Perserikatan Naga Api Jilid 02Karya : Stevanus S.P |
Di saat suasana makin memanas, terdengarlah suara Te-yong Tojin dengan nada yang rendah, “Tong Tay-hiap, sebagai sesama orang persilatan, aku akan bicara padamu secara blak-blakan saja. Ada pepatah mengatakan, hendak memukul anjing pun harus memberi muka kepada pemiliknya. Mengenai terlukanya muridku ku akui ketidak-becusanku dalam mendidiknya dalam ilmu silat. Tapi harus diingat bahwa dia punya guru, dan ayahnya pun seorang pejabat yang dihormati di kota ini. Jelas puterimu yang bersalah. Seharusnya Tay-hiap menyeret puterimu ke sini untuk menerima hukuman, bukan Tay-hiap sendiri yang datang ke sini dengan lagak seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat menandingi Tay-hiap!”
Pertama-tama Te-yong Tojin bicara denga kalem supaya kelihatan anggun, namun kian lama nada ucapannya kian keras sehingga nampaklah sifat aslinya yang kasar dan ingin menang sendiri. Tong Tian tertawa mengejek, “Aku tidak menduga bahwa Totiang masih punya muka untuk bicara sebagai sesama orang persilatan segala. Baiklah, aku pun akan bicara secara terbuka. Aku pun tadinya bermaksud menyelesaikan masalah ini secara damai, bahkan kalian lihat, aku tidak membawa sepotong senjata pun. Tetapi setelah melihat sikap kalian, aku memutuskan tidak sudi mengalah. Apa artinya perdamaian jika harus ditukar dengan harga diri marga Tong kami, bahkan dpat pula mencoreng kebesaran leluhur kami!” Sementara itu, Cia To-bun yang merasa punya dua orang pembela yang tangguh, menunjukkan kembali kegarangannya, “Persetan dengan nama baik dan kebesaran leluhur kalian! Tetapi perbuatan puterimu ynag menghina puteraku di tengah jalan itu adalah sama dengan mencoreng-corengkan arang ke mukaku di hadapan seluruh orang An-yang-shia!” “Jika begitu, mari kita tanyai seluruh orang di An-yang-shia dan biarkan mereka menjawab dengan jujur. Siapakah yang sebenarnya hendak menghina? Anakmu atau anakku? Jika anakku ternyata bersalah, maka dengan tanganku sendiri akan kuhukum dia!” potong Tong Tian denga wajah mulai memerah. “Tidak perlu kita lakukan perbuatan yang bertele-tele itu!” teriak Cia To-bun. “Aku adalah penguasa tertinggi di tempat ini, siapapun tidak dapat membantah perintahku. Aku tidak peduli alasan apapun yang kau ajukan, pokoknya penghinaan ini harus dihapuskan. Tong Tian, atas nama Kaisar, sekarang juga kuperintahkan kau untuk menyeret anak perempuanmu ke sini!” “Setelah itu, apa hukuman yang akan Tay-jin jatuhkan?” tanya Tong Tian dengan menahan luapan amarah. Sahut Cia To-bun, “Mudah saja. Buatlah pernyataan minta maaf secara terbuka di hadapan umum. Lalu anakmu harus diarak keliling kota, untuk memberi contoh kepada seluruh masyarakat bagaimana akibatnya orang yang berani melawan kekuasaanku!” Terdengar suara berderak keras ketika ujung meja hancur dihantam oleh tangan Tong Tian. Kata pendekar itu, “Minta maaf meskipun tidak bersalah, itu adalah soal kecil. Tapi seorang anak perempuan jika harus diarak keliling kota, itu benar-benar hukuman yang jauh lebih hebat daripada hukuman mati. Hem, seorang penjahat besar pun belum ada yang diperlakukan sekeji itu. Cia Tay-jin, agaknya syaratmu ini memang sengaja kau bikin sangat berat supaya aku tidak dapat memenuhinya dan kau punya alasan untuk menangkapku bukan?” Merahlah muka Cia To-bun karena isi hatinya kena ditebak dengan tepat. Pikirnya, toh tidak ada gunanya berliku-liku lagi, maka ia berkata tanpa tedeng aling-aling lagi, “Keluarga Tong memang semuanya adalah pelanggar undang-undang Kerajaan. Lihat saja anakmu yang tertua, ia bahkan berani membunuh seorang