Perserikatan Naga Api Jilid 12 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 12

Karya : Stevanus S.P
Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
"TAN HAN-CIANG benar-benar gegabah,” Kwa Heng mengutuk dalam hatinya. “Ia telah berhasil mencarikan seseorang lawan yang cukup tangguh buat Hwe-liong-pang kami.”

Sementara itu pertarungan antara Ang Hay-liong dengan Tan Han-ciang juga semakin panas. Meskipun Ang Hay-liong telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengalahkan lawannya yang sudah terpincang-pincang itu, namun karena kepandaiannya memang selisih agak jauh dengan kepandaian lawannya, maka sulitlah untuk mewujudkan keinginan mati sampyuh bersama lawannya.

Untung cidera di lutut Tan Han-ciang itu cukup mengganggu gerakannya, sehingga Tan Han-ciang pun tidak dapat segera menyelesaikan lawannya. Seluruh tubuh Ang Hay-liong telah basah kuyup dengan keringat, meskipun hawa malam itu sangat dingin, bahkan dibeberapa bagian tubuhnya telah terhias jalur-jalur merah biru “hadiah” dari cambuk baja Tan Han-ciang. Namun pemimpin Hong-ho-sam-hiong itu terus bertempur mati-matian seperti banteng ketaton.

Sedangkan Ang-ki-hu-tong-cu itupun meladeni lawannya dengan penuh nafsu membunuh yang menyesaki dadanya. Ia tampak beringas sekali. Rambutnya telah terlepas dari ikatannya dan terurai menutupi wajahnya, ditambah dengan mukanya yang seperti mayat dan mulutnya yang menyeringai kejam itu, maka wujud Tan Han-ciang benar-benar bisa membuat seorang anak-anak pingsan ketakutan jika melihatnya.

Pertarungan antara Ang Hay-liong dan Tan Han-ciang itu jauh lebih menggidikkan hati daripada pertempuran antara Kwa Heng dengan Tong Wi-lian. Yang satu berwajah beringas dengan rambut riap-riapan sedangkan lawannya bermuka merah padam dengan tubuh berlumuran darah. Pertempuran itu bukan lagi mirip pertempuran antara dua orang jagoan silat, tapi lebih tepat disebut antara dua sosok hantu berebut mangsa.

Suatu ketika Ang Hay-liong berteriak bengis sambil menyodokkan ruas tengah dari Sam-ciat-kunnya ke ulu hati lawan. Lawannya mengelakkan serangan itu sambil membalas dengan menyabet ke pinggang Ang Hay-liong. Namun di luar dugaan Tan Han-ciang, mendadak saja Ang Hay-liong lepaskan Sam-ciat-kunnya sama sekali dan justru menubruk maju sambil menerkamkan sepasang tangannya ke leher Tan Han-ciang.

Karena “jurus” yang luar biasa itu, maka ruyung baja Tan Han-ciang yang seharusnya melibat pinggang lawan itu berubah jadi melibat kakinya. Sementara itu kedua tangan Ang Hay-liongpun berhasil mencapai leher Tan Han-ciang dan langsung dicekikkan sekuatnya. Terpaksa sekali Tan Han-ciang harus melepaskan cambuk bajanya, dan dengan kedua tangannya ia berusaha melepaskan kedua tangan yang mencekik lehernya. Mukanya yang pucat itu kini semakin pucat.

Tapi si orang tertua Hong-ho-sam-hiong itu agaknya sudah kalap betul-batul. Dia bukan cuma mencekik, tapi juga menggunakan berat badannya untuk merubuhkan dan menindih lawannya. Kaki Tan Han-ciang yang sudah patah sebelah itu tentu saja tidak mampu menahan berat tubuh lawannya. Tanpa ampun lagi kedua orang itu sama-sama rubuh ke tanah dan bergumul sengit, kedua tangan Ang Hay-liong tetap berada di leher lawan.

Masih belum puas, tiba-tiba Ang Hay-liong membuka mulutnya dan menggigit pipi Tan Han-ciang sekuat tenaga. Segumpal daging pipi Tan Han-ciang berhasil dicomotnya dan ditelannya mentah-mentah! Ang-ki-hu-tong-cu itu mengeluarkan teriakan ngeri yang menyayat hati, bukan cuma sakit tapi juga gentar bukan main. Selama belasan tahun pengalamannya di dunia kekerasan dan petualangan, belum pernah dijumpainya lawan seganas dan sebrutal itu. Seketika itu juga keberaniannya telah susut beberapa bagian.

Kedua orang itu masih bergumul di tanah. Muka Tan Han-ciang kelihatan sangat mengerikan. Matanya melotot lebar, lidahnya terjulur keluar karena cekikan lawan yang semakin mengencang, sedang sebelah pipinya sudah tak berdaging lagi karena telah “disantap” oleh Ang Hay-liong. Dan orang she Tan itu kembali terkejut ketika melihat mulut Ang Hay-liong telah terpentang lagi dengan buasnya, hendak menggigit pipinya yang sebelah lagi.

Ketika itu keadaan Tan Han-ciang bukan setengah mati lagi, malahan sudah tiga perempat mampus. Kakinya yang patah saja sudah menimbulkan perasaan nyeri luar biasa, dan kini dadanya hampir meledak karena sekian lama tidak dapat bernapas, ditambah lagi rasa pedih luar biasa di pipinya dan perasaan gusar dan ngeri yang membuatnya hampir gila.

Ketika gigi-gigi lawan sudah siap hendak mencaplok pipinya yang sebelah lagi, tiba-tiba dalam keadaan gawat itu Tan Han-ciang menemukan sebuah akal keji. Secepat kilat tangannya merogoh ke bawah dan mencengkeram kemaluan Ang Hay-liong, dan langsung diremasnya sekuat tenaga. Begitu kuatnya, sehingga Tan Han-ciang mulai merasakan darah yang hangat membasahi tangannya yang mencengkeram itu.

Ang Hay-liong tersentak sambil meraung kesakitan, cekikannya di leher lawan semakin kendor, dan akhirnya lepas sama sekali. Beberapa kali ia menggeliat meregang nyawa, dan akhirnya terdiamlah ia untuk selama-lamanya. Namun keadaan Tan Han-ciangpun sudah parah bukan main. Tenaga untuk menyingkirkan mayat Ang Hay-liong yang menindih tubuhnya itupun sudah tidak ada lagi. Ia pun kemudian jatuh pingsan di bawah tindihan mayat Ang Hay-liong.

Di sebelah lain tampaklah pertempuran berat sebelah antara Ji Tiat melawan Pang Lun. Meskipun tokoh kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu nampaknya terus mendesak maju dengan beringasnya, namun siapapun akan dapat melihat bahwa sebenarnya dia sendirilah yang bakal kalah. Pang Lun maju asal maju saja, dan tanpa perhitungan sama sekali, bahkan gerakannya menandakan bahwa ia sudah putus asa. Sedang Ji Tiat tetap tenang dan melayaninya dengan segarnya.

Suatu ketika tenaga Pang Lun benar-benar akan terperas habis, sehingga untuk mengadu jiwapun mungkin tidak bisa lagi. Meskipun demikian, Pang Lun sudah bertekad dalam hati untuk mati di tempat itu juga, bersama dengan dua orang saudara angkatnya yang telah mendahuluinya. Ia mengerahkan tenaga terakhirnya, dan laksana seekor harimau gila ia menubruk Ji Tiat, kedua goloknya berusaha “menggunting” leher Ji Tiat.

Ji Tiat bukan orang yang sesabar Kwa Heng. Sambil membentak bengis, ia menggerakkan sepasang kampaknya ke atas dengan gerakan “membuka” membuat sepasang golok Pang Lun terpental ke samping. Habis itu, ia membalas dengan jurus Thi- gu-kay-san (kerbau besi membuka gunung).

Sementara itu Kwa Heng yang tengah bertempur dengan sengit melawan macan betina Siau-lim-pay itupun ternyata sempat melirik keadaan di sekitarnya. Ketika melihat Ui-ki-hu-tong-cu Ji Tiat hendak menurunkan tangan maut kepada diri Pang Lun, si bungkuk itu masih sempat berseru, “Saudara Ji, bukan tugas kita!”

Tingkat ilmu antara Kwa Heng dengan Tong Wi-lian boleh dikatakan sangat seimbang, barang siapa yang lengah sedikit saja pasti akan menderita kekalahan. Dan karena Kwa Heng memperingatkan Ji Tiat, maka perhatiannya agak terpecah, dan itu memberi kesempatan sebuah tendangan Coan-sin teng-kak (Menendang Sambil Memutar Badan) dari Wi-lian mendarat telak di pundak si bungkuk itu. Membuat si Tong-cu dari Ui-ki-tong itu jatuh bergulingan.

Ji Tiat yang mendengar seruan Tong-cunya itu menjadi tertegun sejenak. Ia berusaha untuk menahan laju kampaknya, namun karena ia sudah terlanjur mengerahkan tenaga, maka akibatnya tidak seperti yang diharapkan. Salah satu dari kampak pendek Ji Tiat tetap saja menerjang ke depan dan merobek lambung Pang Lun. Orang kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu mengeluh panjang dan terhuyung-huyung ke belakang, dan akhirnya roboh terkapar dengan lambung mengangakan luka yang kemerah-merahan.

Melihat hal itu Tong Wi-lian menjadi sangat marah. Secepat kilat ia melompat menerjang Ji Tiat dengan gerakan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang). Serangan yang mendadak dan penuh dilambari dengan kemarahan itu tidak sempat dihindari sepenuhnya oleh Ji Tiat. Maka Ui-ki-hu-tong-cu itupun kemudian jatuh terbanting dengan persendian tangan yang lepas dari engselnya, itupun masih untung bukan ulu hatinya yang kena tendangan gadis perkasa itu.

Kwa Heng cepat melompat mendekati Ji Tiat untuk melindungi wakilnya itu dari serangan Wi-lian berikutnya. Tanyanya kepada Ji Tiat, “Saudara Ji, beratkah lukamu?”

Ji Tiat ternyata masih dapat melompat bangun, membuat hati Kwa Heng agak lega. Namun sambil menyeringai kesakitan, Ji Tiat memegangi lengannya yang terkulai itu dan berkata, “Hanya melesat persendiannya, Tong-cu. Luar biasa tendangan gadis itu.”

“Kalau begitu, lekaslah bawa pergi tubuh Tan Han-ciang dan usahakan mengobatinya sebisa-bisanya. Aku akan bertahan di sini untuk menghadapi macan betina ini,” kata Kwa Heng tanpa melepaskan pandangannya dari Wi-lian yang saat itu tengah berjongkok di dekat tubuh Pang Lun itu.

Ji Tiat sendiri juga cukup menyadari bahwa ia masih belum mampu menandingi murid Rahib Hong-tay itu. Maka segera dilaksanakannya perintah Tong-cunya tanpa membantah lagi. Lebih dulu ia menendang tubuh Ang Hay-liong yang menindih di atas tubuh Tan Han-ciang, dan tanpa memeriksa lagi apakah Tan Han-ciang masih hidup atau sudah mampus, ia segera memanggul tubuh itu dan dibawanya pergi dari tempat itu. Kwa Heng melindunginya dari belakang.

Wi-lian mengetahui musuh-musuhnya sudah melarikan diri, namun tidak ada semangatnya sedikitpun untuk mengejarnya, sebab seluruh perhatian gadis itu sedang dicurahkan untuk memeriksa luka Pang Lun yang sangat parah itu, dan sedapat mungkin menyembuhkannya. Ia berusaha menghentikan mengalirnya darah dengan segala macam cara yang diketahuinya. Dengan menotok beberapa jalan darah di sekitar luka, atau menaburi luka itu dengan obat luka buatan Siau-lim-si.

Namun segala usaha itu tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, bukan saja karena luka itu terlalu lebar dan terlalu dalam tapi juga karena Pang Lun sendiri agaknya sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan hidupnya. Akhirnya Wi-lian menghentikan usahanya dan cuma menunggu perkembangan dengan sikap putus asa. Dipandanginya saja mulut luka hasil bacokan kampak Ji Tiat yang menyilang dari bawah rusuk kiri sampai sampai hampir mencapai pinggul kanan itu.

Ketika Pang Lun perlahan-lahan membuka kelopak matanya, Wi-lian segera berkata dengan nada menyesal, “Kalian percaya bahwa aku dapat melindungi kalian, tapi ternyata aku demikian tidak becus sehingga telah mengecewakan kalian. Pang Toako, aku bersumpah demi langit dan bumi akan membalaskan sakit hati kaliann ini.”

Bibir Pang Lun yang memucat itu membentuk sebuah senyuman, lalu katanya dengan suara yang terputus-putus, “Ja... jangan mengorbankan... nya... nya... nyawa nona se... secara sia-sia... Kami... cu... cukup berterima... kasih...”

Setelah mengucapkan kalimat itu, ternyata tenaga Pang Lun sudah habis sama sekali. Bahkan bagian kalimat yang terakhir tidak jelas kedengaran, tahu-tahu kepalanya sudah terkulai ke samping, bersamaan dengan terbangnya arwahnya menyusul kedua saudara angkatnya yang telah mendahuluinya.

Hanya sebuah helaan napas Wi-lian yang mengantar kepergian Pang Lun itu. Dengan perasaan yang risau dipandangnya sekelilingnya. Hong-ho-sam-hiong tiga orang tokoh yang pernah disegani sepanjang tepian sungai Hong-ho, yang siang tadi masih segar bugar dan bercakap-cakap dengannya, kini ketiga-tiganya telah berubah menjadi mayat yang terkapar malang melintang disekitarnya. Mayat Ang Hay-liong dan Suma Hun tergeletak dengan mata melotot, menandakan mati penasaran. Meskipun demikian, Wi-lian mencoba mengatubkan mata mereka agar mati dengan mata meram.

“Beginilah keadaan dunia persilatan seperti yang pernah diceritakan oleh Suhu, keras dan tidak kenal ampun,” keluh gadis itu ditujukan kepada dirinya sendiri. “Tetapi ini bukan menjadi alasan bagi kaum pendekar untuk menyembunyikan diri dan menghindari kewajiban, justru menjadi tantangan untuk mengamalkan ilmu silat yang dipelajarinya demi ketentraman sesama manusia, untuk mengimbangi gembong-gembong iblis agar tidak berbuat sewenang-wenang. Orang yang berilmu silat tetapi mencari ketenteraman diri sendiri dengan bertapa ditempat-tempat sunyi, sesungguhnya tidak bertanggung jawab kepada hakekat kependekarannya sendiri.”

Pikiran itu justru semakin mengobarkan tekad Wi-lian untuk menentang Hwe-liong-pang habis-habisan. Dengan demikian barulah dirasakan hidup ini cukup berharga. Meskipun di halaman belakang rumah penginapan itu baru saja terjadi suatu pertempuran yang hebat luar biasa, namun tidak seorangpun dari tetamu rumah penginapan itu yang berani keluar untuk melihatnya. Bahkan mereka semakin meringkaskan diri di dalam selimut masing-masing dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”

Mendadak dari luar rumah penginapan itu terdengar teriakan-teriakan keras yang bercampur aduk dengan derap langkah orang banyak, dan nampak pula sinar obor yang terang benderang telah mengurung tempat itu. Ternyata keributan tadi telah didengar oleh sekelompok petugas keamanan, dan mereka segera memanggil teman-temannya untuk mengepung tempat itu. Bahkan pintu depan telah didobrak dan para prajurit kerajaan itupun membanjir masuk dengan senjata terhunus.

