Perserikatan Naga Api Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Perserikatan Naga Api Jilid 02

Karya : Stevanus S.P
MULUTNYA berbicara, tangan Cia Bok pun ikut “bicara” dan sudah terulur untuk menyentuh dagu puteri Tong Tian itu. Sebagai puteri sebuah keluarga persilatan yang terkenal dan dihormati orang, betapa pun gadis itu tidak sudi menerima penghinaan sekeji itu.

Kesabarannya yang ditahan-tahan dari tadi kini telah mencapai puncaknya. Ketika tangan Cia Bok hampir menyentuh dagunya, di luar sadarnya Wi-lian mengayunkan tangannya dan menampar muka Cia Bok sekuat tenaga. Tahu-tahu muka sang kong-cu yang tampan itu telah “hangus” sebelah, dari sela- sela bibirnya pun menetes darah.

Orang-orang yang melihat kejadian itu serentak berteriak kaget, bahkan Wi-lian sendiri juga terkejut setelah menyadari apa yang telah dilakukannya. Ia telah menampar putera kesayangan Cia Tay-jin di hadapan mata orang banyak. Ada sepercik penyesalan di hati gadis itu, namun semuanya sudah terlanjur terjadi.

Orang-orang yang ada di tempat itupun segera menyingkir pergi, mereka tahu akan ada kejadian hebat di tempat itu. Anak kesayangan Cia Tay-jin itu tentu tidak terima dipermalukan di depan umum, namun lawannya sebagai puteri Kiang-se-tay-hiap yang terhormat itupun tentu juga tidak akan menyerah dihina mentah-mentah begitu saja.

Segera di tengah jalan itu bagaikan terbentuk sebuah arena yang cukup luas, orang-orang hanya berani menonton dari kejauhan. Cia Bok memang menjadi sangat murka, nanun diam-diam diapun heran setelah mendapat kenyataan bahwa gerakan Tong Wi-lian ternyata demikian cepat dan mantap pula. Cia Bok pernah berkelahi dengan Tong Wi-siang dan hasilnya adalah sama kuat, maka dengan dasar pikiran itu Cia Bok merasa yakin dapat mengungguli adik-adik Tong Wi-siang itu.

Tetapi Cia Bok tidak tahu, bahwa meskipun Tong Wi-siang merupakan anak tertua, kepandaian silatnya justru lebih rendah dari adik-adiknya. Sebabnya ialah karena Wi-siang lebih suka keluyuran bersama teman-temannya, sedang adik-adiknya lebih tekun dalam berlatih di rumah. Sebagai seorang yang biasa disanjung puji di An-yang-shia, Cia Bok menjadi sangat marah oleh kejadian itu. Bentaknya,

“Gadis she Tong tidak tahu diuntung, kau rupanya sedang menjerumuskan seluruh keluargamu sendiri ke jurang kehancuran! Nih rasakan!”

Sambil membentak, Cia Bok pun langsung mengirimkan sebuah jotosan ke muka Tong Wi-lian dengan pukulan Ciong thian-pau (Meriam Menjebol Langit). Sedikitpun ia tidak ingat lagi bahwa yang dihadapinya adalah seorang perempuan muda berumur belasan tahun.

Beberapa orang An-yang-sha terkejut melihat pukulan seganas itu, siapapun tahu bahwa pukulan Cia Bok itu sanggup menghancurkan beberapa lapis papan. Diam-diam para penonton itu menduga bahwa muka Wi-lian yang cantik itu tentu akan ringsek seketika.

Yang terjadi ternyata tidak seperti yang diduga oleh sebagian besar para penonton. Dengan tangkas Tong Wi-lian memiringkan kepalanya sambil mengebaskan tangannya. Kakinya tidak bergeser sedikitpun dari tempat berdirinya, tapi pukulan Cia Bok telah dapat dielakkannya dengan manis.

Terdengar gumaman kagum dari penonton. Sebaliknya Cia Bok kaget bukan main, ketika tangannya tertangkis dan ia merasakan seluruh tenaga pukulannya amblas bagaikan batu besar tercebur ke dalam kubangan lumpur.

Kiranya Tong Wi-lian telah memainkan ilmu silat Hui Soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang), ilmu andalan perguruan Soat-san-pay yang berasas “dengan kelemasan mengatasi kekerasan”. Meskipun gadis itu belum melatihnya sampai tingkat tertinggi, tetapi sudah cukup kalau hanya untuk meladeni jagoan tanggung macam Cia Bok.

Dengan garang Cia Bok menyusulkan lagi sebuah jurus Hek-hou-tiau-kan (Harimau Buas melompat Parit), tapi Wi-lian berhasil menangkisnya sambil berputar ke samping dan menariknya. Tubuh Cia Bok seketika terseret dan terhuyung, dan sebelum ia sempat memperbaiki diri, tendangan Wi-lian telah mendarat di tubuh Cia Bok dengan telaknya. Tak ampun lagi. Cia Bok jatuh terduduk.

Cepat Cia Bok melompat bangun kembali dengan muka merah padam. Teriaknya kepada kedua pengawalnya, “Lau Hok dan Ong Bun, ringkus perempuan siluman ini!”

Kedua pengawal Cia Bok ini pun sejenis manusia yang sudah biasa berbuat sewenang-wenang kepada kaum lemah, apalagi kini hanya menghadapi gadis semungil Tong Wi-lian, maka mereka sangat memandang rendah. Lau Bok langsung menggunakan gaya cakar elang untuk menyerang ke dada gadis itu.

"Anjing-anjing yang menjemukan”, desis Wi-lian dengan kemarahan semakin berkobar. Dengan langkah-langkah seringan kupu-kupu beterbangan, ia berlincahan menyelinap di antara tubuh lawan-lawannya yang besar-besar itu. Terdengar suara gedebak-gedebuk dua kali, dan tahu-tahu kedua lelaki bertubuh besar itu telah jatuh mencium tanah, keadaan mereka jauh lebih konyol dari tuannya.

Para penonton memang sering melihat Lau Hok dan Ong Bun yang galak itu dihajar oleh Tong Wi-siang, tetapi itu tidak rnengherankan sebab Wi-siang adalah seorang lelaki yang bertubuh kekar pula. Tapi alangkah janggalnya kini melihat kedua tukang pukul Cia Bok yang garang-garang dan kuat-kuat itu kini dihajar oleh seorang gadis tujuh belas tahun! Beberapa orang penonton terpaksa menekap mulutnya erat-erat, karena kuatir suara tertawa mereka terdengar oleh orang lain.

Begitu melompat bangkit kembali, Lau Hok tanpa malu-malu lagi menarik keluar golok yang tergantung di pinggangnya. Sudah bulat tekadnya untuk mencincang gadis itu di hadapan penduduk An-yang-shia, untuk mengembalikan pamor dirinya yang sudah merosot itu. Tetapi ia kalah cepat oleh Cia Bok yang terlebih dulu telah menerjang kembali ke arah Tong Wi-lian dengan serangan bertubi-tubi.

Meskipun hatinya terbakar oleh kemarahan, namun kali ini Cia Bok berkelahi dengan lebih berhati-hati, agar tidak mendapat malu untuk kesekian kalinya. Lau Hok lalu mengalihkan sasarannya pada diri Tong Wi-hong yang masih berdiri di luar arena dengan tenangnya. Dalam anggapan Lau Hok, manusia kutu buku macam Tong Wi-hong pasti akan dapat dibereskannya dalam waktu singkat.

Tak terduga, sebelum Lau Hok menantangnya, malah Tong Wi-hong yang lebih dulu menantangnya, “Biarkan kong-cu bangormu itu dhajar oleh adikku. Dua ekor kerbau macam kalian ini biarlah menjadi bagianku saja”.

Agaknya putera kedua Tong Tian ini sudah lupa pesan ayahnya untuk tidak mencari perkara kepada pihak Cia To-bun. Tong Wi-hong merasa bahwa Cia Bok sudah keterlaluan dalam menghina adiknya, sehingga perlu dihajar.

“Rasakan golokku!” teriak Lau Hok sambil membacokkan goloknya kearah kepala Wi-hong. Gerakannya membawa desingan kuat menandakan orang ini memang bertenaga besar. Sayang bacokan yang demikian mengerikan itu tidak mengenai apapun, kecuali mengenai tanah bekas tempat berdiri Tong Wi-hong beberapa detik yang lalu.

Dan sebelum Lau Hok memperbaiki keadaan dirinya, Wi-hong telah menggerakkan kedua tangannya secara serentak, tangan kiri menghantam pergelangan tangan Lau Hok yang memegang golok dan tangan kanan menghantam pelipis. Tangan Wi-hong memang kelihatan halus dan tidak begitu berotot, namun begitu mengenai pelipis Lau Hok, maka sekali lagi si tukang kepruk itu harus mencium tanah!

Tukang pukul yang satunya lagi, Ong Bun, tenaganya tidak sehebat rekannya, tapi Ong Bun lebih licik. Ia pun telah menghunus goloknya dan diam-diam membabat pinggang Tong Wi-hong dari arah belakang. Tapi serangan gelapnya itu dapat ditangkap oleh telinga Wi-hong yang tajam. Cepat Wi-hong menggeser tubuhnya sedikit, dan tanpa menengok ia melakukan gerakan sederhana Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut sambil menendang ke belakang). Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Ong Bun dan memaksa tukang pukul yang licik itu melepaskan senjatanya.

Ong Bun kaget dan bermaksud kabur, tapi langkahnya masih kalah cepat dari tendangan Wi-hong berikutnya yang mendarat di pinggangnya, sehingga Ong Bun terlempar jungkir balik dan menimpa Lau Hok yang sedang berusaha untuk merayap bangun. Maka kedua tukang pukul yang garang itupun merayap-rayap di tanah dengan runyamnya.

Dalam pada itu Cia Bok dan Tong Wi-lian telah bergebrak belasan jurus. Ilmu silat yang dimiliki Cia Bok merupakan ilmu campur aduk, hasil didikan beberapa guru silat yang dibayar oleh ayahnya. Meskipun demikian, tidak gampang bagi Wi-lian untuk mengalahkannya, sebab Cia Bok cukup tangkas dan bertenaga besar pula. Jika tadi Wi-lian berhasil menampar Cia Bok, itu hanya karena Cia Bok tidak siap akan mendapat perlakuan seperti itu.

Kini setelah Cia Bok bertarung dengan hati-hati dan cermat, maka keunggulan Wi-lian tidak begitu mencolok lagi. Setelah bertempur sekian lama, timbullah niat Cia Bok untuk mencoba sebuah ilmu baru yang didapatnya dari Te-yong Tojin. Ilmu ciptaan Te-yong Tojin sendiri itu diberi nama Tok-jan-jiu (Tangan Ulat Berbisa), sebuah ilmu beracun yang dapat digolongkan ke dalam ilmu sesat.

Gara-gara ilmu beracunnya yang telah meminta korban orang-orang tidak berdosa inilah maka Te-yong Tojin telah dipecat dengan tidak hormat dari Bu-tong-pay yang dikenal sebagai perguruan kaum lurus.

Begitu Cia Bok mengeluarkan ilmu Tok-jan-jiunya, maka telapak tangannya pun perlahan-lahan berubah warna, makin lama makin biru kepucat-pucatan, dan kini sambaran angin pukulannya membawa bau yang pahit asam. Itulah ciri khas ilmu pukulan beracun itu.

Tong Wi-lan sadar bahwa pertempuran mulai memasuki tahap yang berbahaya, kini pukulan Cia Bok buka cuma dapat mematahkan tulang tapi juga dapat meracuni tubuh lawannya. Kini Wi-lian semakin berhati-hati dan tidak mau sembarangan beradu tangan dengan Cia Bok. Untunglah bahwa gadis itu lebih lincah dari lawannya, sedang ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciangnya pun merupakan ilmu silat yang tidak kalah ampuhnya dari Tok-jan-jiu. Karena itu masih sulit ditentukan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.

Makin lama Cia Bok makin ganas. Suatu ketika ia membentak keras dan melancarkan sebuah serangan serempak dengan kedua tangannya. Yang satu mencengkeram ke arah tenggorokan, yang lainnya mencengkeram ke arah ulu hati.

Mendapat serangan seganas itu, Tong Wi-lian pun menjadi marah, katanya dingin, “Kau rupanya menghendaki nyawaku, baiklah, aku pun tidak akan sungkan-sungkan lagi padamu!”

Cepat gadis itu bergeser sambil mengebaskan lengan bajunya sehingga tangan Cia Bok “terseret” ke samping, lalu Wi-lian balas menghantam ke tulang pundak Cia Bok dengan sebuah pukulan Hui-soat-sin-ciang.

Agaknya Cia Bok sangat yakin akan keampuhan jurusnya itu, sehingga dalam penyerangannya itu ia sama sekali tidak mempeersiapkan diri untuk menerima serangan balasan lawannya. Pikirnya, lawan tidak mungkin lolos lagi dari jurus maut itupun. Maka alangkah terkejutnya Cia Bok ketika lawannya bukan saja berhasil mengelak bahkan melancarkan serangan balasan yang hebat pula, hantaman Wi-lian tepat mengenai sasarannya.

Terdengar suara berderak perlahan seperti suara kayu patah, lengan kanan Cia Bok segera terkulai patah. Mata Cia Bok kini memancarkan dendam kesumat yang luar biasa, namun mukanya justru memucat dan berkeringat dingin karena menahan perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi.

Sesaat Cia Bok berdiri menggertak gigi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba ia melompat mundur dan kabur pulang ke rumahnya, dua orang tukang pukulnya yang masih merayap-rayap di tengah jalan itu tidak digubrisnya sama sekali.

Orang-orang yang menonton kejadian itu mulai ribut memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menyatakan kegembiraannya, “Pantas sekali anak Cia To-bun itu menerima ganjarannya. Si mata keranjang itu dengan mengandalkan kedudukan ayahnya telah mengganggu rumah tangga keponakan perempuanku, sehingga keluarga yang berbahagia itu kini telah berantakan”

Orang lainnya menanggapi, “Kukira dulu hanya si bandel Tong Wi-siang itu saja yang dapat menandingi Cia Bok. Siapa kira adik-adik Tong Wi-siang malah lebih hebat dari kakaknya”.

Nama Tong Wi-siang dan Cia Bok merupakan dua nama yang sama-sama tidak disukai oleh orang-orang An-yang-shia, karena masing-masing merupakan pemimpin gerombolan anak-anak muda yang bersaingan dan sering membuat kerusuhan. Namun betapapun orang-orang An-yang-shia masih lebih membenci kepada Cia Bok, sebab tidak sedikit perempuan-perempuan kota An-yang-shia yang telah dihancurkan nama baiknya atau masa depannya.

Sedang perbuatan Tong Wi-siang masih belum sejauh itu, kenakalan-kenakalannya hanya terbatas seperti makan tidak membayar, berjudi, berkelahi, meskipun pembunuhan yang baru saja dilakukannya itu cukup menggemparkan.

Sementara itu Tong Wi-hong telah menegur adik perempuannya, “A-lian, kau turun tangan terlalu berat. Aku setuju bahwa si bangor itu harus dihajar, tapi seharusnya cukup hajaran ringan saja dan jangan sampai cacat seumur hidupnya”.

Wi-lian sadar bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan akibat yang hebat. Sesaat ia termangu-mangu tak mampu menjawab teguran kakaknya, tapi akhirnya ia menyahut juga, “Akupun menyesal sekali telah terseret arus kemarahanku. Aku lupa diri karena dia menyerangku dengan sangat ganas. Tetapi aku tidak akan menyusahkan ayah, sekarang juga aku akan menemui Cia Tay-jin untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku ini”.

