Perserikatan Naga Api Jilid 11Karya : Stevanus S.P |
Tan Han-ciang segera mengurai pecut bajanya yang terlilit dipinggangnya dan segera menggetarkannya di udara. Suara geletarnya terdengar mengerikan bagai suara halilintar. Dengan senjatanya inilah Tan Han-ciang sekaligus menyapu ke arah Ang Hay-liong dan Pang Lun yang tengah bergerak maju. Agaknya kali ini Tan Han-ciang salah dalam membuat perhitungan. Dalam keadaan biasa, Hong-ho-sam-hiong memang bukan orang-orang yang terlalu ditakuti karena kepandaian mereka yang tidak begitu tinggi.
Namun kali ini mereka sudah dalam keadaan nekad dan tidak peduli lagi mati hidupnya sendiri. Karena itu, sapuan cambuk baja Tan Han-ciang itu tidak membuat Ang Hay-liong dan Pang Lun mundur, melainkan mereka terus merangsek dengan keras kepala. Mau tidak mau Hu-tong-cu dari Ang-ki-tong itulah yang harus melompat mundur dengan kagetnya. Terdengar Pang Lun berteriak melengking, sepasang liu-yap-tonya bergerak sekaligus dengan dua jurus yang berbeda. Golok di tangan kanan menyapu dengan jurus Ciu-hong-sau-yap (Angin Kemarau Menyapu Daun), dan golok kiri bergerak mendatar ke depan setinggi dada dengan gerakan Wan-hun-kok-so (Arwah Penasaran Mengajukan Tuntutan). Kedua gerakan itu amat ganas dan merupakan jurus-jurus andalan dari tokoh penengah Hong-ho-sam-hiong ini. Dari jurusan lain, Ang Hay-liong pun telah menyerang dengan gerakan aneh. Ia memegang sam-ciat-kun pada ruas tengahnya, sedangkan kedua ruas pinggirnya bergerak menyerang jalan darah tay-yang-hiat di pelipis dan tan-yang-hiat di belakang kepala Tan Han-ciang. Kedua jalan darah itu merupakan jalan darah jalan darah kematian. Betapapun Tan Han-ciang adalah Ang-ki-hu-tong-cu yang cukup disegani, karena didesak begitu rupa, akhirnya meluap juga kemarahannya. Wajahnya tiba-tiba menyeringai kejam, menamplkan hawa napsu membunuh yang mulai menguasai dirinya. Cambuk bajanya diputar kencang, dan bagaikan seekor naga yang meluncur dari langit, cambuk itu menyambar ke jalan darah pek-hwe-hiat di ubun-ubun Pang Lun. Bersamaan dengan itu telapak tangan kirinya pun ikut bekerja dengan melakukan babatan keras ke rusuk Ang Hay-liong. Golok liu-yap-siang-to Pang Lun pendek, sedang cambuk lawan panjangnya satu tombak lebih, maka sebelum golok Pang Lun mengenai kulit lawan, pasti batok kepalanya akan lebih dulu remuk terhantam cambuk baja lawannya. Namun sekali lagi Pang Lun berbuat suatu tindakan yang diluar perhitungan lawannya. Ia tidak mundur, namun justru mempercepat luncuran majunya dan mengubah gerakan sepasang goloknya menjadi jurus Siang-seng-tui-goat (Sepasang Bintang Mengejar Rembulan), di mana sepasang goloknya bergerak sejajar ke dada lawannya. Dengan demikian, meskipun cambuk Tan Han-ciang akan memecahkan kepalanya, tapi sepasang golok Pang Lun pun akan menancap di dada Tan Han-ciang. Tan Han-ciang, orang yang bisa membunuh korban-korbannya dengan darah dingin itu kali ini mau tidak mau merasa ngeri juga diajak bertempur secara gila-gilaan semacam itu. gerakannya menjadi agak kacau karena hatinya mulai gugup. Sabetan telapak tangannya memang berhasil mengenai rusuk Ang Hay-liong, namun karena pemusatan pikirannya sedang tergoncang, maka daya pukulannya pun berkurang banyak. Pukulan yang seharusnya bisa menjebol iga Ang Hay-liong, kini hanya membuat lawannya itu terhuyung ke belakang. Pada detik yang sama terdengar suara kain terkoyak dan suara Tan Han-ciang yang memaki geram. Ternyata sepasang golok liu-yap-to Pang Lun sempat juga membuat robekan sejajar pada pakaian di dadanya meskipun tidak melukai sebab orang she Tan itu sempat melompat mundur. Dalam bingungnya, Tan Han-ciang menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi Pang Lun yang berkelahi seperti kerasukan setan. Dan tanpa