Begitu masuk, langsung saja prajurit-prajurit kerajaan itu memamerkan kegarangannya. Sambil berteriak-teriak mereka menendangi pintu kamar para tamu, memasuki dan menggeledahnya dengan kasar, dengan sikap itu mereka agaknya ingin mendapat pujian sebagai orang-orang yang paling berani di dunia ini. Begitulah sikap rata-rata prajurit-prajurit di jaman menjelang runtuhnya Kerajaan Beng itu.

Disaat rakyat membutuhkan pertolongan, mereka tidak menampakkan batang hidungnya. Tapi jika keadaan sudah aman, muncullah mereka sebagai pahlawan-pahlawan kesiangan, yang bukan menenteramkan hati rakyat tapi sebaliknya malah membuat rakyat semakin tertekan, sebab kelakuan prajurit-prajurit kadang-kadang justru lebih ganas dari perampok-perampok biasa.

Wi-lian sungkan berurusan dengan prajurit-prajurit brengsek itu, apalagi ia sebagai seorang gadis yang tergolong berwajah menarik, tentu akan mengalami kesulitan lebih besar lagi jika tertangkap oleh prajurit-prajurit itu. Namun sebelum ia sempat menyingkirkan diri dari halaman belakang bekas ajang perkelahian itu, beberapa prajurit telah sampai di situ dan langsung berteriak,

“Itu dia penjahatnya! Ternyata seorang perempuan!” Dan yang berada di deretan paling depan dari prajurit-prajurit itu ternyata adalah A-liok, si pelayan rumah makan yang tadi siang meladeni Wi-lian itu. Agaknya pelayan itu pulalah yang telah memanggil prajurit- prajurit itu.

Mendadak timbullah kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu. Jika si kasir bungkuk itu terbukti adalah orang Hwe-liong-pang, maka kemungkinan besar semua penghuni rumah makan inipun ada sangkut pautnya dengan Hwe-liong-pang. Maka timbullah niat Wi-lian untuk meringkus pelayan itu dan mengorek keterangan sebanyak-banyaknya tentang Hwe-liong-pang dari mulut pelayan itu.

Kawanan prajurit itu sebenarnya memang kurang percaya kalau yang disebut penjahat itu ternyata cuma seorang gadis cantik yang tidak membawa senjata sepotongpun. Namun setelah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman belakang itu, mau tak mau mereka menjadi percaya juga akan keterangan si pelayan. Perwira prajurit-prajurit itu segera memerintahkan anak buahnya untuk menangkap si gadis, tapi ia sendiri mundur ke belakang dan menyembunyikan diri di antara rombongan anak buahnya.

Ternyata bukan prajurit-prajurit itu yang bergerak lebih dulu, namun justru Wi-lian yang menerjang tanpa menunggu gerakan prajurit-prajurit itu. Laksana seekor rajawali yang melayang di angkasa, ia melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan pelayan yang bernama A-liok itu. Kecepatan gerak seperti itu tentu saja membuat kawanan prajurit itu melongo.

Dan sebelum kekagetan mereka sirna, Wi-lian telah merangkak ke arah A-liok. Tangan kiri mencengkeram ke jalan darah Gi-bun-hiat di tenggorokan sebagai gerak tipuan, sedangkan dua jari tangan kanannya meluncur untuk menotok siau-yo-hiat di rusuk sebagai serangan sesungguhnya.

Kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu kini terbukti. Pelayan yang tadi siang masih nampak ketolol-tololan itu, ternyata bukan pelayan sembarangan, bahkan dapat bergerak cukup tangkas. Secepat kilat ia menundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran tangan kiri Wi-lian, bahkan kemudian membalas serangan dengan menabas ke jalan darah yang-ti-hiat di lengan kanan gadis itu.

Untunglah bahwa Wi-lian sudah menduga hal itu, maka iapun sudah siap dengan gerakan selanjutnya. Dalam waktu singkat ia telah merubah serangan-serangannya, kini menggunakan Kim-na-jiu-hoat (Ilmu Silat Menangkap dan Mencengkeram). Sekali pergelangan tangannya membalik, maka pergelangan tangan kiri si pelayan telah dapat dicengkeramnya.

Si pelayan mencoba meronta. Namun tangan Wi-lian yang tadinya nampak indah itu, kini telah berubah bagaikan sebuah tangan besi karatan yang kokoh kuat, semakin pelayan itu meronta, semakin sakit. Bahkan pelayan itu merasakan separuh tubuhnya lumpuh. Gerakan gadis itu begitu cepat, sampai prajurit-prajurit yang berada di sekitar pelayan itu tidak melihat bagaimana gerakannya, dan tahu-tahu si pelayan telah diringkus oleh “penjahat perempuan” itu!

Seorang prajurit yang agak punya keberanian segera menusukkan tombaknya ke punggung Wi-lian. Namun Wi-lian tanpa menoleh menghadiahkan sebuah tendangan yang langsung membuat prajurit itu pingsan. Prajurit-prajurit lainnya menjadi gentar melihat ilmu silat selihai itu.

Dalam pada itu, si pelayan ternyata tidak menyerah begitu saja. Ketika Wi-lian hendak menyeretnya pergi, si pelayan malah memasang kuda-kuda sekuat-kuatnya. Apa boleh buat, terpaksa Wi-lian menambahkan sebuah sapuan kaki yang membuat tubuh pelayan itu hampir roboh, namun sebelum benar-benar roboh tahu-tahu pelayan itu telah merasakan tubuhnya “terbang” ke depan karena diseret oleh kekuatan tak terlawan.

Sambil menyeret tubuh pelayan itu, Wi-lian berlompatan di atas genteng-genteng rumah penduduk, menuju ke luar kota Kay-hong. Pelayan itu tidak meronta-ronta lagi karena merasa tiada gunanya melawan lagi. Tentu saja ia tidak mampu mengimbangi kecepatan dan kelincahan gadis yang menyeretnya itu, namun Wi-lian tidak peduli dan terus menyeretnya sehingga pelayan itu megap-megap hampir kehabisan napas, matanya melotot dan bajunya basah kuyup dengan keringat.

Begitu berhasil tiba di luar kota setelah memaksa penjaga pintu untuk membukakan pintu gerbang, Wi-lian dan tawanannya berhenti. Ketika mengingat akan kematian Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian menjadi panas hatinya. Dengan keras dibantingnya pelayan itu ke atas tanah berbatu, membuat pelayan itu meringis kesakitan sambil memegangi pantatnya. Namun dengan masih berlagak gagah, pelayan itu membentak,

“Aku sudah menjadi tawananmu, kalau ingin membunuhku, cepatlah lakukan. Aku tidak takut mati, tapi jangan menyiksaku sewenang-wenang.”

Wi-lian tertawa dingin melihat lagak orang itu, katanya, “Manusia semacam kau tidak ada harganya untuk kubunuh dengan tanganku sendiri. Tapi aku dapat membuat keadaanmu terkatung-katung antara hidup dan mati. Karena itu jawablah semua pertanyaan yang akan kuajukan dengan sejujurnya. Yang pertama, apa perananmu dalam Hwe-liong-pang di cabang Kay-hong?”

Pelayan itu berlagak angkuh dan membuang muka ke samping tanpa menjawab. Wi-lian tidak ingin gertakannya dianggap kosong belaka, mendadak tangannya menotok jalan darah ki-koat-hiat pelayan itu. Akibatnya hebat. Pelayan itu tiba-tiba menjerit seperti babi disembelih, ia merasakan seakan-akan ada jutaan ekor semut berada dalam tubuhnya dan sedang menggigit-gigit tulang-tulang dan urat-uratnya.

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada penderitaan sehebat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah dihiasi butiran-butiran keringat dingin sebesar kacang tanah! Karena tidak tahan lagi, akhirnya pelayan itu menjerit dengan menyayat hati,

“Hen... hentikan...!! A...aku bi... bicara...” Wi-lian segera membuka totokannya. “Aku bernama A-liok, ayahku adalah seorang pembuat sepatu yang terbaik di Kay-hong, begitu pula kakekku...” demikian pelayan itu mulai bercerita.

Namun Wi-lian segera menukasnya dengan mendongkol, “Aku tidak tanya silsilah nenek moyangmu.”

A-liok menyeringai, sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun mengingat siksaan yang telah dialaminya tadi, akhirnya ia berkata juga, “Baiklah, tugasku dalam Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning) hanyalah sebagai penghubung yang menyampaikan berita ke sana ke mari. Di Kay-hong ini ada puluhan orang yang sama tugasnya dengan aku.”

“Bagus,” kata Wi-lian. “Siapa saja orang-orang kuat dari Hwe-liong-pang, khususnya Ui-ki-tong, yang berada di Kay-hong kecuali majikanmu yang bungkuk dan orang yang bersenjata sepasang kampak itu.”

“Yang aku kenal cuma mereka berdua itulah, yang dapat dianggap sebagai tokoh kuat.”

Wajah Wi-lian menjadi dingin kembali, jari telunjuk dan jari tengah telah dirangkapkan dan siap untuk menotok lagi. Katanya mengancam, “Rupanya kau masih belum jera akan sikasaanku yang tadi...”

Pelayan yang bernama A-liok itu menjadi ketakutan, katanya terbata-bata, “Ampun, li-hiap (pendekar wanita), aku memang tidak tahu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang di Kay-hong, kecuali kedua orang itu.”

"Kau mengaku bahwa tugasmu adalah penghubung yang menyampaikan berita, bagaimana kau sampai tidak tahu hal itu? Kau kira aku tidak sampai hati untuk menyiksamu lagi?”

Semua kegarangan A-liok sudah kabur tidak tersisa sedikitpun, tanpa malu-malu lagi ia segera berlutut dan berkata setengah meratap, “Li-hiap, biarpun kau akan menyiksaku tiga hari tiga malampun aku tetap tidak akan mampu menjawab, sebab memang aku benar-benar tidak tahu. Aku memang penghubung berita, namun cara menyampaikan berita dalam Hwe-liong-pang kami demikian rapat dan ketatnya. Aku pernah disuruh oleh Kwa Tong-cu untuk menyampaikan surat kepada seorang tokoh Hwe-liong-pang yang lain. Aku hanya dipesan untuk meletakkan surat itu di tempat yang telah ditetapkan, katanya nanti akan ada orang yang mengambilnya dan melanjutkannya.”

Wi-lian tahu bahwa kali ini A-liok tentu tidak berani berbohong lagi, lagi pula yang dikemukakannya itu cukup masuk akal. Diam-diam iapun merasa kagum melihat cara Hwe-liong-pang menjaga kerahasiaan perkumpulannya, bukan saja terhadap orang luar tapi juga terhadap anggotanya sendiri yang bertingkat rendah.

Sebenarnya gadis itu masih ingin bertanya siapakah pemimpin tertinggi Hwe-liong-pang, di manakah pusat kegiatannya, bagaimana bentuk jaringannya dan sebagainya, tetapi mengingat bahwa A-liok hanya seorang anggota rendahan, maka pertanyaan-pertanyaan itu jelas tidak akan terjawab. Susunan Hwe-liong-pang kelompok Ui-ki-tong di Kay-hong saja A-liok tidak bisa menerangkannya, apalagi kalau ditanya tentang Hwe-liong-pang keseluruhannya.

Lalu Wi-lian menggantinya dengan pertanyaan lain, “Bagaimana asal mulanya kau sampai bisa menjadi anggota Hwe-liong-pang?”

Sahut A-liok, “Tadinya aku cuma seorang guru silat yang miskin, muridku cuma beberapa gelintir dan tidak mampu membayar tinggi pula. Uang bayaran dari murid-muridku tidak cukup untuk hidup sebulan. Hutangku menumpuk. Pada suatu hari, dalam keputus-asaanku hampir saja aku menggantung diri, dan saat itu datanglah Ji Tiat, Ui-ki-hu-tong-cu itu, menawarkan kebaikan kepadaku. Yaitu ia akan membayarkan semua hutangku asal aku masuk menjadi anggota Hwe-liong-pang. Aku kenal Ji Toako yang pekerjaan sehari-harinya adalah jagal ternak, dan hampir sama miskinnya dengan aku, aku agak heran juga melihat dia punya uang sebanyak itu. Tapi aku tidak ambil pusing lagi, sehari bisa melanjutkan hidup, biarlah sehari pula umurku bertambah, begitu pikirku. Maka akupun menjadi anggota Hwe-liong-pang, kelompok Ui-ki-tong.”

Wi-lian tertawa dingin, “Hem, hanya karena kesulitan saja kau sampai rela mengorbankan hidupmu menjadi budak dari perkumpulan pembunuh-pembunuh yang kejam itu?”

Tiba-tiba A-liok menggelengkan kepalanya dan berkata, “Li-hiap, agaknya kau keliru pandangan tentang Hwe-liong-pang kami.”

“Keliru? Di bagian mana aku keliru?”

“Li-hiap, kau menganggap Hwe-liong-pang kami sebagai gerombolan pembunuh-pembunuh kejam, padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Kami justru pembela dari rakyat kecil yang tertindas, kami berjuang untuk membuat sebuah dunia baru dengan jalan merombak kebobrokan pemerintahan Kaisar Cong-ceng saat ini. Untuk itu kami membutuhkan kekuatan, itulah sebabnya kami menghimpun kekuatan dengan berbagai cara.”

“Termasuk dengan cara mengancam dan memaksa orang untuk menjadi anggota?”

“Yah, apa boleh buat. Ada orang-orang yang sebenarnya dia mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak, namun mereka ternyata lebih senang hidup santai dan mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan kesengsaraan orang lain. Nah, terhadap orang-orang seperti mereka inilah kami mencoba menggugah hatinya.”

“Misalnya saja Hong-ho-sam-hiong, Hwe-liong-pang kalian tidak berhasil mengajak mereka masuk ke dalam gerombolan kalian, lalu kalian menumpas mereka dan seluruh keluarga mereka dengan kejam. Begitu?” tanya Tong Wi-lian dengan geramnya.

Sahut A-liok sambil menarik napas, “Ah, urusan pembunuhan itu sebenarnya kurang disetujui oleh kelompok Ui-ki-tong kami. Kami lebih suka menambah jumlah anggota dengan pemasukan secara sukarela, atau kadang-kadang juga dengan sedikit tipu muslihat. Namun Ui-ki-tong kami tidak pernah memperbesar anggota dengan cara paksaan seperti itu. Entah kalau kelompok-kelompok lainnya.”

Tiba-tiba di tengah kegelapan malam itu terdengarlah suara tertawa terkekeh-kekeh yang menimbulkan rasa seram. Suara tertawa itu bagaikan menggema dan melingkar-lingkar di udara malam yang dingin membeku itu, disusui dengan perkataan bernada mengejek, “Ha-ha-ha-ha, A-liok, sekarang rupanya kau sudah mulai pintar bicara ya?”