pejabat urusan hukum yang datang dari ibukota! Demi keamanan negara, terpaksa kau kutangkap!” Hal itu memang sudah dalam dugaan Tong Tian. Ia tahu bahwa biarpun dirinya akan merendahkan diri sampai rata dengan tanah, Cia To-bun tetap akan menindaknya dengan alasan yang dibuat-buat. Kata Tong Tian tegas, “Hemm, andaikata Tay-jin berkata begini sedari tadi, tentu kita tidak perlu membuang waktu untuk berdebat kusir. Sekarang, sialhkan kalian turun tangan.” Tio Khing, meskipun dari tadi belum pernah bicara sepatah katapun, namun sebenarnya sudah getol ingin membunuh Tong Tian untuk membalaskan kematian tiga orang anaknya. Maka begitu mendengar tantangan Tong Tian, serentak ia menghunus pedang pendeknya dan berteriak penuh dendam, “Orang she Tong! Hari ini adalah hari kematianmu!” Begitu berteriak, begitu pula Tio Khing menerjang Tong Tian dengan jurus Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit), pedang pendeknya secepat kilat membabat ke arah lambung Tong Tian. Tetapi tidak percuma Tong Tian bergelar Kiang-se-tay-hiap, meskipun saat itu ia masih dalam keadaan duduk, namun ia senantiasa mampu bergerak cepat untuk membela dirinya. Atas serangan Tio Khing itu, Tong Tian tidak menjauhinya melainkan justru menyongsongnya sambil megelak sabetan pedang lawan. Dua jari tangan kanannya menusuk mata Tio Khing dengan jurus Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Berebut Mustika), dibarengi dengan hantaman telapak tangan kiri ke rusuk Tio Khing dengan jurus Pay-san-to-hay (Memindahkan Gunung ke Lautan). Perguruan Soat-san-pay memang bukan sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu, melainkan ilmu pedangnya, namun demikian tidak berarti perguruan itu tidak punya ilmu silat tangan kosong yang berarti. Yang digunakan Tong Tian itu adalah ilmu tangan kosong Soat-san-pay yang bernama Hui-soat-sin-ciang yang mengutamakan asas “Kecepatan mengatasi kekuatan, bergerak mendahului lawan”. Maka serangan balasan Tong Tian yang mendadak dan diluar dugaan itu tentu saja membuat Tio Khing kelabakan dan dipaksa untuk melompat mundur. Di saat Tio Khing kelabakan, mendadak sesosok bayangan hijau meluncur ke tengah gelanggang, ternyat Te-yong Tojin telah gatal tangan dan menerjunkan diri. Hud-timnya yang lemas itu tiba-tiba mengumpul dan mengeras seperti tombak dan ditikamkan ke tenggorokan Tong Tian. Sedang tangan kirinya ikut menggempur dengan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang dibanggakannya, sehingga terciumlah bau asam-asam pahit menyertai desir serangannya. Tong Tian insyaf bahwa Te-yong Tojin lebih tangguh dari Tio Khing, apalagi karena Tong Tian tidak bersenjata. Ia tidak berani menangkis pukulan lawan, melainkan mengelak ke samping sambil mencoba membabat urat nadi pergelangan tangan lawannya. Cepat Te-yong Tojin pun merubah serangannya yang gagal. Telapak tangan kiri dirubah menjadi cengkeraman untuk balas mencengkeram urat nadi Tong Tian, sementara hud-timnya telah berubah menjadi lemas kembali dan digunakan sebagi cambuk untuk menghantam jalan darah tan-yang-hiat lawan. Masih belum puas, imam itu susulkan pula sebuah tendangan Lian-hoan-tui, tendangan khas perguruan Bu-tong-pay. Begitulah lihainya imam pelarian dari Bu-tong-pay itu. Dari keadaan terserang ia bisa berbalik menjadi penyerang, bahkan serentak dengan tiga buah serangan maut. Te-yong Tojin sudah memastikan dalam hatinya bahwa Tong Tian pasti akan runtuh kali ini, dan namanya sendiri akan menjadi terkenal karena berhasil mengalahkan Kiang-se-tay-hiap. Tapi agaknya imam sesat itu salah menilai kekuatan lawannya. Tangannya memang berhasil