Perserikatan Naga Api Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 08

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
CIAN SIN-WI mengajak Wi-hong melintasi halaman depan yang sangat luas dan penuh kesibukan barang-barang yang datang dan berangkat, lalu mereka melewati ruangan depan dan akhirnya tiba di halaman tengah yang agaknya merupakan tempat tinggal Cian Sin-wi dan keluarganya.

Di halaman tengah itu ada seorang anak muda sedang berlatih silat dengan sebuah tombak panjang. Gerakan anak muda itu cepat, keras dan mantap, kuda-kudanya kokoh kuat, pandangan matanya tajam dalam mengikuti gerakan ujung tombaknya. Sekali-sekali mulutnya membentak mengiringi gerakannya. Tak terasa timbul kekaguman di hati Wi-hong melihat ketangkasan anak muda ini. Ia menduga anak muda ini kalau bukan anak Cian Sin-wi tentunya ya muridnya.

Ketika melihat kedatangan cian Sin-wi, barulah anak muda itu menghentikan latihannya dan memberi hormat sambil menyapa, “Suhu, kau sudah kembali?”

Cian Sin-wi tersenyum dan menganggukkan kepalanya, katanya, “Ya, urusan cabang-cabang perusahaan kita di wilayah timur itu sudah beres semuanya. Kau bertambah hebat, anak Kim.”

Lalu Cian Sin-wi menoleh dan berkata kepada Tong Wi-hong, “Tong Hian-tit, kuperkenalkan inilah muridku satu-satunya yang bernama Song Kim. Tentunya kau heran, kenapa gurunya bersenjata sepasang Hau-thau-kau kok muridnya memakai tombak? Memang tombak panjang itu agaknya menjadi pilihannya sehingga aku hanya menurutinya saja, karena kuanggap cocok dengan tenaganya yang besar itu. Nah, berkenalanlah kalian.”

Sejak melihat pertama kali tadi Wi-hong memang sudah merasa kagum kepada anak muda itu. maka ia pun memberi hormat lebih dulu sambil menyapa dengan sikap seramah mungkin, “Selamat bertemu, Song Toako. Aku Tong Wi-hong akan sangat gembira bila dapat bersahabat dengan Toako.”

Di luar dugaan Wi-hong maupun Cian Sin-wi, ternyata sikap hangat Wi-hong ditanggapi dengan dingin oleh Song Kim. Dengan senyum yang nampak dipaksakan, ia menyahut acuh tak acuh, “Terima kasih.”

Wi-hong tercengang dan agak tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Sedang Cian Sin-wi sendiri menjadi heran melihat sikap muridnya. Tanyanya, “Anak Kim, selama aku tidak berada di sini, apakah telah terjadi sesuatu?”

“Tidak ada apa-apa, Suhu,” sahut Song Kim. “Maaf Suhu, agaknya aku terlalu memaksa diri untuk berlatih sehingga badanku kurang enak. Aku ingin beristirahat.” Lalu ia memberi hormat kepada Cian Sin-wi sambil ngeloyor pergi tanpa melirik Wi-hong sedikitpun.

Susah payah Tong Wi-hong menahan luapan darah mudanya yang mulai mendidih, ia benar-benar menjadi tersinggung melihat sikap Song Kim kepadanya. Cian Sin-wi sebenarnya juga ingin menegur muridnya, tapi dengan bijaksana akhirnya dia membatalkan niat tersebut, sebab dirasa kurang bijak jika menegur muridnya di hadapan orang lain. Cian Sin-wi sudah hafal akan watak muridnya yang agak kaku dan bahkan kadang-kadang berpandangan sempit.

Akhirnya Cian Sin-wi Cuma dapat menarik napas panjang sambil berkata kepada Wi-hong, “Maafkan sikap muridku, Hian-tit. Tidak biasanya ia besikap begitu kaku, tentu ada suatu masalah yang mengganjal hatinya saat ini.”

Wi-hong tertawa terpaksa, sahutnya, “Aku berhutang budi kepada paman, mana berani aku menarik panjang persoalan ini?”

Di dalam hati Cian Sin-wi menyesalkan sikap Song Kim. Ia tahu bahwa tentu ada yang kurang beres dalam hubungan antara muridnya dengan anak gadisnya. Dan memang begitulah sikap Song Kim jika pikiranya sedang ruwet. Ketika Cian Sin-wi hendak mengajak Wi-hong beranjak dari situ, tiba-tiba dari pintu bundar di samping halaman terdengarlah suara seorang gadis,

“Ayah! Kau sudah pulang?” Seperti seekor kupu-kupu yang terbang di antara bunga-bunga, dari pintu itu muncul seorang gadis yang berlari ke arah Cian Sin-wi sambil merentangkan tangan dengan sikap manja.

Gadis itu mengingatkan Wi-hong akan adiknya, bahkan cara berpakaiannya pun agak mirip, yaitu ringkas seperti umumnya gadis-gadis dari keluarga persilatan. Bedanya, jika Wi-lian bermuka bulat telur dan anggun, sebaliknya gadis yang menyambut Cian Sin-wi ini nampak periang dan lincah. Tetapi Wi-hong tidak dapat menentukan siapa yang lebih cantik antara gadis ini dan adiknya.

Begitu melihat ayahnya sudah kembali dari perjalanan jauh, gadis ini telah siap “Menyerbu” ke pelukan ayahnya. Tetapi Cian Sin-wi lebih dulu menegurnya sambil tertawa, “Ping-ji (anak Ping), tidak malukah kau, sebesar ini masih bersikap seperti anak-anak kolokan? Lihat, kau tentu akan ditertawai oleh tamu kita.”

Gadis itu menghentikan langkahnya dengan terkejut, dan baru saat itulah ia melihat bahwa di samping ayahnya ternyata ada seorang pemuda asing yang belum dikenalnya. Muka gadis itu seketika menjadi merah karena malu dan menjadi salah tingkah.

Cian Sin-wi mentertawakan anak gadisnya yang mendadak menjadi canggung. Katanya kepada Wi-hong, “Hian-tit, ini adalah Cian Ping, anakku satu-satunya. Maafkan jika ia bersikap agak berandalan dan agak kurang adat. Sejak ibunya meninggal ketika ia masih kecil, aku terlalu memanjanya sehingga ia agak kolokan.”

Cepat Tong Wi-hong memberi hormat sambil berkata, “Selamat bertemu, Cian Kok-nio (nona Cian).”

Anak gadis Cian Sin-wi membalas hormat dan menyahut singkat, “Selamat bertemu.” Dan setelah itu ia membalikkan badan dan mengeluyur pergi begitu saja, tapi tangan ayahnya lebih dulu menyambar tangannya.

Tegur sang ayah, “Ping-ji, jangan kurang adat.”

“Hian-tit,” kata Cian Sin-wi pada Wi-hong, “Aku mengerti bahwa kau sedang mengemban sebuah tugas keluarga yang sangat berat, tapi kau tidak boleh membiarkan luka-lukamu yang belum sembuh itu menjadi semakin parah. Sementara menunggu kekuatanmu pulih kembali, biarlah kau berada di sini saja. Anak buahku tersebar di seluruh Kang-pak, biarlah kuperintahkan mereka untuk mencari jejak ibu dan saudara-saudaramu yang hilang.”

“Ah, aku telah membuat paman jadi bertambah repot saja,” kata Wi-hong dengan perasaan terima kasih yang mendalam.

Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundak anak muda itu sambil berkata, “Kau tidak perlu memikirkan hal itu. meskipun antara aku dan mendiang ayahmu tidak begitu akrab, namun kami pernah juga bertemu beberapa kali dan berkenalan. Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu kesulitan sahabat-sahabatku.”

Sikap jago tua dari Tay-beng yang begitu tulus dan terbuka itu telah menghapuskan semua kemasygulan Wi-hong yang disebabkan oleh sikap Song Kim tadi. Setulus hati pula Wi-hong mengucapkan rasa syukurnya atas kebaikan pendekar Tay-beng tersebut.

Demikianlah, mulai saat itu Wi-hong berada di rumah Cian Sin-wi yang sekaligus merupakan gedung pusat Tiong-gi Piau-hang, untuk menyembuhkan luka-lukanya. Hubungannya dengan orang-orang Tiong-gi piau-hang maupun keluarga Cian juga semakin baik, terutama dengan Cian Ping yang lincah dan periang.

Tetapi aneh, hubungannya dengan Song Kim justru semakin dingin dan tawar. Hal itu bukan karena sikap Wi-hong yang menjauhi Song Kim, tapi justru Song Kim lah yang berusaha memencilkan Wi-hong. Penyebab persoalan diantara anak-anak muda di manapun ternyata sama saja, yaitu cinta. Disadari atau tidak disadari, persoalan itulah yang rupanya berkembang antara diri Wi-hong, Song Kim, dan Cian Ping.

Ternyata sudah cukup lama Song Kim menaruh hati kepada Cian Ping, dan sejauh ini dia belum punya keberanian untuk mengutarakan isi hatinya. Kemudian ketika Wi-hong datang ke tempat itu, mulailah Song Kim dijalari rasa iri dan cemburu, mengingat Tong Wi-hong yang lebih tampan, lebih berpendidikan, dan berasal dari sebuah keluarga pendekar ternama pula. Apalagi hubungan Tong Wi-hong dan Cian Ping kian hari kian “memanaskan” hati Song Kim.

* * * * * * *

Limabelas hari tak terasa sudah berlalu sejak kedatangan Wi-hong di kediaman Cian Sin-wi. Luka-lukanya sudah sembuh sama sekali. Sedang kekuatannya pun mulai pulih sedikit demi sedikit. Diam-diam Wi-hong mulai merasa keenakan tinggal di rumah itu. Di situ ia dilayani dan diperlakukan dengan baik oleh siapapun, kecuali Song Kim. Semua kebutuhannya terjamin, dan yang paling penting bagi Wi-hong adalah adanya Cian Ping di tempat itu!

Tetapi darah Wi-hong mendidih dan kembali bergejolak manakala teringat akan tugas keluarga yang masih terbeban di atas pundaknya. Ia merasa, bahwa tinggal terlalu lama di tempat seenak itu akan dapat melunturkan semangat jantannya. Diam-diam ia bertekad bahwa begitu luka-lukanya sudah baik dan kekuatannya sudah pulih kembali, ia akan segera meninggalkan tempat itu untuk meneruskan tugas pencariannya. Untuk sementara Tong Wi-hong harus membuang jauh-jauh segala pikiran untuk mencari enaknya sendiri saja.

Di suatu pagi yang cerah dan hangat, Wi-hong mencoba melemaskan ototnya dengan menjalankan jurus-jurus pedangnya dihalaman belakang rumah Cian Sin-wi. Halaman itu dikeilingi oleh kebun bunga yang indah sehingga memberi kesegaran bagi orang yang berlatih di situ.

Tong Wi-hong yag belum pernah sekalipun berlatih sejak bertempur dengan para pembunuh bayaran dulu, kini berlatih dengan giat karena khawatir kalau kemampuannya menurun. Begitu bersemangatnya ia sehingga dalam sekejap saja pakaiannya telah basah kuyup oleh keringat.

Tengah dia berlatih dengan asyiknya, tiba-tiba dari balik sebuah gerumbul pohon bunga meluncurlah segumpal tanah menyambar ke arah tubuhnya. Wi-hong berhasil menghindari tapi gumpalan-gumpalan tanah berikutnya telah menyerbu dengan gencar sampai akhirnya Wi-hong berteriak dengan kewalahan,

“Adik Ping, sudahlah!”

Terdengar suara tertawa geli dari balik gerumbul pohon bunga, dan muncullah Cian Ping dengan riangnya. Serunya, “He, Hong-koko, kau bersemangat sekali pagi ini.”

Tong Wi-hong menyarungkan pedangnya sambil menyahut, “Hari ini semangatku mendadak timbul setelah merasa bahwa tubuhku sudah baik kembali. Tanganku jadi gatal ingin memainkan pedang. Eh, Ping-moy, bagaimana dengan ilmu pedangku tadi?”

“Belum pernah kulihat ilmu pedang seburuk itu,” olok Cian Ping sambil tertawa, “Hong-koko, pagi ini cukup cerah, sayang kalau kita lewatkan begitu saja. Bagaimana kalau kau menemani aku untuk melihat-lihat tempat bersejarah Dinasti Song?”

Rupanya Cian Ping sudah tahu kelemahan seorang “kutu buku” macam Wi-hong yang biasanya gemar melihat tempat-tempat yang mengandung nilai sejarah, maka sengaja diucapkannya kata-kata “tempat bersejarah Dinasti Song” itu untuk memancing Wi-hong. Dan benar juga, hati Wi-hong mulai tergelitik oleh ajakan tersebut, apalagi jika perginya ditemani gadis secantik Cian Ping.

Namun kalau Wi-hong ingat kepada Song Kim yang nampaknya sangat pencemburu, ia jadi bimbang. Jika kepergiannya bersama Cian Ping berdua saja sampai terlihat Song Kim, ada kemungkinan persoalan yang terpendam selama ini akan meledak dan bisa menjadi perkelahian. Bukannya Wi-hong takut berkelahi, tapi tentu kurang enak kalau harus berkelahi melawan Song Kim yang merupakan murid Cian Sin-wi, padahal orang tua itu adalah penolong jiwanya.

Tetapi untuk menolak ajakan Cian Ping secara terang-terangan juga bukan merupakan pekerjaan gampang. Selama belasan hari tinggal di situ, Wi-hong sudah tahu benar bagaimana sifat gadis itu. jika Wi-hong menolak, maka gadis itu akan menjadi sakit hati, dan hal semacam ini jelas tidak dikehendaki oleh Wi-hong.

Sementara itu Cian Ping telah menarik ujung baju Wi-hong dengan berkata setengah membujuk, “Ayo cepat. Pemandangan di luar kota sangat bagus. Jika kita terlambat maka hari akan terlanjur menjadi panas.”

Tapi Wi-hong masih saja berdiri kebingungan bagaimana seharusnya menanggapi permintan gadis itu. Belum lagi keruwetan itu terpecahkan, datanglah keruwetan lainnya, sebab tahu-tahu Song Kim telah muncul di kebun bunga itu dengan wajah yang keruh. Dan wajahnya menjadi semakin keruh ketika melihat puteri gurunya bersikap demikian akrab dengan Tong Wi-hong. Kata Song Kim dengan nada kaku,

“Sumoi, kulihat kau dalam beberapa hari ini telah mengabaikan latihan ilmu silatmu. Hari ini Suhu memerintahkan aku untuk berlatih bersamamu sambil menilik kemajuan ilmumu.”

Cian Ping memelototkan matanya kearah kakak seperguruannya, sahutnya dengan mendongkol, “Sudahlah, Suheng, jangan mengganggu acara yang sudah kususun hari ini. Nanti sehabis bepergian dengan Hong-koko akau akan berlatih tiga ribu jurus dengan Suheng.” Jawaban Cian Ping itu diucapkan bukan untuk sengaja menyakiti hati suhengnya, melainkan karena kebiasaan gadis itu untuk bicara ceplas-ceplos sesuai dengan wataknya. Tapi jawaban itu justru membuat muka Song Kim menjadi merah padam dan rasa jeles-nya meluap hampir tak tertahankan.

