Perserikatan Naga Api Jilid 18Karya : Stevanus S.P |
Jika ada halilintar meledak di pinggir telinga Wi-hong, barangkali tidak sekaget ketika mendengar nama itu. Cepat ia memanggil Can Lo-toa supaya mendekat, lalu pesannya kepada orang tua itu, “Paman Can, tolong kau gantikan tugasku sebentar untuk menyambut para tetamu, aku akan berbicara dengan saudara ini tentang sesuatu yang sangat penting. Jangan sekali-sekali kurang menghormat kepada tetamu.”
Melihat Cong-piau-thaunya yang begitu bersungguh-sungguh itu, heran juga perasaan Can Lo-toa, agaknya tetamu muda yang aneh itu memang merupakan orang penting bagi Cong-piau-thaunya. Tetapi Can Lo-toa tidak banyak bertanya lagi dan langsung menerima tugas itu. “Kita akan berbicara di ruangan belakang,” kata Wi-hong kepada anak muda hartawan itu. Lalu ia melangkah mendahului sambil menggandeng tangan anak muda itu. ketika Wi-hong bertemu dengan seorang pelayan yang sedang berada di halaman tengah, Wi-hong segera berkata kepada pelayan itu, “He, kau, kau panggillah nona A-lian dan suruhlah dia menyusul aku ke ruangan kitab di sebelah timur. Ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan.” Anak muda hartawan itu menurut saja tangannya ditarik Wi-hong sampai ke ruangan kitab sebelah timur, yang letaknya memang di bagian belakang dari gedung besar itu. Tidak lama kemudian kedua orang muda itu telah duduk berhadap-hadapan di ruangan itu, muka Wi-hong nampak tegang menanti berita apa yang akan dibawa oleh tamunya itu. Sebelum kedua orang itu mulai berbicara, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa menuju ruangan itu, lalu pintu didorong dari luar dan masuklah Wi-lian dengan wajah yang tegang pula. Sebenarnya gadis itu hendak langsung bertanya kepada kakaknya tentang urusan penting apa yang dimaksud, tetapi ketika melihat adanya seorang tetamu muda yang belum dikenalnya juga sedang berada dalam ruangan itu, terpaksa Wi-lian mengurungkan maksudnya untuk bertanya. Di luar dugaan Wi-hong maupun Wi-lian, pemuda hartawan itu menyambut kedatangan Wi-lian dengan senyum ramah dan panggilan yang sangat akrab, “Selamat bertemu, A-lian, lupakah kau kepadaku?” Tentu saja kakak beradik itu sangat heran melihat sikap anak muda hartawan itu, sebab panggilan “A-lian” hanya diucapkan oleh orang-orang yang sudah akrab dengan gadis itu. Tetapi kenapa pemuda itu bersikap demikian pula? Apa maksud tujuannya? “Siapakah saudara ini?” tanya Wi-hong. Anak muda hartawan itu tertawa, “Ternyata kau juga lupa kepadaku, A-hong, padahal kita adalah satu kampung halaman. Aku adalah sahabat dekat kakak kalian, A-siang, dan dulu sering juga aku bermain-main di rumah kalian. Kau tentu masih ingat kepada Siangkoan Hong, yang rumahnya di pinggir pertigaan jalan yang hanya satu- satunya pertigaan di An-yang-shia itu.” “Siangkoan Hong!” seru Wi-hong sambil menepuk pahanya. “Pantas ketika kau datang tadi aku merasa pernah mengenalmu. Kiranya kau adalah Siangkoan Hong yang sering juga dipanggil A-hong, sehingga nama panggilan kita adalah sama!” Anak muda hartawan itu tertawa. “Betul,” sahutnya. Wi-hong ingat bahwa kakaknya punya teman-teman yang terdiri dari anak-anak muda berandalan, sama berandalnya dengan Wi-siang sendiri, yang sering membuat keonaran di An-yang-shia dan bahkan sering pula mengacau sampai