Melihat penyesalan adiknya itu, Wi-hong tidak tega untuk memarahinya lagi. Cepat dipegangnya tangan adiknya, lalu katanya, “Sudahlah, jangan melakukan tindakan yang tergesa-gesa. Ayah Cia Bok memang sedang mencari-cari alasan untuk mengenyahkan kita, biarpun kau ingin bertanggung-jawab sendiri juga sulit. Lebih baik kita pulang dulu dan merundingkan semua tindakan kita dengan ayah dan ibu”.

Gadis itu akhirnya menurut bujukan kakaknya. Kedua kakak beradik itu segera membatalkan niatnya untuk berbelanja dan melihat-lihat An-yang-shia. Dengan bergegas mereka melangkah pulang ke rumah mereka yang terletak diluar kota kecil itu. Sepanjang perjalanan pulang, kepala Tong Wi-lan tertunduk terus-menerus, perasaan menyesal masih saja menggayut dalam hatinya.

Ia sadar bahwa dengan terlukanya Cia Bok, apalagi luka berat yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup, maka kedudukan keluarga Tong akan semakin dipersulit. Bukan saja karena Cia To-bun kini punya dua orang jago silat andalan, tapi juga karena Cia To-bun punya hubungan yang akrab dengan Cong-tok (Panglima Daerah) untuk wilayah Kiang-se.

Ketika mereka tiba di rumah, mereka menjumpai ayah mereka sedang berada di halaman sambil mengamat-amati beberapa pohon bunga kesayangannya. Pendekar ini jadi tercengang ketika melihat kedua anaknya pulang dengan muka murung. Segera Tong Tian menduga adanya sesuatu yang tidak beres.

“He, masakan kalian begitu cepat pulang?” tanyanya dengan pandangan menyelidik.

Wi-lian tergagap dan menundukkan kepalanya, ia tidak dapat segera menjawab pertanyaan ayahnya itu. Tong Wi-hong ikut-ikutan jadi gugup pula, namun akhirnya dia menyahut juga,

“Ayah, kami minta maaf karena telah melupakan pesan ayah. Di kota kami bertemu dengan putera Cia Tay-jin dan dua orang pengiringnya yang berusaha mengganggu A-lian. Kami sudah sekuat tenaga menahan diri dan menghindari keributan, tapi akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi, dan A-lian.... telah.... telah melukai putera Cia Tay-jin itu.”

Air muka Tong Tian seketika menunjukkan kerut luar biasa ketika mendengar laporan itu, namun akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan mencoba menenangkan debaran hatinya. Tanyanya kepada anak gadisnya, “Benarkah A-lian?”

Dengan kepala tetap tertunduk Wi-lian menjawab, “Benar ayah,. Cia Bok bermaksud menghinaku dan mempermalukan aku di hadapan orang banyak, aku terpaksa membela diri. Dan karena ia menggunakan ilmu pukulan berbisanya, aku mengimbanginya dengan Hui-soat-sin-ciang.”

Tong Tian tidak sampai hati memarahi kedua anaknya itu tidak gampang marah. Jika sampai anak gadisnya itu memukul orang, tentu orang itulah yang keterlaluan. Apalagi Tong Tian telah mendengar pula bagaimana sifat Cia Bok itu, terutama jika berurusan dengan wanita. Yang disesalkan Tong Tian hanyalah kenapa tadi ia tidak melarang saja kepergian anak-anaknya itu, agar tidak terjadi peristiwa seperti ini?

Tiba-tiba pendekar tua itu berkata sambil menarik napas, “Baiklah, sekarang juga aku akan menemui Cia To-bun. Aku akan meminta maaf lebih dulu meskipun bukan kita yang memulai perselisihan. Berurusan dengan orang semacam dia memang tidak mudah, tapi semoga semuanya berjalan dengan baik.”

Tong Wi-hong dan adiknya menjadi cemas mendengar niat ayahnya itu. Kata Wi-lian, “Tetapi itu sangat berbahaya buat ayah, ia dapat saja memutar-balikkan kenyataan untuk mencari-cari alasan. Ayah, akulah yang bersalah, ijinkanlah aku yang menemui Cia To-bun untuk menjelaskan kejadian ini."

“Tidak,” sahut ayahnya tegas. “Jika ia memang ingin menyingkirkan kita, apapun alasan kita tentu akan ditolaknya, kau atau aku yang datang ke sana juga tetap sama saja. Tetapi jika aku sendiri datang ke sana, barangkali ia masih memberi muka kepadaku.”

“Tetapi tindakan ayah itu sangat berbahaya bagi ayah sendiri,” kata Wi-hong. “Di rumahnya, saat ini Cia To-bun punya dua orang jago andalan yang tangguh. Ayah ajaklah kami.”

“Tidak,” sekali lagi sang ayah menjawab dengan tegas. “Aku akan pergi ke sana sendiri. Bahkan akupun tidak akan membawa pedang, untuk menunjukkan maksud baikku ingin menyelesaikan persoalan secara damai. Andaikata orang she Cia itu masih ngotot tidak ingin damai, hem, apa boleh buat, kukira tulang-tulangku ini masih cukup keras untuk melayani mereka.”

“Ayah,” seru Wi-hong dan Wi-lian serempak.

“Sudahlah, aku punya perhitungan sendiri dan tidak bertindak membabi-buta. Ingat pesanku, jangan mengejutkan ibumu dan jangan melangkah keluar dari pintu rumah ini selama aku belum pulang.”

Kedua anaknya itupun akhirnya menyerah. Mereka tahu bahwa ayah mereka masih memiliki sifat-sifat yang keras mirip orang-orang muda, meskipun usianya sudah setengah abad. Sekali ayah mereka mengambil keputusan, siapapun jangan harap bisa merubahnya. Akhirnya kedua anak itu cuma berpesan, “Harap ayah berhati-hati.”

Wajah Tong Tian yang keras itu kini menjadi lunak dan lembut, katanya sambil menepuk bahu kedua anaknya, “Nah, sekarang masuklah kalian. Jangan melanggar pesanku.”

Lalu dengan langkah-langkah yang mantap dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, pendekar terkenal itu melangkah menuju An-yang-shia. Sendiri dan tidak bersenjata. Wi-hong dan Wi-lian menatap langkah-langkah ayahnya itu dengan macam-macam perasaan yang bercampur-aduk. Sering mereka mengantar ayah mereka ketika hendak melakukan perjalanan yang sangat jauh.

Tetapi belum pernah mereka merasakan perasaan semacam itu. Meskipun An-yang- shia hanya beberapa ratus langkah jaraknya dari rumah, namun mereka merasa seolah-olah ayah mereka sedang menempuh sebuah perjalanan yang jauh tanpa ujung.

Sedangkan Tong Tian sendiri melangkah dengan tenangnya. Tetapi ternyata hatinya tidak setenang wajah dan langkahnya. Tong Tian mengerti bahwa urusan yang dihadapinya itu bukan urusan enteng, bahkan menyangkut keselamatan seluruh keluarganya.

Ketika langkahnya berbelok di kaki bukit cemara, Tong Tian sempat menengok ke arah rumahnya. Pucuk-pucuk cemara di tepi danau Po-yang-ou masih tetap melambai- lambai dengan lembutnya, desirnya yang merdu adalah bunyi-bunyian alam yang tidak terkatakan indahnya. Tapi masihkah hari esok seindah hari ini?

* * * * * * *

Tong Tian menghentikan langkahnya di depan sebuah gedung besar dan megah yang letaknya tepat di tengah-tengah kota An-yang-shia. Ia menengadahkan mukanya ke langit, dilihatnya matahari sedang berada tepat di tengah-tengah angkasa.

Dua orang prajurit yang menjaga pintu rumah Cia To-bun itu menjadi tegang ketika melihat Tong Tian mendekat ke arah mereka. Meeka cukup mengenal kebesaran nama dan keperkasaan Kiang-se-tay-hiap, dan prajurit-prajurit itu merasa bahwa nasib mereka sangat buruk.

Pikir prajurit-prajurit itu, “Jangan-jangan orang she Tong ini hendak mengamuk, sebab tadi pagi anak gadisnya telah dihina oleh Cia kong-cu? Jika dia benar-benar datang untuk menuntut balas, celakalah kami berdua ini, sebab kami akan menjadi korban pertamanya.”

Namun ternyata Tong Tian menyapa dengan ramah dan suaranya tidak mengandung nada permusuhan sama sekali, “Dapatkah aku minta pertolongan saudara-saudara?”

“Oh, kiranya Tong Tay-hiap yang datang. Apakah Tay-hiap punya keperluan penting?”

“Betul, aku mohon kepada saudara untuk menyampaikan kepada Cia Tay-jin bahwa aku orang she Tong mohon menghadap beliau.”

“Kalau begitu silahkan Tay-hiap menunggu sebentar, biar aku laporkan ke dalam,” sahut seorang prajurit, lalu ia menyelinap kedalam pintu.

Agak lama Tong Tian menunggu di luar, dan bahkan masih sempat bercakap-cakap dengan prajurit penjaga yang satu lagi. Dan selama menunggu itulah Tong Tian mendengar suara kesibukan luar biasa di balik tembok yang mengelilingi gedung itu, bahkan sayup-sayup terdengar pula suara gemerincingnya senjata. Diam-diam Tong Tian menjadi curiga, tetapi wajahnya tetap menampilkan ketenangan yang luar biasa.

Tidak lama kemudian, prajurit yang melapor ke dalam tadi telah keluar kembali dan mempersilahkan Tong Tian untuk masuk, bahkan prajurit itu membukakan pintu gerbang pula. Tong Tian mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Hatinya berdesir ketika melihat puluhan orang anak buah Cia To-bun telah bersiap di balik tembok itu dengan senjata di tangan. Selain para tukang pukul itu nampak pula belasan prajurit bersenjata tombak.

Tong Tian hanya tertawa dingin melihat persiapan itu, katanya kepada prajurit yang mengantarnya, “Alangkah hangatnya sambutan buat aku.”

Tiba-tiba terdengar suara berderak di belakangnya. Ketika Tong Tian menoleh, maka tampaklah pintu gerbang yang tebal itu telah tertutup dan palang pintunya pun telah dipasang. Melihat itu semua Tong Tian diam-diam mulai mengeluh dalam hatinya. Bukan karena gentar menghadapi orang- orang itu, tapi karena ia merasa jalan damai yang diinginkannya agaknya akan sangat sulit terlaksana.

Tapi manusia yang bergelar Kiang-se-tay-hiap itu pantang mundur, di bawah sorot mata kebencian dari sekian puluh orang bersenjata, Tong Tian tetap tenang dan sehelai rambutnya pun tidak bergetar. Prajurit itu mengantarkan Tong Tian samapi ke ruang dalam. Di ruangan itu Cia To-bun telah duduk menunggu dengan sikapnya yang angkuh, dan dia diapit oleh dua orang tokoh silat yang baru saja dapat di”beli”nya.

Di sebelah kirinya adalah seorang imam berjubah hijau tua, bertubuh kurus dan berjenggot kambing, tapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang berkilat-kilat mengerikan. Tangannya memegang sebuah hud-tim (kebut pertapaan) yang senantiasa digerak-gerakkannya. Sebelah kanannya adalah seorang lelaki setengah umur yang bertubuh tegap, bermuka buas, baju pendeknya terbuat dari kulit binatang. Lelaki itu bersenjata sebatang pedang pendek yang diselipkan pada ikat pinggangnya.

Cia To-bun sama sekali tidak berdiri dari tempat duduknya ketika melihat kedatangan Tong Tian. Katanya sambil tertawa besar, “Ha-ha-ha, selamat datang Kiang-se-tay-hiap yang perkasa. Silahkan duduk, semoga sambutanku tidak mengecewakan.”

Sementara Cia To-bun telah berkata lagi, “Aku sudah dapat menebak, tentu kedatangan Tay-hiap ini ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi itu. Betul bukan? Tay-hiap, puteraku itu memang nakal sekali, tapi tidak sepantasnya puterimu menurunkan tangan begitu kejam sehingga membuatnya cacat seumur hidup tanpa bisa diobati lagi.”

Lalu katanya kepada kedua guru silat yang duduk di kiri kanannya, “Melukai Cia Bok bukan saja sama denagn tidak menghargai ayahnya, tapi juga menantang kepada guru-guru yang mendidiknya. Bukan begitu, Ji-wi- kau-su (anda berdua guru silat)?”

Si imam jubah hijau hanya mendengus dengan congkak. Sedang si lelaki berbaju pendek itu menggeram dan matanya menatap Tong Tian dengan mata berapi-api penuh dendam. Tong Tian masih tetap tenang menghadapi perkembangan yang di luar kemauannya itu. Sahutnya kalem,

“Tepat sekali dugaan Tay-jin, kedatanganku memang ada hubungannya dengan peristiwa tadi pagi itu. Aku ingin agar kita bersama-sama menyelidiki siapa yang benar dan siapa yang salah, sehingga penyelesaiannya pun akan cukup adil.”

Diam-diam Cia To-bun menjadi tersinggung melihat Tong Tian tidak tampak menghadapi pihaknya yang siap dengan puluhan orang bersnjata itu. Ia akan gembira sekali jika melihat Tong Tian yang dibencinya itu menjadi gemetar ketakutan dan kemudian meratap-ratap mohon ampun, tapi ternyata sikap Tong Tian begitu tenang, jauh dari yang diharapkannya.

Di dalam hatinya, Cia To-bun sudah bertekad untuk menolak semua jalan damai. Sudah lama ia memendam keinginan untuk melenyapkan Tong Tian. Dan sekaranglah kesempatannta. Tidak perduli berapapun korbannya, Tong Tian harus mampus hari ini juga. Meskipun hatinya geram, Cia To-bun tetap memperlihatkan senyumnya. Katanya,

“Baiklah, kita akan menyelesaikan soal itu. Oh, ya, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kuperkenalkan Tay-hiap kepada kedua orang kau-su ini. To tiang (Bapak Imam) ini adalah Te-yong To-jin yang dulu menjadi murid Bu-tong-pay, tapi kemudian meninggalkan perguruan itu untuk mendirikan aliran sendiri. Sedang yang ini adalah orang gagah dari Thay-san, bernama Tio Khing dan bergelar Thi-jiau-long (Serigala Bergigi Besi).”

Memang Tong Tian sudah mendengar berita bahwa Cia To-bun kini punya dua orang jago andalan yang tangguh. Meskipun Tong Tian memandang rendah kepada watak dua jagoan yang sudi menjilat kepada Cia To-bun itu, namun Tong Tian tidak berani memandang rendah kepandaian kedua orang tokoh itu, apalagi jika mereka maju bersama-sama. Dan menilik sikap Tio Khing yang seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup, Tong Tian menduga bahwa jagoan dar Thay-san itu tentu sudah tahu siapa yang membunuh Thay-san-sam-long.

Dengan dingin saja Tong Tian mengangggukkan kepala kepada keua guru silat itu, sambil berkata, “Oh, kiranya Te-yong-Tojin dan Tio Eng-hiong yang terkenal. Selamat bertemu.”

Cia To-bun yang merasa menang di atas angin itu mulai memojokkan orang yang dibencinya itu, “Tong Tay-hiap, mungkin kedatanganmu ini hendak memintakan maaf atas kesalahan puterimu itu. Maaf jika dugaanku meleset, tapi cepatlah kau katakan maksud kedatanganmu.”

Dengan diapit dua orang tokoh seperti Te-yong Tojin dan Tio Khing, maka Cia To-bun merasa tidak perlu gentar lagi kepada Tong Tian. Bicaranya pun tidak sungkan-sungkan lagi, bahkan seperti sengaja memancing kemarahan Tong Tian, agar ia dapat segera menyuruh anak buahnya untuk menghabisi pendekar itu.

