dengan suara berdentang nyaring terpentallah golok dan sepasang kaitan itu ke udara.
Sebun Say juga tidak mau kalah gaya dari rekannya itu. Ia menyela begitu saja ke arah Mo Hui yang tengah didesak Wi-lian itu, sambil mementangkan kedua lengannya. Perhitungan Sebun Say, kedua orang yang tengah bertempur itu tentu akan terpelanting dan orang yang melihatpun akan mengagumi kekuatannya.
Tetapi perhitungan Sebun Say itu ternyata gagal sebagian. Mo Hui memang terpental sampai bergulingan oleh dorongannya itu, tetapi Wi-lian hanya terhuyung dua langkah dan setelah itu tegak kembali dengan perkasanya.
Bahkan gadis ini sempat mengejek, “Oh, kiranya si cebol dari Jing-hay ini. Kiranya setelah malam itu kau dihajar oleh paman Liu kau belum juga jera daan masih punya nyali berkeliaran di Tiong-goan ini?”
Ucapan ini tepat mengenai kelemahan Sebun Say, dan membuat muka si pendek ini seketika menjadi merah seperti kepiting direbus. Kekalahannya di tangan Liu Tay-liong pada pertempuran di luar kota Kay-hong itu cukup membuat Sebun Say merasa malu dan berharap sedikit mungkin orang yang mengetahuinya, namun kini Wi-lian telah “mengumumkan”-nya di depan orang banyak, tentu saja kemarahan Sebun Say meluap seketika. Bentaknya bengis, “Gadis liar, jaga mulutmu!”
Tetapi Sebun Say belum juga turun tangan. Agaknya masih ada juga harga dirinya sebagai tokoh ternama untuk tidak berkelahi melawan seorang gadis muda di depan umum. Dalam pada itu Tang Kiau-po telah memandang Mo Hui dan kawan-kawannya sambil mendengus dingin, “Kawanan kantong nasi yang tak berguna minggirlah kalian!”
Dengan muka tertunduk tersipu-sipu Mo Hui dan kawan-kawannya segera menepi dari tengah gelanggang itu. Sisa Lam-gak-su-koay yang tinggal seorang itu lalu berusaha mengumpulkan teman-temannya yang terluka dan mencoba menolongnya. Ternyata Han Toan menderita luka dalam yang cukup parah, sedang salah seorang anggota Lam-gak-su-koay yang lain malahan tidak tertolong lagi jiwanya, yaitu orang yang ditendang Wi-lian sampai menjebol dinding tadi.
Agaknya tendangan Wi-lian itu terlampau keras, sehingga mengakibatkan beberapa helai tulang rusuknya patah kedalam dan melukai jantung. Dengan demikian mulai saat itu “empat siluman Lam-gak” itu berkurang hanya tinggal “tiga siluman” saja, itupun dengan pamor yang sudah tercuci habis-habisan.
Di tengah-tengah gelanggang, Wi-lian berdiri dengan gagahnya didampingi oleh Ting Bun dan Cian Ping yang sudah tidak bersenjata lagi. Meskipun yang mereka hadapi adalah dua orang gembong golongan hitam yang tak terkira ganasnya, namun ketiga orang muda itu tetap tenang dengan tekad bulat yang terbayang di wajah mereka. Banyak di antara para penonton yang mengagumi keberanian orang-orang muda itu, tetapi tidak seorang pun berani membantu mereka.
Bahkan tidak sedikit pula para penonton yang diam-diam meninggalkan tempat itu, mereka adalah orang-orang yang masih “punya urusan” dengan kedua gembong Hwe-liong-pang itu, dan mereka merasa lebih aman pergi diam-diam sebelum dilihat oleh kedua gembong itu.
Sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say nampak begitu sombong sekali, mereka menganggap bahwa nyawa Wi-lian dan kawan-kawannya seakan sudah dalam genggaman mereka. Namun karena ditonton oleh sekian puluh pasang mata, maka kedua tokoh golongan hitam ini ingin menunjukkan “keluhuran budi” mereka. Sambil tertawa-tawa dingin Ang- mo-coa-ong Tang Kiau-po berkata,
“Kalian sekarang adalah ibarat ikan dalam jaring, semua jalan keluar sudah tertutup bagi kalian. Tetapi kami bersedia mengampuni kalian bertiga, asalkan kalian bersedia minta maaf sambil berlutut dan berjanji tidak akan mengusik semua urusan Hwe-liong-pang kami lagi. Kukira syarat ini cukup ringan bukan?”
Tanpa gentar sedikitpun Cian Ping memperdengarkan tertawa mengejeknya, “Hemm, jadi kalian sebagai kaum tua yang seharusnya dihormati ini ternyata tanpa malu-malu telah menjungkirbalikkan kenyataan? Tanya dulu kepada anak buahmu siapakah yang mulai mengusik lebih dulu? Hwe-liong-pang atau Tiong-gi Piau-hang? Bahkan ayahkupun telah gugur oleh pengeroyokan licik Hwe-liong-pang kalian!”
Ting Bun juga ikut berkata lantang, “berbicara soal minta maaf, kalianlah yang seharusnya minta maaf kepada kami. Entah berapa banyak kaum persilatan yang kalian rugikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang di tangan kalian!”
Diam-diam banyak penonton yang mengangguk-angguk menyetujui ucapan Ting Bun itu, namun tak seorang pun cukup berani untuk menyatakan dukungannya secara terang-terangan. Sedangkan Sebun Say telah membentak dengan berangnya,
“Bocah bermulut lancang, kau rupanya sudah bosan hidup?”
Ting Bun yang berwatak keras itu ternyata tidak kalah beringasnya dalam menjawab, “Setan cebol, kau ingin menggunakan kekuatanmu untuk menindas yang lemah dan bertindak sewenang-wenang? Kau boleh malang-melintang dan ditakuti orang di wilayah Jiang-hay dan Kam-siok, tetapi ketahuilah bahwa aku tidak gentar seujung rambutpun kepadamu!”
Di hadapan orang sekian banyak Sebun Say telah dicaci-maki dan ditantang terang-terangan seperti itu, tentu saja darahnya langsung naik ke kepala. Selangkah demi selangkah ia melangkah ke arah Ting Bun dengan tatapan mata yang seram, “Bagus, kau sendiri yang menginginkan kematianmu!”
Ting Bun juga sudah siap untuk bertempur sampai kekuatan terakhir, mati hidupnya sudah tidak dipikirkan lagi. Namun ternyata Wi-lian dan Cian Ping juga cukup setia kawan dan tidak mau membiarkan kawan seperjalanannya dibunuh begitu saja. Serentak kedua gadis itu pun mempersiapkan diri untuk menggabungkan tenaga dengan Ting Bun.
Melihat itu Sebun Say menjadi tertegun dan langkahnya pun menjadi ragu-ragu. Ting Bun dan Cian Ping berkepandaian sedang-sedang saja dan tidak perlu terlalu diperhitungkan, tetapi Wi-lian lain lagi bobotnya. Macan betina dari Siau-lim-pay itu pernah berkelahi dengan Sebun Say di luar kota Kay-hong, dan saat itu Sebun Say merasakan betapa tangguh dan gigihnya gadis itu.
Kini juga ketiga orang muda itu hendak maju bersama-sama, maka Sebun Say harus membuat perhitungan baru lagi. Bagi Wi-lian bertiga tidak perlu malu untuk mengeroyok, sebab mereka berhadapan dengan angkatan tua yang terkenal. Sebaliknya jika Sebun Say sampai tidak mampu menundukkan ketiga lawannya itu, akan runtuhlah pamornya selama ini.
Dalam keadaan serba salah itu mau tidak mau Sebun Say harus berusaha untuk melibatkan rekannya, Ang-mo-coa-ong sambil berpura-pura tertawa mengejek Sebun Say berkata kepada Tang Kiau-po, “Saudara Tang, lihatlah tikus-tikus kecil ini hanya dengan sedikit kepandaian saja hendak unjuk gigi di depan kita. Hayolah kita lemaskan otot-otot kita sebentar.”
Tang Kiau-po dapat memahami maksud hati rekannya itu. Maka diapun menancapkan tongkatnya ke tanah sambil menyahut, “Dasar monyet-monyet ini memang tidak tahu diri, membuat tanganku jadi ikut gatal pula. Saudara Sebun, hayo kita mulai.”
Demikianlah dua orang tokoh terkenal yang sama-sama duduk dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi telah bersiap-siap untuk berkelahi melawan tiga orang muda belia yang pantas menjadi anak mereka. Sebenarnya, jauh di dasar hati kedua tokoh itu ada rasa iri melihat bakat ketiga orang muda itu, terutama Wi-lian.
Tang Kiau-po dan Sebun Say menganggap bahwa jika ketiga orang muda itu dibiarkan hidup terus, mereka akan menjadi duri dalam daging di kemudian hari. Apalagi Sebun Say sudah berkali-kali mendapat malu dan ia ingin menebus kekalahannya.
Namun sebelum kedua orang tokoh tua itu turun tangan untuk melaksanakan niat jahatnya, tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunan penonton terdengarlah suatu suara bernada mengejek, “Dua tua bangka yang tidak tahu malu! Dua tua bangka hendak menganiaya anak-anak muda!”
Baik Ang-mo-coa-ong maupun Sebun Say serempak berubah mukanya mendengar cacian itu. mata Ang-mo-coa-ong berkilat-kilat seperti mata seekor ular yang marah, dan memandang ke arah kerumunan penonton dari mana suara ejekan tadi berasal. Bentaknya, “Siapa manusia yang sudah bosan hidup ini?”
Ternyata cukup hanya dengan pandangan matanya yang kejam itu Ang-mo-coa-ong sudah berhasil “menyibakkan” kerumunan para penonton yang dipandangnya. Banyak yang menyingkir dari arah pandangan itu karena ngeri melihat sepasang mata yang dahsyat itu. Dan begitu para penonton menyingkir, maka terlihatlah orang yang telah berbicara tadi.
Orang itu ternyata seorang bertubuh tinggi tegap, berkepala gundul, berjubah pendeta Buddha berwarna abu-abu lusuh dan tangannya menjinjing sebatang tongkat bambu hitam yang mengkilap seperti besi dan panjangnya lebih kurang satu depa. Dengan tegarnya ia berdiri menantang pandangan mata Ang-mo-coa-ong tanpa perasaan gentar sedikitpun, bentuk tubuhnya kokoh bagaikan batu karang yang tak goyah oleh hantaman ombak samudera.
Terkejutlah Tang Kiau-po dan Sebun Say ketika melihat kemunculan rahib dekil ini. Kedua tokoh golongan hitam ini serempak menyebut sebuah nama, “Siau-lim-hong-ceng (rahib gila dari Siau-lim), kiranya kau!”
Sedangkan Wi-lian dan Ting Bun juga serempak memanggil dengan panggilan yang lebih akrab, “Pek-hu (Uwak)!”
Seperti telah diketahui, rahib ini saling mengangkat saudara dengan Tong Tian (ayah Wi-lian) dan Ting Ciau-kun (ayah Ting Bun), sehingga sepantasnyalah kalau Wi-lian dan Ting Bun memanggilnya “uwak”. Meskipun Rahib Hong-koan ini sangat membenci sifat-sifat licik Ting Ciau-kun, namun terhadap Ting Bun rahib ini justru punya penilaian lain, sebab ia tahu bahwa Ting Bun tidak sama dengan ayahnya. Bahkan Hong-koan Hwesio berpendapat bahwa Ting Bun masih tetap punya sifat-sifat ksatria dan kejujuran yang tidak dibuat-buat.
“Pang kami sendiri yang terhambat karena ulah anak-anak muda ini dengan hak apa kau ikut campur?”
Hong-koan Hwesio tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha, pintar sekali kau memutar balikkan kenyataan. Terbunuhnya Cian Sin-wi di Tay-beng itu apakah bukan karena pokal kalian yang menyuruh anak buah kalian untuk melakukannya? Kemusnahan perguruan Sin-hou-bun sampai memakan korban ratusan jiwa itu apakah juga bukan pokal kalian? Hemm, urusan Hwe-liong-pang kalian adalah juga urusan setiap anggota dunia persilatan yang cinta damai, itulah hakku untuk ikut campur!”
“Pendeta gila!” gertak Ang-mo-coa-ong kehabisan sabar. “Kuperingatkan kau agar menjaga keselamatanmu sendiri, kalau tidak kau bakal menyesal seumur hidup!”
Dengan langkah santai, Hong-koan Hwesio melangkah ke tengah arena sambil memutar-mutar tongkat bambu hitamnya. Ditudingnya Sebun Say dan Tang Kiau-po sambil memaki, “Percuma saja kalian dihormati oleh dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh sakti angkatan tua. Tindakan kalian yang sangat tidak tahu malu ini benar-benar mirip dengan tindakan para buaya darat kecil-kecilan!”
Bila disuruh bertempur satu lawan satu, baik Tang Kiau-po maupun Sebun Say akan berpikir beberapa kali sebelum melawan rahib aneh itu. Tetapi kini kedua tokoh Hwe-liong-pang ini tidak merasa gentar lagi sebab mereka berdua orang, sedangkan Hong-koan Hwesio hanya seorang diri. Bahkan Sebun Say menunjukkan kegeramannya dengan membalas memaki, “Kau si keledai gundul inilah yang tidak tahu malu! Kami sedang membereskan urusan dalam!"
Sahut Siau-lim-hong-ceng dengan tidak kalah garangnya, “Peringatan ini kubalikkan untuk kalian saja. Kuanjurkan kalian cepat-cepat menyingkir pergi dari sini bersama tikus-tikus kecil pengikut kalian itu. kalau tidak, jangan salahkan kalau tongkatku tak kenal ampun!”
“Kau sendirian dan kami berdua, kenapa berani bicara begitu takabur?” kata Sebun Say.
“Siapa bilang aku seorang diri?” kata Hong-koan Hwesio dengan nada menggoda.
Sebun Say terkejut mendengar jawaban rahib sinting itu. Ia lalu menoleh ke arah kerumunan penonton dan berusaha menutupi sikap gelisahnya yang mulai timbul, timbul dugaan Sebun Say bahwa rahib sinting itu datang bersama seorang kawannya. Jika benar, dan kawannya itu juga seorang rahib Siau-lim-pay yang bernama depan “hong” maka persoalannya bukan persoalan ringan lagi.
