X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Perserikatan Naga Api Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Jilid 14 Karya Stevanus S.P

Perserikatan Naga Api Jilid 14

Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
ISI surat itu cukup halus dan sopan, yaitu mengajak Cian Sin-wi dan seluruh Tiong-gi Piau-hangnya agar mau bergabung dengan Hwe-liong-pang, dan sekaligus di dalam surat itu diuraikan pula “cita-cita luhur” Hwe-liong-pang yang ingin mendobrak hancur pemerintahan bobrok Kerajaan Beng dan menggantikan dengan pemerintahan yang adil dan bersih.

Dijanjikan pula, setelah bergabung dengan Hwe-liong-pang, Tiong-gi Piau-hang akan tetap diperkenankan menjalankan perusahaannya secara bebas, dan Cian Sin-wi tetap diperbolehkan memegang pimpinan Tiong-gi Piau-hang. Tetapi Cian Sin-wi dan seluruh Tiong-gi Piau-hang harus menyediakan diri, baik tenaga manusia maupun “dana perjuangan”, begitu kedua hal itu dibutuhkan.

Dalam surat itu disertakan pula gertakan-gertakan halus jika Cian Sin-wi tidak memenuhi “panggilan luhur” itu. Cian Sin-wi bukan seorang hartawan yang kikir, namun cukup murah hati. Tidak jarang ia memberi bantuan uang kepada rekan-rekan dunia persilatan yang sedang mengalami kesulitan uang dalam pengembaraannya, tetapi pemberian Cian Sin-wi itu dilakukan dengan sukarela dan tanpa tekanan dari manapun juga.

Sedang ajakan bergabung dari Hwe-liong- pang itu, biarpun dinyatakan dalam kalimat-kalimat yang halus dan sopan, jelas tujuannya adalah mengancam dan menekan agar Tiong-gi Piau-hang tunduk di bawah kendali Hwe-liong-pang! Hal ini membuat Cian Sin-wi yang keras hati itu seketika jadi berang, sebab Tiong-gi Piau-hang adalah perusahaan warisan leluhurnya yang akan dipertahankannya mati-matian. Tidak ada niatnya sedikitpun untuk menuruti ajakan Hwe-liong-pang itu.

Sampai batas waktu yang ditentukan oleh surat itu lewat, Cian Sin-wi tetap tidak memberi jawaban. Bahkan secara terang- terangan, dilakukan dihadapan para piau-su-piau-sunya, ia merobek-robek surat itu dan menyuruh anak buahnya untuk menyiarkan bahwa ia tidak akan tunduk.

Beberapa hari berlalu tanpa kejadian apa pun. Selama itu, kembali Cian Sin-wi secara giat melakukan latihan ilmu silatnya, agaknya untuk berjaga juga terhadap ancaman Hwe-liong-pang itu. Tidak jarang terlihat ia berlatih bersama puterinya, atau Tong Wi-hong, atau beberapa piau-su andalan Tiong-gi Piau-hang yang ilmunya cukup lihai. Setelah beberapa hari, ancaman itu belum juga terbukti.

Pada suatu malam, bulan bersinar di langit dengan indahnya, menerangi langit yang begitu bersih dan cerah. Di taman belakang rumah Cian Sin-wi, nampaklah Tong Wi-hong sedang berjalan mondar-mandir seorang diri sambil mengerutkan alisnya. Sekali-kali nampak pemuda itu menengadah ke langit sambil menarik napas panjang.

“Di rumah ini, aku hidup seperti anak hartawan, semuanya serba berlimpahan dan pelayanannya pun sangat baik,” pikirnya. “Tetapi aku tidak boleh terbuai dalam kenikmatan ini sehingga melupakan tugas utamaku. Aku masih punya kewajiban membalaskan sakit hati ayahku, dan kemudian berusaha mencari kakakku dan adikku yang kini entah bagaimana keadaannya.”

Teringat akan adik perempuannya, hati Wi-hong menjadi sedih. Terakhir kali Wi-hong melihat adiknya ialah ketika bertempur melawan pembunuh-pembunuh bayaran suruhan Cia To-bun itu. Waktu itu dilihatnya adiknya ditangkap dan dibawa lari ke dalam hutan oleh pemimpin gerombolan pembunuh upahan itu. Waktu itu, Wi-hong tidak mampu menolong adiknya, sebab keadaannya sendiri pun sedang payah dikeroyok lawan-lawannya.

Bahkan andaikata tidak ada pertolongan Cian Sin-wi, mungkin saat itu dirinya sudah menjadi penghuni akherat. Wi-hong tidak berani membayangkan bagaimana nasib adiknya yang dibawa oleh pemimpin penjahat itu. Setiap kali teringat akan hal itu, seketika gemeretaklah gigi pemuda itu, dan dendamnya kepada Cia To-bun semakin merasuk sampai ke tulang sungsum.

Sedangkan tugas mencari kakaknya, Tong Wi-siang, itupun merupakan tugas yang hampir-hampir mustahil. Ia tidak tahu sama sekali jejak kakaknya, dan tidak ada petunjuk sama sekali. Ibarat mencari sebatang jarum di tengah tumpukan jerami. Maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mengandalkan unsur kebetulan atau untung-untungan saja.

Pada saat Wi-hong sedang terombang-ambing dalam keresahan itu, tiba-tiba ketika ia sedang menengadah, ia melihat sesosok tubuh manusia berkelebat dengan cepatnya di atas wuwungan rumah sebelah. Ditilik dari caranya bergerak, jelas orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

Kecurigaan Wi-hong timbul seketika. Seluruh penduduk Tay-beng dan sekitarnya tahu bahwa tempat ini adalah pusat Tiong-gi Piau-hang yang disegani orang itu, maka kalau ada yang berani bergentayangan di sini dengan cara yang tidak wajar, jelaslah bawah orang itu sedang mempunyai tujuan tertentu. Apalagi Tiong-gi Piau-hang pada saat itu sedang dalam suasana bermusuhan dengan Hwe-liong-pang gara-gara surat ancaman itu.

Wi-hong segera mengambil keputusan cepat dalam hatinya, “Aku berhutang budi kepada keluarga Cian, jika ada orang yang berniat buruk kepada rumah ini, tidak peduli dari Hwe-liong-pang atau tidak, aku wajib mencegahnya sekuat kemampuanku.”

Maka tanpa sangsi lagi, Wi-hong segera menggenjot tubuhnya dan melompat ke atas genteng pula, mencoba mengejar bayangan yang mencurigakan itu. Orang yang dikejar itu nampak menoleh sesaat ketika merasa ada yang mengejarnya, tiba-tiba ia bersuit nyaring dan mempercepat larinya menuju ke arah timur. Dan semakin lama nyatalah semakin lihainya orang itu, ia dapat bergerak dan berlompatan begitu cepat, seakan-akan terbang saja.

Tetapi Wi-hong tidak terlalu menghiraukan hal itu, maka ia pun mengumpulkan semangat dan mengerahkan tenaganya untuk memburu orang itu. Selama berlatih di Soat-san, Tong Wi-hong telah terbiasa berlari-lari di lereng-lereng pegunungan yang licin dan berlapis es, untuk melatih ilmu meringankan tubuhnya. Maka kini begitu bergerak di tempat yang kering, maka gerakan Wi-hong pun secepat anak panah yang lepas dari busurnya.

Dengan beberapa kali lompatan yang mengerahkan tenaga, Wi-hong telah berhasil memperpendek jaraknya dengan orang yang dikejarnya itu. Kini di bawah sinar bulan Wi-hong dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang lelaki bertubuh langsing semampai dan mengenakan pakaian daerah Su-coan, lengkap dengan ikat kepala berwarna putih, sepatu rumput dan rompi kulit dombanya.

Wi-hong cukup mengenal dandanan semacam itu, sebab selama dua tahun ia berada di Soat-san yang letaknya jauh di barat sana, dan dandanan macam itu dikenalnya sebagai dandanan para penggembala di Su-coan umumnya. Tapi yang mengherankan, kenapa orang Su-coan ini bisa berkeluyuran sampai ke Tay-beng yang berjarak ribuan li ini? Dan apakah seorang gembala biasa berkepandaian setinggi itu?