“Bepergian dengan Hong-koko,” kalimat itu selalu mendengung ditelinga Song Kim. Dia yang sejak kecil dibesarkan bersama Cian Ping, belum pernah punya kesempatan untuk bepergian berdua saja dengan gadis itu. dan kini, relakah ia melihat “gadisnya” itu tahu-tahu diserobot orang begitu saja?

Sedang Wi-hong sudah mengeluh dalam hatinya. Melihat gelagatnya, pastilah keributan akan sukar dihindarkan lagi. Sementara itu Song Kim telah melangkah mendekati Cian Ping dan berkata dengan nada menegur,

“Su-moy, jadi kau mengabaikan latihanmu tapi malahan ingin bersenang-senang?”

“Betul,” sahut si gadis yang bengal ini. “Masakan orang hidup di dunia tidak boleh mengalami kegembiraan sedikitpun, dan tiap hari hanya berlatih dan berlatih terus sehingga bosan rasanya?”

“Su-moy, jika ilmu silatmu sampai mengalami kemunduran, maka akulah yang akan dipersalahkan oleh ayahmu, karena Beliau tentu mengira bahwa aku tidak pernah mengajakmu latihan.”

“Aku sendiri yang akan berbicara kepada ayah.”

Hati Song Kim menjadi semakin panas karena terus-menerus dibantah oleh Su-moy-nya. Sebenarnya alasan mengajak berlatih itu hanyalah alasan yang dikarangnya sendiri dengan tujuan menghalangi jangan sampai Cian Ping semakin akrab dengan Wi-hong. Ia menduga bahwa dengan alasan disuruh oleh ayahnya, gadis itu tentu tidak berani membantah. Namun tak terduga sama sekali bahwa ternyata gadis itu berani membantahnya secara terang-terangan, bahkan di hadapan Wi-hong. Maka sesaklah dada Song Kim karena kejengkelannya.

Di sisi lain, Wi-hong sendiri juga semakin gelisah. Sifat-sifat bengal gadis itu ternyata menimbulkan kesulitan juga. Wi-hong menilai, ada kesamaan antara sifat-sifat Cian Ping dengan sifat kakak Wi-hong, yaitu Tong Wi-siang. Bedanya, jika kebengalan Cian Ping masih agak berbau kekanak-kanakan, sedangkan kebengalan Wi-siang sudah menjurus kepada pengacauan ketenteraman masyarakat. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Wi-hong berkata kepada Cian Ping dengan suara membujuk,

“Ping-moy lebih baik kau turuti saja kemauan ayahmu. Bukankah ayahmu dan suhengmu ini bertindak demikian untuk kebaikan dirimu sendiri? Nah, sekarang pergilah berlatih dengan Song Toako.”

Ucapan Wi-hong ini tidak terduga oleh Cian Ping maupun Song Kim, membuat keduanya tercengang. Warna merah di wajah Song Kim agak mereda, ia tertawa dingin dan membatin dalam hati, “Hemm, kiranya bocah she Tong ini insyaf bahwa dirinya bukan tandinganku maka ia bersikap mengalah kepadaku. Asal selanjutnya dia cukup tahu diri, tidak ada halangannya aku memberi sedikit muka terang kepadanya.”

Sedangkan Cian Ping justru semakin kambuh sifat keras hatinya. Katanya sambil membalikkan badan dan muka memberengut, “Baik, baik, rupanya kalian memang sudah bersekongkol untuk menyudutkan aku dan mempermalukan aku. Mulai sekarang anggap saja di atas bumi ini tidak ada lagi manusia yang bernama Cian Ping!”

“Adik Ping, kau salah paham...” bujuk Wi-hong.

“Salah paham apa? Sudahlah kalau kau tidak mau pergi bersama aku, biarlah aku pergi sendiri.”

“Su-moy, kau jangan marah,” Song Kim juga ikut memperlunak nada bicaranya.

Cian Ping tidak menyahut, hanya mukanya saja yang menampakkan kejengkelannya. Dan sikap ini ternyata cukup membuat Song Kim yang biasanya galak dan angker itu berubah jadi jinak, kini mukanya tak ubahnya muka seorang anak kecil yang sedang merengek kepada ibunya, “Su-moy, kau jangan marah. Jika kau pergi sendirian dan kemudian menemui suatu bahaya, tentu akulah yang akan dimarahi oleh Suhu.”

“Itu urusanmu suheng. Tidak seorang pun berhak melarang apa yang kuperbuat sesuai dengan kata hatiku.”

Baik Song Kim maupun Wi-hong kini jadi sama-sama kebingungan menghadapi gadis keras kepala ini. Keduanya cukup tahu, jika Cian Ping berani berkata tentu berani pula melakukannya. Dalam kebingungan itu tiba-tiba Wi-hong menemukan jalan tengah yang dianggapnya membawa penyelesaian tanpa ada yang kehilangan muka. Katanya, “Baiklah, adik Ping, kita akan pergi bersama...”

Wajah Cian Ping yang semula cemberut itu kini berubah menjadi berseri-seri, sebaliknya muka Song Kim berubah dengan hebatnya karena merasa diremehkan. Ketika mulut Song Kim sudah bergerak hendak mendamprat Wi-hong, maka Wi-hong sudah melanjutkan kata-katanya, “Tetapi untuk itu aku mempunyai dua syarat yang harus kau terima.”

“Syarat apa saja?”

“Pertama, kita tidak boleh membuat ayahmu dan seisi rumah lainnya menjadi kebingungan mencari kita, karena itu kita harus memberi tahu kepada Beliau lebih dulu. Selain itu, sebelum hari menjadi sore, kita harus sudah berada di rumah kembali.”

“Baiklah,” sahut Cian Ping tanpa berpikir panjang lagi. “Dan syarat yang ke dua bagaimana?”

“Supaya tamasya kita lebih ramai dan mengasyikkan, bagaimana kalau Song Toako juga ikut?”

Memangnya Cian Ping tidak punya perasaan apa-apa terhadap kakak seperguruannya ini, kecuali perasaan sebagai sesama saudara seperguruan, maka syarat ke dua inipun diterimanya pula. Sedangkan Song Kim yang sudah hampir marah itu kini telah mengendap lagi setelah mendengar syarat ke dua itu. Bertambah yakinlah Song Kim bahwa pemuda she Tong ini sebenarnya takut kepadanya.

Mereka segera mempersiapkan diri dan memberi tahu kepada Cian Sin-wi, dan agaknya Cian Sin-wi juga tidak ingin merintangi kesenangan orang-orang muda itu, bahkan ia akan gembira kalau ketiga anak muda itu menjadi sahabat-sahabat karib. Tong Wi-hong sempat mengganti bajunya yang basah kuyup oleh keringat, sedang Song Kim pun berusaha agar tampak cukup tampan dibandingkan Wi-hong.

Sesaat kemudian terlihatlah ketiga anak muda itu sudah berkuda dan keluar dari pintu timur kota Tay-beng. Entah disengaja entah tidak, Cian Ping selalu menjalankan kuda tunggangannya berdampingan dengan Tong Wi-hong, sedang Song Kim yang pendiam dan berwajah angker itu berkuda agak terpisah ke samping.

Buat Cian Ping yang berpikiran bersih itu sendiri tidak ada masalah, sepanjang jalan ia mengajak Wi-hong bercerita dan berkicau seperti burung. Namun diantara Wi-hong dan Song Kim terasa adanya suasana yang canggung. Berkali-kali wi-hong berusaha mengatasi kecanggungan tersebut dengan mengajak Song Kim ikut dalam percakapan, tapi Song Kim menanggapi dengan sikap dingin dan angkuh.

Sikap itu lama-kelamaan membuat Wi-hong jadi mendongkol juga, dan sebagai seorang yang punya harga diri akhirnya ia membiarkan Song Kim dengan tingkahnya sendiri. Bahkan akhirnya Wi-hong pun sengaja makin menunjukkan keakrabannya dengan Cian Ping, membuat Song Kim semakin merasa tersisih sendirian. Wi-hong sudah tidak peduli lagi andaikata Song Kim marah dan megajaknya berkelahi. Ia yakin Cian Ping tentu akan menjelaskan persoalan sebenarnya di hadapan ayahnya.

Sedangkan rasa kebencian semakin dalam merasuk dalam hati Song Kim, tidak disadarinya bahwa sikapnya sendiri yang angkuh itulah yang menyebabkan Wi-hong bersikap begitu. Tidak mereka sadari, bahwa tamasya yang sebenarnya diharapkan untuk mengakrabkan anak-anak muda itu justru telah menanam bibit-bibit permusuhan diantara keduanya. Bibit permusuhan itulah yang kelak akan semakin membesar dan bahkan kelak menjadi bencana bagi Tiong-gi Piau-hang!

Kira-kira sepeminuman teh mereka berkuda, tibalah ketiganya di sebuah dataran hijau yang letaknya berdampingan dengan sebuah bukit hijau yang penuh pohon-pohon cemara. Cian Ping menunjuk dataran itu sambil berkata kepada Wi-hong,

“Meskipun dataran ini kelihatannya tidak istimewa, namun justru mengandung nilai sejarah yang penting. Dalam kisah kepahlawanan seratus delapan pendekar Liang-san, di tempay inilah Lu Jun-yu bertempur mati-hidup dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Si Bun-kong.”

“Kenapa kakak beradik seperguruan itu bertarung?”

Sahut Cian Ping, “Karena keduanya sama-sama lelaki jantan dan sama-sama memegang teguh pendirian mereka masing-masing. Lu Jun-yu berpihak kepada kaum pendekar Liang-san, sebaliknya Si Bun-kong adalah seorang perwira Kerajaan Beng yang bertugas menumpas para pendekar Liang-san. Itulah sebabnya mereka bertempur.”

“Siapa yang menang dalam pertempuran itu?”

“Ilmu silat keduanya sebenarnya seimbang. Tetapi Lu Jun-yu memiliki sebuah kelemahan, yaitu ia masih memandang hubungan sebagai saudara seperguruan dan sering tidak sampai hati untuk menurunkan tangan jahat kepada Si Bun-kong. Karena kelemahannya inilah Lu Jun-yu hampir saja terbunuh. Untung salah seorang pendekar Liang-san yang bernama Li Kui ikut terjun ke medan laga, akhirnya dapatlah Si Bun-kong dikalahkan.”

Cerita semacam itu baru pernah didengar oleh Wi-hong saat itu, maka ia mendengarkannya dengan asyik. Sementara Cian Ping terus bercerita, “Kau tentu pernah mendengar cerita kepahlawanan Lu Jun-yu. Ia rela meninggalkan seluruh kekayaan dan kenikmatan hidup dan menukarnya dengan kehidupan penuh derita dan marabahaya, untuk bergabung dengan kaum kesatria Liang-san demi membela kepentingan rakyat. Bahkan ia rela bermusuhan dengan adik seperguruannya sendiri. Namun Si Bun-kong juga seorang kesatria sejati yang tercatat dalam sejarah Tay-beng pula, dia setia akan tugasnya dan pantang menyerah sampai ajalnya.”

Karena asyiknya kedua orang itu bercakap-cakap, mereka seolah telah lupa bahwa di samping mereka berdua masih ada orang ketiga, yaitu Song Kim. Dan si orang ketiga ini menyaksikan dengan darah yang mendidih, bagaimana Cian Ping dan Wi-hong berjalan merendengkan kudanya sambil bercakap-cakap dengan gembira. Kadang-kadang mereka bicara sambil saling mendekatkan kepala.

Tengah ketiga orang itu berjalan berkeliling tempat bersejarah tersebut, tiba-tiba terdengarlah suara bentakan dingin, “Berhenti tikus-tikus kecil!”

Ketika mereka menoleh ke arah asal suara bentakan, terlihatlah seorang Tojin (Imam agama To) berjubah hijau tua sedang berdiri ditepi jalan sambil memandang ketiganya dengan tajam. Meskipun berdandan sebagai imam, namun justru Tojin itu mempunyai seraut wajah yang seram, bahkan kulit diantara kedua matanya juga membayangkan warna hijau kehitaman, menandakan Tojin ini seorang penganut ilmu beracun. Mata Tojin yang bagai burung hantu memandang tajam ke arah Wi-hong.

Bagi Song Kim yang sedang pepat dadanya dan memerlukan pelampiasan segala perasaannya, maka kemunculan Tojin berjubah hijau itu malah merupakan kebetulan baginya. Cepat Song Kim melompat turun dari kudanya dan mendekati imam itu dengan langkah lebar dengan maksud ingin melabrak si imam.

Sebaliknya Tojin itu tidak melirik sekejappun ke arah Song Kim, seluruh perhatiannya hanya tepusat kepada Wi-hong. Kata imam itu dengan suara dingin, “Kau tentu salah satu dari dua putera Tong Tian, sebab wajahmu mirip dengan orang she Tong itu. Tapi aku tidak tahu kau ini yang bernama Wi-siang atau Wi-hong. Aku tidak ingin banyak cakap lagi, lekas kau sebutkan di mana ibumu dan saudara-saudaramu bersembunyi, setelah itu ikutlah aku untuk kugiring ke An-yang-shia guna menerima hukuman!”

Ucapan Tojin itu langsung memberitahukan Wi-hong akan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Ia teringat bahwa dirinya dan keluarganya yang lain saat itu masih menjadi orang buruan Cia To-bun, musuh besarnya di An-yang-shia. Tojin ini tampangnya tidak seperti orang baik-baik, bahkan agaknya merupakan salah satu dari para pembunuh bayaran yang diutus oleh Cia To-bun.

Belum sempat Wi-hong menyahut,Song Kim telah lebih dulu membentak si imam, “Hidung kerbau keparat! Di tempat lain kau boleh main gila, tapi jangan coba-coba jual tampang di daerah pengaruh Tiong-gi Piau-hang ini! Hayo pergi!”

Bentakan itu dibarengi pula dengan uluran tangan untuk mencengkeram baju si Tojin. Mengandalkan tenaganya yang besar, song Kim bermaksud membanting roboh Tojin itu dalam sekali gebrak, sekalian untuk pamer kepandaian di depan Cian Ping.

Ternyata Tojin yang bertubuh kurus kerempeng itu bukan lawan yang empuk seperti dugaan Song Kim. Sebelum telapak tangannya menyentuh baju si imam, si imam telah lebih dulu membalikkan tangannya ke atas dan dengan tepat berhasil menotok jalan darah Jing-lian-hiat di lengan Song Kim. Song Kim terkesiap dan berusaha menghindarkan tangannya, tapi terlambat.

Saat itu juga lengannya terkulai dan tenaga yang dikerahkannya tadi telah buyar semua. Tetapi di hadapan Cian Ping, Song Kim berlagak gagah dan tidak sudi menampakkan kekalahannya. Sambil menggertakkan gigi ia menggunakan tinju kirinya untuk menyodok sekuat tenaga ke dada lawan.

“Benar-benar orang yang tidak tahu diri,” dengus imam itu. Dengan sebuah kebasan lengan jubahnya yang lebar, Tojin itu berhasil melibat lengan Song Kim. Gerakan itu diteruskan dengan gerakan menarik, memutar, dan mendorong kembali, membuat song Kim terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. Kelihatannya si Tojin menggunakan ilmu silat Tay-kek-kun dari Bu-tong-pay yang cukup terlatih, hanya saja ia menggunakan lengan baju sebagai pengganti tangan.