Dunia persilatan tahu bahwa rata-rata rahib-rahib angkatan “hong” adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak dapat dibuat gegabah. Meskipun di antara rahib-rahib tua Siau-lim-pay itu hanya dua orang yang tercantum namanya dalam “Sepuluh Tokoh” namun tidak berarti lainnya boleh diabaikan saja, mereka tidak tercantum bukan karena kurang lihai melainkan karena jarang muncul di depan umum. Siapapun tahu bahwa Siau-lim-pay dapat diumpamakan “kubangan naga dan gua harimau.”
Wi-lian geli ketika melihat Sebun Say menengok ke kanan dan kiri seperti orang ketakutan. Ejek gadis itu, “Orang semacam kau hanya berani bersikap garang kepada orang yang lebih lemah, tetapi begitu mendengar datangnya orang kuat lainnya, kau mulai kebingungan seperti cacing kepanasan.”
Sebenarnya Sebun Say sudah sedapat mungkin menyembunyikan kegelisahannya, tak terduga ucapan Wi-lian itu begitu tepat membongkar kedoknya. Beberapa orang penonton hampir saja tertawa, namun tidak seorang pun berani tertawa terang-terangan di hadapan iblis dari Jing-hay yang ganas itu.
Sebun Say menjadi malu sekali, geramnya, “Keledai gundul gila, kau sendiri rupanya yang ketakutan sehingga menyebut-nyebut seorang kawan untuk menggertak kami. Hemm, andaikata orang itu ada, kau kira kami takut? Hayo majulah untuk bertempur tiga ribu jurus denganku.”
Rahib Hong-koan memicingkan sebelah matanya dengan sikap jenaka, katanya, “Aku tidak minta kau takut atau tidak. Tetapi kau boleh lihat siapa yang datang ini.”
Lalu Rahib ini berseru ke arah kerumunan penonton, “He, hidung kerbau (panggilan ejekan untuk kaum Tojin), apakah kau masih akan enak-enak saja mendekam di tempat sembunyimu dan membiarkan aku dikeroyok setan cebol dan setan rambut merah ini?”
Seruan itu ternyata mendapat sambutan, karena dari kerumunan penonton itu kini muncul seorang Tojin (imam agama To) yang melangkah perlahan-lahan ke tengah arena. Tojin ini berusia hampir tujuh puluh tahun, namun mukanya tetap merah segar dan matanya tajam bukan main dan mulutnya selalu membentuk sebuah senyum ramah yang menyejukkan hati.
Rambut dan jenggot panjangnya yang telah memutih perak itu semakin menambah kewibawaannya. Pakaian yang dikenakannya adalah jubah imam berwarna kuning gading yang sangat bersih, seakan-akan sebutir debu pun tidak menempel di jubahnya, sedangkan punggungnya menggendong sebatang pedang panjang berkuncir kuning.
Begitu muncul di tengah arena, ia langsung merangkapkan tangan memberi hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan Sebun Say, “Selamat bertemu kembali, sahabat berdua, maafkan aku terpaksa memunculkan diri, rupanya si sinting itu belum puas sebelum melibatkan aku dalam kesulitan pula.”
Berhadapan dengan imam tua ini, sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say yang tadinya begitu garang itu kini berubah menjadi sangat segan. Merekapun membalas hormat, sahut Sebun Say, “Selamat bertemu, Imam Kim-hian, kau nampak begitu segar dan sehat, tentunya ilmu pedangmu pun sudah maju pesat?”
Hong-koan Hwesio tertawa melihat Kim-hian Tojin berbasa-basi dengan kedua musuhnya itu, teriaknya, “He, hidung kerbau tua, aku hendak berkelahi dengan kedua siluman ini, kau membela siapa?”
Tojin tua itu ternyata seorang tokoh terkenal pula, dia adalah Kim-hian Tojin, sesepuh dari perguruan Bu-tong-pay yang sangat disegani. Dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” dia menduduki urutan ketiga, suatu kedudukan yang cukup tinggi. Sambil tetap dengan senyum ramahnya dia menjawab pertanyaan Hong-koan Hwesio tadi,
“Keledai gundul sinting, kegemaranmu untuk berkelahi ternyata tidak berkurang juga tanpa mengingat usiamu yang semakin tinggi. Huh, kalau aku tidak mengingat bahwa kakak-kakak seperguruanmu adalah sahabat karibku, ingin rasanya kubiarkan kau dihajar babak belur oleh kedua sahabat dari Hwe-liong-pang ini.”
Ucapan Kim-hian Tojin itu kedengarannya saja memaki dan menggerutui Hong-koan Hwesio, namun dalam kalimatnya terkandung maksud bahwa imam itu melibatkan diri dalam pertempuran itu dan langsung berpihak kepada Hong-koan Hwesio. Keruan saja Tang Kiau-po dan Sebun Say terkesiap mendengarnya. Perimbangan kekuatan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan pihak Hwe-liong-pang.
Dengan suara yang mengandung rasa penasaran, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po berkata kepada Kim-hian Tojin, “Imam tua, antara pihakku dan pihakmu kurasa tidak pernah terjadi urusan apapun juga, kenapa sekarang kau mengusik urusan kami?”
Sahut Imam Kim-hian dengan tajamnya, “Hemm, memangnya kapankah kalian berani bersikap garang kepada yang lebih kuat? Kalian hanya berani menindas golongan-golongan kecil dan orang-orang yang lemah, tetapi jika kalian berani, hayolah hadapi Bu-tong-pay kami!”
Ucapan yang tajam dan penuh kobaran semangat itu kebetulan cocok dengan perasaan seluruh dunia persilatan yang selama ini dihantui oleh tindakan-tindakan kejam orang-orang Hwe-liong-pang. Maka kini tanpa takut-takut lagi orang banyak yang mengerumuni tempat itu langsung memberi sorakan dukungan bagi Kim-hian Tojin.
Sedang Wi-lian dan kawan-kawannya pun menaruh hormat kepada imam itu, pikirnya, “Meskipun sudah lanjut usia, imam ini agaknya masih berdarah panas seperti orang-orang muda. Sekarang akan kulihat apakah orang-orang Hwe-liong-pang ini masih berani bertingkah atau tidak.”
Bagi orang-orang Hwe-liong-pang, tantangan tokoh Bu-tong-pay yang diucapkan terang-terangan di hadapan umum itu benar-benar telah memanaskan kuping mereka, namun mereka pun sadar bahwa keadaannya kurang menguntungkan bagi mereka. Terpaksa Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dengan sikap menahan diri berkata,
“Imam tua, kau sudah mengucapkan sendiri tantangan itu. Namun aku bukan orang yang berwenang untuk menanggapi tantangan itu, melainkan hanya akan kusampaikan kepada Pang-cu (Ketua) kami. Kuharap kau tidak menyesali kata- kata yang telah kau ucapkan itu.”
Sebaliknya Sebun Say agaknya lebih tidak tahu gelagat dibandingkan dengan temannya itu. Selama ini dia sudah beranggapan bahwa seisi kolong langit itu sudah begitu ketakutan kepada Hwe-liong-pang, dan hal ini cukup membanggakan Sebun Say. Kini imam Bu-tong-pay itu berani bersikap demikian menantang, maka harus ditanggapi dengan tidak kalah garangnya pula, demikian pikirnya. Sebun Say berniat mencelakai imam itu, namun karena merasa kepandaiannya belum mencukupi untuk itu, maka diam-diam ia menyiapkan sebuah serangan bokongan yang licik.
Demikianlah diam-diam tangannya mulai memegang gagang senjata sabit yang tergantung di punggungnya itu, sementara mulutnya berkata untuk melengahkan calon korbannya, “Imam tua, selama ini Hwe-liong-pang kami terpaksa bertindak keras kepada beberapa pihak, karena kami selalu diganggu dan harus mempertahankan hidup...”
“Kalian diganggu orang, atau kalianlah yang mencari perkara? Siapa yang mengganggu kalian?” tanya Kim-hian Tojin sinis.
“Kau!” tiba-tiba Sebun Say berteriak keras dibarengi dengan seruan kaget orang banyak. Ternyata sambil berteriak itu Sebun Say telah melompat secepat kilat ke arah Imam Kim-hian, senjata sabitnya bergerak dengan jurus yang keji bukan main, sehingga yang nampak oleh mata hanyalah sebaris ungu yang membelah udara.
Detik berikutnya terdengar suatu benturan keras, terlihat pula sinar ungu dan sinar yang keperak-perakan beradu di tengah udara, lalu Sebun Say melompat mundur kembali dengan air muka yang aneh. Sedang Imam Kim-hian yang diserangnya dengan licik itu ternyata masih berdiri tak kurang suatu apa di tempatnya semula mukanya masih tersenyum namun matanya tajam menatap lawan. Tangan kanan imam tua itu kini telah memegang pedangnya tidak tahu kapan pedang itu terlolos dari sarungnya.
“Benar-benar serangan yang bagus,” kata Imam Kim-hian sambil tertawa, lalu dengan gaya santai disarungkannya pedangnya kembali.
“Pedang yang sangat cepat!” sebaliknya Rahib Hong-koan malah memuji Kim-hian Tojin.
Waktu itu adalah tengah hari, angin bertiup cukup keras. Begitu ada angin yang bertiup cukup keras, seketika jubah Sebun Say lepas dari pemiliknya dan terbang ke udara, ternyata jubah itu telah terbelah oleh pedang Kim-hian Tojin tadi! Kini si iblis cebol dari Jing-hay itu hanya tinggal mengenakan celana dalam pendeknya, sedang tubuh atasnya sudah telanjang.
Kiranya tadi Imam Kim-hian berhasil merobek pakaian Sebun Say tanpa mengenai kulitnya. Dengan gerakan itu, jelaslah bahwa imam tua itu telah mencapai taraf ilmu di mana pedangnya telah bersatu dengan sukmanya, dengan kemauannya, suatu tingkatan maha tinggi dalam ilmu pedang!
Bukan saja angkatan muda seperti Wi-lian, seperti Ting Bun dan Cian Ping saja yang terpesona oleh gerakan imam tua itu, bahkan tokoh-tokoh seperti Rahib Hong-koan dan Ang-mo-coa-ong itupun sempat dibuatnya terpesona. Siau-lim-hong-ceng menggeleng-gelengkan kepala gundulnya sambil mendecak-decakkan lidahnya, “Hebat sekali kau hidung kerbau tua. Jika saat ini diadakan lagi pemilihan Sepuluh Tokoh Sakti, maka aku akan mencoret namaku saja dan lebih enak sebagai penonton saja.”
Sebaliknya saat itu Sebun Say bersikap terlongong-longong dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Malu dan marah bergejolak hebat di dalam dadanya, namun di samping perasaan-perasaan itu diapun merasa gentar bukan main akan kelihaian sesepuh Bu-tong-pay itu. Dia sudah melakukan suatu serangan licik yang tidak terhormat, ternyata masih gagal juga, bahkan sebagai balasannya ia mendapat malu sehebat itu. Jika tidak ada orang lain yang melihatnya, ingin rasanya ia menangis sekeras-kerasnya untuk melampiaskan perasaannya yang bercampur-aduk itu.
Sedangkan Rahib Hong-koan justru bersikap sangat jahil. Dengan muka yang pura-pura sedih dia memberi hormat berkeliling kepada para penonton, lalu katanya dengan nada seperti seorang rahib alim, “Semua manusia di kolong langit adalah saudara, wajib saling menolong jika ada yang kekurangan sandang pangan. Siapa di antara saudara-saudara yang sudi meminjamkan bajunya kepada saudara Sebun ini agar dia tidak masuk angin?”
Sebun Say tidak tahan lagi mendapat hinaan luar biasa itu. Tiba-tiba ia menjerit keras dan melesat pergi sambil meninggalkan lengkingan kemarahan dan dendam yang luar biasa, sekejap saja ia sudah tidak terlihat bayangannya lagi. Sedang Hong-koan Hwesio terbahak-bahak puas.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po juga sudah merasa tidak ada gunanya lagi tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Salah-salah dia bisa dipermalukan pula seperti nasib rekannya tadi. Maka cepat-cepat ia memberi hormat kepada Kim-hian Tojin dan berlalu dari situ dengan diiringi oleh anak buahnya yang dalam keadaan berantakan itu.
Penontonpun bubar, namun kejadian di tempat itu dengan cepat telah tersiar ke tempat-tempat yang jauh. Nama Hwe-liong-pang bukan lagi nama yang ditakuti luar biasa karena ternyata terbukti ada juga tokoh-tokohnya yang bisa dikalahkan, namun demikian belum seorangpun umat persilatan umumnya yang berani menentangnya secara terus terang.
Tong Wi-lian bertiga segera mendekati Rahib Hong-koan dan Imam Kim-hian untuk memberi salam sekalian mengucap terima kasih atas pertolongan tokoh-tokoh angkatan tua itu. Kim-hian Tojin membalasnya dengan sikap ramah, namun juga menegur, “Kalian adalah orang-orang muda yang bernyali besar, tetapi kalian masih terlalu dikuasai oleh darah muda kalian yang panas. Iblis cebol dan iblis berambut merah itu bukanlah tokoh-tokoh yang bisa diajak main petak umpet.”
Wi-lian agak tersipu mendengar teguran itu, sahutnya, “Terima kasih atas nasehat Totiang, kami memang tidak menduga bahwa kedua gembong iblis itu bakal muncul pula di sini. Kami memang sering tidak tahan melihat tingkah laku orang-orang Hwe-liong-pang yang sewenang-wenang itu.”
Kim-hian Tojin hanya tersenyum saja menanggapi bantahan gadis yang keras hati itu. Lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Ting Bun yang bajunya telah basah oleh keringat dan darah itu, “He, bagaimana dengan lukamu?”
Sahut Ting Bun dengan hormat, “Hanya luka di kulit yang tidak membahayakan, dengan taburan obat luka di kulit yang kubawa dari rumah maka darahnya akan segera berhenti mengalir.”
