Perserikatan Naga Api Jilid 08Karya : Stevanus S.P |
Selangkah demi selangkah imam itu mendekati Song Kim, tangannya pun mulai melolos hud-tim yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Dalam keadaan segawat itu bagi Song Kim, Tong Wi-hong melupakan semua kelakuan buruk Song Kim dan hanya mengingat budi kebaikan Cian Sin-wi saja. Ia pun cepat melompat turun dari kudanya sambil melolos pedang.
“Totiang (bapak imam), jangan mengganas!” serunya. Karena telah menyaksikan sendiri kepandaian si imam yang tinggi, maka Wi-hong bertekad untuk menyerang lebih dulu supaya menang diatas angin. Begitu membentak, begitu pula ujung pedangnya langsung menikam jalan darah Soan-ki-hiat di dada si imam. Sementara itu Cian Ping juga telah melompat turun dari kudanya dan mencabut sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau). Dalam sekejap Tojin itu telah dikeroyok oleh Wi-hong dan Cian Ping. Sebatang pedang dan sepasang kaitan berkelebat-kelebat mengancam seluruh tubuh si imam. Tanpa melewatkan kesempatan tersebut, Song Kim lalu berlari ke arah kudanya dan mengambil tombak panjang yang tergantung di pelana kuda, lalu ia pun menerjunkan diri dalam kancah perkelahian, ikut mengepung Tojin berjubah hijau tersebut. Dikeroyok oleh tiga orang muda yang cukup tangkas ternyata Tojin berjubah hijau tersebut tidak tampak tanda-tanda akan terdesak sedikitpun. Ilmu silat yang dimainkannya adalah ilmu silat campur aduk dari bermacam aliran silat yang diolahnya sendiri, dan ternyata cukup lihai pula. Hud-timnya dimainkan secara aneh, berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya, dan cara memainkannya pun agak mirip dengan Tay-kek-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tay-kek). Sedangkan bulu-bulu hud-tim itu ternyata memainkan gerakan-gerakan tersendiri pula. Tetapi yang paling lihai dan paling berbahaya pada diri si Tojin bukanlah senjatanya, namun justru tangannya yang tidak memegang senjata. Sebab tangan itu berwarna hijau pucat dan menyebarkan bau yang pahit-pahit asam. Itulah ilmu pukulan beracun yang jarang terlihat di dunia persilatan. Tong Wi-hong, Cian Ping, dan Song Kim bagaikan tiga ekor anak kambing yang tidak takut kepada harimau. Mereka bertiga bertempur dengan semangat berkobar, bahkan ketiganya seakan bersaing untuk menunjukkan kepandaian masing-masing. Song Kim menujukkan ilmu tombaknya yang dahsyat bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Gerakannya cepat, beruntun, dan membawa tenaga yang besar. Tubuh Tojin itu bagaikan hendak digulung dengan gerakan tombaknya. Ternyata murid tunggal Cian Sin-wi ini benar-benar tidak mengecewakan. Di dekat Song Kim, Cian Ping juga bertempur tidak kalah garangnya meskipun dia hanya seorang gadis. Sebenarnya senjata jenis Hau-thau-kau cukup berat dan umumnya digunakan oleh kaum lelaki, namun ternyata Cian Ping mampu memainkanya dengan baik. Sepasang Hau-thau-kau Cian Ping ini dirancang khusus oleh ayahnya, yaitu tipis, tajam, dan ringan. Sedangkan Tong Wi-hong tidak segarang Song Kim dan selincah Cian Ping. Namun bagi para ahli silat yang bermata tajam akan dapat segera melihat bahwa ilmu pedang Tong Wi-hong lah yang paling berbahaya buat lawannya. Gerakannya halus dan licin berbelit-belit seperti ular yang mengamuk, mengandung ribuan perubahan yang rumit dan tidak terduga. Itulah Soat-san-kiam-hoat, ilmu pedang paling disegani di daerah barat! Setelah berlangsung puluhan jurus, pertempuran itu nampak semakin panas. Suatu saat Song Kim melihat peluang bagus, sekuat tenaga ia menusukkan tombaknya ke perut si Tojin. Song Kim yang masih muda dan kurang pengalaman itu tidak menduga bahwa peluang itu hanyalah pancingan