mencengkeram pergelangan tanga Tong Tian, namun ia hanya merasa mencengkeram segumpal kapuk yang lunak dan ulet sekali. Betapapun ia mengerahkan tenaga, hasilnya seperti sebongkah batu besar yang dibuang ke dalam rawa lumpur, amblas tanpa bekas. Sedangkan tendangan Lian-hoan-tui nya juga membentur sesuatu yang tak terduga. Rupanya Tong Tian telah “memasang” sikunya untuk menyambut telapak kaki si imam dan tepat mengenai urat yong-coan-hiat di tengah telapak kaki. Sedang sabetan hud-tim si imam dapat dihindarinya denga gerak Hong-hong- tiam-tau (Burung Hong mengangguk). Di saat Te-yong Tojin masih dalam keadaan terkejut, Tong Tian telah membalikkan telapak tangannyadan balas mencengkeram lawan. Cepat imam itu melompat mundur sambil menarik tangannya, tapi tak urung ujung lengan jubahnya tercengkeram hancru oleh Tong Tian. Insyaflah kini imam itu akan kelihaian Kiang-se-tay-hiap. Baik Te-yong Tojin maupun Tio Khing kini sudah insyaf bahwa To Tian lebih unggul dari mereka seorang-seorang, maka untuk mengalahkannya harus maju serentak. Maka tanpa malu-malu lagi Te-yong Tojin berseru kepada rekannya itu, “Saudara Tio, menghadapi penghianat negara ini lebih baik kita tidak berpegang kepada aturan Bu Lim (Rimba Persilatan) segala. Hayo kita maju serentak untuk mempercepat penyelesaian!” Tong Tian tertawa dingin melihat lagak kedua orang itu, ejeknya sinis, “Jika takut maju sendirian, boleh maju berdua. Bahkan kalau perlu orang-orang yang sudah kalian siapkan di luar itupun suruhlah keluar sekalian.” Memang saat itu belasan orang anak buah Cia To-bun sudah menyerbu masuk ke ruangan tengah itu dengan senjata-senjata terhunus. Mereka terdiri dari tukang-tukang pukul bayaran maupun prajurit-prajurit berseragam. Tiba-tiba seorang prajurit bersenjata pedang menyerbu Tong Tian mendahului kawan-kawannya, namun begitu dekat dengan Tong Tian maka prajurit itu berbisik ke telinga Tong Tian, “Tay-hiap, cepat kau rebut pedangku.” Tong Tian memang seorang tokoh yang dihormati di An-yang-shia, bukan karena kedudukannya atau karena ilmu silatnya yang tinggi, melainkan karena kepribadiannya dan sifat suka menolongnya. Banyak orang di An-yang-shia yang telah menerima kebaikannya, dan prajurit itu adalah salah seorang diantaranya. Kini prajurit itu ingin membalas budi. Ketika melihat Tong Tian tidak bersenjata, maka ia pura-pura menyerang, padahal maksud sebenarnya adalah ingin menyerahkan pedangnya kepada pendekar yang sangat dihormatinya itu. Tong Tian memahami maksud prajurit itu. Dengan sebuah gerakan ringan ia telah membuat prajurit itu roboh terbanting dan “merampas” pedangnya. Kini, dengan sebatang pedang ada di tangannya, pendekar Kiang-se itu ibarat seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Tapi ia merasa ruangan tengah itu terlalu sempit untuk bertempur menggunakan pedang. Secepat kilat ia melompat lurus ke atas dengan gerakan Ui-ho-cong-thian (Burung Jenjang Menembus Langit), dan dengan tangan kirinya ia menghantam atap ruangan itu dengan segenap tenaganya. Atap yang terkena pukulan Tong Tian itu bagaikan meledak dan menimbulkan sebuah lobang besar, lalu selincah burung walet Tong Tian menerobos keluar lewat lobang itu. Sekejap kemudian pendekar itu sudah “hinggap” di halaman depan rumah Cia To-bun yang luas. Di halaman depan itu pun sudah menanti puluhan orang anak buah Cia To-bun. Begitu melihat Tong Tian keluar, para tukang pukul itu serentak menyerbu bagaikan anjing-anjing penjaga yang setia. Sebenarnya Tong Tian merasa sayang jika harus membunuh orang- orang yang tidak bersalah dan hanya merupakan alat-alat Cia To-bun, tapi