Perserikatan Naga Api Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 15

Karya : Stevanus S.P
Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
DI DALAM hatinya, Au-yang Siau-pa mengutuk Song Kim tak habis-habisnya, “Ternyata bangsat Song Kim itu telah menipu kami. Dia mengatakan bahwa ilmu silat bocah she Tong ini tidak begitu tinggi, tetapi ternyata aku dan piau-ko (kakak misan) ternyata tidak dapat mengalahkannya, meskipun sudah maju serempak. Jangan-jangan Song Kim memang berniat busuk untuk menjerumuskan aku dan piau-ko agar mati di tangan bocah she Tong ini, supaya dia sendiri bisa merebut kedudukan Jing-ki-tong-cu?”

Beberapa kali kedua orang kakak beradik sepupu itu harus berlompatan kalang kabut atau bergulingan di lantai kuil yang kotor itu, untuk menyelamatkan diri dari pukulan atau tendangan Wi-hong yang sedang marah itu. Karena semakin terdesak, akhirnya tanpa malu-malu Au- yang Siau-hui berteriak, “Kalau tidak mau menjadi anggota Hwe-liong-pang pun tidak jadi soal, kenapa harus mendesak kami seperti ini?”

Tong Wi-hong tertawa terbahak mendengar seruan yang tidak tahu malu itu. Sahutnya, “Setelah bertemu dengan lawan yang lebih kuat barulah kau berkata demikian. Namun Hwe-liong-pang terkenal sebagai perkumpulan yang sering memaksa orang untuk menjadi anggota, bahkan tidak jarang dengan ancaman kekerasan. Karena itu semakin sedikit orang macam kalian ini, dunia pun akan semakin tenteram.”

Sambil terus menghindar dan menangkis Au-yang Siau-hui menyahut, “Kau hendak memusnahkan Hwe-liong-pang? Huh, jangan mimpi. Kau mungkin akan dapat membunuh kami berdua, tapi untuk memusnahkan Hwe-liong-pang apakah kau bisa? Dalam Pang kami tidak terhitung banyaknya orang berkepandaian tinggi.”

Namun Wi-hong pun tidak kalah gertak, “Aku sendiri jelas tidak mampu menghancurkan Hwe-liong-pang. Tetapi jika seluruh kaum pendekar bergabung, maka Hwe-liong-pang pun akan dihancurkan semudah menghancurkan patung tanah liat.”

Au-yang Siau-hui bungkam mendengar debatan itu, tetapi adik misannyalah yang menyahut meskipun dengan napas yang hampir putus, “Persetan dengan bualanmu itu!”

Begitulah kakak beradik sepupu itu semakin terdesak ke dalam keadaan yang semakin sulit. Dan dalam keadaan terjepit itu nampaklah perbedaan watak antara kedua orang itu. Au-yang Siau-hui ternyata tidak sejantan nama besarnya yang ditakuti orang, ia lebih banyak menggunakan akal licik atau kata-kata manis yang melemahkan Wi-hong. Sebaliknya adik misannya adalah seorang yang keras kepala, sampai matipun tak akan sudi mengeluarkan keluhan atau menunjukkan kelemahannya di hadapan lawan.

Dalam keadaan terdesak timbullah akal licik Au-yang Siau-hui untuk membuyarkan ketenangan lawannya, “Tong Siau-hiap, barangkali kau akan mampu membunuh kami, tapi apakah kau tidak menguatirkan keselamatan calon isterimu dan calon mertuamu?”

Perkataan ini memang tepat menyentuh masalah yang sedang digelisahkan oleh Wi-hong, maka hati anak muda itupun tergoncang hebat dan gerakannya menjadi agak kendor. Ingatlah Wi-hong bahwa kedatangannya ke tempat itu bukan karena kemauannya sendiri melainkan karena dipancing. Pikirnya dengan waswas, “Jangan-jangan aku telah termakan siasat memancing harimau meninggalkan gunungnya? Supaya mereka dapat leluasa mengganggu paman Cian dan adik Ping?”

Timbulnya pikiran itu semakin menggelisahkan Wi-hong. Ia memaki dirinya sendiri, “Alangkah gobloknya aku sehingga dapat terpancing oleh bangsat-bangsat ini dan bahkan membuang-buang waktu dengan bertempur di sini. Sudah cukup lama aku terlibat di sini, mudah-mudahan di Tiong-gi Piau-hang belum terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku yakin paman Cian dan adik Ping sanggup menjaga diri, apalagi di gedung itu ada pula beberapa orang piau-su yang tentu dapat membantunya.”

Meskipun merasa bahwa keadaan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu berbahaya, namun nafsu Wi-hong untuk meladeni bertempur kakak beradik Au-yang itu telah menyusut. Cepat ia melancarkan beberapa pukulan dan tendangan gencar, dan ketika kedua lawannya terdesak maka Wi-hong pun menggunakan kesempatan itu untuk melompat keluar dari lingkaran pertempuran. Bagaikan burung kepinis melompatlah ia melampaui tembok kuil itu, dan sesaat kemudian bayangan tubuhnya pun sudah tidak kelihatan lagi.

Sepeninggal Wi-hong, kakak beradik sepupu itupun menarik napas lega. Au-yang Siau-hui secara terang-terangan mengakui, “Luar biasa bocah she Tong itu. Aku dijuluki Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang Di Atas Rumput) karena keunggulanku dalam hal ilmu meringankan tubuh. Tetapi ilmu meringankan tubuh bocah she Tong itu agaknya setingkat di atasku.”

Meskipun kakak beradik sepupu itu merupakan tokoh-tokoh golongan hitam, tetapi juga punya sifat-sifat terbuka dan pengagum ilmu silat. Meskipun terhadap musuh, mereka tidak segan-segan memuji atau mengakui keunggulan lawan jika kenyataannya memang demikian.

Kata Au-yang Siau-pa kemudian, “Piau-ko (kakak misan), dengan tipu muslihat kau telah berhasil mengusir bocah itu balik ke Tiong-gi Piau-hang. Namun apakah hal ini tidak membahayakan Song Kim dan kawan-kawannya apabila mereka masih berada di tempat itu? Bukankah kedatangan bocah she Tong itu akan dapat menjadi malapetaka bagi Song Kim dan yang lain-lainnya?”

Sang kakak misan mendengus dan menyahut dengan dingin, “Persetan dengan nasib keparat Song Kim itu, bahkan aku bersyukur jika dia mampus di tangan Wi-hong atau para piau-su dari Tiong-gi Piau-hang lainnya. Adikku, tahukah kau bahwa Song Kim telah mencoba menjerumuskan kita? Ia berkata bahwa kepandaian Tong Wi-hong tidak seberapa, tetapi kenyataannya kita baru saja mengalami betapa hebatnya orang she Tong itu, jadi jelaslah bahwa Song Kim secara diam-diam hendak melenyapkan kita dengan meminjam tangan Tong Wi-hong. Aku tahu bahwa sudah lama Song Kim mengincar kedudukanku sebagai Jing-ki-tong-cu, apalagi karena ia agaknya mendapat dukungan dari gurunya, si ular keropos berambut merah itu.”

Au-yang Siau-pa adalah seorang yang jujur, pikirannya polos dan lugu, dan ia sama sekali tidak memahami jalan pikiran kakak misannya yang berliku-liku penuh akal itu. Apa boleh buat, ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil menyarungkan kembali golok bulan sabitnya. Pertentangan yang terjadi di dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri itu pada hakekatnya Au-yang Siau-pa tidak tahu menahu.

Kakak beradik misan itu segera meninggalkan tempat itu. Sementara itu Tong Wi-hong tengah berlari-lari dengan pesatnya, berlompatan dari genteng rumah yang satu ke genteng rumah yang lain, menuju ke gedung Tiong-gi Piau-hang di tengah-tengah kota. Diam-diam ia sangat menyesali kecerobohannya yang telah meninggalkan Tiong-gi Piau-hang begitu saja.

Kini ia cuma berharap dalam hatinya agar belum terjadi sesuatu yang gawat di gedung itu, namun suatu firasat buruk sempat juga menyelinap ke dalam hatinya. Maka ia pun mempercepat langkahnya, sehingga kini gerakannya bagaikan segumpal mega yang melesat dengan ringannya.

Tay-beng memang bukan sebuah kota yang terlampau luas. Maka setelah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tidak lama kemudian Wi-hong telah tiba kembali di gedung Tiong-gi Piau-hang. Hati anak muda itu berdebar kencang ketika melihat gedung itu diliputi kesunyian yang mencekam dan menggidikkan hati.

Saat itu malam sudah mendekati ujungnya, sudah hampir pagi. Biasanya pada saat-saat seperti itu para pelayan keluarga Cian tentu sudah bangun dan sudah mulai dengan kegiatannya, seperti menimba air atau membersihkan halaman rumah. Namun kini tidak nampak kegiatan apapun, tidak kelihatan sebatang hidung pun. Bahkan lilin di ruangan tengah masih nampak menyala berkedip-kedip.

Dengan tidak sabar Tong Wi-hong langsung melompati tembok belakang dan langsung mendarat di halaman belakang gedung itu. Ia menengok kian kemari, dan berdesirlah jantungnya ketika melihat ada sesosok tubuh yang tengah meringkuk di bawah tembok sana. Dihampirinya sosok tubuh itu dan diperiksanya. Debaran jantungnya jadi semakin keras ketika mendapat kenyataan bahwa sosok tubuh di bawah tembok itu ternyata adalah seorang piau-su yang sudah menjadi mayat, dengan beberapa luka-luka bekas senjata yang menghiasi tubuhnya.

Cepat Wi-hong berlari ke kamar Cian Ping dengan gugupnya. Dilihatnya kamar itu telah gelap gulita dan kosong melompong, ketika Wi-hong hendak melangkah masuk hampir saja ia jatuh terjerembab karena kakinya tersandung sebuah meja kecil yang melintang di dekat pintu. Tanpa diperiksa pun Wi-hong sudah tahu bahwa keadaan kamar itu tentu telah porak-poranda.

Seperti kerasukan setan Tong Wi-hong terburu-buru kembali ke ruangan tengah di mana masih nampak lilin menyala itu. Dalam perjalanan menuju ke ruangan tengah itu, ditemui lagi mayat beberapa orang piau-su atau pelayan rumah yang bergeletakan di beberapa tempat. Sambil berlari, Wi-hong berteriak-teriak, “Paman Cian! Adik Ping!”

Tidak ada jawaban, hanya gaung suaranya sendirilah yang bergema di gedung yang kosong itu. Begitu ia tiba di ruangan tengah, Wi-hong hampir pingsan mendadak karena terkejutnya. Dari ruangan tengah itu ia bisa melihat langsung ke halaman tengah, dan dalam keremangan suasana dini hari ia melihat tubuh Cian Sin-wi tergeletak kaku, berkubang darah yang telah membeku karena dinginnya malam. Setapak demi setapak, dengan pandangan mata nanar karena tidak percaya, Wi-hong mendekati tubuh itu.

Setelah dekat dengan tubuh itu, Wi-hong melihat bahwa meskipun tubuh itu sudah tak bernyawa namun matanya masih terbuka lebar. Dengan usapan telapak tangannya Wi-hong mencoba menutupkan kelopak mata pendekar tua itu, namun tidak berhasil biarpun dicoba beberapa kali. Wi-hong menjadi sedih melihat hal itu, bercampur pula dengan perasaan haru dan murka yang meluap. Sambil menggertakkan giginya ia mengucapkan sumpahnya,

“Paman Cian, aku tahu kau mati penasaran. Budimu kepada diriku setinggi gunung dan seluas samudera, aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu kepada orang-orang Hwe-liong-pang yang telah berbuat sekeji ini. Jika aku melupakan sumpahku ini, aku bukan manusia tetapi binatang.”

Tengah ia termangu-mangu dengan hati yang kacau, tiba-tiba pandangan matanya melihat beberapa huruf darah yang tertulis di dekat tubuh beku itu. Meskipun tulisan itu agak kacau karena rupanya ditulis dalam keadaan sekarat, tetapi terbaca juga oleh Tong Wi-hong. “Cian Ping dilarikan Song Kim dan orang-orang Hwe-liong-pang, nampaknya hendak menuju ke barat. Minta bantuan beberapa sahabat berilmu dan rebut kembali anak Ping.”

Muka Wi-hong seketika menjadi beringas setelah membaca tulisan Cian Sin-wi yang terakhir itu. Seperti seorang yang kesurupan setan, ia berlari menuju ke kamarnya sendiri untuk mengambil pedangnya, lalu ia pergi pula ke kandang untuk mengambil seekor kuda yang buru-buru dinaikinya menuju ke arah barat.

Pagi itu juga Tong Wi-hong yang sedang dikuasai gejolak kemarahan itu telah mulai dengan pengejarannya, tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya. Ketika Wi-hong tiba digerbang kota Tay-beng, empat orang prajurit penjaga tidak mengijinkannya lewat sebab belum saatnya untuk membuka pintu kota. Terpaksa Wi-hong membuat pingsan keempat prajurit yang bernasib sial itu. Seorang diri saja Wi-hong membuka pintu gerbang kota, mengerek turun jembatan gantung, dan kemudian memacu kudanya keluar kota.

Pagi hari itu kota Tay-beng menjadi gempar ketika tersebar berita tentang tewasnya Cian Lo-piau-thau yang dermawan dan sangat dihormati masyarakat Tay-beng itu. Bahkan kematiannya diikuti pula oleh belasan orang piau-su dan pelayan rumah yang menghuni gedung itu, sedangkan anak gadis piau-su tua itu tidak nampak bayangannya.

Seorang piau-su tua yang menjadi kepercayaan Cian Sin-wi, yang sering dipanggil Can Lo-toa, segera memimpin pengurusan mayat Cian Sin-wi dan mayat-mayat lainnya itu. Suasana duka meliputi gedung yang megah itu. Berita kilat yang dibawa oleh kurir-kurir berkuda segera disebarkan kepada seluruh cabang Tiong-gi Piau-hang, yang mengabarkan bahwa pucuk pimpinan Tiong-gi Piau-hang telah tewas. Dalam surat itu sekaligus diperintahkan agar cabang manapun berusaha untuk menangkap Song Kim si murid khianat itu, dimanapun diketemukannya.

Begitulah nasib Tiong-gi Piau-hang yang menyedihkan. Sebuah perusahaan pengawalan yang terbesar di Kang-pak dan telah berjaya selama tiga keturunan, kini dipaksa menelan pil pahit dari Hwe-liong-pang, sebuah perserikatan yang berdirinya pun baru satu tahun lebih! Tak pelak lagi orang-orang akan bertambah menggigil ketakutan bila mendengar disebutnya nama Hwe-liong-pang!

Jenazah Cian Sin-wi dan para korban Hwe-liong-pang lainnya segera dimasukkan ke dalam peti mati dan diletakkan berderet-deret di ruangan tengah. Mayat beberapa orang pelayan dan beberapa piau-su segera dijemput oleh sanak keluarganya. Sementara itu orang-orang yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada jago tua itu mulai mengalir datang. Karena Cian Sin-wi merupakan seorang tokoh yang terkenal bukan saja di Tay-beng tetapi juga di seluruh wilayah Kang- pak, maka berita kematiannya pun segera menyebar cepat bagaikan terbawa angin.

