Perserikatan Naga Api Jilid 12Karya : Stevanus S.P |
Wi-lian menjadi sangat geram melihat sikap Sebun Say yang sangat meremehkannya itu. Sambil mengepalkan kedua tinjunya, ia berseru lagi, “Tidak perlu menunggu sampai nanti, sekarangpun kutantang kau bertempur sampai salah seorang terkapar mampus di sini. Atau jika kau merasa takut, kau boleh menggelinding pergi dari sini sekarang juga!”
Dalam puluhan tahun petualangannya sebagai tokoh yang ditakuti, kapan pernah Sebun Say dimaki-maki habis-habisan seperti ini? Bahkan yang memaki-makinya hanya seorang gadis remaja, dan di hadapan beberapa bawahannya pula, maka akhirnya meluap juga kemarahannya. Ia melompat turun dari batu besar yang didudukinya dan melangkah perlahan-lahan ke arah Wi-lian. Di saat itulah tiba-tiba A-liok bangkit berdiri dan menghadang ke hadapan Wi-lian. Katanya sambil menjura kepada gadis itu, “Terima kasih atas usaha Li-hiap menyelamatkan jiwaku. Tapi usaha Li-hiap akan sia-sia saja di hadapan iblis cebol tak berperikemanusiaan ini. Lebih baik Li-hiap cepat-cepat menyingkir dari sini.” Dalam ucapan ini A-liok berterima kasih kepada Wi-lian tapi sekaligus memaki kepada Sebun Say. Keruan iblis cebol itu jadi murka bukan kepalang, teriaknya, “A-liok, kau sudah bosan hidup?” Waktu itu rasa takut A-liok sudah lenyap semua karena putus asanya. Maka sambil membalik tubuh menghadap Sebun Say, ia menyahut dengan sama kerasnya, “Andaikata aku masih ingin hiduppun, kau pasti mendesakku untuk cepat mati. Hemm, aku memang tidak takut mati, lekas serahkan pil itu kepadaku.” Kemarahan Sebun Say tidak terkendali lagi. Sebelum A-liok sempat menutup mulutnya, ia telah menyentilkan pil itu sehingga melesat masuk ke dalam mulut A-liok, bahkan langsung turun ke dalam perut. A-liok tertegun mengalami kejadian itu, sesaat ia berdiri tertegun dan bengong. Insyaflah ia bahwa nyawanya sudah tidak dapat diselamatkan sama sekali, sebab racun ganas itu kini sudah ada di dalam perutnya. Akhirnya, dengan kalapnya ia menerjang ke arah Sebun Say dengan kedua tangan yang terjulur ke depan, bermaksud akan mencekik orang cebol yang tadinya ditakutinya itu. Namun kerja racun itu terlalu keras dan cepat. Kurang dua langkah sebelum mencapai Sebun Say, tiba-tiba A-liok mengaduh dan menggeliat. Ia roboh terkapar dan beberapa saat lamanya ia meronta melawan maut sambil menggeram seperti binatang disembelih. Kulitnya melepuh menjadi kehitam-hitaman, sementara dari lubang-lubang panca-inderanya pun meleleh darah berwarna hitam berbau busuk. A-liok tidak terlalu lama menanggung penderitaan. Yang selanjutnya terjadi di depan mata Wi-lian adalah suatu perkembangan yang membuat gadis itu hampir muntah-muntah. Wi-lian melihat bagaimana kulit yang melepuh kehitaman itu mulai “retak” dan mengeluarkan cairan busuk, daging A-liok pun dengan cepatnya “mencair” menjadi air hitam yang langsung meresap ke dalam tanah. Dan beberapa detik kemudian yang namanya A-liok tinggallah sesosok kerangka putih basah tanpa daging secuilpun, dan seonggok pakaian serta segumpal rambut di bagian kepala, hanya itu. Sekuat tenaga Wi-lian berusaha menekan perasaannya agar tidak sampai muntah-muntah di depan musuhnya. Sedangkan Sebun Say memandang sisa-sisa tubuh A-liok dengan bangganya, seperti seorang seniman yang tengah menikmati hasil karyanya. Lalu ia mengangkat muka dan memandang kepada Wi-lian, “Bagaimana kehebatan Pil Penghancur Tubuh dari Hwe-liong-pang kami? Kau sudah menyaksikan sendiri akibatnya.” Gadis itu belum membuka mulutnya sebab masih berusaha mengatasi rasa mualnya. Sementara si iblis cebol telah berkata lagi, “Nona, aku lihat kau adalah seorang yang punya keberanian dan berkepandaian tinggi pula. Bahkan secara terbuka kuakui bahwa kepandaianmu barangkali lebih tinggi dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang kami. Sekarang aku tawarkan kepadamu, bagaimana kalau kau bergabung dengan Hwe-liong-pang saja? Tenagamu pasti akan sangat dihargai oleh Pang-cu kami.” Perlahan-lahan rasa mual di perut Wi-lian mereda, lalu jawabnya dingin, “Sedikitpun tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan masuk bergabung dengan Pang busuk kalian itu. Apalagi setelah melihat perbuatan-perbuatan kejam kalian.” Sebun Say tertawa terkekeh-kekeh, “Membunuh A-liok bukan perbuatan kejam, tapi hanya menjalankan tata tertib dalam Pang kami. Aku sendiripun akan mengalami nasib yang sama jika berbuat kesalahan tak berampun.” Hati Wi-lian yang bergejolak itu berangsur-angsur menjadi tenang kembali, bahkan ia kini mulai menggunakan otaknya. Dengan cerdik ia mulai mencoba mengorek keterangan, “Mungkin juga aku bisa tertarik untuk menjadi anggota Pang kalian. Namun aku belum tahu di mana bisa menjumpai Pang-cu kalian? Dan siapakah sebenarnya orang yang menjadi Pang-cu kalian itu?” Sebun Say tertawa terbahak-bahak mendengar pancingan Wi-lian itu. Katanya, “Kau memang licin seperti rase. Kau kira dengan pertanyaanmu yang bodoh itu akan dapat memancing keterangan dari mulutku? Kau kira aku segampang A-liok untuk dijebak? He-he, kau benar-benar amat memandang rendah diriku.” Karena maksudnya dapat ditebak oleh lawan, Wi-lian menjadi jengkel dan memutuskan untuk “main keras” saja. Tapi sebelum gadis itu membuka mulutnya, Sebun Say telah berkata, “Kau dapat memutuskan sekarang juga untuk menolak atau menerima tawaranku tadi. Bila kau menerima, tanpa bertanyapun kau akan mengetahui semua seluk-beluk tentang Pang kami.” “Kalau menolak?” Muka Sebun Say berubah jadi dingin membesi, sahutnya patah demi patah kata, “Sayang sekali gadis secantik dan sepandai kau harus dilenyapkan dari muka bumi.” Sedangkan sahutan Wi-lian ternyata kalem saja, “Aku menolak. Sebenarnya aku segan berkelahi dengan anak kecil seperti kau, tapi jika kau terlalu nakal, terpaksa akan kujewer kupingmu.” Meskipun tubuh Sebun Say kecil dan pendek, tapi usianya sudah limapuluh tahun lebih, dan kini Wi-lian mengejeknya sebagai “anak kecil” tentu saja kemarahannya tak terbendung lagi. “Bagus!!” teriaknya murka. “Kau agaknya benar-benar telah menelan hati macan dan empedu beruang sehingga punya nyali sebesar itu untuk menentang kami. Tetapi kau akan menyesal. Aku bukan cuma bisa menggertak tapi juga bisa melaksanakan ancamanku.” “Nah, kalau begitu kenapa dari tadi kau cuma berkaok-kaok saja?” Muka Sebun Say menjadi merah padam, kumis dan jenggotnya yang berwarna pirang itu mulai bergetar, sehingga tampangnya yang menyeramkan itu bertambah menyeramkan. Selangkah demi selangkah ia mendekati Wi-lian, namun gadis itu nampak tidak gentar sedikit pun. Di saat itulah tiba-tiba Kwa Heng yang sejak tadi berdiri di pinggir arena itu kini melompat ke depan. Katanya sambil menjura kepada Sebun Say, “Sebun Su-cia, maafkan kelancanganku. Sebelum Su-cia bertindak, maukah Su-cia mendengarkan beberapa patah perkataanku?” Sebun Say menghentikan langkahnya dan mendengus, “Ada apa lagi, Kwa Tong-cu?” Kwa Heng berkata dengan hati-hati, “Kebijaksanaan yang digariskan oleh Pang-cu ini hanyalah menghimpun kekuatan, dan sesedikit mungkin menimbulkan bentrokan dengan golongan lain. Harap Su-cia ketahui bahwa gadis ini adalah murid kesayangan Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay. Jika sampai kita timbul urusan dengan pihak Siau-lim-pay, maka perjuangan kita selanjutnya pasti akan terhambat.” Tapi Sebun Say menyahut dengan dingin, “Aku tidak peduli semua itu. Aku tidak takut kepada kawanan keledai gundul (olok-olok untuk kaum paderi) Hong-tay, Hong-gan, Hong-pek, Hong-bun atau keledai-keledai gundul lainnya. Hwe-liong-pang