disadarinya, ia bergulingan kearah lingkaran pertempuran antara Ji Tiat dengan Suma Hun yang sedang seru-serunya. Saat itu sebenarnya Suma Hun sedang merasa putus harapan karena lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu ternyata begitu hebat. Bahkan ia dapat meladeni kenekatan Suam Hun dengan tenangnya. Ketika melihat Tan Han-ciang bergulingan mendekat kearahnya, seketika itu juga timbullah pikiran nekad Suma Hun, “Lambat atau cepat aku pasti akan mati. Daripada aku mati percuma, lebih baik kubunuh salah seorang Hwe-liong-pang ini agar mereka pun menderita kerugian.” Membunuh Ji Tiat sudah terang tidak bisa, maka Tan Han-ciang lah sasaran yang lebih mudah dijangkau. Dan di luar dugaan siapapun, tiba-tiba Suma Hun mengayunkan tongkat besinya untuk mengepruk kepala Tan Han-ciang yang sedang bergulingan di dekatnya. Padahal ia sendiri sedang terancam oleh serangan ganas sepasang kapak Ji Tiat, namun hal ini sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan Suma Hun berteriak, “Biar aku mampus, paling tidak di antara kalian juga harus ada yang mampus!” Sikap yang demikian nekadnya itu mau tidak mau membuat tercengang siapapun yang melihatnya, termasuk Wi-lian di tempat persembunyiannya yang hampir copot jantungnya melihat peristiwa itu. Sedetik lagi, batok kepala Tan Han-ciang akan remuk terhantam toya besi Suma Hun, tapi bersamaan dengan itu tubuh Suma Hun pun akan dirajang menjadi beberapa potong oleh sepasang kapak Ji Tiat. Adegan pertarungan sebrutal dan segila itu bahkan belum pernah sekalipun dilihat oleh Kwa Heng yang sudah cukup berpengalaman. Di saat sepasang kapak pendek Ji Tiat hampir mengenai tubuh Suma Hun, tiba-tiba terdengarlah Kwa Heng berkata tidak begitu keras tetapi bernada tegas, “Saudara Ji, itu bukan tugas Ui-ki-tong kita!” Sedangkan Tan Han-ciang dengan mengerahkan seluruh ketangkasannya barulah dapat menghindari serangan maut Suma Hun dan melompat bangun dengan keringat dingin membasahi punggungnya. Hatinya panas bukan main ketika mendengar seruan Kwa Heng kepada Ji Tiat tadi. Pikirnya dengan geram, “Orang-orang Ui-ki-tong benar-benar tidak menghargai setia kawan antar sesama anggota Hwe-liong-pang. Agaknya mereka tidak ambil peduli andaikata aku mampus sekalipun. Suatu saat mereka harus mengenal kelihaian Ang-ki-tong kami.” Sementara itu Suma Hun sendiri merasa heran, kenapa lawannya yang bersenjata sepasang kapak pendek itu tidak melanjutkan serangannya? Sesaat ia termangu oleh keadaan yang membingungkan itu. Akhirnya dengan polos ia memberi sebuah anggukan hormat kepada Ji Tiat, dan setelah itu kembali melabrak Tan Han-ciang dengan sengitnya. Di satu pihak ada orang-orang kalap yang siap mengadu jiwa, di lain pihak ada seorang yang sangat murka dan dipenuhi napsu membunuh yang berkobar-kobar, maka pertempuran di halaman belakang rumah penginapan itu benar-benar merupakan sebuah arena yang seru bukan main. Di tempat persembunyiannya Tong Wi-lian mencoba menilai kekuatan orang-orang Hwe-liong-pang itu sebelum ia turun tangan nanti. Agaknya Tan Han-ciang dan Ji Tiat mempunyai kepandaian yang sejajar, tapi Wi-lian harus merasa bangga sebab nampaknya kedua orang itu masih setingkat di bawah dirinya. Namun Kwa Heng, si bongkok yang sama sekali belum turun tangan itulah yang agaknya harus diperhitungkan baik-baik. Dalam hati gadis itupun timbul pertanyaan, kenapa Kwa Heng mencegah Ji Tiat membunuh Suma Hun? Akhirnya ia mengambil keputusan sendiri, “Agaknya dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri ada ketidak-rukunan dan persaingan antar kelompok. Ini bagus, sebab akan memperlemah kekuatan mereka sendiri.” Akhirnya gadis itu sudah tidak sabar lagi untuk terus bersembunyi. Tidak peduli urusan apapun yang ada di antara orang-orang