* * * * * * *

BAGIAN depan dan tengah dari gedung Tiong-gi Piau-hang yang luas itu kini dipenuhi dengan orang-orang yang melayat. Semuanya menunjukkan muka murung dan berduka. Para piau-su Tiong-gi Piau-hang mengenakan pakaian belacu putih dan kepala terikat kain putih pula, nampak sibuk menyambut dan mempersilakan para tamu yang terus berdatangan menyatakan dukacita bagi pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.

Di tengah-tengah ruangan tengah, sebuah peti mati besar nampak hampir “tenggelam” oleh tumpukan karangan bunga yang terus mengalir dari berbagai pihak dan kalangan. Asap hio dan kayu wangi mengepul memenuhi segenap sudut gedung itu. Suasana berkabung menyelimuti setiap kegiatan di gedung megah itu.

Di antara para tetamu sendiri terdengar percakapan bisik-bisik tentang peristiwa terbunuhnya Cian Sin-wi itu. Banyak yang bercerita seolah-olah melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, dan yang mendengarkannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya, entah percaya benar-benar entah hanya basa-basi. Tetapi tidak seorang pun berani membicarakan atau menyebut nama Hwe-liong-pang, seolah-olah ketiga patah kata itu merupakan mantera pemanggil malapetaka yang paling tabu untuk diucapkan.

Maklumlah, dalam pandangan umat persilatan saat itu Hwe-liong-pang ibaratnya suatu perserikatan yang beranggotakan iblis-iblis ganas yang menakutkan. Selain itu, Hwe-liong-pang kabarnya juga punya “sejuta mata dan sejuta telinga”, sehingga barang siapa berani bicara sembarangan, boleh jadi nanti malam akan kehilangan batok kepalanya.

Tengah para tetamu yang melayat itu duduk bercakap-cakap sambil dilayani oleh para piau-su, mendadak muncullah seorang tamu yang cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang, terutama bagi para lelakinya. Tamu itu ternyata salah seorang gadis yang datang seorang diri sambil menuntun seekor kuda, suatu penglihatan yang tidak lazim di jaman yang kolot itu.

Apalagi gadis itu berpakaian ringkas seperti umumnya orang dunia persilatan, meskipun punggungnya dirangkapi dengan mantel berwarna merah darah. Wajahnya ayu dan masih nampak cukup muda, namun pandangan matanya tajam dan berwibawa, membuat lelaki manapun tidak berani memandangnya secara kurang ajar. Dan meskipun gadis itu bersikap seperti orang dunia persilatan, namun ia justru tidak membawa senjata sepotongpun.

Gadis ini bukan lain adalah Tong Wi-lian, adik Tong Wi-hong, dan murid rahib sakti Hong-tay Hweshio dari Siong-san. Seperti diketahui, setelah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Kay-hong dan menyampaikan sepucuk surat undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Agung Kaum Kesatria) ke tangan Liu Tay-liong, maka Tong Wi-lian melanjutkan perjalanan ke Tay-beng untuk menyampaikan surat undangan yang sama kepada Cian Sin-wi.

Tetapi sejak melangkahkan kaki memasuki kota Tay-beng, Wi-lian telah mendengar berita tentang tewasnya Cian Sin-wi di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Maka gadis itu menjadi kecewa, sebab dengan demikian ia tidak dapat bertemu dan berkenalan sendiri dengan pendekar tua yang disegani golongan hitam itu. Selain itu menurut gurunya, barangkali dari mulut Cian Sin-wi inilah akan dapat dilacak jejak kakak keduanya, yaitu Tong Wi-hong. Tetapi kini dengan matinya Cian Sin-wi, kepada siapakah ia akan bertanya tentang jejak kakaknya itu?

Sesaat lamanya gadis itu ragu-ragu berdiri di depan pintu gerbang gedung yang digantungi tirai putih itu. Akhirnya seorang piau-su setengah umur mendekatinya dengan sopan dan menanyakan kepentingannya. Apa boleh buat, Wi-lian terpaksa menjawab dengan menyesuaikannya dengan keadaan, “Aku mendengar berita tentang wafatnya Cong Lo-piau-thau, maka aku ingin memberi hormat kepada layonnya.”

Piau-su itu lalu mengantar Wi-lian ke ruangan tengah. Setelah bersembahyang secara agama Buddha di depan peti jenazah, secara sambil lalu Wi-lian mencoba memancing keterangan dari Can Lo-toa yang selalu mendampingi peti jenazah itu, “Paman, maafkan jika aku banyak bertanya. Aku agaknya kurang jelas mendengar berita kematian Cian Lo-piau-thau, aku hanya mendengar dia wafat, namun apakah yang menjadi penyebabnya?”

Can Lo-toa menjadi heran karena gadis itu menanyakan suatu hal yang telah diketahui oleh umum. Namun demi sopan santun dijawabnya juga pertanyaan gadis itu, “Apakah nona belum mendengarnya?”

Terpaksa Wi-lian meneruskan kebohongannya, “Aku memang sudah bertanya kepada beberapa orang yang kutemui di tengah perjalanan tadi, tapi jawaban mereka simpang-siur dan tidak seragam. Aku terpaksa harus mencari berita yang sebenarnya dari paman, yang merupakan orang terpercaya di Piau-hang ini setelah meninggalnya Cian Lo-piau-thau.”

Tampak wajah piau-su tua itu menampilkan kemarahannya, sambil menggebrak meja ia berkata dengan sengit, “Hemm, orang lain boleh ketakutan setengah mati mendengar nama Hwe-liong-pang, tapi aku seujung rambutpun tidak gentar kepada mereka. Bila mereka berani muncul, biarlah kusediakan jiwa tuaku ini untuk mengadu jiwa dengan mereka, demi membalas budi mendiang Cong-piau-thau. Orang-orang Hwe-liong-pang itu makin lama makin sewenang-wenang dan kurang ajar. Kemarin malam Cong-piau-thau telah dicelakai oleh orang-orang mereka dengan cara yang licik, karena Cong-piau-thau tidak mau menuruti ancaman mereka untuk bergabung dengan Hwe-liong-pang.”

Teringat akan permusuhannya sendiri dengan Hwe-liong-pang, alis Wi-lian pun ikut berdiri demi mendengar disebutnya nama perkumpulan itu. Geramnya, “Ah, lagi-lagi setan-setan itu yang membuat bencana.”

Beberapa orang tamu yang mejanya berdekatan dengan meja Wi-lian, dapat melihat pula sikap garang gadis itu. Orang-orang itu menjadi heran karena gadis semuda Wi-lian ternyata telah berani mencela dan memaki Hwe-liong-pang secara terang-terangan di hadapan umum seperti itu. Tokoh persilatan yang berani memperlihatkan sikap seperti itu agaknya di jaman itu sudah tidak banyak lagi jumlahnya.

Karena suara Wi-lian terdengar ke seluruh ruangan, seketika itu juga ruangan tengah gedung Tiong-gi Piau-hang itu menjadi sunyi senyap. Semua mata menatap ke arah Wi-lian dengan perasaan heran bercampur cemas. Sebaliknya Can Lo-toa menunjukkan sikap senang melihat sikap Wi-lian yang gagah berani itu. Tanyanya, “Apakah nona juga mempunyai permusuhan dengan Hwe-liong-pang?”

Sekali lagi ruangan tengah itu bagaikan tergetar, terkejut mendengar jawaban Wi-lian, “Ya, jika mereka tidak mencari aku, akulah yang akan mencari mereka. Di manapun aku menemui orang Hwe-liong-pang, aku harus bertempur dengannya!”

Beberapa orang tamu yang bernyali kecil segera mohon pamit kepada Can Lo-toa dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka menyebut nama Hwe-liong-pang saja tabu, tapi gadis ini mudah menunjukkan sikap bermusuhannya kepada Hwe-liong-pang secara terang-terangan. Ada seorang tamu yang berpakaian perlente dan bertampang seperti orang kaya, segera mendekati Wi-lian dan berkata dengan setengah menegur,

“Harap nona sedikit berhat-hati dalam mengeluarkan kata-kata. Apabila kata-katamu itu sampai ke telinga pihak Hwe-liong-pang, maka nona bakal melewati hari-hari nona tanpa ketenteraman sedikitpun. Bahkan beberapa orang yang tidak tahu apa-apa pun bisa tersangkut urusan pula.”

Beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau-hang yang agak penakut pun segera menimbrung, “Betul sekali ucapan Nyo Siang-seng (tuan Nyo) ini. Harap nona tidak sembarangan bicara di tempat ini.”

“Betul, kami bekerja sebagai piau-su tak lain hanyalah untuk mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup, selamanya berusaha menjauhi permusuhan dengan siapapun, buat apa mencari malapetaka buat diri sendiri?” sambung piau-su lainnya.

Wi-lian membuang muka mendengar kata-kata yang memuakkan itu. Sahutnya dengan dingin, “Oh begitu kiranya. Kiranya sebutan sebagai eng-hiong (kesatria) itu hanya berani kalian sandang jika keadaan sedang aman, begitu pula para piau-su hanya gagah perkasa jika sedang menerima gaji, tapi begitu Tiong-gi Piau-hang memerlukan pembelaan kalian karena hendak diinjak-injak oleh Hwe-liong-pang, kalian bersembunyi ketakutan. Hemm, eng-hiong macam apa itu?”

Orang berpakaian perlente yang dipanggil Nyo Sian-seng itu juga merupakan tokoh silat yang disegani di Tay-beng, meskipun tidak setenar mendiang Cian Sin-wi. Kini setelah disindir oleh Wi-lian di depan sekian banyak orang, ia menjadi naik darah. Katanya,

“Nona, kau jangan besar mulut. Di hadapanku orang she Nyo belum pernah ada orang yang berani bersikap sekurang-ajar kau. Bahkan semasa hidupnya mendiang Cian Lo-eng-hiong sendiri sering memberi muka kepadaku.”

Memangnya perasaan Wi-lian juga sedang pepat karena kegagalan menemui Cian Sin-wi untuk menanyakan jejak kakak keduanya. Kini dijumpainya orang she Nyo yang bersikap menyebalkan ini, ia pun naik darah. Tanpa dapat menahan perasaannya lagi ia segera menyahut,

“Kalau begitu tuan ini tentu seorang pendekar yang ternama? Tetapi kenapa tuan tidak mencoba menggunakan pengaruh tuan dan mengumpulkan kawan-kawan sehaluan untuk bersama-sama menentang kezaliman Hwe-liong-pang dan menegakkan keadilan? Bukannya aku membual, jelek-jelek aku sudah pernah bertempur dengan beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang, bahkan dengan salah seorang dari empat orang yang mereka sebut Su-cia, dan ternyata mereka tidak menakutkan seperti yang digembar-gemborkan orang. Hanya orang-orang yang bernyali tikus saja yang ketakutan kepada mereka!”

Muka orang she Nyo itu memutih pucat dan merah padam secara bergantian. Akhirnya ia kehabisan kesabaran dan melangkah maju untuk bertempur, sampai lupalah “pendekar” itu bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang gadis yang usianya saja pantas menjadi anaknya.

Melihat kedua tamunya itu bersitegang leher dan siap untuk berhantam, repotlah Can Lo-toa untuk melerainya. Untunglah orang she Nyo itupun dapat dibujuk oleh beberapa orang temannya untuk menyabarkan diri. Meskipun dengan masih menggerutu mendongkol, dapat juga ia diajak untuk duduk di tempatnya kembali.

Wi-lian sendiripun agaknya malas berurusan dengan orang yang sok pendekar itu. Sementara itu dalam hati Can Lo-toa sudah timbul kekaguman dan kesan baiknya kepada gadis yang bersemangat itu. Ia duduk menemani Wi-lian, sementara seorang piau-su telah datang membawakan teh dan beberapa makanan kecil. Dalam kesempatan itu Wi-lian mencoba mengorek keterangan dari Can Lo-toa tentang kakaknya, tanyanya,

“Paman, apakah benar di tempat ini pernah tinggal seorang yang bernama Tong Wi-hong?”

“Betul,” sahut Can Lo-toa sambil menganggukkan kepalanya. “Dia adalah calon menantu Cong Lo-piau-thau. Kemarin malam, ketika Lo-piau-thau terbunuh, kawanan bangsat Hwe-liong-pang itu juga menculik puteri tunggalnya. Kini Tong siau-ya (tuan muda Tong) itu sedang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang untuk merebut kembali calon isterinya itu. Hemm, mereka benar-benar pasangan yang serasi.”

Sengaja Can Lo-toa memberi tekanan pada perkataan “calon isteri” dan “mereka pasangan yang serasi”. Rupanya Can Lo- toa salah duga terhadap Wi-lian. Dikiranya gadis yang duduk di depannya itu juga ikut menaksir kepada Wi-hong yang tampan itu, maka Can Lo-toa sengaja menyalakan “lampu merah” agar gadis ini mundur teratur saja.

Tentu saja Wi-lian maklum kemana tujuan kata-kata Can Lo- toa itu. Diam-diam ia merasa geli dan sekaligus cemas juga mendengar kakak yang sering dimakinya sebagai “kutu buku” itu kini ternyata sudah punya calon isteri segala. Tetapi juga cemas kalau memikirkan bahwa kakaknya itu kini sedang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang dengan sendirian saja. Wi-lian sudah menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana lihainya orang-orang Hwe-liong-pang seperti Kwa Heng, Ji Tiat, apalagi Sebun Say. Dan kini kakaknya mengejar musuh seorang diri, apakah tidak berbahaya?

“Paman, kemanakah kiranya Tong Wi-hong memburu penculik-penculik itu?”

Can Lo-toa agak mengerutkan keningnya mendengar gadis itu terus menanyakan Wi-hong. Sahutnya, “Menurut tulisan darah yang ditulis oleh Lo-piau-thau sebelum ajalnya, agaknya kawanan penculik itu lari ke arah barat, dan Tong Siau-ya pun agaknya juga mengejar ke sana. Ia sudah bertekad untuk merebut calon isterinya yang sangat dicinta...”

Ucapan yang ditujukan kepadanya itu cepat dipotong oleh Wi-lian sambil tersenyum, “Paman tidak usah kuatir bahwa aku akan berebut Tong Siau-ya kalian dari tangan nona Cian. Kalau si kutu buku Tong Wi-hong itu boleh mencemaskan calon isterinya, kenapa aku tidak boleh mencemaskan calon kakak iparku?”

Seketika itu Can Lo-toa melongo mendengar perkataan gadis itu. “Maksud nona...”

Kata Wi-lian, “Dari tadi paman belum menanyakan namaku. Jika kutu buku itu bernama Tong Wi-hong, akupun she Tong dan bernama Wi-lian.”

Seketika itu wajah Can Lo-toa agak kikuk karena prasangkanya tadi sekaligus juga merasa senang setelah mengetahui bahwa gadis yang duduk di depannya ini adalah adik Tong Wi-hong. Sikapnyapun jauh lebih ramah. Setelah mendapat keterangan tentang ke arah mana Wi-hong mengejar penculik, dan keterangan sekedarnya tentang daerah di sebelah barat kota Tay-beng itu, maka tanpa membuang waktu lagi Wi-lian segera berpamitan dari Can Lo-toa.