belaka. Begitu serangan Song Kim datang, dengan mudah si imam menggeser tubuh sambil tangannya mencengkeram ke tangkai tombak. Meski tubuhnya kerempeng, kekuatan si imam itu ternyata lebih dari cukup untuk menyentakkan tombak sehingga Song Kim terpelanting dan roboh ke tanah. Imam itu sudah benar-benar marah dan dikuasai nafsu membunuh. Sambil berseru bengis ia menyabetkan hud-timnya ke arah leher Song Kim yang masih tergeletak di tanah. Untung Song Kim masih sempat menggulingkan diri ke samping. Ketika hud-tim mengenai tanah, mengepullah debu tebal, dan ternyata sabetan yang kelihatan ringan itu telah membuat sebuah lubang panjang di atas tanah sedalam tiga jari lebih! Sulitlah dibayangkan seandainya sabetan tadi mengenai leher Song Kim, mungkin saat itu dia sudah menjadi mayat tak berkepala! Terkesiaplah ketiganya melihat kehebatan si imam. Si imam bertambah beringas karena serangan mautnya tidak mengenai sasaran. Ia membentak lagi, dan tiba-tiba bulu kebutannya menegak dan mengembang bagaikan ribuan jarum baja yang siap menusuk seluruh jalan darah kematian di tubuh Song Kim. Sekali lagi murid Cian Sin-wi itu dipaksa untuk bergulingan menyelamatkan nyawanya dengan gugupnya. Namun Wi-hong dan Cian Ping tidak membiarkan si imam merajalela sesukanya. Selincah kijang, Cian Ping telah melompat ke gelanggang kembali sambil berseru, “Lihat serangan!” dan sepasang kaitannya bergerak serentak untuk mengait tulang pundak lawan. Terhadap serangan Cian Ping Tojin itu sedikitpun tidak menoleh. Cukup hanya mendoyongkan badan, loloslah ia dari serangan si gadis. Bahkan lalu ia memutar pinggang dan dengan pukulan telapak tangan ia menghamburkan serangkum angin beracun ke arah muka Cian Ping. Gadis itu memiliki latihan lwe-kang (tenaga dalam) yang belum begitu kuat, sehingga ia segera merasakan akibat dari hembusan angin beracun si Tojin. Seketika itu juga ia merasakan kepalanya pusing dan perutnya mual. Dengan sempoyongan ia melangkah mundur sambil melintangkan kaitannya di depan tubuh. Meskipun serangan Cian Ping boleh dikata gagal, tetapi telah cukup memberi waktu sejenak bagi Song Kim untuk melompat bangun dan mempersiapkan diri kembali meskipun kini ia telah tidak bersenjata lagi. Sementara itu Tong W-hong marah melihat kekejaman si imam, dan tanpa kenal takut ia menerjang maju. Pedangnya yang menyambar bagai halilintar itu dalam sekejap telah tiba di depan hidung si Tojin. Dengan tenaga putaran Tay-kek-kun, si imam berhasil melibat pedang Wi-hong dan menyingkirkannya ke samping, sekaligus serangan Wi-hong tersebut menambah keyakinan si imam akan buruan yang dicarinya. Pikir si imam, “Bocah ini menggunakan ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat. Aku bertambah yakin bahwa kali ini aku tidak akan salah bunuh lagi.” Namun suatu pertimbangan lain menyelinap di hati si imam, “Benar orang muda ini memang anak Tong Tian, tapi siapakah kedua kawannya ini? Menilik senjata yang digunakan oleh gadis itu, agaknya ia punya hubungan erat dengan si tua bangka Cian Sin-wi pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Kalau begitu aku tidak boleh menambah musuh, sebab si tua bangka she Cian itu bukan manusia yang gampang diladeni.” Sambil bertempur, imam itu memperhitungkan semua untung ruginya jika pertempuran itu diteruskan. Imam tersebut bukan lain adalah Te-yong Tojin, guru silat di rumah Cia To-bun yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan ayah Tong Wi-hong. Setelah berpikir bolak-balik akhirnya Te-yong Tojin memutuskan untuk menunda pembunuhan atas diri Wi-hong. Kehadiran Song Kim dan Cian Ping dianggapnya kurang menguntungkan, meskipun kepandaian mereka tidak menakutkan tapi