Dasar Tong Tian sendiri juga seorang yang berwatak keras dan tidak sudi dihina oleh siapa pun. Dari rumahnya ia berangkat dengan tekad untuk menyelesaikan urusan secara damai, kalau perlu sedikit mengorbankan harga dirinya, tapi kini niatnya itu sudah berbalik seratus delapanpuluh derajat.

Melihat sikap Cia To-bun dan orang-orangnya yang sangat memojokkan, meluaplah darah Tong Tian. Apakah artinya sebuah penyelesaian damai apabila untuk seterusnya harga diri keluarga Tong diinjak-injak semaunya oleh Cia To-bun? Bukankah pada saat itu Cia To-bun telah menganggapnya sebagai seorang pengemis yang sedang merendahkan tangan, mengemis belas kasihan?

Maka senyuman Tong Tian lenyap dari wajahnya, dengan suara dingin dia menyahut, “Agaknya Cia Tay-jin telah salah paham. Kedatanganku memang untuk memberitahu bahwa puterikulah yang melukai puteracTay-jin, namun tindakan puteriku itu sama sekali tidak dapat disalahkan, sebab putera Tay-jin lebih dulu mengganggunya. Putera Tay-jin memang terkenal mata keranjang, andaikata bukan anakku yang menghajarnya, tentu kelak ada orang lain yang menghajarnya. Kesewenang-wenangan mana bisa bertahan terus?”

Bagaikan ada halilintar meledak di pinggir kupingnya, ketika Cia To-bun mendengar jawaban Tong Tian yang setajam itu. Tadinya ia menyangka Tong Tian akan merendah-rendah dan meminta-minta maaf, dan itu akan digunakan untuk menghinanya habis-habisan. Namun tidak diduganya jago tua itu seorang yang berdarah panas, meskipun usianya sudah setengah abad.

Sesaat lamanya mulut Cia To-bun bagaikan terkancing karena marahnya. Matanya yang kecil seperti mata babi itu dibelalakkan ke arah Tong Tian, namun ketika Tong Tian balas menatapnya, maka buru-buru Cia To-bun membuang muka. Ia tidak tahan menghadapi sinar mata Tong Tian yang bagaikan harimau marah itu.

Di saat suasana makin memanas, terdengarlah suara Te-yong Tojin dengan nada yang rendah, “Tong Tay-hiap, sebagai sesama orang persilatan, aku akan bicara padamu secara blak-blakan saja. Ada pepatah mengatakan, hendak memukul anjing pun harus memberi muka kepada pemiliknya. Mengenai terlukanya muridku ku akui ketidak-becusanku dalam mendidiknya dalam ilmu silat. Tapi harus diingat bahwa dia punya guru, dan ayahnya pun seorang pejabat yang dihormati di kota ini. Jelas puterimu yang bersalah. Seharusnya Tay-hiap menyeret puterimu ke sini untuk menerima hukuman, bukan Tay-hiap sendiri yang datang ke sini dengan lagak seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi Tay-hiap!”

Pertama-tama Te-yong Tojin bicara denga kalem supaya kelihatan anggun, namun kian lama nada ucapannya kian keras sehingga nampaklah sifat aslinya yang kasar dan ingin menang sendiri.

Tong Tian tertawa mengejek, “Aku tidak menduga bahwa Totiang masih punya muka untuk bicara sebagai sesama orang persilatan segala. Baiklah, aku pun akan bicara secara terbuka. Aku pun tadinya bermaksud menyelesaikan masalah ini secara damai, bahkan kalian lihat, aku tidak membawa sepotong senjata pun. Tetapi setelah melihat sikap kalian, aku memutuskan tidak sudi mengalah. Apa artinya perdamaian jika harus ditukar dengan harga diri marga Tong kami, bahkan dpat pula mencoreng kebesaran leluhur kami!”

Sementara itu, Cia To-bun yang merasa punya dua orang pembela yang tangguh, menunjukkan kembali kegarangannya, “Persetan dengan nama baik dan kebesaran leluhur kalian! Tetapi perbuatan puterimu ynag menghina puteraku di tengah jalan itu adalah sama dengan mencoreng-corengkan arang ke mukaku di hadapan seluruh orang An-yang-shia!”

“Jika begitu, mari kita tanyai seluruh orang di An-yang-shia dan biarkan mereka menjawab dengan jujur. Siapakah yang sebenarnya hendak menghina? Anakmu atau anakku? Jika anakku ternyata bersalah, maka dengan tanganku sendiri akan kuhukum dia!” potong Tong Tian denga wajah mulai memerah.

“Tidak perlu kita lakukan perbuatan yang bertele-tele itu!” teriak Cia To-bun. “Aku adalah penguasa tertinggi di tempat ini, siapapun tidak dapat membantah perintahku. Aku tidak peduli alasan apapun yang kau ajukan, pokoknya penghinaan ini harus dihapuskan. Tong Tian, atas nama Kaisar, sekarang juga kuperintahkan kau untuk menyeret anak perempuanmu ke sini!”

“Setelah itu, apa hukuman yang akan Tay-jin jatuhkan?” tanya Tong Tian dengan menahan luapan amarah.

Sahut Cia To-bun, “Mudah saja. Buatlah pernyataan minta maaf secara terbuka di hadapan umum. Lalu anakmu harus diarak keliling kota, untuk memberi contoh kepada seluruh masyarakat bagaimana akibatnya orang yang berani melawan kekuasaanku!”

Terdengar suara berderak keras ketika ujung meja hancur dihantam oleh tangan Tong Tian. Kata pendekar itu, “Minta maaf meskipun tidak bersalah, itu adalah soal kecil. Tapi seorang anak perempuan jika harus diarak keliling kota, itu benar-benar hukuman yang jauh lebih hebat daripada hukuman mati. Hem, seorang penjahat besar pun belum ada yang diperlakukan sekeji itu. Cia Tay-jin, agaknya syaratmu ini memang sengaja kau bikin sangat berat supaya aku tidak dapat memenuhinya dan kau punya alasan untuk menangkapku bukan?”

Merahlah muka Cia To-bun karena isi hatinya kena ditebak dengan tepat. Pikirnya, toh tidak ada gunanya berliku-liku lagi, maka ia berkata tanpa tedeng aling-aling lagi, “Keluarga Tong memang semuanya adalah pelanggar undang-undang Kerajaan. Lihat saja anakmu yang tertua, ia bahkan berani membunuh seorang pejabat urusan hukum yang datang dari ibukota! Demi keamanan negara, terpaksa kau kutangkap!”

Hal itu memang sudah dalam dugaan Tong Tian. Ia tahu bahwa biarpun dirinya akan merendahkan diri sampai rata dengan tanah, Cia To-bun tetap akan menindaknya dengan alasan yang dibuat-buat. Kata Tong Tian tegas, “Hemm, andaikata Tay-jin berkata begini sedari tadi, tentu kita tidak perlu membuang waktu untuk berdebat kusir. Sekarang, sialhkan kalian turun tangan.”

Tio Khing, meskipun dari tadi belum pernah bicara sepatah katapun, namun sebenarnya sudah getol ingin membunuh Tong Tian untuk membalaskan kematian tiga orang anaknya. Maka begitu mendengar tantangan Tong Tian, serentak ia menghunus pedang pendeknya dan berteriak penuh dendam,

“Orang she Tong! Hari ini adalah hari kematianmu!” Begitu berteriak, begitu pula Tio Khing menerjang Tong Tian dengan jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit), pedang pendeknya secepat kilat membabat ke arah lambung Tong Tian.

Tetapi tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap, meskipun saat itu ia masih dalam keadaan duduk, namun ia senantiasa mampu bergerak cepat untuk membela dirinya. Atas serangan Tio Khing itu, Tong Tian tidak menjauhinya melainkan justru menyongsongnya sambil megelak sabetan pedang lawan. Dua jari tangan kanannya menusuk mata Tio Khing dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mustika), dibarengi dengan hantaman telapak tangan kiri ke rusuk Tio Khing dengan jurus Pay-san-to-hay (Memindahkan Gunung ke Lautan).

Perguruan Soat-san-pay memang bukan sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu, melainkan ilmu pedangnya, namun demikian tidak berarti perguruan itu tidak punya ilmu silat tangan kosong yang berarti. Yang digunakan Tong Tian itu adalah ilmu tangan kosong Soat-san-pay yang bernama Hui-soat-sin-ciang yang mengutamakan asas “Kecepatan mengatasi kekuatan, bergerak mendahului lawan”. Maka serangan balasan Tong Tian yang mendadak dan diluar dugaan itu tentu saja membuat Tio Khing kelabakan dan dipaksa untuk melompat mundur.

Di saat Tio Khing kelabakan, mendadak sesosok bayangan hijau meluncur ke tengah gelanggang, ternyat Te-yong Tojin telah gatal tangan dan menerjunkan diri. Hud-timnya yang lemas itu tiba-tiba mengumpul dan mengeras seperti tombak dan ditikamkan ke tenggorokan Tong Tian. Sedang tangan kirinya ikut menggempur dengan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang dibanggakannya, sehingga terciumlah bau asam-asam pahit menyertai desir serangannya.

Tong Tian insyaf bahwa Te-yong Tojin lebih tangguh dari Tio Khing, apalagi karena Tong Tian tidak bersenjata. Ia tidak berani menangkis pukulan lawan, melainkan mengelak ke samping sambil mencoba membabat urat nadi pergelangan tangan lawannya. Cepat Te-yong Tojin pun merubah serangannya yang gagal.

Telapak tangan kiri dirubah menjadi cengkeraman untuk balas mencengkeram urat nadi Tong Tian, sementara hud-timnya telah berubah menjadi lemas kembali dan digunakan sebagi cambuk untuk menghantam jalan darah tan-yang-hiat lawan. Masih belum puas, imam itu susulkan pula sebuah tendangan Lian-hoan-tui, tendangan khas perguruan Bu-tong-pay.

Begitulah lihainya imam pelarian dari Bu-tong-pay itu. Dari keadaan terserang ia bisa berbalik menjadi penyerang, bahkan serentak dengan tiga buah serangan maut. Te-yong Tojin sudah memastikan dalam hatinya bahwa Tong Tian pasti akan runtuh kali ini, dan namanya sendiri akan menjadi terkenal karena berhasil mengalahkan Kiang-se-tay-hiap.

Tapi agaknya imam sesat itu salah menilai kekuatan lawannya. Tangannya memang berhasil mencengkeram pergelangan tanga Tong Tian, namun ia hanya merasa mencengkeram segumpal kapuk yang lunak dan ulet sekali. Betapapun ia mengerahkan tenaga, hasilnya seperti sebongkah batu besar yang dibuang ke dalam rawa lumpur, amblas tanpa bekas.

Sedangkan tendangan Lian-hoan-tui nya juga membentur sesuatu yang tak terduga. Rupanya Tong Tian telah “memasang” sikunya untuk menyambut telapak kaki si imam dan tepat mengenai urat yong-coan-hiat di tengah telapak kaki. Sedang sabetan hud-tim si imam dapat dihindarinya denga gerak Hong-hong- tiam-tau (Burung Hong mengangguk).

Di saat Te-yong Tojin masih dalam keadaan terkejut, Tong Tian telah membalikkan telapak tangannyadan balas mencengkeram lawan. Cepat imam itu melompat mundur sambil menarik tangannya, tapi tak urung ujung lengan jubahnya tercengkeram hancru oleh Tong Tian. Insyaflah kini imam itu akan kelihaian Kiang-se-tay-hiap.

Baik Te-yong Tojin maupun Tio Khing kini sudah insyaf bahwa To Tian lebih unggul dari mereka seorang-seorang, maka untuk mengalahkannya harus maju serentak. Maka tanpa malu-malu lagi Te-yong Tojin berseru kepada rekannya itu,

“Saudara Tio, menghadapi penghianat negara ini lebih baik kita tidak berpegang kepada aturan Bu Lim (Rimba Persilatan) segala. Hayo kita maju serentak untuk mempercepat penyelesaian!”

Tong Tian tertawa dingin melihat lagak kedua orang itu, ejeknya sinis, “Jika takut maju sendirian, boleh maju berdua. Bahkan kalau perlu orang-orang yang sudah kalian siapkan di luar itupun suruhlah keluar sekalian.”

Memang saat itu belasan orang anak buah Cia To-bun sudah menyerbu masuk ke ruangan tengah itu dengan senjata-senjata terhunus. Mereka terdiri dari tukang-tukang pukul bayaran maupun prajurit-prajurit berseragam. Tiba-tiba seorang prajurit bersenjata pedang menyerbu Tong Tian mendahului kawan-kawannya, namun begitu dekat dengan Tong Tian maka prajurit itu berbisik ke telinga Tong Tian, “Tay-hiap, cepat kau rebut pedangku.”

Tong Tian memang seorang tokoh yang dihormati di An-yang-shia, bukan karena kedudukannya atau karena ilmu silatnya yang tinggi, melainkan karena kepribadiannya dan sifat suka menolongnya. Banyak orang di An-yang-shia yang telah menerima kebaikannya, dan prajurit itu adalah salah seorang diantaranya. Kini prajurit itu ingin membalas budi. Ketika melihat Tong Tian tidak bersenjata, maka ia pura-pura menyerang, padahal maksud sebenarnya adalah ingin menyerahkan pedangnya kepada pendekar yang sangat dihormatinya itu.

Tong Tian memahami maksud prajurit itu. Dengan sebuah gerakan ringan ia telah membuat prajurit itu roboh terbanting dan “merampas” pedangnya. Kini, dengan sebatang pedang ada di tangannya, pendekar Kiang-se itu ibarat seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Tapi ia merasa ruangan tengah itu terlalu sempit untuk bertempur menggunakan pedang. Secepat kilat ia melompat lurus ke atas dengan gerakan Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit), dan dengan tangan kirinya ia menghantam atap ruangan itu dengan segenap tenaganya.

Atap yang terkena pukulan Tong Tian itu bagaikan meledak dan menimbulkan sebuah lobang besar, lalu selincah burung walet Tong Tian menerobos keluar lewat lobang itu. Sekejap kemudian pendekar itu sudah “hinggap” di halaman depan rumah Cia To-bun yang luas. Di halaman depan itu pun sudah menanti puluhan orang anak buah Cia To-bun. Begitu melihat Tong Tian keluar, para tukang pukul itu serentak menyerbu bagaikan anjing-anjing penjaga yang setia.

Sebenarnya Tong Tian merasa sayang jika harus membunuh orang- orang yang tidak bersalah dan hanya merupakan alat-alat Cia To-bun, tapi karena nyawa Tong Tian sendiri terancam, apa boleh buat, terpaksa ia harus merobohkan beberapa orang yang terlalu bernafsu ingin membunuhnya. Beberapa orang terdepan segera tumbang ke tanah dengan bermandikan darah.

“Jangan mengganas, pemberontak she Tong!” Terdengar teriakan keras, disusul dengan bayangan jubah Te-yong Tojin yang berkibar ketika imam itu melompat menyerang Tong Tian. Dengan hud-timnya, Te-yong Tojin langsung menyabet ke wajah Tong Tian.

Tangkas sekali Tong Tian merundukkan kepalanya, dan pedangnya membalas membabat ke pinggang Te-yong Tojin yang masih dalam keadaan melayang di udara. Menghadapi serangan ini, Te-yong Tojin mempertunjukkan ilmu Gin-kang (Meringankan Tubuh) gaya Bu-tong-pay yang diberi nama Tui-hun-ciong (Menapak Tangga Mega). Dengan saling menendangkan kakinya di tengah udara, imam itu berhasil merubah arah “terbang”nya tanpa menginjak tanah lebih dulu. Babatan pedang Tong Tian itu tentu saja mengenai tempat kosong.

