Perserikatan Naga Api Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 07

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
SEDANGKAN Tan Goan-ciau adalah yang paling tua diantara keempat orang sisa gerombolan. Ia lebih tua dua tahun dari Wi-siang dan merupakan “penasehat perang”nya Wi-siang. Ia bekas penjudi ulung di An-yang-shia. Ia tidak punya sanak keluarga seorangpun di An-yang-shia, karenanya maka hatinya tidak serisau ketiga temannya sebab di An-yang-shia tiada apapun yang membebani hatinya.

Saat itu mentari sudah mulai condong ke arah barat. Tetapi keempat anak muda itu tidak ingin beristirahat di dalam kota Kiang-leng yang sudah nampak di depan mata. Mereka tidak berani istirahat dalam kota. Mereka lebih suka memilih sebuah bukit terpencil yang ditumbuhi semak belukar di luar kota Kiang-leng sebagai tempat peristirahatan mereka.

Tong Wi-siang yang sedang menderita kelelahan lahir-batin itupun langsung terlelap begitu membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Dalam tidurnya dia bermimpi melihat sebuah pantai laut yang gelombangnya bergelora hebat, lalu samar-samar terlihatlah sesosok tubuh berdiri di pinggir laut dan menghadap ke arah laut. Tong Wi-siang kaget setelah mengetahui bahwa orang yang berdiri di pinggir laut itu adalah ibunya!

Sedang di tengah ombak nampak dua orang yang sedang timbul- tenggelam dipermainkan ombak. Kedua tangan mereka mengapai-gapai seakan meminta pertolongan, tetapi justru terseret ombak semakin jauh ketengah laut. Hati Wi-siang bagai tenggelam ketika melihat bahwa kedua orang yang dipermainkan ombak itu ternyata adalah kedua orang adiknya! Nampak ibunya berseru-seru sambil menangis di pinggir pantai.

Dalam mimpi itu, Wi-siang berusaha untuk berlari mendekati sang ibu namun kakinya bagaikan terpaku di tanah sehingga tidak berhasil maju selangkahpun. Ia ingin berteriak memanggil ibunya, tetapi tidak ada suara yang keluar sedikitpun meski mulutnya sudah ternganga lebar. Wi-siang semakin gugup.

Tiba-tiba dilihatnya ayahnya muncul di depannya dengan sekujur tubuh berlumuran darah. Sang ayah melotot kepadanya dengan telunjuk menuding ke arahnya. Berbagai macam perasaan bergelut di hatinya, rasa takut, menyesal, terharu, rindu, putus asa, dan sebagainya. Tanpa dia sadari, dia mulai berteriak-teriak dalam tidurnya.

“Ampuni aku, ayah! Ibu! Ampuni anakmu yang tidak berbakti dan menjadi sumber malapetaka ini! A-hong! A-lian! Adikku!” teriak Wi-siang dalam tidurnya sambil meronta-ronta.

“A-siang! A-siang!” terdengar sebuah suara memanggil-manggil namanya.

Wi-siang jadi semakin keras meronta dan berteriak. Suara yang memangginya itu bagai suara ayahnya yang muncul dari liang kubur untuk memarahinya dan mengutuknya. Napasnya menjadi sesak karena takutnya. Terasa tubuhnya diguncang-guncang oleh seseorang, dan ketika dengan susah payah ia berhasil membuka mata, ternyata bahwa yang memanggil dan mengguncang tubuhnya adalah Lim Hong-pin.

“A-siang, kau mengigau,” kata Hong-pin.

Wi-siang tidak menyahut. Dihirupnya udara malam yang dingin segar untuk menenangkan diri. Setelah dirasa tenang barulah ia memaksakan diri untuk pura-pura tertawa sambil menyahut, “Tidak apa-apa, aku hanya mimpi buruk. Tidurlah kalian, perjalanan kita masih sangat jauh dan membutuhkan istirahat yang cukup.”

Ketiga orang kawannya tidak bertanya-tanya pula, mereka segera berbaring di tempatnya masing-masing. Namun malam terlalu gelap untuk dapat melihat apakah mereka benar-benar memejamkan mata atau tidak. Sedang Tong Wi-siang justru semakin tidak dapat memejamkan matanya, bahan ia lalu bangkit dan duduk memeluk lutut. Hatinya risau bukan main. Tiba-tiba saja matanya menjadi panas dan basah, meskipun ia mencoba menguatkan hati, namun akhirnya dua butir air mata meluncur turun juga.

“Kau menangis, A-siang?” tiba-tiba Lim Hong-pin bersuara. Ternyata anak muda she Lim itupun sukar untuk tidur dan kebetulan ia bisa melihat kilauan air mata mengalir turun dari pelupuk mata Wi-siang. Karena Wi-siang tidak menjawab pertanyaannya, Lim Hong-pin kemudian berkata lagi denag nada mengandung teguran, “Kau selalu mengatakan kepada kami bahwa kita harus menatap ke depan dengan berani. Karena itu jangan menangis seperti perempuan.”

Tiba-tiba kepala Lim Hong-pin bagai terputar ke samping dengan kerasnya, karena lengan Wi-siang telah terayun dan menampar pipinya dengan keras. Hong-pin terkejut karena tidak mengira bahwa sahabat baiknya sejak kanak-kanak itu akan tega menamparnya. Ia justru menjadi kebingungan dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Di saat itulah terdengar suara Wi-siang dengan nada berat, “Aku tahu bahwa kau adalah sahabatku yang baik, Hong-pin. Aku juga tahu kesetiaan dan keberanianmu dalam terhadap kelompok ini sebab aku telah bertempur bersamamu puluhan kali. Tapi hati-hatilah dengan mulutmu. Aku berharap kelak kau akan tetap menjadi pendampingku dan sahabatku yang terbaik.”

“Maafkan ucapanku tadi, A-siang,” kata Lim Hong-pin.

Tong Wi-siang menarik napas. Lalu sambil menepuk pundak Lim Hong-pin dia berkata, “Akupun minta maaf karena menamparmu. Sesungguhnya aku memang menangis, tapi bukan karena cengeng dan ketakutan. Aku tidak gentar menanggung semua akibat perbuatanku sendiri. Tetapi aku sangat menyesal bahwa kebengalanku ternyata telah mencelakakan pula ayahku, ibuku, dan kedua adikku. Aku harus berbuat sesuatu yang besar untuk menebus kesalahan yang maha besar ini.”

Keempat orang sahabat itu kemudian terdiam. Ternyata Tan Goan-ciau dan Siangkoan Hong pun sedang sukar tidur. Kemudian terdengar suara Siangkoan Hong,

“Semuanya sudah terlanjur, A-siang. Akupun menyesal tetapi sudah tidak ada gunanya lagi. Aku tidak tahu saat ini ayahku berada di mana dan bagaimana nasibnya. Tidak ada jalan lain, kita harus melangkah ke depan dengan berani. Saat ini memang kita adalah buronan-buronan hina, tercampak ke sana ke mari. Tapi aku ingin bahwa suatu saat nanti, kitalah yang akan menjadi pemburunya.”

“Betul,” potong Lim Hong-pin cepat. “Rasanya api dendam yang menyala dalam dadaku ini harus mendapat pelampiasan yang setimpal di kemudian hari.”

Sahut Tong Wi-siang, “Terima kasih sahabat-sahabatku, kalian seakan sedang mengambil sebagian beban perasaanku dan kalian pikulkan kepada diri kalian sendiri. Namun aku tetap merasa bahwa kesalahan terbesar tetap ada pada diriku. Jika aku sebagai pemimpin kalian waktu itu tidak terbujuk oleh Thio Hong untuk membunuh rombongan pejabat dari Pak-khia itu, tentu keadaan kita tidak seburuk seperti saat ini. Diburu dan terpisah dari keluarga. Betapapun juga aku harus minta maaf kepada kalian.”

“Sudahlah,” kata Siangkoan Hong sambil mengibaskan tangan. “Waktu terjadinya peristiwa itu kita semua melakukannya dengan sadar, tidak ada seorangpun yang berhak memindahkan tanggung jawabnya kepada orang lain. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya.”

“Tidak ada jalan mudur lagi buat kita,” kata Wi-siang. Sikapnya pulih kembali sebagai sikap seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang garang. Katanya lagi, “Tetapi sebaiknya kita merubah cara bertindak kita supaya jumlah kita tidak berkurang lagi. Sudah cukup banyak jumlah teman kita yang gugur.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba sebuah senyuman penuh arti tersembul di bibir Wi-siang. Katanya, “Aku punya sebuah rencana yang besok akan kuberitahukan kepada kalian, jadi kalian tidak usah khawatir lagi bahwa kita akan berjalan tanpa arah dan tanpa batas waktu tertentu. Aku sudah punya rencana. Aku juga setuju dengan ucapan Siangkoan Hong tadi bahwa jika kita sudah punya kekuatan, kitalah yang akan menjadi pemburu, bukan lagi binatang-binatang buruan.”

Meskipun malam cukup gelap tapi dapat dirasakan bahwa ketiga orang teman Wi-siang itu sangat terkejut mendengar ucapannya. Tan Goan-ciau berseru dengan suara seperti tercekik, “A-siang, gila kau! Maksudmu... maksudmu... kita akan memberontak secara terang-terangan kepada Kerajaan?”

Tong Wi-siang tertawa melihat kekagetan kawan-kawannya. Sahutnya dengan kalem, “Apa salahnya memberontak? Tetapi tentu tidak kita lakukan sekarang, melainkan menunggu sampai kita kekuatan yang cukup untuk menandingi si keparat Cong-ceng itu.”

Karena kawan-kawannya masih juga nampak ragu-ragu, Wi-sinag mencoba meyakinkan mereka, “Seorang lelaki muda harus bercita-cita, kalau tidak maka ia hanya menghabiskan waktunya hari demi hari secara percuma. Kita berempat masih terlalu muda untuk bersikap pasrah begitu saja dan bersikap seperti nenek-nenek. Kita masih cukup mampu untuk melakukan semuanya. Jika kalian melihat sejarah, kalian tentu ingat siapa Temu-chin. Ia cuma seorang anak gembala dan yatim piatu pula, tetapi ketika ia meninggal dunia, ia telah bergelar Jengis Khan dan mewariskan Kerajaan yang luasnya sepertiga dunia kepada cucu-cucunya. Kalian ingat pula siapa Cu Goan-ciang? Ia cuma seorang rahib melarat yang hidup dari mengemis namun ternyata kemudian dia telah mampu mendirikan Kerajaan Beng dan bergelar Beng-thay-cou. Apakah salahnya kalau kita yang sudah terjepit ini bercita-cita demikian?”

Sementara Tong Wi-siang berbicara panjang lebar, ketiga orang kawannya saling bertukar pandang dengan nelong. Diam-diam mereka mulai berpikir jangan-jangan Wi-siang telah mulai berubah ingatan karena pikirannya terlalu tertekan? Namun sesungguhnya Wi-siang tidak melantur sembarangan. Dalam keadaan terjepit itulah mendadak dia ingat akan sebuah cerita dari ayahnya tentang Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang pernah terkenal pada masa kira-kira seratus tahun yang lalu.

Kabarnya Bu-san-jit-kui meninggalkan peninggalan-peninggalan berharga yang disimpan di puncak Yu-kui-hong (Puncak Hantu Gentayangan) di deretan pegunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Cerita tentang Bu-san-jit-kui itu tidak banyak diperhatikan oleh orang, namun Wi-siang kini justru mengingat dan bermaksud untuk menggalinya daripada berkeliaran tidak tentu tujuan.

Melihat ketiga kawanya masih kurang percaya, Wi-siang menarik napas, katanya, “Aku tahu kalian kurang yakin. Tapi kuminta percayalah padaku, aku tidak membual. Sekarang tidurlah, besok kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang sangat jauh, namun sudah ada tujuan yang pasti.”

Tanpa membantah, ketiga kawannya lalu membaringkan diri kembali di atas rerumputan. Dalam hati mereka masih menebak-nebak, kemana Wi-siang hendak membawa mereka? Kenapa Wi-siang nampak begitu yakin? Akhirnya Tan Goan-ciau tak dapat lagi menahan dorongan perasaan ingin tahunya, baru sebentar ia berbaring, ia lantas bangkit kembali dan bertanya, “A-siang, sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?”

Pertanyaan itu sejalan dengan pikiran kedua kawannya yang juga sedang gelisah, maka Lim Hong-pin ikut nimbrung, “Benar, kau harus memberi jawaban, A-siang. Jangan berteka-teki lagi.”

Sahut Tong Wi-siang, “Aku tidak akan memberitahukan kepada kalian, bukan karena aku kurang percaya, namun aku menjaga jangan sampai kalian membocorkan rencana ini kepada orang lain tanpa kalian sengaja. Jika hal itu sampai bocor, maka akan timbul banyak kerepotan buat usaha kita tersebut. Tapi baiklah, aku berikan sedikit gambaran tentang apa yang sedang aku pikirkan. Aku tahu sebuah tempat kuno yang kabarnya di situ tersimpan sebuah harta karun yang cukup untuk membiayai sebuah pasukan, tempat itu adalah tempat segerombolan penjahat menyimpan hasil rampokannya. Selain itu, di tempat itu pula terdapat peninggalan-peninggalan lain yang tak kalah berharganya dengan harta karun tersebut.”

Mau tidak mau ketiga orang kawannya mulai terpengaruh juga setelah melihat nada Wi-siang yang begitu meyakinkan. Bahkan ketiganya mulai ikut berangan-angan. Apabila ucapan Wi-siang benar dan dapat menjadi kenyataan, alangkah hebatnya! Mereka akan memimpin sebuah pasukan besar yang dapat digerakkan untuk merebut Kerajaan, bukan lagi gerombolan kecil yang diburu kesana kemari. Giliran merekalah yang akan memburu lawan-lawan yang mereka benci.

Dongeng sejarah tentang Temu-chin si anak gembala Mongol dan Cu Goan-ciang si Paderi melarat dari Hong-yang itupun mulai membayang di pelupuk mata mereka. Temu-chin bisa menjadi Jenghis Khan dan Cu Goan-ciang menjadi Beng-tay- cou, kenapa mereka tidak boleh bercita-cita seperti itu?

Dan malam itu mereka lewatkan dengan beberapa mimpi yang muluk-muluk. Mereka baru berlompatan bangun dengan kagetnya ketika seekor ayam hutan berkokok di atas dahan, tepat di atas kepala mereka membaringkan diri. Keempat pemuda itu lalu melanjutkan perjalanan dengan tenaga baru dan semangat baru. Kini mereka sudah punya harapan dan tujuan pasti, bukan sekedar mengembara sambil mengacau. Meskipun Wi-siag belum memberitahukan arah tujuan mereka dengan alasan menjaga kebocoran, tapi mereka bertiga cukup percaya kepada Tong Wi-siang.

Hari pertama dan hari ke dua, mereka masih terus berjalan tanpa banyak rewel. Hari ke tiga mereka tidak dapat menahan diri dan mulai ada yang bertanya-tanya sebenarnya kemana tujuan Wi-siang, namun Wi-siang tetap bungkam. Hari ke empat, pipi Lim Hong-pin menjadi bengap kembali sebab ia berani mendesak Wi-siang untuk menyebut tempat tujuannya. Hari ke lima perjalanan kembali menjadi tenang dan tidak ada lagi yang berani bertanya-tanya.

Berhari-hari mereka berkuda ke arah barat tanpa berhenti sedikitpun. Malam mereka tidur di tempat-tempat yang sekenanya mereka temukan, dan makanannya pun sembarangan saja. Puluhan kota telah mereka lewati, ratusan kampung dengan penduduk yang logat bahasanya bermacam-macam telah mereka tinggalkan di belakang mereka. Dan akhirnya mereka telah mendekati daerah Su-coan, suasana alam pun berganti.