ke Lam-cang. Dan salah satu dari anak-anak muda berandalan teman kakaknya itu kini sedang duduk di depannya, meskipun sekarang Siangkoan Hong nampaknya tidak mengesankan lagi sifat-sifat bengalnya yang dulu. Meskipun demikian hati Wi-hong berdesir juga ketika melihat bahwa samar-samar di jidat Siangkoan Hong terlihat selapis tipis warna kehitam-hitaman yang hampir tak terlihat, menandakan bahwa sekarang Siangkoan Hong telah membekal ilmu sesat yang lihai. Selain itu dilihatnya mata Siangkoan Hong kadang-kadang bersinar-sinar aneh, seakan-akan berubah warna menjadi kehijau- hijauan seperti mata kucing. Kesan anak muda berandalan sudah tak terlihat lagi pada diri Siangkoan Hong, digantikan dengan kesan seorang tokoh silat yang lihai dan aneh! Tong Wi-hong menenangkan debaran jantungnya, lalu katanya dengan mencoba bersikap seakrab mungkin, “Ya, kaupun sering dipanggil A-hong, sehingga orang sering keliru jika memanggil kita berdua.” Sementara itu, Wi-lian yang sudah tidak sabaran itu segera menimbrung, “A-hong, tadi kau mengatakan bahwa ada urusan penting. Urusan apakah itu?” Wi-hong tersenyum kepada adiknya itu, sahutnya, “Siangkoan Hong membawa berita tentang kakak kesayanganmu yang bengal itu.” Hampir-hampir Wi-lian melompat dari kursinya karena terkejutnya. “Berita tentang A-siang? Benarkah itu? Tidak sedang bermimpikah aku?” serunya dengan perasaan meluap. Siangkoan Hong agaknya cukup memahami kerinduan kakak beradik itu. Katanya, “Aku tahu kalian sangat rindu kepada A-siang. Tetapi bukan kalian saja yang rindu kepadanya, namun kakak kalian itupun sangat rindu kepada kalian, kedua adiknya itu.” “Di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Sehat-sehatkah dia?” desak Wi-lian dengan pertanyaan bertubi-tubi. Jawaban Siangkoan Hong ternyata agak menimbulkan kekecewaan, “Tentang di manakah beradanya dia sekarang, maaf, aku dipesan oleh A-siang agar tidak memberitahukan untuk sementara waktu. Tetapi tentang keadaannya, kalian boleh berlega hati bahwa dia dalam keadaan sehat tak kurang suatu apapun. Dia bergembira ketika mendengar bahwa adik-adiknya telah tumbuh menjadi pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kalian jangan kecewa bahwa aku tidak memberitahukan tempatnya, tetapi A-siang berkata bahwa tidak lama lagi dialah yang akan menemui kalian, sebab diam-diam ia selalu memperhatikan gerak-gerik kalian.” Benar-benar jawaban yang kurang memuaskan, tetapi sedikit banyak dapat juga memuaskan dahaga kerinduan Wi-hong dan Wi-lian kepada kakak mereka yang tadinya telah dianggap hilang itu. Tetapi mereka pun merasa agak heran bahwa Siangkoan Hong yang nampaknya sudah berilmu tinggi itu ternyata masih mau disuruh oleh Tong Wi-siang, lalu entah bagaimanakah keadaan Wi-siang saat itu? Sementara itu Siangkoan Hong berkata lagi, “Aku mengerti bahwa kalian tidak puas akan jawabanku ini, tapi memang hanya itulah yang dapat kujawab, aku tidak berani melanggar pesan A-siang tentang apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan kepada kalian. Tapi itu bukan berarti A-siang tidak percaya kepada kalian. Bukan begitu, A-siang hanyalah terbentur pada suatu kesulitan yang belum bisa diatasinya sehingga terpaksa masih menyimpan beberapa rahasia terhadap kalian. Nah, kalian tentu dapat memakluminya bukan? Selain itu, aku