Bukan main terkejutnya Wi-lian mendengar suara itu. Orang yang mampu melontarkan suara tertawa dengan cara seperti itu, pastilah seorang tokoh yang memiliki latihan tenaga dalam cukup sempurna. Dan jika yang datang itu adalah tokoh Hwe-liong-pang, maka Wi-lian meragukan dirinya sendiri apakah mampu menandinginya.

Tapi yang lebih cemas lagi adalah A-liok. Lelaki itu tiba-tiba saja merasa seluruh tubuhnya meremang, mukanya menjadi pucat ketakutan dan gerahamnya gemelutuk keras. Dia tahu pasti siapa yang datang, sehingga diapun tahu pasti nasib apa yang bakal menimpa dirinya.

Sebaliknya Wi-lian adalah seorang gadis bernyali macan. Meskipun tadi ia terkejut mendengar suara tertawa itu, tapi kini keberaniannya telah pulih kembali, bahkan ia berteriak nyaring, “Tikus dari manakah ini yang berani memperdengarkan suara tanpa berani menampakkan batang hidungnya?!”

A-liok menjadi semakin gemetar mendengar betapa Wi-lian berani bersikap demikian. Katanya dengan suara lirih karena takutnya, “Li-hiap, jangan coba-coba menimbulkan kemarahan orang ini. Dia adalah salah satu dari empat orang Su-cia (duta) Hwe-liong-pang kami, yang bernama Sebun Say. Kedudukannya lebih tinggi dari Kwa Tong-cu, demikian pula ilmu silatnya, sedang hatinya kejam tak kenal ampun.”

Namun Wi-lian yang baru saja turun gunung dan masih membekal semangat yang berkobar itu, tidak kenal arti takut sama sekali. Bahkan ia tertawa dan menjawab dengan suara yang sengaja dikeraskan, “Hemm, Su-cia dari Hwe-liong-pang? Orang yang beraninya bersembunyi bagiku tidak lebih dari cucu kura-kura!”

Sebagai jawaban atas tantangan Wi-lian itu, suara tertawa terkekeh-kekeh itu kedengaran lagi, “Heh-heh-heh, anak perempuan yang bernyali besar, sudah sejak tadi aku duduk di sini, kenapa kau tidak melihatnya?”

Cepat Wi-lian memutar tubuh ke arah sumber suara itu. Dan beberapa langkah dari tempatnya berdiri nampaklah ada seseorang yang tengah duduk nongkrong di atas sebuah batu besar. Di bawah cahaya bulan dan bintang yang redup, nampaklah bahwa ujud orang itu sangat mengerikan. Orang itu sudah ditaksir usianya dengan tepat, tapi jelas tidak muda lagi. Tubuhnya pendek sekali, hanya setinggi pinggang orang biasa, namun ukuran kepalanya justru sangat besar dan hampir dua kali lipat ukuran kepala orang biasa.

Matanya tajam dan bersinar dengan buasnya. Rambut, kumis dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang, dan berwarna kemerah-merahan seperti orang Se-hek, serabutan tidak teratur. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Secara keseluruhan, tampangnya cocok dengan tampang siluman yang sering digambarkan dalam dongeng-dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak kecil.

Agak jauh di belakang orang itu, nampaklah dua sosok tubuh lainnya. Yang seorang bertubuh kurus kering dan berpunggung bungkuk, yang seorang lagi tinggi tegap, tapi sebelah tangannya nampak tergantung di pundaknya dengan sehelai kain. Kedua orang itu adalah Kepala Kelompok dan Wakil Kepala Kelompok dari Ui-ki-tong, yaitu Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng dan Siang-po-kay-san Ji Tiat.

Sedangkan manusia bertampang siluman itu bernama Sebun Say, salah seorang dari empat orang utusan Keliling Hwe-liong-pang Pusat. Dalam Hwe-liong-pang, jabatan Utusan Keliling adalah lebih tinggi dari delapan Tong-cu (Pemimpin Kelompok), bahkan seorang Utusan Keliling berhak menghukum mati seorang Tong-cu yang dianggap bersalah besar terhadap Pang.

Tadinya Sebun Say adalah seorang pentolan golongan hitam yang cukup ternama di wilayah Kam-siok dan Jing-hay, dan entah bagaimana kemudian tokoh ini rela tunduk kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua Hwe-liong-pang) dan mendapat kedudukan sebagai salah seorang duta keliling. Kepandaian Sebun Say tergolong tangguh, sebab dalam deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” ia menduduki urutan ke delapan. Meskipun urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu sudah daluwarsa, namun orang yang berhasil duduk di dalamnya pastilah bukan tokoh sembarangan.

Saat itu Sebun Say tengah memandang A-liok dengan tatapan matanya yang mengerikan, dan orang yang dipandangnya menggigil seperti orang terserang demam. Wajah Sebun Say nampak berkerut-kerut seperti berpikir keras dan kepalanya terangguk-angguk kecil, lalu katanya dengan nada santai,

“A-liok, Hwe-liong-pang kita yang jaya ini bisa hancur berantakan jika terlalu banyak anggotanya yang pengecut seperti kau. Gadis ini sudah melukai Ang-ki-hu-tong-cu Tan Han-ciang serta Ui-ki-hu-tong-cu Ji Tiat, jelas dia adalah musuh besar Pang kita, tapi kenapa kau malah demikian akrab kepadanya dan bahkan banyak bercerita tentang rahasia Pang kita? he-he-he, A-liok, tahukah kau apa hukuman bagi orang yang membocorkan rahasia Pang?”

A-liok sudah mengenal kekejaman orang cebol ini, yang menilai nyawa manusia sama rendahnya dengan nyawa lalat saja. Dengan suara yang gemetar ketakutan, A-liok berkata, “Harap Sebun Su-cia mengetahui, bahwa meskipun aku bersalah tapi aku belum memberitahukan semua rahasia Pang kepadanya. Lagipula aku dipaksa bicara olehnya, harap Su-cia mengampuni aku.”

Selama berbicara kepada A-liok, Sebun Say tidak melirik sedikitpun kepada Wi-lian, sikapnya sangat memandang rendah kepada Wi-lian. Sikap seperti itu agaknya telah membuat Wi-lian mendidih darahnya dan bertekad untuk menguji sampai di mana kehebatan tokoh cebol ini.

Agaknya Sebun Say sangat senang menyiksa perasaan A-liok, sambil tetap tertawa-tawa ia berkata lagi, “Kau sudah tahu aturan keras dari Pang kita bukan? Siapa yang bersalah, harus menerima hukumannya, tidak peduli meskipun punya alasan segudang. Sebab kalau tidak demikian, akan menjadi kebiasaan buruk anggota-anggota lainnya. Jelas?”

Suara A-liok menjadi semakin parau, bahkan ingin berbicarapun sudah tidak jelas lagi. Sementara itu Sebun Say dengan santai telah mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam jubahnya, dan dari dalam botol itu ia mengeluarkan sebutir obat pulung berwarna hitam. Sambil menimang-nimang pil itu, ia bertanya lagi kepada A-liok, “Racun Penghancur tubuh ini ingin kau telan sendiri atau aku sendiri yang harus mencekokkannya?”

Ketika itu muka A-liok kelihatan memelas sekali. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, hanya dengan pandangan mata yang kosong ia menatap pil hitam di telapak tangan Sebun Say itu.

Melihat keadaan A-liok itu, tiba-tiba timbul juga belas kasihan Wi-lian, apalagi kalau mengingat bahwa A-liok mau bicara karena ia yang memaksanya. Jiwa kesatrianya segera bergolak hebat. Tanpa kenal takut ia segera menghadang di depan tubuh A-liok sambil membentak, “Akulah yang telah memaksa A-liok untuk berbicara. Setan cebol, kau boleh minta pertanggungan jawab dari aku!”

Sebun Say cuma melirik dingin ke arah Wi-lian, dan sahutannyapun sedingin sikapnya, “Ini adalah urusan rumah tangga Hwe-liong-pang kami sendiri, kau sebagai orang luar tidak perlu ikut campur. Jika kau ingin dihajar, sebentar lagipun akan kukabulkan keinginanmu itu.”

Wi-lian menjadi sangat geram melihat sikap Sebun Say yang sangat meremehkannya itu. Sambil mengepalkan kedua tinjunya, ia berseru lagi, “Tidak perlu menunggu sampai nanti, sekarangpun kutantang kau bertempur sampai salah seorang terkapar mampus di sini. Atau jika kau merasa takut, kau boleh menggelinding pergi dari sini sekarang juga!”

Dalam puluhan tahun petualangannya sebagai tokoh yang ditakuti, kapan pernah Sebun Say dimaki-maki habis-habisan seperti ini? Bahkan yang memaki-makinya hanya seorang gadis remaja, dan di hadapan beberapa bawahannya pula, maka akhirnya meluap juga kemarahannya. Ia melompat turun dari batu besar yang didudukinya dan melangkah perlahan-lahan ke arah Wi-lian.

Di saat itulah tiba-tiba A-liok bangkit berdiri dan menghadang ke hadapan Wi-lian. Katanya sambil menjura kepada gadis itu, “Terima kasih atas usaha Li-hiap menyelamatkan jiwaku. Tapi usaha Li-hiap akan sia-sia saja di hadapan iblis cebol tak berperikemanusiaan ini. Lebih baik Li-hiap cepat-cepat menyingkir dari sini.”

Dalam ucapan ini A-liok berterima kasih kepada Wi-lian tapi sekaligus memaki kepada Sebun Say. Keruan iblis cebol itu jadi murka bukan kepalang, teriaknya, “A-liok, kau sudah bosan hidup?”

Waktu itu rasa takut A-liok sudah lenyap semua karena putus asanya. Maka sambil membalik tubuh menghadap Sebun Say, ia menyahut dengan sama kerasnya, “Andaikata aku masih ingin hiduppun, kau pasti mendesakku untuk cepat mati. Hemm, aku memang tidak takut mati, lekas serahkan pil itu kepadaku.”

Kemarahan Sebun Say tidak terkendali lagi. Sebelum A-liok sempat menutup mulutnya, ia telah menyentilkan pil itu sehingga melesat masuk ke dalam mulut A-liok, bahkan langsung turun ke dalam perut. A-liok tertegun mengalami kejadian itu, sesaat ia berdiri tertegun dan bengong. Insyaflah ia bahwa nyawanya sudah tidak dapat diselamatkan sama sekali, sebab racun ganas itu kini sudah ada di dalam perutnya. Akhirnya, dengan kalapnya ia menerjang ke arah Sebun Say dengan kedua tangan yang terjulur ke depan, bermaksud akan mencekik orang cebol yang tadinya ditakutinya itu.

Namun kerja racun itu terlalu keras dan cepat. Kurang dua langkah sebelum mencapai Sebun Say, tiba-tiba A-liok mengaduh dan menggeliat. Ia roboh terkapar dan beberapa saat lamanya ia meronta melawan maut sambil menggeram seperti binatang disembelih. Kulitnya melepuh menjadi kehitam-hitaman, sementara dari lubang-lubang panca-inderanya pun meleleh darah berwarna hitam berbau busuk. A-liok tidak terlalu lama menanggung penderitaan.

Yang selanjutnya terjadi di depan mata Wi-lian adalah suatu perkembangan yang membuat gadis itu hampir muntah-muntah. Wi-lian melihat bagaimana kulit yang melepuh kehitaman itu mulai “retak” dan mengeluarkan cairan busuk, daging A-liok pun dengan cepatnya “mencair” menjadi air hitam yang langsung meresap ke dalam tanah. Dan beberapa detik kemudian yang namanya A-liok tinggallah sesosok kerangka putih basah tanpa daging secuilpun, dan seonggok pakaian serta segumpal rambut di bagian kepala, hanya itu.

Sekuat tenaga Wi-lian berusaha menekan perasaannya agar tidak sampai muntah-muntah di depan musuhnya. Sedangkan Sebun Say memandang sisa-sisa tubuh A-liok dengan bangganya, seperti seorang seniman yang tengah menikmati hasil karyanya. Lalu ia mengangkat muka dan memandang kepada Wi-lian,

“Bagaimana kehebatan Pil Penghancur Tubuh dari Hwe-liong-pang kami? Kau sudah menyaksikan sendiri akibatnya.”

Gadis itu belum membuka mulutnya sebab masih berusaha mengatasi rasa mualnya. Sementara si iblis cebol telah berkata lagi, “Nona, aku lihat kau adalah seorang yang punya keberanian dan berkepandaian tinggi pula. Bahkan secara terbuka kuakui bahwa kepandaianmu barangkali lebih tinggi dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang kami. Sekarang aku tawarkan kepadamu, bagaimana kalau kau bergabung dengan Hwe-liong-pang saja? Tenagamu pasti akan sangat dihargai oleh Pang-cu kami.”

Perlahan-lahan rasa mual di perut Wi-lian mereda, lalu jawabnya dingin, “Sedikitpun tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan masuk bergabung dengan Pang busuk kalian itu. Apalagi setelah melihat perbuatan-perbuatan kejam kalian.”

Sebun Say tertawa terkekeh-kekeh, “Membunuh A-liok bukan perbuatan kejam, tapi hanya menjalankan tata tertib dalam Pang kami. Aku sendiripun akan mengalami nasib yang sama jika berbuat kesalahan tak berampun.”

Hati Wi-lian yang bergejolak itu berangsur-angsur menjadi tenang kembali, bahkan ia kini mulai menggunakan otaknya. Dengan cerdik ia mulai mencoba mengorek keterangan, “Mungkin juga aku bisa tertarik untuk menjadi anggota Pang kalian. Namun aku belum tahu di mana bisa menjumpai Pang-cu kalian? Dan siapakah sebenarnya orang yang menjadi Pang-cu kalian itu?”

Sebun Say tertawa terbahak-bahak mendengar pancingan Wi-lian itu. Katanya, “Kau memang licin seperti rase. Kau kira dengan pertanyaanmu yang bodoh itu akan dapat memancing keterangan dari mulutku? Kau kira aku segampang A-liok untuk dijebak? He-he, kau benar-benar amat memandang rendah diriku.”

Karena maksudnya dapat ditebak oleh lawan, Wi-lian menjadi jengkel dan memutuskan untuk “main keras” saja. Tapi sebelum gadis itu membuka mulutnya, Sebun Say telah berkata, “Kau dapat memutuskan sekarang juga untuk menolak atau menerima tawaranku tadi. Bila kau menerima, tanpa bertanyapun kau akan mengetahui semua seluk-beluk tentang Pang kami.”

“Kalau menolak?”

Muka Sebun Say berubah jadi dingin membesi, sahutnya patah demi patah kata, “Sayang sekali gadis secantik dan sepandai kau harus dilenyapkan dari muka bumi.”

Sedangkan sahutan Wi-lian ternyata kalem saja, “Aku menolak. Sebenarnya aku segan berkelahi dengan anak kecil seperti kau, tapi jika kau terlalu nakal, terpaksa akan kujewer kupingmu.”

Meskipun tubuh Sebun Say kecil dan pendek, tapi usianya sudah limapuluh tahun lebih, dan kini Wi-lian mengejeknya sebagai “anak kecil” tentu saja kemarahannya tak terbendung lagi. “Bagus!!” teriaknya murka. “Kau agaknya benar-benar telah menelan hati macan dan empedu beruang sehingga punya nyali sebesar itu untuk menentang kami. Tetapi kau akan menyesal. Aku bukan cuma bisa menggertak tapi juga bisa melaksanakan ancamanku.”

