Perserikatan Naga Api Jilid 06Karya : Stevanus S.P |
“Semuanya tetap di sini untuk menghadapi para pengacau ini. Salah seorang pergilah ke tangsi untuk memanggil bala bantuan! Cepat!”
Prajurit yang ditunjuk untuk memanggil bala bantuan segera berlari meninggalkan tempat itu. Tetapi ia hanya sempat berlari belasan langkah, sebab seorang berkedok telah muncul dari balik genteng di pinggir jalan dan langsung menembakkan panahnya. Prajurit itu langsung roboh terjungkal dengan punggung tertancap anak panah. Dalam pada itu gerombolan orang berkedok telah bertempur sengit dengan pasukan kecil prajurit kerajaan. Setelah para tentara kerajaan itu dapat bertempur dengan tenang dan tidak gugup lagi, tampaklah bahwa mereka lebih terlatih dan lebih berpengalaman dibandingkan lawan-lawan mereka. Jumlah tentara kerajaan itu pun hampir tiga kali lipat dari lawan-lawannya sehingga keadaanpun kini berbalik, kini orang-orang berkedoklah yang terkepung dan terjepit. Kalau pada permulaannya serangan orang-orang berkedok itu berhasil mengurangi beberapa orang tentara kerajaan, hal itu hanyalah disebabkan oleh serangan mereka yang mendadak dan tidak terduga. Tetapi sekarang setelah kedua belah pihak berhadapan dan telah sama-sama siap, terlihatlah bahwa orang-orang berkedok itu tidak terlalu tangguh sehingga mereka mulai terdesak. Sebagian prajurit memakai senjata pedang dan perisai, sebaliknya orang-orang berkedok itu rata-rata hanya bersenjata belati atau pedang pendek, yaitu jenis-jenis senjata yang mudah disembunyikan dalam baju. Meskipun demikian orang-orang berkedok tersebut melawan dengan gigih. Beberapa prajurit telah roboh tewas atau luka-luka, namun diantara orang berkedok itupun ada yang roboh dan tewas. Namun ada seorang berkedok yang paling menonjol kepandaiannya, yaitu orang berkedok yang tadi muncul pertama kali ditengah jalan. Ia bertubuh tinggi semampai dan berpundak cukup tegap, meskipun tidak terlalu besar. Ilmu silatnya pun tampak paling lihai, terbukti dengan permainan pedangnya yang lincah dan mantap. Untuk membendung amukan orang ini, pihak tentara kerajaan harus menggabungkan tenaga lima orang prajurit, barulah dapat melawannya dengan seimbang. Tetapi orang itupun melawan dengan garang seperti harimau terluka. Dari tempat persembunyiannya, Rahib Hong-tay dan muridnya mengawasi jalannya petempuran dengan cermat. Tong Wi-lian semakin lama semakin tertarik melihat permainan pedang si orang berkedok. Ia pun merasa sudah sangat mengenal bentuk tubuh dan gerak-gerik orang itu. Ya, bahkan ia mengenalnya sejak kecil! Karena tidak dapat menahan diri lagi, ia lalu berbisik kepada gurunya, “Suhu, orang berkedok yang tinggi semampai itu memainkan ilmu pedang Soat-san-pay!” Rahib Hong-tay mengiakan, “Ya, akupun melihatnya. Tetapi itu bukan hal yang aneh. Soat-san-pay adalah sebuah perguruan yang cukup besar dan mempunyai banyak murid, meskipun letak perguruan itu jauh di perbatasan barat, tapi apa sukarnya jika salah seorang muridnya hendak berkeliaran di daerah Tiong-goan ini?” “Tetapi te-cu seakan-akan sangat mengenal orang itu,” sahut Wi-lian dengan agak ragu-ragu. Suara gemerincing senjata beradu bercampur aduk dengan dengus kesakitan atau teriakan perang penuh dendam terdengar makin riuh di tempat itu, semakin lama semakin ribut. Pemanah yang bersembunyi di atas genteng rumah di pinggir jalan kembali telah “menjemput” beberapa nyawa prajurit kerajaan. Basanya yang diincar adalah prajurit yang mencoba meninggalkan tempat pertempuran untuk memanggil bala bantuan. Incarannya ternyata selalu jitu dan tidak pernah meleset. Tetapi pemanah di atas genteng itu