Jika tadinya mereka melihat banyak sungai, gunung, lembah, dan tanah-tanah perladangan, maka begitu masuk daerah Su-coan ini mereka mulai melihat sebuah padang rumput yang terbentang luas bagai tak bertepi. Tidak terlihat lagi tanah-tanah pertanian, yang terlihat sekarang adalah rombongan biri-biri yang bergerombol di padang rumput.

Petani bertelanjang dada dan bertudung bambu juga mulai jarang dijumpai, yang nampak adalah para penggembala biri-biri yang berpakaian daerah Su-coan, berikat kepala putih dan bersepatu rumput. Orang-orang Su-coan ini berhidung agak lebih mancung dibanding orang-orang daerah lain di wilayah tengah.

“Gila, tak terasa kita sudah hampir mencapai ujung negeri kita ini,” gerutu Tan Goan-ciau memberanikan diri. “A-siang, kau masih belum juga mau memberitahukan tujuan perjalanan kita kepada kami dan membiarkan kami terus berteka-teki?”

Sebenarnya Tan Goan-ciau sudah siap menghadapi kemarahan Wi-siang, namun di luar dugaan Wi-siang tidak marah, malah tersenyum lebar. Sahutnya sambil menuding ke depan, “Paling lama dua hari lagi, kita sudah akan dapat melihat tempat yang kita tuju. Aku tidak berbohong.”

“Dapatkah kau beritahukan kepada kami sekarang?”

Ketika Wi-siang menganggukkan kepala tanda menyetujui, serempak ketiga temannya mendekatkan kuda dan menjulurkan kepala mereka supaya dapat mendengar dengan jelas. Terdengar Wi-siang berkata,

“Kita akan menuju pegunungan Bu-san, tepatnya puncak Yu-kui-hong (Puncak Hantu Gentayangan). Kita akan memanjat puncak yang terjal itu untuk melacak sebuah peninggalan kuno. Tapi mungkin kita harus beristirahat sehari penuh di bawah puncak sebelum memanjatnya sebab untuk memanjatnya dibutuhkan tenaga yang segar.”

“Tentang harta karun yang kau katakan itu...” kata Siangkoan Hong dengan agak ragu-ragu.

Hari itu sifat pemarah Tong Wi-siang bagai lenyap tanpa sisa dan diganti dengan sikap riang gembira yang menggambarkan penuhnya harapan cerah. Sambil tertawa dan mulut berseri ia menepuk pundak Siangkoan Hong, “Jangan khawatir, kapan aku pernah menipu kalian?”

Sikap Wi-siang tersebut telah membuat ketiga kawannya jadi bersemangat pula. Berkali-kali mereka berteriak gembira sambil memacu kuda-kuda mereka di tengah padang rumput maha luas itu. kadang mereka bernyanyi dan bersiul-siul. Kegembiraan yang telah berbulan-bulan tidak pernah mereka rasakan, kini mulai mengisi relung hati mereka kembali. Bahkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang masih belum hilang sifat kanak-kanaknya kadang bermain kejar-kejaran di atas kuda mereka.

Sebelum memasuki kawasan pegunungan Bu-san, mereka sempat bermalam semalam lagi. Bermalam di sebuah padang rumput terbuka tanpa pelindung apapun benar-benar menyengsarakan mereka, untung mereka dapat membuat sebuah api unggun dan menangkap seekor kambing gurun yang gemuk sebagai pengisi perut kosong mereka.

Dalam kesempatan beristirahat itulah Tong Wi-siang bercerita selengkapnya tentang kisah Bu-san-jit-kui. Ratusan tahun yang lalu di dunia persilatan ada tujuh orang tokoh jahat berjuluk Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) yang kesaktian maupun kekejamannya sanggup membuat menggigil orang persilatan manapun juga.

Pada saat ketujuh bersaudara itu bersimaharajalela di puncak kejayaannya, maka Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay masing-masing telah mengutus seorang tokoh tertingginya untuk menumpas ketujuh durjana itu. Terjadilah pertempuran yang seru dan berlarut-larut. Bu-san-jit-kui melawan gabungan dua tokoh Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Bu-san-jit-kui berhasil ditumpas, namun kedua tokoh itupun terluka parah dan di tengah perjalanan pulang ke kuil masing-masing, kedua tokoh itu meninggal dunia.

Ketiga orang kawan Wi-siang mendengarkan cerita itu dengan penuh minat. Tanya Lim Hong-pin kemudian, “Tetapi apakah cerita tentang Bu-san-jit-kui itu dapat dipercaya?”

“Tidak perlu diragukan lagi.” Sahut Wi-siang mantap. “Mendiang ayahkulah yang bercerita kepada ibuku, dan ayah tidak mungkin membohongi ibu. Saat itu aku berhasil menguping pembicaraan mereka.”

“Jelas ayahmu tidak mungkin membohongi ibumu,” tukas Siangkoan Hong. “Tetapi dari sumber manakah ayahmu mendapatkan cerita itu atau jangan-jangan cuma dongeng?”

"Tidak, apa yang dikisahkan ayah kepada ibu itu adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi ratusan tahun yang lalu. Begini ceritanya bagaimana ayahku sampai mengetahui kisah itu. Beberapa tahun yang lalu ayah pergi ke Soat-san, dan pulangnya dia sengaja melewati daerah sekitar pegunungan Bu-san ini. Di tengah jalan, ayah menemukan seorang tua yang hampir mati kehausan dan dalam keadaan luka-luka karena habis dirampok, ayah menolong orang tua itu. Dan ternyata orang tua yang kelihatan tak berarti itu adalah cucu murid Bu-san-jit-kui satu-satunya, menurut pengakuannya, hanya saja ia kurang berbakat sehingga ilmu perguruannya yang tinggi hanya dapat dipelajarinya secara tanggung-tanggung. Ia membalas budi kebaikan ayah dengan menceritakan tentang peninggalan Bu-san-jit-kui di Yu-kui-hong itu. Namun ayah sebagai murid dari golongan lurus tidak sudi dan tidak tertarik dengan peninggalan ketujuh durjana itu.”

“Jika orang tua yang ditolong oleh ayahmu itu mengetahui sebuah peninggalan yang begitu berharga, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya dan memanfaatkannya?” tanya Tan Goan-ciau.

“Sebab orang tua itu merasa tidak mampu memanjat puncak Yu-kui-hong yang hampir tegak lurus dan tingginya ratusan tombak.”

“Begitu hebatnya kah puncak itu?”

“Entahlah, sebab selama ini aku sendiri juga belum melihatnya,” jawab Wi-siang. “Menurut ceritanya, mungkin benar-benar hebat, tapi mungkin juga karena orang tua itu yang tidak becus. Tetapi kita harus membulatkan tekad untuk mencapai tujuan kita. Ini adalah satu-satunya jalan kita jika ingin membalas kepada orang-orang yang telah memburu kita, dan untuk mengguncangkan negeri ini,”

“Kalau aku teringat kepada keluargaku yang diperlakukan sesuka hati, maka rimba pedang dan lautan minyak yang mendidih pun akan kuterjang asal bisa membalas dendam kepada Cia To-bun!” kata Lim Hong-pin sambil menggertakkan gigi dan mata yang berapi-api.

“Tekadku juga sudah bulat!” kata Siangkoan Hong.

“Akupun siap menempuh semua rintangan. Lebih baik mampus jika usaha ini gagal, daripada hidup terus sebagai buruan!” sahut Tan Goan-ciau pula.

“Bagus sekali, sikap kalian membesarkan hatiku!” teriak Tong Wi-siang penuh semangat. “Kita akan menjadi empat serangkai Bu-san-su-kui (Empat Setan dari Bu-san) yang kembali akan membuat dunia persilatan menggigil ketakutan seperti jamannya Bu-san-jit-kui dulu!”

Dasar anak-anak muda yang masih berdarah panas dan gampang terbawa gejolak perasaan, maka keempat orang itu segera berlomba-lomba mengucapkan kata-kata yang muluk-muluk dan berapi-api sehingga semangatnya pun berkobar hebat. Mereka lalu bercakap-cakap sampai jauh malam.

Dalam kesempatan itu Wi-siang lalu melengkapi tentang kisah Bu-san-jit-kui. Kabarnya, selain harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui yang tidak ternilai harganya, juga terdapat kumpulan kitab-kitab ilmu-ilmu milik ketujuh durjana itu. Bukan cuma ilmu silat, tapi juga ilmu racun dan ilmu hitam pula! Kelengkapan ilmu inilah yang agaknya membuat Bu-san-jit-kui sangat ditakuti pada jamannya.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat baru,meskipun mata agak mengantuk karena kurang tidur. Setelah berjalan ratusan li kemudian, pegunungan Bu-san sudah nampak di depan mata. Pegunungan yang terletak di wilayah Su-coan itu merupakan tempat yang sangat menguntungkan jika ditinjau dari sudut ilmu perang.

Waktu Wi-siang dan kawan-kawannya berhasil mendekati pegunungan itu, hari sudah mulai sore dan langit mulai gelap. Puncak yang di sebut Puncak Yu-kui-hong itu nampak kehitam-hitaman dalam keremangan senja, begitu menakutkan seperti sesosok hantu raksasa. Tak terasa ada sedikit rasa seram yang timbul di hati anak-anak muda yang biasanya tak kenal takut itu.

“Luar biasa,” desis Lim Hong-pin.

“Ya, memang luar basa,” Siangkoan Hong pun mendesis. Namun disambungnya kata-katanya sendiri, “Tapi aku sudah bertekad tidak akan mundur, apapun yang kuhadapi.”

“Betul, paling-paling jika kita gagal, kta mampus,” geram Tong Wi-siang. Nampaknya tekad yang sama telah mewarnai keempat orang muda itu.

Malam harinya, mereka bermalam di kaki puncak yang mengerikan itu. Ternyata puncak itu dinamai Puncak Setan Gentayangan memang ada sebabnya, yaitu gara-gara di atas puncak sering terdengar desau angin yang nadanya begitu mengerikan, seperti hantu menangis. Penduduk yang suka tahayul akan segera berkata bahwa di puncak itu merupakan kediaman para siluman, dan itulah agaknya mengapa puluhan li di sekitar Yu-kui-hong tidak ada rumah penduduk sebuah pun.

“Mengerikan sekali,” gerutu Lim Hong-pin. “Kita bukan saja akan mengunjungi tempat siluman itu, tapi bahkan mungkin akan tinggal agak lama di sana.”

Tan Goan-ciau yang sedang duduk memeluk lutut di sebelahnya, melirik ke arah Lim Hong-pin sambil bertanya sinis, “Nah kau mulai gemetar ketakutan?”

Lim Hong-pin menyeringai, “Terus terang saja, aku memang agak ngeri juga.”

Keesokan harinya mereka tidak langsung memanjat puncak itu, melainkan beristirahat lagi sehari penuh. Lusa barulah mereka akan mulai memanjatnya dengan kesegaran penuh. Ya, dengan kesegaran penuh, sebab dari kaki puncak sampai ke puncaknya tidak ada tempat landai sedikitpun yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat, itu berarti bahwa sekali memanjat harus terus memanjat, tidak ada tempat untuk berhenti, atau akan terbanting mampus ke bawah.

Setelah tiba hari yang ditentukan, begitu matahari mulai bersinar hangat, keempat sahabat itupun mulai dengan pekerjaan yang penuh bahaya maut. Puncak itu hampir tegak lurus dengan tanah dan merupakan sebuah medan alam yang sangat sulit, untunglah di lerengnya banyak akar-akar pohon tua yang bergayutan sehingga dapat digunakan untuk merambat setapak demi setapak.

Meskipun demikian mereka juga harus hati-hati, sebab ada akar-akar tertentu yang tidak cukup kuat berpegang pada tanah yang jika dipegang akan tercerabut dari tempatnya. Siapa yang keliru memegang akar ini, mampuslah bagiannya! Selain itu masih ada gangguan lain yang membuat keempat orang itu kesal. Yaitu pohon-pohon kecil berduri yang tumbuh sepanjang lereng, juga serangga-serangga yang nampaknya beracun berkali-kali “numpang lewat” di tubuh mereka.

Namun dengan tekad yang membaja, yang sudah mereka tumbuhkan sendiri di dalam hati mereka, keempat anak muda itu terus merayap tanpa kenal menyerah. Mereka tidak peduli lagi pakaian mereka mulai terkoyak-koyak dan bahkan kemudian kulit mereka mulai terbarut oleh duri-duri sepanjang lereng.

Setelah mereka memanjat setinggi limapuluh tombak, nampaklah bahwa keadaan Siangkoan Hong mulai kepayahan. Pakaiannya telah basah kuyup oleh keringat yang bercampur dengan darah, sepatunya sudah hilang sebelah dan ikat pepalanya pun sudah hilang tersangkut pepohonan sehingga rambutnya jadi awut-awutan tidak keruan. Siangkoan Hong inilah yang merayap paling belakang. Beberapa langkah di atasnya, Lim Hong-pin sedang bergayutan pada akar pepohonan dengan keadaan yang agak lebih segar, namun sudah nampak kelelahan pula.

“Gila!” gerutu Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong hampir bersamaan, tapi mereka tidak tahu makian itu harus ditujukan kepada siapa? Bukankah mereka berdua sendiri juga pernah sesumbar tidak akan menyerah kepada rintangan apapun?

Sewaktu Siangkoan Hong mendongak ke atas, nampaklah bahwa puncak Yu-kui-hong masih ada puluhan tombak di atas kepalanya. Dan ketika ia menoleh ke bawah, nampaklah bahwa keempat ekor kuda mereka itu hanya berujud titik-titik kecil seperti marmut. Kini keadaan keempat orang itu benar-benar terkatung-katung antara langit dan bumi. Apa boleh buat, terpaksa Siangkoan Hong membulatkan tekad, meneruskan merambat ke atas sambil menggertakkan gigi.

Tangannya yang mencengkeram akar-akar pohon mulai terasa gemetar dan hampir lepas, tapi dengan bandel ia maju terus. Ketika merasa hampir jatuh, ia berteriak, “Hong-pin, tolong aku!”

Lim Hong-pin menoleh kebawah dan dilihatnya Siangkoan Hong yang keadaanya sudah agak gawat. Kalau Siangkoan Hong diajak memanjat terus, mungkin ia akan kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah, dan itu berarti mati. Tetapi harus beristirahat di mana? Tempat sejengkal untuk menginjakkan kaki saja sangat sulit didapat, apalagi untuk istirahat, sedangkan untuk balik turun pun akan memerlukan tenaga yang sama besarnya dengan tenaga untuk memanjat ke atas.

“Maaf A-hong, aku sendiri hampir kehabisan napas,” sahut Lim Hong-pin sambil terengah-engah. Meskipun demikian Lim Hong-pin tidak akan sampai hati melihat kawan sejak masa kecilnya bakal mati terbanting dari tempat setinggi itu. Maka ia lalu berteriak kepada Tong Wi-siang yang memanjat paling atas dan paling bersemangat, “A-siang! Tunggulah! A-hong hampir mampus kehabisan tenaga!”

Tong Wi-siang menoleh ke bawah sambil menggertakkan gigi. Wi-siang sendiri sebagai orang yang paling tangguh dan paling kuat jasmaninya diantara keempat orang itu, kini sudah merasa pegal-pegal pada lengannya, apalagi Siangkoan Hong dan yang lainnya? Tapi apa yang bisa diperbuatnya untuk menolong teman-temannya? Tidak lain hanya berusaha membesarkan kobaran semangat kawan-kawannya,

“Bertahanlah terus! Kita sudah bertekad untuk menempuh jalan ini demi cita-cita kita!”

