Perserikatan Naga Api Jilid 17Karya : Stevanus S.P |
Demikianlah si iblis rambut merah dari Thay-san itu kini dikerubuti oleh putera-puteri Tong Tian yang gagah berani itu. Namun biarpun Wi-hong dan adiknya telah mengerahkan seluruh ilmu mereka, lawan mereka memang tergolong angkatan tua yang tangguh sekali. Bahkan terasalah bahwa Ang-mo-coa-ong semakin menambah kekuatan pukulannya lapis demi lapis.
Ketika pertempuran meningkat semakin dahsyat, lambat laun hidung Wi-hong dan adiknya mulai mencium bau amis menyertai setiap desir angin pukulan Tang Kiau-po. Ketika mereka memperhatikan, terlihatlah di tengah-tengah telapak tangan Tang Kiau-po nampak ada bintik-bintik merah yang semakin lama semakin melebar ke seluruh telapak tangan, sehingga akhirnya seluruh telapak tangannya berwarna merah. “Latihan Ang-se-tok-jiu (Pukulan Beracun Pasir Merah) yang hampir mencapai tingkatan tertinggi,” pikir Wi-lian dengan dada berguncang hebat. Diam-diam Wi-lian agak menjadi penasaran juga. Dia pernah bertarung dengan Sebun Say yang katanya menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti di jaman itu, yang berarti urutan Sebun Say di atas Tang Kiau-po, tetapi saat itu Wi-lian mampu memberi perlawanan gigih sampai berpuluh-puluh jurus. Meskipun akhirnya toh Wi-lian terdesak dan harus ditolong oleh Liu Tay-liong, namun peristiwa itu cukup membuat Wi-lian merasa bangga akan kemajuan ilmu silatnya. Tetapi sekarang menghadapi Tang Kiau-po yang kedudukannya di bawah Sebun Say, dibantu pula oleh Wi- hong, kenapa keadaannya justru tidak sebaik ketika menghadapi Sebun Say? Kiranya ada dua penyebab yang menjadikan keadaan seperti itu. Pertama, meskipun kedudukan Tang Kiau-po hanya sebagai “juru kunci” namun sebenarnya kepandaiannya saat itu justru telah meningkat melampaui Sebun Say, terutama latihan Ang-se-tok-ciangnya telah mendekati tahap paling akhir. Urut-urutan kedudukan dalam sepuluh tokoh sakti itu dibuat orang kira-kira lima belas tahun yang lalu, tentu saja sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman sekarang. Kemajuan yang dicapai oleh Ang-mo-coa-ong itu sekarang bukan saja berhasil melampaui Sebun Say, tapi bahkan mungkin sudah melampaui pula Siau-lim-hong-ceng (rahib sinting dari Siau-lim) Hong-koan Hwesio yang angin-anginan dan kurang rajin berlatih itu. Agaknya Tang Kiau-po sangat sakit hati ketika orang mendudukkannya pada kedudukan juru kunci, sehingga hal itu mendorongnya untuk berlatih mati-matian di Gunung Thay-san. Kedua, Wi-lian dan kakaknya sedang ada dalam keadaan kelelahan karena mereka baru saja bertempur memeras tenaga menghadapi Song Kim dan kawan-kawannya, masih ditambah lagi dengan kelelahan akibat ketegangan yang mereka alami selama dua hari dua malam di padang perdu selama melacak jejak orang-orang Hwe-liong-pang itu. Sebaliknya lawan mereka dalam keadaan segar bugar karena baru saja datang. Andaikata kedua kakak beradik she Tong itu sedang dalam keadaan sesegar lawannya, maka gabungan kekuatan mereka pasti akan sanggup menahan Tang Kiau-po sampai beratus-ratus jurus, biarpun Tang Kiau-po mengerahkan seluruh kepandaiannya. Sambil mendesak kedua lawannya, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po terus menghitung jurus demi jurus, “... dua belas... tiga belas...” Tapi agaknya untuk mengalahkan