karena nyawa Tong Tian sendiri terancam, apa boleh buat, terpaksa ia harus merobohkan beberapa orang yang terlalu bernafsu ingin membunuhnya. Beberapa orang terdepan segera tumbang ke tanah dengan bermandikan darah. “Jangan mengganas, pemberontak she Tong!” Terdengar teriakan keras, disusul dengan bayangan jubah Te-yong Tojin yang berkibar ketika imam itu melompat menyerang Tong Tian. Dengan hud-timnya, Te-yong Tojin langsung menyabet ke wajah Tong Tian. Tangkas sekali Tong Tian merundukkan kepalanya, dan pedangnya membalas membabat ke pinggang Te-yong Tojin yang masih dalam keadaan melayang di udara. Menghadapi serangan ini, Te-yong Tojin mempertunjukkan ilmu Gin-kang (Meringankan Tubuh) gaya Bu-tong-pay yang diberi nama Tui-hun-ciong (Menapak Tangga Mega). Dengan saling menendangkan kakinya di tengah udara, imam itu berhasil merubah arah “terbang”nya tanpa menginjak tanah lebih dulu. Babatan pedang Tong Tian itu tentu saja mengenai tempat kosong. Di dalam hatinya, diam-diam Tong Tian memuji kepandaian lawannya yang hebat itu. Sayang orang sepandai itu begitu mudah dibeli dengan uang oleh Cia To-bun, demikian pikir Tong Tian. Dalam pada itu, kembali belasan orang anak buah Cia To-bun menyerbu dari segala arah dengan buasnya. Orang-orang itu telah silau oleh janji pemberian hadiah yang diucapkan Cia To-bun, untuk siapa saja yang berhasil membunuh Kiang-se-tay-hiap Tong Tian. Mereka siap mempertaruhkan nyawa untuk uang beberapa keping. Menghadapi mereka ini, Tong Tian membuang semua keraguan dan perasaan belas kasihnya. Sekuat tenaga ia menyapukan pedangnya dengan jurus Heng-san-jian-kun (Penyapu seribu prajurit). Tiga orang pengeroyok menjerit ngeri dan tubuhnya terpelanting ke tanah dengan perut yang “menganga” lebar. Beberapa orang menjadi ragu-ragu ketika melihat nasib teman-teman mereka, dan disaat mereka ragu-ragu inilah mereka tersapu pula oleh pedang Tong Tian. Namun demikian jumlah pengeroyok terlalu banyak, dan kepungan itu tidak akan bubar hanya karena robohnya beberapa orang. Sementara itu Tio Khing telah turun ke gelanggang pula. Dia menerjang ke arah Tong Tian dengan diapit oleh seorang yang bersenjata toya dan seorang lagi bersenjata thi-cio (trisula bergagang pendek). Gaya berkelahi Tio Khing, si serigala dari Thay-san itu memang khas, yaitu terlalu langsung dan tidak banyak kembangan atau gerak tipu. Ia cuma mengandalkan kekuatan dan kecepatan. Ketika Tong Tian melakukan gerak Kong-jiok-kay-peng (merak membuka sayap) yang disambung dengan Giok- li-toh-so (bidadari menyusupkan benang), maka Tio Khing dari penyerang berbalik menjadi si terdesak. Kepandaiannya memang tidak setinggi dan semasak Te-yong Tojin. Yang membuatnya berbahaya hanyalah cara bertempurnya yang ganas dan keji, ditambah dengan dendam kesumat yang mewarnai setiap gerak silatnya. Sementara itu pendamping Tio Khing yang bersenjata thi-cio itupun kini telah merangsek maju. Ia nampak mantap dalam memainkan sepasang thi-cionya, sehingga dapat diduga bahwa orang ini pun cukup terlatih dengan senjata andalannya itu. Tetapi mana bisa orang ini dibandingkan dengan Kiang-se-tay-hiap yang terkenal itu. Meskipun Tong Tian sedang mendesak Tio Khing, tetapi gerak-gerik lawannya yang lain tidak lepas dari pengamatannya. Begitu orang bersenjata thi-cio itu maju, Tong Tian hanya membutuhkan satu jurus pukulan Pek-khong-ciang (Pukulan Udara Kosong) untuk membuat orang ini roboh terkapar. Sesaat kemudian Te-yong Tojin telah mulai ikut menyerang pula. Karena kepandaian Te-yong Tojin cukup tinggi, bahkan hampir sejajar dengan Tong Tian, maka majunya imam ini membuat