Perserikatan Naga Api Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 09

Karya : Stevanus S.P
BAGI CIAN SIN-WI, Song Kim lebih dari sekedar murid. Anak yatim piatu yang sudah dibesarkan dan dirawatnya sejak kecil itu hampir senilai dengan anak kandung sendiri. Cian Sin-wi tidak akan sampai hati melihat Song Kim patah harapan, dan bahkan bisa jadi akan patah pula semangatnya untuk menghadapi masa depannya sendiri.

Namun jika sudah sampai pada urusan cinta, Cian Sin-wi memang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa memaksa anak gadisnya sendiri untuk menghapus perasaan sukanya kepada Wi-hong. Pada akhirnya orang tua itu hanya bisa bertindak sebagai pengawas yang berdiri di luar gelanggang saja.

Dalam pada itu, di dalam kamarnya Tong Wi-hong sedang disuapi bubur hangat oleh Cian Ping bagai seekor anak kelinci yang tak berdaya. “Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?” tanya Cian Ping lembut dan penuh perhatian.

Wi-hong pura-pura menyeringai kesakitan dan mengeluh, “Sudah agak baik tapi kedua tanganku ini rasanya masih lumpuh tanpa kekuatan sama sekali.”

Suasana menjadi hening kembali sampai Wi-hong memecah kesunyian, katanya, “Adik Ping, setelah badanku sehat kembali dan tenagaku pulih, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Dan aku tidak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat ini.”

Cian Ping tidak menyahut, namun tangan yang memegang mangkuk itu nampak sedikit bergetar. Dan Tong Wi-hong melanjutkan kata-katanya, “Aku sebenarnya sangat berat hati untuk meninggalkan kalian yang sangat berbudi kepadaku. Namun kuharap kalian juga maklum bahwa aku masih punya kewajiban keluarga yang sangat berat. Sakit hati keluargaku sama sekali belum terbalas, begitu pula nasib ibu dan kedua saudaraku pun belum kuketahui.”

Cian Ping berusaha menghiburnya, “Jangan terlalu membebani pikiranmu, itu akan merugikan kesehatanmu sendiri. Jika kau tidak menganggap kami sebagai orang luar, tolong beritahukan nama dan ciri-ciri kedua saudara dan ibumu itu, supaya kami dapat membantu melacak jejak mereka. Cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang tersebar luas di seluruh kota-kota di utara Sungai Besar, anak buah ayahku pun menjelajahi hampir semua jalan-jalan raya yang ada di seluruh negeri. Kukira dengan cara demikian tidak sulit untuk segera menemukan jejak ibu dan kedua saudaramu. Sedangkan soal membalas sakit hati keluarga, aku menyediakan diri untuk ikut serta membasmi manusia durjana yang bernama Cia To-bun itu.”

Wi-hong menarik napas dalam-dalam, pandangannya menerawang keluar jendela, ke langit yang biru cerah di luar sana. Sahutnya, “Budi kalian kepadaku sudah setinggi gunung Tay-san dan sedalam lautan, terlalu berat bagiku untuk memikul budi sebesar ini. Masakan aku masih akan menambah beban di hatiku lagi?”

Cepat Cian Ping menggunakan telapak tangannya untuk menekap mulut Wi-hong. Dalam keadaan terpengaruh oleh perasaannya, Cian Ping kurang dapat mengendalikan diri, katanya polos, “Aku dan ayah sudah menganggapmu sebagai keluarga sendiri, kau jangan berbicara seperti kepada orang luar. Biar bagaimanapun, kami pun merasa wajib untuk membantumu.”

“Ke... keluarga sendiri?” tanya Wi-hong menegaskan dengan hati yang terasa hangat.

Muka Cian Ping yang jelita seketika menjadi merah padam setelah menyadari bahwa ia telah kelepasan bicara. Dengan agak tergagap ia berusaha menjelaskan, untuk menutupi rasa malunya, “Maksudku... a... ayah... sudah menganggapmu sebagai orang... orang Tiong-gi Piau-hang sendiri....”

Namun perasaan Wi-hong merasakan ada nada lain dalam ucapan si gadis. Tiba-tiba saja timbul keinginan pemuda itu untuk menjajaki isi hati gadis itu. Tanyanya sambil menahan tawa, “Barangkali ayahmu salah ucap, bukan orang Tiong-gi Piau-hang, tetapi orang keluarga Cian, betul tidak?”

Muka Cian Ping menjadi semakin merah, dan dalam pandangan Wi-hong menjadi semakin mempesona. Tangan si gadis yang sedang menyangga mangkuk bubur menjadi semakin gemetar. Sambil pura-pura jengkel ia menggerutu, “Uh, jangan punya pikiran yang bukan-bukan. Kau tahu apa?”

Tetapi Tong Wi-hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik tersebut untuk mengutarakan isi hatinya, meskipun dengan hati agak berdebar, katanya,”Tentunya ayahmu sangat senang jika aku menjadi menantunya bukan?”

Cian Ping semakin tersipu, tidak meng-iya-kan tapi juga tidak membantah. Dengan masih berpura-pura jengkel ia berkata, “Sudah jangan omong saja. Habiskan dulu buburnya.”

Sikap gadis yang demikian tersebut justru menambah keberanian Wi-hong. Ia mulai menanyakan sesuatu yang selama ini ia pendam dalam hatinya, “Adik Ping, sangat berat bagiku untuk meninggalkan engkau. Namun sebelum aku pergi, aku ingin mengetahui jawabanmu, maukah kelak kau.... hi.... hidup.... bersa.... ma dengan... a... aku?”

Meskipun Tong Wi-hong adalah seorang lelaki yang sudah cukup dewasa, namun sebelum ini dia belum pernah bergaul cukup akrab dengan seorang gadis pun. Kini, biarpun dia telah mengerahkan seluruh ketenangannya untuk mengungkapkan isi hatinya, tak urung suaranya terdengar gemetar dan mukanya pun menjadi merah.

Namun yang lebih gugup lagi adalah Cian Ping. Rasa bahagia yang meluap-luap menyesak di hatinya, ingin rasanya dia menjawab pertanyaan anak muda itu, namun bibirnya serasa terkunci sehingga tak sepatah katapun mampu terucap dari mulutnya. Akhirnya ia hanya mampu menggerakkan kepalanya untuk mengangguk, menyatakan persetujuan atas pernyataan cinta Wi-hong. Setelah itu, ia tidak berani lagi memandang ke arah anak muda itu.

Wi-hong menarik napas lega, dan lupalah dia akan tangannya yang masih “lumpuh”. Secepat kilat ia menangkap tangan si gadis dan menariknya mendekat, sekejap kemudian si gadis sudah berada dalam pelukannya. Kamar itu menjadi sunyi. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari keduanya sebab mulut mereka sedang dipergunakan untuk “keperluan” lain.

Dalam kebisuan tersebut, dua hati muda telah berpadu dan menyatukan tekad untuk bersama-sama menempuh masa depan yang panjang. Sumpah setia dan segala macam janji indah tak perlu lagi diucapkan sebab hal itu hanya akan membuat terasa berlebihan. Dulu, ketika keluarga Tong masih utuh di An-yang-shia, Tong Wi-siang sering memanggil Wi-hong dengan sebutan “si banci”, sedang Wi-lian menjulukinya “si kutu buku”. Tetapi jika saja Wi-siang maupun Wi-lian saat ini melihat adegan dalam kamar tersebut, maka tidak mustahil mereka akan mencabut julukan-julukan yang telah mereka berikan kepada Wi-hong.

Namun, selain dua hati yang sedang berbahagia tersebut, masih ada sepotong hati yang semakin membara oleh dendam dan cemburu. Song Kim yang sejak tadi diam-diam bersembunyi di bawah jendela kamar, dapat mengikuti semua pembicaraan dan tingkah laku kedua muda-mudi tersebut. Dadanya serasa hampir meledak oleh berbagai macam perasaan yang berkecamuk. Bagaimana ia harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit ini? Berjiwa besar, bersikap kesatria, dan memberi selamat kepada saingan asmaranya, seperti yang sering diajarkan oleh gurunya?

Padahal ini merupakan persoalan masa depan yang menyangkut kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun diimpikannya. Bagaimana persoalan tersebut bisa diselesaikan semudah ajaran gurunya? Demikian pikir Song Kim. Akhirnya pemuda tersebut menggertakkan gigi dan berusaha menguasai diri, di dalam hatinya sudah terbulatkan sebuah tekad untuk menyingkirkan perintang impiannya!

Dalam kemelut pikirannya yang semakin keruh, tiba-tiba dia teringat akan seorang kenalan. Seorang bekas pengawal Tiong-gi Piau-hang yang telah dipecat karena beberapa pertimbangan. Orang tersebut adalah seorang ahli dalam meramu berbagai macam racun, salah satu hasil karyanya yang paling dia banggakan adalah racun Ang-hong (Tawon Merah) yang jernih dan tidak berbau, seperti air saja. Dari situlah Song Kim berpikir, alangkah baiknya jika semangkuk Ang-hong diminumkan kepada Wi-hong.

Dengan tanpa membuang waktu lagi, ditambah dengan perasaan marah yang tak tertahankan serta keinginan untuk secepatnya membikin mampus orang yang dibencinya, siang itu juga Song Kim menemui bekas pengawal tersebut. Dengan imbalan beberapa tahil perak, Song Kim berhasil mendapatkan sebotol kecil Ang-hong, dan beberapa tahil lagi sebagai uang tutup mulut.

Sore hari itu, ketika Tong Wi-hong tengah duduk membaca buku di dalam kamarnya dengan perasaan lega, tiba-tiba masuklah Song Kim dengan muka yang berseri-seri. Wajahnya tidak lagi dingin, bahkan penuh sikap persahabatan, di tangannya tergenggam sebuah mangkuk obat, hal mana membuat Wi-hong cukup terheran-heran.

“Anak ini entah kesurupan malaikat kebajikan dari mana?” pikir Wi-hong tak habis mengerti.

Sementara itu Song Kim telah menyapanya dengan hangat, “Bagaimana keadaan kesehatanmu, Tong-heng (saudara Tong)? Aku mohon maaf sudah beberapa hari ini tidak sempat menjengukmu karena ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan atas perintah Suhu. Kini Tong-heng nampak bertambah sehat.”

Sikap Song Kim yang sama sekali di luar dugaan Wi-hong malahan membuatnya untuk sementara menjadi kebingungan dan tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga kesatria persilatan, ia berwatak jujur, tidak ada sedikitpun dugaan jeleknya atas sikap aneh Song Kim tersebut. Bahkan diam-diam dia bersyukur dalam hatinya karena pemuda she Song itu tidak bersikap memusuhinya lagi. Sahutnya,

“Terima kasih atas perhatian Song-heng. Perawatan yang sangat baik dan sikap ramah dari seluruh kerabat Tiong-gi Piau-hang lah yang telah membuat aku cepat sembuh.”

Song Kim meletakkan mangkuk yang dibawanya ke dekat Wi-hong dengan gaya sewajar mungkin. Katanya, “Daya tahan tubuhmu benar-benar mengagumkan, Tong-heng. Aku yakin dalam waktu kurang dari lima hari lagi kau pasti sudah akan dapat bermain-main dengan pedangmu lagi. Tetapi menurut ucapan Suhu, racun pukulan imam jahat itu tidak boleh dianggap enteng, makanya Beliau menyuruhku untuk membawakan ramuan pembersih darah ini yang gunanya untuk membersihkan darahmu dari sisa-sisa racun jahat itu.”

Tong Wi-hong tertawa dengan sungkan sambil menyahut, “Wah, rupanya aku jadi sangat merepotkan seperti seorang bayi raksasa. Sudah tiga hari ini memang Cong-piau-thau hanya memberikan obat kuat saja. Barangkali memang penyakitku sudah tidak berbahaya lagi.”

Song Kim tertawa ramah, katanya, “Kekuatan tubuhmu yang luar biasa itu memang jarang ditemukan. Beruntun kau menderita luka berat, dan beruntun pula kau sembuh dengan cepat. Tapi minumlah obat ini. Semakin cepat kau sembuh, akan semakin melegakan kami.”

Tong Wi-hong memang masih hijau dalam pengalaman akan seluk-beluk kelicikan manusia, sehingga tak sedikitpun ia mencurigai Song Kim. Selain itu, Song Kim sendiri agaknya memang seorang seniman sandiwara yang berbakat, gayanya yang wajar dan sangat tenang tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.

Maka Wi-hong segera mengangkat cawan tersebut dan membuka tutupnya, sejenak hidungnya mencium bau aneh yang tipis, tapi kemudian dengan tanpa curiga ia menempelkan bibir cawan ke mulutnya dan siap untuk menenggak isinya sampai habis.

Di saat nyawa pemuda itu seakan sudah bertamasya di depan gerbang akhirat, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara-suara langkah kaki mendekati kamar. Seketika muka Song Kim agak berubah. Hebatlah akibatnya jika perbuatannya mencoba meracuni Wi-hong sampai diketahui oleh gurunya, tapi jika mencegah Wi-hong menenggak isi cawan tersebut, tentu akan menimbulkan kecurigaan pemuda itu.

Tengah ia kebingungan, pintu terdorong dari luar. Dan masuklah Cian Sin-wi dengan gagahnya. Sore itu ia memakai jubah panjang dari bahan kain ringan, sikapnya segar dan santai. Ia semakin gembira ketika melihat Tong Wi-hong dan Song Kim nampak begitu rukun.

Sementara itu Tong Wi-hong telah batal menenggak isis cawan karena melihat kedatangan Cian Sin-wi. “Berkat perawatan paman dan budi paman yang besar maka aku merasa sudah sembuh,” kata Wi-hong sambil bangkit dan memberi hormat. “Semua obat pemberian paman ternyata sangat manjur. Sore inipun aku merasa sangat bersyukur karena paman berkenan menyuruh Song-heng untuk mengirim obat pembersih darah untukku.”

“Habislah sekarang riwayatku!” keluh Song Kim di dalam hatinya. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang terlalu terburu-buru ingin meracun Wi-hong sehingga kurang cermat dalam memperhitungkan waktu.

Sementara itu Cian Sin-wi sendiri pun nampak tercengang heran mendengar ucapan Wi-hong tadi. “Menyuruh Song Kim untuk mengirim obat?” tanyanya sambil melirik kearah muridnya yang terlihat seakan sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Sekilas naluri pendekar tua ini merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri muridnya. Pendekar ini sudah banyak pengalaman untuk merangkai dan menyimpulkan berbagai persoalan bagaimanapun peliknya. Ia tahu bagaimana perkembangan hubungan segitiga antara Cian Ping, Tong Wi-hong, dan Song Kim. Dan ia tahu pula masing-masing sifat dari ketiga orang muda yang terlibat dalam cinta segitiga tersebut.

Sinar mata Cian Sin-wi setajam pisau menyambar ke arah Song Kim, membayangkan tuntutan sekaligus kekecewaannya. Suaranya berat dan terdengar agak bergetar, “Kim-ji, benarkah yang kau bawakan itu adalah obat pembersih darah atas suruhanku?”

Song Kim menundukkan kepalanya karena tidak tahan menghadapi tatapan gurunya. Ia tidak segera menjawab, ia bingung harus membohong ataukah harus berterus terang. Di bawah tatapan mata gurunya yang sangat berwibawa itu, Song Kim yakin bahwa ia tidak akan mampu merangkai cerita dusta yang masuk akal. Bahkan jika dustanya ketahuan maka hukumannya akan menjadi sangat berat. Paling ringan ia akan dicacatkan pundaknya sehingga tenaganya musnah, hukuman itu adalah hukuman yang paling menyakitkan hati bagi para penggemar ilmu silat.