kita tidak boleh menunjukkan sikap benci. Apalagi kalau diingat bahwa bukan kita yang lebih dulu membentur Siau-lim-pay, tetapi gadis tak tahu diri inilah yang lebih dulu mengganggu dan mencampuri urusan kita dengan jalan membantu Hong-ho-sam-hiong. Bahkan ia berani pula menciderai dua orang Hu-tong-cu kita. Nah, Kwa Tong-cu, apa jawabmu?” Kwa Heng cukup mengenal tabiat si cebol ini. Apa yang sudah diucapkannya, apalagi terhadap bawahannya, tidak mungkin terbantah lagi dan harus dilaksanakan. Maka Kwa Heng hanya bungkam saja dan tidak menyahut sepatah katapun. Sedang Sebuh Say telah membentaknya, “Minggir kau! Aku akan mencincang gadis gila ini!” Apa boleh buat, terpaksa Kwa Heng menyingkir dan membiarkan si cebol ini berbuat semaunya. Tapi pandangan matanya sempat memancarkan perasaan sayang jika sampai gadis seberani dan selihai Wi-lian harus mati sia-sia di tangan siluman cebol itu. Dalam pada itu Sebun Say sudah tidak sabar lagi. Sambil berteriak tajam ia menubruk ke depan, dan sepasang tangannya yang pendek-pendek itu serempak melancarkan sebuah pukulan penuh tenaga yang membawa kesiur angin tajam. Wi-lian memang sudah siap sejak tadi. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga ia tidak menang dari lawannya, maka ia harus menggunakan akal untuk menghindari benturan kekuatan dengan lawannya. Karena itu, begitu melihat Sebun Say bergerak, cepat gadis itu menggeserkan kedudukannya ke “pintu” tong-mui (istilah silat aliran Siau-lim) sambil merendahkan kuda-kudanya. Serentak tangannya pun menyanggah ke atas dengan gerakan Hui-tui-pay-Hud (Menekuk Lutut Menyembah Buddha). Tepat sekali telapak tangan Wi-lian berhasil menyanggah lengan tokoh Hwe-liong-pang itu, namun tetap saja gadis itu terpental empat langkah ke belakang. Ternyata tangan Sebun Say yang kelihatannya kecil-kecil itu mampu melepaskan pukulan seberat batu gunung. Sesaat lamanya Wi-lian merasa pernapasannya agak terganggu. Namun tidak terkecuali Sebun Say pun ikut terkejut dalam benturan itu. Sebenarnya Sebun Say bermaksud hendak pamer kepandaian di hadapan Kwa Heng dan Ji Tiat, yaitu hendak membunuh Wi-lian dalam sekali gebrakan saja. Dia yang sangat membanggakan kedudukannya sebagai tokoh ke delapan dari “Sepuluh Tokoh Sakti” itu ingin menambah pamornya. Namun ternyata ia hanya berhasil membuat gadis itu mundur empat langkah, tanpa menimbulkan cidera sedikitpun pada gadis itu. Tentu saja Sebun Say kaget dan penasaran melihat hal ini. Gebrakan yang gagal itu telah membuatnya malu. Begitu kakinya menginjak tanah, ia sudah melompat lagi, kali ini dengan tubuh miring, sambil berseru bengis, “Sambut sekali lagi!” Serangan kali ini berbentuk seperti cakar elang, mengarah ke batok kepala Wi-lian. Dengan mengerahkan segenap ketangkasannya, barulah Wi-lian berhasil menghindar ke samping. Sebenarnya gadis ini hendak mengandalkan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) untuk menandingi lawan, tapi tak terduga si iblis cebol itupun seorang ahli gin-kang yang hebat juga, bahkan lebih unggul daripada Wi-lian. Hal itu terbukti ketika serangan Sebun Say mengenai tempat kosong, maka cukup hanya dengan mengibaskan lengan jubahnya ia telah dapat mengubah arah luncuran tubuhnya dan bergelok di tengah udara, serta tetap dapat memburu ke manapun Wi-lian menghindar. Terkesiaplah Wi-lian melihat ilmu silat sehebat itu. Ia tidak sempat menghindar lagi, mau tidak mau ia harus menyongsong serangan itu. Detik ketika terkaman Sebun Say tiba, cepat Wi-lian melakukan gerak Hong-tiam-thau (Burung Hong Menggangguk) sambil memutar tubuhnya, dan di lain detik ia telah menyambungnya dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor), di mana tumit kakinya terayun deras ke lambung Sebun Say. Kali ini karena telah kehabisan tenaga