Perserikatan Naga Api Jilid 07Karya : Stevanus S.P |
Seruan itu memancing perhatian ketiga rekannya, disusul oleh teriakan Lim Hong-pin, “Lihat! Di sana seperti ada pahatan huruf-huruf kuno!”
Tempat yang dituding oleh Lim Hong-pin adalah dinding gua sebelah kiri yang agak cekung ke dalam. Dinding itu nampak sudah terlapis lumut dan debu sehingga pahatannya nampak samar-samar. Cepat Wi-siang mencabut pedangnya dan membersihkan dinding itu sehingga tertampaklah sederetan huruf kuno yang bermakna: “Di tempat ini siapapun harus tunduk kepada Bu-san-jit-kui. Yang membangkang akan mampus, yang tunduk ada pahalanya”. Di bagian bawah deretan huruf kuno itu ada ukiran tujuh muka setan yang menakutkan. Melihat itu, Wi-siang hampir saja melompat kegirangan, teriaknya, “Kita telah menemukan jejak Bu-san-jit-kui! Mungkin kita tidak perlu memanjat lagi!” “Betul!” sahut Siangkoan Hong. “Hayo kita bersihkan dinding-dinding ini, barangkali kita akan menemukan petunjuk-petunjuk lain!” Keempatnya segera membersihkan semua lumut dan debu yang melapisi dinding gua. Makin bersih tempat itu, makin nampaklah bahwa gua itu ternyata memang bukan buatan alam, melainkan buatan manusia. Dan manusia yang mampu membuat gua di tempat sesukar dan seterjal itu tidak lain pastilah manusia-manusia luar biasa. Sementara itu Siangkoan Hong telah pula menemukan sesuatu, “Lihatlah ke sini!” teriaknya, dan ketiga temannya segera berlarian mendekat. Yang diketemukan Siangkoan Hong ternyata adalah sebuah lukisan yang terpahat di dinding gua, menggambarkan seorang rahib Buddha (Hwesio) yang berwajah bulat sedang duduk bersemedi. Di bawah lukisan tersebut ada tulisan, “Rahib Thian-lui. Tendang mukanya lima kali!” “Bagaimana ini? Kita turuti perintah tulisan ini atau tidak?” tanya teman-teman Wi-siang kepadanya. “Kita harus mencoba semua kemungkinan. Tidak ada salahnya kita turuti perintah itu dan akan kita lihat bagaimana kelanjutannya,” sahut Wi-siang. Dan tanpa menunggu sahutan dari teman-temannya, Wi-siang segera menendang muka “rahib” itu sebanyak lima kali. Habis tendangan ke lima, tiba-tiba terasa gua itu bagai bergetar, lalu dinding bagian dalam dari gua itu perlahan-lahan amblas dengan mengeluarkan suara gemuruh dan mengeluarkan debu yang tebal. Setelah suara gemuruh dan debu itu hilang dan mengendap kembali, tampaklah sebuah pintu selebar dua kaki terbentang di depan mereka. Bagian dalam dari pintu itu kelihatan begitu gelap dan pengap, sinar matahari dari luar gua tidak dapat mencapai tempat itu. Wi-siang mengambil sepotong ranting kering dan menyalakan ujungnya. Dengan ranting kering sebagai obor digenggam di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Wi-siang mulai melangkah masuk mempelopori kawan-kawannya. Ternyata gua itu sempit dan panjang, langit-langitnya agak rendah sehingga mereka harus berjalan dengan agak membungkukkan badan. Setelah berjalan belasan langkah, gua itu semakin lebar dan bagian gua yang ini bukan lagi buatan manusia, melainkan gua alam yang diperbaiki oleh tangan-tangan manusia di sana-sini. Mereka maju lagi puluhan langkah, sampai kemudian langkah mereka terhalang oleh selapis pintu batu yang sangat tebal. Pintu batu itu berlumut dan berdebu, bahkan kedua daun pintunya seakan telah menjadi satu karena terlalu lama tidak dibuka. Namun di bawah cahaya obor yang remang-remang, terlihatlah sebuah