Cian Sin-wi semakin habis kesabarannya melihat muridnya nampak begitu gugup dan tidak segera menjawab. Cepat ia merebut mangkuk dari tangan Wi-hong dan diangsurkan kepada Song Kim sambil berkata, “Kim-ji, jika aku menyuruhmu untuk meminum isi mangkuk ini, kau akan menolak atau menerima?!”

Muka Song Kim menjadi semakin pucat. Tiba-tiba teringatlah dia akan salah satu kelemahan gurunya, yaitu sangat menghargai orang yang bersikap jantan dan jujur, sehingga pernah tertipu oleh orang yang berlagak jujur. Jika ia mampu mengelabuhi gurunya saat itu, maka ia yakin hukumannya akan diperingan, mungkin hanya akan dirangket seratus kali.

Seketika Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Katanya dengan suara tergagap, “Suhu, terus terang saja, yang hendak kuminumkan kepada Tong-heng itu adalah racun Ang-hong yang sangat keras. Suhu tentu sangat mengutuk perbuatanku ini, namun semua ini nekat ku lakukan hanya karena aku ingin mewujudkan impian untuk hidup berdampingan bersama su-moay. Suhu, aku memang sangat berdosa, hukuman matipun tidak akan kutolak.”

Mangkuk yang terpegang di tangan Cian Sin-wi pecah berhamburan berikut isinya di atas lantai. Muka pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu mendadak nampak begitu muram dan sedih. Nampak sekali betapa kecewa hatinya karena murid yang dia sayangi ternyata dapat melakukan perbuatan serendah itu.

Sementara itu Tong Wi-hong hanya membungkam saja dan tidak ikut dalam pembicaraan tersebut. Dia marah kepada Song Kim yang telah berusaha membunuhnya dengan cara pengecut, tetapi sekaligus iba kepadanya. Karena Wi-hong merasa bahwa dirinya lah yang telah menghancurkan impian Song Kim. Kini Tong Wi-hong hanya membisu, membiarkan guru dan murid itu menyelesaikan urusan mereka sendiri.

Pengakuan Song Kim yang terdengar jujur dan jantan itu memang berhasil mempengaruhi sikap Cian Sin-wi. Cian Sin-wi tidak tahu sama sekali bahwa sikap muridnya itu cuma sandiwara dengan tujuan mecari keringanan hukuman. Bahkan Song Kim dalam hatinya sedang mengutuki gurunya sendiri,

“Meskipun setan tua ini pernah mendidik dan merawatku sejak kecil, tetapi apa gunanya kalau hanya ingin mematahkan harapan dan cita-citaku? Hidup tanpa harapan justru lebih buruk dari kematian. Dan setan tua she Cian ini ikut memikul tanggung jawab atas musnahnya harapanku. Jika ia tidak membawa bocah she Tong itu ke tempat ini, maka kepahitan ini tidak akan terjadi atas diriku. Tetapi sekarang, persetan dengan semuanya! Terkutuklah semuanya!”

Sementara Cian Sin-wi sendiri dengan susah payah berusaha mengatasi kepedihan perasaannya yang terasa menyengat hati. Song Kim yang disayang bagaikan anak laki-lakinya sendiri ternyata benar-benar telah mengecewakan hatinya. Dia mungkin tidak akan begitu sedih seandainya Song Kim menantang duel Tong Wi-hong untuk memperebutkan Cian Ping, misalnya. Tapi percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan cara sangat hina, dengan racun, itu hampir-hampir tidak bisa dipercayainya. Tapi itu kenyataan.

Untunglah, pengakuan “jantan” Song Kim cukup menghibur Cian Sin-wi. Pikirnya, “Ternyata anak ini belum terlalu bejat dan masih punya sifat kesatria meskipun agaknya hampir luntur. Namun hukuman yang setimpal baginya harus tetap dijatuhkan. Kalau tidak begitu, orang luar akan menuduhku hanya bertindak keras kepada orang lain, tapi tidak berani bertindak keras terhadap anggota keluarga sendiri yang bersalah.”

Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi mencekam, hanya terdengar desahan napas berat dari ketiga lelaki yang tengah dilanda gejolak perasaan masing-masing. Tong Wi-hong merasa dirinya menjadi penyebab semua kejadian tidak enak itu. Sedangkan Song Kim dengan tegang menantikan hukuman apakah yang akan dijatuhkan oleh gurunya atas dirinya.

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar langkah-langkah ringan dari luar disusul dengan terdorongnya pintu dari luar. Lalu Cian Ping masuk dengan muka yang berseri-seri, tangannya membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkuk bubur dan beberapa macam sayuran. Namun begitu menemukan suasana yang kaku di dalam kamar tersebut, langkahnya merandek dan tertahan, mukanya menampakkan keheranan.

Dilihatnya suhengnya sedang berlutut di depan ayahnya dengan muka yang tertunduk dalam-dalam. Sedang wajah ayahnya biarpun nampak tenang tapi jelas tidak sedang bergembira, bahkan samar-samar nampak adanya kedukaan dan kemarahan. Ketika lalu menoleh ke arah Wi-hong, maka nampak anak muda itu tertunduk saja, sama sekali tidak memperhatikan dirinya. Gadis itu menjadi bingung melihat suasana seaneh dan sekaku itu.

“Song Kim,” tiba-tiba suara Cian Sin-wi memecah kesunyian.

“Murid siap menerima hukuman,” sahut Song Kim bergetar.

Lebih dulu Cian Sin-wi menghembuskan napas panjang beberapa kali seakan ingin dilontarkannya semua kekisruhan perasaan hatinya jauh-jauh. Suaranya kemudian menjadi sangat tenang tetapi tetap tegas dan tidak terbantah,

“Kau adalah muridku selama bertahun-tahun, bahkan aku sudah menaruh harapan besar kepadamu untuk kelak meneruskan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini. Kau bertahun-tahun hidup bersamaku dan kau tahu pula bagaimana sifat tabiatku. Oleh golongan hitam aku sangat dibenci karena sikap kerasku kepada mereka. Tapi oleh kaum pendekar pun aku tidak diterima sepenuhnya karena aku dianggap terlalu keras dan tidak kenal ampun terhadap penjahat. Song Kim, sifat kerasku terhadap kejahatan itu tidak pernah menjadi lunak, dan demi Thian, tidak akan pernah menjadi lunak. Hanya dengan demikianlah maka Tiong-gi Piau-hang dapat dipertahankan selama puluhan tahun oleh kakekku dan ayahku, dan selamanya akan tetap demikian. Dengan sikap tangan besi terhadap kaum penjahatlah maka Tiong-gi Piau-hang menjadi besar dan jaya seperti sekarang. Karena alasan-alasan itu, dalam persoalan apapun aku tidak akan pernah bergeser dari pendirianku ini. Song Kim, perbuatanmu yang sangat licik dengan mencoba meracuni Wi-hong itu jelas sangat tercela dan tidak pantas dilakukan oleh seorang anggota Tiong-gi Piau-hang. Dengan kesalahan ini sebenarnya sudah cukup adil untuk mencacatkan pundakmu dan memusnahkan tenagamu. Tapi mengingat hubungan kita selama belasan tahun, dan juga mengingat bahwa kau masih punya sifat-sifat kesatria dengan mengakui kesalahanmu, aku memperingan hukumanmu. Siapkah kau menerimanya, Song Kim?”

Dengan sikap sebaik mungkin, Song Kim menyahut, “Aku siap.” Sedang di dalam hatinya dia tertawa karena merasa bahwa siasatnya untuk memperlunak hati gurunya telah berhasil. Pikirnya, “Paling-paling aku akan dihukum rangket seratus kali, atau disuruh mengirim barang ke tempat yang jauh, seperti hukuman yang sudah-sudah.”

Terdengar Cian Sin-wi menarik napas. Meskipun hatinya merasa berat, namun dijatuhkan juga hukumannya, “Song Kim, semua pelajaran ilmu silatku sudah tuntas kau terima. Sudah saatnya kau meninggalkan tempat ini untuk mengembangkan sendiri ilmu silatmu dan mengangkat nama di dunia persilatan.”

Bagaikan halilintar meledak di tepi telinganya ketika Song Kim mendengar keputusan hukuman terhadap dirinya. Tepatnya dia diusir! Baginya, hukuman ini terasa jauh lebih berat dan lebih menyakitkan daripada hukuman badan lainnya. Hukuman pengusiran itu baginya hanya setingkat di bawah hukuman pemusnahan ilmu silat.

Di usir dari rumah gurunya, berarti hukuman itu akan terasa seumur hidup, dia akan sangat menderita batin karena harus berpisah dengan Cian Ping tanpa batas waktu yang pasti. Song Kim, anak muda yang perkasa itu, tiba-tiba mencium lantai dan terdengar suaranya meratap parau,

“Suhu, a... aku...” Hampir saja ia meminta ampun, namun karena merasa malu kepada Wi-hong, akhirnya ucapan yang sudah hampir meluncur dari biirnya itupun ditelannya kembali.

Cian Sin-wi menarik napas, katanya berat, “Apa boleh buat, muridku. Akupun merasa berat. Tetapi aku tidak ingin menerima tuduhan bahwa aku hanya berani bertindak keras kepada orang lain tetapi tidak berani bertindak keras untuk membersihkan rumah tangga sendiri.”

Tidak ada jalan lain lagi. Song Kim tahu betul watak gurunya, apa yang diucapkan oleh gurunya tidak mungkin dijilatnya kembali. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Song Kim memberi hormat sekali lagi kepada gurunya, lalu melangkah keluar sambil menggertakkan gigi. Sebelum meninggalkan kamar itu, ia masih sempat memandang ke arah Wi-hong dengan pandangan yang memancarkan dendam berapi-api.

Cian Ping yang sedari tadi tidak bersuara itu pun akhirnya dapat menyimpulkan apa gerangan yang terjadi setelah mendengar ucapan-ucapan ayahnya. Ternyata suhengnya telah berusaha membunuh Wi-hong karena tidak dapat menahan perasaan cemburunya, bahkan cara yang digunakannya cukup keji. Untung hal itu tidak sampai terjadi. Betapapun juga hubungan Cian Ping dan Song Kim sudah cukup lama, maka kepergian Song Kim tersebut cukup membuat gadis itu termangu juga.

Dengan langkah gontai Cian Sin-wi meninggalkan kamar Wi-hong yang baru saja menjadi ruang “pengadilan” bagi muridnya. Setelah berada di dalam kamarnya sendiri dan merasa tidak ada seorangpun yang melihat dirinya, diam-diam Cian Sin-wi yang keras hati itu mengusap dua titik air mata yang mengembun di sudut matanya.

Bagi Song Kim sendiri, rumah Cian Sin-wi itu kini terasa bagaikan neraka yang tidak tertahankan lagi panasnya. Meskipun saat itu hari sudah menjelang malam, namun Song Kim tidak ingin menunda kepergiannya sedetikpun. Ia langsung membenahi barang-barangnya dan malam itu juga ia meninggalkan gedung Tiong-gi Piau-hang, bahkan meninggalkan Tay-beng, dilangkahkannya saja kakinya tanpa tujuan tertentu. Sambil melangkahkan kaki semakin jauh, ia berkata dalam hatinya,

“Aku memang seorang anak yatim piatu yang melarat, tetapi akupun tidak pernah mengemis untuk minta dipelihara oleh Cian Sin-wi. Dan si tua she Cian itu meskipun telah menanam budi besar kepadaku, tapi juga telah menghancurkan masa depanku. Jadi impaslah semua kebaikannya selama ini kepadaku.”

Kepedihan hati yang berlebihan itu akhirnya merasuk hatinya dan berubah menjadi dendam kesumat yang membakar jantungnya. Tekadnya, “Aku, suatu ketika akan kembali, dan mereka semua akan berlutut menyembahku dan mencium kakiku!”

* * * * * * *

Pagi itu, seperti biasanya Cian Ping membawa sebuah nampan berisi mangkuk bubur dan sayur-sayuran ke kamar Wi-hong. Meskipun peristiwa Song Kim berusaha meracuni Wi-hong baru terjadi kemarin, tapi keriangan gadis itu sudah pulih seluruhnya. Kepergian Song Kim juga tidak terlalu merisaukan hatinya meskipun ada juga perasaan sedih. Tapi perasaan Cian Ping terhadap kakak seperguruannya itu memang tidak terlalu baik, bahkan kadang-kadang terasa Song Kim sangat menjemukan.

Tetapi ketika gadis itu tiba di kamar Wi-hong, alangkah kaget dan sedihnya setelah melihat kamar tersebut dalam keadaan kosong. Tempat tidur dan selimut masih dalam keadaan rapi, menandakan tidak pernah ditiduri. Hanya terdapat secarik kertas di dekat bantal. Cian Ping cepat meraih kertas tersebut dan membacanya dengan muka pucat dan bibir gemetar.

“Ditujukan kepada paman Cian dan adik Ping yang berbudi. Aku si durhaka ini mohon maaf bahwa malam ini telah meninggalkan tempat ini tanpa pamitan kepada kalian. Aku juga mohon maaf bahwa kehadiranku di tempat ini ternyata hanya menimbulkan kekisruhan dan perpecahan antar anggota keluarga yang tadinya hidup rukun. Budi kalian yang seberat gunung, aku tidak mampu menanggungnya lagi. Selamat tinggal.”
Dari orang pembawa celaka, Tong Wi-hong.


Nampan ditangan Cian Ping seketika jatuh berantakan, mangkuknya pun hancur semua. Sesaat gadis itu berdiri termangu seperti orang linglung. Kemudian sambil menahan tangisnya, gadis itu berlari-lari mencari ayahnya sambil membawa surat tersebut.

Cian Sin-wi mengerutkan keningnya setelah membaca pesan Tong Wi-hong tersebut. Meskipun hatinya tidak setuju dengan sikap Wi-hong, namun diapun dapat memaklumi perasaan yang bergolak di dalam hati anak muda tersebut. Wi-hong tentu merasa tidak enak karena seolah-olah kehadirannya membawa perpecahan antara guru dan murid, serta antara kakak dan adik seperguruan. Akhirnya pendekar tua yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan cuma dapat menarik napas panjang sambil mendesah,

“Ah, anak-anak muda yang keras hati itu memang susah diurus. Kapankah pikiran mereka akan terbuka dan menjadi bertambah dewasa?”

Sementara itu Cian Ping menjadi sangat gelisah. Ia tahu meskipun luka-luka Wi-hong sudah hampir sembuh, tapi racun yang masih ada bisa mempengaruhi luka-luka tersebut, dan badannya pun masih lemah. Jika Wi-hong sampai bertemu dengan Song Kim yang mendendam, atau bertemu Te-yong Tojin yang memang mengincar nyawa semua anggota keluarga Tong, maka dia kan mengalami kesulitan yang besar.

Cepat Cian Ping berlari menuju kandang kuda yang terletak di bagian belakang gedung Tiong-gi Piau-hang. Sesaat kemudian gadis itu telah memacu kudanya ke kota Tay-beng sambil tak lupa membawa senjata Hau-thau-kau-nya. Seperti gila ia mengelilingi kota Tay-beng beberapa putaran, bahkan dijelajahinya pula hutan-hutan cemara di luar kota, namun bayangan Tong Wi-hong tidak kelihatan.