Tong Tian terdesak. Diantara pengeroyok-pengeroyoknya ternyata terdapat juga orang-orang yang cukup berbobot dan pantas mendapat perhatian. Untungnya Te-yong Tojin pun tidak bisa bertempur selincah biasanya, bahkan langkahnya agak terpincang-pincang. Rupanya rasa nyeri di telapak kakinya masih terasa mengganggunya, akibat terkena sodokan siku Tong Tian yang tepat mengenai urat yong-coan-hiatnya. Meskipun demikian Tong Tian tetap dalam keadaan tekanan berat, apalagi karena Tio Khing pun tidak tinggal diam dan sebentar-sebentar menyerbu. Setelah pertempuran berlangsung ratusan jurus, nampaklah baik Tong Tian maupun Te-yong Tojin tidak dapat menghidari luka-luka yang mulai “menghias” tubuh mereka karena sengitnya perkelahian mereka. Tapi luka Tong Tian lebih banyak, pakaian yang dikenakannya nyaris berganti warna merah di seluruh tubuhnya. Di pihak anak buah Cia To-bun pun sudah ada belasan tukang pukul atau prajurit yang roboh ke tanah. Andaikata tidak ada Te-yong Tojin dan Tio Khing di tempat itu, mungkin seluruh anak buah Cia To-bun itu akan dibabat habis oleh Tong Tian dalam waktu kurang dari setengah hari. Tapi dengan hadirnya kedua tokoh itu, Tong Tian tidak leluasa berbuat semaunya, bahkan untuk menyelamatkan diri saja terasa amat sulit. Suatu saat kedua musuh tangguh itu menyerbu Tong Tian secara serempak, membuat sang pendekar menjadi kewalahan menahan serangan bertubi-tubi yang datang bagaikan banjir bandang itu. Disaat Tong Tian kerepotan itu, ada seorang anak buah Cia To-bun yang ingin memanfaatkan untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, dengan liciknya ia menyerampangkan toyanya dari arah belakang ke arah pinggang Tong Tian. Tong Tian dapat mendengar desir serangan yang melanda dari belakangnya itu. Puluhan tahun ia bertualang di dunia persilatan dan sudah ratusan kali mengalami pertarungan mati-hidup, tapi kali ini tergetar juga hati Tong Tian oleh kedahsyatan pertempuran itu. Secara untung-untungan ia melompat ke belakang, melompati kepala si pembokong yang licik itu sambil menyabetkan pedangnya. Anak buah Cia To-bun yang memimpikan hadiah dari majikannya itu terpaksa nerubah jadi setan penasaran. Namun Kiang-se-tay-hiap juga tidak lepas dari akibat tindakannya itu. Karena terpecahnya perhatiannya itu, maka hud-tim Te-yong Tojin berhasil menggempur pinggangnya secara telak, menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa pada isi perut Tong Tian. Setetes darah mengalir dari sudut bibir Tong Tian, menandakan bahwa pendekar itu sudah terluka oleh lawnnya. Melihat Tong Tian sudah terluka, dengan buas Tio Khing menyergap dari belakang secepat kilat. Serigala yang licin dan licik itu ternyata salah perhitungan, sebab Tong Tian masih dapat menghindar ke samping dan bahkan sambil membalas dengan gerakan Ki-hwe-liau-thian (mengangkat obor menerangi langit). Karena membaliknya Tong Tian ini dengan tubuh setengah merendah, maka gerakan pedangnya pun dari bawah ke atas. Tio Khing yang sedang meluncur dengan segenap kecepatannya itu tidak menduga akan serangan macam ini, tepat sekali perutnya ditembus oleh pedang Tong Tian. Serigala tua dari Thay-san itu roboh ke tanah sambil meraung menggidikkan hati, dan setelah meregang nyawa beberapa saat lamanya, melayanglah nyawanya. Akibat gebrakan itu, Tong Tian juga terdorong mundur beberapa langkah karena “kejatuhan” berat badan Tio Khing yang disertakan dalam serangan tadi. Mendadak Tong Tian merasakan matanya berkunang-kunang dan ia pun megeluh dalam hati. Dia sadar bahwa nasibnya akan lebih banyak celakanya daripada untungnya apabila bertahan terus di