Di dalam hatinya, diam-diam Tong Tian memuji kepandaian lawannya yang hebat itu. Sayang orang sepandai itu begitu mudah dibeli dengan uang oleh Cia To-bun, demikian pikir Tong Tian. Dalam pada itu, kembali belasan orang anak buah Cia To-bun menyerbu dari segala arah dengan buasnya. Orang-orang itu telah silau oleh janji pemberian hadiah yang diucapkan Cia To-bun, untuk siapa saja yang berhasil membunuh Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Mereka siap mempertaruhkan nyawa untuk uang beberapa keping.

Menghadapi mereka ini, Tong Tian membuang semua keraguan dan perasaan belas kasihnya. Sekuat tenaga ia menyapukan pedangnya dengan jurus Heng-san-jian-kun (Penyapu seribu prajurit). Tiga orang pengeroyok menjerit ngeri dan tubuhnya terpelanting ke tanah dengan perut yang “menganga” lebar.

Beberapa orang menjadi ragu-ragu ketika melihat nasib teman-teman mereka, dan disaat mereka ragu-ragu inilah mereka tersapu pula oleh pedang Tong Tian. Namun demikian jumlah pengeroyok terlalu banyak, dan kepungan itu tidak akan bubar hanya karena robohnya beberapa orang.

Sementara itu Tio Khing telah turun ke gelanggang pula. Dia menerjang ke arah Tong Tian dengan diapit oleh seorang yang bersenjata toya dan seorang lagi bersenjata thi-cio (trisula bergagang pendek). Gaya berkelahi Tio Khing, si serigala dari Thay-san itu memang khas, yaitu terlalu langsung dan tidak banyak kembangan atau gerak tipu. Ia cuma mengandalkan kekuatan dan kecepatan.

Ketika Tong Tian melakukan gerak Kong-jiok-kay-peng (merak membuka sayap) yang disambung dengan Giok- li-toh-so (bidadari menyusupkan benang), maka Tio Khing dari penyerang berbalik menjadi si terdesak. Kepandaiannya memang tidak setinggi dan semasak Te-yong Tojin. Yang membuatnya berbahaya hanyalah cara bertempurnya yang ganas dan keji, ditambah dengan dendam kesumat yang mewarnai setiap gerak silatnya.

Sementara itu pendamping Tio Khing yang bersenjata thi-cio itupun kini telah merangsek maju. Ia nampak mantap dalam memainkan sepasang thi-cionya, sehingga dapat diduga bahwa orang ini pun cukup terlatih dengan senjata andalannya itu. Tetapi mana bisa orang ini dibandingkan dengan Kiang-se-tay-hiap yang terkenal itu.

Meskipun Tong Tian sedang mendesak Tio Khing, tetapi gerak-gerik lawannya yang lain tidak lepas dari pengamatannya. Begitu orang bersenjata thi-cio itu maju, Tong Tian hanya membutuhkan satu jurus pukulan Pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk membuat orang ini roboh terkapar.

Sesaat kemudian Te-yong Tojin telah mulai ikut menyerang pula. Karena kepandaian Te-yong Tojin cukup tinggi, bahkan hampir sejajar dengan Tong Tian, maka majunya imam ini membuat Tong Tian terdesak. Diantara pengeroyok-pengeroyoknya ternyata terdapat juga orang-orang yang cukup berbobot dan pantas mendapat perhatian.

Untungnya Te-yong Tojin pun tidak bisa bertempur selincah biasanya, bahkan langkahnya agak terpincang-pincang. Rupanya rasa nyeri di telapak kakinya masih terasa mengganggunya, akibat terkena sodokan siku Tong Tian yang tepat mengenai urat yong-coan-hiatnya. Meskipun demikian Tong Tian tetap dalam keadaan tekanan berat, apalagi karena Tio Khing pun tidak tinggal diam dan sebentar-sebentar menyerbu.

Setelah pertempuran berlangsung ratusan jurus, nampaklah baik Tong Tian maupun Te-yong Tojin tidak dapat menghidari luka-luka yang mulai “menghias” tubuh mereka karena sengitnya perkelahian mereka. Tapi luka Tong Tian lebih banyak, pakaian yang dikenakannya nyaris berganti warna merah di seluruh tubuhnya.

Di pihak anak buah Cia To-bun pun sudah ada belasan tukang pukul atau prajurit yang roboh ke tanah. Andaikata tidak ada Te-yong Tojin dan Tio Khing di tempat itu, mungkin seluruh anak buah Cia To-bun itu akan dibabat habis oleh Tong Tian dalam waktu kurang dari setengah hari. Tapi dengan hadirnya kedua tokoh itu, Tong Tian tidak leluasa berbuat semaunya, bahkan untuk menyelamatkan diri saja terasa amat sulit.

Suatu saat kedua musuh tangguh itu menyerbu Tong Tian secara serempak, membuat sang pendekar menjadi kewalahan menahan serangan bertubi-tubi yang datang bagaikan banjir bandang itu. Disaat Tong Tian kerepotan itu, ada seorang anak buah Cia To-bun yang ingin memanfaatkan untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, dengan liciknya ia menyerampangkan toyanya dari arah belakang ke arah pinggang Tong Tian.

Tong Tian dapat mendengar desir serangan yang melanda dari belakangnya itu. Puluhan tahun ia bertualang di dunia persilatan dan sudah ratusan kali mengalami pertarungan mati-hidup, tapi kali ini tergetar juga hati Tong Tian oleh kedahsyatan pertempuran itu. Secara untung-untungan ia melompat ke belakang, melompati kepala si pembokong yang licik itu sambil menyabetkan pedangnya. Anak buah Cia To-bun yang memimpikan hadiah dari majikannya itu terpaksa nerubah jadi setan penasaran.

Namun Kiang-se-tay-hiap juga tidak lepas dari akibat tindakannya itu. Karena terpecahnya perhatiannya itu, maka hud-tim Te-yong Tojin berhasil menggempur pinggangnya secara telak, menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa pada isi perut Tong Tian. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Tong Tian, menandakan bahwa pendekar itu sudah terluka oleh lawnnya.

Melihat Tong Tian sudah terluka, dengan buas Tio Khing menyergap dari belakang secepat kilat. Serigala yang licin dan licik itu ternyata salah perhitungan, sebab Tong Tian masih dapat menghindar ke samping dan bahkan sambil membalas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor menerangi langit). Karena membaliknya Tong Tian ini dengan tubuh setengah merendah, maka gerakan pedangnya pun dari bawah ke atas.

Tio Khing yang sedang meluncur dengan segenap kecepatannya itu tidak menduga akan serangan macam ini, tepat sekali perutnya ditembus oleh pedang Tong Tian. Serigala tua dari Thay-san itu roboh ke tanah sambil meraung menggidikkan hati, dan setelah meregang nyawa beberapa saat lamanya, melayanglah nyawanya. Akibat gebrakan itu, Tong Tian juga terdorong mundur beberapa langkah karena “kejatuhan” berat badan Tio Khing yang disertakan dalam serangan tadi.

Mendadak Tong Tian merasakan matanya berkunang-kunang dan ia pun megeluh dalam hati. Dia sadar bahwa nasibnya akan lebih banyak celakanya daripada untungnya apabila bertahan terus di tempat itu. Tenaganya sudah surut banyak, isi perutnya sudah terluka, sedangkan lawan masih berjumlah puluhan dan Te-yong Tojin pun masih lebih segar dari dirinya. Cepat Tong Tian memutar pedangnya dan berusaha mendesak ke arah pintu keluar.

Baru saja ia berhasil maju beberapa langkah, terdengar desir angin di belakangnya, terpaksa Tong Tian harus membalikkan badan untuk membela diri lebih dahulu. Ternyata si imam Te-yong Tojin telah memburunya dengan wajah menampilkan nafsu membunuh. Hud-timnya diarahkan ke jalan darah kematian ki-ko-at-hiat di dada, sedang tangan kirinya menyodok tan-tian dibawah perut.

Melihat serangan yang membahayakan jiwanya itu, beringaslah wajah Tong Tian. Dengan pedang ia membendung serangan lawan dan dengan tangan kirinya ia membalas dengan pukulan Hui-soat-sin-ciang. Te-yong Tojin menyurut mundur, tapi telapak tangan kirinya justru diangkat untuk memapak hantaman Tong Tian secara keras lawan keras, alias adu tenaga dalam.

Dua telapak tanga yang berisi tenaga pukulan dahsyat dari kedua tokoh yang berilmu tinggi itupun bertemu di udara dan langsung saling melekat dengan eratnya. Terjadilah adu tenaga dalam antara seorang murid terpercaya dari Soat-san-pay melawan seorang murid berbakat Bu-tong-pay yang tersesat. Kini keduanya berdiri seperti patung dan saling mendorongkan telapak tangannya.

Di dalam hatinya, Tong Tian memaki kelicikan lawannya itu. Jelaslah bahwa adu lwe-kang semacam itu tidak menguntungkan diri Tong Tian, bukan karena tenaga dalam Tong Tian kalah, namun karena adu tenaga itu akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya Cia To-bun untuk menyerang Tong Tian, padahal dalam adu tenaga semacam itu, kedua belah pihak tidak boleh terpecah perhatiannya sedikitpun.

Kini Tong Tian tidak dapat menghindarinya, atau menarik tenaganya, sebab jika dia berbuat demikian maka arus tenaga dalam lawan akan mengalir masuk da menggempur bagian dalam tubuhnya dan itu berarti kematian!. Tidak ada jalan lain kecuali melayani adu tenaga itu sampai tuntas. Akhirnya dengan nekad Tong Tian mengerahkan seluruh tenaganya untuk menekan lawannya.

Butiran-butiran keringat dingin sebesar biji kedelai segera mengalir di muka Te-yong Tojin. Imam itu merasa betapa tenaga Tong Tian menggempur pertahanannya bagaikan gelombang samudera yang mendampar tak henti- hentinya, membuat dadanya jadi sesak seperti ditindah dengan batu besar. Namun imam itu bertahan sekuatnya, sementara ekor matanya memberi isyarat kepada para anak buah Cia To-bun agar segera turun tangan. Salah seorang anak buah Cia To-bun yang ingin berjasa segera menghantamkan ruyungnya sekuat tenaga ke batok kepala Tong Tian.

“Hem, biarpun aku harus mampus, lebih dulu aku membunuh manusia-manusia rendah ini sebanyak-banyaknya,” geram Tong Tian di dalam hatinya. Ia tidak peduli lagi pantangan orang yang sedang megadu tenaga dalam, diangkatnya pedang di tangan kanannya untuk menangkis ruyung itu.

Ruyung itu terpental balik dan menghantam mampus pemiliknya sendiri. Namun di saat itulah Te-yong Tojin membarenginya dengan mengerahkan tenaga dan mendorong sekuat tenaga. Memang kekuatan kedua tokoh yang bertanding itu tidak selisih banyak, maka dorongan Te-yong Tojin itu menimbulkan akibat hebat atas diri Tong Tian. Ia terhuyung mundur sampai lima langkah lebih sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Te-yong Tojin juga terhuyung mundur dengan muka pucat, namun tidak sampai menyemburkan darah, jelas keadaan imam itu jauh lebih ringan dari lawannya.

Dengan susah payah Tong Tian bertahan agar tidak jatuh. Seorang prajurit cepat menusukkan tombak ke lambung pendekar itu, Tong Tian menangkis dengan pedangnya. Sayang tenaga Tong Tian telah terperas habis, tombak prajurit itu tidak dapat ditangkisnya secara sempurna, hanya berbelok sedikit tetapi tetap merobek lambung Tong Tian. Bagaikan harimau luka, Tong Tian menggeram dan menancapkan pedangnya ke tubuh prajurit itu dengan sisa tenaganya. Baik tubuh prajurit itu maupun tubuh Tong Tian roboh dalam saat yang bersamaan.

Tong Tian masih sempat menghirup napas beberapa kali, setelah itu perlahan-lahan kepalanya terkulai ke samping dan rohnya terbang meninggalkan raganya. Jasad seorang pendekar yang disegani di seluruh Kiang-se itu kini tergeletak tidak bernyawa, tidak ada bedanya dengan jasad-jasad lainnya yang mengelilingi malang-melintang.

Pendekar yang bernama besar dan kaum keroco yang bernama kecil, jika sudah menjadi mayat toh sama saja. Orang-orang yang masih hidup berdiri mengelilingi mayat Tong Tian, dengan mata kepala mereka sendiri, mereka telah melihat matinya seorang pendekar yang terkenal.

Pertarungan yang baru saja berlangsung di halaman depan rumah Cia To-bun itu benar-benar merupakan sebuah pertarungan yang dahsyat dan menggetarkan hati. Matahari mulai turun ke sebelah barat, hari pun mulai menjadi gelap perlahan-lahan.

Te-yong Tojin melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dipandangnya mayat lawannya yang kini telah terbujur kaku. Dalam hatinya berkecamuklah bermacam-macam perasaan, antara puas, bangga dan juga gentar!

Puas dan bangga karena ia dapat mengalahkan Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, biarpun dengan cara yang licik dan kurang terpuji. Tetapi ia juga gentar, karena mulai hari itu ia sudah menanam permusuhan dengan Soat-san-pay, sebuah aliran persilatan yang memiliki banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi. Sejak saat itu, hidupnya pasti akan senantiasa terganggu oleh tokoh-tokoh Soat-san-pay yang akan membalaskan dendam buat Tong Tian.

Seorang anak buah Cia To-bun segera melaporkan kepada majikannya bahwa perkelahian telah selesai dan Tong Tian telah berhasil dibunuh. Dengan muka berseri-seri Cia To-bun lalu menuju ke halaman depan untuk melihat sendiri mayat dari orang yang dibencinya itu. Melihat mayat Tong Tian, Cia To-bun tidak dapat menguasai diri lagi, mula-mula ia hanya tertawa terkekeh-kekeh tapi kemudian terbahak-bahak dengan kerasnya,

“Ha-ha-ha, inilah contohnya orang yang berani menentang kekuasaanku di An-yang-shia! Ia telah mampus, ya, duri dalam dagingku telah mampus kini! Hatiku puas sekali. Ha-ha-ha....”

Namun Cia To-bun menjadi heran ketika melihat Te-yong Tojin nampak bermuram durja dan kurang bersemangat. Tanyanya, “Totiang, dalam suasana penuh kemenangan ini kenapa justru Totiang nampak kurang bergembira. Apakah Totiang terluka oleh bangsat she Tong ini?”

Te-yong Tojin tertawa nyengir, katanya dengan suara berat, “Aku telah membunuh Tong Tian demi mengabdi kepada Tay-jin. Namun aku kini pasti akan dimusuhi oleh golongan Soat-san-pay, ketenteraman hidupku ini mungkin sudah tidak terjamin lagi.”

Mendengar itu, Cia To-bun kembali tertawa bergelak-gelak sampai perut gendutnya berguncang-guncang. Katanya dengan congkak, “Kiranya hanya soal sekecil itu yang membuat hati Totiang risau. Sampai di mana kekuasaan golongan Soat-san-pay itu sehingga mereka berani mengganggu Totiang yang di bawah perlindunganku?”

Sebenarnya Te-yong Tojin kurang setuju akan ucapan Cia To-bun itu, namun ia berpura-pura mengucapkan terima kasih, “Terima kasih atas kebaikan hati Tay-jin. Selanjutnya biarlah aku berlindung di bawah keagungan pemerintah saja....”
Selanjutnya;

Perserikatan Naga Api Jilid 02

Perserikatan Naga Api Jilid 02

Karya : Stevanus S.P
MULUTNYA berbicara, tangan Cia Bok pun ikut “bicara” dan sudah terulur untuk menyentuh dagu puteri Tong Tian itu. Sebagai puteri sebuah keluarga persilatan yang terkenal dan dihormati orang, betapa pun gadis itu tidak sudi menerima penghinaan sekeji itu.

