Perserikatan Naga Api Jilid 16Karya : Stevanus S.P |
Mata Han Toan pun telah menjadi merah, ia maju selangkah sambil membentak, “He, kau menantang kami?!”
Di saat suasana sudah berkembang menjadi begitu panas, dan hampir saja pecah baku hantam antara orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan, “Bangsat-bangsat Hwe-liong-pang! Jangan harap malam ini kalian lolos dari tanganku!” Jika pada permulaannya kalimat itu masih terdengar agak jauh puluhan tombak maka pada akhir kalimatnya sudah terdengar dekat, hanya beberapa langkah saja dari tempat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Jelas orang yang membentaknya itu punya kecepatan bergerak yang mengejutkan. Hal itu cukup menyadarkan orang Hwe-liong-pang dari pertengkaran antara mereka sendiri. Dengan sigapnya mereka segera mempersiapkan dirinya masing-masing untuk menghadapi yang mendatangi itu. Terlihatlah dua sosok tubuh melayang datang dengan cepatnya, seakan-akan jatuh dari langit begitu saja. Dan tahu- tahu di tempat itu telah berdiri seorang anak muda dan seorang gadis. Si pemuda berpakaian serba putih, meskipun agak kusut namun cukup tampan, dan tangannya membawa sebatang pedang. Sedangkan si gadis tidak membawa senjata sepotong pun, namun wajahnya menampakkan kepercayaan kepada diri sendiri yang begitu besar. Mereka bukan lain adalah Tong Wi-hong dan adiknya. Kemunculan Tong Wi-hong di tempat itu membuat Song Kim terkejut bagaikan melihat hantu di siang hari bolong. Bagaimana Tong Wi-hong yang telah “dipertemukan” dengan Au-yang Siau-hui dan Au-yang Siau-pa itu kini masih tetap segar bugar tak kurang suatu apapun? Sedangkan bagi Cian Ping, kemunculan Wi-hong itu bagaikan kemunculan sang dewa penolong yang selalu dirindukannya. Namun hatinya merasa kurang enak juga, ketika melihat munculnya Wi-hong itu dengan didampingi seorang gadis ayu berusia sebaya dengannya. “Siapakah gadis yang muncul bersama-sama dengan A-hong itu?” demikian Cian Ping bertanya-tanya dalam hatinya. “Kelihatannya hubungannya dengan A-hong cukup rapat juga.” Dalam pada itu Wi-hong tidak dapat lagi menahan kemarahannya yang sudah beberapa hari dipendam dalam hatinya itu. Sambil mengacungkan pedangnya ia melangkah maju dan membentak Song Kim, “Murid durhaka yang tidak tahu membalas budi! Gurumu memperlakukan kau bagaikan putera sendiri, tapi kau si hati binatang ini telah membalasnya dengan tindakan yang paling keji. Sekarang bersiaplah untuk menerima kematianmu!” Sebaliknya Song Kim pun mendidih darahnya ketika bertemu dengan saingan asmaranya yang dibencinya sejak beberapa tahun yang lalu itu. Song Kim menganggap bahwa ia diusir oleh gurunya adalah gara-gara Wi-hong, dan hubungannya dengan Cian Ping putus beberapa tahun. Suara Song Kim pun kini bergetar menahan perasaan dendam, “Hemm, agaknya nasibmu cukup baik sehingga kau berhasil lolos dari tangan Au-yang Tong-cu dan adik sepupunya itu. Tapi yakinlah bahwa saat ini kau tidak akan lolos lagi, dan mayatmu akan terkapar tak terkubur di tengah padang perdu ini!” “Tong Wi-hong tidak sendiri,” tiba-tiba terdengar suara seorang gadis, yang suaranya halus tetapi mengandung kewibawaan. Orang-orang Hwe-liong-pang itu serentak menolehkan kepala mereka kepada Wi-lian. Mereka menjadi sangat heran melihat gadis yang tidak bersenjata itu bersikap demikian berani, dan nampaknya sangat percaya kepada dirinya sendiri. Sedangkan dalam hati Cian Ping mendadak saja timbul rasa tidak sukanya kepada gadis itu. “Siapa kau!” Song Kim membentak Wi-lian dengan garangnya. Song Kim berharap bahwa sikapnya yang garang itu akan membuat