Perserikatan Naga Api Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 01

Karya : Stevanus S.P
DEBU menghambur keatas, seekor kuda tegar berlari keatas jalan berbatu yang menuju ke arah kota Kiang-leng itu. Penunggangnya adalah seorang lelaki setengah umur yang pinggangnya masih ramping dan tegap, dan pandangan matanya masih tajam berwibawa.

Meskipun rambut dan kumisnya sudah berwarna kelabu, namun ia tidak nampak loyo sedikitpun. Pakaian ringkas yang dikenakannya nampak berlapis debu, menandakan bahwa lelaki itu baru saja melewati sebuah jarak yang panjang, dan kawan seperjalanannya hanyalah sebatang pedang yang tergendong melintang di punggungnya.

Kuda yang bagus dan penunggangnya yang gagah perkasa, mereka benar-benar merupakan pemandangan yang mengagumkan orang. Kuda itu melaju melintasi sebuah dataran yang berlapis rumput kekuning-kuningan, kemudian memasuki daerah perbukitan batu yang agak landai.

Ketika kuda itu mulai menginjakkan kakinya di lereng bukit itu, tiba-tiba penunggang kuda itu merasakan bahwa di tempat itu ada bahaya yang sedang menantinya. Naluri semacam itu memang dimiliki oleh orang-orang yang biasa berkelana di dunia persilatan pada umumnya. Namun tanpa gentar sedikitpun ia terus memajukan kudanya, meskipun sikapnya mulai berhati-hati.

Tiba-tiba sebatang anak panah meluncur dari balik sebuah rumpun semak-semak, tertuju langsung ke leher lelaki penunggang kuda itu. Desingan anak panah yang menusuk telinga serta ketepatannya menuju sasarannya menandakan bahwa pemanah gelap itu tentu seorang pemanah yang mahir.

Namun ketangkasan lelaki penunggang kuda itupun ternyata cukup mengejutkan. Dengan gerakan amat cepat ia telah mengayunkan cambuk kudanya untuk membelit panah yang tertuju ke tenggorokannya itu, dan anak panah itu ternyata berhasil digulungnya.

“Sahabat dari golongan manakah yang memperkenalkan diri ini?” demikian lelaki penunggang kuda itu berteriak lantang sambil menyapukan pandangannya ke lereng bukit. Tiba-tiba ia mengibaskan cambuk kudanya, dan anak panah yang tergulung cambuk itu melesat kembali ke arah asalnya, diiringi bentakannya: “Jangan bersembunyi!”

Dari balik rerumpunan semak-semak terdengar seruan kaget, disusul dengan munculnya seseorang dari tempat itu. Ternyata luncuran anak panah yang digerakkan hanya dengan kebasan cambuk kuda itu telah mampu memaksa si pemanah keluar dari persembunyiannya.

Orang yang muncul dari semak-semak itu ternyata seorang yang masih cukup muda, usianya sekitar 30 tahun, bertubuh kurus jangkung, sedangkan mukanya menampilkan sifat-sifatnya yang kejam dan licik. Di pinggangnya terselip sebatang pedang pendek tanpa sarung, dan di tangan kirinya masih memegang busur panah.

“Heh-heh-heh, tangkas juga kau, tua bangka,” orang itu tertawa mengejek sambil membuang busurnya dan menghunus pedang pendeknya.

Lelaki penunggang kuda itu masih tenang-tenang saja, ia telah menghentikan kudanya, ucapnya dengan sikap yang sangat santai. “Bagus, akhirnya muncul juga kau. Tapi apakah hanya kau seorang yang punya nyali untuk menemui aku? Sedang ketiga kawanmu masih juga bersembunyi seperti kura-kura?"

Wajah penghadangnya seketika berubah mendengar perkataan itu. Ia tidak menduga kalau si tua itu begitu lihai sehingga ketiga kawannya yang masih bersembunyipun dapat diketahuinya. Sedang ketiga kawannya yang masih bersembunyi itupun kini terpaksa muncul juga, dan langsung mengambil sikap mengurung terhadap si lelaki penunggang kuda itu.

Dengan ketajaman matanya, si penunggang kuda itu mencoba menaksir kekuatan keempat calon lawannya itu. Di antara 4 orang penghadang itu, ternyata ada tiga orang yang satu sama lain bermuka sangat mirip, yaitu sama-sama bertubuh kurus jangkung, bermuka kejam dan licik. Bahkan pedang pendek yang dibawa oleh ketiga orang itupun berbentuk sama. Jelaslah bahwa ketiga orang itu bersaudara.

Orang keempat bertubuh gemuk, namun nampak gesitgerak- geriknya dan kelihatannya ilmu silatnya cukup tangguh. Itu disimpulkan dari sikapnya yang tenang dan acuh tak acuh meskipun ia tidak membawa senjata sepotongpun. Sayang mukanya tertutup secarik kedok, dan hanya matanya saja yang kelihatan.

Lelaki penunggang kuda itu menepuk-nepuk kantong kain yang tergantung di pelana kudanya, sambil berkata: “Siapakah kalian? Jika kalian bermaksud merampok aku, maka kalian akan kecewa, aku tidak membawa banyak uang dalam perjalanan ini.”

Salah seorang dari tiga bersaudara itu menjawab dingin. “Kami tidak butuh uangmu yang busuk itu. Yang kami butuhkan cuma kitab yang ada di dalam kantong bajumu itu.”

Meskipun si penunggang kuda itu cukup tenang dalam menghadapi ketiga saudara dan orang yang berkedok itu, namun ketika mendengar kalimat yang terakhir itu mau tidak mau air mukanya berubah juga. Pikirnya dengan berdebar, “Kenapa orang-orang ini tahu bahwa aku membawa kitab berharga itu? Padahal perjalananku ini kurahasiakan kepada siapapun, kecuali kepada isteri dan kedua orang saudara angkatku. Siapakah yang membocorkan rahasia perjalananku?”

Namun lelaki penunggang kuda itu masih berpura-pura tidak tahu di hadapan keempat penghadangnya itu. “Kitab apa? Aku tidak tahu maksud pembicaraan kalian,” katanya.

Si jangkung yang kurus yang berdiri di tengah itu memperdengarkan suara tertawa mengejeknya. Katanya, “Tua bangka, ketahuilah bahwa kami tiga bersaudara inilah yang bergelar Thay-san-sam-long (Tiga serigala dari Thay-san), karena itu jangan coba-coba bermain-main dengan kami. Hanya ada dua pilihan buatmu. Serahkan kitab itu dan kau akan dapat pergi dari sini dengan selamat. Pilihan kedua, kau melawan dan terpaksa akan kami bunuh. Thay-san-sam-long tidak pernah mengampuni siapapun yang mencoba membangkang permintaan kami.”

Si penunggang kuda itu agak terkejut juga mendengar ketiga orang itu telah memperkenalkan diri sebagai Thay-san-sam-long, tiga saudara yang terkenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Buat mereka, cukup beberapa tahil orang akan bisa menyuruh mereka untuk menghabisi nyawa orang lain, sehingga mereka dibenci dan dikucilkan oleh kaum persilatan.

Yang tertua bernama Tio Hau, dan kedua adiknya adalah Tio Kiang dan Tio Bun. Kini tiga pembunuh bayaran yang terkenal itu telah menghadangnya. Jelas kesulitan yang dihadapinya tidak kecil. Apalagi masih ada si orang berkedok yang kelihatannya juga cukup berbobot itu.

Tapi lelaki penunggang kuda itupun bukan seorang pengecut, dengan gerakan yang hampir tidak terlihat ia telah mencabut pedang yang tergendong di punggungnya itu, lalu katanya menantang, “Baiklah, agaknya tidak ada gunanya lagi aku terus berpura-pura. Kitab itu memang ada padaku, jika kalian begitu mengingininya, kalian boleh mencoba mengambilnya sendiri di tubuhku. Biarpun Thay-san-sam-long cukup ditakuti, tapi aku orang she Tong tidak gentar sedikitpun.

Akhirnya kedua belah pihak merasa tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Thay-san-sam-long telah siap dengan pedang pendeknya masing-masing, dan mereka mulai melangkah maju ke arah penunggang kuda itu. Sedangkan si orang berkedok malah mundur beberapa langkah, rupanya ia hendak “melihat-lihat” dulu.

Di antara Thay-san-sam-long, si bungsu Tio Bun adalah yang paling berwatak berangasan. Dibarengi teriak seperti lolongan serigala ia menerjang maju lebih dulu, pedang pendeknya lebih dulu diarahkan ke bawah untuk membabat kaki kuda yang ditunggangi lawannya. Gerakannya cepat dan telak, benar-benar mirip seekor serigala liar.

“Licik!” bentak si lelaki penunggang kuda itu. Tubuhnya tiba-tiba melambung meninggalkan punggung kudanya, dan pedangnya menabas kepala Tio Bun dari atas.

Dengan demikian meskipun Tio Bun akan berhasil membabat kaki kuda, namun kepalanya sendiripun akan menjadi korban pedang lawan. Merasa ada angin tajam menuju kepalanya, cepat Tio Bun mengganti gerakan pedang pendeknya untuk ditangkiskan ke atas sambil merendahkan kuda-kudanya.

Terdengar suara berdencing nyaring ketika pedang kedua orang itu saling beradu. Tio bun terkejut karena tangannya yang memegang pedang itu terasa bergetar hebat. Ia juga dikejutkan oleh kecepatan bergerak lawannya, sehingga hampir saja kepalanya terbelah jika saja ia kurang cepat menangkis.

Di pihak lain, sadar bahwa sedang menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan terdiri dari lawan-lawan tangguh pula, maka lelaki penunggang kuda itu tidak mau membuang kesempatan yang betapapun kecilnya. Begitu kakinya menginjak tanah, ia telah melompat kembali dan kali ini menyerang ke arah kakak tertua dari Thay-san-sam- long, yaitu Tio Hau.

Tio Hau sempat kelabakan oleh serangan mendadak itu, tapi ia masih sempat menangkis sambil mengejek, “Hem, ilmu pedang dari Soat-san-pay (perguruan Soat-san) ternyata hanya begini saja”

Sebagai seorang yang cukup ditakuti di dunia persilatan, ternyata ilmu silat Tio Hau boleh juga. Begitu ia berhasil menyingkirkan pedang lawannya, pedangnya sendiri langsung menikam ke dada lawan dibarengi dengan sebuah tendangan ke arah jalan darah Hoan-tiau-hoat di lutut lawannya.

Lelaki penunggang kuda itu menggeram pendek, dengan sedikit menggeser ke kanan ia berhasil lolos dari serangan berganda itu, lalu tiba-tiba saja pedangnya “menggeliat” hendak menyontek tenggorokan Tio Hau. Gerakannya cepat dan keras, perubahannyapun tidak terduga oleh lawannya, membuat sang lawan tercengang dan kebingungan.

Barulah pada detik itu Tio Hau menyadari kelihaian lawannya, ia merasa tidak sanggup meloloskan diri dari kejaran ujung pedang lawan yang begitu cepat, hanya dalam hatinya ia menjerit, “Habislah riwayatku kali ini!”

Tapi ternyata lelaki berkuda itu tidak dapat meneruskan serangan gabungannya, sebab mendadak ia merasakan datangnya serangan dari samping dan belakang tubuhnya. Rupanya Tio Kiang dan Tio Bun tidak membiarkan kakak mereka mampus di ujung pedang lawan, maka mereka melancarkan serangan serempak untuk menolong sang kakak.

Kembali si penunggang kuda memperlihatkan kehebatannya. Serangan gabungan Tio Kiang dan Tio Bun itu mungkin cukup untuk mengirim nyawa seorang jago silat ke akherat, tetapi belum cukup untuk menghadapi pendekar Soat-san-pay yang tangguh ini.

Secepat kilat si penunggang kuda itu melompat dengan gerakan Ui-ho-ciong-thian (burung kuning menerobos langit), dan sambil melompat ia masih sempat menggoreskan ujung pedangnya ke punggung si bungsu Tio Bun. Meskipun lukanya tidaak parah, namun sudah menunjukkan keunggulan lelaki penunggang kuda itu.

Siapakah lelaki setengah umur yang perkasa itu? Ia bernama Tong Tian dan merupakan seorang pendekar kenamaan di wilayah Kiang-se dan sekitarnya. Tempat tinggalnya adalah kota kecil bernama Ang-yang- shia yang terletak di tepi danau Po-yang-ou yang tenang. Ia adalah seorang tokoh dari perguruan Soat-san-pay, dan ketua Soat-san-pay yang sekarang adalah gurunya.

Saat itu ia baru saja pulang dari Soat-san yang terletak jauh di barat itu, untuk memenuhi panggilan gurunya. Dasar nasibnya memang beruntung, panggilan dari gurunya itu ternyata bermaksud menghadiahinya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang ciptaan gurunya sendiri yang terbaru.

Tong Tian sebenarnya merasa heran dengan munculnya keempat orang penghadang yang hendak merampas kitabnya itu. Perjalanannya ke Soat-san untuk menerima kitab itu sudah dirahasiakan sangat rapat, yang mengetahuinya hanya isterinya dan dua orang saudara angkatnya, dari mana Thay-san-sam-long dapat memperoleh bocoran berita itu dan menghadangnya di tempat itu?

Namun saat itu Tong Tian tidak boleh memecah pikirannya sedikitpun. Tiga orang saudara she Tio dengan pedang pendek di tangan mereka masing-masing merupakan lawan-lawan berbahaya yang memerlukan perhatian sepenuhnya. Ketiga orang lawannya itu memang benar-benar bertarung seperti serigala-serigala yang ganas dan licik.

Tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap (Pendekar dari Kiang-se), sebab Thay-san-sam-long yang terkenal itupun ternyata tidak sanggup membunuhnya dengan segera. Malahan sedikit demi sedikit mulai nampak bahwa Tong Tian akan dapat mengungguli ketiga lawannya berkat ilmu pedangnya yang hebat itu.

Apalagi dia baru saja pulang dari tempat gurunya di Soat-san, di mana dia telah mengalami peningkatan ilmu yang cukup berarti. Meskipun berhadapan dengan pembunuh-pembunuh bayaran yang terkenal, nampaknya bukan Tong Tian yang bakal terbunuh di tempat itu.

Hanya satu yang masih menjadi beban pikiran Tong Tian, yaitu orang berkedok yang sampai saat itu masih belum menerjunkan diri ke gelanggang pertempuran itu. Tong Tian sadar, jika orang berkedok itu terjun pula, maka kedudukan dirinya akan menjadi sangat terancam.

Karena itu Tong Tian bertekad mengakhiri perlawanan Thay-san-sam-long secepat mungkin, supaya kemudian dapat menghadapi orang berkedok itu dengan tenaga yang masih agak segar. Pedangnyapun bergerak semakin gencar dalam memporak-porandakan kepungan ketiga lawannya.

Dengan jurus Pat-hong-hong-i (Hujan Badai Delapan Penjuru), sinar pedang Tong Tian berhasil mengurung ketiga lawannya. Gerakan pedangnya berubah-ubah, kadang-kadang seperti angin pusaran yang seakan-akan menghisap lawan-lawannya, dan di saat lain berubah seperti titik-titik air hujan yang dengan deras mencurah ke tubuh lawan-lawannya dan membuat ketiga “serigala” itu hampir-hampr mati kutu dan tidak dapat bekerja-sama dengan baik.

Yang pertama kali menjadi korban amukan Pendekar Kiang-se itu adalah Tio Kiang, orang kedua dari Thay-san-sam-long itu. Terdengar Tio Kiang menjerit ngeri dan kemudian roboh terkapar dengan sebuah lubang “menghias” tenggorokannya. Ia menggelepar sebentar di atas rerumputan, dan arwahnyapun kemudian terbang meninggalkan raganya.