Agaknya Tong Wi-hong sendiri sudah menduga bahwa kepergiannya tentu akan disusul, maka untuk menghindari penyusulan itu dia sengaja memilih jalan-jalan yang tidak wajar dan jarang dilalui orang. Ia mengambil jalan setapak di lereng-lereng bukit di sekitar kota Tay-beng, jalan yang tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda, itulah sebabnya Cian Ping tidak dapat menemukan jejaknya.

Sebenarnya Wi-hong sendiri merasakan bahwa keadaan tubuhnya belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, namun perasaan angkuhnya telah memaksanya untuk secepatnya meninggalkan rumah Cian Sin-wi. Sebagai seorang lelaki muda yang masih berdarah panas, apalagi juga keturunan keluarga persilatan yang terkenal, ia merasa tidak pantas terus-menerus hidup menumpang di rumah orang lain. Apalagi ia mempunyai perasaan bersalah bahwa kehadirannya di rumah itu ternyata telah menimbulkan keretakan hubungan keluarga.

Karena ia melewati jalan setapak yang sulit di tempuh, maka ia menjadi cepat lelah. Bahkan luka-luka lamanya pun mulai terasa mengganggu kembali, baik luka bekas pertempuran dengan para pembunuh bayaran, maupun luka beracun akibat ilmu Te-yong Tojin. Dadanya mulai terasa nyeri, kepalanya mulai pusing dan perutnya mulai mual serasa hendak muntah. Tapi dengan mengeraskan hati, ia tetap melangkah maju meski harus sambil berpegangan pada pepohonan di tepi jalan. Dia ingin mencari sebuah tempat yang sepi dan nyaman untuk beristirahat sambil menyembuhkan luka-lukanya.

Tengah ia melangkah sempoyongan setapak demi setapak, tiba-tiba tempat itu digetarkan oleh suara tertawa yang sangat menusuk telinga. Dari atas sebatang pohon, meluncur sesosok tubuh kurus memakai jubah imam berwarna hijau tua, tangan kirinya memegang sebuah hud-tim. Ternyata imam itu adalah Te-yong Tojin, si imam murtad yang tengah memburu sisa-sisa keluarga Tong untuk ditumpas habis sampai akar-akarnya. Melihat keadaan Wi-hong yang payah setengah mati, si imam tertawa terkekeh sambil mengejek,

“He-he-he... beberapa hari yang lalu kau nampak gagah perkasa mengeroyok aku bersama kedua temanmu, kenapa kini kau begitu mengenaskan keadaannya? Tapi aku berterima kasih kepadamu yang telah begitu sukarela menyerahkan diri setelah berhari-hari aku mencarimu di kota Tay-beng dengan sia-sia. Ha-ha- ha...”

Sejak bertemu Wi-hong beberapa hari lalu, Te-yong Tojin merasa belum puas sebelum berhasil membunuh anak Tong Tian satu ini. Namun dia agak gentar kepada nama besar Cian Sin-wi dan tidak mau menanam permusuhan dengan tokoh keras itu, sehingga dia tidak berani turun tangan kepada Wi-hong selama si pemuda berada dalam perlindungan Cian Sin-wi. Dengan sabar dia terus menunggu di sekitar kota Tay-beng, menanti kesempatan sampai Wi-hong berjalan seorang diri, dan sekarang kesempatan itu datang dan telah berada di depan matanya.

Bagi Tong Wi-hong, pertemuannya kali ini dengan imam jahat tersebut hanya punya satu arti, yaitu malapetaka besar telah menghadang di depan mata, bahkan mungkin ujung hidupnya telah tiba. Wi-hong tahu bahwa Cia To-bun sangat bernapsu untuk menumpas seluruh keturunan Kiang-se-tay-hiap Tong Tian, dan Te-yong Tojin adalah salah seorang dari kaki tangan Cia To-bun yang paling terpercaya.

Sebagai putera seorang pendekar, Wi-hong sama sekali tidak gentar mempertaruhkan jiwanya, namun dia menyesal bahwa dia harus mati sebelum sempat menunaikan kewajiban keluarga yang terbebankan di pundaknya. Dan Cia To-bun, musuh besar keluarganya masih ada di An- yang-shia sana, hidup dengan segala kesewenang-wenangannya.

Namun penyesalan selalu terlambat datangnya. Si algojo sudah ada di depan mata, jalan meloloskan diri sudah tidak ada. Akhirnya Wi-hong melolos pedangnya dan dilintangkan di depan dada, siap untuk bertempur sampai mati. Bentaknya sambil menggertakkan gigi, “Hidung kerbau busuk, minggir kau!”

“Ha-ha, benar-benar cukup garang dan tidak memalukan sebagai anak Kiang-se-tay-hiap. Tapi sayang, pemuda segagah kau tidak akan berumur panjang, sebentar lagi kau akan terkapar sebagai mayat di tempat ini tanpa diketahui seorangpun, dan badanmu akan menjadi santapan binatang-binatang liar. He-he-he...”

Dan si imam itu bukan hanya bicara saja tapi juga bertindak. Ia melangkah maju dan menendang secepat kilat. Tahu-tahu pedang di tangan Wi-hong telah terlepas dan terpental jauh. Dengan agak terkejut Wi-hong melangkah mundur, namun Te-yong Tojin terus memburunya, sebuah tendangan lagi bersarang di dada pemuda itu. Sebagai bekas murid Bu-tong-pay, si imam rupanya cukup menguasai Lian-hoan-tui (Ilmu Tendangan Berantai) yang terkenal sebagai salah satu kepandaian khas aliran Bu-tong-pay.

Wi-hong terpelanting ke belakang sambil mendekap dada, tiba-tiba mulutnya terbuka dan menyemburlah darah segar dari dalam rongga dadanya. Dengan penuh kemarahan ia menatap Te-yong Tojin, makinya dengan suara terputus-putus, “Imam iblis... dendam Tong Wi-hong kepadamu... tak... tercuci... a... air tujuh samude... ra. Dendam Sota-san--pay ju... juga akan sela... lu memburu... mu...”

Muka Te-yong Tojin agak terkejut mendengar sumpah serapah pemuda itu. Hebatlah akibat atas dirinya jika sampai seluruh perguruan Soat-san-pay memusuhinya. Ia teringat bagaimana Tong Tian, salah seorang murid Soat-san-pay saja sudah begitu susah dilayani. Seketika itu juga wajah Te-yong Tojin dilapisi hawa membunuh yang meluap-luap. Anak Tong Tian ini harus dibunuh dan kemudian dilenyapkan mayatnya hingga tak ada seorangpun yang tahu bagaimana nasibnya.

Sementara di dalam hati Wi-hong sendiri telah timbul tekad untuk mengadu jiwa, ingin mati bersama musuh keluarga ini. Dengan cerdik lalu ia pura-pura terkulai mati dan tidak bergerak-gerak lagi. Ia akan memancing supaya imam itu mendekatinya, lalu akan dipukulnya tempat yang mematikan agar mati bersama dirinya.

Sambil tertawa-tawa puas Te-yong Tojin melangkah mendekati tubuh Wi-hong yang dikiranya sudah pingsan. Tangan kanannya dari ujung jari sampai ke siku telah berubah warna menjadi biru pucat dan menyiarkan bau yang asam-asam pahit. Kiranya dia telah menyiapkan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang ampuh untuk menghabisi nyawa Wi-hong dalam sekali pukul.

Imam itu semakin dekat dan Wi-hong pun semakin tegang. Wi-hong sudah nekat, pukulan si imam tidak akan ditangkisnya tetapi akan di barenginya dengan pukulan sekuatnya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat (Jalan Darah Kematian) di dada si imam.

Namun sebelum imam itu sempat memukul, tiba-tiba terdengar suara rerumputan terinjak kaki. Te-yong Tojin terkejut sekali, cepat ia membalikkan badan dengan sikap bersiap sambil membentak, “Siapa?! Cepat keluar dari persembunyianmu!”

Wi-hong membuka matanya ingin melihat siapa yang datang. Dan pandangannya yang mulai kabur masih bisa melihat seorang lelaki setengah baya muncul dari balik sebuah pohon. Nampaknya ia sudah cukup lama bersembunyi di situ dan baru terpaksa keluar setelah dibentak oleh Te-yong Tojin. Begitu muncul, lelaki itu langsung memberi hormat kepada Te- yong Tojin dan memperkenalkan namanya,

“Aku yang rendah she Ting dan bernama Ciau-kun. Aku tidak sengaja lewat di tempat ini, maafkan jika telah mengganggu kesibukan To-tiang.”

Sedang bagi Wi-hong yang sudah dalam keadaan tiga perempat pingsan, suara Ting Ciau-kun bagaikan memberi kekuatan baru kepadanya. Dengan menahan rasa sakit dalam dadanya, ia berteriak memohon pertolongan, “Paman Ting, kiranya kau yang datang! Tolonglah aku karena imam bangsat ini hendak menganiayaku!”

Namun alangkah tidak mengertinya Wi-hong ketika mendengar jawaban si paman yang ternyata begitu tawar dan acuh tak acuh, “Oh, begitu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian ini, lalu aku harus berbuat bagaimana?”

Sementara itu Te-yong Tojin tertawa dingin, katanya dengan bengis kepada Ting Ciau-kun, “Jadi kau adalah paman dari anak ini. Kalau begitu, untuk menutupi rahasia kematiannya maka sebaiknya kaupun ikut kumampuskan sekalian!”

Sesuai dengan sikapnya yang berangasan dan kejam, Te-yong Tojin langsung bertindak. Ia melompat maju dan sebuah pukulan dahsyat ia luncurkan ke arah batok kepala Ting Ciau-kun. Rupanya imam ini tidak mau main untung-untungan, maka dalam gebrakan pertama saja ia langsung mengerahkan tenaga seluruhnya, makin cepat lawannya mampus, makin baik.

Ting Ciau-kun juga menyadari betapa hebatnya serangan si imam. Ia terkejut karena tidak disangka di hutan cemara ini akan menjumpai tokoh sehebat ini, namun dengan cepat ia pun memberi perlawanan. Sambil menggeser kakinya. Ia sekaligus mengeluarkan dua macam kepandaian yang diandalkannya.

Dengan tenaga pukulan Ngo-heng-ciang ia menyambut pukulan si imam secara keras lawan keras, sementara tangan lainnya dengan kekuatan Eng-jiau-kang mencoba untuk mencengkeram dan meremukkan persendian siku dari si imam. Demikianlah, serangan ganas dibalas dengan serangan ganas pula.

Ketika dua buah tangan yang berisi penuh tenaga itu beradu, terdengarlah suara seperti dua batang lempengan besi yang diadu. Ting Ciau-kun agak tergeliat pinggangnya dan kuda-kudanya tergempur sedikit, dengan demikian cengkeraman Eng-jiau-kang-nya pun tidak berhasil mencapai sasaran. Sedangkan Te-yong Tojin pun terhuyung mundur dua langkah dengan air muka menampakkan kekagetan. Sadarlah si imam bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang jago Nge-kang (Tenaga Keras) yang cukup tangguh.

Sementara itu Wi-hong menjadi tenteram hatinya setelah melihat pamannya telah bertempur dengan si imam jahat. Pikir Wi-hong, tentu sang paman membelanya dan tidak akan membiarkan dirinya dicelakai oleh si imam. Pada saat hatinya merasakan ketenangan demikian, sampai pula lah batas daya tahan tubuhnya. Pandangannya semakin kabur dan akhirnya ia pun kehilangan kesadarannya.

Dalam pada itu. Te-yong Tojin merasa menemukan seorang lawan yang kuat yang belum tentu dapat ia kalahkan. Dasar ia memang cukup licik, melihat gelagat demikian, ia pun berganti siasat. Sambil menjura ia berkata, “Maafkan pinto yang bermata buta sehingga tidak melihat gunung Tay-san melintang di depan mata. Ting Tay-hiap, kalau pinto tahu bahwa pemuda ini adalah keponakanmu, tentu aku tidak akan meladeninya berkelahi meskipun anak muda ini selalu bersikap kurang ajar kepadaku, bahkan pernah berusaha untuk membunuhku.”

Dalam hatinya Tiang Ciau-kun mentertawakan kelicikan si imam, namun pada mukanya justru menunjukkan sikap sungkan. Sahutnya, “Jangan totiang bersikap terlalu sungkan kepadaku. Sesungguhnya anak ini bukan keponakanku dalam arti yang sesungguhnya, ia hanya anak dari salah seorang kenalanku dan hubungannya denganku pun tidak terlalu akrab. Aku memang sedang mencari anak ini, dan he-he-he-he... barangkali totiang tidak menduganya, sebab akupun ingin membunuh anak ini.”

Ternyata Te-yong Tojin memang tidak menduga sama sekali akan pernyataan Ting Ciau-kun tersebut, maka untuk sesaat ia tercengang. Tanyanya, “Lho, apakah dosa dan kesalahan anak ini kepada si-cu sehingga si-cu sampai berniat membunuhnya?”

Ting Ciau-kun tidak menjawab pertanyaan tersebut, sudah jelas ia keberatan untuk memberikan alasan yang sebenarnya. Maka sekenanya ia menjawab, “Maaf, masalahnya hanya suatu urusan pribadi yang tidak patut diketahui oleh orang luar. Kebetulan totiang juga sedang hendak menghukumnya, maka biarlah aku mengalah dan memberi kesempatan kepada totiang untuk melampiaskan penasaran totiang.”

Rupanya Ting Ciau-kun selalu gelisah semenjak Wi-hong dan Wi-lian diculik oleh bayangan tinggi besar dari rumahnya. Meskipun ia tidak dapat melihat wajah si penculik, namun ia mempunyai dugaan kuat siapa penculik itu, yaitu tentu kakak angkatnya sendiri, Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Gila dari Siau-lim). Karena kegelisahannya itulah akhirnya dia meninggalkan rumahnya dan mengembara untuk menemukan jejak Wi-hong dan Wi-lian untuk dibunuhnya sekali supaya tidak menjadi bibit penyakit di kemudian hari.

Hari itu ditemuinya Te- yong Tojin yang sedang hendak membunuh Wi-hong, hal itu merupakan suatu kebetulan baginya maka dibiarkannya saja si imam yang melakukan pembunuhan. Ia malah berharap, ia dapat cuci tangan. Jika besok ada orang Soat-san-pay yang menanyakan kematian Wi-hong, maka dengan nudah ia akan langsung menunjuk Te-yong Tojin sebagai pembunuhnya, dan dirinya sendiri akan bebas dari tanggung jawab.

Tapi dalam hal kelicikan, ternyata kali ini Ting Ciau-kun menemui tandingannya. Te-yong Tojin tentu saja mengerti bahwa orang she Ting itu hendak membebankan seluruh tanggung jawab kepadanya, dan itu berarti permusuhan yang semakin mendalam antara dirinya dengan pihak perguruan Soat-san-pay. Maka dia pun berusaha mengelakkan tanggung jawab tersebut. Katanya sambil menyeringai licik,

“Setelah mengetahui bahwa anak ini ada persoalan dengan si-cu, mana berani pinto turun tangan melancangi? Bukankah ini sama saja dengan aku tidak menghormati si-cu? Si-cu, urusan pribadimu itu silahkan kau selesaikan dengan tanganmu sendiri, biarlah aku tidak ikut campur lagi.”

Begitulah, sungguh aneh dan lucunya kalau dua orang yang sama-sama licik bertemu. Masing-masing hanya ingin melihat hasil yang menguntungkan mereka, tetapi tentang tanggung jawab biarlah dibebankan kepada orang lain. Peribahasa mengatakan: hanya ingin nangkanya tetapi tidak ingin getahnya.