Sedangkan Tan Goan-ciau diam-diam sudah mulai timbul pikiran curangnya. Katanya dalam hati, “Makin sedikit yang menemukan harta karun itu, makin baik. Kalau harta karun itu dibagi banyak orang, maka bagian setiap orang akan menjadi sedikit. Mampuslah kau Siangkoan Hong!”

Kadang-kadang timbul juga ingatan keji Tan Goan-ciau. Hanya dengan menggulingkan batu yang agak besar ke bawah, maka ia bisa menjatuhkan Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong. Tapi ia takut jika Wi-siang mengetahui perbuatannya dan kemudian Wi-siang membalas kepadanya dengan cara yang sama.

Tan Goan-ciau mengenal betul akan sifat Wi-siang yang meskipun pemberang dan kadang-kadang kejam, namun sangat menjunjung tinggi kesetia kawanan dan asas “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Akhirnya Tan Goan-ciau tidak berani menjalankan rencana jahatnya itu, dan cuma mengharap agar Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin mampus dengan sendirinya.

Demikianlah nasib keempat orang muda yang nekad itu kini tergantung sepenuhnya kepada diri masing-masing, kini siapapun tidak bisa minta pertolongan kepada yang lainnya. Akhirnya Siangkoan Hong sendiripun menyadarinya. Dengan membulatkan tekad dan mengerahkan tenaga, ia memaksa dirinya untuk terus merambat ke atas. Kadang-kadang ia berhenti cukup lama dan hanya bergelantungan dengan sebelah tangan untuk “mengistirahatkan” tangan lainnya, setelah itu lalu memanjat lagi dengan tangan yang lain.

Di saat ketiga orang teman Wi-siang sudah hampir putus harapan, tiba-tiba terdengarlah suara Wi-siang yang membesarkan kembali harapan mereka, “He, beberapa tombak di atas kepalaku nampaknya ada sebuah gua! Kita bisa beristirahat sebentar di tempat itu!”

Seruan itu bagaikan sebuah sumber tenaga maha ajaib bagi ketiga temannya. Semangat mereka berkobar kembali dan mereka memanjat semakin giat. Ketika mereka menoleh ke atas, nampaklah Tong Wi-siang berhasil mencapai gua itu dan sedang merangkak ke dalam sebuah cekungan. Menyusul itu Tan Goan-ciau berhasil masuk ke gua dengan ditarik tangannya oleh Wi-siang. Berturut-turut Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong juga mencapai gua itu. Begitu berhasil duduk dalam gua, Siangkoan Hong langsung meletakkan punggungnya di lantai gua sambil mendesah lega,

“Huh, kukira tadinya umurku hanya akan sampai hari ini!”

Kemudian terdengar Lim Hong-pin bersungut-sungut dengan kesalnya. Kiranya bekal makanan yang mereka bawa tidak tersisa sepotongpun, semuanya habis tercecer selama memanjat tadi. Tidak seorangpun diantara kawan-kawannya yang menanggapi kekesalan Hong-pin, semuanya sudah terlalu malas untuk berpikir.

Setelah lelah mereka sudah agak berkurang, barulah mereka berkesempatan memperhatikan keadaan gua itu. Ternyata bentuk gua itu tidak menyerupai gua-gua alam pada umumnya, melainkan lebih menyerupai pahatan tangan manusia. Tong Wi-siang lah yang lebih dulu menyadarinya, ia bagaikan tersentak dari duduknya dan berteriak,

“He! Gua ini nampaknya buatan tangan manusia!”

Seruan itu memancing perhatian ketiga rekannya, disusul oleh teriakan Lim Hong-pin, “Lihat! Di sana seperti ada pahatan huruf-huruf kuno!”

Tempat yang dituding oleh Lim Hong-pin adalah dinding gua sebelah kiri yang agak cekung ke dalam. Dinding itu nampak sudah terlapis lumut dan debu sehingga pahatannya nampak samar-samar. Cepat Wi-siang mencabut pedangnya dan membersihkan dinding itu sehingga tertampaklah sederetan huruf kuno yang bermakna:

“Di tempat ini siapapun harus tunduk kepada Bu-san-jit-kui. Yang membangkang akan mampus, yang tunduk ada pahalanya”.

Di bagian bawah deretan huruf kuno itu ada ukiran tujuh muka setan yang menakutkan. Melihat itu, Wi-siang hampir saja melompat kegirangan, teriaknya, “Kita telah menemukan jejak Bu-san-jit-kui! Mungkin kita tidak perlu memanjat lagi!”

“Betul!” sahut Siangkoan Hong. “Hayo kita bersihkan dinding-dinding ini, barangkali kita akan menemukan petunjuk-petunjuk lain!”

Keempatnya segera membersihkan semua lumut dan debu yang melapisi dinding gua. Makin bersih tempat itu, makin nampaklah bahwa gua itu ternyata memang bukan buatan alam, melainkan buatan manusia. Dan manusia yang mampu membuat gua di tempat sesukar dan seterjal itu tidak lain pastilah manusia-manusia luar biasa.

Sementara itu Siangkoan Hong telah pula menemukan sesuatu, “Lihatlah ke sini!” teriaknya, dan ketiga temannya segera berlarian mendekat.

Yang diketemukan Siangkoan Hong ternyata adalah sebuah lukisan yang terpahat di dinding gua, menggambarkan seorang rahib Buddha (Hwesio) yang berwajah bulat sedang duduk bersemedi. Di bawah lukisan tersebut ada tulisan, “Rahib Thian-lui. Tendang mukanya lima kali!”

“Bagaimana ini? Kita turuti perintah tulisan ini atau tidak?” tanya teman-teman Wi-siang kepadanya.

“Kita harus mencoba semua kemungkinan. Tidak ada salahnya kita turuti perintah itu dan akan kita lihat bagaimana kelanjutannya,” sahut Wi-siang.

Dan tanpa menunggu sahutan dari teman-temannya, Wi-siang segera menendang muka “rahib” itu sebanyak lima kali. Habis tendangan ke lima, tiba-tiba terasa gua itu bagai bergetar, lalu dinding bagian dalam dari gua itu perlahan-lahan amblas dengan mengeluarkan suara gemuruh dan mengeluarkan debu yang tebal.

Setelah suara gemuruh dan debu itu hilang dan mengendap kembali, tampaklah sebuah pintu selebar dua kaki terbentang di depan mereka. Bagian dalam dari pintu itu kelihatan begitu gelap dan pengap, sinar matahari dari luar gua tidak dapat mencapai tempat itu.

Wi-siang mengambil sepotong ranting kering dan menyalakan ujungnya. Dengan ranting kering sebagai obor digenggam di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Wi-siang mulai melangkah masuk mempelopori kawan-kawannya. Ternyata gua itu sempit dan panjang, langit-langitnya agak rendah sehingga mereka harus berjalan dengan agak membungkukkan badan.

Setelah berjalan belasan langkah, gua itu semakin lebar dan bagian gua yang ini bukan lagi buatan manusia, melainkan gua alam yang diperbaiki oleh tangan-tangan manusia di sana-sini. Mereka maju lagi puluhan langkah, sampai kemudian langkah mereka terhalang oleh selapis pintu batu yang sangat tebal. Pintu batu itu berlumut dan berdebu, bahkan kedua daun pintunya seakan telah menjadi satu karena terlalu lama tidak dibuka.

Namun di bawah cahaya obor yang remang-remang, terlihatlah sebuah lukisan dan tulisan di atas daun pintu tersebut. Setelah dibersihkan, kali ini Wi-siang dan teman-temannya menjumpai gambar seorang Tosu (Imam agama To) yang memegang pedang, dan tulisan di bawahnya berbunyi: “Imam Tiong-bun. Jotos hidungnya lima kali.”

Dipelopori oleh Wi-siang, mereka segera bergantian menjotos hidung lukisan itu sampai lima kali. Karena pintu batu itu terbuat dari batu hitam yang kasar, maka tentu saja tangan mereka menjadi luka-luka. Namun begitu, pintu batu itu terbuka sendiri sehingga keempatnya melupakan rasa sakit mereka dan bahkan menjadi terpesona oleh pemandangan yang terpampang di depan mata mereka.

Setelah sekian lama berjalan menelusuri gua yang gelap dan lembab, maka kini terbentanglah di depan mereka sebuah lembah kecil yang keindahannya menyaingi taman para dewa-dewi. Sekeliling lembah itu terkurung oleh dinding batu alam yang tinggi sehingga lembah itu bagaikan sebuah mangkuk raksasa yang benar-benar terpisah dari dunia luar. Nampaknya lembah itu tadinya merupakan kawah gunung berapi yang sudah lama tidak aktif, dan berubah menjadi sebuah tempat yang subur. Di tengah-tengah lembah, nampak ada sebuah rumah kecil.

“Kita ke rumah itu!” teriak Wi-siang dengan bersemangat.

Setibanya mereka di depan rumah kecil itu, Wi-siang lantas memberi hormat dan mengucapkan salam, “Kami berempat orang muda yang lancang telah mengikuti semua petunjuk tuan dan tiba di tempat ini! Mohon bertemu!”

Pikir Wi-siang, meski Bu-san-jit-kui sudah mati ratusan tahun lalu, tapi siapa tahu di tempat itu masih ada anak keturunannya atau pewaris ilmunya. Karena itu ia tidak mau bertindak sembrono dengan main terjang begitu saja.

Tetapi ternyata dari dalam rumah tersebut tidak ada jawaban. Bahkan juga ketika Wi-siang mengulanginya berulang kali. Karena kehabisan kesabaran, akhirnya Wi-siang memberanikan diri mendorong pintu rumah itu sambil berkata,

“Harap tuan memaafkan kelancangan kami ini, karena kami hen.... hah??!!!”

Leher Wi-siang serasa tercekik karena terkejutnya. Memang ada tujuh orang yang ada di dalam ruangan rumah itu, tapi ketujuhnya sudah menjadi tengkorak semua. ketujuh tengkorak itu dalam sikap duduk bersila dan menghadap ke arah pintu. Selain itu, hawa udara di dalam ruang tersebut berbau sangat busuk dan pengap, rupanya karena selama ratusan tahun tidak pernah ada udara segar dari luar.

Ketiga teman Wi-siang pun telah ikut melangkah masuk. Menyaksikan ketujuh sosok tengkorak duduk dalam ruangan tersebut, biarpun keempatnya merupakan berandal-berandal An-yang-shia yang cukup berani, tak urung mereka bergidik seram juga.

Di atas “pangkuan” tengkorak yang paling tengah, nampak sebuah kitab kumal bersampul kulit binatang yang tebal dan besar. Dengan hati-hati Wi-siang mengambil kitab tersebut, membersihkan debu pada sampulnya dan membaca tulisan di atas sampul. Di situ tertulis empat huruf “Bu-san-pit- kip” (Kitab Bu-san).

Halaman pertama dari kitab itu ternyata hanya berisi sebuah kalimat pendek : “Dendam yang tidak terhapus kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong- pay”.

Kitab besar itu ternyata memuat segala macam ilmu dan pengetahuan yang pernah dimiliki oleh Bu-san-jit-kui. Isinya bukan saja ilmu silat, namun juga petunjuk-petunjuk bagaimana cara melatih tenaga dalam secara golongan hitam, petunjuk tentang macam-macam cara membuat ramuan racun dan penggunaannya. Dan yang paling mengerikan adalah pada bagian paling belakang dari kitab tersebut, sebab di bagian tersebut memuat macam-macam ilmu sihir hitam yang mengerikan.

Lalu di dalam kitab itu terselip selembar kulit tipis, di situ tercacahlah sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui semasa hidup, beserta cara-cara mengambilnya juga. Tempat penimbunan harta itu ternyata juga ada di dalam lembah itu.

Wi-siang menyeringai kepada ketiga temannya, katanya, “Cita-cita kita akan terkabul, kita akan menggoncangkan negeri ini dan akan membuat orang-orang yang pernah memburu kita menjadi menyesal seumur hidup. Dengan mempelajari kitab ini, kita akan menjadi manusia-manusia sakti tanpa tandingan, sedang harta karunnya dapat kita gunakan untuk membiayai dan membangun sebuah pasukan yang maha kuat!”

Demikianlah, di sebuah kawah mati di puncak Yu-kui-hong yang ditakuti orang, Tong Wi-siang dan ketiga temannya mulai menggembleng diri menurut ajaran kitab milik Bu-san-jit-kui dengan penuh semangat. Tong Wi-siang, putera Kiang-se-tay-hiap, pendekar aliran lurus, kini tanpa segan-segan mempelajari ilmu tujuh orang durjana masa lampau.

Hal itu disebabkan karena dendamnya kepada Kerajaan Beng yang dianggap telah menghancurkan keluarganya sehingga Wi-siang tidak segan-segan menggunakan jalan apapun asal dendamnya bisa terlampiaskan. Begitu pula ketiga orang temannya.

Dalam penggemblengan di “kawah Candradimuka” itu, Tong Wi-siang yang memiliki dasar ilmu silat paling kuat bertindak sebagai pelatih bagi teman-temannya. Dengan demikian kedudukannya adalah sebagai “setengah guru”.

* * * * * * *

Sementara Wi-siang dan teman-temannya menggembleng diri di puncak Yu-kui-hong dengan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, maka adik perempuannya pun sedang menggembleng diri di gunung Siong-san di bawah asuhan gurunya dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya.

Lari pagi di lereng-lereng yang terjal dengan kaki dibanduli kantong pasir adalah sarapan pagi bagi Tong Wi-lian, disusul dengan melatih jari-jarinya dalam pasir panas. Siang harinya gadis itu melatih jurus-jurus silat, diulang-ulang sampai ratusan kali, dan malam harinya mempelajari lwe-kang (tenaga dalam) secara tekun.

Bagaimanakah dengan nasib anak Tong Tian lainnya, yaitu Tong Wi-hong? Ia sudah kehilangan kesadaranya ketika salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun itu menebaskan pedang ke arah lehernya. Tetapi ketika dia sadar kembali, ternyata didapatinya dirinya masih hidup dan tengah terguncang-guncang di dalam sebuah kereta yang tengah dilarikan ke arah barat.

Saat itu tubuhnya telah penuh dengan balutan dan berlumuran dengan obat luka. Meskipun menemukan dirinya dalam keadaan selamat, bahkan luka- lukanya pun sudah diobati, namun hati Wi-hong masih tetap resah jika membayangkan entah bagaimana nasib adik perempuannya yang belum ia ketahui. Terakhir kali ia melihat adiknya ketika si adik ditangkap dan dibawa masuk ke dalam hutan oleh si pemimpin berandal.

Wi-hong tahu benar sifat keras adiknya, jika si pemimpin berandal itu benar-benar sampai berhasil melampiaskan nafsu bejatnya, maka adiknya tentu akan memilih mati daripada hidup ternoda. Mengingat sampai di situ, Wi-hong menggertakkan gigi dengan geram. Semua dendam dan kesalahan ia timpakan kepada Cia To-bun, sebab dianggapnya Cia To-bun itulah biang keladi yang menyebabkan kesengsaraan keluarganya.

Ketika Tong Wi-hong bangkit dan melongokkan kepalanya keluar lewat jendela kereta, ia melihat bahwa kereta itu disaisi oleh seorang lelaki bertubuh tegap, hal itu dapat disimpulkan dari bentuk punggung dan pundak orang itu yang tampak begitu kokoh.