kemudian semakin berani memunculkan dirinya, dan datanglah nasib sialnya. Ketika si pemanah sedang berjongkok di atas genteng untuk menunggu korbannya, seorang prajurit berhasil melemparkan lembing yang tepat menancap di data si pemanah. Sambil menjerit kesakitan, si pemanah itupun roboh dari atas genteng dan terbanting di tanah. Namun prajurit yang melempar lembing itupun juga mengalami nasib buruk, sebab seorang lawannya berhasil membenamkan sepasang belati ke lambungnya dan merobeknya. Prajurit itupun ambruk ke tanah, menambah jumlah deretan korban yang sudah cukup banyak. Rahib Hong-tay yang berhati lembut itu hampir-hampir menangis melihat sesama manusia saling bunuh seperti binatang buas di padang liar saja. Bahkan lebih kejam dari binatang, sebab binatang hanya membunuh untuk membela diri atau untuk mengisi perut, namun manusia membunuh hanya semata untuk kepuasan diri sendiri. Korban yang terluka atau tewas terus bertambah di kedua belah pihak. Tetapi hal tersebut tidak mematahkan kebuasan orang-orang itu, justru malah semakin bertambah buas dan kalap. Kawanan orang berkedok yang tadinya berjumlah belasan orang, kini telah hampir habis. Mereka kini tinggal berempat, termasuk orang berkedok yang memainkan ilmu pedang Soat-san-pay. Merekalah yang masih bertahan dengan gigihnya melawan tekanan tentara-tentara kerajaan. Sementara itu Rahib Hong-tay mulai mempertimbangkan untuk turun tangan. Tapi ia masih berpikir apakah turut campur dirinya itu akan membawa kebaikan bagi kedua belah pihak atau justru akan menambah jumlah korban? Sebagai manusia biasa, rahib itupun mempunyai perasaan berpihak. Di dalam hatinya ia sudah berpihak kepada orang-orang berkedok, Sebab dengan mata kepalanya sendiri ia telah menyaksikan kekejaman yang memuakkan dari tentara-tentara kerajaan. Dalam pada itu, orang berkedok yang bertubuh tinggi semampai telah mulai melihat kesulitan yang membayang bagi pihaknya. Ia segera mengeluarkan suitan nyaring, mengisyaratkan kawan-kawannya agar mengundurkan diri dari gelanggang. Namun prajurit-prajurit yang sudah dirasuk dendam karena telah kehilangan beberapa orang kawan itu tentu saja tidak membiarkan orang-orang berkedok itu kabur begitu saja. Seorang prajurit yang berpangkat paling tinggi segera mengejek dengan suara dingin, “Hemm, saat ini tidak ada selubang jarumpun yang dapat kalian gunakan untuk menyelamatkan diri. Kalau ingin meraka memang bisa, dan pedangku ini sanggup untuk mengantarkan kalian.” Tong Wi-lian yang juga punya perasaan berpihak kepada orang-orang berkedok itu, terutama kepada orang yang memainkan ilmu pedang Soat-san-pay, segera membisiki gurunya, “Suhu, cepatlah bertindak sebelum orang-orang berkedok itu tertumpas habis. Mereka bertindak demikian untuk menentang kezaliman.” Rahib Hong-tay memang sudah memutuskan untuk membantu orang-orang berkedok itu secara diam-diam, karena dianggapnya orang-orang berkedok itu sebagai orang-orang gagah berani yang berani menentang tindakan kejam tentara kerajaan. Tapi rahib itu masih belum berniat untuk membunuh tentara-tentara itu, hanya berniat melumpuhkannya saja. Dengan demikian akan memberi kesempatan kepada orang-orang berkedok itu untuk melarikan diri. Setelah mengincar sasarannya baik-baik, Rahib Hong-tay lalu menaburkan seraup uang logam yang sudah digenggamnya sedari tadi. Kepingan-kepingan uang logam yang nampaknya ditabur sembarangan itu ternyata dapat “memilih” sasarannya sendiri-sendiri dengan tepat, dan semuanya tepat mengenai lutut para prajurit kerajaan! Hampir bersamaan para prajurit itu menjerit kesakitan dan roboh serentak ketika uang-uang logam yang