nama besar Cian Sin-wi lah yang membuat imam itu gentar. Imam itu lebih suka menunggu kesempatan lain di mana Wi-hong sendirian saja. Kemudian terdengar si imam tertawa dingin, katanya, “Hari ini aku sedang banyak urursan dan tidak punya waktu lagi untuk bermain-main dengan segala tikus kecil macam kalian. Biarlah untuk sementara kutangguhkan semua perhitunganku atas kekurang ajaran kalian.” Begitu habis kalimatnya, ia segera melancarkan gempuran hebat ke arah tiga sudut kepungan yang membuat ketiganya dipaksa untuk mundur. Begitu kepungan terasa longgar, bagaikan seekor rajawali imam itu melompat keluar dari kepungan. “Bangsat! Mau lari kemana kau?!” bentang Song Kim yang masih merasa penasaran sambil memungut tombaknya yang tergeletak di tanah. Namun gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) dari ketiga anak muda itu terpaut jauh dengan gin-kang Te-yong Tojin. Hanya dengan beberapa kali luncuran tubuh, Te-yong Tojin telah menghilang ke dalam hutan cemara. Ketiga orang muda itu berdiri termangu-mangu dengan debaran jantung yang semakin keras. Mereka ngeri kalau mengingat bahwa mereka baru saja bertempur dengan lawan yang begitu lihai, bahkan nampaknya lawan tersebut berkepandaian sejajar dengan Cian Sin-wi. Yang merasa paling terancam adalah Wi-hong, sebab ia tahu bahwa Tojin itu pastilah salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun. “Sungguh berbahaya, Tojin itu jelas mengincar diriku,” desah Wi-hong perlahan. “Untuk selanjutnya aku harus berhati-hati.” Cian Ping menggantungkan kembali sepasang kaitan harimaunya ke pelana kuda sambil mengerutu, “Ku kira semua ini adalah gara-gara Song suheng yang telah bertindak sembrono hanya dengan menuruti kemarahan saja. Belum lagi kita tahu apa maksud Tojin itu sebenarnya, suheng telah main pukul seeenaknya saja. Tentu saja Tojin itu tidak sudi kita perlakukan kasar, dan akibatnya, hampir saja nyawa kita tidak tertolong lagi.” Song Kim menjadi penasaran, maksudnya tadi adalah ingin pamer kegagahan dan keberanian, tak disangka ia malah kena damprat gadis itu. Katanya, “Kenapa kau malah menyalahkan aku, su-moay? Imam tadi nampak begitu liar dan kurang ajar ketika memandang tubuhmu. Dilihat dari sikapnya saja sudah jelas bahwa dia bermaksud busuk. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan berpura-pura tidak tahu?” Sambil mengucapkan kata-kata itu Song Kim beberapa kali melirik Wi-hong, jelas kata-katanya yang tajam itu bermaksud menyindir Wi-hong. Wi-hong pun mengerti arah tujuan kata-kata itu, meskipun hatinya menjadi panas tapi ditahannya sekuat tenaga supaya ia tidak bentrok dengan murid Cian Sin-wi itu. Tiba-tiba Song Kim berseru kaget, “Su-moay, kenapa kau?!” Dilihatnya Cian Ping yang berusaha melompat ke atas kuda tiba- tiba terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya, kemudian roboh dengan muka pucat kebiruan dan mata terpejam rapat. Wi-hong pun terkejut melihat keadaan gadis itu, ia segera melangkah hendak mendekat namun baru berjalan dua langkah ia pun merasa kepalanya pusing dan perutnya mual, dan robohlah dia juga. Dalam pertempuran melawan Te-yong Tojin tadi, ketiga anak muda yang kurang pengalaman itu tanpa sadar telah menghirup hawa beracun yang tersebar dari telapak tangan si imam. Seperti telah diketahui, Te-yong Tojin ini melatih pukulan beracun Tok-jan-jiu (Pukulan Ulat Berbisa) yang jahat. Cian Ping yang belum mempunyai dasar tenaga dalam yang kuat, maka dialah yang roboh lebih dulu. Sedangkan Wi-hong sebenarnya memiliki daya tahan yang terpupuk kuat, tapi luka-lukanya belumlah sembuh betul dan daya tahannya pun belum pulih seperti semula sehingga berikutnya dialah yang giliran