Selama ini Thay-san-sam-long malang-melintang dan ditakuti orang banyak, tak terduga hari ini harus mengalami nasib naas karena salah satu anggotanya mampus di ujung pedang Tong Tian. Hal itu membuat Tio Hau dan Tio Bun menjadi murka, dan dengan ganas mereka menyerang Tong Tian untuk membalaskan kematian Tio Kiang.

Orang berkedok yang belum ikut bertempur itu menjadi jengkel melihat tingkah pembunuh-pembunuh bayaran itu. Di dalam hatinya dia mengutuk, “Percuma saja aku mengupah Thay-san-sam-long dengan bayaran mahal, ternyata mereka tidak sehebat yang didesas-desuskan orang. Nampaknya akupun harus terjun ke gelanggang”

Namun orang berkedok itu tidak langsung terjun ke tengan kancah, lebih dulu ia mendekati kuda Tong Tian dan mulai menggeledah kantong pelananya, agaknya tujuan utamanya hanyalah mendapatkan kitab ilmu pedang Soat-san-pay itu, sedangkan mati hidupnya Thian-san-sam-long tidak menjadi perhatiannya. Kuda tunggangan Tong Tian itu agaknya bukan kuda yang jinak, begitu orang berkedok itu mendekatinya maka binatang itu langsung meringkik keras sambil melonjak-lonjak.

“Binatang tidak tahu diri!” geram orang berkedok itu. Dengan sebuah sodokan telapak tangannya ia menghantam rusuk kuda itu, dan akibatnya sungguh hebat, sebab kuda itu langsung meringkik keras dan roboh dengan tulang-tulang rusuk berpatahan dan mampus. Bagian dalam tubuh binatang yang kuat itu rupanya telah tergetar rontok oleh pukulan orang berkedok itu. Dari situ dapat dinilai betapa tangguhnya orang berkedok itu, lebih tangguh dari Thay-san-sam-long digabung menjadi satu.

Tong Tian yang sempat melirik kejadian itu menjadi terkejut juga, pikirnya dengan was-was, “Hebat pukulan orang ini. Jika orang ini ikut menerjunkan diri ke gelanggang bersama dua orang sisa Thay-san-sam-long ini, bukan saja kitab ilmu pedang pemberian Suhu sulit dipertahahankan, bahkan nyawakupun mungkin bisa ikut melayang”

Berpikir sampai di situ, Tong Tian lalu memperhebat serangan-serangannya. Lebih dulu ia mencecar Lo-toa Tio Hau dengan gerakan Lian-cu-sam-kiam (tusukan tiga kali berturut-turut), memaksa orang pertama Thay-san-sam-long itu mundur beberapa langkah dengan keripuhan. Tapi jalan darah Jing-ling-hiat di lengan Tio Hau sempat tertusuk juga, sehingga lengannya langsung lumpuh dan pedang pendeknya jatuh ke tanah.

Saat itu si lelaki berkedok telah selesai menggeledah pelana kuda Tong Tian dan tidak menemukan apa yang diingininya. Ketika melihat Tio Hau telah lumpuh, ia segera melompat ke tengah gelanggang,. Ia membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ke wajah Tong Tian, dibarengi sabetan tangan kirinya ke tulang pundak dengan jurus Tok-pek-hoa-san (Tangan Tunggal Menyerbu Hoa-san).

Gerakannya mantap dan cepat, menunjukkan bahwa dia memang jago tangan kosong yang patut diperhitungkan. Cukup salah satu dari serangan-serangannya itu mengenai sasarannya, Tong Tian akan cacat seumur hidup atau mati.

Tong Tian menghindar ke samping. Ada dua hal yang mengejutkannya, selain serangan lawan yang cukup lihai, juga karena ia seolah-olah sudah tidak asing lagi dengan gaya serangan semacam itu. Sayang wajah orang itu tertutup kedok sehingga mempersulit Tong Tian untuk mengenali orang itu.

Dalam pada itu si orang berkedok ternyata tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangan berikutnya segera membanjir datang dengan hebatnya. Sedangkan Tio Bun yang telah runtuh semangatnya karena rontoknya kedua kakaknya, kini melompat ke pinggir dan harus cukup puas menjadi penonton saja.

Maka terjadilah pertempuran satu lawan satu antara Kiang-se-tay-hiap melawan orang berkedok itu yang ternyata jago dalam menggunakan dua macam ilmu tangan kosong, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) serta Eng-jiau-kang (Tenaga Cakar Elang). Kedua macam ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang mengutamakan gwa-kang (Tenaga luar). Tidak mengherankan kalau lelaki berkedok itu nampak sangat percaya kepada kekuatan tangan dan jari-jarinya, berkali-kali ia mencengkeram pedang Tong Tian dengan beraninya.

Suatu saat orang berkedok itu mengeluarkan jurus Ok-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengulurkan Kuku), lengannya bergerak melengkung ke atas dan hendak mencengkeram ke arah pusar Tong Tian. Serangan-serangan ini akan dapat membuat usus Tong Tian berhamburan keluar.

“Bagus, keji benar hatimu!” dengus Tong Tian marah. Cepat ia mundur selangkah sambil menggetarkan pedangnya dengan gerakan gerakan Soat-hoa-kay-ting (Bunga Salju Menguruk Kepala). Dengan jurus ini ujung pedangnya bagaikan terpecah menjadi puluhan bunga-bunga perak yang sekaligus menghambur ke kepala lawannya.

Lelaki berkedok itu mendengus kaget, ia merendahkan tubuhnya dan menyingkir untuk menyelamatkan batok kepalanya. Tanpa menarik pedangnya lebih dulu, Tong Tian langsung melanjutkan serangannya dengan jurus Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Kepala). Untuk menjalankan jurus ini, sebenarnya orang memerlukan senjata yang berat seperti golok atau toya, tetapi Tong Tian dapat melakukannya dengan pedang yang ringan.

Dengan tenaga dalamnya yang disalurkan ke batang pedang, ia dapat membuat pedangnya menjadi seberat gunung runtuh. Sekali lagi orang berkedok itu dipaksa mundur. Tapi ternyata ia tidak diberi kesempatan untuk bernapas dengan lega, sebab Tong Tian telah membentak pula,

“Perlihatkan mukamu!” sambil mencongkelkan pedangnya ke atas, dengan tujuan menyingkap kedok lawannya.

Orang berkedok itu masih mencoba berkelit, bahkan dengan telapak tangannya yang disaluri dengan tenaga dalam, ia masih berusaha merebut dan menempel pedang Tong Tian. Atas perlawanan orang berkedok itu, Tong Tian cuma tertawa dingin sambil memiringkan batang pedangnya. Dengan demikian andaikata lawan masih berani meneruskan gerakannya, maka tajam pedangnyalah yang akan menyambut telapak tangan orang berkedok itu.

Orang itu ternyata masih belum berani mengadu tapak tangannya dengan ketajaman pedang Tong Tian, terpaksa ia menarik serangannya dan menggantinya dengan pukulan Ngo-heng-ciang dengan tangan lainnya. Sekali unggul di atas angin, Tong Tian tidak melewatkan setiap kesempatan.

Secepat kilat ia mendesak maju, pedangnya yang seakan-akan telah menjadi anggota tubuhnya itu kini bergerak membacok pundak orang itu. Pukulan lawan tidak dihiraukannya, sebab Tong Tian yakin bahwa serangannya akan tiba lebih dulu di tubuh lawan.

Kali ini si orang berkedok tidak dapat lolos lagi, pundaknya tergores oleh ujung pedang Tong Tian. Hal itu cukup merontokkan keberanian orang itu. Secepat kilat ia melancarkan tiga kali pukulan beruntun, dan begitu Tong Tian tertahan sejenak, orang berkedok itupun segera membalikkan badan dan kabur ke arah bukit.

Tong Tian bermaksud mengejarnya, namun tiba-tiba ia mendengar teriakan kalap dari Tio Bun, “Ganti jiwa saudara-saudaraku!”

Ternyata orang pertama Thian-san-sam-long, Tio Hau yang terluka jalan darah jing-ling-hiatnya itu tidak dapat diselamatkan, sebab pendarahan pada urat nadinya. Dengan demikian Thay-san-sam-long tinggal Tio Bun seorang diri yang kini telah menyerang secara kalap kepada Tong Tian. Ia menyerang seperti seekor anjing gila.

Menghadapi kegilaan lawannya itu, Tong Tian tertawa dingin, “Mengganti jiwa Thay-san-sam-long yang telah membunuh puluhan orang tak berdosa? Hem, bukan saja aku tidak sudi mengganti jiwa saudara-saudaramu, bahkan nyawamupun akan kucabut demi keamanan masyarakat”

Ketika Tio Bun sekali lagi menubruk seperti serigala, Tong Tian hanya memiringkan tubuhnya sedikit sambil meluruskan pedangnya ke depan. Maka tubrukan Tio Bun itu ibarat menyongsongkan tubuhnya sendiri ke ujung pedang lawannya.

Orang termuda dari Thay-san-sam-long itu sempat meraung menjelang ajalnya, setelah itu ia ambruk ke tanah dan tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya. Sejak saat itu nama Thay-san-sam-longpun terhapus dari dunia persilatan.

Tong Tian mencabut pedangnya dari tubuh Tio Bun dan membersihkannya. Ia sangat menyesal bahwa hari itu ia harus mencabut senjata dan membunuh sesama manusia, namun keadaan telah memaksanya untuk berbuat demikian. Dan hatinya agak terhibur kalau mengingat bahwa matinya Thay-san-sam-long berarti berkurangnya penyakit masyarakat.

Secara sederhana tetapi layak, Tong Tian lalu memakamkan ketiga mayat Thay-san-sam-long itu. Sebagai seorang pendekar, ia tak sampai hati membiarkan mayat bekas musuh-musuhnya itu tergeletak begitu saja dan menjadi santapan burung gagak serta serigala.

Selesai melakukan penguburan, Tong Tian mengambil kantong uangnya yang tergantung di pelana kudanya, lalu dengan berjalan kaki ia melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Kiang-leng untuk menginap semalam di kota itu. Langkahnya nampak agak bergegas, sebab hari sudah mulai sore, padahal kota Kiang-leng masih duapuluh li di depannya.

Bekas ajang pertempuran itupun menjadi sunyi kembali. Hanya tinggal tiga gundukan tanah yang berisi mayat-mayat yang masih baru, tidak jauh dari bangkai seekor kuda yang tergeletak begitu saja. Desir suara ilalang yang tertiup angin terdengar mirip dengan tangisan arwah penasaran yang bergentayangan.

Mendadak kesunyian di tempat itu diusik oleh suara langkah-langkah kaki yang mendekati tempat itu. Dari balik sebuah rumpun ilalang muncullah seorang lelaki berkepala gundul dan mengenakan jubah paderi Budha berwarna abu-abu lusuh. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu hitam yang panjangnya lebih-kurang sedepa. Usia paderi ini hampir 60 tahun, namun gerak-geriknya justru kelihatan tangkas.

Kini paderi itu berdiri di tempat bekas terjadinya pertempuran itu, ia menarik napas berulang kali sambil bergumam, “Hemm, bunuh-membunuh tidak ada habis-habisnya hanya untuk memperebutkan beberapa lembar kertas butut hasil tulisan tangan si tua bangka she Yu itu. Entah kapan dunia persilatan bakal bebeas dari pertengkaran dan pertumpahan darah?”

Paderi itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih, lalu terdengar pula gumamnya, “Semoga orang berkedok itu bukan dia adanya, semoga ia masih punya hati nurani yang bersih di samping sifat-sifat tamaknya. Namun jika memang dia terbukti bersalah, akupun tidak akan mengampuninya”

Paderi itu lalu mengelilingi tempat itu beberapa putaran, sambil membuka-buka rerumputan dengan kakinya, nampaknya ada sesuatu yang dicarinya. Namun ketika ia tidak mendapatkan apapun, maka dengan beberapa kali lompatan yang panjang dan cepat, paderi itupun pergi dari situ dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan. Matahari mulai tenggelam, dan tempat itupun sunyi kembali.

* * * * * * *

Kota An-yang-shia adalah sebuah kota kecil yang terletak di pinggir danau Po-yang-ou. Begitu kecilnya kota itu, sehingga tembok kotapun tidak punya. Meskipun demikian, kota itu bersih dan indah, pendududknyapun dengan ramah menyambut kedatangan tiap orang asing yang berkunjung ke situ, yang kebanyakan hendak bertamasya menikmati keindahan danau Po-yang-ou.

Karena banyaknya pelancong dari luar daerah, maka penduduk an-yang-shia mempunyai mata pencaharian tambahan, yaitu membuka warung-warung makan dan rumah-rumah penginapan, besar maupun kecil. Sedang di tepi danau nampak perahu-perahu sewaan tak terhitung jumlahnya.

Tong Tian adalah seorang yang terkemuka di daerah Kiang-se itu, tempat tinggalnya terletak di luar An-yang-shia namun tidak jauh dari kota yang mungil itu. Rumah Tong Tian tidak besar dan tidak mewah, namun nampak tenang, damai dan menampakkan keangkerannya sebagai rumah pendekar terkenal.

Letaknya membelakangi sebuah bukit berhutan cemara, dan menghadap ke arah danau. Dindingnya tidak tinggi, dikelilingi pohon cemara yang ujungnya menggapai-gapai langit. Di depan pintu masuknya ada hiasan sepasang cio-say (arca singa) yang menambah kewibawaan pendekar itu.

Sore itu Tong Tian tiba kembali di rumahnya dari perjalanan yang jauhnya ribuan li itu. Sebagai ganti kudanya yang dibunuh oleh orang berkedok itu, ia telah membeli seekor kuda lain di kota Kiang-leng, yang kini ditungganginya. Begitu melihat rumahnya tidak kurang apapun, Tong Tian merasa lega. Tong Tian menuntun kudanya lewat pintu samping, baru saja kakinya melangkahi ambang pintu, telah terdengar teriakan seorang pelayan tua,

“Lo-ya (tuan tua), kau sudah pulang?” Dengan tergopoh-gopoh dan penuh gairah, pelayan itu menyambut tali kekang kuda dari tangan tuannya sambil menanyakan keselamatan tuannya yang telah pergi berbulan-bulan itu. Tong Tian menepuk-nepuk bahu pelayan itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan singkat.

Teriakan pelayan tua itu rupanya menarik pula perhatian seorang gadis berumur delapanbelas tahun yang sedang berada di dekat tempat itu pula. Begitu melihat Tong Tian, gadis itu langsung bersorak gembira dan menubruk ke pelukan Tong Tian sambil berseru, “Ayah...!”

Tong Tian tersenyum mendapat sambutan anak gadisnya itu, namun ia pura-pura mengomel, “Lian-ji (anak Lian), sudah sebesar ini umurmu tapi gerak-gerikmu seperti anak-anak umur sepuluh tahun saja”

Keributan di samping rumah itu ternyata telah menarik perhatian seluruh anggota keluarga dan isi rumah. Maka tidak lama kemudian repotlah Tong Tian menjawab pertanyaan isteri, anak-anaknya, serta pelayan-pelayan lainnya yang menanyakan keselamatannya. Tong Tian punya tiga orang anak.

Yang pertama dan kedua adalah laki-laki yang bernama Tong Wi-siang dan Tong Wi-hong, dan si bungsu adalah Tong Wi-lian yang menyambut kedatangannya tadi. Sedang isteri Tong Tian sendiri di masa mudanya juga merupakan pendekar wanita yang terkenal dari Soat-san-pay pula, merupakan adik seperguruan Tong Tian sendiri. Karena kepandaian sang isteripun cukup tangguh, maka Tong Tian tidak pernah merasa cemas jika harus meninggalkan rumahnya agak lama.