“Nah, kalau begitu kenapa dari tadi kau cuma berkaok-kaok saja?”

Muka Sebun Say menjadi merah padam, kumis dan jenggotnya yang berwarna pirang itu mulai bergetar, sehingga tampangnya yang menyeramkan itu bertambah menyeramkan. Selangkah demi selangkah ia mendekati Wi-lian, namun gadis itu nampak tidak gentar sedikit pun.

Di saat itulah tiba-tiba Kwa Heng yang sejak tadi berdiri di pinggir arena itu kini melompat ke depan. Katanya sambil menjura kepada Sebun Say, “Sebun Su-cia, maafkan kelancanganku. Sebelum Su-cia bertindak, maukah Su-cia mendengarkan beberapa patah perkataanku?”

Sebun Say menghentikan langkahnya dan mendengus, “Ada apa lagi, Kwa Tong-cu?”

Kwa Heng berkata dengan hati-hati, “Kebijaksanaan yang digariskan oleh Pang-cu ini hanyalah menghimpun kekuatan, dan sesedikit mungkin menimbulkan bentrokan dengan golongan lain. Harap Su-cia ketahui bahwa gadis ini adalah murid kesayangan Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay. Jika sampai kita timbul urusan dengan pihak Siau-lim-pay, maka perjuangan kita selanjutnya pasti akan terhambat.”

Tapi Sebun Say menyahut dengan dingin, “Aku tidak peduli semua itu. Aku tidak takut kepada kawanan keledai gundul (olok-olok untuk kaum paderi) Hong-tay, Hong-gan, Hong-pek, Hong-bun atau keledai-keledai gundul lainnya. Hwe-liong-pang kita tidak boleh menunjukkan sikap benci. Apalagi kalau diingat bahwa bukan kita yang lebih dulu membentur Siau-lim-pay, tetapi gadis tak tahu diri inilah yang lebih dulu mengganggu dan mencampuri urusan kita dengan jalan membantu Hong-ho-sam-hiong. Bahkan ia berani pula menciderai dua orang Hu-tong-cu kita. Nah, Kwa Tong-cu, apa jawabmu?”

Kwa Heng cukup mengenal tabiat si cebol ini. Apa yang sudah diucapkannya, apalagi terhadap bawahannya, tidak mungkin terbantah lagi dan harus dilaksanakan. Maka Kwa Heng hanya bungkam saja dan tidak menyahut sepatah katapun. Sedang Sebuh Say telah membentaknya, “Minggir kau! Aku akan mencincang gadis gila ini!”

Apa boleh buat, terpaksa Kwa Heng menyingkir dan membiarkan si cebol ini berbuat semaunya. Tapi pandangan matanya sempat memancarkan perasaan sayang jika sampai gadis seberani dan selihai Wi-lian harus mati sia-sia di tangan siluman cebol itu.

Dalam pada itu Sebun Say sudah tidak sabar lagi. Sambil berteriak tajam ia menubruk ke depan, dan sepasang tangannya yang pendek-pendek itu serempak melancarkan sebuah pukulan penuh tenaga yang membawa kesiur angin tajam. Wi-lian memang sudah siap sejak tadi. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga ia tidak menang dari lawannya, maka ia harus menggunakan akal untuk menghindari benturan kekuatan dengan lawannya.

Karena itu, begitu melihat Sebun Say bergerak, cepat gadis itu menggeserkan kedudukannya ke “pintu” tong-mui (istilah silat aliran Siau-lim) sambil merendahkan kuda-kudanya. Serentak tangannya pun menyanggah ke atas dengan gerakan Hui-tui-pay-Hud (Menekuk Lutut Menyembah Buddha).

Tepat sekali telapak tangan Wi-lian berhasil menyanggah lengan tokoh Hwe-liong-pang itu, namun tetap saja gadis itu terpental empat langkah ke belakang. Ternyata tangan Sebun Say yang kelihatannya kecil-kecil itu mampu melepaskan pukulan seberat batu gunung. Sesaat lamanya Wi-lian merasa pernapasannya agak terganggu.

Namun tidak terkecuali Sebun Say pun ikut terkejut dalam benturan itu. Sebenarnya Sebun Say bermaksud hendak pamer kepandaian di hadapan Kwa Heng dan Ji Tiat, yaitu hendak membunuh Wi-lian dalam sekali gebrakan saja. Dia yang sangat membanggakan kedudukannya sebagai tokoh ke delapan dari “Sepuluh Tokoh Sakti” itu ingin menambah pamornya.

Namun ternyata ia hanya berhasil membuat gadis itu mundur empat langkah, tanpa menimbulkan cidera sedikitpun pada gadis itu. Tentu saja Sebun Say kaget dan penasaran melihat hal ini. Gebrakan yang gagal itu telah membuatnya malu. Begitu kakinya menginjak tanah, ia sudah melompat lagi, kali ini dengan tubuh miring, sambil berseru bengis, “Sambut sekali lagi!”

Serangan kali ini berbentuk seperti cakar elang, mengarah ke batok kepala Wi-lian. Dengan mengerahkan segenap ketangkasannya, barulah Wi-lian berhasil menghindar ke samping. Sebenarnya gadis ini hendak mengandalkan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) untuk menandingi lawan, tapi tak terduga si iblis cebol itupun seorang ahli gin-kang yang hebat juga, bahkan lebih unggul daripada Wi-lian.

Hal itu terbukti ketika serangan Sebun Say mengenai tempat kosong, maka cukup hanya dengan mengibaskan lengan jubahnya ia telah dapat mengubah arah luncuran tubuhnya dan bergelok di tengah udara, serta tetap dapat memburu ke manapun Wi-lian menghindar. Terkesiaplah Wi-lian melihat ilmu silat sehebat itu. Ia tidak sempat menghindar lagi, mau tidak mau ia harus menyongsong serangan itu.

Detik ketika terkaman Sebun Say tiba, cepat Wi-lian melakukan gerak Hong-tiam-thau (Burung Hong Menggangguk) sambil memutar tubuhnya, dan di lain detik ia telah menyambungnya dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor), di mana tumit kakinya terayun deras ke lambung Sebun Say. Kali ini karena telah kehabisan tenaga luncuran, terpaksa Sebun Say melakukan putaran di udara dan kemudian mendarat.

Begitulah, kedua orang itu telah mulai melakukan serang-menyerang dengan sengit dan cepatnya. Ternyata hanya dengan bermodalkan tekad dan keberanian saja masih belum cukup bagi Wi-lian jika ingin menandingi iblis cebol yang pernah malang- melintang di kawasan Kam-siok dan Jing-hay itu.

Manusia pendek kecil yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman itu ternyata memang benar-benar seorang tokoh yang luar biasa. Wi-lian kalah dalam segala-galanya. Baik dalam hal gin-kang, lwe-kang (kekuatan dalam), kecepatan, gerak tipu, apalagi dalam hal pengalaman dan kekejaman.

Tetapi yang membuat orang-orang Hwe-liong-pang itu tercengang adalah suatu kenyataan di mana Wi-lian mampu memberi perlawanan yang ulet sekali dalam dua puluh jurus, meskipun hanya bersikap bertahan dan membalas saja. Padahal menurut perhitungan orang-orang Hwe-liong-pang itu, paling banter gadis yang baru berumur dua puluh tahun itu hanya akan sanggup bertahan lima atau enam jurus, itupun dalam keadaan pontang-panting. Namun yang terjadi ternyata di luar perhitungan.

Bagi Sebun Say, tidak dapat segera menjatuhkan lawannya yang dianggapnya masih ingusan itu, dianggapnya sebagai aib luar biasa dalam pamornya. Dengan geram iatrs memperberat tekanannya. Sebaliknya Wi-lian merasakan tangannya semakin sakit, seakan-akan setiap kali tangannya itu diadu dengan lempengan-lempengan besi. Andaikata tenaga Wi-lian belum banyak terkuras ketika bertempur dengan Kwa Heng tadi, agaknya gadis itu masih akan dapat memperpanjang perlawanannya, meskipun pada akhirnya toh akan kalah juga.

Apalagi kini ia sudah dalam keadaan kelelahan. Maka dengan cepatnya gadis itu telah jatuh di bawah angin, keadaannya kini seperti telur di ujung tanduk. Hanya dengan menggertak gigi dan mengeraskan hati saja, Wi-lian terus melawan. Dan perlawanannya itu dapat memperpanjang pertempuran sampai belasan jurus lagi.

Memasuki jurus ke empat puluh, mulailah Wi-lian merasakan dadanya sesak dan napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seakan-akan memompa darah lima kali lebih cepat dari biasanya, dan pandangan matanyapun mulai kabur kekuning-kuningan. Mati-matian gadis itu terus bertahan agar kesadarannya tidak lenyap, sebab begitu kesadarannya lenyap, maka nasibnyapun tidak akan jauh berbeda dengan nasib A-liok.

Mendadak sebuah sodokan telapak tangan Sebun Say menghantam muka Wi-lian, meskipun gadis itu dapat menghindarinya dengan memiringkan pundaknya, tetapi tak urung pukulan itu menyerempet pundak gadis itu. Seketika itu juga Wi-lian merasa tubuhnya bagaikan tertimpa sebuah palu godam yang puluhan kati beratnya. Ia jatuh terpelanting dan terguling-guling belasan langkah jauhnya. Ia masih belum pingsan, namun jelas perlawanannya sudah habis sampai di situ.

Kwa Heng menarik napas menyesal melihat peristiwa itu. Sebenarnya ia berkesan baik terhadap murid Siau-lim-pay yang gagah berani itu, tetapi ia tidak berdaya sebab tidak mungkin ia menentang atasannya sendiri. Dan dengan alis berkerut, Sebun Say melepaskan hantaman terakhirnya untuk memecahkan batok kepala gadis itu, yang masih terkapar tak mampu bangun itu.

Wi-lian masih berbaring tak berdaya, pundaknya yang terserempet pukulan Sebun Say itu terasa nyeri sekali, meskipun nampaknya tidak ada tulangnya yang patah karena tidak terpukul secara telak. Tapi apa gunanya seandainya tidak ada tulang patah, sedangkan ia sudah tak mampu bergerak dan tinggal menunggu kematian?

Dengan mata terbuka lebar-lebar, secara tabah Wi-lian melihat pukulan yang akan meremukkan kepalanya itu tengah meluncur datang. Sekali lagi Kwa Heng kagum melihat ketabahan gadis itu. Namun umur gadis itu agaknya belum ditentukan berakhir sampai di situ saja. Pada detik yang gawat itu mendadak sebutir kerikil melesat membelah udara malam, dan langsung mengincar ke arah jalan darah soan-ki-hiat di dada Sebun Say.

Terkejutlah siluman cebol itu melihat sambaran batu kecil yang tepat mengincar jalan darah mematikan itu. Sebagai seorang ahli yang bermata tajam, ia dapat melihat bahwa kerikil itu dilontarkan oleh seorang tokoh yang tingkatan tenaga dalamnya di atas tingkatnya sendiri!

Dengan agak gugup ia menarik pukulannya dan langsung menekuk punggungnya ke belakang dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), dengan demikian barulah ia lolos dari sambaran mematikan itu. Tapi keringat dinginnya sempat juga membanjir keluar membasahi punggungnya.

Begitu ketenangannya telah pulih kembali, Sebun Say segera meraung dengan suara gusarnya, “Tikus busuk dari manakah ini yang sudah bosan hidup?! Hayo keluar!!”

Terdengar suara tertawa yang ringan dan lunak, sedap didengarnya, disusul dengan kata, “Hebat, saudara Sebun, enam tahun kita tidak bertemu dan ternyata kepandaianmu telah meningkat sehebat itu. Bahkan kudengar kabar angin bahwa kau sudah menjadi orangnya Hwe-liong-pang-cu? Ha-ha, selamat!”

Lalu bagaikan sesosok hantu saja, tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki setengah umur, meskipun wajahnya tidak tampan namun selalu nampak riang dan berseri-seri, rambutnya pun tersisir rapi tidak kalah dengan anak-anak muda. Tapi pakaian yang dikenakannya ternyata justru berlawanan dengan keadaan tampangnya yang bersih itu.

Ia memakai jubah sastrawan yang sudah begitu tuanya sehingga tidak dapat ditebak lagi warna aslinya, sepatunya juga sudah sangat tua sehingga ibu jari kaki si pemakai ikut mengintip keluar. Sedang tangan kirinya memegang sebuah kipas berwarna hitam, entah terbuat dari bahan apa, yang selalu dibuka dan ditutup dengan bergaya.

Sebun Say terkejut sekali melihat kemunculan orang itu. Geramnya dengan sengit, “Hah, kiranya kau?! Bangsat rudin she Liu, kenapa kau selalu mencampuri urusanku?”

Orang berjubah sastrawan itu tertawa-tawa dan menyahut dengan kalemnya, “Saudara Sebun, kenapa kau tidak gembira dengan pertemuan kita ini dan malahan marah-marah? Kedatanganku justru untuk kebaikanmu. Tahukah kau bahwa begitu kau membunuh anak perempuan ini, maka seumur hidupmu kau tidak akan tenteram lagi?”

“Hemm, aku tahu bahwa anak perempuan ini punya tulang punggung rombongan keledai gundul dari Siong-san itu, tapi aku tetap akan membunuhnya,” kata Sebun Say sambil mengertak gigi. “Orang she Liu, jika benar kau ingin berbaikan dengan aku, tentu kau akan merahasiakan kejadian ini sehingga kawanan keledai gundul itu tidak tahu kejadian malam ini.”

Demikianlah, di balik kata-katanya yang garang itu, tanpa sadar Sebun Say telah menunjukkan rasa takutnya terhadap tokoh-tokoh Siau-lim-pay. Sastrawan she Liu itu tertawa sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, “Saudara Sebun, jika kau tidak takut kepada mereka, kenapa kau minta kepadaku untuk merahasiakan peristiwa ini? Lagipula bukankah kau sudah tahu tabiat burukku, yaitu mulutku ini paling tidak tahan untuk tidak berbicara. Sehari dua hari mungkin aku bisa menahan mulutku, tapi entahlah untuk seterusnya.”

Gigi Sebun Say gemeretak karena kesal dan jengkelnya. Namun terhadap orang bertampang seperti sastrawan rudin itu, ia tidak berani gegabah. Katanya dengan sengit, “Kutu buku busuk! Kenapa kau tidak bilang saja terang-terangan bahwa kau ingin membela murid keledai gundul ini? Kenapa mesti bicara berputar-putar?”

Sastrawan she Liu itu pura-pura memperlihatkan sikap menyesal, dan sambil menarik napas ia berkata, “Yah, akhirnya kau dapat menebaknya juga. Sebetulnya aku agak sungkan mengatakannya kepadamu, kau maklum bukan? Aku kan sastrawan....”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 12

Perserikatan Naga Api Jilid 12

Karya : Stevanus S.P
Cerita silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
"TAN HAN-CIANG benar-benar gegabah,” Kwa Heng mengutuk dalam hatinya. “Ia telah berhasil mencarikan seseorang lawan yang cukup tangguh buat Hwe-liong-pang kami.”