Keduanya sama-sama menginginkan kematian Wi-hong tapi juga sama-sama tidak ingin menanggung permusuhan dengan perguruan Soat-san-pay. Keduanya berusaha saling menjerumuskan dengan berbagai muslihat. Dan hasilnya?

Setelah saling berusaha menjerumuskan dan tidak berhasil, akhirnya keduanya sadar bahwa mereka menghadapi orang yang sama liciknya dengan diri mereka sendiri, dan persoalan siapa yang akan membunuh Wi-hong itu bakal tanpa penyelesaian sampai kapanpun.

Ting Ciau-kun akhirnya berkata, “Sudahlah, ternyata kepentingan kita berdua sama, yaitu kematian anak ini. Namun setiap perbuatan tentu ada akibatnya, dan karena kita sama-sama akan menikmati hasilnya, aku mengusulkan bagaimana kalau pekerjaan ini kita lakukan bersama-sama dan akibtanya pun akan kita tanggung bersama pula? Tentu saja kita akan saling berjanji untuk menutup rahasia kematiannya serapat mungkin.”

Si imam juga menyadari jika dia menolak usul ini maka keadaan akan berlarut-larut, dan entah kapan lagi akan dapat kesempatan sebaik itu untuk membunuh Wi-hong. Akhirnya dengan berlagak kesatria dia menyahut, “Baiklah, seorang lelaki jantan berani berbuat dan siap menanggung semua akibatnya. Ting si-cu, marilah kita bersumpah.”

Kedua orang itu segera saling menepukkan tangan tiga kali sebagai tanda sumpah mereka.

“Nah, sekarang kita akan turun tangan bersama-sama,” kata Ting Ciau-kun dengan lega. “Harap totiang akan memukul dengan sepenuh hati, aku sendiri akan berbuat serupa.”

Keduanya lalu mendekati tubuh Tong Wi-hong yang masih pingsan untuk melaksanakan niat jahat mereka. Sesaat lamanya mereka berdiri tenang untuk mengerahkan tenaga ke tangan mereka masing-masing. Tangan Te-yong Tojin dari ujung jari sampai ke siku telah berubah warna menjadi kebiru-biruan dan mengeluarkan bau yang asam pahit. Sedang lengan Ting Ciau-kun yang kekar itupun telah menyembulkan otot-ototnya karena iapun telah mengerahkan tenaga Ngo-heng-ciang sampai ke puncaknya.

Lalu keduanya serempak mengeluarkan bentakan keras dan serempak pula menghantamkan pukulan andalan masing-masing ke tubuh Wi-hong. Dua buah tangan maut dengan dua macam tenaga pembunuh yang berbeda tapi sama-sama ampuh, serentak meluncur ke tubuh anak muda yang tak berdaya itu.

Tetapi Wi-hong memang belum ditakdirkan mati semuda itu. Di saat sebelah kakinya sudah menginjak gerbang akhirat, mendadak terjadilah suatu perkembangan tak terduga yang menyelamatkan nyawanya dari kematian. Tiba-tiba saja terlihat Te-yong Tojin meraung kesakitan sambil melompat mundur, begitu pula Ting Ciau-kun yang menggeram kesakitan sambil memaki-maki.

Apa yang terjadi? Ternyata pada masing-masing telapak tangan kedua tokoh licik itu telah menancap sepotong ranting kecil yang lentur. Dan bukan cuma itu saja yang terjadi, sebab dari atas sebuah pohon ada segulung pukulan dahsyat menyambar yang membuat keduanya serempak terhuyung mundur. Biarpun Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun belum tergolong jago-jago sakti jaman itu, namun merekapun bukan jago-jago silat kelas kambing.

Maka penyerang yang berhasil menggagalkan serangan gabungan keduanya jelas bukan tokoh sembarangan. Hanya dengan sepotong ranting kecil yang lentur, ternyata orang itu berhasil melemparkan dan menembus telapak tangan keduanya, padahal telapak tangan keduanya sedang dalam keadaan penuh pengerahan tenaga dalam! Tokoh dunia persilatan yang dapat melakukan hal itu agaknya pada jaman itu dapat di dihitung dengan jari!

Ranting yang menancap di telapak tangan Ting Ciau-kun biarpun cukup nyeri tetapi hanya menimbulkan luka luar saja. Namun bagi Te-yong Tojin yang mempelajari ilmu beracun, maka ranting yang menancap di jalan darah Lau-kiong-hiat di tengah-tengah telapak tangan benar-benar menjadi malapetaka buatnya.

Jalan darah itu adalah kelemahan terbesar bagi orang-orang yang mempelajari ilmu beracun. Kini pukulan Tok-jan-jiu yang telah dilatihnya belasan tahun itu telah amblas dalam sekejap mata. Tidak mengherankan kalau si imam menjadi sedih dan murka luar biasa.

Ting Ciau-kun sambil memegangi tangan kanannya yang kesakitan berteriak marah, “Siapa yang telah mencari kematian dengan mencoba mencampuri urursan kami?! Hayo keluar!!”

Sebagai jawaban, dari atas sebuah pohon terdengar tawa dingin disertai ejekan, “He-he, Ting Ciau-kun, sudah lama aku mencium akan kebusukan hatimu, namun baru hari inilah kutemukan bukti yang tidak terbantah lagi!”

Suara itu adalah suara yang sangat dikenal oleh Ting Ciau-kun dan sekaligus yang paling ditakutinya. Begitu mendengar suara itu, semua sikap garangnya lenyap seperti awan tertiup angin. Suara itu baginya bagaikan suara malaikat pencabut nyawa.

Dari atas pohon melayanglah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap berkepala gundul dan berpakaian jubah paderi Buddha berwarna abu-abu yang sudah sangat lusuh, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu yang berwarna hitam legam. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio, tokoh yang paling ditakuti Ting Ciau-kun meskipun tokoh itu merupakan kakak angkatnya.

Gemetarlah Ting Ciau-kun melihat kemunculan Hong-koan Hwesio. Dengan suara gemetar ia mencoba menyapa, “Toa... toa-ko...”

Meskipun Hong-koan Hwesio bersifat gila-gilaan dan agak liar, tetapi dalam masalah memegang batas antara kebaikan dan kejahatan, dia benar-benar tegas dan tidak kenal ampun. Kepandaiannya sangat tinggi sebab ia memakai nama depan “Hong” yang berarti setingkat dengan ketua Siau-lim-pay yang sekarang. Dan di dalam kelenteng Siau-lim-si sendiri, tidak banyak hitungannya rahib yang memakai nama depan “Hong” ini. Inilah sebabnya Ting Ciau-kun yang licik tersebut sangat ketakutan kepadanya.

Rahib gila itu segera menatap Ting Ciau-kun dengan dingin, “Kau masih tidak merasa malu untuk memanggilku sebagai kakakmu? Sudah lama aku mencium kebusukanmu. Kau kira aku tidak melihat ketika kau bersekongkol dengan Thay-san-sam-long untuk mencegat Tong-loji (Tong si kedua, maksudnya mendiang Tong Tian) di luar kota Kiang-leng untuk merampas kitab miliknya? Dan kau kira aku juga tidak tahu ketika kau menggeledah barang-barang di kamar A-hong dan A-lian ketika kedua anak itu menginap di rumahmu? Hem, Ting Ciau-kun, serigala berbulu domba, apa jawabmu sekarang?”

Wajah Ting Ciau-kun menjadi merah padam dan pucat pasi bergantian. Ia mengenal Toako-nya ini berwatak sangat keras, ia insyaf bahwa Toako-nya tentu tidak akan memberi ampun kepadanya meskipun ia adalah saudara angkatnya. Akhirnya dengan nekat ia berseru kepada Te-yong Tojin, “Totiang, sesuai dengan janji kita, tanggung bersama-sama akibat perbuatan kita!”

Siau-lim-hong-ceng juga seorang yang berwatak keras, maka seruan Ting Ciau-kun itu semakin mengobarkan amarahnya. Karena marahnya, ia justru tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha! Kalian sampah-sampah dunia persilatan silahkan maju serempak supaya sekaligus dapat menghemat tenagaku untuk membersihkan bumi dari orang-orang semacam kalian! Hitung-hitung biarlah akupun membantu para hidung kerbau dari Bu-tong-pay membersihkan perguruannya dari murid-murid murtad!”

Te-yong Tojin sendiri memangn sedang dalam keadaan marah dan kecewa bercampur aduk sebab ilmu beracun Tok-jan-jiu-nya telah lenyap gara-gara rahib setengah waras ini. Maka ajakan Ting Ciau-kun untuk maju serempak tidak perlu diulang untuk kedua kalinya langsung mendapat sambutan si imam. Bahkan dia telah lebih dulu bertindak. Sambil menggeram marah, te-yong Tojin melecutkan hud-timnya ke wajah Hong-koan Hwesio dengan sekuat tenaga.

Biarpun tangan kanannya sudah lumpuh namun tangan kirinya masih cukup bertenaga dan berbahaya jika ia memainkan hud-timnya, apalagi ditambah dengan sepasang kakinya yang masih dapat bergerak dengan Lian-hoan-tui (Tendangan Berantai) yang tak kalah berbahayanya.

Ting Ciau-kun pun segera menyusul terjun ke gelanggang. Demikianlah, dua orang tokoh yang sama-sama terkenal dan memiliki kepandaian khas masing-masing, telah menggabungkan kekuatan mereka. Jarang tokoh dunia persilatan yang sanggup menghadapi gabungan kekuatan kedua tokoh tersebut.

Tetapi lawan mereka kali ini adalah Siau-lim-hong-ceng, seorang tokoh maha sakti yang terhitung dalam “Sepuluh orang terkuat di daratan Tiong-goan” saat itu, yang kepandaiannya sejajar dengan Guru Te-yong Tojin di Bu-tong-san. Maka gabungan Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun itu bagaikan gelombang yang membentur tembok baja.

Te-yong Tojin lalu mengeluarkan salah satu jurus simpanannya. Kebutan di tangan kiri menegak ke atas, dan bulu-bulu kebutan berubah menjadi kaku seperti kawat baja sehingga hud-tim itu berubah menjadi seperti sekuntum kembang raksasa. Gerakan itu indah, namanya pun juga indah, yaitu Lian-hoa-tiong-chun (teratai di musim semi). Tapi dibalik segala keindahan tersebut terkandung suatu serangan maut yang tiada taranya.

Bulu kebutan yang terpencar itu terbagi-bagi, ada yang menyerang jalan darah gi-bun-hit di tenggorokan, yau-im-hiat di belakang telinga, yang-pek-hiat di tengah-tengah batok kepala, dan tay- yang-hiat di pelipis. Agaknya si imam sesat itu sudah benar-benar marah sebab kakinya pun ikut menendang ke tempat yang mematikan di tubuh lawan.

Serangan maut itu masih diperberat pula oleh gempuran Ting Ciau-kun dari arah lain dengan sekaligus melancarkan cengkeraman Eng-jiau-kang dan hantaman Ngo-heng-ciang. Meskipun Hong-koan Hwesio tangguh, namun ia tidak berani meremehkan serangan-serangan kedua orang lawannya. Dengan lengan jubahnya yang lebar, dia mengebas ke atas.

Segulung tenaga yang kuat segera tercipta dan membuat bulu-bulu kebutan Te-yong Tojin buyar tanpa mengenai sasaran. Sementara tangan Hong-koan Hwesio yang lain menghantam ke depan dengan jurus Teng-san-gwa-hou (Mendaki Gunung Naik Harimau), salah satu jurus ampuh dari ilmu silat Siau-lim-lo-han-kun yang terkenal.

Terdengar suara berdebuk keras dua kali berturut-turut menyusul tubuh Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun yang jatuh bergulingan. Ternyata pukulan dahsyat Ting Ciau-kun secara telak telah berhasil mengenai pundak Hong-koan Hwesio, namun rahib itu telah membentengi diri dengan ilmu kebal Tiat-po-san (Ilmu Baju Besi) sehingga Ting Ciau-kun sendirilah yang roboh termakan tenaga pukulannya sendiri yang membalik.

Apa yang dialami Te-yong Tojin bahkan lebih berat dari teman komplotannya. Tendangan Lian-hoan-tiong-chunnya dengan telak menghajar perut sang rahib, namun ia sendiri yang jatuh terbanting dengan pergelangan kaki keseleo. Imam itu merasa tendangannya tidak mengenai tubuh manusia namun seakan-akan mengenai tembok baja yang kuat bukan main. Bukan itu saja nasib sialnya, pundaknya malah sempat terserempet oleh jotosan si rahib hingga tulang pundaknya patah seketika. Jelas penderitaan imam itu jauh lebih besar dari apa yang diderita rekannya.

Namun rupanya si imam sudah kalap dan tidak memperhatikan lagi mati-hidupnya sendiri. Dengan menggertak gigi menahan rasa sakit, ia kembali melabrak maju sambil menggerung seperti orang gila. Kebutan di tangan kirinya sibuk dengan gencar melakukan serangan- serangan hingga tidak menghiraukan pertahanan diri lagi.

Sebaliknya Ting Ciau-kun yang lebih licik dapat berpikir lebih tenang dibanding si imam. Melihat Te-yong Tojin menyerang Hong-koan Hwesio dengan sangat kalap, Ting Ciau-kun merasa itulah kesempatan bagus untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Secepat kilat ia melompat menjauhi gelanggang, membalik tubuh, dan sekuat tenaga melarikan diri ke dalam hutan cemara!

Te-yong Tojin sempat pula melihat kaburnya Ting Ciau-kun, orang yang baru saja saling menyatakan “setia kawan” dengan dirinya. Imam itu lantas berteriak dengan suara parau karena marahnya, “Bagus sekali bangsat she Ting! Menjadi setan pun akan tetap kuuber dirimu!”

Sebetulnya imam itu masih ingin memaki tapi ia tidak mendapat kesempatan lagi. Sebuah pukulan Poan-jiak-ciang telah mendarat dengan telak di dada Te-yong Tojin. Tubuh kurus imam itu terpental beberapa langkah surut bagaikan diseruduk kerbau raksasa, lalu terbanting dengan meyemburkan darah dari mulutnya. Imam itu masih mencoba menggeliat dan meronta dari cengkeraman maut, namun maut tetap saja menjemputnya tanpa kenal ampun.

Selesai membereskan Te-yong Tojin, si rahib angin-anginan itu masih belum merasa puas, ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk memburu ke arah larinya Ting Ciau-kun. Agaknya rahib itu masih tetap merasa penasaran sebelum berhasil membekuk adik angkatnya yang berhati khianat itu.

“Bangsat pengecut! Kabur ke ujung bumipun akan tetap kukejar dirimu!” suaranya yang penuh kemarahan itu mengguntur, menggetarkan hutan cemara di luar kota Tay-beng tersebut. Bagaikan seekor burung rajawali yang melayang di angkasa, Hong-koan Hwesio melompat dari pohon ke pohon dengan cepat sekali.

Waktu itu Ting Ciau-kun benar-benar dalam keadaan ketakutan setengah mati, dan ini menyebabkan tubuhnya seakan-akan mendapatkan tambahan tenaga entah dari mana datangnya. Ia tidak peduli lagi akan duri-duri dan ranting-ranting tajam yang menggores kulitnya dan merobek-robek pakaiannya, dipacunya sepasang kakinya untuk berlari secepat mungkin...
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 09

Perserikatan Naga Api Jilid 09

Karya : Stevanus S.P
BAGI CIAN SIN-WI, Song Kim lebih dari sekedar murid. Anak yatim piatu yang sudah dibesarkan dan dirawatnya sejak kecil itu hampir senilai dengan anak kandung sendiri. Cian Sin-wi tidak akan sampai hati melihat Song Kim patah harapan, dan bahkan bisa jadi akan patah pula semangatnya untuk menghadapi masa depannya sendiri.