Demikianlah, seisi rumah menyambut kedatangan Tong Tian. Hanya seorang yang masih belum nampak keluar menyambut, yaitu anak tertua Tong Tian, Tong Wi-siang. Namun Tong Tian tidak terlalu merisaukannya, sebab ia tahu bahwa Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang jarang di rumah dan suka keluyuran bersama kawan-kawannya, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Sebenarnya Tong Tian kurang menyukai sifat anak tertuanya itu, namun ia tidak perlu mencemaskan keselamatannya, sebab Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang cukup tangguh ilmu silatnya.

“Tentu A-siang sekarang sedang berkumpul dengan teman-temannya yang berandalan-berandalan itu” Demikian pikir Tong Tian sambil berkerut kening.

kembalinyaTong Tian setelah beberapa bulan berada di Soat-san itu memang membuat seisi rumah jadi gembira. Tetapi kadang-kadang Tong Tian melihat isterinya nampak murung, sehingga diam-diam Tong Tian mulai menduga-duga telah terjadi sesuatu selama kepergiannya. Sore harinya, Tong Tian dan isterinya bercakap-cakap di dalam kamar baca. Tanyanya kepada isterinya,

“Isteriku, nampaknya ada sesuatu yang membebani pikiranmu sehingga kau nampak kurang gembira. Apakah telah terjadi sesuatu selama aku berada di Soat-san?”

Sang isteripun bukan seorang yang suka bicara berbelit-belit, maka ia menjawabnya langsung, “Ya, aku memang masih dirisaukan oleh persoalan A-siang”

Sepasang alis Tong Tian yang tebal dan sudah berwarna kelabu itu kini nampak seolah-olah bergerak saling mendekati. Tanyanya pula, “Ada apa dengan anak bengal itu? Sejak aku pulang tadi, aku belum melihat batang hidungnya”

“A-siang telah pergi dari rumah ini, bahkan bersama dengan kawan-kawannya itu mungkin mereka sudah jauh meninggalkan An-yang-shia. Mereka... mereka...,” sampai disini Tong Hu-jin (Nyonya Tong) nampak ragu-ragu dalam menjawab, tapi akhirnya diteruskan juga ucapannya, “Mereka terlibat urusan pembunuhan berat...”

Tong Tian terkesiap mendengar keterangan itu. Meskipun dia sendiri adalah seorang pendekar yang sudah kerap kali berurusan dengan hal bunuh-membunuh, namun baginya soal nyawa manusia tetap merupakan persoalan berat bahkan terhadap musuhnyapu kalau bisa ia akan membiarkan untuk tetap hidup, kecuali kalau musuhnya itu memang seorang yang membahayakan sesama manusia. Kini mendengar bahwa anak tertuanya telah terlibat dalam peristiwa pembunuhan, mau tidak mau Tong Tian merasa kurang enak hatinya.

Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lebih lanjut, “Tidak henti-hentinya aku berusaha melepaskan A-siang dari pengaruh buruk kawan-kawannya itu, namun agaknya A-siang lebih suka mendengar bujukan teman-temannya daripada mendengarkan nasehatku. Aku gagal. A-siang dan teman-temannya setiap hari hanya membikin onar saja di An-yang-shia. Makan minum tidak membayar, mabuk, berkelahi dan lain-lainnya, sampai malu aku jika orang-orang An-yang-shia menatapku...”

Tong Tian termangu mendengar keluhan isterinya itu. “Tadi kau bilang bahwa A-siang tersangkut perkara pembunuhan. Siapakah yang dibunuhnya?”

“Seorang pembesar urusan hukum yang datang dari Pak-khia, yang tengah mengunjungi An-yang-shia. Ia dibunuh bersama pengawal-pengawalnya”

Mendengar jawaban isterinya itu hampir saja Tong Tian terjungkal dari tempat duduknya karena terkejutnya. Membunuh seorang pembesar negeri bukanlah urusan kecil, perguruan-perguruan besar yang ternama dengan anggotanya yang berjumlah banyakpun rata-rata segan berurusan dengan pihak pemerintah.

Tadinya ia mengira bahwa kenakalan anak tertuanya itu adalah kenakalan biasa, yang hanya terdorong oleh luapan darah mudanya, sama sekali tidak disangkanya kalau anaknya ternyata telah melangkah begitu jauh. Perbuatannya itu sudah bukan termasuk “kenakalan” lagi, tetapi “kejahatan”.

Kali ini perasaan Tong Tian benar-benar terpukul, di dasar hatinya timbul juga setitik rasa bersalah, karena selama ini agaknya ia kurang memperhatikan sifat-sifat anak tertuanya yang agak istimewa itu. Akibatnya sang anak akan merasa bahwa teman-temannya jauh lebih berharga dari siapapun, bahkan lebih berharga dari orang tuanya sendiri.

Dengan suara yang rendah Tong Tian bertanya, “Bagaimana jalan peristiwanya?”

Tong Hu-jin pun mulai bercerita, “Diantara kawan-kawan A-siang ada yang bernama Thio Hong. Dia bukan orang Ang-yang-shia asli, melainkan berasal dari Shoa-tang (Shantung). Bapak Thio Hong ini adalah seorang perampok di Shoa-tang, yang suatu ketika tertangkap dan dihukum mati karena kejahatannya. Lalu Thio Hong timbul dendamnya kepada pejabat yang memutuskan hukuman mati buat ayahnya itu. Waktu mendengar berita bahwa pejabat itu hendak mengunjungi Ang-yang-shia, Thio Hong lalu membujuk teman-temannya, termasuk A-siang, untuk menghabisi nyawa pembesar itu. Mereka lalu menyergap rombongan pembesar itu di luar kota An-yang-shia dan berhasil membunuh si pembesar bersama dengan seluruh keluarga dan pengawal-pengawalnya”

Karena luapan perasaannya tidak terbendung lagi, Tong Tian menggebrak meja yang ada di depannya sehingga permukaan meja itu amblas beberapa jari. Geramnya dengan muka merah padam, “Keterlaluan sekali A-siang itu. Entah ditaruh di mana otak anak itu. Masakan hanya dengan bujukan beberapa patah kata dari temannya ia berani melakukan perbuatan gila itu?”

“Aku mengenal watak A-siang”, kata Tong Hu-jin. “Pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak jujur dan jantan. Sayang ia mempunyai dua kelemahan, yaitu bersifat gampang naik darah dan mudah mabuk pujian. Kedua macam kelemahan itulah yang dimanfaatkan oleh Thio Hong untuk membujuk A-siang agar ikut dalam perbuatan gila itu”

Tong Hu-jin menarik napas panjang, lalu katanya lagi, “Thio Hong dan kawan-kawan A-siang lainnya telah menyanjung-nyanjung A-siang sebagai jago muda keluarga Tong, pendekar muda Soat-san-pay, dan seribu satu kalimat-kalimat muluk lainnya sehingga A-siang menjadi lupa daratan. Bahkan A-siang berani menantang berkelahi kepada Cia Bok, putera Cia Tay-jin (pembesar she Cia) itu. Tapi A-siang sampai berani melakukan pembunuhan terhadap pembesar-pembesar dri Pak- khia itu, ini benar-benar di luar dugaanku”

“Kau tidak mencegahnya?” tegur Tong Tiang.

“Aku bukan cuma mencegahnya dengan kata-kata, bahkan aku telah meringkusnya dan mengikat kaki tangannya serta mengurungnya dalam ruangan tertutup. Tapi pada malam harinya anak bandel itu berhasil melepaskan diri dan bergabung dengan kawan-kawannya. Malam itu juga kusuruh A-hong untuk menyusulnya dan mengajaknya pulang. Tetapi setelah bertemu A-siang malah menantang berkelahi adiknya sendiri, dan memakinya sebagai kutu buku, penakut dan sebagainya”

Kembali Tong Hu-jin menarik napas berulang kali untuk melonggarkan perasaannya yang pepat dan tertekan itu, lalu katanya, “A-hong pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil mencegah A-siang untuk membatalkan niat gilanya itu. Dan keesokan harinya tersiarlah kabar bahwa serombongan pembesar yang datang dari Pak-khia telah terbunuh sebelum memasuki kota An-yang-shia karena diserang oleh segerombolan orang-orang berkedok. Rombongan dari Pak-khia itu terbunuh semuanya, namun di antara orang-orang berkedok itupun ada beberapa orang yang tewas”

Sementara isterinya bercerita, berkali-kali Tong Tian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil meremas-remas telapak tangannya dengan gemas. Dan sang isteri terus bercerita,

“Ketika aku mendengar bahwa diantara orang-orang berkedok itupun ada yang tewas, aku menjadi sangat bersedih, aku khawatir A-siang termasuk di antara orang-orang yang tewas. Lalu kusuruh A-hong dan beberapa pelayan untuk melihat mayat-mayat yang diangkut ke dalam kota An-yang-shia itu, dan hatikupun merasa lega setelah mendengar bahwa di antara mayat-mayat itu tidak terdapat A-siang. Namun sejak saat itu A-siang tidak kelihatan lagi batang hidungnya, tidak seorangpun melihatnya berkeliaran di sekitar An-yang-shia lagi. Begitu pula semua kawan-kawannya yang brengsek itu, semua menghilang dari An-yang-shia. Jelas mereka tidak berani lagi pulang ke rumah, sebab Cia Tay-jin telah mengumumkan secara resmi mereka sebagai buronan pemerintah kerajaan”

Kini Tong Hu-jin tidak sanggup lagi membendung air matanya yang mulai mengalir turun. Setabah-tabahnya dia sebagai seorang pendekar wanita yang pernah terkenal, namun dia tetap seorang ibu yang mengasihi anak yang dilahirkannya dan diasuhnya sejak kecil.

Tiba-tiba Tong Tian bangkit dari duduknya dan bergumam, “Jangan-jangan orang-orang berkedok yang menghadangku di luar kota Kiang-leng itu... ah, tentu bukan A-siang...”

Tong Hu-jin tersentak kaget, “Apa A-siang menghadangmu?”

Tong Tian sadar bahwa ucapannya yang baru saja itu sama sekali tidak beralasan, maka ia buru-buru memperbaikinya untuk menentramkan perasaan isterinya, “Tidak, aku cuma agak melantur karena pikiranku ruwet”

“Tapi kau baru saja mengatakan ada yang menghadangmu di luar kota Kiang-leng?”

“Memang ada kejadian begitu. Tapi aku yakin orang berkedok yang mencegatku itu pasti bukan A-siang atau salah satu kawannya, sebab tak seorangpun di antara anak-anak bengal itu yang berkepandaian setinggi itu. Lagi pula A-siang tidak tahu kalau aku pulang dari Soat-san dengan membawa kitab ilmu pedang hadiah Suhu”

Tong Hu-jin menjadi agak lega setelah mendengar penjelasan suaminya itu, katanya, “Syukurlah kalau begitu. Betapapun bengalnya A-siang, ia tidak akan sampai begitu berani untuk mengajak kawan-kawannya untuk menghadang ayahnya sendiri. Aku tahu pasti, dia tidak akan berbuat sekurang-ajar itu”

Saat itu, di dalam pikiran Tong Tian berkecamuklah berbagai masalah yang ruwet. Teka-teki orang berkedok diluar kota Kiang-leng itu masih belum terpecahkan, dan kini muncul pula persoalan anaknya yang tidak kalah ruwetnya, sebab soal itu pasti akan berbuntut panjang mengingat yang menjadi korban adalah seorang pejabat pemerintah. Ia tidak ingin anaknya yang tertua itu terjerumus semakin jauh dengan teman-temannya, namun ke mana hendak mencarinya?

“Setelah terjadinya peristiwa pembunuhan itu, bagaimanakah sikap Cia Tay-jin terhadap keluarga kita?” tanya Tong Tian.

Yang dimaksud dengan Cia Tay-jin adalah Cia-To-bun, pejabat yang berkuasa di An-yang-shia. Hubungan antara Tong Tian dengan pejabat itu memang kurang serasi. Cia-To-bun adalah seorang pejabat yang senang mengeluarkan peraturan-peraturan yang memeberatkan rakyat untuk keuntungan sendiri.

Sebaliknya Tong Tian merupakan pujaan rakyat An-yang-shia karena merupakan orang yang berani membela kepentingan rakyat dari tindasan Cia-To-bun. Tak pelak lagi, meskipun pada lahirnya Cia-To-bun bersikap ramah kepada Kiang-se-tay-hiap ini, namun dalam hatinya ia mendoakan agar Tong Tian cepat mampus.

“Orang she Cia itu pernah mengirimkan seregu prajurit ke tempat ini dan menggeledah seluruh rumah, namun mereka tidak berhasil menemukan bukti-bukti yang menguatkan tuduhan mereka, sehingga merekapun tidak bernai mengganggu lagi” sahut Tong Hu-jin. “Tapi sejak itu mereka memasang beberapa orang mata-mata untuk mengawasi rumah ini”

Alis kelabu Tong Tian berkerut semakin dalam. Katanya dengan nada rendah, “Hemm, agaknya orang she Cia itu terhitung masih memberi muka kepadaku juga. Namun dengan tindakannya itu, jelaslah bahwa agaknya dia sudah mencium keterlibatan A-siang dalam perkara ini, tinggal mencari buktinya saja. Begitu bukti didapat, banjir kesulitan pasti akan melanda kita. Bukankah selama ini Cia To-bun selalu berusaha menyingkirkan kita yang dianggapnya sebagai duri dalam daging ini?”

“Ya, mulai sekarang segala tindakan kita harus hati-hati dan serba terkendali” sahut Tong Hu-jin. “Jangan samapai orang she Cia itu mendapatkan alasan untuk menindak kita”

Sesaat suasana di ruang buku itu menjadi sunyi. Di luar, malam sudah turun menudungi bumi, satwa-satwa malam bersaut-sautan memperdengarkan suaranya. Meskipun suasana malam nampak memberi ketentraman, namun suami isteri pendekar itu tahu bahwa dibalik ketenangan itu akan segera muncul sebuah badai besar yang akan menggoncangkan bahter kehidupan yang sudah berjalan lancar bertahun-tahun itu.

Tetapi siapakah orangnya yang dapat menghindari cobaan hidup? Dapatkah kali ini mereka melewati badai itu dengan selamat? Mereka sadar bahwa peristiwa pembunuhan itu akan semakin memperburuk hubungan antara keluarga Tong dengan pihak pembesar. Dan berurusan dengan manusia semacam Cia To-bun benar-benar akan sangat memusingkan kepala.

Tiba-tiba dari luar ruangan itu terdengar suara langkah-langkah ringan mendekati pintu. Kemudian daun pintu diketuk, dan ketika Tong Tian mempersilahkan, maka masuklah Tong Wi-lian, anak gadisnya itu. Gadis itu nampak agak mengantuk, namun karena mendengar kedua orang tuanya masih bicara panjang lebar di dalam ruangan buku, maka gadis itu menyempatkan diri untuk menengoknya.

“Ayah, ibu, kalian belum tidur?” tanya gadis itu.

Sang ibulah yang menjawab, “Kau tidak usah menunggu kami, A-lian, kalau kau megantuk tidurlah lebih dahulu. Apakah A-hong juga sudah tidur?”

“Entahlah, tadi kulihat ia keluar menuju ke danau”

“Kalau kau sudah mengantuk, kau tidurlah A-lian”, kata Tong Tian dengan lembut.

Tong Wi-lian cuma mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Setelah langkah kaki anak gadisnya itu tidak tedengar lagi, Tong Tian lalu berkata, “Begitu keadaan memungkinkan, aku akan secepatnya pergi untuk menemukan A-siang kembali, dan mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Tapi jika aku gagal dengan A-siang, aku tidak boleh gagal dengan A-hong dan A-lian, merekapun anak-anakku yang membutuhkan perhatian”.