disambitkan Hong-tay Hwesio mengenai sambungan lutut mereka. Mereka menjadi kalang-kabut dan sama sekali tidak tahu sebab kaki mereka mendadak menjadi lemas. Keinginan Hong-tay Hwesio adalah agar supaya orang-orang berkedok itu cepat-cepat melarikan diri sehingga korban yang lebih banyak dapat dikurangi. Namun ternyata keinginan yang mulia itu tidak sesuai dengan kenyataan. Orang-orang berkedok tidak melarikan diri selagi para prajurit roboh, malahan dengan kebencian yang semakin meluap mereka membabat habis prajurit-prajurit kerajaan tanpa kenal ampun. Terdengar jerit kematian berturut-turut. Dalam sekejap saja, sisa-sisa prajurit kerajaan yang masih hidup telah tertumpas habis tanpa sisa. Jalan raya yang lengang itu kini penuh dengan bangkai manusia yang malang-melintang. Baik Rahib Hong-tay maupun Tong Wi-lian sama sekali tidak menduga akan sikap orang-orang berkedok yang menyalah-gunakan pertolongan itu. Rahib Hong-tay membantu orang-orang itu karena muak melihat kekejaman tentara kerajaan, tapi ternyata orang-orang berkedok itupun merupakan manusia-manusia yang tak kalah buas dan liarnya denga para tentara kerajaan. Mereka sama sekali tidak membiarkan satupun prajurit hidup. Rasa simpati yang sempat timbul dalam hati Rahib Hong-tay dan muridnya sirnalah sudah. Namun dalam pada itu Tong Wi-lian merasa semakin mengenal orang berkedok yang tinggi semampai. Ingatannya semakin lama semakin tajam dan mulutnya hampir saja meneriakkan sebuah nama. Gerombolan orang berkedok yang tinggal empat orang itu berdiri bertolak pinggang di tengah jalan, di antara mayat-mayat lawan mereka, seakan sedang memuaskan diri menikmati kemenangan mereka. Kemudian terdengarlah orang yang bertubuh tinggi semampai itu berkata kepada teman-temannya, “Kita tinggalkan tempat ini secepatnya sebelum anjing-anjing Kaisar lainnya membanjiri tempat ini!” Keempatnya segera mengambil kuda-kuda tunggangan mereka yang disembunyikan di lorong-lorong sekitar tempat itu. Tak lama kemudian mereka telah berada di punggung kuda masing-masing dan segera memacunya menuju ke arah barat kota Bun-seng. Saat itulah Tong Wi-lian tidak ragu lagi akan orang yang bertubuh tinggi semampai itu. Kini dia ingat orang itu, apalagi setelah mendengar suaranya, jika tadi dia masih ragu-ragu itu disebabkan karena orang ini namapak agak kurus dibandingkan dulu. Orang itu tidak lain adalah Tong Wi-siang, kakaknya yang tertua, yang sudah setengah tahun lebih meninggalkan An-yang-shia karena terlibat pembunuhan seorang pejabat hukum dari Pak-khia. Tanpa dapat menahan diri lagi, Tong Wi-lian segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan mengejar ke arah larinya orang-orang berkuda itu sambil berteriak memanggil nama kakaknya, “A-siang! A-siang!” Keempat penunggang kuda itu sudah berada belasan tombak jauhnya dari tempat pertempuran, ketika gadis itu memanggil-manggil nama kakaknya. Tapi pemimpin gerombolan yang bertubuh tinggi semampai itu sempat mendengar teriakan Wi-lian dan sempat menolehkan kepala. Ia nampak ragu-ragu sejenak, tapi kemudian ia menggertakkan gigi, mengeraskan hatinya dan lalu memacu kudanya lebih cepat lagi. Tong Wi-lian yang berlarian mengejar tak dihiraukan lagi. Sebaliknya Wi-lian bagai kalap mengejar kakak tertuanya yang telah lama tak pernah bertemu. Sekuat tenaga ia terus berlari mengejar sambil memanggil “A-siang” berulang kali. Namun mana bisa ia menandingi kecepatan lari kuda? Dalam sekejap saja bayangan keempat ekor kuda itu semakin mengecil, semakin kabur dan akhirnya lenyap dengan hanya meninggalkan debu kuning yang mengepul. Bagai hilang kesadaran, Wi-lian terus mengejar