Namun jika sudah sampai pada urusan cinta, Cian Sin-wi memang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa memaksa anak gadisnya sendiri untuk menghapus perasaan sukanya kepada Wi-hong. Pada akhirnya orang tua itu hanya bisa bertindak sebagai pengawas yang berdiri di luar gelanggang saja.

Dalam pada itu, di dalam kamarnya Tong Wi-hong sedang disuapi bubur hangat oleh Cian Ping bagai seekor anak kelinci yang tak berdaya. “Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?” tanya Cian Ping lembut dan penuh perhatian.

Wi-hong pura-pura menyeringai kesakitan dan mengeluh, “Sudah agak baik tapi kedua tanganku ini rasanya masih lumpuh tanpa kekuatan sama sekali.”

Suasana menjadi hening kembali sampai Wi-hong memecah kesunyian, katanya, “Adik Ping, setelah badanku sehat kembali dan tenagaku pulih, aku harus segera meninggalkan tempat ini. Dan aku tidak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat ini.”

Cian Ping tidak menyahut, namun tangan yang memegang mangkuk itu nampak sedikit bergetar. Dan Tong Wi-hong melanjutkan kata-katanya, “Aku sebenarnya sangat berat hati untuk meninggalkan kalian yang sangat berbudi kepadaku. Namun kuharap kalian juga maklum bahwa aku masih punya kewajiban keluarga yang sangat berat. Sakit hati keluargaku sama sekali belum terbalas, begitu pula nasib ibu dan kedua saudaraku pun belum kuketahui.”

Cian Ping berusaha menghiburnya, “Jangan terlalu membebani pikiranmu, itu akan merugikan kesehatanmu sendiri. Jika kau tidak menganggap kami sebagai orang luar, tolong beritahukan nama dan ciri-ciri kedua saudara dan ibumu itu, supaya kami dapat membantu melacak jejak mereka. Cabang-cabang Tiong-gi Piau-hang tersebar luas di seluruh kota-kota di utara Sungai Besar, anak buah ayahku pun menjelajahi hampir semua jalan-jalan raya yang ada di seluruh negeri. Kukira dengan cara demikian tidak sulit untuk segera menemukan jejak ibu dan kedua saudaramu. Sedangkan soal membalas sakit hati keluarga, aku menyediakan diri untuk ikut serta membasmi manusia durjana yang bernama Cia To-bun itu.”

Wi-hong menarik napas dalam-dalam, pandangannya menerawang keluar jendela, ke langit yang biru cerah di luar sana. Sahutnya, “Budi kalian kepadaku sudah setinggi gunung Tay-san dan sedalam lautan, terlalu berat bagiku untuk memikul budi sebesar ini. Masakan aku masih akan menambah beban di hatiku lagi?”

Cepat Cian Ping menggunakan telapak tangannya untuk menekap mulut Wi-hong. Dalam keadaan terpengaruh oleh perasaannya, Cian Ping kurang dapat mengendalikan diri, katanya polos, “Aku dan ayah sudah menganggapmu sebagai keluarga sendiri, kau jangan berbicara seperti kepada orang luar. Biar bagaimanapun, kami pun merasa wajib untuk membantumu.”

“Ke... keluarga sendiri?” tanya Wi-hong menegaskan dengan hati yang terasa hangat.

Muka Cian Ping yang jelita seketika menjadi merah padam setelah menyadari bahwa ia telah kelepasan bicara. Dengan agak tergagap ia berusaha menjelaskan, untuk menutupi rasa malunya, “Maksudku... a... ayah... sudah menganggapmu sebagai orang... orang Tiong-gi Piau-hang sendiri....”

Namun perasaan Wi-hong merasakan ada nada lain dalam ucapan si gadis. Tiba-tiba saja timbul keinginan pemuda itu untuk menjajaki isi hati gadis itu. Tanyanya sambil menahan tawa, “Barangkali ayahmu salah ucap, bukan orang Tiong-gi Piau-hang, tetapi orang keluarga Cian, betul tidak?”

Muka Cian Ping menjadi semakin merah, dan dalam pandangan Wi-hong menjadi semakin mempesona. Tangan si gadis yang sedang menyangga mangkuk bubur menjadi semakin gemetar. Sambil pura-pura jengkel ia menggerutu, “Uh, jangan punya pikiran yang bukan-bukan. Kau tahu apa?”

Tetapi Tong Wi-hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik tersebut untuk mengutarakan isi hatinya, meskipun dengan hati agak berdebar, katanya,”Tentunya ayahmu sangat senang jika aku menjadi menantunya bukan?”

Cian Ping semakin tersipu, tidak meng-iya-kan tapi juga tidak membantah. Dengan masih berpura-pura jengkel ia berkata, “Sudah jangan omong saja. Habiskan dulu buburnya.”

Sikap gadis yang demikian tersebut justru menambah keberanian Wi-hong. Ia mulai menanyakan sesuatu yang selama ini ia pendam dalam hatinya, “Adik Ping, sangat berat bagiku untuk meninggalkan engkau. Namun sebelum aku pergi, aku ingin mengetahui jawabanmu, maukah kelak kau.... hi.... hidup.... bersa.... ma dengan... a... aku?”

Meskipun Tong Wi-hong adalah seorang lelaki yang sudah cukup dewasa, namun sebelum ini dia belum pernah bergaul cukup akrab dengan seorang gadis pun. Kini, biarpun dia telah mengerahkan seluruh ketenangannya untuk mengungkapkan isi hatinya, tak urung suaranya terdengar gemetar dan mukanya pun menjadi merah.

Namun yang lebih gugup lagi adalah Cian Ping. Rasa bahagia yang meluap-luap menyesak di hatinya, ingin rasanya dia menjawab pertanyaan anak muda itu, namun bibirnya serasa terkunci sehingga tak sepatah katapun mampu terucap dari mulutnya. Akhirnya ia hanya mampu menggerakkan kepalanya untuk mengangguk, menyatakan persetujuan atas pernyataan cinta Wi-hong. Setelah itu, ia tidak berani lagi memandang ke arah anak muda itu.

Wi-hong menarik napas lega, dan lupalah dia akan tangannya yang masih “lumpuh”. Secepat kilat ia menangkap tangan si gadis dan menariknya mendekat, sekejap kemudian si gadis sudah berada dalam pelukannya. Kamar itu menjadi sunyi. Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari keduanya sebab mulut mereka sedang dipergunakan untuk “keperluan” lain.

Dalam kebisuan tersebut, dua hati muda telah berpadu dan menyatukan tekad untuk bersama-sama menempuh masa depan yang panjang. Sumpah setia dan segala macam janji indah tak perlu lagi diucapkan sebab hal itu hanya akan membuat terasa berlebihan. Dulu, ketika keluarga Tong masih utuh di An-yang-shia, Tong Wi-siang sering memanggil Wi-hong dengan sebutan “si banci”, sedang Wi-lian menjulukinya “si kutu buku”. Tetapi jika saja Wi-siang maupun Wi-lian saat ini melihat adegan dalam kamar tersebut, maka tidak mustahil mereka akan mencabut julukan-julukan yang telah mereka berikan kepada Wi-hong.

Namun, selain dua hati yang sedang berbahagia tersebut, masih ada sepotong hati yang semakin membara oleh dendam dan cemburu. Song Kim yang sejak tadi diam-diam bersembunyi di bawah jendela kamar, dapat mengikuti semua pembicaraan dan tingkah laku kedua muda-mudi tersebut. Dadanya serasa hampir meledak oleh berbagai macam perasaan yang berkecamuk. Bagaimana ia harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit ini? Berjiwa besar, bersikap kesatria, dan memberi selamat kepada saingan asmaranya, seperti yang sering diajarkan oleh gurunya?

Padahal ini merupakan persoalan masa depan yang menyangkut kebahagiaan yang sudah bertahun-tahun diimpikannya. Bagaimana persoalan tersebut bisa diselesaikan semudah ajaran gurunya? Demikian pikir Song Kim. Akhirnya pemuda tersebut menggertakkan gigi dan berusaha menguasai diri, di dalam hatinya sudah terbulatkan sebuah tekad untuk menyingkirkan perintang impiannya!

Dalam kemelut pikirannya yang semakin keruh, tiba-tiba dia teringat akan seorang kenalan. Seorang bekas pengawal Tiong-gi Piau-hang yang telah dipecat karena beberapa pertimbangan. Orang tersebut adalah seorang ahli dalam meramu berbagai macam racun, salah satu hasil karyanya yang paling dia banggakan adalah racun Ang-hong (Tawon Merah) yang jernih dan tidak berbau, seperti air saja. Dari situlah Song Kim berpikir, alangkah baiknya jika semangkuk Ang-hong diminumkan kepada Wi-hong.

Dengan tanpa membuang waktu lagi, ditambah dengan perasaan marah yang tak tertahankan serta keinginan untuk secepatnya membikin mampus orang yang dibencinya, siang itu juga Song Kim menemui bekas pengawal tersebut. Dengan imbalan beberapa tahil perak, Song Kim berhasil mendapatkan sebotol kecil Ang-hong, dan beberapa tahil lagi sebagai uang tutup mulut.

Sore hari itu, ketika Tong Wi-hong tengah duduk membaca buku di dalam kamarnya dengan perasaan lega, tiba-tiba masuklah Song Kim dengan muka yang berseri-seri. Wajahnya tidak lagi dingin, bahkan penuh sikap persahabatan, di tangannya tergenggam sebuah mangkuk obat, hal mana membuat Wi-hong cukup terheran-heran.

“Anak ini entah kesurupan malaikat kebajikan dari mana?” pikir Wi-hong tak habis mengerti.

Sementara itu Song Kim telah menyapanya dengan hangat, “Bagaimana keadaan kesehatanmu, Tong-heng (saudara Tong)? Aku mohon maaf sudah beberapa hari ini tidak sempat menjengukmu karena ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan atas perintah Suhu. Kini Tong-heng nampak bertambah sehat.”

Sikap Song Kim yang sama sekali di luar dugaan Wi-hong malahan membuatnya untuk sementara menjadi kebingungan dan tidak tahu harus bersikap bagaimana. Tetapi sebagai seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga kesatria persilatan, ia berwatak jujur, tidak ada sedikitpun dugaan jeleknya atas sikap aneh Song Kim tersebut. Bahkan diam-diam dia bersyukur dalam hatinya karena pemuda she Song itu tidak bersikap memusuhinya lagi. Sahutnya,

“Terima kasih atas perhatian Song-heng. Perawatan yang sangat baik dan sikap ramah dari seluruh kerabat Tiong-gi Piau-hang lah yang telah membuat aku cepat sembuh.”

Song Kim meletakkan mangkuk yang dibawanya ke dekat Wi-hong dengan gaya sewajar mungkin. Katanya, “Daya tahan tubuhmu benar-benar mengagumkan, Tong-heng. Aku yakin dalam waktu kurang dari lima hari lagi kau pasti sudah akan dapat bermain-main dengan pedangmu lagi. Tetapi menurut ucapan Suhu, racun pukulan imam jahat itu tidak boleh dianggap enteng, makanya Beliau menyuruhku untuk membawakan ramuan pembersih darah ini yang gunanya untuk membersihkan darahmu dari sisa-sisa racun jahat itu.”

Tong Wi-hong tertawa dengan sungkan sambil menyahut, “Wah, rupanya aku jadi sangat merepotkan seperti seorang bayi raksasa. Sudah tiga hari ini memang Cong-piau-thau hanya memberikan obat kuat saja. Barangkali memang penyakitku sudah tidak berbahaya lagi.”

Song Kim tertawa ramah, katanya, “Kekuatan tubuhmu yang luar biasa itu memang jarang ditemukan. Beruntun kau menderita luka berat, dan beruntun pula kau sembuh dengan cepat. Tapi minumlah obat ini. Semakin cepat kau sembuh, akan semakin melegakan kami.”

Tong Wi-hong memang masih hijau dalam pengalaman akan seluk-beluk kelicikan manusia, sehingga tak sedikitpun ia mencurigai Song Kim. Selain itu, Song Kim sendiri agaknya memang seorang seniman sandiwara yang berbakat, gayanya yang wajar dan sangat tenang tidak menimbulkan kecurigaan orang lain.

Maka Wi-hong segera mengangkat cawan tersebut dan membuka tutupnya, sejenak hidungnya mencium bau aneh yang tipis, tapi kemudian dengan tanpa curiga ia menempelkan bibir cawan ke mulutnya dan siap untuk menenggak isinya sampai habis.

Di saat nyawa pemuda itu seakan sudah bertamasya di depan gerbang akhirat, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara-suara langkah kaki mendekati kamar. Seketika muka Song Kim agak berubah. Hebatlah akibatnya jika perbuatannya mencoba meracuni Wi-hong sampai diketahui oleh gurunya, tapi jika mencegah Wi-hong menenggak isi cawan tersebut, tentu akan menimbulkan kecurigaan pemuda itu.

Tengah ia kebingungan, pintu terdorong dari luar. Dan masuklah Cian Sin-wi dengan gagahnya. Sore itu ia memakai jubah panjang dari bahan kain ringan, sikapnya segar dan santai. Ia semakin gembira ketika melihat Tong Wi-hong dan Song Kim nampak begitu rukun.

Sementara itu Tong Wi-hong telah batal menenggak isis cawan karena melihat kedatangan Cian Sin-wi. “Berkat perawatan paman dan budi paman yang besar maka aku merasa sudah sembuh,” kata Wi-hong sambil bangkit dan memberi hormat. “Semua obat pemberian paman ternyata sangat manjur. Sore inipun aku merasa sangat bersyukur karena paman berkenan menyuruh Song-heng untuk mengirim obat pembersih darah untukku.”

“Habislah sekarang riwayatku!” keluh Song Kim di dalam hatinya. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri yang terlalu terburu-buru ingin meracun Wi-hong sehingga kurang cermat dalam memperhitungkan waktu.

Sementara itu Cian Sin-wi sendiri pun nampak tercengang heran mendengar ucapan Wi-hong tadi. “Menyuruh Song Kim untuk mengirim obat?” tanyanya sambil melirik kearah muridnya yang terlihat seakan sedang berusaha menyembunyikan kegelisahan.

Sekilas naluri pendekar tua ini merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri muridnya. Pendekar ini sudah banyak pengalaman untuk merangkai dan menyimpulkan berbagai persoalan bagaimanapun peliknya. Ia tahu bagaimana perkembangan hubungan segitiga antara Cian Ping, Tong Wi-hong, dan Song Kim. Dan ia tahu pula masing-masing sifat dari ketiga orang muda yang terlibat dalam cinta segitiga tersebut.

Sinar mata Cian Sin-wi setajam pisau menyambar ke arah Song Kim, membayangkan tuntutan sekaligus kekecewaannya. Suaranya berat dan terdengar agak bergetar, “Kim-ji, benarkah yang kau bawakan itu adalah obat pembersih darah atas suruhanku?”

Song Kim menundukkan kepalanya karena tidak tahan menghadapi tatapan gurunya. Ia tidak segera menjawab, ia bingung harus membohong ataukah harus berterus terang. Di bawah tatapan mata gurunya yang sangat berwibawa itu, Song Kim yakin bahwa ia tidak akan mampu merangkai cerita dusta yang masuk akal. Bahkan jika dustanya ketahuan maka hukumannya akan menjadi sangat berat. Paling ringan ia akan dicacatkan pundaknya sehingga tenaganya musnah, hukuman itu adalah hukuman yang paling menyakitkan hati bagi para penggemar ilmu silat.