Karena dikalahkan dengan sedemikian mudah oleh si Tojin, apalagi kekalahannya itu ditonton oleh Wi-hong dan Cian Ping, maka Song Kim menjadi sangat malu. Malu berubah menjadi murka, sambil menegakkan tubuhnya, Song Kim telah membentak lagi, “Tojin busuk, sebutkan namamu supaya jasadmu tidak terkubur tanpa nama!”

Wajah Tojin berjubah hijau tua itu menjadi kelam dan beringas mendengar makian Song Kim. Geramnya sengit, “Tikus kecil! Belum pernah ada orang yang memaki aku seperti itu. Cukup besar juga nyalimu, sayang umurmu ditakdirkan sangat pendek!”

Selangkah demi selangkah imam itu mendekati Song Kim, tangannya pun mulai melolos hud-tim yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Dalam keadaan segawat itu bagi Song Kim, Tong Wi-hong melupakan semua kelakuan buruk Song Kim dan hanya mengingat budi kebaikan Cian Sin-wi saja. Ia pun cepat melompat turun dari kudanya sambil melolos pedang.

“Totiang (bapak imam), jangan mengganas!” serunya. Karena telah menyaksikan sendiri kepandaian si imam yang tinggi, maka Wi-hong bertekad untuk menyerang lebih dulu supaya menang diatas angin. Begitu membentak, begitu pula ujung pedangnya langsung menikam jalan darah Soan-ki-hiat di dada si imam. Sementara itu Cian Ping juga telah melompat turun dari kudanya dan mencabut sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau).

Dalam sekejap Tojin itu telah dikeroyok oleh Wi-hong dan Cian Ping. Sebatang pedang dan sepasang kaitan berkelebat-kelebat mengancam seluruh tubuh si imam. Tanpa melewatkan kesempatan tersebut, Song Kim lalu berlari ke arah kudanya dan mengambil tombak panjang yang tergantung di pelana kuda, lalu ia pun menerjunkan diri dalam kancah perkelahian, ikut mengepung Tojin berjubah hijau tersebut.

Dikeroyok oleh tiga orang muda yang cukup tangkas ternyata Tojin berjubah hijau tersebut tidak tampak tanda-tanda akan terdesak sedikitpun. Ilmu silat yang dimainkannya adalah ilmu silat campur aduk dari bermacam aliran silat yang diolahnya sendiri, dan ternyata cukup lihai pula. Hud-timnya dimainkan secara aneh, berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya, dan cara memainkannya pun agak mirip dengan Tay-kek-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tay-kek). Sedangkan bulu-bulu hud-tim itu ternyata memainkan gerakan-gerakan tersendiri pula.

Tetapi yang paling lihai dan paling berbahaya pada diri si Tojin bukanlah senjatanya, namun justru tangannya yang tidak memegang senjata. Sebab tangan itu berwarna hijau pucat dan menyebarkan bau yang pahit-pahit asam. Itulah ilmu pukulan beracun yang jarang terlihat di dunia persilatan.

Tong Wi-hong, Cian Ping, dan Song Kim bagaikan tiga ekor anak kambing yang tidak takut kepada harimau. Mereka bertiga bertempur dengan semangat berkobar, bahkan ketiganya seakan bersaing untuk menunjukkan kepandaian masing-masing. Song Kim menujukkan ilmu tombaknya yang dahsyat bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Gerakannya cepat, beruntun, dan membawa tenaga yang besar. Tubuh Tojin itu bagaikan hendak digulung dengan gerakan tombaknya. Ternyata murid tunggal Cian Sin-wi ini benar-benar tidak mengecewakan.

Di dekat Song Kim, Cian Ping juga bertempur tidak kalah garangnya meskipun dia hanya seorang gadis. Sebenarnya senjata jenis Hau-thau-kau cukup berat dan umumnya digunakan oleh kaum lelaki, namun ternyata Cian Ping mampu memainkanya dengan baik. Sepasang Hau-thau-kau Cian Ping ini dirancang khusus oleh ayahnya, yaitu tipis, tajam, dan ringan.

Sedangkan Tong Wi-hong tidak segarang Song Kim dan selincah Cian Ping. Namun bagi para ahli silat yang bermata tajam akan dapat segera melihat bahwa ilmu pedang Tong Wi-hong lah yang paling berbahaya buat lawannya. Gerakannya halus dan licin berbelit-belit seperti ular yang mengamuk, mengandung ribuan perubahan yang rumit dan tidak terduga. Itulah Soat-san-kiam-hoat, ilmu pedang paling disegani di daerah barat!

Setelah berlangsung puluhan jurus, pertempuran itu nampak semakin panas. Suatu saat Song Kim melihat peluang bagus, sekuat tenaga ia menusukkan tombaknya ke perut si Tojin. Song Kim yang masih muda dan kurang pengalaman itu tidak menduga bahwa peluang itu hanyalah pancingan belaka. Begitu serangan Song Kim datang, dengan mudah si imam menggeser tubuh sambil tangannya mencengkeram ke tangkai tombak.

Meski tubuhnya kerempeng, kekuatan si imam itu ternyata lebih dari cukup untuk menyentakkan tombak sehingga Song Kim terpelanting dan roboh ke tanah. Imam itu sudah benar-benar marah dan dikuasai nafsu membunuh. Sambil berseru bengis ia menyabetkan hud-timnya ke arah leher Song Kim yang masih tergeletak di tanah. Untung Song Kim masih sempat menggulingkan diri ke samping.

Ketika hud-tim mengenai tanah, mengepullah debu tebal, dan ternyata sabetan yang kelihatan ringan itu telah membuat sebuah lubang panjang di atas tanah sedalam tiga jari lebih! Sulitlah dibayangkan seandainya sabetan tadi mengenai leher Song Kim, mungkin saat itu dia sudah menjadi mayat tak berkepala!

Terkesiaplah ketiganya melihat kehebatan si imam. Si imam bertambah beringas karena serangan mautnya tidak mengenai sasaran. Ia membentak lagi, dan tiba-tiba bulu kebutannya menegak dan mengembang bagaikan ribuan jarum baja yang siap menusuk seluruh jalan darah kematian di tubuh Song Kim. Sekali lagi murid Cian Sin-wi itu dipaksa untuk bergulingan menyelamatkan nyawanya dengan gugupnya.

Namun Wi-hong dan Cian Ping tidak membiarkan si imam merajalela sesukanya. Selincah kijang, Cian Ping telah melompat ke gelanggang kembali sambil berseru, “Lihat serangan!” dan sepasang kaitannya bergerak serentak untuk mengait tulang pundak lawan. Terhadap serangan Cian Ping Tojin itu sedikitpun tidak menoleh. Cukup hanya mendoyongkan badan, loloslah ia dari serangan si gadis. Bahkan lalu ia memutar pinggang dan dengan pukulan telapak tangan ia menghamburkan serangkum angin beracun ke arah muka Cian Ping.

Gadis itu memiliki latihan lwe-kang (tenaga dalam) yang belum begitu kuat, sehingga ia segera merasakan akibat dari hembusan angin beracun si Tojin. Seketika itu juga ia merasakan kepalanya pusing dan perutnya mual. Dengan sempoyongan ia melangkah mundur sambil melintangkan kaitannya di depan tubuh. Meskipun serangan Cian Ping boleh dikata gagal, tetapi telah cukup memberi waktu sejenak bagi Song Kim untuk melompat bangun dan mempersiapkan diri kembali meskipun kini ia telah tidak bersenjata lagi.

Sementara itu Tong W-hong marah melihat kekejaman si imam, dan tanpa kenal takut ia menerjang maju. Pedangnya yang menyambar bagai halilintar itu dalam sekejap telah tiba di depan hidung si Tojin. Dengan tenaga putaran Tay-kek-kun, si imam berhasil melibat pedang Wi-hong dan menyingkirkannya ke samping, sekaligus serangan Wi-hong tersebut menambah keyakinan si imam akan buruan yang dicarinya.

Pikir si imam, “Bocah ini menggunakan ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat. Aku bertambah yakin bahwa kali ini aku tidak akan salah bunuh lagi.” Namun suatu pertimbangan lain menyelinap di hati si imam, “Benar orang muda ini memang anak Tong Tian, tapi siapakah kedua kawannya ini? Menilik senjata yang digunakan oleh gadis itu, agaknya ia punya hubungan erat dengan si tua bangka Cian Sin-wi pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Kalau begitu aku tidak boleh menambah musuh, sebab si tua bangka she Cian itu bukan manusia yang gampang diladeni.”

Sambil bertempur, imam itu memperhitungkan semua untung ruginya jika pertempuran itu diteruskan. Imam tersebut bukan lain adalah Te-yong Tojin, guru silat di rumah Cia To-bun yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan ayah Tong Wi-hong. Setelah berpikir bolak-balik akhirnya Te-yong Tojin memutuskan untuk menunda pembunuhan atas diri Wi-hong.

Kehadiran Song Kim dan Cian Ping dianggapnya kurang menguntungkan, meskipun kepandaian mereka tidak menakutkan tapi nama besar Cian Sin-wi lah yang membuat imam itu gentar. Imam itu lebih suka menunggu kesempatan lain di mana Wi-hong sendirian saja.

Kemudian terdengar si imam tertawa dingin, katanya, “Hari ini aku sedang banyak urursan dan tidak punya waktu lagi untuk bermain-main dengan segala tikus kecil macam kalian. Biarlah untuk sementara kutangguhkan semua perhitunganku atas kekurang ajaran kalian.”

Begitu habis kalimatnya, ia segera melancarkan gempuran hebat ke arah tiga sudut kepungan yang membuat ketiganya dipaksa untuk mundur. Begitu kepungan terasa longgar, bagaikan seekor rajawali imam itu melompat keluar dari kepungan.

“Bangsat! Mau lari kemana kau?!” bentang Song Kim yang masih merasa penasaran sambil memungut tombaknya yang tergeletak di tanah.

Namun gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) dari ketiga anak muda itu terpaut jauh dengan gin-kang Te-yong Tojin. Hanya dengan beberapa kali luncuran tubuh, Te-yong Tojin telah menghilang ke dalam hutan cemara. Ketiga orang muda itu berdiri termangu-mangu dengan debaran jantung yang semakin keras.

Mereka ngeri kalau mengingat bahwa mereka baru saja bertempur dengan lawan yang begitu lihai, bahkan nampaknya lawan tersebut berkepandaian sejajar dengan Cian Sin-wi. Yang merasa paling terancam adalah Wi-hong, sebab ia tahu bahwa Tojin itu pastilah salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun.

“Sungguh berbahaya, Tojin itu jelas mengincar diriku,” desah Wi-hong perlahan. “Untuk selanjutnya aku harus berhati-hati.”

Cian Ping menggantungkan kembali sepasang kaitan harimaunya ke pelana kuda sambil mengerutu, “Ku kira semua ini adalah gara-gara Song suheng yang telah bertindak sembrono hanya dengan menuruti kemarahan saja. Belum lagi kita tahu apa maksud Tojin itu sebenarnya, suheng telah main pukul seeenaknya saja. Tentu saja Tojin itu tidak sudi kita perlakukan kasar, dan akibatnya, hampir saja nyawa kita tidak tertolong lagi.”

Song Kim menjadi penasaran, maksudnya tadi adalah ingin pamer kegagahan dan keberanian, tak disangka ia malah kena damprat gadis itu. Katanya, “Kenapa kau malah menyalahkan aku, su-moay? Imam tadi nampak begitu liar dan kurang ajar ketika memandang tubuhmu. Dilihat dari sikapnya saja sudah jelas bahwa dia bermaksud busuk. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan berpura-pura tidak tahu?”

Sambil mengucapkan kata-kata itu Song Kim beberapa kali melirik Wi-hong, jelas kata-katanya yang tajam itu bermaksud menyindir Wi-hong. Wi-hong pun mengerti arah tujuan kata-kata itu, meskipun hatinya menjadi panas tapi ditahannya sekuat tenaga supaya ia tidak bentrok dengan murid Cian Sin-wi itu.

Tiba-tiba Song Kim berseru kaget, “Su-moay, kenapa kau?!” Dilihatnya Cian Ping yang berusaha melompat ke atas kuda tiba- tiba terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya, kemudian roboh dengan muka pucat kebiruan dan mata terpejam rapat.

Wi-hong pun terkejut melihat keadaan gadis itu, ia segera melangkah hendak mendekat namun baru berjalan dua langkah ia pun merasa kepalanya pusing dan perutnya mual, dan robohlah dia juga. Dalam pertempuran melawan Te-yong Tojin tadi, ketiga anak muda yang kurang pengalaman itu tanpa sadar telah menghirup hawa beracun yang tersebar dari telapak tangan si imam.

Seperti telah diketahui, Te-yong Tojin ini melatih pukulan beracun Tok-jan-jiu (Pukulan Ulat Berbisa) yang jahat. Cian Ping yang belum mempunyai dasar tenaga dalam yang kuat, maka dialah yang roboh lebih dulu. Sedangkan Wi-hong sebenarnya memiliki daya tahan yang terpupuk kuat, tapi luka-lukanya belumlah sembuh betul dan daya tahannya pun belum pulih seperti semula sehingga berikutnya dialah yang giliran roboh.

Yang paling aman adalah Song Kim. Selain punya daya tahan yang kuat, dia juga memakai senjata panjang dalam pertempuran tadi sehingga ia tidak terlalu terpengaruh oleh hawa beracun lawannya. Meskipun ia juga agak pusing, tapi tidak sampai membuatnya roboh.

Melihat Cian Ping dan Tong Wi-hong roboh berturut-turut, Song Kim sejenak menjadi kebingungan. Namun setelah agak tenang cepat ia menolong sumoaynya lebih dulu. Dibaringkannya tubuh si gadis di bawah pohon yang rindang, lalu secara paksa ia menjejalkan obat pulung penawar racun buatan Tiong-gi Piau-hang ke dalam mulut si gadis.

Setelah itu barulah Song Kim melihat ke arah Wi-hong. Dilihtanya pemuda yang menyainginya dalam merebut cinta Cian Ping itu juga pingsan tidak jauh dari situ. Mendadak suatu pikiran jahat terlintas di benaknya, “Bocah she Tong ini merupakan perintang dalam usahaku untuk mempersunting su-moay, bahkan nampaknya su-moay kini lebih suka berdekatan dengan bocah gila ini daripada denganku. Saat ini tidak seorangpun yang menyaksikan perbuatanku, lebih baik kuhabisi saja nyawa bocah tengik ini. Nanti jika Suhu atau Sumoay menanyakan, akan kujawab bahwa ia mati kena pukulan beracun si imam jubah hijau itu.”

Muka Song Kim mendadak menyeringai kejam dan beringas, bagai sesosok hantu yang mencium adanya bau mayat. Ia melangkah mendekati Wi-hong untuk menjalankan niatnya. Namun sebagai seorang yang cukup licik dan berhati-hati, dia tidak bertindak ceroboh dan tergesa-gesa, dia harus mengetahui dengan pasti apakh Wi-hong benar-benar pingsan atau cuma agak mabuk. Lebih dulu ia mengguncang-guncangkan pundak Wi-hong sambil memanggil-manggil nama pemuda itu.

Setelah benar-benar yakin bahwa pemuda itu benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri, maka dengan tidak membuang waktu lagi Song Kim segera merangkapkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan kuat dan mengerahkan tenaga lalu denga cepat ditotokkannya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat, jalan darah kematian di dada Wi-hong.