Dalam pada itu Rahib Hong-koan pun telah berkata pula, kali ini sikapnya nampak bersungguh-sungguh dan tidak bergurau lagi, “Diam-diam aku memang sudah mengikuti perjalanan kalian sejak dari Tay-beng. Aku sudah mendengar semuanya. Tentang A-hong yang telah menjadi Cong-piau-thau baru di Tiong-gi Piau-hang, dan juga hubungan dingin antara A-hong dengan Ting Bun. Aku ingin berkata sesuatu kepada A-hong, karena itu marilah kita susul dia ke Kiang-leng.”
Usul itu disetujui semua orang, kecuali Kim-hian Tojin yang mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Tanya Rahib Hong-koan sambil tertawa, “Hidung kerbau tua, kenapa kau sangat takut berdekatan dengan aku? Takut kalau kuloloh arak dan daging?”
Imam tua Bu-tong-pay itu hanya tersenyum saja menanggapi gurauan sahabatnya itu, sahutnya, “Tepat sekali, aku takut ketularan menjadi sinting jika terlalu lama berdekatan dengan seorang sinting seperti kau ini.”
Begitulah merekapun saling mengucapkan salam perpisahan. Imam Kim-hian akan melanjutkan perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perguruan Bu-tong-pay di berbagai tempat, sedangkan Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio yang diiringi oleh Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping lalu menyusul Wi-hong ke kota Kiang-leng yang sudah kelihatan di depan mata.
DALAM pada itu, kedatangan Tong Wi-hong yang sangat mendadak dan tidak terduga-duga itu telah disambut dengan muka-muka yang tegang oleh orang-orang Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Begitu Wi-hong menambatkan kudanya dan melangkah masuk melewati pintu gerbang, maka dilihatnya di halaman itu sudah ada belasan sosok tubuh yang berbaring berjajar-jajar dengan ditutupi tikar, semuanya tanpa nyawa. Sedangkan orang-orang Piau-hang yang masih hidup, berdiri mengelilingi halaman itu dengan muka yang tegang.
Pemimpin cabang Kiang-leng adalah Hua Yong-ceng yang bergelar Thi-kun-lo-sat (Raksasa Bertinju Besi), yang segera menyambut kedatangan pemimpinnya itu dengan tergopoh-gopoh. Hua Yong-ceng adalah seorang lelaki tinggi besar, tingginya saja hampir satu setengah kali dari tinggi orang biasa, sedangkan mukanya penuh berewok dan kedua kepalannya nampak menghitam keras karena setiap hari dilatih dengan memukuli karung pasir. Untuk daerah Kiang-leng dan sekitarnya, dia adalah seorang jagoan yang cukup disegani.
Begitu telah berhadapan dengan Tong Wi-hong, mendadak Hua Yong-ceng menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Aku Hua Yong-ceng ternyata tidak becus mengurus Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng sehingga nama besar Piau-hang telah dirubuhkan orang dan mengalami kerugian besar. Aku mohon hukuman dari Cong-piau-thau dan setelah itu mohon meletakkan pekerjaan ini.”
Cepat Wi-hong memegang tangan Hua Yong-ceng dan mencegahnya untuk berlutut, katanya, “Hua Toako, semua urusan bisa dibicarakan perlahan-lahan dan dengan kepala dingin, harap kau tidak bersikap sesungkan ini kepada aku!”
Hua Yong-ceng bangkit dari berlututnya, namun mukanya tetap tertunduk dalam-dalam, menarik napas berkali-kali dan nampak begitu lesu. Sikap gagahnya sehari-hari itu tidak bersisa sedikitpun, katanya, “Kebaikan dan sikap pemaaf Cong-piau-thau justru semakin menyiksa aku dan membuatku merasa semakin berdosa terhadap kebesaran Tiong-gi Piau-hang, aku benar-benar malu, aku...”
Sahut Wi-hong memotong ucapan Hua Yong-ceng, “Hua Toako, siapakah orangnya yang belum pernah mengalami kegagalan? Berhentilah menyesali diri, aku ingin mendengar selengkapnya tentang kejadian apa yang telah menimpa cabang ini.”
Kedua orang itu lalu berdampingan berjalan masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu. Banyak piau-su cabang Kiang-leng yang belum pernah melihat Tong Wi-hong, pemimpin mereka yang baru itu, dan mereka menjadi heran ketika melihat Wi-hong masih begitu muda. Ada di antara mereka yang mulai timbul keraguannya, sanggupkah orang semuda Wi-hong memimpin dan mengendalikan Tiong-gi Piau-hang yang begitu besar? Sanggupkah mengemudikan Tiong-gi Piau-hang menempuh badai persilatan yang hebat?
Dalam pada itu Tong Wi-hong dan Hua Yong-ceng telah duduk berhadap-hadapan di ruangan dalam. Si raksasa bertinju besi itu segera menceritakan selengkapnya tentang apa saja yang telah dialami oleh cabang Kiang-leng itu.
Kisahnya, ketika Hua Yong-ceng baru saja pulang dari Tay-beng untuk menghadiri pemakaman Cian Sin-wi beberapa hari yang lalu, begitu tiba di Kiang-leng dia telah menerima laporan dari anak buahnya, bahwa beberapa kiriman yang bernilai tinggi telah hilang di tengah jalan. Yang paling gawat adalah hilangnya bingkisan dari Sun-bu (Kepala Daerah) Ho-lam kepada Kaisar Cong-ceng, dimana bingkisan yang hilang itu berwujud batu-batu permata dan barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya.
Selain itu masih ada pula bingkisan-bingkisan lain yang dirampas di tengah perjalanan, yang meskipun nilainya tidak setinggi bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, namun jika pemiliknya sampai menuntut ganti rugi maka akan dapat membangkrutkan Tiong-gi Piau- hang seketika itu juga.
“Apakah kalian tahu pihak manakah yang merampas kafilah-kafilah itu?” tanya Wi-hong, meskipun dalam hatinya ia sudah menemui jawabannya.
Sahut Hua Yong-ceng, “Hal itulah yang rasanya membuat aku malu untuk menemui Cong-piau-thau. Aku sudah membentuk regu-regu berkuda gerak cepat yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat jarak jauh, juga burung-burung merpati untuk membawa surat, namun hasilnya nihil. Sebagian dari regu-regu penyelidik itu pulang dengan tangan hampa, sedang sebagian lagi pulang dengan membawa anggota-anggotanya yang luka parah atau tewas. Bahkan ada dua regu yang tidak ada kabar beritanya lagi, kemungkinan besar sudah tertumpas habis oleh pihak lawan.”
Tong Wi-hong mengertakkan gigi dengan geramnya. Baru beberapa hari ia menjabat sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, telah muncul tantangan yang begitu berat jika dia tidak dapat mengatasi tantangan itu, terpaksa Tiong-gi Piau-hang harus memberi ganti kerugian kepada para pemilik barang yang dikawal itu, dan jumlah ganti rugi yang demikian besar mungkin bisa membuat Tiong-gi Piau-hang gulung tikar seketika. Lagipula dengan kejadian-kejadian itu Tiong-gi Piau-hang akan kehilangan kepercayaan dari langganan-langganannya, dan jika itu benar-benar terjadi, Wi-hong rasanya tidak punya muka lagi untuk hidup di dunia ini.
Setelah berusaha menenangkan dirinya, Wi-hong bertanya lagi, “Dari regu-regu yang pulang dengan luka-luka itu apakah bisa didapatkan keterangan tentang pihak mana yang memusuhi kita ini?”
“Hwe-liong-pang,” sahut Hua Yong-ceng sambil mengepalkan tinjunya keras-keras. “Bahkan dari pembicaraan yang berhasil didengar oleh anak buah kita, dapat diketahui bahwa yang melakukan pembegalan ini adalah dari kelompok-kelompok mereka yang disebut Hek-ki-tong, Ang-ki-tong, Jai-ki-tong dan Jing-ki-tong. Empat kelompok sekaligus merampok kita! Betapa gigihnya saudara-saudara kita dalam mempertahankan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini, toh tidak sanggup menghadapi empat kelompok Hwe-liong-pang itu sekaligus. Cukup empat orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dan wakilnya masing-masing itu saja sudah merupakan lawan berat, belum ditambah anak buah mereka yang rata- rata juga cukup tangguh itu.”
Di dahi Wi-hong muncul beberapa garis kerutan yang dalam, menandakan dia sedang berpikir keras menyelesaikan persoalan itu. Menghadapi Hwe-liong-pang memang memusingkan kepala. Bukan cuma masalah karena Hwe-liong-pang punya jago-jago tangguh, tetapi juga karena orang-orang Hwe-liong-pang itu sulit dilacak jejaknya, mereka tidak mempunyai tempat tertentu. Mereka memunculkan diri begitu merasa perlu untuk muncul, kemudian menghilang begitu saja bagaikan hantu-hantu gentayangan.
Sementara Wi-hong berpikir, kembali terdengar suara kesibukan dari luar gedung itu. Kiranya Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan juga Hong-koan Hwesio telah tiba pula di situ. Meskipun selama ini Wi-hong bersikap dingin kepada Ting Bun, namun ia terkejut pula ketika melihat pakaian Ting Bun penuh dengan bercak-bercak darah, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya si uwak-angkat di tempat itu. Tenaga maupun pengalaman Hong-koan Hwesio akan terasa sangat bermanfaat untuk dimintai bantuan dalam keruwetan itu.
Lebih dulu Wi-hong menyambut Rahib Hong-koan dengan hormat, lalu ia bertanya kepada adiknya, “He, kalian seperti orang-orang yang habis berkelahi, apa rupanya yang telah terjadi?”
Secara singkat Wi-lian menceritakan kisah pertempurannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang dari kelompok Jai-ki-tong yang berlangsung di warung arak itu.
“Hah, orang-orang Hwe-liong-pang?! Ayo kita kejar mereka!”
“Percuma, mereka tentu sudah pergi jauh,” sahut Wi-lian.
Maka lesulah sikap Wi-hong. Demi basa-basi, Wi-hong melirik sekejap kepada Ting Bun dan bertanya, “Luka-luka Ting Toako ini apakah tidak berbahaya?”
Pada kesempatan itulah Hong-koan Hwesio sengaja menunjukkan sikap baik kepada Ting Bun. Kata rahib itu sambil menepuk-nepuk bahu Ting Bun, “Untung hanya luka-luka di luar yang tidak terlalu menguatirkan. Dia terlalu berani ketika bertempur melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu, bahkan juga ketika menghadapi Ang-mo-coa-ong dan si gembong iblis dari Jing-hay."
Melihat sikap Rahib Hong-koan yang begitu baik terhadap Ting Bun, mau tidak mau Wi-hong mulai berpikir dan menilai sikapnya sendiri selama ini. Wi-hong teringat bahwa yang memperingatkannya tentang kebusukan Ting Ciau-kun si paman angkat adalah Hong-koan Hwesio ini, juga rahib inilah yang menyelamatkannya ketika Wi-hong hendak dibunuh oleh Ting Ciau-kun bersama Te-yong Tojin di hutan cemara di luar kota Tay-beng.
Namun kini rahib itu nampak bersikap begitu baik terhadap Ting Bun, jelaslah ini merupakan “isyarat” buat Wi-hong agar jangan menyama-ratakan Ting Bun dengan ayahnya. Ting Ciau-kun adalah seorang yang berwatak culas dan licik, tidak segan-segan berbuat apapun untuk keuntungan sendiri, sebaliknya Ting Bun adalah seorang pemuda yang bersifat lugu dan bahkan punya watak ksatria. Lalu Wi-hong pun teringat akan suatu kejadian dua tahun lalu, ketika Wi-hong dan adiknya pertama kali menginjak Pak-khia, di sebuah rumah makan.
Ketika itu Ting Bun berpihak justru kepada orang lemah yang ditindas oleh ayahnya sendiri, sikap itu tidak nampak dibuat-buat. Setelah berpikir demikian, akhirnya Wi-hong merasa bahwa sikapnya selama ini kepada Ting Bun memang agak kelewat batas, betapapun Ting Bun tidak bisa disamakan dengan Ting Ciau-kun. Bahkan kemungkinan besar anak muda ini tidak mengetahui akan perbuatan-perbuatan busuk dari ayahnya sendiri.
Akhirnya sikap Wi-hong berubah. Secara terbuka, dan dengan disaksikan oleh beberapa orang, ia meminta maaf kepada Ting Bun dengan tulus, “Selama ini aku bersikap dingin dan beberapa kali menyakitkan hati Toako, harap Toako sudi memaafkan aku. Mungkin karena aku yang terlalu dipengaruhi pengalaman pahit masa lalu, sehingga mataku tertutup dan tidak melihat ketulusan Toako.”
Sikap Wi-hong itu sudah cukup melegakan siapapun. Sahut Ting Bun dengan agak terharu, “Asal kau dapat memahami isi hatiku, dibacok beberapa kalipun aku rela. Akupun dapat memaklumi sikapmu selama ini, karena pengalaman pahit masa lalu agaknya memang membekas terlalu dalam dan sulit dilupakan.”
Ternyata kembali terjadi salah pengertian antara Wi-hong dan Ting Bun dalam mengartikan kata-kata “pengalaman pahit masa lalu” itu. Ting Bun mengira bahwa pengalaman pahit masa lalu itu adalah peristiwa terbunuhnya ayah Wi-hong oleh orang-orang berseragam kaum prajurit Kerajaan, sehingga Wi-hong jadi berkesan buruk kepada kaum prajurit. Sedangkan Wi-hong mengartikan pengalaman pahit masa lalunya itu sebagai peristiwa kelicikan Ting Ciau-kun ketika hendak membunuhnya di luar kota Tay-beng dulu.
Namun kesalah-pahaman itu tidak jadi soal lagi, dan sama sekali tidak mengurangi rasa hangatnya persahabatan yang mulai terasa di hati anak-anak muda itu. Keduanya adalah sama-sama anak muda yang bersifat terbuka dan menyanjung tinggi sifat-sifat jantan, karena itu segala perselisihan masa lalu dengan mudah telah mereka singkirkan jauh-jauh.
Tentu saja yang paling berbahagia melihat rukunnya kembali kedua anak muda ini adalah Wi-lian, ini terlihat dari sinar matanya yang berseri-seri. Tetapi ketika Rahib Hong-koan berdehem sambil tersenyum ke arahnya, maka gadis itupun menundukkan kepalanya dengan tersipu-sipu.