lukisan dan tulisan di atas daun pintu tersebut. Setelah dibersihkan, kali ini Wi-siang dan teman-temannya menjumpai gambar seorang Tosu (Imam agama To) yang memegang pedang, dan tulisan di bawahnya berbunyi: “Imam Tiong-bun. Jotos hidungnya lima kali.” Dipelopori oleh Wi-siang, mereka segera bergantian menjotos hidung lukisan itu sampai lima kali. Karena pintu batu itu terbuat dari batu hitam yang kasar, maka tentu saja tangan mereka menjadi luka-luka. Namun begitu, pintu batu itu terbuka sendiri sehingga keempatnya melupakan rasa sakit mereka dan bahkan menjadi terpesona oleh pemandangan yang terpampang di depan mata mereka. Setelah sekian lama berjalan menelusuri gua yang gelap dan lembab, maka kini terbentanglah di depan mereka sebuah lembah kecil yang keindahannya menyaingi taman para dewa-dewi. Sekeliling lembah itu terkurung oleh dinding batu alam yang tinggi sehingga lembah itu bagaikan sebuah mangkuk raksasa yang benar-benar terpisah dari dunia luar. Nampaknya lembah itu tadinya merupakan kawah gunung berapi yang sudah lama tidak aktif, dan berubah menjadi sebuah tempat yang subur. Di tengah-tengah lembah, nampak ada sebuah rumah kecil. “Kita ke rumah itu!” teriak Wi-siang dengan bersemangat. Setibanya mereka di depan rumah kecil itu, Wi-siang lantas memberi hormat dan mengucapkan salam, “Kami berempat orang muda yang lancang telah mengikuti semua petunjuk tuan dan tiba di tempat ini! Mohon bertemu!” Pikir Wi-siang, meski Bu-san-jit-kui sudah mati ratusan tahun lalu, tapi siapa tahu di tempat itu masih ada anak keturunannya atau pewaris ilmunya. Karena itu ia tidak mau bertindak sembrono dengan main terjang begitu saja. Tetapi ternyata dari dalam rumah tersebut tidak ada jawaban. Bahkan juga ketika Wi-siang mengulanginya berulang kali. Karena kehabisan kesabaran, akhirnya Wi-siang memberanikan diri mendorong pintu rumah itu sambil berkata, “Harap tuan memaafkan kelancangan kami ini, karena kami hen.... hah??!!!” Leher Wi-siang serasa tercekik karena terkejutnya. Memang ada tujuh orang yang ada di dalam ruangan rumah itu, tapi ketujuhnya sudah menjadi tengkorak semua. ketujuh tengkorak itu dalam sikap duduk bersila dan menghadap ke arah pintu. Selain itu, hawa udara di dalam ruang tersebut berbau sangat busuk dan pengap, rupanya karena selama ratusan tahun tidak pernah ada udara segar dari luar. Ketiga teman Wi-siang pun telah ikut melangkah masuk. Menyaksikan ketujuh sosok tengkorak duduk dalam ruangan tersebut, biarpun keempatnya merupakan berandal-berandal An-yang-shia yang cukup berani, tak urung mereka bergidik seram juga. Di atas “pangkuan” tengkorak yang paling tengah, nampak sebuah kitab kumal bersampul kulit binatang yang tebal dan besar. Dengan hati-hati Wi-siang mengambil kitab tersebut, membersihkan debu pada sampulnya dan membaca tulisan di atas sampul. Di situ tertulis empat huruf “Bu-san-pit- kip” (Kitab Bu-san). Halaman pertama dari kitab itu ternyata hanya berisi sebuah kalimat pendek : “Dendam yang tidak terhapus kepada Siau-lim-pay dan Bu-tong- pay”. Kitab besar itu ternyata memuat segala macam ilmu dan pengetahuan yang pernah dimiliki oleh Bu-san-jit-kui. Isinya bukan saja ilmu silat, namun juga petunjuk-petunjuk bagaimana cara melatih tenaga dalam secara golongan hitam, petunjuk tentang macam-macam cara membuat ramuan racun dan penggunaannya. Dan yang paling mengerikan