Wi-lian ketakutan. “Aku adalah nenekmu,” sahut Wi-lian acuh tak acuh, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Tiba-tiba terdengar Han Toan tertawa, katanya, “Aku kini tidak ingin berebut gadis she Cian itu lagi. Dasar rejeki nomplok, sekarang aku sudah melihat gantinya yang lebih hangat dan segar.” Wi-lian pun bersiap-siap ketika melihat orang she Han itu melangkah mendekatinya sambil menjinjing toya perunggunya. Nampaknya orang-orang Hwe-liong-pang itu memandang enteng kepada Wi-lian, dan hal mana cukup membuat Wi-lian jadi gatal tangan untuk menghajar lawan-lawannya itu agar mengenal kelihaiannya. “Hati-hatilah, Han Toan,” tiba-tiba An Siau-lun memperingatkan kawan-kawannya. “Aku menjadi curiga kepada gadis ini. Apakah kalian sudah mendengar dari rekan-rekan kita dari kelompok Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong, bahwa di Kay-hong telah muncul seorang gadis yang hanya dengan tangan kosong saja sanggup melukai dua orang Hu-tong-cu dari Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong?” Han Toan agak tertegun mendengar peringatan kawannya itu. Tapi ia tetap melangkah maju sambil menjawab peringatan An Siau-lun itu, “Aku memang pernah mendengar berita itu, tapi kau tidak perlu merasa kuatir. Memang orang-orang Ui-ki dan Ang-ki yang tidak becus bekerja, lalu mereka sengaja menyebarkan berita bohong katanya lawan berkepandaian sangat tinggi. Tapi aku tidak percaya gadis ini bisa berbuat banyak, paling-paling mencubit dan menggigit.” Sementara itu Song Kim telah mulai membuka pertempuran. Disertai sebuah pekik nyaring yang penuh dengan nafsu membunuh, ia mulai menyerang. Bagaikan seekor naga yang sedang murka, ujung tombaknya mematuk secepat kilat ke dada Wi-hong. Wi-hong pun mengimbangi serangan ganas itu dengan tepat. Cepat ia menggeser langkah ke samping, pedangnya dengan tidak kalah cepatnya telah membalas menusuk jalan darah jing-ling-hiat di lengan Song Kim. Song Kim tidak menduga bahwa Wi-hong dapat bergerak secepat itu. Bahkan kecepatan yang ditunjukkan Wi-hong itu hampir menyamai kecepatan guru Song Kim yang baru, Ang-mo-coa-cong Tang Kiau-po. Cepat Song Kim melompat ke belakang, sambil membatin, “Pantas bocah ini bisa lolos dari tangan Tong-cu dan Hu-tong-cu kami, kiranya anak ini memang jauh lebih hebat dari dua tahun yang lalu.” Tong Wi-hong yang telah dibakar api dendam oleh kematian Cian Sin-wi itu, kini telah merangsak dengan ganas tanpa kenal ampun. Jika Song Kim mundur dua langkah, Wi-hong pun maju dua langkah. Pedangnya berkilauan dengan jurus Pek-coa-sam-hian (Ular Putih Muncul Tiga Kali). Seketika itu juga Song Kim merasakan matanya menjadi kabur oleh kilauan pedang lawan, sebab dilihatnya lawannya seakan-akan memegang tiga batang pedang yang digerakkan serempak. Yang mana serangan asli, yang mana serangan palsu sulitlah dibedakan. Sekali lagi Song Kim dipaksa melompat mundur dengan gugup. Melihat Song Kim terdesak, mau tidak mau rekan-rekan Hwe- liong-pang harus melupakan pertengkaran di antara mereka sendiri. Cong Yo segera mulai bergerak membantu Song Kim. Telapak tangannya yang terlatih dan mampu menghancurkan setumpuk batu merah itu kini diayunkan untuk menggebrak tengkuk Wi-hong. Dari sudut lain, saudara kembarnya pun ikut turun tangan dengan melancarkan sebuah tendangan “pisau kaki” yang kuat ke lambung Wi-hong. Serbuan penjahat kembar dari Shoa-tang itu tidak dapat dianggap remeh, sebab keduanya ternyata menunjukkan tingkatan ilmu yang tidak berselisih jauh dengan Song Kim. Kini dengan dikepung bertiga jelaslah Wi-hong harus memeras keringat untuk