roboh. Yang paling aman adalah Song Kim. Selain punya daya tahan yang kuat, dia juga memakai senjata panjang dalam pertempuran tadi sehingga ia tidak terlalu terpengaruh oleh hawa beracun lawannya. Meskipun ia juga agak pusing, tapi tidak sampai membuatnya roboh. Melihat Cian Ping dan Tong Wi-hong roboh berturut-turut, Song Kim sejenak menjadi kebingungan. Namun setelah agak tenang cepat ia menolong sumoaynya lebih dulu. Dibaringkannya tubuh si gadis di bawah pohon yang rindang, lalu secara paksa ia menjejalkan obat pulung penawar racun buatan Tiong-gi Piau-hang ke dalam mulut si gadis. Setelah itu barulah Song Kim melihat ke arah Wi-hong. Dilihtanya pemuda yang menyainginya dalam merebut cinta Cian Ping itu juga pingsan tidak jauh dari situ. Mendadak suatu pikiran jahat terlintas di benaknya, “Bocah she Tong ini merupakan perintang dalam usahaku untuk mempersunting su-moay, bahkan nampaknya su-moay kini lebih suka berdekatan dengan bocah gila ini daripada denganku. Saat ini tidak seorangpun yang menyaksikan perbuatanku, lebih baik kuhabisi saja nyawa bocah tengik ini. Nanti jika Suhu atau Sumoay menanyakan, akan kujawab bahwa ia mati kena pukulan beracun si imam jubah hijau itu.” Muka Song Kim mendadak menyeringai kejam dan beringas, bagai sesosok hantu yang mencium adanya bau mayat. Ia melangkah mendekati Wi-hong untuk menjalankan niatnya. Namun sebagai seorang yang cukup licik dan berhati-hati, dia tidak bertindak ceroboh dan tergesa-gesa, dia harus mengetahui dengan pasti apakh Wi-hong benar-benar pingsan atau cuma agak mabuk. Lebih dulu ia mengguncang-guncangkan pundak Wi-hong sambil memanggil-manggil nama pemuda itu. Setelah benar-benar yakin bahwa pemuda itu benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri, maka dengan tidak membuang waktu lagi Song Kim segera merangkapkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan kuat dan mengerahkan tenaga lalu denga cepat ditotokkannya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat, jalan darah kematian di dada Wi-hong. Sekonyong-konyong terdengar suara gemerasak di belakangnya. Orang yang hendak berbuat kejahatan biasanya selalu dibayangi ketakutan atau kekhawatiran jangan-jangan ada orang yang menyaksikan perbuatannya, dan Song Kim pun tidak terkecuali. Suara gemerasak perlahan itu telah cukup membuyarkan perhatiannya dan pengerahan tenaganya pun terganggu. Dengan terkejut ia membatalkan totokannya dan cepat membalik badannya ke belakang untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kemudian Song Kim mengumpat dengan kasar karena yang bersuara tadi ternyata cuma dua ekor kelinci hutan yang sedang berkejaran. Song Kim menghembuskan napas panjang-panjang dan mencoba menentramkan debaran jantungnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga ke dalam kedua jarinya dan siap menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, mengirim nyawa Wi-hong ke akherat. “Siapapun yang merintangi jalanku untuk hidup berbahagia bersama su-moay, harus kusingkirkan,” tekadnya di dalam hati. “Suheng, kau sedang apa?” tiba-tiba terdengar suara Cian Ping perlahan-lahan di belakangnya. Agaknya setelah menelan obat buatan ayahnya, Cian Ping mulai mendapatkan kembali kesadarannya meskipun perasaan mual dan pusing masih mengganggunya. Suara Cian Ping yang lirih ibarat bunyi halilintar yang meledak di pinggir telinga Song Kim. Dengan agak gugup ia menyahut sekenanya tanpa menolehkan muka, “A... aku... sedang berusaha menolong saudara Wi-hong.” “Apakah keadaannya membahayakan?” tanya Cian Ping dengan penuh perhatian membuat rasa cemburu Song Kim jadi berkobar kembali. “Su-moay, agaknya besar sekali perhatianmu kepadanya, ya?” dengus