Sekonyong-konyong terdengar suara gemerasak di belakangnya. Orang yang hendak berbuat kejahatan biasanya selalu dibayangi ketakutan atau kekhawatiran jangan-jangan ada orang yang menyaksikan perbuatannya, dan Song Kim pun tidak terkecuali. Suara gemerasak perlahan itu telah cukup membuyarkan perhatiannya dan pengerahan tenaganya pun terganggu.

Dengan terkejut ia membatalkan totokannya dan cepat membalik badannya ke belakang untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kemudian Song Kim mengumpat dengan kasar karena yang bersuara tadi ternyata cuma dua ekor kelinci hutan yang sedang berkejaran.

Song Kim menghembuskan napas panjang-panjang dan mencoba menentramkan debaran jantungnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga ke dalam kedua jarinya dan siap menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, mengirim nyawa Wi-hong ke akherat.

“Siapapun yang merintangi jalanku untuk hidup berbahagia bersama su-moay, harus kusingkirkan,” tekadnya di dalam hati.

“Suheng, kau sedang apa?” tiba-tiba terdengar suara Cian Ping perlahan-lahan di belakangnya. Agaknya setelah menelan obat buatan ayahnya, Cian Ping mulai mendapatkan kembali kesadarannya meskipun perasaan mual dan pusing masih mengganggunya.

Suara Cian Ping yang lirih ibarat bunyi halilintar yang meledak di pinggir telinga Song Kim. Dengan agak gugup ia menyahut sekenanya tanpa menolehkan muka, “A... aku... sedang berusaha menolong saudara Wi-hong.”

“Apakah keadaannya membahayakan?” tanya Cian Ping dengan penuh perhatian membuat rasa cemburu Song Kim jadi berkobar kembali.

“Su-moay, agaknya besar sekali perhatianmu kepadanya, ya?” dengus Song Kim dengan dingin. “Lukanya tidak berat sebab ia tidak terkena langsung pukulan imam tadi, agaknya ia cuma menghirup hawa pukulannya saja.”

Legalah hati gadis itu setelah mendengar penjelasan kakak seperguruannya. Sikap suhengnya yang dingin tidak digubrisnya, bahkan katanya lagi tanpa prasangka, “Syukurlah kalau begitu. Suheng, jika kau sudah selesai menolongnya, cepat ambil kuda-kuda kita. Sebaiknya kita cepat-cepat pulang, siapa tahu imam itu pergi untuk memanggil teman-temannya.”

Song Kim tidak menyahut sepatah katapun. Dengan langkah gontai menuntun tiga ekor kuda mendekat. Lebih dulu ia membantu Cian Ping naik ke atas kudanya. Dan ketika Song Kim hendak meletakkan tubuh Wi-hong ke atas salah satu kuda, Cian Ping berkata,

“Suheng, Hong-koko masih belum sadarkan diri dari pingsannya, ia bisa jatuh terbanting jika sendirian di atas kuda. Sebaiknya suheng berkuda bersamanya untuk menjaganya agar tidak jatuh.”

“Baik.” Jawab Song Kim singkat. Terpaksa ia pun berkuda bersama orang yang paling dibencinya, bahkan bertugas menjaganya agar tidak jatuh.

Dengan demikian, satu dari tiga ekor kuda itu tidak kebagian penumpang. Ketiga orang itu lalu berkuda kembali ke kota Tay-beng, meninggalkan tempat di mana nyawa mereka baru saja lolos dari lubang jarum. Karena keadaan Cian Ping yang belum segar benar, maka mereka menjalankan kuda dengan perlahan-lahan.

“Suheng,” kata Cian Ping. “Dari tadi Hong-koko belum sadar juga, apakah kau sudah memberikan obat kepadanya? He, lihat, kenapa hawa beracun yang nampak di antara kedua alisnya justru semakin menebal?!”

Song Kim pura-pura berseru kaget, “Hah, kenapa jadi begini? Tadi aku sudah menotok beberapa buah jalan darahnya untuk menghentikan menjalarnya racun, dan sudah kuberi pula sebutir obat Suhu. Sungguh keji pukulan imam itu!”

“Cepat kau minumkan obat penahan racun beberapa butir lagi kepadanya!” seru Cian Ping dengan cemas.

“Baik!” sahut Song Kim. Dikeluarkannya lagi dua biji obat buatan Suhunya, cara mengeluarkan obat tersebut sengaja diperlihatkan kepada Cian Ping. Lalu Song Kim pura-pura membuka mulut Wi-hong untuk mencekokkan obat tersebut, tapi di luar penglihatan Cian Ping, diam-diam Song Kim menyentil kedua butir obat itu hingga jatuh ke tanah dan hilang ke dalam semak-semak tepi jalan. Song Kim lebih suka kedua butir obat itu terbuang percuma dari pada digunakan untuk menolong saingan cintanya yang dibencinya setengah mati!

Diam-diam Song Kim berkata dalam hati, “Inilah saat yang terbaik untuk melenyapkan bocah ini, lain kali belum tentu dijumpai kesempatan sebagus ini. Ternyata aku tidak perlu turun tanagan sendiri karena bocah she Tong ini akan mampus dengan sendirinya karena keracunan. Aku hanya memperlambat pengobatan supaya sesampainya di rumah nanti segala usaha akan terlambat. Aku akan berpura-pura menyesal dan berkabung, dan setelah itu jalan untuk memiliki su-moay menjadi sangat licin tanpa saingan.”

Semakin dipikir, semakin puaslah hati Song Kim karena merasa segala rencananya akan berjalan lancar. Namun di hadapan Cian Ping dia memperlihatkan diri seolah-olah sangat mengkhawatirkan keadaan Wi-hong yang kian memburuk.

Karena ketiga orang muda itu memang belum bertamasya terlalu jauh dari kota Tay-beng, maka setelah berkuda sekian lama merekapun telah memasuki kota dan tidak lama kemudian tiba di depan gedung Tiong-gi Piau-hang yang selalu ramai dengan manusia.

Cian Ping yang sudah agak pulih tenaganya segera melompat turun dari kuda dan bermaksud membantu Song Kim menurunkan Wi-hong. Dan alangkah terkejutnya hati gadis itu ketika dilihatnya muka Hong- koko-nya kini telah bersemu hitam seluruhnya, sedang dengus napasnya begitu berat dan lambat seperti seekor kerbau hendak disembelih! Ternyata akal Song Kim mengulur waktu supaya racun semakin merasuk di tubuh Wi-hong, telah berhasil. Song Kim pun bersorak dalam hati!

“Mampus kau sekarang!” pikirnya. “Tapi aku masih berbaik hati mendoakan semoga kau masih kebagian tempat di sorga.”

Namun di luarnya Song Kim memperlihatkan sikap bingung dan cemas. Ia mengguncang-guncang tubuh Wi-hong sambil berteriak- teriak, “Saudara Hong! Saudara Hong! Aduh, kenapa kau sampai begini? Celaka, imam bangsat itu patut dicincang tubuhnya!”

Sedang kecemasan dalam diri Cian Ping tak terkatakan lagi. Ia memanggil beberapa orang piau-su anak buah ayahnya yang tengah berlatih di halaman depan agar membantu menggotong tubuh Wi-hong masuk ke dalam rumah. Cian Ping sendiri berlari ke dalam untuk memanggil ayahnya. Sikap bingungnya semacam ini belum pernah terlihat selama ini, dan itu menandakan perasaan yang terpendam di hatinya terhadap Tong Wi-hong.

Tak lama kemudian tubuh Wi-hong sudah di baringkan di dalam biliknya sendiri, dikerumuni oleh Song Kim dan beberapa orang piau-su yang mengenal Wi-hong. Lalu Cian Sin-wi muncul pula ke dalam kamar itu dengan muka yang tegang diiringi oleh anaknya. Sejenak pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memeriksa tubuh Wi-hong, mukanya nampak berubah sesaat.

Cian Ping semakin cemas melihat perubahan muka ayahnya, sebaliknya Song Kim semakin besar hati dan menaruh harapan. Song kim sangat yakin di dalam hatinya, biarpun tabib Hoa To dari jaman Sam-kok hidup kembali, tidak mungkin nyawa Wi-hong bisa di selamatkan menilik keadaan keracunannya yang sudah cukup hebat.

Sesaat ruang itu jadi hening oleh ketegangan yang mencekam, lalu terdengar suara berat Cian Sin-wi, “Racun yang menyerangnya disebut Tok-jan (Ulat Beracun), yang kemudian oleh seorang murid murtad Bu-tong-pay yang bernama Te-yong Tojin disempurnakan menjadi semacam ilmu pukulan beracun yang dia beri nama sendiri Tok-jan-jiu. Apakah kalian telah bentrok dengan orang itu?”

Cian Ping dan Song Kim saling berpandangan tanpa menjawab, dan ini sudah cukup memberi jawaban bagi Cian Sin-wi yang sudah berpengalaman.

“Bagaimana keadaannya, Suhu?” tanya Song Kim sambil mengharap Suhunya akan menggelengkan kepalanya. Tapi Song Kim kecewa bukan main ketika Suhunya menjawab,

“Sangat berbahaya, tetapi masih ada harapan untuk ditolong. Dia rupanya tidak terkena langsung oleh tangan imam itu, hanya tersambar oleh angin pukulannya saja.”

Kepada Cian Ping, Cian Sin-wi berkata, “Ping-ji, suruh pelayan untuk merebus air segentong penuh hingga mendidih, di kamar ini juga. Ambilkan botol berwarna hijau yang ada di kamar tidurku dan bawa kemari.”

Lalu katanya kepada para piau-su yang masih mengerumuni Wi-hong, “Keluarlah kalian supaya udara di dalam ruangan ini menjadi agak segar. Salah satu dari kalian segera pergi memanggil Ong sin-she (tabib Ong) supaya datang kemari.”

Ternyata tidak usah tabib Hoa-to dari jaman Sam-kok, tabib Ong saja sudah cukup. Begitu pikir Song Kim dengan kecewa. Tabib Ong adalah tabib andalan Tiong-gi Piau-hang karena kemahirannya dalam ilmu pengobatan. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengawalan tentu cukup sering anggotanya bertempur dengan kaum penjahat yang hendak merampok barang kawalan mereka, tentu saja tidak jarang ada pengawal yang gugur atau luka-luka. Karena itu Tiong-gi Piau-hang punya seorang tabib khusus yang cukup dapat diandalkan untuk menghadapi situasi-situasi seperti itu.

Demikianlah, dengan bantuan Ong Sin-she yang trampil, mulailah Cian Sin-wi berusaha menyembuhkan Tong Wi-hong dari keracunannya. Hanya berdua saja dalam ruangan itu, Cian Sin-wi dan Ong sin-she melucuti semua pakaian Wi-hong lalu “merebus” tubuhnya dalam sebuah kuali besar berisi air panas.

Setengah hari lebih Cian Sin-wi dan Ong Sin-she bekerja keras di dalam ruang tertutup itu, dan ketika matahari telah tenggelam barulah kedua orang itu nampak keluar dari ruangan dengan pakaian kusut dan sekujur tubuh berbau obat-obatan, namun wajah masing-masing justru menampilkan senyuman gembira.

Ada beberapa piau-su yang bersahabat dengan Wi-hong yang tetap menunggu di depan pintu selama berlangsungnya proses pengobatan tersebut, begitu pula Cian Ping dan Song Kim yang bergulat dengan perasaan mereka masing-masing. Begitu melihat Cian Sin-wi dan Ong Sin-she melangkah keluar, serentak mereka berdiri menyambut dan bertanya,

“Bagaimana keadaan Tong Wi-hong?”

Cian Sin-wi menepuk pundak anak gadisnya sambil tersenyum penuh arti, sahutnya, “Ia akan sembuh kembali. Ong Sin-she kita ini benar-benar hebat!”

Tabib yang bertubuh kurus kering namun selalu bermuka riang itupun tertawa terkekeh-kekeh sambil meyahut gurauan Cian Sin-wi, “Cong-piau-thau (pemimpin) membuat aku jadi besar kepala.”

Serempak orang-orang yang menunggu di depan pintu tertawa lega, kecuali Song Kim yang menjadi sangat kecewa dan mengumpat dalam hati. Cian Sin-wi yang sedang gembira tidak melihat perubahan wajah murid kesayangannya tersebut, apalagi cuaca memang sudah menjadi gelap. Cian Sin-wi segera menyuruh dua orang piau-su untuk mengantar Ong Sin-she pulang.

Cian Sin-wi sempat pula memeriksa keadaan Song Kim dan Cian Ping untuk mengetahui apakah puteri dan muridnya itu keracunan atau tidak. Ternyata mereka juga keracunan tetapi sangat ringan, cukup diobati dengan obat pulung Tiong-gi Piau Hang. Ringannya kadar racun di tubuh keduanya bisa dimengerti, sebab tujuan Te-yong Tojin memang hanya ingin membunuh keturunan Tong Tian, sebaliknya imam itu masih sungkan untuk membuka permusuhan baru dengan Cian Sin-wi dan Tiong-gi Piau Hangnya.

* * * * * * *

Luka-luka yang diderita oleh Wi-hong ketika berkelahi dengan para pembunuh bayaran suruhan Cia To-bun belum sembuh sepenuhnya, dan tahu-tahu kini ia harus kembali berbaring di tempat tidur gara-gara pukulan beracun Te-yong Tojin. Dengan demikian keadaan tubuh Wi-hong saat itu menjadi sangat lemah. Tetapi berkat ketekunan perawatan Cian Sin-wi, Ong Sin-she, dan Cian Ping, maka kesehatan Wi-hong perlahan-lahan mulai pulih kembali.

Siang itu, ketika Wi-hong tengah melamun di tempat tidurnya tahu-tahu Cian Ping masuk sambil membawa semangkuk bubur. Diam-diam Wi-hong mulai merancangkan sesuatu di dalam hatinya. Ia sebenarnya sudah cukup kuat kalau hanya untuk mengangkat tangan dan menyuapi mulutnya sendiri, tetapi ia lebih senang jika tangan-tangan lembut puteri Cian Sin-wi itu yang menyuapi.

Sebaliknya pada diri Cian Ping pun terjadi perubahan yang cukup mencolok. Tadinya dia bukanlah seorang gadis yang sabar dan telaten, bahkan sifat kanak-kanak dan kebandelannya kadang membuat ayahnya cukup kewalahan. Namun sejak Wi-hong sakit, mendadak saja gadis itu menjadi sangat sabar dan sangat penurut dalam melayani segala keperluan anak muda itu.

Semua perkembangan dan perubahan yang terjadi pada diri sepasang orang muda itu sulit lepas dari pengamatan Cian Sin-wi yang tajam dan berpengalaman. Cian Sin-wi tahu apa yang tengah berkembang diantara keduanya, karena Cian Sin-wi sendiri juga pernah muda.

Orang tua itu bersyukur bahwa pada akhirnya ada juga seorang anak muda yang berhasil menundukkan hati anak gadisnya yang keras hati. Namun di samping hal yang menggembirakan tersebut, Cian Sin-wi juga melihat perkembangan yang mencemaskan, yaitu mengenai diri muridnya, Song Kim....
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 08

Perserikatan Naga Api Jilid 08

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
CIAN SIN-WI mengajak Wi-hong melintasi halaman depan yang sangat luas dan penuh kesibukan barang-barang yang datang dan berangkat, lalu mereka melewati ruangan depan dan akhirnya tiba di halaman tengah yang agaknya merupakan tempat tinggal Cian Sin-wi dan keluarganya.

