Perserikatan Naga Api Jilid 13Karya : Stevanus S.P |
“Ah, memang akulah yang bersalah. Andaikata adik Ping sudah menikah, itupun bukan salahnya. Aku harus tetap bersikap sebagai kesatria, aku hanya ingin mohon maaf dan setelah itu tidak akan mengganggu kebahagiaan mereka.”
Tak terasa tibalah di depan gedung megah itu, gedung yang ditinggalkan dua tahun yang lalu itu. Dipandanginya dengan nanar panji-panji berwarna putih dan bersulam hati warna emas yang tengah melambai perkasa itu, seakan-akan sedang mengucapkan selamat datang kepadanya itu. Tong Wi-hong turun dari kudanya, tetapi ia masih ragu-ragu untuk segera melangkah masuk ke dalam gedung itu. Ia berdiri termangu-mangu di dekat arca singa yang menghiasi pintu gerbang. Entah bagaimana keadaan Cian Ping sekarang? Dua tahun bagi seorang lelaki memang bukan waktu yang lama, tetapi akan merupakan waktu yang menggelisahkan bagi seorang gadis yang senantiasa dibayangi umurnya. Cukup lama Wi-hong berdiri ragu-ragu di depan pintu gerbang. Tak terasa oleh Wi-hong, bahwa sepasang mata sedang menatapnya dari atas sebuah loteng rumah makan yang terletak berseberangan dengan gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Sepasang mata yang berapi-api dan penuh memancarkan dendam kesumat. Mata Song Kim!! Dua orang anak muda yang pernah berselisih karena memperebutkan cinta seorang gadis, dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula meninggalkan Tay-beng, dan sekarang mereka datang ke Tay-beng dalam waktu yang hampir bersamaan pula! Dan keduanya sudah membekal ilmu silat yang tinggi! Dari jendela loteng rumah makan itu Song Kim menatap Wi-hong yang tengah berdiri ragu-ragu di muka gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Tiba-tiba gigi Song Kim gemeretak hebat, dan geramnya dengan hati yang panas, “Bangsat kutu buku itu datang lagi! Tapi kali ini ia akan bernasib buruk jika berani merintangi kehendakku!” Ternyata Song Kim tidak duduk sendirian di rumah makan itu. Ada tiga orang lelaki lain yang duduk semeja dengannya. Dan ketiga teman semeja Song Kim itu terkejut ketika melihat perubahan muka Song Kim. Seorang yang hampir menyeruput pangsit kuahnya telah meletakkan kembali mangkuknya sambil bertanya, “He, kenapa kau mendadak kelihatan begitu marah, Song Kim? Apa yang kau lihat?” Song Kim menyahut tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Wi-hong, “Anak gila she Tong yang pernah kuceritakan kepada kalian itu.” Teman Song Kim yang berwajah licik, segera menyahut dengan nada seenaknya, “Oh, saingan cintamu itu? Bunuh saja, apa susahnya?” Jawab Song Kim, “Aku senang jika dia mampus. Tapi membunuhnya harus jangan sampai diketahui oleh gadis itu, sebab kukuatirkan ia bisa ikut-ikutan bunuh diri.” Lelaki pertama yang bermuka burikan dan yang satunya yang bermuka licik itu segera tertawa serempak. Kata si burikan, “Jika gadis itu sampai bunuh diri menyertai kematian bocah she Tong itu, berarti gadis itu benar-benar mencintai bocah she Tong itu dan sama sekali tidak ada tempat buatmu di hatinya, Song Kim. Kalau begitu buat apa kau merebutnya?” Geram Song Kim, “Aku tidak peduli gadis itu mencintaiku atau tidak, pokoknya aku mencintainya. Dan aku paksa agar ia melahirkan anak-anakku. Kalau sudah begitu, biarpun ia tidak mencintaiku pun ia akan terpaksa selalu mengikutiku.” Si burikan dan si muka licik serempak tertawa berderai. Hanya ada seorang teman semeja Song Kim yang sama sekali tidak ikut tertawa, bahkan ia begitu acuh tak acuh atas percakapan ketiga orang temannya. Orang ini adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh semampai, bermuka dingin tanpa perasaan, pandangan matanya tajam dan keras. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian daerah Su-coan, yaitu baju katun yang dirangkapi dengan rompi kulit, dilengkapi pula dengan ikat kepala putih khas orang Su-coan. Orang Su-coan ini agaknya punya pengaruh yang kuat atas diri ketiga orang lainnya. Terbukti begitu ia membuka suara, maka ketiga orang lainnya segera diam dan tidak berani tertawa-tawa lagi. Kata orang Su-coan ini, “Benar-benar menjemukan, kalian hanya membicarakan urusan perempuan tiap hari. Urusan perempuan adalah urusan kecil, sedangkan urusan Hwe-liong-pang kitalah yang merupakan urusan besar. Itulah yang harus diutamakan, dan sama sekali tidak boleh gagal.” Si muka burik lalu berkata kepada orang Su-coan itu dengan nada yang sangat sungkan, “Harap Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok) tidak menjadi salah paham. Tentu saja kami semua lebih mengutamakan tugas Pang di atas urusan pribadi kami sendiri. Niat Song Kim untuk merampas bekas pacarnya itupun hanya merupakan tugas sampingan saja, untuk pengobat kekecewaannya di masa lalu.” Orang berpakaian Su-coan itu lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan menyahut, “Baik, kalau hanya begitu saja aku tidak keberatan, asal harus mengingat agar jangan sampai kita mengalami akibat-akibat yang kurang enak. Harus kalian ketahui, bahwa Pang-cu (Ketua) kita saat ini sedang keluar dari cong-oh (markas pusat) dan sedang berkeliling di seluruh Tiong-goan untuk meninjau cara kerja kita. Jika kita sampai menunjukkan ketidak-becusan kita, kemungkinan nasib kita pun tidak akan berbeda jauh dengan nasib mendiang Thio Tong-cu (Kepala Kelompok Thio). Kalian tentu masih ingat cara kematiannya bukan?” Song Kim dan kawan-kawannya menjadi agak bergidik ketika mendengar cara kematian Thio Tong- cu diingatkan kembali. Masih terbayang dalam ingatan mereka, bagaimana Thio Tong-cu dipaksa menelan sebutir Racun Penghancur Tubuh oleh seseorang Su-cia she Tang, dengan disaksikan oleh segenap anak buah kelompok Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau), gara-gara berani mendebat Su-cia she Tang itu tentang garis perjuangan Hwe-liong-pang. Masih terbayang pula bagaimana tubuh Thio Tong-cu yang tegap itu dalam waktu sekejap telah meleleh dan membusuk, dan akhirnya tinggal sesosok tulang-tulang putih dan segumpal rambut yang mengerikan. Itulah contoh akibat kegagalan tugas dalam Hwe-liong-pang, hukuman yang tidak kenal ampun. Maka Song Kim dan kedua kawannya pun serempak mengucapkan kesanggupannya, diperdengarkan kepada orang Su-coan itu, “Kami akan bekerja sekuat tenaga demi kejayaan Hwe-liong-pang.” “Bagus!” kata orang Su-coan itu sambil menepuk meja. “Kalau kulaporkan kesungguhan hati kalian ini kepada Tong-cu (Kepala Kelompok), pasti kalian akan mendapat manfaat besar di kemudian hari.” “Terima kasih atas budi baik Hu Tong-cu,” kata Song Kim dan kedua kawannya bersahut-sahutan. Keempat orang itu lalu meneruskan makan minumnya. Meskipun Song Kim masih penasaran kepada Wi-hong, namun ia tidak berani lagi sembarangan bicara tentang Cian Ping lagi, karena takut menimbulkan kemarahan orang Su-coan yang dipanggil “hu-Tong-cu” itu. Sementara itu, dalam keragu-raguannya, Tong Wi-hong yang masih termangu-mangu di depan pintu gerbang itu telah didekati oleh seorang piau-su muda, yang lalu menyapanya dengan sikap hormat, “Selamat siang, saudara, adakah saudara mempunyai keperluan dengan Piau-hang kami?” Wi-hong membalas hormat piau-su muda itu, sahutnya, “Aku punya sedikit keperluan dengan Cian Cong-piau-thau pribadi. Dapatkah saudara menolongku dengan menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan beliau?” Sikap Wi-hong yang gagah tetapi halus dan sopan itu tak terasa telah menimbulkan rasa suka hati piau-su muda itu. Lebih dulu ia mempersilakan Wi-hong duduk di ruangan depan, lalu ia sendiri masuk untuk melaporkan kepada Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong memuji sikap para piau-su Tiong-gi Piau-hang, yang tidak kasar-kasar sebagaimana piau-su pada umumnya. Agaknya Cian Sin-wi mendidik anak buahnya untuk bersikap sopan dan hormat kepada siapapun yang berhubungan dengan Tiong-gi Piau- hang, dan inilah agaknya yang menjadi salah satu kunci kemajuan pesat yang dialami oleh perusahaan pengawalan itu. Cian Sin-wi sendiri tidak terkejut ketika salah seorang anak buahnya melaporkan tentang adanya seorang “tuan muda” yang ingin