Kesabarannya yang ditahan-tahan dari tadi kini telah mencapai puncaknya. Ketika tangan Cia Bok hampir menyentuh dagunya, di luar sadarnya Wi-lian mengayunkan tangannya dan menampar muka Cia Bok sekuat tenaga. Tahu-tahu muka sang kong-cu yang tampan itu telah “hangus” sebelah, dari sela- sela bibirnya pun menetes darah.

Orang-orang yang melihat kejadian itu serentak berteriak kaget, bahkan Wi-lian sendiri juga terkejut setelah menyadari apa yang telah dilakukannya. Ia telah menampar putera kesayangan Cia Tay-jin di hadapan mata orang banyak. Ada sepercik penyesalan di hati gadis itu, namun semuanya sudah terlanjur terjadi.

Orang-orang yang ada di tempat itupun segera menyingkir pergi, mereka tahu akan ada kejadian hebat di tempat itu. Anak kesayangan Cia Tay-jin itu tentu tidak terima dipermalukan di depan umum, namun lawannya sebagai puteri Kiang-se-tay-hiap yang terhormat itupun tentu juga tidak akan menyerah dihina mentah-mentah begitu saja.

Segera di tengah jalan itu bagaikan terbentuk sebuah arena yang cukup luas, orang-orang hanya berani menonton dari kejauhan. Cia Bok memang menjadi sangat murka, nanun diam-diam diapun heran setelah mendapat kenyataan bahwa gerakan Tong Wi-lian ternyata demikian cepat dan mantap pula. Cia Bok pernah berkelahi dengan Tong Wi-siang dan hasilnya adalah sama kuat, maka dengan dasar pikiran itu Cia Bok merasa yakin dapat mengungguli adik-adik Tong Wi-siang itu.

Tetapi Cia Bok tidak tahu, bahwa meskipun Tong Wi-siang merupakan anak tertua, kepandaian silatnya justru lebih rendah dari adik-adiknya. Sebabnya ialah karena Wi-siang lebih suka keluyuran bersama teman-temannya, sedang adik-adiknya lebih tekun dalam berlatih di rumah. Sebagai seorang yang biasa disanjung puji di An-yang-shia, Cia Bok menjadi sangat marah oleh kejadian itu. Bentaknya,

“Gadis she Tong tidak tahu diuntung, kau rupanya sedang menjerumuskan seluruh keluargamu sendiri ke jurang kehancuran! Nih rasakan!”

Sambil membentak, Cia Bok pun langsung mengirimkan sebuah jotosan ke muka Tong Wi-lian dengan pukulan Ciong thian-pau (Meriam Menjebol Langit). Sedikitpun ia tidak ingat lagi bahwa yang dihadapinya adalah seorang perempuan muda berumur belasan tahun.

Beberapa orang An-yang-sha terkejut melihat pukulan seganas itu, siapapun tahu bahwa pukulan Cia Bok itu sanggup menghancurkan beberapa lapis papan. Diam-diam para penonton itu menduga bahwa muka Wi-lian yang cantik itu tentu akan ringsek seketika.

Yang terjadi ternyata tidak seperti yang diduga oleh sebagian besar para penonton. Dengan tangkas Tong Wi-lian memiringkan kepalanya sambil mengebaskan tangannya. Kakinya tidak bergeser sedikitpun dari tempat berdirinya, tapi pukulan Cia Bok telah dapat dielakkannya dengan manis.

Terdengar gumaman kagum dari penonton. Sebaliknya Cia Bok kaget bukan main, ketika tangannya tertangkis dan ia merasakan seluruh tenaga pukulannya amblas bagaikan batu besar tercebur ke dalam kubangan lumpur.

Kiranya Tong Wi-lian telah memainkan ilmu silat Hui Soat-sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Terbang), ilmu andalan perguruan Soat-san-pay yang berasas “dengan kelemasan mengatasi kekerasan”. Meskipun gadis itu belum melatihnya sampai tingkat tertinggi, tetapi sudah cukup kalau hanya untuk meladeni jagoan tanggung macam Cia Bok.

Dengan garang Cia Bok menyusulkan lagi sebuah jurus Hek-hou-tiau-kan (Harimau Buas melompat Parit), tapi Wi-lian berhasil menangkisnya sambil berputar ke samping dan menariknya. Tubuh Cia Bok seketika terseret dan terhuyung, dan sebelum ia sempat memperbaiki diri, tendangan Wi-lian telah mendarat di tubuh Cia Bok dengan telaknya. Tak ampun lagi. Cia Bok jatuh terduduk.

Cepat Cia Bok melompat bangun kembali dengan muka merah padam. Teriaknya kepada kedua pengawalnya, “Lau Hok dan Ong Bun, ringkus perempuan siluman ini!”

Kedua pengawal Cia Bok ini pun sejenis manusia yang sudah biasa berbuat sewenang-wenang kepada kaum lemah, apalagi kini hanya menghadapi gadis semungil Tong Wi-lian, maka mereka sangat memandang rendah. Lau Bok langsung menggunakan gaya cakar elang untuk menyerang ke dada gadis itu.

"Anjing-anjing yang menjemukan”, desis Wi-lian dengan kemarahan semakin berkobar. Dengan langkah-langkah seringan kupu-kupu beterbangan, ia berlincahan menyelinap di antara tubuh lawan-lawannya yang besar-besar itu. Terdengar suara gedebak-gedebuk dua kali, dan tahu-tahu kedua lelaki bertubuh besar itu telah jatuh mencium tanah, keadaan mereka jauh lebih konyol dari tuannya.

Para penonton memang sering melihat Lau Hok dan Ong Bun yang galak itu dihajar oleh Tong Wi-siang, tetapi itu tidak rnengherankan sebab Wi-siang adalah seorang lelaki yang bertubuh kekar pula. Tapi alangkah janggalnya kini melihat kedua tukang pukul Cia Bok yang garang-garang dan kuat-kuat itu kini dihajar oleh seorang gadis tujuh belas tahun! Beberapa orang penonton terpaksa menekap mulutnya erat-erat, karena kuatir suara tertawa mereka terdengar oleh orang lain.

Begitu melompat bangkit kembali, Lau Hok tanpa malu-malu lagi menarik keluar golok yang tergantung di pinggangnya. Sudah bulat tekadnya untuk mencincang gadis itu di hadapan penduduk An-yang-shia, untuk mengembalikan pamor dirinya yang sudah merosot itu. Tetapi ia kalah cepat oleh Cia Bok yang terlebih dulu telah menerjang kembali ke arah Tong Wi-lian dengan serangan bertubi-tubi.

Meskipun hatinya terbakar oleh kemarahan, namun kali ini Cia Bok berkelahi dengan lebih berhati-hati, agar tidak mendapat malu untuk kesekian kalinya. Lau Hok lalu mengalihkan sasarannya pada diri Tong Wi-hong yang masih berdiri di luar arena dengan tenangnya. Dalam anggapan Lau Hok, manusia kutu buku macam Tong Wi-hong pasti akan dapat dibereskannya dalam waktu singkat.

Tak terduga, sebelum Lau Hok menantangnya, malah Tong Wi-hong yang lebih dulu menantangnya, “Biarkan kong-cu bangormu itu dhajar oleh adikku. Dua ekor kerbau macam kalian ini biarlah menjadi bagianku saja”.

Agaknya putera kedua Tong Tian ini sudah lupa pesan ayahnya untuk tidak mencari perkara kepada pihak Cia To-bun. Tong Wi-hong merasa bahwa Cia Bok sudah keterlaluan dalam menghina adiknya, sehingga perlu dihajar.

“Rasakan golokku!” teriak Lau Hok sambil membacokkan goloknya kearah kepala Wi-hong. Gerakannya membawa desingan kuat menandakan orang ini memang bertenaga besar. Sayang bacokan yang demikian mengerikan itu tidak mengenai apapun, kecuali mengenai tanah bekas tempat berdiri Tong Wi-hong beberapa detik yang lalu.

Dan sebelum Lau Hok memperbaiki keadaan dirinya, Wi-hong telah menggerakkan kedua tangannya secara serentak, tangan kiri menghantam pergelangan tangan Lau Hok yang memegang golok dan tangan kanan menghantam pelipis. Tangan Wi-hong memang kelihatan halus dan tidak begitu berotot, namun begitu mengenai pelipis Lau Hok, maka sekali lagi si tukang kepruk itu harus mencium tanah!

Tukang pukul yang satunya lagi, Ong Bun, tenaganya tidak sehebat rekannya, tapi Ong Bun lebih licik. Ia pun telah menghunus goloknya dan diam-diam membabat pinggang Tong Wi-hong dari arah belakang. Tapi serangan gelapnya itu dapat ditangkap oleh telinga Wi-hong yang tajam. Cepat Wi-hong menggeser tubuhnya sedikit, dan tanpa menengok ia melakukan gerakan sederhana Kao-tui-hoan-tui (menekuk lutut sambil menendang ke belakang). Tendangannya tepat mengenai pergelangan tangan Ong Bun dan memaksa tukang pukul yang licik itu melepaskan senjatanya.

Ong Bun kaget dan bermaksud kabur, tapi langkahnya masih kalah cepat dari tendangan Wi-hong berikutnya yang mendarat di pinggangnya, sehingga Ong Bun terlempar jungkir balik dan menimpa Lau Hok yang sedang berusaha untuk merayap bangun. Maka kedua tukang pukul yang garang itupun merayap-rayap di tanah dengan runyamnya.

Dalam pada itu Cia Bok dan Tong Wi-lian telah bergebrak belasan jurus. Ilmu silat yang dimiliki Cia Bok merupakan ilmu campur aduk, hasil didikan beberapa guru silat yang dibayar oleh ayahnya. Meskipun demikian, tidak gampang bagi Wi-lian untuk mengalahkannya, sebab Cia Bok cukup tangkas dan bertenaga besar pula. Jika tadi Wi-lian berhasil menampar Cia Bok, itu hanya karena Cia Bok tidak siap akan mendapat perlakuan seperti itu.

Kini setelah Cia Bok bertarung dengan hati-hati dan cermat, maka keunggulan Wi-lian tidak begitu mencolok lagi. Setelah bertempur sekian lama, timbullah niat Cia Bok untuk mencoba sebuah ilmu baru yang didapatnya dari Te-yong Tojin. Ilmu ciptaan Te-yong Tojin sendiri itu diberi nama Tok-jan-jiu (Tangan Ulat Berbisa), sebuah ilmu beracun yang dapat digolongkan ke dalam ilmu sesat.

Gara-gara ilmu beracunnya yang telah meminta korban orang-orang tidak berdosa inilah maka Te-yong Tojin telah dipecat dengan tidak hormat dari Bu-tong-pay yang dikenal sebagai perguruan kaum lurus.

Begitu Cia Bok mengeluarkan ilmu Tok-jan-jiunya, maka telapak tangannya pun perlahan-lahan berubah warna, makin lama makin biru kepucat-pucatan, dan kini sambaran angin pukulannya membawa bau yang pahit asam. Itulah ciri khas ilmu pukulan beracun itu.

Tong Wi-lan sadar bahwa pertempuran mulai memasuki tahap yang berbahaya, kini pukulan Cia Bok buka cuma dapat mematahkan tulang tapi juga dapat meracuni tubuh lawannya. Kini Wi-lian semakin berhati-hati dan tidak mau sembarangan beradu tangan dengan Cia Bok. Untunglah bahwa gadis itu lebih lincah dari lawannya, sedang ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciangnya pun merupakan ilmu silat yang tidak kalah ampuhnya dari Tok-jan-jiu. Karena itu masih sulit ditentukan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.

Makin lama Cia Bok makin ganas. Suatu ketika ia membentak keras dan melancarkan sebuah serangan serempak dengan kedua tangannya. Yang satu mencengkeram ke arah tenggorokan, yang lainnya mencengkeram ke arah ulu hati.

Mendapat serangan seganas itu, Tong Wi-lian pun menjadi marah, katanya dingin, “Kau rupanya menghendaki nyawaku, baiklah, aku pun tidak akan sungkan-sungkan lagi padamu!”

Cepat gadis itu bergeser sambil mengebaskan lengan bajunya sehingga tangan Cia Bok “terseret” ke samping, lalu Wi-lian balas menghantam ke tulang pundak Cia Bok dengan sebuah pukulan Hui-soat-sin-ciang.

Agaknya Cia Bok sangat yakin akan keampuhan jurusnya itu, sehingga dalam penyerangannya itu ia sama sekali tidak mempeersiapkan diri untuk menerima serangan balasan lawannya. Pikirnya, lawan tidak mungkin lolos lagi dari jurus maut itupun. Maka alangkah terkejutnya Cia Bok ketika lawannya bukan saja berhasil mengelak bahkan melancarkan serangan balasan yang hebat pula, hantaman Wi-lian tepat mengenai sasarannya.

Terdengar suara berderak perlahan seperti suara kayu patah, lengan kanan Cia Bok segera terkulai patah. Mata Cia Bok kini memancarkan dendam kesumat yang luar biasa, namun mukanya justru memucat dan berkeringat dingin karena menahan perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi.

Sesaat Cia Bok berdiri menggertak gigi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba ia melompat mundur dan kabur pulang ke rumahnya, dua orang tukang pukulnya yang masih merayap-rayap di tengah jalan itu tidak digubrisnya sama sekali.

Orang-orang yang menonton kejadian itu mulai ribut memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menyatakan kegembiraannya, “Pantas sekali anak Cia To-bun itu menerima ganjarannya. Si mata keranjang itu dengan mengandalkan kedudukan ayahnya telah mengganggu rumah tangga keponakan perempuanku, sehingga keluarga yang berbahagia itu kini telah berantakan”

Orang lainnya menanggapi, “Kukira dulu hanya si bandel Tong Wi-siang itu saja yang dapat menandingi Cia Bok. Siapa kira adik-adik Tong Wi-siang malah lebih hebat dari kakaknya”.

Nama Tong Wi-siang dan Cia Bok merupakan dua nama yang sama-sama tidak disukai oleh orang-orang An-yang-shia, karena masing-masing merupakan pemimpin gerombolan anak-anak muda yang bersaingan dan sering membuat kerusuhan. Namun betapapun orang-orang An-yang-shia masih lebih membenci kepada Cia Bok, sebab tidak sedikit perempuan-perempuan kota An-yang-shia yang telah dihancurkan nama baiknya atau masa depannya.

Sedang perbuatan Tong Wi-siang masih belum sejauh itu, kenakalan-kenakalannya hanya terbatas seperti makan tidak membayar, berjudi, berkelahi, meskipun pembunuhan yang baru saja dilakukannya itu cukup menggemparkan.

Sementara itu Tong Wi-hong telah menegur adik perempuannya, “A-lian, kau turun tangan terlalu berat. Aku setuju bahwa si bangor itu harus dihajar, tapi seharusnya cukup hajaran ringan saja dan jangan sampai cacat seumur hidupnya”.

Wi-lian sadar bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan akibat yang hebat. Sesaat ia termangu-mangu tak mampu menjawab teguran kakaknya, tapi akhirnya ia menyahut juga, “Akupun menyesal sekali telah terseret arus kemarahanku. Aku lupa diri karena dia menyerangku dengan sangat ganas. Tetapi aku tidak akan menyusahkan ayah, sekarang juga aku akan menemui Cia Tay-jin untuk mempertanggung-jawabkan perbuatanku ini”.

