Perserikatan Naga Api Jilid 15Karya : Stevanus S.P |
Kedua orang kawan seperjalanannya terkejut melihat kawannya kena dibanting semudah itu oleh seorang gadis. Lelaki yang berjenggot kambing itu agaknya punya pengalaman yang luas maka sadarlah ia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pendekar wanita dunia persilatan yang tidak dapat dipandang ringan.
Sementara itu si lelaki buaya telah bangkit kembali dengan tertatih-tatih sambil memaki-maki. Meskipun hatinya sudah mulai gentar, tapi untuk menjaga pamornya dia membentak Wi-lian, “Hemm, gadis luar, jangan bangga karena berhasil membantingku. Itu berhasil kau lakukan karena aku tidak dalam keadaan siap. Untunglah kau sebab aku sedang ada urusan penting sehingga tidak dapat menghajarmu tapi hati-hatilah kau jila lain waktu bertemu lagi.” Jenis orang seperti ini memang terlalu banyak jumlahnya di kalangan persilatan. Kalah tetapi tidak mau mengaku kalah dan menutupi kekerdilannya dengan kata-kata yang garang. Karena itu Wi-lian sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga orang itu agaknya memang sedang buru-buru untuk suatu urusan penting. Bentrokan kecil dengan Wi-lian itu ternyata kemudian tak dihiraukan lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa menuju ke arah barat. Sepeninggal ketiga orang itu, Wi-lian masih saja kebingungan menetapkan arah supaya bisa menyusul kakaknya. Akhirnya dibiarkan saja kudanya berlari seenaknya. Setelah berkuda terus hampir sepanjang hari, akhirnya padang perdu itu menemukan juga bentuknya yang lain. Kini yang tampak bukan hanya tetumbuhan perdu melulu, tapi sudah mulai kelihatan pula beberapa jenis pepohonan yang agak tinggi. Tak terasa, kembali sehari penuh telah dilewati dalam melacak jejak kakaknya yang tak tentu itu. Kini matahari sudah miring ke sebelah barat dan sinarnya tepat menyoroti muka gadis yang berpeluh itu. Ketika Wi-lian sudah hampir putus harapan dan hendak kembali ke Tay-beng sambil menunggu kakaknya di sana saja, tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh tergeletak di bawah serumpuk semak. Karena jaraknya masih ada puluhan langkah, maka ia tidak dapat menentukan, apakah orang yang dilihatnya itu masih hidup atau sudah mati. Terdorong oleh rasa ingin tahunya, cepat dilarikannya kudanya untuk mendekati tubuh itu. Begitu dekat, seketika berkerutlah kening gadis itu. Tubuh yang tergeletak itu ternyata adalah tubuh dari lelaki yang mencoba menggodanya tadi, dan sudah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Namun mata lelaki itu masih melotot lebar-lebar, menandakan bahwa ia mati penasaran, sedangkan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Pada dada lelaki itu nampak lima buah lubang yang agaknya dibuat dengan lima buah jari tangan, sedangkan lambungnya terkoyak lebar, nampaknya terkena jenis senjata semacam golok. Wi-lian mengeliarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Nampaklah bahwa gerumbul-gerumbul semak di sekitar tempat itu porak poranda terinjak-injak kaki manusia, dan terdapat pula ranting-ranting pohon yang patah terkena sabetan senjata tajam. Dilihat dari bekas-bekasnya agaknya dapat disimpulkan bahwa di tempat itu terjadi suatu pertarungan hebat belum lama berselang. Namun ke mana dua orang penunggang kuda yang lainnya? Kenapa mereka membiarkan mayat kawan mereka begitu saja? Ataukah mereka pun telah tewas tapi di tempat lain? Kuil Siau-lim terkenal bukan saja sebagai pusat ilmu silat, tapi juga pusat penyebaran agama Buddha. Selama dua tahun digembleng di kuil Siau-lim, maka jiwa Wi-lian pun telah terpengaruh oleh ajaran Buddha yang mengajarkan welas-asih itu. Meskipun lelaki yang telah menjadi mayat itu pernah mengganggunya, namun Wi-lian tidak sampai hati membiarkan mayatnya menjadi santapan