adalah pada bagian paling belakang dari kitab tersebut, sebab di bagian tersebut memuat macam-macam ilmu sihir hitam yang mengerikan. Lalu di dalam kitab itu terselip selembar kulit tipis, di situ tercacahlah sebuah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya harta karun hasil rampokan Bu-san-jit-kui semasa hidup, beserta cara-cara mengambilnya juga. Tempat penimbunan harta itu ternyata juga ada di dalam lembah itu. Wi-siang menyeringai kepada ketiga temannya, katanya, “Cita-cita kita akan terkabul, kita akan menggoncangkan negeri ini dan akan membuat orang-orang yang pernah memburu kita menjadi menyesal seumur hidup. Dengan mempelajari kitab ini, kita akan menjadi manusia-manusia sakti tanpa tandingan, sedang harta karunnya dapat kita gunakan untuk membiayai dan membangun sebuah pasukan yang maha kuat!” Demikianlah, di sebuah kawah mati di puncak Yu-kui-hong yang ditakuti orang, Tong Wi-siang dan ketiga temannya mulai menggembleng diri menurut ajaran kitab milik Bu-san-jit-kui dengan penuh semangat. Tong Wi-siang, putera Kiang-se-tay-hiap, pendekar aliran lurus, kini tanpa segan-segan mempelajari ilmu tujuh orang durjana masa lampau. Hal itu disebabkan karena dendamnya kepada Kerajaan Beng yang dianggap telah menghancurkan keluarganya sehingga Wi-siang tidak segan-segan menggunakan jalan apapun asal dendamnya bisa terlampiaskan. Begitu pula ketiga orang temannya. Dalam penggemblengan di “kawah Candradimuka” itu, Tong Wi-siang yang memiliki dasar ilmu silat paling kuat bertindak sebagai pelatih bagi teman-temannya. Dengan demikian kedudukannya adalah sebagai “setengah guru”. * * * * * * *
Sementara Wi-siang dan teman-temannya menggembleng diri di puncak Yu-kui-hong dengan kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, maka adik perempuannya pun sedang menggembleng diri di gunung Siong-san di bawah asuhan gurunya dan tokoh-tokoh Siau-lim-pay lainnya. Lari pagi di lereng-lereng yang terjal dengan kaki dibanduli kantong pasir adalah sarapan pagi bagi Tong Wi-lian, disusul dengan melatih jari-jarinya dalam pasir panas. Siang harinya gadis itu melatih jurus-jurus silat, diulang-ulang sampai ratusan kali, dan malam harinya mempelajari lwe-kang (tenaga dalam) secara tekun. Bagaimanakah dengan nasib anak Tong Tian lainnya, yaitu Tong Wi-hong? Ia sudah kehilangan kesadaranya ketika salah seorang pembunuh bayaran Cia To-bun itu menebaskan pedang ke arah lehernya. Tetapi ketika dia sadar kembali, ternyata didapatinya dirinya masih hidup dan tengah terguncang-guncang di dalam sebuah kereta yang tengah dilarikan ke arah barat. Saat itu tubuhnya telah penuh dengan balutan dan berlumuran dengan obat luka. Meskipun menemukan dirinya dalam keadaan selamat, bahkan luka- lukanya pun sudah diobati, namun hati Wi-hong masih tetap resah jika membayangkan entah bagaimana nasib adik perempuannya yang belum ia ketahui. Terakhir kali ia melihat adiknya ketika si adik ditangkap dan dibawa masuk ke dalam hutan oleh si pemimpin berandal. Wi-hong tahu benar sifat keras adiknya, jika si pemimpin berandal itu benar-benar sampai berhasil melampiaskan nafsu bejatnya, maka adiknya tentu akan memilih mati daripada hidup ternoda. Mengingat sampai di situ, Wi-hong menggertakkan gigi dengan geram. Semua dendam dan kesalahan ia timpakan kepada Cia To-bun, sebab dianggapnya Cia To-bun itulah biang keladi yang menyebabkan