Melihat penyesalan adiknya itu, Wi-hong tidak tega untuk memarahinya lagi. Cepat dipegangnya tangan adiknya, lalu katanya, “Sudahlah, jangan melakukan tindakan yang tergesa-gesa. Ayah Cia Bok memang sedang mencari-cari alasan untuk mengenyahkan kita, biarpun kau ingin bertanggung-jawab sendiri juga sulit. Lebih baik kita pulang dulu dan merundingkan semua tindakan kita dengan ayah dan ibu”.

Gadis itu akhirnya menurut bujukan kakaknya. Kedua kakak beradik itu segera membatalkan niatnya untuk berbelanja dan melihat-lihat An-yang-shia. Dengan bergegas mereka melangkah pulang ke rumah mereka yang terletak diluar kota kecil itu. Sepanjang perjalanan pulang, kepala Tong Wi-lan tertunduk terus-menerus, perasaan menyesal masih saja menggayut dalam hatinya.

Ia sadar bahwa dengan terlukanya Cia Bok, apalagi luka berat yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup, maka kedudukan keluarga Tong akan semakin dipersulit. Bukan saja karena Cia To-bun kini punya dua orang jago silat andalan, tapi juga karena Cia To-bun punya hubungan yang akrab dengan Cong-tok (Panglima Daerah) untuk wilayah Kiang-se.

Ketika mereka tiba di rumah, mereka menjumpai ayah mereka sedang berada di halaman sambil mengamat-amati beberapa pohon bunga kesayangannya. Pendekar ini jadi tercengang ketika melihat kedua anaknya pulang dengan muka murung. Segera Tong Tian menduga adanya sesuatu yang tidak beres.

“He, masakan kalian begitu cepat pulang?” tanyanya dengan pandangan menyelidik.

Wi-lian tergagap dan menundukkan kepalanya, ia tidak dapat segera menjawab pertanyaan ayahnya itu. Tong Wi-hong ikut-ikutan jadi gugup pula, namun akhirnya dia menyahut juga,

“Ayah, kami minta maaf karena telah melupakan pesan ayah. Di kota kami bertemu dengan putera Cia Tay-jin dan dua orang pengiringnya yang berusaha mengganggu A-lian. Kami sudah sekuat tenaga menahan diri dan menghindari keributan, tapi akhirnya perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi, dan A-lian.... telah.... telah melukai putera Cia Tay-jin itu.”

Air muka Tong Tian seketika menunjukkan kerut luar biasa ketika mendengar laporan itu, namun akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan mencoba menenangkan debaran hatinya. Tanyanya kepada anak gadisnya, “Benarkah A-lian?”

Dengan kepala tetap tertunduk Wi-lian menjawab, “Benar ayah,. Cia Bok bermaksud menghinaku dan mempermalukan aku di hadapan orang banyak, aku terpaksa membela diri. Dan karena ia menggunakan ilmu pukulan berbisanya, aku mengimbanginya dengan Hui-soat-sin-ciang.”

Tong Tian tidak sampai hati memarahi kedua anaknya itu tidak gampang marah. Jika sampai anak gadisnya itu memukul orang, tentu orang itulah yang keterlaluan. Apalagi Tong Tian telah mendengar pula bagaimana sifat Cia Bok itu, terutama jika berurusan dengan wanita. Yang disesalkan Tong Tian hanyalah kenapa tadi ia tidak melarang saja kepergian anak-anaknya itu, agar tidak terjadi peristiwa seperti ini?

Tiba-tiba pendekar tua itu berkata sambil menarik napas, “Baiklah, sekarang juga aku akan menemui Cia To-bun. Aku akan meminta maaf lebih dulu meskipun bukan kita yang memulai perselisihan. Berurusan dengan orang semacam dia memang tidak mudah, tapi semoga semuanya berjalan dengan baik.”

Tong Wi-hong dan adiknya menjadi cemas mendengar niat ayahnya itu. Kata Wi-lian, “Tetapi itu sangat berbahaya buat ayah, ia dapat saja memutar-balikkan kenyataan untuk mencari-cari alasan. Ayah, akulah yang bersalah, ijinkanlah aku yang menemui Cia To-bun untuk menjelaskan kejadian ini."

“Tidak,” sahut ayahnya tegas. “Jika ia memang ingin menyingkirkan kita, apapun alasan kita tentu akan ditolaknya, kau atau aku yang datang ke sana juga tetap sama saja. Tetapi jika aku sendiri datang ke sana, barangkali ia masih memberi muka kepadaku.”

“Tetapi tindakan ayah itu sangat berbahaya bagi ayah sendiri,” kata Wi-hong. “Di rumahnya, saat ini Cia To-bun punya dua orang jago andalan yang tangguh. Ayah ajaklah kami.”

“Tidak,” sekali lagi sang ayah menjawab dengan tegas. “Aku akan pergi ke sana sendiri. Bahkan akupun tidak akan membawa pedang, untuk menunjukkan maksud baikku ingin menyelesaikan persoalan secara damai. Andaikata orang she Cia itu masih ngotot tidak ingin damai, hem, apa boleh buat, kukira tulang-tulangku ini masih cukup keras untuk melayani mereka.”

“Ayah,” seru Wi-hong dan Wi-lian serempak.

“Sudahlah, aku punya perhitungan sendiri dan tidak bertindak membabi-buta. Ingat pesanku, jangan mengejutkan ibumu dan jangan melangkah keluar dari pintu rumah ini selama aku belum pulang.”

Kedua anaknya itupun akhirnya menyerah. Mereka tahu bahwa ayah mereka masih memiliki sifat-sifat yang keras mirip orang-orang muda, meskipun usianya sudah setengah abad. Sekali ayah mereka mengambil keputusan, siapapun jangan harap bisa merubahnya. Akhirnya kedua anak itu cuma berpesan, “Harap ayah berhati-hati.”

Wajah Tong Tian yang keras itu kini menjadi lunak dan lembut, katanya sambil menepuk bahu kedua anaknya, “Nah, sekarang masuklah kalian. Jangan melanggar pesanku.”

Lalu dengan langkah-langkah yang mantap dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, pendekar terkenal itu melangkah menuju An-yang-shia. Sendiri dan tidak bersenjata. Wi-hong dan Wi-lian menatap langkah-langkah ayahnya itu dengan macam-macam perasaan yang bercampur-aduk. Sering mereka mengantar ayah mereka ketika hendak melakukan perjalanan yang sangat jauh.

Tetapi belum pernah mereka merasakan perasaan semacam itu. Meskipun An-yang- shia hanya beberapa ratus langkah jaraknya dari rumah, namun mereka merasa seolah-olah ayah mereka sedang menempuh sebuah perjalanan yang jauh tanpa ujung.

Sedangkan Tong Tian sendiri melangkah dengan tenangnya. Tetapi ternyata hatinya tidak setenang wajah dan langkahnya. Tong Tian mengerti bahwa urusan yang dihadapinya itu bukan urusan enteng, bahkan menyangkut keselamatan seluruh keluarganya.

Ketika langkahnya berbelok di kaki bukit cemara, Tong Tian sempat menengok ke arah rumahnya. Pucuk-pucuk cemara di tepi danau Po-yang-ou masih tetap melambai- lambai dengan lembutnya, desirnya yang merdu adalah bunyi-bunyian alam yang tidak terkatakan indahnya. Tapi masihkah hari esok seindah hari ini?

* * * * * * *

Tong Tian menghentikan langkahnya di depan sebuah gedung besar dan megah yang letaknya tepat di tengah-tengah kota An-yang-shia. Ia menengadahkan mukanya ke langit, dilihatnya matahari sedang berada tepat di tengah-tengah angkasa.

Dua orang prajurit yang menjaga pintu rumah Cia To-bun itu menjadi tegang ketika melihat Tong Tian mendekat ke arah mereka. Meeka cukup mengenal kebesaran nama dan keperkasaan Kiang-se-tay-hiap, dan prajurit-prajurit itu merasa bahwa nasib mereka sangat buruk.

Pikir prajurit-prajurit itu, “Jangan-jangan orang she Tong ini hendak mengamuk, sebab tadi pagi anak gadisnya telah dihina oleh Cia kong-cu? Jika dia benar-benar datang untuk menuntut balas, celakalah kami berdua ini, sebab kami akan menjadi korban pertamanya.”

Namun ternyata Tong Tian menyapa dengan ramah dan suaranya tidak mengandung nada permusuhan sama sekali, “Dapatkah aku minta pertolongan saudara-saudara?”

“Oh, kiranya Tong Tay-hiap yang datang. Apakah Tay-hiap punya keperluan penting?”

“Betul, aku mohon kepada saudara untuk menyampaikan kepada Cia Tay-jin bahwa aku orang she Tong mohon menghadap beliau.”

“Kalau begitu silahkan Tay-hiap menunggu sebentar, biar aku laporkan ke dalam,” sahut seorang prajurit, lalu ia menyelinap kedalam pintu.

Agak lama Tong Tian menunggu di luar, dan bahkan masih sempat bercakap-cakap dengan prajurit penjaga yang satu lagi. Dan selama menunggu itulah Tong Tian mendengar suara kesibukan luar biasa di balik tembok yang mengelilingi gedung itu, bahkan sayup-sayup terdengar pula suara gemerincingnya senjata. Diam-diam Tong Tian menjadi curiga, tetapi wajahnya tetap menampilkan ketenangan yang luar biasa.

Tidak lama kemudian, prajurit yang melapor ke dalam tadi telah keluar kembali dan mempersilahkan Tong Tian untuk masuk, bahkan prajurit itu membukakan pintu gerbang pula. Tong Tian mengucapkan terima kasih dan melangkah masuk tanpa ragu-ragu. Hatinya berdesir ketika melihat puluhan orang anak buah Cia To-bun telah bersiap di balik tembok itu dengan senjata di tangan. Selain para tukang pukul itu nampak pula belasan prajurit bersenjata tombak.

Tong Tian hanya tertawa dingin melihat persiapan itu, katanya kepada prajurit yang mengantarnya, “Alangkah hangatnya sambutan buat aku.”

Tiba-tiba terdengar suara berderak di belakangnya. Ketika Tong Tian menoleh, maka tampaklah pintu gerbang yang tebal itu telah tertutup dan palang pintunya pun telah dipasang. Melihat itu semua Tong Tian diam-diam mulai mengeluh dalam hatinya. Bukan karena gentar menghadapi orang- orang itu, tapi karena ia merasa jalan damai yang diinginkannya agaknya akan sangat sulit terlaksana.

Tapi manusia yang bergelar Kiang-se-tay-hiap itu pantang mundur, di bawah sorot mata kebencian dari sekian puluh orang bersenjata, Tong Tian tetap tenang dan sehelai rambutnya pun tidak bergetar. Prajurit itu mengantarkan Tong Tian samapi ke ruang dalam. Di ruangan itu Cia To-bun telah duduk menunggu dengan sikapnya yang angkuh, dan dia diapit oleh dua orang tokoh silat yang baru saja dapat di”beli”nya.

Di sebelah kirinya adalah seorang imam berjubah hijau tua, bertubuh kurus dan berjenggot kambing, tapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang berkilat-kilat mengerikan. Tangannya memegang sebuah hud-tim (kebut pertapaan) yang senantiasa digerak-gerakkannya. Sebelah kanannya adalah seorang lelaki setengah umur yang bertubuh tegap, bermuka buas, baju pendeknya terbuat dari kulit binatang. Lelaki itu bersenjata sebatang pedang pendek yang diselipkan pada ikat pinggangnya.

Cia To-bun sama sekali tidak berdiri dari tempat duduknya ketika melihat kedatangan Tong Tian. Katanya sambil tertawa besar, “Ha-ha-ha, selamat datang Kiang-se-tay-hiap yang perkasa. Silahkan duduk, semoga sambutanku tidak mengecewakan.”

Sementara Cia To-bun telah berkata lagi, “Aku sudah dapat menebak, tentu kedatangan Tay-hiap ini ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi itu. Betul bukan? Tay-hiap, puteraku itu memang nakal sekali, tapi tidak sepantasnya puterimu menurunkan tangan begitu kejam sehingga membuatnya cacat seumur hidup tanpa bisa diobati lagi.”

Lalu katanya kepada kedua guru silat yang duduk di kiri kanannya, “Melukai Cia Bok bukan saja sama denagn tidak menghargai ayahnya, tapi juga menantang kepada guru-guru yang mendidiknya. Bukan begitu, Ji-wi- kau-su (anda berdua guru silat)?”

Si imam jubah hijau hanya mendengus dengan congkak. Sedang si lelaki berbaju pendek itu menggeram dan matanya menatap Tong Tian dengan mata berapi-api penuh dendam. Tong Tian masih tetap tenang menghadapi perkembangan yang di luar kemauannya itu. Sahutnya kalem,

“Tepat sekali dugaan Tay-jin, kedatanganku memang ada hubungannya dengan peristiwa tadi pagi itu. Aku ingin agar kita bersama-sama menyelidiki siapa yang benar dan siapa yang salah, sehingga penyelesaiannya pun akan cukup adil.”

Diam-diam Cia To-bun menjadi tersinggung melihat Tong Tian tidak tampak menghadapi pihaknya yang siap dengan puluhan orang bersnjata itu. Ia akan gembira sekali jika melihat Tong Tian yang dibencinya itu menjadi gemetar ketakutan dan kemudian meratap-ratap mohon ampun, tapi ternyata sikap Tong Tian begitu tenang, jauh dari yang diharapkannya.

Di dalam hatinya, Cia To-bun sudah bertekad untuk menolak semua jalan damai. Sudah lama ia memendam keinginan untuk melenyapkan Tong Tian. Dan sekaranglah kesempatannta. Tidak perduli berapapun korbannya, Tong Tian harus mampus hari ini juga. Meskipun hatinya geram, Cia To-bun tetap memperlihatkan senyumnya. Katanya,

“Baiklah, kita akan menyelesaikan soal itu. Oh, ya, sebelum kita bicara panjang lebar, mari kuperkenalkan Tay-hiap kepada kedua orang kau-su ini. To tiang (Bapak Imam) ini adalah Te-yong To-jin yang dulu menjadi murid Bu-tong-pay, tapi kemudian meninggalkan perguruan itu untuk mendirikan aliran sendiri. Sedang yang ini adalah orang gagah dari Thay-san, bernama Tio Khing dan bergelar Thi-jiau-long (Serigala Bergigi Besi).”

Memang Tong Tian sudah mendengar berita bahwa Cia To-bun kini punya dua orang jago andalan yang tangguh. Meskipun Tong Tian memandang rendah kepada watak dua jagoan yang sudi menjilat kepada Cia To-bun itu, namun Tong Tian tidak berani memandang rendah kepandaian kedua orang tokoh itu, apalagi jika mereka maju bersama-sama. Dan menilik sikap Tio Khing yang seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup, Tong Tian menduga bahwa jagoan dar Thay-san itu tentu sudah tahu siapa yang membunuh Thay-san-sam-long.

Dengan dingin saja Tong Tian mengangggukkan kepala kepada keua guru silat itu, sambil berkata, “Oh, kiranya Te-yong-Tojin dan Tio Eng-hiong yang terkenal. Selamat bertemu.”

Cia To-bun yang merasa menang di atas angin itu mulai memojokkan orang yang dibencinya itu, “Tong Tay-hiap, mungkin kedatanganmu ini hendak memintakan maaf atas kesalahan puterimu itu. Maaf jika dugaanku meleset, tapi cepatlah kau katakan maksud kedatanganmu.”