Can Lo-toa terkejut ketika mendengar gadis itu untuk ikut mengejar kawanan Hwe-liong-pang itu. Cegahnya, “Nona, orang-orang Hwe-liong-pang itu bukan ahli-ahli silat kelas kambing yang dapat dianggap enteng. Mereka begitu tangguh sehingga Lo-piau-thau pun tewas di tangan mereka, apabila nona hendak menyusul seorang diri apakah tidak berbahaya?”

“Tidak berbahaya,” sahut Wi-lian sambil tersenyum manis. Secara acuh tak acuh ia menekan cawan teh yang terletak di depannya dengan menggunakan telapak tangannya. Seketika itu cawan teh itu amblas ke permukaan meja sampai hampir separuh tinggi cawan, begitu mudahnya, seakan-akan permukaan meja itu terbuat dari tahu saja.

Sesaat Can Lo-toa melotot memandang cawan yang sudah “tertanam” separuh di permukaan meja itu, lalu mendecak kagum. Katanya kemudian, “Baiklah, agaknya nona cukup memiliki bekal untuk memburu bangsat-bangsat itu. Tetapi hati-hatilah. Mereka bukan saja berilmu silat tinggi tapi juga kaya dengan akal licik.”

“Tentu saja, paman. Nah, aku permisi.”

Can Lo-toa sendiri yang mengantar gadis itu sampai ke pintu gerbang depan. Sampai gadis itu dan kuda tunggangannya lenyap di tikungan sana, Can Lo-toa masih saja berdiri di bawah anak tangga, sambil menggumam seorang diri, “Hebat. Tak kuduga gadis seayu itu ternyata adalah seekor macan betina yang garang. Keluarga Tong agaknya merupakan sarang macan. Benar-benar tidak mengecewakan seluruh Tiong-gi Piau-hang jika nona Cian kelak menjadi isteri Tong Wi-hong.”

Dalam pada itu Wi-lian telah tiba di luar kota Tay-beng dan mulai melarikan kudanya ke jurusan barat. Meskipun ia belum pernah menginjak daerah itu, namun ia sudah mendapat gambaran tentang daerah itu dari mulut Can Lo-toa. Tidak lama kemudian kota Tay-beng pun sudah jauh tertinggal di belakangnya, kini ia sudah melewati pula bukit-bukit berhutan cemara yang menurut sejarah pernah menjadi persembunyian dari seratus delapan orang pendekar Liang-san itu.

Kuda tunggangan Wi-lian adalah seekor kuda gurun yang tegar dan tangguh. Sampai matahari hampir condong di sebelah barat, ternyata kuda itu masih sanggup berlari meskipun kecepatannya berkurang. Mata penunggangnya lah yang menjadi silau karena ia berkuda ke arah tenggelamnya matahari. Akhirnya gadis itu terpaksa menghentikan kudanya, sebab kini di depannya terbentanglah sebuah padang perdu yang luas seakan-akan tanpa tepi itu. Adalah tidak mungkin menjelajahi padang perdu itu dalam keadaan gelap seperti itu.

Wi-lian memutuskan untuk mencari sebuah desa atau rumah yang dapat ditumpanginya untuk bermalam. Dan setelah menyusuri sepanjang tepian padang perdu itu, ditemui jugalah sebuah desa kecil bernama Pek-tiap-tin, sebuah desa yang penduduknya hidup dari berburu binatang dan berladang di tanah yang kurang subur itu. Di desa itu ada sebuah rumah penginapan kampung yang sangat sederhana, namun buat Wi-lian dirasakan jauh lebih baik daripada harus bermalam di tengah padang perdu yang belum dikenalnya.

Para tetamu yang menginap di penginapan kampung itu kebanyakan adalah para petualang miskin yang tidak mampu menyewa rumah penginapan yang memadai, atau nampak pula orang-orang yang bertampang suku bangsa luar perbatasan. Wi-lian tidak menggubris mereka, meskipun petualang-petualang itu memandang Wi-lian sambil menelan air liur.

Malam itu tidak terjadi sesuatu apapun atas diri gadis itu. Meskipun demikian, Wi-lian tidak berani terlalu lelap dalam tidurnya, sebab orang-orang yang menginap di penginapan itu rata-rata bertampang buaya darat yang “kehausan” perempuan. Keesokan harinya, setelah membayar biaya penginapannya, Wi-lian segera menaiki kembali kudanya dan melanjutkan pengejarannya ke arah barat membelah padang perdu yang amat luas itu.

Berkuda semakin jauh, bahkan setelah matahari berada di puncak langit, ternyata jejak kakaknya dan orang-orang Hwe-liong-pang itu belum juga ditemuinya sama sekali. Bahkan orang-orang yang berpapasan dengannya makin lama makin sedikit, menandakan bahwa di depannya adalah daerah belukar yang jarang diinjak kaki manusia. Mulailah timbul keragu-raguan di hati gadis itu, benarkah arah yang ditempuhnya sudah tepat?

Ketika ia menyapukan pandangan ke sekelilingnya, maka sejauh-jauhnya mata memandang yang kelihatan hanya perdu dan rumput kuning yang tak ada batasnya. Dan matahari yang tengah panas-panasnya itu benar-benar tak kenal ampun dalam memanggang semua makhluk yang di bawahnya. Untunglah Wi-lian adalah seorang gadis gemblengan Siau-lim-pay, sehingga kegarangan alam itu tidak membuat tubuhnya terganggu.

Tengah Wi-lian berpikir untuk menentukan langkah lain, ia tiba-tiba mendengar ada derap beberapa ekor kuda dari arah belakangnya. Semakin dekat suara derap kaki kuda itu, telinga Wi-lian semakin jelas pula menangkap isi pembicaraan antara para penunggang kuda itu.

“Benar-benar sialan, sudah hampir tujuh hari kita bergentayangan di tempat yang seperti neraka ini, namun belum juga kita temui jejak bangsat-bangsat busuk itu!” terdengar seseorang menggerutu dengan suara keras.

Terdengar orang yang lainnya menyahut, “Kalau perburuan kita ini sampai gagal, pastilah kita akan didamprat habis-habisan oleh thong-leng (kepala pasukan) yang belakangan ini selalu marah-marah saja. Tidak mustahil kita akan mengalami penurunan pangkat atau pemotongan gaji.”

Ketika Wi-lian menoleh dan memperhatikan para penunggang kuda yang datang dari belakangnya itu, nampaklah ada tiga orang penunggang kuda yang searah dengannya. Karena jalur di tengah padang perdu itu cukup sempit, maka Wi-lian meminggirkan kudanya supaya tidak ditabrak oleh ketiga penunggang kuda itu.

Setelah cukup dekat nampaklah ketiga penunggang kuda itu orang lelaki semuanya. Salah seorang dari mereka sudah cukup tua, kira-kira lima puluh tahun umurnya dan memelihara jenggot seperti kambing bandot. Yang dua orang lagi berusia kira-kira tiga puluh tahun sampai tiga puluh lima tahun. Ketiga orang itu nampak tangkas dalam mengendalikan kudanya masing-masing, menandakan mereka agaknya orang yang biasa berkelana atau cukup terlatih. Apalagi kalau dilihat dari senjata-senjata mereka yang digantungkan di pelana kudanya masing-masing.

Ketiga lelaki itu menunjukkan keheranannya ketika menemui seorang gadis berkuda sendirian di tengah padang perdu yang sepi itu. Rupanya setelah menempuh suatu perjalanan yang jauh dan menjemukan, salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu timbul rasa isengnya untuk mengganggu Wi-lian. Sambil menyikut temannya yang berkuda di sebelahnya, ia berkata sambil cengar-cengir,

“Eh, Lau Cun, kalau lihat anak ayam ini agaknya cukup lumayan untuk sekedar obat pelepas lelah kita. He-he-he-he-he...”

Telinga Wi-lian yang cukup tajam itu mendengar pula ucapan itu, dan mukanya pun menjadi merah. Kalau ia tidak sedang diburu urusan penting ingin rasanya ia berhenti sebentar untuk menghajar lelaki yang usil mulut itu. Namun saat itu Wi-lian sedang malas untuk berurusan dengan siapa pun, maka ucapan kurang ajar itu pura-pura tidak didengarnya.

Namun sikap diam Wi-lian itu rupanya ditafsirkan salah oleh lelaki usilan itu. Ketika kudanya lewat di samping kuda Wi- lian, lelaki itu memperlambat kudanya dan tangannya pun menyelonong hendak meraba pinggul gadis itu. Habislah kesabaran Wi-lian terhadap lelaki buaya itu. Tangkas sekali ia menangkap tangan orang itu, langsung diputar dan didorongnya. Tak ampun lagi lelaki itu menjerit dan terlempar jatuh dari kudanya.

Kedua orang kawan seperjalanannya terkejut melihat kawannya kena dibanting semudah itu oleh seorang gadis. Lelaki yang berjenggot kambing itu agaknya punya pengalaman yang luas maka sadarlah ia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pendekar wanita dunia persilatan yang tidak dapat dipandang ringan.

Sementara itu si lelaki buaya telah bangkit kembali dengan tertatih-tatih sambil memaki-maki. Meskipun hatinya sudah mulai gentar, tapi untuk menjaga pamornya dia membentak Wi-lian, “Hemm, gadis luar, jangan bangga karena berhasil membantingku. Itu berhasil kau lakukan karena aku tidak dalam keadaan siap. Untunglah kau sebab aku sedang ada urusan penting sehingga tidak dapat menghajarmu tapi hati-hatilah kau jila lain waktu bertemu lagi.”

Jenis orang seperti ini memang terlalu banyak jumlahnya di kalangan persilatan. Kalah tetapi tidak mau mengaku kalah dan menutupi kekerdilannya dengan kata-kata yang garang. Karena itu Wi-lian sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga orang itu agaknya memang sedang buru-buru untuk suatu urusan penting. Bentrokan kecil dengan Wi-lian itu ternyata kemudian tak dihiraukan lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa menuju ke arah barat.

Sepeninggal ketiga orang itu, Wi-lian masih saja kebingungan menetapkan arah supaya bisa menyusul kakaknya. Akhirnya dibiarkan saja kudanya berlari seenaknya. Setelah berkuda terus hampir sepanjang hari, akhirnya padang perdu itu menemukan juga bentuknya yang lain. Kini yang tampak bukan hanya tetumbuhan perdu melulu, tapi sudah mulai kelihatan pula beberapa jenis pepohonan yang agak tinggi.

Tak terasa, kembali sehari penuh telah dilewati dalam melacak jejak kakaknya yang tak tentu itu. Kini matahari sudah miring ke sebelah barat dan sinarnya tepat menyoroti muka gadis yang berpeluh itu. Ketika Wi-lian sudah hampir putus harapan dan hendak kembali ke Tay-beng sambil menunggu kakaknya di sana saja, tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh tergeletak di bawah serumpuk semak.

Karena jaraknya masih ada puluhan langkah, maka ia tidak dapat menentukan, apakah orang yang dilihatnya itu masih hidup atau sudah mati. Terdorong oleh rasa ingin tahunya, cepat dilarikannya kudanya untuk mendekati tubuh itu. Begitu dekat, seketika berkerutlah kening gadis itu. Tubuh yang tergeletak itu ternyata adalah tubuh dari lelaki yang mencoba menggodanya tadi, dan sudah dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Namun mata lelaki itu masih melotot lebar-lebar, menandakan bahwa ia mati penasaran, sedangkan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Pada dada lelaki itu nampak lima buah lubang yang agaknya dibuat dengan lima buah jari tangan, sedangkan lambungnya terkoyak lebar, nampaknya terkena jenis senjata semacam golok.

Wi-lian mengeliarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Nampaklah bahwa gerumbul-gerumbul semak di sekitar tempat itu porak poranda terinjak-injak kaki manusia, dan terdapat pula ranting-ranting pohon yang patah terkena sabetan senjata tajam. Dilihat dari bekas-bekasnya agaknya dapat disimpulkan bahwa di tempat itu terjadi suatu pertarungan hebat belum lama berselang. Namun ke mana dua orang penunggang kuda yang lainnya? Kenapa mereka membiarkan mayat kawan mereka begitu saja? Ataukah mereka pun telah tewas tapi di tempat lain?

Kuil Siau-lim terkenal bukan saja sebagai pusat ilmu silat, tapi juga pusat penyebaran agama Buddha. Selama dua tahun digembleng di kuil Siau-lim, maka jiwa Wi-lian pun telah terpengaruh oleh ajaran Buddha yang mengajarkan welas-asih itu. Meskipun lelaki yang telah menjadi mayat itu pernah mengganggunya, namun Wi-lian tidak sampai hati membiarkan mayatnya menjadi santapan binatang-binatang malam.

Tanpa mempedulikan keletihan tubuhnya, Wi-lian lalu mencoba menguburkan mayat orang itu. Tapi karena tak ada alat untuk menggali tanah, maka mayat itu diletakkan di sebuah tanah yang agak cekung, lalu di atasnya ditutup dengan ranting-ranting dan batu-batu, setelah itu baru diuruk tanah.

Sementara itu hari telah menjadi remang-remang. Sekitar tempat itu tidak nampak sebuah rumah pun. Akhirnya Wi-lian memutuskan, "Apa boleh buat, malam ini terpaksa aku tidur di atas dahan pohon. Semoga tidak ada gangguan apapun.”

Tengah gadis itu mencari-cari sebuah pohon yang dianggapnya cukup rimbun dan cukup nyaman untuk tidur di dahannya, mendadak telinganya menangkap suara yang menarik perhatian. Beberapa puluh tombak dari tempatnya itu ada sebuah bukit kecil, dan dari balik bukit itu terdengarlah suara ringkik kuda bercampur aduk dengan suara dencing senjata beradu, diselingi pula suara bentakan-bentakan orang yang sedang bertempur.

Tadinya Wi-lian sudah hampir berputus-asa untuk menemukan jejak kakaknya atau jejak orang-orang Hwe-liong-pang, maka ketika mendengar suara-suara itu seketika harapannya timbul kembali. Meskipun tidak terlalu mengharap, tetapi siapa tahu dari orang-orang yang bertempur itu ia bisa menemukan jejak kakaknya? Bahkan tidak mustahil yang sedang bertempur itu adalah kakaknya sendiri. Cepat dinaikinya kudanya dan dipacunya menuju ke bukit kecil itu.

Namun sebelum kuda Wi-lian sempat mencapai bukit kecil itu, telah terdengar suara jeritan seram dua kali berturut-turut, disusul pula dengan suara tertawa kemenangan bagaikan iblis meringkik. Lalu terdengar pula derap kaki kuda menjauhi bukit kecil itu. Agaknya sebelum Wi-lian sempat melihat siapa-siapa yang bertempur itu, pertempuran itu sudah selesai lebih dulu.