Sementara itu pertarungan antara Ang Hay-liong dengan Tan Han-ciang juga semakin panas. Meskipun Ang Hay-liong telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengalahkan lawannya yang sudah terpincang-pincang itu, namun karena kepandaiannya memang selisih agak jauh dengan kepandaian lawannya, maka sulitlah untuk mewujudkan keinginan mati sampyuh bersama lawannya.

Untung cidera di lutut Tan Han-ciang itu cukup mengganggu gerakannya, sehingga Tan Han-ciang pun tidak dapat segera menyelesaikan lawannya. Seluruh tubuh Ang Hay-liong telah basah kuyup dengan keringat, meskipun hawa malam itu sangat dingin, bahkan dibeberapa bagian tubuhnya telah terhias jalur-jalur merah biru “hadiah” dari cambuk baja Tan Han-ciang. Namun pemimpin Hong-ho-sam-hiong itu terus bertempur mati-matian seperti banteng ketaton.

Sedangkan Ang-ki-hu-tong-cu itupun meladeni lawannya dengan penuh nafsu membunuh yang menyesaki dadanya. Ia tampak beringas sekali. Rambutnya telah terlepas dari ikatannya dan terurai menutupi wajahnya, ditambah dengan mukanya yang seperti mayat dan mulutnya yang menyeringai kejam itu, maka wujud Tan Han-ciang benar-benar bisa membuat seorang anak-anak pingsan ketakutan jika melihatnya.

Pertarungan antara Ang Hay-liong dan Tan Han-ciang itu jauh lebih menggidikkan hati daripada pertempuran antara Kwa Heng dengan Tong Wi-lian. Yang satu berwajah beringas dengan rambut riap-riapan sedangkan lawannya bermuka merah padam dengan tubuh berlumuran darah. Pertempuran itu bukan lagi mirip pertempuran antara dua orang jagoan silat, tapi lebih tepat disebut antara dua sosok hantu berebut mangsa.

Suatu ketika Ang Hay-liong berteriak bengis sambil menyodokkan ruas tengah dari Sam-ciat-kunnya ke ulu hati lawan. Lawannya mengelakkan serangan itu sambil membalas dengan menyabet ke pinggang Ang Hay-liong. Namun di luar dugaan Tan Han-ciang, mendadak saja Ang Hay-liong lepaskan Sam-ciat-kunnya sama sekali dan justru menubruk maju sambil menerkamkan sepasang tangannya ke leher Tan Han-ciang.

Karena “jurus” yang luar biasa itu, maka ruyung baja Tan Han-ciang yang seharusnya melibat pinggang lawan itu berubah jadi melibat kakinya. Sementara itu kedua tangan Ang Hay-liongpun berhasil mencapai leher Tan Han-ciang dan langsung dicekikkan sekuatnya. Terpaksa sekali Tan Han-ciang harus melepaskan cambuk bajanya, dan dengan kedua tangannya ia berusaha melepaskan kedua tangan yang mencekik lehernya. Mukanya yang pucat itu kini semakin pucat.

Tapi si orang tertua Hong-ho-sam-hiong itu agaknya sudah kalap betul-batul. Dia bukan cuma mencekik, tapi juga menggunakan berat badannya untuk merubuhkan dan menindih lawannya. Kaki Tan Han-ciang yang sudah patah sebelah itu tentu saja tidak mampu menahan berat tubuh lawannya. Tanpa ampun lagi kedua orang itu sama-sama rubuh ke tanah dan bergumul sengit, kedua tangan Ang Hay-liong tetap berada di leher lawan.

Masih belum puas, tiba-tiba Ang Hay-liong membuka mulutnya dan menggigit pipi Tan Han-ciang sekuat tenaga. Segumpal daging pipi Tan Han-ciang berhasil dicomotnya dan ditelannya mentah-mentah! Ang-ki-hu-tong-cu itu mengeluarkan teriakan ngeri yang menyayat hati, bukan cuma sakit tapi juga gentar bukan main. Selama belasan tahun pengalamannya di dunia kekerasan dan petualangan, belum pernah dijumpainya lawan seganas dan sebrutal itu. Seketika itu juga keberaniannya telah susut beberapa bagian.

Kedua orang itu masih bergumul di tanah. Muka Tan Han-ciang kelihatan sangat mengerikan. Matanya melotot lebar, lidahnya terjulur keluar karena cekikan lawan yang semakin mengencang, sedang sebelah pipinya sudah tak berdaging lagi karena telah “disantap” oleh Ang Hay-liong. Dan orang she Tan itu kembali terkejut ketika melihat mulut Ang Hay-liong telah terpentang lagi dengan buasnya, hendak menggigit pipinya yang sebelah lagi.

Ketika itu keadaan Tan Han-ciang bukan setengah mati lagi, malahan sudah tiga perempat mampus. Kakinya yang patah saja sudah menimbulkan perasaan nyeri luar biasa, dan kini dadanya hampir meledak karena sekian lama tidak dapat bernapas, ditambah lagi rasa pedih luar biasa di pipinya dan perasaan gusar dan ngeri yang membuatnya hampir gila.

Ketika gigi-gigi lawan sudah siap hendak mencaplok pipinya yang sebelah lagi, tiba-tiba dalam keadaan gawat itu Tan Han-ciang menemukan sebuah akal keji. Secepat kilat tangannya merogoh ke bawah dan mencengkeram kemaluan Ang Hay-liong, dan langsung diremasnya sekuat tenaga. Begitu kuatnya, sehingga Tan Han-ciang mulai merasakan darah yang hangat membasahi tangannya yang mencengkeram itu.

Ang Hay-liong tersentak sambil meraung kesakitan, cekikannya di leher lawan semakin kendor, dan akhirnya lepas sama sekali. Beberapa kali ia menggeliat meregang nyawa, dan akhirnya terdiamlah ia untuk selama-lamanya. Namun keadaan Tan Han-ciangpun sudah parah bukan main. Tenaga untuk menyingkirkan mayat Ang Hay-liong yang menindih tubuhnya itupun sudah tidak ada lagi. Ia pun kemudian jatuh pingsan di bawah tindihan mayat Ang Hay-liong.

Di sebelah lain tampaklah pertempuran berat sebelah antara Ji Tiat melawan Pang Lun. Meskipun tokoh kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu nampaknya terus mendesak maju dengan beringasnya, namun siapapun akan dapat melihat bahwa sebenarnya dia sendirilah yang bakal kalah. Pang Lun maju asal maju saja, dan tanpa perhitungan sama sekali, bahkan gerakannya menandakan bahwa ia sudah putus asa. Sedang Ji Tiat tetap tenang dan melayaninya dengan segarnya.

Suatu ketika tenaga Pang Lun benar-benar akan terperas habis, sehingga untuk mengadu jiwapun mungkin tidak bisa lagi. Meskipun demikian, Pang Lun sudah bertekad dalam hati untuk mati di tempat itu juga, bersama dengan dua orang saudara angkatnya yang telah mendahuluinya. Ia mengerahkan tenaga terakhirnya, dan laksana seekor harimau gila ia menubruk Ji Tiat, kedua goloknya berusaha “menggunting” leher Ji Tiat.

Ji Tiat bukan orang yang sesabar Kwa Heng. Sambil membentak bengis, ia menggerakkan sepasang kampaknya ke atas dengan gerakan “membuka” membuat sepasang golok Pang Lun terpental ke samping. Habis itu, ia membalas dengan jurus Thi- gu-kay-san (kerbau besi membuka gunung).

Sementara itu Kwa Heng yang tengah bertempur dengan sengit melawan macan betina Siau-lim-pay itupun ternyata sempat melirik keadaan di sekitarnya. Ketika melihat Ui-ki-hu-tong-cu Ji Tiat hendak menurunkan tangan maut kepada diri Pang Lun, si bungkuk itu masih sempat berseru, “Saudara Ji, bukan tugas kita!”

Tingkat ilmu antara Kwa Heng dengan Tong Wi-lian boleh dikatakan sangat seimbang, barang siapa yang lengah sedikit saja pasti akan menderita kekalahan. Dan karena Kwa Heng memperingatkan Ji Tiat, maka perhatiannya agak terpecah, dan itu memberi kesempatan sebuah tendangan Coan-sin teng-kak (Menendang Sambil Memutar Badan) dari Wi-lian mendarat telak di pundak si bungkuk itu. Membuat si Tong-cu dari Ui-ki-tong itu jatuh bergulingan.

Ji Tiat yang mendengar seruan Tong-cunya itu menjadi tertegun sejenak. Ia berusaha untuk menahan laju kampaknya, namun karena ia sudah terlanjur mengerahkan tenaga, maka akibatnya tidak seperti yang diharapkan. Salah satu dari kampak pendek Ji Tiat tetap saja menerjang ke depan dan merobek lambung Pang Lun. Orang kedua dari Hong-ho-sam-hiong itu mengeluh panjang dan terhuyung-huyung ke belakang, dan akhirnya roboh terkapar dengan lambung mengangakan luka yang kemerah-merahan.

Melihat hal itu Tong Wi-lian menjadi sangat marah. Secepat kilat ia melompat menerjang Ji Tiat dengan gerakan Hui-hou-tui (Tendangan Harimau Terbang). Serangan yang mendadak dan penuh dilambari dengan kemarahan itu tidak sempat dihindari sepenuhnya oleh Ji Tiat. Maka Ui-ki-hu-tong-cu itupun kemudian jatuh terbanting dengan persendian tangan yang lepas dari engselnya, itupun masih untung bukan ulu hatinya yang kena tendangan gadis perkasa itu.

Kwa Heng cepat melompat mendekati Ji Tiat untuk melindungi wakilnya itu dari serangan Wi-lian berikutnya. Tanyanya kepada Ji Tiat, “Saudara Ji, beratkah lukamu?”

Ji Tiat ternyata masih dapat melompat bangun, membuat hati Kwa Heng agak lega. Namun sambil menyeringai kesakitan, Ji Tiat memegangi lengannya yang terkulai itu dan berkata, “Hanya melesat persendiannya, Tong-cu. Luar biasa tendangan gadis itu.”

“Kalau begitu, lekaslah bawa pergi tubuh Tan Han-ciang dan usahakan mengobatinya sebisa-bisanya. Aku akan bertahan di sini untuk menghadapi macan betina ini,” kata Kwa Heng tanpa melepaskan pandangannya dari Wi-lian yang saat itu tengah berjongkok di dekat tubuh Pang Lun itu.

Ji Tiat sendiri juga cukup menyadari bahwa ia masih belum mampu menandingi murid Rahib Hong-tay itu. Maka segera dilaksanakannya perintah Tong-cunya tanpa membantah lagi. Lebih dulu ia menendang tubuh Ang Hay-liong yang menindih di atas tubuh Tan Han-ciang, dan tanpa memeriksa lagi apakah Tan Han-ciang masih hidup atau sudah mampus, ia segera memanggul tubuh itu dan dibawanya pergi dari tempat itu. Kwa Heng melindunginya dari belakang.

Wi-lian mengetahui musuh-musuhnya sudah melarikan diri, namun tidak ada semangatnya sedikitpun untuk mengejarnya, sebab seluruh perhatian gadis itu sedang dicurahkan untuk memeriksa luka Pang Lun yang sangat parah itu, dan sedapat mungkin menyembuhkannya. Ia berusaha menghentikan mengalirnya darah dengan segala macam cara yang diketahuinya. Dengan menotok beberapa jalan darah di sekitar luka, atau menaburi luka itu dengan obat luka buatan Siau-lim-si.

Namun segala usaha itu tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, bukan saja karena luka itu terlalu lebar dan terlalu dalam tapi juga karena Pang Lun sendiri agaknya sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan hidupnya. Akhirnya Wi-lian menghentikan usahanya dan cuma menunggu perkembangan dengan sikap putus asa. Dipandanginya saja mulut luka hasil bacokan kampak Ji Tiat yang menyilang dari bawah rusuk kiri sampai sampai hampir mencapai pinggul kanan itu.

Ketika Pang Lun perlahan-lahan membuka kelopak matanya, Wi-lian segera berkata dengan nada menyesal, “Kalian percaya bahwa aku dapat melindungi kalian, tapi ternyata aku demikian tidak becus sehingga telah mengecewakan kalian. Pang Toako, aku bersumpah demi langit dan bumi akan membalaskan sakit hati kaliann ini.”

Bibir Pang Lun yang memucat itu membentuk sebuah senyuman, lalu katanya dengan suara yang terputus-putus, “Ja... jangan mengorbankan... nya... nya... nyawa nona se... secara sia-sia... Kami... cu... cukup berterima... kasih...”

Setelah mengucapkan kalimat itu, ternyata tenaga Pang Lun sudah habis sama sekali. Bahkan bagian kalimat yang terakhir tidak jelas kedengaran, tahu-tahu kepalanya sudah terkulai ke samping, bersamaan dengan terbangnya arwahnya menyusul kedua saudara angkatnya yang telah mendahuluinya.

Hanya sebuah helaan napas Wi-lian yang mengantar kepergian Pang Lun itu. Dengan perasaan yang risau dipandangnya sekelilingnya. Hong-ho-sam-hiong tiga orang tokoh yang pernah disegani sepanjang tepian sungai Hong-ho, yang siang tadi masih segar bugar dan bercakap-cakap dengannya, kini ketiga-tiganya telah berubah menjadi mayat yang terkapar malang melintang disekitarnya. Mayat Ang Hay-liong dan Suma Hun tergeletak dengan mata melotot, menandakan mati penasaran. Meskipun demikian, Wi-lian mencoba mengatubkan mata mereka agar mati dengan mata meram.

“Beginilah keadaan dunia persilatan seperti yang pernah diceritakan oleh Suhu, keras dan tidak kenal ampun,” keluh gadis itu ditujukan kepada dirinya sendiri. “Tetapi ini bukan menjadi alasan bagi kaum pendekar untuk menyembunyikan diri dan menghindari kewajiban, justru menjadi tantangan untuk mengamalkan ilmu silat yang dipelajarinya demi ketentraman sesama manusia, untuk mengimbangi gembong-gembong iblis agar tidak berbuat sewenang-wenang. Orang yang berilmu silat tetapi mencari ketenteraman diri sendiri dengan bertapa ditempat-tempat sunyi, sesungguhnya tidak bertanggung jawab kepada hakekat kependekarannya sendiri.”

Pikiran itu justru semakin mengobarkan tekad Wi-lian untuk menentang Hwe-liong-pang habis-habisan. Dengan demikian barulah dirasakan hidup ini cukup berharga. Meskipun di halaman belakang rumah penginapan itu baru saja terjadi suatu pertempuran yang hebat luar biasa, namun tidak seorangpun dari tetamu rumah penginapan itu yang berani keluar untuk melihatnya. Bahkan mereka semakin meringkaskan diri di dalam selimut masing-masing dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”

Mendadak dari luar rumah penginapan itu terdengar teriakan-teriakan keras yang bercampur aduk dengan derap langkah orang banyak, dan nampak pula sinar obor yang terang benderang telah mengurung tempat itu. Ternyata keributan tadi telah didengar oleh sekelompok petugas keamanan, dan mereka segera memanggil teman-temannya untuk mengepung tempat itu. Bahkan pintu depan telah didobrak dan para prajurit kerajaan itupun membanjir masuk dengan senjata terhunus.