Orang Su-coan itu nampak menoleh beberapa kali. Tiba-tiba ia membuat suatu belokan di sebuah wuwungan atap yang agak tinggi letaknya dan bagaikan bintang meluncur tubuhnya telah melesat ke bawah dan hilang dari penglihatan. Tong Wi-hong tidak mau kehilangan buruannya. Cepat ia menarik napas panjang dan kemudian melesat ke depan dengan gaya Yan- cu-hoan-sin (Walet Membalikkan Badan), dan memburu ke arah menghilangnya orang itu.

Dan Wi-hong masih sempat melihat orang buruannya itu, meskipun cuma sekejap. Orang Su-coan itu kini berlari-lari di lorong-lorong kecil kota Tay-beng yang berliku-liku itu. Dan anehnya, setiap kali hendak membelok, ia selalu memperlambat langkahnya, seakan-akan memberi kesempatan agar jangan sampai Wi-hong kehilangan jejak.

Sayang sekali, kejanggalan sikap orang itu tidak disadari oleh Wi-hong yang belum berpengalaman dalam dunia persilatan itu. Sesungguhnya Tong Wi-hong sudah termakan oleh siasat “memancing harimau meninggalkan gunungnya” suatu siasat yang biasa digunakan untuk memecah-belah kekuatan lawan.

Dalam pada itu, malam itupun Cian Sin-wi merasakan suatu firasat yang kurang baik. Meskipun malam telah jauh menukik ke pusatnya, namun Cian Sin-wi merasakan hatinya gelisah dan sulit memejamkan matanya. Bahkan untuk menghilangkan kejemuannya, ia justru meninggalkan tempat tidurnya dan mulai duduk membaca di ruangan tengah dengan diterangi sebatang lilin.

Tengah ia berusaha memancing datangnya rasa kantuknya dengan jalan membaca-baca, tiba-tiba kupingnya yang tajam itu mendengar suara kibaran pakaian di atas genteng rumahnya. Jelas ada seorang atau lebih tokoh persilatan yang tengah mendatangi rumahnya.

“Hemm, bagus, agaknya bangsat-bangsat dari Hwe-liong-pang itu datang malam ini untuk menyerahkan leher mereka,” pikirnya sambil meletakkan kitab yang dibacanya.

Meskipun dalam dua tahun terakhir ini latihan silat Cian Sin-wi agak merosot gara-gara kesedihannya, tapi Cian Sin-wi tidak kehilangan keberaniannya dan kepercayaannya kepada diri sendiri. Sepasang hau-thau-kau yang tergantung di dinding itu segera diambilnya, digenggamnya erat-erat dengan kedua tangannya.

“Siapa yang berada di atas genteng?!” bentak jago tua itu. Tampaklah sesosok tubuh melompat turun dari atas genteng, dan mendarat ringan di halaman tengah rumah keluarga Cian itu. Ia adalah seorang anak muda yang sebaya dengan Tong Wi-hong, tapi tubuhnya lebih tegap sedikit, dan ia memanggul sebatang tombak panjang. Cian Sin-wi tercengang melihat munculnya orang itu, sebab tidak diduganya akan bertemu lagi dengannya.

Pemuda yang memanggul tombak itu kemudian menekuk sebelah lututnya dan berkata, “Murid Song Kim menghaturkan sembah sujud kepada guru.”

Ternyata orang itu adalah Song Kim, murid Cian Sin-wi yang telah diusir dari rumah itu kurang lebih dua tahun yang lalu. Cian Sin-wi menghembuskan napas lega, dan pegangannya atas senjatanya agak mengendor. Suaranya pun mengandung rasa haru ketika ia bertanya,

“Anak baik, bangunlah. Aku sungguh tidak mengira akan bertemu kembali denganmu. Dan aku bersyukur melihat ilmu meringankan tubuhmu nampaknya banyak kemajuan, dapat terlihat dari gerakanmu ketika melompat turun.”

Song Kim segera bangkit dari berlututnya, sahutnya, “Berkat doa restu Suhu, begitu aku keluar dari tempat ini aku langsung menemukan seorang tokoh kang-ouw lihai yang bersedia meneruskan untuk membimbing ilmu silatku.”

Cian Sin-wi mengerutkan alisnya mendengar jawaban seperti itu. Meskipun jawaban itu diucapkan dengan sopan secara halus seakan-akan Song Kim hendak menyatakan, “Banyak orang lebih pandai dari kau, apa kau kira hanya kau saja yang bisa menjadi guruku?” Lagi pula, menilik cara Song Kim mengunjunginya, yaitu pada tengah malam dan melewati genteng pula, jelas itu bukan merupakan cara yang sopan bagi seorang murid jika mengunjungi gurunya.

Tetapi Cian Sin-wi mencoba untuk bersikap lapang dada. Katanya, “Aku bersyukur bahwa latihan silatmu tidak terhambat karena pergi dari sini. Kepandaianku memang terbatas sekali, jika kau berguru terus kepadaku, mungkin kaupun akan sulit mendapat kemajuan. Tetapi bolehkah aku mengetahui siapakah nama guru barumu itu?”

Wajah Song Kim nampak berseri-seri bangga ketika menyebutkan nama guru barunya, “Beliau adalah Tang Kiau-po, dari Thay-san.”

Begitu mendengar nama itu disebutkan, seketika berkerutlah alis Cian Sin-wi. Nama itu memang merupakan nama yang cukup dikenal di dunia persilatan, tapi sama sekali bukanlah nama yang harum dan pantas dibanggakan. Tokoh itu termasuk pula dalam deretan sepuluh tokoh sakti jaman itu, menduduki urutan ke sepuluh alias juru kunci. Ia terkenal dengan sifat-sifatnya yang kejam, licik, khianat dan mementingkan diri sendiri.

Murid-muridnya pun terkenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, misalnya saja Thi-siau-long Tio Khing, si serigala berkuku besi, yang tewas di ujung pedang Tong Tian itu. Dan kini Cian Sin-wi mendengar bahwa Song Kim berguru kepada tokoh jahat itu! Ternyata Song Kim bersikap sama sekali tidak ambil pusing atas sikap Cian Sin-wi, bahkan ia melengkapi keterangannya,

“Nampaknya Suhu kaget mendengar keteranganku? Apa salahnya aku berguru kepada orang itu? Bahkan guruku yang kedua itu juga merupakan salah seorang dari empat orang Su- cia (duta) Hwe-liong-pang.”

Keterangan terakhir inilah yang membuat Cian Sin-wi terkejut bukan main bagaikan disengat kalajengking. Dengan mata membelalak ia bertanya, “Jadi... jadi kau pun sekarang sudah menjadi anggota... Hwe-liong-pang?”

Song Kim tertawa pongah dan seketika itu hilanglah semua sikap sopan dan hormatnya tadi, sahutnya, “Tepat. Suhu, karena mengingat kebaikan Suhu yang telah merawatku sejak aku kecil, maka aku ingin sekali mengajak Suhu untuk bergabung dengan Pang kami, yang saat ini sedang berjuang menuju kemenangan dan kemuliaan tanpa batas. Jika kita berhasil, tentu adik Ping juga akan mengalami kemuliaan yang luar biasa pula. Nah, apa pula yang dikejar dalam hidup kalau bukan kemuliaan?”

Sedapat-dapatnya Cian Sin-wi menekan kemarahan yang mulai menggelora di dalam hatinya. Katanya dengan suara ditekan, “Aku tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang sedang dirintis oleh Hwe-liong-pang.”

Song Kim tertawa terbahak, sikapnya makin lama makin takabur dan tidak menghormat lagi kepada bekas gurunya itu. Sahutnya seperti orang bersyair, “Hemm, biarpun Suhu tidak ingin tahu, tapi aku akan memberitahukannya juga. Ketahuilah, cita-cita kami adalah melenyapkan dinasti Matahari dan Rembulan dari langit negeri ini!”