Tong Hu-jin cuma bisa mengusap dua titik air mata yang menetes keluar. Ucapan suaminya itu terdengar terlalu keras, namun dapat diterima akal. Kembali ruangan itu menjadi sunyi, sepasang suami isteri pendekar itupun tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

Tiba-tiba Tong Tian teringat sesuatu hal dan terluncurlah pertanyaannya, “Isteriku, ketika beberapa bulan yang lalu aku hendak pergi ke Soat-san untuk mengunjungi Suhu, selain kau dan kedua orang saudara angkatku, adakah orang keempat yang kau beri tahu?”

“Tidak ada. Aku selalu ingat pesanmu bahwa perjalananmu itu tidak perlu diketahui oleh banyak orang, bahkan kepada anak-anakpun aku tidak bicara terus terang. Kenapa kau tanyakan itu?”

“Kalau begitu sungguh mengherankan. Dari mana Thay-san-sam-long dan orang berkedok itu bisa mengetahuinya, dan bahkan menghadangku untuk merampas kitab pemberian Suhu?” gumam pendekar itu.

Belum sempat sang isteri menyahut, tiba-tiba Tong Tian telah teringat sesuatu. Ia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Ya, aku sekarang ingat. Orang berkedok yang mencegatku itu menggunakan ilmu pukulan Ngo-heng-ciang dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang dan kedua macam ilmu itu adalah ilmu-ilmu andalan Ting Ciau-kun”.

“Saudara angkatmu yang satu itu memang pantas kau curigai”, sahut isterinya.

“Ah, isteriku, aku tidak akan seceroboh itu menuduh orang tanpa bukti-bukti yang kuat”, kata Tong Tian sambil tertawa. “Tuduhanmu kepada Ciau-kun itu terlalu pagi”

Meskipun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya Tong Tian agak sependapat dengan isterinya itu. Pikirnya, “Ya, kalau bukan Ting Ciau-kun, siapa lagi yang sekaligus mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang sesempurna itu? Lagipula potongan tubuhnya memang mirip orang berkedok itu. Dan lagipula kenapa orang itu harus berkedok, seakan-akan khawatir aku mengenal wajahnya? Hanya isteriku, Hong- koan Hwesio dan Ting Ciau-kun yang mengetahui perjalananku ke Soat-san ini, orang keempat tidak ada”

Semakin dipikir, semakin teballah perasaan curiganya terhadap saudara angkatnya yang bernama Ting Ciau-kun itu. Namun semua perasaan itu tidak diutarakan keluar kepada isterinya, dan hanya disimpannya sendiri di dalam hati.

Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lagi, “Kuharap kau agak berhati-hati dan waspada kepada saudara angkatmu she Ting itu. Dia memang bermuka ramah dan penuh senyuman, tapi nampaknya dia bukan orang yang jujur”

“Sudahlah isteriku, bukankah belum ada bukti bahwa dialah yang mencegatku di luar kota Kiang-leng? Jangan buru-buru memaki-maki orang yang belum tentu bersalah. Masakan di dunia ini yang mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang hanya Ting Ciau-kun saja?” begitulah bujuk Tong Tian.

Isterinya menyahut dengan agak mendongkol, “Tadi kau sendiri yang mengemukakan kecurigaan lebih dulu, kenapa sekarang malah berbalik menyalahkan aku?”

“Baiklah, aku minta maaf”, kata Tong Tian sambil tertawa. “Hari sudah larut malam, akupun sudah mengantuk, mari kugandeng tanganmu”.

Mau tidak mau hati Tong Hu-jin terasa hangat juga, sahutnya sambil tertawa, “Tua bangka tidak tahu malu. Coba kau berkaca di cermin dan lihatlah rambutmu yang sudah berwarna dua itu. Jika kau masih bertingkah seperti anak-anak muda, apa tidak takut ditertawakan?”

Meskipun pikirannya ruwet memikirkan berbagai persoalan, Tong Tian sempat bergurau juga, “Ketika aku berada di Soat-san, aku sering teringat masa muda kita, disaat kita berdua bersama-sama berlatih ilmu pedang di belakang gunung. Waktu itu kau sering berpura-pura membuat kekeliruan dalam gerakan pedangmu, aku tahu maksudmu agar aku membetulkan gerakanmu dengan memegang-megang tanganmu. Betul tidak?”

Dengan gemas Tong Hu-jin mencubit lengan suaminya sambil mengomel, “Kau makin lama bicara makin melantur, tidak khawatirkah di dengar oleh anak-anak atau pelayan?”

Begitulah suami isteri pendekar itu berjalan meninggalkan ruangan buku sambil bergurau. Betapa keruhnya pikiran mereka, tapi senda gurau terbukti merupakan obat mujarab untuk mengurangi kesedihan dan menjaga kerukunan mereka. Sudah berpuluh tahun mereka hidup sebagai suami isteri, sudah puluhan badai kehidupan yang mereka tempuh bersama dan berhasil mereka atasi, maka kesulitan yang kali inipun tidak mengecilkan semangat mereka.

Ketika mereka melintasi kamar yang ditempati oleh anak kedua mereka, Tong Tian sempat melongok ke dalam lewat jendela yang tidak terkancing. Nampaklah Tong Wi-hong sudah tidur pulas, namun tangannya masih memegang kitab yang terbuka, agaknya ia ketiduran setelah membaca kitab.

Melihat itu Tong Tian berkata kepada isterinya sambil tertawa, “Lihatlah A-hong. Pantas kakaknya dan adiknya menjulukinya sebagai kutu buku”.

Malam semakin larut, rumah keluarga pendekar itupun semakin sunyi. Seisi rumah telah tertidur lelap, mengistirahatkan badan dan pikiran untuk menyambut hari esok yang penuh tantangan.

* * * * * * *

Pagi hari telah tiba. Sinar matahari yang hangat dan berwarna keemasan muncul bagaikan cahaya kehidupan yang menghidupkan kota kecil An-yang-shia, setelah semalam suntuk membeku dalam dinginnya malam. Kota itu mulai nampak sibuk dengan hilir mudik penduduknya. Warung-warung dan toko-toko mulai membuka pintunya, jalan-jalan dan lorong-lorong mulai ramai dengan manusia yang hilir mudik menurut keperluannya masing-masing.

Sebagian orang-orang yang hilir mudik di jalanan itu malahan bukan orang An-yang-shia asli, melainkan para pelancong dari luar daerah yang tengah menikmati keindahan dan kesegaran kota kecil di pinggir danau Po-yang-ou itu.

Di tengah-tengah kota An-yang-shia ada sebuah gedung yang besar dan megah, pintu gerbangnya dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak. Itulah tempat tinggal Cia to-bun, yang oleh penduduk An-yang-shia dipanggil “Cia Tay-jin”, pejabat pemerintah yang menguasai kota kecil itu.

Dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda berpakaian mewah, diiringi dua orang lelaki kekar yang bertampang tukang-tukang pukul. Wajah pemuda itu sebenarnya cukup tampan, namun agaknya ia masih merasa kurang, sehingga masih ditambah dengan pupur tipis dan bahkan bibirnya diberi gincu tipis pula. Dia adalah Cia Bok, putera satu-satunya dan kesayangan Cia To-bun.

Cia Bok tidak langsung turun ke jalan, melainkan berdiri sebentar di depan pintu gerbang rumahnya sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Matanya berputar-putar dengan liarnya dan bibirnya tersenyum-senyum jika melihat perempuan-perempuan muda lewat di depannya. Kadang-kadang mulutnya berdecak kagum atau bersiul kecil. Sekali-sekali ia memanggil nama anak-anak perempuan yang dikenalnya, atau bahkan menarik ujung bajunya.

Anehnya, meskipun Cia Bok berwajah tampan dan kedudukan ayahnyapun cukup terpandang, tapi tidak seorangpun gadis-gadis An-yang-shia tertarik kepadanya. Beberapa orang perempuan sebenarnya hendak melewati jalan di depan gedung itu, namun mereka segera berbalik dan mencari jalan lain begitu melihat Cia Bok tengah berdiri di situ.

Setelah bosan berdiri di situ, Cia Bok mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan yang ramai itu. Matanya tidak pernah berhenti berputar, terutama jika berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik. Meskipun tingkah Cia Bok sangat menjemukan, tetapi tidak seorangpun yang berani menegurnya. Sebab menegur tingkah anak Cia Tay-jin itu sama saja dengan mencari kesulitan buat diri sendiri.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, tingkah Cia Bok memang menjadi berkali lipat lebih tengik dari dulu-dulu. Tindakannya pun semakin sewenang-wenang, terutama jika ia mengingini seorang perempuan, tidak perduli perempuan itu masih gadis atau sudah bersuami. Bagaimana hal itu bisa terjadi, ada sebab-musababnya.

Pertama, sejak terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri seorang pejabat dari Pak-khia, maka Tong Wi-siang dan kawan-kawan berandalannya telah menghilang dari An-yang-shia. Hal mana tentu saja menggembirakan Cia Bok, sebab di seluruh An-yang-shia hanyalah Tong Wi-siang dan kawan-kawan yang berani menantang Cia Bok secara terus terang.

Meskipun tindakan Tong Wi-siang itu bukan berdasarkan membela rakyat, namun hanya karena sifat senang mencari gara-gara saja, tapi toh terasa bahwa selama Tong Wi-siang ada di An-yang-shia, gerak-gerik Cia Bok tidak sebebas itu.

Alasan kedua adalah bahwa Cia Bok baru saja mendapat dua orang guru silat yang cukup lihai, yang sengaja diundang oleh ayahnya untuk mendidiknya. Yang seorang adalah seorang Tosu (Imam To) pelarian yang sudah dipecat dari Bu-tong-pay bernama Te-yong Tosu. Yang seorang lagi adalah seorang tokoh golongan hitam berasal dari Thay-san bernama Tio Khing dan berjuluk Tiat-jiau-long (Serigala Berkuku Besi), yang tidak lain adalah ayah dari Thay-san-sam-long yang terkenal itu.

Tengah Cia Bok berjalan-jalan sambil menjual lagak, tiba-tiba biji matanya melotot ke satu arah. Ternyata dari arah sana nampaklah ada seorang anak muda dan seorang gadis sedang berjalan bersama-sama. Yang lelaki tampan dan nampaknya seorang “kutu buku”, berumur kira-kira duapuluh tahun. Sedang yang perempuan berumur kira-kira tujuhbelas tahun, bermuka bulat telur, manis dan nampaknya masih agak kekanak-kanakan.

Cia Bok segera berbisik kepada salah seorang pengawalnya, “Lau Hok, inilah kesempatan baik untuk mencari gara-gara kepada keluarga Tong. Tuh lihat kedua adik Tong Wi-siang itu sedang berjalan ke arah kita. Kita tunggu mereka”.

Pengawalnya yang bernama Lau Hok itu agaknya tidak biasa membantah, ia Cuma mengangguk-angguk sambil berkata, “Terserah kepada siau-ya (tuan muda), aku selalu siap menjalankan perintah”.

Cia Bok tersenyum puas, inilah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Tong Wi-siang yang selama ini tidak jarang mempermalukannya di depan umum. Dan kini Cia Bok akan membalasnya dengan mempermalukan kedua adik Tong Wi-siang itu di depan umum pula.

Tetapi pengawalnya yang lain masih memperingatkan tuan mudanya, “Tetapi harap siau-ya berhati-hati. Kedua orang adik A-siang itupun nampaknya tidak lemah dalam hal ilmu silat”.

Cia Bok tertawa dengan congkaknya, “Ha-ha-ha, Ong Bun, kau betul-betul bernyakli kecil. Adik A-siang yang bertampang seperti kutu buku itu mana sanggup menahan pukulanku sekali saja? Kau lihat saja”.

Kedua pengawal itupun tidak membantah lagi. Mereka sudah terlalu biasa menuruti kehendak tuan mudanya yang mata keranjang itu.

Pagi itu sebenarnya Tong Wi-lian hanya bermaksud berjalan-jalan sambil berbelanja macam-macam keperluan di An-yang-shia. Ia meminta kepada kakaknya untuk menemaninya. Tengah gadis itu memikirkan barang apa saja yang hendak dibelinya, tahu-tahu tiga orang lelaki telah menghadang langkahnya. Dia kenal akan Cia Bok yang berdiri di tengah sambil tersenyum-senyum kurang ajar itu.

“Selamat pagi, Tong koh-nio (nona Tong). Pagi ini koh-nio nampak cantik sekali”, sapa Cia Bok tanpa melepaskan senyum buayanya. Sedang biji matanya “melahap” tubuh Tong Wi-lian yang tengah mekar itu, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dan dari ujung kaki balik lagi ke ujung rambut.

Gadis itu teringat akan pesan ayahnya bahwa sebisa-bisanya dia harus menahan diri jika berhadapan dengan pihak penguasa, dan sejauh mungkin menghindari bentrokan. Keadaan memang sedang kurang menguntungkan buat pihak keluarga Tong, alasan yang sekecil apapun akan dapat dibesar-besarkan untuk menindak keluarga pendekar itu.

Karena itu, betapa muaknya perasaan Tong Wi-lian, namun ia masih berusaha seramah mungkin dalam menjawab, “Terima kasih kong-cu. Maaf, aku sedang terburu-buru dan harap kong-cu memberi jalan kepadaku”.

Namun seujung rambutpun Cia Bok tidak bergeser dari tempatnya. Katanya, “Eh, lama aku tidak bertemu dengan kakakmu, Tong Wi-siang yang gagah berani itu. Di manakah dia?”

Karena wi-lian agak kelabakan dalam menjawab pertanyaan itu, maka Tong Wi-hong yang menyahut, “Terima kasih atas perhatian kong-cu kepada diri kakak kami. Ia memang sedang pergi entah ke mana, semoga ia baik-baik saja”

Cia Bok mendengus, katanya kepada Tong Wi-hong dengan sisnis, “Aku tidak bertanya kepadamu. Melihat tampang kutu buku semacammu ini belum-belum aku sudah mual”.

Meskipun Tong Wi-hong bukan seorang penaik darah seperti kakaknya, namun mukanya menjadi panas juga mendengar jawaban Cia Bok itu. Sekuat tenaga ia menahan gejolak perasaannya karena memegang teguh pesan-pesan ayahnya.

Sedangkan Cia Bok masih saja cengar-cengir di depan Wi-lian, sikapnya tidak peduli, meskipun ia tahu ada berpuluh-puluh pasang mata orang-orang di pinggir jalan yang sedang memperhatikan kejadian itu. Kata Cia Bok pula,

“Kalau koh-nio tidak berkeberatan, marilah ku antar koh-nio berjalan-jalan sekeliling An-yang-shia untuk bertamasya. Kakakmu si kutu buku ini biarlah ditemani oleh kedua pengiringku ini untuk minum-minum di warung arak”.

Gadis itu masih berusaha keras menahan kemarahannya, masih dengan sikap ramah ia menolak tawaran itu. Tapi si bangor Cia Bok rupanya pantang mundur,

“Jangan bersikap begitu kepadaku, kau tahu, tidak seorangpun perempuan di An-yang-shia ini bisa menolak ajakanku. Marilah kita bertamasya ke danau, aku punya seorang kenalan yang punya perahu tertututp untuk disewakan. Di situ kita bebas berbuat apa saja. He-he-he...”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 01

Perserikatan Naga Api Jilid 01

Karya : Stevanus S.P
DEBU menghambur keatas, seekor kuda tegar berlari keatas jalan berbatu yang menuju ke arah kota Kiang-leng itu. Penunggangnya adalah seorang lelaki setengah umur yang pinggangnya masih ramping dan tegap, dan pandangan matanya masih tajam berwibawa.