Song Kim dengan dingin. “Lukanya tidak berat sebab ia tidak terkena langsung pukulan imam tadi, agaknya ia cuma menghirup hawa pukulannya saja.” Legalah hati gadis itu setelah mendengar penjelasan kakak seperguruannya. Sikap suhengnya yang dingin tidak digubrisnya, bahkan katanya lagi tanpa prasangka, “Syukurlah kalau begitu. Suheng, jika kau sudah selesai menolongnya, cepat ambil kuda-kuda kita. Sebaiknya kita cepat-cepat pulang, siapa tahu imam itu pergi untuk memanggil teman-temannya.” Song Kim tidak menyahut sepatah katapun. Dengan langkah gontai menuntun tiga ekor kuda mendekat. Lebih dulu ia membantu Cian Ping naik ke atas kudanya. Dan ketika Song Kim hendak meletakkan tubuh Wi-hong ke atas salah satu kuda, Cian Ping berkata, “Suheng, Hong-koko masih belum sadarkan diri dari pingsannya, ia bisa jatuh terbanting jika sendirian di atas kuda. Sebaiknya suheng berkuda bersamanya untuk menjaganya agar tidak jatuh.” “Baik.” Jawab Song Kim singkat. Terpaksa ia pun berkuda bersama orang yang paling dibencinya, bahkan bertugas menjaganya agar tidak jatuh. Dengan demikian, satu dari tiga ekor kuda itu tidak kebagian penumpang. Ketiga orang itu lalu berkuda kembali ke kota Tay-beng, meninggalkan tempat di mana nyawa mereka baru saja lolos dari lubang jarum. Karena keadaan Cian Ping yang belum segar benar, maka mereka menjalankan kuda dengan perlahan-lahan. “Suheng,” kata Cian Ping. “Dari tadi Hong-koko belum sadar juga, apakah kau sudah memberikan obat kepadanya? He, lihat, kenapa hawa beracun yang nampak di antara kedua alisnya justru semakin menebal?!” Song Kim pura-pura berseru kaget, “Hah, kenapa jadi begini? Tadi aku sudah menotok beberapa buah jalan darahnya untuk menghentikan menjalarnya racun, dan sudah kuberi pula sebutir obat Suhu. Sungguh keji pukulan imam itu!” “Cepat kau minumkan obat penahan racun beberapa butir lagi kepadanya!” seru Cian Ping dengan cemas. “Baik!” sahut Song Kim. Dikeluarkannya lagi dua biji obat buatan Suhunya, cara mengeluarkan obat tersebut sengaja diperlihatkan kepada Cian Ping. Lalu Song Kim pura-pura membuka mulut Wi-hong untuk mencekokkan obat tersebut, tapi di luar penglihatan Cian Ping, diam-diam Song Kim menyentil kedua butir obat itu hingga jatuh ke tanah dan hilang ke dalam semak-semak tepi jalan. Song Kim lebih suka kedua butir obat itu terbuang percuma dari pada digunakan untuk menolong saingan cintanya yang dibencinya setengah mati! Diam-diam Song Kim berkata dalam hati, “Inilah saat yang terbaik untuk melenyapkan bocah ini, lain kali belum tentu dijumpai kesempatan sebagus ini. Ternyata aku tidak perlu turun tanagan sendiri karena bocah she Tong ini akan mampus dengan sendirinya karena keracunan. Aku hanya memperlambat pengobatan supaya sesampainya di rumah nanti segala usaha akan terlambat. Aku akan berpura-pura menyesal dan berkabung, dan setelah itu jalan untuk memiliki su-moay menjadi sangat licin tanpa saingan.” Semakin dipikir, semakin puaslah hati Song Kim karena merasa segala rencananya akan berjalan lancar. Namun di hadapan Cian Ping dia memperlihatkan diri seolah-olah sangat mengkhawatirkan keadaan Wi-hong yang kian memburuk. Karena ketiga orang muda itu memang belum bertamasya terlalu jauh dari kota Tay-beng, maka setelah berkuda sekian lama merekapun telah memasuki kota dan tidak lama kemudian tiba di depan gedung Tiong-gi Piau-hang yang selalu ramai dengan manusia. Cian Ping yang sudah agak pulih tenaganya segera melompat turun dari kuda dan bermaksud membantu Song Kim menurunkan Wi-hong. Dan alangkah terkejutnya hati gadis itu ketika dilihatnya muka Hong- koko-nya kini telah bersemu hitam seluruhnya, sedang dengus napasnya begitu berat