Berubah hebatlah muka Cian Sin-wi ketika mengetahui arti dari ucapan itu. Huruf “jit” (matahari) dan huruf “goat” (rembulan), yaitu nama yang digunakan oleh dinasti kerajaan pada masa itu. Kini gamblanglah bahwa Hwe-liong-pang adalah sebuah perserikatan yang tidak puas dengan pemerintahan Kerajaan Beng, dan berusaha menumbangkannya.

“Oh, jadi Hwe-liong-pang adalah pengikut Li Cu-seng, si pemberontak itu?” Cian Sin-wi menegaskan.

Tetapi Song Kim menolak anggapan itu. “Meskipun Li Cu-seng dipuja-puja bagaikan dewa oleh para pengikutnya, tetapi ia belum pantas disejajarkan dengan Pang-cu (Ketua) kami. Mungkin antara Hwe-liong-pang dengan Li Cu-seng untuk sementara bisa berjalan sejajar, karena tujuan kami sama, tapi jika tujuan sudah tercapai, harus segera ditentukan siapa yang kuat dialah yang berhak memerintah negeri yang luas ini.”

Mau tidak mau Cian Sin-wi harus memeras otak untuk menebak-nebak, siapakah pucuk pimpinan Hwe-liong-pang yang punya cita-cita yang tidak tanggung-tanggung itu? Salah seorang dari Pangeran atau Pejabat Kerajaan yang tersingkir dan merasa tidak puas? Ataukah Hwe-liong-pang ini jangan-jangan dikendalikan dari negeri tetangga, yaitu Kerajaan Ceng-tiau (Manchu) yang kini tengah bertumbuh menjadi sebuah Kerajaan yang kuat, dan sudah lama memang punya cita-cita untuk menyerbu Kerajaan Beng dan merebut dataran yang luas itu?

Biarpun berwatak keras, tapi tidak berarti Cian Sin-wi itu seorang yang gegabah. Maka dengan hati-hati ia mulai melepaskan pancingan-pancingan halus, “Aku kagumi cita-cita Hwe-liong-pang kalian yang luar biasa itu. Tapi kalian kurang tepat jika bergerak saat ini. Betapapun tidak becusnya Cong-ceng memerintah sebagai Kaisar, namun haruslah diingat bahwa perpecahan di dalam negeri sendiri hanya akan menguntungkan bangsa Manchu yang sudah siap mengintai diperbatasan, dan siap pula untuk menyerbu dan menginjak-injak tanah air kita ini.”

Song Kim tidak mampu menjawab pertanyaan ini, maka akhirnya secara gampang-gampangan saja ia menjawab, “Aku tidak mau tahu urusan itu, itu adalah urusan Hwe-liong-pang-cu kami. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Pang-cu tentu sudah memperhitungkan hal ini. Tugasku malam ini hanyalah ingin mendapat jawaban ya atau tidak, atas tawaran kami kepada Suhu untuk bergabung dengan kami.”

Cian Sin-wi tertawa kecut sambil menggelengkan kepalanya, “Menyesal sekali, Song Kim, tidak pernah terpikir olehku untuk bergabung ke dalam suatu perkumpulan yang tidak jelas asal-usulnya, apalagi harus menyerahkan seluruh Tiong-gi Piau-hang seluruhnya di bawah kendali mereka pula. Bahkan jika kau masih menganggapku sebagai Suhumu dan masih mau mendengarkan nasehatku, kuanjurkan agar kau keluar saja dari Hwe-liong-pang dan hidup mencari nafkah secara baik-baik. Aku yakin, dengan ilmu silatmu yang sekarang cukup tangguh itu, kau tidak akan sulit dalam mencari tempat berpijak di dunia persilatan ini.”

Song Kim tertawa dingin, “Menjadi piau-su misalnya, begitu? Hemm, menjadi piau-su bagiku sama halnya dengan menjadi budak orang lain, hidup dengan menjual jasa kepada orang lain. Sedangkan di dalam Hwe-liong-pang aku berkumpul dengan teman-teman yang secita-cita dan setujuan denganku. Maaf, nasehat Suhu tidak dapat kuterima. Waktuku tidak banyak, harap Suhu berpikir beberapa kali sebelum menolak tawaran ini.”

Muka Cian Sin-wi sudah merah padam mendengar ucapan Song Kim ini. Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan pengawalan, ia merasa sangat tersinggung mendengar ucapan “menjadi piau-su sama dengan menjadi budak orang lain”, sebab bukankah ia sendiri adalah seorang piau-su? Bukankah dengan cara demikian itu Song Kim telah memakinya secara tidak langsung?

Cian Sin-wi yang berhati keras dan berdarah panas itu seketika menyahut dengan garang, “Baik, akupun tidak berbelit-belit. Aku tolak tawaran kalian, aku ingin tahu Hwe-liong-pang bisa berbuat apa kepadaku. Sekarang silahkan kau pergi dari sini, maaf tidak bisa mengantarmu.”

Begitulah, guru dan murid sama-sama getas dalam mengucapkan perkataan, maka keputusanpun sudah tidak bisa diubah lagi dan hubungan antara guru dan murid pun sudah putus sampai di situ saja. Ternyata Song Kim sedikit pun tidak merasa terkejut atau sungkan-sungkan lagi, ia membalasnya dengan tertawa dingin,

“He-he-he, Cian Sin-wi, kau sendirilah yang telah memutuskan hubungan lama kita. Tetapi dengan penolakanmu itu jangan harap kau bebas dari persoalan ini dengan begitu saja. Hwe-liong-pang kami bukan hanya bisa menggertak, tapi juga mampu bertindak untuk melaksanakan gertakan.”

Cian Sin-wi melintangkan sepasang hau-thau-kau nya di depan dada, sahutnya mantap, “Oh, kiranya kau ditugaskan oleh Hwe-liong-pang untuk melaksanakan ancaman dalam surat gelap itu. Kalau begitu, Hwe-liong-pang kalian benar-benar tidak memandang sebelah mata pun kepadaku. Song Kim, majulah!”

Agaknya Song Kim cukup tahu diri, meskipun kepandaiannya sudah meningkat tapi ia merasa belum cukup mampu untuk menandingi bekas gurunya itu. Maka ia tidak ingin melawan seorang diri. Tiba-tiba ia memasukkan dua jari ke mulutnya lalu mengeluarkan suitan nyaring. Dan sebagai jawaban, empat orang masuk ke halaman tengah itu dengan berlompatan melalui tembok samping yang tingginya hampir dua tombak itu.

Ketangkasan para penyerbu itu membuat Cian Sin-wi mau tak mau mengerutkan keningnya dan harus membuat perhitungan, mengukur dan membandingkan antara kekuatan lima orang lawan yang sudah berdiri di depannya itu. Tetapi ia tidak terlalu cemas, sebab di rumah itu masih ada Tong Wi-hong yang kepandaiannya cukup dapat diandalkannya, dan ia mengharap calon menantunya itu akan terbangun dari tidurnya karena mendengar ribut-ribut di halaman tengah itu.

Sementara itu, untuk menggertak bekas gurunya, Song Kim mulai memperkenalkan kawan-kawannya, “Cian Sin-wi, lihatlah orang-orang yang akan membantaimu karena kekerasan kepalamu itu sudah datang. Kuperkenalkan kepadamu. Yang membawa Ce-bi-kun (toya setinggi alis) itu adalah Han Toan, yang memegang golok adalah An Siau-lun dan si kembar bermuka burik itu masing-masing bernama Cong Yo dan Cong Hun dari Shoa-tang, merupakan ahli-ahli dalam ilmu pukulan Thi-sah-ciang (Pukul Pasir Besi). Kami berlima adalah anggota dari bagian Hwe-liong-pang yang disebut Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau). Jika kau menolak uluran tangan kami, maka kami diberi wewenang oleh Tong-cu kami untuk menghabisi nyawa tuamu itu.”