Di halaman tengah itu ada seorang anak muda sedang berlatih silat dengan sebuah tombak panjang. Gerakan anak muda itu cepat, keras dan mantap, kuda-kudanya kokoh kuat, pandangan matanya tajam dalam mengikuti gerakan ujung tombaknya. Sekali-sekali mulutnya membentak mengiringi gerakannya. Tak terasa timbul kekaguman di hati Wi-hong melihat ketangkasan anak muda ini. Ia menduga anak muda ini kalau bukan anak Cian Sin-wi tentunya ya muridnya.

Ketika melihat kedatangan cian Sin-wi, barulah anak muda itu menghentikan latihannya dan memberi hormat sambil menyapa, “Suhu, kau sudah kembali?”

Cian Sin-wi tersenyum dan menganggukkan kepalanya, katanya, “Ya, urusan cabang-cabang perusahaan kita di wilayah timur itu sudah beres semuanya. Kau bertambah hebat, anak Kim.”

Lalu Cian Sin-wi menoleh dan berkata kepada Tong Wi-hong, “Tong Hian-tit, kuperkenalkan inilah muridku satu-satunya yang bernama Song Kim. Tentunya kau heran, kenapa gurunya bersenjata sepasang Hau-thau-kau kok muridnya memakai tombak? Memang tombak panjang itu agaknya menjadi pilihannya sehingga aku hanya menurutinya saja, karena kuanggap cocok dengan tenaganya yang besar itu. Nah, berkenalanlah kalian.”

Sejak melihat pertama kali tadi Wi-hong memang sudah merasa kagum kepada anak muda itu. maka ia pun memberi hormat lebih dulu sambil menyapa dengan sikap seramah mungkin, “Selamat bertemu, Song Toako. Aku Tong Wi-hong akan sangat gembira bila dapat bersahabat dengan Toako.”

Di luar dugaan Wi-hong maupun Cian Sin-wi, ternyata sikap hangat Wi-hong ditanggapi dengan dingin oleh Song Kim. Dengan senyum yang nampak dipaksakan, ia menyahut acuh tak acuh, “Terima kasih.”

Wi-hong tercengang dan agak tersinggung menghadapi sikap semacam itu. Sedang Cian Sin-wi sendiri menjadi heran melihat sikap muridnya. Tanyanya, “Anak Kim, selama aku tidak berada di sini, apakah telah terjadi sesuatu?”

“Tidak ada apa-apa, Suhu,” sahut Song Kim. “Maaf Suhu, agaknya aku terlalu memaksa diri untuk berlatih sehingga badanku kurang enak. Aku ingin beristirahat.” Lalu ia memberi hormat kepada Cian Sin-wi sambil ngeloyor pergi tanpa melirik Wi-hong sedikitpun.

Susah payah Tong Wi-hong menahan luapan darah mudanya yang mulai mendidih, ia benar-benar menjadi tersinggung melihat sikap Song Kim kepadanya. Cian Sin-wi sebenarnya juga ingin menegur muridnya, tapi dengan bijaksana akhirnya dia membatalkan niat tersebut, sebab dirasa kurang bijak jika menegur muridnya di hadapan orang lain. Cian Sin-wi sudah hafal akan watak muridnya yang agak kaku dan bahkan kadang-kadang berpandangan sempit.

Akhirnya Cian Sin-wi Cuma dapat menarik napas panjang sambil berkata kepada Wi-hong, “Maafkan sikap muridku, Hian-tit. Tidak biasanya ia besikap begitu kaku, tentu ada suatu masalah yang mengganjal hatinya saat ini.”

Wi-hong tertawa terpaksa, sahutnya, “Aku berhutang budi kepada paman, mana berani aku menarik panjang persoalan ini?”

Di dalam hati Cian Sin-wi menyesalkan sikap Song Kim. Ia tahu bahwa tentu ada yang kurang beres dalam hubungan antara muridnya dengan anak gadisnya. Dan memang begitulah sikap Song Kim jika pikiranya sedang ruwet. Ketika Cian Sin-wi hendak mengajak Wi-hong beranjak dari situ, tiba-tiba dari pintu bundar di samping halaman terdengarlah suara seorang gadis,

“Ayah! Kau sudah pulang?” Seperti seekor kupu-kupu yang terbang di antara bunga-bunga, dari pintu itu muncul seorang gadis yang berlari ke arah Cian Sin-wi sambil merentangkan tangan dengan sikap manja.

Gadis itu mengingatkan Wi-hong akan adiknya, bahkan cara berpakaiannya pun agak mirip, yaitu ringkas seperti umumnya gadis-gadis dari keluarga persilatan. Bedanya, jika Wi-lian bermuka bulat telur dan anggun, sebaliknya gadis yang menyambut Cian Sin-wi ini nampak periang dan lincah. Tetapi Wi-hong tidak dapat menentukan siapa yang lebih cantik antara gadis ini dan adiknya.

Begitu melihat ayahnya sudah kembali dari perjalanan jauh, gadis ini telah siap “Menyerbu” ke pelukan ayahnya. Tetapi Cian Sin-wi lebih dulu menegurnya sambil tertawa, “Ping-ji (anak Ping), tidak malukah kau, sebesar ini masih bersikap seperti anak-anak kolokan? Lihat, kau tentu akan ditertawai oleh tamu kita.”

Gadis itu menghentikan langkahnya dengan terkejut, dan baru saat itulah ia melihat bahwa di samping ayahnya ternyata ada seorang pemuda asing yang belum dikenalnya. Muka gadis itu seketika menjadi merah karena malu dan menjadi salah tingkah.

Cian Sin-wi mentertawakan anak gadisnya yang mendadak menjadi canggung. Katanya kepada Wi-hong, “Hian-tit, ini adalah Cian Ping, anakku satu-satunya. Maafkan jika ia bersikap agak berandalan dan agak kurang adat. Sejak ibunya meninggal ketika ia masih kecil, aku terlalu memanjanya sehingga ia agak kolokan.”

Cepat Tong Wi-hong memberi hormat sambil berkata, “Selamat bertemu, Cian Kok-nio (nona Cian).”

Anak gadis Cian Sin-wi membalas hormat dan menyahut singkat, “Selamat bertemu.” Dan setelah itu ia membalikkan badan dan mengeluyur pergi begitu saja, tapi tangan ayahnya lebih dulu menyambar tangannya.

Tegur sang ayah, “Ping-ji, jangan kurang adat.”

“Hian-tit,” kata Cian Sin-wi pada Wi-hong, “Aku mengerti bahwa kau sedang mengemban sebuah tugas keluarga yang sangat berat, tapi kau tidak boleh membiarkan luka-lukamu yang belum sembuh itu menjadi semakin parah. Sementara menunggu kekuatanmu pulih kembali, biarlah kau berada di sini saja. Anak buahku tersebar di seluruh Kang-pak, biarlah kuperintahkan mereka untuk mencari jejak ibu dan saudara-saudaramu yang hilang.”

“Ah, aku telah membuat paman jadi bertambah repot saja,” kata Wi-hong dengan perasaan terima kasih yang mendalam.

Cian Sin-wi menepuk-nepuk pundak anak muda itu sambil berkata, “Kau tidak perlu memikirkan hal itu. meskipun antara aku dan mendiang ayahmu tidak begitu akrab, namun kami pernah juga bertemu beberapa kali dan berkenalan. Sudah menjadi kewajibanku untuk membantu kesulitan sahabat-sahabatku.”

Sikap jago tua dari Tay-beng yang begitu tulus dan terbuka itu telah menghapuskan semua kemasygulan Wi-hong yang disebabkan oleh sikap Song Kim tadi. Setulus hati pula Wi-hong mengucapkan rasa syukurnya atas kebaikan pendekar Tay-beng tersebut.

Demikianlah, mulai saat itu Wi-hong berada di rumah Cian Sin-wi yang sekaligus merupakan gedung pusat Tiong-gi Piau-hang, untuk menyembuhkan luka-lukanya. Hubungannya dengan orang-orang Tiong-gi piau-hang maupun keluarga Cian juga semakin baik, terutama dengan Cian Ping yang lincah dan periang.

Tetapi aneh, hubungannya dengan Song Kim justru semakin dingin dan tawar. Hal itu bukan karena sikap Wi-hong yang menjauhi Song Kim, tapi justru Song Kim lah yang berusaha memencilkan Wi-hong. Penyebab persoalan diantara anak-anak muda di manapun ternyata sama saja, yaitu cinta. Disadari atau tidak disadari, persoalan itulah yang rupanya berkembang antara diri Wi-hong, Song Kim, dan Cian Ping.

Ternyata sudah cukup lama Song Kim menaruh hati kepada Cian Ping, dan sejauh ini dia belum punya keberanian untuk mengutarakan isi hatinya. Kemudian ketika Wi-hong datang ke tempat itu, mulailah Song Kim dijalari rasa iri dan cemburu, mengingat Tong Wi-hong yang lebih tampan, lebih berpendidikan, dan berasal dari sebuah keluarga pendekar ternama pula. Apalagi hubungan Tong Wi-hong dan Cian Ping kian hari kian “memanaskan” hati Song Kim.

* * * * * * *

Limabelas hari tak terasa sudah berlalu sejak kedatangan Wi-hong di kediaman Cian Sin-wi. Luka-lukanya sudah sembuh sama sekali. Sedang kekuatannya pun mulai pulih sedikit demi sedikit. Diam-diam Wi-hong mulai merasa keenakan tinggal di rumah itu. Di situ ia dilayani dan diperlakukan dengan baik oleh siapapun, kecuali Song Kim. Semua kebutuhannya terjamin, dan yang paling penting bagi Wi-hong adalah adanya Cian Ping di tempat itu!

Tetapi darah Wi-hong mendidih dan kembali bergejolak manakala teringat akan tugas keluarga yang masih terbeban di atas pundaknya. Ia merasa, bahwa tinggal terlalu lama di tempat seenak itu akan dapat melunturkan semangat jantannya. Diam-diam ia bertekad bahwa begitu luka-lukanya sudah baik dan kekuatannya sudah pulih kembali, ia akan segera meninggalkan tempat itu untuk meneruskan tugas pencariannya. Untuk sementara Tong Wi-hong harus membuang jauh-jauh segala pikiran untuk mencari enaknya sendiri saja.

Di suatu pagi yang cerah dan hangat, Wi-hong mencoba melemaskan ototnya dengan menjalankan jurus-jurus pedangnya dihalaman belakang rumah Cian Sin-wi. Halaman itu dikeilingi oleh kebun bunga yang indah sehingga memberi kesegaran bagi orang yang berlatih di situ.

Tong Wi-hong yag belum pernah sekalipun berlatih sejak bertempur dengan para pembunuh bayaran dulu, kini berlatih dengan giat karena khawatir kalau kemampuannya menurun. Begitu bersemangatnya ia sehingga dalam sekejap saja pakaiannya telah basah kuyup oleh keringat.

Tengah dia berlatih dengan asyiknya, tiba-tiba dari balik sebuah gerumbul pohon bunga meluncurlah segumpal tanah menyambar ke arah tubuhnya. Wi-hong berhasil menghindari tapi gumpalan-gumpalan tanah berikutnya telah menyerbu dengan gencar sampai akhirnya Wi-hong berteriak dengan kewalahan,

“Adik Ping, sudahlah!”

Terdengar suara tertawa geli dari balik gerumbul pohon bunga, dan muncullah Cian Ping dengan riangnya. Serunya, “He, Hong-koko, kau bersemangat sekali pagi ini.”

Tong Wi-hong menyarungkan pedangnya sambil menyahut, “Hari ini semangatku mendadak timbul setelah merasa bahwa tubuhku sudah baik kembali. Tanganku jadi gatal ingin memainkan pedang. Eh, Ping-moy, bagaimana dengan ilmu pedangku tadi?”

“Belum pernah kulihat ilmu pedang seburuk itu,” olok Cian Ping sambil tertawa, “Hong-koko, pagi ini cukup cerah, sayang kalau kita lewatkan begitu saja. Bagaimana kalau kau menemani aku untuk melihat-lihat tempat bersejarah Dinasti Song?”

Rupanya Cian Ping sudah tahu kelemahan seorang “kutu buku” macam Wi-hong yang biasanya gemar melihat tempat-tempat yang mengandung nilai sejarah, maka sengaja diucapkannya kata-kata “tempat bersejarah Dinasti Song” itu untuk memancing Wi-hong. Dan benar juga, hati Wi-hong mulai tergelitik oleh ajakan tersebut, apalagi jika perginya ditemani gadis secantik Cian Ping.

Namun kalau Wi-hong ingat kepada Song Kim yang nampaknya sangat pencemburu, ia jadi bimbang. Jika kepergiannya bersama Cian Ping berdua saja sampai terlihat Song Kim, ada kemungkinan persoalan yang terpendam selama ini akan meledak dan bisa menjadi perkelahian. Bukannya Wi-hong takut berkelahi, tapi tentu kurang enak kalau harus berkelahi melawan Song Kim yang merupakan murid Cian Sin-wi, padahal orang tua itu adalah penolong jiwanya.

Tetapi untuk menolak ajakan Cian Ping secara terang-terangan juga bukan merupakan pekerjaan gampang. Selama belasan hari tinggal di situ, Wi-hong sudah tahu benar bagaimana sifat gadis itu. jika Wi-hong menolak, maka gadis itu akan menjadi sakit hati, dan hal semacam ini jelas tidak dikehendaki oleh Wi-hong.

Sementara itu Cian Ping telah menarik ujung baju Wi-hong dengan berkata setengah membujuk, “Ayo cepat. Pemandangan di luar kota sangat bagus. Jika kita terlambat maka hari akan terlanjur menjadi panas.”

Tapi Wi-hong masih saja berdiri kebingungan bagaimana seharusnya menanggapi permintan gadis itu. Belum lagi keruwetan itu terpecahkan, datanglah keruwetan lainnya, sebab tahu-tahu Song Kim telah muncul di kebun bunga itu dengan wajah yang keruh. Dan wajahnya menjadi semakin keruh ketika melihat puteri gurunya bersikap demikian akrab dengan Tong Wi-hong. Kata Song Kim dengan nada kaku,

“Sumoi, kulihat kau dalam beberapa hari ini telah mengabaikan latihan ilmu silatmu. Hari ini Suhu memerintahkan aku untuk berlatih bersamamu sambil menilik kemajuan ilmumu.”

Cian Ping memelototkan matanya kearah kakak seperguruannya, sahutnya dengan mendongkol, “Sudahlah, Suheng, jangan mengganggu acara yang sudah kususun hari ini. Nanti sehabis bepergian dengan Hong-koko akau akan berlatih tiga ribu jurus dengan Suheng.” Jawaban Cian Ping itu diucapkan bukan untuk sengaja menyakiti hati suhengnya, melainkan karena kebiasaan gadis itu untuk bicara ceplas-ceplos sesuai dengan wataknya. Tapi jawaban itu justru membuat muka Song Kim menjadi merah padam dan rasa jeles-nya meluap hampir tak tertahankan.