Kini Tong Wi-hong, Hua Yong-ceng, Hong-koan Hwesio, Wi- lian, Ting Bun dan Cian Ping telah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja hidangan. Sekali lagi Hua Yong-ceng harus mengulangi ceritanya tadi, agar orang-orang yang baru datang itu dapat mendengarnya pula.
Semua orang mendengarkan pengisahan Hua Yong-ceng itu dengan penuh perhatian. Dan setelah cerita itu selesai, semua orang berpendapat bahwa masalahnya cukup rumit. Mereka sudah tahu jelas bahwa orang Hwe-liong-pang pelaku semua kekacauan itu, namun tidak seorang pun tahu kemana harus mencari orang-orang itu?
“Betapapun juga kita tidak boleh menyerah diperlakukan semena-mena seperti ini,” akhirnya Tong Wi-hong berseru sambil menggebrak meja. “Jika masalah ini tidak bisa diatasi, maka untuk selanjutnya Tiong-gi Piau-hang akan runtuh namanya dan tidak lagi mendapat kepercayaan orang, dan itu berarti ribuan anak buah kita akan kehilangan nafkahnya!”
“Kita tunda perjalanan kita berziarah ke An-yang-shia, sampai persoalan di tempat ini selesai lebih dulu,” kata Wi-hong.
Semuanya ternyata sependapat dan mendukung usul itu. Setelah berunding sampai hampir sore, akhirnya ditemukan akal bahwa orang-orang Hwe-liong-pang jangan dicari, melainkan dipancing supaya keluar sendiri dari sarangnya. Untuk itu dipakailah tipu muslihat pura-pura hendak mengirimkan suatu barang kawalan berharga ke tempat yang jauh. Wi-hong, Cian Ping dan Wi-lian akan menampakkan diri secara terang-terangan dalam iring-iringan itu, agar menarik perhatian lawan.
Ting Bun dan beberapa jagoan dalam Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng akan menyamar sebagai piau-su biasa dan bercampur dengan piau-su piau-su biasa lainnya, sedangkan Hong-koan Hwesio akan ikut serta pula, namun dengan bersembunyi di dalam kereta barang. Sedangkan Hua Yong-ceng tetap bertugas menjaga markas.
Persiapan untuk itu segera dijalankan. Untuk meyakinkan pihak lawan bahwa seolah-olah kiriman besar itu bukan suatu tipuan, maka Hua Yong-ceng mengatur segala-galanya dengan cermat. Beberapa orangnya menyamar sebagai hartawan yang mengunjungi gedung Tiong-gi Piau-hang secara menyolok, sementara itu beberapa peti “harta berharga” nampak diangkut masuk ke dalam gedung dengan pengawalan ketat. Hua Yong-ceng yakin bahwa semua kegiatan gedung itu tentu diketahui oleh pihak Hwe-liong-pang, sebab mereka agaknya punya mata-mata yang tersebar di semua tempat.
Dugaan Hua Yong-ceng memang tidak meleset. Kesibukan yang luar biasa di Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu memang tidak lepas dari pengamatan seorang “tukang sayur” yang setiap hari hilir mudik di jalan di depan gedung itu. Lelaki itu memang bertampang seperti orang dusun tulen, lengkap dengan tampangnya yang kelihatan bodoh dan lugu. Namun, tanpa dilihat siapapun, kadang-kadang nampak sepasang matanya di bawah tudung bambu itu berkilat-kilat dengan tajamnya, menandakan bahwa bobot orang ini tidak seremeh tampangnya.
Pagi itu kembali si penjual sayur lewat di depan gedung, dan kebetulan dilihatnya ada belasan orang kuli sedang mengusung kotak-kotak kayu besar ke dalam gedung. Dari halaman dalam dan samping, terdengar para piau-su sedang membentak-bentak dalam latihan silatnya. Diam-diam si tukang sayur ini tersenyum mengejek dan berdesis seorang diri, “Rupanya si kerbau dogol she Hua itu belum kapok juga meskipun telah menelan beberapa pengalaman pahit.”
Lalu dengan langkah santai dan wajar, si penjual sayur berbelok masuk ke sebuah lorong sempit. Di depan sebuah toko obat yang terletak di lorong itu, si tukang sayur berhenti dan meletakkan keranjang sayurnya. Lalu dengan langkah terbungkuk-bungkuk persis seperti orang dusun tulen, ia melangkah masuk ke dalam toko obat itu.
Si pemilik toko obat itu agaknya sudah mengenalnya. Begitu nampak kedatangan si tukang sayur, ia segera menyambutnya dengan ucapan, “Bahan-bahan obat apa lagi yang kau bawa? Aku percaya tentunya bahan-bahan yang bermutu baik, lekaslah kau bawa masuk ke dalam.”
Tidak ada yang mencurigai tanya jawab itu terlalu wajar dan terlalu umum, bahkan para pegawai toko obat itupun tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Suatu hal yang biasa kalau majikan mereka membeli bahan-bahan obat-obatan berupa tumbuh-tumbuhan dari para pedagang di desa. Si penjual sayur mengucap terima kasih, dan dengan terbungkuk-bungkuk memikul keranjang sayurnya, ia masuk ke dalam bersama si majikan toko obat itu. Mereka langsung masuk ke ruang tengah, sebuah ruangan tertutup dan merupakan ruangan pribadi sang majikan.
Begitu pintu tertutup, si majikan rumah obat itu langsung bertanya, “Bagaimana kabar yang tersiar belakangan ini? Berita tentang pengiriman besar-besaran itu apakah bisa kita percayai?”
Kini si tukang sayur itu tidak terbungkuk-bungkuk lagi, namun bersikap tegap dan tangkas. Sambil memberi hormat kepada majikan rumah obat itu, ia menjawab, “Sudah kuselidiki dengan cermat dan ternyata memang betul akan ada pengiriman besar-besaran. Agaknya para piau-su tolol itu merasa besar hati sebab pemimpin mereka dari Tay-beng ada di tengah mereka, yaitu si bocah ingusan Tong Wi-hong itu. Kuduga barang kawalan itupun cukup mahal, sebab para piau-su sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dirinya, bahkan latihan silatpun ditingkatkan. Bahkan kudengar pengawalannya bukan cuma ditangani cabang Kiang-leng, namun juga dibantu oleh jago-jago tangguh Tiong-gi Piau-hang dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek.”
Si majikan rumah obat menggebrak meja dan berseru gembira, “Wah, kali ini benar-benar kelas kakap kalau begitu! Kita tidak boleh melewatinya begitu saja! Jika kita berhasil, aku yakin ini akan merupakan pukulan terakhir yang mematikan buat Tiong-gi Piau-hang!”
Si tukang sayur itupun matanya nampak bersinar-sinar dengan liciknya, sahutnya, “Betul sekali ucapan Tong-cu itu! Ini tidak boleh dilewatkan. Seluruh rekan-rekan dari Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) sudah gatal tangan semuanya dan menunggu perintah Tong-cu!”
Si majikan rumah obat itu tampangnya sedikitpun tidak menunjukkan tampang dunia persilatan, orang tentu tidak menduga bahwa dia ternyata adalah salah seorang Tong-cu (Pemimpin Kelompok) di dalam Hwe-liong-pang. Dialah Tong-cu dari Kelompok Bendera Hitam, salah satu kelompok tangguh di kalangan Hwe-liong-pang.
Majikan rumah obat itu nampak berpikir keras, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Kita memang harus turun tangan, tapi sama sekali jangan gegabah. Menilik kekuatan Tiong-gi Piau-hang yang dikerahkan untuk mengawal barang itu, maka harus kita akui bahwa kekuatan kelompok kita sendiri tidak akan mencukupi. Seperti pada saat-saat yang lalu, kita harus bekerja-sama dengan Jing-ki-tong, Jai-ki-tong dan Ang-ki-tong. Apakah mereka masih bisa dihubungi?”
Sahut si “tukang sayur” itu, “Jai-ki-tong baru saja mengalami pukulan berat dari gadis Siau-lim-pay itu. Mo Tong-cu terluka agak parah dan kehilangan beberapa anak buah andalannya, agaknya kurang bisa diandalkan untuk kerja sama. Sedangkan Ang-ki-tong sudah berada dalam perjalanan ke Lam-cang untuk memenuhi panggilan Pang-cu (Ketua), agaknya tidak sempat untuk disusul lagi.”
“Kenapa begitu terburu-buru menuju Lam-cang? Bukankah pertemuan itu masih belasan hari lagi, dan masih ada kesempatan untuk mencari rejeki tambahan?” gerutu majikan rumah obat itu. “Jika hanya gabungan antara kita dengan Jing-ki-tong saja, kukira kekuatan kita tidak meyakinkan untuk menandingi musuh.”
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik jendela yang tertutup itu. Suara geramannya begitu dingin dan jelas mengandung perasaan marah yang terpendam. Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu serentak bangkit dengan terkejutnya. Siapakah orangnya yang telah mampu menyelundup ke bagian dalam rumah obat itu, dan bahkan dapat berdiri di muka jendela tanpa diketahui oleh orang- orang yang berada di dalam?
Belum lagi kejutan pertama hilang kesannya, maka kejutan yang kedua telah terjadi pula. Tiba-tiba jendela kayu yang tertutup itu telah rontok begitu saja, tanpa suara, berubah menjadi serpihan-serpihan kayu kecil, ibarat segumpal tanah kering yang dicelupkan ke dalam air saja. Dan kini nampaklah siapa orangnya yang telah berdehem tadi....
Dengan terjunnya Cian Ping untuk membantu Ting Bun, maka Song Kim segera mulai merasakan desakan hebat kedua lawannya itu. Ting Bun saja sudah begitu “keras” dan sukar ditundukkan, apalagi kini ditambah dengan Cian Ping yang berkelahi dengan ganas karena ingin membalaskan kematian ayahnya.
Di dalam warung arak, Mo Hui sudah hampir kehilangan seluruh pikiran jernihnya. Dia yang biasa disanjung dan ditakuti, benar-benar tidak siap untuk menerima kekalahan. Dia tidak penasaran andaikata harus kalah di tangan tokoh-tokoh ternama yang duduk dalam deretan “sepuluh tokoh puncak”.
Tetapi ke manakah mukanya akan disembunyikan apabila ia sampai kalah dari seorang gadis remaja yang tidak bersenjata? Mimpipun dia tidak pernah membayangkan hal itu, dan hal itu pulalah yang membuat Mo Hui bertempur dengan kalap bagaikan kerasukan setan.
Sayang seribu sayang, biarpun dia bertempur dengan gila-gilaan, tapi kali ini si Hong-long-cu benar-benar telah membentur tembok baja. Tong Wi-lian tidak tergeser sejengkalpun, meskipun Mo Hui sudah dibantu oleh dua orang sisa Lam-gak-su-koay. Kedua orang tokoh Lam-gak ini sudah tidak bersemangat lagi dalam bertempur, mereka senantiasa memasang kupingnya kalau-kalau pemimpin mereka menyuruh untuk mundur.
Pertempuran baik yang terjadi di dalam warung arak maupun di halaman luar warung arak itu ternyata dengan mudah telah memancing datangnya banyak penonton, karena tempat itu cukup ramai dilewati orang yang berlalu-lalang. Di halaman luar warung arak itu kini sudah terbentuk suatu lingkaran manusia yang berjubel seperti menonton adu jago.
Di antara para penonton yang berdesakan itu ada seorang rahib yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul dan usianya kurang lebih lima puluh tahun. Ia memakai jubah pendeta berwarna abu-abu yang sudah lusuh dan hampir tak diketahui lagi warna aslinya, sedang tangannya menjinjing sebatang tongkat hitam sepanjang satu depa.
Berkali-kali ia tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala gundulnya, setiap kali ia melihat Cian Ping dan Ting Bun berhasil mendesak Song Kim. Dan ia lebih gembira lagi ketika melihat bagaimana perkasanya Wi-lian bertempur melawan Mo Hui dan dua orang sisa Lam-gak-su-koay.
“Anak itu mengalami kemajuan pesat,” desisnya seorang diri.
Tiba-tiba terlihat dinding warung arak itu jebol karena diterjang suatu benda dari dalam warung, dan ternyata setelah diamat-amati “benda” yang menjebolkan dinding warung itu bukan lain adalah satu orang lagi dari Lam-gak- su-koay yang “terbang” karena tendangan Wi-lian. Dengan demikian ke “empat siluman Lam-gak” itu tinggal satu orang saja yang masih mendampingi Mo Hui, sedangkan yang tiga orang sudah bergelimpangan tak berdaya.
Dalam pada itu Wi-lian telah merasa bosan bertempur dalam warung arak itu, lagipula ia merasa kasihan kepada pemilik warung yang barang-barang modalnya telah hancur semua itu. Tanpa dapat dirintangi oleh lawan-lawannya lagi ia segera melompat keluar pintu, sedangkan Mo Hui dan seorang sisa satu itu pun memburunya keluar.
Sekarang pertempuran di halaman luar warung arak itu bertambah ramai karena bertambah orangnya, sedang penonton pun semakin berjubel. Namun nampaknya tidak ada seorang pun di antara penonton yang mau melibatkan diri, sebab para penonton mengetahui bahwa urusan itu ada sangkut pautnya dengan Hwe-liong-pang, perkumpulan yang ditakuti itu.
Hanya rahib berjubah lusuh itu sajalah yang secara terang-terangan memihak Wi-lian dan kawan-kawannya, dan tidak segan-segan memperdengarkan pujiannya setiap kali Wi-lian menampakkan jurus yang bagus.
Jalannya pertempuran itu kini benar-benar berat sebelah. Song Kim sudah terang terdesak terus oleh Cian Ping dan Ting Bun. Muka Song Kim sudah merah dan licin dengan keringat. Di sebelah lain, meskipun Wi-lian berkelahi dengan tangan kosong dan dikeroyok oleh dua orang lelaki bersenjata, tetapi justru Wi-lian lah yang mendesak lawannya dengan bengis.
Dalam hati Wi-lian sudah bertekad bulat untuk menghajar habis-habisan orang Hwe-liong-pang ini di hadapan umum, agar pamor mereka turun dan tidak berani bertindak sewenang-wenang lagi di dunia persilatan. Tetapi Wi-lian juga sama sekali tidak berniat membunuh seorang pun, kecuali jika keadaan sangat memaksa.