mengalahkan mereka. Namun demikian, dengan semangat untuk membalaskan dendam Cian Sin-wi, Tong Wi-hong meladeni ketiga orang lawannya itu dengan gagah berani. Ia juga tidak berani lengah kepada penjahat kembar dari Shoa-tang itu, sebab meskipun sepasang penjahat itu tidak bersenjata tetapi kepalan dan tendangan mereka bagaikan martil-martil besi yang bisa meluluh-lantakkan tulang-belulang lawannya. Di samping itu, ilmu tombak Song Kim juga tidak dapat diabaikan, semenjak mengangkat guru kepada Tang Kiau-po, Song Kim telah mempermantap dan memperkaya jurus-jurus ilmu tombaknya. Dan kini nampaklah tombaknya itu bagaikan seekor naga yang sedang menari-nari di angkasa dengan dahysatnya. Wi-lian mengamat-amati jalannya pertarungan satu lawan tiga itu dengan penuh perhatian. Ia merasa gembira melihat bahwa ilmu silat kakaknya telah meningkat berlipat ganda dibandingkan dua tahun yang lalu. Tetapi dalam menghadapi tiga orang lawan tangguh dari Hwe-liong-pang, kedua pihak hanya dapat mempertahankan kedudukan “sama kuat” saja. “Aku harus segera turun tangan,” kata gadis itu dalam hatinya. Dalam pada itu An Siau-lun dan Han Toan juga tidak habis mengerti, kenapa gabungan kekuatan antara Song Kim dan kedua orang she Cong itu ternyata tidak dapat menyelesaikan lawan dengan cepat? Kedua penjahat itu tersentak kaget ketika mendengar Wi-lian telah menantangnya, “He, kenapa kalian hanya menjadi penonton saja? Buat apa senjata itu kalian bawa? Hendak kalian loakkan?” “Maksudmu, apakah kami berdua orang laki-laki ini harus bertempur melawanmu?” tanya Han Toan sambil cengar cengir. Sedangkan An Siau-lun bersikap lebih hati-hati, dan dengan waspada ia memperhatikan gerak-gerik gadis yang berani itu. Agaknya Wi-lian lebih dulu ingin menghajar Han Toan yang memuakkannya itu. Dan orang she Han itu jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat Wi-lian berkelebat cepat ke arahnya. Begitu cepatnya sehingga tubuh gadis itu hanya berujud segumpal bayangan yang menerjangnya, secara naluriah Han Toan mengangkat toya perunggunya untuk membela dirinya. Tapi tubuh gadis itu seperti seekor burung camar yang bermain-main di atas gelombang samudera, begitu lincah tiba-tiba ia melejit ke sebelah lain dari tubuh lawannya. Dan begitu sepasang tangannya ikut bergerak pula, terdengarlah Han Toan menjerit, disusul suara pipi digampar beberapa kali. Sewaktu Wi-lian melayang mundur kembali, mana nampaklah bahwa Han Toan sudah “berganti rupa”. Kini sepasang pipinya bengkak membiru seperti martabak hangus, bibirnya berdarah dan juga membengkak hampir dua kali lipat dari ukuran aslinya. Dan ketika ia membuka mulutnya maka berlompatanlah empat buah gigi dari mulutnya. Selama kejadian itu berlangsung, An Siau-lun hanya berdiri sambil melongo di tempatnya, tanpa kuasa menolongnya. Hampir-hampir tidak percaya menyaksikan bahwa kawannya itu ditampar pulang balik tanpa mampu menangkis atau menghindar sedikitpun oleh seorang gadis remaja. Gerakan gadis itu yang begitu cepat benar-benar telah mempesonanya. Kata An Siau-lun kemudian, kepada Han Toan, “Sudah kuperingatkan kepadamu, kau pasti tidak mengalami nasib seburuk ini jika kau cukup berhati-hati. Dan aku pun yakin bahwa gadis inilah yang membantu Hong-ho-sam-hiong ketika hendak dibunuh oleh orang-orang Ui-ki-tong dan Ang-ki-tong.” Ucapan An Siau-lun itu mengingatkan Wi-lian akan peristiwa di kota Kay-hong, di mana Hong-ho-sam-hiong bertiga terbunuh tanpa tertolong lagi, maka seketika itu juga menggelegaklah darah gadis itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia pun menyerang An Siau-lun dengan