Dengan diapit dua orang tokoh seperti Te-yong Tojin dan Tio Khing, maka Cia To-bun merasa tidak perlu gentar lagi kepada Tong Tian. Bicaranya pun tidak sungkan-sungkan lagi, bahkan seperti sengaja memancing kemarahan Tong Tian, agar ia dapat segera menyuruh anak buahnya untuk menghabisi pendekar itu.

Dasar Tong Tian sendiri juga seorang yang berwatak keras dan tidak sudi dihina oleh siapa pun. Dari rumahnya ia berangkat dengan tekad untuk menyelesaikan urusan secara damai, kalau perlu sedikit mengorbankan harga dirinya, tapi kini niatnya itu sudah berbalik seratus delapanpuluh derajat.

Melihat sikap Cia To-bun dan orang-orangnya yang sangat memojokkan, meluaplah darah Tong Tian. Apakah artinya sebuah penyelesaian damai apabila untuk seterusnya harga diri keluarga Tong diinjak-injak semaunya oleh Cia To-bun? Bukankah pada saat itu Cia To-bun telah menganggapnya sebagai seorang pengemis yang sedang merendahkan tangan, mengemis belas kasihan?

Maka senyuman Tong Tian lenyap dari wajahnya, dengan suara dingin dia menyahut, “Agaknya Cia Tay-jin telah salah paham. Kedatanganku memang untuk memberitahu bahwa puterikulah yang melukai puteracTay-jin, namun tindakan puteriku itu sama sekali tidak dapat disalahkan, sebab putera Tay-jin lebih dulu mengganggunya. Putera Tay-jin memang terkenal mata keranjang, andaikata bukan anakku yang menghajarnya, tentu kelak ada orang lain yang menghajarnya. Kesewenang-wenangan mana bisa bertahan terus?”

Bagaikan ada halilintar meledak di pinggir kupingnya, ketika Cia To-bun mendengar jawaban Tong Tian yang setajam itu. Tadinya ia menyangka Tong Tian akan merendah-rendah dan meminta-minta maaf, dan itu akan digunakan untuk menghinanya habis-habisan. Namun tidak diduganya jago tua itu seorang yang berdarah panas, meskipun usianya sudah setengah abad.

Sesaat lamanya mulut Cia To-bun bagaikan terkancing karena marahnya. Matanya yang kecil seperti mata babi itu dibelalakkan ke arah Tong Tian, namun ketika Tong Tian balas menatapnya, maka buru-buru Cia To-bun membuang muka. Ia tidak tahan menghadapi sinar mata Tong Tian yang bagaikan harimau marah itu.

Di saat suasana makin memanas, terdengarlah suara Te-yong Tojin dengan nada yang rendah, “Tong Tay-hiap, sebagai sesama orang persilatan, aku akan bicara padamu secara blak-blakan saja. Ada pepatah mengatakan, hendak memukul anjing pun harus memberi muka kepada pemiliknya. Mengenai terlukanya muridku ku akui ketidak-becusanku dalam mendidiknya dalam ilmu silat. Tapi harus diingat bahwa dia punya guru, dan ayahnya pun seorang pejabat yang dihormati di kota ini. Jelas puterimu yang bersalah. Seharusnya Tay-hiap menyeret puterimu ke sini untuk menerima hukuman, bukan Tay-hiap sendiri yang datang ke sini dengan lagak seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi Tay-hiap!”

Pertama-tama Te-yong Tojin bicara denga kalem supaya kelihatan anggun, namun kian lama nada ucapannya kian keras sehingga nampaklah sifat aslinya yang kasar dan ingin menang sendiri.

Tong Tian tertawa mengejek, “Aku tidak menduga bahwa Totiang masih punya muka untuk bicara sebagai sesama orang persilatan segala. Baiklah, aku pun akan bicara secara terbuka. Aku pun tadinya bermaksud menyelesaikan masalah ini secara damai, bahkan kalian lihat, aku tidak membawa sepotong senjata pun. Tetapi setelah melihat sikap kalian, aku memutuskan tidak sudi mengalah. Apa artinya perdamaian jika harus ditukar dengan harga diri marga Tong kami, bahkan dpat pula mencoreng kebesaran leluhur kami!”

Sementara itu, Cia To-bun yang merasa punya dua orang pembela yang tangguh, menunjukkan kembali kegarangannya, “Persetan dengan nama baik dan kebesaran leluhur kalian! Tetapi perbuatan puterimu ynag menghina puteraku di tengah jalan itu adalah sama dengan mencoreng-corengkan arang ke mukaku di hadapan seluruh orang An-yang-shia!”

“Jika begitu, mari kita tanyai seluruh orang di An-yang-shia dan biarkan mereka menjawab dengan jujur. Siapakah yang sebenarnya hendak menghina? Anakmu atau anakku? Jika anakku ternyata bersalah, maka dengan tanganku sendiri akan kuhukum dia!” potong Tong Tian denga wajah mulai memerah.

“Tidak perlu kita lakukan perbuatan yang bertele-tele itu!” teriak Cia To-bun. “Aku adalah penguasa tertinggi di tempat ini, siapapun tidak dapat membantah perintahku. Aku tidak peduli alasan apapun yang kau ajukan, pokoknya penghinaan ini harus dihapuskan. Tong Tian, atas nama Kaisar, sekarang juga kuperintahkan kau untuk menyeret anak perempuanmu ke sini!”

“Setelah itu, apa hukuman yang akan Tay-jin jatuhkan?” tanya Tong Tian dengan menahan luapan amarah.

Sahut Cia To-bun, “Mudah saja. Buatlah pernyataan minta maaf secara terbuka di hadapan umum. Lalu anakmu harus diarak keliling kota, untuk memberi contoh kepada seluruh masyarakat bagaimana akibatnya orang yang berani melawan kekuasaanku!”

Terdengar suara berderak keras ketika ujung meja hancur dihantam oleh tangan Tong Tian. Kata pendekar itu, “Minta maaf meskipun tidak bersalah, itu adalah soal kecil. Tapi seorang anak perempuan jika harus diarak keliling kota, itu benar-benar hukuman yang jauh lebih hebat daripada hukuman mati. Hem, seorang penjahat besar pun belum ada yang diperlakukan sekeji itu. Cia Tay-jin, agaknya syaratmu ini memang sengaja kau bikin sangat berat supaya aku tidak dapat memenuhinya dan kau punya alasan untuk menangkapku bukan?”

Merahlah muka Cia To-bun karena isi hatinya kena ditebak dengan tepat. Pikirnya, toh tidak ada gunanya berliku-liku lagi, maka ia berkata tanpa tedeng aling-aling lagi, “Keluarga Tong memang semuanya adalah pelanggar undang-undang Kerajaan. Lihat saja anakmu yang tertua, ia bahkan berani membunuh seorang pejabat urusan hukum yang datang dari ibukota! Demi keamanan negara, terpaksa kau kutangkap!”

Hal itu memang sudah dalam dugaan Tong Tian. Ia tahu bahwa biarpun dirinya akan merendahkan diri sampai rata dengan tanah, Cia To-bun tetap akan menindaknya dengan alasan yang dibuat-buat. Kata Tong Tian tegas, “Hemm, andaikata Tay-jin berkata begini sedari tadi, tentu kita tidak perlu membuang waktu untuk berdebat kusir. Sekarang, sialhkan kalian turun tangan.”

Tio Khing, meskipun dari tadi belum pernah bicara sepatah katapun, namun sebenarnya sudah getol ingin membunuh Tong Tian untuk membalaskan kematian tiga orang anaknya. Maka begitu mendengar tantangan Tong Tian, serentak ia menghunus pedang pendeknya dan berteriak penuh dendam,

“Orang she Tong! Hari ini adalah hari kematianmu!” Begitu berteriak, begitu pula Tio Khing menerjang Tong Tian dengan jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit), pedang pendeknya secepat kilat membabat ke arah lambung Tong Tian.

Tetapi tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap, meskipun saat itu ia masih dalam keadaan duduk, namun ia senantiasa mampu bergerak cepat untuk membela dirinya. Atas serangan Tio Khing itu, Tong Tian tidak menjauhinya melainkan justru menyongsongnya sambil megelak sabetan pedang lawan. Dua jari tangan kanannya menusuk mata Tio Khing dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mustika), dibarengi dengan hantaman telapak tangan kiri ke rusuk Tio Khing dengan jurus Pay-san-to-hay (Memindahkan Gunung ke Lautan).

Perguruan Soat-san-pay memang bukan sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu, melainkan ilmu pedangnya, namun demikian tidak berarti perguruan itu tidak punya ilmu silat tangan kosong yang berarti. Yang digunakan Tong Tian itu adalah ilmu tangan kosong Soat-san-pay yang bernama Hui-soat-sin-ciang yang mengutamakan asas “Kecepatan mengatasi kekuatan, bergerak mendahului lawan”. Maka serangan balasan Tong Tian yang mendadak dan diluar dugaan itu tentu saja membuat Tio Khing kelabakan dan dipaksa untuk melompat mundur.

Di saat Tio Khing kelabakan, mendadak sesosok bayangan hijau meluncur ke tengah gelanggang, ternyat Te-yong Tojin telah gatal tangan dan menerjunkan diri. Hud-timnya yang lemas itu tiba-tiba mengumpul dan mengeras seperti tombak dan ditikamkan ke tenggorokan Tong Tian. Sedang tangan kirinya ikut menggempur dengan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang dibanggakannya, sehingga terciumlah bau asam-asam pahit menyertai desir serangannya.

Tong Tian insyaf bahwa Te-yong Tojin lebih tangguh dari Tio Khing, apalagi karena Tong Tian tidak bersenjata. Ia tidak berani menangkis pukulan lawan, melainkan mengelak ke samping sambil mencoba membabat urat nadi pergelangan tangan lawannya. Cepat Te-yong Tojin pun merubah serangannya yang gagal.

Telapak tangan kiri dirubah menjadi cengkeraman untuk balas mencengkeram urat nadi Tong Tian, sementara hud-timnya telah berubah menjadi lemas kembali dan digunakan sebagi cambuk untuk menghantam jalan darah tan-yang-hiat lawan. Masih belum puas, imam itu susulkan pula sebuah tendangan Lian-hoan-tui, tendangan khas perguruan Bu-tong-pay.

Begitulah lihainya imam pelarian dari Bu-tong-pay itu. Dari keadaan terserang ia bisa berbalik menjadi penyerang, bahkan serentak dengan tiga buah serangan maut. Te-yong Tojin sudah memastikan dalam hatinya bahwa Tong Tian pasti akan runtuh kali ini, dan namanya sendiri akan menjadi terkenal karena berhasil mengalahkan Kiang-se-tay-hiap.

Tapi agaknya imam sesat itu salah menilai kekuatan lawannya. Tangannya memang berhasil mencengkeram pergelangan tanga Tong Tian, namun ia hanya merasa mencengkeram segumpal kapuk yang lunak dan ulet sekali. Betapapun ia mengerahkan tenaga, hasilnya seperti sebongkah batu besar yang dibuang ke dalam rawa lumpur, amblas tanpa bekas.

Sedangkan tendangan Lian-hoan-tui nya juga membentur sesuatu yang tak terduga. Rupanya Tong Tian telah “memasang” sikunya untuk menyambut telapak kaki si imam dan tepat mengenai urat yong-coan-hiat di tengah telapak kaki. Sedang sabetan hud-tim si imam dapat dihindarinya denga gerak Hong-hong- tiam-tau (Burung Hong mengangguk).

Di saat Te-yong Tojin masih dalam keadaan terkejut, Tong Tian telah membalikkan telapak tangannyadan balas mencengkeram lawan. Cepat imam itu melompat mundur sambil menarik tangannya, tapi tak urung ujung lengan jubahnya tercengkeram hancru oleh Tong Tian. Insyaflah kini imam itu akan kelihaian Kiang-se-tay-hiap.

Baik Te-yong Tojin maupun Tio Khing kini sudah insyaf bahwa To Tian lebih unggul dari mereka seorang-seorang, maka untuk mengalahkannya harus maju serentak. Maka tanpa malu-malu lagi Te-yong Tojin berseru kepada rekannya itu,

“Saudara Tio, menghadapi penghianat negara ini lebih baik kita tidak berpegang kepada aturan Bu Lim (Rimba Persilatan) segala. Hayo kita maju serentak untuk mempercepat penyelesaian!”

Tong Tian tertawa dingin melihat lagak kedua orang itu, ejeknya sinis, “Jika takut maju sendirian, boleh maju berdua. Bahkan kalau perlu orang-orang yang sudah kalian siapkan di luar itupun suruhlah keluar sekalian.”

Memang saat itu belasan orang anak buah Cia To-bun sudah menyerbu masuk ke ruangan tengah itu dengan senjata-senjata terhunus. Mereka terdiri dari tukang-tukang pukul bayaran maupun prajurit-prajurit berseragam. Tiba-tiba seorang prajurit bersenjata pedang menyerbu Tong Tian mendahului kawan-kawannya, namun begitu dekat dengan Tong Tian maka prajurit itu berbisik ke telinga Tong Tian, “Tay-hiap, cepat kau rebut pedangku.”

Tong Tian memang seorang tokoh yang dihormati di An-yang-shia, bukan karena kedudukannya atau karena ilmu silatnya yang tinggi, melainkan karena kepribadiannya dan sifat suka menolongnya. Banyak orang di An-yang-shia yang telah menerima kebaikannya, dan prajurit itu adalah salah seorang diantaranya. Kini prajurit itu ingin membalas budi. Ketika melihat Tong Tian tidak bersenjata, maka ia pura-pura menyerang, padahal maksud sebenarnya adalah ingin menyerahkan pedangnya kepada pendekar yang sangat dihormatinya itu.

Tong Tian memahami maksud prajurit itu. Dengan sebuah gerakan ringan ia telah membuat prajurit itu roboh terbanting dan “merampas” pedangnya. Kini, dengan sebatang pedang ada di tangannya, pendekar Kiang-se itu ibarat seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Tapi ia merasa ruangan tengah itu terlalu sempit untuk bertempur menggunakan pedang. Secepat kilat ia melompat lurus ke atas dengan gerakan Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit), dan dengan tangan kirinya ia menghantam atap ruangan itu dengan segenap tenaganya.

Atap yang terkena pukulan Tong Tian itu bagaikan meledak dan menimbulkan sebuah lobang besar, lalu selincah burung walet Tong Tian menerobos keluar lewat lobang itu. Sekejap kemudian pendekar itu sudah “hinggap” di halaman depan rumah Cia To-bun yang luas. Di halaman depan itu pun sudah menanti puluhan orang anak buah Cia To-bun. Begitu melihat Tong Tian keluar, para tukang pukul itu serentak menyerbu bagaikan anjing-anjing penjaga yang setia.

Sebenarnya Tong Tian merasa sayang jika harus membunuh orang- orang yang tidak bersalah dan hanya merupakan alat-alat Cia To-bun, tapi karena nyawa Tong Tian sendiri terancam, apa boleh buat, terpaksa ia harus merobohkan beberapa orang yang terlalu bernafsu ingin membunuhnya. Beberapa orang terdepan segera tumbang ke tanah dengan bermandikan darah.

“Jangan mengganas, pemberontak she Tong!” Terdengar teriakan keras, disusul dengan bayangan jubah Te-yong Tojin yang berkibar ketika imam itu melompat menyerang Tong Tian. Dengan hud-timnya, Te-yong Tojin langsung menyabet ke wajah Tong Tian.

Tangkas sekali Tong Tian merundukkan kepalanya, dan pedangnya membalas membabat ke pinggang Te-yong Tojin yang masih dalam keadaan melayang di udara. Menghadapi serangan ini, Te-yong Tojin mempertunjukkan ilmu Gin-kang (Meringankan Tubuh) gaya Bu-tong-pay yang diberi nama Tui-hun-ciong (Menapak Tangga Mega). Dengan saling menendangkan kakinya di tengah udara, imam itu berhasil merubah arah “terbang”nya tanpa menginjak tanah lebih dulu. Babatan pedang Tong Tian itu tentu saja mengenai tempat kosong.