Gadis itu berusaha memacu kudanya lebih cepat lagi, tetapi toh semuanya sudah terlambat. Di balik bukit kecil itu hanya ditemuinya dua sosok mayat yang masih hangat dalam keadaan luka-luka yang mirip dengan luka-luka mayat pertama tadi. Di dekat mayat itu ada dua ekor kuda yang tengah meringkik-ringkik sambil berputar-putar kebingungan mencari tuannya. Di bawah sinar matahari yang semakin redup, Wi-lian seorang diri di tempat itu dengan hanya ditemani dua sosok mayat, meskipun nyalinya cukup besar tapi terasa ngeri juga. Cepat-cepat ia memutar kudanya untuk segera meninggalkan tempat itu.

Namun baru saja ia membalikkan diri, tiba-tiba didengarnya salah satu dari “mayat” itu merintih perlahan. Timbul harapan baru dalam hati gadis itu, “He, kiranya ada yang belum mati di antara kedua orang itu. Aku harus menolongnya, siapa tahu ia akan dapat menerangkan siapa yang telah bertempur tadi, dan barangkali aku akan mendapat jejak A-hong.”

Cepat gadis itu melompat turun dan berlari mendekati orang yang merintih itu. Meskipun cuaca semakin gelap, tetapi Wi-lian tetap masih dapat mengenalnya sebagai lelaki berjenggot kambing yang dijumpainya siang tadi di tengah padang perdu. Luka-luka di tubuh orang itu ternyata sama dengan luka-luka orang yang telah dikuburkannya tadi. Ada bekas cengkeraman lima jari yang menembus dalam ke daging, dan ada pula bekas sabetan-sabetan golok yang memanjang.

Cepat Wi-lian menggunakan dua jari tangannya untuk menotok beberapa buah urat penting di sekitar luka, dengan maksud untuk menghentikan mengalirnya darah secara terus menerus. Tetapi agaknya pertolongan itu tidak akan banyak memberi harapan kepada orang itu, sebab keadaannya memang sangat parah. Merasa ada orang yang menolongnya, si jenggot kambing yang sudah tiga perempat mati itupun perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Tanyanya dengan suara terputus-putus,

“Sia... siapa... kau...?”

Sahut Wi-lian langsung untuk menghilangkan kecurigaan orang itu, “Aku bernama Tong Wi-lian, murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-si di Siong-san. Harap paman tenangkan diri, aku akan berusaha mengobati luka-luka paman ini.”

Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir orang tua yang sedang sekarat itu. Katanya lemah, “Terima kasih, tetapi kukira nona tidak usah bersusah payah untuk mengobatiku lagi. Aku merasa bahwa jiwa tuaku ini agaknya sudah tidak ada harapan untuk dipertahankan lebih lama lagi, bahkan andaikata aku berhasil hiduppun aku akan merasa menanggung malu karena gagal menuaikan tugas yang dibebankan di pundakku. Tapi sebelum aku mati, maukah nona menolongku?”

“Katakanlah, paman.”

Terlihatlah dada lelaki tua itu bergelombang menahan sakit, kelihatannya ia bernapas dengan payah sekali. Tetapi ia berhasil juga mengeluarkan kata-katanya meskipun dengan suara yang lirih, “Nona, jika kau ada waktu pergilah ke dusun yang bernama Pek-tiap-tin, kira-kira tiga puluh li dari sini ke arah timur. Di sana kau carilah seorang Ting Thong-leng (Kepala Pasukan she Ting) dan katakan kepadanya bahwa untuk melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu harus dikerahkan suatu pasukan yang kuat, bahkan agaknya para ko-jiu (jagoan) dalam Lwe-teng-wi-su (Pasukan Khusus Pengawal Istana) itupun harus ikut ambil bagian. Kalau hanya mengirim prajurit-prajurit biasa seperti aku dan kawan-kawanku ini, hanya akan menghabiskan nyawa manusia saja.”

Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya. Lelaki berjenggot kambing itu meneruskan kata-katanya pula, “Ting Thong-leng yang kusebutkan tadi bernama Ting Bun dari ibukota Pak-khia. Ting Tong-leng adalah pemimpin dari regu ke sebelas yang memburu orang-orang Hwe-liong-pang, dan aku serta kawan-kawanku adalah anggota regunya."

Mengucap sampai di sini, agaknya seluruh kekuatan hidup dari orang ini telah habis sama sekali. Nampaklah ia masih berusaha menggerakkan bibirnya untuk berkata-kata lagi, namun gagal, akhirnya kepalanya terkulai ke samping dan arwahnya pun terbang menyusul teman-temannya yang telah mendahuluinya.

Wi-lian masih saja termangu-mangu di samping tubuh yang mulai mendingin itu. Ia sedang mencari jejak kakaknya, tetapi yang diketemukan malahan jejak seseorang lain. Seorang lelaki muda yang juga punya arti dalam hidupnya, yaitu Ting Bun. Tetapi benarkah pemuda yang merampas hatinya itu kini telah menjadi seorang Thong-leng dalam ketentaraan Kerajaan Beng? Padahal keluarga Tong sangat mendendam kepada orang-orang berseragam prajurit kerajaan, lalu bagaimana kelak ia harus menghadapi Ting Bun?

Gadis itu baru tersentak dari lamunannya setelah dikejutkan oleh kudanya yang meringkik dengan gelisah. Cepat Wi-lian menggeledah tubuh orang itu kalau-kalau ditemukannya sesuatu yang dapat ditunjukkannya kepada Ting Bun sesuai dengan pesan orang itu. Di kantong baju orang itu ditemukan sekeping thi-pay (lencana besi) yang pada permukaannya terukir huruf-huruf, “Ong Liang, anggota regu ke sebelas Pasukan Rahasia Kerajaan Beng”.

Wi-lian menganggukkan kepalanya sambil mencamkan apa yang telah dibacanya itu. Pikirnya, “Ternyata Hwe-liong-pang bukan hanya dimusuhi oleh kaum kesatria persilatan, tapi bahkan pihak Pemerintah Kerajaan pun mengirimkan orang-orangnya untuk memburu Hwe-liong-pang. Sebenarnya macam apakah gerombolan yang aneh ini?”

Setelah menyimpan thi-pay itu di kantung pelana kudanya, sekali lagi Wi-lian harus menambah kelelahan tubuhnya untuk menguburkan kedua orang itu. Saat itu langit benar- benar telah menjadi hitam kelam, masih untung ada bulan sabit dan bintang-bintang yang menjadi cahaya di padang yang sangat luas itu.

Untung pula bahwa Wi-lian bukan seorang gadis cengeng melainkan cukup bernyali besar. Seorang diri di tengah padang yang gelap itu ia tidak merasa gentar sedikit pun. Ia merasa bahwa rerumputan di tempat itu cukup tebal dan empuk, cocok untuk tempat istirahat guna memulihkan tenaganya. Ditambatkannya kudanya di tempat yang mudah dicapai, lalu ia sendiri membuka bekal ransum keringnya serta kantong airnya, untuk mengisi perutnya yang belum kemasukan makanan sejak tadi pagi.

Sengaja Wi-lian tidak membuat perapian, sebab nalurinya mengatakan bahwa banyak orang-orang Hwe-liong-pang yang berkeliaran di daerah itu. Menyalakan perapian sama saja dengan memberikan pertandaan bagi musuh dan memberitahukan di mana dirinya berada. Selesai mengenyangkan perutnya, ia duduk bersemedi dan melakukan latihan pernapasan untuk memulihkan tenaganya.

Sampai jauh malam gadis itu melakukan semedi. Setelah tubuhnya merasa segar kembali barulah ia mengurai silanya dan merebahkan diri di rerumputan yang tebal dengan beralas mantelnya. Sambil membaringkan tubuhnya, ia melamunkan perjalanan hidupnya yang penuh kekerasan dan pertentangan yang tak habis-habisnya, sangat jauh bedanya dengan kehidupan gadis-gadis remaja pada umumnya.

Pikiran gadis itu seakan-akan melompati ruang waktu dan melayang mundur ke suatu masa dua tahun yang lalu. Ketika itu ia masih tinggal di An-yang-shia, kota kecil yang indah permai, di mana ia hidup di tengah-tengah sebuah keluarga dengan suasana yang hangat meskipun bukan tergolong keluarga yang kaya raya. Ia ingat akan mendiang ayahnya yang sikapnya sangat keras dalam mendidik anak-anaknya.

Lalu ibunya yang merupakan seorang perempuan yang lemah lembut, meskipun perempuan tua itu bisa juga menjadi garang jika pedangnya sudah tergenggam di tangannya. Perempuan tua itulah yang paling mengerti dan paling memahami anak-anaknya. Kemudian ingatannya tertuju kepada Tong Wi-siang, kakak tertuanya yang bandel dan bengalnya luar biasa, tetapi juga sangat menyayangi Wi-lian, meskipun kadang-kadang juga mengganggunya sampai si adik hampir menangis.

Lalu kakaknya yang nomor dua, Tong Wi-hong, yang oleh orang-orang seisi rumah diberi julukan “kutu buku” karena rajinnya dalam mempelajari buku-buku kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Kenangan masa lalu terasa begitu indah. Tapi pada kenyataannya, kini gadis itu sedang berada sendirian di tengah sebuah padang perdu yang luas dan gelap, kesunyian dan kedinginan tanpa teman. Tiba-tiba saja rasa rindu Wi-lian kepada kaum keluarganya telah begitu hebat bergejolak di hatinya.

“A-siang, di manakah kau sekarang? Tidak rindukah kau berkumpul dengan seluruh keluarga dan adik-adikmu?” demikian kadang-kadang hati gadis itu ingin menjerit. Tetapi ia tidak tahu kepada siapa jeritan itu harus ditujukan.

Lalu gigi gadis itu gemeretak penuh kemarahan jika teringat bahwa ketenteraman yang membahagiakan itu bagaikan diguncang oleh badai yang dahsyat gara-gara ulah seorang yang bernama Cia To-bun. Seseorang yang sangat bernafsu untuk menyingkirkan ayahnya, karena dianggapnya selalu merintangi kehendaknya, dan yang akhirnya berhasil juga melampiaskan segudang dendamnya kepada keluarga Tong.

Keluarga kecil yang bahagia itupun akhirnya tercerai-berai, seperti perahu yang pecah di tengah laut. Masing-masing anggota keluarga berpencar-pencar dan saling tidak mengetahui nasib orang-orang yang dicintainya. Wi-lian bukan seorang gadis cengeng, jiwa raganya telah mengalami gemblengan hebat.

Namun dia pun masih tetap seorang manusia yang punya perasaan, apalagi ia seorang gadis remaja. Kenangan lama yang indah dan kenyataan sekarang yang begitu pahit terasa telah merobek hatinya, dan tanpa sadar butiran-butiran air hangat mengalir dari pelupuk matanya. Salahkah kalau seorang manusia menangis karena merindukan kehangatan yang pernah dimilikinya?

Tengah gadis itu bergelut dengan berbagai macam perasaannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar adanya desir langkah halus di sekitar dirinya. Bahkan desir langkah itu terdengar semakin dekat dengan dirinya. Gadis itu menjadi tegang, pikirannya segera terpusat untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi.

Ketika desir langkah itu tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, mendadak sesosok bayangan putih muncul di depannya, begitu mendadak seperti sesosok hantu yang muncul dari perut bumi saja. Mau tak mau Wi-lian terkesiap juga, cepat ia melompat berdiri sambil memasang kuda-kuda.

Sesaat lamanya kedua sosok bayangan itu berdiri dengan tegangnya dan penuh dengan kewaspadaan. Meskipun keduanya saling memandang, tetapi tidak dapat melihat jelas wajah masing-masing karena gelapnya malam. Akhirnya terdengar si bayangan putih itu menyapa lebih dulu dengan suaranya yang berat bergetar,

“Siapa kau? Kenapa kau bermalam seorang diri di tempat ini? Apakah kau orang Hwe-liong-pang?”

Sebaliknya Wi-lian mendengar suara orang itu bagaikan bermimpi. Suara itu sudah sangat dikenalnya! Hampir saja menjerit karena gembiranya, gadis itu berseru, “Kutu buku, kaukah itu? Aku A-lian!”

Bayangan putih itu nampak tercengang mendengar suara gadis itu, lenyaplah kesedihan Wi-hong, diganti dengan kegembiraan yang meluap. Teriaknya, “He, kau... kau adalah A-lian!”

Maka berpelukanlah kakak beradik yang sudah berpisah cukup lama itu, tak dapat dilukiskan kegembiraan mereka berdua. Kiranya setelah beberapa lamanya Wi-hong mengejar orang-orang Hwe-liong-pang yang menculik Cian Ping itu, ia tersesat di padang perdu itu, sedangkan jejak musuh sedikitpun tidak dilihatnya. Malam itu kebetulan Wi-hong lewat di bukit kecil itu, dan ia menjadi curiga ketika mendengar dengus-dengus seekor kuda di kaki bukit itu.

Diam-diam ia mendekati tempat itu untuk mengintai, siapa tahu dapat bertemu dengan penculik-penculik itu, dan ia tidak menduga sama sekali bahwa yang akan ditemuinya justru adiknya. Karena gembiranya, kakak beradik yang baru bertemu itu telah saling berebutan bicara, sehingga suasana yang tadinya sepi itu kini telah berubah menjadi sangat ributnya.

“A-lian, kenapa kau sampai di tempat ini?”

Sahut adiknya, “Aku sebenarnya sedang mengemban tugas dari guruku untuk menyampaikan sepucuk undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Besar Kaum Kesatria) kepada Cian Lo-eng-hiong di Tay-beng. Tetapi begitu aku tiba di sana, aku hanya menjumpai peti jenazah beliau. Namun dari mulut orang-orang di Tiong-gi Piau-hang aku berhasil mendengar tentang jejakmu, katanya kau sedang mengejar penculik-penculik calon isterimu, maka tanpa pikir panjang lagi aku segera mengejar ke jurusan ini.”

“Hah, kau benar-benar terlalu berani dan sedikit pun tidak menggunakan otak. Bagaimana kau seorang diri berani mengejar ke sini, padahal di daerah ini sangat besar kemungkinannya bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang jahat-jahat itu?” tegur kakaknya.

Wi-lian tersenyum mendengar kakaknya menegurnya seperti menegur anak kecil saja. Sahutnya, “A-hong, dari orang-orang Tiong-gi Piau-hang kudengar kabar bahwa kau sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu silat karena dididik langsung oleh Su-cou (kakek guru) dan beberapa Su-ciok-cou (paman kakek guru). Tapi dengan kemajuan itu belum tentu kau sanggup mengalahkan aku sekarang.”

Wi-hong tertawa bergelak mendengar jawaban adiknya itu, untuk sesaat lamanya ia jadi melupakan semua kesedihannya. Katanya, “Wah, besar juga omonganmu, tapi aku percaya tentunya kau punya alasan untuk bersikap sombong. Selama ini aku cukup mencemaskan dirimu, semenjak kita berpisah jalan karena menghadapi para pembunuh bayaran itu, nah, sekarang kau harus bercerita tentang apa saja yang kau alami selama ini....”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 15

Perserikatan Naga Api Jilid 15

Karya : Stevanus S.P
Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
DI DALAM hatinya, Au-yang Siau-pa mengutuk Song Kim tak habis-habisnya, “Ternyata bangsat Song Kim itu telah menipu kami. Dia mengatakan bahwa ilmu silat bocah she Tong ini tidak begitu tinggi, tetapi ternyata aku dan piau-ko (kakak misan) ternyata tidak dapat mengalahkannya, meskipun sudah maju serempak. Jangan-jangan Song Kim memang berniat busuk untuk menjerumuskan aku dan piau-ko agar mati di tangan bocah she Tong ini, supaya dia sendiri bisa merebut kedudukan Jing-ki-tong-cu?”