sampai ke batas kota hingga akhirnya dia putus asa, batinnya telah terpukul begitu hebat hingga iapun jatuh terkulai dan pingsan. Untung Hong-tay Hwesio segera menolongnya, dan dengan bantuan beberapa orang penduduk yang baik hati, mereka berhasil menyadarkan dan menghibur gadis itu. Sebelum meninggalkan kota Bun-seng, Rahib Hong-tay telah menguras seluruh isi kantongnya hingga tak tersisa sepeserpun, lalu dititipkan kepada salah seorang penduduk Bun-seng agar diserahkan kepada keluarga Ah Beng yang masih hidup. Setelah Tong Wi-lian sadar kembali, maka guru dan murid itupun melanjutkan perjalanannya menuju Kuil Siau-lim-pay di bukit Siong-san yang sudah tidak jauh lagi.sejak hari itu Tong Wi-lian nampak agak murung dan tidak seriang biasanya. Rupanya dia sangat menyesal karena tidak sempat menemui kakak tertuanya. Bahkan dia pun menyesal melihat tingkah laku kakaknya yang ada gejala-gejala akan menjadi sesat. Dulu kakaknya sudah cukup bengal dan nakal, dan kini setelah berpisah dengan keluarganya agaknya dia semakin berani membuat kekacauan. Meskipun hatinya risau, untunglah Wi-lian bukan jenis gadis yang cengeng. Peristiwa yang dialaminya di kota Bun-seng justru semakin mengobarkan semangatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dikuil Siau-lim-si. Dan setelah membekal ilmu yang dapat diandalkan, barulah dia akan dengan leluasa mencari keluarganya yang tercerai-berai untuk dikumpulkan kembali. * * * * * * *
Empat orang lelaki tegap penunggang kuda tengah berpacu di tengah padang gersang yang tanahnya berwarna kuning kecoklatan. Kota Bun-seng, kota di mana mereka berempat baru saja menimbulkan kegemparan, sudah jauh tertinggal di belakang mereka. Penunggang-penunggang kuda itu adalah para lelaki muda yang semuanya berwajah garang dan tidak terawat. Mereka adalah sisa kelompok yang selalu diburu dan bahkan tidak jarang hampir tertumpas. Yang berkuda paling depan adalah lelaki bertubuh tinggi semampai yang merupakan pemimpin kelompok. Umurnya baru sekitar 25 tahun tetapi nampak seperti berumur 40 tahun sebab kumis dan jeggotnya yang tidak pernah dicukur itu telah tumbuh serabutan. Wajahnya sebenarnya cukup tampan, namun nampak keruh dan ganas, bahkan sinar matanya menampilkan pula sifat-sifatnya yang liar. Di bukan lain adalah Tong Wi-siang, kakak dari Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian, putera tertua mendiang Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Ketika merasa telah cukup jauh dari kota Bun-seng dan cukup aman, Tong Wi-siang lalu memberi isyarat kepada tiga orang kawannya untuk memperlambat lari kuda mereka. Lalu mereka memperlambat lari kudanya dan berkuda perlahan-lahan sambil membisu seribu bahasa. Wajah mereka masih melukiskan ketegangan yang baru saja mereka alami di Bun-seng. Bagaimana tidak merasa tegang, kalau menyadari bahwa “permainan” yang baru saja mereka lakukan itu ternyata berakibat sedemkian hebat sehingga belasan orang kawan mereka terpaksa ditinggal sebagai mayat-mayat di Bun-seng. Sedang mereka sendiri pun hampir-hampir tidak bisa lolos dari lubang jarum. Wi-siang sendiri berkuda paling depan, pandangan matanya yang kosong-melompong menatap ke depan. Anak muda berhati sekeras besi dan kenyang dengan pengalaman-pengalaman berbahaya itu ternyata sedang gundah hati. Tadi sebelum meninggalkan kota Bun-seng telinganya mendengar seorang gadis memanggil-manggil namanya sambil berlarian. Gadis itu adalah adiknya, yang meskipun sering bertengkar dengannya karena sama-sama berwatak keras, namun juga sangat disayanginya. Tadi, ketika sang adik mengejarnya, alangkah rindunya Tong Wi-siang sehingga