binatang-binatang malam. Tanpa mempedulikan keletihan tubuhnya, Wi-lian lalu mencoba menguburkan mayat orang itu. Tapi karena tak ada alat untuk menggali tanah, maka mayat itu diletakkan di sebuah tanah yang agak cekung, lalu di atasnya ditutup dengan ranting-ranting dan batu-batu, setelah itu baru diuruk tanah. Sementara itu hari telah menjadi remang-remang. Sekitar tempat itu tidak nampak sebuah rumah pun. Akhirnya Wi-lian memutuskan, "Apa boleh buat, malam ini terpaksa aku tidur di atas dahan pohon. Semoga tidak ada gangguan apapun.” Tengah gadis itu mencari-cari sebuah pohon yang dianggapnya cukup rimbun dan cukup nyaman untuk tidur di dahannya, mendadak telinganya menangkap suara yang menarik perhatian. Beberapa puluh tombak dari tempatnya itu ada sebuah bukit kecil, dan dari balik bukit itu terdengarlah suara ringkik kuda bercampur aduk dengan suara dencing senjata beradu, diselingi pula suara bentakan-bentakan orang yang sedang bertempur. Tadinya Wi-lian sudah hampir berputus-asa untuk menemukan jejak kakaknya atau jejak orang-orang Hwe-liong-pang, maka ketika mendengar suara-suara itu seketika harapannya timbul kembali. Meskipun tidak terlalu mengharap, tetapi siapa tahu dari orang-orang yang bertempur itu ia bisa menemukan jejak kakaknya? Bahkan tidak mustahil yang sedang bertempur itu adalah kakaknya sendiri. Cepat dinaikinya kudanya dan dipacunya menuju ke bukit kecil itu. Namun sebelum kuda Wi-lian sempat mencapai bukit kecil itu, telah terdengar suara jeritan seram dua kali berturut-turut, disusul pula dengan suara tertawa kemenangan bagaikan iblis meringkik. Lalu terdengar pula derap kaki kuda menjauhi bukit kecil itu. Agaknya sebelum Wi-lian sempat melihat siapa-siapa yang bertempur itu, pertempuran itu sudah selesai lebih dulu. Gadis itu berusaha memacu kudanya lebih cepat lagi, tetapi toh semuanya sudah terlambat. Di balik bukit kecil itu hanya ditemuinya dua sosok mayat yang masih hangat dalam keadaan luka-luka yang mirip dengan luka-luka mayat pertama tadi. Di dekat mayat itu ada dua ekor kuda yang tengah meringkik-ringkik sambil berputar-putar kebingungan mencari tuannya. Di bawah sinar matahari yang semakin redup, Wi-lian seorang diri di tempat itu dengan hanya ditemani dua sosok mayat, meskipun nyalinya cukup besar tapi terasa ngeri juga. Cepat-cepat ia memutar kudanya untuk segera meninggalkan tempat itu. Namun baru saja ia membalikkan diri, tiba-tiba didengarnya salah satu dari “mayat” itu merintih perlahan. Timbul harapan baru dalam hati gadis itu, “He, kiranya ada yang belum mati di antara kedua orang itu. Aku harus menolongnya, siapa tahu ia akan dapat menerangkan siapa yang telah bertempur tadi, dan barangkali aku akan mendapat jejak A-hong.” Cepat gadis itu melompat turun dan berlari mendekati orang yang merintih itu. Meskipun cuaca semakin gelap, tetapi Wi-lian tetap masih dapat mengenalnya sebagai lelaki berjenggot kambing yang dijumpainya siang tadi di tengah padang perdu. Luka-luka di tubuh orang itu ternyata sama dengan luka-luka orang yang telah dikuburkannya tadi. Ada bekas cengkeraman lima jari yang menembus dalam ke daging, dan ada pula bekas sabetan-sabetan golok yang memanjang. Cepat Wi-lian menggunakan dua jari tangannya untuk menotok beberapa buah urat penting di sekitar luka, dengan maksud untuk menghentikan mengalirnya darah secara terus menerus. Tetapi agaknya pertolongan itu tidak akan banyak memberi harapan kepada orang itu, sebab keadaannya memang sangat parah. Merasa ada orang yang menolongnya, si jenggot kambing yang sudah tiga perempat mati itupun perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Tanyanya dengan suara terputus-putus, “Sia... siapa... kau...?” Sahut Wi-lian langsung untuk menghilangkan kecurigaan orang itu, “Aku bernama Tong Wi-lian, murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-si di Siong-san. Harap paman tenangkan diri, aku akan berusaha mengobati luka-luka paman ini.” Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir orang tua yang sedang sekarat itu. Katanya lemah, “Terima kasih, tetapi kukira nona tidak usah bersusah payah untuk mengobatiku lagi. Aku merasa bahwa jiwa tuaku ini agaknya sudah tidak ada harapan untuk dipertahankan lebih lama lagi, bahkan andaikata aku berhasil hiduppun aku akan merasa menanggung malu karena gagal menuaikan tugas yang dibebankan di pundakku. Tapi sebelum aku mati, maukah nona menolongku?” “Katakanlah, paman.” Terlihatlah dada lelaki tua itu bergelombang menahan sakit, kelihatannya ia bernapas dengan payah sekali. Tetapi ia berhasil juga mengeluarkan kata-katanya meskipun dengan suara yang lirih, “Nona, jika kau ada waktu pergilah ke dusun yang bernama Pek-tiap-tin, kira-kira tiga puluh li dari sini ke arah timur. Di sana kau carilah seorang Ting Thong-leng (Kepala Pasukan she Ting) dan katakan kepadanya bahwa untuk melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu harus dikerahkan suatu pasukan yang kuat, bahkan agaknya para ko-jiu (jagoan) dalam Lwe-teng-wi-su (Pasukan Khusus Pengawal Istana) itupun harus ikut ambil bagian. Kalau hanya mengirim prajurit-prajurit biasa seperti aku dan kawan-kawanku ini, hanya akan menghabiskan nyawa manusia saja.” Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya. Lelaki berjenggot kambing itu meneruskan kata-katanya pula, “Ting Thong-leng yang kusebutkan tadi bernama Ting Bun dari ibukota Pak-khia. Ting Tong-leng adalah pemimpin dari regu ke sebelas yang memburu orang-orang Hwe-liong-pang, dan aku serta kawan-kawanku adalah anggota regunya." Mengucap sampai di sini, agaknya seluruh kekuatan hidup dari orang ini telah habis sama sekali. Nampaklah ia masih berusaha menggerakkan bibirnya untuk berkata-kata lagi, namun gagal, akhirnya kepalanya terkulai ke samping dan arwahnya pun terbang menyusul teman-temannya yang telah mendahuluinya. Wi-lian masih saja termangu-mangu di samping tubuh yang mulai mendingin itu. Ia sedang mencari jejak kakaknya, tetapi yang diketemukan malahan jejak seseorang lain. Seorang lelaki muda yang juga punya arti dalam hidupnya, yaitu Ting Bun. Tetapi benarkah pemuda yang merampas hatinya itu kini telah menjadi seorang Thong-leng dalam ketentaraan Kerajaan Beng? Padahal keluarga Tong sangat mendendam kepada orang-orang berseragam prajurit kerajaan, lalu bagaimana kelak ia harus menghadapi Ting Bun? Gadis itu baru tersentak dari lamunannya setelah dikejutkan oleh kudanya yang meringkik dengan gelisah. Cepat Wi-lian menggeledah tubuh orang itu kalau-kalau ditemukannya sesuatu yang dapat ditunjukkannya kepada Ting Bun sesuai dengan pesan orang itu. Di kantong baju orang itu ditemukan sekeping thi-pay (lencana besi) yang pada permukaannya terukir huruf-huruf, “Ong Liang, anggota regu ke sebelas Pasukan Rahasia Kerajaan Beng”. Wi-lian menganggukkan kepalanya sambil mencamkan apa yang telah dibacanya itu. Pikirnya, “Ternyata Hwe-liong-pang bukan hanya dimusuhi oleh kaum kesatria persilatan, tapi bahkan pihak Pemerintah Kerajaan pun mengirimkan orang-orangnya untuk memburu Hwe-liong-pang. Sebenarnya macam apakah gerombolan yang aneh ini?” Setelah menyimpan thi-pay itu di kantung pelana kudanya, sekali lagi Wi-lian harus menambah kelelahan tubuhnya untuk menguburkan kedua orang itu. Saat itu langit benar- benar telah menjadi hitam kelam, masih untung ada bulan sabit dan bintang-bintang yang menjadi cahaya di padang yang sangat luas itu. Untung pula bahwa Wi-lian bukan seorang gadis cengeng melainkan cukup bernyali besar. Seorang diri di tengah padang yang gelap itu ia tidak merasa gentar