Meskipun rambut dan kumisnya sudah berwarna kelabu, namun ia tidak nampak loyo sedikitpun. Pakaian ringkas yang dikenakannya nampak berlapis debu, menandakan bahwa lelaki itu baru saja melewati sebuah jarak yang panjang, dan kawan seperjalanannya hanyalah sebatang pedang yang tergendong melintang di punggungnya.

Kuda yang bagus dan penunggangnya yang gagah perkasa, mereka benar-benar merupakan pemandangan yang mengagumkan orang. Kuda itu melaju melintasi sebuah dataran yang berlapis rumput kekuning-kuningan, kemudian memasuki daerah perbukitan batu yang agak landai.

Ketika kuda itu mulai menginjakkan kakinya di lereng bukit itu, tiba-tiba penunggang kuda itu merasakan bahwa di tempat itu ada bahaya yang sedang menantinya. Naluri semacam itu memang dimiliki oleh orang-orang yang biasa berkelana di dunia persilatan pada umumnya. Namun tanpa gentar sedikitpun ia terus memajukan kudanya, meskipun sikapnya mulai berhati-hati.

Tiba-tiba sebatang anak panah meluncur dari balik sebuah rumpun semak-semak, tertuju langsung ke leher lelaki penunggang kuda itu. Desingan anak panah yang menusuk telinga serta ketepatannya menuju sasarannya menandakan bahwa pemanah gelap itu tentu seorang pemanah yang mahir.

Namun ketangkasan lelaki penunggang kuda itupun ternyata cukup mengejutkan. Dengan gerakan amat cepat ia telah mengayunkan cambuk kudanya untuk membelit panah yang tertuju ke tenggorokannya itu, dan anak panah itu ternyata berhasil digulungnya.

“Sahabat dari golongan manakah yang memperkenalkan diri ini?” demikian lelaki penunggang kuda itu berteriak lantang sambil menyapukan pandangannya ke lereng bukit. Tiba-tiba ia mengibaskan cambuk kudanya, dan anak panah yang tergulung cambuk itu melesat kembali ke arah asalnya, diiringi bentakannya: “Jangan bersembunyi!”

Dari balik rerumpunan semak-semak terdengar seruan kaget, disusul dengan munculnya seseorang dari tempat itu. Ternyata luncuran anak panah yang digerakkan hanya dengan kebasan cambuk kuda itu telah mampu memaksa si pemanah keluar dari persembunyiannya.

Orang yang muncul dari semak-semak itu ternyata seorang yang masih cukup muda, usianya sekitar 30 tahun, bertubuh kurus jangkung, sedangkan mukanya menampilkan sifat-sifatnya yang kejam dan licik. Di pinggangnya terselip sebatang pedang pendek tanpa sarung, dan di tangan kirinya masih memegang busur panah.

“Heh-heh-heh, tangkas juga kau, tua bangka,” orang itu tertawa mengejek sambil membuang busurnya dan menghunus pedang pendeknya.

Lelaki penunggang kuda itu masih tenang-tenang saja, ia telah menghentikan kudanya, ucapnya dengan sikap yang sangat santai. “Bagus, akhirnya muncul juga kau. Tapi apakah hanya kau seorang yang punya nyali untuk menemui aku? Sedang ketiga kawanmu masih juga bersembunyi seperti kura-kura?"

Wajah penghadangnya seketika berubah mendengar perkataan itu. Ia tidak menduga kalau si tua itu begitu lihai sehingga ketiga kawannya yang masih bersembunyipun dapat diketahuinya. Sedang ketiga kawannya yang masih bersembunyi itupun kini terpaksa muncul juga, dan langsung mengambil sikap mengurung terhadap si lelaki penunggang kuda itu.

Dengan ketajaman matanya, si penunggang kuda itu mencoba menaksir kekuatan keempat calon lawannya itu. Di antara 4 orang penghadang itu, ternyata ada tiga orang yang satu sama lain bermuka sangat mirip, yaitu sama-sama bertubuh kurus jangkung, bermuka kejam dan licik. Bahkan pedang pendek yang dibawa oleh ketiga orang itupun berbentuk sama. Jelaslah bahwa ketiga orang itu bersaudara.

Orang keempat bertubuh gemuk, namun nampak gesitgerak- geriknya dan kelihatannya ilmu silatnya cukup tangguh. Itu disimpulkan dari sikapnya yang tenang dan acuh tak acuh meskipun ia tidak membawa senjata sepotongpun. Sayang mukanya tertutup secarik kedok, dan hanya matanya saja yang kelihatan.

Lelaki penunggang kuda itu menepuk-nepuk kantong kain yang tergantung di pelana kudanya, sambil berkata: “Siapakah kalian? Jika kalian bermaksud merampok aku, maka kalian akan kecewa, aku tidak membawa banyak uang dalam perjalanan ini.”

Salah seorang dari tiga bersaudara itu menjawab dingin. “Kami tidak butuh uangmu yang busuk itu. Yang kami butuhkan cuma kitab yang ada di dalam kantong bajumu itu.”

Meskipun si penunggang kuda itu cukup tenang dalam menghadapi ketiga saudara dan orang yang berkedok itu, namun ketika mendengar kalimat yang terakhir itu mau tidak mau air mukanya berubah juga. Pikirnya dengan berdebar, “Kenapa orang-orang ini tahu bahwa aku membawa kitab berharga itu? Padahal perjalananku ini kurahasiakan kepada siapapun, kecuali kepada isteri dan kedua orang saudara angkatku. Siapakah yang membocorkan rahasia perjalananku?”

Namun lelaki penunggang kuda itu masih berpura-pura tidak tahu di hadapan keempat penghadangnya itu. “Kitab apa? Aku tidak tahu maksud pembicaraan kalian,” katanya.

Si jangkung yang kurus yang berdiri di tengah itu memperdengarkan suara tertawa mengejeknya. Katanya, “Tua bangka, ketahuilah bahwa kami tiga bersaudara inilah yang bergelar Thay-san-sam-long (Tiga serigala dari Thay-san), karena itu jangan coba-coba bermain-main dengan kami. Hanya ada dua pilihan buatmu. Serahkan kitab itu dan kau akan dapat pergi dari sini dengan selamat. Pilihan kedua, kau melawan dan terpaksa akan kami bunuh. Thay-san-sam-long tidak pernah mengampuni siapapun yang mencoba membangkang permintaan kami.”

Si penunggang kuda itu agak terkejut juga mendengar ketiga orang itu telah memperkenalkan diri sebagai Thay-san-sam-long, tiga saudara yang terkenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Buat mereka, cukup beberapa tahil orang akan bisa menyuruh mereka untuk menghabisi nyawa orang lain, sehingga mereka dibenci dan dikucilkan oleh kaum persilatan.

Yang tertua bernama Tio Hau, dan kedua adiknya adalah Tio Kiang dan Tio Bun. Kini tiga pembunuh bayaran yang terkenal itu telah menghadangnya. Jelas kesulitan yang dihadapinya tidak kecil. Apalagi masih ada si orang berkedok yang kelihatannya juga cukup berbobot itu.

Tapi lelaki penunggang kuda itupun bukan seorang pengecut, dengan gerakan yang hampir tidak terlihat ia telah mencabut pedang yang tergendong di punggungnya itu, lalu katanya menantang, “Baiklah, agaknya tidak ada gunanya lagi aku terus berpura-pura. Kitab itu memang ada padaku, jika kalian begitu mengingininya, kalian boleh mencoba mengambilnya sendiri di tubuhku. Biarpun Thay-san-sam-long cukup ditakuti, tapi aku orang she Tong tidak gentar sedikitpun.

Akhirnya kedua belah pihak merasa tidak perlu bicara panjang lebar lagi. Thay-san-sam-long telah siap dengan pedang pendeknya masing-masing, dan mereka mulai melangkah maju ke arah penunggang kuda itu. Sedangkan si orang berkedok malah mundur beberapa langkah, rupanya ia hendak “melihat-lihat” dulu.

Di antara Thay-san-sam-long, si bungsu Tio Bun adalah yang paling berwatak berangasan. Dibarengi teriak seperti lolongan serigala ia menerjang maju lebih dulu, pedang pendeknya lebih dulu diarahkan ke bawah untuk membabat kaki kuda yang ditunggangi lawannya. Gerakannya cepat dan telak, benar-benar mirip seekor serigala liar.

“Licik!” bentak si lelaki penunggang kuda itu. Tubuhnya tiba-tiba melambung meninggalkan punggung kudanya, dan pedangnya menabas kepala Tio Bun dari atas.

Dengan demikian meskipun Tio Bun akan berhasil membabat kaki kuda, namun kepalanya sendiripun akan menjadi korban pedang lawan. Merasa ada angin tajam menuju kepalanya, cepat Tio Bun mengganti gerakan pedang pendeknya untuk ditangkiskan ke atas sambil merendahkan kuda-kudanya.

Terdengar suara berdencing nyaring ketika pedang kedua orang itu saling beradu. Tio bun terkejut karena tangannya yang memegang pedang itu terasa bergetar hebat. Ia juga dikejutkan oleh kecepatan bergerak lawannya, sehingga hampir saja kepalanya terbelah jika saja ia kurang cepat menangkis.

Di pihak lain, sadar bahwa sedang menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan terdiri dari lawan-lawan tangguh pula, maka lelaki penunggang kuda itu tidak mau membuang kesempatan yang betapapun kecilnya. Begitu kakinya menginjak tanah, ia telah melompat kembali dan kali ini menyerang ke arah kakak tertua dari Thay-san-sam- long, yaitu Tio Hau.

Tio Hau sempat kelabakan oleh serangan mendadak itu, tapi ia masih sempat menangkis sambil mengejek, “Hem, ilmu pedang dari Soat-san-pay (perguruan Soat-san) ternyata hanya begini saja”

Sebagai seorang yang cukup ditakuti di dunia persilatan, ternyata ilmu silat Tio Hau boleh juga. Begitu ia berhasil menyingkirkan pedang lawannya, pedangnya sendiri langsung menikam ke dada lawan dibarengi dengan sebuah tendangan ke arah jalan darah Hoan-tiau-hoat di lutut lawannya.

Lelaki penunggang kuda itu menggeram pendek, dengan sedikit menggeser ke kanan ia berhasil lolos dari serangan berganda itu, lalu tiba-tiba saja pedangnya “menggeliat” hendak menyontek tenggorokan Tio Hau. Gerakannya cepat dan keras, perubahannyapun tidak terduga oleh lawannya, membuat sang lawan tercengang dan kebingungan.

Barulah pada detik itu Tio Hau menyadari kelihaian lawannya, ia merasa tidak sanggup meloloskan diri dari kejaran ujung pedang lawan yang begitu cepat, hanya dalam hatinya ia menjerit, “Habislah riwayatku kali ini!”

Tapi ternyata lelaki berkuda itu tidak dapat meneruskan serangan gabungannya, sebab mendadak ia merasakan datangnya serangan dari samping dan belakang tubuhnya. Rupanya Tio Kiang dan Tio Bun tidak membiarkan kakak mereka mampus di ujung pedang lawan, maka mereka melancarkan serangan serempak untuk menolong sang kakak.

Kembali si penunggang kuda memperlihatkan kehebatannya. Serangan gabungan Tio Kiang dan Tio Bun itu mungkin cukup untuk mengirim nyawa seorang jago silat ke akherat, tetapi belum cukup untuk menghadapi pendekar Soat-san-pay yang tangguh ini.

Secepat kilat si penunggang kuda itu melompat dengan gerakan Ui-ho-ciong-thian (burung kuning menerobos langit), dan sambil melompat ia masih sempat menggoreskan ujung pedangnya ke punggung si bungsu Tio Bun. Meskipun lukanya tidaak parah, namun sudah menunjukkan keunggulan lelaki penunggang kuda itu.

Siapakah lelaki setengah umur yang perkasa itu? Ia bernama Tong Tian dan merupakan seorang pendekar kenamaan di wilayah Kiang-se dan sekitarnya. Tempat tinggalnya adalah kota kecil bernama Ang-yang- shia yang terletak di tepi danau Po-yang-ou yang tenang. Ia adalah seorang tokoh dari perguruan Soat-san-pay, dan ketua Soat-san-pay yang sekarang adalah gurunya.

Saat itu ia baru saja pulang dari Soat-san yang terletak jauh di barat itu, untuk memenuhi panggilan gurunya. Dasar nasibnya memang beruntung, panggilan dari gurunya itu ternyata bermaksud menghadiahinya sejilid kitab pelajaran ilmu pedang ciptaan gurunya sendiri yang terbaru.

Tong Tian sebenarnya merasa heran dengan munculnya keempat orang penghadang yang hendak merampas kitabnya itu. Perjalanannya ke Soat-san untuk menerima kitab itu sudah dirahasiakan sangat rapat, yang mengetahuinya hanya isterinya dan dua orang saudara angkatnya, dari mana Thay-san-sam-long dapat memperoleh bocoran berita itu dan menghadangnya di tempat itu?

Namun saat itu Tong Tian tidak boleh memecah pikirannya sedikitpun. Tiga orang saudara she Tio dengan pedang pendek di tangan mereka masing-masing merupakan lawan-lawan berbahaya yang memerlukan perhatian sepenuhnya. Ketiga orang lawannya itu memang benar-benar bertarung seperti serigala-serigala yang ganas dan licik.

Tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap (Pendekar dari Kiang-se), sebab Thay-san-sam-long yang terkenal itupun ternyata tidak sanggup membunuhnya dengan segera. Malahan sedikit demi sedikit mulai nampak bahwa Tong Tian akan dapat mengungguli ketiga lawannya berkat ilmu pedangnya yang hebat itu.

Apalagi dia baru saja pulang dari tempat gurunya di Soat-san, di mana dia telah mengalami peningkatan ilmu yang cukup berarti. Meskipun berhadapan dengan pembunuh-pembunuh bayaran yang terkenal, nampaknya bukan Tong Tian yang bakal terbunuh di tempat itu.

Hanya satu yang masih menjadi beban pikiran Tong Tian, yaitu orang berkedok yang sampai saat itu masih belum menerjunkan diri ke gelanggang pertempuran itu. Tong Tian sadar, jika orang berkedok itu terjun pula, maka kedudukan dirinya akan menjadi sangat terancam.

Karena itu Tong Tian bertekad mengakhiri perlawanan Thay-san-sam-long secepat mungkin, supaya kemudian dapat menghadapi orang berkedok itu dengan tenaga yang masih agak segar. Pedangnyapun bergerak semakin gencar dalam memporak-porandakan kepungan ketiga lawannya.

Dengan jurus Pat-hong-hong-i (Hujan Badai Delapan Penjuru), sinar pedang Tong Tian berhasil mengurung ketiga lawannya. Gerakan pedangnya berubah-ubah, kadang-kadang seperti angin pusaran yang seakan-akan menghisap lawan-lawannya, dan di saat lain berubah seperti titik-titik air hujan yang dengan deras mencurah ke tubuh lawan-lawannya dan membuat ketiga “serigala” itu hampir-hampr mati kutu dan tidak dapat bekerja-sama dengan baik.

Yang pertama kali menjadi korban amukan Pendekar Kiang-se itu adalah Tio Kiang, orang kedua dari Thay-san-sam-long itu. Terdengar Tio Kiang menjerit ngeri dan kemudian roboh terkapar dengan sebuah lubang “menghias” tenggorokannya. Ia menggelepar sebentar di atas rerumputan, dan arwahnyapun kemudian terbang meninggalkan raganya.

Selama ini Thay-san-sam-long malang-melintang dan ditakuti orang banyak, tak terduga hari ini harus mengalami nasib naas karena salah satu anggotanya mampus di ujung pedang Tong Tian. Hal itu membuat Tio Hau dan Tio Bun menjadi murka, dan dengan ganas mereka menyerang Tong Tian untuk membalaskan kematian Tio Kiang.