bertemu dengannya secara pribadi itu. Memang hampir setiap hari ia menerima tamu yang ingin bicara secara pribadi dengannya, urusannya kebanyakan menyangkut barang kawalan yang bersifat rahasia dan sangat penting. Tetapi begitu ia melangkahi pintu tengah dan melihat siapa orang yang tengah menunggunya itu, seketika terbelalaklah matanya. “Kau?!” serunya tertahan dengan suara yang bergetar. Melihat keadaan Cian Sin-wi saat itu, serasa runtuhlah hati Wi-hong. Orang tua penolongnya itu nampak jauh berbeda dengan dua tahun yang lalu, ketika ditinggalkannya. Meskipun sekarangpun masih kelihatan gagah, namun nampak agak kurus, dan semangat yang terpancar dari sepasang matanya pun tidak segairah dulu lagi. Dulu sebagian besar rambutnya masih hitam, tapi dalam waktu dua tahun ini sudah tidak nampak lagi rambut hitam di kepalanya sehelaipun. Alangkah terharunya Wi-hong melihat kemunduran yang dialami oleh Cian Sin-wi itu. Cepat ia menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan orang tua itu, katanya dengan tersendat, “Tong Wi-hong yang tidak berbudi datang bersujud untuk memohon ampun dan menilik kesehatan In-kong (tuan penolong) sekeluarga.” Sesaat Cian Sin-wi berdiri mematung dan membiarkan saja Wi-hong terus berlutut dihadapannya. Kepergian pemuda itu tanpa pamit pada dua tahun yang lalu itu bukan saja telah menyinggung perasaan Cian Sin-wi, tapi juga telah menimbulkan siksaan batin pada diri Cian Ping selama ini, dan membuat gadis itu hampir-hampir kehilangan semangat hidupnya sama sekali. Kini, melihat pemuda itu datang dan memohon ampun kepadanya, Cian Sin-wi tidak tahu apakah harus marah atau harus gembira. Setelah agak reda gejolak hati orang tua itu, akhirnya terdengarlah suara Cian Sin-wi yang berat sambil menarik napas, “Kau... kau masih ingat kepada kami?” Serasa remuk hati Wi-hong mendengar pertanyaan itu, jawabnya dalam keadaan masih berlutut, “Paman telah menyelamatkan jiwaku dari ancaman kematian para pembunuh bayaran itu, tetapi perbuatanku yang meninggalkan rumah ini tanpa pemberitahuan sungguh-sungguh merupakan perbuatan yang tidak kenal budi, perbuatan seorang yang berhati binatang. Kini aku datang untuk minta ampun dan menerima hukuman.” Luluh juga akhirnya hati Cian Sin-wi ketika melihat Wi-hong berani secara jujur mengakui kesalahannya, dan bahkan meratap memohon ampun kepadanya. Apalagi ketika dilihatnya dua titik air mata menetes dari pelupuk mata Wi-hong, jatuh bergulir di lantai di hadapannya. Akhirnya Cian Sin-wi menarik napas dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan hendak dibuangnya semua kenangan pahit masa lalu yang selama ini menindih perasaannya. Katanya, “Bangunlah, A-hong, mari kita masuk ke dalam.” Namun Wi-hong tidak bergeser sedikitpun dari sikap berlututnya, sahutnya dengan tegas, “Aku tidak akan bangkit dari berlututku sebelum menerima hukuman setimpal dari paman.” Mengembanglah senyuman lebar di bibir Cian Sin-wi itu, katanya, “Ah, kau masih begitu bandel dan keras kepala seperti dua tahun yang lalu. Tapi sikapmu memang tidak mengecewakan sebagai putera Kiang-se-tay-hiap Tong Tian almarhum. Bangunlah, tidak ada hukuman buatmu karena aku telah melupakan semuanya.” Kali ini Wi-hong tidak berkeras kepala lagi. Ia pun bangkit dari berlututnya, namun masih belum berani menengadahkan mukanya untuk menatap Cian Sin-wi, sampai dirasakannya tangan Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundaknya. Dan begitu Wi-hong menengadah, segera melihat wajah Cian Sin-wi seolah-olah telah pulih seperti dua tahun yang lalu. Bukan rambutnya menghitam kembali, tapi sinar matanya yang kelihatan bergairah kembali, begitu pula wajahnya nampak gembira dan suaranya hangat kembali. Kata Cian Sin-wi, “Ping-ji tentu akan gembira sekali melihatmu, maaf kalau aku bicara terlalu terbuka, Ping-ji sudah menceritakan semua perasaannya kepadaku, dan aku sebagai orang tua telah merestui pilihan anakku itu.” Hati Wi-hong tiba-tiba mengembang penuh kebahagiaan, namun wajahnya menjadi agak merah tersipu. Sahutnya, “Aku