Begitu masuk, langsung saja prajurit-prajurit kerajaan itu memamerkan kegarangannya. Sambil berteriak-teriak mereka menendangi pintu kamar para tamu, memasuki dan menggeledahnya dengan kasar, dengan sikap itu mereka agaknya ingin mendapat pujian sebagai orang-orang yang paling berani di dunia ini. Begitulah sikap rata-rata prajurit-prajurit di jaman menjelang runtuhnya Kerajaan Beng itu.

Disaat rakyat membutuhkan pertolongan, mereka tidak menampakkan batang hidungnya. Tapi jika keadaan sudah aman, muncullah mereka sebagai pahlawan-pahlawan kesiangan, yang bukan menenteramkan hati rakyat tapi sebaliknya malah membuat rakyat semakin tertekan, sebab kelakuan prajurit-prajurit kadang-kadang justru lebih ganas dari perampok-perampok biasa.

Wi-lian sungkan berurusan dengan prajurit-prajurit brengsek itu, apalagi ia sebagai seorang gadis yang tergolong berwajah menarik, tentu akan mengalami kesulitan lebih besar lagi jika tertangkap oleh prajurit-prajurit itu. Namun sebelum ia sempat menyingkirkan diri dari halaman belakang bekas ajang perkelahian itu, beberapa prajurit telah sampai di situ dan langsung berteriak,

“Itu dia penjahatnya! Ternyata seorang perempuan!” Dan yang berada di deretan paling depan dari prajurit-prajurit itu ternyata adalah A-liok, si pelayan rumah makan yang tadi siang meladeni Wi-lian itu. Agaknya pelayan itu pulalah yang telah memanggil prajurit- prajurit itu.

Mendadak timbullah kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu. Jika si kasir bungkuk itu terbukti adalah orang Hwe-liong-pang, maka kemungkinan besar semua penghuni rumah makan inipun ada sangkut pautnya dengan Hwe-liong-pang. Maka timbullah niat Wi-lian untuk meringkus pelayan itu dan mengorek keterangan sebanyak-banyaknya tentang Hwe-liong-pang dari mulut pelayan itu.

Kawanan prajurit itu sebenarnya memang kurang percaya kalau yang disebut penjahat itu ternyata cuma seorang gadis cantik yang tidak membawa senjata sepotongpun. Namun setelah melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman belakang itu, mau tak mau mereka menjadi percaya juga akan keterangan si pelayan. Perwira prajurit-prajurit itu segera memerintahkan anak buahnya untuk menangkap si gadis, tapi ia sendiri mundur ke belakang dan menyembunyikan diri di antara rombongan anak buahnya.

Ternyata bukan prajurit-prajurit itu yang bergerak lebih dulu, namun justru Wi-lian yang menerjang tanpa menunggu gerakan prajurit-prajurit itu. Laksana seekor rajawali yang melayang di angkasa, ia melompat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan pelayan yang bernama A-liok itu. Kecepatan gerak seperti itu tentu saja membuat kawanan prajurit itu melongo.

Dan sebelum kekagetan mereka sirna, Wi-lian telah merangkak ke arah A-liok. Tangan kiri mencengkeram ke jalan darah Gi-bun-hiat di tenggorokan sebagai gerak tipuan, sedangkan dua jari tangan kanannya meluncur untuk menotok siau-yo-hiat di rusuk sebagai serangan sesungguhnya.

Kecurigaan Wi-lian kepada pelayan itu kini terbukti. Pelayan yang tadi siang masih nampak ketolol-tololan itu, ternyata bukan pelayan sembarangan, bahkan dapat bergerak cukup tangkas. Secepat kilat ia menundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran tangan kiri Wi-lian, bahkan kemudian membalas serangan dengan menabas ke jalan darah yang-ti-hiat di lengan kanan gadis itu.

Untunglah bahwa Wi-lian sudah menduga hal itu, maka iapun sudah siap dengan gerakan selanjutnya. Dalam waktu singkat ia telah merubah serangan-serangannya, kini menggunakan Kim-na-jiu-hoat (Ilmu Silat Menangkap dan Mencengkeram). Sekali pergelangan tangannya membalik, maka pergelangan tangan kiri si pelayan telah dapat dicengkeramnya.

Si pelayan mencoba meronta. Namun tangan Wi-lian yang tadinya nampak indah itu, kini telah berubah bagaikan sebuah tangan besi karatan yang kokoh kuat, semakin pelayan itu meronta, semakin sakit. Bahkan pelayan itu merasakan separuh tubuhnya lumpuh. Gerakan gadis itu begitu cepat, sampai prajurit-prajurit yang berada di sekitar pelayan itu tidak melihat bagaimana gerakannya, dan tahu-tahu si pelayan telah diringkus oleh “penjahat perempuan” itu!

Seorang prajurit yang agak punya keberanian segera menusukkan tombaknya ke punggung Wi-lian. Namun Wi-lian tanpa menoleh menghadiahkan sebuah tendangan yang langsung membuat prajurit itu pingsan. Prajurit-prajurit lainnya menjadi gentar melihat ilmu silat selihai itu.

Dalam pada itu, si pelayan ternyata tidak menyerah begitu saja. Ketika Wi-lian hendak menyeretnya pergi, si pelayan malah memasang kuda-kuda sekuat-kuatnya. Apa boleh buat, terpaksa Wi-lian menambahkan sebuah sapuan kaki yang membuat tubuh pelayan itu hampir roboh, namun sebelum benar-benar roboh tahu-tahu pelayan itu telah merasakan tubuhnya “terbang” ke depan karena diseret oleh kekuatan tak terlawan.

Sambil menyeret tubuh pelayan itu, Wi-lian berlompatan di atas genteng-genteng rumah penduduk, menuju ke luar kota Kay-hong. Pelayan itu tidak meronta-ronta lagi karena merasa tiada gunanya melawan lagi. Tentu saja ia tidak mampu mengimbangi kecepatan dan kelincahan gadis yang menyeretnya itu, namun Wi-lian tidak peduli dan terus menyeretnya sehingga pelayan itu megap-megap hampir kehabisan napas, matanya melotot dan bajunya basah kuyup dengan keringat.

Begitu berhasil tiba di luar kota setelah memaksa penjaga pintu untuk membukakan pintu gerbang, Wi-lian dan tawanannya berhenti. Ketika mengingat akan kematian Hong-ho-sam-hiong, Wi-lian menjadi panas hatinya. Dengan keras dibantingnya pelayan itu ke atas tanah berbatu, membuat pelayan itu meringis kesakitan sambil memegangi pantatnya. Namun dengan masih berlagak gagah, pelayan itu membentak,

“Aku sudah menjadi tawananmu, kalau ingin membunuhku, cepatlah lakukan. Aku tidak takut mati, tapi jangan menyiksaku sewenang-wenang.”

Wi-lian tertawa dingin melihat lagak orang itu, katanya, “Manusia semacam kau tidak ada harganya untuk kubunuh dengan tanganku sendiri. Tapi aku dapat membuat keadaanmu terkatung-katung antara hidup dan mati. Karena itu jawablah semua pertanyaan yang akan kuajukan dengan sejujurnya. Yang pertama, apa perananmu dalam Hwe-liong-pang di cabang Kay-hong?”

Pelayan itu berlagak angkuh dan membuang muka ke samping tanpa menjawab. Wi-lian tidak ingin gertakannya dianggap kosong belaka, mendadak tangannya menotok jalan darah ki-koat-hiat pelayan itu. Akibatnya hebat. Pelayan itu tiba-tiba menjerit seperti babi disembelih, ia merasakan seakan-akan ada jutaan ekor semut berada dalam tubuhnya dan sedang menggigit-gigit tulang-tulang dan urat-uratnya.

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada penderitaan sehebat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah dihiasi butiran-butiran keringat dingin sebesar kacang tanah! Karena tidak tahan lagi, akhirnya pelayan itu menjerit dengan menyayat hati,

“Hen... hentikan...!! A...aku bi... bicara...” Wi-lian segera membuka totokannya. “Aku bernama A-liok, ayahku adalah seorang pembuat sepatu yang terbaik di Kay-hong, begitu pula kakekku...” demikian pelayan itu mulai bercerita.

Namun Wi-lian segera menukasnya dengan mendongkol, “Aku tidak tanya silsilah nenek moyangmu.”

A-liok menyeringai, sesaat ia menjadi ragu-ragu. Namun mengingat siksaan yang telah dialaminya tadi, akhirnya ia berkata juga, “Baiklah, tugasku dalam Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning) hanyalah sebagai penghubung yang menyampaikan berita ke sana ke mari. Di Kay-hong ini ada puluhan orang yang sama tugasnya dengan aku.”

“Bagus,” kata Wi-lian. “Siapa saja orang-orang kuat dari Hwe-liong-pang, khususnya Ui-ki-tong, yang berada di Kay-hong kecuali majikanmu yang bungkuk dan orang yang bersenjata sepasang kampak itu.”

“Yang aku kenal cuma mereka berdua itulah, yang dapat dianggap sebagai tokoh kuat.”

Wajah Wi-lian menjadi dingin kembali, jari telunjuk dan jari tengah telah dirangkapkan dan siap untuk menotok lagi. Katanya mengancam, “Rupanya kau masih belum jera akan sikasaanku yang tadi...”

Pelayan yang bernama A-liok itu menjadi ketakutan, katanya terbata-bata, “Ampun, li-hiap (pendekar wanita), aku memang tidak tahu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang di Kay-hong, kecuali kedua orang itu.”

"Kau mengaku bahwa tugasmu adalah penghubung yang menyampaikan berita, bagaimana kau sampai tidak tahu hal itu? Kau kira aku tidak sampai hati untuk menyiksamu lagi?”

Semua kegarangan A-liok sudah kabur tidak tersisa sedikitpun, tanpa malu-malu lagi ia segera berlutut dan berkata setengah meratap, “Li-hiap, biarpun kau akan menyiksaku tiga hari tiga malampun aku tetap tidak akan mampu menjawab, sebab memang aku benar-benar tidak tahu. Aku memang penghubung berita, namun cara menyampaikan berita dalam Hwe-liong-pang kami demikian rapat dan ketatnya. Aku pernah disuruh oleh Kwa Tong-cu untuk menyampaikan surat kepada seorang tokoh Hwe-liong-pang yang lain. Aku hanya dipesan untuk meletakkan surat itu di tempat yang telah ditetapkan, katanya nanti akan ada orang yang mengambilnya dan melanjutkannya.”

Wi-lian tahu bahwa kali ini A-liok tentu tidak berani berbohong lagi, lagi pula yang dikemukakannya itu cukup masuk akal. Diam-diam iapun merasa kagum melihat cara Hwe-liong-pang menjaga kerahasiaan perkumpulannya, bukan saja terhadap orang luar tapi juga terhadap anggotanya sendiri yang bertingkat rendah.

Sebenarnya gadis itu masih ingin bertanya siapakah pemimpin tertinggi Hwe-liong-pang, di manakah pusat kegiatannya, bagaimana bentuk jaringannya dan sebagainya, tetapi mengingat bahwa A-liok hanya seorang anggota rendahan, maka pertanyaan-pertanyaan itu jelas tidak akan terjawab. Susunan Hwe-liong-pang kelompok Ui-ki-tong di Kay-hong saja A-liok tidak bisa menerangkannya, apalagi kalau ditanya tentang Hwe-liong-pang keseluruhannya.

Lalu Wi-lian menggantinya dengan pertanyaan lain, “Bagaimana asal mulanya kau sampai bisa menjadi anggota Hwe-liong-pang?”

Sahut A-liok, “Tadinya aku cuma seorang guru silat yang miskin, muridku cuma beberapa gelintir dan tidak mampu membayar tinggi pula. Uang bayaran dari murid-muridku tidak cukup untuk hidup sebulan. Hutangku menumpuk. Pada suatu hari, dalam keputus-asaanku hampir saja aku menggantung diri, dan saat itu datanglah Ji Tiat, Ui-ki-hu-tong-cu itu, menawarkan kebaikan kepadaku. Yaitu ia akan membayarkan semua hutangku asal aku masuk menjadi anggota Hwe-liong-pang. Aku kenal Ji Toako yang pekerjaan sehari-harinya adalah jagal ternak, dan hampir sama miskinnya dengan aku, aku agak heran juga melihat dia punya uang sebanyak itu. Tapi aku tidak ambil pusing lagi, sehari bisa melanjutkan hidup, biarlah sehari pula umurku bertambah, begitu pikirku. Maka akupun menjadi anggota Hwe-liong-pang, kelompok Ui-ki-tong.”

Wi-lian tertawa dingin, “Hem, hanya karena kesulitan saja kau sampai rela mengorbankan hidupmu menjadi budak dari perkumpulan pembunuh-pembunuh yang kejam itu?”

Tiba-tiba A-liok menggelengkan kepalanya dan berkata, “Li-hiap, agaknya kau keliru pandangan tentang Hwe-liong-pang kami.”

“Keliru? Di bagian mana aku keliru?”

“Li-hiap, kau menganggap Hwe-liong-pang kami sebagai gerombolan pembunuh-pembunuh kejam, padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Kami justru pembela dari rakyat kecil yang tertindas, kami berjuang untuk membuat sebuah dunia baru dengan jalan merombak kebobrokan pemerintahan Kaisar Cong-ceng saat ini. Untuk itu kami membutuhkan kekuatan, itulah sebabnya kami menghimpun kekuatan dengan berbagai cara.”

“Termasuk dengan cara mengancam dan memaksa orang untuk menjadi anggota?”

“Yah, apa boleh buat. Ada orang-orang yang sebenarnya dia mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak, namun mereka ternyata lebih senang hidup santai dan mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan kesengsaraan orang lain. Nah, terhadap orang-orang seperti mereka inilah kami mencoba menggugah hatinya.”

“Misalnya saja Hong-ho-sam-hiong, Hwe-liong-pang kalian tidak berhasil mengajak mereka masuk ke dalam gerombolan kalian, lalu kalian menumpas mereka dan seluruh keluarga mereka dengan kejam. Begitu?” tanya Tong Wi-lian dengan geramnya.

Sahut A-liok sambil menarik napas, “Ah, urusan pembunuhan itu sebenarnya kurang disetujui oleh kelompok Ui-ki-tong kami. Kami lebih suka menambah jumlah anggota dengan pemasukan secara sukarela, atau kadang-kadang juga dengan sedikit tipu muslihat. Namun Ui-ki-tong kami tidak pernah memperbesar anggota dengan cara paksaan seperti itu. Entah kalau kelompok-kelompok lainnya.”

Tiba-tiba di tengah kegelapan malam itu terdengarlah suara tertawa terkekeh-kekeh yang menimbulkan rasa seram. Suara tertawa itu bagaikan menggema dan melingkar-lingkar di udara malam yang dingin membeku itu, disusui dengan perkataan bernada mengejek, “Ha-ha-ha-ha, A-liok, sekarang rupanya kau sudah mulai pintar bicara ya?”

Bukan main terkejutnya Wi-lian mendengar suara itu. Orang yang mampu melontarkan suara tertawa dengan cara seperti itu, pastilah seorang tokoh yang memiliki latihan tenaga dalam cukup sempurna. Dan jika yang datang itu adalah tokoh Hwe-liong-pang, maka Wi-lian meragukan dirinya sendiri apakah mampu menandinginya.