Cian Sin-wi semakin habis kesabarannya melihat muridnya nampak begitu gugup dan tidak segera menjawab. Cepat ia merebut mangkuk dari tangan Wi-hong dan diangsurkan kepada Song Kim sambil berkata, “Kim-ji, jika aku menyuruhmu untuk meminum isi mangkuk ini, kau akan menolak atau menerima?!”

Muka Song Kim menjadi semakin pucat. Tiba-tiba teringatlah dia akan salah satu kelemahan gurunya, yaitu sangat menghargai orang yang bersikap jantan dan jujur, sehingga pernah tertipu oleh orang yang berlagak jujur. Jika ia mampu mengelabuhi gurunya saat itu, maka ia yakin hukumannya akan diperingan, mungkin hanya akan dirangket seratus kali.

Seketika Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. Katanya dengan suara tergagap, “Suhu, terus terang saja, yang hendak kuminumkan kepada Tong-heng itu adalah racun Ang-hong yang sangat keras. Suhu tentu sangat mengutuk perbuatanku ini, namun semua ini nekat ku lakukan hanya karena aku ingin mewujudkan impian untuk hidup berdampingan bersama su-moay. Suhu, aku memang sangat berdosa, hukuman matipun tidak akan kutolak.”

Mangkuk yang terpegang di tangan Cian Sin-wi pecah berhamburan berikut isinya di atas lantai. Muka pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu mendadak nampak begitu muram dan sedih. Nampak sekali betapa kecewa hatinya karena murid yang dia sayangi ternyata dapat melakukan perbuatan serendah itu.

Sementara itu Tong Wi-hong hanya membungkam saja dan tidak ikut dalam pembicaraan tersebut. Dia marah kepada Song Kim yang telah berusaha membunuhnya dengan cara pengecut, tetapi sekaligus iba kepadanya. Karena Wi-hong merasa bahwa dirinya lah yang telah menghancurkan impian Song Kim. Kini Tong Wi-hong hanya membisu, membiarkan guru dan murid itu menyelesaikan urusan mereka sendiri.

Pengakuan Song Kim yang terdengar jujur dan jantan itu memang berhasil mempengaruhi sikap Cian Sin-wi. Cian Sin-wi tidak tahu sama sekali bahwa sikap muridnya itu cuma sandiwara dengan tujuan mecari keringanan hukuman. Bahkan Song Kim dalam hatinya sedang mengutuki gurunya sendiri,

“Meskipun setan tua ini pernah mendidik dan merawatku sejak kecil, tetapi apa gunanya kalau hanya ingin mematahkan harapan dan cita-citaku? Hidup tanpa harapan justru lebih buruk dari kematian. Dan setan tua she Cian ini ikut memikul tanggung jawab atas musnahnya harapanku. Jika ia tidak membawa bocah she Tong itu ke tempat ini, maka kepahitan ini tidak akan terjadi atas diriku. Tetapi sekarang, persetan dengan semuanya! Terkutuklah semuanya!”

Sementara Cian Sin-wi sendiri dengan susah payah berusaha mengatasi kepedihan perasaannya yang terasa menyengat hati. Song Kim yang disayang bagaikan anak laki-lakinya sendiri ternyata benar-benar telah mengecewakan hatinya. Dia mungkin tidak akan begitu sedih seandainya Song Kim menantang duel Tong Wi-hong untuk memperebutkan Cian Ping, misalnya. Tapi percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan cara sangat hina, dengan racun, itu hampir-hampir tidak bisa dipercayainya. Tapi itu kenyataan.

Untunglah, pengakuan “jantan” Song Kim cukup menghibur Cian Sin-wi. Pikirnya, “Ternyata anak ini belum terlalu bejat dan masih punya sifat kesatria meskipun agaknya hampir luntur. Namun hukuman yang setimpal baginya harus tetap dijatuhkan. Kalau tidak begitu, orang luar akan menuduhku hanya bertindak keras kepada orang lain, tapi tidak berani bertindak keras terhadap anggota keluarga sendiri yang bersalah.”

Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi mencekam, hanya terdengar desahan napas berat dari ketiga lelaki yang tengah dilanda gejolak perasaan masing-masing. Tong Wi-hong merasa dirinya menjadi penyebab semua kejadian tidak enak itu. Sedangkan Song Kim dengan tegang menantikan hukuman apakah yang akan dijatuhkan oleh gurunya atas dirinya.

Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar langkah-langkah ringan dari luar disusul dengan terdorongnya pintu dari luar. Lalu Cian Ping masuk dengan muka yang berseri-seri, tangannya membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkuk bubur dan beberapa macam sayuran. Namun begitu menemukan suasana yang kaku di dalam kamar tersebut, langkahnya merandek dan tertahan, mukanya menampakkan keheranan.

Dilihatnya suhengnya sedang berlutut di depan ayahnya dengan muka yang tertunduk dalam-dalam. Sedang wajah ayahnya biarpun nampak tenang tapi jelas tidak sedang bergembira, bahkan samar-samar nampak adanya kedukaan dan kemarahan. Ketika lalu menoleh ke arah Wi-hong, maka nampak anak muda itu tertunduk saja, sama sekali tidak memperhatikan dirinya. Gadis itu menjadi bingung melihat suasana seaneh dan sekaku itu.

“Song Kim,” tiba-tiba suara Cian Sin-wi memecah kesunyian.

“Murid siap menerima hukuman,” sahut Song Kim bergetar.

Lebih dulu Cian Sin-wi menghembuskan napas panjang beberapa kali seakan ingin dilontarkannya semua kekisruhan perasaan hatinya jauh-jauh. Suaranya kemudian menjadi sangat tenang tetapi tetap tegas dan tidak terbantah,

“Kau adalah muridku selama bertahun-tahun, bahkan aku sudah menaruh harapan besar kepadamu untuk kelak meneruskan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini. Kau bertahun-tahun hidup bersamaku dan kau tahu pula bagaimana sifat tabiatku. Oleh golongan hitam aku sangat dibenci karena sikap kerasku kepada mereka. Tapi oleh kaum pendekar pun aku tidak diterima sepenuhnya karena aku dianggap terlalu keras dan tidak kenal ampun terhadap penjahat. Song Kim, sifat kerasku terhadap kejahatan itu tidak pernah menjadi lunak, dan demi Thian, tidak akan pernah menjadi lunak. Hanya dengan demikianlah maka Tiong-gi Piau-hang dapat dipertahankan selama puluhan tahun oleh kakekku dan ayahku, dan selamanya akan tetap demikian. Dengan sikap tangan besi terhadap kaum penjahatlah maka Tiong-gi Piau-hang menjadi besar dan jaya seperti sekarang. Karena alasan-alasan itu, dalam persoalan apapun aku tidak akan pernah bergeser dari pendirianku ini. Song Kim, perbuatanmu yang sangat licik dengan mencoba meracuni Wi-hong itu jelas sangat tercela dan tidak pantas dilakukan oleh seorang anggota Tiong-gi Piau-hang. Dengan kesalahan ini sebenarnya sudah cukup adil untuk mencacatkan pundakmu dan memusnahkan tenagamu. Tapi mengingat hubungan kita selama belasan tahun, dan juga mengingat bahwa kau masih punya sifat-sifat kesatria dengan mengakui kesalahanmu, aku memperingan hukumanmu. Siapkah kau menerimanya, Song Kim?”

Dengan sikap sebaik mungkin, Song Kim menyahut, “Aku siap.” Sedang di dalam hatinya dia tertawa karena merasa bahwa siasatnya untuk memperlunak hati gurunya telah berhasil. Pikirnya, “Paling-paling aku akan dihukum rangket seratus kali, atau disuruh mengirim barang ke tempat yang jauh, seperti hukuman yang sudah-sudah.”

Terdengar Cian Sin-wi menarik napas. Meskipun hatinya merasa berat, namun dijatuhkan juga hukumannya, “Song Kim, semua pelajaran ilmu silatku sudah tuntas kau terima. Sudah saatnya kau meninggalkan tempat ini untuk mengembangkan sendiri ilmu silatmu dan mengangkat nama di dunia persilatan.”

Bagaikan halilintar meledak di tepi telinganya ketika Song Kim mendengar keputusan hukuman terhadap dirinya. Tepatnya dia diusir! Baginya, hukuman ini terasa jauh lebih berat dan lebih menyakitkan daripada hukuman badan lainnya. Hukuman pengusiran itu baginya hanya setingkat di bawah hukuman pemusnahan ilmu silat.

Di usir dari rumah gurunya, berarti hukuman itu akan terasa seumur hidup, dia akan sangat menderita batin karena harus berpisah dengan Cian Ping tanpa batas waktu yang pasti. Song Kim, anak muda yang perkasa itu, tiba-tiba mencium lantai dan terdengar suaranya meratap parau,

“Suhu, a... aku...” Hampir saja ia meminta ampun, namun karena merasa malu kepada Wi-hong, akhirnya ucapan yang sudah hampir meluncur dari biirnya itupun ditelannya kembali.

Cian Sin-wi menarik napas, katanya berat, “Apa boleh buat, muridku. Akupun merasa berat. Tetapi aku tidak ingin menerima tuduhan bahwa aku hanya berani bertindak keras kepada orang lain tetapi tidak berani bertindak keras untuk membersihkan rumah tangga sendiri.”

Tidak ada jalan lain lagi. Song Kim tahu betul watak gurunya, apa yang diucapkan oleh gurunya tidak mungkin dijilatnya kembali. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Song Kim memberi hormat sekali lagi kepada gurunya, lalu melangkah keluar sambil menggertakkan gigi. Sebelum meninggalkan kamar itu, ia masih sempat memandang ke arah Wi-hong dengan pandangan yang memancarkan dendam berapi-api.

Cian Ping yang sedari tadi tidak bersuara itu pun akhirnya dapat menyimpulkan apa gerangan yang terjadi setelah mendengar ucapan-ucapan ayahnya. Ternyata suhengnya telah berusaha membunuh Wi-hong karena tidak dapat menahan perasaan cemburunya, bahkan cara yang digunakannya cukup keji. Untung hal itu tidak sampai terjadi. Betapapun juga hubungan Cian Ping dan Song Kim sudah cukup lama, maka kepergian Song Kim tersebut cukup membuat gadis itu termangu juga.

Dengan langkah gontai Cian Sin-wi meninggalkan kamar Wi-hong yang baru saja menjadi ruang “pengadilan” bagi muridnya. Setelah berada di dalam kamarnya sendiri dan merasa tidak ada seorangpun yang melihat dirinya, diam-diam Cian Sin-wi yang keras hati itu mengusap dua titik air mata yang mengembun di sudut matanya.

Bagi Song Kim sendiri, rumah Cian Sin-wi itu kini terasa bagaikan neraka yang tidak tertahankan lagi panasnya. Meskipun saat itu hari sudah menjelang malam, namun Song Kim tidak ingin menunda kepergiannya sedetikpun. Ia langsung membenahi barang-barangnya dan malam itu juga ia meninggalkan gedung Tiong-gi Piau-hang, bahkan meninggalkan Tay-beng, dilangkahkannya saja kakinya tanpa tujuan tertentu. Sambil melangkahkan kaki semakin jauh, ia berkata dalam hatinya,

“Aku memang seorang anak yatim piatu yang melarat, tetapi akupun tidak pernah mengemis untuk minta dipelihara oleh Cian Sin-wi. Dan si tua she Cian itu meskipun telah menanam budi besar kepadaku, tapi juga telah menghancurkan masa depanku. Jadi impaslah semua kebaikannya selama ini kepadaku.”

Kepedihan hati yang berlebihan itu akhirnya merasuk hatinya dan berubah menjadi dendam kesumat yang membakar jantungnya. Tekadnya, “Aku, suatu ketika akan kembali, dan mereka semua akan berlutut menyembahku dan mencium kakiku!”

* * * * * * *

Pagi itu, seperti biasanya Cian Ping membawa sebuah nampan berisi mangkuk bubur dan sayur-sayuran ke kamar Wi-hong. Meskipun peristiwa Song Kim berusaha meracuni Wi-hong baru terjadi kemarin, tapi keriangan gadis itu sudah pulih seluruhnya. Kepergian Song Kim juga tidak terlalu merisaukan hatinya meskipun ada juga perasaan sedih. Tapi perasaan Cian Ping terhadap kakak seperguruannya itu memang tidak terlalu baik, bahkan kadang-kadang terasa Song Kim sangat menjemukan.

Tetapi ketika gadis itu tiba di kamar Wi-hong, alangkah kaget dan sedihnya setelah melihat kamar tersebut dalam keadaan kosong. Tempat tidur dan selimut masih dalam keadaan rapi, menandakan tidak pernah ditiduri. Hanya terdapat secarik kertas di dekat bantal. Cian Ping cepat meraih kertas tersebut dan membacanya dengan muka pucat dan bibir gemetar.

“Ditujukan kepada paman Cian dan adik Ping yang berbudi. Aku si durhaka ini mohon maaf bahwa malam ini telah meninggalkan tempat ini tanpa pamitan kepada kalian. Aku juga mohon maaf bahwa kehadiranku di tempat ini ternyata hanya menimbulkan kekisruhan dan perpecahan antar anggota keluarga yang tadinya hidup rukun. Budi kalian yang seberat gunung, aku tidak mampu menanggungnya lagi. Selamat tinggal.”
Dari orang pembawa celaka, Tong Wi-hong.


Nampan ditangan Cian Ping seketika jatuh berantakan, mangkuknya pun hancur semua. Sesaat gadis itu berdiri termangu seperti orang linglung. Kemudian sambil menahan tangisnya, gadis itu berlari-lari mencari ayahnya sambil membawa surat tersebut.

Cian Sin-wi mengerutkan keningnya setelah membaca pesan Tong Wi-hong tersebut. Meskipun hatinya tidak setuju dengan sikap Wi-hong, namun diapun dapat memaklumi perasaan yang bergolak di dalam hati anak muda tersebut. Wi-hong tentu merasa tidak enak karena seolah-olah kehadirannya membawa perpecahan antara guru dan murid, serta antara kakak dan adik seperguruan. Akhirnya pendekar tua yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan cuma dapat menarik napas panjang sambil mendesah,

“Ah, anak-anak muda yang keras hati itu memang susah diurus. Kapankah pikiran mereka akan terbuka dan menjadi bertambah dewasa?”

Sementara itu Cian Ping menjadi sangat gelisah. Ia tahu meskipun luka-luka Wi-hong sudah hampir sembuh, tapi racun yang masih ada bisa mempengaruhi luka-luka tersebut, dan badannya pun masih lemah. Jika Wi-hong sampai bertemu dengan Song Kim yang mendendam, atau bertemu Te-yong Tojin yang memang mengincar nyawa semua anggota keluarga Tong, maka dia kan mengalami kesulitan yang besar.

Cepat Cian Ping berlari menuju kandang kuda yang terletak di bagian belakang gedung Tiong-gi Piau-hang. Sesaat kemudian gadis itu telah memacu kudanya ke kota Tay-beng sambil tak lupa membawa senjata Hau-thau-kau-nya. Seperti gila ia mengelilingi kota Tay-beng beberapa putaran, bahkan dijelajahinya pula hutan-hutan cemara di luar kota, namun bayangan Tong Wi-hong tidak kelihatan.