kesengsaraan keluarganya. Ketika Tong Wi-hong bangkit dan melongokkan kepalanya keluar lewat jendela kereta, ia melihat bahwa kereta itu disaisi oleh seorang lelaki bertubuh tegap, hal itu dapat disimpulkan dari bentuk punggung dan pundak orang itu yang tampak begitu kokoh. Sayang orang itu menghadap ke depan sehingga Wi-hong tidak dapat melihat wajahnya. Dilihatnya rambut orang itu sudah bercampur uban, menandakan usianya yang sudah tidak muda lagi. Sebentar-sebentar terdengarlah teriakannya yang keras menggeledek membentak kuda-kuda penarik kereta, diselingi ayunan cambuk yang menggetarkan udara. Terdorong oleh rasa kagum melihat keperkasaan orang itu dan juga rasa terima kasih atas pertolongannya, Wi-hong lalu menyapa orang tersebut lewat jendela kereta, “Terima kasih atas pertolongan tuan. Dapatkah aku mengetahui nama tuan?” Ketika sais kereta itu menoleh, terpampanglah di hadapan Wi-hong seraut wajah yang keras dan kukuh dari seorang lelaki setengah baya. Namun wajah yang keras itu kemudian berubah menjadi begitu lembut ketika tersenyum, sahutnya, “Buat apa mengetahui namaku? Kalau untuk membalas budi, tidak perlu. Aku menolongmu bukan untuk mengharap balasan apapun, tapi karena aku memang membenci setiap kesewenang-wenangan yang berlangsung di depan mataku. Bahkan aku menolongmu juga bukan karena kau adalah putera Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, namun hanya karena kau terancam bahaya dan aku tidak suka melihatnya.” Jawaban yang lugas tanpa basa-basi itu seketika membuat Wi-hong agak terperangah. Namun akhirnya dia mengerti bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang yang berwatak jujur, keras, dan tidak menyukai basa-basi yang bertele-tele meskipun kata-katanya kadang agak tajam buat telinga orang lain. Namun Tong Wi-hong yang juga berwatak bandel dan keras hati itu pun mendesak lagi, “Tuan agaknya adalah seorang yang ingin membebaskan diri dari lingkaran budi dan dendam yang tidak berkeputusan. Tetapi apakah hanya untuk mengetahui nama tuan pun aku tidak boleh?” Sais kereta itu tertawa keras sehingga punggungnya berguncang, katanya, “Kau keras kepala seperti aku. Baiklah. Aku she Cian bernama Sin-wi.” Terkejut dan gembira Tong Wi-hong ketika mendengar nama itu. pemilik nama itu sendiri mengucapkan namanya dengan gaya acuh tak acuh, seolah namanya tidak mengandung arti apapun. Tetapi Wi-hong tahu bahwa nama itu adalah nama yang membuat setiap penjahat di sepanjang sungai besar menggigil ketakutan jika mendengarnya. Sikapnya yang keras dan tak kenal ampun terhadap kaum penjahat itu bahkan dinilai terlalu keras oleh rekan-rekannya sendiri dari kaum pendekar. Cia Sin-wi adalah pemimpin sebuah perusahaan pengawalan yang bernama Tiong-gi-Piau-hang (Perusahaan Pengawalan Tiong-gi) yang merupakan sebuah perusahaan besar dan kuat di sebelah utara Sungai Besar. Perusahaannya memiliki berpuluh-puluh cabang, dan di dalam setiap cabang itu tidak sedikit terdapat jago-jago tangguh di bawah pimpinan Cian Sin-wi. Itulah yang membuat kaum penjahat gentar untuk membegal iring-iringan yang dikawal oleh Tiong-gi-piau-hang. Tong Wi-hong berusaha menerobos keluar jendela untuk bisa duduk di samping penolongnya, tapi Cian Sin-wi mencegahnya, “Hati-hatilah, duduk saja di dalam kereta, sebab lukamu belum sembuh betul.” Demikianlah, selama dalam perjalanan tersebut Tong Wi-hong