“Bepergian dengan Hong-koko,” kalimat itu selalu mendengung ditelinga Song Kim. Dia yang sejak kecil dibesarkan bersama Cian Ping, belum pernah punya kesempatan untuk bepergian berdua saja dengan gadis itu. dan kini, relakah ia melihat “gadisnya” itu tahu-tahu diserobot orang begitu saja?

Sedang Wi-hong sudah mengeluh dalam hatinya. Melihat gelagatnya, pastilah keributan akan sukar dihindarkan lagi. Sementara itu Song Kim telah melangkah mendekati Cian Ping dan berkata dengan nada menegur,

“Su-moy, jadi kau mengabaikan latihanmu tapi malahan ingin bersenang-senang?”

“Betul,” sahut si gadis yang bengal ini. “Masakan orang hidup di dunia tidak boleh mengalami kegembiraan sedikitpun, dan tiap hari hanya berlatih dan berlatih terus sehingga bosan rasanya?”

“Su-moy, jika ilmu silatmu sampai mengalami kemunduran, maka akulah yang akan dipersalahkan oleh ayahmu, karena Beliau tentu mengira bahwa aku tidak pernah mengajakmu latihan.”

“Aku sendiri yang akan berbicara kepada ayah.”

Hati Song Kim menjadi semakin panas karena terus-menerus dibantah oleh Su-moy-nya. Sebenarnya alasan mengajak berlatih itu hanyalah alasan yang dikarangnya sendiri dengan tujuan menghalangi jangan sampai Cian Ping semakin akrab dengan Wi-hong. Ia menduga bahwa dengan alasan disuruh oleh ayahnya, gadis itu tentu tidak berani membantah. Namun tak terduga sama sekali bahwa ternyata gadis itu berani membantahnya secara terang-terangan, bahkan di hadapan Wi-hong. Maka sesaklah dada Song Kim karena kejengkelannya.

Di sisi lain, Wi-hong sendiri juga semakin gelisah. Sifat-sifat bengal gadis itu ternyata menimbulkan kesulitan juga. Wi-hong menilai, ada kesamaan antara sifat-sifat Cian Ping dengan sifat kakak Wi-hong, yaitu Tong Wi-siang. Bedanya, jika kebengalan Cian Ping masih agak berbau kekanak-kanakan, sedangkan kebengalan Wi-siang sudah menjurus kepada pengacauan ketenteraman masyarakat. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Wi-hong berkata kepada Cian Ping dengan suara membujuk,

“Ping-moy lebih baik kau turuti saja kemauan ayahmu. Bukankah ayahmu dan suhengmu ini bertindak demikian untuk kebaikan dirimu sendiri? Nah, sekarang pergilah berlatih dengan Song Toako.”

Ucapan Wi-hong ini tidak terduga oleh Cian Ping maupun Song Kim, membuat keduanya tercengang. Warna merah di wajah Song Kim agak mereda, ia tertawa dingin dan membatin dalam hati, “Hemm, kiranya bocah she Tong ini insyaf bahwa dirinya bukan tandinganku maka ia bersikap mengalah kepadaku. Asal selanjutnya dia cukup tahu diri, tidak ada halangannya aku memberi sedikit muka terang kepadanya.”

Sedangkan Cian Ping justru semakin kambuh sifat keras hatinya. Katanya sambil membalikkan badan dan muka memberengut, “Baik, baik, rupanya kalian memang sudah bersekongkol untuk menyudutkan aku dan mempermalukan aku. Mulai sekarang anggap saja di atas bumi ini tidak ada lagi manusia yang bernama Cian Ping!”

“Adik Ping, kau salah paham...” bujuk Wi-hong.

“Salah paham apa? Sudahlah kalau kau tidak mau pergi bersama aku, biarlah aku pergi sendiri.”

“Su-moy, kau jangan marah,” Song Kim juga ikut memperlunak nada bicaranya.

Cian Ping tidak menyahut, hanya mukanya saja yang menampakkan kejengkelannya. Dan sikap ini ternyata cukup membuat Song Kim yang biasanya galak dan angker itu berubah jadi jinak, kini mukanya tak ubahnya muka seorang anak kecil yang sedang merengek kepada ibunya, “Su-moy, kau jangan marah. Jika kau pergi sendirian dan kemudian menemui suatu bahaya, tentu akulah yang akan dimarahi oleh Suhu.”

“Itu urusanmu suheng. Tidak seorang pun berhak melarang apa yang kuperbuat sesuai dengan kata hatiku.”

Baik Song Kim maupun Wi-hong kini jadi sama-sama kebingungan menghadapi gadis keras kepala ini. Keduanya cukup tahu, jika Cian Ping berani berkata tentu berani pula melakukannya. Dalam kebingungan itu tiba-tiba Wi-hong menemukan jalan tengah yang dianggapnya membawa penyelesaian tanpa ada yang kehilangan muka. Katanya, “Baiklah, adik Ping, kita akan pergi bersama...”

Wajah Cian Ping yang semula cemberut itu kini berubah menjadi berseri-seri, sebaliknya muka Song Kim berubah dengan hebatnya karena merasa diremehkan. Ketika mulut Song Kim sudah bergerak hendak mendamprat Wi-hong, maka Wi-hong sudah melanjutkan kata-katanya, “Tetapi untuk itu aku mempunyai dua syarat yang harus kau terima.”

“Syarat apa saja?”

“Pertama, kita tidak boleh membuat ayahmu dan seisi rumah lainnya menjadi kebingungan mencari kita, karena itu kita harus memberi tahu kepada Beliau lebih dulu. Selain itu, sebelum hari menjadi sore, kita harus sudah berada di rumah kembali.”

“Baiklah,” sahut Cian Ping tanpa berpikir panjang lagi. “Dan syarat yang ke dua bagaimana?”

“Supaya tamasya kita lebih ramai dan mengasyikkan, bagaimana kalau Song Toako juga ikut?”

Memangnya Cian Ping tidak punya perasaan apa-apa terhadap kakak seperguruannya ini, kecuali perasaan sebagai sesama saudara seperguruan, maka syarat ke dua inipun diterimanya pula. Sedangkan Song Kim yang sudah hampir marah itu kini telah mengendap lagi setelah mendengar syarat ke dua itu. Bertambah yakinlah Song Kim bahwa pemuda she Tong ini sebenarnya takut kepadanya.

Mereka segera mempersiapkan diri dan memberi tahu kepada Cian Sin-wi, dan agaknya Cian Sin-wi juga tidak ingin merintangi kesenangan orang-orang muda itu, bahkan ia akan gembira kalau ketiga anak muda itu menjadi sahabat-sahabat karib. Tong Wi-hong sempat mengganti bajunya yang basah kuyup oleh keringat, sedang Song Kim pun berusaha agar tampak cukup tampan dibandingkan Wi-hong.

Sesaat kemudian terlihatlah ketiga anak muda itu sudah berkuda dan keluar dari pintu timur kota Tay-beng. Entah disengaja entah tidak, Cian Ping selalu menjalankan kuda tunggangannya berdampingan dengan Tong Wi-hong, sedang Song Kim yang pendiam dan berwajah angker itu berkuda agak terpisah ke samping.

Buat Cian Ping yang berpikiran bersih itu sendiri tidak ada masalah, sepanjang jalan ia mengajak Wi-hong bercerita dan berkicau seperti burung. Namun diantara Wi-hong dan Song Kim terasa adanya suasana yang canggung. Berkali-kali wi-hong berusaha mengatasi kecanggungan tersebut dengan mengajak Song Kim ikut dalam percakapan, tapi Song Kim menanggapi dengan sikap dingin dan angkuh.

Sikap itu lama-kelamaan membuat Wi-hong jadi mendongkol juga, dan sebagai seorang yang punya harga diri akhirnya ia membiarkan Song Kim dengan tingkahnya sendiri. Bahkan akhirnya Wi-hong pun sengaja makin menunjukkan keakrabannya dengan Cian Ping, membuat Song Kim semakin merasa tersisih sendirian. Wi-hong sudah tidak peduli lagi andaikata Song Kim marah dan megajaknya berkelahi. Ia yakin Cian Ping tentu akan menjelaskan persoalan sebenarnya di hadapan ayahnya.

Sedangkan rasa kebencian semakin dalam merasuk dalam hati Song Kim, tidak disadarinya bahwa sikapnya sendiri yang angkuh itulah yang menyebabkan Wi-hong bersikap begitu. Tidak mereka sadari, bahwa tamasya yang sebenarnya diharapkan untuk mengakrabkan anak-anak muda itu justru telah menanam bibit-bibit permusuhan diantara keduanya. Bibit permusuhan itulah yang kelak akan semakin membesar dan bahkan kelak menjadi bencana bagi Tiong-gi Piau-hang!

Kira-kira sepeminuman teh mereka berkuda, tibalah ketiganya di sebuah dataran hijau yang letaknya berdampingan dengan sebuah bukit hijau yang penuh pohon-pohon cemara. Cian Ping menunjuk dataran itu sambil berkata kepada Wi-hong,

“Meskipun dataran ini kelihatannya tidak istimewa, namun justru mengandung nilai sejarah yang penting. Dalam kisah kepahlawanan seratus delapan pendekar Liang-san, di tempay inilah Lu Jun-yu bertempur mati-hidup dengan adik seperguruannya sendiri yang bernama Si Bun-kong.”

“Kenapa kakak beradik seperguruan itu bertarung?”

Sahut Cian Ping, “Karena keduanya sama-sama lelaki jantan dan sama-sama memegang teguh pendirian mereka masing-masing. Lu Jun-yu berpihak kepada kaum pendekar Liang-san, sebaliknya Si Bun-kong adalah seorang perwira Kerajaan Beng yang bertugas menumpas para pendekar Liang-san. Itulah sebabnya mereka bertempur.”

“Siapa yang menang dalam pertempuran itu?”

“Ilmu silat keduanya sebenarnya seimbang. Tetapi Lu Jun-yu memiliki sebuah kelemahan, yaitu ia masih memandang hubungan sebagai saudara seperguruan dan sering tidak sampai hati untuk menurunkan tangan jahat kepada Si Bun-kong. Karena kelemahannya inilah Lu Jun-yu hampir saja terbunuh. Untung salah seorang pendekar Liang-san yang bernama Li Kui ikut terjun ke medan laga, akhirnya dapatlah Si Bun-kong dikalahkan.”

Cerita semacam itu baru pernah didengar oleh Wi-hong saat itu, maka ia mendengarkannya dengan asyik. Sementara Cian Ping terus bercerita, “Kau tentu pernah mendengar cerita kepahlawanan Lu Jun-yu. Ia rela meninggalkan seluruh kekayaan dan kenikmatan hidup dan menukarnya dengan kehidupan penuh derita dan marabahaya, untuk bergabung dengan kaum kesatria Liang-san demi membela kepentingan rakyat. Bahkan ia rela bermusuhan dengan adik seperguruannya sendiri. Namun Si Bun-kong juga seorang kesatria sejati yang tercatat dalam sejarah Tay-beng pula, dia setia akan tugasnya dan pantang menyerah sampai ajalnya.”

Karena asyiknya kedua orang itu bercakap-cakap, mereka seolah telah lupa bahwa di samping mereka berdua masih ada orang ketiga, yaitu Song Kim. Dan si orang ketiga ini menyaksikan dengan darah yang mendidih, bagaimana Cian Ping dan Wi-hong berjalan merendengkan kudanya sambil bercakap-cakap dengan gembira. Kadang-kadang mereka bicara sambil saling mendekatkan kepala.

Tengah ketiga orang itu berjalan berkeliling tempat bersejarah tersebut, tiba-tiba terdengarlah suara bentakan dingin, “Berhenti tikus-tikus kecil!”

Ketika mereka menoleh ke arah asal suara bentakan, terlihatlah seorang Tojin (Imam agama To) berjubah hijau tua sedang berdiri ditepi jalan sambil memandang ketiganya dengan tajam. Meskipun berdandan sebagai imam, namun justru Tojin itu mempunyai seraut wajah yang seram, bahkan kulit diantara kedua matanya juga membayangkan warna hijau kehitaman, menandakan Tojin ini seorang penganut ilmu beracun. Mata Tojin yang bagai burung hantu memandang tajam ke arah Wi-hong.

Bagi Song Kim yang sedang pepat dadanya dan memerlukan pelampiasan segala perasaannya, maka kemunculan Tojin berjubah hijau itu malah merupakan kebetulan baginya. Cepat Song Kim melompat turun dari kudanya dan mendekati imam itu dengan langkah lebar dengan maksud ingin melabrak si imam.

Sebaliknya Tojin itu tidak melirik sekejappun ke arah Song Kim, seluruh perhatiannya hanya tepusat kepada Wi-hong. Kata imam itu dengan suara dingin, “Kau tentu salah satu dari dua putera Tong Tian, sebab wajahmu mirip dengan orang she Tong itu. Tapi aku tidak tahu kau ini yang bernama Wi-siang atau Wi-hong. Aku tidak ingin banyak cakap lagi, lekas kau sebutkan di mana ibumu dan saudara-saudaramu bersembunyi, setelah itu ikutlah aku untuk kugiring ke An-yang-shia guna menerima hukuman!”

Ucapan Tojin itu langsung memberitahukan Wi-hong akan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Ia teringat bahwa dirinya dan keluarganya yang lain saat itu masih menjadi orang buruan Cia To-bun, musuh besarnya di An-yang-shia. Tojin ini tampangnya tidak seperti orang baik-baik, bahkan agaknya merupakan salah satu dari para pembunuh bayaran yang diutus oleh Cia To-bun.

Belum sempat Wi-hong menyahut,Song Kim telah lebih dulu membentak si imam, “Hidung kerbau keparat! Di tempat lain kau boleh main gila, tapi jangan coba-coba jual tampang di daerah pengaruh Tiong-gi Piau-hang ini! Hayo pergi!”

Bentakan itu dibarengi pula dengan uluran tangan untuk mencengkeram baju si Tojin. Mengandalkan tenaganya yang besar, song Kim bermaksud membanting roboh Tojin itu dalam sekali gebrak, sekalian untuk pamer kepandaian di depan Cian Ping.

Ternyata Tojin yang bertubuh kurus kerempeng itu bukan lawan yang empuk seperti dugaan Song Kim. Sebelum telapak tangannya menyentuh baju si imam, si imam telah lebih dulu membalikkan tangannya ke atas dan dengan tepat berhasil menotok jalan darah Jing-lian-hiat di lengan Song Kim. Song Kim terkesiap dan berusaha menghindarkan tangannya, tapi terlambat.

Saat itu juga lengannya terkulai dan tenaga yang dikerahkannya tadi telah buyar semua. Tetapi di hadapan Cian Ping, Song Kim berlagak gagah dan tidak sudi menampakkan kekalahannya. Sambil menggertakkan gigi ia menggunakan tinju kirinya untuk menyodok sekuat tenaga ke dada lawan.

“Benar-benar orang yang tidak tahu diri,” dengus imam itu. Dengan sebuah kebasan lengan jubahnya yang lebar, Tojin itu berhasil melibat lengan Song Kim. Gerakan itu diteruskan dengan gerakan menarik, memutar, dan mendorong kembali, membuat song Kim terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. Kelihatannya si Tojin menggunakan ilmu silat Tay-kek-kun dari Bu-tong-pay yang cukup terlatih, hanya saja ia menggunakan lengan baju sebagai pengganti tangan.