Beberapa kali kedua orang kakak beradik sepupu itu harus berlompatan kalang kabut atau bergulingan di lantai kuil yang kotor itu, untuk menyelamatkan diri dari pukulan atau tendangan Wi-hong yang sedang marah itu. Karena semakin terdesak, akhirnya tanpa malu-malu Au- yang Siau-hui berteriak, “Kalau tidak mau menjadi anggota Hwe-liong-pang pun tidak jadi soal, kenapa harus mendesak kami seperti ini?”

Tong Wi-hong tertawa terbahak mendengar seruan yang tidak tahu malu itu. Sahutnya, “Setelah bertemu dengan lawan yang lebih kuat barulah kau berkata demikian. Namun Hwe-liong-pang terkenal sebagai perkumpulan yang sering memaksa orang untuk menjadi anggota, bahkan tidak jarang dengan ancaman kekerasan. Karena itu semakin sedikit orang macam kalian ini, dunia pun akan semakin tenteram.”

Sambil terus menghindar dan menangkis Au-yang Siau-hui menyahut, “Kau hendak memusnahkan Hwe-liong-pang? Huh, jangan mimpi. Kau mungkin akan dapat membunuh kami berdua, tapi untuk memusnahkan Hwe-liong-pang apakah kau bisa? Dalam Pang kami tidak terhitung banyaknya orang berkepandaian tinggi.”

Namun Wi-hong pun tidak kalah gertak, “Aku sendiri jelas tidak mampu menghancurkan Hwe-liong-pang. Tetapi jika seluruh kaum pendekar bergabung, maka Hwe-liong-pang pun akan dihancurkan semudah menghancurkan patung tanah liat.”

Au-yang Siau-hui bungkam mendengar debatan itu, tetapi adik misannyalah yang menyahut meskipun dengan napas yang hampir putus, “Persetan dengan bualanmu itu!”

Begitulah kakak beradik sepupu itu semakin terdesak ke dalam keadaan yang semakin sulit. Dan dalam keadaan terjepit itu nampaklah perbedaan watak antara kedua orang itu. Au-yang Siau-hui ternyata tidak sejantan nama besarnya yang ditakuti orang, ia lebih banyak menggunakan akal licik atau kata-kata manis yang melemahkan Wi-hong. Sebaliknya adik misannya adalah seorang yang keras kepala, sampai matipun tak akan sudi mengeluarkan keluhan atau menunjukkan kelemahannya di hadapan lawan.

Dalam keadaan terdesak timbullah akal licik Au-yang Siau-hui untuk membuyarkan ketenangan lawannya, “Tong Siau-hiap, barangkali kau akan mampu membunuh kami, tapi apakah kau tidak menguatirkan keselamatan calon isterimu dan calon mertuamu?”

Perkataan ini memang tepat menyentuh masalah yang sedang digelisahkan oleh Wi-hong, maka hati anak muda itupun tergoncang hebat dan gerakannya menjadi agak kendor. Ingatlah Wi-hong bahwa kedatangannya ke tempat itu bukan karena kemauannya sendiri melainkan karena dipancing. Pikirnya dengan waswas, “Jangan-jangan aku telah termakan siasat memancing harimau meninggalkan gunungnya? Supaya mereka dapat leluasa mengganggu paman Cian dan adik Ping?”

Timbulnya pikiran itu semakin menggelisahkan Wi-hong. Ia memaki dirinya sendiri, “Alangkah gobloknya aku sehingga dapat terpancing oleh bangsat-bangsat ini dan bahkan membuang-buang waktu dengan bertempur di sini. Sudah cukup lama aku terlibat di sini, mudah-mudahan di Tiong-gi Piau-hang belum terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku yakin paman Cian dan adik Ping sanggup menjaga diri, apalagi di gedung itu ada pula beberapa orang piau-su yang tentu dapat membantunya.”

Meskipun merasa bahwa keadaan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu berbahaya, namun nafsu Wi-hong untuk meladeni bertempur kakak beradik Au-yang itu telah menyusut. Cepat ia melancarkan beberapa pukulan dan tendangan gencar, dan ketika kedua lawannya terdesak maka Wi-hong pun menggunakan kesempatan itu untuk melompat keluar dari lingkaran pertempuran. Bagaikan burung kepinis melompatlah ia melampaui tembok kuil itu, dan sesaat kemudian bayangan tubuhnya pun sudah tidak kelihatan lagi.

Sepeninggal Wi-hong, kakak beradik sepupu itupun menarik napas lega. Au-yang Siau-hui secara terang-terangan mengakui, “Luar biasa bocah she Tong itu. Aku dijuluki Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang Di Atas Rumput) karena keunggulanku dalam hal ilmu meringankan tubuh. Tetapi ilmu meringankan tubuh bocah she Tong itu agaknya setingkat di atasku.”

Meskipun kakak beradik sepupu itu merupakan tokoh-tokoh golongan hitam, tetapi juga punya sifat-sifat terbuka dan pengagum ilmu silat. Meskipun terhadap musuh, mereka tidak segan-segan memuji atau mengakui keunggulan lawan jika kenyataannya memang demikian.

Kata Au-yang Siau-pa kemudian, “Piau-ko (kakak misan), dengan tipu muslihat kau telah berhasil mengusir bocah itu balik ke Tiong-gi Piau-hang. Namun apakah hal ini tidak membahayakan Song Kim dan kawan-kawannya apabila mereka masih berada di tempat itu? Bukankah kedatangan bocah she Tong itu akan dapat menjadi malapetaka bagi Song Kim dan yang lain-lainnya?”

Sang kakak misan mendengus dan menyahut dengan dingin, “Persetan dengan nasib keparat Song Kim itu, bahkan aku bersyukur jika dia mampus di tangan Wi-hong atau para piau-su dari Tiong-gi Piau-hang lainnya. Adikku, tahukah kau bahwa Song Kim telah mencoba menjerumuskan kita? Ia berkata bahwa kepandaian Tong Wi-hong tidak seberapa, tetapi kenyataannya kita baru saja mengalami betapa hebatnya orang she Tong itu, jadi jelaslah bahwa Song Kim secara diam-diam hendak melenyapkan kita dengan meminjam tangan Tong Wi-hong. Aku tahu bahwa sudah lama Song Kim mengincar kedudukanku sebagai Jing-ki-tong-cu, apalagi karena ia agaknya mendapat dukungan dari gurunya, si ular keropos berambut merah itu.”

Au-yang Siau-pa adalah seorang yang jujur, pikirannya polos dan lugu, dan ia sama sekali tidak memahami jalan pikiran kakak misannya yang berliku-liku penuh akal itu. Apa boleh buat, ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil menyarungkan kembali golok bulan sabitnya. Pertentangan yang terjadi di dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri itu pada hakekatnya Au-yang Siau-pa tidak tahu menahu.

Kakak beradik misan itu segera meninggalkan tempat itu. Sementara itu Tong Wi-hong tengah berlari-lari dengan pesatnya, berlompatan dari genteng rumah yang satu ke genteng rumah yang lain, menuju ke gedung Tiong-gi Piau-hang di tengah-tengah kota. Diam-diam ia sangat menyesali kecerobohannya yang telah meninggalkan Tiong-gi Piau-hang begitu saja.

Kini ia cuma berharap dalam hatinya agar belum terjadi sesuatu yang gawat di gedung itu, namun suatu firasat buruk sempat juga menyelinap ke dalam hatinya. Maka ia pun mempercepat langkahnya, sehingga kini gerakannya bagaikan segumpal mega yang melesat dengan ringannya.

Tay-beng memang bukan sebuah kota yang terlampau luas. Maka setelah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tidak lama kemudian Wi-hong telah tiba kembali di gedung Tiong-gi Piau-hang. Hati anak muda itu berdebar kencang ketika melihat gedung itu diliputi kesunyian yang mencekam dan menggidikkan hati.

Saat itu malam sudah mendekati ujungnya, sudah hampir pagi. Biasanya pada saat-saat seperti itu para pelayan keluarga Cian tentu sudah bangun dan sudah mulai dengan kegiatannya, seperti menimba air atau membersihkan halaman rumah. Namun kini tidak nampak kegiatan apapun, tidak kelihatan sebatang hidung pun. Bahkan lilin di ruangan tengah masih nampak menyala berkedip-kedip.

Dengan tidak sabar Tong Wi-hong langsung melompati tembok belakang dan langsung mendarat di halaman belakang gedung itu. Ia menengok kian kemari, dan berdesirlah jantungnya ketika melihat ada sesosok tubuh yang tengah meringkuk di bawah tembok sana. Dihampirinya sosok tubuh itu dan diperiksanya. Debaran jantungnya jadi semakin keras ketika mendapat kenyataan bahwa sosok tubuh di bawah tembok itu ternyata adalah seorang piau-su yang sudah menjadi mayat, dengan beberapa luka-luka bekas senjata yang menghiasi tubuhnya.

Cepat Wi-hong berlari ke kamar Cian Ping dengan gugupnya. Dilihatnya kamar itu telah gelap gulita dan kosong melompong, ketika Wi-hong hendak melangkah masuk hampir saja ia jatuh terjerembab karena kakinya tersandung sebuah meja kecil yang melintang di dekat pintu. Tanpa diperiksa pun Wi-hong sudah tahu bahwa keadaan kamar itu tentu telah porak-poranda.

Seperti kerasukan setan Tong Wi-hong terburu-buru kembali ke ruangan tengah di mana masih nampak lilin menyala itu. Dalam perjalanan menuju ke ruangan tengah itu, ditemui lagi mayat beberapa orang piau-su atau pelayan rumah yang bergeletakan di beberapa tempat. Sambil berlari, Wi-hong berteriak-teriak, “Paman Cian! Adik Ping!”

Tidak ada jawaban, hanya gaung suaranya sendirilah yang bergema di gedung yang kosong itu. Begitu ia tiba di ruangan tengah, Wi-hong hampir pingsan mendadak karena terkejutnya. Dari ruangan tengah itu ia bisa melihat langsung ke halaman tengah, dan dalam keremangan suasana dini hari ia melihat tubuh Cian Sin-wi tergeletak kaku, berkubang darah yang telah membeku karena dinginnya malam. Setapak demi setapak, dengan pandangan mata nanar karena tidak percaya, Wi-hong mendekati tubuh itu.

Setelah dekat dengan tubuh itu, Wi-hong melihat bahwa meskipun tubuh itu sudah tak bernyawa namun matanya masih terbuka lebar. Dengan usapan telapak tangannya Wi-hong mencoba menutupkan kelopak mata pendekar tua itu, namun tidak berhasil biarpun dicoba beberapa kali. Wi-hong menjadi sedih melihat hal itu, bercampur pula dengan perasaan haru dan murka yang meluap. Sambil menggertakkan giginya ia mengucapkan sumpahnya,

“Paman Cian, aku tahu kau mati penasaran. Budimu kepada diriku setinggi gunung dan seluas samudera, aku bersumpah akan membalaskan sakit hatimu kepada orang-orang Hwe-liong-pang yang telah berbuat sekeji ini. Jika aku melupakan sumpahku ini, aku bukan manusia tetapi binatang.”

Tengah ia termangu-mangu dengan hati yang kacau, tiba-tiba pandangan matanya melihat beberapa huruf darah yang tertulis di dekat tubuh beku itu. Meskipun tulisan itu agak kacau karena rupanya ditulis dalam keadaan sekarat, tetapi terbaca juga oleh Tong Wi-hong. “Cian Ping dilarikan Song Kim dan orang-orang Hwe-liong-pang, nampaknya hendak menuju ke barat. Minta bantuan beberapa sahabat berilmu dan rebut kembali anak Ping.”

Muka Wi-hong seketika menjadi beringas setelah membaca tulisan Cian Sin-wi yang terakhir itu. Seperti seorang yang kesurupan setan, ia berlari menuju ke kamarnya sendiri untuk mengambil pedangnya, lalu ia pergi pula ke kandang untuk mengambil seekor kuda yang buru-buru dinaikinya menuju ke arah barat.

Pagi itu juga Tong Wi-hong yang sedang dikuasai gejolak kemarahan itu telah mulai dengan pengejarannya, tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya. Ketika Wi-hong tiba digerbang kota Tay-beng, empat orang prajurit penjaga tidak mengijinkannya lewat sebab belum saatnya untuk membuka pintu kota. Terpaksa Wi-hong membuat pingsan keempat prajurit yang bernasib sial itu. Seorang diri saja Wi-hong membuka pintu gerbang kota, mengerek turun jembatan gantung, dan kemudian memacu kudanya keluar kota.

Pagi hari itu kota Tay-beng menjadi gempar ketika tersebar berita tentang tewasnya Cian Lo-piau-thau yang dermawan dan sangat dihormati masyarakat Tay-beng itu. Bahkan kematiannya diikuti pula oleh belasan orang piau-su dan pelayan rumah yang menghuni gedung itu, sedangkan anak gadis piau-su tua itu tidak nampak bayangannya.

Seorang piau-su tua yang menjadi kepercayaan Cian Sin-wi, yang sering dipanggil Can Lo-toa, segera memimpin pengurusan mayat Cian Sin-wi dan mayat-mayat lainnya itu. Suasana duka meliputi gedung yang megah itu. Berita kilat yang dibawa oleh kurir-kurir berkuda segera disebarkan kepada seluruh cabang Tiong-gi Piau-hang, yang mengabarkan bahwa pucuk pimpinan Tiong-gi Piau-hang telah tewas. Dalam surat itu sekaligus diperintahkan agar cabang manapun berusaha untuk menangkap Song Kim si murid khianat itu, dimanapun diketemukannya.

Begitulah nasib Tiong-gi Piau-hang yang menyedihkan. Sebuah perusahaan pengawalan yang terbesar di Kang-pak dan telah berjaya selama tiga keturunan, kini dipaksa menelan pil pahit dari Hwe-liong-pang, sebuah perserikatan yang berdirinya pun baru satu tahun lebih! Tak pelak lagi orang-orang akan bertambah menggigil ketakutan bila mendengar disebutnya nama Hwe-liong-pang!

Jenazah Cian Sin-wi dan para korban Hwe-liong-pang lainnya segera dimasukkan ke dalam peti mati dan diletakkan berderet-deret di ruangan tengah. Mayat beberapa orang pelayan dan beberapa piau-su segera dijemput oleh sanak keluarganya. Sementara itu orang-orang yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada jago tua itu mulai mengalir datang. Karena Cian Sin-wi merupakan seorang tokoh yang terkenal bukan saja di Tay-beng tetapi juga di seluruh wilayah Kang- pak, maka berita kematiannya pun segera menyebar cepat bagaikan terbawa angin.