Tapi yang lebih cemas lagi adalah A-liok. Lelaki itu tiba-tiba saja merasa seluruh tubuhnya meremang, mukanya menjadi pucat ketakutan dan gerahamnya gemelutuk keras. Dia tahu pasti siapa yang datang, sehingga diapun tahu pasti nasib apa yang bakal menimpa dirinya.

Sebaliknya Wi-lian adalah seorang gadis bernyali macan. Meskipun tadi ia terkejut mendengar suara tertawa itu, tapi kini keberaniannya telah pulih kembali, bahkan ia berteriak nyaring, “Tikus dari manakah ini yang berani memperdengarkan suara tanpa berani menampakkan batang hidungnya?!”

A-liok menjadi semakin gemetar mendengar betapa Wi-lian berani bersikap demikian. Katanya dengan suara lirih karena takutnya, “Li-hiap, jangan coba-coba menimbulkan kemarahan orang ini. Dia adalah salah satu dari empat orang Su-cia (duta) Hwe-liong-pang kami, yang bernama Sebun Say. Kedudukannya lebih tinggi dari Kwa Tong-cu, demikian pula ilmu silatnya, sedang hatinya kejam tak kenal ampun.”

Namun Wi-lian yang baru saja turun gunung dan masih membekal semangat yang berkobar itu, tidak kenal arti takut sama sekali. Bahkan ia tertawa dan menjawab dengan suara yang sengaja dikeraskan, “Hemm, Su-cia dari Hwe-liong-pang? Orang yang beraninya bersembunyi bagiku tidak lebih dari cucu kura-kura!”

Sebagai jawaban atas tantangan Wi-lian itu, suara tertawa terkekeh-kekeh itu kedengaran lagi, “Heh-heh-heh, anak perempuan yang bernyali besar, sudah sejak tadi aku duduk di sini, kenapa kau tidak melihatnya?”

Cepat Wi-lian memutar tubuh ke arah sumber suara itu. Dan beberapa langkah dari tempatnya berdiri nampaklah ada seseorang yang tengah duduk nongkrong di atas sebuah batu besar. Di bawah cahaya bulan dan bintang yang redup, nampaklah bahwa ujud orang itu sangat mengerikan. Orang itu sudah ditaksir usianya dengan tepat, tapi jelas tidak muda lagi. Tubuhnya pendek sekali, hanya setinggi pinggang orang biasa, namun ukuran kepalanya justru sangat besar dan hampir dua kali lipat ukuran kepala orang biasa.

Matanya tajam dan bersinar dengan buasnya. Rambut, kumis dan jenggotnya tumbuh jarang-jarang, dan berwarna kemerah-merahan seperti orang Se-hek, serabutan tidak teratur. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Secara keseluruhan, tampangnya cocok dengan tampang siluman yang sering digambarkan dalam dongeng-dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak kecil.

Agak jauh di belakang orang itu, nampaklah dua sosok tubuh lainnya. Yang seorang bertubuh kurus kering dan berpunggung bungkuk, yang seorang lagi tinggi tegap, tapi sebelah tangannya nampak tergantung di pundaknya dengan sehelai kain. Kedua orang itu adalah Kepala Kelompok dan Wakil Kepala Kelompok dari Ui-ki-tong, yaitu Thi-jiau-tho-wan Kwa Heng dan Siang-po-kay-san Ji Tiat.

Sedangkan manusia bertampang siluman itu bernama Sebun Say, salah seorang dari empat orang utusan Keliling Hwe-liong-pang Pusat. Dalam Hwe-liong-pang, jabatan Utusan Keliling adalah lebih tinggi dari delapan Tong-cu (Pemimpin Kelompok), bahkan seorang Utusan Keliling berhak menghukum mati seorang Tong-cu yang dianggap bersalah besar terhadap Pang.

Tadinya Sebun Say adalah seorang pentolan golongan hitam yang cukup ternama di wilayah Kam-siok dan Jing-hay, dan entah bagaimana kemudian tokoh ini rela tunduk kepada Hwe-liong-pang-cu (Ketua Hwe-liong-pang) dan mendapat kedudukan sebagai salah seorang duta keliling. Kepandaian Sebun Say tergolong tangguh, sebab dalam deretan “Sepuluh Tokoh Sakti” ia menduduki urutan ke delapan. Meskipun urutan “Sepuluh Tokoh Sakti” itu sudah daluwarsa, namun orang yang berhasil duduk di dalamnya pastilah bukan tokoh sembarangan.

Saat itu Sebun Say tengah memandang A-liok dengan tatapan matanya yang mengerikan, dan orang yang dipandangnya menggigil seperti orang terserang demam. Wajah Sebun Say nampak berkerut-kerut seperti berpikir keras dan kepalanya terangguk-angguk kecil, lalu katanya dengan nada santai,

“A-liok, Hwe-liong-pang kita yang jaya ini bisa hancur berantakan jika terlalu banyak anggotanya yang pengecut seperti kau. Gadis ini sudah melukai Ang-ki-hu-tong-cu Tan Han-ciang serta Ui-ki-hu-tong-cu Ji Tiat, jelas dia adalah musuh besar Pang kita, tapi kenapa kau malah demikian akrab kepadanya dan bahkan banyak bercerita tentang rahasia Pang kita? he-he-he, A-liok, tahukah kau apa hukuman bagi orang yang membocorkan rahasia Pang?”

A-liok sudah mengenal kekejaman orang cebol ini, yang menilai nyawa manusia sama rendahnya dengan nyawa lalat saja. Dengan suara yang gemetar ketakutan, A-liok berkata, “Harap Sebun Su-cia mengetahui, bahwa meskipun aku bersalah tapi aku belum memberitahukan semua rahasia Pang kepadanya. Lagipula aku dipaksa bicara olehnya, harap Su-cia mengampuni aku.”

Selama berbicara kepada A-liok, Sebun Say tidak melirik sedikitpun kepada Wi-lian, sikapnya sangat memandang rendah kepada Wi-lian. Sikap seperti itu agaknya telah membuat Wi-lian mendidih darahnya dan bertekad untuk menguji sampai di mana kehebatan tokoh cebol ini.

Agaknya Sebun Say sangat senang menyiksa perasaan A-liok, sambil tetap tertawa-tawa ia berkata lagi, “Kau sudah tahu aturan keras dari Pang kita bukan? Siapa yang bersalah, harus menerima hukumannya, tidak peduli meskipun punya alasan segudang. Sebab kalau tidak demikian, akan menjadi kebiasaan buruk anggota-anggota lainnya. Jelas?”

Suara A-liok menjadi semakin parau, bahkan ingin berbicarapun sudah tidak jelas lagi. Sementara itu Sebun Say dengan santai telah mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam jubahnya, dan dari dalam botol itu ia mengeluarkan sebutir obat pulung berwarna hitam. Sambil menimang-nimang pil itu, ia bertanya lagi kepada A-liok, “Racun Penghancur tubuh ini ingin kau telan sendiri atau aku sendiri yang harus mencekokkannya?”

Ketika itu muka A-liok kelihatan memelas sekali. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, hanya dengan pandangan mata yang kosong ia menatap pil hitam di telapak tangan Sebun Say itu.

Melihat keadaan A-liok itu, tiba-tiba timbul juga belas kasihan Wi-lian, apalagi kalau mengingat bahwa A-liok mau bicara karena ia yang memaksanya. Jiwa kesatrianya segera bergolak hebat. Tanpa kenal takut ia segera menghadang di depan tubuh A-liok sambil membentak, “Akulah yang telah memaksa A-liok untuk berbicara. Setan cebol, kau boleh minta pertanggungan jawab dari aku!”

Sebun Say cuma melirik dingin ke arah Wi-lian, dan sahutannyapun sedingin sikapnya, “Ini adalah urusan rumah tangga Hwe-liong-pang kami sendiri, kau sebagai orang luar tidak perlu ikut campur. Jika kau ingin dihajar, sebentar lagipun akan kukabulkan keinginanmu itu.”

Wi-lian menjadi sangat geram melihat sikap Sebun Say yang sangat meremehkannya itu. Sambil mengepalkan kedua tinjunya, ia berseru lagi, “Tidak perlu menunggu sampai nanti, sekarangpun kutantang kau bertempur sampai salah seorang terkapar mampus di sini. Atau jika kau merasa takut, kau boleh menggelinding pergi dari sini sekarang juga!”

Dalam puluhan tahun petualangannya sebagai tokoh yang ditakuti, kapan pernah Sebun Say dimaki-maki habis-habisan seperti ini? Bahkan yang memaki-makinya hanya seorang gadis remaja, dan di hadapan beberapa bawahannya pula, maka akhirnya meluap juga kemarahannya. Ia melompat turun dari batu besar yang didudukinya dan melangkah perlahan-lahan ke arah Wi-lian.

Di saat itulah tiba-tiba A-liok bangkit berdiri dan menghadang ke hadapan Wi-lian. Katanya sambil menjura kepada gadis itu, “Terima kasih atas usaha Li-hiap menyelamatkan jiwaku. Tapi usaha Li-hiap akan sia-sia saja di hadapan iblis cebol tak berperikemanusiaan ini. Lebih baik Li-hiap cepat-cepat menyingkir dari sini.”

Dalam ucapan ini A-liok berterima kasih kepada Wi-lian tapi sekaligus memaki kepada Sebun Say. Keruan iblis cebol itu jadi murka bukan kepalang, teriaknya, “A-liok, kau sudah bosan hidup?”

Waktu itu rasa takut A-liok sudah lenyap semua karena putus asanya. Maka sambil membalik tubuh menghadap Sebun Say, ia menyahut dengan sama kerasnya, “Andaikata aku masih ingin hiduppun, kau pasti mendesakku untuk cepat mati. Hemm, aku memang tidak takut mati, lekas serahkan pil itu kepadaku.”

Kemarahan Sebun Say tidak terkendali lagi. Sebelum A-liok sempat menutup mulutnya, ia telah menyentilkan pil itu sehingga melesat masuk ke dalam mulut A-liok, bahkan langsung turun ke dalam perut. A-liok tertegun mengalami kejadian itu, sesaat ia berdiri tertegun dan bengong. Insyaflah ia bahwa nyawanya sudah tidak dapat diselamatkan sama sekali, sebab racun ganas itu kini sudah ada di dalam perutnya. Akhirnya, dengan kalapnya ia menerjang ke arah Sebun Say dengan kedua tangan yang terjulur ke depan, bermaksud akan mencekik orang cebol yang tadinya ditakutinya itu.

Namun kerja racun itu terlalu keras dan cepat. Kurang dua langkah sebelum mencapai Sebun Say, tiba-tiba A-liok mengaduh dan menggeliat. Ia roboh terkapar dan beberapa saat lamanya ia meronta melawan maut sambil menggeram seperti binatang disembelih. Kulitnya melepuh menjadi kehitam-hitaman, sementara dari lubang-lubang panca-inderanya pun meleleh darah berwarna hitam berbau busuk. A-liok tidak terlalu lama menanggung penderitaan.

Yang selanjutnya terjadi di depan mata Wi-lian adalah suatu perkembangan yang membuat gadis itu hampir muntah-muntah. Wi-lian melihat bagaimana kulit yang melepuh kehitaman itu mulai “retak” dan mengeluarkan cairan busuk, daging A-liok pun dengan cepatnya “mencair” menjadi air hitam yang langsung meresap ke dalam tanah. Dan beberapa detik kemudian yang namanya A-liok tinggallah sesosok kerangka putih basah tanpa daging secuilpun, dan seonggok pakaian serta segumpal rambut di bagian kepala, hanya itu.

Sekuat tenaga Wi-lian berusaha menekan perasaannya agar tidak sampai muntah-muntah di depan musuhnya. Sedangkan Sebun Say memandang sisa-sisa tubuh A-liok dengan bangganya, seperti seorang seniman yang tengah menikmati hasil karyanya. Lalu ia mengangkat muka dan memandang kepada Wi-lian,

“Bagaimana kehebatan Pil Penghancur Tubuh dari Hwe-liong-pang kami? Kau sudah menyaksikan sendiri akibatnya.”

Gadis itu belum membuka mulutnya sebab masih berusaha mengatasi rasa mualnya. Sementara si iblis cebol telah berkata lagi, “Nona, aku lihat kau adalah seorang yang punya keberanian dan berkepandaian tinggi pula. Bahkan secara terbuka kuakui bahwa kepandaianmu barangkali lebih tinggi dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang kami. Sekarang aku tawarkan kepadamu, bagaimana kalau kau bergabung dengan Hwe-liong-pang saja? Tenagamu pasti akan sangat dihargai oleh Pang-cu kami.”

Perlahan-lahan rasa mual di perut Wi-lian mereda, lalu jawabnya dingin, “Sedikitpun tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan masuk bergabung dengan Pang busuk kalian itu. Apalagi setelah melihat perbuatan-perbuatan kejam kalian.”

Sebun Say tertawa terkekeh-kekeh, “Membunuh A-liok bukan perbuatan kejam, tapi hanya menjalankan tata tertib dalam Pang kami. Aku sendiripun akan mengalami nasib yang sama jika berbuat kesalahan tak berampun.”

Hati Wi-lian yang bergejolak itu berangsur-angsur menjadi tenang kembali, bahkan ia kini mulai menggunakan otaknya. Dengan cerdik ia mulai mencoba mengorek keterangan, “Mungkin juga aku bisa tertarik untuk menjadi anggota Pang kalian. Namun aku belum tahu di mana bisa menjumpai Pang-cu kalian? Dan siapakah sebenarnya orang yang menjadi Pang-cu kalian itu?”

Sebun Say tertawa terbahak-bahak mendengar pancingan Wi-lian itu. Katanya, “Kau memang licin seperti rase. Kau kira dengan pertanyaanmu yang bodoh itu akan dapat memancing keterangan dari mulutku? Kau kira aku segampang A-liok untuk dijebak? He-he, kau benar-benar amat memandang rendah diriku.”

Karena maksudnya dapat ditebak oleh lawan, Wi-lian menjadi jengkel dan memutuskan untuk “main keras” saja. Tapi sebelum gadis itu membuka mulutnya, Sebun Say telah berkata, “Kau dapat memutuskan sekarang juga untuk menolak atau menerima tawaranku tadi. Bila kau menerima, tanpa bertanyapun kau akan mengetahui semua seluk-beluk tentang Pang kami.”

“Kalau menolak?”

Muka Sebun Say berubah jadi dingin membesi, sahutnya patah demi patah kata, “Sayang sekali gadis secantik dan sepandai kau harus dilenyapkan dari muka bumi.”

Sedangkan sahutan Wi-lian ternyata kalem saja, “Aku menolak. Sebenarnya aku segan berkelahi dengan anak kecil seperti kau, tapi jika kau terlalu nakal, terpaksa akan kujewer kupingmu.”

Meskipun tubuh Sebun Say kecil dan pendek, tapi usianya sudah limapuluh tahun lebih, dan kini Wi-lian mengejeknya sebagai “anak kecil” tentu saja kemarahannya tak terbendung lagi. “Bagus!!” teriaknya murka. “Kau agaknya benar-benar telah menelan hati macan dan empedu beruang sehingga punya nyali sebesar itu untuk menentang kami. Tetapi kau akan menyesal. Aku bukan cuma bisa menggertak tapi juga bisa melaksanakan ancamanku.”