Sayang orang itu menghadap ke depan sehingga Wi-hong tidak dapat melihat wajahnya. Dilihatnya rambut orang itu sudah bercampur uban, menandakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sebentar-sebentar terdengarlah teriakannya yang keras menggeledek membentak kuda-kuda penarik kereta, diselingi ayunan cambuk yang menggetarkan udara.

Terdorong oleh rasa kagum melihat keperkasaan orang itu dan juga rasa terima kasih atas pertolongannya, Wi-hong lalu menyapa orang tersebut lewat jendela kereta, “Terima kasih atas pertolongan tuan. Dapatkah aku mengetahui nama tuan?”

Ketika sais kereta itu menoleh, terpampanglah di hadapan Wi-hong seraut wajah yang keras dan kukuh dari seorang lelaki setengah baya. Namun wajah yang keras itu kemudian berubah menjadi begitu lembut ketika tersenyum, sahutnya,

“Buat apa mengetahui namaku? Kalau untuk membalas budi, tidak perlu. Aku menolongmu bukan untuk mengharap balasan apapun, tapi karena aku memang membenci setiap kesewenang-wenangan yang berlangsung di depan mataku. Bahkan aku menolongmu juga bukan karena kau adalah putera Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, namun hanya karena kau terancam bahaya dan aku tidak suka melihatnya.”

Jawaban yang lugas tanpa basa-basi itu seketika membuat Wi-hong agak terperangah. Namun akhirnya dia mengerti bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang yang berwatak jujur, keras, dan tidak menyukai basa-basi yang bertele-tele meskipun kata-katanya kadang agak tajam buat telinga orang lain. Namun Tong Wi-hong yang juga berwatak bandel dan keras hati itu pun mendesak lagi,

“Tuan agaknya adalah seorang yang ingin membebaskan diri dari lingkaran budi dan dendam yang tidak berkeputusan. Tetapi apakah hanya untuk mengetahui nama tuan pun aku tidak boleh?”

Sais kereta itu tertawa keras sehingga punggungnya berguncang, katanya, “Kau keras kepala seperti aku. Baiklah. Aku she Cian bernama Sin-wi.”

Terkejut dan gembira Tong Wi-hong ketika mendengar nama itu. pemilik nama itu sendiri mengucapkan namanya dengan gaya acuh tak acuh, seolah namanya tidak mengandung arti apapun. Tetapi Wi-hong tahu bahwa nama itu adalah nama yang membuat setiap penjahat di sepanjang sungai besar menggigil ketakutan jika mendengarnya. Sikapnya yang keras dan tak kenal ampun terhadap kaum penjahat itu bahkan dinilai terlalu keras oleh rekan-rekannya sendiri dari kaum pendekar.

Cia Sin-wi adalah pemimpin sebuah perusahaan pengawalan yang bernama Tiong-gi-Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) yang merupakan sebuah perusahaan besar dan kuat di sebelah utara Sungai Besar. Perusahaannya memiliki berpuluh-puluh cabang, dan di dalam setiap cabang itu tidak sedikit terdapat jago-jago tangguh di bawah pimpinan Cian Sin-wi. Itulah yang membuat kaum penjahat gentar untuk membegal iring-iringan yang dikawal oleh Tiong-gi-piau-hang.

Tong Wi-hong berusaha menerobos keluar jendela untuk bisa duduk di samping penolongnya, tapi Cian Sin-wi mencegahnya, “Hati-hatilah, duduk saja di dalam kereta, sebab lukamu belum sembuh betul.”

Demikianlah, selama dalam perjalanan tersebut Tong Wi-hong mendapat perawatan yang teliti dari Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong membatin dalam hati, “Orang-orang dari kalangan persiatan rata-rata menyebut tokoh ini sebagai seorang yang berperangai keras, tetapi ternyata ia bersikap begitu baik kepadaku.”

Dalam beberapa kali percakapan ringan sepanjang perjalanan, Wi-hong dapat mengetahui serba sedikit tentang Cian Sin-wi dan perusahaan Tiong-gi-Piau-hangnya yang terkenal itu. Ternyata perusahaan pengawalan yang besar itu berpusat di kota Tay-beng, dan mempunyai cabang-cabang di seluruh ibukota propinsi di utara. Saat itu Cian Sin-wi dalam perjalanan pulang dari perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perusahaan di daerah timur yang kabarnya mengalami sedikit gangguan.

Perjalanan seperti itu memang sering dilakukannya seorang diri tanpa pengawal. Sebab Cian Sin-wi merasa bahwa sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) andalannya itu sudah cukup sebagai kawannya yang setia! Sebenarnya Cian Sin-wi melakukan perjalanan dengan berkuda, tetapi setelah menemukan Wi-hong yang terluka parah, ia terpaksa menukar kudanya dengan sebuah kereta, sebab tidak mungkin membawa orang yang sedang terluka parah dengan naik kuda.

Meskipun perjalanan dengan naik kereta tidak secepat jika menunggang kuda, namun beberapa hari kemudian merekapun sudah mendekati kota Tay-beng. Dan saat itu luka-luka Wi-hong sudah mulai sembuh. Kini Wi-hong tidak duduk saja di dalam kereta, tapi lebih sering duduk di depan kereta, berdampingan dengan Cian Sin-wi.

Bahkan kadang-kadang ia menggantikan Cian Sin-wi dalam mengendalikan kereta. Dalam hati Cian Sin-wi mulai timbul rasa senang terhadap pemuda ini, dan ia berniat menarik pemuda ini untuk bekerja dalam Piau-hangnya supaya Piau-hangnya bertambah kuat.

Pada suatu hari, kota Tay-beng pun telah terbentang di depan mata. Kota itu adalah sebuah kota bersejarah yang cukup dikenal orang. Ratusan tahun berselang, kota Tay-beng terkenal dengan riwayat seratus delapan orang pendekar Liang-san yang mengobrak-abrik kota itu. Perbuatan penuh bahaya yang dilakukan para pendekar itu dilakukan demi menyelamatkan seorang sahabat mereka. Hal itu menandakan kesetia kawanan itu lebih penting di atas segalanya, bahkan di atas keselamatan diri sendiri.

Keperkasaan dan kejantanan para pendekar Liang-san itu tetap menjadi kebanggaan rakyat Tay-beng hingga kini meskipun peristiwanya sudah lewat ratusan tahun. Yang paling membanggakan orang-orang Tay-beng adalah kenyataan bahwa Yan Ceng, salah seorang dari seratus delapan pendekar tersebut, pernah menjadi warga Tay-beng.

Setelah semakin dekat dengan kota bersejarah tersebut, Wi-hong dapat merasakan bahwa kota Tay-beng memang cukup menarik, meskipun kotanya sendiri tidak begitu besar. Perdagangan di sini cukup ramai, selain itu di sana-sini nampak bangunan-bangunan kuno peninggalan Dinasti Song. Beberapa buah diantaranya sudah agak rusak karena kurang dirawat, namun juga ada yang rusak sama sekali karena dihancurkan oleh orang-orang Dinasti Kim dan Goan (Mongol).

Sambil menjalankan keretanya perlahan, Cia Sin-wi sempat bercerita tentang kisah seratus delapan pendekar Liang-san yang menggetarkan itu. Ketika mereka masuk ke dalam kota Tay-beng dan melewati sebuah gedung kuno yang bergaya Dinasti Song, tanpa diminta Cian Sin-wi segera berkisah tentang gedung itu.

Di jaman Kerajaan Song ratusan tahun yang lalu, gedung itu adalah milik seorang hartawan yang baik hati bernama Lu Jun-yu. Lu Jun-yu bukan cuma terkenal karena kaya dan baik hati, tapi juga karena ilmu silatnya yang tinggi dan sifatnya yang kesatria.

Karena sifatnya yang demikian itulah maka Lu Jun-yu sangat bersimpati kepada perjuangan seratus delapan pendekar Liang-san yang membela si lemah dari penindasan si kuat. Pada suatu hari, dua orang dari pendekar- pendekar Liang-san itu menyelundup masuk ke kota Tay-beng untuk menyelidiki kekuatan musuh. Kedua orang pendekar itu masing-masing adalah Bu Yong, si ahli sasat perang yang terkenal kecerdikannya, dan Li Kui, si pendekar bertenaga raksasa yang berotak tumpul.

Sialnya, kedua pendekar yang menyelundup itu dikenali oleh pejabat-pejabat tentara di Tay-beng sehingga keduanya diuber-uber di dalam kota untuk ditangkap. Di saat yang gawat bagi kedua pendekar pembela rakyat kecil itu, maka tanpa memperdulikan resiko yang akan menimpa dirinya, Lu Jun-yu nekat menyelamatkan keduanya dengan menyembunyikannya di dalam rumahnya sendiri.

Namun sayang sekali, biarpun jiwa Lu Jun-yu adalah jiwa kesatria sejati, ternyata tidak demikian halnya dengan jiwa sang isteri dan pembantunya yang berjiwa penghianat dan pengecut yang hanya mementingkan diri sendiri. Kedua orang inilah yang justru membocorkan persembunyian kedua pendekar Liang-san di rumah Lu Jun-yu. Rumah Lu Jun-yu segera digrebek, namun kedua pendekar berhasil melarikan diri ke luar kota. Sebaliknya Lu Jun-yu akhirnya ditangkap karena dituduh menyembunyikan penjahat dan dijatuhi hukuman penggal.

Tong Wi-hong mendengarkan kisah kepahlawanan yang mengagumkan itu dengan perasaan tegang, seolah-olah dirinya ikut mengalami. Katanya, “Sungguh penasaran, apakah seorang ksatria seperti Lu Jun-yu itu lalu mati konyol begitu saja?”

Cian Sin-wi tersenyum melihat ketidak sabaran anak muda itu, katanya sambil menggelengkan kepala, “Tentu saja tidak. Di saat Lu Jun-yu bagaikan telur di ujung tanduk, ada seorang sahabatnya yang berikhtiar menolongnya. Dia adalah warga kota Tay-beng juga, namanya Yan Ceng.”

Tong Wi-hong melonjak mendengar nama itu, serunya, “Yan Ceng yang terkenal denga Thi-po-san (Ilmu Baju Besi) dan Ilmu Lompatan Mautnya itu? nama itu cukup terkenal!”

“Betul. Tanpa menghiraukan bahaya buat dirinya, Yan Ceng menyelundup ke luar kota dan menuju ke Liang-san. Di dalam markas para pendekar itu dia menceritakan tentang nasib Lu Jun-yu yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Kaum pendekar Liang-san yang merasa berhutang budi kepada Lu Ju-yu tanpa pikir panjang lagi segera memutuskan untuk menyerbu Tay-beng guna membebaskan Lu Jun-yu.”

“Mampukah mereka membobol kota Tay-beng yang terjaga dengan kuat?” tanya Wi-hong.

“Mereka cukup cerdik. Lebih dulu mereka menyamar sebagai pendududk biasa ketika menyelundup masuk ke kota. Setelah semuanya berada di dalam kota, barulah mereka memunculkan diri secara terang-terangan dengan serentak dan membuat panglima kota Tay-beng menjadi panik. Para pendekar itu antara lain adalah Yan Ceng si Lompatan Maut, Li Kui si Manusia Bertenaga Raksasa, Bu Song si Tinju Besi yang pernah membunuh harimau dengan hanya memakai pukulan tangannya, Sin Kim, Tiang Sun, dan sebagainya. Masih ada lagi Lim Tiong si Tombak Sakti, Lo Ti-cim si Paderi Pemabuk dan lain-lainnya. Kegagahan manusia-manusia perkasa itu tidak tertahankan oleh Panglima Tay-beng dan pasukannya, maka para pendekar itu pun akhirnya berhasil menyelamatkan Lu Jun-yu yang sudah tinggal menunggu golok algojo. Selanjutnya Lu Jun-yu rela meninggalkan harta benda dan kehidupan mewahnya, untuk bergabung dengan kaum kesatria Liang-san membela rakyat kecil.”

Wi-hong menarik napas dengan penuh kekaguman mendengarkan kisah itu. katanya, “Sungguh tindakan para pendekar Liang-san itu terlalu agung dan terlalu besar untuk dilukiskan dengan kata-kata saja. Nama mereka harum sampai berabad-abad lamanya. Sayang aku dilahirkan terlambat beberapa ratus tahun. Jika aku hidup di jaman mereka, biarpun kepandaianku sangat rendah, ingin rasanya aku bergabung dan berjuang bersama mereka.”

Cian Sin-wi tertawa dan menyahut, “Kalau betul demikian, jumlah ksatria Liang-san itu bukan seratus delapan, tetapi seratus sembilan, yaitu ditambah dengan dirimu, Tong Hian-tit. Hian-tit, menegakkan kebenaran dan keadilan bukan hanya diperlukan di jaman dulu saja, tetapi juga di jaman ini. Di setiap jaman diperlukan ksatria-ksatria semacam itu. Bukankah kebobrokan Dinasti Beng saat ini sama dengan kebobrokan Dinasti Song jamannya para pendekar Liang-san itu?”

Kedua orang itu bercakap-cakap dengan asyiknya, sampai tak terasa tibalah mereka di depan sebuah gedung yang besar dan megah, letaknya di tepi jalan utama dalam kota Tay-beng. Pintu gerbang gedung itu berapit sepasang singa batu yang gagah perkasa, dan di atasnya ada sehelai papan tebal bercat hitam berukir dengan empat buah huruf emas yang indah “Tiong-gi Piau-hang”.

Cian Sin-wi menarik tali kendalinya kuat-kuat sehingga keretanya berhenti di depan gedung itu. katanya sambil tersenyum, “Nah, inilah rumahku. Kupersilahkan kau mampir di sini.”

Alangkah kagumnya Wi-hong melihat gedung besar yang merupakan pusat sebuah Perusahaan Pengawalan yang paling besar dan paling kuat di Kang-pak (Daerah Utara Sungai Besar). Gedung itu tidak terlalu megah seperti gedung para pangeran atau bangsawan lainnya, namun menampilkan keangkeran dan perbawa yang memukau seperti gedung-gedung pusat persilatan umumnya.

Di halaman depan terpancang sebuah bendera lambang Tiong-gi Piau-hang, yaitu kain segi tiga berwarna putih bersih yang di tengahnya tersulam lukisan sebuah hati berwarna emas. Dari pintu gerbang yang setengah terbuka, Wi-hong melihat puluhan orang piau-su (petugas pengawal barang) sedang berlatih silat dengan giatnya. Rata-rata mereka bertubuh kekar dan nampak tangkas.

Melihat kedatangan Cian Sin-wi, para piau-su yang sedang berlatih itu segera menghentikan latihan mereka dan beramai-ramai menyambut pemimpinnya. Mereka menanyakan kesehatan dan keselamatan Cian Sin-wi, sebaliknya Cian Sin-wi sebagai pemimpin pun nampak sangat akrab dengan anak buahnya meskipun tidak kehilangan wibawanya.

Melihat hal itu diam-diam Wi-hong berpikir, “Inilah rahasianya kenapa Tiong-gi Piau-hang semakin lebar menebarkan sayap kekuasaannya. Hubungan yang akrab antara pimpinan dan bawahan telah membuat para bawahan merasa diperhatikan dan bekerja sungguh-sungguh bagi perusahaannya.”

Tidak lupa Cian Sin-wi memperkenalkan Wi-hong denga para piau-su itu. Wi-hong merasa bahwa meski para piau-su itu sikapnya agak kasar, menandakan pendidikan yang kurang tinggi, namun mereka justru berhati terbuka dan jujur. Sifat kaum pekerja keras pada umumnya....
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 07

Perserikatan Naga Api Jilid 07

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
SEDANGKAN Tan Goan-ciau adalah yang paling tua diantara keempat orang sisa gerombolan. Ia lebih tua dua tahun dari Wi-siang dan merupakan “penasehat perang”nya Wi-siang. Ia bekas penjudi ulung di An-yang-shia. Ia tidak punya sanak keluarga seorangpun di An-yang-shia, karenanya maka hatinya tidak serisau ketiga temannya sebab di An-yang-shia tiada apapun yang membebani hatinya.