Sementara Song Kim bicara dengan takabur, diam-diam Cian Sin-wi melirik ke kiri dan kanan, dan ia menjadi heran kenapa suara ribut-ribut itu tidak membangunkan seorang piau-su pun? An Siau-lun agaknya dapat menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Maka ia tertawa cengengesan sambil berkata,

“Pendekar Cian yang perkasa, tadi ketika kami sedang masuk ke mari, ada beberapa anak buahmu yang menyambut kedatangan kami dengan sikap yang kurang bersahabat. Apa boleh buat, kami terpaksa membela diri. Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuh mereka, apa daya aku kurang mahir menguasai golokku sehingga terlalu dalam mengenai jantung mereka. Maaf ya?”

Orang she An itu bicara dengan nada yang kalem tapi sekaligus menyakitkan hati. Dan ucapannya itu disambung oleh rekannya yang bernama Han Toan itu, “Dan tentang calon menantumu yang tampan luar biasa itu, tidak usah kau harap bantuannya lagi. Ia tampan tetapi tolol. Ketika ia berada di kebun belakang, ia dengan mudah telah dapat dipancing keluar oleh Hu-Tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) kami. Dan saat ini entah bagaimana nasibnya di bawah golok Tong-cu dan Hu-Tong-cu kami itu.”

Disambung lagi oleh Song Kim, “Dan sepeninggalmu nanti, tidak usah kuatir tentang puterimu. Aku berjanji sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik.”

Serentak kelima orang Hwe-liong-pang tertawa terbahak-bahak, dan si burikan Cong Yo menimbrung dengan suaranya yang seperti gembreng pecah itu, “Ha-ha-ha, mana ada suami yang baik hendak menggorok leher mertuanya?”

Senda-gurau orang-orang Hwe-liong-pang itu benar-benar telah membuat Cian Sin-wi meledak kemarahannya dan kehilangan pengendalian dirinya. Ia menyadari bahwa tenaganya terbatas untuk menghadapi lima orang lawan yang tangguh-tangguh semuanya itu, namun tak ada rasa gentar setitikpun di dalam hatinya. Bentaknya geram, “Aku robek mulut kalian, anjing-anjing kotor!”

Melihat bahwa Cian Sin-wi telah mulai bergerak, kelima orang lawannya pun segera berlompatan memencar diri sambil menyiapkan diri mereka masing-masing. Mereka mengambil sikap mengurung dan siap untuk mengeroyok, dan agaknya dalam urusan keroyokan ini mereka sudah biasa melakukannya.

Yang membuka pertempuran lebih dulu ternyata adalah Han Toan. Toya ce-bi-kun nya yang terbuat dari perunggu itu segera disodokkan ke ulu hati Cian Sin-wi. Di bawah cahaya rembulan yang gemilang, nampaklah toya Han Toan itu bergerak meluncur bagaikan seekor naga berwarna kuning yang menerkam mangsanya.

Cian Sin-wi memperhitungkan bahwa tenaga tuanya harus dihemat dalam menghadapi lima orang lawan yang semuanya lebih muda daripadanya itu. Ia tidak menangkis serangan Han Toan itu, tapi justru mengelak dan menyerongkan badannya ke depan untuk memancing pertempuran jarak sedang yang menguntungkan bagi sepasang senjatanya. Kaitan yang kiri mengait pergelangan tangan Han Toan, sedang yang kanan mengait tenggorokan lawan.

Ternyata pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu mampu bergerak lebih cepat dari lawannya, dan itu cukup mengejutkan Han Toan. Cepat Han Toan menarik toyanya dan diputar kencang di depan tubuhnya sambil melangkah mundur. Tapi toyanya sempat tergetar juga, ketika berbenturan dengan hau-thau- kau nya Cian Sin-wi.

Meskipun Cian Sin-wi sedapat-dapatnya menghindari adu tenaga untuk menghemat tenaga, tapi jika terpaksa terjadi juga benturan senjata, tenaga jago tua she Cian itu masih harus diperhitungkan oleh lawan-lawannya yang muda-muda itu. Hau-thau-kau memang termasuk jenis senjata yang bertenaga besar saja yang berani menggunakannya.

An Siau-lun yang jangkung itu segera turun tangan setelah melihat Han Toan mulai terdesak. Sambil diiringi bentakan keras, ia langsung mengayunkan goloknya dalam gerakan Tok-pek-hoa-san (Lengan Tunggal Membelah Hoa-san), diarahkan ke batok kepala Cian Sin-wi. Dengan badannya yang jangkung itu, kedudukannya agak lebih menguntungkan dirinya.

Si kembar dari Shoa-tang pun tidak mau ketinggalan membuat jasa bagi perserikatannya. Membarengi gerakan An Siau-lun, mereka pun menubruk Cian Sin-wi dari kiri dan kanan, sambil melancarkan Pukulan Pasir Besi yang dahsyat itu.

Sekilas Cian Sin-wi dapat melihat bahwa telapak tangan kedua saudara kembar she Cong itu berterotol hitam, menandakan bahwa latihan Thi-sah-ciang mereka sudah mencapai taraf yang patut diperhitungkan. Kini Cian Sin-wi dipaksa mengambil sikap bertahan saja oleh lawan-lawannya.

Agaknya tanpa ikutnya Song Kim dan Han Toan dalam pertempuran itu, sudah cukup untuk mengatasi pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Cukup dengan An Siau-lun dan kedua saudara kembar she Cong itu. Permainan golok tunggal An Siau-lun cukup baik. Gerakan- gerakan goloknya bergaya bagaikan seekor naga murka yang mengamuk di tengah samudera, hebat dan keras.

Tetapi sepasang kaitan Cian Sin-wi dapat mengimbanginya seperti kuku-kuku seekor garuda raksasa yang tak kalah ganasnya, yang menyambar-nyambar dan siap merobek-robek tubuh lawannya. Begitu pula si kembar she Cong dengan gerakannya yang selincah kijang dengan pukulan-pukulannya yang keras itu, juga merupakan lawan yang tidak bisa diabaikan. Dengan pukulan telapak tangan mereka, setumpuk batu bata pun bisa dihancurkan hanya dengan sekali pukul.

Maka cukuplah jika salah satu dari ke empat buah tangan si kembar itu mengenai tubuh Cian Sin-wi, maka jalannya pertempuran bisa berubah. Namun si kembar itu harus waspada pula, sebab kadang-kadang sambaran senjata Cian Sin-wi terasa begitu dekat dengan kulit mereka.

Dalam pada itu, Song Kim dan Han Toan juga tidak ingin menjadi penonton saja. Song Kiim nampak berbisik-bisik di telinga Han Toan, dan kepala Han Toan pun terangguk-angguk setuju. Justru ketika pertempuran antara Cian Sin-wi melawan tiga orang lawan itu meningkat semakin seru, maka Song Kim dan Han Toan menggunakan kesempatan itu untuk masuk ke bagian dalam gedung besar itu.

“Hai!” Cian Sin-wi berteriak kaget melihat tindakan tak terduga dari kedua orang itu. Namun Cian Sin-wi tidak mampu mencegahnya, sebab ketiga lawannya itu benar-benar telah mengikatnya dalam sebuah lingkaran perkelahian yang memerlukan perhatian sepenuhnya.

An Siau-lun yang licik itu segera melihat adanya suatu kesempatan untuk mengganggu pemusatan pikiran lawannya, “Biarkan kedua kawan kami itu masuk untuk mengurus anak perempuanmu yang telah membuat Song Kim tergila-gila itu. Sedangkan kau si tua bangka ini agaknya nasibnya sudah akan kami tentukan di sini dan pada malam ini juga.”

Perang mulut yang dilancarkan oleh An Siau-lun itu memang membuahkan hasil. Kegelisahan mulai menyelinap di hati Cian Sin-wi memikirkan nasib puterinya, dan itu membuat permainan silat Cian Sin-wi jadi agak kacau dan kurang cermat. Sebaliknya orang-orang Hwe-liong-pang itu semakin gencar menekannya dengan serangan-serangan beruntun.