Agaknya Tong Wi-hong sendiri sudah menduga bahwa kepergiannya tentu akan disusul, maka untuk menghindari penyusulan itu dia sengaja memilih jalan-jalan yang tidak wajar dan jarang dilalui orang. Ia mengambil jalan setapak di lereng-lereng bukit di sekitar kota Tay-beng, jalan yang tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda, itulah sebabnya Cian Ping tidak dapat menemukan jejaknya.

Sebenarnya Wi-hong sendiri merasakan bahwa keadaan tubuhnya belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, namun perasaan angkuhnya telah memaksanya untuk secepatnya meninggalkan rumah Cian Sin-wi. Sebagai seorang lelaki muda yang masih berdarah panas, apalagi juga keturunan keluarga persilatan yang terkenal, ia merasa tidak pantas terus-menerus hidup menumpang di rumah orang lain. Apalagi ia mempunyai perasaan bersalah bahwa kehadirannya di rumah itu ternyata telah menimbulkan keretakan hubungan keluarga.

Karena ia melewati jalan setapak yang sulit di tempuh, maka ia menjadi cepat lelah. Bahkan luka-luka lamanya pun mulai terasa mengganggu kembali, baik luka bekas pertempuran dengan para pembunuh bayaran, maupun luka beracun akibat ilmu Te-yong Tojin. Dadanya mulai terasa nyeri, kepalanya mulai pusing dan perutnya mulai mual serasa hendak muntah. Tapi dengan mengeraskan hati, ia tetap melangkah maju meski harus sambil berpegangan pada pepohonan di tepi jalan. Dia ingin mencari sebuah tempat yang sepi dan nyaman untuk beristirahat sambil menyembuhkan luka-lukanya.

Tengah ia melangkah sempoyongan setapak demi setapak, tiba-tiba tempat itu digetarkan oleh suara tertawa yang sangat menusuk telinga. Dari atas sebatang pohon, meluncur sesosok tubuh kurus memakai jubah imam berwarna hijau tua, tangan kirinya memegang sebuah hud-tim. Ternyata imam itu adalah Te-yong Tojin, si imam murtad yang tengah memburu sisa-sisa keluarga Tong untuk ditumpas habis sampai akar-akarnya. Melihat keadaan Wi-hong yang payah setengah mati, si imam tertawa terkekeh sambil mengejek,

“He-he-he... beberapa hari yang lalu kau nampak gagah perkasa mengeroyok aku bersama kedua temanmu, kenapa kini kau begitu mengenaskan keadaannya? Tapi aku berterima kasih kepadamu yang telah begitu sukarela menyerahkan diri setelah berhari-hari aku mencarimu di kota Tay-beng dengan sia-sia. Ha-ha- ha...”

Sejak bertemu Wi-hong beberapa hari lalu, Te-yong Tojin merasa belum puas sebelum berhasil membunuh anak Tong Tian satu ini. Namun dia agak gentar kepada nama besar Cian Sin-wi dan tidak mau menanam permusuhan dengan tokoh keras itu, sehingga dia tidak berani turun tangan kepada Wi-hong selama si pemuda berada dalam perlindungan Cian Sin-wi. Dengan sabar dia terus menunggu di sekitar kota Tay-beng, menanti kesempatan sampai Wi-hong berjalan seorang diri, dan sekarang kesempatan itu datang dan telah berada di depan matanya.

Bagi Tong Wi-hong, pertemuannya kali ini dengan imam jahat tersebut hanya punya satu arti, yaitu malapetaka besar telah menghadang di depan mata, bahkan mungkin ujung hidupnya telah tiba. Wi-hong tahu bahwa Cia To-bun sangat bernapsu untuk menumpas seluruh keturunan Kiang-se-tay-hiap Tong Tian, dan Te-yong Tojin adalah salah seorang dari kaki tangan Cia To-bun yang paling terpercaya.

Sebagai putera seorang pendekar, Wi-hong sama sekali tidak gentar mempertaruhkan jiwanya, namun dia menyesal bahwa dia harus mati sebelum sempat menunaikan kewajiban keluarga yang terbebankan di pundaknya. Dan Cia To-bun, musuh besar keluarganya masih ada di An- yang-shia sana, hidup dengan segala kesewenang-wenangannya.

Namun penyesalan selalu terlambat datangnya. Si algojo sudah ada di depan mata, jalan meloloskan diri sudah tidak ada. Akhirnya Wi-hong melolos pedangnya dan dilintangkan di depan dada, siap untuk bertempur sampai mati. Bentaknya sambil menggertakkan gigi, “Hidung kerbau busuk, minggir kau!”

“Ha-ha, benar-benar cukup garang dan tidak memalukan sebagai anak Kiang-se-tay-hiap. Tapi sayang, pemuda segagah kau tidak akan berumur panjang, sebentar lagi kau akan terkapar sebagai mayat di tempat ini tanpa diketahui seorangpun, dan badanmu akan menjadi santapan binatang-binatang liar. He-he-he...”

Dan si imam itu bukan hanya bicara saja tapi juga bertindak. Ia melangkah maju dan menendang secepat kilat. Tahu-tahu pedang di tangan Wi-hong telah terlepas dan terpental jauh. Dengan agak terkejut Wi-hong melangkah mundur, namun Te-yong Tojin terus memburunya, sebuah tendangan lagi bersarang di dada pemuda itu. Sebagai bekas murid Bu-tong-pay, si imam rupanya cukup menguasai Lian-hoan-tui (Ilmu Tendangan Berantai) yang terkenal sebagai salah satu kepandaian khas aliran Bu-tong-pay.

Wi-hong terpelanting ke belakang sambil mendekap dada, tiba-tiba mulutnya terbuka dan menyemburlah darah segar dari dalam rongga dadanya. Dengan penuh kemarahan ia menatap Te-yong Tojin, makinya dengan suara terputus-putus, “Imam iblis... dendam Tong Wi-hong kepadamu... tak... tercuci... a... air tujuh samude... ra. Dendam Sota-san--pay ju... juga akan sela... lu memburu... mu...”

Muka Te-yong Tojin agak terkejut mendengar sumpah serapah pemuda itu. Hebatlah akibat atas dirinya jika sampai seluruh perguruan Soat-san-pay memusuhinya. Ia teringat bagaimana Tong Tian, salah seorang murid Soat-san-pay saja sudah begitu susah dilayani. Seketika itu juga wajah Te-yong Tojin dilapisi hawa membunuh yang meluap-luap. Anak Tong Tian ini harus dibunuh dan kemudian dilenyapkan mayatnya hingga tak ada seorangpun yang tahu bagaimana nasibnya.

Sementara di dalam hati Wi-hong sendiri telah timbul tekad untuk mengadu jiwa, ingin mati bersama musuh keluarga ini. Dengan cerdik lalu ia pura-pura terkulai mati dan tidak bergerak-gerak lagi. Ia akan memancing supaya imam itu mendekatinya, lalu akan dipukulnya tempat yang mematikan agar mati bersama dirinya.

Sambil tertawa-tawa puas Te-yong Tojin melangkah mendekati tubuh Wi-hong yang dikiranya sudah pingsan. Tangan kanannya dari ujung jari sampai ke siku telah berubah warna menjadi biru pucat dan menyiarkan bau yang asam-asam pahit. Kiranya dia telah menyiapkan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang ampuh untuk menghabisi nyawa Wi-hong dalam sekali pukul.

Imam itu semakin dekat dan Wi-hong pun semakin tegang. Wi-hong sudah nekat, pukulan si imam tidak akan ditangkisnya tetapi akan di barenginya dengan pukulan sekuatnya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat (Jalan Darah Kematian) di dada si imam.

Namun sebelum imam itu sempat memukul, tiba-tiba terdengar suara rerumputan terinjak kaki. Te-yong Tojin terkejut sekali, cepat ia membalikkan badan dengan sikap bersiap sambil membentak, “Siapa?! Cepat keluar dari persembunyianmu!”

Wi-hong membuka matanya ingin melihat siapa yang datang. Dan pandangannya yang mulai kabur masih bisa melihat seorang lelaki setengah baya muncul dari balik sebuah pohon. Nampaknya ia sudah cukup lama bersembunyi di situ dan baru terpaksa keluar setelah dibentak oleh Te-yong Tojin. Begitu muncul, lelaki itu langsung memberi hormat kepada Te- yong Tojin dan memperkenalkan namanya,

“Aku yang rendah she Ting dan bernama Ciau-kun. Aku tidak sengaja lewat di tempat ini, maafkan jika telah mengganggu kesibukan To-tiang.”

Sedang bagi Wi-hong yang sudah dalam keadaan tiga perempat pingsan, suara Ting Ciau-kun bagaikan memberi kekuatan baru kepadanya. Dengan menahan rasa sakit dalam dadanya, ia berteriak memohon pertolongan, “Paman Ting, kiranya kau yang datang! Tolonglah aku karena imam bangsat ini hendak menganiayaku!”

Namun alangkah tidak mengertinya Wi-hong ketika mendengar jawaban si paman yang ternyata begitu tawar dan acuh tak acuh, “Oh, begitu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian ini, lalu aku harus berbuat bagaimana?”

Sementara itu Te-yong Tojin tertawa dingin, katanya dengan bengis kepada Ting Ciau-kun, “Jadi kau adalah paman dari anak ini. Kalau begitu, untuk menutupi rahasia kematiannya maka sebaiknya kaupun ikut kumampuskan sekalian!”

Sesuai dengan sikapnya yang berangasan dan kejam, Te-yong Tojin langsung bertindak. Ia melompat maju dan sebuah pukulan dahsyat ia luncurkan ke arah batok kepala Ting Ciau-kun. Rupanya imam ini tidak mau main untung-untungan, maka dalam gebrakan pertama saja ia langsung mengerahkan tenaga seluruhnya, makin cepat lawannya mampus, makin baik.

Ting Ciau-kun juga menyadari betapa hebatnya serangan si imam. Ia terkejut karena tidak disangka di hutan cemara ini akan menjumpai tokoh sehebat ini, namun dengan cepat ia pun memberi perlawanan. Sambil menggeser kakinya. Ia sekaligus mengeluarkan dua macam kepandaian yang diandalkannya.

Dengan tenaga pukulan Ngo-heng-ciang ia menyambut pukulan si imam secara keras lawan keras, sementara tangan lainnya dengan kekuatan Eng-jiau-kang mencoba untuk mencengkeram dan meremukkan persendian siku dari si imam. Demikianlah, serangan ganas dibalas dengan serangan ganas pula.

Ketika dua buah tangan yang berisi penuh tenaga itu beradu, terdengarlah suara seperti dua batang lempengan besi yang diadu. Ting Ciau-kun agak tergeliat pinggangnya dan kuda-kudanya tergempur sedikit, dengan demikian cengkeraman Eng-jiau-kang-nya pun tidak berhasil mencapai sasaran. Sedangkan Te-yong Tojin pun terhuyung mundur dua langkah dengan air muka menampakkan kekagetan. Sadarlah si imam bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang jago Nge-kang (Tenaga Keras) yang cukup tangguh.

Sementara itu Wi-hong menjadi tenteram hatinya setelah melihat pamannya telah bertempur dengan si imam jahat. Pikir Wi-hong, tentu sang paman membelanya dan tidak akan membiarkan dirinya dicelakai oleh si imam. Pada saat hatinya merasakan ketenangan demikian, sampai pula lah batas daya tahan tubuhnya. Pandangannya semakin kabur dan akhirnya ia pun kehilangan kesadarannya.

Dalam pada itu. Te-yong Tojin merasa menemukan seorang lawan yang kuat yang belum tentu dapat ia kalahkan. Dasar ia memang cukup licik, melihat gelagat demikian, ia pun berganti siasat. Sambil menjura ia berkata, “Maafkan pinto yang bermata buta sehingga tidak melihat gunung Tay-san melintang di depan mata. Ting Tay-hiap, kalau pinto tahu bahwa pemuda ini adalah keponakanmu, tentu aku tidak akan meladeninya berkelahi meskipun anak muda ini selalu bersikap kurang ajar kepadaku, bahkan pernah berusaha untuk membunuhku.”

Dalam hatinya Tiang Ciau-kun mentertawakan kelicikan si imam, namun pada mukanya justru menunjukkan sikap sungkan. Sahutnya, “Jangan totiang bersikap terlalu sungkan kepadaku. Sesungguhnya anak ini bukan keponakanku dalam arti yang sesungguhnya, ia hanya anak dari salah seorang kenalanku dan hubungannya denganku pun tidak terlalu akrab. Aku memang sedang mencari anak ini, dan he-he-he-he... barangkali totiang tidak menduganya, sebab akupun ingin membunuh anak ini.”

Ternyata Te-yong Tojin memang tidak menduga sama sekali akan pernyataan Ting Ciau-kun tersebut, maka untuk sesaat ia tercengang. Tanyanya, “Lho, apakah dosa dan kesalahan anak ini kepada si-cu sehingga si-cu sampai berniat membunuhnya?”

Ting Ciau-kun tidak menjawab pertanyaan tersebut, sudah jelas ia keberatan untuk memberikan alasan yang sebenarnya. Maka sekenanya ia menjawab, “Maaf, masalahnya hanya suatu urusan pribadi yang tidak patut diketahui oleh orang luar. Kebetulan totiang juga sedang hendak menghukumnya, maka biarlah aku mengalah dan memberi kesempatan kepada totiang untuk melampiaskan penasaran totiang.”

Rupanya Ting Ciau-kun selalu gelisah semenjak Wi-hong dan Wi-lian diculik oleh bayangan tinggi besar dari rumahnya. Meskipun ia tidak dapat melihat wajah si penculik, namun ia mempunyai dugaan kuat siapa penculik itu, yaitu tentu kakak angkatnya sendiri, Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Gila dari Siau-lim). Karena kegelisahannya itulah akhirnya dia meninggalkan rumahnya dan mengembara untuk menemukan jejak Wi-hong dan Wi-lian untuk dibunuhnya sekali supaya tidak menjadi bibit penyakit di kemudian hari.

Hari itu ditemuinya Te- yong Tojin yang sedang hendak membunuh Wi-hong, hal itu merupakan suatu kebetulan baginya maka dibiarkannya saja si imam yang melakukan pembunuhan. Ia malah berharap, ia dapat cuci tangan. Jika besok ada orang Soat-san-pay yang menanyakan kematian Wi-hong, maka dengan nudah ia akan langsung menunjuk Te-yong Tojin sebagai pembunuhnya, dan dirinya sendiri akan bebas dari tanggung jawab.

Tapi dalam hal kelicikan, ternyata kali ini Ting Ciau-kun menemui tandingannya. Te-yong Tojin tentu saja mengerti bahwa orang she Ting itu hendak membebankan seluruh tanggung jawab kepadanya, dan itu berarti permusuhan yang semakin mendalam antara dirinya dengan pihak perguruan Soat-san-pay. Maka dia pun berusaha mengelakkan tanggung jawab tersebut. Katanya sambil menyeringai licik,

“Setelah mengetahui bahwa anak ini ada persoalan dengan si-cu, mana berani pinto turun tangan melancangi? Bukankah ini sama saja dengan aku tidak menghormati si-cu? Si-cu, urusan pribadimu itu silahkan kau selesaikan dengan tanganmu sendiri, biarlah aku tidak ikut campur lagi.”

Begitulah, sungguh aneh dan lucunya kalau dua orang yang sama-sama licik bertemu. Masing-masing hanya ingin melihat hasil yang menguntungkan mereka, tetapi tentang tanggung jawab biarlah dibebankan kepada orang lain. Peribahasa mengatakan: hanya ingin nangkanya tetapi tidak ingin getahnya.