Agaknya ajaran cinta kasih agama Buddha yang ditanamkan oleh Rahib Hong-tay ke hati muridnya itu telah begitu meresap dalam hati sang murid, sehingga ia senantiasa berusaha menaklukkan lawan tanpa membunuhnya. Tetapi menghadapi Mo Hui yang bertarung seperti serigala gila itu benar-benar sangat menyulitkan Wi-lian untuk menaklukkannya tanpa membunuh.
Mo Hui yang sangat marah dan malu itu agaknya benar-benar sudah bosan hidup, dia sudah tidak ingat lagi pertahanan diri sendiri, yang ada dalam pikirannya hanyalah membunuh dan membunuh. Meskipun berkali-kali ia roboh oleh tendangan atau pukulan Wi-lian, namun setiap kali pula ia bangkit kembali dan bertarung secara gila-gilaan.
Sebaliknya orang terakhir dari Lam-gak-su-koay itu agaknya akan panjang umur, karena dia bertempur dengan cara yang paling aman buat dirinya. Dia hanya berlari-lari berputar- putar, dan ia menyerang begitu ada kesempatan, habis itu ia melompat mundur dan berputar-putar lagi menantikan kesempatan selanjutnya.
Cemoohan dan tertawa mengejek dari para penonton yang mengerumuni tempat itu tidak digubrisnya sama sekali, yang penting ia menjaga jangan sampai mengalami nasib seperti tiga orang saudaranya. Diam-diam Wi-lian kasihan juga melihat orang ini, yang nampaknya sudah kehilangan semangat tempurnya.
Tengah pertempuran berlangsung dengan ramai, dimeriahkan pula oleh “lawakan” orang Lam-gak-su-koay itu, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan merah berkelebat cepat melewati kepala para penonton.
Tahu-tahu dalam lingkaran pertempuran itu kini telah muncul seorang lelaki bertubuh tinggi kurus, berwajah runcing dan licik seperti ular, rambutnya kemerah-merahan. Jubahnya berwarna merah darah dan tangannya menjinjing sebatang tongkat besi panjang yang ujungnya dibentuk seperti kepala ular.
Banyak di antara penonton itu yang merupakan perantau dunia persilatan yang cukup berpengalaman. Maka munculnya si jubah merah itu langsung disambut dengan seruan terkejut dari beberapa orang, “Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah)!”
Pendatang baru ini memang bukan lain adalah Tang Kiau-po, tokoh golongan hitam yang terkenal dari Thay-san itu. Belum hilang debaran kaget para penonton, kembali sesosok bayangan berwarna hitam telah melayang masuk ke tengah gelanggang bagaikan seekor burung gagak besar saja. Kali ini yang muncul adalah seorang manusia pendek yang tingginya hanya separuh dari manusia biasa.
Namun ukuran besar kepalanya justru dua kali lipat dari ukuran orang biasa. Si pendek ini memakai pakaian serba hitam, di punggungnya tersandang sebentuk senjata yang mirip sabit dan berwarna keungu-unguan, menandakan bahwa senjata itu direndam dengan racun yang keras.
Kembali terdengar seruan kaget dari para penonton, terutama yang pernah menjelajah wilayah Barat, “Itu dia Sebun Say!”
Dengan demikian kini di tengah gelanggang pertempuran itu telah muncul dua orang tokoh yang berkedudukan tinggi dalam Hwe-liong-pang, yaitu kedudukan sebagai Su-cia (duta) yang kedudukannya lebih tinggi dari Tong-cu (Kepala Kelompok). Bukan hanya itu yang menggemparkan penonton, namun juga kenyataan bahwa kedua tokoh yang baru muncul itu namanya sama-sama tercantum dalam deretan nama “Sepuluh Tokoh Sakti” yang diakui di jaman itu. Sebun Say menduduki urutan ke delapan dan Tang Kiau-po pada urutan ke sepuluh.
Melihat bahwa Song Kim telah terdesak hebat, Tang Kiau-po langsung saja turun tangan dengan mengayunkan tongkat kepala ularnya untuk menangkis golok Ting Bun dan sepasang kaitan Cian Ping. Ting Bun dan Cian Ping tidak sanggup menahan benturan dengan tokoh dari Thay-san itu, maka dengan suara berdentang nyaring terpentallah golok dan sepasang kaitan itu ke udara.
Sebun Say juga tidak mau kalah gaya dari rekannya itu. Ia menyela begitu saja ke arah Mo Hui yang tengah didesak Wi-lian itu, sambil mementangkan kedua lengannya. Perhitungan Sebun Say, kedua orang yang tengah bertempur itu tentu akan terpelanting dan orang yang melihatpun akan mengagumi kekuatannya.
Tetapi perhitungan Sebun Say itu ternyata gagal sebagian. Mo Hui memang terpental sampai bergulingan oleh dorongannya itu, tetapi Wi-lian hanya terhuyung dua langkah dan setelah itu tegak kembali dengan perkasanya.
Bahkan gadis ini sempat mengejek, “Oh, kiranya si cebol dari Jing-hay ini. Kiranya setelah malam itu kau dihajar oleh paman Liu kau belum juga jera daan masih punya nyali berkeliaran di Tiong-goan ini?”
Ucapan ini tepat mengenai kelemahan Sebun Say, dan membuat muka si pendek ini seketika menjadi merah seperti kepiting direbus. Kekalahannya di tangan Liu Tay-liong pada pertempuran di luar kota Kay-hong itu cukup membuat Sebun Say merasa malu dan berharap sedikit mungkin orang yang mengetahuinya, namun kini Wi-lian telah “mengumumkan”-nya di depan orang banyak, tentu saja kemarahan Sebun Say meluap seketika. Bentaknya bengis, “Gadis liar, jaga mulutmu!”
Tetapi Sebun Say belum juga turun tangan. Agaknya masih ada juga harga dirinya sebagai tokoh ternama untuk tidak berkelahi melawan seorang gadis muda di depan umum. Dalam pada itu Tang Kiau-po telah memandang Mo Hui dan kawan-kawannya sambil mendengus dingin, “Kawanan kantong nasi yang tak berguna minggirlah kalian!”
Dengan muka tertunduk tersipu-sipu Mo Hui dan kawan-kawannya segera menepi dari tengah gelanggang itu. Sisa Lam-gak-su-koay yang tinggal seorang itu lalu berusaha mengumpulkan teman-temannya yang terluka dan mencoba menolongnya. Ternyata Han Toan menderita luka dalam yang cukup parah, sedang salah seorang anggota Lam-gak-su-koay yang lain malahan tidak tertolong lagi jiwanya, yaitu orang yang ditendang Wi-lian sampai menjebol dinding tadi.
Agaknya tendangan Wi-lian itu terlampau keras, sehingga mengakibatkan beberapa helai tulang rusuknya patah kedalam dan melukai jantung. Dengan demikian mulai saat itu “empat siluman Lam-gak” itu berkurang hanya tinggal “tiga siluman” saja, itupun dengan pamor yang sudah tercuci habis-habisan.
Di tengah-tengah gelanggang, Wi-lian berdiri dengan gagahnya didampingi oleh Ting Bun dan Cian Ping yang sudah tidak bersenjata lagi. Meskipun yang mereka hadapi adalah dua orang gembong golongan hitam yang tak terkira ganasnya, namun ketiga orang muda itu tetap tenang dengan tekad bulat yang terbayang di wajah mereka. Banyak di antara para penonton yang mengagumi keberanian orang-orang muda itu, tetapi tidak seorang pun berani membantu mereka.
Bahkan tidak sedikit pula para penonton yang diam-diam meninggalkan tempat itu, mereka adalah orang-orang yang masih “punya urusan” dengan kedua gembong Hwe-liong-pang itu, dan mereka merasa lebih aman pergi diam-diam sebelum dilihat oleh kedua gembong itu.
Sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say nampak begitu sombong sekali, mereka menganggap bahwa nyawa Wi-lian dan kawan-kawannya seakan sudah dalam genggaman mereka. Namun karena ditonton oleh sekian puluh pasang mata, maka kedua tokoh golongan hitam ini ingin menunjukkan “keluhuran budi” mereka. Sambil tertawa-tawa dingin Ang- mo-coa-ong Tang Kiau-po berkata,
“Kalian sekarang adalah ibarat ikan dalam jaring, semua jalan keluar sudah tertutup bagi kalian. Tetapi kami bersedia mengampuni kalian bertiga, asalkan kalian bersedia minta maaf sambil berlutut dan berjanji tidak akan mengusik semua urusan Hwe-liong-pang kami lagi. Kukira syarat ini cukup ringan bukan?”
Tanpa gentar sedikitpun Cian Ping memperdengarkan tertawa mengejeknya, “Hemm, jadi kalian sebagai kaum tua yang seharusnya dihormati ini ternyata tanpa malu-malu telah menjungkirbalikkan kenyataan? Tanya dulu kepada anak buahmu siapakah yang mulai mengusik lebih dulu? Hwe-liong-pang atau Tiong-gi Piau-hang? Bahkan ayahkupun telah gugur oleh pengeroyokan licik Hwe-liong-pang kalian!”
Ting Bun juga ikut berkata lantang, “berbicara soal minta maaf, kalianlah yang seharusnya minta maaf kepada kami. Entah berapa banyak kaum persilatan yang kalian rugikan, entah berapa banyak nyawa yang melayang di tangan kalian!”
Diam-diam banyak penonton yang mengangguk-angguk menyetujui ucapan Ting Bun itu, namun tak seorang pun cukup berani untuk menyatakan dukungannya secara terang-terangan. Sedangkan Sebun Say telah membentak dengan berangnya,
“Bocah bermulut lancang, kau rupanya sudah bosan hidup?”
Ting Bun yang berwatak keras itu ternyata tidak kalah beringasnya dalam menjawab, “Setan cebol, kau ingin menggunakan kekuatanmu untuk menindas yang lemah dan bertindak sewenang-wenang? Kau boleh malang-melintang dan ditakuti orang di wilayah Jiang-hay dan Kam-siok, tetapi ketahuilah bahwa aku tidak gentar seujung rambutpun kepadamu!”
Di hadapan orang sekian banyak Sebun Say telah dicaci-maki dan ditantang terang-terangan seperti itu, tentu saja darahnya langsung naik ke kepala. Selangkah demi selangkah ia melangkah ke arah Ting Bun dengan tatapan mata yang seram, “Bagus, kau sendiri yang menginginkan kematianmu!”
Ting Bun juga sudah siap untuk bertempur sampai kekuatan terakhir, mati hidupnya sudah tidak dipikirkan lagi. Namun ternyata Wi-lian dan Cian Ping juga cukup setia kawan dan tidak mau membiarkan kawan seperjalanannya dibunuh begitu saja. Serentak kedua gadis itu pun mempersiapkan diri untuk menggabungkan tenaga dengan Ting Bun.
Melihat itu Sebun Say menjadi tertegun dan langkahnya pun menjadi ragu-ragu. Ting Bun dan Cian Ping berkepandaian sedang-sedang saja dan tidak perlu terlalu diperhitungkan, tetapi Wi-lian lain lagi bobotnya. Macan betina dari Siau-lim-pay itu pernah berkelahi dengan Sebun Say di luar kota Kay-hong, dan saat itu Sebun Say merasakan betapa tangguh dan gigihnya gadis itu.
Kini juga ketiga orang muda itu hendak maju bersama-sama, maka Sebun Say harus membuat perhitungan baru lagi. Bagi Wi-lian bertiga tidak perlu malu untuk mengeroyok, sebab mereka berhadapan dengan angkatan tua yang terkenal. Sebaliknya jika Sebun Say sampai tidak mampu menundukkan ketiga lawannya itu, akan runtuhlah pamornya selama ini.
Dalam keadaan serba salah itu mau tidak mau Sebun Say harus berusaha untuk melibatkan rekannya, Ang-mo-coa-ong sambil berpura-pura tertawa mengejek Sebun Say berkata kepada Tang Kiau-po, “Saudara Tang, lihatlah tikus-tikus kecil ini hanya dengan sedikit kepandaian saja hendak unjuk gigi di depan kita. Hayolah kita lemaskan otot-otot kita sebentar.”
Tang Kiau-po dapat memahami maksud hati rekannya itu. Maka diapun menancapkan tongkatnya ke tanah sambil menyahut, “Dasar monyet-monyet ini memang tidak tahu diri, membuat tanganku jadi ikut gatal pula. Saudara Sebun, hayo kita mulai.”
Demikianlah dua orang tokoh terkenal yang sama-sama duduk dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi telah bersiap-siap untuk berkelahi melawan tiga orang muda belia yang pantas menjadi anak mereka. Sebenarnya, jauh di dasar hati kedua tokoh itu ada rasa iri melihat bakat ketiga orang muda itu, terutama Wi-lian.
Tang Kiau-po dan Sebun Say menganggap bahwa jika ketiga orang muda itu dibiarkan hidup terus, mereka akan menjadi duri dalam daging di kemudian hari. Apalagi Sebun Say sudah berkali-kali mendapat malu dan ia ingin menebus kekalahannya.
Namun sebelum kedua orang tokoh tua itu turun tangan untuk melaksanakan niat jahatnya, tiba-tiba dari tengah-tengah kerumunan penonton terdengarlah suatu suara bernada mengejek, “Dua tua bangka yang tidak tahu malu! Dua tua bangka hendak menganiaya anak-anak muda!”
Baik Ang-mo-coa-ong maupun Sebun Say serempak berubah mukanya mendengar cacian itu. mata Ang-mo-coa-ong berkilat-kilat seperti mata seekor ular yang marah, dan memandang ke arah kerumunan penonton dari mana suara ejekan tadi berasal. Bentaknya, “Siapa manusia yang sudah bosan hidup ini?”
Ternyata cukup hanya dengan pandangan matanya yang kejam itu Ang-mo-coa-ong sudah berhasil “menyibakkan” kerumunan para penonton yang dipandangnya. Banyak yang menyingkir dari arah pandangan itu karena ngeri melihat sepasang mata yang dahsyat itu. Dan begitu para penonton menyingkir, maka terlihatlah orang yang telah berbicara tadi.