membawa sebuah pesan dan sebuah pertanyaan untuk kalian, yang berasal dari A-siang.” “Sebuah pesan dan sebuah pertanyaan dari A-siang?” Siangkoan Hong mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Pesannya kepada kalian memusuhi suatu golongan, hendaknya kalian dapat membedakan bahwa dalam golongan itu sendiri ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, jangan dipukul rata saja. Begitulah pesannya kepada kalian.” “Pesan yang aneh,” kata Wi-lian sambil tertawa. “Ada-ada saja A-siang ini. Tentu saja dalam bertindak apapun kami akan membedakan yang baik dan yang jahat, tidak main hantam koromo saja.” Siangkoan Hong tersenyum sambil menarik napas, “Pesan itu memang sangat sederhana, tetapi yang A-siang kuatirkan adalah jika kalian terbawa oleh arus dendam kalian sehingga pesan itu akan sulit kalian laksanakan. Tetapi baiklah tidak usah kita bicarakan lagi pesan itu, akupun sudah cukup puas dapat menyampaikan pesan A-siang kepada kalian, sedang pelaksanaan pesan itu terserah kepada kalian sendiri. Sekarang A-siang juga akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada kalian, dan mengharapkan jawaban tegas kalian.” “Apa pertanyaannya?” desak Wi-hong dan Wi-lian penuh minat. Namun diam-diam dalam hati kakak beradik itupun heran karena kakak mereka bertindak begitu penuh rahasia. Siangkoan Hong memandang tajam-tajam muka Wi-hong dan Wi-lian secara bergantian. Hilanglah senyum ramahnya yang terlihat sejak tadi, suaranya pun begitu bersungguh-sungguh dan mengandung tekanan, “Inilah pertanyaannya. Jika suatu saat A-siang mengobarkan pertempuran besar untuk melaksanakan cita-citanya menjunjung tinggi martabat marga Tong, maukah kalian berdiri di pihaknya?” Jantung Wi-hong maupun Wi-lian bagaikan berhenti berdenyut ketika mendengar pertanyaan itu, samar-samar mereka mulai merasa bahwa di balik semua kejanggalan itu tentu sedang berlangsung suatu yang dahsyat. Mereka tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Mereka sudah cukup mengenal kakak mereka sebagai tukang membuat onar di An-yang-shia, dan sekarang entah apa lagi yang dimaksudkan dengan “mengobarkan pertempuran besar untuk menjunjung martabat marga Tong” itu? Suatu kekacauan lagikah? Melihat kakak beradik itu sangat ragu-ragu dalam menjawab, Siangkoan Hong menarik napas dalam-dalam, katanya dengan nada agak menyesal, “Memang pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. Namun andaikata kalian sebagai adik-adiknya memahami apa yang terkandung sebagai isi hati kakak kalian yang luhur itu, maka aku yakin bahwa kalian tanpa ragu-ragu lagi pasti akan berdiri di pihaknya.” “Cita-cita apakah sebenarnya yang sedang dikandung oleh A-siang?” tanya Wi-lian menjajagi. Sahut Siangkoan Hong, “A-siang merasa sangat berdosa besar, sebab kelakuannya telah menyebabkan seluruh keluarga Tong yang tadinya hidup tenteram itu menjadi berantakan. Dia bertekad kuat akan menebus kesalahannya di masa lampau itu. Dia akan mengangkat derajat keluarga Tong setinggi mungkin, sehingga mencapai martabat yang paling tinggi yang paling dimungkinkan untuk seorang manusia.” Hati Wi-hong dan adiknya bergetar mendengar perkataan Siangkoan Hong itu. Sesaat ruangan itu dicengkam oleh ketegangan, hanya jantung kakak beradik she Tong itulah yang bergemuruh dalam rongga