Orang berkedok yang belum ikut bertempur itu menjadi jengkel melihat tingkah pembunuh-pembunuh bayaran itu. Di dalam hatinya dia mengutuk, “Percuma saja aku mengupah Thay-san-sam-long dengan bayaran mahal, ternyata mereka tidak sehebat yang didesas-desuskan orang. Nampaknya akupun harus terjun ke gelanggang”

Namun orang berkedok itu tidak langsung terjun ke tengan kancah, lebih dulu ia mendekati kuda Tong Tian dan mulai menggeledah kantong pelananya, agaknya tujuan utamanya hanyalah mendapatkan kitab ilmu pedang Soat-san-pay itu, sedangkan mati hidupnya Thian-san-sam-long tidak menjadi perhatiannya. Kuda tunggangan Tong Tian itu agaknya bukan kuda yang jinak, begitu orang berkedok itu mendekatinya maka binatang itu langsung meringkik keras sambil melonjak-lonjak.

“Binatang tidak tahu diri!” geram orang berkedok itu. Dengan sebuah sodokan telapak tangannya ia menghantam rusuk kuda itu, dan akibatnya sungguh hebat, sebab kuda itu langsung meringkik keras dan roboh dengan tulang-tulang rusuk berpatahan dan mampus. Bagian dalam tubuh binatang yang kuat itu rupanya telah tergetar rontok oleh pukulan orang berkedok itu. Dari situ dapat dinilai betapa tangguhnya orang berkedok itu, lebih tangguh dari Thay-san-sam-long digabung menjadi satu.

Tong Tian yang sempat melirik kejadian itu menjadi terkejut juga, pikirnya dengan was-was, “Hebat pukulan orang ini. Jika orang ini ikut menerjunkan diri ke gelanggang bersama dua orang sisa Thay-san-sam-long ini, bukan saja kitab ilmu pedang pemberian Suhu sulit dipertahahankan, bahkan nyawakupun mungkin bisa ikut melayang”

Berpikir sampai di situ, Tong Tian lalu memperhebat serangan-serangannya. Lebih dulu ia mencecar Lo-toa Tio Hau dengan gerakan Lian-cu-sam-kiam (tusukan tiga kali berturut-turut), memaksa orang pertama Thay-san-sam-long itu mundur beberapa langkah dengan keripuhan. Tapi jalan darah Jing-ling-hiat di lengan Tio Hau sempat tertusuk juga, sehingga lengannya langsung lumpuh dan pedang pendeknya jatuh ke tanah.

Saat itu si lelaki berkedok telah selesai menggeledah pelana kuda Tong Tian dan tidak menemukan apa yang diingininya. Ketika melihat Tio Hau telah lumpuh, ia segera melompat ke tengah gelanggang,. Ia membuka serangan dengan sebuah cengkeraman ke wajah Tong Tian, dibarengi sabetan tangan kirinya ke tulang pundak dengan jurus Tok-pek-hoa-san (Tangan Tunggal Menyerbu Hoa-san).

Gerakannya mantap dan cepat, menunjukkan bahwa dia memang jago tangan kosong yang patut diperhitungkan. Cukup salah satu dari serangan-serangannya itu mengenai sasarannya, Tong Tian akan cacat seumur hidup atau mati.

Tong Tian menghindar ke samping. Ada dua hal yang mengejutkannya, selain serangan lawan yang cukup lihai, juga karena ia seolah-olah sudah tidak asing lagi dengan gaya serangan semacam itu. Sayang wajah orang itu tertutup kedok sehingga mempersulit Tong Tian untuk mengenali orang itu.

Dalam pada itu si orang berkedok ternyata tidak sungkan-sungkan lagi, serangan-serangan berikutnya segera membanjir datang dengan hebatnya. Sedangkan Tio Bun yang telah runtuh semangatnya karena rontoknya kedua kakaknya, kini melompat ke pinggir dan harus cukup puas menjadi penonton saja.

Maka terjadilah pertempuran satu lawan satu antara Kiang-se-tay-hiap melawan orang berkedok itu yang ternyata jago dalam menggunakan dua macam ilmu tangan kosong, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) serta Eng-jiau-kang (Tenaga Cakar Elang). Kedua macam ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang mengutamakan gwa-kang (Tenaga luar). Tidak mengherankan kalau lelaki berkedok itu nampak sangat percaya kepada kekuatan tangan dan jari-jarinya, berkali-kali ia mencengkeram pedang Tong Tian dengan beraninya.

Suatu saat orang berkedok itu mengeluarkan jurus Ok-liong-tam-jiau (Naga Jahat Mengulurkan Kuku), lengannya bergerak melengkung ke atas dan hendak mencengkeram ke arah pusar Tong Tian. Serangan-serangan ini akan dapat membuat usus Tong Tian berhamburan keluar.

“Bagus, keji benar hatimu!” dengus Tong Tian marah. Cepat ia mundur selangkah sambil menggetarkan pedangnya dengan gerakan gerakan Soat-hoa-kay-ting (Bunga Salju Menguruk Kepala). Dengan jurus ini ujung pedangnya bagaikan terpecah menjadi puluhan bunga-bunga perak yang sekaligus menghambur ke kepala lawannya.

Lelaki berkedok itu mendengus kaget, ia merendahkan tubuhnya dan menyingkir untuk menyelamatkan batok kepalanya. Tanpa menarik pedangnya lebih dulu, Tong Tian langsung melanjutkan serangannya dengan jurus Tay-san-ap-ting (Gunung Tay-san Roboh ke Kepala). Untuk menjalankan jurus ini, sebenarnya orang memerlukan senjata yang berat seperti golok atau toya, tetapi Tong Tian dapat melakukannya dengan pedang yang ringan.

Dengan tenaga dalamnya yang disalurkan ke batang pedang, ia dapat membuat pedangnya menjadi seberat gunung runtuh. Sekali lagi orang berkedok itu dipaksa mundur. Tapi ternyata ia tidak diberi kesempatan untuk bernapas dengan lega, sebab Tong Tian telah membentak pula,

“Perlihatkan mukamu!” sambil mencongkelkan pedangnya ke atas, dengan tujuan menyingkap kedok lawannya.

Orang berkedok itu masih mencoba berkelit, bahkan dengan telapak tangannya yang disaluri dengan tenaga dalam, ia masih berusaha merebut dan menempel pedang Tong Tian. Atas perlawanan orang berkedok itu, Tong Tian cuma tertawa dingin sambil memiringkan batang pedangnya. Dengan demikian andaikata lawan masih berani meneruskan gerakannya, maka tajam pedangnyalah yang akan menyambut telapak tangan orang berkedok itu.

Orang itu ternyata masih belum berani mengadu tapak tangannya dengan ketajaman pedang Tong Tian, terpaksa ia menarik serangannya dan menggantinya dengan pukulan Ngo-heng-ciang dengan tangan lainnya. Sekali unggul di atas angin, Tong Tian tidak melewatkan setiap kesempatan.

Secepat kilat ia mendesak maju, pedangnya yang seakan-akan telah menjadi anggota tubuhnya itu kini bergerak membacok pundak orang itu. Pukulan lawan tidak dihiraukannya, sebab Tong Tian yakin bahwa serangannya akan tiba lebih dulu di tubuh lawan.

Kali ini si orang berkedok tidak dapat lolos lagi, pundaknya tergores oleh ujung pedang Tong Tian. Hal itu cukup merontokkan keberanian orang itu. Secepat kilat ia melancarkan tiga kali pukulan beruntun, dan begitu Tong Tian tertahan sejenak, orang berkedok itupun segera membalikkan badan dan kabur ke arah bukit.

Tong Tian bermaksud mengejarnya, namun tiba-tiba ia mendengar teriakan kalap dari Tio Bun, “Ganti jiwa saudara-saudaraku!”

Ternyata orang pertama Thian-san-sam-long, Tio Hau yang terluka jalan darah jing-ling-hiatnya itu tidak dapat diselamatkan, sebab pendarahan pada urat nadinya. Dengan demikian Thay-san-sam-long tinggal Tio Bun seorang diri yang kini telah menyerang secara kalap kepada Tong Tian. Ia menyerang seperti seekor anjing gila.

Menghadapi kegilaan lawannya itu, Tong Tian tertawa dingin, “Mengganti jiwa Thay-san-sam-long yang telah membunuh puluhan orang tak berdosa? Hem, bukan saja aku tidak sudi mengganti jiwa saudara-saudaramu, bahkan nyawamupun akan kucabut demi keamanan masyarakat”

Ketika Tio Bun sekali lagi menubruk seperti serigala, Tong Tian hanya memiringkan tubuhnya sedikit sambil meluruskan pedangnya ke depan. Maka tubrukan Tio Bun itu ibarat menyongsongkan tubuhnya sendiri ke ujung pedang lawannya.

Orang termuda dari Thay-san-sam-long itu sempat meraung menjelang ajalnya, setelah itu ia ambruk ke tanah dan tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya. Sejak saat itu nama Thay-san-sam-longpun terhapus dari dunia persilatan.

Tong Tian mencabut pedangnya dari tubuh Tio Bun dan membersihkannya. Ia sangat menyesal bahwa hari itu ia harus mencabut senjata dan membunuh sesama manusia, namun keadaan telah memaksanya untuk berbuat demikian. Dan hatinya agak terhibur kalau mengingat bahwa matinya Thay-san-sam-long berarti berkurangnya penyakit masyarakat.

Secara sederhana tetapi layak, Tong Tian lalu memakamkan ketiga mayat Thay-san-sam-long itu. Sebagai seorang pendekar, ia tak sampai hati membiarkan mayat bekas musuh-musuhnya itu tergeletak begitu saja dan menjadi santapan burung gagak serta serigala.

Selesai melakukan penguburan, Tong Tian mengambil kantong uangnya yang tergantung di pelana kudanya, lalu dengan berjalan kaki ia melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Kiang-leng untuk menginap semalam di kota itu. Langkahnya nampak agak bergegas, sebab hari sudah mulai sore, padahal kota Kiang-leng masih duapuluh li di depannya.

Bekas ajang pertempuran itupun menjadi sunyi kembali. Hanya tinggal tiga gundukan tanah yang berisi mayat-mayat yang masih baru, tidak jauh dari bangkai seekor kuda yang tergeletak begitu saja. Desir suara ilalang yang tertiup angin terdengar mirip dengan tangisan arwah penasaran yang bergentayangan.

Mendadak kesunyian di tempat itu diusik oleh suara langkah-langkah kaki yang mendekati tempat itu. Dari balik sebuah rumpun ilalang muncullah seorang lelaki berkepala gundul dan mengenakan jubah paderi Budha berwarna abu-abu lusuh. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu hitam yang panjangnya lebih-kurang sedepa. Usia paderi ini hampir 60 tahun, namun gerak-geriknya justru kelihatan tangkas.

Kini paderi itu berdiri di tempat bekas terjadinya pertempuran itu, ia menarik napas berulang kali sambil bergumam, “Hemm, bunuh-membunuh tidak ada habis-habisnya hanya untuk memperebutkan beberapa lembar kertas butut hasil tulisan tangan si tua bangka she Yu itu. Entah kapan dunia persilatan bakal bebeas dari pertengkaran dan pertumpahan darah?”

Paderi itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih, lalu terdengar pula gumamnya, “Semoga orang berkedok itu bukan dia adanya, semoga ia masih punya hati nurani yang bersih di samping sifat-sifat tamaknya. Namun jika memang dia terbukti bersalah, akupun tidak akan mengampuninya”

Paderi itu lalu mengelilingi tempat itu beberapa putaran, sambil membuka-buka rerumputan dengan kakinya, nampaknya ada sesuatu yang dicarinya. Namun ketika ia tidak mendapatkan apapun, maka dengan beberapa kali lompatan yang panjang dan cepat, paderi itupun pergi dari situ dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan. Matahari mulai tenggelam, dan tempat itupun sunyi kembali.

* * * * * * *

Kota An-yang-shia adalah sebuah kota kecil yang terletak di pinggir danau Po-yang-ou. Begitu kecilnya kota itu, sehingga tembok kotapun tidak punya. Meskipun demikian, kota itu bersih dan indah, pendududknyapun dengan ramah menyambut kedatangan tiap orang asing yang berkunjung ke situ, yang kebanyakan hendak bertamasya menikmati keindahan danau Po-yang-ou.

Karena banyaknya pelancong dari luar daerah, maka penduduk an-yang-shia mempunyai mata pencaharian tambahan, yaitu membuka warung-warung makan dan rumah-rumah penginapan, besar maupun kecil. Sedang di tepi danau nampak perahu-perahu sewaan tak terhitung jumlahnya.

Tong Tian adalah seorang yang terkemuka di daerah Kiang-se itu, tempat tinggalnya terletak di luar An-yang-shia namun tidak jauh dari kota yang mungil itu. Rumah Tong Tian tidak besar dan tidak mewah, namun nampak tenang, damai dan menampakkan keangkerannya sebagai rumah pendekar terkenal.

Letaknya membelakangi sebuah bukit berhutan cemara, dan menghadap ke arah danau. Dindingnya tidak tinggi, dikelilingi pohon cemara yang ujungnya menggapai-gapai langit. Di depan pintu masuknya ada hiasan sepasang cio-say (arca singa) yang menambah kewibawaan pendekar itu.

Sore itu Tong Tian tiba kembali di rumahnya dari perjalanan yang jauhnya ribuan li itu. Sebagai ganti kudanya yang dibunuh oleh orang berkedok itu, ia telah membeli seekor kuda lain di kota Kiang-leng, yang kini ditungganginya. Begitu melihat rumahnya tidak kurang apapun, Tong Tian merasa lega. Tong Tian menuntun kudanya lewat pintu samping, baru saja kakinya melangkahi ambang pintu, telah terdengar teriakan seorang pelayan tua,

“Lo-ya (tuan tua), kau sudah pulang?” Dengan tergopoh-gopoh dan penuh gairah, pelayan itu menyambut tali kekang kuda dari tangan tuannya sambil menanyakan keselamatan tuannya yang telah pergi berbulan-bulan itu. Tong Tian menepuk-nepuk bahu pelayan itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan singkat.

Teriakan pelayan tua itu rupanya menarik pula perhatian seorang gadis berumur delapanbelas tahun yang sedang berada di dekat tempat itu pula. Begitu melihat Tong Tian, gadis itu langsung bersorak gembira dan menubruk ke pelukan Tong Tian sambil berseru, “Ayah...!”

Tong Tian tersenyum mendapat sambutan anak gadisnya itu, namun ia pura-pura mengomel, “Lian-ji (anak Lian), sudah sebesar ini umurmu tapi gerak-gerikmu seperti anak-anak umur sepuluh tahun saja”

Keributan di samping rumah itu ternyata telah menarik perhatian seluruh anggota keluarga dan isi rumah. Maka tidak lama kemudian repotlah Tong Tian menjawab pertanyaan isteri, anak-anaknya, serta pelayan-pelayan lainnya yang menanyakan keselamatannya. Tong Tian punya tiga orang anak.

Yang pertama dan kedua adalah laki-laki yang bernama Tong Wi-siang dan Tong Wi-hong, dan si bungsu adalah Tong Wi-lian yang menyambut kedatangannya tadi. Sedang isteri Tong Tian sendiri di masa mudanya juga merupakan pendekar wanita yang terkenal dari Soat-san-pay pula, merupakan adik seperguruan Tong Tian sendiri. Karena kepandaian sang isteripun cukup tangguh, maka Tong Tian tidak pernah merasa cemas jika harus meninggalkan rumahnya agak lama.