* * * * * * *

BAGIAN depan dan tengah dari gedung Tiong-gi Piau-hang yang luas itu kini dipenuhi dengan orang-orang yang melayat. Semuanya menunjukkan muka murung dan berduka. Para piau-su Tiong-gi Piau-hang mengenakan pakaian belacu putih dan kepala terikat kain putih pula, nampak sibuk menyambut dan mempersilakan para tamu yang terus berdatangan menyatakan dukacita bagi pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.

Di tengah-tengah ruangan tengah, sebuah peti mati besar nampak hampir “tenggelam” oleh tumpukan karangan bunga yang terus mengalir dari berbagai pihak dan kalangan. Asap hio dan kayu wangi mengepul memenuhi segenap sudut gedung itu. Suasana berkabung menyelimuti setiap kegiatan di gedung megah itu.

Di antara para tetamu sendiri terdengar percakapan bisik-bisik tentang peristiwa terbunuhnya Cian Sin-wi itu. Banyak yang bercerita seolah-olah melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, dan yang mendengarkannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya, entah percaya benar-benar entah hanya basa-basi. Tetapi tidak seorang pun berani membicarakan atau menyebut nama Hwe-liong-pang, seolah-olah ketiga patah kata itu merupakan mantera pemanggil malapetaka yang paling tabu untuk diucapkan.

Maklumlah, dalam pandangan umat persilatan saat itu Hwe-liong-pang ibaratnya suatu perserikatan yang beranggotakan iblis-iblis ganas yang menakutkan. Selain itu, Hwe-liong-pang kabarnya juga punya “sejuta mata dan sejuta telinga”, sehingga barang siapa berani bicara sembarangan, boleh jadi nanti malam akan kehilangan batok kepalanya.

Tengah para tetamu yang melayat itu duduk bercakap-cakap sambil dilayani oleh para piau-su, mendadak muncullah seorang tamu yang cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang, terutama bagi para lelakinya. Tamu itu ternyata salah seorang gadis yang datang seorang diri sambil menuntun seekor kuda, suatu penglihatan yang tidak lazim di jaman yang kolot itu.

Apalagi gadis itu berpakaian ringkas seperti umumnya orang dunia persilatan, meskipun punggungnya dirangkapi dengan mantel berwarna merah darah. Wajahnya ayu dan masih nampak cukup muda, namun pandangan matanya tajam dan berwibawa, membuat lelaki manapun tidak berani memandangnya secara kurang ajar. Dan meskipun gadis itu bersikap seperti orang dunia persilatan, namun ia justru tidak membawa senjata sepotongpun.

Gadis ini bukan lain adalah Tong Wi-lian, adik Tong Wi-hong, dan murid rahib sakti Hong-tay Hweshio dari Siong-san. Seperti diketahui, setelah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Kay-hong dan menyampaikan sepucuk surat undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Agung Kaum Kesatria) ke tangan Liu Tay-liong, maka Tong Wi-lian melanjutkan perjalanan ke Tay-beng untuk menyampaikan surat undangan yang sama kepada Cian Sin-wi.

Tetapi sejak melangkahkan kaki memasuki kota Tay-beng, Wi-lian telah mendengar berita tentang tewasnya Cian Sin-wi di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Maka gadis itu menjadi kecewa, sebab dengan demikian ia tidak dapat bertemu dan berkenalan sendiri dengan pendekar tua yang disegani golongan hitam itu. Selain itu menurut gurunya, barangkali dari mulut Cian Sin-wi inilah akan dapat dilacak jejak kakak keduanya, yaitu Tong Wi-hong. Tetapi kini dengan matinya Cian Sin-wi, kepada siapakah ia akan bertanya tentang jejak kakaknya itu?

Sesaat lamanya gadis itu ragu-ragu berdiri di depan pintu gerbang gedung yang digantungi tirai putih itu. Akhirnya seorang piau-su setengah umur mendekatinya dengan sopan dan menanyakan kepentingannya. Apa boleh buat, Wi-lian terpaksa menjawab dengan menyesuaikannya dengan keadaan, “Aku mendengar berita tentang wafatnya Cong Lo-piau-thau, maka aku ingin memberi hormat kepada layonnya.”

Piau-su itu lalu mengantar Wi-lian ke ruangan tengah. Setelah bersembahyang secara agama Buddha di depan peti jenazah, secara sambil lalu Wi-lian mencoba memancing keterangan dari Can Lo-toa yang selalu mendampingi peti jenazah itu, “Paman, maafkan jika aku banyak bertanya. Aku agaknya kurang jelas mendengar berita kematian Cian Lo-piau-thau, aku hanya mendengar dia wafat, namun apakah yang menjadi penyebabnya?”

Can Lo-toa menjadi heran karena gadis itu menanyakan suatu hal yang telah diketahui oleh umum. Namun demi sopan santun dijawabnya juga pertanyaan gadis itu, “Apakah nona belum mendengarnya?”

Terpaksa Wi-lian meneruskan kebohongannya, “Aku memang sudah bertanya kepada beberapa orang yang kutemui di tengah perjalanan tadi, tapi jawaban mereka simpang-siur dan tidak seragam. Aku terpaksa harus mencari berita yang sebenarnya dari paman, yang merupakan orang terpercaya di Piau-hang ini setelah meninggalnya Cian Lo-piau-thau.”

Tampak wajah piau-su tua itu menampilkan kemarahannya, sambil menggebrak meja ia berkata dengan sengit, “Hemm, orang lain boleh ketakutan setengah mati mendengar nama Hwe-liong-pang, tapi aku seujung rambutpun tidak gentar kepada mereka. Bila mereka berani muncul, biarlah kusediakan jiwa tuaku ini untuk mengadu jiwa dengan mereka, demi membalas budi mendiang Cong-piau-thau. Orang-orang Hwe-liong-pang itu makin lama makin sewenang-wenang dan kurang ajar. Kemarin malam Cong-piau-thau telah dicelakai oleh orang-orang mereka dengan cara yang licik, karena Cong-piau-thau tidak mau menuruti ancaman mereka untuk bergabung dengan Hwe-liong-pang.”

Teringat akan permusuhannya sendiri dengan Hwe-liong-pang, alis Wi-lian pun ikut berdiri demi mendengar disebutnya nama perkumpulan itu. Geramnya, “Ah, lagi-lagi setan-setan itu yang membuat bencana.”

Beberapa orang tamu yang mejanya berdekatan dengan meja Wi-lian, dapat melihat pula sikap garang gadis itu. Orang-orang itu menjadi heran karena gadis semuda Wi-lian ternyata telah berani mencela dan memaki Hwe-liong-pang secara terang-terangan di hadapan umum seperti itu. Tokoh persilatan yang berani memperlihatkan sikap seperti itu agaknya di jaman itu sudah tidak banyak lagi jumlahnya.

Karena suara Wi-lian terdengar ke seluruh ruangan, seketika itu juga ruangan tengah gedung Tiong-gi Piau-hang itu menjadi sunyi senyap. Semua mata menatap ke arah Wi-lian dengan perasaan heran bercampur cemas. Sebaliknya Can Lo-toa menunjukkan sikap senang melihat sikap Wi-lian yang gagah berani itu. Tanyanya, “Apakah nona juga mempunyai permusuhan dengan Hwe-liong-pang?”

Sekali lagi ruangan tengah itu bagaikan tergetar, terkejut mendengar jawaban Wi-lian, “Ya, jika mereka tidak mencari aku, akulah yang akan mencari mereka. Di manapun aku menemui orang Hwe-liong-pang, aku harus bertempur dengannya!”

Beberapa orang tamu yang bernyali kecil segera mohon pamit kepada Can Lo-toa dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Mereka menyebut nama Hwe-liong-pang saja tabu, tapi gadis ini mudah menunjukkan sikap bermusuhannya kepada Hwe-liong-pang secara terang-terangan. Ada seorang tamu yang berpakaian perlente dan bertampang seperti orang kaya, segera mendekati Wi-lian dan berkata dengan setengah menegur,

“Harap nona sedikit berhat-hati dalam mengeluarkan kata-kata. Apabila kata-katamu itu sampai ke telinga pihak Hwe-liong-pang, maka nona bakal melewati hari-hari nona tanpa ketenteraman sedikitpun. Bahkan beberapa orang yang tidak tahu apa-apa pun bisa tersangkut urusan pula.”

Beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau-hang yang agak penakut pun segera menimbrung, “Betul sekali ucapan Nyo Siang-seng (tuan Nyo) ini. Harap nona tidak sembarangan bicara di tempat ini.”

“Betul, kami bekerja sebagai piau-su tak lain hanyalah untuk mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup, selamanya berusaha menjauhi permusuhan dengan siapapun, buat apa mencari malapetaka buat diri sendiri?” sambung piau-su lainnya.

Wi-lian membuang muka mendengar kata-kata yang memuakkan itu. Sahutnya dengan dingin, “Oh begitu kiranya. Kiranya sebutan sebagai eng-hiong (kesatria) itu hanya berani kalian sandang jika keadaan sedang aman, begitu pula para piau-su hanya gagah perkasa jika sedang menerima gaji, tapi begitu Tiong-gi Piau-hang memerlukan pembelaan kalian karena hendak diinjak-injak oleh Hwe-liong-pang, kalian bersembunyi ketakutan. Hemm, eng-hiong macam apa itu?”

Orang berpakaian perlente yang dipanggil Nyo Sian-seng itu juga merupakan tokoh silat yang disegani di Tay-beng, meskipun tidak setenar mendiang Cian Sin-wi. Kini setelah disindir oleh Wi-lian di depan sekian banyak orang, ia menjadi naik darah. Katanya,

“Nona, kau jangan besar mulut. Di hadapanku orang she Nyo belum pernah ada orang yang berani bersikap sekurang-ajar kau. Bahkan semasa hidupnya mendiang Cian Lo-eng-hiong sendiri sering memberi muka kepadaku.”

Memangnya perasaan Wi-lian juga sedang pepat karena kegagalan menemui Cian Sin-wi untuk menanyakan jejak kakak keduanya. Kini dijumpainya orang she Nyo yang bersikap menyebalkan ini, ia pun naik darah. Tanpa dapat menahan perasaannya lagi ia segera menyahut,

“Kalau begitu tuan ini tentu seorang pendekar yang ternama? Tetapi kenapa tuan tidak mencoba menggunakan pengaruh tuan dan mengumpulkan kawan-kawan sehaluan untuk bersama-sama menentang kezaliman Hwe-liong-pang dan menegakkan keadilan? Bukannya aku membual, jelek-jelek aku sudah pernah bertempur dengan beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang, bahkan dengan salah seorang dari empat orang yang mereka sebut Su-cia, dan ternyata mereka tidak menakutkan seperti yang digembar-gemborkan orang. Hanya orang-orang yang bernyali tikus saja yang ketakutan kepada mereka!”

Muka orang she Nyo itu memutih pucat dan merah padam secara bergantian. Akhirnya ia kehabisan kesabaran dan melangkah maju untuk bertempur, sampai lupalah “pendekar” itu bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang gadis yang usianya saja pantas menjadi anaknya.

Melihat kedua tamunya itu bersitegang leher dan siap untuk berhantam, repotlah Can Lo-toa untuk melerainya. Untunglah orang she Nyo itupun dapat dibujuk oleh beberapa orang temannya untuk menyabarkan diri. Meskipun dengan masih menggerutu mendongkol, dapat juga ia diajak untuk duduk di tempatnya kembali.

Wi-lian sendiripun agaknya malas berurusan dengan orang yang sok pendekar itu. Sementara itu dalam hati Can Lo-toa sudah timbul kekaguman dan kesan baiknya kepada gadis yang bersemangat itu. Ia duduk menemani Wi-lian, sementara seorang piau-su telah datang membawakan teh dan beberapa makanan kecil. Dalam kesempatan itu Wi-lian mencoba mengorek keterangan dari Can Lo-toa tentang kakaknya, tanyanya,

“Paman, apakah benar di tempat ini pernah tinggal seorang yang bernama Tong Wi-hong?”

“Betul,” sahut Can Lo-toa sambil menganggukkan kepalanya. “Dia adalah calon menantu Cong Lo-piau-thau. Kemarin malam, ketika Lo-piau-thau terbunuh, kawanan bangsat Hwe-liong-pang itu juga menculik puteri tunggalnya. Kini Tong siau-ya (tuan muda Tong) itu sedang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang untuk merebut kembali calon isterinya itu. Hemm, mereka benar-benar pasangan yang serasi.”

Sengaja Can Lo-toa memberi tekanan pada perkataan “calon isteri” dan “mereka pasangan yang serasi”. Rupanya Can Lo- toa salah duga terhadap Wi-lian. Dikiranya gadis yang duduk di depannya itu juga ikut menaksir kepada Wi-hong yang tampan itu, maka Can Lo-toa sengaja menyalakan “lampu merah” agar gadis ini mundur teratur saja.

Tentu saja Wi-lian maklum kemana tujuan kata-kata Can Lo- toa itu. Diam-diam ia merasa geli dan sekaligus cemas juga mendengar kakak yang sering dimakinya sebagai “kutu buku” itu kini ternyata sudah punya calon isteri segala. Tetapi juga cemas kalau memikirkan bahwa kakaknya itu kini sedang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang dengan sendirian saja. Wi-lian sudah menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana lihainya orang-orang Hwe-liong-pang seperti Kwa Heng, Ji Tiat, apalagi Sebun Say. Dan kini kakaknya mengejar musuh seorang diri, apakah tidak berbahaya?

“Paman, kemanakah kiranya Tong Wi-hong memburu penculik-penculik itu?”

Can Lo-toa agak mengerutkan keningnya mendengar gadis itu terus menanyakan Wi-hong. Sahutnya, “Menurut tulisan darah yang ditulis oleh Lo-piau-thau sebelum ajalnya, agaknya kawanan penculik itu lari ke arah barat, dan Tong Siau-ya pun agaknya juga mengejar ke sana. Ia sudah bertekad untuk merebut calon isterinya yang sangat dicinta...”

Ucapan yang ditujukan kepadanya itu cepat dipotong oleh Wi-lian sambil tersenyum, “Paman tidak usah kuatir bahwa aku akan berebut Tong Siau-ya kalian dari tangan nona Cian. Kalau si kutu buku Tong Wi-hong itu boleh mencemaskan calon isterinya, kenapa aku tidak boleh mencemaskan calon kakak iparku?”

Seketika itu Can Lo-toa melongo mendengar perkataan gadis itu. “Maksud nona...”

Kata Wi-lian, “Dari tadi paman belum menanyakan namaku. Jika kutu buku itu bernama Tong Wi-hong, akupun she Tong dan bernama Wi-lian.”

Seketika itu wajah Can Lo-toa agak kikuk karena prasangkanya tadi sekaligus juga merasa senang setelah mengetahui bahwa gadis yang duduk di depannya ini adalah adik Tong Wi-hong. Sikapnyapun jauh lebih ramah. Setelah mendapat keterangan tentang ke arah mana Wi-hong mengejar penculik, dan keterangan sekedarnya tentang daerah di sebelah barat kota Tay-beng itu, maka tanpa membuang waktu lagi Wi-lian segera berpamitan dari Can Lo-toa.