Saat itu mentari sudah mulai condong ke arah barat. Tetapi keempat anak muda itu tidak ingin beristirahat di dalam kota Kiang-leng yang sudah nampak di depan mata. Mereka tidak berani istirahat dalam kota. Mereka lebih suka memilih sebuah bukit terpencil yang ditumbuhi semak belukar di luar kota Kiang-leng sebagai tempat peristirahatan mereka.

Tong Wi-siang yang sedang menderita kelelahan lahir-batin itupun langsung terlelap begitu membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Dalam tidurnya dia bermimpi melihat sebuah pantai laut yang gelombangnya bergelora hebat, lalu samar-samar terlihatlah sesosok tubuh berdiri di pinggir laut dan menghadap ke arah laut. Tong Wi-siang kaget setelah mengetahui bahwa orang yang berdiri di pinggir laut itu adalah ibunya!

Sedang di tengah ombak nampak dua orang yang sedang timbul- tenggelam dipermainkan ombak. Kedua tangan mereka mengapai-gapai seakan meminta pertolongan, tetapi justru terseret ombak semakin jauh ketengah laut. Hati Wi-siang bagai tenggelam ketika melihat bahwa kedua orang yang dipermainkan ombak itu ternyata adalah kedua orang adiknya! Nampak ibunya berseru-seru sambil menangis di pinggir pantai.

Dalam mimpi itu, Wi-siang berusaha untuk berlari mendekati sang ibu namun kakinya bagaikan terpaku di tanah sehingga tidak berhasil maju selangkahpun. Ia ingin berteriak memanggil ibunya, tetapi tidak ada suara yang keluar sedikitpun meski mulutnya sudah ternganga lebar. Wi-siang semakin gugup.

Tiba-tiba dilihatnya ayahnya muncul di depannya dengan sekujur tubuh berlumuran darah. Sang ayah melotot kepadanya dengan telunjuk menuding ke arahnya. Berbagai macam perasaan bergelut di hatinya, rasa takut, menyesal, terharu, rindu, putus asa, dan sebagainya. Tanpa dia sadari, dia mulai berteriak-teriak dalam tidurnya.

“Ampuni aku, ayah! Ibu! Ampuni anakmu yang tidak berbakti dan menjadi sumber malapetaka ini! A-hong! A-lian! Adikku!” teriak Wi-siang dalam tidurnya sambil meronta-ronta.

“A-siang! A-siang!” terdengar sebuah suara memanggil-manggil namanya.

Wi-siang jadi semakin keras meronta dan berteriak. Suara yang memangginya itu bagai suara ayahnya yang muncul dari liang kubur untuk memarahinya dan mengutuknya. Napasnya menjadi sesak karena takutnya. Terasa tubuhnya diguncang-guncang oleh seseorang, dan ketika dengan susah payah ia berhasil membuka mata, ternyata bahwa yang memanggil dan mengguncang tubuhnya adalah Lim Hong-pin.

“A-siang, kau mengigau,” kata Hong-pin.

Wi-siang tidak menyahut. Dihirupnya udara malam yang dingin segar untuk menenangkan diri. Setelah dirasa tenang barulah ia memaksakan diri untuk pura-pura tertawa sambil menyahut, “Tidak apa-apa, aku hanya mimpi buruk. Tidurlah kalian, perjalanan kita masih sangat jauh dan membutuhkan istirahat yang cukup.”

Ketiga orang kawannya tidak bertanya-tanya pula, mereka segera berbaring di tempatnya masing-masing. Namun malam terlalu gelap untuk dapat melihat apakah mereka benar-benar memejamkan mata atau tidak. Sedang Tong Wi-siang justru semakin tidak dapat memejamkan matanya, bahan ia lalu bangkit dan duduk memeluk lutut. Hatinya risau bukan main. Tiba-tiba saja matanya menjadi panas dan basah, meskipun ia mencoba menguatkan hati, namun akhirnya dua butir air mata meluncur turun juga.

“Kau menangis, A-siang?” tiba-tiba Lim Hong-pin bersuara. Ternyata anak muda she Lim itupun sukar untuk tidur dan kebetulan ia bisa melihat kilauan air mata mengalir turun dari pelupuk mata Wi-siang. Karena Wi-siang tidak menjawab pertanyaannya, Lim Hong-pin kemudian berkata lagi denag nada mengandung teguran, “Kau selalu mengatakan kepada kami bahwa kita harus menatap ke depan dengan berani. Karena itu jangan menangis seperti perempuan.”

Tiba-tiba kepala Lim Hong-pin bagai terputar ke samping dengan kerasnya, karena lengan Wi-siang telah terayun dan menampar pipinya dengan keras. Hong-pin terkejut karena tidak mengira bahwa sahabat baiknya sejak kanak-kanak itu akan tega menamparnya. Ia justru menjadi kebingungan dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Di saat itulah terdengar suara Wi-siang dengan nada berat, “Aku tahu bahwa kau adalah sahabatku yang baik, Hong-pin. Aku juga tahu kesetiaan dan keberanianmu dalam terhadap kelompok ini sebab aku telah bertempur bersamamu puluhan kali. Tapi hati-hatilah dengan mulutmu. Aku berharap kelak kau akan tetap menjadi pendampingku dan sahabatku yang terbaik.”

“Maafkan ucapanku tadi, A-siang,” kata Lim Hong-pin.

Tong Wi-siang menarik napas. Lalu sambil menepuk pundak Lim Hong-pin dia berkata, “Akupun minta maaf karena menamparmu. Sesungguhnya aku memang menangis, tapi bukan karena cengeng dan ketakutan. Aku tidak gentar menanggung semua akibat perbuatanku sendiri. Tetapi aku sangat menyesal bahwa kebengalanku ternyata telah mencelakakan pula ayahku, ibuku, dan kedua adikku. Aku harus berbuat sesuatu yang besar untuk menebus kesalahan yang maha besar ini.”

Keempat orang sahabat itu kemudian terdiam. Ternyata Tan Goan-ciau dan Siangkoan Hong pun sedang sukar tidur. Kemudian terdengar suara Siangkoan Hong,

“Semuanya sudah terlanjur, A-siang. Akupun menyesal tetapi sudah tidak ada gunanya lagi. Aku tidak tahu saat ini ayahku berada di mana dan bagaimana nasibnya. Tidak ada jalan lain, kita harus melangkah ke depan dengan berani. Saat ini memang kita adalah buronan-buronan hina, tercampak ke sana ke mari. Tapi aku ingin bahwa suatu saat nanti, kitalah yang akan menjadi pemburunya.”

“Betul,” potong Lim Hong-pin cepat. “Rasanya api dendam yang menyala dalam dadaku ini harus mendapat pelampiasan yang setimpal di kemudian hari.”

Sahut Tong Wi-siang, “Terima kasih sahabat-sahabatku, kalian seakan sedang mengambil sebagian beban perasaanku dan kalian pikulkan kepada diri kalian sendiri. Namun aku tetap merasa bahwa kesalahan terbesar tetap ada pada diriku. Jika aku sebagai pemimpin kalian waktu itu tidak terbujuk oleh Thio Hong untuk membunuh rombongan pejabat dari Pak-khia itu, tentu keadaan kita tidak seburuk seperti saat ini. Diburu dan terpisah dari keluarga. Betapapun juga aku harus minta maaf kepada kalian.”

“Sudahlah,” kata Siangkoan Hong sambil mengibaskan tangan. “Waktu terjadinya peristiwa itu kita semua melakukannya dengan sadar, tidak ada seorangpun yang berhak memindahkan tanggung jawabnya kepada orang lain. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana langkah-langkah kita selanjutnya.”

“Tidak ada jalan mudur lagi buat kita,” kata Wi-siang. Sikapnya pulih kembali sebagai sikap seorang pemimpin dari sebuah gerombolan yang garang. Katanya lagi, “Tetapi sebaiknya kita merubah cara bertindak kita supaya jumlah kita tidak berkurang lagi. Sudah cukup banyak jumlah teman kita yang gugur.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba sebuah senyuman penuh arti tersembul di bibir Wi-siang. Katanya, “Aku punya sebuah rencana yang besok akan kuberitahukan kepada kalian, jadi kalian tidak usah khawatir lagi bahwa kita akan berjalan tanpa arah dan tanpa batas waktu tertentu. Aku sudah punya rencana. Aku juga setuju dengan ucapan Siangkoan Hong tadi bahwa jika kita sudah punya kekuatan, kitalah yang akan menjadi pemburu, bukan lagi binatang-binatang buruan.”

Meskipun malam cukup gelap tapi dapat dirasakan bahwa ketiga orang teman Wi-siang itu sangat terkejut mendengar ucapannya. Tan Goan-ciau berseru dengan suara seperti tercekik, “A-siang, gila kau! Maksudmu... maksudmu... kita akan memberontak secara terang-terangan kepada Kerajaan?”

Tong Wi-siang tertawa melihat kekagetan kawan-kawannya. Sahutnya dengan kalem, “Apa salahnya memberontak? Tetapi tentu tidak kita lakukan sekarang, melainkan menunggu sampai kita kekuatan yang cukup untuk menandingi si keparat Cong-ceng itu.”

Karena kawan-kawannya masih juga nampak ragu-ragu, Wi-sinag mencoba meyakinkan mereka, “Seorang lelaki muda harus bercita-cita, kalau tidak maka ia hanya menghabiskan waktunya hari demi hari secara percuma. Kita berempat masih terlalu muda untuk bersikap pasrah begitu saja dan bersikap seperti nenek-nenek. Kita masih cukup mampu untuk melakukan semuanya. Jika kalian melihat sejarah, kalian tentu ingat siapa Temu-chin. Ia cuma seorang anak gembala dan yatim piatu pula, tetapi ketika ia meninggal dunia, ia telah bergelar Jengis Khan dan mewariskan Kerajaan yang luasnya sepertiga dunia kepada cucu-cucunya. Kalian ingat pula siapa Cu Goan-ciang? Ia cuma seorang rahib melarat yang hidup dari mengemis namun ternyata kemudian dia telah mampu mendirikan Kerajaan Beng dan bergelar Beng-thay-cou. Apakah salahnya kalau kita yang sudah terjepit ini bercita-cita demikian?”

Sementara Tong Wi-siang berbicara panjang lebar, ketiga orang kawannya saling bertukar pandang dengan nelong. Diam-diam mereka mulai berpikir jangan-jangan Wi-siang telah mulai berubah ingatan karena pikirannya terlalu tertekan? Namun sesungguhnya Wi-siang tidak melantur sembarangan. Dalam keadaan terjepit itulah mendadak dia ingat akan sebuah cerita dari ayahnya tentang Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan dari Bu-san) yang pernah terkenal pada masa kira-kira seratus tahun yang lalu.

Kabarnya Bu-san-jit-kui meninggalkan peninggalan-peninggalan berharga yang disimpan di puncak Yu-kui-hong (Puncak Hantu Gentayangan) di deretan pegunungan Bu-san di wilayah Su-coan. Cerita tentang Bu-san-jit-kui itu tidak banyak diperhatikan oleh orang, namun Wi-siang kini justru mengingat dan bermaksud untuk menggalinya daripada berkeliaran tidak tentu tujuan.

Melihat ketiga kawanya masih kurang percaya, Wi-siang menarik napas, katanya, “Aku tahu kalian kurang yakin. Tapi kuminta percayalah padaku, aku tidak membual. Sekarang tidurlah, besok kita akan mulai dengan sebuah perjalanan yang sangat jauh, namun sudah ada tujuan yang pasti.”

Tanpa membantah, ketiga kawannya lalu membaringkan diri kembali di atas rerumputan. Dalam hati mereka masih menebak-nebak, kemana Wi-siang hendak membawa mereka? Kenapa Wi-siang nampak begitu yakin? Akhirnya Tan Goan-ciau tak dapat lagi menahan dorongan perasaan ingin tahunya, baru sebentar ia berbaring, ia lantas bangkit kembali dan bertanya, “A-siang, sebenarnya apa yang sedang kau rencanakan?”

Pertanyaan itu sejalan dengan pikiran kedua kawannya yang juga sedang gelisah, maka Lim Hong-pin ikut nimbrung, “Benar, kau harus memberi jawaban, A-siang. Jangan berteka-teki lagi.”

Sahut Tong Wi-siang, “Aku tidak akan memberitahukan kepada kalian, bukan karena aku kurang percaya, namun aku menjaga jangan sampai kalian membocorkan rencana ini kepada orang lain tanpa kalian sengaja. Jika hal itu sampai bocor, maka akan timbul banyak kerepotan buat usaha kita tersebut. Tapi baiklah, aku berikan sedikit gambaran tentang apa yang sedang aku pikirkan. Aku tahu sebuah tempat kuno yang kabarnya di situ tersimpan sebuah harta karun yang cukup untuk membiayai sebuah pasukan, tempat itu adalah tempat segerombolan penjahat menyimpan hasil rampokannya. Selain itu, di tempat itu pula terdapat peninggalan-peninggalan lain yang tak kalah berharganya dengan harta karun tersebut.”

Mau tidak mau ketiga orang kawannya mulai terpengaruh juga setelah melihat nada Wi-siang yang begitu meyakinkan. Bahkan ketiganya mulai ikut berangan-angan. Apabila ucapan Wi-siang benar dan dapat menjadi kenyataan, alangkah hebatnya! Mereka akan memimpin sebuah pasukan besar yang dapat digerakkan untuk merebut Kerajaan, bukan lagi gerombolan kecil yang diburu kesana kemari. Giliran merekalah yang akan memburu lawan-lawan yang mereka benci.

Dongeng sejarah tentang Temu-chin si anak gembala Mongol dan Cu Goan-ciang si Paderi melarat dari Hong-yang itupun mulai membayang di pelupuk mata mereka. Temu-chin bisa menjadi Jenghis Khan dan Cu Goan-ciang menjadi Beng-tay- cou, kenapa mereka tidak boleh bercita-cita seperti itu?

Dan malam itu mereka lewatkan dengan beberapa mimpi yang muluk-muluk. Mereka baru berlompatan bangun dengan kagetnya ketika seekor ayam hutan berkokok di atas dahan, tepat di atas kepala mereka membaringkan diri. Keempat pemuda itu lalu melanjutkan perjalanan dengan tenaga baru dan semangat baru. Kini mereka sudah punya harapan dan tujuan pasti, bukan sekedar mengembara sambil mengacau. Meskipun Wi-siag belum memberitahukan arah tujuan mereka dengan alasan menjaga kebocoran, tapi mereka bertiga cukup percaya kepada Tong Wi-siang.

Hari pertama dan hari ke dua, mereka masih terus berjalan tanpa banyak rewel. Hari ke tiga mereka tidak dapat menahan diri dan mulai ada yang bertanya-tanya sebenarnya kemana tujuan Wi-siang, namun Wi-siang tetap bungkam. Hari ke empat, pipi Lim Hong-pin menjadi bengap kembali sebab ia berani mendesak Wi-siang untuk menyebut tempat tujuannya. Hari ke lima perjalanan kembali menjadi tenang dan tidak ada lagi yang berani bertanya-tanya.