luncuran, terpaksa Sebun Say melakukan putaran di udara dan kemudian mendarat. Begitulah, kedua orang itu telah mulai melakukan serang-menyerang dengan sengit dan cepatnya. Ternyata hanya dengan bermodalkan tekad dan keberanian saja masih belum cukup bagi Wi-lian jika ingin menandingi iblis cebol yang pernah malang- melintang di kawasan Kam-siok dan Jing-hay itu. Manusia pendek kecil yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman itu ternyata memang benar-benar seorang tokoh yang luar biasa. Wi-lian kalah dalam segala-galanya. Baik dalam hal gin-kang, lwe-kang (kekuatan dalam), kecepatan, gerak tipu, apalagi dalam hal pengalaman dan kekejaman. Tetapi yang membuat orang-orang Hwe-liong-pang itu tercengang adalah suatu kenyataan di mana Wi-lian mampu memberi perlawanan yang ulet sekali dalam dua puluh jurus, meskipun hanya bersikap bertahan dan membalas saja. Padahal menurut perhitungan orang-orang Hwe-liong-pang itu, paling banter gadis yang baru berumur dua puluh tahun itu hanya akan sanggup bertahan lima atau enam jurus, itupun dalam keadaan pontang-panting. Namun yang terjadi ternyata di luar perhitungan. Bagi Sebun Say, tidak dapat segera menjatuhkan lawannya yang dianggapnya masih ingusan itu, dianggapnya sebagai aib luar biasa dalam pamornya. Dengan geram iatrs memperberat tekanannya. Sebaliknya Wi-lian merasakan tangannya semakin sakit, seakan-akan setiap kali tangannya itu diadu dengan lempengan-lempengan besi. Andaikata tenaga Wi-lian belum banyak terkuras ketika bertempur dengan Kwa Heng tadi, agaknya gadis itu masih akan dapat memperpanjang perlawanannya, meskipun pada akhirnya toh akan kalah juga. Apalagi kini ia sudah dalam keadaan kelelahan. Maka dengan cepatnya gadis itu telah jatuh di bawah angin, keadaannya kini seperti telur di ujung tanduk. Hanya dengan menggertak gigi dan mengeraskan hati saja, Wi-lian terus melawan. Dan perlawanannya itu dapat memperpanjang pertempuran sampai belasan jurus lagi. Memasuki jurus ke empat puluh, mulailah Wi-lian merasakan dadanya sesak dan napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seakan-akan memompa darah lima kali lebih cepat dari biasanya, dan pandangan matanyapun mulai kabur kekuning-kuningan. Mati-matian gadis itu terus bertahan agar kesadarannya tidak lenyap, sebab begitu kesadarannya lenyap, maka nasibnyapun tidak akan jauh berbeda dengan nasib A-liok. Mendadak sebuah sodokan telapak tangan Sebun Say menghantam muka Wi-lian, meskipun gadis itu dapat menghindarinya dengan memiringkan pundaknya, tetapi tak urung pukulan itu menyerempet pundak gadis itu. Seketika itu juga Wi-lian merasa tubuhnya bagaikan tertimpa sebuah palu godam yang puluhan kati beratnya. Ia jatuh terpelanting dan terguling-guling belasan langkah jauhnya. Ia masih belum pingsan, namun jelas perlawanannya sudah habis sampai di situ. Kwa Heng menarik napas menyesal melihat peristiwa itu. Sebenarnya ia berkesan baik terhadap murid Siau-lim-pay yang gagah berani itu, tetapi ia tidak berdaya sebab tidak mungkin ia menentang atasannya sendiri. Dan dengan alis berkerut, Sebun Say melepaskan hantaman terakhirnya untuk memecahkan batok kepala gadis itu, yang masih terkapar tak mampu bangun itu. Wi-lian masih berbaring tak berdaya, pundaknya yang terserempet pukulan Sebun Say itu terasa nyeri sekali, meskipun nampaknya tidak ada tulangnya yang patah karena tidak terpukul secara telak. Tapi apa gunanya seandainya tidak ada tulang patah, sedangkan ia sudah tak mampu bergerak dan tinggal menunggu kematian? Dengan mata terbuka lebar-lebar, secara tabah Wi-lian melihat pukulan yang akan meremukkan kepalanya itu tengah meluncur datang. Sekali lagi Kwa Heng kagum melihat ketabahan gadis itu. Namun umur gadis itu agaknya belum ditentukan berakhir sampai di