Can Lo-toa terkejut ketika mendengar gadis itu untuk ikut mengejar kawanan Hwe-liong-pang itu. Cegahnya, “Nona, orang-orang Hwe-liong-pang itu bukan ahli-ahli silat kelas kambing yang dapat dianggap enteng. Mereka begitu tangguh sehingga Lo-piau-thau pun tewas di tangan mereka, apabila nona hendak menyusul seorang diri apakah tidak berbahaya?”

“Tidak berbahaya,” sahut Wi-lian sambil tersenyum manis. Secara acuh tak acuh ia menekan cawan teh yang terletak di depannya dengan menggunakan telapak tangannya. Seketika itu cawan teh itu amblas ke permukaan meja sampai hampir separuh tinggi cawan, begitu mudahnya, seakan-akan permukaan meja itu terbuat dari tahu saja.

Sesaat Can Lo-toa melotot memandang cawan yang sudah “tertanam” separuh di permukaan meja itu, lalu mendecak kagum. Katanya kemudian, “Baiklah, agaknya nona cukup memiliki bekal untuk memburu bangsat-bangsat itu. Tetapi hati-hatilah. Mereka bukan saja berilmu silat tinggi tapi juga kaya dengan akal licik.”

“Tentu saja, paman. Nah, aku permisi.”

Can Lo-toa sendiri yang mengantar gadis itu sampai ke pintu gerbang depan. Sampai gadis itu dan kuda tunggangannya lenyap di tikungan sana, Can Lo-toa masih saja berdiri di bawah anak tangga, sambil menggumam seorang diri, “Hebat. Tak kuduga gadis seayu itu ternyata adalah seekor macan betina yang garang. Keluarga Tong agaknya merupakan sarang macan. Benar-benar tidak mengecewakan seluruh Tiong-gi Piau-hang jika nona Cian kelak menjadi isteri Tong Wi-hong.”

Dalam pada itu Wi-lian telah tiba di luar kota Tay-beng dan mulai melarikan kudanya ke jurusan barat. Meskipun ia belum pernah menginjak daerah itu, namun ia sudah mendapat gambaran tentang daerah itu dari mulut Can Lo-toa. Tidak lama kemudian kota Tay-beng pun sudah jauh tertinggal di belakangnya, kini ia sudah melewati pula bukit-bukit berhutan cemara yang menurut sejarah pernah menjadi persembunyian dari seratus delapan orang pendekar Liang-san itu.

Kuda tunggangan Wi-lian adalah seekor kuda gurun yang tegar dan tangguh. Sampai matahari hampir condong di sebelah barat, ternyata kuda itu masih sanggup berlari meskipun kecepatannya berkurang. Mata penunggangnya lah yang menjadi silau karena ia berkuda ke arah tenggelamnya matahari. Akhirnya gadis itu terpaksa menghentikan kudanya, sebab kini di depannya terbentanglah sebuah padang perdu yang luas seakan-akan tanpa tepi itu. Adalah tidak mungkin menjelajahi padang perdu itu dalam keadaan gelap seperti itu.

Wi-lian memutuskan untuk mencari sebuah desa atau rumah yang dapat ditumpanginya untuk bermalam. Dan setelah menyusuri sepanjang tepian padang perdu itu, ditemui jugalah sebuah desa kecil bernama Pek-tiap-tin, sebuah desa yang penduduknya hidup dari berburu binatang dan berladang di tanah yang kurang subur itu. Di desa itu ada sebuah rumah penginapan kampung yang sangat sederhana, namun buat Wi-lian dirasakan jauh lebih baik daripada harus bermalam di tengah padang perdu yang belum dikenalnya.

Para tetamu yang menginap di penginapan kampung itu kebanyakan adalah para petualang miskin yang tidak mampu menyewa rumah penginapan yang memadai, atau nampak pula orang-orang yang bertampang suku bangsa luar perbatasan. Wi-lian tidak menggubris mereka, meskipun petualang-petualang itu memandang Wi-lian sambil menelan air liur.

Malam itu tidak terjadi sesuatu apapun atas diri gadis itu. Meskipun demikian, Wi-lian tidak berani terlalu lelap dalam tidurnya, sebab orang-orang yang menginap di penginapan itu rata-rata bertampang buaya darat yang “kehausan” perempuan. Keesokan harinya, setelah membayar biaya penginapannya, Wi-lian segera menaiki kembali kudanya dan melanjutkan pengejarannya ke arah barat membelah padang perdu yang amat luas itu.

Berkuda semakin jauh, bahkan setelah matahari berada di puncak langit, ternyata jejak kakaknya dan orang-orang Hwe-liong-pang itu belum juga ditemuinya sama sekali. Bahkan orang-orang yang berpapasan dengannya makin lama makin sedikit, menandakan bahwa di depannya adalah daerah belukar yang jarang diinjak kaki manusia. Mulailah timbul keragu-raguan di hati gadis itu, benarkah arah yang ditempuhnya sudah tepat?

Ketika ia menyapukan pandangan ke sekelilingnya, maka sejauh-jauhnya mata memandang yang kelihatan hanya perdu dan rumput kuning yang tak ada batasnya. Dan matahari yang tengah panas-panasnya itu benar-benar tak kenal ampun dalam memanggang semua makhluk yang di bawahnya. Untunglah Wi-lian adalah seorang gadis gemblengan Siau-lim-pay, sehingga kegarangan alam itu tidak membuat tubuhnya terganggu.

Tengah Wi-lian berpikir untuk menentukan langkah lain, ia tiba-tiba mendengar ada derap beberapa ekor kuda dari arah belakangnya. Semakin dekat suara derap kaki kuda itu, telinga Wi-lian semakin jelas pula menangkap isi pembicaraan antara para penunggang kuda itu.

“Benar-benar sialan, sudah hampir tujuh hari kita bergentayangan di tempat yang seperti neraka ini, namun belum juga kita temui jejak bangsat-bangsat busuk itu!” terdengar seseorang menggerutu dengan suara keras.

Terdengar orang yang lainnya menyahut, “Kalau perburuan kita ini sampai gagal, pastilah kita akan didamprat habis-habisan oleh thong-leng (kepala pasukan) yang belakangan ini selalu marah-marah saja. Tidak mustahil kita akan mengalami penurunan pangkat atau pemotongan gaji.”

Ketika Wi-lian menoleh dan memperhatikan para penunggang kuda yang datang dari belakangnya itu, nampaklah ada tiga orang penunggang kuda yang searah dengannya. Karena jalur di tengah padang perdu itu cukup sempit, maka Wi-lian meminggirkan kudanya supaya tidak ditabrak oleh ketiga penunggang kuda itu.

Setelah cukup dekat nampaklah ketiga penunggang kuda itu orang lelaki semuanya. Salah seorang dari mereka sudah cukup tua, kira-kira lima puluh tahun umurnya dan memelihara jenggot seperti kambing bandot. Yang dua orang lagi berusia kira-kira tiga puluh tahun sampai tiga puluh lima tahun. Ketiga orang itu nampak tangkas dalam mengendalikan kudanya masing-masing, menandakan mereka agaknya orang yang biasa berkelana atau cukup terlatih. Apalagi kalau dilihat dari senjata-senjata mereka yang digantungkan di pelana kudanya masing-masing.

Ketiga lelaki itu menunjukkan keheranannya ketika menemui seorang gadis berkuda sendirian di tengah padang perdu yang sepi itu. Rupanya setelah menempuh suatu perjalanan yang jauh dan menjemukan, salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu timbul rasa isengnya untuk mengganggu Wi-lian. Sambil menyikut temannya yang berkuda di sebelahnya, ia berkata sambil cengar-cengir,

“Eh, Lau Cun, kalau lihat anak ayam ini agaknya cukup lumayan untuk sekedar obat pelepas lelah kita. He-he-he-he-he...”

Telinga Wi-lian yang cukup tajam itu mendengar pula ucapan itu, dan mukanya pun menjadi merah. Kalau ia tidak sedang diburu urusan penting ingin rasanya ia berhenti sebentar untuk menghajar lelaki yang usil mulut itu. Namun saat itu Wi-lian sedang malas untuk berurusan dengan siapa pun, maka ucapan kurang ajar itu pura-pura tidak didengarnya.

Namun sikap diam Wi-lian itu rupanya ditafsirkan salah oleh lelaki usilan itu. Ketika kudanya lewat di samping kuda Wi- lian, lelaki itu memperlambat kudanya dan tangannya pun menyelonong hendak meraba pinggul gadis itu. Habislah kesabaran Wi-lian terhadap lelaki buaya itu. Tangkas sekali ia menangkap tangan orang itu, langsung diputar dan didorongnya. Tak ampun lagi lelaki itu menjerit dan terlempar jatuh dari kudanya.

Kedua orang kawan seperjalanannya terkejut melihat kawannya kena dibanting semudah itu oleh seorang gadis. Lelaki yang berjenggot kambing itu agaknya punya pengalaman yang luas maka sadarlah ia bahwa yang dihadapinya adalah seorang pendekar wanita dunia persilatan yang tidak dapat dipandang ringan.

Sementara itu si lelaki buaya telah bangkit kembali dengan tertatih-tatih sambil memaki-maki. Meskipun hatinya sudah mulai gentar, tapi untuk menjaga pamornya dia membentak Wi-lian, “Hemm, gadis luar, jangan bangga karena berhasil membantingku. Itu berhasil kau lakukan karena aku tidak dalam keadaan siap. Untunglah kau sebab aku sedang ada urusan penting sehingga tidak dapat menghajarmu tapi hati-hatilah kau jila lain waktu bertemu lagi.”

Jenis orang seperti ini memang terlalu banyak jumlahnya di kalangan persilatan. Kalah tetapi tidak mau mengaku kalah dan menutupi kekerdilannya dengan kata-kata yang garang. Karena itu Wi-lian sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga orang itu agaknya memang sedang buru-buru untuk suatu urusan penting. Bentrokan kecil dengan Wi-lian itu ternyata kemudian tak dihiraukan lagi, dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa menuju ke arah barat.

Sepeninggal ketiga orang itu, Wi-lian masih saja kebingungan menetapkan arah supaya bisa menyusul kakaknya. Akhirnya dibiarkan saja kudanya berlari seenaknya. Setelah berkuda terus hampir sepanjang hari, akhirnya padang perdu itu menemukan juga bentuknya yang lain. Kini yang tampak bukan hanya tetumbuhan perdu melulu, tapi sudah mulai kelihatan pula beberapa jenis pepohonan yang agak tinggi.

Tak terasa, kembali sehari penuh telah dilewati dalam melacak jejak kakaknya yang tak tentu itu. Kini matahari sudah miring ke sebelah barat dan sinarnya tepat menyoroti muka gadis yang berpeluh itu. Ketika Wi-lian sudah hampir putus harapan dan hendak kembali ke Tay-beng sambil menunggu kakaknya di sana saja, tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh tergeletak di bawah serumpuk semak.

Karena jaraknya masih ada puluhan langkah, maka ia tidak dapat menentukan, apakah orang yang dilihatnya itu masih hidup atau sudah mati. Terdorong oleh rasa ingin tahunya, cepat dilarikannya kudanya untuk mendekati tubuh itu. Begitu dekat, seketika berkerutlah kening gadis itu. Tubuh yang tergeletak itu ternyata adalah tubuh dari lelaki yang mencoba menggodanya tadi, dan sudah dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Namun mata lelaki itu masih melotot lebar-lebar, menandakan bahwa ia mati penasaran, sedangkan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Pada dada lelaki itu nampak lima buah lubang yang agaknya dibuat dengan lima buah jari tangan, sedangkan lambungnya terkoyak lebar, nampaknya terkena jenis senjata semacam golok.

Wi-lian mengeliarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Nampaklah bahwa gerumbul-gerumbul semak di sekitar tempat itu porak poranda terinjak-injak kaki manusia, dan terdapat pula ranting-ranting pohon yang patah terkena sabetan senjata tajam. Dilihat dari bekas-bekasnya agaknya dapat disimpulkan bahwa di tempat itu terjadi suatu pertarungan hebat belum lama berselang. Namun ke mana dua orang penunggang kuda yang lainnya? Kenapa mereka membiarkan mayat kawan mereka begitu saja? Ataukah mereka pun telah tewas tapi di tempat lain?

Kuil Siau-lim terkenal bukan saja sebagai pusat ilmu silat, tapi juga pusat penyebaran agama Buddha. Selama dua tahun digembleng di kuil Siau-lim, maka jiwa Wi-lian pun telah terpengaruh oleh ajaran Buddha yang mengajarkan welas-asih itu. Meskipun lelaki yang telah menjadi mayat itu pernah mengganggunya, namun Wi-lian tidak sampai hati membiarkan mayatnya menjadi santapan binatang-binatang malam.

Tanpa mempedulikan keletihan tubuhnya, Wi-lian lalu mencoba menguburkan mayat orang itu. Tapi karena tak ada alat untuk menggali tanah, maka mayat itu diletakkan di sebuah tanah yang agak cekung, lalu di atasnya ditutup dengan ranting-ranting dan batu-batu, setelah itu baru diuruk tanah.

Sementara itu hari telah menjadi remang-remang. Sekitar tempat itu tidak nampak sebuah rumah pun. Akhirnya Wi-lian memutuskan, "Apa boleh buat, malam ini terpaksa aku tidur di atas dahan pohon. Semoga tidak ada gangguan apapun.”

Tengah gadis itu mencari-cari sebuah pohon yang dianggapnya cukup rimbun dan cukup nyaman untuk tidur di dahannya, mendadak telinganya menangkap suara yang menarik perhatian. Beberapa puluh tombak dari tempatnya itu ada sebuah bukit kecil, dan dari balik bukit itu terdengarlah suara ringkik kuda bercampur aduk dengan suara dencing senjata beradu, diselingi pula suara bentakan-bentakan orang yang sedang bertempur.

Tadinya Wi-lian sudah hampir berputus-asa untuk menemukan jejak kakaknya atau jejak orang-orang Hwe-liong-pang, maka ketika mendengar suara-suara itu seketika harapannya timbul kembali. Meskipun tidak terlalu mengharap, tetapi siapa tahu dari orang-orang yang bertempur itu ia bisa menemukan jejak kakaknya? Bahkan tidak mustahil yang sedang bertempur itu adalah kakaknya sendiri. Cepat dinaikinya kudanya dan dipacunya menuju ke bukit kecil itu.

Namun sebelum kuda Wi-lian sempat mencapai bukit kecil itu, telah terdengar suara jeritan seram dua kali berturut-turut, disusul pula dengan suara tertawa kemenangan bagaikan iblis meringkik. Lalu terdengar pula derap kaki kuda menjauhi bukit kecil itu. Agaknya sebelum Wi-lian sempat melihat siapa-siapa yang bertempur itu, pertempuran itu sudah selesai lebih dulu.