Demikianlah, seisi rumah menyambut kedatangan Tong Tian. Hanya seorang yang masih belum nampak keluar menyambut, yaitu anak tertua Tong Tian, Tong Wi-siang. Namun Tong Tian tidak terlalu merisaukannya, sebab ia tahu bahwa Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang jarang di rumah dan suka keluyuran bersama kawan-kawannya, bahkan kadang-kadang sampai jauh malam. Sebenarnya Tong Tian kurang menyukai sifat anak tertuanya itu, namun ia tidak perlu mencemaskan keselamatannya, sebab Tong Wi-siang adalah seorang anak muda yang cukup tangguh ilmu silatnya.

“Tentu A-siang sekarang sedang berkumpul dengan teman-temannya yang berandalan-berandalan itu” Demikian pikir Tong Tian sambil berkerut kening.

kembalinyaTong Tian setelah beberapa bulan berada di Soat-san itu memang membuat seisi rumah jadi gembira. Tetapi kadang-kadang Tong Tian melihat isterinya nampak murung, sehingga diam-diam Tong Tian mulai menduga-duga telah terjadi sesuatu selama kepergiannya. Sore harinya, Tong Tian dan isterinya bercakap-cakap di dalam kamar baca. Tanyanya kepada isterinya,

“Isteriku, nampaknya ada sesuatu yang membebani pikiranmu sehingga kau nampak kurang gembira. Apakah telah terjadi sesuatu selama aku berada di Soat-san?”

Sang isteripun bukan seorang yang suka bicara berbelit-belit, maka ia menjawabnya langsung, “Ya, aku memang masih dirisaukan oleh persoalan A-siang”

Sepasang alis Tong Tian yang tebal dan sudah berwarna kelabu itu kini nampak seolah-olah bergerak saling mendekati. Tanyanya pula, “Ada apa dengan anak bengal itu? Sejak aku pulang tadi, aku belum melihat batang hidungnya”

“A-siang telah pergi dari rumah ini, bahkan bersama dengan kawan-kawannya itu mungkin mereka sudah jauh meninggalkan An-yang-shia. Mereka... mereka...,” sampai disini Tong Hu-jin (Nyonya Tong) nampak ragu-ragu dalam menjawab, tapi akhirnya diteruskan juga ucapannya, “Mereka terlibat urusan pembunuhan berat...”

Tong Tian terkesiap mendengar keterangan itu. Meskipun dia sendiri adalah seorang pendekar yang sudah kerap kali berurusan dengan hal bunuh-membunuh, namun baginya soal nyawa manusia tetap merupakan persoalan berat bahkan terhadap musuhnyapu kalau bisa ia akan membiarkan untuk tetap hidup, kecuali kalau musuhnya itu memang seorang yang membahayakan sesama manusia. Kini mendengar bahwa anak tertuanya telah terlibat dalam peristiwa pembunuhan, mau tidak mau Tong Tian merasa kurang enak hatinya.

Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lebih lanjut, “Tidak henti-hentinya aku berusaha melepaskan A-siang dari pengaruh buruk kawan-kawannya itu, namun agaknya A-siang lebih suka mendengar bujukan teman-temannya daripada mendengarkan nasehatku. Aku gagal. A-siang dan teman-temannya setiap hari hanya membikin onar saja di An-yang-shia. Makan minum tidak membayar, mabuk, berkelahi dan lain-lainnya, sampai malu aku jika orang-orang An-yang-shia menatapku...”

Tong Tian termangu mendengar keluhan isterinya itu. “Tadi kau bilang bahwa A-siang tersangkut perkara pembunuhan. Siapakah yang dibunuhnya?”

“Seorang pembesar urusan hukum yang datang dari Pak-khia, yang tengah mengunjungi An-yang-shia. Ia dibunuh bersama pengawal-pengawalnya”

Mendengar jawaban isterinya itu hampir saja Tong Tian terjungkal dari tempat duduknya karena terkejutnya. Membunuh seorang pembesar negeri bukanlah urusan kecil, perguruan-perguruan besar yang ternama dengan anggotanya yang berjumlah banyakpun rata-rata segan berurusan dengan pihak pemerintah.

Tadinya ia mengira bahwa kenakalan anak tertuanya itu adalah kenakalan biasa, yang hanya terdorong oleh luapan darah mudanya, sama sekali tidak disangkanya kalau anaknya ternyata telah melangkah begitu jauh. Perbuatannya itu sudah bukan termasuk “kenakalan” lagi, tetapi “kejahatan”.

Kali ini perasaan Tong Tian benar-benar terpukul, di dasar hatinya timbul juga setitik rasa bersalah, karena selama ini agaknya ia kurang memperhatikan sifat-sifat anak tertuanya yang agak istimewa itu. Akibatnya sang anak akan merasa bahwa teman-temannya jauh lebih berharga dari siapapun, bahkan lebih berharga dari orang tuanya sendiri.

Dengan suara yang rendah Tong Tian bertanya, “Bagaimana jalan peristiwanya?”

Tong Hu-jin pun mulai bercerita, “Diantara kawan-kawan A-siang ada yang bernama Thio Hong. Dia bukan orang Ang-yang-shia asli, melainkan berasal dari Shoa-tang (Shantung). Bapak Thio Hong ini adalah seorang perampok di Shoa-tang, yang suatu ketika tertangkap dan dihukum mati karena kejahatannya. Lalu Thio Hong timbul dendamnya kepada pejabat yang memutuskan hukuman mati buat ayahnya itu. Waktu mendengar berita bahwa pejabat itu hendak mengunjungi Ang-yang-shia, Thio Hong lalu membujuk teman-temannya, termasuk A-siang, untuk menghabisi nyawa pembesar itu. Mereka lalu menyergap rombongan pembesar itu di luar kota An-yang-shia dan berhasil membunuh si pembesar bersama dengan seluruh keluarga dan pengawal-pengawalnya”

Karena luapan perasaannya tidak terbendung lagi, Tong Tian menggebrak meja yang ada di depannya sehingga permukaan meja itu amblas beberapa jari. Geramnya dengan muka merah padam, “Keterlaluan sekali A-siang itu. Entah ditaruh di mana otak anak itu. Masakan hanya dengan bujukan beberapa patah kata dari temannya ia berani melakukan perbuatan gila itu?”

“Aku mengenal watak A-siang”, kata Tong Hu-jin. “Pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak jujur dan jantan. Sayang ia mempunyai dua kelemahan, yaitu bersifat gampang naik darah dan mudah mabuk pujian. Kedua macam kelemahan itulah yang dimanfaatkan oleh Thio Hong untuk membujuk A-siang agar ikut dalam perbuatan gila itu”

Tong Hu-jin menarik napas panjang, lalu katanya lagi, “Thio Hong dan kawan-kawan A-siang lainnya telah menyanjung-nyanjung A-siang sebagai jago muda keluarga Tong, pendekar muda Soat-san-pay, dan seribu satu kalimat-kalimat muluk lainnya sehingga A-siang menjadi lupa daratan. Bahkan A-siang berani menantang berkelahi kepada Cia Bok, putera Cia Tay-jin (pembesar she Cia) itu. Tapi A-siang sampai berani melakukan pembunuhan terhadap pembesar-pembesar dri Pak- khia itu, ini benar-benar di luar dugaanku”

“Kau tidak mencegahnya?” tegur Tong Tiang.

“Aku bukan cuma mencegahnya dengan kata-kata, bahkan aku telah meringkusnya dan mengikat kaki tangannya serta mengurungnya dalam ruangan tertutup. Tapi pada malam harinya anak bandel itu berhasil melepaskan diri dan bergabung dengan kawan-kawannya. Malam itu juga kusuruh A-hong untuk menyusulnya dan mengajaknya pulang. Tetapi setelah bertemu A-siang malah menantang berkelahi adiknya sendiri, dan memakinya sebagai kutu buku, penakut dan sebagainya”

Kembali Tong Hu-jin menarik napas berulang kali untuk melonggarkan perasaannya yang pepat dan tertekan itu, lalu katanya, “A-hong pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil mencegah A-siang untuk membatalkan niat gilanya itu. Dan keesokan harinya tersiarlah kabar bahwa serombongan pembesar yang datang dari Pak-khia telah terbunuh sebelum memasuki kota An-yang-shia karena diserang oleh segerombolan orang-orang berkedok. Rombongan dari Pak-khia itu terbunuh semuanya, namun di antara orang-orang berkedok itupun ada beberapa orang yang tewas”

Sementara isterinya bercerita, berkali-kali Tong Tian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil meremas-remas telapak tangannya dengan gemas. Dan sang isteri terus bercerita,

“Ketika aku mendengar bahwa diantara orang-orang berkedok itupun ada yang tewas, aku menjadi sangat bersedih, aku khawatir A-siang termasuk di antara orang-orang yang tewas. Lalu kusuruh A-hong dan beberapa pelayan untuk melihat mayat-mayat yang diangkut ke dalam kota An-yang-shia itu, dan hatikupun merasa lega setelah mendengar bahwa di antara mayat-mayat itu tidak terdapat A-siang. Namun sejak saat itu A-siang tidak kelihatan lagi batang hidungnya, tidak seorangpun melihatnya berkeliaran di sekitar An-yang-shia lagi. Begitu pula semua kawan-kawannya yang brengsek itu, semua menghilang dari An-yang-shia. Jelas mereka tidak berani lagi pulang ke rumah, sebab Cia Tay-jin telah mengumumkan secara resmi mereka sebagai buronan pemerintah kerajaan”

Kini Tong Hu-jin tidak sanggup lagi membendung air matanya yang mulai mengalir turun. Setabah-tabahnya dia sebagai seorang pendekar wanita yang pernah terkenal, namun dia tetap seorang ibu yang mengasihi anak yang dilahirkannya dan diasuhnya sejak kecil.

Tiba-tiba Tong Tian bangkit dari duduknya dan bergumam, “Jangan-jangan orang-orang berkedok yang menghadangku di luar kota Kiang-leng itu... ah, tentu bukan A-siang...”

Tong Hu-jin tersentak kaget, “Apa A-siang menghadangmu?”

Tong Tian sadar bahwa ucapannya yang baru saja itu sama sekali tidak beralasan, maka ia buru-buru memperbaikinya untuk menentramkan perasaan isterinya, “Tidak, aku cuma agak melantur karena pikiranku ruwet”

“Tapi kau baru saja mengatakan ada yang menghadangmu di luar kota Kiang-leng?”

“Memang ada kejadian begitu. Tapi aku yakin orang berkedok yang mencegatku itu pasti bukan A-siang atau salah satu kawannya, sebab tak seorangpun di antara anak-anak bengal itu yang berkepandaian setinggi itu. Lagi pula A-siang tidak tahu kalau aku pulang dari Soat-san dengan membawa kitab ilmu pedang hadiah Suhu”

Tong Hu-jin menjadi agak lega setelah mendengar penjelasan suaminya itu, katanya, “Syukurlah kalau begitu. Betapapun bengalnya A-siang, ia tidak akan sampai begitu berani untuk mengajak kawan-kawannya untuk menghadang ayahnya sendiri. Aku tahu pasti, dia tidak akan berbuat sekurang-ajar itu”

Saat itu, di dalam pikiran Tong Tian berkecamuklah berbagai masalah yang ruwet. Teka-teki orang berkedok diluar kota Kiang-leng itu masih belum terpecahkan, dan kini muncul pula persoalan anaknya yang tidak kalah ruwetnya, sebab soal itu pasti akan berbuntut panjang mengingat yang menjadi korban adalah seorang pejabat pemerintah. Ia tidak ingin anaknya yang tertua itu terjerumus semakin jauh dengan teman-temannya, namun ke mana hendak mencarinya?

“Setelah terjadinya peristiwa pembunuhan itu, bagaimanakah sikap Cia Tay-jin terhadap keluarga kita?” tanya Tong Tian.

Yang dimaksud dengan Cia Tay-jin adalah Cia-To-bun, pejabat yang berkuasa di An-yang-shia. Hubungan antara Tong Tian dengan pejabat itu memang kurang serasi. Cia-To-bun adalah seorang pejabat yang senang mengeluarkan peraturan-peraturan yang memeberatkan rakyat untuk keuntungan sendiri.

Sebaliknya Tong Tian merupakan pujaan rakyat An-yang-shia karena merupakan orang yang berani membela kepentingan rakyat dari tindasan Cia-To-bun. Tak pelak lagi, meskipun pada lahirnya Cia-To-bun bersikap ramah kepada Kiang-se-tay-hiap ini, namun dalam hatinya ia mendoakan agar Tong Tian cepat mampus.

“Orang she Cia itu pernah mengirimkan seregu prajurit ke tempat ini dan menggeledah seluruh rumah, namun mereka tidak berhasil menemukan bukti-bukti yang menguatkan tuduhan mereka, sehingga merekapun tidak bernai mengganggu lagi” sahut Tong Hu-jin. “Tapi sejak itu mereka memasang beberapa orang mata-mata untuk mengawasi rumah ini”

Alis kelabu Tong Tian berkerut semakin dalam. Katanya dengan nada rendah, “Hemm, agaknya orang she Cia itu terhitung masih memberi muka kepadaku juga. Namun dengan tindakannya itu, jelaslah bahwa agaknya dia sudah mencium keterlibatan A-siang dalam perkara ini, tinggal mencari buktinya saja. Begitu bukti didapat, banjir kesulitan pasti akan melanda kita. Bukankah selama ini Cia To-bun selalu berusaha menyingkirkan kita yang dianggapnya sebagai duri dalam daging ini?”

“Ya, mulai sekarang segala tindakan kita harus hati-hati dan serba terkendali” sahut Tong Hu-jin. “Jangan samapai orang she Cia itu mendapatkan alasan untuk menindak kita”

Sesaat suasana di ruang buku itu menjadi sunyi. Di luar, malam sudah turun menudungi bumi, satwa-satwa malam bersaut-sautan memperdengarkan suaranya. Meskipun suasana malam nampak memberi ketentraman, namun suami isteri pendekar itu tahu bahwa dibalik ketenangan itu akan segera muncul sebuah badai besar yang akan menggoncangkan bahter kehidupan yang sudah berjalan lancar bertahun-tahun itu.

Tetapi siapakah orangnya yang dapat menghindari cobaan hidup? Dapatkah kali ini mereka melewati badai itu dengan selamat? Mereka sadar bahwa peristiwa pembunuhan itu akan semakin memperburuk hubungan antara keluarga Tong dengan pihak pembesar. Dan berurusan dengan manusia semacam Cia To-bun benar-benar akan sangat memusingkan kepala.

Tiba-tiba dari luar ruangan itu terdengar suara langkah-langkah ringan mendekati pintu. Kemudian daun pintu diketuk, dan ketika Tong Tian mempersilahkan, maka masuklah Tong Wi-lian, anak gadisnya itu. Gadis itu nampak agak mengantuk, namun karena mendengar kedua orang tuanya masih bicara panjang lebar di dalam ruangan buku, maka gadis itu menyempatkan diri untuk menengoknya.

“Ayah, ibu, kalian belum tidur?” tanya gadis itu.

Sang ibulah yang menjawab, “Kau tidak usah menunggu kami, A-lian, kalau kau megantuk tidurlah lebih dahulu. Apakah A-hong juga sudah tidur?”

“Entahlah, tadi kulihat ia keluar menuju ke danau”

“Kalau kau sudah mengantuk, kau tidurlah A-lian”, kata Tong Tian dengan lembut.

Tong Wi-lian cuma mengangguk dan meninggalkan ruangan itu. Setelah langkah kaki anak gadisnya itu tidak tedengar lagi, Tong Tian lalu berkata, “Begitu keadaan memungkinkan, aku akan secepatnya pergi untuk menemukan A-siang kembali, dan mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Tapi jika aku gagal dengan A-siang, aku tidak boleh gagal dengan A-hong dan A-lian, merekapun anak-anakku yang membutuhkan perhatian”.