berniat untuk melompat turun dari kudanya dan memeluk adiknya, tetapi keadaan telah memaksanya untuk berbuat lain. Wi-siang sadar bahwa jika sampai tempat itu dikepung oleh prajurit-prajurit kerajaan dalam jumlah besar, maka tiada harapan lolos lagi baginya dan bagi kawan-kawannya. Karena itulah dia mengeraskan hati dengan tidak menghiraukan sama sekali seruan adiknya, meskipun saat itu hatinya bagaikan tersayat-sayat. Dalam hatinya yang sekeras batu ternyata bisa juga timbul rasa penyesalan. Tadinya keluarganya hidup tenteram di An-yang-shia, namun kini telah berantakan dan terpencar-pencar tidak keruan lagi. Tong Wi-siang merasa sangat menyesal karena merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan semua kehancuran itu, sifat bengalnyalah yang menjadi biang keladi semua malapetaka itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, waktu terus berjalan ke depan, dan Wi-siang tidak akan mampu memutar roda waktu agar balik seperti semula. Sambil berkuda perlahan, dia mulai melamun membayangkan masa kecil dan masa menjelang dewasanya. Waktu itu dia merupakan pelindung bagi kedua adiknya, meskipun kedua adiknya bukan merupakan anak-anak yang cengeng. Bahkan Tong Wi-siang berani berkelahi dengan siapapun demi melindungi adaik-adiknya. Ketika menginjak masa remaja, mulailah ia mendapatkan kawan-kawan yang bertabiat buruk yang sedikit demi sedikit mulai mempengaruhi sifat-sifat Wi-siang. Ia mulai menjadi seorang anak yang tidak betah diam di rumah untuk berkumpul bersama keluarga, dia lebih senang bersama dengan kawan-kawannya, bergerombol di tempat-tempat ramai di an-yang-shia. Ia dan kawan-kawannya senang membuat kekacauan yang dianggapnya sebagai tanda “kejantanan” mereka. Berjudi, berkelahi, makan-minum tanpa membayar, dan sebagainya. Bahkan kemudian ia menjadi yang paling menonjol sehingga diangkat menjadi pemimpin anak-anak bengal itu. Puncak kenakalan mereka adalah ketika mereka memutuskan untuk menyerang serombongan pejabat pemerintah dari Pak-khia karena bujukan salah seorang dari mereka yang ingin membalas dendam sakit hati ayahnya. Sejak saat itu tertutuplah kemungkinan bagi Wi-siang dan gerombolannya untuk pulang ke An-yang-shia. Mereka menjadi buronan pemerintah kerajaan Beng, berlari dan bersembunyi dari tempat satu ke tempat lainnya. Tidak jarang mereka harus bertempur dengan kelompok-kelompok prajurit kerajaan atau melawan pemburu-pemburu upahan Cia To-bun. Pada suatu hari, Tong Wi-siang tidak dapat menahan diri lagi dan ingin menjenguk keadaan rumahnya. Teman-temannya pun mendukung rencana itu, sebab teman-teman Wi-siang itupun merupakan anak-anak kelahiran an-yang-shia dan masih punya keluarga di An-yang-shia. Namun alangkah sedih dan murkanya anak-anak muda itu setelah menjumpai rumah mereka dalam keadaan menjadi puing atau sudah kosong. Bahkan ada yang seluruh keluarganya telah ditangkap dan entah dibawa kemana. Tong Wi-siang sendiri menemui rumahnya dalam keadaan sudah menjadi puing-puing yang dihuni binatang-binatang liar. Agak jauh dari rumahnya ia menemukan segunduk kuburan tanpa nama yang hanya ditandai dengan sebatang pedang, tetapi Wi-siang tahu bahwa kuburan itu adalah kuburan ayahnya sebab ia mengenal pedang ayahnya itu. Di depan makam itulah Tong Wi-siang berlutut dan menangis meluapkan penyesalannya, sekaligus menyulut api dendam buat dirinya sendiri. Lalu bersama kawan-kawannya yang juga sedang gelap pikiran, anak-anak muda yang nekat itu menyerbu rumah Cia To-bun. Tapi kedatangan mereka bagaikan serombongan serangga yang menubruk nyala api. Bukan saja mereka berhasil diusir oleh pengawal-pengawal Cia