kedua lawannya dalam waktu lima belas jurus agaknya merupakan hal mustahil bagi Tang Kiau-po, agaknya tokoh ini salah hitung dalam menilai kemampuan lawan-lawannya yang masih muda itu. Wi-hong dan adiknya memang telah terdesak, namun mereka masih bertempur begitu gigih dan nampaknya masih punya cadangan kekuatan untuk bertarung puluhan jurus lagi. Hal itu membuat Tang Kiau-po menjadi mata gelap. Jika ia sampai gagal membunuh kedua lawannya dalam waktu lima belas jurus, maka akan hilanglah mukanya di hadapan Song Kim dan Han Toan yang telah menjadi saksi akan omong besarnya tadi. Memasuki jurus ke empat belas, mulailah si raja ular yang marah itu mengerahkan ilmu sehebat-hebatnya untuk menyelesaikan lawan-lawannya secepat-cepatnya. Peningkatan ilmu Tang Kiau-po itu dapat dilihat jelas pada warna merah yang menjalar di tangannya. Kini yang berwarna merah bukan cuma telapak tangannya tapi juga seluruh lengannya sampai ke siku tangan, ilmu kebanggaan Ang-se-tok-jiu sudah dikerahkan sampai ke puncaknya. Hawa udara yang berbau racun semakin tebal menyelimuti tempat itu, membuat Wi-hong dan adiknya mulai merasa pusing dan mual, dan gerakan silat mereka pun semakin lamban dan kacau. Di saat kakak beradik itu dalam keadaan terancam bahaya, tiba-tiba Cian Ping memekik nyaring dan melompat maju ke tengah gelanggang pertempuran. Pedangnya ditikamkan sekuat tenaga ke dada Ang-mo-coa-ong, pertahanan dirinya sudah tidak dihiraukan lagi, ia siap mengorbankan diri asal Wi-hong dan Wi-lian mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri. “Adik Ping!” Wi-hong berseru dengan cemas. Tang Kiau-po melihat pula serangan nekad itu, lalu dikebaskannya tangan kirinya ke arah Cian Ping. Segulung tenaga tak berwujud yang maha kuat segera mendampar tubuh Cian Ping, dan sebelum ujung pedang Cian Ping menyentuh kulitnya, maka si gadis lebih dulu telah terpental mundur dengan memuntahkan segumpal darah. “Adik Ping!” teriak Wi-hong sekali lagi. “Suhu! Jangan bunuh!” berbareng dengan itu pun Song Kim berteriak kepada gurunya, karena kuatir gurunya yang mata gelap itu akan membunuh gadis yang dicintainya. Agaknya Ang-mo-coa-ong sudah dikuasai oleh nafsu membunuhnya yang berkobar-kobar. Bahkan ia tidak peduli lagi akan seruan Song Kim yang memintakan pengampunan bagi Cian Ping, yang ada dalam kepala Tang Kiau-po saat itu hanyalah membunuh dan membunuh. “Kalian susullah adik Ping mu itu!” teriaknya sambil menghantam kedua telapak tangannya serempak ke arah Wi-hong dan Wi-lian. Lagi-lagi segulung tenaga tak berwujud yang sangat kuat dan mengandung racun telah menyerbu Wi-hong dan adiknya. Wi-hong dan Wi-lian mengerti bahwa serangan maha dahsyat yang menggunakan seluruh kekuatan dari tokoh Hwe-liong- pang itu. Namun Wi-hong dan adiknya pun pantang menyerah sebelum melawan dengan seluruh kekuatannya. Tanpa berjanji mereka berdua pun serempak mengerahkan kekuatannya masing-masing untuk menyongsong serangan itu secara keras lawan keras. Wi-hong mengerahkan tenaga dalam aliran Soat-san-pay nya yang bersifat lembut tetapi ulet luar biasa, sedangkan Wi-lian telah mengerahkan tenaga dalam Siau-lim-pay yang bersifat keras dan tajam itu. Biarpun Wi-lian cuma seorang gadis remaja, namun hasil keuletan latihannya selama ini telah menghasilkan suatu tingkatan tenaga dalam