sedikit pun. Ia merasa bahwa rerumputan di tempat itu cukup tebal dan empuk, cocok untuk tempat istirahat guna memulihkan tenaganya. Ditambatkannya kudanya di tempat yang mudah dicapai, lalu ia sendiri membuka bekal ransum keringnya serta kantong airnya, untuk mengisi perutnya yang belum kemasukan makanan sejak tadi pagi. Sengaja Wi-lian tidak membuat perapian, sebab nalurinya mengatakan bahwa banyak orang-orang Hwe-liong-pang yang berkeliaran di daerah itu. Menyalakan perapian sama saja dengan memberikan pertandaan bagi musuh dan memberitahukan di mana dirinya berada. Selesai mengenyangkan perutnya, ia duduk bersemedi dan melakukan latihan pernapasan untuk memulihkan tenaganya. Sampai jauh malam gadis itu melakukan semedi. Setelah tubuhnya merasa segar kembali barulah ia mengurai silanya dan merebahkan diri di rerumputan yang tebal dengan beralas mantelnya. Sambil membaringkan tubuhnya, ia melamunkan perjalanan hidupnya yang penuh kekerasan dan pertentangan yang tak habis-habisnya, sangat jauh bedanya dengan kehidupan gadis-gadis remaja pada umumnya. Pikiran gadis itu seakan-akan melompati ruang waktu dan melayang mundur ke suatu masa dua tahun yang lalu. Ketika itu ia masih tinggal di An-yang-shia, kota kecil yang indah permai, di mana ia hidup di tengah-tengah sebuah keluarga dengan suasana yang hangat meskipun bukan tergolong keluarga yang kaya raya. Ia ingat akan mendiang ayahnya yang sikapnya sangat keras dalam mendidik anak-anaknya. Lalu ibunya yang merupakan seorang perempuan yang lemah lembut, meskipun perempuan tua itu bisa juga menjadi garang jika pedangnya sudah tergenggam di tangannya. Perempuan tua itulah yang paling mengerti dan paling memahami anak-anaknya. Kemudian ingatannya tertuju kepada Tong Wi-siang, kakak tertuanya yang bandel dan bengalnya luar biasa, tetapi juga sangat menyayangi Wi-lian, meskipun kadang-kadang juga mengganggunya sampai si adik hampir menangis. Lalu kakaknya yang nomor dua, Tong Wi-hong, yang oleh orang-orang seisi rumah diberi julukan “kutu buku” karena rajinnya dalam mempelajari buku-buku kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Kenangan masa lalu terasa begitu indah. Tapi pada kenyataannya, kini gadis itu sedang berada sendirian di tengah sebuah padang perdu yang luas dan gelap, kesunyian dan kedinginan tanpa teman. Tiba-tiba saja rasa rindu Wi-lian kepada kaum keluarganya telah begitu hebat bergejolak di hatinya. “A-siang, di manakah kau sekarang? Tidak rindukah kau berkumpul dengan seluruh keluarga dan adik-adikmu?” demikian kadang-kadang hati gadis itu ingin menjerit. Tetapi ia tidak tahu kepada siapa jeritan itu harus ditujukan. Lalu gigi gadis itu gemeretak penuh kemarahan jika teringat bahwa ketenteraman yang membahagiakan itu bagaikan diguncang oleh badai yang dahsyat gara-gara ulah seorang yang bernama Cia To-bun. Seseorang yang sangat bernafsu untuk menyingkirkan ayahnya, karena dianggapnya selalu merintangi kehendaknya, dan yang akhirnya berhasil juga melampiaskan segudang dendamnya kepada keluarga Tong. Keluarga kecil yang bahagia itupun akhirnya tercerai-berai, seperti perahu yang pecah di tengah laut. Masing-masing anggota keluarga berpencar-pencar dan saling tidak mengetahui nasib orang-orang yang dicintainya. Wi-lian bukan seorang gadis cengeng, jiwa raganya telah mengalami gemblengan hebat. Namun dia pun masih tetap seorang manusia yang punya perasaan, apalagi ia seorang gadis remaja. Kenangan lama yang indah dan kenyataan sekarang yang begitu pahit terasa telah merobek hatinya, dan tanpa sadar butiran-butiran air hangat mengalir dari pelupuk matanya. Salahkah kalau seorang manusia menangis karena merindukan kehangatan yang pernah dimilikinya? Tengah gadis itu bergelut dengan berbagai macam perasaannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar adanya desir langkah halus di sekitar dirinya. Bahkan desir langkah itu terdengar semakin dekat dengan dirinya. Gadis itu menjadi tegang, pikirannya segera terpusat untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. Ketika desir langkah itu tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, mendadak sesosok bayangan putih muncul di depannya, begitu mendadak seperti sesosok hantu yang muncul dari perut bumi saja. Mau tak mau Wi-lian terkesiap juga, cepat ia melompat berdiri sambil memasang kuda-kuda. Sesaat lamanya kedua sosok bayangan itu berdiri dengan tegangnya dan penuh dengan kewaspadaan. Meskipun keduanya saling memandang, tetapi tidak dapat melihat jelas wajah masing-masing karena gelapnya malam. Akhirnya terdengar si bayangan putih itu menyapa lebih dulu dengan suaranya yang berat bergetar, “Siapa kau? Kenapa kau bermalam seorang diri di tempat ini? Apakah kau orang Hwe-liong-pang?” Sebaliknya Wi-lian mendengar suara orang itu bagaikan bermimpi. Suara itu sudah sangat dikenalnya! Hampir saja menjerit karena gembiranya, gadis itu berseru, “Kutu buku, kaukah itu? Aku A-lian!” Bayangan putih itu nampak tercengang mendengar suara gadis itu, lenyaplah kesedihan Wi-hong, diganti dengan kegembiraan yang meluap. Teriaknya, “He, kau... kau adalah A-lian!” Maka berpelukanlah kakak beradik yang sudah berpisah cukup lama itu, tak dapat dilukiskan kegembiraan mereka berdua. Kiranya setelah beberapa lamanya Wi-hong mengejar orang-orang Hwe-liong-pang yang menculik Cian Ping itu, ia tersesat di padang perdu itu, sedangkan jejak musuh sedikitpun tidak dilihatnya. Malam itu kebetulan Wi-hong lewat di bukit kecil itu, dan ia menjadi curiga ketika mendengar dengus-dengus seekor kuda di kaki bukit itu. Diam-diam ia mendekati tempat itu untuk mengintai, siapa tahu dapat bertemu dengan penculik-penculik itu, dan ia tidak menduga sama sekali bahwa yang akan ditemuinya justru adiknya. Karena gembiranya, kakak beradik yang baru bertemu itu telah saling berebutan bicara, sehingga suasana yang tadinya sepi itu kini telah berubah menjadi sangat ributnya. “A-lian, kenapa kau sampai di tempat ini?” Sahut adiknya, “Aku sebenarnya sedang mengemban tugas dari guruku untuk menyampaikan sepucuk undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Besar Kaum Kesatria) kepada Cian Lo-eng-hiong di Tay-beng. Tetapi begitu aku tiba di sana, aku hanya menjumpai peti jenazah beliau. Namun dari mulut orang-orang di Tiong-gi Piau-hang aku berhasil mendengar tentang jejakmu, katanya kau sedang mengejar penculik-penculik calon isterimu, maka tanpa pikir panjang lagi aku segera mengejar ke jurusan ini.” “Hah, kau benar-benar terlalu berani dan sedikit pun tidak menggunakan otak. Bagaimana kau seorang diri berani mengejar ke sini, padahal di daerah ini sangat besar kemungkinannya bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang jahat-jahat itu?” tegur kakaknya. Wi-lian tersenyum mendengar kakaknya menegurnya seperti menegur anak kecil saja. Sahutnya, “A-hong, dari orang-orang Tiong-gi Piau-hang kudengar kabar bahwa kau sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu silat karena dididik langsung oleh Su-cou (kakek guru) dan beberapa Su-ciok-cou (paman kakek guru). Tapi dengan kemajuan itu belum tentu kau sanggup mengalahkan aku sekarang.” Wi-hong tertawa bergelak mendengar jawaban adiknya itu, untuk sesaat lamanya ia jadi melupakan semua kesedihannya. Katanya, “Wah, besar juga omonganmu, tapi aku percaya tentunya kau punya alasan untuk bersikap sombong. Selama ini aku cukup mencemaskan dirimu, semenjak kita berpisah jalan karena menghadapi para pembunuh bayaran itu, nah, sekarang kau harus bercerita tentang apa saja yang kau alami selama ini....” |
Selanjutnya;
|