situ saja. Pada detik yang gawat itu mendadak sebutir kerikil melesat membelah udara malam, dan langsung mengincar ke arah jalan darah soan-ki-hiat di dada Sebun Say. Terkejutlah siluman cebol itu melihat sambaran batu kecil yang tepat mengincar jalan darah mematikan itu. Sebagai seorang ahli yang bermata tajam, ia dapat melihat bahwa kerikil itu dilontarkan oleh seorang tokoh yang tingkatan tenaga dalamnya di atas tingkatnya sendiri! Dengan agak gugup ia menarik pukulannya dan langsung menekuk punggungnya ke belakang dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), dengan demikian barulah ia lolos dari sambaran mematikan itu. Tapi keringat dinginnya sempat juga membanjir keluar membasahi punggungnya. Begitu ketenangannya telah pulih kembali, Sebun Say segera meraung dengan suara gusarnya, “Tikus busuk dari manakah ini yang sudah bosan hidup?! Hayo keluar!!” Terdengar suara tertawa yang ringan dan lunak, sedap didengarnya, disusul dengan kata, “Hebat, saudara Sebun, enam tahun kita tidak bertemu dan ternyata kepandaianmu telah meningkat sehebat itu. Bahkan kudengar kabar angin bahwa kau sudah menjadi orangnya Hwe-liong-pang-cu? Ha-ha, selamat!” Lalu bagaikan sesosok hantu saja, tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki setengah umur, meskipun wajahnya tidak tampan namun selalu nampak riang dan berseri-seri, rambutnya pun tersisir rapi tidak kalah dengan anak-anak muda. Tapi pakaian yang dikenakannya ternyata justru berlawanan dengan keadaan tampangnya yang bersih itu. Ia memakai jubah sastrawan yang sudah begitu tuanya sehingga tidak dapat ditebak lagi warna aslinya, sepatunya juga sudah sangat tua sehingga ibu jari kaki si pemakai ikut mengintip keluar. Sedang tangan kirinya memegang sebuah kipas berwarna hitam, entah terbuat dari bahan apa, yang selalu dibuka dan ditutup dengan bergaya. Sebun Say terkejut sekali melihat kemunculan orang itu. Geramnya dengan sengit, “Hah, kiranya kau?! Bangsat rudin she Liu, kenapa kau selalu mencampuri urusanku?” Orang berjubah sastrawan itu tertawa-tawa dan menyahut dengan kalemnya, “Saudara Sebun, kenapa kau tidak gembira dengan pertemuan kita ini dan malahan marah-marah? Kedatanganku justru untuk kebaikanmu. Tahukah kau bahwa begitu kau membunuh anak perempuan ini, maka seumur hidupmu kau tidak akan tenteram lagi?” “Hemm, aku tahu bahwa anak perempuan ini punya tulang punggung rombongan keledai gundul dari Siong-san itu, tapi aku tetap akan membunuhnya,” kata Sebun Say sambil mengertak gigi. “Orang she Liu, jika benar kau ingin berbaikan dengan aku, tentu kau akan merahasiakan kejadian ini sehingga kawanan keledai gundul itu tidak tahu kejadian malam ini.” Demikianlah, di balik kata-katanya yang garang itu, tanpa sadar Sebun Say telah menunjukkan rasa takutnya terhadap tokoh-tokoh Siau-lim-pay. Sastrawan she Liu itu tertawa sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, “Saudara Sebun, jika kau tidak takut kepada mereka, kenapa kau minta kepadaku untuk merahasiakan peristiwa ini? Lagipula bukankah kau sudah tahu tabiat burukku, yaitu mulutku ini paling tidak tahan untuk tidak berbicara. Sehari dua hari mungkin aku bisa menahan mulutku, tapi entahlah untuk seterusnya.” Gigi Sebun Say gemeretak karena kesal dan jengkelnya. Namun terhadap orang bertampang seperti sastrawan rudin itu, ia tidak berani gegabah. Katanya dengan sengit, “Kutu buku busuk! Kenapa kau tidak bilang saja terang-terangan bahwa kau ingin membela murid keledai gundul ini? Kenapa mesti bicara berputar-putar?” Sastrawan she Liu itu pura-pura memperlihatkan sikap menyesal, dan sambil menarik napas ia berkata, “Yah, akhirnya kau dapat menebaknya juga. Sebetulnya aku agak sungkan mengatakannya kepadamu, kau maklum bukan? Aku kan sastrawan....” |
Selanjutnya;
|