yang cukup tangguh. Terjadilah benturan tenaga antara ketiga orang itu. Mau tidak mau Tang Kiau-po kaget juga ketika membentur kekuatan lawan-lawannya yang masih muda itu. Ia dapat merasakan bagaimana tenaga pukulannya telah terbentur oleh dua macam kekuatan yang berbeda sifatnya tetapi sama tangguhnya. Sedangkan bagi Wi-hong dan adiknya, benturan itu telah membuat dada mereka merasa sesak dan mata berkunang-kunang. Untuk mematahkan daya gempuran lawan, mereka melompat mundur beberapa langkah. Jika Tang Kiau-po berpegang kepada ucapan yang telah dikeluarkannya sendiri, maka tentu saat itu juga ia akan menghentikan pertempuran, sebab benturan yang baru saja terjadi itu dapat dianggap sebagai “jurus yang ke lima belas”. Tetapi dasar licik, Tang Kiau-po justru telah merubah pikirannya. Pikirannya telah digelapkan oleh nafsu membunuhnya, didorong pula rasa iri hatinya melihat bakat silat Wi-hong dan Wi-lian, sebab ketika usia Tang Kiau-po semuda itu ia belum punya tingkatan ilmu seperti mereka. Tekadnya bahwa Wi-hong dan Wi-lian harus dibunuh, ibarat membunuh seekor anak macan sebelum tumbuh besar dan keluar taringnya. Sambil menggeram murka, Ang-mo-coa-ong sekali lagi mengerahkan tenaganya untuk dihantamkan ke kedua orang lawannya. Wi-hong dan Wi-lian sekali lagi dipaksa untuk membenturkan tenaga, sebab gerakan lawan terlalu cepat dan tidak memberikan kesempatan untuk menghindar. Adu kekerasan yang kedua kalinya itu berakibat cukup berat untuk putera-puteri Tong Tian itu. Kali ini mereka berdua terpental mundur dan ujung bibir mereka mulai meneteskan darah, sedang muka mereka pucat seputih kertas! Tang Kiau-po tertawa terbahak-bahak, menggemakan suara kemenangannya yang mirip ringkikan iblis itu, “Ha-ha-ha-ha! Anak-anak muda yang gagah berani tetapi bernasib malang! Aku mengakui bahwa kalian adalah tunas-tunas muda yang berbakat, tetapi justru karena berbakat itulah maka aku harus membinasakan kalian sbml kalian tumbuh menjadi semakin kuat! Kalian harus mampus di tanganku! Kalian harus mampus karena telah berani menentang kemauan dari utusan-utusan Hwe-liong-pang yang maha jaya!” Namun pada waktu Tang Kiau-po telah mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan hantaman yang mematikan ke arah lawan-lawannya yang telah bergeletakan tak berdaya itu, mendadak terdengar sebuah teriakan mengguntur yang memekakkan telinga, “Tang Su-cia! Tahan tanganmu!” Seruan itu dilontarkan dengan suara yang mengandung pengaruh hebat, bahkan samar-samar terasa pula adanya sesuatu yang gaib terkandung dalam suara bentakan itu. Tang Kiau-po yang ilmunya cukup tinggi itupun menghentikan gerakan tangannya yang siap menurunkan maut itu. Begitu gema suaranya habis, orang yang berteriak itupun muncullah. Dia adalah seorang yang bertubuh ramping dan memakai pakaian mewah berwarna ungu, begitu pula mantel bulunya berwarna ungu. Namun tidak seorangpun dapat melihat wajahnya, sebab wajah itu tertutup oleh sebuah topeng tengkorak yang menyeramkan. Terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang, termasuk Tang Kiau-po, ketika melihat munculnya orang bertopeng itu. Cepat-cepat mereka membungkuk “Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit)!” Orang bertopeng itu menyambut penghormatan itu hanya dengan sedikit menganggukkan kepalanya. Dari