Hwe-liong- pang sendiri, pokoknya mereka harus dihajar, demikian tekadnya. Maka bagaikan seekor burung elang ia melompat keluar dari persembunyiannya secepat kilat. Kemunculannya tersebut telah membuat ketiga orang Hong-ho-sam-hiong bertambah semangatnya, sebaliknya ketiga orang Hwe-liong-pang menjadi bertambah waspada. Begitu kakinya menginjak tanah, Wi-lian langsung melompat lagi dan menyerang Tan Han-ciang dengan dua buah tendangan berturut-turut ke arah pelipis dan muka Ang-ki-hu-tong-cu itu. tong Wi-lian memang telah merasa mendongkol kepada Tan Han-ciang sejak siang tadi. Sebagai seorang wakil kepala kelompok dalam sebuah perkumpulan sekuat Hwe-liong-pang, tentu saja kepandaian Tan Han-ciang tidaklah rendah. Tapi saat itu ia sedang dikepung oleh Hong-ho-sam-hiong yang kalap, maka serangan dari lawan baru itu cukup mengejutkannya. Dalam bingungnya ia mengambil tindakan untung-untungan dengan jalan melompat ke atas dengan gerakan Ui-no-cong-thian (Burung Jenjang Naik Ke Langit). Desakan Hong-ho-sam-hiong akhirnya dapat dihindari, tapi tidak demikian dengan tendangan Wi-lian yang datangnya terlalu cepat itu. Karena Tan Han-ciang melompat ke atas, kaki Wi-lian yang seharusnya mengenai pelipis jadi mengenai pinggangnya yang membuat tokoh Hwe-liong-pang tersebut terbanting sambil meringis kesakitan. Sesaat lamanya ia tidak bisa bangun karena sakitnya. Si berangasan Suma Hun sungkan melewatkan kesempatan sebaik ini, cepat ia menghantamkan toyanya untuk mengemplang kepala lawan. Tindakan Suma Hun yang kurang perhitungan dan hanya menurutkan napsu amarah saja telah mengejutkan Tong Wi-lian dan Ang Hay-liong sekaligus, sebab betapapun juga Tan Han-ciang tetap merupakan seorang lawan yang berbahaya. “Sam-te, hati-hati!” hampir bersamaan Ang Hay-liong dan Pang Lun berseru memperingatkan. Tapi peringatan itu terlambat datangnya. Tan Han-ciang yang sedang marah besar itu kini melihat sebuah kesempatan baik yang tidak akan disia-siakannya. Cepat ia melompat ke atas sehingga sambaran toya besi itu hanya lewat di bawah kakinya, dan cambuk bajanya membalas menghantam kepala Suma Hun sekuat tenaga. Dengan mengeluarkan suara berderak keras bercampur dengan jeritan ngeri Suma Hun, robohlah orang ke tiga dari Hong-ho-sam-hiong tersebut dengan batok kepala remuk. Tentu saja nyawanya pun amblas saat itu juga. Sementara itu Wi-lian menjadi marah dan malu pula. Ia sudah terlanjur berjanji akan melindungi Hong-ho-sam-hiong, dan kini Suma Hun terjungkal mati di depan hidungnya tanpa ia bisa mencegah. Maka dengan berteriak nyaring, gadis itu segera menyerang Tan Han-ciang, diikuti oleh Ang Hay-liong dan Pang Lun yang ingin membalaskan kematian Suma Hun. Tan Han-ciang yang sudah pernah melihat kelihayan Tong Wi-lian tentu saja hatinya menjadi gentar ketika melihat gadis itu menerjang ke arahnya dengan sengit. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah sambl berseru kepada Kwa Heng, “Kwa Tong-cu, kau jangan berpangku tangan saja...” Dan baru saja mulutnya terkatup, sebuah jotosan keras dari Wi-lian telah menyambar hidungnya. Untung Ang-ki-hu-tong-cu itu masih sempat menyelamatkan diri dengan gaya Thi-pan-kio (Jembatan Papan Besi), yaitu menekuk punggung ke belakang, sehingga hampir mengenai tanah. Gerakan yang sebetulnya berbahaya dalam pertempuran jarak dekat, namun Tan Han-ciang sudah tidak ingat lagi akan hal tersebut karena gugupnya. Wi-lian tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang yang dibencinya tersebut. Sebelum Tan Han-ciang sempat merubah kedudukan, ia telah menyusulkan sebuah tendangan rendah ke arah sambungan lutut lawannya. Terpaksa Kwa Heng tidak dapat membiarkan hal itu terjadi didepan matanya. Meskipun ia punya ketidak-sesuaian pendapat dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Punggungnya yang melengkung itu ternyata bukan merupakan rintangan untuk bertindak gesit, karena dengan secepat kilat ia telah melompat ke arah Wi-lian dan jari-jarinya yang sekuat besi langsung menerkam ke tengkuk si gadis. Betapapun cepatnya gerakan si bongkok, ia tidak dapat menolong Tan Han-ciang sepenuhnya. Terdengar wakil kepala kelompok Ang-ki-tong itu mengaduh pendek dan roboh ke tanah, ternyata sambungan lutut kanannya telah kena ditendang patah oleh murid Hong tay Hwesio ini. Saat itulah Wi-lian mendengar ada desir angin di belakangnya, cepat ia merendahkan diri sambil memutar tubuh sekaligus tangan kirinya melakukan tangkisan. Detik itu juga, dua buah tangan yang sama-sama penuh tenaga dalam dan yang sama-sama terlatih telah berbenturan dengan kerasnya. Wi-lian tergeliat selangkah surut, sedangkan Kwa Heng yang kakinya tengah tidak menginjak tanah itu dipaksa untuk bersalto ke belakang untuk mementahkan dorongan tenaga lawan. Di lain bagian, Ang Hay-liong telah melanjutkan pertempuran dengan Tan Han-ciang yang telah patah kaki kanannya. Karena cedera tersebut, Ang-ki-hu-tong-cu harus berkelahi dengan tetap berdiri di tempat tanpa berani menggerakkan kaki sedikitpun, itupun kadang-kadang membuatnya menyeringai karena menahan nyeri di lutut kanannya. Meskipun demikian, pada dasarnya memang Tan Han-ciang berkepandaian lebih tinggi dari Ang Hay-liong, selain itu juga lebih licik dan cerdik. Sedangkan Ang Hay-liong tidak sebuas Suma Hun sehingga lebih mudah dilayani. Cambuk baja Tan Han-ciang tidak henti-hentinya menggetar dengan dahsyatnya mencambuk dan melibat seluruh bagian badan lawan secara berganti-ganti. Namun Ang Hay-liong dengan ruyung tiga ruasnya juga pantang menyerah sebelum ajal. Keberaniannya menempuh bahaya kadang membuat Tan Han-ciang mencaci maki dengan gemasnya. Ji Tiat pun sedang bertarung dengan Pang Lun dan nampaknya seimbang. Itu bukan berarti ilmu Pang Lun begitu tingginya sehingga dapat mengimbangi lawan, namun adalah karena Ji Tiat meladeni musuhnya dengan setengah hati dan hanya bersikap bertahan saja. Sedang semangat berani mati dari Pang Lun itu cukup memaksa tokoh yang berjuluk Siang-po-kay-san itu untuk berhati-hati. Sementara itu, setelah Kwa Heng berdiri berhadapan dengan Tong Wi-lian, mulailah si bongkok itu menilai lawannya, “Pantas Tan Han- ciang tidak segan-segan menunjukkan rasa gentarnya kepada gadis ini, kiranya kemampuannya memang pantas mendapat perhatian dalam percaturan dunia persilatan di jaman ini. Apalagi dengan Siau-lim-pay dibelakangnya.” Sebaliknya Wi-lian terkejut setelah memperhatikan wajah lawannya, sebab ternyata si bongkok ini adalah orang yang tadi siang duduk di belakang meja kasir dan bersikap begitu ramah terhadap setiap tetamu. Kata Wi-lian dingin, “Huh, kiranya rumah makan dan penginapan ini hanyalah sebuah kedok untuk menyelubungi perbuatan-perbuatan jahat kaum Hwe-liong-pang. Kalian sudah cukup berdosa terhadap ketenteraman orang banyak, maka malam ini biarlah kucoba untuk mengurangi penyakit masyarakat seperti kalian ini.” Kwa Heng, tokoh yang bergelar Thi-jiau-tho-kau atau Monyet Bongkok Berkuku Besi itu agaknya ingin bersikap hati-hati sebelum turun tangan. Katanya sabar, “Nona, antara pihakku dan pihakmu tidak pernah terjadi permusuhan atau urusan apapun, kenapa nona mengganggu pekerjaan kami? Kalau kami boleh tahu, apakah nona bertindak atas nama nona pribadi atau atas nama Siau-lim-pay?” Wi-lian menjawab dengan suara tetap dingin, “Memang tidak ada permusuhan pribadi antara diriku dan dirimu. Tapi sebagai murid Siau-lim-pay sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan kekejaman seperti yang kalian lakukan.” Kwa Heng mengeluh dalam hati mendengar jawaban macam