To-bun, bahkan gerombolan mereka pun kehilangan separuh dari anggota mereka setelah bertempur dengan para pengawal Cia To-bun. Rombongan anak-anak muda yang kehilangan pegangan tersebut lalu menjadi liar, bergentayangan dari tempat yang satu ke tempat yang lain untuk mencari penyaluran bagi perasaan mereka yang meledak-ledak. Jadilah mereka pengacau di mana-mana, dan setiap kali bertempur dengan pasukan pemerintah, jumlah mereka pun terus berkurang, ada yang terbunuh, tertawan, atau diam-diam melarikan diri untuk melepaskan diri dari gerombolan. Yang terakhir adalah kekacauan yang mereka perbuat di kota Bun-seng. Di sini gerombolan Wi-siang mengalami pukulan berat, sebab dari limabelas orang, yang hidup hanya empat orang. Selain itu, Tong Wi-siang pribadi pun mengalami sesuatu yang meresahkan hatinya, yaitu pertemuannya dengan adik perempuan yang disayanginya. Kini keempat orang sisa gerombolan telah melarikan diri puluhan li jaraknya dari kota Bun-seng. Ketiga kawan Wi-siang melihat punggung Tong Wi-siang terguncang-guncang. Mereka mengira bahwa pemimpin mereka terguncang karena larinya kuda, dan mereka sama sekali tidak akan menduga bahwa pemimpin mereka yang garang itu sebenarnya sedang menangis. “A-siang!” salah seorang dari kawannya memanggil. “Apakah kita tidak akan beristirahat barang sebentar? Kukira kini kita sudah cukup jauh dari Bun-seng, sudah cukup aman, bahkan sebentar lagi kita mungkin akan sampai kota Kiang-leng.” Wi-siang tidak menoleh sebab tidak ingin air matanya dilihat oleh teman-temannya. Sahutnya tanpa menoleh, “Kita tidak boleh lengah sekejappun, sebab kita berempat adalah buronan pemerintah kerajaan, dan ada tersedia hadiah besar buat batok-batok kepala kita. Jika kita melewati tempat ramai, tentu jejak kita akan tercium oleh anjing-anjing kerajaan itu.” “Tetapi kuda tunggangan kita sudah mulai kelelahan, sudah beberapa hari kita pakai secara diluar batas,” bantah kawannya. “Bahkan bisa mati kelelahan kalau tidak kita istirahatkan.” Jawab Wi-siang, “Persetan! Aku tidak ingin tertangkap lalu diarak keliling kota sebelum kepala kita dipisahkan oleh golok algojo. Karena itu kita jalan terus!” “Tetapi...” Kawannya yang hendak membantah itu terbungkam setelah Wi- siang menyahutnya dengan suara hampir berteriak, “Jangan membantahku lagi, Hong-pin!” Anak muda kawan Wi-siang itu bernama Hong-pin. Sebenarnya ia masih terlalu muda untuk ikut-ikutan dalam petualangan sekeras itu, umurnya bahkan lebih muda dari adik Wi-siang yang terkecil, yaitu Wi-lian. Lim Hong-pin adalah anak seorang keluarga pedagang hasil bumi yang terhitung kaya-raya untuk ukuran An-yang-shia. Namun sejak Lim Hong-pin terlibat dalam pembunuhan pejabat dari Pak-khia, maka usaha dagang ayahnya ditutup dan rumahnya disegel oleh pemerintah, sedang keluarga Lim Hong-pin sendiri sudah pindah entah kemana. Demi menyelamatkan diri dari kejaran pemerintah, Lim Hong-pin terpaksa terus bergabung dalam “pasukan” Tong Wi-siang dan ikut mengacau ke mana-mana. Sering juga ia menyesal kenapa dulu tidak menuruti anjuran ayahnya untuk belajar dagang saja, alih-alih malahan bergaul rapat dengan pengacau-pengacau ini, dan akhirnya kini ia harus memetik hasil dari perbuatannya sendiri. Dua orang teman Wi-siang lainnya masing-masing bernama Siangkoan Hong dan Tan Goan-ciau. Siangkoan Hong ini juga anak seorang kaya, ayahnya adalah seorang pengusaha rumah makan terbesar di An-yang-shia, tapi nasibnya sama dengan Lim Hong-pin, yaitu tidak berani pulang ke rumah karena takut dikirim ke bawah golok algojo. Dalam gerombolan Wi-siang, Siangkoan Hong ini terkenal keberaniannya... |
Selanjutnya;
|