sebuah “tendangan sabit” yang cepat dan keras ke arah leher An Siau-lun. An Siau-lun memang lebih berhati-hati dari Han Toan, dan ia sudah waspada sejak tadi. Maka begitu tendangan Wi-lian datang, cepat dia mengendapkan tubuhnya untuk menghindar, bersamaan dengan itu goloknya pun digunakan untuk membabat kaki Wi-lian yang bertumpu ke tanah. Namun gadis itu justru melompat ke atas dan menendangkan lagi kakinya ke batok kepala lawannya. Tanpa An Siau-lun sempat menarik goloknya, tahu-tahu tendangan lawan sudah meluncur begitu dekat dan begitu cepat ke kepalanya. Hanya ada satu jalan, yaitu membanting diri dan bergulingan menjauhi lawannya. Dia berhasil menyelamatkan diri, namun keringat dingin telah membasahi punggungnya. Hampir saja ubun-ubunnya pecah berantakan terkena tendangan macan betina Siau-lim-pay yang perkasa itu. Dalam pada itu, Han Toan menjadi sangat murka karena telah dipermalukan begitu hebat oleh gadis itu, maka dengan beringasnya ia maju kembali. Dengan sebuah sapuan keras toya perunggunya, ia bermaksud mematahkan kaki gadis itu supaya bisa ditangkapnya hidup-hidup dan kemudian akan dipermainkannya sesuka hati. Demikianlah, sebuah ajang pertempuran baru telah “dibuka” di tengah padang perdu yang sepi itu. Wi-lian hanya dengan mengandalkan kekuatan jari-jari tangannya serta kecepatan tendangan dan kelincahannya, telah menghadapi dua serangkai bekas bajak laut yang bersenjata golok Tan-to dan toya Ce-bi-kun itu. Tadinya An Siau-lun dan Han Toan berharap, bahwa dengan gabungan kekuatan mereka berdua tentu paling tidak akan dapat mendesak gadis lawannya itu. Tetapi mereka terkejut bukan kepalang setelah menemui kenyataan bahwa mereka bagaikan membentur sebuah tembok baja, karena gadis itu begitu tangguhnya. Wi-lian bukan cuma bertahan, tetapi juga mampu memberondongkan serangan-serangan terarah yang membuat kedua lawannya harus menyelamatkan diri dengan sibuknya. Kedua bekas bajak Laut Kuning itu akhirnya menjadi marah juga. Akhirnya terdengar suara An Siau-lun kepada kawannya, “Han Toan, kukira sulit sekali untuk menangkap hidup-hidup gadis ini. Kini biarlah kita tidak usah ragu-ragu lagi andaikata senjata-senjata kita merobek kulitnya atau meremukkan tulang belulangnya, asal jangan sampai kita dihina tidak becus menghadapi seorang perempuan.” “Betul, akupun tidak berselera lagi kepada kecantikannya. Aku kini hanya ingin mencincang tubuhnya untuk melampiaskan kemarahanku!” sahut Han Toan. Begitulah kedua bekas bajak laut itu kini tidak ragu-ragu lagi dalam memainkan senjata mereka, sebab mereka telah menyingkirkan niat mereka untuk menangkap Wi-lian hidup-hidup. Kini mereka benar-benar telah berkelahi dengan ganas dan diwarnai oleh nafsu membunuh yang berkobar-kobar, biarpun lawan mereka adalah seorang gadis cantik yang usianya pantas untuk menjadi keponakan mereka. Golok tan-to di tangan An Siau-lun berputar kencang menggulung lawannya seperti sebuah baling-baling yang dihembus badai, menyebarkan udara kematian yang menggidikkan perasaan. Dan permainan golok yang hebat itu masih digabungkan dengan gaya permainan toya Ce-bin-kun Han Toan yang dapat diumpamakan sehebat pusaran air yang siap untuk menghisap, menggulung dan membinasakan lawannya. Menghadapi dua orang lawan yang bertempur dengan penuh kemarahan itu, Wi-lian bertindak semakin hati-hati dan cermat. Dalam hatinya diam-diam ia juga memuji ketangkasan lawan-lawannya, sebab sebagai anggota biasa Hwe-liong-pang saja mereka sudah begitu tangguh, lalu kira-kira entah bagaimana kepandaian para pemimpinnya, terutama Hwe-liong-pang-cu sendiri? Tidak