tempat itu. Tenaganya sudah surut banyak, isi perutnya sudah terluka, sedangkan lawan masih berjumlah puluhan dan Te-yong Tojin pun masih lebih segar dari dirinya. Cepat Tong Tian memutar pedangnya dan berusaha mendesak ke arah pintu keluar. Baru saja ia berhasil maju beberapa langkah, terdengar desir angin di belakangnya, terpaksa Tong Tian harus membalikkan badan untuk membela diri lebih dahulu. Ternyata si imam Te-yong Tojin telah memburunya dengan wajah menampilkan nafsu membunuh. Hud-timnya diarahkan ke jalan darah kematian ki-ko-at-hiat di dada, sedang tangan kirinya menyodok tan-tian dibawah perut. Melihat serangan yang membahayakan jiwanya itu, beringaslah wajah Tong Tian. Dengan pedang ia membendung serangan lawan dan dengan tangan kirinya ia membalas dengan pukulan Hui-soat-sin-ciang. Te-yong Tojin menyurut mundur, tapi telapak tangan kirinya justru diangkat untuk memapak hantaman Tong Tian secara keras lawan keras, alias adu tenaga dalam. Dua telapak tanga yang berisi tenaga pukulan dahsyat dari kedua tokoh yang berilmu tinggi itupun bertemu di udara dan langsung saling melekat dengan eratnya. Terjadilah adu tenaga dalam antara seorang murid terpercaya dari Soat-san-pay melawan seorang murid berbakat Bu-tong-pay yang tersesat. Kini keduanya berdiri seperti patung dan saling mendorongkan telapak tangannya. Di dalam hatinya, Tong Tian memaki kelicikan lawannya itu. Jelaslah bahwa adu lwe-kang semacam itu tidak menguntungkan diri Tong Tian, bukan karena tenaga dalam Tong Tian kalah, namun karena adu tenaga itu akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya Cia To-bun untuk menyerang Tong Tian, padahal dalam adu tenaga semacam itu, kedua belah pihak tidak boleh terpecah perhatiannya sedikitpun. Kini Tong Tian tidak dapat menghindarinya, atau menarik tenaganya, sebab jika dia berbuat demikian maka arus tenaga dalam lawan akan mengalir masuk da menggempur bagian dalam tubuhnya dan itu berarti kematian!. Tidak ada jalan lain kecuali melayani adu tenaga itu sampai tuntas. Akhirnya dengan nekad Tong Tian mengerahkan seluruh tenaganya untuk menekan lawannya. Butiran-butiran keringat dingin sebesar biji kedelai segera mengalir di muka Te-yong Tojin. Imam itu merasa betapa tenaga Tong Tian menggempur pertahanannya bagaikan gelombang samudera yang mendampar tak henti- hentinya, membuat dadanya jadi sesak seperti ditindah dengan batu besar. Namun imam itu bertahan sekuatnya, sementara ekor matanya memberi isyarat kepada para anak buah Cia To-bun agar segera turun tangan. Salah seorang anak buah Cia To-bun yang ingin berjasa segera menghantamkan ruyungnya sekuat tenaga ke batok kepala Tong Tian. “Hem, biarpun aku harus mampus, lebih dulu aku membunuh manusia-manusia rendah ini sebanyak-banyaknya,” geram Tong Tian di dalam hatinya. Ia tidak peduli lagi pantangan orang yang sedang megadu tenaga dalam, diangkatnya pedang di tangan kanannya untuk menangkis ruyung itu. Ruyung itu terpental balik dan menghantam mampus pemiliknya sendiri. Namun di saat itulah Te-yong Tojin membarenginya dengan mengerahkan tenaga dan mendorong sekuat tenaga. Memang kekuatan kedua tokoh yang bertanding itu tidak selisih banyak, maka dorongan Te-yong Tojin itu menimbulkan akibat hebat atas diri Tong Tian. Ia terhuyung mundur sampai lima langkah lebih sambil menyemburkan segumpal darah segar dari mulutnya. Te-yong Tojin juga terhuyung mundur dengan muka pucat, namun tidak sampai menyemburkan darah, jelas keadaan imam itu jauh lebih ringan dari lawannya. Dengan susah payah Tong Tian bertahan agar tidak jatuh. Seorang prajurit cepat menusukkan tombak