dadanya masing-masing. Kemudian terdengar suara Wi-hong bertanya dengan suara yang masih agak gemetar, “A-hong, a... apakah... kesehatan A-siang cu... cukup baik? Maksudku... maksudku kesehatan pikirannya?” Muka Siangkoan Hong tiba-tiba berubah jadi dingin membesi, sepasang matanya pun tiba-tiba bersinar kehijau-hijauan seperti mata harimau. Sikap lemah lembutnya yang tadi telah lenyap, digantikan dengan geraman kemarahan, “He, kau menuduh A-siang sudah miring otaknya? Tegakah kau menuduh kakakmu sendiri dengan tuduhan semacam itu? Gilakah kalau seseorang itu mempunyai cita-cita yang tinggi? Gilakah kalau seorang laki-laki, apalagi merupakan anak laki-laki tertua dalam keluarganya itu, ingin mengangkat derajat keluarganya setinggi-tingginya?” Wi-hong menghembuskan napas untuk mengurangi kepepatan dadanya, lalu tanyanya, “Maafkan aku, aku tidak menuduh A-siang sekeji itu. Tetapi, apakah yang dimaksud oleh kakakku itu ialah ingin menjadikan dirinya sebagai... sebagai... Kaisar?” Jawaban Siangkoan Hong sangat tegas, “Ya, kalian jangan kaget, tetapi justru harus bangga punya kakak setinggi itu cita-citanya. Itu bukan sesuatu yang gila bukan? Aku kagum kepadanya, karena dialah lelaki sejati yang berani mendobrak semua rintangan untuk mencapai cita-citanya. A-hong, kau sebagai seorang yang gemar membaca buku-buku kuno tentu pernah membaca tentang riwayat raja-raja besar jaman dahulu. Kau tentu ingat akan Tio Khong-in, seorang pengembara tanpa tempat tinggal yang akhirnya mendirikan dinasti Song dan menjadi Kaisar pertama dari dinasti itu? Ingatkah kau akan Temuchin, gembala miskin yang di hari tuanya berhasil mendirikan Kerajaan Goan yang menyatukan seluruh dunia, dan dia sendiri kemudian bergelar Jengis Khan, raja di raja yang tiada tandingannya? Ingatkah kau akan seorang pendeta cacad dan miskin bernama Cu Goan-ciang yang kemudian berhasil mendirikan dinasti Beng dan bergelar Beng-thay-cou itu? Nah, sejarah menyajikan contoh yang cukup banyak. Ketahuilah bahwa keadaan A-siang saat ini jauh lebih kokoh dari Tio Khong-in, Temuchin maupun Cu Goan-ciang ketika mereka memulai pergerakan besar mereka. Aku yakin, dan aku mendukungnya sepenuh hati, bahwa A-siang pasti akan mencapai apa yang dicita-citakannya.” Wi-hong dan Wi-lian hanya bungkam saja “diberondong” perkataan Siangkoan Hong yang bersemangat dan berapi- api itu. Tanya Wi-lian kemudian, “Kau katakan bahwa keadaan A-siang lebih baik dari Tio Khong-in segala, sebenarnya bagaimanakah keadaannya sekarang? Ceritakanlah sebenarnya, supaya kami dapat menilai bahwa perjuangannya itu benar-benar berpijak kepada kenyataan atau cuma sekedar mimpi di siang hari bolong.” Siangkoan Hong tertawa dingin, “Aku dipesan untuk tidak mengatakannya sekarang. Untuk sementara waktu, bolehlah kalian anggap bahwa A-siang itu gila atau bermimpi di siang hari bolong, tetapi kalian akan melihat buktinya kelak bahwa dia bisa mewujudkan cita-citanya. Nah, kalian belum menjawab pertanyaannya yang tadi. Di manakah kalian berpihak? Di pihak kakak kalian atau di pihak musuh-musuhnya?” “Masalah ini sulit diputuskan dalam sekejap mata, tapi membutuhkan waktu berpikir yang panjang,” sahut Tong Wi-hong. “Bagaimana aku bisa memutuskan tentang suatu masalah yang belum aku ketahui dengan jelas?” Agaknya Siangkoan Hong tidak