“Nah, kalau begitu kenapa dari tadi kau cuma berkaok-kaok saja?”

Muka Sebun Say menjadi merah padam, kumis dan jenggotnya yang berwarna pirang itu mulai bergetar, sehingga tampangnya yang menyeramkan itu bertambah menyeramkan. Selangkah demi selangkah ia mendekati Wi-lian, namun gadis itu nampak tidak gentar sedikit pun.

Di saat itulah tiba-tiba Kwa Heng yang sejak tadi berdiri di pinggir arena itu kini melompat ke depan. Katanya sambil menjura kepada Sebun Say, “Sebun Su-cia, maafkan kelancanganku. Sebelum Su-cia bertindak, maukah Su-cia mendengarkan beberapa patah perkataanku?”

Sebun Say menghentikan langkahnya dan mendengus, “Ada apa lagi, Kwa Tong-cu?”

Kwa Heng berkata dengan hati-hati, “Kebijaksanaan yang digariskan oleh Pang-cu ini hanyalah menghimpun kekuatan, dan sesedikit mungkin menimbulkan bentrokan dengan golongan lain. Harap Su-cia ketahui bahwa gadis ini adalah murid kesayangan Rahib Hong-tay dari Siau-lim-pay. Jika sampai kita timbul urusan dengan pihak Siau-lim-pay, maka perjuangan kita selanjutnya pasti akan terhambat.”

Tapi Sebun Say menyahut dengan dingin, “Aku tidak peduli semua itu. Aku tidak takut kepada kawanan keledai gundul (olok-olok untuk kaum paderi) Hong-tay, Hong-gan, Hong-pek, Hong-bun atau keledai-keledai gundul lainnya. Hwe-liong-pang kita tidak boleh menunjukkan sikap benci. Apalagi kalau diingat bahwa bukan kita yang lebih dulu membentur Siau-lim-pay, tetapi gadis tak tahu diri inilah yang lebih dulu mengganggu dan mencampuri urusan kita dengan jalan membantu Hong-ho-sam-hiong. Bahkan ia berani pula menciderai dua orang Hu-tong-cu kita. Nah, Kwa Tong-cu, apa jawabmu?”

Kwa Heng cukup mengenal tabiat si cebol ini. Apa yang sudah diucapkannya, apalagi terhadap bawahannya, tidak mungkin terbantah lagi dan harus dilaksanakan. Maka Kwa Heng hanya bungkam saja dan tidak menyahut sepatah katapun. Sedang Sebuh Say telah membentaknya, “Minggir kau! Aku akan mencincang gadis gila ini!”

Apa boleh buat, terpaksa Kwa Heng menyingkir dan membiarkan si cebol ini berbuat semaunya. Tapi pandangan matanya sempat memancarkan perasaan sayang jika sampai gadis seberani dan selihai Wi-lian harus mati sia-sia di tangan siluman cebol itu.

Dalam pada itu Sebun Say sudah tidak sabar lagi. Sambil berteriak tajam ia menubruk ke depan, dan sepasang tangannya yang pendek-pendek itu serempak melancarkan sebuah pukulan penuh tenaga yang membawa kesiur angin tajam. Wi-lian memang sudah siap sejak tadi. Ia tahu bahwa dalam hal tenaga ia tidak menang dari lawannya, maka ia harus menggunakan akal untuk menghindari benturan kekuatan dengan lawannya.

Karena itu, begitu melihat Sebun Say bergerak, cepat gadis itu menggeserkan kedudukannya ke “pintu” tong-mui (istilah silat aliran Siau-lim) sambil merendahkan kuda-kudanya. Serentak tangannya pun menyanggah ke atas dengan gerakan Hui-tui-pay-Hud (Menekuk Lutut Menyembah Buddha).

Tepat sekali telapak tangan Wi-lian berhasil menyanggah lengan tokoh Hwe-liong-pang itu, namun tetap saja gadis itu terpental empat langkah ke belakang. Ternyata tangan Sebun Say yang kelihatannya kecil-kecil itu mampu melepaskan pukulan seberat batu gunung. Sesaat lamanya Wi-lian merasa pernapasannya agak terganggu.

Namun tidak terkecuali Sebun Say pun ikut terkejut dalam benturan itu. Sebenarnya Sebun Say bermaksud hendak pamer kepandaian di hadapan Kwa Heng dan Ji Tiat, yaitu hendak membunuh Wi-lian dalam sekali gebrakan saja. Dia yang sangat membanggakan kedudukannya sebagai tokoh ke delapan dari “Sepuluh Tokoh Sakti” itu ingin menambah pamornya.

Namun ternyata ia hanya berhasil membuat gadis itu mundur empat langkah, tanpa menimbulkan cidera sedikitpun pada gadis itu. Tentu saja Sebun Say kaget dan penasaran melihat hal ini. Gebrakan yang gagal itu telah membuatnya malu. Begitu kakinya menginjak tanah, ia sudah melompat lagi, kali ini dengan tubuh miring, sambil berseru bengis, “Sambut sekali lagi!”

Serangan kali ini berbentuk seperti cakar elang, mengarah ke batok kepala Wi-lian. Dengan mengerahkan segenap ketangkasannya, barulah Wi-lian berhasil menghindar ke samping. Sebenarnya gadis ini hendak mengandalkan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) untuk menandingi lawan, tapi tak terduga si iblis cebol itupun seorang ahli gin-kang yang hebat juga, bahkan lebih unggul daripada Wi-lian.

Hal itu terbukti ketika serangan Sebun Say mengenai tempat kosong, maka cukup hanya dengan mengibaskan lengan jubahnya ia telah dapat mengubah arah luncuran tubuhnya dan bergelok di tengah udara, serta tetap dapat memburu ke manapun Wi-lian menghindar. Terkesiaplah Wi-lian melihat ilmu silat sehebat itu. Ia tidak sempat menghindar lagi, mau tidak mau ia harus menyongsong serangan itu.

Detik ketika terkaman Sebun Say tiba, cepat Wi-lian melakukan gerak Hong-tiam-thau (Burung Hong Menggangguk) sambil memutar tubuhnya, dan di lain detik ia telah menyambungnya dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor), di mana tumit kakinya terayun deras ke lambung Sebun Say. Kali ini karena telah kehabisan tenaga luncuran, terpaksa Sebun Say melakukan putaran di udara dan kemudian mendarat.

Begitulah, kedua orang itu telah mulai melakukan serang-menyerang dengan sengit dan cepatnya. Ternyata hanya dengan bermodalkan tekad dan keberanian saja masih belum cukup bagi Wi-lian jika ingin menandingi iblis cebol yang pernah malang- melintang di kawasan Kam-siok dan Jing-hay itu.

Manusia pendek kecil yang menduduki urutan ke delapan dari sepuluh tokoh sakti jaman itu ternyata memang benar-benar seorang tokoh yang luar biasa. Wi-lian kalah dalam segala-galanya. Baik dalam hal gin-kang, lwe-kang (kekuatan dalam), kecepatan, gerak tipu, apalagi dalam hal pengalaman dan kekejaman.

Tetapi yang membuat orang-orang Hwe-liong-pang itu tercengang adalah suatu kenyataan di mana Wi-lian mampu memberi perlawanan yang ulet sekali dalam dua puluh jurus, meskipun hanya bersikap bertahan dan membalas saja. Padahal menurut perhitungan orang-orang Hwe-liong-pang itu, paling banter gadis yang baru berumur dua puluh tahun itu hanya akan sanggup bertahan lima atau enam jurus, itupun dalam keadaan pontang-panting. Namun yang terjadi ternyata di luar perhitungan.

Bagi Sebun Say, tidak dapat segera menjatuhkan lawannya yang dianggapnya masih ingusan itu, dianggapnya sebagai aib luar biasa dalam pamornya. Dengan geram iatrs memperberat tekanannya. Sebaliknya Wi-lian merasakan tangannya semakin sakit, seakan-akan setiap kali tangannya itu diadu dengan lempengan-lempengan besi. Andaikata tenaga Wi-lian belum banyak terkuras ketika bertempur dengan Kwa Heng tadi, agaknya gadis itu masih akan dapat memperpanjang perlawanannya, meskipun pada akhirnya toh akan kalah juga.

Apalagi kini ia sudah dalam keadaan kelelahan. Maka dengan cepatnya gadis itu telah jatuh di bawah angin, keadaannya kini seperti telur di ujung tanduk. Hanya dengan menggertak gigi dan mengeraskan hati saja, Wi-lian terus melawan. Dan perlawanannya itu dapat memperpanjang pertempuran sampai belasan jurus lagi.

Memasuki jurus ke empat puluh, mulailah Wi-lian merasakan dadanya sesak dan napasnya tersengal-sengal. Jantungnya seakan-akan memompa darah lima kali lebih cepat dari biasanya, dan pandangan matanyapun mulai kabur kekuning-kuningan. Mati-matian gadis itu terus bertahan agar kesadarannya tidak lenyap, sebab begitu kesadarannya lenyap, maka nasibnyapun tidak akan jauh berbeda dengan nasib A-liok.

Mendadak sebuah sodokan telapak tangan Sebun Say menghantam muka Wi-lian, meskipun gadis itu dapat menghindarinya dengan memiringkan pundaknya, tetapi tak urung pukulan itu menyerempet pundak gadis itu. Seketika itu juga Wi-lian merasa tubuhnya bagaikan tertimpa sebuah palu godam yang puluhan kati beratnya. Ia jatuh terpelanting dan terguling-guling belasan langkah jauhnya. Ia masih belum pingsan, namun jelas perlawanannya sudah habis sampai di situ.

Kwa Heng menarik napas menyesal melihat peristiwa itu. Sebenarnya ia berkesan baik terhadap murid Siau-lim-pay yang gagah berani itu, tetapi ia tidak berdaya sebab tidak mungkin ia menentang atasannya sendiri. Dan dengan alis berkerut, Sebun Say melepaskan hantaman terakhirnya untuk memecahkan batok kepala gadis itu, yang masih terkapar tak mampu bangun itu.

Wi-lian masih berbaring tak berdaya, pundaknya yang terserempet pukulan Sebun Say itu terasa nyeri sekali, meskipun nampaknya tidak ada tulangnya yang patah karena tidak terpukul secara telak. Tapi apa gunanya seandainya tidak ada tulang patah, sedangkan ia sudah tak mampu bergerak dan tinggal menunggu kematian?

Dengan mata terbuka lebar-lebar, secara tabah Wi-lian melihat pukulan yang akan meremukkan kepalanya itu tengah meluncur datang. Sekali lagi Kwa Heng kagum melihat ketabahan gadis itu. Namun umur gadis itu agaknya belum ditentukan berakhir sampai di situ saja. Pada detik yang gawat itu mendadak sebutir kerikil melesat membelah udara malam, dan langsung mengincar ke arah jalan darah soan-ki-hiat di dada Sebun Say.

Terkejutlah siluman cebol itu melihat sambaran batu kecil yang tepat mengincar jalan darah mematikan itu. Sebagai seorang ahli yang bermata tajam, ia dapat melihat bahwa kerikil itu dilontarkan oleh seorang tokoh yang tingkatan tenaga dalamnya di atas tingkatnya sendiri!

Dengan agak gugup ia menarik pukulannya dan langsung menekuk punggungnya ke belakang dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), dengan demikian barulah ia lolos dari sambaran mematikan itu. Tapi keringat dinginnya sempat juga membanjir keluar membasahi punggungnya.

Begitu ketenangannya telah pulih kembali, Sebun Say segera meraung dengan suara gusarnya, “Tikus busuk dari manakah ini yang sudah bosan hidup?! Hayo keluar!!”

Terdengar suara tertawa yang ringan dan lunak, sedap didengarnya, disusul dengan kata, “Hebat, saudara Sebun, enam tahun kita tidak bertemu dan ternyata kepandaianmu telah meningkat sehebat itu. Bahkan kudengar kabar angin bahwa kau sudah menjadi orangnya Hwe-liong-pang-cu? Ha-ha, selamat!”

Lalu bagaikan sesosok hantu saja, tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang lelaki setengah umur, meskipun wajahnya tidak tampan namun selalu nampak riang dan berseri-seri, rambutnya pun tersisir rapi tidak kalah dengan anak-anak muda. Tapi pakaian yang dikenakannya ternyata justru berlawanan dengan keadaan tampangnya yang bersih itu.

Ia memakai jubah sastrawan yang sudah begitu tuanya sehingga tidak dapat ditebak lagi warna aslinya, sepatunya juga sudah sangat tua sehingga ibu jari kaki si pemakai ikut mengintip keluar. Sedang tangan kirinya memegang sebuah kipas berwarna hitam, entah terbuat dari bahan apa, yang selalu dibuka dan ditutup dengan bergaya.

Sebun Say terkejut sekali melihat kemunculan orang itu. Geramnya dengan sengit, “Hah, kiranya kau?! Bangsat rudin she Liu, kenapa kau selalu mencampuri urusanku?”

Orang berjubah sastrawan itu tertawa-tawa dan menyahut dengan kalemnya, “Saudara Sebun, kenapa kau tidak gembira dengan pertemuan kita ini dan malahan marah-marah? Kedatanganku justru untuk kebaikanmu. Tahukah kau bahwa begitu kau membunuh anak perempuan ini, maka seumur hidupmu kau tidak akan tenteram lagi?”

“Hemm, aku tahu bahwa anak perempuan ini punya tulang punggung rombongan keledai gundul dari Siong-san itu, tapi aku tetap akan membunuhnya,” kata Sebun Say sambil mengertak gigi. “Orang she Liu, jika benar kau ingin berbaikan dengan aku, tentu kau akan merahasiakan kejadian ini sehingga kawanan keledai gundul itu tidak tahu kejadian malam ini.”

Demikianlah, di balik kata-katanya yang garang itu, tanpa sadar Sebun Say telah menunjukkan rasa takutnya terhadap tokoh-tokoh Siau-lim-pay. Sastrawan she Liu itu tertawa sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, “Saudara Sebun, jika kau tidak takut kepada mereka, kenapa kau minta kepadaku untuk merahasiakan peristiwa ini? Lagipula bukankah kau sudah tahu tabiat burukku, yaitu mulutku ini paling tidak tahan untuk tidak berbicara. Sehari dua hari mungkin aku bisa menahan mulutku, tapi entahlah untuk seterusnya.”

Gigi Sebun Say gemeretak karena kesal dan jengkelnya. Namun terhadap orang bertampang seperti sastrawan rudin itu, ia tidak berani gegabah. Katanya dengan sengit, “Kutu buku busuk! Kenapa kau tidak bilang saja terang-terangan bahwa kau ingin membela murid keledai gundul ini? Kenapa mesti bicara berputar-putar?”

Sastrawan she Liu itu pura-pura memperlihatkan sikap menyesal, dan sambil menarik napas ia berkata, “Yah, akhirnya kau dapat menebaknya juga. Sebetulnya aku agak sungkan mengatakannya kepadamu, kau maklum bukan? Aku kan sastrawan....”
Selanjutnya;