sikapnya itu dapat disimpulkan bahwa orang bertopeng tengkorak yang dipanggil Thian-liong Hiang-cu ini tentu punya kedudukan sangat tinggi dalam Hwe-liong-pang, bahkan lebih tinggi dari Tang Kiau-po, Sebun Say dan lain-lainnya. Sebaliknya Wi-hong dan Wi-lian mengeluh dalam hatinya masing- masing. Seorang Tang Kiau-po saja sudah begitu susah untuk diladeni, apalagi kini muncul Thian-liong Hiang- cu yang kepandaiannya sudah pasti lebih tinggi dari Tang Kiau-po. Agaknya hari ini kami bertiga sukar untuk lolos dari tempat ini, begitu pikiran Wi-hong. Sesaat lamanya Thian-liong Hiang-cu mengedarkan pandangannya, pandangan matanya lalu berhenti kepada mayat si kembar she Cong serta batok kepala An Siau-lun yang tidak ada tubuhnya itu. Tanyanya dengan suara berat, “Siapa yang membunuh mereka?” Tang Kiau-po menuding kepada Wi-lian dan menerangkan, “Bocah perempuan inilah yang telah membunuh dua saudara Cong itu, agaknya ia mengandalkan tulang punggungnya sebagai murid Siau-lim-pay dan telah berani mencampuri urusan Pang kita. Sedang An Siau-lun ini hambalah yang telah membunuhnya sendiri karena berani menunjukkan sikap pengecut dan mementingkan diri sendiri. Ia melarikan diri dari gelanggang pertempuran dan meninggalkan kawan-kawannya begitu saja, meskipun kawan-kawannya tengah bertempur menyabung nyawa.” Orang bertopeng tengkorak itu kini mengalihkan pandangannya kepada Wi-lian, dan gadis itu pun membalas memandangnya tanpa menunjukkan rasa takutnya. Begitu pandangan mata mereka bertemu, seketika itu terkesiaplah Wi-lian. Gadis itu mendadak merasakan ada suatu kekuatan gaib terpancar dari sorot mata orang itu, perlahan mengaliri perasaannya sehingga kehendaknya sendiri mulai kabur. Untunglah Wi-lian cepat menyadari hal itu, dengan kekuatan batinnya gadis itu mulai mengusir pengaruh gaib itu sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah lain. “Benarkah kau yang membunuh kedua saudara Cong itu?” tanya Thian-liong Hiang-cu kepada Wi-lian. Wi-lian tidak berani lagi menatap mata Thian-liong Hiang-cu, namun sikapnya masih tetap berani ketika ia menjawab pertanyaan itu, “Ya, aku yang membunuh mereka. Sampah masyarakat yang gemar mengacau seperti mereka ini perlahan-lahan memang harus dikurangi jumlahnya dari muka bumi ini, agar dunia menjadi aman.” Yang mengherankan, Thian-liong Hiang-cu ternyata tidak menunjukkan sikap marah atau sikap bermusuhan setelah mendengar jawaban itu. Bahkan ia tertawa lepas. Sambil mengacungkan jempolnya dia memuji Wi-lian dengan yang bernada jujur tanpa dibuat-buat, “Kau gadis yang hebat. Selain berilmu silat tinggi, kau ternyata juga bernyali macan pula.” Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan serempak mengerutkan alisnya ketika mendengar Thian-liong Hiang-cu justru telah memuji Wi-lian secara terang-terangan. Tetapi mereka tidak berani membuka mulut menyatakan tidak senangnya, sebab mereka tahu bahwa Thian-liong Hiang-cu adalah adik seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang sendiri, dan merupakan tokoh nomor tiga kedudukannya dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang. Dia bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi menguasai pula bermacam-macam ilmu gaib dan ilmu racun yang sulit untuk dilawan dengan ilmu silat biasa. Bagi Wi-lian