Keduanya sama-sama menginginkan kematian Wi-hong tapi juga sama-sama tidak ingin menanggung permusuhan dengan perguruan Soat-san-pay. Keduanya berusaha saling menjerumuskan dengan berbagai muslihat. Dan hasilnya?

Setelah saling berusaha menjerumuskan dan tidak berhasil, akhirnya keduanya sadar bahwa mereka menghadapi orang yang sama liciknya dengan diri mereka sendiri, dan persoalan siapa yang akan membunuh Wi-hong itu bakal tanpa penyelesaian sampai kapanpun.

Ting Ciau-kun akhirnya berkata, “Sudahlah, ternyata kepentingan kita berdua sama, yaitu kematian anak ini. Namun setiap perbuatan tentu ada akibatnya, dan karena kita sama-sama akan menikmati hasilnya, aku mengusulkan bagaimana kalau pekerjaan ini kita lakukan bersama-sama dan akibtanya pun akan kita tanggung bersama pula? Tentu saja kita akan saling berjanji untuk menutup rahasia kematiannya serapat mungkin.”

Si imam juga menyadari jika dia menolak usul ini maka keadaan akan berlarut-larut, dan entah kapan lagi akan dapat kesempatan sebaik itu untuk membunuh Wi-hong. Akhirnya dengan berlagak kesatria dia menyahut, “Baiklah, seorang lelaki jantan berani berbuat dan siap menanggung semua akibatnya. Ting si-cu, marilah kita bersumpah.”

Kedua orang itu segera saling menepukkan tangan tiga kali sebagai tanda sumpah mereka.

“Nah, sekarang kita akan turun tangan bersama-sama,” kata Ting Ciau-kun dengan lega. “Harap totiang akan memukul dengan sepenuh hati, aku sendiri akan berbuat serupa.”

Keduanya lalu mendekati tubuh Tong Wi-hong yang masih pingsan untuk melaksanakan niat jahat mereka. Sesaat lamanya mereka berdiri tenang untuk mengerahkan tenaga ke tangan mereka masing-masing. Tangan Te-yong Tojin dari ujung jari sampai ke siku telah berubah warna menjadi kebiru-biruan dan mengeluarkan bau yang asam pahit. Sedang lengan Ting Ciau-kun yang kekar itupun telah menyembulkan otot-ototnya karena iapun telah mengerahkan tenaga Ngo-heng-ciang sampai ke puncaknya.

Lalu keduanya serempak mengeluarkan bentakan keras dan serempak pula menghantamkan pukulan andalan masing-masing ke tubuh Wi-hong. Dua buah tangan maut dengan dua macam tenaga pembunuh yang berbeda tapi sama-sama ampuh, serentak meluncur ke tubuh anak muda yang tak berdaya itu.

Tetapi Wi-hong memang belum ditakdirkan mati semuda itu. Di saat sebelah kakinya sudah menginjak gerbang akhirat, mendadak terjadilah suatu perkembangan tak terduga yang menyelamatkan nyawanya dari kematian. Tiba-tiba saja terlihat Te-yong Tojin meraung kesakitan sambil melompat mundur, begitu pula Ting Ciau-kun yang menggeram kesakitan sambil memaki-maki.

Apa yang terjadi? Ternyata pada masing-masing telapak tangan kedua tokoh licik itu telah menancap sepotong ranting kecil yang lentur. Dan bukan cuma itu saja yang terjadi, sebab dari atas sebuah pohon ada segulung pukulan dahsyat menyambar yang membuat keduanya serempak terhuyung mundur. Biarpun Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun belum tergolong jago-jago sakti jaman itu, namun merekapun bukan jago-jago silat kelas kambing.

Maka penyerang yang berhasil menggagalkan serangan gabungan keduanya jelas bukan tokoh sembarangan. Hanya dengan sepotong ranting kecil yang lentur, ternyata orang itu berhasil melemparkan dan menembus telapak tangan keduanya, padahal telapak tangan keduanya sedang dalam keadaan penuh pengerahan tenaga dalam! Tokoh dunia persilatan yang dapat melakukan hal itu agaknya pada jaman itu dapat di dihitung dengan jari!

Ranting yang menancap di telapak tangan Ting Ciau-kun biarpun cukup nyeri tetapi hanya menimbulkan luka luar saja. Namun bagi Te-yong Tojin yang mempelajari ilmu beracun, maka ranting yang menancap di jalan darah Lau-kiong-hiat di tengah-tengah telapak tangan benar-benar menjadi malapetaka buatnya.

Jalan darah itu adalah kelemahan terbesar bagi orang-orang yang mempelajari ilmu beracun. Kini pukulan Tok-jan-jiu yang telah dilatihnya belasan tahun itu telah amblas dalam sekejap mata. Tidak mengherankan kalau si imam menjadi sedih dan murka luar biasa.

Ting Ciau-kun sambil memegangi tangan kanannya yang kesakitan berteriak marah, “Siapa yang telah mencari kematian dengan mencoba mencampuri urursan kami?! Hayo keluar!!”

Sebagai jawaban, dari atas sebuah pohon terdengar tawa dingin disertai ejekan, “He-he, Ting Ciau-kun, sudah lama aku mencium akan kebusukan hatimu, namun baru hari inilah kutemukan bukti yang tidak terbantah lagi!”

Suara itu adalah suara yang sangat dikenal oleh Ting Ciau-kun dan sekaligus yang paling ditakutinya. Begitu mendengar suara itu, semua sikap garangnya lenyap seperti awan tertiup angin. Suara itu baginya bagaikan suara malaikat pencabut nyawa.

Dari atas pohon melayanglah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap berkepala gundul dan berpakaian jubah paderi Buddha berwarna abu-abu yang sudah sangat lusuh, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu yang berwarna hitam legam. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng Hong-koan Hwesio, tokoh yang paling ditakuti Ting Ciau-kun meskipun tokoh itu merupakan kakak angkatnya.

Gemetarlah Ting Ciau-kun melihat kemunculan Hong-koan Hwesio. Dengan suara gemetar ia mencoba menyapa, “Toa... toa-ko...”

Meskipun Hong-koan Hwesio bersifat gila-gilaan dan agak liar, tetapi dalam masalah memegang batas antara kebaikan dan kejahatan, dia benar-benar tegas dan tidak kenal ampun. Kepandaiannya sangat tinggi sebab ia memakai nama depan “Hong” yang berarti setingkat dengan ketua Siau-lim-pay yang sekarang. Dan di dalam kelenteng Siau-lim-si sendiri, tidak banyak hitungannya rahib yang memakai nama depan “Hong” ini. Inilah sebabnya Ting Ciau-kun yang licik tersebut sangat ketakutan kepadanya.

Rahib gila itu segera menatap Ting Ciau-kun dengan dingin, “Kau masih tidak merasa malu untuk memanggilku sebagai kakakmu? Sudah lama aku mencium kebusukanmu. Kau kira aku tidak melihat ketika kau bersekongkol dengan Thay-san-sam-long untuk mencegat Tong-loji (Tong si kedua, maksudnya mendiang Tong Tian) di luar kota Kiang-leng untuk merampas kitab miliknya? Dan kau kira aku juga tidak tahu ketika kau menggeledah barang-barang di kamar A-hong dan A-lian ketika kedua anak itu menginap di rumahmu? Hem, Ting Ciau-kun, serigala berbulu domba, apa jawabmu sekarang?”

Wajah Ting Ciau-kun menjadi merah padam dan pucat pasi bergantian. Ia mengenal Toako-nya ini berwatak sangat keras, ia insyaf bahwa Toako-nya tentu tidak akan memberi ampun kepadanya meskipun ia adalah saudara angkatnya. Akhirnya dengan nekat ia berseru kepada Te-yong Tojin, “Totiang, sesuai dengan janji kita, tanggung bersama-sama akibat perbuatan kita!”

Siau-lim-hong-ceng juga seorang yang berwatak keras, maka seruan Ting Ciau-kun itu semakin mengobarkan amarahnya. Karena marahnya, ia justru tertawa terbahak-bahak, “Ha-ha-ha! Kalian sampah-sampah dunia persilatan silahkan maju serempak supaya sekaligus dapat menghemat tenagaku untuk membersihkan bumi dari orang-orang semacam kalian! Hitung-hitung biarlah akupun membantu para hidung kerbau dari Bu-tong-pay membersihkan perguruannya dari murid-murid murtad!”

Te-yong Tojin sendiri memangn sedang dalam keadaan marah dan kecewa bercampur aduk sebab ilmu beracun Tok-jan-jiu-nya telah lenyap gara-gara rahib setengah waras ini. Maka ajakan Ting Ciau-kun untuk maju serempak tidak perlu diulang untuk kedua kalinya langsung mendapat sambutan si imam. Bahkan dia telah lebih dulu bertindak. Sambil menggeram marah, te-yong Tojin melecutkan hud-timnya ke wajah Hong-koan Hwesio dengan sekuat tenaga.

Biarpun tangan kanannya sudah lumpuh namun tangan kirinya masih cukup bertenaga dan berbahaya jika ia memainkan hud-timnya, apalagi ditambah dengan sepasang kakinya yang masih dapat bergerak dengan Lian-hoan-tui (Tendangan Berantai) yang tak kalah berbahayanya.

Ting Ciau-kun pun segera menyusul terjun ke gelanggang. Demikianlah, dua orang tokoh yang sama-sama terkenal dan memiliki kepandaian khas masing-masing, telah menggabungkan kekuatan mereka. Jarang tokoh dunia persilatan yang sanggup menghadapi gabungan kekuatan kedua tokoh tersebut.

Tetapi lawan mereka kali ini adalah Siau-lim-hong-ceng, seorang tokoh maha sakti yang terhitung dalam “Sepuluh orang terkuat di daratan Tiong-goan” saat itu, yang kepandaiannya sejajar dengan Guru Te-yong Tojin di Bu-tong-san. Maka gabungan Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun itu bagaikan gelombang yang membentur tembok baja.

Te-yong Tojin lalu mengeluarkan salah satu jurus simpanannya. Kebutan di tangan kiri menegak ke atas, dan bulu-bulu kebutan berubah menjadi kaku seperti kawat baja sehingga hud-tim itu berubah menjadi seperti sekuntum kembang raksasa. Gerakan itu indah, namanya pun juga indah, yaitu Lian-hoa-tiong-chun (teratai di musim semi). Tapi dibalik segala keindahan tersebut terkandung suatu serangan maut yang tiada taranya.

Bulu kebutan yang terpencar itu terbagi-bagi, ada yang menyerang jalan darah gi-bun-hit di tenggorokan, yau-im-hiat di belakang telinga, yang-pek-hiat di tengah-tengah batok kepala, dan tay- yang-hiat di pelipis. Agaknya si imam sesat itu sudah benar-benar marah sebab kakinya pun ikut menendang ke tempat yang mematikan di tubuh lawan.

Serangan maut itu masih diperberat pula oleh gempuran Ting Ciau-kun dari arah lain dengan sekaligus melancarkan cengkeraman Eng-jiau-kang dan hantaman Ngo-heng-ciang. Meskipun Hong-koan Hwesio tangguh, namun ia tidak berani meremehkan serangan-serangan kedua orang lawannya. Dengan lengan jubahnya yang lebar, dia mengebas ke atas.

Segulung tenaga yang kuat segera tercipta dan membuat bulu-bulu kebutan Te-yong Tojin buyar tanpa mengenai sasaran. Sementara tangan Hong-koan Hwesio yang lain menghantam ke depan dengan jurus Teng-san-gwa-hou (Mendaki Gunung Naik Harimau), salah satu jurus ampuh dari ilmu silat Siau-lim-lo-han-kun yang terkenal.

Terdengar suara berdebuk keras dua kali berturut-turut menyusul tubuh Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun yang jatuh bergulingan. Ternyata pukulan dahsyat Ting Ciau-kun secara telak telah berhasil mengenai pundak Hong-koan Hwesio, namun rahib itu telah membentengi diri dengan ilmu kebal Tiat-po-san (Ilmu Baju Besi) sehingga Ting Ciau-kun sendirilah yang roboh termakan tenaga pukulannya sendiri yang membalik.

Apa yang dialami Te-yong Tojin bahkan lebih berat dari teman komplotannya. Tendangan Lian-hoan-tiong-chunnya dengan telak menghajar perut sang rahib, namun ia sendiri yang jatuh terbanting dengan pergelangan kaki keseleo. Imam itu merasa tendangannya tidak mengenai tubuh manusia namun seakan-akan mengenai tembok baja yang kuat bukan main. Bukan itu saja nasib sialnya, pundaknya malah sempat terserempet oleh jotosan si rahib hingga tulang pundaknya patah seketika. Jelas penderitaan imam itu jauh lebih besar dari apa yang diderita rekannya.

Namun rupanya si imam sudah kalap dan tidak memperhatikan lagi mati-hidupnya sendiri. Dengan menggertak gigi menahan rasa sakit, ia kembali melabrak maju sambil menggerung seperti orang gila. Kebutan di tangan kirinya sibuk dengan gencar melakukan serangan- serangan hingga tidak menghiraukan pertahanan diri lagi.

Sebaliknya Ting Ciau-kun yang lebih licik dapat berpikir lebih tenang dibanding si imam. Melihat Te-yong Tojin menyerang Hong-koan Hwesio dengan sangat kalap, Ting Ciau-kun merasa itulah kesempatan bagus untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Secepat kilat ia melompat menjauhi gelanggang, membalik tubuh, dan sekuat tenaga melarikan diri ke dalam hutan cemara!

Te-yong Tojin sempat pula melihat kaburnya Ting Ciau-kun, orang yang baru saja saling menyatakan “setia kawan” dengan dirinya. Imam itu lantas berteriak dengan suara parau karena marahnya, “Bagus sekali bangsat she Ting! Menjadi setan pun akan tetap kuuber dirimu!”

Sebetulnya imam itu masih ingin memaki tapi ia tidak mendapat kesempatan lagi. Sebuah pukulan Poan-jiak-ciang telah mendarat dengan telak di dada Te-yong Tojin. Tubuh kurus imam itu terpental beberapa langkah surut bagaikan diseruduk kerbau raksasa, lalu terbanting dengan meyemburkan darah dari mulutnya. Imam itu masih mencoba menggeliat dan meronta dari cengkeraman maut, namun maut tetap saja menjemputnya tanpa kenal ampun.

Selesai membereskan Te-yong Tojin, si rahib angin-anginan itu masih belum merasa puas, ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk memburu ke arah larinya Ting Ciau-kun. Agaknya rahib itu masih tetap merasa penasaran sebelum berhasil membekuk adik angkatnya yang berhati khianat itu.

“Bangsat pengecut! Kabur ke ujung bumipun akan tetap kukejar dirimu!” suaranya yang penuh kemarahan itu mengguntur, menggetarkan hutan cemara di luar kota Tay-beng tersebut. Bagaikan seekor burung rajawali yang melayang di angkasa, Hong-koan Hwesio melompat dari pohon ke pohon dengan cepat sekali.

Waktu itu Ting Ciau-kun benar-benar dalam keadaan ketakutan setengah mati, dan ini menyebabkan tubuhnya seakan-akan mendapatkan tambahan tenaga entah dari mana datangnya. Ia tidak peduli lagi akan duri-duri dan ranting-ranting tajam yang menggores kulitnya dan merobek-robek pakaiannya, dipacunya sepasang kakinya untuk berlari secepat mungkin...
Selanjutnya;