Perlahan-lahan tapi pasti, Cian Sin-wi semakin tersudut ke dalam keadaan yang semakin sulit. Namun ketiga orang lawannya pun tidak dapat dengan segera berlega hati, sebab jago tua itu masih memberikan perlawanan yang gigih luar biasa.

“Benar-benar hebat setan tua ini,” Cong Yo menggerutu di dalam hatinya. “Tapi segigih-gigihnya dia, ia sudah terlalu tua, dan sebentar lagi ia akan kehabisan napas dan mampus.”

* * * * * * *

TONG WI-HONG terus mengejar orang berpakaian Su-coan itu dengan gigihnya, dan akhirnya dilihatnya orang Su-coan itu meluncur dan menghilang ke dalam sebuah kuil rusak yang sudah tak terpakai, yang letaknya di luar kota Tay-beng. Sejenak lamanya Wi-hong berdiri di depan kuil rusak itu untuk mendengarkan suara-suara dari dalam kuil itu, ternyata sunyi tak terdengar suara apapun.”

Tanpa dapat menahan hati lagi, Wi-hong segera menendang pintu kuil itu dan menerjang masuk ke dalam. Halaman kuil rusak itu ternyata begitu kotor dan ditumbuhi rumput-rumput ilalang setinggi perut manusia. Patung-patung yang dipuja di tempat itupun sudah rusak semua dan berlapis debu tebal, sedang meja sembahyangnya pun sudah miring dan lapuk dimakan rayap. Keadaan kuil itu sunyi-sunyi saja.”

Orang Su-coan yang diburu Wi-hong tadi ternyata lenyap begitu saja tanpa jejak seolah-olah ditelan bumi. Tengah Wi-hong nengok kian-kemari mencari jejak buruannya, tiba-tiba dari balik sebuah patung terdengarlah sebuah tertawa yang seram. Lalu muncullah seorang lelaki berpakaian katun warna abu-abu, bersepatu rumput dan berikat kepala putih. Orang ini pun berpakaian daerah Su-coan tetapi jelas bukan orang yang diburu oleh Wi-hong pertama kali tadi.”

Melihat Tong Wi-hong, orang ini melangkah maju sambil berkata, “Selamat bertemu, Tong Siau-hiap (Pendekar Muda she Tong), maafkan penyambutanku yang agak terlambat ini.””

Meskipun dengan agak was-was, Wi-hong terpaksa membalas juga hormat orang itu, dan balas menyapa juga, “Harap Saudara memaafkan kepicikanku. Saudara mengenal namaku, tetapi selama ini aku merasa belum pernah mengenal saudara.””

Orang itu kembali memperdengarkan suara tertawanya yang seram, katanya, “Kalau Tong Siau-hiap ingin mengenal diriku, baiklah kuperkenalkan diriku. Aku dari marga Au-yang dan bernama Siau-hui. Kedudukanku di dalam Hwe-liong-pang adalah Jing-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hijau).””

Berdesirlah jantung Wi-hong mendengar nama itu. Nama itu cukup disegani di Su-coan dan daerah-daerah sekitarnya. Cepat Wi-hong berkata dan menjura, “Oh, kiranya saudara ini adalah Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang Di Atas Padang Rumput) yang termasyhur itu. Tak kusangka saudara sekarang sudah menjadi Jing-ki-tong-cu dalam Hwe-liong- pang. Hemm.””

Saat itu sebenarnya hati Wi-hong sudah mulai merasa tidak tenteram. Beberapa tahun yang lalu, ia memang pernah mendengar nama Au-yang Siau-hui sebagai seorang jagoan di daerah Su-coan, yang namanya sejajar dengan nama mendiang ayahnya atau nama Cian Sin-wi, meskipun kabarnya Au-yang Siau-hui ini masih cukup muda. Sayang bahwa tokoh muda berbakat itu merupakan tokoh golongan hitam.”

Dan kini, bertemu dengan tokoh muda golongan hitam di tempat yang sesunyi dan seseram itu benar-benar bukan hal yang menggembirakan. Apalagi kalau Wi-hong ingat bahwa kedatangannya ke tempat itu adalah karena ia dipancing meninggalkan rumah Cian Sin-wi. Dan entah bagaimana keadaannya sekarang rumah yang ditinggalkannya itu.”

Dengan menahan diri agar tetap bersikap sopan, Wi-hong bertanya, “Malam ini mataku benar-benar terbuka karena telah berhasil bertemu seorang tokoh muda terkenal dari Su-coan. Tetapi aku minta maaf, aku ingin bertanya entah apa maksud saudara Au-yang menyuruh orang untuk memancingku ke tempat ini. Aku tidak punya banyak waktu, harap saudara terangkan dengan sejelas-jelasnya.”

Au-yang Siau-hui menyeringai seram dan menyahut, “Rupanya kau sudah sadar bahwa kau dipancing. Tetapi jika kesadaranmu itu baru muncul di tempat ini, maka tampaknya kau benar-benar sudah terlambat. Heh-heh-heh....””

Tiba-tiba Wi-hong menangkap ada suara gemerisik di belakang tubuhnya, dan ketika ia membalik badan, maka dilihatnya orang Su-coan yang dikejarnya tadi kini sudah berdiri menutup jalan mundurnya. Tangan orang itu memegang sebuah golok berbentuk bulan sabit yang tajam berkilat-kilat.”

Sekali lagi Au-yang Siau-hui tertawa dan memperkenalkan orang itu kepada Wi-hong, “Orang yang di belakangmu itu adalah adik misanku yang bernama Au-yang Siau-pa. Kedudukannya di dalam Hwe-liong-pang cuma setingkat di bawahku, yaitu sebagai Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Panji Hijau)."

Diam-diam Wi-hong mengeluh di dalam hatinya. Menghadapi kedua orang kakak beradik sepupu itu, jelas kedudukannya cukup genting. Tadi ketika ia meninggalkan rumah Cian Sin-wi, karena begitu tergesa-gesanya ia telah lupa membawa pedangnya. Untung diapun pernah memperdalam ilmu tangan kosong pula, meskipun tak semahir ilmu pedangnya, sehingga Wi-hong pun mempersiapkan dirinya seadanya.”

Au-yang Siau-hui telah berkata lagi, “Tong Siau-hiap tidak perlu gelisah dan putus harapan dalam menghadapi kami. Hwe-liong-pang kami selalu membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang muda berbakat, untuk ikut ambil bagian dalam gerakan besar kami. Dalam kesempatan ini aku tawarkan kepadamu suatu kesempatan untuk meraih kejayaan dan kemuliaan di kemudian hari, yaitu berjuang lewat Hwe-liong-pang. Jika kau menolak, hem, kau akan...”

Wi-hong yang sangat menguatirkan keselamatan seisi rumah Cian Sin-wi itupun segera menukas dengan cepat, “Jika aku menolak kalian akan membunuhku bukan? Hemm, tetapi aku justru tidak yakin kalian akan mampu melukai kulitku, sekalipun hanya seujung rambut.”

Berubah beringaslah wajah Au-yang Siau-hui mendengar ucapan Wi-hong itu. Bahkan adik sepupunya, Au-yang Siau-pa lebih tidak sabaran lagi. Maka tanpa banyak bicara lagi ia segera mengirim sebuah bacokan kilat ke punggung Wi-hong sambil membentak keras.”

Mendengar desir angin di belakangnya, cepat Wi-hong memiringkan tubuhnya ke samping sambil melakukan sebuah tendangan ke belakang dengan gerakan menyapu lutut. Itulah jurus Liong-leng-sau-san (Naga Berputar Menyapu Gunung).”

Agaknya Au-yang Siau-pa agak memandang enteng lawannya, sehingga ia menjadi agak lengah. Ia terkejut sekali setelah melihat lawannya ternyata mampu menghindar dan membalas secepat itu. Tidak ampun lagi Jing-ki-hu-tong-cu dari Hwe- liong-pang itu tersapu lututnya dan jatuh bergulingan di lantai kuil yang berlumut itu.”

Au-yang Siau-hui berseru memuji, “Bagus sekali, kiranya ilmu tangan kosong Soat-san-pay juga cukup hebat!””