mengherankan kalau Siau-lim-pay sampai merasa perlu untuk menyebarkan eng-hiong-tiap kepada para ksatria dunia persilatan untuk merundingkan perkembangan ini. Dengan munculnya Hwe-liong-pang, agaknya memang keamanan dunia persilatan bagaikan “telur di ujung tanduk”. Tetapi gadis itu sedikitpun tidak merasa gentar, ia masih tetap percaya bahwa kepandaiannya akan dapat mengatasi kedua lawannya itu, meskipun mungkin ia harus dipaksa memeras keringat sampai puluhan jurus. Bahkan timbul niatnya untuk membinasakan kedua lawannya ini sama sekali, karena hal itu sedikit banyak akan mengurangi kekuatan Hwe-liong-pang. Selain itu juga agar secepatnya ia bisa membantu kakaknya yang sedang menghadapi tiga orang lawan. Memang saat itu Tong Wi-hong pun sudah basah kuyup dengan keringat, karena menghadapi tiga orang lawannya itu benar-benar memerlukan pengerahan seluruh kepandaiannya. Apalagi selama dua hari dua malam ini Wi-hong dalam keadaan kelelahan dan kurang merawat keadaan tubuhnya, sehingga keadaan tubuhnya pun tidak sesegar lawan-lawannya. Akhirnya Wi-hong dipaksa untuk mengakui kenyataan bahwa mustahil ia dalam keadaan seperti itu akan dapat mengalahkan musuh. Namun bagaimana pun juga Wi-hong tetap bertempur dengan gigihnya, sehingga Song Kim, Cong Hun dan Song Yo juga dipaksa untuk memeras keringat secara habis-habisan. Jika Wi-hong menyerang, maka gerak pedangnya bagaikan seekor ular sakti yang menggeliat, meliuk dan mematuk dengan ganasnya. Tetapi kepungan lawan-lawannya bagaikan benteng besi yang makin lama makin menyempit dan menggencetnya. Ternyata Wi-hong bukan seorang pemuda berotak buntu. Menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan bagi dirinya itu, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mengambil kedudukan bertahan saja sambil mencoba “mengambil napas”. Ia hanya akan membela diri saja, sambil menunggu sampai musuh-musuhnya berbuat kesalahan sendiri. Dalam pada itu Song Kim telah mengutuk habis-habisan di dalam hatinya, karena ia ternyata tidak dapat segera membereskan orang yang dibencinya sampai ke tulang sumsum itu. Meskipun kadang-kadang Wi-hong nampak terdesak, tapi jalannya pertempuran itu entah masih harus berapa lama lagi untuk membunuh Wi-hong? Tadinya Song Kim mengira bahwa setelah dirinya mendapat gemblengan dari guru barunya, maka ilmu silatnya telah meningkat pesat sehingga Wi-hong tentu akan dapat dikalahkannya tanpa banyak susah payah. Apa lagi dengan bantuan dua saudara she Cong yang cukup tangguh pula. Namun yang terjadi di hadapan matanya sekarang ini benar-benar sesuatu yang sangat menjengkelkan. Setelah bertarung ratusan jurus, ternyata masih belum nampak gejala-gejala Wi-hong akan kalah. Memang anak muda she Tong itu kadang-kadang berlompatan mundur untuk menghindari “banjir” serangan lawannya, tapi itu tidak berarti kalah. Bukan hanya Song Kim, tetapi sepasang penjahat dari Shoa- tang itu juga mulai menjadi gondok karena menemui perlawanan setangguh itu. Beberapa kali kedua saudara itu berhasil mendesak Wi-hong, dan mereka mengira bahwa pertempuran akan segera berakhir tapi ternyata lawan mereka berhasil memperbaiki dirinya dan kembali sanggup meneruskan perlawanannya. Bahkan setelah Wi-hong dapat memulihkan ketenangannya dan memusatkan diri hanya kepada pertahanannya, maka ia nampak semakin ulet dan tangguh. Sedangkan lawan- lawannya yang semakin naik darah itu jadi semakin kalap dan bernafsu, dan tanpa sadar mereka telah menghamburkan tenaganay jauh lebih cepat dari Wi-hong. “Anak gila ini entah kesurupan demit dari mana,” gerutu Cong Hun di dalam hatinya. “Di