Orang itu ternyata seorang bertubuh tinggi tegap, berkepala gundul, berjubah pendeta Buddha berwarna abu-abu lusuh dan tangannya menjinjing sebatang tongkat bambu hitam yang mengkilap seperti besi dan panjangnya lebih kurang satu depa. Dengan tegarnya ia berdiri menantang pandangan mata Ang-mo-coa-ong tanpa perasaan gentar sedikitpun, bentuk tubuhnya kokoh bagaikan batu karang yang tak goyah oleh hantaman ombak samudera.
Terkejutlah Tang Kiau-po dan Sebun Say ketika melihat kemunculan rahib dekil ini. Kedua tokoh golongan hitam ini serempak menyebut sebuah nama, “Siau-lim-hong-ceng (rahib gila dari Siau-lim), kiranya kau!”
Sedangkan Wi-lian dan Ting Bun juga serempak memanggil dengan panggilan yang lebih akrab, “Pek-hu (Uwak)!”
Seperti telah diketahui, rahib ini saling mengangkat saudara dengan Tong Tian (ayah Wi-lian) dan Ting Ciau-kun (ayah Ting Bun), sehingga sepantasnyalah kalau Wi-lian dan Ting Bun memanggilnya “uwak”. Meskipun Rahib Hong-koan ini sangat membenci sifat-sifat licik Ting Ciau-kun, namun terhadap Ting Bun rahib ini justru punya penilaian lain, sebab ia tahu bahwa Ting Bun tidak sama dengan ayahnya. Bahkan Hong-koan Hwesio berpendapat bahwa Ting Bun masih tetap punya sifat-sifat ksatria dan kejujuran yang tidak dibuat-buat.
“Pang kami sendiri yang terhambat karena ulah anak-anak muda ini dengan hak apa kau ikut campur?”
Hong-koan Hwesio tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha, pintar sekali kau memutar balikkan kenyataan. Terbunuhnya Cian Sin-wi di Tay-beng itu apakah bukan karena pokal kalian yang menyuruh anak buah kalian untuk melakukannya? Kemusnahan perguruan Sin-hou-bun sampai memakan korban ratusan jiwa itu apakah juga bukan pokal kalian? Hemm, urusan Hwe-liong-pang kalian adalah juga urusan setiap anggota dunia persilatan yang cinta damai, itulah hakku untuk ikut campur!”
“Pendeta gila!” gertak Ang-mo-coa-ong kehabisan sabar. “Kuperingatkan kau agar menjaga keselamatanmu sendiri, kalau tidak kau bakal menyesal seumur hidup!”
Dengan langkah santai, Hong-koan Hwesio melangkah ke tengah arena sambil memutar-mutar tongkat bambu hitamnya. Ditudingnya Sebun Say dan Tang Kiau-po sambil memaki, “Percuma saja kalian dihormati oleh dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh sakti angkatan tua. Tindakan kalian yang sangat tidak tahu malu ini benar-benar mirip dengan tindakan para buaya darat kecil-kecilan!”
Bila disuruh bertempur satu lawan satu, baik Tang Kiau-po maupun Sebun Say akan berpikir beberapa kali sebelum melawan rahib aneh itu. Tetapi kini kedua tokoh Hwe-liong-pang ini tidak merasa gentar lagi sebab mereka berdua orang, sedangkan Hong-koan Hwesio hanya seorang diri. Bahkan Sebun Say menunjukkan kegeramannya dengan membalas memaki, “Kau si keledai gundul inilah yang tidak tahu malu! Kami sedang membereskan urusan dalam!"
Sahut Siau-lim-hong-ceng dengan tidak kalah garangnya, “Peringatan ini kubalikkan untuk kalian saja. Kuanjurkan kalian cepat-cepat menyingkir pergi dari sini bersama tikus-tikus kecil pengikut kalian itu. kalau tidak, jangan salahkan kalau tongkatku tak kenal ampun!”
“Kau sendirian dan kami berdua, kenapa berani bicara begitu takabur?” kata Sebun Say.
“Siapa bilang aku seorang diri?” kata Hong-koan Hwesio dengan nada menggoda.
Sebun Say terkejut mendengar jawaban rahib sinting itu. Ia lalu menoleh ke arah kerumunan penonton dan berusaha menutupi sikap gelisahnya yang mulai timbul, timbul dugaan Sebun Say bahwa rahib sinting itu datang bersama seorang kawannya. Jika benar, dan kawannya itu juga seorang rahib Siau-lim-pay yang bernama depan “hong” maka persoalannya bukan persoalan ringan lagi.
Dunia persilatan tahu bahwa rata-rata rahib-rahib angkatan “hong” adalah tokoh-tokoh sakti yang tidak dapat dibuat gegabah. Meskipun di antara rahib-rahib tua Siau-lim-pay itu hanya dua orang yang tercantum namanya dalam “Sepuluh Tokoh” namun tidak berarti lainnya boleh diabaikan saja, mereka tidak tercantum bukan karena kurang lihai melainkan karena jarang muncul di depan umum. Siapapun tahu bahwa Siau-lim-pay dapat diumpamakan “kubangan naga dan gua harimau.”
Wi-lian geli ketika melihat Sebun Say menengok ke kanan dan kiri seperti orang ketakutan. Ejek gadis itu, “Orang semacam kau hanya berani bersikap garang kepada orang yang lebih lemah, tetapi begitu mendengar datangnya orang kuat lainnya, kau mulai kebingungan seperti cacing kepanasan.”
Sebenarnya Sebun Say sudah sedapat mungkin menyembunyikan kegelisahannya, tak terduga ucapan Wi-lian itu begitu tepat membongkar kedoknya. Beberapa orang penonton hampir saja tertawa, namun tidak seorang pun berani tertawa terang-terangan di hadapan iblis dari Jing-hay yang ganas itu.
Sebun Say menjadi malu sekali, geramnya, “Keledai gundul gila, kau sendiri rupanya yang ketakutan sehingga menyebut-nyebut seorang kawan untuk menggertak kami. Hemm, andaikata orang itu ada, kau kira kami takut? Hayo majulah untuk bertempur tiga ribu jurus denganku.”
Rahib Hong-koan memicingkan sebelah matanya dengan sikap jenaka, katanya, “Aku tidak minta kau takut atau tidak. Tetapi kau boleh lihat siapa yang datang ini.”
Lalu Rahib ini berseru ke arah kerumunan penonton, “He, hidung kerbau (panggilan ejekan untuk kaum Tojin), apakah kau masih akan enak-enak saja mendekam di tempat sembunyimu dan membiarkan aku dikeroyok setan cebol dan setan rambut merah ini?”
Seruan itu ternyata mendapat sambutan, karena dari kerumunan penonton itu kini muncul seorang Tojin (imam agama To) yang melangkah perlahan-lahan ke tengah arena. Tojin ini berusia hampir tujuh puluh tahun, namun mukanya tetap merah segar dan matanya tajam bukan main dan mulutnya selalu membentuk sebuah senyum ramah yang menyejukkan hati.
Rambut dan jenggot panjangnya yang telah memutih perak itu semakin menambah kewibawaannya. Pakaian yang dikenakannya adalah jubah imam berwarna kuning gading yang sangat bersih, seakan-akan sebutir debu pun tidak menempel di jubahnya, sedangkan punggungnya menggendong sebatang pedang panjang berkuncir kuning.
Begitu muncul di tengah arena, ia langsung merangkapkan tangan memberi hormat kepada Ang-mo-coa-ong dan Sebun Say, “Selamat bertemu kembali, sahabat berdua, maafkan aku terpaksa memunculkan diri, rupanya si sinting itu belum puas sebelum melibatkan aku dalam kesulitan pula.”
Berhadapan dengan imam tua ini, sikap Tang Kiau-po dan Sebun Say yang tadinya begitu garang itu kini berubah menjadi sangat segan. Merekapun membalas hormat, sahut Sebun Say, “Selamat bertemu, Imam Kim-hian, kau nampak begitu segar dan sehat, tentunya ilmu pedangmu pun sudah maju pesat?”
Hong-koan Hwesio tertawa melihat Kim-hian Tojin berbasa-basi dengan kedua musuhnya itu, teriaknya, “He, hidung kerbau tua, aku hendak berkelahi dengan kedua siluman ini, kau membela siapa?”
Tojin tua itu ternyata seorang tokoh terkenal pula, dia adalah Kim-hian Tojin, sesepuh dari perguruan Bu-tong-pay yang sangat disegani. Dalam urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” dia menduduki urutan ketiga, suatu kedudukan yang cukup tinggi. Sambil tetap dengan senyum ramahnya dia menjawab pertanyaan Hong-koan Hwesio tadi,
“Keledai gundul sinting, kegemaranmu untuk berkelahi ternyata tidak berkurang juga tanpa mengingat usiamu yang semakin tinggi. Huh, kalau aku tidak mengingat bahwa kakak-kakak seperguruanmu adalah sahabat karibku, ingin rasanya kubiarkan kau dihajar babak belur oleh kedua sahabat dari Hwe-liong-pang ini.”
Ucapan Kim-hian Tojin itu kedengarannya saja memaki dan menggerutui Hong-koan Hwesio, namun dalam kalimatnya terkandung maksud bahwa imam itu melibatkan diri dalam pertempuran itu dan langsung berpihak kepada Hong-koan Hwesio. Keruan saja Tang Kiau-po dan Sebun Say terkesiap mendengarnya. Perimbangan kekuatan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan pihak Hwe-liong-pang.
Dengan suara yang mengandung rasa penasaran, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po berkata kepada Kim-hian Tojin, “Imam tua, antara pihakku dan pihakmu kurasa tidak pernah terjadi urusan apapun juga, kenapa sekarang kau mengusik urusan kami?”
Sahut Imam Kim-hian dengan tajamnya, “Hemm, memangnya kapankah kalian berani bersikap garang kepada yang lebih kuat? Kalian hanya berani menindas golongan-golongan kecil dan orang-orang yang lemah, tetapi jika kalian berani, hayolah hadapi Bu-tong-pay kami!”
Ucapan yang tajam dan penuh kobaran semangat itu kebetulan cocok dengan perasaan seluruh dunia persilatan yang selama ini dihantui oleh tindakan-tindakan kejam orang-orang Hwe-liong-pang. Maka kini tanpa takut-takut lagi orang banyak yang mengerumuni tempat itu langsung memberi sorakan dukungan bagi Kim-hian Tojin.
Sedang Wi-lian dan kawan-kawannya pun menaruh hormat kepada imam itu, pikirnya, “Meskipun sudah lanjut usia, imam ini agaknya masih berdarah panas seperti orang-orang muda. Sekarang akan kulihat apakah orang-orang Hwe-liong-pang ini masih berani bertingkah atau tidak.”
Bagi orang-orang Hwe-liong-pang, tantangan tokoh Bu-tong-pay yang diucapkan terang-terangan di hadapan umum itu benar-benar telah memanaskan kuping mereka, namun mereka pun sadar bahwa keadaannya kurang menguntungkan bagi mereka. Terpaksa Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po dengan sikap menahan diri berkata,
“Imam tua, kau sudah mengucapkan sendiri tantangan itu. Namun aku bukan orang yang berwenang untuk menanggapi tantangan itu, melainkan hanya akan kusampaikan kepada Pang-cu (Ketua) kami. Kuharap kau tidak menyesali kata- kata yang telah kau ucapkan itu.”
Sebaliknya Sebun Say agaknya lebih tidak tahu gelagat dibandingkan dengan temannya itu. Selama ini dia sudah beranggapan bahwa seisi kolong langit itu sudah begitu ketakutan kepada Hwe-liong-pang, dan hal ini cukup membanggakan Sebun Say. Kini imam Bu-tong-pay itu berani bersikap demikian menantang, maka harus ditanggapi dengan tidak kalah garangnya pula, demikian pikirnya. Sebun Say berniat mencelakai imam itu, namun karena merasa kepandaiannya belum mencukupi untuk itu, maka diam-diam ia menyiapkan sebuah serangan bokongan yang licik.
Demikianlah diam-diam tangannya mulai memegang gagang senjata sabit yang tergantung di punggungnya itu, sementara mulutnya berkata untuk melengahkan calon korbannya, “Imam tua, selama ini Hwe-liong-pang kami terpaksa bertindak keras kepada beberapa pihak, karena kami selalu diganggu dan harus mempertahankan hidup...”
“Kalian diganggu orang, atau kalianlah yang mencari perkara? Siapa yang mengganggu kalian?” tanya Kim-hian Tojin sinis.
“Kau!” tiba-tiba Sebun Say berteriak keras dibarengi dengan seruan kaget orang banyak. Ternyata sambil berteriak itu Sebun Say telah melompat secepat kilat ke arah Imam Kim-hian, senjata sabitnya bergerak dengan jurus yang keji bukan main, sehingga yang nampak oleh mata hanyalah sebaris ungu yang membelah udara.
Detik berikutnya terdengar suatu benturan keras, terlihat pula sinar ungu dan sinar yang keperak-perakan beradu di tengah udara, lalu Sebun Say melompat mundur kembali dengan air muka yang aneh. Sedang Imam Kim-hian yang diserangnya dengan licik itu ternyata masih berdiri tak kurang suatu apa di tempatnya semula mukanya masih tersenyum namun matanya tajam menatap lawan. Tangan kanan imam tua itu kini telah memegang pedangnya tidak tahu kapan pedang itu terlolos dari sarungnya.
“Benar-benar serangan yang bagus,” kata Imam Kim-hian sambil tertawa, lalu dengan gaya santai disarungkannya pedangnya kembali.
“Pedang yang sangat cepat!” sebaliknya Rahib Hong-koan malah memuji Kim-hian Tojin.
Waktu itu adalah tengah hari, angin bertiup cukup keras. Begitu ada angin yang bertiup cukup keras, seketika jubah Sebun Say lepas dari pemiliknya dan terbang ke udara, ternyata jubah itu telah terbelah oleh pedang Kim-hian Tojin tadi! Kini si iblis cebol dari Jing-hay itu hanya tinggal mengenakan celana dalam pendeknya, sedang tubuh atasnya sudah telanjang.
Kiranya tadi Imam Kim-hian berhasil merobek pakaian Sebun Say tanpa mengenai kulitnya. Dengan gerakan itu, jelaslah bahwa imam tua itu telah mencapai taraf ilmu di mana pedangnya telah bersatu dengan sukmanya, dengan kemauannya, suatu tingkatan maha tinggi dalam ilmu pedang!