mendapat perawatan yang teliti dari Cian Sin-wi. Diam-diam Wi-hong membatin dalam hati, “Orang-orang dari kalangan persiatan rata-rata menyebut tokoh ini sebagai seorang yang berperangai keras, tetapi ternyata ia bersikap begitu baik kepadaku.” Dalam beberapa kali percakapan ringan sepanjang perjalanan, Wi-hong dapat mengetahui serba sedikit tentang Cian Sin-wi dan perusahaan Tiong-gi-Piau-hangnya yang terkenal itu. Ternyata perusahaan pengawalan yang besar itu berpusat di kota Tay-beng, dan mempunyai cabang-cabang di seluruh ibukota propinsi di utara. Saat itu Cian Sin-wi dalam perjalanan pulang dari perjalanan kelilingnya untuk meninjau cabang-cabang perusahaan di daerah timur yang kabarnya mengalami sedikit gangguan. Perjalanan seperti itu memang sering dilakukannya seorang diri tanpa pengawal. Sebab Cian Sin-wi merasa bahwa sepasang Hau-thau-kau (Kaitan Kepala Harimau) andalannya itu sudah cukup sebagai kawannya yang setia! Sebenarnya Cian Sin-wi melakukan perjalanan dengan berkuda, tetapi setelah menemukan Wi-hong yang terluka parah, ia terpaksa menukar kudanya dengan sebuah kereta, sebab tidak mungkin membawa orang yang sedang terluka parah dengan naik kuda. Meskipun perjalanan dengan naik kereta tidak secepat jika menunggang kuda, namun beberapa hari kemudian merekapun sudah mendekati kota Tay-beng. Dan saat itu luka-luka Wi-hong sudah mulai sembuh. Kini Wi-hong tidak duduk saja di dalam kereta, tapi lebih sering duduk di depan kereta, berdampingan dengan Cian Sin-wi. Bahkan kadang-kadang ia menggantikan Cian Sin-wi dalam mengendalikan kereta. Dalam hati Cian Sin-wi mulai timbul rasa senang terhadap pemuda ini, dan ia berniat menarik pemuda ini untuk bekerja dalam Piau-hangnya supaya Piau-hangnya bertambah kuat. Pada suatu hari, kota Tay-beng pun telah terbentang di depan mata. Kota itu adalah sebuah kota bersejarah yang cukup dikenal orang. Ratusan tahun berselang, kota Tay-beng terkenal dengan riwayat seratus delapan orang pendekar Liang-san yang mengobrak-abrik kota itu. Perbuatan penuh bahaya yang dilakukan para pendekar itu dilakukan demi menyelamatkan seorang sahabat mereka. Hal itu menandakan kesetia kawanan itu lebih penting di atas segalanya, bahkan di atas keselamatan diri sendiri. Keperkasaan dan kejantanan para pendekar Liang-san itu tetap menjadi kebanggaan rakyat Tay-beng hingga kini meskipun peristiwanya sudah lewat ratusan tahun. Yang paling membanggakan orang-orang Tay-beng adalah kenyataan bahwa Yan Ceng, salah seorang dari seratus delapan pendekar tersebut, pernah menjadi warga Tay-beng. Setelah semakin dekat dengan kota bersejarah tersebut, Wi-hong dapat merasakan bahwa kota Tay-beng memang cukup menarik, meskipun kotanya sendiri tidak begitu besar. Perdagangan di sini cukup ramai, selain itu di sana-sini nampak bangunan-bangunan kuno peninggalan Dinasti Song. Beberapa buah diantaranya sudah agak rusak karena kurang dirawat, namun juga ada yang rusak sama sekali karena dihancurkan oleh orang-orang Dinasti Kim dan Goan (Mongol). Sambil menjalankan keretanya perlahan, Cia Sin-wi sempat bercerita tentang kisah seratus delapan pendekar Liang-san yang menggetarkan itu. Ketika mereka masuk ke dalam kota Tay-beng dan melewati sebuah gedung kuno yang bergaya Dinasti Song, tanpa diminta Cian Sin-wi segera berkisah tentang gedung itu. Di jaman Kerajaan Song ratusan tahun yang