Tong Hu-jin cuma bisa mengusap dua titik air mata yang menetes keluar. Ucapan suaminya itu terdengar terlalu keras, namun dapat diterima akal. Kembali ruangan itu menjadi sunyi, sepasang suami isteri pendekar itupun tenggelam dalam lamunannya masing-masing.

Tiba-tiba Tong Tian teringat sesuatu hal dan terluncurlah pertanyaannya, “Isteriku, ketika beberapa bulan yang lalu aku hendak pergi ke Soat-san untuk mengunjungi Suhu, selain kau dan kedua orang saudara angkatku, adakah orang keempat yang kau beri tahu?”

“Tidak ada. Aku selalu ingat pesanmu bahwa perjalananmu itu tidak perlu diketahui oleh banyak orang, bahkan kepada anak-anakpun aku tidak bicara terus terang. Kenapa kau tanyakan itu?”

“Kalau begitu sungguh mengherankan. Dari mana Thay-san-sam-long dan orang berkedok itu bisa mengetahuinya, dan bahkan menghadangku untuk merampas kitab pemberian Suhu?” gumam pendekar itu.

Belum sempat sang isteri menyahut, tiba-tiba Tong Tian telah teringat sesuatu. Ia menepuk kepalanya sendiri sambil berkata, “Ya, aku sekarang ingat. Orang berkedok yang mencegatku itu menggunakan ilmu pukulan Ngo-heng-ciang dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang dan kedua macam ilmu itu adalah ilmu-ilmu andalan Ting Ciau-kun”.

“Saudara angkatmu yang satu itu memang pantas kau curigai”, sahut isterinya.

“Ah, isteriku, aku tidak akan seceroboh itu menuduh orang tanpa bukti-bukti yang kuat”, kata Tong Tian sambil tertawa. “Tuduhanmu kepada Ciau-kun itu terlalu pagi”

Meskipun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya Tong Tian agak sependapat dengan isterinya itu. Pikirnya, “Ya, kalau bukan Ting Ciau-kun, siapa lagi yang sekaligus mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang sesempurna itu? Lagipula potongan tubuhnya memang mirip orang berkedok itu. Dan lagipula kenapa orang itu harus berkedok, seakan-akan khawatir aku mengenal wajahnya? Hanya isteriku, Hong- koan Hwesio dan Ting Ciau-kun yang mengetahui perjalananku ke Soat-san ini, orang keempat tidak ada”

Semakin dipikir, semakin teballah perasaan curiganya terhadap saudara angkatnya yang bernama Ting Ciau-kun itu. Namun semua perasaan itu tidak diutarakan keluar kepada isterinya, dan hanya disimpannya sendiri di dalam hati.

Sementara itu Tong Hu-jin telah berkata lagi, “Kuharap kau agak berhati-hati dan waspada kepada saudara angkatmu she Ting itu. Dia memang bermuka ramah dan penuh senyuman, tapi nampaknya dia bukan orang yang jujur”

“Sudahlah isteriku, bukankah belum ada bukti bahwa dialah yang mencegatku di luar kota Kiang-leng? Jangan buru-buru memaki-maki orang yang belum tentu bersalah. Masakan di dunia ini yang mahir Ngo-heng-ciang dan Eng-jiau-kang hanya Ting Ciau-kun saja?” begitulah bujuk Tong Tian.

Isterinya menyahut dengan agak mendongkol, “Tadi kau sendiri yang mengemukakan kecurigaan lebih dulu, kenapa sekarang malah berbalik menyalahkan aku?”

“Baiklah, aku minta maaf”, kata Tong Tian sambil tertawa. “Hari sudah larut malam, akupun sudah mengantuk, mari kugandeng tanganmu”.

Mau tidak mau hati Tong Hu-jin terasa hangat juga, sahutnya sambil tertawa, “Tua bangka tidak tahu malu. Coba kau berkaca di cermin dan lihatlah rambutmu yang sudah berwarna dua itu. Jika kau masih bertingkah seperti anak-anak muda, apa tidak takut ditertawakan?”

Meskipun pikirannya ruwet memikirkan berbagai persoalan, Tong Tian sempat bergurau juga, “Ketika aku berada di Soat-san, aku sering teringat masa muda kita, disaat kita berdua bersama-sama berlatih ilmu pedang di belakang gunung. Waktu itu kau sering berpura-pura membuat kekeliruan dalam gerakan pedangmu, aku tahu maksudmu agar aku membetulkan gerakanmu dengan memegang-megang tanganmu. Betul tidak?”

Dengan gemas Tong Hu-jin mencubit lengan suaminya sambil mengomel, “Kau makin lama bicara makin melantur, tidak khawatirkah di dengar oleh anak-anak atau pelayan?”

Begitulah suami isteri pendekar itu berjalan meninggalkan ruangan buku sambil bergurau. Betapa keruhnya pikiran mereka, tapi senda gurau terbukti merupakan obat mujarab untuk mengurangi kesedihan dan menjaga kerukunan mereka. Sudah berpuluh tahun mereka hidup sebagai suami isteri, sudah puluhan badai kehidupan yang mereka tempuh bersama dan berhasil mereka atasi, maka kesulitan yang kali inipun tidak mengecilkan semangat mereka.

Ketika mereka melintasi kamar yang ditempati oleh anak kedua mereka, Tong Tian sempat melongok ke dalam lewat jendela yang tidak terkancing. Nampaklah Tong Wi-hong sudah tidur pulas, namun tangannya masih memegang kitab yang terbuka, agaknya ia ketiduran setelah membaca kitab.

Melihat itu Tong Tian berkata kepada isterinya sambil tertawa, “Lihatlah A-hong. Pantas kakaknya dan adiknya menjulukinya sebagai kutu buku”.

Malam semakin larut, rumah keluarga pendekar itupun semakin sunyi. Seisi rumah telah tertidur lelap, mengistirahatkan badan dan pikiran untuk menyambut hari esok yang penuh tantangan.

* * * * * * *

Pagi hari telah tiba. Sinar matahari yang hangat dan berwarna keemasan muncul bagaikan cahaya kehidupan yang menghidupkan kota kecil An-yang-shia, setelah semalam suntuk membeku dalam dinginnya malam. Kota itu mulai nampak sibuk dengan hilir mudik penduduknya. Warung-warung dan toko-toko mulai membuka pintunya, jalan-jalan dan lorong-lorong mulai ramai dengan manusia yang hilir mudik menurut keperluannya masing-masing.

Sebagian orang-orang yang hilir mudik di jalanan itu malahan bukan orang An-yang-shia asli, melainkan para pelancong dari luar daerah yang tengah menikmati keindahan dan kesegaran kota kecil di pinggir danau Po-yang-ou itu.

Di tengah-tengah kota An-yang-shia ada sebuah gedung yang besar dan megah, pintu gerbangnya dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak. Itulah tempat tinggal Cia to-bun, yang oleh penduduk An-yang-shia dipanggil “Cia Tay-jin”, pejabat pemerintah yang menguasai kota kecil itu.

Dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda berpakaian mewah, diiringi dua orang lelaki kekar yang bertampang tukang-tukang pukul. Wajah pemuda itu sebenarnya cukup tampan, namun agaknya ia masih merasa kurang, sehingga masih ditambah dengan pupur tipis dan bahkan bibirnya diberi gincu tipis pula. Dia adalah Cia Bok, putera satu-satunya dan kesayangan Cia To-bun.

Cia Bok tidak langsung turun ke jalan, melainkan berdiri sebentar di depan pintu gerbang rumahnya sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Matanya berputar-putar dengan liarnya dan bibirnya tersenyum-senyum jika melihat perempuan-perempuan muda lewat di depannya. Kadang-kadang mulutnya berdecak kagum atau bersiul kecil. Sekali-sekali ia memanggil nama anak-anak perempuan yang dikenalnya, atau bahkan menarik ujung bajunya.

Anehnya, meskipun Cia Bok berwajah tampan dan kedudukan ayahnyapun cukup terpandang, tapi tidak seorangpun gadis-gadis An-yang-shia tertarik kepadanya. Beberapa orang perempuan sebenarnya hendak melewati jalan di depan gedung itu, namun mereka segera berbalik dan mencari jalan lain begitu melihat Cia Bok tengah berdiri di situ.

Setelah bosan berdiri di situ, Cia Bok mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan yang ramai itu. Matanya tidak pernah berhenti berputar, terutama jika berpapasan dengan perempuan-perempuan cantik. Meskipun tingkah Cia Bok sangat menjemukan, tetapi tidak seorangpun yang berani menegurnya. Sebab menegur tingkah anak Cia Tay-jin itu sama saja dengan mencari kesulitan buat diri sendiri.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, tingkah Cia Bok memang menjadi berkali lipat lebih tengik dari dulu-dulu. Tindakannya pun semakin sewenang-wenang, terutama jika ia mengingini seorang perempuan, tidak perduli perempuan itu masih gadis atau sudah bersuami. Bagaimana hal itu bisa terjadi, ada sebab-musababnya.

Pertama, sejak terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri seorang pejabat dari Pak-khia, maka Tong Wi-siang dan kawan-kawan berandalannya telah menghilang dari An-yang-shia. Hal mana tentu saja menggembirakan Cia Bok, sebab di seluruh An-yang-shia hanyalah Tong Wi-siang dan kawan-kawan yang berani menantang Cia Bok secara terus terang.

Meskipun tindakan Tong Wi-siang itu bukan berdasarkan membela rakyat, namun hanya karena sifat senang mencari gara-gara saja, tapi toh terasa bahwa selama Tong Wi-siang ada di An-yang-shia, gerak-gerik Cia Bok tidak sebebas itu.

Alasan kedua adalah bahwa Cia Bok baru saja mendapat dua orang guru silat yang cukup lihai, yang sengaja diundang oleh ayahnya untuk mendidiknya. Yang seorang adalah seorang Tosu (Imam To) pelarian yang sudah dipecat dari Bu-tong-pay bernama Te-yong Tosu. Yang seorang lagi adalah seorang tokoh golongan hitam berasal dari Thay-san bernama Tio Khing dan berjuluk Tiat-jiau-long (Serigala Berkuku Besi), yang tidak lain adalah ayah dari Thay-san-sam-long yang terkenal itu.

Tengah Cia Bok berjalan-jalan sambil menjual lagak, tiba-tiba biji matanya melotot ke satu arah. Ternyata dari arah sana nampaklah ada seorang anak muda dan seorang gadis sedang berjalan bersama-sama. Yang lelaki tampan dan nampaknya seorang “kutu buku”, berumur kira-kira duapuluh tahun. Sedang yang perempuan berumur kira-kira tujuhbelas tahun, bermuka bulat telur, manis dan nampaknya masih agak kekanak-kanakan.

Cia Bok segera berbisik kepada salah seorang pengawalnya, “Lau Hok, inilah kesempatan baik untuk mencari gara-gara kepada keluarga Tong. Tuh lihat kedua adik Tong Wi-siang itu sedang berjalan ke arah kita. Kita tunggu mereka”.

Pengawalnya yang bernama Lau Hok itu agaknya tidak biasa membantah, ia Cuma mengangguk-angguk sambil berkata, “Terserah kepada siau-ya (tuan muda), aku selalu siap menjalankan perintah”.

Cia Bok tersenyum puas, inilah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Tong Wi-siang yang selama ini tidak jarang mempermalukannya di depan umum. Dan kini Cia Bok akan membalasnya dengan mempermalukan kedua adik Tong Wi-siang itu di depan umum pula.

Tetapi pengawalnya yang lain masih memperingatkan tuan mudanya, “Tetapi harap siau-ya berhati-hati. Kedua orang adik A-siang itupun nampaknya tidak lemah dalam hal ilmu silat”.

Cia Bok tertawa dengan congkaknya, “Ha-ha-ha, Ong Bun, kau betul-betul bernyakli kecil. Adik A-siang yang bertampang seperti kutu buku itu mana sanggup menahan pukulanku sekali saja? Kau lihat saja”.

Kedua pengawal itupun tidak membantah lagi. Mereka sudah terlalu biasa menuruti kehendak tuan mudanya yang mata keranjang itu.

Pagi itu sebenarnya Tong Wi-lian hanya bermaksud berjalan-jalan sambil berbelanja macam-macam keperluan di An-yang-shia. Ia meminta kepada kakaknya untuk menemaninya. Tengah gadis itu memikirkan barang apa saja yang hendak dibelinya, tahu-tahu tiga orang lelaki telah menghadang langkahnya. Dia kenal akan Cia Bok yang berdiri di tengah sambil tersenyum-senyum kurang ajar itu.

“Selamat pagi, Tong koh-nio (nona Tong). Pagi ini koh-nio nampak cantik sekali”, sapa Cia Bok tanpa melepaskan senyum buayanya. Sedang biji matanya “melahap” tubuh Tong Wi-lian yang tengah mekar itu, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dan dari ujung kaki balik lagi ke ujung rambut.

Gadis itu teringat akan pesan ayahnya bahwa sebisa-bisanya dia harus menahan diri jika berhadapan dengan pihak penguasa, dan sejauh mungkin menghindari bentrokan. Keadaan memang sedang kurang menguntungkan buat pihak keluarga Tong, alasan yang sekecil apapun akan dapat dibesar-besarkan untuk menindak keluarga pendekar itu.

Karena itu, betapa muaknya perasaan Tong Wi-lian, namun ia masih berusaha seramah mungkin dalam menjawab, “Terima kasih kong-cu. Maaf, aku sedang terburu-buru dan harap kong-cu memberi jalan kepadaku”.

Namun seujung rambutpun Cia Bok tidak bergeser dari tempatnya. Katanya, “Eh, lama aku tidak bertemu dengan kakakmu, Tong Wi-siang yang gagah berani itu. Di manakah dia?”

Karena wi-lian agak kelabakan dalam menjawab pertanyaan itu, maka Tong Wi-hong yang menyahut, “Terima kasih atas perhatian kong-cu kepada diri kakak kami. Ia memang sedang pergi entah ke mana, semoga ia baik-baik saja”

Cia Bok mendengus, katanya kepada Tong Wi-hong dengan sisnis, “Aku tidak bertanya kepadamu. Melihat tampang kutu buku semacammu ini belum-belum aku sudah mual”.

Meskipun Tong Wi-hong bukan seorang penaik darah seperti kakaknya, namun mukanya menjadi panas juga mendengar jawaban Cia Bok itu. Sekuat tenaga ia menahan gejolak perasaannya karena memegang teguh pesan-pesan ayahnya.

Sedangkan Cia Bok masih saja cengar-cengir di depan Wi-lian, sikapnya tidak peduli, meskipun ia tahu ada berpuluh-puluh pasang mata orang-orang di pinggir jalan yang sedang memperhatikan kejadian itu. Kata Cia Bok pula,

“Kalau koh-nio tidak berkeberatan, marilah ku antar koh-nio berjalan-jalan sekeliling An-yang-shia untuk bertamasya. Kakakmu si kutu buku ini biarlah ditemani oleh kedua pengiringku ini untuk minum-minum di warung arak”.

Gadis itu masih berusaha keras menahan kemarahannya, masih dengan sikap ramah ia menolak tawaran itu. Tapi si bangor Cia Bok rupanya pantang mundur,

“Jangan bersikap begitu kepadaku, kau tahu, tidak seorangpun perempuan di An-yang-shia ini bisa menolak ajakanku. Marilah kita bertamasya ke danau, aku punya seorang kenalan yang punya perahu tertututp untuk disewakan. Di situ kita bebas berbuat apa saja. He-he-he...”
Selanjutnya;