berdosa besar telah membuat paman dan adik Ping mengalami kedukaan selama ini. Aku berjanji tidak akan mensia-siakan harapan paman dan adik Ping.” Betapa longgar perasaan Cian Sin-wi setelah mendengar perkataan yang diucapkan Wi-hong dengan penuh kesungguhan itu. Masa depan anak gadisnya itu telah terbayang, mendapat sisihan seorang pemuda yang berpribadi baik dan berkepandaian tinggi pula. Sambil merangkul pundak Wi-hong, Cian Sin-wi melangkah ke dalam. Melihat keadaan rumah itu yang hampir tidak berbeda dengan dua tahun yang lalu itu, Wi-hong merasa terharu juga. Kenangannya melayang mundur ke suatu peristiwa dua tahun yang lalu. Waktu itu, ia juga sedang berjalan dengan Cian Sin- wi di tempat itu, ketika kemudian dari pintu samping halaman tengah itu muncullah seorang gadis manis yang dengan manjanya menyambut ayahnya. Dan ternyata kemudian nama dan wajah gadis itupun terpahat dalam-dalam di relung hatinya. Cian Sin-wi agaknya dapat menebak apa yang sedang direnungkan oleh Wi-hong itu. Sedangkan Wi-hong yang tidak dapat lagi menahan desakan kerinduannya itu, akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya kepada Cian Sin-wi, “Paman, di manakah adik Ping?” “Sebentar lagi kau akan menemuinya,” sahut sang paman sambil tersenyum penuh pengertian. “Biasanya ia ada di taman belakang pada saat seperti ini.” Cian Ping memang sedang berada di taman belakang, sambil merenung memandangi kupu-kupu yang beterbangan gembira di atas kuntum-kuntum bunga itu. Alangkah irinya ia melihat kebahagiaan kupu-kupu yang terbang berpasang-pasangan itu. Di saat itulah tiba-tiba ayahnya muncul dengan wajah berseri-seri luar biasa, sehingga membuat Cian Ping tercengang, sebab selama dua tahun ini belum pernah dilihatnya ayahnya segembira itu. “Ayah, kau nampak gembira sekali, apakah perusahaan kita akan mendapat pengawalan kelas kakap?” tanyanya. Sahut sang ayah, “Tepat sekali dugaanmu. Hari ini seekor kakap besar telah menyasar masuk ke dalam jaring kita. Anak Ping, cobalah lihat, hebat tidak kakap ini?” Dari tadi Cian Ping memang melihat ada seseorang yang berdiri di belakang punggung ayahnya, tapi kurang diperhatikannya. Lagipula ayahnya memang berbadan besar dan berbahu lebar, sehingga tubuhnya menutupi orang yang di belakangnya itu. Dan kini, begitu ayahnya menyingkir ke samping dan membiarkan ia melihat “kakap” itu, barulah gadis itu ternganga kaget. Ia membelalakkan matanya lebar-lebar dan mulutnya terasa terkunci, ia kuatir apa yang dilihatnya itu cuma mimpi dan bukan kenyataan yang sesungguhnya. “Adik Ping...” sapa Wi-hong. Pertemuan yang mengharukan dan sekaligus menggembirakan itupun terjadilah di taman belakang gedung Tiong-gi Piau-hang itu. Dan sejak saat itu, siapapun dapat ikut merasakan perubahan suasana di gedung besar itu, sehingga para piau-su pun menjadi heran. Cian Sin-wi dan puterinya kini tiba-tiba menjadi penuh dengan gairah hidup kembali senda-gurau dan tawa riang terdengar lagi di situ. Beberapa orang piau-su tua yang sudah cukup lama bekerja di Tiong-gi Piau-hang, memaklumi apa yang menyebabkan perubahan itu. Diam-diam para piau-su tua itupun bergembira karena pemimpin mereka mendapatkan semangat hidupnya kembali. Cian Sin-wi, Tong Wi-hong dan Cian Ping sama sekali tidak menyadari bahwa hari-hari pertemuan yang cerah itu kemudian hari akan diikuti dengan badai malapetaka yang dahsyat. Mereka belum tahu, bahwa bukan Tong Wi-hong saja yang kembali ke Tay-beng, melainkan juga Song Kim, yang bahkan membawa dendam dan kebencian yang menyala di hatinya. * * * * * * *
Beberapa hari kemudian, Cian Sin-wi mengerutkan alisnya, ketika ia menerima surat dari seseorang yang tidak dikenal. Ketika ia membuka surat itu ternyata dikirimkan oleh sebuah perserikatan yang pada masa itu sedang menjadi buah bibir setiap manusia persilatan, yaitu Hwe-liong-pang. Pengirimnya adalah Jing-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hijau) yang menyatakan dirinya bertindak atas nama Hwe-liong-pang secara keseluruhan.... |
Selanjutnya;
|