Berhari-hari mereka berkuda ke arah barat tanpa berhenti sedikitpun. Malam mereka tidur di tempat-tempat yang sekenanya mereka temukan, dan makanannya pun sembarangan saja. Puluhan kota telah mereka lewati, ratusan kampung dengan penduduk yang logat bahasanya bermacam-macam telah mereka tinggalkan di belakang mereka. Dan akhirnya mereka telah mendekati daerah Su-coan, suasana alam pun berganti.

Jika tadinya mereka melihat banyak sungai, gunung, lembah, dan tanah-tanah perladangan, maka begitu masuk daerah Su-coan ini mereka mulai melihat sebuah padang rumput yang terbentang luas bagai tak bertepi. Tidak terlihat lagi tanah-tanah pertanian, yang terlihat sekarang adalah rombongan biri-biri yang bergerombol di padang rumput.

Petani bertelanjang dada dan bertudung bambu juga mulai jarang dijumpai, yang nampak adalah para penggembala biri-biri yang berpakaian daerah Su-coan, berikat kepala putih dan bersepatu rumput. Orang-orang Su-coan ini berhidung agak lebih mancung dibanding orang-orang daerah lain di wilayah tengah.

“Gila, tak terasa kita sudah hampir mencapai ujung negeri kita ini,” gerutu Tan Goan-ciau memberanikan diri. “A-siang, kau masih belum juga mau memberitahukan tujuan perjalanan kita kepada kami dan membiarkan kami terus berteka-teki?”

Sebenarnya Tan Goan-ciau sudah siap menghadapi kemarahan Wi-siang, namun di luar dugaan Wi-siang tidak marah, malah tersenyum lebar. Sahutnya sambil menuding ke depan, “Paling lama dua hari lagi, kita sudah akan dapat melihat tempat yang kita tuju. Aku tidak berbohong.”

“Dapatkah kau beritahukan kepada kami sekarang?”

Ketika Wi-siang menganggukkan kepala tanda menyetujui, serempak ketiga temannya mendekatkan kuda dan menjulurkan kepala mereka supaya dapat mendengar dengan jelas. Terdengar Wi-siang berkata,

“Kita akan menuju pegunungan Bu-san, tepatnya puncak Yu-kui-hong (Puncak Hantu Gentayangan). Kita akan memanjat puncak yang terjal itu untuk melacak sebuah peninggalan kuno. Tapi mungkin kita harus beristirahat sehari penuh di bawah puncak sebelum memanjatnya sebab untuk memanjatnya dibutuhkan tenaga yang segar.”

“Tentang harta karun yang kau katakan itu...” kata Siangkoan Hong dengan agak ragu-ragu.

Hari itu sifat pemarah Tong Wi-siang bagai lenyap tanpa sisa dan diganti dengan sikap riang gembira yang menggambarkan penuhnya harapan cerah. Sambil tertawa dan mulut berseri ia menepuk pundak Siangkoan Hong, “Jangan khawatir, kapan aku pernah menipu kalian?”

Sikap Wi-siang tersebut telah membuat ketiga kawannya jadi bersemangat pula. Berkali-kali mereka berteriak gembira sambil memacu kuda-kuda mereka di tengah padang rumput maha luas itu. kadang mereka bernyanyi dan bersiul-siul. Kegembiraan yang telah berbulan-bulan tidak pernah mereka rasakan, kini mulai mengisi relung hati mereka kembali. Bahkan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang masih belum hilang sifat kanak-kanaknya kadang bermain kejar-kejaran di atas kuda mereka.

Sebelum memasuki kawasan pegunungan Bu-san, mereka sempat bermalam semalam lagi. Bermalam di sebuah padang rumput terbuka tanpa pelindung apapun benar-benar menyengsarakan mereka, untung mereka dapat membuat sebuah api unggun dan menangkap seekor kambing gurun yang gemuk sebagai pengisi perut kosong mereka.

Dalam kesempatan beristirahat itulah Tong Wi-siang bercerita selengkapnya tentang kisah Bu-san-jit-kui. Ratusan tahun yang lalu di dunia persilatan ada tujuh orang tokoh jahat berjuluk Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) yang kesaktian maupun kekejamannya sanggup membuat menggigil orang persilatan manapun juga.

Pada saat ketujuh bersaudara itu bersimaharajalela di puncak kejayaannya, maka Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay masing-masing telah mengutus seorang tokoh tertingginya untuk menumpas ketujuh durjana itu. Terjadilah pertempuran yang seru dan berlarut-larut. Bu-san-jit-kui melawan gabungan dua tokoh Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay. Bu-san-jit-kui berhasil ditumpas, namun kedua tokoh itupun terluka parah dan di tengah perjalanan pulang ke kuil masing-masing, kedua tokoh itu meninggal dunia.

Ketiga orang kawan Wi-siang mendengarkan cerita itu dengan penuh minat. Tanya Lim Hong-pin kemudian, “Tetapi apakah cerita tentang Bu-san-jit-kui itu dapat dipercaya?”

“Tidak perlu diragukan lagi.” Sahut Wi-siang mantap. “Mendiang ayahkulah yang bercerita kepada ibuku, dan ayah tidak mungkin membohongi ibu. Saat itu aku berhasil menguping pembicaraan mereka.”

“Jelas ayahmu tidak mungkin membohongi ibumu,” tukas Siangkoan Hong. “Tetapi dari sumber manakah ayahmu mendapatkan cerita itu atau jangan-jangan cuma dongeng?”

"Tidak, apa yang dikisahkan ayah kepada ibu itu adalah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi ratusan tahun yang lalu. Begini ceritanya bagaimana ayahku sampai mengetahui kisah itu. Beberapa tahun yang lalu ayah pergi ke Soat-san, dan pulangnya dia sengaja melewati daerah sekitar pegunungan Bu-san ini. Di tengah jalan, ayah menemukan seorang tua yang hampir mati kehausan dan dalam keadaan luka-luka karena habis dirampok, ayah menolong orang tua itu. Dan ternyata orang tua yang kelihatan tak berarti itu adalah cucu murid Bu-san-jit-kui satu-satunya, menurut pengakuannya, hanya saja ia kurang berbakat sehingga ilmu perguruannya yang tinggi hanya dapat dipelajarinya secara tanggung-tanggung. Ia membalas budi kebaikan ayah dengan menceritakan tentang peninggalan Bu-san-jit-kui di Yu-kui-hong itu. Namun ayah sebagai murid dari golongan lurus tidak sudi dan tidak tertarik dengan peninggalan ketujuh durjana itu.”

“Jika orang tua yang ditolong oleh ayahmu itu mengetahui sebuah peninggalan yang begitu berharga, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya dan memanfaatkannya?” tanya Tan Goan-ciau.

“Sebab orang tua itu merasa tidak mampu memanjat puncak Yu-kui-hong yang hampir tegak lurus dan tingginya ratusan tombak.”

“Begitu hebatnya kah puncak itu?”

“Entahlah, sebab selama ini aku sendiri juga belum melihatnya,” jawab Wi-siang. “Menurut ceritanya, mungkin benar-benar hebat, tapi mungkin juga karena orang tua itu yang tidak becus. Tetapi kita harus membulatkan tekad untuk mencapai tujuan kita. Ini adalah satu-satunya jalan kita jika ingin membalas kepada orang-orang yang telah memburu kita, dan untuk mengguncangkan negeri ini,”

“Kalau aku teringat kepada keluargaku yang diperlakukan sesuka hati, maka rimba pedang dan lautan minyak yang mendidih pun akan kuterjang asal bisa membalas dendam kepada Cia To-bun!” kata Lim Hong-pin sambil menggertakkan gigi dan mata yang berapi-api.

“Tekadku juga sudah bulat!” kata Siangkoan Hong.

“Akupun siap menempuh semua rintangan. Lebih baik mampus jika usaha ini gagal, daripada hidup terus sebagai buruan!” sahut Tan Goan-ciau pula.

“Bagus sekali, sikap kalian membesarkan hatiku!” teriak Tong Wi-siang penuh semangat. “Kita akan menjadi empat serangkai Bu-san-su-kui (Empat Setan dari Bu-san) yang kembali akan membuat dunia persilatan menggigil ketakutan seperti jamannya Bu-san-jit-kui dulu!”

Dasar anak-anak muda yang masih berdarah panas dan gampang terbawa gejolak perasaan, maka keempat orang itu segera berlomba-lomba mengucapkan kata-kata yang muluk-muluk dan berapi-api sehingga semangatnya pun berkobar hebat. Mereka lalu bercakap-cakap sampai jauh malam.

Dalam kesempatan itu Wi-siang lalu melengkapi tentang kisah Bu-san-jit-kui. Kabarnya, selain harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui yang tidak ternilai harganya, juga terdapat kumpulan kitab-kitab ilmu-ilmu milik ketujuh durjana itu. Bukan cuma ilmu silat, tapi juga ilmu racun dan ilmu hitam pula! Kelengkapan ilmu inilah yang agaknya membuat Bu-san-jit-kui sangat ditakuti pada jamannya.

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat baru,meskipun mata agak mengantuk karena kurang tidur. Setelah berjalan ratusan li kemudian, pegunungan Bu-san sudah nampak di depan mata. Pegunungan yang terletak di wilayah Su-coan itu merupakan tempat yang sangat menguntungkan jika ditinjau dari sudut ilmu perang.

Waktu Wi-siang dan kawan-kawannya berhasil mendekati pegunungan itu, hari sudah mulai sore dan langit mulai gelap. Puncak yang di sebut Puncak Yu-kui-hong itu nampak kehitam-hitaman dalam keremangan senja, begitu menakutkan seperti sesosok hantu raksasa. Tak terasa ada sedikit rasa seram yang timbul di hati anak-anak muda yang biasanya tak kenal takut itu.

“Luar biasa,” desis Lim Hong-pin.

“Ya, memang luar basa,” Siangkoan Hong pun mendesis. Namun disambungnya kata-katanya sendiri, “Tapi aku sudah bertekad tidak akan mundur, apapun yang kuhadapi.”

“Betul, paling-paling jika kita gagal, kta mampus,” geram Tong Wi-siang. Nampaknya tekad yang sama telah mewarnai keempat orang muda itu.

Malam harinya, mereka bermalam di kaki puncak yang mengerikan itu. Ternyata puncak itu dinamai Puncak Setan Gentayangan memang ada sebabnya, yaitu gara-gara di atas puncak sering terdengar desau angin yang nadanya begitu mengerikan, seperti hantu menangis. Penduduk yang suka tahayul akan segera berkata bahwa di puncak itu merupakan kediaman para siluman, dan itulah agaknya mengapa puluhan li di sekitar Yu-kui-hong tidak ada rumah penduduk sebuah pun.

“Mengerikan sekali,” gerutu Lim Hong-pin. “Kita bukan saja akan mengunjungi tempat siluman itu, tapi bahkan mungkin akan tinggal agak lama di sana.”

Tan Goan-ciau yang sedang duduk memeluk lutut di sebelahnya, melirik ke arah Lim Hong-pin sambil bertanya sinis, “Nah kau mulai gemetar ketakutan?”

Lim Hong-pin menyeringai, “Terus terang saja, aku memang agak ngeri juga.”

Keesokan harinya mereka tidak langsung memanjat puncak itu, melainkan beristirahat lagi sehari penuh. Lusa barulah mereka akan mulai memanjatnya dengan kesegaran penuh. Ya, dengan kesegaran penuh, sebab dari kaki puncak sampai ke puncaknya tidak ada tempat landai sedikitpun yang bisa digunakan sebagai tempat beristirahat, itu berarti bahwa sekali memanjat harus terus memanjat, tidak ada tempat untuk berhenti, atau akan terbanting mampus ke bawah.

Setelah tiba hari yang ditentukan, begitu matahari mulai bersinar hangat, keempat sahabat itupun mulai dengan pekerjaan yang penuh bahaya maut. Puncak itu hampir tegak lurus dengan tanah dan merupakan sebuah medan alam yang sangat sulit, untunglah di lerengnya banyak akar-akar pohon tua yang bergayutan sehingga dapat digunakan untuk merambat setapak demi setapak.

Meskipun demikian mereka juga harus hati-hati, sebab ada akar-akar tertentu yang tidak cukup kuat berpegang pada tanah yang jika dipegang akan tercerabut dari tempatnya. Siapa yang keliru memegang akar ini, mampuslah bagiannya! Selain itu masih ada gangguan lain yang membuat keempat orang itu kesal. Yaitu pohon-pohon kecil berduri yang tumbuh sepanjang lereng, juga serangga-serangga yang nampaknya beracun berkali-kali “numpang lewat” di tubuh mereka.

Namun dengan tekad yang membaja, yang sudah mereka tumbuhkan sendiri di dalam hati mereka, keempat anak muda itu terus merayap tanpa kenal menyerah. Mereka tidak peduli lagi pakaian mereka mulai terkoyak-koyak dan bahkan kemudian kulit mereka mulai terbarut oleh duri-duri sepanjang lereng.

Setelah mereka memanjat setinggi limapuluh tombak, nampaklah bahwa keadaan Siangkoan Hong mulai kepayahan. Pakaiannya telah basah kuyup oleh keringat yang bercampur dengan darah, sepatunya sudah hilang sebelah dan ikat pepalanya pun sudah hilang tersangkut pepohonan sehingga rambutnya jadi awut-awutan tidak keruan. Siangkoan Hong inilah yang merayap paling belakang. Beberapa langkah di atasnya, Lim Hong-pin sedang bergayutan pada akar pepohonan dengan keadaan yang agak lebih segar, namun sudah nampak kelelahan pula.

“Gila!” gerutu Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong hampir bersamaan, tapi mereka tidak tahu makian itu harus ditujukan kepada siapa? Bukankah mereka berdua sendiri juga pernah sesumbar tidak akan menyerah kepada rintangan apapun?

Sewaktu Siangkoan Hong mendongak ke atas, nampaklah bahwa puncak Yu-kui-hong masih ada puluhan tombak di atas kepalanya. Dan ketika ia menoleh ke bawah, nampaklah bahwa keempat ekor kuda mereka itu hanya berujud titik-titik kecil seperti marmut. Kini keadaan keempat orang itu benar-benar terkatung-katung antara langit dan bumi. Apa boleh buat, terpaksa Siangkoan Hong membulatkan tekad, meneruskan merambat ke atas sambil menggertakkan gigi.

Tangannya yang mencengkeram akar-akar pohon mulai terasa gemetar dan hampir lepas, tapi dengan bandel ia maju terus. Ketika merasa hampir jatuh, ia berteriak, “Hong-pin, tolong aku!”

Lim Hong-pin menoleh kebawah dan dilihatnya Siangkoan Hong yang keadaanya sudah agak gawat. Kalau Siangkoan Hong diajak memanjat terus, mungkin ia akan kehabisan tenaga dan jatuh ke bawah, dan itu berarti mati. Tetapi harus beristirahat di mana? Tempat sejengkal untuk menginjakkan kaki saja sangat sulit didapat, apalagi untuk istirahat, sedangkan untuk balik turun pun akan memerlukan tenaga yang sama besarnya dengan tenaga untuk memanjat ke atas.

“Maaf A-hong, aku sendiri hampir kehabisan napas,” sahut Lim Hong-pin sambil terengah-engah. Meskipun demikian Lim Hong-pin tidak akan sampai hati melihat kawan sejak masa kecilnya bakal mati terbanting dari tempat setinggi itu. Maka ia lalu berteriak kepada Tong Wi-siang yang memanjat paling atas dan paling bersemangat, “A-siang! Tunggulah! A-hong hampir mampus kehabisan tenaga!”