itu. Betapapun kuatnya Hwe-liong-pang, namun perkumpulan itu belum punya niat sedikitpun untuk mengusik-usik perguruan kuat seperti Siau-lim-pay. Maklumlah, Siau-lim-pay bagi umat prsilatan di Tiong-goan dianggap tempat suci, diibaratkan gua macan dan kubangan naga, rahib-rahib sakti yang berdiam di dalamnya tak terhitung banyaknya, begitu pula kaum pendekar lulusan Siau-lim-pay terkenal sebagai tokoh-tokoh yang tangguh. Karena itu Kwa Heng sebisa-bisanya menjaga agar Hwe-liong-pang jangan sampai berbenturan dengan Siau-lim-pay. Katanya sambil memberi hormat, “Nona, hanya dengan kejadian malam ini nona sudah langsung menganggap seluruh Hwe-liong-pang kami sebagai orang jahat? Harap nona suka mempertimbangkannya baik-baik sebelum nona ikut campur dalam urusan ini. Golongan kami punya garis perjuangan yang tegas dan sama sekali bukan golongan sesat seperti anggapan nona.” Wi-lian hanya tertawa dingin mendengar penjelasan dari Kwa heng. Katanya sambil menuding mayat Suma Hun, “Jika aku belum melihat jatuhnya korban, boleh jadi aku akan percaya omongan manismu itu. Tapi saat ini aku lebih percaya kepada kenyataan yang kulihat di depan mata, percuma saja kau bicara muluk-muluk. Bersiaplah, jika aku tidak berani menindak Hwe-liong-pang kalian, aku malu sebagai murid Siau-lim!” Kwa Heng mengeluh dalam hati karena ia tahu bahwa sudah tidak ada jalan lain lagi. Namun ia tidak menyalahkan sikap gadis itu, bahkan kagum akan keberaniannya. Sebaliknya ia malah menyalahkan Tan Han-ciang yang gemar kekerasan. Saat berikutnya, Wi-lian telah menyerang lebih dulu. Kakinya melangkah ke depan dan ia membuka serangan dengan ujung jari kedua tangannya secara bergantian. Gerakannya cepat dan cukup mengejutkan lawannya. Karena tidak berani memandang rendah, Kwa Heng langsung menyambutnya dengan ilmu silat andalannya, yaitu Kau-kun (Silat Kera) yang sudah dilatihnya matang selama belasan tahun. Lincah sekali ia merendahkan badannya sambil menggeser ke samping, dan jari-jari tangannya pun balas mencakar ke tenggorokan Wi-lian. Tidak percuma ia terkenal sebagai seorang jagoan yang cukup disegani di Kay-hong dan sekitarnya. Gerakannya gesit dan cepat luar biasa, malahan dengan jari-jarinya ia sanggup “merobek-robek” sehelai papan dengan gerakan mencakar. Sebaliknya Tong Wi-lian pun tidak berani kehilangan kewaspadaan menghadapi musuh sehebat itu. Cepat ia membalik tangan kirinya untuk menangkis cakaran Kwa Heng dibarengi dengan sebuah sapuan ke kaki lawan. Kembali Kwa Heng melejit ke samping dengan licinnya. Demikianlah, berkobarlah pertempuran hebat antara seorang jago tua melawan seorang jago muda yang sama-sama ahli dalam ilmu silat tangan kosong. Kwa Heng yang segesit kera, sepasang cakarnya menyambar kian kemari dengan ganas dan cepat sehingga nampak si bongkok itu punya belasan pasang tangan yang bergerak-gerak sekaligus! Namun Wi-lian pun tidak mengecewakan Rahib Hong-tay dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya yang telah menggemblengnya di bukit Siong-san. Dihadapinya Kwa Heng dengan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), dimana jari-jari tangannya yang dirangkapkan seperti paruh bangau menyambar-nyambar, mematuk-matuk tidak kalah berbahayanya dengan cakaran-cakaran Kwa Heng. Apalagi sepasang kakinya yang terlatih itupun dapat membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot sama sekali sehingga gadis itu benar-benar seperti seekor burung bangau yang berterbangan di angkasa. Bahkan kadang-kadang gadis itu berani pula membentur tenaga lawan, keras lawan keras, yaitu dengan menyisipkan jurus-jurus Thay-co-kun (Silat Maharaja) ciptaan Tio Khong-in yang seharusnya dilakukan seorang laki-laki namun toh gadis itu sanggup mengejutkan lawan.... |
Jilid selanjutnya;
|