lalu, gedung itu adalah milik seorang hartawan yang baik hati bernama Lu Jun-yu. Lu Jun-yu bukan cuma terkenal karena kaya dan baik hati, tapi juga karena ilmu silatnya yang tinggi dan sifatnya yang kesatria. Karena sifatnya yang demikian itulah maka Lu Jun-yu sangat bersimpati kepada perjuangan seratus delapan pendekar Liang-san yang membela si lemah dari penindasan si kuat. Pada suatu hari, dua orang dari pendekar- pendekar Liang-san itu menyelundup masuk ke kota Tay-beng untuk menyelidiki kekuatan musuh. Kedua orang pendekar itu masing-masing adalah Bu Yong, si ahli sasat perang yang terkenal kecerdikannya, dan Li Kui, si pendekar bertenaga raksasa yang berotak tumpul. Sialnya, kedua pendekar yang menyelundup itu dikenali oleh pejabat-pejabat tentara di Tay-beng sehingga keduanya diuber-uber di dalam kota untuk ditangkap. Di saat yang gawat bagi kedua pendekar pembela rakyat kecil itu, maka tanpa memperdulikan resiko yang akan menimpa dirinya, Lu Jun-yu nekat menyelamatkan keduanya dengan menyembunyikannya di dalam rumahnya sendiri. Namun sayang sekali, biarpun jiwa Lu Jun-yu adalah jiwa kesatria sejati, ternyata tidak demikian halnya dengan jiwa sang isteri dan pembantunya yang berjiwa penghianat dan pengecut yang hanya mementingkan diri sendiri. Kedua orang inilah yang justru membocorkan persembunyian kedua pendekar Liang-san di rumah Lu Jun-yu. Rumah Lu Jun-yu segera digrebek, namun kedua pendekar berhasil melarikan diri ke luar kota. Sebaliknya Lu Jun-yu akhirnya ditangkap karena dituduh menyembunyikan penjahat dan dijatuhi hukuman penggal. Tong Wi-hong mendengarkan kisah kepahlawanan yang mengagumkan itu dengan perasaan tegang, seolah-olah dirinya ikut mengalami. Katanya, “Sungguh penasaran, apakah seorang ksatria seperti Lu Jun-yu itu lalu mati konyol begitu saja?” Cian Sin-wi tersenyum melihat ketidak sabaran anak muda itu, katanya sambil menggelengkan kepala, “Tentu saja tidak. Di saat Lu Jun-yu bagaikan telur di ujung tanduk, ada seorang sahabatnya yang berikhtiar menolongnya. Dia adalah warga kota Tay-beng juga, namanya Yan Ceng.” Tong Wi-hong melonjak mendengar nama itu, serunya, “Yan Ceng yang terkenal denga Thi-po-san (Ilmu Baju Besi) dan Ilmu Lompatan Mautnya itu? nama itu cukup terkenal!” “Betul. Tanpa menghiraukan bahaya buat dirinya, Yan Ceng menyelundup ke luar kota dan menuju ke Liang-san. Di dalam markas para pendekar itu dia menceritakan tentang nasib Lu Jun-yu yang sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati. Kaum pendekar Liang-san yang merasa berhutang budi kepada Lu Ju-yu tanpa pikir panjang lagi segera memutuskan untuk menyerbu Tay-beng guna membebaskan Lu Jun-yu.” “Mampukah mereka membobol kota Tay-beng yang terjaga dengan kuat?” tanya Wi-hong. “Mereka cukup cerdik. Lebih dulu mereka menyamar sebagai pendududk biasa ketika menyelundup masuk ke kota. Setelah semuanya berada di dalam kota, barulah mereka memunculkan diri secara terang-terangan dengan serentak dan membuat panglima kota Tay-beng menjadi panik. Para pendekar itu antara lain adalah Yan Ceng si Lompatan Maut, Li Kui si Manusia Bertenaga Raksasa, Bu Song si Tinju Besi yang pernah membunuh harimau dengan hanya memakai pukulan tangannya, Sin Kim, Tiang Sun, dan sebagainya. Masih ada lagi Lim Tiong si Tombak Sakti, Lo Ti-cim si Paderi Pemabuk dan lain-lainnya. Kegagahan manusia-manusia perkasa itu tidak