sendiri, sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh Thian-liong Hiang-cu itu benar-benar di luar dugaannya. Sebenarnya Wi-lian sudah mengeraskan kepala dan bertekad untuk bertempur mati-matian, gugur pun asal jangan membikin malu nama harum Siau-lim-pay dan nama keluarga Tong. Tetapi sikap Thian-liong Hiang-cu justru membuat Wi-lian kebingungan harus bersikap bagaimana. Tiba-tiba Wi-lian teringat pula kepada Kwa Heng dan Ji Tiat yang pernah berkelahi dengannya di Kay-hong. Merekapun orang-orang Hwe-liong-pang, namun mereka bukan orang-orang yang gemar membunuh dan ternyata mereka cukup punya sifat-sifat kesatria pula. Bahkan Ji Tiat nampak agak menahan diri ketika bertempur dengan Pang Lun, meskipun akhirnya Pang Lun tewas juga di ujung senjata Ji Tiat. Kwa Heng dan Ji Tiat nampak berbeda dengan orang-orang Hwe-liong-pang pada umumnya, yang menganggap pembantaian sebagai suatu “keperluan” yang tidak bisa ditawar lagi. Kini Wi-lian menjumpai sikap Thian-liong Hiang-cu ini ternyata mirip dengan sikap Ji Tiat, sama sekali tidak sesuai dengan penampilan dengan topeng tengkoraknya yang begitu menyeramkan. Kini Thian-liong Hiang-cu telah memutar tubuh menghadap ke arah Tang Kiau-po dan berkata dengan nada mengandung teguran, “Tang Su-cia, ketiga orang rekanmu sudah berkumpul di Lam-cang dan sudah siap untuk menjalankan perintah Pang-cu (Ketua), kenapa kau dan orang-orangmu justru masih berkeliaran di sini dan melakukan pekerjaan yang tidak ada perlunya?” Cepat Tang Kiau-po membungkukkan badan dengan hormat, sahutnya dengan suara yang sangat sungkan, “Harap Thian-liong Hiang-cu memahami kesulitan hamba. Bukannya maksud hamba untuk mengabaikan perintah Pang-cu, namun kelambatan perjalanan hamba ini gara-gara karena selama dalam perjalanan hamba telah bertemu dan bertempur dengan kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Antara lain kedua bocah she Tong ini, yang telah ikut campur pula dalam urusan kami dengan pihak Tiong-gi Piau-hang.” Thian-liong Hiang-cu tertawa dingin mendengar alasan Tang Kiau-po yang nampak dibuat-buat itu. Katanya, “Kiranya beralasanlah dugaanku selama ini. Aku memang pernah mendengar desas-desus di luaran bahwa banyak anggota Pang yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap kaum lemah dengan mengandalkan nama besar Pang kita, sehingga hal itu menimbulkan sikap bermusuhan dari kaum pendekar pada umumnya. Tang Sucia, kau tidak perlu mengarang banyak alasan lagi. Sekarang juga kau dan orang-orangmu harus berangkat ke Lam-cang untuk menyusul Pang-cu dan rekan-rekan lainnya yang sudah berkumpul di sana.” Tang Kiau-po nampak kebingungan menanggapi Thian-liong Hiang-cu itu. Di dalam hatinya dia sama sekali belum rela kalau harus melepaskan Wi-hong dan Wi-lian begitu saja. Ia mencoba membantah, “Tetapi, Hiang-cu, bagaimana dengan anak-anak muda yang kurang ajar ini? Apakah akan dibiarkan begitu saja? Mereka telah berani menentang Hwe-liong-pang dengan terang-terangan, jika dibiarkan saja akan memerosotkan kewibawaan Pang kita!” Geram Thian-liong Hiang-cu, “Tang Su-cia, apakah kau artikan dengan kewibawaan itu? Apakah sesuatu yang harus ditegakkan kekerasan dan membuat orang lain tunduk karena takut? Bukankah kau pun sudah mendengar perintah Pang-cu bahwa kita harus sebanyak mungkin dan sesedikit mungkin