Bukan hanya mulutnya saja yang bekerja, tetapi Au-yang Siau-hui juga mulai menerjang ke depan dan melayangkan sebuah cengkeraman ke dada Wi-hong. Desir angin cengkeramannya ternyata membawa bau racun yang cukup keras, dan hal ini cukup menguatirkan Wi-hong.”

Meskipun Soat-san-pay adalah sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pedangnya, namun hal itu tidak berarti bahwa perguruan itu tidak mempunyai ilmu silat tangan kosong yang dapat diandalkan. Tiap orang dunia persilatan tentu tahu lihainya Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang) dari perguruan ini. Meskipun kehebatannya belum dapat disejajarkan dengan Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa) atau Lo-han-cap-pek-ciang (Delapan belas Pukulan Arhat) milik perguruan Siau-lim-pay.”

Namun Hui-soat-sin-ciang ini cukup disegani orang, terutama dikawasan barat. Ia dapat disejajarkan dengan Cui-sim-ciang (Pukulan Meremukkan Limpa) dari Jing-sia-pay, atau Kun-goan-kang (Pukulan Alam Semesta) dari Hoa-san-pay. Dan selama dua tahun di bawah gemblengan tokoh-tokoh Soat-san-pay, Wi-hong cukup mendalami ilmu tangan kosong perguruannya ini, meskipun sebagian besar waktunya disita untuk ilmu pedangnya.”

Demikianlah gambaran kemampuan yang dimiliki Wi-hong saat itu. Begitu pukulan Au-yang Siau-hui tiba di depan dadanya, secepat kilat Wi-hong meliuk ke samping. Dengan telapak tangannya ia menghantam sambungan siku tangan Au-yang Siau-hui, sementara siku tangan kiri Wi-hong menyodok ke jalan darah In-gi-hiat di perut lawan.”

Au-yang Siau-hui tidak berani meremehkan serangan balasan lawan yang kelihatannya hanya melayang ringan tak bertenaga itu, sebab memang begitulah gaya khas dari ilmu silat Hui-soat-sin-ciang. Meskipun kelihatan ringan, tapi jika mengenai lawan akan mengakibatkan persendian lawan tergetar lepas dan otot-ototnya pun akan putus, karena serangan itu mengandung tenaga tersembunyi.”

Maka dengan cepat Au-yang Siau-hui menarik cengkeramannya dan mengganti serangannya dengan sebuah tendangan tinggi ke dagu lawannya. Gesit seperti kera dan licin seperti belut, begitulah kira-kira gerak-gerik Tong Wi-hong dalam pertempuran itu. Tendangan Au-yang Siau-hui dapat dihindarinya, dan sambil melejit maju ia membalas dengan membabatkan telapak tangannya ke leher lawan.”

Tukar menukar serangan berlangsung secara kilat antara kedua orang itu. Sementara itu Au-yang Siau-pa yang baru saja mendapat pelajaran pahit dari Wi-hong itu kini telah bangun kembali. Setelah memungut kembali golok bulan sabitnya, ia langsung menerjunkan dirinya ke dalam kancah perkelahian, membantu kakak sepupunya.”

Demikianlah, di tengah malam buta dan bertempat di sebuah kuil rusak di pinggiran kota Tay-beng itu nampaklah tiga sosok bayangan berkelebat saling menyambar dengan tangkasnya. Rumput ilalang setinggi perut yang memenuhi halaman kuil itu kini telah hampir rata semua karena terinjak-injak oleh kaki ketiga orang yang bertempur itu. Kadang-kadang serangan mereka menyasar ke patung-patung atau perabotan- perabotan lainnya, sehingga keadaan kuil yang sudah berantakan itupun menjadi semakin berantakan lagi.”

Ketiga orang yang menyabung nyawa itu telah mengerahkan kepandaiannya masing-masing sampai ke puncaknya, mengerahkan pula seluruh semangat untuk memenangkan perkelahian. Silih berganti nampak jurus-jurus cengkeraman yang ganas, sabetan-sabetan telapak tangan yang terarah dan keras, jotosan atau tendangan yang secepat kilat, diselingi sinar kilat dari sebatang golok berbentuk bulan sabit yang berkelabatan memancarkan hawa kematian. Masing-masing pihak bernafsu sekali untuk menghancurkan lawan.”

Ketika pertarungan mati hidup itu bergeser ke dalam kuil, maka bagian dalam kuil itupun ikut tersapu porak poranda, bagaikan habis dilewati angin puyuh. Suatu ketika Au-yang Siau-hui melancarkan jurus Wan-hun-tau-giam-ong (Arwah Penasaran Menghadap Raja Neraka), Sepasang cakar tangannya itu mendadak bagaikan “terpecah” menjadi belasan pasang yang siap menerkam semua bagian tubuh lawannya.”

Begitu cepatnya, sehingga sulit diketahui mana serangan asli dan mana yang palsu, semuanya nampak seperti bayangan saja. Dengan jurus mautnya ini, entah sudah berapa banyak lawan yang menyerahkan nyawanya kepada Jing-ki-tong-cu ini. Dari lain jurusan, Au-yang Siau-pa menggerakkan golok bulan sabitnya bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Dengan demikian Au-yang Siau-pa bermaksud menutup jalan mundur bagi Wi-hong.”

Tetapi tidak sia-sialah selama ini Wi-hong ditempa di Soat- san. Dalam saat yang sangat genting dan tidak banyak kesempatan untuk berpikir itu, Wi-hong masih sempat menyedot napas dan mengerahkan seluruh kekuatan ke kaki dan pinggangnya untuk melompat ke atas. Tubuhnya seakan berubah menjadi seringan asap dan tahu-tahu melayang ke atas. Maka loloslah ia dari gabungan serangan kakak beradik sepupu itu.”

Kedua orang lawannya itu terkejut sekali melihat kenyataan yang tak pernah terlintas di benak mereka itu. Mereka hampir- hampir tidak percaya bahwa di muka bumi ini ternyata ada juga orang yang bisa lolos dari gabungan serangan mereka, apalagi kalau orang itu hanya seorang pemuda yang baru saja turun gunung dan sama sekali belum terkenal di dunia persilatan itu. Untuk sesaat kakak beradik sepupu itu berdiri terpaku tercengang.”

Mereka tidak tahu bahwa Wi-hong sendiri sudah mandi keringat dingin. Wi-hong sadar sesadar-sadarnya bahwa ia lolos karena unsur keberuntungan, boleh dikatakan bahwa nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum. Jika ia tadi terlambat sepersekian detik saja, pasti saat ini dadanya sudah berlubang oleh jari-jari tangan Au-yang Siau-hui sedangkan punggungnya mungkin sudah terbelah oleh golok Au-yang Siau-pa.”

Tapi Wi-hong cukup dapat berpikir cepat, ia harus segera menerjang kembali untuk lebih mendapatkan keuntungan penyerangan. Begitu kakinya menyentuh tanah, maka tubuhnya telah melambung kembali, dan dengan telapak tangan miring ia sekuat tenaga melepaskan sebuah hantaman ke ubun-ubun Au-yang Siau-pa.”

Au-yang Siau-pa yang belum sempat memperbaiki kedudukan tubuhnya, terpaksa harus bergulingan ke samping untuk menghindari pukulan itu. Pukulan Wi-hong pun menyasar ke sebuah meja sembahyang yang tebal. Dan begitu terkena hantaman itu, seketika ujung meja itu semplak menjadi serpihan-serpihan kayu-kayu halus. Demikianlah ampuhnya pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay itu.”

Sekali lagi kakak beradik sepupu she Au-yang itu terkesiap melihat kehebatan Wi-hong. Ternyata anak muda she Tong itu lain sekali dengan seperti yang digambarkan oleh Song Kim. Song Kim pernah mengatakan kepada Au-yang bersaudraa itu bahwa Wi-hong hanyalah seorang “kutu buku” yang menangkap ayam pun tidak bisa, cengeng, banci dan sebagainya. Tetapi ternyata kini Au-yang bersaudara itu cukup kerepotan menghadapi pemuda yang dikabarkan sebagai kutu buku ini.