dan lambat seperti seekor kerbau hendak disembelih! Ternyata akal Song Kim mengulur waktu supaya racun semakin merasuk di tubuh Wi-hong, telah berhasil. Song Kim pun bersorak dalam hati! “Mampus kau sekarang!” pikirnya. “Tapi aku masih berbaik hati mendoakan semoga kau masih kebagian tempat di sorga.” Namun di luarnya Song Kim memperlihatkan sikap bingung dan cemas. Ia mengguncang-guncang tubuh Wi-hong sambil berteriak- teriak, “Saudara Hong! Saudara Hong! Aduh, kenapa kau sampai begini? Celaka, imam bangsat itu patut dicincang tubuhnya!” Sedang kecemasan dalam diri Cian Ping tak terkatakan lagi. Ia memanggil beberapa orang piau-su anak buah ayahnya yang tengah berlatih di halaman depan agar membantu menggotong tubuh Wi-hong masuk ke dalam rumah. Cian Ping sendiri berlari ke dalam untuk memanggil ayahnya. Sikap bingungnya semacam ini belum pernah terlihat selama ini, dan itu menandakan perasaan yang terpendam di hatinya terhadap Tong Wi-hong. Tak lama kemudian tubuh Wi-hong sudah di baringkan di dalam biliknya sendiri, dikerumuni oleh Song Kim dan beberapa orang piau-su yang mengenal Wi-hong. Lalu Cian Sin-wi muncul pula ke dalam kamar itu dengan muka yang tegang diiringi oleh anaknya. Sejenak pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memeriksa tubuh Wi-hong, mukanya nampak berubah sesaat. Cian Ping semakin cemas melihat perubahan muka ayahnya, sebaliknya Song Kim semakin besar hati dan menaruh harapan. Song kim sangat yakin di dalam hatinya, biarpun tabib Hoa To dari jaman Sam-kok hidup kembali, tidak mungkin nyawa Wi-hong bisa di selamatkan menilik keadaan keracunannya yang sudah cukup hebat. Sesaat ruang itu jadi hening oleh ketegangan yang mencekam, lalu terdengar suara berat Cian Sin-wi, “Racun yang menyerangnya disebut Tok-jan (Ulat Beracun), yang kemudian oleh seorang murid murtad Bu-tong-pay yang bernama Te-yong Tojin disempurnakan menjadi semacam ilmu pukulan beracun yang dia beri nama sendiri Tok-jan-jiu. Apakah kalian telah bentrok dengan orang itu?” Cian Ping dan Song Kim saling berpandangan tanpa menjawab, dan ini sudah cukup memberi jawaban bagi Cian Sin-wi yang sudah berpengalaman. “Bagaimana keadaannya, Suhu?” tanya Song Kim sambil mengharap Suhunya akan menggelengkan kepalanya. Tapi Song Kim kecewa bukan main ketika Suhunya menjawab, “Sangat berbahaya, tetapi masih ada harapan untuk ditolong. Dia rupanya tidak terkena langsung oleh tangan imam itu, hanya tersambar oleh angin pukulannya saja.” Kepada Cian Ping, Cian Sin-wi berkata, “Ping-ji, suruh pelayan untuk merebus air segentong penuh hingga mendidih, di kamar ini juga. Ambilkan botol berwarna hijau yang ada di kamar tidurku dan bawa kemari.” Lalu katanya kepada para piau-su yang masih mengerumuni Wi-hong, “Keluarlah kalian supaya udara di dalam ruangan ini menjadi agak segar. Salah satu dari kalian segera pergi memanggil Ong sin-she (tabib Ong) supaya datang kemari.” Ternyata tidak usah tabib Hoa-to dari jaman Sam-kok, tabib Ong saja sudah cukup. Begitu pikir Song Kim dengan kecewa. Tabib Ong adalah tabib andalan Tiong-gi Piau-hang karena kemahirannya dalam ilmu pengobatan. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengawalan tentu cukup sering anggotanya bertempur dengan kaum penjahat yang hendak merampok barang kawalan mereka, tentu saja tidak jarang ada pengawal yang gugur atau luka-luka. Karena itu Tiong-gi Piau-hang punya seorang tabib khusus yang cukup dapat diandalkan untuk menghadapi situasi-situasi seperti itu. Demikianlah, dengan bantuan Ong Sin-she yang trampil, mulailah Cian Sin-wi berusaha menyembuhkan Tong Wi-hong dari keracunannya. Hanya berdua saja dalam ruangan itu, Cian Sin-wi dan Ong sin-she melucuti semua pakaian Wi-hong lalu “merebus” tubuhnya dalam sebuah kuali besar berisi air panas. Setengah hari lebih Cian Sin-wi dan Ong Sin-she bekerja keras di dalam ruang tertutup itu, dan ketika matahari telah tenggelam barulah kedua orang itu nampak keluar dari ruangan dengan pakaian kusut dan sekujur tubuh berbau obat-obatan, namun wajah masing-masing justru menampilkan senyuman gembira. Ada beberapa piau-su yang bersahabat dengan Wi-hong yang tetap menunggu di depan pintu selama berlangsungnya proses pengobatan tersebut, begitu pula Cian Ping dan Song Kim yang bergulat dengan perasaan mereka masing-masing. Begitu melihat Cian Sin-wi dan Ong Sin-she melangkah keluar, serentak mereka berdiri menyambut dan bertanya, “Bagaimana keadaan Tong Wi-hong?” Cian Sin-wi menepuk pundak anak gadisnya sambil tersenyum penuh arti, sahutnya, “Ia akan sembuh kembali. Ong Sin-she kita ini benar-benar hebat!” Tabib yang bertubuh kurus kering namun selalu bermuka riang itupun tertawa terkekeh-kekeh sambil meyahut gurauan Cian Sin-wi, “Cong-piau-thau (pemimpin) membuat aku jadi besar kepala.” Serempak orang-orang yang menunggu di depan pintu tertawa lega, kecuali Song Kim yang menjadi sangat kecewa dan mengumpat dalam hati. Cian Sin-wi yang sedang gembira tidak melihat perubahan wajah murid kesayangannya tersebut, apalagi cuaca memang sudah menjadi gelap. Cian Sin-wi segera menyuruh dua orang piau-su untuk mengantar Ong Sin-she pulang. Cian Sin-wi sempat pula memeriksa keadaan Song Kim dan Cian Ping untuk mengetahui apakah puteri dan muridnya itu keracunan atau tidak. Ternyata mereka juga keracunan tetapi sangat ringan, cukup diobati dengan obat pulung Tiong-gi Piau Hang. Ringannya kadar racun di tubuh keduanya bisa dimengerti, sebab tujuan Te-yong Tojin memang hanya ingin membunuh keturunan Tong Tian, sebaliknya imam itu masih sungkan untuk membuka permusuhan baru dengan Cian Sin-wi dan Tiong-gi Piau Hangnya. * * * * * * *
Luka-luka yang diderita oleh Wi-hong ketika berkelahi dengan para pembunuh bayaran suruhan Cia To-bun belum sembuh sepenuhnya, dan tahu-tahu kini ia harus kembali berbaring di tempat tidur gara-gara pukulan beracun Te-yong Tojin. Dengan demikian keadaan tubuh Wi-hong saat itu menjadi sangat lemah. Tetapi berkat ketekunan perawatan Cian Sin-wi, Ong Sin-she, dan Cian Ping, maka kesehatan Wi-hong perlahan-lahan mulai pulih kembali. Siang itu, ketika Wi-hong tengah melamun di tempat tidurnya tahu-tahu Cian Ping masuk sambil membawa semangkuk bubur. Diam-diam Wi-hong mulai merancangkan sesuatu di dalam hatinya. Ia sebenarnya sudah cukup kuat kalau hanya untuk mengangkat tangan dan menyuapi mulutnya sendiri, tetapi ia lebih senang jika tangan-tangan lembut puteri Cian Sin-wi itu yang menyuapi. Sebaliknya pada diri Cian Ping pun terjadi perubahan yang cukup mencolok. Tadinya dia bukanlah seorang gadis yang sabar dan telaten, bahkan sifat kanak-kanak dan kebandelannya kadang membuat ayahnya cukup kewalahan. Namun sejak Wi-hong sakit, mendadak saja gadis itu menjadi sangat sabar dan sangat penurut dalam melayani segala keperluan anak muda itu. Semua perkembangan dan perubahan yang terjadi pada diri sepasang orang muda itu sulit lepas dari pengamatan Cian Sin-wi yang tajam dan berpengalaman. Cian Sin-wi tahu apa yang tengah berkembang diantara keduanya, karena Cian Sin-wi sendiri juga pernah muda. Orang tua itu bersyukur bahwa pada akhirnya ada juga seorang anak muda yang berhasil menundukkan hati anak gadisnya yang keras hati. Namun di samping hal yang menggembirakan tersebut, Cian Sin-wi juga melihat perkembangan yang mencemaskan, yaitu mengenai diri muridnya, Song Kim.... |
Selanjutnya;
|