membuat permusuhan sehingga cita-cita besar Hwe-liong-pang kita tidak terhambat?” Ang-mo-coa-ong yang garang itu diam tak berkutik mendengar teguran Thian-liong Hiang-cu itu. Dan terdengar Thian-liong Hiang-cu berkata lagi, “Waktu sudah sangat mendesak, pertemuan di Lam-cang akan segera dibuka, cepatlah menuju ke Lam-cang.” Apa boleh buat, Tang Kiau-po mulai bergerak untuk menuruti perintah itu. Namun baru ia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lain yang bernada dingin, “Apapun yang dikerjakan oleh Tang Su-cia dan orang-orang Jing-ki-tong adalah atas perintahku! Siapa saja tidak berhak membatalkan perintahku, kecuali Pang-cu sendiri!” Lalu orang yang bersuara itupun muncul. Ternyata penampilannya mirip dengan Thian-liong Hiang-cu, yaitu berjubah dan bertopeng yang berbentuk sama. Bedanya hanyalah bahwa si topeng tengkorak yang muncul belakangan ini bertubuh agak lebih jangkung, dan jubah serta mantelnya berwarna merah tua. Kembali Tang Kiau-po, Song Kim dan Han Toan membungkuk hormat sambil menyapa, “Salam hormat kami kepada Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi).” Sedangkan Thian-liong Hiang-cu tidak memberi hormat tetapi hanya menyapa dengan sikap tawar, “Ji-su-heng (kakak seperguruan kedua)!” Sementara itu Wi-hong, Wi-lian dan Cian Ping yang mengikuti semua perkembangan itu menjadi terkejut menyaksikan telah munculnya satu lagi tokoh puncak dari Hwe-liong-pang. Bahkan si jubah merah tua yang dipanggil Te-liong Hiang-cu ini agaknya merupakan kakak seperguruan dari Thian-liong Hiang-cu. Pikir Wi-lian, “Jika aku bercerita kepada Suhu atau paman Liu (maksudnya Liu Tay-liong) bahwa hari ini sekaligus aku telah bertemu dengan Te-liong dan Thian-liong Hiang-cu dari Hwe-liong-pang, barangkali beliau itu tidak akan percaya lagi jika kukatakan bahwa sebenarnya di antara tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang sendiri nampaknya ada keretakan.” Dalam hatinya, Wi-lian sudah lebih condong berpihak kepada Thian-liong Hiang-cu yang nampaknya cukup bijaksana itu. Sedangkan si jubah merah Te-liong Hiang-cu itu nampaknya adalah seorang yang keras dan sikapnya agak sewenang- wenang, suka main perintah ini perintah itu, dapat disimpulkan dari sikapnya yang congkak itu. Terdengar Te-liong Hiang-cu tertawa dingin, katanya, “Sam-sute (adik seperguruan ketiga), kau adalah orang kepercayaan pang-cu kita, kenapa kau justru bersikap melunturkan kewibawaan Hwe-liong-pang dengan jalan mempermalukan anak buah kita sendiri di hadapan orang luar? Hemm, aku jadi tidak mengerti melihat sikapmu ini.” Bantah Thian-liong Hiang-cu, “Aku justru hendak meluruskan kembali garis perjuangan yang telah diamanatkan oleh Toa-suheng, yang telah diselewengkan oleh manusia-manusia semacam Tang Su-cia ini. Toa su-heng tidak pernah memerintahkan kita untuk menaklukkan orang lain dengan sewenang-wenang dan hanya mengandalkan kekuatan belaka. Cita-cita besar Toa-su-heng justru dapat terlaksana dengan dukungan segenap kesatria di Tiongkok ini, menjadikan mereka sebagai kawan seperjuangan dan bukan justru membuat mereka marah dan memusuhi kita. Namun laporan yang kuterima dari orang-orang suruhanku justru membuat aku merasa prihatin, kudengar orang-orang kita banyak yang bertindak kejam tak kenal perikemanusiaan....” |
Selanjutnya;
|