Tong Wi-siang menoleh ke bawah sambil menggertakkan gigi. Wi-siang sendiri sebagai orang yang paling tangguh dan paling kuat jasmaninya diantara keempat orang itu, kini sudah merasa pegal-pegal pada lengannya, apalagi Siangkoan Hong dan yang lainnya? Tapi apa yang bisa diperbuatnya untuk menolong teman-temannya? Tidak lain hanya berusaha membesarkan kobaran semangat kawan-kawannya,

“Bertahanlah terus! Kita sudah bertekad untuk menempuh jalan ini demi cita-cita kita!”

Sedangkan Tan Goan-ciau diam-diam sudah mulai timbul pikiran curangnya. Katanya dalam hati, “Makin sedikit yang menemukan harta karun itu, makin baik. Kalau harta karun itu dibagi banyak orang, maka bagian setiap orang akan menjadi sedikit. Mampuslah kau Siangkoan Hong!”

Kadang-kadang timbul juga ingatan keji Tan Goan-ciau. Hanya dengan menggulingkan batu yang agak besar ke bawah, maka ia bisa menjatuhkan Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong. Tapi ia takut jika Wi-siang mengetahui perbuatannya dan kemudian Wi-siang membalas kepadanya dengan cara yang sama.

Tan Goan-ciau mengenal betul akan sifat Wi-siang yang meskipun pemberang dan kadang-kadang kejam, namun sangat menjunjung tinggi kesetia kawanan dan asas “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Akhirnya Tan Goan-ciau tidak berani menjalankan rencana jahatnya itu, dan cuma mengharap agar Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin mampus dengan sendirinya.

Demikianlah nasib keempat orang muda yang nekad itu kini tergantung sepenuhnya kepada diri masing-masing, kini siapapun tidak bisa minta pertolongan kepada yang lainnya. Akhirnya Siangkoan Hong sendiripun menyadarinya. Dengan membulatkan tekad dan mengerahkan tenaga, ia memaksa dirinya untuk terus merambat ke atas. Kadang-kadang ia berhenti cukup lama dan hanya bergelantungan dengan sebelah tangan untuk “mengistirahatkan” tangan lainnya, setelah itu lalu memanjat lagi dengan tangan yang lain.

Di saat ketiga orang teman Wi-siang sudah hampir putus harapan, tiba-tiba terdengarlah suara Wi-siang yang membesarkan kembali harapan mereka, “He, beberapa tombak di atas kepalaku nampaknya ada sebuah gua! Kita bisa beristirahat sebentar di tempat itu!”

Seruan itu bagaikan sebuah sumber tenaga maha ajaib bagi ketiga temannya. Semangat mereka berkobar kembali dan mereka memanjat semakin giat. Ketika mereka menoleh ke atas, nampaklah Tong Wi-siang berhasil mencapai gua itu dan sedang merangkak ke dalam sebuah cekungan. Menyusul itu Tan Goan-ciau berhasil masuk ke gua dengan ditarik tangannya oleh Wi-siang. Berturut-turut Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong juga mencapai gua itu. Begitu berhasil duduk dalam gua, Siangkoan Hong langsung meletakkan punggungnya di lantai gua sambil mendesah lega,

“Huh, kukira tadinya umurku hanya akan sampai hari ini!”

Kemudian terdengar Lim Hong-pin bersungut-sungut dengan kesalnya. Kiranya bekal makanan yang mereka bawa tidak tersisa sepotongpun, semuanya habis tercecer selama memanjat tadi. Tidak seorangpun diantara kawan-kawannya yang menanggapi kekesalan Hong-pin, semuanya sudah terlalu malas untuk berpikir.

Setelah lelah mereka sudah agak berkurang, barulah mereka berkesempatan memperhatikan keadaan gua itu. Ternyata bentuk gua itu tidak menyerupai gua-gua alam pada umumnya, melainkan lebih menyerupai pahatan tangan manusia. Tong Wi-siang lah yang lebih dulu menyadarinya, ia bagaikan tersentak dari duduknya dan berteriak,

“He! Gua ini nampaknya buatan tangan manusia!”

Seruan itu memancing perhatian ketiga rekannya, disusul oleh teriakan Lim Hong-pin, “Lihat! Di sana seperti ada pahatan huruf-huruf kuno!”

Tempat yang dituding oleh Lim Hong-pin adalah dinding gua sebelah kiri yang agak cekung ke dalam. Dinding itu nampak sudah terlapis lumut dan debu sehingga pahatannya nampak samar-samar. Cepat Wi-siang mencabut pedangnya dan membersihkan dinding itu sehingga tertampaklah sederetan huruf kuno yang bermakna:

“Di tempat ini siapapun harus tunduk kepada Bu-san-jit-kui. Yang membangkang akan mampus, yang tunduk ada pahalanya”.

Di bagian bawah deretan huruf kuno itu ada ukiran tujuh muka setan yang menakutkan. Melihat itu, Wi-siang hampir saja melompat kegirangan, teriaknya, “Kita telah menemukan jejak Bu-san-jit-kui! Mungkin kita tidak perlu memanjat lagi!”

“Betul!” sahut Siangkoan Hong. “Hayo kita bersihkan dinding-dinding ini, barangkali kita akan menemukan petunjuk-petunjuk lain!”

Keempatnya segera membersihkan semua lumut dan debu yang melapisi dinding gua. Makin bersih tempat itu, makin nampaklah bahwa gua itu ternyata memang bukan buatan alam, melainkan buatan manusia. Dan manusia yang mampu membuat gua di tempat sesukar dan seterjal itu tidak lain pastilah manusia-manusia luar biasa.

Sementara itu Siangkoan Hong telah pula menemukan sesuatu, “Lihatlah ke sini!” teriaknya, dan ketiga temannya segera berlarian mendekat.

Yang diketemukan Siangkoan Hong ternyata adalah sebuah lukisan yang terpahat di dinding gua, menggambarkan seorang rahib Buddha (Hwesio) yang berwajah bulat sedang duduk bersemedi. Di bawah lukisan tersebut ada tulisan, “Rahib Thian-lui. Tendang mukanya lima kali!”

“Bagaimana ini? Kita turuti perintah tulisan ini atau tidak?” tanya teman-teman Wi-siang kepadanya.

“Kita harus mencoba semua kemungkinan. Tidak ada salahnya kita turuti perintah itu dan akan kita lihat bagaimana kelanjutannya,” sahut Wi-siang.

Dan tanpa menunggu sahutan dari teman-temannya, Wi-siang segera menendang muka “rahib” itu sebanyak lima kali. Habis tendangan ke lima, tiba-tiba terasa gua itu bagai bergetar, lalu dinding bagian dalam dari gua itu perlahan-lahan amblas dengan mengeluarkan suara gemuruh dan mengeluarkan debu yang tebal.

Setelah suara gemuruh dan debu itu hilang dan mengendap kembali, tampaklah sebuah pintu selebar dua kaki terbentang di depan mereka. Bagian dalam dari pintu itu kelihatan begitu gelap dan pengap, sinar matahari dari luar gua tidak dapat mencapai tempat itu.

Wi-siang mengambil sepotong ranting kering dan menyalakan ujungnya. Dengan ranting kering sebagai obor digenggam di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Wi-siang mulai melangkah masuk mempelopori kawan-kawannya. Ternyata gua itu sempit dan panjang, langit-langitnya agak rendah sehingga mereka harus berjalan dengan agak membungkukkan badan.

Setelah berjalan belasan langkah, gua itu semakin lebar dan bagian gua yang ini bukan lagi buatan manusia, melainkan gua alam yang diperbaiki oleh tangan-tangan manusia di sana-sini. Mereka maju lagi puluhan langkah, sampai kemudian langkah mereka terhalang oleh selapis pintu batu yang sangat tebal. Pintu batu itu berlumut dan berdebu, bahkan kedua daun pintunya seakan telah menjadi satu karena terlalu lama tidak dibuka.

Namun di bawah cahaya obor yang remang-remang, terlihatlah sebuah lukisan dan tulisan di atas daun pintu tersebut. Setelah dibersihkan, kali ini Wi-siang dan teman-temannya menjumpai gambar seorang Tosu (Imam agama To) yang memegang pedang, dan tulisan di bawahnya berbunyi: “Imam Tiong-bun. Jotos hidungnya lima kali.”

Dipelopori oleh Wi-siang, mereka segera bergantian menjotos hidung lukisan itu sampai lima kali. Karena pintu batu itu terbuat dari batu hitam yang kasar, maka tentu saja tangan mereka menjadi luka-luka. Namun begitu, pintu batu itu terbuka sendiri sehingga keempatnya melupakan rasa sakit mereka dan bahkan menjadi terpesona oleh pemandangan yang terpampang di depan mata mereka.

Setelah sekian lama berjalan menelusuri gua yang gelap dan lembab, maka kini terbentanglah di depan mereka sebuah lembah kecil yang keindahannya menyaingi taman para dewa-dewi. Sekeliling lembah itu terkurung oleh dinding batu alam yang tinggi sehingga lembah itu bagaikan sebuah mangkuk raksasa yang benar-benar terpisah dari dunia luar. Nampaknya lembah itu tadinya merupakan kawah gunung berapi yang sudah lama tidak aktif, dan berubah menjadi sebuah tempat yang subur. Di tengah-tengah lembah, nampak ada sebuah rumah kecil.

“Kita ke rumah itu!” teriak Wi-siang dengan bersemangat.

Setibanya mereka di depan rumah kecil itu, Wi-siang lantas memberi hormat dan mengucapkan salam, “Kami berempat orang muda yang lancang telah mengikuti semua petunjuk tuan dan tiba di tempat ini! Mohon bertemu!”

Pikir Wi-siang, meski Bu-san-jit-kui sudah mati ratusan tahun lalu, tapi siapa tahu di tempat itu masih ada anak keturunannya atau pewaris ilmunya. Karena itu ia tidak mau bertindak sembrono dengan main terjang begitu saja.

Tetapi ternyata dari dalam rumah tersebut tidak ada jawaban. Bahkan juga ketika Wi-siang mengulanginya berulang kali. Karena kehabisan kesabaran, akhirnya Wi-siang memberanikan diri mendorong pintu rumah itu sambil berkata,

“Harap tuan memaafkan kelancangan kami ini, karena kami hen.... hah??!!!”

Leher Wi-siang serasa tercekik karena terkejutnya. Memang ada tujuh orang yang ada di dalam ruangan rumah itu, tapi ketujuhnya sudah menjadi tengkorak semua. ketujuh tengkorak itu dalam sikap duduk bersila dan menghadap ke arah pintu. Selain itu, hawa udara di dalam ruang tersebut berbau sangat busuk dan pengap, rupanya karena selama ratusan tahun tidak pernah ada udara segar dari luar.

Ketiga teman Wi-siang pun telah ikut melangkah masuk. Menyaksikan ketujuh sosok tengkorak duduk dalam ruangan tersebut, biarpun keempatnya merupakan berandal-berandal An-yang-shia yang cukup berani, tak urung mereka bergidik seram juga.

Di atas “pangkuan” tengkorak yang paling tengah, nampak sebuah kitab kumal bersampul kulit binatang yang tebal dan besar. Dengan hati-hati Wi-siang mengambil kitab tersebut, membersihkan debu pada sampulnya dan membaca tulisan di atas sampul. Di situ tertulis empat huruf “Bu-san-pit- kip” (Kitab Bu-san).

Halaman pertama dari kitab itu ternyata hanya berisi sebuah kalimat pendek : “Dendam yang tidak terhapus kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong- pay”.

Kitab besar itu ternyata memuat segala macam ilmu dan pengetahuan yang pernah dimiliki oleh Bu-san-jit-kui. Isinya bukan saja ilmu silat, namun juga petunjuk-petunjuk bagaimana cara melatih tenaga dalam secara golongan hitam, petunjuk tentang macam-macam cara membuat ramuan racun dan penggunaannya. Dan yang paling mengerikan adalah pada bagian paling belakang dari kitab tersebut, sebab di bagian tersebut memuat macam-macam ilmu sihir hitam yang mengerikan.

Lalu di dalam kitab itu terselip selembar kulit tipis, di situ tercacahlah sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui semasa hidup, beserta cara-cara mengambilnya juga. Tempat penimbunan harta itu ternyata juga ada di dalam lembah itu.

Wi-siang menyeringai kepada ketiga temannya, katanya, “Cita-cita kita akan terkabul, kita akan menggoncangkan negeri ini dan akan membuat orang-orang yang pernah memburu kita menjadi menyesal seumur hidup. Dengan mempelajari kitab ini, kita akan menjadi manusia-manusia sakti tanpa tandingan, sedang harta karunnya dapat kita gunakan untuk membiayai dan membangun sebuah pasukan yang maha kuat!”

Demikianlah, di sebuah kawah mati di puncak Yu-kui-hong yang ditakuti orang, Tong Wi-siang dan ketiga temannya mulai menggembleng diri menurut ajaran kitab milik Bu-san-jit-kui dengan penuh semangat. Tong Wi-siang, putera Kiang-se-tay-hiap, pendekar aliran lurus, kini tanpa segan-segan mempelajari ilmu tujuh orang durjana masa lampau.

Hal itu disebabkan karena dendamnya kepada Kerajaan Beng yang dianggap telah menghancurkan keluarganya sehingga Wi-siang tidak segan-segan menggunakan jalan apapun asal dendamnya bisa terlampiaskan. Begitu pula ketiga orang temannya.

Dalam penggemblengan di “kawah Candradimuka” itu, Tong Wi-siang yang memiliki dasar ilmu silat paling kuat bertindak sebagai pelatih bagi teman-temannya. Dengan demikian kedudukannya adalah sebagai “setengah guru”.

* * * * * * *

Sementara Wi-siang dan teman-temannya menggembleng diri di puncak Yu-kui-hong dengan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, maka adik perempuannya pun sedang menggembleng diri di gunung Siong-san di bawah asuhan gurunya dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya.

Lari pagi di lereng-lereng yang terjal dengan kaki dibanduli kantong pasir adalah sarapan pagi bagi Tong Wi-lian, disusul dengan melatih jari-jarinya dalam pasir panas. Siang harinya gadis itu melatih jurus-jurus silat, diulang-ulang sampai ratusan kali, dan malam harinya mempelajari lwe-kang (tenaga dalam) secara tekun.

Bagaimanakah dengan nasib anak Tong Tian lainnya, yaitu Tong Wi-hong? Ia sudah kehilangan kesadaranya ketika salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun itu menebaskan pedang ke arah lehernya. Tetapi ketika dia sadar kembali, ternyata didapatinya dirinya masih hidup dan tengah terguncang-guncang di dalam sebuah kereta yang tengah dilarikan ke arah barat.

Saat itu tubuhnya telah penuh dengan balutan dan berlumuran dengan obat luka. Meskipun menemukan dirinya dalam keadaan selamat, bahkan luka- lukanya pun sudah diobati, namun hati Wi-hong masih tetap resah jika membayangkan entah bagaimana nasib adik perempuannya yang belum ia ketahui. Terakhir kali ia melihat adiknya ketika si adik ditangkap dan dibawa masuk ke dalam hutan oleh si pemimpin berandal.

Wi-hong tahu benar sifat keras adiknya, jika si pemimpin berandal itu benar-benar sampai berhasil melampiaskan nafsu bejatnya, maka adiknya tentu akan memilih mati daripada hidup ternoda. Mengingat sampai di situ, Wi-hong menggertakkan gigi dengan geram. Semua dendam dan kesalahan ia timpakan kepada Cia To-bun, sebab dianggapnya Cia To-bun itulah biang keladi yang menyebabkan kesengsaraan keluarganya.

Ketika Tong Wi-hong bangkit dan melongokkan kepalanya keluar lewat jendela kereta, ia melihat bahwa kereta itu disaisi oleh seorang lelaki bertubuh tegap, hal itu dapat disimpulkan dari bentuk punggung dan pundak orang itu yang tampak begitu kokoh.