dapat menahan perasaannya. Tanpa sadar ia menghentakkan kakinya dengan marah dan tahu-tahu di lantai yang diinjaknya itu “tercetaklah” sebuah bekas telapak kaki yang dalamnya hampir satu jari! Terkesiaplah Wi-hong dan Wi-lian menyaksikan pameran kekuatan yang hebat itu, karena ubin di ruangan itu terbuat dari batu hitam yang keras sekali. Kepandaian seperti itu agaknhya cukup pantas untuk disejajarkan dengan deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” jaman itu. Wi-hong dan adiknya juga heran melihat tingkat kepandaian Siangkoan Hong yang begitu tinggi. Dua tahun yang lalu, ketika Siangkoan Hong masih dikenal sebagai anak berandalan di An-yang-shia, meskipun ia gemar berkelahi namun ilmu silatnya masih termasuk kelas kambing. Kenapa kini dalam waktu dua tahun saja telah meningkat begitu hebat? Bahkan telah melebihi Wi-hong dan adiknya yang selama dua tahun ini telah berlatih begitu keras. Siangkoan Hong nampaknya sangat bangga ketika melihat kakak beradik itu kaget melihat kepandaiannya. Katanya sambil tertawa, “Maaf, aku kurang dapat mengendalikan diri sehingga tanpa sengaja telah merusakkan lantai ruangan ini. Tetapi hal ini sekaligus ingin kujadikan tolok ukur agar kalian dapat menilai kepandaian A-siang saat ini. Kepandaian yang kuperlihatkan tadi masih beberapa tingkat di bawah kepandaian yang dimiliki A-siang saat ini. Kepandaian A-siang sekarang sudah sulit diukur lagi tingginya.” “Berguru di manakah dia?” tanya Wi-hong. Siangkoan Hong menjawab, “Di jaman ini tidak ada seorang tokoh pun yang cukup pantas untuk menjadi gurunya. Ia hanya menemukan suatu penemuan aneh di suatu tempat yang dirahasiakan.” Wi-hong berkata sambil menarik napas, “Aku ikut bersyukur dan bergembira untuk nasib baiknya, bahkan aku dan adikku minta tolong kepadamu untuk menyampaikan rasa bahagia kami ini kepadanya. Tentang cita-cita besarnya itu, aku memang belum dapat memutuskannya sekarang. Suatu ketika aku ingin berbicara sendiri dengannya, dan tidak tertutup kemungkinannya kami akan mendukung cita-citanya itu. Jika cita-citanya itu memang membawa kesejahteraan bagi umat manusia.” Siangkoan Hong nampak kurang puas dengan jawaban yang kurang tegas itu, tetapi apa boleh buat, ia memang tidak bisa memaksakan kehendaknya dengan begitu saja. “Baiklah, akan aku sampaikan jawabanmu ini kepada A-siang,” kata Siangkoan Hong akhirnya. “Aku memang tidak bisa memaksa kalian. Jika kalian kelak memutuskan untuk memihak kepada A-siang, tentu ia akan gembira sekali. Sebaliknya ia akan bersedih hati jika harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh.” Jawab Wi-hong sambil mengerutkan alisnya, “Aku sebenarnya kurang mengerti akan jalan pikiran kakakku itu. Kenapa dia sampai berpikiran bahwa kami kakak beradik akan saling berhadapan sebagai musuh? Akupun sama sekali tidak ingin menghadapinya sebagai musuh, begitu pula A-lian juga tidak ingin, karena kami bertiga adalah saudara-saudara seayah dan seibu, dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang sama.” “Aku sendiri meskipun hanya orang luar, juga tidak ingin melihat kalian kakak beradik ini akan berbaku hantam,” kata Siangkoan Hong. “Nah, kupersilakan kalian memikirkan hal ini baik-baik, dan aku sekarang akan berpamitan dulu.” Siangkoan Hong segera bangkit berdiri lalu berjalan