Gadis itu berusaha memacu kudanya lebih cepat lagi, tetapi toh semuanya sudah terlambat. Di balik bukit kecil itu hanya ditemuinya dua sosok mayat yang masih hangat dalam keadaan luka-luka yang mirip dengan luka-luka mayat pertama tadi. Di dekat mayat itu ada dua ekor kuda yang tengah meringkik-ringkik sambil berputar-putar kebingungan mencari tuannya. Di bawah sinar matahari yang semakin redup, Wi-lian seorang diri di tempat itu dengan hanya ditemani dua sosok mayat, meskipun nyalinya cukup besar tapi terasa ngeri juga. Cepat-cepat ia memutar kudanya untuk segera meninggalkan tempat itu.

Namun baru saja ia membalikkan diri, tiba-tiba didengarnya salah satu dari “mayat” itu merintih perlahan. Timbul harapan baru dalam hati gadis itu, “He, kiranya ada yang belum mati di antara kedua orang itu. Aku harus menolongnya, siapa tahu ia akan dapat menerangkan siapa yang telah bertempur tadi, dan barangkali aku akan mendapat jejak A-hong.”

Cepat gadis itu melompat turun dan berlari mendekati orang yang merintih itu. Meskipun cuaca semakin gelap, tetapi Wi-lian tetap masih dapat mengenalnya sebagai lelaki berjenggot kambing yang dijumpainya siang tadi di tengah padang perdu. Luka-luka di tubuh orang itu ternyata sama dengan luka-luka orang yang telah dikuburkannya tadi. Ada bekas cengkeraman lima jari yang menembus dalam ke daging, dan ada pula bekas sabetan-sabetan golok yang memanjang.

Cepat Wi-lian menggunakan dua jari tangannya untuk menotok beberapa buah urat penting di sekitar luka, dengan maksud untuk menghentikan mengalirnya darah secara terus menerus. Tetapi agaknya pertolongan itu tidak akan banyak memberi harapan kepada orang itu, sebab keadaannya memang sangat parah. Merasa ada orang yang menolongnya, si jenggot kambing yang sudah tiga perempat mati itupun perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Tanyanya dengan suara terputus-putus,

“Sia... siapa... kau...?”

Sahut Wi-lian langsung untuk menghilangkan kecurigaan orang itu, “Aku bernama Tong Wi-lian, murid Rahib Hong-tay dari Siau-lim-si di Siong-san. Harap paman tenangkan diri, aku akan berusaha mengobati luka-luka paman ini.”

Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir orang tua yang sedang sekarat itu. Katanya lemah, “Terima kasih, tetapi kukira nona tidak usah bersusah payah untuk mengobatiku lagi. Aku merasa bahwa jiwa tuaku ini agaknya sudah tidak ada harapan untuk dipertahankan lebih lama lagi, bahkan andaikata aku berhasil hiduppun aku akan merasa menanggung malu karena gagal menuaikan tugas yang dibebankan di pundakku. Tapi sebelum aku mati, maukah nona menolongku?”

“Katakanlah, paman.”

Terlihatlah dada lelaki tua itu bergelombang menahan sakit, kelihatannya ia bernapas dengan payah sekali. Tetapi ia berhasil juga mengeluarkan kata-katanya meskipun dengan suara yang lirih, “Nona, jika kau ada waktu pergilah ke dusun yang bernama Pek-tiap-tin, kira-kira tiga puluh li dari sini ke arah timur. Di sana kau carilah seorang Ting Thong-leng (Kepala Pasukan she Ting) dan katakan kepadanya bahwa untuk melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu harus dikerahkan suatu pasukan yang kuat, bahkan agaknya para ko-jiu (jagoan) dalam Lwe-teng-wi-su (Pasukan Khusus Pengawal Istana) itupun harus ikut ambil bagian. Kalau hanya mengirim prajurit-prajurit biasa seperti aku dan kawan-kawanku ini, hanya akan menghabiskan nyawa manusia saja.”

Wi-lian mengangguk-anggukkan kepalanya. Lelaki berjenggot kambing itu meneruskan kata-katanya pula, “Ting Thong-leng yang kusebutkan tadi bernama Ting Bun dari ibukota Pak-khia. Ting Tong-leng adalah pemimpin dari regu ke sebelas yang memburu orang-orang Hwe-liong-pang, dan aku serta kawan-kawanku adalah anggota regunya."

Mengucap sampai di sini, agaknya seluruh kekuatan hidup dari orang ini telah habis sama sekali. Nampaklah ia masih berusaha menggerakkan bibirnya untuk berkata-kata lagi, namun gagal, akhirnya kepalanya terkulai ke samping dan arwahnya pun terbang menyusul teman-temannya yang telah mendahuluinya.

Wi-lian masih saja termangu-mangu di samping tubuh yang mulai mendingin itu. Ia sedang mencari jejak kakaknya, tetapi yang diketemukan malahan jejak seseorang lain. Seorang lelaki muda yang juga punya arti dalam hidupnya, yaitu Ting Bun. Tetapi benarkah pemuda yang merampas hatinya itu kini telah menjadi seorang Thong-leng dalam ketentaraan Kerajaan Beng? Padahal keluarga Tong sangat mendendam kepada orang-orang berseragam prajurit kerajaan, lalu bagaimana kelak ia harus menghadapi Ting Bun?

Gadis itu baru tersentak dari lamunannya setelah dikejutkan oleh kudanya yang meringkik dengan gelisah. Cepat Wi-lian menggeledah tubuh orang itu kalau-kalau ditemukannya sesuatu yang dapat ditunjukkannya kepada Ting Bun sesuai dengan pesan orang itu. Di kantong baju orang itu ditemukan sekeping thi-pay (lencana besi) yang pada permukaannya terukir huruf-huruf, “Ong Liang, anggota regu ke sebelas Pasukan Rahasia Kerajaan Beng”.

Wi-lian menganggukkan kepalanya sambil mencamkan apa yang telah dibacanya itu. Pikirnya, “Ternyata Hwe-liong-pang bukan hanya dimusuhi oleh kaum kesatria persilatan, tapi bahkan pihak Pemerintah Kerajaan pun mengirimkan orang-orangnya untuk memburu Hwe-liong-pang. Sebenarnya macam apakah gerombolan yang aneh ini?”

Setelah menyimpan thi-pay itu di kantung pelana kudanya, sekali lagi Wi-lian harus menambah kelelahan tubuhnya untuk menguburkan kedua orang itu. Saat itu langit benar- benar telah menjadi hitam kelam, masih untung ada bulan sabit dan bintang-bintang yang menjadi cahaya di padang yang sangat luas itu.

Untung pula bahwa Wi-lian bukan seorang gadis cengeng melainkan cukup bernyali besar. Seorang diri di tengah padang yang gelap itu ia tidak merasa gentar sedikit pun. Ia merasa bahwa rerumputan di tempat itu cukup tebal dan empuk, cocok untuk tempat istirahat guna memulihkan tenaganya. Ditambatkannya kudanya di tempat yang mudah dicapai, lalu ia sendiri membuka bekal ransum keringnya serta kantong airnya, untuk mengisi perutnya yang belum kemasukan makanan sejak tadi pagi.

Sengaja Wi-lian tidak membuat perapian, sebab nalurinya mengatakan bahwa banyak orang-orang Hwe-liong-pang yang berkeliaran di daerah itu. Menyalakan perapian sama saja dengan memberikan pertandaan bagi musuh dan memberitahukan di mana dirinya berada. Selesai mengenyangkan perutnya, ia duduk bersemedi dan melakukan latihan pernapasan untuk memulihkan tenaganya.

Sampai jauh malam gadis itu melakukan semedi. Setelah tubuhnya merasa segar kembali barulah ia mengurai silanya dan merebahkan diri di rerumputan yang tebal dengan beralas mantelnya. Sambil membaringkan tubuhnya, ia melamunkan perjalanan hidupnya yang penuh kekerasan dan pertentangan yang tak habis-habisnya, sangat jauh bedanya dengan kehidupan gadis-gadis remaja pada umumnya.

Pikiran gadis itu seakan-akan melompati ruang waktu dan melayang mundur ke suatu masa dua tahun yang lalu. Ketika itu ia masih tinggal di An-yang-shia, kota kecil yang indah permai, di mana ia hidup di tengah-tengah sebuah keluarga dengan suasana yang hangat meskipun bukan tergolong keluarga yang kaya raya. Ia ingat akan mendiang ayahnya yang sikapnya sangat keras dalam mendidik anak-anaknya.

Lalu ibunya yang merupakan seorang perempuan yang lemah lembut, meskipun perempuan tua itu bisa juga menjadi garang jika pedangnya sudah tergenggam di tangannya. Perempuan tua itulah yang paling mengerti dan paling memahami anak-anaknya. Kemudian ingatannya tertuju kepada Tong Wi-siang, kakak tertuanya yang bandel dan bengalnya luar biasa, tetapi juga sangat menyayangi Wi-lian, meskipun kadang-kadang juga mengganggunya sampai si adik hampir menangis.

Lalu kakaknya yang nomor dua, Tong Wi-hong, yang oleh orang-orang seisi rumah diberi julukan “kutu buku” karena rajinnya dalam mempelajari buku-buku kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Kenangan masa lalu terasa begitu indah. Tapi pada kenyataannya, kini gadis itu sedang berada sendirian di tengah sebuah padang perdu yang luas dan gelap, kesunyian dan kedinginan tanpa teman. Tiba-tiba saja rasa rindu Wi-lian kepada kaum keluarganya telah begitu hebat bergejolak di hatinya.

“A-siang, di manakah kau sekarang? Tidak rindukah kau berkumpul dengan seluruh keluarga dan adik-adikmu?” demikian kadang-kadang hati gadis itu ingin menjerit. Tetapi ia tidak tahu kepada siapa jeritan itu harus ditujukan.

Lalu gigi gadis itu gemeretak penuh kemarahan jika teringat bahwa ketenteraman yang membahagiakan itu bagaikan diguncang oleh badai yang dahsyat gara-gara ulah seorang yang bernama Cia To-bun. Seseorang yang sangat bernafsu untuk menyingkirkan ayahnya, karena dianggapnya selalu merintangi kehendaknya, dan yang akhirnya berhasil juga melampiaskan segudang dendamnya kepada keluarga Tong.

Keluarga kecil yang bahagia itupun akhirnya tercerai-berai, seperti perahu yang pecah di tengah laut. Masing-masing anggota keluarga berpencar-pencar dan saling tidak mengetahui nasib orang-orang yang dicintainya. Wi-lian bukan seorang gadis cengeng, jiwa raganya telah mengalami gemblengan hebat.

Namun dia pun masih tetap seorang manusia yang punya perasaan, apalagi ia seorang gadis remaja. Kenangan lama yang indah dan kenyataan sekarang yang begitu pahit terasa telah merobek hatinya, dan tanpa sadar butiran-butiran air hangat mengalir dari pelupuk matanya. Salahkah kalau seorang manusia menangis karena merindukan kehangatan yang pernah dimilikinya?

Tengah gadis itu bergelut dengan berbagai macam perasaannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar adanya desir langkah halus di sekitar dirinya. Bahkan desir langkah itu terdengar semakin dekat dengan dirinya. Gadis itu menjadi tegang, pikirannya segera terpusat untuk menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi.

Ketika desir langkah itu tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, mendadak sesosok bayangan putih muncul di depannya, begitu mendadak seperti sesosok hantu yang muncul dari perut bumi saja. Mau tak mau Wi-lian terkesiap juga, cepat ia melompat berdiri sambil memasang kuda-kuda.

Sesaat lamanya kedua sosok bayangan itu berdiri dengan tegangnya dan penuh dengan kewaspadaan. Meskipun keduanya saling memandang, tetapi tidak dapat melihat jelas wajah masing-masing karena gelapnya malam. Akhirnya terdengar si bayangan putih itu menyapa lebih dulu dengan suaranya yang berat bergetar,

“Siapa kau? Kenapa kau bermalam seorang diri di tempat ini? Apakah kau orang Hwe-liong-pang?”

Sebaliknya Wi-lian mendengar suara orang itu bagaikan bermimpi. Suara itu sudah sangat dikenalnya! Hampir saja menjerit karena gembiranya, gadis itu berseru, “Kutu buku, kaukah itu? Aku A-lian!”

Bayangan putih itu nampak tercengang mendengar suara gadis itu, lenyaplah kesedihan Wi-hong, diganti dengan kegembiraan yang meluap. Teriaknya, “He, kau... kau adalah A-lian!”

Maka berpelukanlah kakak beradik yang sudah berpisah cukup lama itu, tak dapat dilukiskan kegembiraan mereka berdua. Kiranya setelah beberapa lamanya Wi-hong mengejar orang-orang Hwe-liong-pang yang menculik Cian Ping itu, ia tersesat di padang perdu itu, sedangkan jejak musuh sedikitpun tidak dilihatnya. Malam itu kebetulan Wi-hong lewat di bukit kecil itu, dan ia menjadi curiga ketika mendengar dengus-dengus seekor kuda di kaki bukit itu.

Diam-diam ia mendekati tempat itu untuk mengintai, siapa tahu dapat bertemu dengan penculik-penculik itu, dan ia tidak menduga sama sekali bahwa yang akan ditemuinya justru adiknya. Karena gembiranya, kakak beradik yang baru bertemu itu telah saling berebutan bicara, sehingga suasana yang tadinya sepi itu kini telah berubah menjadi sangat ributnya.

“A-lian, kenapa kau sampai di tempat ini?”

Sahut adiknya, “Aku sebenarnya sedang mengemban tugas dari guruku untuk menyampaikan sepucuk undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Besar Kaum Kesatria) kepada Cian Lo-eng-hiong di Tay-beng. Tetapi begitu aku tiba di sana, aku hanya menjumpai peti jenazah beliau. Namun dari mulut orang-orang di Tiong-gi Piau-hang aku berhasil mendengar tentang jejakmu, katanya kau sedang mengejar penculik-penculik calon isterimu, maka tanpa pikir panjang lagi aku segera mengejar ke jurusan ini.”

“Hah, kau benar-benar terlalu berani dan sedikit pun tidak menggunakan otak. Bagaimana kau seorang diri berani mengejar ke sini, padahal di daerah ini sangat besar kemungkinannya bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang jahat-jahat itu?” tegur kakaknya.

Wi-lian tersenyum mendengar kakaknya menegurnya seperti menegur anak kecil saja. Sahutnya, “A-hong, dari orang-orang Tiong-gi Piau-hang kudengar kabar bahwa kau sudah mengalami kemajuan pesat dalam ilmu silat karena dididik langsung oleh Su-cou (kakek guru) dan beberapa Su-ciok-cou (paman kakek guru). Tapi dengan kemajuan itu belum tentu kau sanggup mengalahkan aku sekarang.”

Wi-hong tertawa bergelak mendengar jawaban adiknya itu, untuk sesaat lamanya ia jadi melupakan semua kesedihannya. Katanya, “Wah, besar juga omonganmu, tapi aku percaya tentunya kau punya alasan untuk bersikap sombong. Selama ini aku cukup mencemaskan dirimu, semenjak kita berpisah jalan karena menghadapi para pembunuh bayaran itu, nah, sekarang kau harus bercerita tentang apa saja yang kau alami selama ini....”
Selanjutnya;