ke lambung pendekar itu, Tong Tian menangkis dengan pedangnya. Sayang tenaga Tong Tian telah terperas habis, tombak prajurit itu tidak dapat ditangkisnya secara sempurna, hanya berbelok sedikit tetapi tetap merobek lambung Tong Tian. Bagaikan harimau luka, Tong Tian menggeram dan menancapkan pedangnya ke tubuh prajurit itu dengan sisa tenaganya. Baik tubuh prajurit itu maupun tubuh Tong Tian roboh dalam saat yang bersamaan. Tong Tian masih sempat menghirup napas beberapa kali, setelah itu perlahan-lahan kepalanya terkulai ke samping dan rohnya terbang meninggalkan raganya. Jasad seorang pendekar yang disegani di seluruh Kiang-se itu kini tergeletak tidak bernyawa, tidak ada bedanya dengan jasad-jasad lainnya yang mengelilingi malang-melintang. Pendekar yang bernama besar dan kaum keroco yang bernama kecil, jika sudah menjadi mayat toh sama saja. Orang-orang yang masih hidup berdiri mengelilingi mayat Tong Tian, dengan mata kepala mereka sendiri, mereka telah melihat matinya seorang pendekar yang terkenal. Pertarungan yang baru saja berlangsung di halaman depan rumah Cia To-bun itu benar-benar merupakan sebuah pertarungan yang dahsyat dan menggetarkan hati. Matahari mulai turun ke sebelah barat, hari pun mulai menjadi gelap perlahan-lahan. Te-yong Tojin melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dipandangnya mayat lawannya yang kini telah terbujur kaku. Dalam hatinya berkecamuklah bermacam-macam perasaan, antara puas, bangga dan juga gentar! Puas dan bangga karena ia dapat mengalahkan Kiang-se-tay-hiap yang termasyhur, biarpun dengan cara yang licik dan kurang terpuji. Tetapi ia juga gentar, karena mulai hari itu ia sudah menanam permusuhan dengan Soat-san-pay, sebuah aliran persilatan yang memiliki banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi. Sejak saat itu, hidupnya pasti akan senantiasa terganggu oleh tokoh-tokoh Soat-san-pay yang akan membalaskan dendam buat Tong Tian. Seorang anak buah Cia To-bun segera melaporkan kepada majikannya bahwa perkelahian telah selesai dan Tong Tian telah berhasil dibunuh. Dengan muka berseri-seri Cia To-bun lalu menuju ke halaman depan untuk melihat sendiri mayat dari orang yang dibencinya itu. Melihat mayat Tong Tian, Cia To-bun tidak dapat menguasai diri lagi, mula-mula ia hanya tertawa terkekeh-kekeh tapi kemudian terbahak-bahak dengan kerasnya, “Ha-ha-ha, inilah contohnya orang yang berani menentang kekuasaanku di An-yang-shia! Ia telah mampus, ya, duri dalam dagingku telah mampus kini! Hatiku puas sekali. Ha-ha-ha....” Namun Cia To-bun menjadi heran ketika melihat Te-yong Tojin nampak bermuram durja dan kurang bersemangat. Tanyanya, “Totiang, dalam suasana penuh kemenangan ini kenapa justru Totiang nampak kurang bergembira. Apakah Totiang terluka oleh bangsat she Tong ini?” Te-yong Tojin tertawa nyengir, katanya dengan suara berat, “Aku telah membunuh Tong Tian demi mengabdi kepada Tay-jin. Namun aku kini pasti akan dimusuhi oleh golongan Soat-san-pay, ketenteraman hidupku ini mungkin sudah tidak terjamin lagi.” Mendengar itu, Cia To-bun kembali tertawa bergelak-gelak sampai perut gendutnya berguncang-guncang. Katanya dengan congkak, “Kiranya hanya soal sekecil itu yang membuat hati Totiang risau. Sampai di mana kekuasaan golongan Soat-san-pay itu sehingga mereka berani mengganggu Totiang yang di bawah perlindunganku?” Sebenarnya Te-yong Tojin kurang setuju akan ucapan Cia To-bun itu, namun ia berpura-pura mengucapkan terima kasih, “Terima kasih atas kebaikan hati Tay-jin. Selanjutnya biarlah aku berlindung di bawah keagungan pemerintah saja....” |
Selanjutnya;
|