Tay-beng dia berhasil melepaskan diri dari kakak beradik sepupu Au-yang yang ganas seperti setan itu, dan kini tampaknya kami bertiga pun tidak akan bisa berbuat terlalu banyak kepadanya.” Dan ketika Cong Hun menoleh ke lingkaran pertempuran antara Wi-lian dengan kedua lawannya, maka hati Cong Hun menjadi kecut ketika melihat bagaimana dua orang rekannya itupun mengalami kesulitan besar melawan Wi-lian. Langit di ufuk timur semakin cerah, selubung gelap malam bagaikan tersingkap oleh cahaya merah keemasan yang begitu gemilang. Cahaya fajar yang begitu lembut dan indah telah muncul. Tetapi segala keindahan fajar di tengah padang perdu itu dipersetankan begitu saja oleh tujuh orang manusia yang sedang mempertarungkan nyawa di tempat itu. Panca indera dan perasaan mereka tertutup sama sekali dari keindahan sinar surya yang keemasan, kicau unggas liar yang bagaikan nyanyian dewata atau gemerisik lembutnya rerumputan. Yang ada di dalam pikiran mereka hanyalah semboyan “membunuh atau dibunuh”, tidak ada pilihan yang ketiga. Dendam dan kebencian telah membutakan manusia-manusia lemah itu. Sejalan dengan munculnya sang surya yang merambat sejengkal demi sejengkal ke puncak langit itu, maka makin panas pula jalannya pertempuran itu. Jurus-jurus mematikan dikeluarkan semua, dicoba keampuhannya melawan jurus-jurus lawan yang juga mematikan. Bentakan-bentakan yang mengandung kemarahan dan kebencian terdengar mengoyak-oyak dan menodai kesyahduan pagi yang indah itu. Semua yang bertempur telah berubah menjadi makhluk-makhluk haus darah dan mabuk dendam. Dalam keadaan tubuh yang belum bisa bergerak sedikitpun karena tertotok, Cian Ping menyaksikan jalan pertempuran yang sengit itu, perasaannya tegang bukan main. Dapatkah kekasihnya dan temannya itu mengalahkan lawan-lawannya? Ataukah Song Kim dan kawan-kawannya yang akan merebut kemenangan, sehingga dirinya akan mengalami nasib yang sangat buruk dengan menjadi barang permainan dari orang- orang Hwe-liong-pang? Ketika Cian Ping mengamat-amati pertarungan antara Wi-lian melawan keroyokan An Siau-lun dan Han Toan, timbullah keheranan Cian Ping melihat gadis yang dicemburuinya itu ternyata justru berhasil mendesak kedua lawannya. Padahal kedua orang bekas bajak laut itu adalah penjahat-penjahat yang garang dan ditakuti, namun tidak berkutik menghadapi seorang gadis remaja yang bertempur tanpa senjata! Diam-diam Cian Ping mulai berpikir dalam hati, “Alangkah hebatnya teman A-hong ini, entah di mana A-hong berkenalan dengannya? Apabila gadis itu berhasil merobohkan kedua lawannya, maka ia akan bertempur berpasangan dengan A-hong, alangkah serasinya, dan aku di sini hanya bisa meringkuk tak berkutik tanpa mampu berbuat apa-apa.” Rupanya sedikit banyak Cian Ping mulai dipengaruhi perasaan bersaing dengan gadis yang belum dikenalnya itu. Ia tidak sudi kelak akan dianggap sebagai gadis yang tidak punya guna. Keinginan untuk berbuat sesuatu itu telah mendorong Cian Ping untuk mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak jalan darahnya yang buntu karena tertotok itu. Daya kerja totokan itu memang sudah hampir habis dan semakin melemah, maka ketika Cian Ping menyalurkan tenaganya untuk mendobrak beberapa kali, akhirnya terbukalah jalan darah yang tadinya buntu itu! Tetapi untuk mengakali lawannya, gadis itu masih pura-pura terbaring tak berdaya, padahal ia sedang membiarkan otot-ototnya yang kaku itu agar melemas kembali. Maka terkejutlah orang-orang Hwe-liong-pang itu ketika melihat Cian Ping kemudian melompat bangun dengan garangnya. Song Kim cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian puteri bekas gurunya itu. Meskipun kepandaian Cian Ping belum bisa disejajarkan dengan Wi-hong maupun gadis yang satunya lagi itu, tetapi tingkat ilmu yang dimiliki Cian Ping lebih dari cukup untuk mengubah keseimbangan pertempuran yang tengah berlangsung itu. Bebasnya Cian Ping bukan merupakan pertanda yang baik bagi orang-orang Hwe-liong-pang. Karena agak terganggu perhatiannya oleh bebasnya Cian Ping, hampir saja tenggorokan Song Kim tertusuk tembus oleh pedang Wi-hong. Untunglah ia masih sempat menggunakan gerak Hong-hong-tiam-thau (Burung Hong Mengangguk), selain itu juga karena kedua saudara Cong menolongnya tepat pada waktunya. Setelah bebas, Cian Ping kini benar-benar merasa mendapat kesempatan untuk melampiaskan semua perasaannya yang terpendam selama ini. Sejak diculik dari rumahnya, gadis itu merasa kebebasannya hilang dan perasaannya sangat tertekan, meskipun orang-orang Hwe-liong-pang itu belum sempat berbuat sesuatupun yang menodai dirinya. Meskipun demikian gurauan dan percakapan orang-orang Hwe-liong-pang itu sempat membuat dirinya marah dan jijik, apalagi kalau mengingat bahwa orang-orang inilah yang telah membunuh ayahnya. Puteri Cian Sin-wi itu segera memungut sebatang kayu sepanjang lengan dan sebesar lengan orang dewasa pula. Dengan “senjata” itulah ia menghantam kepala Song Kim yang sangat dibencinya itu, sambil berteriak marah. Ikut sertanya Cian Ping dalam gelanggang pertempuran itu sempat membuat Song Kim dan kawan-kawannya terpecah perhatiannya. Song Kim sendiri harus cepat-cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya, karena tidak mau kepalanya pecah oleh pukulan yang dipegang Cian Ping. Mundurnya Song Kim sama dengan bobolnya kepungan atas diri Tong Wi-hong. Dengan serangan pedangnya yang gencar dan bertubi-tubi, Wi-hong berhasil memaksa kedua saudara Cong itu berlompatan mundur dengan kacau balau. Kesempatan itu segera digunakan oleh Wi-hong untuk mendekati Cian Ping. “Adik Ping, kau tidak apa-apa?” tanyanya. Cian Ping tidak begitu menghiraukan pertanyaan itu. Dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap ia memburu Song Kim sambil berteriak, “Manusia berjantung anjing! Manusia tidak kenal budi! Aku bersumpah tidak sudi hidup bersama-sama denganmu di bawah satu kolong langit!” Song Kim yang biasanya bersikap garang itu kini menjadi gugup dan kecut hati menghadapi kemarahan gadis itu. Ia berlompatan mundur dengan ngerinya, sambil mencoba menenangkan gadis itu, “Adik Ping, coba kau dengar dulu penjelasanku...” Namun gadis yang sedang kalap itu terus mengejarnya, serunya dengan suara yang agak terisak, “Siapa sudi adikmu? Hubungan kita sudah putus. Kau adalah seorang murid yang tidak tahu membalas budi. Ingatkah kau siapa yang telah membesarkan dan merawatmu sejak kecil, dengan kasih sayang seperti kepada anak laki-lakinya sendiri? Bukankah ketika itu kau hampir mati kelaparan di pinggir jalan?” Menyusul dengan ucapannya itu, kayu di tangan Cian Ping telah disodokkan kembali ke ulu hati Song Kim. Si bekas kakak seperguruan ternyata hanya menghindar saja dan tidak berani menangkis atau membalas menyerang, rupanya kuatir kalau membuat gadis she Cian itu bertambah marah. Sebagai puteri tunggal Cian Sin-wi, tokoh yang disegani di wilayah Kang-pak, maka Cian Ping sudah mempelajari ilmu silat sejak umur 10 tahun, dasar ilmu silatnya pun cukup kuat. Maka begitu serangan yang pertama dapat dihindari Song Kim, gadis itu menyusulkan serangan berikutnya dengan memutar kayunya dan menghantam ke lambung Song Kim dengan derasnya.... |
Selanjutnya;
|