tertahankan oleh Panglima Tay-beng dan pasukannya, maka para pendekar itu pun akhirnya berhasil menyelamatkan Lu Jun-yu yang sudah tinggal menunggu golok algojo. Selanjutnya Lu Jun-yu rela meninggalkan harta benda dan kehidupan mewahnya, untuk bergabung dengan kaum kesatria Liang-san membela rakyat kecil.” Wi-hong menarik napas dengan penuh kekaguman mendengarkan kisah itu. katanya, “Sungguh tindakan para pendekar Liang-san itu terlalu agung dan terlalu besar untuk dilukiskan dengan kata-kata saja. Nama mereka harum sampai berabad-abad lamanya. Sayang aku dilahirkan terlambat beberapa ratus tahun. Jika aku hidup di jaman mereka, biarpun kepandaianku sangat rendah, ingin rasanya aku bergabung dan berjuang bersama mereka.” Cian Sin-wi tertawa dan menyahut, “Kalau betul demikian, jumlah ksatria Liang-san itu bukan seratus delapan, tetapi seratus sembilan, yaitu ditambah dengan dirimu, Tong Hian-tit. Hian-tit, menegakkan kebenaran dan keadilan bukan hanya diperlukan di jaman dulu saja, tetapi juga di jaman ini. Di setiap jaman diperlukan ksatria-ksatria semacam itu. Bukankah kebobrokan Dinasti Beng saat ini sama dengan kebobrokan Dinasti Song jamannya para pendekar Liang-san itu?” Kedua orang itu bercakap-cakap dengan asyiknya, sampai tak terasa tibalah mereka di depan sebuah gedung yang besar dan megah, letaknya di tepi jalan utama dalam kota Tay-beng. Pintu gerbang gedung itu berapit sepasang singa batu yang gagah perkasa, dan di atasnya ada sehelai papan tebal bercat hitam berukir dengan empat buah huruf emas yang indah “Tiong-gi Piau-hang”. Cian Sin-wi menarik tali kendalinya kuat-kuat sehingga keretanya berhenti di depan gedung itu. katanya sambil tersenyum, “Nah, inilah rumahku. Kupersilahkan kau mampir di sini.” Alangkah kagumnya Wi-hong melihat gedung besar yang merupakan pusat sebuah Perusahaan Pengawalan yang paling besar dan paling kuat di Kang-pak (Daerah Utara Sungai Besar). Gedung itu tidak terlalu megah seperti gedung para pangeran atau bangsawan lainnya, namun menampilkan keangkeran dan perbawa yang memukau seperti gedung-gedung pusat persilatan umumnya. Di halaman depan terpancang sebuah bendera lambang Tiong-gi Piau-hang, yaitu kain segi tiga berwarna putih bersih yang di tengahnya tersulam lukisan sebuah hati berwarna emas. Dari pintu gerbang yang setengah terbuka, Wi-hong melihat puluhan orang piau-su (petugas pengawal barang) sedang berlatih silat dengan giatnya. Rata-rata mereka bertubuh kekar dan nampak tangkas. Melihat kedatangan Cian Sin-wi, para piau-su yang sedang berlatih itu segera menghentikan latihan mereka dan beramai-ramai menyambut pemimpinnya. Mereka menanyakan kesehatan dan keselamatan Cian Sin-wi, sebaliknya Cian Sin-wi sebagai pemimpin pun nampak sangat akrab dengan anak buahnya meskipun tidak kehilangan wibawanya. Melihat hal itu diam-diam Wi-hong berpikir, “Inilah rahasianya kenapa Tiong-gi Piau-hang semakin lebar menebarkan sayap kekuasaannya. Hubungan yang akrab antara pimpinan dan bawahan telah membuat para bawahan merasa diperhatikan dan bekerja sungguh-sungguh bagi perusahaannya.” Tidak lupa Cian Sin-wi memperkenalkan Wi-hong denga para piau-su itu. Wi-hong merasa bahwa meski para piau-su itu sikapnya agak kasar, menandakan pendidikan yang kurang tinggi, namun mereka justru berhati terbuka dan jujur. Sifat kaum pekerja keras pada umumnya.... |
Selanjutnya;
|