Bukan saja angkatan muda seperti Wi-lian, seperti Ting Bun dan Cian Ping saja yang terpesona oleh gerakan imam tua itu, bahkan tokoh-tokoh seperti Rahib Hong-koan dan Ang-mo-coa-ong itupun sempat dibuatnya terpesona. Siau-lim-hong-ceng menggeleng-gelengkan kepala gundulnya sambil mendecak-decakkan lidahnya, “Hebat sekali kau hidung kerbau tua. Jika saat ini diadakan lagi pemilihan Sepuluh Tokoh Sakti, maka aku akan mencoret namaku saja dan lebih enak sebagai penonton saja.”
Sebaliknya saat itu Sebun Say bersikap terlongong-longong dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Malu dan marah bergejolak hebat di dalam dadanya, namun di samping perasaan-perasaan itu diapun merasa gentar bukan main akan kelihaian sesepuh Bu-tong-pay itu. Dia sudah melakukan suatu serangan licik yang tidak terhormat, ternyata masih gagal juga, bahkan sebagai balasannya ia mendapat malu sehebat itu. Jika tidak ada orang lain yang melihatnya, ingin rasanya ia menangis sekeras-kerasnya untuk melampiaskan perasaannya yang bercampur-aduk itu.
Sedangkan Rahib Hong-koan justru bersikap sangat jahil. Dengan muka yang pura-pura sedih dia memberi hormat berkeliling kepada para penonton, lalu katanya dengan nada seperti seorang rahib alim, “Semua manusia di kolong langit adalah saudara, wajib saling menolong jika ada yang kekurangan sandang pangan. Siapa di antara saudara-saudara yang sudi meminjamkan bajunya kepada saudara Sebun ini agar dia tidak masuk angin?”
Sebun Say tidak tahan lagi mendapat hinaan luar biasa itu. Tiba-tiba ia menjerit keras dan melesat pergi sambil meninggalkan lengkingan kemarahan dan dendam yang luar biasa, sekejap saja ia sudah tidak terlihat bayangannya lagi. Sedang Hong-koan Hwesio terbahak-bahak puas.
Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po juga sudah merasa tidak ada gunanya lagi tinggal di tempat itu lebih lama lagi. Salah-salah dia bisa dipermalukan pula seperti nasib rekannya tadi. Maka cepat-cepat ia memberi hormat kepada Kim-hian Tojin dan berlalu dari situ dengan diiringi oleh anak buahnya yang dalam keadaan berantakan itu.
Penontonpun bubar, namun kejadian di tempat itu dengan cepat telah tersiar ke tempat-tempat yang jauh. Nama Hwe-liong-pang bukan lagi nama yang ditakuti luar biasa karena ternyata terbukti ada juga tokoh-tokohnya yang bisa dikalahkan, namun demikian belum seorangpun umat persilatan umumnya yang berani menentangnya secara terus terang.
Tong Wi-lian bertiga segera mendekati Rahib Hong-koan dan Imam Kim-hian untuk memberi salam sekalian mengucap terima kasih atas pertolongan tokoh-tokoh angkatan tua itu. Kim-hian Tojin membalasnya dengan sikap ramah, namun juga menegur, “Kalian adalah orang-orang muda yang bernyali besar, tetapi kalian masih terlalu dikuasai oleh darah muda kalian yang panas. Iblis cebol dan iblis berambut merah itu bukanlah tokoh-tokoh yang bisa diajak main petak umpet.”
Wi-lian agak tersipu mendengar teguran itu, sahutnya, “Terima kasih atas nasehat Totiang, kami memang tidak menduga bahwa kedua gembong iblis itu bakal muncul pula di sini. Kami memang sering tidak tahan melihat tingkah laku orang-orang Hwe-liong-pang yang sewenang-wenang itu.”
Kim-hian Tojin hanya tersenyum saja menanggapi bantahan gadis yang keras hati itu. Lalu ia mengalihkan pandangannya kepada Ting Bun yang bajunya telah basah oleh keringat dan darah itu, “He, bagaimana dengan lukamu?”
Sahut Ting Bun dengan hormat, “Hanya luka di kulit yang tidak membahayakan, dengan taburan obat luka di kulit yang kubawa dari rumah maka darahnya akan segera berhenti mengalir.”
Dalam pada itu Rahib Hong-koan pun telah berkata pula, kali ini sikapnya nampak bersungguh-sungguh dan tidak bergurau lagi, “Diam-diam aku memang sudah mengikuti perjalanan kalian sejak dari Tay-beng. Aku sudah mendengar semuanya. Tentang A-hong yang telah menjadi Cong-piau-thau baru di Tiong-gi Piau-hang, dan juga hubungan dingin antara A-hong dengan Ting Bun. Aku ingin berkata sesuatu kepada A-hong, karena itu marilah kita susul dia ke Kiang-leng.”
Usul itu disetujui semua orang, kecuali Kim-hian Tojin yang mohon pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Tanya Rahib Hong-koan sambil tertawa, “Hidung kerbau tua, kenapa kau sangat takut berdekatan dengan aku? Takut kalau kuloloh arak dan daging?”
Imam tua Bu-tong-pay itu hanya tersenyum saja menanggapi gurauan sahabatnya itu, sahutnya, “Tepat sekali, aku takut ketularan menjadi sinting jika terlalu lama berdekatan dengan seorang sinting seperti kau ini.”
Begitulah merekapun saling mengucapkan salam perpisahan. Imam Kim-hian akan melanjutkan perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perguruan Bu-tong-pay di berbagai tempat, sedangkan Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio yang diiringi oleh Wi-lian, Ting Bun dan Cian Ping lalu menyusul Wi-hong ke kota Kiang-leng yang sudah kelihatan di depan mata.
Jilid 01
DALAM pada itu, kedatangan Tong Wi-hong yang sangat mendadak dan tidak terduga-duga itu telah disambut dengan muka-muka yang tegang oleh orang-orang Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng. Begitu Wi-hong menambatkan kudanya dan melangkah masuk melewati pintu gerbang, maka dilihatnya di halaman itu sudah ada belasan sosok tubuh yang berbaring berjajar-jajar dengan ditutupi tikar, semuanya tanpa nyawa. Sedangkan orang-orang Piau-hang yang masih hidup, berdiri mengelilingi halaman itu dengan muka yang tegang.
Pemimpin cabang Kiang-leng adalah Hua Yong-ceng yang bergelar Thi-kun-lo-sat (Raksasa Bertinju Besi), yang segera menyambut kedatangan pemimpinnya itu dengan tergopoh-gopoh. Hua Yong-ceng adalah seorang lelaki tinggi besar, tingginya saja hampir satu setengah kali dari tinggi orang biasa, sedangkan mukanya penuh berewok dan kedua kepalannya nampak menghitam keras karena setiap hari dilatih dengan memukuli karung pasir. Untuk daerah Kiang-leng dan sekitarnya, dia adalah seorang jagoan yang cukup disegani.
Begitu telah berhadapan dengan Tong Wi-hong, mendadak Hua Yong-ceng menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Aku Hua Yong-ceng ternyata tidak becus mengurus Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng sehingga nama besar Piau-hang telah dirubuhkan orang dan mengalami kerugian besar. Aku mohon hukuman dari Cong-piau-thau dan setelah itu mohon meletakkan pekerjaan ini.”
Cepat Wi-hong memegang tangan Hua Yong-ceng dan mencegahnya untuk berlutut, katanya, “Hua Toako, semua urusan bisa dibicarakan perlahan-lahan dan dengan kepala dingin, harap kau tidak bersikap sesungkan ini kepada aku!”
Hua Yong-ceng bangkit dari berlututnya, namun mukanya tetap tertunduk dalam-dalam, menarik napas berkali-kali dan nampak begitu lesu. Sikap gagahnya sehari-hari itu tidak bersisa sedikitpun, katanya, “Kebaikan dan sikap pemaaf Cong-piau-thau justru semakin menyiksa aku dan membuatku merasa semakin berdosa terhadap kebesaran Tiong-gi Piau-hang, aku benar-benar malu, aku...”
Sahut Wi-hong memotong ucapan Hua Yong-ceng, “Hua Toako, siapakah orangnya yang belum pernah mengalami kegagalan? Berhentilah menyesali diri, aku ingin mendengar selengkapnya tentang kejadian apa yang telah menimpa cabang ini.”
Kedua orang itu lalu berdampingan berjalan masuk ke dalam gedung Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu. Banyak piau-su cabang Kiang-leng yang belum pernah melihat Tong Wi-hong, pemimpin mereka yang baru itu, dan mereka menjadi heran ketika melihat Wi-hong masih begitu muda. Ada di antara mereka yang mulai timbul keraguannya, sanggupkah orang semuda Wi-hong memimpin dan mengendalikan Tiong-gi Piau-hang yang begitu besar? Sanggupkah mengemudikan Tiong-gi Piau-hang menempuh badai persilatan yang hebat?
Dalam pada itu Tong Wi-hong dan Hua Yong-ceng telah duduk berhadap-hadapan di ruangan dalam. Si raksasa bertinju besi itu segera menceritakan selengkapnya tentang apa saja yang telah dialami oleh cabang Kiang-leng itu.
Kisahnya, ketika Hua Yong-ceng baru saja pulang dari Tay-beng untuk menghadiri pemakaman Cian Sin-wi beberapa hari yang lalu, begitu tiba di Kiang-leng dia telah menerima laporan dari anak buahnya, bahwa beberapa kiriman yang bernilai tinggi telah hilang di tengah jalan. Yang paling gawat adalah hilangnya bingkisan dari Sun-bu (Kepala Daerah) Ho-lam kepada Kaisar Cong-ceng, dimana bingkisan yang hilang itu berwujud batu-batu permata dan barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya.
Selain itu masih ada pula bingkisan-bingkisan lain yang dirampas di tengah perjalanan, yang meskipun nilainya tidak setinggi bingkisan Ho-lam Sun-bu kepada Kaisar, namun jika pemiliknya sampai menuntut ganti rugi maka akan dapat membangkrutkan Tiong-gi Piau- hang seketika itu juga.
“Apakah kalian tahu pihak manakah yang merampas kafilah-kafilah itu?” tanya Wi-hong, meskipun dalam hatinya ia sudah menemui jawabannya.
Sahut Hua Yong-ceng, “Hal itulah yang rasanya membuat aku malu untuk menemui Cong-piau-thau. Aku sudah membentuk regu-regu berkuda gerak cepat yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat jarak jauh, juga burung-burung merpati untuk membawa surat, namun hasilnya nihil. Sebagian dari regu-regu penyelidik itu pulang dengan tangan hampa, sedang sebagian lagi pulang dengan membawa anggota-anggotanya yang luka parah atau tewas. Bahkan ada dua regu yang tidak ada kabar beritanya lagi, kemungkinan besar sudah tertumpas habis oleh pihak lawan.”
Tong Wi-hong mengertakkan gigi dengan geramnya. Baru beberapa hari ia menjabat sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang, telah muncul tantangan yang begitu berat jika dia tidak dapat mengatasi tantangan itu, terpaksa Tiong-gi Piau-hang harus memberi ganti kerugian kepada para pemilik barang yang dikawal itu, dan jumlah ganti rugi yang demikian besar mungkin bisa membuat Tiong-gi Piau-hang gulung tikar seketika. Lagipula dengan kejadian-kejadian itu Tiong-gi Piau-hang akan kehilangan kepercayaan dari langganan-langganannya, dan jika itu benar-benar terjadi, Wi-hong rasanya tidak punya muka lagi untuk hidup di dunia ini.
Setelah berusaha menenangkan dirinya, Wi-hong bertanya lagi, “Dari regu-regu yang pulang dengan luka-luka itu apakah bisa didapatkan keterangan tentang pihak mana yang memusuhi kita ini?”
“Hwe-liong-pang,” sahut Hua Yong-ceng sambil mengepalkan tinjunya keras-keras. “Bahkan dari pembicaraan yang berhasil didengar oleh anak buah kita, dapat diketahui bahwa yang melakukan pembegalan ini adalah dari kelompok-kelompok mereka yang disebut Hek-ki-tong, Ang-ki-tong, Jai-ki-tong dan Jing-ki-tong. Empat kelompok sekaligus merampok kita! Betapa gigihnya saudara-saudara kita dalam mempertahankan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini, toh tidak sanggup menghadapi empat kelompok Hwe-liong-pang itu sekaligus. Cukup empat orang Tong-cu (Kepala Kelompok) dan wakilnya masing-masing itu saja sudah merupakan lawan berat, belum ditambah anak buah mereka yang rata- rata juga cukup tangguh itu.”
Di dahi Wi-hong muncul beberapa garis kerutan yang dalam, menandakan dia sedang berpikir keras menyelesaikan persoalan itu. Menghadapi Hwe-liong-pang memang memusingkan kepala. Bukan cuma masalah karena Hwe-liong-pang punya jago-jago tangguh, tetapi juga karena orang-orang Hwe-liong-pang itu sulit dilacak jejaknya, mereka tidak mempunyai tempat tertentu. Mereka memunculkan diri begitu merasa perlu untuk muncul, kemudian menghilang begitu saja bagaikan hantu-hantu gentayangan.
Sementara Wi-hong berpikir, kembali terdengar suara kesibukan dari luar gedung itu. Kiranya Wi-lian, Ting Bun, Cian Ping dan juga Hong-koan Hwesio telah tiba pula di situ. Meskipun selama ini Wi-hong bersikap dingin kepada Ting Bun, namun ia terkejut pula ketika melihat pakaian Ting Bun penuh dengan bercak-bercak darah, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah munculnya si uwak-angkat di tempat itu. Tenaga maupun pengalaman Hong-koan Hwesio akan terasa sangat bermanfaat untuk dimintai bantuan dalam keruwetan itu.
Lebih dulu Wi-hong menyambut Rahib Hong-koan dengan hormat, lalu ia bertanya kepada adiknya, “He, kalian seperti orang-orang yang habis berkelahi, apa rupanya yang telah terjadi?”
Secara singkat Wi-lian menceritakan kisah pertempurannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang dari kelompok Jai-ki-tong yang berlangsung di warung arak itu.
“Hah, orang-orang Hwe-liong-pang?! Ayo kita kejar mereka!”