Sayang orang itu menghadap ke depan sehingga Wi-hong tidak dapat melihat wajahnya. Dilihatnya rambut orang itu sudah bercampur uban, menandakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sebentar-sebentar terdengarlah teriakannya yang keras menggeledek membentak kuda-kuda penarik kereta, diselingi ayunan cambuk yang menggetarkan udara.

Terdorong oleh rasa kagum melihat keperkasaan orang itu dan juga rasa terima kasih atas pertolongannya, Wi-hong lalu menyapa orang tersebut lewat jendela kereta, “Terima kasih atas pertolongan tuan. Dapatkah aku mengetahui nama tuan?”

Ketika sais kereta itu menoleh, terpampanglah di hadapan Wi-hong seraut wajah yang keras dan kukuh dari seorang lelaki setengah baya. Namun wajah yang keras itu kemudian berubah menjadi begitu lembut ketika tersenyum, sahutnya,

“Buat apa mengetahui namaku? Kalau untuk membalas budi, tidak perlu. Aku menolongmu bukan untuk mengharap balasan apapun, tapi karena aku memang membenci setiap kesewenang-wenangan yang berlangsung di depan mataku. Bahkan aku menolongmu juga bukan karena kau adalah putera Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, namun hanya karena kau terancam bahaya dan aku tidak suka melihatnya.”

Jawaban yang lugas tanpa basa-basi itu seketika membuat Wi-hong agak terperangah. Namun akhirnya dia mengerti bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang yang berwatak jujur, keras, dan tidak menyukai basa-basi yang bertele-tele meskipun kata-katanya kadang agak tajam buat telinga orang lain. Namun Tong Wi-hong yang juga berwatak bandel dan keras hati itu pun mendesak lagi,

“Tuan agaknya adalah seorang yang ingin membebaskan diri dari lingkaran budi dan dendam yang tidak berkeputusan. Tetapi apakah hanya untuk mengetahui nama tuan pun aku tidak boleh?”

Sais kereta itu tertawa keras sehingga punggungnya berguncang, katanya, “Kau keras kepala seperti aku. Baiklah. Aku she Cian bernama Sin-wi.”

Terkejut dan gembira Tong Wi-hong ketika mendengar nama itu. pemilik nama itu sendiri mengucapkan namanya dengan gaya acuh tak acuh, seolah namanya tidak mengandung arti apapun. Tetapi Wi-hong tahu bahwa nama itu adalah nama yang membuat setiap penjahat di sepanjang sungai besar menggigil ketakutan jika mendengarnya. Sikapnya yang keras dan tak kenal ampun terhadap kaum penjahat itu bahkan dinilai terlalu keras oleh rekan-rekannya sendiri dari kaum pendekar.

Cia Sin-wi adalah pemimpin sebuah perusahaan pengawalan yang bernama Tiong-gi-Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) yang merupakan sebuah perusahaan besar dan kuat di sebelah utara Sungai Besar. Perusahaannya memiliki berpuluh-puluh cabang, dan di dalam setiap cabang itu tidak sedikit terdapat jago-jago tangguh di bawah pimpinan Cian Sin-wi. Itulah yang membuat kaum penjahat gentar untuk membegal iring-iringan yang dikawal oleh Tiong-gi-piau-hang.

Tong Wi-hong berusaha menerobos keluar jendela untuk bisa duduk di samping penolongnya, tapi Cian Sin-wi mencegahnya, “Hati-hatilah, duduk saja di dalam kereta, sebab lukamu belum sembuh betul.”

Demikianlah, selama dalam perjalanan tersebut Tong Wi-hong mendapat perawatan yang teliti dari Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong membatin dalam hati, “Orang-orang dari kalangan persiatan rata-rata menyebut tokoh ini sebagai seorang yang berperangai keras, tetapi ternyata ia bersikap begitu baik kepadaku.”

Dalam beberapa kali percakapan ringan sepanjang perjalanan, Wi-hong dapat mengetahui serba sedikit tentang Cian Sin-wi dan perusahaan Tiong-gi-Piau-hangnya yang terkenal itu. Ternyata perusahaan pengawalan yang besar itu berpusat di kota Tay-beng, dan mempunyai cabang-cabang di seluruh ibukota propinsi di utara. Saat itu Cian Sin-wi dalam perjalanan pulang dari perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perusahaan di daerah timur yang kabarnya mengalami sedikit gangguan.

Perjalanan seperti itu memang sering dilakukannya seorang diri tanpa pengawal. Sebab Cian Sin-wi merasa bahwa sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) andalannya itu sudah cukup sebagai kawannya yang setia! Sebenarnya Cian Sin-wi melakukan perjalanan dengan berkuda, tetapi setelah menemukan Wi-hong yang terluka parah, ia terpaksa menukar kudanya dengan sebuah kereta, sebab tidak mungkin membawa orang yang sedang terluka parah dengan naik kuda.

Meskipun perjalanan dengan naik kereta tidak secepat jika menunggang kuda, namun beberapa hari kemudian merekapun sudah mendekati kota Tay-beng. Dan saat itu luka-luka Wi-hong sudah mulai sembuh. Kini Wi-hong tidak duduk saja di dalam kereta, tapi lebih sering duduk di depan kereta, berdampingan dengan Cian Sin-wi.

Bahkan kadang-kadang ia menggantikan Cian Sin-wi dalam mengendalikan kereta. Dalam hati Cian Sin-wi mulai timbul rasa senang terhadap pemuda ini, dan ia berniat menarik pemuda ini untuk bekerja dalam Piau-hangnya supaya Piau-hangnya bertambah kuat.

Pada suatu hari, kota Tay-beng pun telah terbentang di depan mata. Kota itu adalah sebuah kota bersejarah yang cukup dikenal orang. Ratusan tahun berselang, kota Tay-beng terkenal dengan riwayat seratus delapan orang pendekar Liang-san yang mengobrak-abrik kota itu. Perbuatan penuh bahaya yang dilakukan para pendekar itu dilakukan demi menyelamatkan seorang sahabat mereka. Hal itu menandakan kesetia kawanan itu lebih penting di atas segalanya, bahkan di atas keselamatan diri sendiri.

Keperkasaan dan kejantanan para pendekar Liang-san itu tetap menjadi kebanggaan rakyat Tay-beng hingga kini meskipun peristiwanya sudah lewat ratusan tahun. Yang paling membanggakan orang-orang Tay-beng adalah kenyataan bahwa Yan Ceng, salah seorang dari seratus delapan pendekar tersebut, pernah menjadi warga Tay-beng.

Setelah semakin dekat dengan kota bersejarah tersebut, Wi-hong dapat merasakan bahwa kota Tay-beng memang cukup menarik, meskipun kotanya sendiri tidak begitu besar. Perdagangan di sini cukup ramai, selain itu di sana-sini nampak bangunan-bangunan kuno peninggalan Dinasti Song. Beberapa buah diantaranya sudah agak rusak karena kurang dirawat, namun juga ada yang rusak sama sekali karena dihancurkan oleh orang-orang Dinasti Kim dan Goan (Mongol).

Sambil menjalankan keretanya perlahan, Cia Sin-wi sempat bercerita tentang kisah seratus delapan pendekar Liang-san yang menggetarkan itu. Ketika mereka masuk ke dalam kota Tay-beng dan melewati sebuah gedung kuno yang bergaya Dinasti Song, tanpa diminta Cian Sin-wi segera berkisah tentang gedung itu.

Di jaman Kerajaan Song ratusan tahun yang lalu, gedung itu adalah milik seorang hartawan yang baik hati bernama Lu Jun-yu. Lu Jun-yu bukan cuma terkenal karena kaya dan baik hati, tapi juga karena ilmu silatnya yang tinggi dan sifatnya yang kesatria.

Karena sifatnya yang demikian itulah maka Lu Jun-yu sangat bersimpati kepada perjuangan seratus delapan pendekar Liang-san yang membela si lemah dari penindasan si kuat. Pada suatu hari, dua orang dari pendekar- pendekar Liang-san itu menyelundup masuk ke kota Tay-beng untuk menyelidiki kekuatan musuh. Kedua orang pendekar itu masing-masing adalah Bu Yong, si ahli sasat perang yang terkenal kecerdikannya, dan Li Kui, si pendekar bertenaga raksasa yang berotak tumpul.

Sialnya, kedua pendekar yang menyelundup itu dikenali oleh pejabat-pejabat tentara di Tay-beng sehingga keduanya diuber-uber di dalam kota untuk ditangkap. Di saat yang gawat bagi kedua pendekar pembela rakyat kecil itu, maka tanpa memperdulikan resiko yang akan menimpa dirinya, Lu Jun-yu nekat menyelamatkan keduanya dengan menyembunyikannya di dalam rumahnya sendiri.

Namun sayang sekali, biarpun jiwa Lu Jun-yu adalah jiwa kesatria sejati, ternyata tidak demikian halnya dengan jiwa sang isteri dan pembantunya yang berjiwa penghianat dan pengecut yang hanya mementingkan diri sendiri. Kedua orang inilah yang justru membocorkan persembunyian kedua pendekar Liang-san di rumah Lu Jun-yu. Rumah Lu Jun-yu segera digrebek, namun kedua pendekar berhasil melarikan diri ke luar kota. Sebaliknya Lu Jun-yu akhirnya ditangkap karena dituduh menyembunyikan penjahat dan dijatuhi hukuman penggal.

Tong Wi-hong mendengarkan kisah kepahlawanan yang mengagumkan itu dengan perasaan tegang, seolah-olah dirinya ikut mengalami. Katanya, “Sungguh penasaran, apakah seorang ksatria seperti Lu Jun-yu itu lalu mati konyol begitu saja?”

Cian Sin-wi tersenyum melihat ketidak sabaran anak muda itu, katanya sambil menggelengkan kepala, “Tentu saja tidak. Di saat Lu Jun-yu bagaikan telur di ujung tanduk, ada seorang sahabatnya yang berikhtiar menolongnya. Dia adalah warga kota Tay-beng juga, namanya Yan Ceng.”

Tong Wi-hong melonjak mendengar nama itu, serunya, “Yan Ceng yang terkenal denga Thi-po-san (Ilmu Baju Besi) dan Ilmu Lompatan Mautnya itu? nama itu cukup terkenal!”

“Betul. Tanpa menghiraukan bahaya buat dirinya, Yan Ceng menyelundup ke luar kota dan menuju ke Liang-san. Di dalam markas para pendekar itu dia menceritakan tentang nasib Lu Jun-yu yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Kaum pendekar Liang-san yang merasa berhutang budi kepada Lu Ju-yu tanpa pikir panjang lagi segera memutuskan untuk menyerbu Tay-beng guna membebaskan Lu Jun-yu.”

“Mampukah mereka membobol kota Tay-beng yang terjaga dengan kuat?” tanya Wi-hong.

“Mereka cukup cerdik. Lebih dulu mereka menyamar sebagai pendududk biasa ketika menyelundup masuk ke kota. Setelah semuanya berada di dalam kota, barulah mereka memunculkan diri secara terang-terangan dengan serentak dan membuat panglima kota Tay-beng menjadi panik. Para pendekar itu antara lain adalah Yan Ceng si Lompatan Maut, Li Kui si Manusia Bertenaga Raksasa, Bu Song si Tinju Besi yang pernah membunuh harimau dengan hanya memakai pukulan tangannya, Sin Kim, Tiang Sun, dan sebagainya. Masih ada lagi Lim Tiong si Tombak Sakti, Lo Ti-cim si Paderi Pemabuk dan lain-lainnya. Kegagahan manusia-manusia perkasa itu tidak tertahankan oleh Panglima Tay-beng dan pasukannya, maka para pendekar itu pun akhirnya berhasil menyelamatkan Lu Jun-yu yang sudah tinggal menunggu golok algojo. Selanjutnya Lu Jun-yu rela meninggalkan harta benda dan kehidupan mewahnya, untuk bergabung dengan kaum kesatria Liang-san membela rakyat kecil.”

Wi-hong menarik napas dengan penuh kekaguman mendengarkan kisah itu. katanya, “Sungguh tindakan para pendekar Liang-san itu terlalu agung dan terlalu besar untuk dilukiskan dengan kata-kata saja. Nama mereka harum sampai berabad-abad lamanya. Sayang aku dilahirkan terlambat beberapa ratus tahun. Jika aku hidup di jaman mereka, biarpun kepandaianku sangat rendah, ingin rasanya aku bergabung dan berjuang bersama mereka.”

Cian Sin-wi tertawa dan menyahut, “Kalau betul demikian, jumlah ksatria Liang-san itu bukan seratus delapan, tetapi seratus sembilan, yaitu ditambah dengan dirimu, Tong Hian-tit. Hian-tit, menegakkan kebenaran dan keadilan bukan hanya diperlukan di jaman dulu saja, tetapi juga di jaman ini. Di setiap jaman diperlukan ksatria-ksatria semacam itu. Bukankah kebobrokan Dinasti Beng saat ini sama dengan kebobrokan Dinasti Song jamannya para pendekar Liang-san itu?”

Kedua orang itu bercakap-cakap dengan asyiknya, sampai tak terasa tibalah mereka di depan sebuah gedung yang besar dan megah, letaknya di tepi jalan utama dalam kota Tay-beng. Pintu gerbang gedung itu berapit sepasang singa batu yang gagah perkasa, dan di atasnya ada sehelai papan tebal bercat hitam berukir dengan empat buah huruf emas yang indah “Tiong-gi Piau-hang”.

Cian Sin-wi menarik tali kendalinya kuat-kuat sehingga keretanya berhenti di depan gedung itu. katanya sambil tersenyum, “Nah, inilah rumahku. Kupersilahkan kau mampir di sini.”

Alangkah kagumnya Wi-hong melihat gedung besar yang merupakan pusat sebuah Perusahaan Pengawalan yang paling besar dan paling kuat di Kang-pak (Daerah Utara Sungai Besar). Gedung itu tidak terlalu megah seperti gedung para pangeran atau bangsawan lainnya, namun menampilkan keangkeran dan perbawa yang memukau seperti gedung-gedung pusat persilatan umumnya.

Di halaman depan terpancang sebuah bendera lambang Tiong-gi Piau-hang, yaitu kain segi tiga berwarna putih bersih yang di tengahnya tersulam lukisan sebuah hati berwarna emas. Dari pintu gerbang yang setengah terbuka, Wi-hong melihat puluhan orang piau-su (petugas pengawal barang) sedang berlatih silat dengan giatnya. Rata-rata mereka bertubuh kekar dan nampak tangkas.

Melihat kedatangan Cian Sin-wi, para piau-su yang sedang berlatih itu segera menghentikan latihan mereka dan beramai-ramai menyambut pemimpinnya. Mereka menanyakan kesehatan dan keselamatan Cian Sin-wi, sebaliknya Cian Sin-wi sebagai pemimpin pun nampak sangat akrab dengan anak buahnya meskipun tidak kehilangan wibawanya.

Melihat hal itu diam-diam Wi-hong berpikir, “Inilah rahasianya kenapa Tiong-gi Piau-hang semakin lebar menebarkan sayap kekuasaannya. Hubungan yang akrab antara pimpinan dan bawahan telah membuat para bawahan merasa diperhatikan dan bekerja sungguh-sungguh bagi perusahaannya.”

Tidak lupa Cian Sin-wi memperkenalkan Wi-hong denga para piau-su itu. Wi-hong merasa bahwa meski para piau-su itu sikapnya agak kasar, menandakan pendidikan yang kurang tinggi, namun mereka justru berhati terbuka dan jujur. Sifat kaum pekerja keras pada umumnya....
Selanjutnya;