keluar. Tong Wi-hong sendiri mengantarkannya sampai ke pintu depan. Demikianlah, pada hari itu Wi-hong telah bertemu kembali dengan dua orang kenalan lamanya dengan membawa kenangan yang berbeda-beda pula. Ting Bun yang mengingatkannya kepada Ting Ciau-kun dan menimbulkan ketidak senangannya kepada si paman angkat itu, kemudian pertemuan dengan Siangkoan Hong yang membawa berita tentang kakaknya yang hampir-hampir dianggap hilang itu. Tetapi berita tentang kakaknya itu justru menimbulkan kesan kekaburan dan diliputi kabut rahasia yang tebal. Para tetamu yang datang melayat pada hari itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Kota bernilai sejarah Tay-beng yang biasanya hanya dikunjungi oleh kaum kutu buku atau kaum pelancong yang ingin menikmati peninggalan-peninggalan bersejarah, kini dipenuhi dengan manusia-manusia dunia persilatan yang rata-rata bertampang keras dan garang. Rumah-rumah penginapan telah penuh, bahkan tidak sedikit yang terpaksa malam itu harus tidur di emperan rumah orang. Banyak di antara pelayat itu benar-benar ingin memberi penghormatan terakhir kepada Cian Sin-wi, karena pernah menerima budi baiknya atau karena pernah mengenalnya, tetapi juga tidak sedikit yang hanya ingin melihat ramai- ramai orang berkumpul. Jumlah pelayat yang luar biasa itu membuat Tong Wi-hong sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang merasa bangga, tetapi sekaligus juga merasa betapa beratnya beban yang terpanggul di pundaknya. Ia menyadari akan kebesaran dan kejayaan Tiong-gi Piau-hang, dan berarti Tong Wi- hong juga harus berhasil mempertahankan kejayaan itu, bahkan kalau perlu membuatnya bertambah jaya. Keesokan harinya, upacara pemakaman Cian Sin-wi berjalan dalam suasana khidmat, megah dan lancar. Peti jenazah Cian Sin-wi diangkut dengan sebuah kereta yang berlapis kain belacu putih dan ditarik oleh dua ekor kuda berbulu putih pula. Tong Wi-hong, Cian Ping dan para pemimpin cabang Tiong-gi Piau-hang berjalan kaki dan mengawal di samping kereta, mereka semua berpakaian belacu putih pula dan kepalanya juga diikat dengan kain putih. Sedangkan iring-iringan pelayat memanjang ke belakang sampai beberapa li panjangnya. Bahkan ketika kereta jenazah sudah mencapai sebuah bukit di luar kota Tay-beng, di mana liang lahat sudah disiapkan, ekor dari iring-iringan pelayat itu masih berada di dalam kota Tay- beng. Wi-lian berjalan di belakang kereta, bersama dengan beberapa orang Tiong-gi Piau-hang yang telah dikenalnya. Hari itu terpaksa Wi-lian harus menanggalkan kesenangannya memakai pakaian berwarna merah, dan digantinya dengan warna putih tanda berkabung. Tepat pada saat iringan jenazah mendaki ke atas bukit, tiba-tiba Wi-lian mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Ketika ia menoleh, nampaklah bahwa orang yang memanggilnya itu ternyata adalah seorang anak muda yang berpakaian seragam perwira Pasukan Khusus Kerajaan Beng. Perwira muda itu bukan lain adalah Ting Bun. Tong Wi-lian bagaikan tertegun ketika melihat anak muda itu. Selama dua tahun ini Wi-lian belum pernah sekejap pun melupakan anak muda yang menarik hatinya ini. Tetapi sekarang Wi-lian menjadi sangat kecewa ketika melihat anak muda itu mengenakan seragam prajurit Kerajaan Beng, seragam yang tidak disenanginya.... |
Selanjutnya;
|