Karena dikalahkan dengan sedemikian mudah oleh si Tojin, apalagi kekalahannya itu ditonton oleh Wi-hong dan Cian Ping, maka Song Kim menjadi sangat malu. Malu berubah menjadi murka, sambil menegakkan tubuhnya, Song Kim telah membentak lagi, “Tojin busuk, sebutkan namamu supaya jasadmu tidak terkubur tanpa nama!”

Wajah Tojin berjubah hijau tua itu menjadi kelam dan beringas mendengar makian Song Kim. Geramnya sengit, “Tikus kecil! Belum pernah ada orang yang memaki aku seperti itu. Cukup besar juga nyalimu, sayang umurmu ditakdirkan sangat pendek!”

Selangkah demi selangkah imam itu mendekati Song Kim, tangannya pun mulai melolos hud-tim yang sejak tadi terselip di pinggangnya. Dalam keadaan segawat itu bagi Song Kim, Tong Wi-hong melupakan semua kelakuan buruk Song Kim dan hanya mengingat budi kebaikan Cian Sin-wi saja. Ia pun cepat melompat turun dari kudanya sambil melolos pedang.

“Totiang (bapak imam), jangan mengganas!” serunya. Karena telah menyaksikan sendiri kepandaian si imam yang tinggi, maka Wi-hong bertekad untuk menyerang lebih dulu supaya menang diatas angin. Begitu membentak, begitu pula ujung pedangnya langsung menikam jalan darah Soan-ki-hiat di dada si imam. Sementara itu Cian Ping juga telah melompat turun dari kudanya dan mencabut sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau).

Dalam sekejap Tojin itu telah dikeroyok oleh Wi-hong dan Cian Ping. Sebatang pedang dan sepasang kaitan berkelebat-kelebat mengancam seluruh tubuh si imam. Tanpa melewatkan kesempatan tersebut, Song Kim lalu berlari ke arah kudanya dan mengambil tombak panjang yang tergantung di pelana kuda, lalu ia pun menerjunkan diri dalam kancah perkelahian, ikut mengepung Tojin berjubah hijau tersebut.

Dikeroyok oleh tiga orang muda yang cukup tangkas ternyata Tojin berjubah hijau tersebut tidak tampak tanda-tanda akan terdesak sedikitpun. Ilmu silat yang dimainkannya adalah ilmu silat campur aduk dari bermacam aliran silat yang diolahnya sendiri, dan ternyata cukup lihai pula. Hud-timnya dimainkan secara aneh, berpindah-pindah dari tangan kanan ke tangan kiri dan sebaliknya, dan cara memainkannya pun agak mirip dengan Tay-kek-kiam-hoat (Ilmu Pedang Tay-kek). Sedangkan bulu-bulu hud-tim itu ternyata memainkan gerakan-gerakan tersendiri pula.

Tetapi yang paling lihai dan paling berbahaya pada diri si Tojin bukanlah senjatanya, namun justru tangannya yang tidak memegang senjata. Sebab tangan itu berwarna hijau pucat dan menyebarkan bau yang pahit-pahit asam. Itulah ilmu pukulan beracun yang jarang terlihat di dunia persilatan.

Tong Wi-hong, Cian Ping, dan Song Kim bagaikan tiga ekor anak kambing yang tidak takut kepada harimau. Mereka bertiga bertempur dengan semangat berkobar, bahkan ketiganya seakan bersaing untuk menunjukkan kepandaian masing-masing. Song Kim menujukkan ilmu tombaknya yang dahsyat bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Gerakannya cepat, beruntun, dan membawa tenaga yang besar. Tubuh Tojin itu bagaikan hendak digulung dengan gerakan tombaknya. Ternyata murid tunggal Cian Sin-wi ini benar-benar tidak mengecewakan.

Di dekat Song Kim, Cian Ping juga bertempur tidak kalah garangnya meskipun dia hanya seorang gadis. Sebenarnya senjata jenis Hau-thau-kau cukup berat dan umumnya digunakan oleh kaum lelaki, namun ternyata Cian Ping mampu memainkanya dengan baik. Sepasang Hau-thau-kau Cian Ping ini dirancang khusus oleh ayahnya, yaitu tipis, tajam, dan ringan.

Sedangkan Tong Wi-hong tidak segarang Song Kim dan selincah Cian Ping. Namun bagi para ahli silat yang bermata tajam akan dapat segera melihat bahwa ilmu pedang Tong Wi-hong lah yang paling berbahaya buat lawannya. Gerakannya halus dan licin berbelit-belit seperti ular yang mengamuk, mengandung ribuan perubahan yang rumit dan tidak terduga. Itulah Soat-san-kiam-hoat, ilmu pedang paling disegani di daerah barat!

Setelah berlangsung puluhan jurus, pertempuran itu nampak semakin panas. Suatu saat Song Kim melihat peluang bagus, sekuat tenaga ia menusukkan tombaknya ke perut si Tojin. Song Kim yang masih muda dan kurang pengalaman itu tidak menduga bahwa peluang itu hanyalah pancingan belaka. Begitu serangan Song Kim datang, dengan mudah si imam menggeser tubuh sambil tangannya mencengkeram ke tangkai tombak.

Meski tubuhnya kerempeng, kekuatan si imam itu ternyata lebih dari cukup untuk menyentakkan tombak sehingga Song Kim terpelanting dan roboh ke tanah. Imam itu sudah benar-benar marah dan dikuasai nafsu membunuh. Sambil berseru bengis ia menyabetkan hud-timnya ke arah leher Song Kim yang masih tergeletak di tanah. Untung Song Kim masih sempat menggulingkan diri ke samping.

Ketika hud-tim mengenai tanah, mengepullah debu tebal, dan ternyata sabetan yang kelihatan ringan itu telah membuat sebuah lubang panjang di atas tanah sedalam tiga jari lebih! Sulitlah dibayangkan seandainya sabetan tadi mengenai leher Song Kim, mungkin saat itu dia sudah menjadi mayat tak berkepala!

Terkesiaplah ketiganya melihat kehebatan si imam. Si imam bertambah beringas karena serangan mautnya tidak mengenai sasaran. Ia membentak lagi, dan tiba-tiba bulu kebutannya menegak dan mengembang bagaikan ribuan jarum baja yang siap menusuk seluruh jalan darah kematian di tubuh Song Kim. Sekali lagi murid Cian Sin-wi itu dipaksa untuk bergulingan menyelamatkan nyawanya dengan gugupnya.

Namun Wi-hong dan Cian Ping tidak membiarkan si imam merajalela sesukanya. Selincah kijang, Cian Ping telah melompat ke gelanggang kembali sambil berseru, “Lihat serangan!” dan sepasang kaitannya bergerak serentak untuk mengait tulang pundak lawan. Terhadap serangan Cian Ping Tojin itu sedikitpun tidak menoleh. Cukup hanya mendoyongkan badan, loloslah ia dari serangan si gadis. Bahkan lalu ia memutar pinggang dan dengan pukulan telapak tangan ia menghamburkan serangkum angin beracun ke arah muka Cian Ping.

Gadis itu memiliki latihan lwe-kang (tenaga dalam) yang belum begitu kuat, sehingga ia segera merasakan akibat dari hembusan angin beracun si Tojin. Seketika itu juga ia merasakan kepalanya pusing dan perutnya mual. Dengan sempoyongan ia melangkah mundur sambil melintangkan kaitannya di depan tubuh. Meskipun serangan Cian Ping boleh dikata gagal, tetapi telah cukup memberi waktu sejenak bagi Song Kim untuk melompat bangun dan mempersiapkan diri kembali meskipun kini ia telah tidak bersenjata lagi.

Sementara itu Tong W-hong marah melihat kekejaman si imam, dan tanpa kenal takut ia menerjang maju. Pedangnya yang menyambar bagai halilintar itu dalam sekejap telah tiba di depan hidung si Tojin. Dengan tenaga putaran Tay-kek-kun, si imam berhasil melibat pedang Wi-hong dan menyingkirkannya ke samping, sekaligus serangan Wi-hong tersebut menambah keyakinan si imam akan buruan yang dicarinya.

Pikir si imam, “Bocah ini menggunakan ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat. Aku bertambah yakin bahwa kali ini aku tidak akan salah bunuh lagi.” Namun suatu pertimbangan lain menyelinap di hati si imam, “Benar orang muda ini memang anak Tong Tian, tapi siapakah kedua kawannya ini? Menilik senjata yang digunakan oleh gadis itu, agaknya ia punya hubungan erat dengan si tua bangka Cian Sin-wi pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Kalau begitu aku tidak boleh menambah musuh, sebab si tua bangka she Cian itu bukan manusia yang gampang diladeni.”

Sambil bertempur, imam itu memperhitungkan semua untung ruginya jika pertempuran itu diteruskan. Imam tersebut bukan lain adalah Te-yong Tojin, guru silat di rumah Cia To-bun yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan ayah Tong Wi-hong. Setelah berpikir bolak-balik akhirnya Te-yong Tojin memutuskan untuk menunda pembunuhan atas diri Wi-hong.

Kehadiran Song Kim dan Cian Ping dianggapnya kurang menguntungkan, meskipun kepandaian mereka tidak menakutkan tapi nama besar Cian Sin-wi lah yang membuat imam itu gentar. Imam itu lebih suka menunggu kesempatan lain di mana Wi-hong sendirian saja.

Kemudian terdengar si imam tertawa dingin, katanya, “Hari ini aku sedang banyak urursan dan tidak punya waktu lagi untuk bermain-main dengan segala tikus kecil macam kalian. Biarlah untuk sementara kutangguhkan semua perhitunganku atas kekurang ajaran kalian.”

Begitu habis kalimatnya, ia segera melancarkan gempuran hebat ke arah tiga sudut kepungan yang membuat ketiganya dipaksa untuk mundur. Begitu kepungan terasa longgar, bagaikan seekor rajawali imam itu melompat keluar dari kepungan.

“Bangsat! Mau lari kemana kau?!” bentang Song Kim yang masih merasa penasaran sambil memungut tombaknya yang tergeletak di tanah.

Namun gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) dari ketiga anak muda itu terpaut jauh dengan gin-kang Te-yong Tojin. Hanya dengan beberapa kali luncuran tubuh, Te-yong Tojin telah menghilang ke dalam hutan cemara. Ketiga orang muda itu berdiri termangu-mangu dengan debaran jantung yang semakin keras.

Mereka ngeri kalau mengingat bahwa mereka baru saja bertempur dengan lawan yang begitu lihai, bahkan nampaknya lawan tersebut berkepandaian sejajar dengan Cian Sin-wi. Yang merasa paling terancam adalah Wi-hong, sebab ia tahu bahwa Tojin itu pastilah salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun.

“Sungguh berbahaya, Tojin itu jelas mengincar diriku,” desah Wi-hong perlahan. “Untuk selanjutnya aku harus berhati-hati.”

Cian Ping menggantungkan kembali sepasang kaitan harimaunya ke pelana kuda sambil mengerutu, “Ku kira semua ini adalah gara-gara Song suheng yang telah bertindak sembrono hanya dengan menuruti kemarahan saja. Belum lagi kita tahu apa maksud Tojin itu sebenarnya, suheng telah main pukul seeenaknya saja. Tentu saja Tojin itu tidak sudi kita perlakukan kasar, dan akibatnya, hampir saja nyawa kita tidak tertolong lagi.”

Song Kim menjadi penasaran, maksudnya tadi adalah ingin pamer kegagahan dan keberanian, tak disangka ia malah kena damprat gadis itu. Katanya, “Kenapa kau malah menyalahkan aku, su-moay? Imam tadi nampak begitu liar dan kurang ajar ketika memandang tubuhmu. Dilihat dari sikapnya saja sudah jelas bahwa dia bermaksud busuk. Apakah aku harus berpeluk tangan saja dan berpura-pura tidak tahu?”

Sambil mengucapkan kata-kata itu Song Kim beberapa kali melirik Wi-hong, jelas kata-katanya yang tajam itu bermaksud menyindir Wi-hong. Wi-hong pun mengerti arah tujuan kata-kata itu, meskipun hatinya menjadi panas tapi ditahannya sekuat tenaga supaya ia tidak bentrok dengan murid Cian Sin-wi itu.

Tiba-tiba Song Kim berseru kaget, “Su-moay, kenapa kau?!” Dilihatnya Cian Ping yang berusaha melompat ke atas kuda tiba- tiba terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya, kemudian roboh dengan muka pucat kebiruan dan mata terpejam rapat.

Wi-hong pun terkejut melihat keadaan gadis itu, ia segera melangkah hendak mendekat namun baru berjalan dua langkah ia pun merasa kepalanya pusing dan perutnya mual, dan robohlah dia juga. Dalam pertempuran melawan Te-yong Tojin tadi, ketiga anak muda yang kurang pengalaman itu tanpa sadar telah menghirup hawa beracun yang tersebar dari telapak tangan si imam.

Seperti telah diketahui, Te-yong Tojin ini melatih pukulan beracun Tok-jan-jiu (Pukulan Ulat Berbisa) yang jahat. Cian Ping yang belum mempunyai dasar tenaga dalam yang kuat, maka dialah yang roboh lebih dulu. Sedangkan Wi-hong sebenarnya memiliki daya tahan yang terpupuk kuat, tapi luka-lukanya belumlah sembuh betul dan daya tahannya pun belum pulih seperti semula sehingga berikutnya dialah yang giliran roboh.

Yang paling aman adalah Song Kim. Selain punya daya tahan yang kuat, dia juga memakai senjata panjang dalam pertempuran tadi sehingga ia tidak terlalu terpengaruh oleh hawa beracun lawannya. Meskipun ia juga agak pusing, tapi tidak sampai membuatnya roboh.

Melihat Cian Ping dan Tong Wi-hong roboh berturut-turut, Song Kim sejenak menjadi kebingungan. Namun setelah agak tenang cepat ia menolong sumoaynya lebih dulu. Dibaringkannya tubuh si gadis di bawah pohon yang rindang, lalu secara paksa ia menjejalkan obat pulung penawar racun buatan Tiong-gi Piau-hang ke dalam mulut si gadis.

Setelah itu barulah Song Kim melihat ke arah Wi-hong. Dilihtanya pemuda yang menyainginya dalam merebut cinta Cian Ping itu juga pingsan tidak jauh dari situ. Mendadak suatu pikiran jahat terlintas di benaknya, “Bocah she Tong ini merupakan perintang dalam usahaku untuk mempersunting su-moay, bahkan nampaknya su-moay kini lebih suka berdekatan dengan bocah gila ini daripada denganku. Saat ini tidak seorangpun yang menyaksikan perbuatanku, lebih baik kuhabisi saja nyawa bocah tengik ini. Nanti jika Suhu atau Sumoay menanyakan, akan kujawab bahwa ia mati kena pukulan beracun si imam jubah hijau itu.”

Muka Song Kim mendadak menyeringai kejam dan beringas, bagai sesosok hantu yang mencium adanya bau mayat. Ia melangkah mendekati Wi-hong untuk menjalankan niatnya. Namun sebagai seorang yang cukup licik dan berhati-hati, dia tidak bertindak ceroboh dan tergesa-gesa, dia harus mengetahui dengan pasti apakh Wi-hong benar-benar pingsan atau cuma agak mabuk. Lebih dulu ia mengguncang-guncangkan pundak Wi-hong sambil memanggil-manggil nama pemuda itu.