“Percuma, mereka tentu sudah pergi jauh,” sahut Wi-lian.
Maka lesulah sikap Wi-hong. Demi basa-basi, Wi-hong melirik sekejap kepada Ting Bun dan bertanya, “Luka-luka Ting Toako ini apakah tidak berbahaya?”
Pada kesempatan itulah Hong-koan Hwesio sengaja menunjukkan sikap baik kepada Ting Bun. Kata rahib itu sambil menepuk-nepuk bahu Ting Bun, “Untung hanya luka-luka di luar yang tidak terlalu menguatirkan. Dia terlalu berani ketika bertempur melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu, bahkan juga ketika menghadapi Ang-mo-coa-ong dan si gembong iblis dari Jing-hay."
Melihat sikap Rahib Hong-koan yang begitu baik terhadap Ting Bun, mau tidak mau Wi-hong mulai berpikir dan menilai sikapnya sendiri selama ini. Wi-hong teringat bahwa yang memperingatkannya tentang kebusukan Ting Ciau-kun si paman angkat adalah Hong-koan Hwesio ini, juga rahib inilah yang menyelamatkannya ketika Wi-hong hendak dibunuh oleh Ting Ciau-kun bersama Te-yong Tojin di hutan cemara di luar kota Tay-beng.
Namun kini rahib itu nampak bersikap begitu baik terhadap Ting Bun, jelaslah ini merupakan “isyarat” buat Wi-hong agar jangan menyama-ratakan Ting Bun dengan ayahnya. Ting Ciau-kun adalah seorang yang berwatak culas dan licik, tidak segan-segan berbuat apapun untuk keuntungan sendiri, sebaliknya Ting Bun adalah seorang pemuda yang bersifat lugu dan bahkan punya watak ksatria. Lalu Wi-hong pun teringat akan suatu kejadian dua tahun lalu, ketika Wi-hong dan adiknya pertama kali menginjak Pak-khia, di sebuah rumah makan.
Ketika itu Ting Bun berpihak justru kepada orang lemah yang ditindas oleh ayahnya sendiri, sikap itu tidak nampak dibuat-buat. Setelah berpikir demikian, akhirnya Wi-hong merasa bahwa sikapnya selama ini kepada Ting Bun memang agak kelewat batas, betapapun Ting Bun tidak bisa disamakan dengan Ting Ciau-kun. Bahkan kemungkinan besar anak muda ini tidak mengetahui akan perbuatan-perbuatan busuk dari ayahnya sendiri.
Akhirnya sikap Wi-hong berubah. Secara terbuka, dan dengan disaksikan oleh beberapa orang, ia meminta maaf kepada Ting Bun dengan tulus, “Selama ini aku bersikap dingin dan beberapa kali menyakitkan hati Toako, harap Toako sudi memaafkan aku. Mungkin karena aku yang terlalu dipengaruhi pengalaman pahit masa lalu, sehingga mataku tertutup dan tidak melihat ketulusan Toako.”
Sikap Wi-hong itu sudah cukup melegakan siapapun. Sahut Ting Bun dengan agak terharu, “Asal kau dapat memahami isi hatiku, dibacok beberapa kalipun aku rela. Akupun dapat memaklumi sikapmu selama ini, karena pengalaman pahit masa lalu agaknya memang membekas terlalu dalam dan sulit dilupakan.”
Ternyata kembali terjadi salah pengertian antara Wi-hong dan Ting Bun dalam mengartikan kata-kata “pengalaman pahit masa lalu” itu. Ting Bun mengira bahwa pengalaman pahit masa lalu itu adalah peristiwa terbunuhnya ayah Wi-hong oleh orang-orang berseragam kaum prajurit Kerajaan, sehingga Wi-hong jadi berkesan buruk kepada kaum prajurit. Sedangkan Wi-hong mengartikan pengalaman pahit masa lalunya itu sebagai peristiwa kelicikan Ting Ciau-kun ketika hendak membunuhnya di luar kota Tay-beng dulu.
Namun kesalah-pahaman itu tidak jadi soal lagi, dan sama sekali tidak mengurangi rasa hangatnya persahabatan yang mulai terasa di hati anak-anak muda itu. Keduanya adalah sama-sama anak muda yang bersifat terbuka dan menyanjung tinggi sifat-sifat jantan, karena itu segala perselisihan masa lalu dengan mudah telah mereka singkirkan jauh-jauh.
Tentu saja yang paling berbahagia melihat rukunnya kembali kedua anak muda ini adalah Wi-lian, ini terlihat dari sinar matanya yang berseri-seri. Tetapi ketika Rahib Hong-koan berdehem sambil tersenyum ke arahnya, maka gadis itupun menundukkan kepalanya dengan tersipu-sipu.
Kini Tong Wi-hong, Hua Yong-ceng, Hong-koan Hwesio, Wi- lian, Ting Bun dan Cian Ping telah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah meja hidangan. Sekali lagi Hua Yong-ceng harus mengulangi ceritanya tadi, agar orang-orang yang baru datang itu dapat mendengarnya pula.
Semua orang mendengarkan pengisahan Hua Yong-ceng itu dengan penuh perhatian. Dan setelah cerita itu selesai, semua orang berpendapat bahwa masalahnya cukup rumit. Mereka sudah tahu jelas bahwa orang Hwe-liong-pang pelaku semua kekacauan itu, namun tidak seorang pun tahu kemana harus mencari orang-orang itu?
“Betapapun juga kita tidak boleh menyerah diperlakukan semena-mena seperti ini,” akhirnya Tong Wi-hong berseru sambil menggebrak meja. “Jika masalah ini tidak bisa diatasi, maka untuk selanjutnya Tiong-gi Piau-hang akan runtuh namanya dan tidak lagi mendapat kepercayaan orang, dan itu berarti ribuan anak buah kita akan kehilangan nafkahnya!”
“Kita tunda perjalanan kita berziarah ke An-yang-shia, sampai persoalan di tempat ini selesai lebih dulu,” kata Wi-hong.
Semuanya ternyata sependapat dan mendukung usul itu. Setelah berunding sampai hampir sore, akhirnya ditemukan akal bahwa orang-orang Hwe-liong-pang jangan dicari, melainkan dipancing supaya keluar sendiri dari sarangnya. Untuk itu dipakailah tipu muslihat pura-pura hendak mengirimkan suatu barang kawalan berharga ke tempat yang jauh. Wi-hong, Cian Ping dan Wi-lian akan menampakkan diri secara terang-terangan dalam iring-iringan itu, agar menarik perhatian lawan.
Ting Bun dan beberapa jagoan dalam Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng akan menyamar sebagai piau-su biasa dan bercampur dengan piau-su piau-su biasa lainnya, sedangkan Hong-koan Hwesio akan ikut serta pula, namun dengan bersembunyi di dalam kereta barang. Sedangkan Hua Yong-ceng tetap bertugas menjaga markas.
Persiapan untuk itu segera dijalankan. Untuk meyakinkan pihak lawan bahwa seolah-olah kiriman besar itu bukan suatu tipuan, maka Hua Yong-ceng mengatur segala-galanya dengan cermat. Beberapa orangnya menyamar sebagai hartawan yang mengunjungi gedung Tiong-gi Piau-hang secara menyolok, sementara itu beberapa peti “harta berharga” nampak diangkut masuk ke dalam gedung dengan pengawalan ketat. Hua Yong-ceng yakin bahwa semua kegiatan gedung itu tentu diketahui oleh pihak Hwe-liong-pang, sebab mereka agaknya punya mata-mata yang tersebar di semua tempat.
Dugaan Hua Yong-ceng memang tidak meleset. Kesibukan yang luar biasa di Tiong-gi Piau-hang cabang Kiang-leng itu memang tidak lepas dari pengamatan seorang “tukang sayur” yang setiap hari hilir mudik di jalan di depan gedung itu. Lelaki itu memang bertampang seperti orang dusun tulen, lengkap dengan tampangnya yang kelihatan bodoh dan lugu. Namun, tanpa dilihat siapapun, kadang-kadang nampak sepasang matanya di bawah tudung bambu itu berkilat-kilat dengan tajamnya, menandakan bahwa bobot orang ini tidak seremeh tampangnya.
Pagi itu kembali si penjual sayur lewat di depan gedung, dan kebetulan dilihatnya ada belasan orang kuli sedang mengusung kotak-kotak kayu besar ke dalam gedung. Dari halaman dalam dan samping, terdengar para piau-su sedang membentak-bentak dalam latihan silatnya. Diam-diam si tukang sayur ini tersenyum mengejek dan berdesis seorang diri, “Rupanya si kerbau dogol she Hua itu belum kapok juga meskipun telah menelan beberapa pengalaman pahit.”
Lalu dengan langkah santai dan wajar, si penjual sayur berbelok masuk ke sebuah lorong sempit. Di depan sebuah toko obat yang terletak di lorong itu, si tukang sayur berhenti dan meletakkan keranjang sayurnya. Lalu dengan langkah terbungkuk-bungkuk persis seperti orang dusun tulen, ia melangkah masuk ke dalam toko obat itu.
Si pemilik toko obat itu agaknya sudah mengenalnya. Begitu nampak kedatangan si tukang sayur, ia segera menyambutnya dengan ucapan, “Bahan-bahan obat apa lagi yang kau bawa? Aku percaya tentunya bahan-bahan yang bermutu baik, lekaslah kau bawa masuk ke dalam.”
Tidak ada yang mencurigai tanya jawab itu terlalu wajar dan terlalu umum, bahkan para pegawai toko obat itupun tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Suatu hal yang biasa kalau majikan mereka membeli bahan-bahan obat-obatan berupa tumbuh-tumbuhan dari para pedagang di desa. Si penjual sayur mengucap terima kasih, dan dengan terbungkuk-bungkuk memikul keranjang sayurnya, ia masuk ke dalam bersama si majikan toko obat itu. Mereka langsung masuk ke ruang tengah, sebuah ruangan tertutup dan merupakan ruangan pribadi sang majikan.
Begitu pintu tertutup, si majikan rumah obat itu langsung bertanya, “Bagaimana kabar yang tersiar belakangan ini? Berita tentang pengiriman besar-besaran itu apakah bisa kita percayai?”
Kini si tukang sayur itu tidak terbungkuk-bungkuk lagi, namun bersikap tegap dan tangkas. Sambil memberi hormat kepada majikan rumah obat itu, ia menjawab, “Sudah kuselidiki dengan cermat dan ternyata memang betul akan ada pengiriman besar-besaran. Agaknya para piau-su tolol itu merasa besar hati sebab pemimpin mereka dari Tay-beng ada di tengah mereka, yaitu si bocah ingusan Tong Wi-hong itu. Kuduga barang kawalan itupun cukup mahal, sebab para piau-su sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dirinya, bahkan latihan silatpun ditingkatkan. Bahkan kudengar pengawalannya bukan cuma ditangani cabang Kiang-leng, namun juga dibantu oleh jago-jago tangguh Tiong-gi Piau-hang dari cabang-cabang Lok-yang dan Bu-sek.”
Si majikan rumah obat menggebrak meja dan berseru gembira, “Wah, kali ini benar-benar kelas kakap kalau begitu! Kita tidak boleh melewatinya begitu saja! Jika kita berhasil, aku yakin ini akan merupakan pukulan terakhir yang mematikan buat Tiong-gi Piau-hang!”
Si tukang sayur itupun matanya nampak bersinar-sinar dengan liciknya, sahutnya, “Betul sekali ucapan Tong-cu itu! Ini tidak boleh dilewatkan. Seluruh rekan-rekan dari Hek-ki-tong (Kelompok Bendera Hitam) sudah gatal tangan semuanya dan menunggu perintah Tong-cu!”
Si majikan rumah obat itu tampangnya sedikitpun tidak menunjukkan tampang dunia persilatan, orang tentu tidak menduga bahwa dia ternyata adalah salah seorang Tong-cu (Pemimpin Kelompok) di dalam Hwe-liong-pang. Dialah Tong-cu dari Kelompok Bendera Hitam, salah satu kelompok tangguh di kalangan Hwe-liong-pang.
Majikan rumah obat itu nampak berpikir keras, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, “Kita memang harus turun tangan, tapi sama sekali jangan gegabah. Menilik kekuatan Tiong-gi Piau-hang yang dikerahkan untuk mengawal barang itu, maka harus kita akui bahwa kekuatan kelompok kita sendiri tidak akan mencukupi. Seperti pada saat-saat yang lalu, kita harus bekerja-sama dengan Jing-ki-tong, Jai-ki-tong dan Ang-ki-tong. Apakah mereka masih bisa dihubungi?”
Sahut si “tukang sayur” itu, “Jai-ki-tong baru saja mengalami pukulan berat dari gadis Siau-lim-pay itu. Mo Tong-cu terluka agak parah dan kehilangan beberapa anak buah andalannya, agaknya kurang bisa diandalkan untuk kerja sama. Sedangkan Ang-ki-tong sudah berada dalam perjalanan ke Lam-cang untuk memenuhi panggilan Pang-cu (Ketua), agaknya tidak sempat untuk disusul lagi.”
“Kenapa begitu terburu-buru menuju Lam-cang? Bukankah pertemuan itu masih belasan hari lagi, dan masih ada kesempatan untuk mencari rejeki tambahan?” gerutu majikan rumah obat itu. “Jika hanya gabungan antara kita dengan Jing-ki-tong saja, kukira kekuatan kita tidak meyakinkan untuk menandingi musuh.”
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dari balik jendela yang tertutup itu. Suara geramannya begitu dingin dan jelas mengandung perasaan marah yang terpendam. Majikan rumah obat dan si penjual sayur itu serentak bangkit dengan terkejutnya. Siapakah orangnya yang telah mampu menyelundup ke bagian dalam rumah obat itu, dan bahkan dapat berdiri di muka jendela tanpa diketahui oleh orang- orang yang berada di dalam?
Belum lagi kejutan pertama hilang kesannya, maka kejutan yang kedua telah terjadi pula. Tiba-tiba jendela kayu yang tertutup itu telah rontok begitu saja, tanpa suara, berubah menjadi serpihan-serpihan kayu kecil, ibarat segumpal tanah kering yang dicelupkan ke dalam air saja. Dan kini nampaklah siapa orangnya yang telah berdehem tadi....
Selanjutnya;