Tanpa membuang waktu sedetikpun, Wi-hong kembali telah melompat memburu Au-yang Siau-pa yang masih bergulingan di lantai itu. begitu Au-yang Siau-pa melompat berdiri, mak Wi-hong pun langsung menyambutnya dengan tendangan kaki kirinya. Au-yang Siau-pa terkejut dan kelabakan mendapat serangan secepat itu, untuk menghindar atau mengambil goloknya sudah tak sempat lagi.

Satu-satunya jalan yang bisa dilakukannya hanyalah berusaha mengurangi tenaga dorongan tendangan lawan dengan jalan mengempiskan perutnya ke dalam. Walaupun begitu, toh tendangan Wi-hong itu tetap membuat isi perut Au-yang Siau-pa bagaikan jungkir balik. Sambil menyeringai menahan rasa mulas dan mualnya, Au-yang Siau-pa mencoba membuat jarak dengan lawannya.

Tujuan Wi-hong memang mencecar Au-yang Siau-pa yang kepandaiannya lebih lemah dari kakak sepupunya itu, kalau si adik sudah dibereskan, maka akan dapat menghadapi kakaknya dengan lebih terpusat perhatiannya. Ia tidak akan membiarkan kakak beradik sepupu itu bergabung kembali, sebab telah terbukti kerjasama mereka ternyata sangat berbahaya.

Maka begitu melihat Au-yang Siau-pa mundur, Wi-hong justru mendesak maju. Kali ini sambil melompat dan sepasang kakinya bagaikan baling-baling yang berputar di udara, melancarkan tendangan Hoan-lui-tui (Tendangan Halilintar Berputar). Tendangan kali ini nampaknya akan cukup untuk mengirim Au-yang Siau-pa ke akherat.

Sekali lagi Au-yang Siau-pa dipaksa mengotori pakaiannya sendiri dengan bergulingan di lantai berlumut. Tak urung ikat kepalanya masih sempat juga tersambar oleh kaki Wi-hong, sehingga terlempar lepas. Tendangan susulan Wi-hong yang tidak berhasil mengenai sasaran itu kini mengenai patung besar yang terbuat dari tanah liat, yang langsung menghancurkan patung itu.

Seketika itu debu tebal mengepul memenuhi ruangan itu. Untuk sementara serang menyerang jadi terhenti sejenak, karena masing-masing tidak dapat melihat lawannya, karena penglihatan mereka terhalang oleh debu tebal itu. Begitu debu mulai menipis, Au-yang Siau-hui tidak membiarkan adik sepupunya dijadikan bulan-bulanan lagi. Dengan jari-jarinya yang runcing dan kuat itu segera menyerang lebih dulu, mencengkeram tengkuk Wi-hong dari belakang.

Tapi Wi-hong sudah merasa ada serangan di belakangnya dan dapat menghindarinya. Jari-jari Au-yang Siau-hui itupun menancap di tembok. Demikianlah ketiga orang itu telah mulai pertempurannya kembali. Namun kini kelihatanlah bahwa keseimbangan pertempuran itu sudah tidak seperti tadi lagi, Tong Wi-hong tampak agak unggul. Hal ini disebabkan karena Au-yang Siau-pa sudah tidak dapat bertempur sepenuh hati lagi, perutnya masih saja terasa terganggu oleh perasaan mulas akibat tendangan Wi-hong tadi.

Selain itu, semangat tempurnya pun sudah susut beberapa bagian. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa Wi-hong akan dapat memenangkan pertempuran dengan mudah, sebab ketangguhan Au-yang Siau-hui sebagai tokoh yang berjuluk Co-sing-hui-mo ternyata memang tidak mengecewakan. Lagi pula jabatan Jing-ki-tong-cu itu tidak akan diberikan kepada seseorang yang berkepandaian lemah.

Sejalan dengan pertempuran yang semakin seru antara Wi-hong dengan orang-orang Hwe-liong-pang di kuil rusak di pinggiran Tay-beng itu, maka di gedung pusat Tiong-gi Piau-hang yang terletak di tengah kota itupun juga sedang berlangsung suatu pertempuran yang tidak kalah hebatnya. Di tempat itu, pemimpin Tiong-gi Piau-hang, Cian Sin-wi yang disegani kaum liok-lim itu kini dipaksa untuk memeras keringatnya dalam menghadapi keroyokan tiga orang lawan tangguh.

Sebaliknya ketiga orang Hwe-liong-pang yang menjadi lawannya pun itu juga merasa bagaimana mereka bertiga bagaikan membentur tembok baja. Mereka sama sekali tidak menduga kalau dalam usia yang mendekati 60 tahun, ternyata kemampuan jasmani Cian Sin-wi masih sehebat itu.

Meskipun bajunya telah melekat di kulit karena basah oleh keringat, gerak-gerik Cian Sin-wi tidak nampak kendor sedikitpun. Sepasang kaitan kepala-harimau masih bergerak dengan cepat, keras dan terarah, menyerang dan bertahan dengan baiknya, dan bahkan belum terdengar orang tua she Cian itu bernapas memburu.

“Tua bangka gila ini benar-benar bernapas kuda,” geram An Siau-lun di dalam hatinya. “Nama besarnya sebagai tokoh yang ditakuti kalangan liok-lim ternyata bukan nama kosong belaka.”

Di pihak lain, Cian Sin-wi pun mengeluh dalam hatinya, “Jika aku tidak dapat menyelesaikan lawan-lawanku dengan cepat, maka akulah yang akan kehabisan napas lebih dulu. Napas tuaku tentu tidak bisa menandingi napas setan-setan kecil ini.”

Ternyata pertarungan tiga lawan satu itu benar-benar pertarungan yang seimbang, tidak ada satu pihak yang merasa punya kesempatan melebihi pihak lainnya. Semuanya hanya tergantung kecermatan dan kehati-hatian, sebab sekali salah langkah agaknya akan sukar diperbaiki lagi.

Tetapi masih ada satu kelebihan Cian Sin-wi, yaitu bahwa dia jauh lebih kaya dalam soal pengalaman bertempur dibandingkan ketiga lawannya. Bahkan dua pertiga dari umur Cian Sin-wi dilewatinya dengan menjelajah ke berbagai daerah untuk mengawal barang, pada saat ia masih muda dan sering mengikuti ayahnya yang waktu itu masih memimpin Tiong-gi Piau-hang.

Dengan segala pengalaman dan ketajaman perhitugnannya, Cian Sin-wi perlahan-lahan dapat melihat bahwa An Siau-lun merupakan titik terlemah dari pengepungan orang-orang Hwe-liong-pang itu. Beberapa kali dilihatnya An Siau-lun sangat tergantung kepada si kembar Cong Yo dan Cong Hun dalam usaha penyelamatan diri. Karena itu, dengan bekal segudang pengalamannya, Cian Sin-wi mulai berusaha menekan An Siau-lun secara tersendiri dan berusaha memisahkannya dari kerjasama dengan kedua kawannya.

Pada suatu ketika Cian Sin-wi melihat kesempatan itu. Kaitan kanannya cepat berputar melintang dengan gerakan Hoan- kang-to-hay (Membalik Sungai Mengaduk Lautan) yang berhasil memaksa si kembar dari Shoa-tang itu berlompatan mundur dengan gugupnya.

Dan sebelum sempat terjadi pergantian napas bagi lawan-lawannya, kaitan kiri Cian Sin-wi telah menyerang An Siau-lun dengan gerak Kong-jiok-kay-peng (Merak Membuka Sayap). Dua jurus yang berbeda dilancarkan serempak dengan tangan kiri dan kanan secara serasi sekali, hal mana cukup membuktikan kelihaian pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.

Cepat An Siau-lun mengibaskan goloknya untuk menangkis serangan itu, namun alangkah terkejutnya orang she An itu ketika tiba-tiba saja goloknya telah terkait dan terkunci oleh senjata lawan. Bahkan kemudian An Siau-lun merasakan suatu tenaga yang luar biasa kuatnya telah menariknya. Secara mati-matian An Siau-lun mengerahkan tenaga dan memperkuat kuda-kudanya agar jangan sampai goloknya lepas dari tangannya.