Di dalam hatinya, diam-diam Tong Tian memuji kepandaian lawannya yang hebat itu. Sayang orang sepandai itu begitu mudah dibeli dengan uang oleh Cia To-bun, demikian pikir Tong Tian. Dalam pada itu, kembali belasan orang anak buah Cia To-bun menyerbu dari segala arah dengan buasnya. Orang-orang itu telah silau oleh janji pemberian hadiah yang diucapkan Cia To-bun, untuk siapa saja yang berhasil membunuh Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Mereka siap mempertaruhkan nyawa untuk uang beberapa keping.

Menghadapi mereka ini, Tong Tian membuang semua keraguan dan perasaan belas kasihnya. Sekuat tenaga ia menyapukan pedangnya dengan jurus Heng-san-jian-kun (Penyapu seribu prajurit). Tiga orang pengeroyok menjerit ngeri dan tubuhnya terpelanting ke tanah dengan perut yang “menganga” lebar.

Beberapa orang menjadi ragu-ragu ketika melihat nasib teman-teman mereka, dan disaat mereka ragu-ragu inilah mereka tersapu pula oleh pedang Tong Tian. Namun demikian jumlah pengeroyok terlalu banyak, dan kepungan itu tidak akan bubar hanya karena robohnya beberapa orang.

Sementara itu Tio Khing telah turun ke gelanggang pula. Dia menerjang ke arah Tong Tian dengan diapit oleh seorang yang bersenjata toya dan seorang lagi bersenjata thi-cio (trisula bergagang pendek). Gaya berkelahi Tio Khing, si serigala dari Thay-san itu memang khas, yaitu terlalu langsung dan tidak banyak kembangan atau gerak tipu. Ia cuma mengandalkan kekuatan dan kecepatan.

Ketika Tong Tian melakukan gerak Kong-jiok-kay-peng (merak membuka sayap) yang disambung dengan Giok- li-toh-so (bidadari menyusupkan benang), maka Tio Khing dari penyerang berbalik menjadi si terdesak. Kepandaiannya memang tidak setinggi dan semasak Te-yong Tojin. Yang membuatnya berbahaya hanyalah cara bertempurnya yang ganas dan keji, ditambah dengan dendam kesumat yang mewarnai setiap gerak silatnya.

Sementara itu pendamping Tio Khing yang bersenjata thi-cio itupun kini telah merangsek maju. Ia nampak mantap dalam memainkan sepasang thi-cionya, sehingga dapat diduga bahwa orang ini pun cukup terlatih dengan senjata andalannya itu. Tetapi mana bisa orang ini dibandingkan dengan Kiang-se-tay-hiap yang terkenal itu.

Meskipun Tong Tian sedang mendesak Tio Khing, tetapi gerak-gerik lawannya yang lain tidak lepas dari pengamatannya. Begitu orang bersenjata thi-cio itu maju, Tong Tian hanya membutuhkan satu jurus pukulan Pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk membuat orang ini roboh terkapar.

Sesaat kemudian Te-yong Tojin telah mulai ikut menyerang pula. Karena kepandaian Te-yong Tojin cukup tinggi, bahkan hampir sejajar dengan Tong Tian, maka majunya imam ini membuat Tong Tian terdesak. Diantara pengeroyok-pengeroyoknya ternyata terdapat juga orang-orang yang cukup berbobot dan pantas mendapat perhatian.

Untungnya Te-yong Tojin pun tidak bisa bertempur selincah biasanya, bahkan langkahnya agak terpincang-pincang. Rupanya rasa nyeri di telapak kakinya masih terasa mengganggunya, akibat terkena sodokan siku Tong Tian yang tepat mengenai urat yong-coan-hiatnya. Meskipun demikian Tong Tian tetap dalam keadaan tekanan berat, apalagi karena Tio Khing pun tidak tinggal diam dan sebentar-sebentar menyerbu.

Setelah pertempuran berlangsung ratusan jurus, nampaklah baik Tong Tian maupun Te-yong Tojin tidak dapat menghidari luka-luka yang mulai “menghias” tubuh mereka karena sengitnya perkelahian mereka. Tapi luka Tong Tian lebih banyak, pakaian yang dikenakannya nyaris berganti warna merah di seluruh tubuhnya.

Di pihak anak buah Cia To-bun pun sudah ada belasan tukang pukul atau prajurit yang roboh ke tanah. Andaikata tidak ada Te-yong Tojin dan Tio Khing di tempat itu, mungkin seluruh anak buah Cia To-bun itu akan dibabat habis oleh Tong Tian dalam waktu kurang dari setengah hari. Tapi dengan hadirnya kedua tokoh itu, Tong Tian tidak leluasa berbuat semaunya, bahkan untuk menyelamatkan diri saja terasa amat sulit.

Suatu saat kedua musuh tangguh itu menyerbu Tong Tian secara serempak, membuat sang pendekar menjadi kewalahan menahan serangan bertubi-tubi yang datang bagaikan banjir bandang itu. Disaat Tong Tian kerepotan itu, ada seorang anak buah Cia To-bun yang ingin memanfaatkan untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, dengan liciknya ia menyerampangkan toyanya dari arah belakang ke arah pinggang Tong Tian.

Tong Tian dapat mendengar desir serangan yang melanda dari belakangnya itu. Puluhan tahun ia bertualang di dunia persilatan dan sudah ratusan kali mengalami pertarungan mati-hidup, tapi kali ini tergetar juga hati Tong Tian oleh kedahsyatan pertempuran itu. Secara untung-untungan ia melompat ke belakang, melompati kepala si pembokong yang licik itu sambil menyabetkan pedangnya. Anak buah Cia To-bun yang memimpikan hadiah dari majikannya itu terpaksa nerubah jadi setan penasaran.

Namun Kiang-se-tay-hiap juga tidak lepas dari akibat tindakannya itu. Karena terpecahnya perhatiannya itu, maka hud-tim Te-yong Tojin berhasil menggempur pinggangnya secara telak, menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa pada isi perut Tong Tian. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Tong Tian, menandakan bahwa pendekar itu sudah terluka oleh lawnnya.

Melihat Tong Tian sudah terluka, dengan buas Tio Khing menyergap dari belakang secepat kilat. Serigala yang licin dan licik itu ternyata salah perhitungan, sebab Tong Tian masih dapat menghindar ke samping dan bahkan sambil membalas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor menerangi langit). Karena membaliknya Tong Tian ini dengan tubuh setengah merendah, maka gerakan pedangnya pun dari bawah ke atas.

Tio Khing yang sedang meluncur dengan segenap kecepatannya itu tidak menduga akan serangan macam ini, tepat sekali perutnya ditembus oleh pedang Tong Tian. Serigala tua dari Thay-san itu roboh ke tanah sambil meraung menggidikkan hati, dan setelah meregang nyawa beberapa saat lamanya, melayanglah nyawanya. Akibat gebrakan itu, Tong Tian juga terdorong mundur beberapa langkah karena “kejatuhan” berat badan Tio Khing yang disertakan dalam serangan tadi.

Mendadak Tong Tian merasakan matanya berkunang-kunang dan ia pun megeluh dalam hati. Dia sadar bahwa nasibnya akan lebih banyak celakanya daripada untungnya apabila bertahan terus di tempat itu. Tenaganya sudah surut banyak, isi perutnya sudah terluka, sedangkan lawan masih berjumlah puluhan dan Te-yong Tojin pun masih lebih segar dari dirinya. Cepat Tong Tian memutar pedangnya dan berusaha mendesak ke arah pintu keluar.

Baru saja ia berhasil maju beberapa langkah, terdengar desir angin di belakangnya, terpaksa Tong Tian harus membalikkan badan untuk membela diri lebih dahulu. Ternyata si imam Te-yong Tojin telah memburunya dengan wajah menampilkan nafsu membunuh. Hud-timnya diarahkan ke jalan darah kematian ki-ko-at-hiat di dada, sedang tangan kirinya menyodok tan-tian dibawah perut.

Melihat serangan yang membahayakan jiwanya itu, beringaslah wajah Tong Tian. Dengan pedang ia membendung serangan lawan dan dengan tangan kirinya ia membalas dengan pukulan Hui-soat-sin-ciang. Te-yong Tojin menyurut mundur, tapi telapak tangan kirinya justru diangkat untuk memapak hantaman Tong Tian secara keras lawan keras, alias adu tenaga dalam.

Dua telapak tanga yang berisi tenaga pukulan dahsyat dari kedua tokoh yang berilmu tinggi itupun bertemu di udara dan langsung saling melekat dengan eratnya. Terjadilah adu tenaga dalam antara seorang murid terpercaya dari Soat-san-pay melawan seorang murid berbakat Bu-tong-pay yang tersesat. Kini keduanya berdiri seperti patung dan saling mendorongkan telapak tangannya.

Di dalam hatinya, Tong Tian memaki kelicikan lawannya itu. Jelaslah bahwa adu lwe-kang semacam itu tidak menguntungkan diri Tong Tian, bukan karena tenaga dalam Tong Tian kalah, namun karena adu tenaga itu akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya Cia To-bun untuk menyerang Tong Tian, padahal dalam adu tenaga semacam itu, kedua belah pihak tidak boleh terpecah perhatiannya sedikitpun.

Kini Tong Tian tidak dapat menghindarinya, atau menarik tenaganya, sebab jika dia berbuat demikian maka arus tenaga dalam lawan akan mengalir masuk da menggempur bagian dalam tubuhnya dan itu berarti kematian!. Tidak ada jalan lain kecuali melayani adu tenaga itu sampai tuntas. Akhirnya dengan nekad Tong Tian mengerahkan seluruh tenaganya untuk menekan lawannya.

Butiran-butiran keringat dingin sebesar biji kedelai segera mengalir di muka Te-yong Tojin. Imam itu merasa betapa tenaga Tong Tian menggempur pertahanannya bagaikan gelombang samudera yang mendampar tak henti- hentinya, membuat dadanya jadi sesak seperti ditindah dengan batu besar. Namun imam itu bertahan sekuatnya, sementara ekor matanya memberi isyarat kepada para anak buah Cia To-bun agar segera turun tangan. Salah seorang anak buah Cia To-bun yang ingin berjasa segera menghantamkan ruyungnya sekuat tenaga ke batok kepala Tong Tian.

“Hem, biarpun aku harus mampus, lebih dulu aku membunuh manusia-manusia rendah ini sebanyak-banyaknya,” geram Tong Tian di dalam hatinya. Ia tidak peduli lagi pantangan orang yang sedang megadu tenaga dalam, diangkatnya pedang di tangan kanannya untuk menangkis ruyung itu.

Ruyung itu terpental balik dan menghantam mampus pemiliknya sendiri. Namun di saat itulah Te-yong Tojin membarenginya dengan mengerahkan tenaga dan mendorong sekuat tenaga. Memang kekuatan kedua tokoh yang bertanding itu tidak selisih banyak, maka dorongan Te-yong Tojin itu menimbulkan akibat hebat atas diri Tong Tian. Ia terhuyung mundur sampai lima langkah lebih sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Te-yong Tojin juga terhuyung mundur dengan muka pucat, namun tidak sampai menyemburkan darah, jelas keadaan imam itu jauh lebih ringan dari lawannya.

Dengan susah payah Tong Tian bertahan agar tidak jatuh. Seorang prajurit cepat menusukkan tombak ke lambung pendekar itu, Tong Tian menangkis dengan pedangnya. Sayang tenaga Tong Tian telah terperas habis, tombak prajurit itu tidak dapat ditangkisnya secara sempurna, hanya berbelok sedikit tetapi tetap merobek lambung Tong Tian. Bagaikan harimau luka, Tong Tian menggeram dan menancapkan pedangnya ke tubuh prajurit itu dengan sisa tenaganya. Baik tubuh prajurit itu maupun tubuh Tong Tian roboh dalam saat yang bersamaan.

Tong Tian masih sempat menghirup napas beberapa kali, setelah itu perlahan-lahan kepalanya terkulai ke samping dan rohnya terbang meninggalkan raganya. Jasad seorang pendekar yang disegani di seluruh Kiang-se itu kini tergeletak tidak bernyawa, tidak ada bedanya dengan jasad-jasad lainnya yang mengelilingi malang-melintang.

Pendekar yang bernama besar dan kaum keroco yang bernama kecil, jika sudah menjadi mayat toh sama saja. Orang-orang yang masih hidup berdiri mengelilingi mayat Tong Tian, dengan mata kepala mereka sendiri, mereka telah melihat matinya seorang pendekar yang terkenal.

Pertarungan yang baru saja berlangsung di halaman depan rumah Cia To-bun itu benar-benar merupakan sebuah pertarungan yang dahsyat dan menggetarkan hati. Matahari mulai turun ke sebelah barat, hari pun mulai menjadi gelap perlahan-lahan.

Te-yong Tojin melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dipandangnya mayat lawannya yang kini telah terbujur kaku. Dalam hatinya berkecamuklah bermacam-macam perasaan, antara puas, bangga dan juga gentar!

Puas dan bangga karena ia dapat mengalahkan Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, biarpun dengan cara yang licik dan kurang terpuji. Tetapi ia juga gentar, karena mulai hari itu ia sudah menanam permusuhan dengan Soat-san-pay, sebuah aliran persilatan yang memiliki banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi. Sejak saat itu, hidupnya pasti akan senantiasa terganggu oleh tokoh-tokoh Soat-san-pay yang akan membalaskan dendam buat Tong Tian.

Seorang anak buah Cia To-bun segera melaporkan kepada majikannya bahwa perkelahian telah selesai dan Tong Tian telah berhasil dibunuh. Dengan muka berseri-seri Cia To-bun lalu menuju ke halaman depan untuk melihat sendiri mayat dari orang yang dibencinya itu. Melihat mayat Tong Tian, Cia To-bun tidak dapat menguasai diri lagi, mula-mula ia hanya tertawa terkekeh-kekeh tapi kemudian terbahak-bahak dengan kerasnya,

“Ha-ha-ha, inilah contohnya orang yang berani menentang kekuasaanku di An-yang-shia! Ia telah mampus, ya, duri dalam dagingku telah mampus kini! Hatiku puas sekali. Ha-ha-ha....”

Namun Cia To-bun menjadi heran ketika melihat Te-yong Tojin nampak bermuram durja dan kurang bersemangat. Tanyanya, “Totiang, dalam suasana penuh kemenangan ini kenapa justru Totiang nampak kurang bergembira. Apakah Totiang terluka oleh bangsat she Tong ini?”

Te-yong Tojin tertawa nyengir, katanya dengan suara berat, “Aku telah membunuh Tong Tian demi mengabdi kepada Tay-jin. Namun aku kini pasti akan dimusuhi oleh golongan Soat-san-pay, ketenteraman hidupku ini mungkin sudah tidak terjamin lagi.”

Mendengar itu, Cia To-bun kembali tertawa bergelak-gelak sampai perut gendutnya berguncang-guncang. Katanya dengan congkak, “Kiranya hanya soal sekecil itu yang membuat hati Totiang risau. Sampai di mana kekuasaan golongan Soat-san-pay itu sehingga mereka berani mengganggu Totiang yang di bawah perlindunganku?”

Sebenarnya Te-yong Tojin kurang setuju akan ucapan Cia To-bun itu, namun ia berpura-pura mengucapkan terima kasih, “Terima kasih atas kebaikan hati Tay-jin. Selanjutnya biarlah aku berlindung di bawah keagungan pemerintah saja....”
Selanjutnya;