Setelah benar-benar yakin bahwa pemuda itu benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri, maka dengan tidak membuang waktu lagi Song Kim segera merangkapkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya dengan kuat dan mengerahkan tenaga lalu denga cepat ditotokkannya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat, jalan darah kematian di dada Wi-hong.

Sekonyong-konyong terdengar suara gemerasak di belakangnya. Orang yang hendak berbuat kejahatan biasanya selalu dibayangi ketakutan atau kekhawatiran jangan-jangan ada orang yang menyaksikan perbuatannya, dan Song Kim pun tidak terkecuali. Suara gemerasak perlahan itu telah cukup membuyarkan perhatiannya dan pengerahan tenaganya pun terganggu.

Dengan terkejut ia membatalkan totokannya dan cepat membalik badannya ke belakang untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kemudian Song Kim mengumpat dengan kasar karena yang bersuara tadi ternyata cuma dua ekor kelinci hutan yang sedang berkejaran.

Song Kim menghembuskan napas panjang-panjang dan mencoba menentramkan debaran jantungnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga ke dalam kedua jarinya dan siap menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, mengirim nyawa Wi-hong ke akherat.

“Siapapun yang merintangi jalanku untuk hidup berbahagia bersama su-moay, harus kusingkirkan,” tekadnya di dalam hati.

“Suheng, kau sedang apa?” tiba-tiba terdengar suara Cian Ping perlahan-lahan di belakangnya. Agaknya setelah menelan obat buatan ayahnya, Cian Ping mulai mendapatkan kembali kesadarannya meskipun perasaan mual dan pusing masih mengganggunya.

Suara Cian Ping yang lirih ibarat bunyi halilintar yang meledak di pinggir telinga Song Kim. Dengan agak gugup ia menyahut sekenanya tanpa menolehkan muka, “A... aku... sedang berusaha menolong saudara Wi-hong.”

“Apakah keadaannya membahayakan?” tanya Cian Ping dengan penuh perhatian membuat rasa cemburu Song Kim jadi berkobar kembali.

“Su-moay, agaknya besar sekali perhatianmu kepadanya, ya?” dengus Song Kim dengan dingin. “Lukanya tidak berat sebab ia tidak terkena langsung pukulan imam tadi, agaknya ia cuma menghirup hawa pukulannya saja.”

Legalah hati gadis itu setelah mendengar penjelasan kakak seperguruannya. Sikap suhengnya yang dingin tidak digubrisnya, bahkan katanya lagi tanpa prasangka, “Syukurlah kalau begitu. Suheng, jika kau sudah selesai menolongnya, cepat ambil kuda-kuda kita. Sebaiknya kita cepat-cepat pulang, siapa tahu imam itu pergi untuk memanggil teman-temannya.”

Song Kim tidak menyahut sepatah katapun. Dengan langkah gontai menuntun tiga ekor kuda mendekat. Lebih dulu ia membantu Cian Ping naik ke atas kudanya. Dan ketika Song Kim hendak meletakkan tubuh Wi-hong ke atas salah satu kuda, Cian Ping berkata,

“Suheng, Hong-koko masih belum sadarkan diri dari pingsannya, ia bisa jatuh terbanting jika sendirian di atas kuda. Sebaiknya suheng berkuda bersamanya untuk menjaganya agar tidak jatuh.”

“Baik.” Jawab Song Kim singkat. Terpaksa ia pun berkuda bersama orang yang paling dibencinya, bahkan bertugas menjaganya agar tidak jatuh.

Dengan demikian, satu dari tiga ekor kuda itu tidak kebagian penumpang. Ketiga orang itu lalu berkuda kembali ke kota Tay-beng, meninggalkan tempat di mana nyawa mereka baru saja lolos dari lubang jarum. Karena keadaan Cian Ping yang belum segar benar, maka mereka menjalankan kuda dengan perlahan-lahan.

“Suheng,” kata Cian Ping. “Dari tadi Hong-koko belum sadar juga, apakah kau sudah memberikan obat kepadanya? He, lihat, kenapa hawa beracun yang nampak di antara kedua alisnya justru semakin menebal?!”

Song Kim pura-pura berseru kaget, “Hah, kenapa jadi begini? Tadi aku sudah menotok beberapa buah jalan darahnya untuk menghentikan menjalarnya racun, dan sudah kuberi pula sebutir obat Suhu. Sungguh keji pukulan imam itu!”

“Cepat kau minumkan obat penahan racun beberapa butir lagi kepadanya!” seru Cian Ping dengan cemas.

“Baik!” sahut Song Kim. Dikeluarkannya lagi dua biji obat buatan Suhunya, cara mengeluarkan obat tersebut sengaja diperlihatkan kepada Cian Ping. Lalu Song Kim pura-pura membuka mulut Wi-hong untuk mencekokkan obat tersebut, tapi di luar penglihatan Cian Ping, diam-diam Song Kim menyentil kedua butir obat itu hingga jatuh ke tanah dan hilang ke dalam semak-semak tepi jalan. Song Kim lebih suka kedua butir obat itu terbuang percuma dari pada digunakan untuk menolong saingan cintanya yang dibencinya setengah mati!

Diam-diam Song Kim berkata dalam hati, “Inilah saat yang terbaik untuk melenyapkan bocah ini, lain kali belum tentu dijumpai kesempatan sebagus ini. Ternyata aku tidak perlu turun tanagan sendiri karena bocah she Tong ini akan mampus dengan sendirinya karena keracunan. Aku hanya memperlambat pengobatan supaya sesampainya di rumah nanti segala usaha akan terlambat. Aku akan berpura-pura menyesal dan berkabung, dan setelah itu jalan untuk memiliki su-moay menjadi sangat licin tanpa saingan.”

Semakin dipikir, semakin puaslah hati Song Kim karena merasa segala rencananya akan berjalan lancar. Namun di hadapan Cian Ping dia memperlihatkan diri seolah-olah sangat mengkhawatirkan keadaan Wi-hong yang kian memburuk.

Karena ketiga orang muda itu memang belum bertamasya terlalu jauh dari kota Tay-beng, maka setelah berkuda sekian lama merekapun telah memasuki kota dan tidak lama kemudian tiba di depan gedung Tiong-gi Piau-hang yang selalu ramai dengan manusia.

Cian Ping yang sudah agak pulih tenaganya segera melompat turun dari kuda dan bermaksud membantu Song Kim menurunkan Wi-hong. Dan alangkah terkejutnya hati gadis itu ketika dilihatnya muka Hong- koko-nya kini telah bersemu hitam seluruhnya, sedang dengus napasnya begitu berat dan lambat seperti seekor kerbau hendak disembelih! Ternyata akal Song Kim mengulur waktu supaya racun semakin merasuk di tubuh Wi-hong, telah berhasil. Song Kim pun bersorak dalam hati!

“Mampus kau sekarang!” pikirnya. “Tapi aku masih berbaik hati mendoakan semoga kau masih kebagian tempat di sorga.”

Namun di luarnya Song Kim memperlihatkan sikap bingung dan cemas. Ia mengguncang-guncang tubuh Wi-hong sambil berteriak- teriak, “Saudara Hong! Saudara Hong! Aduh, kenapa kau sampai begini? Celaka, imam bangsat itu patut dicincang tubuhnya!”

Sedang kecemasan dalam diri Cian Ping tak terkatakan lagi. Ia memanggil beberapa orang piau-su anak buah ayahnya yang tengah berlatih di halaman depan agar membantu menggotong tubuh Wi-hong masuk ke dalam rumah. Cian Ping sendiri berlari ke dalam untuk memanggil ayahnya. Sikap bingungnya semacam ini belum pernah terlihat selama ini, dan itu menandakan perasaan yang terpendam di hatinya terhadap Tong Wi-hong.

Tak lama kemudian tubuh Wi-hong sudah di baringkan di dalam biliknya sendiri, dikerumuni oleh Song Kim dan beberapa orang piau-su yang mengenal Wi-hong. Lalu Cian Sin-wi muncul pula ke dalam kamar itu dengan muka yang tegang diiringi oleh anaknya. Sejenak pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memeriksa tubuh Wi-hong, mukanya nampak berubah sesaat.

Cian Ping semakin cemas melihat perubahan muka ayahnya, sebaliknya Song Kim semakin besar hati dan menaruh harapan. Song kim sangat yakin di dalam hatinya, biarpun tabib Hoa To dari jaman Sam-kok hidup kembali, tidak mungkin nyawa Wi-hong bisa di selamatkan menilik keadaan keracunannya yang sudah cukup hebat.

Sesaat ruang itu jadi hening oleh ketegangan yang mencekam, lalu terdengar suara berat Cian Sin-wi, “Racun yang menyerangnya disebut Tok-jan (Ulat Beracun), yang kemudian oleh seorang murid murtad Bu-tong-pay yang bernama Te-yong Tojin disempurnakan menjadi semacam ilmu pukulan beracun yang dia beri nama sendiri Tok-jan-jiu. Apakah kalian telah bentrok dengan orang itu?”

Cian Ping dan Song Kim saling berpandangan tanpa menjawab, dan ini sudah cukup memberi jawaban bagi Cian Sin-wi yang sudah berpengalaman.

“Bagaimana keadaannya, Suhu?” tanya Song Kim sambil mengharap Suhunya akan menggelengkan kepalanya. Tapi Song Kim kecewa bukan main ketika Suhunya menjawab,

“Sangat berbahaya, tetapi masih ada harapan untuk ditolong. Dia rupanya tidak terkena langsung oleh tangan imam itu, hanya tersambar oleh angin pukulannya saja.”

Kepada Cian Ping, Cian Sin-wi berkata, “Ping-ji, suruh pelayan untuk merebus air segentong penuh hingga mendidih, di kamar ini juga. Ambilkan botol berwarna hijau yang ada di kamar tidurku dan bawa kemari.”

Lalu katanya kepada para piau-su yang masih mengerumuni Wi-hong, “Keluarlah kalian supaya udara di dalam ruangan ini menjadi agak segar. Salah satu dari kalian segera pergi memanggil Ong sin-she (tabib Ong) supaya datang kemari.”

Ternyata tidak usah tabib Hoa-to dari jaman Sam-kok, tabib Ong saja sudah cukup. Begitu pikir Song Kim dengan kecewa. Tabib Ong adalah tabib andalan Tiong-gi Piau-hang karena kemahirannya dalam ilmu pengobatan. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengawalan tentu cukup sering anggotanya bertempur dengan kaum penjahat yang hendak merampok barang kawalan mereka, tentu saja tidak jarang ada pengawal yang gugur atau luka-luka. Karena itu Tiong-gi Piau-hang punya seorang tabib khusus yang cukup dapat diandalkan untuk menghadapi situasi-situasi seperti itu.

Demikianlah, dengan bantuan Ong Sin-she yang trampil, mulailah Cian Sin-wi berusaha menyembuhkan Tong Wi-hong dari keracunannya. Hanya berdua saja dalam ruangan itu, Cian Sin-wi dan Ong sin-she melucuti semua pakaian Wi-hong lalu “merebus” tubuhnya dalam sebuah kuali besar berisi air panas.

Setengah hari lebih Cian Sin-wi dan Ong Sin-she bekerja keras di dalam ruang tertutup itu, dan ketika matahari telah tenggelam barulah kedua orang itu nampak keluar dari ruangan dengan pakaian kusut dan sekujur tubuh berbau obat-obatan, namun wajah masing-masing justru menampilkan senyuman gembira.

Ada beberapa piau-su yang bersahabat dengan Wi-hong yang tetap menunggu di depan pintu selama berlangsungnya proses pengobatan tersebut, begitu pula Cian Ping dan Song Kim yang bergulat dengan perasaan mereka masing-masing. Begitu melihat Cian Sin-wi dan Ong Sin-she melangkah keluar, serentak mereka berdiri menyambut dan bertanya,

“Bagaimana keadaan Tong Wi-hong?”

Cian Sin-wi menepuk pundak anak gadisnya sambil tersenyum penuh arti, sahutnya, “Ia akan sembuh kembali. Ong Sin-she kita ini benar-benar hebat!”

Tabib yang bertubuh kurus kering namun selalu bermuka riang itupun tertawa terkekeh-kekeh sambil meyahut gurauan Cian Sin-wi, “Cong-piau-thau (pemimpin) membuat aku jadi besar kepala.”

Serempak orang-orang yang menunggu di depan pintu tertawa lega, kecuali Song Kim yang menjadi sangat kecewa dan mengumpat dalam hati. Cian Sin-wi yang sedang gembira tidak melihat perubahan wajah murid kesayangannya tersebut, apalagi cuaca memang sudah menjadi gelap. Cian Sin-wi segera menyuruh dua orang piau-su untuk mengantar Ong Sin-she pulang.

Cian Sin-wi sempat pula memeriksa keadaan Song Kim dan Cian Ping untuk mengetahui apakah puteri dan muridnya itu keracunan atau tidak. Ternyata mereka juga keracunan tetapi sangat ringan, cukup diobati dengan obat pulung Tiong-gi Piau Hang. Ringannya kadar racun di tubuh keduanya bisa dimengerti, sebab tujuan Te-yong Tojin memang hanya ingin membunuh keturunan Tong Tian, sebaliknya imam itu masih sungkan untuk membuka permusuhan baru dengan Cian Sin-wi dan Tiong-gi Piau Hangnya.

* * * * * * *

Luka-luka yang diderita oleh Wi-hong ketika berkelahi dengan para pembunuh bayaran suruhan Cia To-bun belum sembuh sepenuhnya, dan tahu-tahu kini ia harus kembali berbaring di tempat tidur gara-gara pukulan beracun Te-yong Tojin. Dengan demikian keadaan tubuh Wi-hong saat itu menjadi sangat lemah. Tetapi berkat ketekunan perawatan Cian Sin-wi, Ong Sin-she, dan Cian Ping, maka kesehatan Wi-hong perlahan-lahan mulai pulih kembali.

Siang itu, ketika Wi-hong tengah melamun di tempat tidurnya tahu-tahu Cian Ping masuk sambil membawa semangkuk bubur. Diam-diam Wi-hong mulai merancangkan sesuatu di dalam hatinya. Ia sebenarnya sudah cukup kuat kalau hanya untuk mengangkat tangan dan menyuapi mulutnya sendiri, tetapi ia lebih senang jika tangan-tangan lembut puteri Cian Sin-wi itu yang menyuapi.

Sebaliknya pada diri Cian Ping pun terjadi perubahan yang cukup mencolok. Tadinya dia bukanlah seorang gadis yang sabar dan telaten, bahkan sifat kanak-kanak dan kebandelannya kadang membuat ayahnya cukup kewalahan. Namun sejak Wi-hong sakit, mendadak saja gadis itu menjadi sangat sabar dan sangat penurut dalam melayani segala keperluan anak muda itu.

Semua perkembangan dan perubahan yang terjadi pada diri sepasang orang muda itu sulit lepas dari pengamatan Cian Sin-wi yang tajam dan berpengalaman. Cian Sin-wi tahu apa yang tengah berkembang diantara keduanya, karena Cian Sin-wi sendiri juga pernah muda.

Orang tua itu bersyukur bahwa pada akhirnya ada juga seorang anak muda yang berhasil menundukkan hati anak gadisnya yang keras hati. Namun di samping hal yang menggembirakan tersebut, Cian Sin-wi juga melihat perkembangan yang mencemaskan, yaitu mengenai diri muridnya, Song Kim....
Selanjutnya;