Tetapi meskipun umur Cian Sin-wi sudah hampir enam puluh tahun, tenaganya tetap terlatih dengan baik, sebab setiap harinya ia tidak pernah lupa berlatih dengan ciok-so (Gembok Batu) yang diayun-ayunkannya sampai ratusan kali setiap kali latihan. Bukan saja tangan An Siau-lun sampai tergetar dan telapak tangannya pecah berdarah, bahkan kuda-kudanya pun mulai goyah, dan tubuhnya mulai mencondong ke depan.

Cong Yo melihat kesulitan yang menimpa rekannya itu dan berusaha menolongnya. Ia mencoba menendang pergelangan tangan Cian Sin-wi yang kiri, tetapi kaitan kanan Cian Sin- wilah yang menyambutnya dengan “hangat”, sehingga Cong Yo terpaksa melompat mundur sambil melontarkan segudang sumpah serapah.

Saat itu nasib An Siau-lun ibarat telur di ujung tanduk. Cian Sin-wi hanya tinggal mengerahkan tenaga untuk menarik lawannya dan kemudian merobek perut lawan dengan kaitan yang satu lagi. Namun kemudian terjadi perubahan yang kurang menguntungkannya. Mendadak dilihatnya Song Kim telah keluar kembali dari dalam gedung, dengan memondong tubuh Cian Ping yang agaknya pingsan, sedangkan Han Toan mengikuti di belakangnya.

Menemui kejadian macam itu maka Cian Sin-wi pun tidak dapat menguasai gejolak hatinya lagi. Pengerahan tenaganya pun menjadi kendor. Perkembangan itu tidak lepas dari pengamatan lawan-lawannya, terutama si penjahat kembar dari Shoa-tang itu.

Setelah kedua saudara Cong itu saling mengedipkan matanya sebagai isyarat, maka keduanya pun serentak menyerang maju. Yang satu menghantam lengan kiri Cian Sin-wi yang tengah mengait golok An Siau-lun, sedang yang lainnya menyerang lambung kanan Cian Sin-wi.

Betapapun lihainya Cian Sin-wi, tapi ia tidak dapat bertahan dalam keadaan pikiran sekacau itu. Lengan kirinya tergempur keras dan sepasang senjatanya pun terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke tanah. An Siau-lun menyeringai bagaikan iblis haus darah. Sekuat tenaga ia menyentakkan goloknya agar lepas dari kuncian lawan, dan sekuat tenaga pula ia mendorongkan goloknya ke depan.

Di saat yang sangat membahayakan keselamatannya itu ternyata Cian Sin-wi masih dapat memperlihatkan ketangkasannya dan kelemasan tubuhnya, dengan jalan melakukan gerakan penyelamatan Thi-pan-kio, di mana tubuhnya melengkung ke belakang dengan punggung hampir menyentuh tanah. Tetapi gerak penyelamatan itu rupanya tidak berhasil untuk menanggulangi serbuan berikutnya.

Pada saat Cian Sin-wi sedang menggeliatkan punggungnya dan berusaha untuk bangkit kembali, maka empat buah tinju besi dari si kembar she Cong telah menghantam dadanya secara serempak. Latihan Pukulan Pasir Besi dari kedua saudara kembar ini sudah cukup lihai, maka gempuran kedua pasang tangan mereka secara serempak itu telah berakibat hebat bagi Cian Sin-wi. Orang tua she Cian itu terpelanting ke belakang bagaikan daun dihembus angin, sedangkan mulutnya menyemburkan segumpal darah segar.

An Siau-lun agaknya masih merasa mendongkol karena tadi nyawanya hampir saja terbang oleh tangan pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu. Kini tibalah kesempatan untuk melampiaskan kedongkolannya itu. Dia tidak mengalami banyak kesulitan untuk menghunjamkan goloknya ke perut Cian Sin-wi yang tengah terbungkuk-bungkuk itu, bahkan golok itu menembus langsung sampai ke punggung piau-su tua itu. Cong Yo dan Cong Hun serempak telah mengangkat kakinya untuk menginjak tubuh Cian Sin-wi dan menghancur-leburkan tulangnya, tetapi Song Kim telah berteriak mencegah,

“Tahan!” Sambil tetap memondong tubuh Cian Ping yang dalam keadaan lemas tertotok itu, Song Kim mendekati tubuh gurunya yang menggeletak bermandikan darah itu. Tak terasa timbul juga keharuan hati Song Kim melihat keadaan Cian Sin-wi. Betapapun juga Song Kim masih belum bisa melupakan budi baik bekas gurunya yang telah merawat, membesarkannya dan mendidiknya selama bertahun-tahun itu.

Song Kim menarik napas, katanya dengan menyesal, “Bukan kesalahanku jika kau sampai mengalami nasib seburuk ini. Aku sudah menawarkan suatu jalan yang bisa menuju ke kemuliaan dan kejayaan kepadamu, karena mengingat budimu kepadaku, tetapi kau sendiri yang berkeras kepala dan memilih nasib burukmu ini.”

Pandangan mata Cian Sin-wi semakin kabur karena kehabisan darah, tetapi dari sela-sela kabut yang menutup matanya itu ia masih bisa memandang murid yang pernah disayanginya sepenuh hati itu. Tetapi orang tua itu sudah tidak dapat berbuat apapun lagi, bahkan ingin membuka mulut untuk memaki dan mengutuk pun sudah tak mampu lagi. Dan entah bagaimana perasaan Cian Sin-wi ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang itu pergi meninggalkannya begitu saja, dengan membawa puteri tunggalnya!

Kini tempat itu telah menjadi sunyi kembali. Pemimpin Piau-hang yang pernah malang-melintang di seluruh Kang-pak itu, kini terkapar berkubang darahnya sendiri. Namun ternyata orang tua itu masih sempat berbuat sesuatu sebelum ajalnya. Dengan menggunakan jari-jari tangannya sebagai pena, dan darahnya sendiri sebagai tinta, ia masih sempat membuat huruf di lantai. Setelah itu kepalanya terkulai, dan itulah ujung hidupnya.

Segumpal awan yang kelabu melintas di depan bulan yang suram, seperti sehelai saputangan yang mengusap air mata sang dewi malam. Betapa jaya dan perkasanya seseorang, akhirnya toh kematian adalah bagian yang tak dapat ditolaknya.

* * * * * * *

Sementara itu, di kuil kosong yang terletak di pinggiran kota Tay-beng itu, Tong Wi-hong masih saja berkutetan seru melawan dua orang lawan yang tangguh, yaitu Jing-ki-tong-cu dan Jing-ki-hu-tong-cu dari Hwe-liong-pang. Tindak tanduk Wi-hong nampak semakin keras dan tak terkendali lagi, karena agaknya kemarahan sudah mulai menguasai perasaan anak muda lagi. Pukulan-pukulan maut dan tendangan-tendangan geledeknya terus diberondongkan keluar tanpa ampun.

Di pihak lain Co-siang-hui-mo Au-yang Siau-hui mulai merasa ganasnya lawannya itu. Meskipun ia telah dibantu oleh adik misannya yang sekaligus wakilnya itu, tapi keadaan adiknya itupun tidak lebih baik dari dirinya sendiri. Napas Au-yang Siau-hui mulai kepayahan. Cengkeraman maut yang diandalkannya itu ternyata masih belum mampu mengatasi kelincahan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay.

Yang lebih payah lagi adalah keadaan adik misannya, Au-yang Siau-pa. Tendangan Wi-hong yang tadi itu ternyata sempat melukai bagian dalam perutnya, dan luka dalam itu makin lama terasa makin mengganggu. Gerakan golok bulan sabitnya tidak secepat dan seganas semula. Bahkan kadang- kadang terlihat gerakan goloknya hanya melayang begitu saja tanpa kekuatan, atau hampir lepas dari tangannya....

Selanjutnya;